HUBUNGAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI, POLA KONSUMSI PANGAN, DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP KECERDASAN LOGIKA MATEMATIKA ANAK SDN 09 PAGI JAKARTA UTARA
AULIA MASRUROH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT AULIA MASRUROH. Correlation Between Breast-Feeding Practice, Food Consumption Patterns, and Learning Facilities with Logical-Mathematic Intelligence of Students at SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Under supervision of ALI KHOMSAN. The aims of study was to know correlation between practice of breastfeeding, food consumption patterns, and learning facilities with logicalmathematic intelligence of students at SDN 09 Pagi Jakarta Utara. The study design used cross-sectional study. The total sample consists of 38 students of 4th grade. There was significant correlation between breast-feeding duration (p=0.000), exclusive breast-feeding duration (p=0.000), and mother‟s education (p=0.031) with IQ, while energy adequacy level (p=0.039), protein adequacy level (p=0.017), animal protein consumption frequency (p=0.000), doing homework at home (p=0.000), repeating the lesson (p=0.000), studying accompanied by parents (p=0.000), owning learning room (p=0.000), owning school stationery (0.000), owning desk for studying (p=0.000), IQ (p=0.002), and age (p=-0.042) had significant and positive correlation with students mathematic report score. There was significant correlation between protein adequacy level (p=0.033), animal protein consumption frequency (p=0.000), doing homework at home (p=0.000), repeating the lesson (p=0.000), studying accompanied by parents (p=0.000), owning learning room (p=0.000), owning school stationery (p=0.000), owning desk for studying (p=0.000), and IQ (p=0.011) with students‟ mathematic learning test result. There was no significant correlation between nutritional status (p=0.301), sex (p=0.061), pocket money (p=0.826), father‟s education (p=0.825), mother‟s education (p=0.205), and family‟s income (p=0.865) with mathematic report score. There was no correlation between energy sufficient level (p=0.073), nutritional status (p=0.807), sex (p=0.078), pocket money (p=0.789), age (p=0.097), father‟s education (p=0.995), mother‟s education (p=0.090), family‟s income (p=0.596) with students learning test result. Keywords : Breastfeeding, Food Consumption, Nutrition Status, Intelligence Quotient
iii
RINGKASAN AULIA MASRUROH. Hubungan Praktek Pemberian ASI, Pola Konsumsi Pangan, Fasilitas Belajar terhadap Kecerdasan Logika Matematika Anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasaan logika-matematika anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) mengetahui karakteristik orangtua dan siswa di SDN 09 Pagi Jakarta Utara, 2) mempelajari praktek pemberian ASI di SDN 09 Pagi Jakarta Utara, 3) mengetahui kecerdasan logika-matematika siswa (IQ dan prestasi belajar matematika), 4) mengidentifikasi kebiasaan konsumsi pangan siswa, 5) mengidentifikasi fasilitas belajar siswa, 6) menganalisis hubungan praktek pemberian ASI dengan IQ, IQ dengan prestasi belajar matematika, hubungan antara pola konsumsi pangan dengan prestasi belajar matematika, hubungan antara fasilitas belajar dengan prestasi belajar matematika. Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Mei sampai Juli 2011 dengan desain cross sectional study. Sekolah Dasar (SD) yang menjadi tempat pengambilan data, yaitu SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Pemilihan lokasi sekolah dasar dilakukan secara purposive yaitu sekolah dasar yang sudah mempergunakan test IQ untuk mengukur tingkat kecerdasan anak. Pemilihan populasi contoh dilakukan secara purposive berdasarkan izin dari pihak sekolah. Kriteria inklusi dalam penarikan contoh penelitian ini yaitu 1) telah melakukan tes IQ untuk mengukur tingkat kecerdasan, 2) bersedia diwawancara, 3) bersedia memberikan keterangan yang lengkap, jelas, dan benar. Jumlah contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 38 siswa. Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia statistik dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell dan SPSS for Windows versi 16.0. Untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji korelasi Pearson dan Rank Spearman. Usia ayah berada dalam rentang dewasa madya dengan usia antara 4165 tahun (52.6%), sedangkan usia ibu berada dalam rentang dewasa muda dengan rentang usia antara 20-40 tahun (76.3%). Sementara itu, besar keluarga siswa tersebar pada kelompok keluarga sedang (44.7%). Sebagian besar pendidikan terakhir ayah dan ibu adalah SMA/ Sederajat. Secara berturut-turut dengan persentase 50% dan 39.5%. Persentase tertinggi pekerjaan ayah sebagai pegawai (31.5%). Pekerjaan ibu dengan persentase tertinggi sebagai ibu rumah tangga (71.1%). Mayoritas 50% pendapatan keluarga per bulan berada pada nilai kurang dari Rp 1.000.000,00. Siswa kelas 4 SDN 09 terdiri dari laki-laki (55.3%) dan perempuan (44.7%). Rata-rata usia siswa berada pada rentang 1011 tahun (89.5%). Uang saku siswa sebagian besar berkisar antara Rp. 6.000,00-Rp. 10.000,00 per hari (60.5%). Berdasarkan perhitungan IMT/U sebagian besar siswa berstatus gizi normal (76.3%). Praktek ASI eksklusif (36.8%) relatif sedikit ditemukan di SD 09 dibandingkan dengan yang tidak diberikan ASI eksklusif (63.2%). Rata-rata alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya dikarenakan ASI tidak keluar (62.5%). Durasi pemberian ASI eksklusif mayoritas masih ≤ 2 bulan (57.9%). Pemberian ASI di SD 09 selama lebih dari 12 bulan sebesar 26.3%. Sebanyak 68.4 persen ibu siswa memberikan susu formula kepada anaknya. Ibu siswa memberikan susu formula kepada anaknya saat anak berusia kurang dari 6 bulan (63.2%). Intelligensi quetiont siswa berada pada kategori rata-rata
iv
kurang dengan rentang skor 80-89 (31.6%), sedangkan nilai raport matematika siswa berada dalam kategori cukup dengan rentang 60-69 (39.5%) dan THB matematika siswa dalam kategori kurang dengan rentang <60 (47.4%). Siswa kelas 4 SDN 09 terbiasa makan tiga kali sehari dengan presentase sebesar 92.1%. Sebanyak 92.1% siswa selalu melakukan sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Sebagian besar siswa selalu terbiasa minum susu setiap hari (73.7%). Rata-rata siswa mengkonsumsi susu sebanyak satu gelas setiap hari (76.3%). Jenis susu yang paling banyak dikonsumsi adalah susu kental manis (52.6%). Sebesar 94.7% siswa selalu mengkonsumsi lauk hewani. Lauk hewani yang biasa dikonsumsi yaitu daging ayam (94.7%). Siswa selalu mengkonsumsi lauk nabati (94.7%). Lauk nabati yang biasa dikonsumsi yaitu tempe (92.1%). Sebesar 44.7% siswa menyatakan selalu mengkonsumsi sayur. Siswa lebih terbiasa mengkonsumsi sayur kangkung (81.6%). Sebanyak 50% siswa kadang-kadang mengkonsumsi buah. Buah yang biasa dikonsumsi yaitu buah jeruk (81.6%). Sebagian besar (52.6%) siswa kadang-kadang terbiasa membawa bekal ke sekolah. Mayoritas siswa paling banyak mengkonsumsi nasi dan lauk pauk sebagai bekal sekolah (60%). Siswa selalu terbiasa membawa air minum ke sekolah (52.6%). Air minum yang paling biasa dibawa yaitu air mineral (89.5%). Lebih dari 80% siswa selalu terbiasa jajan di sekolah. Tiga jenis makanan jajanan yang biasa dibeli oleh siswa adalah mie (50%), sosis (47.4%), dan pangsit (42.1%). Frekuensi pangan makanan pokok yang sering dikonsumsi yaitu nasi dengan rata-rata frekuensi konsumsi 18.4±3.8 kali/ minggu (65.8%). Sumber protein hewani dengan frekuensi konsumsi tertinggi adalah sosis sapi dengan rata-rata frekuensi konsumsi 7.6±4.6 kali/ minggu (21.1%). Pangan sumber protein nabati yang paling sering dikonsumsi adalah tempe dengan ratarata frekuensi konsumsi 7.4±4.6 kali/ minggu (26.3%). Sayuran yang paling tinggi dikonsumsi adalah sop kol dan wortel dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.4±2.1 kali/ minggu (10.5%). Buah yang paling tinggi frekuensi konsumsinya adalah papaya dengan rata-rata frekuensi 1.7±2.4 kali/ minggu (13.2%). Sumber susu dan olahannya yang paling tinggi frekuensinya adalah susu kental manis dengan rata-rata frekuensi 3.7±3.3 kali/minggu (44.7%). Rata-rata konsumsi energi siswa adalah 1359 Kalori dan rata-rata konsumsi protein siswa adalah 35.3 gram, sedangkan rata-rata tingkat kecukupan gizi energi dan protein masing-masing sebesar 65.8% dan 69.9%. Lebih dari 70% siswa kelas 4 SDN 09 terbiasa mengerjakan PR di rumah. Sebesar 55.3% siswa tidak terbiasa mengulang kembali pelajaran di rumah, sedangkan sebanyak 60.5% siswa terbiasa ditemani belajar oleh orangtuanya. Sebesar 50% siswa memiliki meja khusus untuk belajar. Sebagian besar (39.5%) siswa meluangkan waktunya untuk kursus. Sebanyak 60.5% siswa tidak memiliki ruang belajar untuk belajar di rumah. Sebesar 100% siswa memiliki buku pelalajaran yang lengkap. Sebagian besar (52.6%) siswa tidak memiliki alat tulis lengkap. Berdasarkan uji korelasi Pearson, durasi pemberian ASI, durasi pemberian ASI esksklusif berhubungan signifikan dengan IQ, sedangkan nilai raport matematika siswa berhubungan nyata dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, konsumsi protein hewani, mengerjakan PR di rumah, mengulang kembali pelajaran, orangtua menemani saat belajar, memiliki ruang belajar, memiliki alat tulis sekolah, memiliki meja khusus belajar, IQ, dan usia. Tingkat kecukupan protein, konsumsi protein hewani, mengerjakan PR di rumah, mengulang kembali pelajaran, orangtua menemani saat belajar, memiliki ruang belajar, memiliki alat tulis sekolah, memiliki meja khusus belajar, dan IQ berhubungan nyata dengan THB matematika siswa. Hasil uji korelasi Rank Spearman terdapat hubungan nyata antara tingkat pendidikan ibu dengan IQ.
HUBUNGAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI, POLA KONSUMSI PANGAN, DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP KECERDASAN LOGIKA MATEMATIKA ANAK SDN 09 PAGI JAKARTA UTARA
AULIA MASRUROH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul
Nama NRP
: Hubungan Praktek Pemberian ASI, Pola Konsumsi Pangan, dan Fasilitas Belajar terhadap Kecerdasan Logika-Matematika Anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara : Aulia Masruroh : I14070089
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS NIP. 19600202 198403 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA Segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Rabb semesta Alam, Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan berbagai nikmatNya kepada kita selaku hamba-Nya. Tak lupa shalawat serta salam yang senantiasa penulis hanturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Atas berkat izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul „Hubungan Praktek Pemberian ASI, Pola Konsumsi Pangan, Fasilitas Belajar terhadap Kecerdasan Logika-Matematika Anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara‟. Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan Pembimbing Akademik
yang telah banyak meluangkan waktu dan
pikirannya, memberikan arahan, kritik, dan saran hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku Dosen Pemandu Seminar dan Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan masukannya. 3. Abah, Ibu, dan nenek tercinta atas kasih sayangnya, dukungan, dan doa yang tak pernah berhenti diberikan kepada penulis dalam setiap perjalanan kehidupan. 4. Adik-adik tercinta Khairunnisa dan Miftah Abdul Majid yang telah banyak memberikan dorongan semangat, warna, dan kebahagian bagi penulis. 5. Kepala Sekolah dan Staf Tata Usaha serta guru-guru SDN 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara atas keramahan dan kesediaan dalam membantu pengambilan data. 6. Sahabat-sahabatku Nonly, Deviani, Itni, Yunda, Ezria, Ria, atas dukungan, kenangan, dan membantu penulis dalam pengolahan, serta penyusunan skripsi ini. 7. Sahabat-sahabatku di Tiara (Ria, Fastasqi, Nani, Teh Tatay, Resta, Alfa, Ayu, Desti, Icha, Medal, Teh Tati, Wida, Afticha, Lida dan Desi) atas kebersamaannya, kehangatan, keceriaan, dukungan serta persaudaraannya selama ini. 8. Keluargaku Gizi Masyarakat 44 dan teman-teman di IPB yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
viii
9. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skrispsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga Allah membalas segala kebaikan dengan pahala dan kebaikan yang lebih besar dan semoga skrispsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, November 2011
Aulia Masruroh
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 23 September 1990 di Jakarta. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Drs. Sukandi Syah, MPd dan Ibu Dra. Suryati, MPd. Tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Al-Huda Jakarta Utara, dan melanjutkan ke pendidikan dasar di SDN 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara setelah itu melanjutkan ke jenjang menengah pertama di SMPN 34 Pademangan Timur Jakarta Utara hingga tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan ke SMAN 1 Jakarta Pusat dan menamatkannya pada tahun 2007 Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Angkatan 44 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Selama masa kuliah penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, antara lain sebagai Staf Departemen Komunikasi dan Informasi BEM TPB, Bendahara Rohis Kelas di Masa TPB, Staf Birena Al-Hurriyah, Staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kewirausahaan BEM FEMA tahun 2008, Staf Divisi Syiar Islam Forum Syiar Islam FEMA (Forsia) tahun 2008, Reporter Majalah Pangan Emulsi tahun 2009-2011. Penulis juga ikut aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti, MPKMB 45 tahun 2008, MPF (Masa Perkenalan Fakultas) FEMA “HERO 45” dan MPD (Masa Perkenalan Departemen) Gizi “Nutrient 45” tahun 2009. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Kursus Bahasa Jepang tahun 2010. Tanggal Juli-Agustus 2010 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Kelurahan Pangkalan Kerinci Barat, Kecamatan pangkalan Kerinci, Pelalawan, Riau. Mei 2011 penulis mengikuti Internship Dietetik (ID) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................xii DAFTAR GAMBAR .............................................................................................xii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv PENDAHULUAN.................................................................................................. 1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 Tujuan .......................................................................................................... 3 Tujuan Umum…………………………………………………………………...3 Tujuan Khusus…………………………………………………………………..3 Hipotesis ....................................................................................................... 4 Kegunaan ..................................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5 Praktek Pemberian ASI (0 - 2 Tahun) ........................................................... 5 Karakteristik Keluarga dan Siswa ................................................................. 9 Pola Konsumsi Pangan .............................................................................. 11 Metode Pengukuran Konsumsi Makanan ................................................... 12 Kebiasaan Makan ....................................................................................... 14 Perkembangan Kecerdasan Anak .............................................................. 14 Proses dan Sarana Belajar ......................................................................... 19 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 21 METODE PENELITIAN...................................................................................... 24 Desain, Tempat, dan Waktu ....................................................................... 24 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ........................................................... 24 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................ 24 Pengolahan dan Analisis Data .................................................................... 26 Definisi Operasional.................................................................................... 28 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 31 Gambaran Umum Sekolah ......................................................................... 31 Karakteristik Siswa ..................................................................................... 31 Jenis Kelamin, Usia, dan Uang Saku……………………………………….31 Status Gizi……………………………………………………………………...32 Karakteristik Keluarga Siswa ...................................................................... 33 Besar Keluarga Siswa………………………………………………………...32 Usia Orangtua Siswa………………………………………………………….33 Kondisi Sosial Ekonomi………………………………………………………34 Praktek Pemberian ASI .............................................................................. 36 Praktek Pemberian ASI Eksklusif……………………………………………35 Pemberian ASI………………………………………………………………...36 Pemberian Susu Formula…………………………………………………….37 Kecerdasan Logika Matematika .................................................................. 39 Nilai Intelligence Quotient Siswa…………………………………………….38 Prestasi Belajar Matematika…………………………………………………39 Kebiasaan Makan Siswa............................................................................. 41 Frekuensi Makan Sehari……………………………………………………...40
xi
Kebiasaan Sarapan…………………………………………………………...41 Kebiasaan Minum Sehari…………………………………………………….41 Konsumsi Pangan Hewani…………………………………………………...42 Konsumsi Pangan Nabati…………………………………………………….43 Konsumsi Sayur……………………………………………………………….43 Konsumsi Buah………………………………………………………………..44 Kebiasaan Membawa Bekal Ke Sekolah…………………………………...45 Kebiasaan Membawa Air Minum Ke Sekolah……………………………...45 Kebiasaan Jajan di Sekolah………………………………………………….46 Frekuensi Konsumsi Pangan ...................................................................... 47 Konsumsi Pangan dan Tingkat Kecukupan Gizi ......................................... 49 Tingkat Kecukupan Zat Gizi………………………………………………….49 Fasilitas Belajar .......................................................................................... 51 Hubungan antar Variabel ............................................................................ 53 Hubungan Durasi Pemberian ASI Eksklusif dengan IQ…………………..53 Hubungan Durasi Pemberian ASI dengan IQ……………………………...53 Hubungan Karakteristik Orangtua dengan IQ……………………………...54 Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Prestasi Belajar………..55 Hubungan Konsumsi Protein Hewani dan Nabati dengan Prestasi……..57 Hubungan Fasilitas Belajar dengan Prestasi Belajar Matematika……….57 Hubungan Karakteristik Siswa dengan Prestasi Belajar Matematika……58 Hubungan Karatkteristik Keluarga dengan Prestasi Belajar……………...60 Hubungan IQ dengan Prestasi belajar Matematika……………………….60 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 63 Kesimpulan ................................................................................................. 63 Saran .......................................................................................................... 65 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 66
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain……...........6
2
Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan zat gizi lain………………………………………………………………............12
3
Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu…………………….........32
4
Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga siswa……………........34
5
Sebaran siswa berdasarkan kondisi sosial ekonomi keluarga……….........35
6
Sebaran riwayat pemberian ASI eksklusif di SD Negeri 09…………..........37
7
Sebaran siswa berdasarkan durasi pemberian ASI…………………...........37
8
Sebaran siswa berdasarkan pemberian susu formula………………..........38
9
Sebaran siswa berdasarkan skor intelligence quotient……………….........40
10
Sebaran siswa berdasarkan prestasi belajar matematika……………........40
11
Sebaran siswa berdasarkan frekuensi makan…………………………........41
12
Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan sarapan……………………...........42
13
Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan minum susu, jumlah susu yang biasa diminum setiap hari, jenis konsumsi susu………….........43
14
Sebaran siswa menurut kebiasaan mengonsumsi lauk hewani dan jenis lauk hewani yang dikonsumsi………………………………...........43
15
Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan mengonsumsi lauk nabati……………………………………………………………………….........44
16
Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan mengonsumsi sayur………..........44
17
Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan mengonsumsi buah………...........45
18
Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan membawa bekal ke sekolah dan jenis bekal yang dibawa…………………………………...........46
19
Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan membawa air minum dan jenis air minum yang dibawa ke sekolah………………………….........46
20
Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan jajan dan jenis jajanan yang sering dibeli………………………………………………………….........47
21
Sebaran siswa berdasarkan frekuensi konsumsi pangan per minggu…………………………………………………………………........48
22
Konsumsi zat gizi, AKG, TKG siswa…………………………………….........50
23
Sebaran siswa menurut tingkat kecukupan energi……………………........51
24
Sebaran siswa menurut tingkat kecukupan protein…………………...........51
25
Sebaran fasilitas belajar siswa…………………………………………..........52
26
Hubungan IQ dengan beberapa variabel……………………………….........53
xiii
27
Sebaran siswa berdasarkan ASI eksklusif dan IQ…………………….........54
28
Hubungan prestasi belajar matematika dengan beberapa variabel……………………………………………………………………..........56
29
Sebaran siswa berdasarkan status gizi dan prestasi belajar matematika………………………………………………………………...........61
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Skema kerangka pemikiran……………………………………………...........23
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kuesioner Penelitian (diisi oleh siswa)………………………………..................74 2 Kuesioner Penelitian (diisi oleh orangtua)……………………………................83
PENDAHULUAN Latar Belakang Hakikat manusia pada umumnya tidak bisa lepas dari orang lain, begitu pula dengan anak manusia banyak memerlukan pertolongan dari kedua orangtua. Peran orangtua sangat dominan terutama ibu. Ibu yang mengandung, melahirkan, menyusui, membesarkan, dan membimbing. Dalam hal menyusui, seorang ibu harus pandai dan selektif terutama dalam memanfaatkan karunia illahi yaitu dengan memberikan ASI pada anaknya. Selain itu, ibu juga harus selektif
dalam
memilih
makanan
yang
baik
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangan anaknya, karena anak merupakan asset bangsa, pewaris sekaligus sebagai generasi penerus bangsa. Oleh sebab itu anak diharapkan dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya sehingga menjadi orang dewasa yang sehat secara fisik, mental, sosial, dan emosionalnya dapat berkembang secara optimal sehingga menjadi SDM yang berkualitas. Menurut Bierley dalam Megawangi et al. (2005) menyatakan bahwa bukti dari penelitian otak menunjukkan
potensi,
fleksibilitas,
dan
kelenturan
otak
anak-anak
menggambarkan dengan jelas akan pentingnya masa-masa prasekolah dan sekolah dasar. Menurut WHO-UNICEF pada tahun 2002 dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding menerapkan cara pemberian makan pada bayi yang baik dan benar yaitu menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan dan mulai umur 6 bulan, bayi mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Data Susenas (2007-2008) cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0–6 bulan di Indonesia menunjukkan penurunan dari 62.2% (2007) menjadi 56.2% (2008). Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28.6% (2007) menjadi 24.3% (2008). Sementara jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16.7 persen pada 2002 menjadi 27.9 persen pada 2003 (Riskesdas 2010). Berdasarkan hasil penelitian UNICEF di Indonesia setelah krisis ekonomi dilaporkan bahwa hanya 14% bayi yang disusui dalam 12 jam setelah kelahiran. Kolostrum dibuang oleh kebanyakan ibu karena dianggap kotor dan tidak baik bagi bayi. UNICEF juga mencatat penurunan yang tajam dalam menyusui berdasarkan tingkat umur diketahui bahwa 63% sejumlah bayi disusui hanya pada bulan pertama, 45% bulan kedua, 30% bulan ketiga, 19% bulan keempat,
2
12% bulan kelima dan hanya 6% pada bulan keenam bahkan lebih dari 200.000 bayi atau 5% dari populasi bayi di Indonesia saat itu tidak disusui sama sekali (Kamalia 2005). Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dari 1997 hingga 2002, jumlah bayi usia enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif menurun dari 7.9% menjadi 7.8%. Sementara itu, hasil SDKI 2007 menunjukkan penurunan jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif hingga 7.2%. Pada saat yang sama, jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16.7% pada 2002 menjadi 27.9% pada 2007. UNICEF menyimpulkan, cakupan ASI eksklusif enam bulan di Indonesia masih jauh dari rata-rata dunia, yaitu 38% (Riskesdas 2010). Pemberian ASI sejak bayi lahir akan berkembang menjadi anak yang cerdas. Kandungan asam lemak omega-3 dan omega-6 yang terkandung di dalam ASI sangat berperan dalam penyusunan sel-sel otak (Khomsan & Ridhayani 2008). Penelitian oleh James W. Anderson, seorang ahli dari universitas Kentucky menunjukkan bahwa kemampuan otak pada bayi yang diberi ASI lebih baik daripada bayi yang diberi susu buatan pabrik. Berdasarkan hasil penelitian ditetapkan bahwa ASI yang diberikan hingga 6 bulan bermanfaat bagi kecerdasan bayi, dan anak yang disusui kurang dari 8 minggu tidak memberi manfaat pada IQ (Yahya 2005 dalam Mindasa 2007).
Mencapai
tumbuh kembang yang optimal dibutuhkan zat gizi yang adekuat melalui pemberian makanan yang sesuai dengan tingkat kemampuan konsumsi anak, tepat jumlah (kuantitas) dan tepat mutu (kualitas), oleh karena kekurangan maupun kelebihan zat gizi, akan menimbulkan gangguan kesehatan, status gizi maupun tumbuh kembang (Samsuddin 2002 dalam Nilawati 2006). Menurut Brown dan Pollit (1996) menyatakan bahwa pengaruh asupan zat gizi terhadap gangguan perkembangan anak melalui menurunnya status gizi. Status gizi yang kurang tersebut akan menimbulkan kerusakan otak, sakit, dan penurunan pertumbuhan
fisik.
Ketiga
keadaan
ini
akan
berpengaruh
terhadap
perkembangan intelektual. Gangguan perkembangan yang tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial. Inteligensi atau kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam arti kapasitas yang dimiliki individu sehingga memungkinkan seseorang untuk belajar, memecahkan masalah, dan melakukan tugas-tugas kognitif tingkat tinggi lainnya.
3
Kecerdasan setiap orang berbeda-beda, ada yang cepat memahami apa yang dipelajari dan ada juga yang lamban dalam memahami apa yang dipelajari. Kecerdasan setiap orang dapat dilihat dari hasil yang dicapai atau biasa disebut dengan prestasi. Prestasi belajar setiap orang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat intelegensi dan fasilitas belajar (Suryabrata 2005). Hasil dari intelegensi setiap orang khususnya siswa dapat diperoleh dengan cara mengukur intelegensi atau biasa disebut dengan tes IQ. Pemenuhan fasilitas belajar yang baik dapat mendorong siswa untuk rajin belajar. Fasilitas belajar sangat mempengaruhi prestasi belajar siswa karena pemenuhan fasilitas belajar yang memadai dan lengkap akan mendorong siswa untuk
mendapat hasil yang
maksimal
(Suryabrata
2005).
Berdasarkan
persentase cakupan ASI yang masih rendah dan ada atau tidak hubungannya dengan kecerdasan anak, serta ada atau tidak hubungannya konsumsi pangan dan fasilitas belajar terhadap prestasi belajar anak, peneliti tertarik untuk mempelajari hubungan praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika matematika anak di SDN 09 Pagi Jakarta Utara.
Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasaan logika-matematika anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Tujuan Khusus 1. Mengetahui karakteristik orangtua (usia, besar keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan) dan siswa di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (usia, jenis kelamin, uang saku, dan status gizi). 2. Mempelajari praktek pemberian ASI di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (praktek ASI dan alasannya, durasi pemberian ASI, pemberian susu non-ASI). 3. Mengetahui kecerdasan logika-matematika siswa di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (IQ dan prestasi belajar matematika). 4. Mengidentifikasi kebiasaan konsumsi pangan siswa. 5. Mengidentifikasi fasilitas belajar siswa. 6. Menganalisis hubungan antara praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika matematika anak.
4
Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan,
dan fasilitas belajar
berhubungan dengan kecerdasan logika-
matematika. Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pentingnya, praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika-matematika anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya serta Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan pada khususnya untuk lebih memperhatikan praktek pemberian ASI, konsumsi pangan, dan fasilitas belajar sehingga dapat meningkatkan kecerdasan logika matematika anak. Selain itu, informasi ini dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA Praktek Pemberian ASI (0 - 2 Tahun) ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. ASI mengandung semua zat gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi selama enam bulan (Roesli 2000). ASI merupakan jaringan kehidupan yang tidak terstruktur, seperti darah, dan dapat mentransportasikan zat gizi yang digunakan untuk sistem biokimia, memperkuat sistem imunitas dan menghancurkan pathogen (Riordan 2005). Menurut Muchtadi (2002) ASI merupakan makanan satu-satunya yang eksklusif bagi bayi di tahun pertama kehidupannya. ASI juga merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi karena mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh manusia ataupun yang berasal dari susu hewan, seperti susu sapi, susu kerbau, atau susu kambing (Krisnatuti et al. 2006). Eckhardt et al. (2001) menyatakan bahwa pemberian ASI secara penuh selama minimal empat bulan pertama dapat meningkatkan pertumbuhan fisik bayi. Pemberian ASI dapat menumbuhkan kasih sayang dan ikatan emosional antara ibu dan bayinya, yang sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasan anak di kemudian hari (Sulistijani dan Herlianty 2003). ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat (Gibney et al. 2005). ASI eksklusif yakni memberikan ASI saja sampai anak berusia 6 bulan kini semakin sulit dipraktikkan oleh ibu-ibu di perkotaan. Kesibukan karir menjadi hambatan utama seorang ibu untuk menyusui anaknya dengan sempurna. Selain itu, ada juga ibu-ibu yang tidak bisa menyusui anaknya karena putting tidak keluar, produksi ASI kurang, dan lain-lain (Khomsan 2004). Pentingnya pemberian ASI telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 1990an, mulai dengan kampanye pemberian ASI eksklusif 4 bulan, kemudian dilanjutkan dengan kampanye pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan. Menurut petunjuk Bina Gizi Masyarakat, pengertian ASI eksklusif adalah hanya memberikan ASI saja sampai bayi berumur 6 bulan. Bahkan pemberian ASI harus dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun yang tentunya disertai dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai (Nurmiati dan Besral 2008). Pertemuan bersama antara perwakilan WHO dan UNICEF pada tahun 1990 di
6
Italia menghasilkan Deklarasi Innocenti tentang Perlindungan, Promosi, dan Dukungan pada Pemberian ASI. Deklarasi tersebut mendefinisikan bahwa pemberian makanan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari saat lahir hingga bayi berusia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua kehidupan, sementara makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika bayi berusia 6 bulan (Gibney et al. 2005). Dukungan pemerintah Indonesia terhadap hal tersebut diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti Gerakan Nasional Perancangan PP-ASI serta Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas Sayang Bayi (Depkes RI 2004). Roesli (2000) menjelaskan bahwa ASI sebagai makanan tunggal yang memenuhi kebutuhan bayi normal sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat, tetapi ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih. Kandungan Gizi ASI ASI lebih unggul dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu formula, karena kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada susu sapi sehingga tidak memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah dicerna. Selain itu, ASI mengandung lemak dalam bentuk asam amino esensial, asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi (Brown et al. 2005). Perbandingan kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain Zat Gizi Makro ASI Formula Susu Sapi Formula Susu Kedelai (Kalori) (Kalori) (Kalori) Protein 7% 9-12% 11-13% Karbohidrat 38% 41-43% 39-45% Lemak 55% 48-50% 45-49% Sumber: Brown et al. 2005
Durasi Pemberian ASI WHO pada tahun 1991 merekomendasikan durasi pemberian ASI eksklusif pada bayi selama periode 4-6 bulan pertama. Tahun 2001, WHO menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama 6 bulan (Gibney et al. 2005). Fawtrell et al. (2007) mendukung hal ini melalui hasil penelitian yang menyatakan bahwa durasi ASI eksklusif selama 6 bulan lebih optimal dibandingkan 3-4 bulan. The U.S Surgeon General merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan meneruskan ASI sampai 12 bulan, dengan pengenalan makanan padat pada usia 4-6 bulan (Brown et al. 2005).
7
Eastwood (2003) menyatakan pada usia 4-6 bulan bayi membutuhkan makanan MP-ASI karena hanya sedikit ibu yang mampu memproduksi ASI secara cukup untuk kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Penelitian Wigati (2005) menunjukkan
bahwa
pemenuhan
zat-zat
gizi
yang
dibutuhkan
untuk
mengotimalkan kecerdasan pada periode tumbuh otak adalah melalui pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai waktu ideal (24 bulan). Menurut Nurmiati dan Besral (2008) menyatakan bahwa ketahanan hidup bayi yang mendapatkan ASI dengan durasi >6 bulan 33.3 kali lebih baik daripada bayi yang mendapatkan ASI dengan durasi <4 bulan. Menurut Widagdo et al. (2000) menyatakan bahwa lama pemberian ASI sebagian besar sampai 2 tahun (50%). Anak yang diberi ASI sampai 4 bulan hanya sedikit (6%), hal ini disebabkan umur anak yang baru mencapai 4 bulan dan adanya ibu dengan jumlah ASI sedikit dan sibuk bekerja. Manfaat ASI bagi Kecerdasan Otak Anak Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Alan Lucas dan para koleganya di Institute for Child Care di Great Ormond Street Hospital, London menunjukkan bahwa anak-anak yang pada masa bayi menerima setidaknya sedikit ASI memiliki nilai tes IQ yang lebih tinggi dibanding yang hanya mendapat formula standar (Julianto 2010). Penelitian yang dilakukan tahun 1992 di Flinders Medical Center terhadap 32 bayi usia enam bulan menemukan, bayi-bayi yang diberi ASI, kecerdasan mentalnya 40 persen lebih tinggi dibanding bayi-bayi yang mendapat susu non-ASI. Kecerdasan mental pada bayi yang disusui dengan ASI memperlihatkan bayi tersebut tumbuh menjadi orang yang lebih cerdas (Pambudy 2010). Penelitian
lain
juga
telah
membuktikan
bahwa
pemberian
ASI
meningkatkan perkembangan kognitif bayi dan meningkatkan IQ (Jacobson, Chiodo & Jacobson 1999). Tim peneliti di Universitas McGill, Kanada, menemukan bahwa bayi yang mendapat ASI memiliki hasil lebih baik pada tes Intelligent Quotient (IQ) pada usia enam tahun (Perkins & Vannais 2004). Berdasarkan laporan Archives of General Psychiatry, para ilmuwan asal Kanada menemukan fakta bahwa bayi-bayi yang diberi ASI Eksklusif selama tiga bulan pertama, walaupun banyak di antaranya juga mendapat ASI sampai dua belas bulan, mencapai angka rata-rata 5.9 dalam tes IQ. Selain itu, penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa guru-guru yang selalu mengamati kegiatan belajar-
8
mengajar di kelas menyatakan anak-anak yang diberikan ASI memiliki kemampuan akademik lebih tinggi dalam membaca dan menulis, dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mendapat ASI (Perkins & Vannais 2004). Riordan (2005) menjelaskan ASI dapat meningkatkan perkembangan otak, anak yang disusui lebih pintar dibandingkan anak yang tidak disusui. Komposisi ASI yang mengandung protein yang tinggi, memiliki perbandingan antara whey dan casein yang sesuai untuk bayi. ASI mengandung whey lebih banyak yaitu 63:65, sehingga protein ASI lebih mudah dicerna dibandingkan dengan susu sapi. ASI juga mengandung taurin, Dexosahexsanoid Acid (DHA) dan Arachhidonic Acid (AA). Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang berperan penting sebagai neuro-transmitter dan proses maturasi sel otak (Depkes 2001). Pusat Kedokteran RS Anak Cincinnati di Amerika Serikat melakukan penelitian, dengan membandingkan bayi yang diberi ASI dengan bayi yang diberi susu buatan pabrik. James W Anderson mendapatkan hasil, bahwa IQ (tingkat kecerdasan) bayi yang diberi ASI lebih tinggi lima angka dari bayi lainnya (Sara 2006).
Praktek Pemberian Susu Formula Muchtadi (2002) menyatakan bahwa susu formula adalah susu bayi yang berasal dari susu sapi yang telah diformulasikan sedemikan rupa sehingga komposisinya mendekati ASI. Susu formula dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu susu formula adaptasi, susu formula awal, dan susu formula lanjutan. Susu formula adaptasi (adapted formula), adapted berarti disesuaikan dengan keadaan fisiologis bayi. Komposisinya sangat mendekati ASI sehingga cocok untuk digunakan bayi yang baru lahir sampai berumur 4 bulan. Susu formula awal (Complete starting formula), memiliki susunan zat gizi yang lengkap dan dapat diberikan sebagai formula permulaan. Kadar protein dan mineral susu formula ini lebih tinggi dari susu formula adaptasi. Susu formula lanjutan (followup formula), diberikan bagi bayi berumur 6 bulan ke atas. Kandungan protein dan mineralnya lebih tinggi daripada susu formula sebelumnya. Susu formula biasanya diberikan sebagai makanan tambahan dan sebagai pengganti ASI (PASI). Susu formula sebagai makanan tambahan karena anak menangis terus atau karena ibu merasa ASInya kurang, sedangkan susu formula sebagai pengganti ASI (PASI) karena ASI tidak keluar atau anaknya
9
tidak mau ASI, anak sudah disapih, anak ditinggal bekerja, anjuran dari paramedis atau bidan (Fitrisia 2002). Adanya beragam kekuatan sosial yang mendorong ibu-ibu untuk memberikan ASI dan susu botol kepada bayinya. Kekuatan sosial yang mendukung pemberian ASI kepada bayi antara lain sikap ibu yang alami, pertimbangan ekonomi, konservasi sumber daya dan lingkungan, kritikan terhadap industri makanan bayi, pengetahuan ilmiah baru dan perhatian lembaga internasional dan nasional (WHO, UNICEF, ILO, FAO, dan International Pediatric Assosiacion). Kekuatan sosial yang mendorong para ibu menyusui bayinya dengan susu botol adalah struktur keluarga dan peranan ibu, meningkatnya urbanisasi, dan sikap komersialisme pengusaha makanan bayi. Karakteristik Keluarga dan Siswa Besar Keluarga Besar Keluarga mempunyai pengaruh pada konsumsi pangan, jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali lebih besar jika dibandingkan pada keluarga kecil. Pada keluarga dengan keadaan ekonomi kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan perumahan pun tidak terpenuhi (Berg 1986). Menurut Suhardjo (1996), semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982). Pendidikan Campbell (2002) menyatakan bahwa pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berpikir yang lebih baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi (Soewondo & Saidi 1990). Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak, termasuk didalamnya pemberian makan. Suhardjo (1996) mengatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan
10
jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Tingkat pendidikan orangtua yang lebih tinggi akan lebih memberikan stimulasi lingkungan (fisik, sosial, emosional, dan psikologis) bagi anak-anaknya dibandingkan dengan orangtua yang tingkat pendidikannya rendah. Pendapatan Pendapatan adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh seseorang dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas
lain,
seperti
pendidikan,
perumahan,
kesehatan,
dan
lain-lain
(Hardinsyah 1997). Hapsari (2005) menjelaskan bahwa orang tua yang berasal dari keadaan ekonomi baik, akan memiliki lebih banyak waktu untuk membimbing anak karena tidak lagi memikirkan keadaan ekonomi. Jenis Pekerjaan Besar pendapatan yang diterima oleh individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar (Suhardjo 1989). Uang Saku Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan, dan bulanan. Perolehan uang saku menjadi suatu kebiasaan sehingga diharapkan anak dapat belajar bertanggung jawab untuk mengelola uang saku yang dimiliki (Napitu 1994).
Status Gizi Status gizi rendah disebabkan kurang asupan makanan. Makanan hanya mampu bertahan dalam lambung 6-8 jam, setelah itu lambung kosong karena sari-sari makanan telah diserap dan diedarkan ke seluruh tubuh, maka untuk memenuhi kebutuhannya akan terjadi pemecahan glikogen, sehingga terjadi deplesi jaringan yang kemudian menyebabkan perubahan biokimia, perubahan fungsional dan perubahan anatomis tubuh. Jika hal tersebut berlangsung lama
11
akan menyebabkan glukosa darah ke otak berkurang sehingga anak tidak konsentrasi dalam belajar dan daya ingat rendah sehingga prestasi belajar pun rendah (Soekirman 2002). WHO (1995) merekomendasikan z-score untuk mengevaluasi data antropometri anak, khususnya di negara berkembang, karena anak yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat. Penentuan status gizi seseorang diukur dengan menggunakan metode antropometri melalui perhitungan indeks IMT/U. Indeks IMT/U ini digunakan untuk seseorang yang berusia 9-24 tahun berdasarkan nilai z-score. Seseorang dikatakan kurus bila -3 SD ≤ z ≤ -2 SD, normal bila -2 SD ≤ z ≤ +1 SD, kegemukan bila +1 SD ≤ z ≤ +2 SD, dan obesitas bila z ≥ +2 SD (WHO 2007).
IMT
= Pola Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi tertentu yang diperlukan oleh tubuh. Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, masalah pengupahan (kebutuhan hidup minimal), ukuran kemiskinan, serta perencanaan ketersediaan dan produksi pangan daerah (Hardinsyah et al 2002). Konsumsi pangan sehari-hari bagi sebagian besar penduduk di negaranegara berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1) Produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, 2) Pengeluaran uang untuk keperluan pangan rumah tangga, 3) Tersedianya pangan yang dipengaruhi oleh produksi dan pengeluaran uang untuk keperluan pangan rumah tangga (Harper et al 1986). Kebutuhan zat gizi akan terjamin pemenuhannya dengan cara mengkonsumsi makanan yang beragam. Konsumsi pangan beragam akan memberikan mutu yang lebih baik daripada makanan yang dikonsumsi secara tunggal atau masingmasing pangan yang menyusunnya, hal ini terjadi karena adanya efek saling mengisi (Suhardjo 1989).
12
Makanan yang anak-anak konsumsi sebaiknya mengandung sekurangkurangnya tiga zat gizi. Jumlah makanan yang mereka butuhkan tergantung pada ukuran tubuh, umur, dan aktivitas tubuhnya. Jika anak-anak hanya menunggu jam makan keluarga, mereka sering merasa lapar, ada baiknya anak diberi makanan selingan atau memberi makan dengan frekuensi yang lebih sering (Nasution dan Riyadi 1994). Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif maupun kuantitatif. Parameter kualitatif meliputi nilai sosial, ragam jenis, bahan makanan, dan cita rasa, sedangkan parameter kuantitatif adalah komposisi zat gizi. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG) atau Recomended Dietary Allowances (RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi esensial yang harus dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat untuk mencegah defisiensi zat gizi. AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan, dan genetika (FKMUI 2009). Berikut ini adalah tabel Tingkat Kecukupan Energi dan zat gizi lainnya. Tabel 2 Klasifikasi Tingkat Kecukupan Energi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi lain Zat gizi Klasifikasi Tingkat Kecukupan Energi dan protein Defisit berat ≤70% kebutuhan Defisit sedang 70-79% kebutuhan Defisit ringan 80-89% Normal 90-119% Diatas angka kebutuhan ≥ 120% Vitamin dan mineral Kurang ≤ 77% angka kecukupan Cukup ≥ 77% angka kecukupan Sumber: Gibson 2005
Metode Pengukuran Konsumsi Makanan Penilaian konsumsi makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok (Supariasa 2002). Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan. Frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi MentahMasak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (Supariasa 2002)
13
Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency) Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan, atau tahun. Kelebihan metode frekuensi makanan yaitu: relatif murah, dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak membutuhkan latihan khusus, dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan. Sedangkan kekurangannya yaitu: tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari, sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data, cukup menjemukan bagi pewawancara, perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner, responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi. Kuesionernya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Supariasa 2002). Frekuensi konsumsi pangan dikelompokkan menjadi empat yaitu sering (≥5 kali/minggu), kadang-kadang (3-4 kali/minggu), jarang (1-2 kali/minggu), dan tidak pernah (0 kali/minggu). Metode Mengingat-ingat (Food Recall Method) Prinsipnya metode ini dilakukan dengan cara mencatat jenis dan jumlah bahan yang dikonsumsi pada masa lalu (biasanya 24 jam yang lalu) melalui wawancara. Penaksiran jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menanyakan dalam bentuk ukuran rumah tangga (URT) seperti potong, ikat, gelas, piring, atau alat lain yang biasa digunakan di rumah tangga. Selanjutnya dikonversi ke dalam satuan gram. Agar diperoleh hasil yang teliti maka perlu dilatih sebelumnya mengenai penggunaan URT dan mengkonversikannya ke satuan berat (Hardinsyah et al 2002). Metode ini mempunyai kelemahan dalam tingkat ketelitiannya, karena keterangan-keterangan yang diperoleh adalah hasil ingatan responden. Namun, kelemahan ini dapat diatasi dengan memperpanjang waktu survei (lebih dari 1x24 jam). Kelebihan dari metode ini adalah murah dan sederhana. Metode ini direkomendasikan untuk survei konsumsi pangan dalam rangka memperoleh gambaran (representasi) dari populasi. Metode ini bisa digunakan untuk individu dan keluarga (Hardinsyah et al 2002).
14
Kebiasaan Makan Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengonsumsi sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, dan sosial budaya (Sanjur 1982). Menurut Wirakusumah (1994) kebiasaan makan keluarga menjadi contoh bagi generasi muda dalam keluarga tersebut. Kebiasaan makan adalah faktor penting yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Variasi makanan diperkirakan dapat mengurangi risiko terhadap penyakit dan dapat mencegah penyakit. Kebiasaan makan mencerminkan terjadinya kelebihan asupan dan penyakit akibat gizi (Atmarita 2004). Kebiasaan makan yang tergesa-gesa, termasuk kurang mengunyah akan membawa
efek
yang
kurang
menguntungkan
bagi
pencernaan
dan
mengakibatkan cepat merasa lapar kembali. Rasa lapar yang sering muncul akan berakibat pada konsumsi makanan yang tidak tepat pada waktunya dan bertambahnya intik makanan. begitu pula jika frekuensi makan tidak teratur, jarak antara dua waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecendrungan untuk makan lebih banyak dan melebihi kebutuhan (Wirakusumah 1994). Faktor kebiasaan makan, disamping faktor genetik, lingkungan, perilaku dan sosial budaya adalah faktor utama yang menjadi pemicu ketidakmampuan tersebut (Blackburn 2001).
Perkembangan Kecerdasan Anak Kemampuan berpikir anak mula-mula berkembang melalui kelima inderanya, misalnya melihat warna-warna, mendengar suara atau bunyi, mengenal rasa dan lain-lain. Kemudian melalui kata-kata yang didengar dan diajarkan, anak mengerti bahwa segala hal itu ada namanya. Daya pikir dan pengertian mula-mula terbatas pada apa yang dilihat dan dipegang atau dimainkan. Melalui bermain-main serta ajaran yang diberikan orangtua atau orang lain, anak setahap demi setahap mengenal, mengerti lingkungannya, dan memiliki kemampuan memecahkan persoalan. Anak akan memiliki bermacam pengertian/konsep seperti: konsep tentang benda, warna, manusia, dan bentuk. Semua konsep atau pemikiran ini kemudian akan berkembang ke tingkat yang lebih tinggi, yang lebih abstrak dan majemuk, misalnya mengerti dan menggunakan konsep sama-berbeda, bertambah-berkurang, sebab akibat, dan lain-lain (Depkes 1997).
15
Perkembangan mempunyai arti suatu pola perubahan (change) atau pergerakan (movement) yang dimulai dari periode konsepsi (di dalam kandungan) dan berlangsung terus-menerus sepanjang siklus hidup (life cycle). Perkembangan meliputi pertumbuhan dengan pola pergerakan yang kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses yang simultan yaitu proses biologi, kognitif, dan sosial. Ketiga proses ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya (Santrock 1975 dalam Hurlock 1999). Perkembangan fisik seseorang telah dimulai sejak masih berupa janin dalam kandungan dan sedikit demi sedikit berhenti sekitar 21 tahun. Perkembangan otak seseorang telah dimulai sejak janin masih berusia 3 bulan dalam kandungan ibu dan mengalami laju sangat pesat selama 3 tahun pertama setelah lahir. Pada usia tujuh bulan, perkembangan otak mencapai lebih dari 95 persen. Sejak usia tujuh bulan sampai mencapai usia dewasa, perkembangan otak berjalan sangat lambat sampai mencapai puncaknya pada usia 20-21 tahun pada pria selanjutnya, secara kontinu otak mengalami penyusutan berat dengan tingkat rata-rata 1 gram setiap tahun (Winarno dan Ong 2007). Pencapaian suatu kemampuan pada setiap anak bisa berbeda-beda, namun demikian ada patokan umur tentang kemampuan apa saja yang perlu dicapai seorang anak pada umur tertentu. Perkembangan pada anak meliputi perkembangan gerakan (motorik), perkembangan komunikasi aktif dan pasif, perkembangan kecerdasan (kognisi), dan perkembangan kemampuan menolong diri sendiri dan kemampuan sosialisasi (Depkes 1997). Kecerdasaan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal selalu menunjukkan kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya. Semakin tinggi kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk mencapai prestasi yang tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk mencapai prestasi yang tinggi (Hawadi 2001). Oleh karena itu, intelegensi yang baik atau kecerdasan yang tinggi merupakan faktor yang sangat penting bagi seorang anak dalam usaha belajar. Menurut Gardner dalam Armstrong (2002), kecerdasan terbagi menjadi 8 jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematika,
16
kecerdasan
spasial,
kecerdasan
kinestetik-jasmani,
kecerdasan
musikal,
kecerdasan antarpribadi, kecerdasan intrapribadi, kecerdasan naturalis. Kecerdasan linguistik adalah kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, baik untuk mempengaruhi maupun memanipulasi. Kehidupan sehari-hari kecerdasan linguistik bermanfaat untuk berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis. Pekerjaan yang mengutamakan kecerdasan ini antara lain: guru, orator, bintang film, presenter TV, pengacara, penulis, dan sebagainya. Kecerdasan Logis-Matematis melibatkan ketrampilan mengolah angka dan atau kemahiran menggunakan logika atau akal sehat. Kehidupan sehari-hari kecerdasan ini bermanfaat untuk menganalisa laporan keuangan, memahami perhitungan utang nasional, atau mencerna laporan sebuah penelitian. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan ini antara lain: akuntan pajak, programmer, ahli matematika, ilmuwan, dan sebagainya. Kecerdasan
Spasial
melibatkan
kemampuan
seseorang
untuk
memvisualisasikan gambar di dalam kepala (dibayangkan) atau menciptakannya dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Kecerdasan ini dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan, misalnya: saat menghias rumah atau merancang taman, menggambar atau melukis,menikmati karya seni, dan sebagainya. Pekerjaan yang mengutamakan kecerdasan spasial antara lain: arsitek, pematung/ pemahat, penemu, designer, dan sebagainya. Kecerdasan Kinestetik-Jasmani adalah kecerdasan seluruh tubuh dan juga kecerdasan tangan. Kecerdasan ini dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan, misalnya: membuka tutup botol, memasang lampu di rumah, memperbaiki mobil, olah raga, dansa, dan sebagainya. Jenis pekerjaan yang menuntut kecerdasan ini antara lain: atlet, penari, pemain pantomim, aktor, penjahit, ahli bedah, dan sebagainya. Kecerdasan
Musikal
melibatkan
kemampuan
menyanyikan
lagu,
mengingat melodi musik, mempunyai kepekaan akan irama, atau sekedar menikmati musik. Kehidupan sehari-hari, kecerdasan ini banyak manfaatnya dalam segala hal, misalnya saat menyanyi, memainkan alat musik, menikmati musik di TV / radio, dan sebagainya. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan ini antara lain: penyanyi, pianis / organis, disc jokey (DJ), teknisi suara, tukang stem piano, dan lain-lain. Kecerdasan Antarpribadi melibatkan kemampuan untuk memahami dan bekerja dengan orang lain. Kehidupan sehari-hari, baik untuk pribadi, keluarga,
17
dan pekerjaan, kecerdasan ini dinilai mutlak diperlukan dan seringkali disebut sebagai "yang lebih penting" dari kecerdasan lainnya untuk dapat sukses dalam hidup. Kecerdasan antarpribadi ini melibatkan banyak hal, misalnya kemampuan berempati, kemampuan
kemampuan berteman,
memanipulasi, dan
sebagainya.
kemampuan Segala
"membaca
jenis
orang",
pekerjaan
yang
berhubungan dengan orang lain pastilah membutuhkan kecerdasan ini, terutama publik figure, pemimpin, guru, konselor, dan lain-lain. Kecerdasan Intrapribadi adalah kecerdasan memahami diri sendiri, kecerdasan untuk mengetahui “siapa diri saya sebenarnya”, untuk mengetahui “apa kekuatan dan kelemahan saya”. Kecerdasan ini merupakan kecerdasan untuk bisa merenungkan tujuan hidup sendiri dan untuk mempercayai diri sendiri. Pekerjaan yang menuntut kecerdasan Intrapribadi antara lain: wirausaha, konselor, terapis, dan lain-lain. Kecerdasan Naturalis melibatkan kemampuan mengenali bentuk-bentuk alam di sekitar kita. Kehidupan sehari-hari, seseorang membutuhkan kecerdasan ini untuk berkebun, berkemah, atau melakukan proyek ekologi. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan naturalis antara lain: ahli biologi, dokter hewan, dan lain-lain.
Tingkat Kecerdasan Anak Menurut Gani (1984) dalam Agustina (2003), cara mengukur kecerdasan anak dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, yaitu pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dapat dilakukan dengan psikotes yang menghasilkan ukuran taraf kecerdasan (IQ). Pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan memantau prestasi akademik para murid. Beberapa penelitian membuktikan bahwa berhasil tidaknya pertumbuhan dan perkembangan seseorang anak tidak bisa lepas dari sinergi faktor gizi, kesehatan, intelektual, emosional, dan spiritual secara sinergis. Senjaya (2009), menjelaskan bahwa inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan, (2) kemampuan untuk mengubah arah tindakan setelah tindakan tersebut dilaksanakan, dan (3) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan auto critism. Intelligence Quotient atau IQ adalah skor yang diperoleh dari tes intelegensi. Kecerdasan ini di atur oleh bagian korteks otak yang dapat memberikan
18
kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi (Boeree 2003). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IQ Anak Tinggi rendahnya IQ seorang anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. IQ dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: (1) Faktor Genetik, kecerdasan dapat diturunkan melalui gen-gen dalam kromosom. Oleh karena itu, ayah-ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas pula (Boeree 2003); (2) Faktor Gizi, gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya. Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat berkurangnya jumlah sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja otak tersebut di kemudian hari. Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo et al. (1995), telah membuktikan bahwa status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap inteligensinya; (3) Faktor Lingkungan, lingkungan yang baik adalah lingkungan yang dapat memberikan kebutuhan mental bagi anak. Kebutuhan mental meliputi kasih sayang, rasa aman, pengertian, perhatian, penghargaan serta rangsangan intelektual. Kekurangan rangsangan intelektual pada masa bayi dan balita dapat menyebabkan hambatan pada perkembangan kecerdasannya. Faktor lingkungan lain yang juga mempunyai efek positif terhadap kecerdasan anak antara lain: hubungan orang tua dan anak, tingkat pedidikan ibu, dan riwayat sosial-budaya (Wibowo et al. 1995). Menurut Mc Wayne (2004), anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang rendah mempunyai risiko tertundanya perkembangan kognitif yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang tinggi.
Prestasi Belajar Proses belajar yang dilakukan akan menimbulkan perubahan tingkah laku, yang terjadi karena hasil pengalaman. Proses belajar pada dasarnya ditujukan
untuk:
1)
mendapatkan
pengetahuan
yang
ditandai
dengan
kemampuan berpikir, 2) menanamkan konsep serta keterampilan, dan 3) membentuk sikap (Sardiman 2005). Pencapaian tujuan belajar dimaksudkan untuk memperoleh hasil belajar sebagai evaluasi terhadap proses belajar yang dilakukan.
19
Menurut
Hawadi
(2001),
prestasi
belajar
merupakan
gambaran
penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak dapat berasal dari dalam dirinya sendiri (faktor internal), maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Faktor internal meliputi kecerdasan/intelegensi, bakat, minat, dan motivasi, sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Motivasi berprestasi merupakan salah satu faktor yang berperan pencapaian prestasi seseorang. Motivasi berprestasi berhubungan dengan kebutuhan untuk berprestasi yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam bertindak untuk mencapai prestasi. Selain itu, motivasi berprestasi merupakan kekuatan yang berhubungan dengan pencapaian beberapa standar keunggulan yang merupakan suatu dorongan yang terdapat di dalam diri seseorang untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya (MC Clelland 1976 dalam Setiawati 2007). Menurut Rahayu (1976) dalam Rina (2008) menyatakan bahwa prestasi belajar anak dapat diukur melalui skor prestasi belajar dari beberapa mata pelajaran yang meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Skor prestasi belajar merupakan hasil yang diwujudkan dalam bentuk angka (Soemantri 1978 dalam Agustina 2003). Prestasi belajar siswa dapat diukur melalui skor prestasi belajar dari beberapa mata pelajaran. Skor prestasi belajar merupakan hasil yang diwujudkan dalam bentuk angka. Perubahan positif yang terjadi pada diri anak menunjukkan adanya hasil belajar (Winkel 1996). Keluarga adalah tempat dimana anak memperoleh dasar dalam bentuk kemampuannya agar menjadi orang yang berhasil di masyarakat. Sejak dini anak perlu belajar disiplin waktu dan diri karena kebiasaan disiplin yang sudah terbentuk sejak dini akan memudahkan anak dalam pergaulan dan hubungan sosial. Kebiasaan disiplin diri dan disiplin waktu ini mendukung kelancaran perkembangan kognitif dan prestasi di sekolah (Gunarsa & Gunarsa 2006).
Proses dan Sarana Belajar Orangtua yang bertanggung jawab akan berusaha memenuhi kebutuhankebutuhan anak, baik dari segi fisik seperti makanan, maupun segi psikis seperti kebutuhan akan perkembangan intelektual, melalui pendidikan, perawatan, dan pengasuhan. Hal ini sama dalam proses belajar orangtua perlu memperhatikan ketersediaan sarana dan fasilitas belajar. Sarana dan fasilitas belajar yang
20
umumnya harus dimiliki oleh anak dalam proses belajar meliputi ruang belajar, meja belajar, lampu belajar, buku pelajaran, buku catatan, dan alat tulis. Tersedianya sarana belajar yang memadai memungkinkan anak dapat belajar dengan baik, sehingga memungkinkan anak mencapai prestasi belajar yang baik. Menurut Darman (1984) dalam (Siregar 2003) bahwa salah satu faktor yang menentukan prestasi belajar adalah adanya fasilitas belajar yaitu perlengkapan belajar. Apabila kebutuhan dan perlengkapan belajar kurang terpenuhi dapat membawa akibat yang negatif, misal anak tidak bisa belajar dengan baik sehingga sulit diharapkan untuk mencapai prestasi yang tinggi. Fasilitas
belajar
dapat
mempengaruhi
proses
belajar
seseorang.
Kurangnya fasilitas menyebabkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar yang dimilikinya, sehingga dapat menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademiknya. Segala bentuk kegiatan belajar mutlak diperlukan alat-alat tulis. Semakin lengkap alat tulis yang dimilki maka semakin lancar proses belajarnya (Gunarsa & Gunarsa 2006). Fasilitas yang dibutuhkan anak dalam kegiatan belajar meliputi fasilitas fisik dan non fisik. Fasilitas fisik seperti buku-buku pelajaran, alat tulis. Fasilitas non fisik seperti guru les. Suasana yang nyaman juga berpengaruh terhadap timbulnya minat anak untuk belajar. Oleh karena itu penyediaan ruang atau tempat khusus bagi anak untuk belajar sangat penting diperhatikan. Selain sarana dan fasilitas belajar, proses belajarpun harus diperhatikan untuk mencapai prestasi belajar yang baik. Proses belajar adalah seluruh kegiatan belajar yang dilakukan oleh anak baik ketika di sekolah maupun di rumah. Kegiatan belajar yang dilakukan anak misalnya mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru, pekerjaan sekolah, mempersiapkan diri sebelum ulangan, membaca buku pelajaran secara teratur dan mencatat semua pelajaran yang diberikan oleh guru (Moesono 1986).
KERANGKA PEMIKIRAN ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan eksklusif bagi bayi. ASI tak dapat digantikan oleh makanan atau minuman lainnya, karena ASI mengandung zat gizi yang paling tepat, lengkap dan ideal bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan bayi (Khasanah 2011). Pemberian ASI Eksklusif dapat mencegah bayi dari berbagai penyakit infeksi dan resiko penyakit lainnya karena ASI mengandung zat kekebalan tubuh. Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Alan Lucas dan para koleganya di Institute for Child Care di Great Ormond Street Hospital, London menunjukkan bahwa anak-anak yang pada masa bayi menerima setidaknya sedikit ASI memiliki nilai tes IQ yang lebih tinggi dibanding yang hanya mendapat formula standar (Julianto 2010). Penelitian yang dilakukan tahun 1992 di Flinders Medical Center terhadap 32 bayi usia enam bulan, menemukan bayi-bayi yang diberi ASI, kecerdasan mentalnya 40 persen lebih tinggi dibanding bayi-bayi yang mendapat susu non-ASI. Kecerdasan mental pada bayi yang disusui dengan ASI memperlihatkan bayi tersebut tumbuh menjadi orang yang lebih cerdas (Pambudy 2010). Penelitian lain juga telah membuktikan bahwa pemberian ASI meningkatkan perkembangan kognitif bayi dan meningkatkan IQ (Jacobson, Chiodo & Jacobson 1999). Konsumsi pangan dan praktek pemberian ASI dapat didukung dengan karakteristik orangtua dan karakteristik anak. Karakteristik orangtua berhubungan dengan perkembangan kecerdasan otak anak. Menurut Hurlock (1999) menyatakan bahwa proses perkembangan anak dipengaruhi oleh bentuk, jenis, dan hubungan antara anggota keluarga, serta sikap dan tingkah laku anggota keluarga terhadap anak. Penghasilan orang tua yang rendah menyebabkan terhambatnya perkembangan kognitif anak (Mc Wayne 2004). Menurut Ariani & Purwantini (2010) dalam Paramitadewi (2010), menyatakan bahwa semakin besar pendapatan keluarga maka akan semakin banyak jumlah uang yang dibelanjakan untuk konsumsi. Karakteristik orangtua yang dianalisis hubungannya dengan kecerdasan logika matematika anak dalam penelitian ini antara lain usia, tingkat pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan. Selain itu, karakteristik anak seperti umur, jenis kelamin, dan uang saku juga menjadi variabel yang dianalisis hubungannya dengan kecerdasan logika matematika anak. Keputusan ibu dalam memberikan ASI dan MP-ASI pada anak tidak lepas dari perkembangan kecerdasan anak. Menurut Khasanah (2011) bahwa bayi
22
yang diberi ASI memiliki IQ lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI. Oleh sebab itu kecerdasan anak yang dilihat dari aspek kecerdasan logika-matematika anak diteliti, meliputi IQ dan hasil prestasi belajar matematika (nilai raport matematika dan nilai tes hasil belajar matematika). Faktor luar yang juga berkaitan terhadap kecerdasan logika-matematika anak adalah fasilitas belajar. Intelegensi juga harus didukung oleh fasilitas belajar karena walaupun tingkat intelegensi tinggi namun pemenuhan fasilitas tidak lengkap maka prestasi yang dicapai tidak akan maksimal. Oleh sebab itu, hasil prestasi belajar matematika yang dihubungkan dengan fasilitas belajar diteliti. Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak lepas dari kebiasaan makan. Kebiasaan makan anak yang tidak teratur akan mengakibatkan konsumsi makan menjadi kurang teratur. Konsumsi pangan sangat berhubungan dengan status gizi anak. Jika konsumsi pangan anak tercukupi semua kebutuhan energi dan zat gizinya diharapkan akan menghasilkan status gizi yang baik dan terhindar dari masalah kesehatan kurang gizi. Sebaliknya, jika anak tidak tercukupi semua kebutuhan energi dan zat gizinya maka akan menghasilkan status gizi kurang dan rawan terhadap masalah kesehatan kurang gizi. Status gizi akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak
dan kemampuan anak dalam
menangkap pelajaran di sekolah, sehingga anak yang memiliki status gizi yang kurang, tidak optimal dalam menangkap pelajaran disekolah. Penelitian ini menganalisis hubungan antara karakteristik orangtua dengan praktek pemberian ASI dan pola konsumsi pangan. Selain itu, penelitian ini menganalisis hubungan antara karakteristik orangtua, karakteristik siswa, serta pola konsumsi pangan dengan praktek pemberian ASI dengan fasilitas belajar dengan kecerdasan logika-matematika anak, skema kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
23
Karakteristi orangtua :
Karakteristik siswa :
Usia Pendidikan Pekerjaan Pendapatan
Usia Jenis Kelamin Uang saku Status Gizi
Kebiasaan Makan
Konsumsi Pangan
Praktek Pemberian ASI
Praktek ASI dan alasan pemberian ASI, durasi pemberian ASI, pemberian susu non-ASI
Prestasi Belajar Matematika
Fasilitas Belajar
Intellegence Quotient
Genetik
Keterangan : = variabel yang diteliti
= hubungan yang diteliti
= variabel yang tidak diteliti
= hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1 Skema kerangka pemikiran
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional study, dilakukan di SDN 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara. Pemilihan lokasi sekolah dasar dilakukan secara purposive yaitu sekolah dasar yang sudah mempergunakan test IQ untuk mengukur
tingkat
kecerdasan
anak.
Pemilihan
tersebut
berdasarkan
pertimbangan kemudahan dalam melakukan penelitian. Waktu pengambilan data berlangsung mulai bulan Mei-Juli 2011.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi contoh dalam penelitian ini adalah siswa kelas 4 SDN 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara. Pemilihan populasi contoh dilakukan secara purposive berdasarkan izin dari pihak sekolah. Populasi contoh berjumlah 41 siswa, namun yang termasuk kriteria inklusi berjumlah 38 siswa, sehingga jumlah contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 38 siswa. Kriteria inklusi dalam penarikan contoh penelitian ini yaitu 1) telah melakukan tes IQ untuk mengukur tingkat kecerdasan, 2) bersedia diwawancara, 3) bersedia memberikan keterangan yang lengkap, jelas, dan benar.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga, karakteristik siswa, recall konsumsi pangan, FFQ, kebiasaan makan, fasilitas belajar, dan praktek pemberian ASI. Frekuensi konsumsi contoh yang ditampilkan untuk melihat pola kebiasaan makan dan dilakukan dengan metode recall 2 x 24 jam serta FFQ. Data sekunder mencakup keadaan umum sekolah, tingkat kecerdasan (IQ), hasil prestasi belajar matematika (nilai rapor matematika dan tes hasil belajar matematika). Tingkat kecerdasan (IQ) yang diperoleh adalah tes IQ siswa pada saat pengukuran tes kecerdasan di kelas 4 semester satu di SDN 09 Pagi Pademangan Barat, sedangkan data hasil prestasi belajar matematika yang diperoleh adalah nilai rapor matematika dan tes hasil belajar matematika kelas 4 semester satu. Data karakterisitik siswa dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh siswa. Adapun data yang dikumpulkan meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, serta uang saku. Alat yang digunakan untuk
25
mengukur berat badan adalah timbangan injak, sedangkan alat yang digunakan untuk mengukur tinggi badan adalah microtoise dengan ketelitian 0.1 cm. Data karakteristik sosial ekonomi keluarga (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan keluarga per bulan) serta praktek pemberian ASI dikumpulkan dengan memberikan kuesioner yang diisi oleh orangtua siswa. Data praktek pemberian ASI contoh diperoleh dengan memberikan kuesioner yang diisi oleh orangtua contoh. Kuesioner praktek pemberian ASI berisi informasi tentang praktek pemberian ASI eksklusif dan alasannya, durasi pemberian asi dan asi eksklusif, pemberian susu non ASI, dan mulai diberikan susu non ASI. Data kebiasaan makan meliputi frekuensi makan lengkap setiap hari, kebiasaan sarapan pagi, kebiasaan minum susu, kebiasaan mengkonsumsi lauk hewani, kebiasaan mengkonsumsi lauk nabati, kebiasaan mengkonsumsi sayur dan buah, kebiasaan membawa bekal ke sekolah, kebiasaan membawa air minum ke sekolah, dan kebiasaan jajan di sekolah. Siswa diminta untuk menjawab pertanyaan terbuka mengenai makanan jajanan yang sering dibeli. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dengan menggunakan metode wawancara. Data konsumsi pangan contoh dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dengan metode recall 2 x 24 jam. Data konsumsi pangan meliputi jenis dan jumlah konsumsi pangan yang dikonsumsi selama 2 hari. Menurut Supariasa et al. (2001) bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intik harian individu. Data ukuran jenis dan frekuensi konsumsi pangan selama 1 bulan terakhir dikumpulkan dengan menggunakan Food Frequency Quotientnaire (Supariasa 2002). Ukuran (kemasan) pangan dikelompokkan berdasarkan ukuran rumah tangga (URT). Frekuensi konsumsi pangan dikelompokkan menjadi empat yaitu sering (≥5 kali/minggu), kadang-kadang (3-4 kali/minggu), jarang (1-2 kali/minggu), dan tidak pernah (0 kali/minggu). Data fasilitas belajar dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri oleh siswa. Data fasilitas belajar terdiri atas proses belajar dan sarana
belajar.
Proses
belajar
meliputi
mengerjakan
PR
di
rumah,
mengulangkembali pelajaran di sekolah saat dirumah, belajar ditemani oleh orangtua, sedangkan sarana belajar meliputi kursus yang dilakukan oleh siswa,
26
tempat belajar (meja belajar pribadi di rumah siswa), ruang belajar pribadi, memiliki buku pelajaran yang lengkap, dan memiliki alat-alat tulis. Data mengenai keadaan umum sekolah diperoleh melalui informasi baik lisan maupun tulisan dari pihak guru. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Data yang dikumpulkan melalui wawancara dan pencatatan dikomputerasi dengan menggunakan perangkat lunak Microsft Excell 2007 dan SPSS 16.0 for Windows. Pengolahan data yang dilakukan berupa editing, coding, scoring, entry, dan analisis data. Statistik deskriptif menggambarkan tentang ringkasan data-data penelitian seperti mean dan standar deviasi. Hubungan antar variabel yang berupa data katagorik diuji menggunakan korelasi Spearman sedangkan untuk data numerik digunakan uji korelasi Pearson. Data karakteristik sosial ekonomi terdiri atas jumlah anggota keluarga, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan serta jenis pekerjaan. Jumlah anggota keluarga diklasifikasi menjadi 3 kelompok (≤4, 5, dan >5 orang). Usia orangtua diklasifikasi menjadi 3 kelompok yaitu dewasa muda (20-40), dewasa madya (41-65), dan dewasa tua (≥65). Tingkat pendidikan dibagi menjadi 4 golongan yaitu tidak tamat SD/ tamat SD, tamat SMP atau sederajat, tamat SMA atau sederajat, >SMA (akademik/ D3, Sarjana, dan Pasca Sarjana). Jenis pekerjaan orangtua dibagi menjadi dua bagian yaitu pekerjaan ibu dan ayah. Pekerjaan ibu dibagi menjadi 4 golongan yaitu pegawai, ibu rumah tangga, pedagang, dan lainnya. Pekerjaan ayah dibagi menjadi 4 golongan yaitu pegawai, wiraswasta, pedagang, dan lainnya. Tingkat pendapatan keluarga dibagi menjadi 3 golongan yaitu [1] < Rp 1.000.000, [2] Rp 1.000.000-Rp 2.000.000, [3] > Rp 2.000.000. Data karakteristik anak yang dibutuhkan terdiri dari usia, jenis kelamin, uang saku, dan status gizi. Usia siswa dikempokkan menjadi 3 yaitu ≤ 9 tahun, 10-11 tahun, dan > 11 tahun. Jenis kelamin dikelompokkan menjadi 2 yaitu lakilaki, dan perempuan. Uang saku siswa diolah dengan mengelompokkannya menjadi 4 kategori yaitu ≤Rp 5.000, Rp 6.000-Rp 10.000, Rp 11.000-Rp 15.000, dan >Rp 15.000. Status gizi anak dikelompokkan berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT/U) dengan cara mengukur berat badan dan tinggi badan terlebih dahulu (WHO 2007) yang diperoleh dengan menggunakan rumus:
27
IMT =
Praktek pemberian ASI secara umum terdiri atas praktek ASI eksklusif dan alasannya, durasi pemberian ASI dan ASI Eksklusif. Selain itu, terdapat data praktek pemberian susu non-ASI dan mulai diberikan susu non ASI. Seluruh data tersebut diolah secara deskriptif kemudian hasilnya dianalisis untuk mengetahui hubungan antar variabel. Data hasil prestasi belajar diperoleh melalui nilai rapor matematika dan tes hasil belajar matematika kelas 4 semester satu tahun ajaran 2010-2011. Selanjutnya nilai yang diperoleh dikelompokkan menjadi empat kategori prestasi belajar berdasarkan Pedoman Buku Rapor dari Depdiknas, yaitu kurang (<60), cukup (60-69), lebih dari cukup (70-79), dan baik (>80). Intelligence Quotient diperoleh dari hasil test IQ anak pada saat tes pengukuran tingkat kecerdasan kelas 4 semester satu di SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Selanjutnya skor IQ yang diperoleh
dikelompokkan
menjadi
delapan
kategori
berdasarkan
Taraf
Kecerdasan yaitu sangat kurang (<69), kurang (69-79), rata-rata kurang (80-89), sedang (90-109), rata-rata cerdas (110-119), cerdas (120-139), sangat cerdas (140-160), istimewa cerdas (> 160). Data kebiasaan makan contoh dinilai dari 9 pertanyaan tentang : 1) frekuensi makan lengkap setiap hari; 2) kebiasaan sarapan pagi; 3) kebiasaan mengonsumsi susu; 4) kebiasaan mengonsumsi lauk hewani; 5) kebiasaan mengonsumsi lauk nabati; 6) kebiasaan mengonsumsi sayur dan buah; 7) kebiasaan membawa bekal ke sekolah; 8) kebiasaan membawa air minum; dan 9) kebiasaan jajan. Kriteria jawaban dibagi menjadi empat yaitu : 1) Selalu, jika konsumsinya 5-7 kali/minggu; 2) Kadang-kadang, jika konsumsinya 3-4 kali/minggu; 3) Jarang, jika konsumsinya 1-2 kali/ minggu; 4) Tidak pernah. Data konsumsi pangan individu yang dikumpulkan ditabulasi dan kemudian dirata-ratakan per bahan pangan hingga diperoleh rata-rata per kelompok. Selanjutnya dikonversi ke dalam bentuk energi, protein, lemak, dan karbohidrat dengan menggunakan Daftar Konversi Bahan Makanan (DKBM 2008). Konversi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kgij
= {(Bj/100) x Gij x (BDDj/100)}
Keterangan : Kgij
= kandungan zat gizi-I dalam bahan makanan-j
Bj
= berat makanan-j yang dikonsumsi (g)
28
Gij
= Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan-j
BDDj = Bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan Angka kecukupan energi contoh, dihitung dengan menggunakan rumus menurut sebagai berikut : AKGi = {(88.5-61.9 x Usia) + (26.7 x BB x 1.31) + 90.3TB +25} Keterangan : AKGi = angka kebutuhan energi U
= usia contoh (tahun)
BB
= berat badan contoh (kg)
TB
= tinggi badan contoh (cm) Setelah konsumsi energi dan zat-zat gizi diketahui, serta angka
kebutuhan dan kecukupan contoh juga diketahui, selanjutnya dihitung Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) terutama energi dan protein bagi setiap individu dengan menggunakan rumus sebagai berikut : TKGi = Ki / AKGi x 100% Keterangan : TKGi = tingkat kecukupan zat gizi i Ki
= konsumsi zat gizi i
AKGi = angka kebutuhan/kecukupan gizi berdasarkan berat badan
Definisi Operasional Contoh adalah siswa-siswai kelas 4 SDN 09 Pagi Jakarta Utara yang sudah melakukan tes IQ sebagai pengukuran tingkat kecerdasan. Fasilitas Belajar adalah cara dan sarana belajar yang dapat memperlancar prestasi belajar siswa kelas 4 SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Sarana belajar adalah sarana dan prasarana yang memudahkan dan memperlancar prestasi belajar siswa seperti ruang belajar pribadi, meja belajar pribadi, alat belajar, media belajar, dan les. Proses Belajar adalah kegiatan belajar siswa yang dapat memperlancar prestasi akademik siswa seperti mengerjakan PR di rumah, mengulang kembali pelajaran di rumah, dan belajar ditemani orangtua. Hasil prestasi Belajar Matematika adalah hasil prestasi akademik siswa–siswi di kelas 4 SDN 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta yang dilihat dari nilai matematika rapor dan tes hasil belajar matematika kelas 4 semester satu tahun ajaran 2010-2011.
29
Intelligence Quotient atau IQ adalah skor atau nilai hasil pengukuran intelegensi yang diperoleh dari beberapa tes yang bertujuan untuk mengukur tingkat kecerdasan anak. Karakteristik siswa adalah ciri-ciri yang dimilki siswa yang meliputi usia, jenis kelamin, uang saku, dan status gizi. Karakteristik sosial ekonomi keluarga adalah ciri-ciri yang dimilki ibu dan ayah, meliputi usia, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga per bulan, dan pekerjaan. Kebiasaan makan adalah frekuensi pangan serta cara contoh memilih dan mengkonsumsi makanan yang terjadi dalam jangka waktu tertentu dan dilakukan secara kontinu. Kecerdasan logika-matematika adalah kecerdasan yang diukur melalui tes Intellegence Quation (IQ) dan hasil prestasi belajar (nilai raport matematika dan tes hasil belajar matematika). Konsumsi Pangan adalah data mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh contoh melaui metode food recall 2x24 jam. Praktek ASI adalah pemberian ASI kepada bayi selama 2 tahun pertama kehidupannya. Praktek pemberian ASI adalah riwayat pemberian ASI oleh ibu pada bayinya yang mencakup praktek ASI eksklusif dan alasannya, durasi pemberian ASI dan ASI ekkslusif, dan pemberian susu non ASI. Praktek pemberian susu non-ASI adalah praktek pemberian susu formula yang diberikan ibu kepada anak, meliputi praktek susu formula dan waktu pertama kali pengenalan. Status gizi anak adalah contoh yang berstatus gizi kurus (-3 SD ≤ z ≤ -2 SD), normal (-2 SD ≤ z ≤ +1 SD), kegemukan (+1 SD ≤ z ≤ +2 SD), dan obesitas (z ≥ +2 SD). Pekerjaan Orangtua adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, meliputi pegawai, wiraswasta, pedagang, dan ibu rumah tangga. Pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan formal terakhir ibu dan ayah yang telah ditamatkan. Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan ayah dan ibu perbulan yang diperoleh dari hasil bekerja yang dinilai dalam bentuk uang.
30
Uang Saku adalah jumlah uang dalam rupiah yang diterima anak per bulan yang digunakan untuk membeli makanan dan non makanan. Usia contoh adalah jumlah tahun durasinya anak hidup yang diperoleh dari selisih tanggal kelahiran dengan tanggal pengukuran status gizi. Usia orangtua adalah jumlah tahun durasinya orangtua hidup yang diperoleh dari selisih tanggal kelahiran dan tanggal wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sekolah Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas 4 di Sekolah Dasar Negeri 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposive, yaitu sekolah yang sudah mengadakan tes Intelligence Quotient untuk melihat skor kecerdasan seseorang. Siswa kelas 4 sengaja diambil karena siswa sudah dapat menjawab ataupun mengisi kuesioner yang diberikan dan jarak umur siswa kelas 4 tidak terlalu jauh dengan praktek pemberian ASI serta skor kecerdasan siswa kelas 4 bervariasi mulai dari cerdas sampai kurang. Siswa kelas 5 sengaja tidak diambil karena skor kecerdasan siswa kelas 5 kurang bervariasi dan jarak usia siswa terlalu jauh dengan praktek pemberian ASI. Siswa kelas 6 sengaja tidak diambil karena khawatir akan menganggu konsentrasi siswa dalam menghadapi ujian akhir, sedangkan siswa kelas 3, 2, dan 1 juga tidak diambil sebagai contoh karena siswa dianggap belum memiliki pemahaman yang cukup untuk mengisi kuesioner yang diberikan. Sekolah Dasar Negeri 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara terletak di Jalan Budi Mulya Rt 010/ 015. Sekolah Dasar Negeri 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara dipimpin oleh kepala sekolah yaitu Subiyat Edy A.P., S.Pd. MM. Jumlah guru/ staf pengajarnya ada 17 orang. Para guru tersebut dibantu oleh dua orang penjaga. Jumlah siswa kelas 4 seluruhnya ada 41 orang, terdiri atas 24 laki-laki dan 17 perempuan. Waktu belajarnya dimulai dari pukul 07.00 s.d pukul 12.00 untuk kelas 4, 5, dan 6. Fasilitas yang dimilki oleh sekolah meliputi fasilitas fisik, lahan, dan non fisik. Fasilitas fisik yang dimilki meliputi ruang kelas, ruang guru, kantin, laboratorium komputer, tempat ibadah, gudang, toilet, perpustakaan. Fasilitas lahan yang ada terdiri atas lapangan olahraga dan taman. Fasilitas non fisik/ ekstrakurikuler yang ada di sekolah meliputi pramuka, seni tari, paskibra, qasidah, seni musik, futsal.
Karakteristik Siswa Contoh adalah anak sekolah dasar, dengan jumlah keseluruhan 38 orang. Berdasarkan kelas yang dipilih sebagai contoh penelitian adalah kelas 4. Tabel 3 menjelaskan karakteristik siswa berdasarkan individu dan status gizi siswa. Karakteristik siswa yang diamati meliputi usia siswa, jenis kelamin, uang saku per hari, dan status gizi.
32
Tabel 3 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu Karakteristik individu n % Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
21 17
55.3 44.7
Total Usia Siswa 10-11 tahun > 11 tahun
38
100
34 4
89.5 10.5
Total Uang Saku ≤ Rp 5000 Rp 6000-Rp 10000 Rp 11000-Rp 15000 Total
38
100
12 23 3 38
31.6 60.5 7.9 100
Rata-Rata±SD Status Gizi Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk
1 3 29 5
2.6 7.9 76.3 13.2
Total
38
100
Rata-Rata±SD
7566±3085
-0.06±1.75
Jenis Kelamin, Agama, dan Usia Tabel 3 diketahui bahwa jumlah siswa laki-laki kelas 4 SD Negeri 09 lebih banyak dibandingkan jumlah siswa perempuan. Hal ini terlihat dari persentase jumlah siswa laki-laki (55.3%) dan jumlah siswa perempuan (44.7%). Siswa dalam penelitian ini berusia 10-13 tahun dan persentase terbesar pada usia antara 10 sampai 11 tahun (89.5%) dan >11 tahun (10.5%). Seluruh contoh yang diambil beragama islam.
Uang Saku Siswa Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pedapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu, seperti harian, mingguan, atau bulanan. Uang saku yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi daya beli seseorang terhadap pangan. Siswa kelasa 4 SD Negeri 09 memperoleh uang saku yang berkisar antara Rp. 6.000,00-Rp. 10.000,00/ hari (60.5%). Rata-rata besar uang saku siswa adalah Rp. 7.566±3085. Relatif besarnya uang saku yang diberikan orangtua untuk siswa diduga karena sebagian besar siswa melakukan rutinitas sekolah di pagi hari dan dilanjutkan kursus pada sore hari.
33
Status Gizi Berdasarkan Tabel 3, status gizi siswa diukur dengan menggunakan indikator IMT/U. WHO (1995) merekomendasikan z-score untuk mengevaluasi data antropometri anak, khususnya di negara berkembang, karena anak yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat. Menurut WHO (2007), status gizi seseorang diukur dengan menggunakan metode antropometri melalui perhitungan indeks IMT/U. Indeks IMT/U ini digunakan untuk seseorang yang berusia 9-24 tahun berdasarkan nilai z-score. Seseorang dikatakan kurus bila -3 SD ≤ z ≤ -2 SD, normal bila -2 SD ≤ z ≤ +1 SD, kegemukan bila +1 SD ≤ z ≤ +2 SD,
dan obesitas bila z ≥ +2 SD.
Berdasarkan IMT/U terdapat siswa dengan status gizi kurus (-3 SD ≤ z ≤ -2 SD) dengan persentase sebesar 2.6%. Sebagian besar siswa (76.3%) tergolong dalam kategori normal (2 SD ≤ z ≤ +1 SD). Rata-rata z-score siswa adalah 0.06±1.75. Gizi kurang mempengaruhi pertumbuhan otak anak sehingga dapat mengganggu dalam proses belajar. Anak gizi kurang ada kecenderungan kurang gairah dan lincah, tertinggal dalam belajar, dan kurang tanggap terhadap lingkungannya sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya perkembangan kecerdasan
anak.
Gizi
kurang
pada
anak
juga
dapat
mempengaruhi
perkembangan mental dan kecerdasan anak (Judarwanto 2004). Karakteristik Keluarga Siswa Karakterisitk keluarga siswa yang dilihat berdasarkan besar keluarga, usia orangtua siswa, dan kondisi sosial ekonomi keluarga. Kondisi ekonomi keluarga terdiri dari tingkat pendidikan ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, dan tingkat pendapatan keluarga
Besar Keluarga Menurut Suhardjo (1996), semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982). Besar keluarga menurut BKKBN (1998) dibagi menjadi keluarga kecil jika jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, sedang jika 5-6 orang, dan besar jika ≥ 7 orang. Besar keluarga dapat mempengaruhi tingkat pengeluaran rumah tangga. Besar keluarga dapat mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang
34
dikonsumsi dalam keluarga. Keluarga kecil yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak akan memiliki hubungan yang amat erat antara orangtua dengan anak sehingga akan mempengaruhi sikap pengasuhan orangtua terhadap proses belajar, sedangkan keluarga besar yang terdiri atas empat anak atau lebih, orangtua cenderung untuk mengasuh anak dengan sikap otoriter sehingga terjadi persaingan antar anak yang dapat merangsang keinginan untuk berprestasi (Satiadarma dan Waruwu 2003). Besar keluarga siswa tersebar pada kelompok keluarga kecil (31.6%) dan 44.7% siswa termasuk dalam kategori keluarga sedang.
Usia Orangtua Siswa Umur orang tua siswa dapat dikelompokkan ke dalam usia dewasa muda (20-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir atau usia lanjut (>60 tahun) (Ghozaly 2011). Mayoritas usia ayah berada dalam rentang dewasa madya dengan usia antara 41 sampai 65 tahun (52.6%). Sementara itu, usia ibu berada dalam rentang dewasa muda dengan rentang usia antara 20 sampai 40 tahun (76.3%). Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga siswa (n=38) Karakteristik Keluarga Siswa n % Besar Keluarga ≤ 4 orang
12
31.6
5 orang
17
44.7
> 5 orang
9
23.7
Dewasa Muda (20-40)
18
47.4
Dewasa Madya (41-65)
20
52.6
Dewasa Tua (>65)
0
0.0
Dewasa Muda (20-40)
29
76.3
Dewasa Madya (41-65)
9
23.7
Dewasa Tua (>65)
0
0.0
Umur Ayah
Umur Ibu
Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Tabel 5 menguraikan kondisi sosial ekonomi keluarga siswa yang dilihat berdasarkan tingkat pendidikan ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu serta pendapatan keluarga per bulan didapatkan dengan memberikan kuesioner kepada orangtua siswa. Sebagian besar ayah siswa berpendidikan terakhir SMA/ Sederajat (50%), begitu juga dengan pendidikan terakhir ibu (39.5%).
35
Menurut Engel et al. (1994), tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin besar. Sebagian besar ayah siswa bekerja sebagai pegawai (31.5%), sedangkan sebagian besar ibu siswa bekerja sebagai ibu rumah tangga (71.1%). Tabel 5 Sebaran siswa berdasarkan kondisi sosial ekonomi keluarga (n=38) Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga n % Pendidikan Ayah Tidak Tamat SD/ Tamat SD
7
18.4
SMP/Sederajat
7
18.4
SMA/Sederajat
19
50.0
> SMA
5
13.2
Tidak Tamat SD/ Tamat SD
6
15.8
SMP/Sederajat
14
36.8
SMA/Sederajat
15
39.6
>SMA
3
7.8
Pegawai
12
31.5
Wiraswasta
9
23.7
Pedagang
9
23.7
Lainnya
8
21.1
Pegawai
5
13.2
Ibu Rumah Tangga
27
71.1
Pedagang
6
15.7
Lainnya
0
0
< Rp 1000000
19
50
Rp 1000000-Rp 2000000
10
26.3
>Rp 2000000
9
23.7
Pendidikan Ibu
Pekerjaan Ayah
Pekerjaan Ibu
Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain, seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain (Hardinsyah 1997). Sebagian besar pendapatan keluarga siswa berada pada nilai < Rp. 1.000.000 (50%).
36
Praktek Pemberian ASI Praktek Pemberian ASI yang diamati pada penelitian ini yaitu pemberian ASI, ASI eksklusif dan alasannya, susu formula, serta durasi pemberian ASI. ASI merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi karena mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh manusia ataupun yang berasal dari susu hewan, seperti susu sapi, susu kerbau, atau susu kambing (Krisnatuti et al. 2006). Susu formula adalah susu bayi yang berasal dari susu sapi yang telah diformulasikan sedemikan rupa sehingga komposisinya mendekati ASI (Muchtadi 2002).
Praktek Pemberian ASI Eksklusif ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat (Gibney et al. 2005). Praktek ASI eksklusif relatif sedikit ditemukan di SDN 09. Hal ini terlihat dari persentase praktek ASI eksklusif yang jumlahnya hanya 36.8%. Alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya cukup bervariasi. Alasan tertinggi dikarenakan ASI tidak keluar (62.5%). Hal ini sesuai dengan penelitian Rachmadewi (2009) bahwa praktek pemberian ASI eksklusif di perdesaan lebih tinggi (41.9%) dibandingkan perkotaan (25.8%). Hasil penelitian Fawtrell et al. (2007) membuktikan bahwa durasi pemberian ASI eksklusif yang paling optimal adalah selama enam bulan. WHO pada tahun 1991 merekomendasikan durasi pemberian ASI eksklusif pada bayi selama periode 4-6 bulan pertama. Tahun 2001, WHO telah menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama enam bulan (Gibney et al. 2005). Durasi pemberian ASI eksklusif di SD Negeri 09 mayoritas masih ≤ 2 bulan (57.9%), dikarenakan bayi sudah diberikan cairan selain ASI sebelum berusia dua bulan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Almroth dan Bidinger (1990) yang diacu dalam penelitian Asrinisa (2009), bahwa kebiasaan memberikan air putih atau cairan lain kepada bayi menyusui dalam bulan-bulan pertama umum dilakukan di beberapa negara. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Hardinsyah et al. (2002) yang meniliti tentang pemberian ASI dan susu formula pada bayi di kota Bogor. Penelitian tersebut didapatkan hasil sebesar 40.7 persen bayi yang diberikan ASI eksklusif kurang dari empat bulan.
37
Tabel 6 Sebaran riwayat pemberian ASI eksklusif di SD Negeri 09 (n=38) Variabel n % Pemberian Asi Esklusif 14
36.8
24
63.2
Bayi Menangis
3
12.5
ASI Tidak Keluar
15
62.5
6
25
≤ 2 bulan
22
57.9
3-4 bulan
2
5.3
4-6 bulan
14
36.8
Ya Tidak Alasan tidak diberikan ASI Eksklusif
Ibu Bekerja Durasi Pemberian ASI Eksklusif
Pemberian ASI Penelitian Wigati (2005) menunjukkan bahwa pemenuhan zat-zat gizi yang dibutuhkan untuk mengotimalkan kecerdasan pada periode tumbuh otak adalah melalui pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai waktu ideal (24 bulan).The U.S Surgeon General merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan meneruskan ASI sampai 12 bulan, dengan pengenalan makanan padat pada usia 4-6 bulan (Brown et al. 2005). Tabel 7 Sebaran siswa berdasarkan durasi pemberian ASI Durasi pemberian ASI n % < 4 bulan
23
60.5
4-8 bulan
1
2.6
8-12 bulan
4
10.5
> 12 bulan
10
26.3
38
100
Total Rata-rata
7.42±8.34
Berdasarkan Tabel 7, diketahui bahwa pemberian ASI di SDN 09 selama lebih dari 12 bulan sebesar 26.3%. Rata-rata durasi pemberian ASI di SDN 09 adalah 7.42 dengan standar deviasi 8.34. Hal ini jauh dari hasil penelitian Oktariana (2010) yang menyatakan bahwa sebesar 61 persen bayi diberikan ASI selama lebih dari 24 bulan. Lebih dari 80% ibu di perkotaan dari golongan kaya dan berpendidikan tinggi tidak sanggup memberikan ASI sampai usia 6 bulan, hal ini karena masalah yang bersifat psiko-fisiologis, sosial dan budaya, emosional dan psikologis di dukung lagi semakin efektifnya teknik komunikasi yang benar-benar berkembang dan penilaian mereka yang tinggi kemajuan
38
duniawi (Berg 1986). Roesli (2000) menjelaskan bahwa ASI sebagai makanan tunggal yang memenuhi kebutuhan bayi normal sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat, tetapi ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih. Pemberian Susu Formula Muchtadi (2002) mendefinisikan susu formula adalah produk berupa tepung susu (umumnya susu sapi) yang telah diformulasikan sedemikian rupa sehingga komposisinya mendekati air susu ibu. Tabel 8 Sebaran siswa berdasarkan pemberian susu formula (n=38) Variabel n % Pemberian Susu Formula 26
68.4
12
31.6
< 6 bulan
24
63.2
≥ 6 bulan
14
36.8
Ya Tidak Mulai pemberian susu formula
Orang tua siswa khususnya kaum ibu di SDN 09 lebih banyak memberikan susu formula dari pada ASI. Hal ini terlihat dari hasil tabel 8 yaitu sebanyak 68.4 persen ibu siswa memberikan susu formula kepada anaknya. Ibu siswa memberikan susu formula kepada anaknya saat anak berusia kurang dari 6 bulan (63.2%). Alasan yang dikemukakan orangtua siswa ketika susu formula diberikan saat usia kurang dari 6 bulan yaitu ASI tidak keluar dan ibu sibuk kerja. Susu formula sebagai pengganti ASI (PASI) karena ASI tidak keluar atau anaknya tidak mau ASI, anak sudah disapih, anak ditinggal bekerja, anjuran dari paramedis atau bidan (Fitrisia 2002). Hasil penelitian (Depkes RI 2003) di bogor menunjukkan bahwa anak yang diberi ASI eksklusif tidak ada yang menderita gizi buruk. Data untuk penelitian yang sama bahwa 57% ibu-ibu dianjurkan oleh bidan untuk memberikan susu formula pada minggu pertama setelah kelahiran. Beberapa ahli berpendapat dan telah membuktikan bahwa tidak benar susu formula yang ditambah DHA dapat mencerdaskan anak. Susu formula diciptakan sebagai pendamping ASI tetapi tidak akan pernah bisa menyamai ASI yang mengandung DHA (Mihilal 2002).
39
Kecerdasan Logika Matematika Kecerdasan Logika-Matematika adalah kemampuan menggunakan angka dengan baik dan melakukan penalaran yang benar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan ada pola dan hubungan logis, serta fungsi logis (Gunawan 2003). Kecerdasan logika-matematika melibatkan ketrampilan mengolah angka dan atau kemahiran menggunakan logika atau akal sehat. Dalam kehidupan seharihari kecerdasan ini
bermanfaat
untuk menganalisa laporan keuangan,
memahami perhitungan, atau mencerna laporan sebuah penelitian. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan ini antara lain: akuntan pajak, programmer, ahli matematika, ilmuwan, dan sebagainya (Gardner dalam Armstrong 2002). Menurut Gani (1984) dalam Agustina (2003), cara mengukur kecerdasan anak dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, yaitu pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dapat dilakukan dengan psikotes yang menghasilkan ukuran taraf kecerdasan (IQ). Pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan memantau prestasi akademik para murid. Kecerdasan logika matematika dapat diukur dengan menggunakan pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dengan menggunakan Intelligence Quetion (IQ) kelas 4 semester satu dan pengukuran tidak langsung dengan menggunakan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai raport matematika dan tes hasil belajar matematika kelas 4 semester satu. Nilai Intelligence Quotient Siswa Pengukuran langsung dengan menggunakan Intelligence Quetion (IQ) kelas 4 semester satu. Intelligence Quetion (IQ) dikelompokkan menjadi delapan kategori yaitu sangat kurang (<69), kurang (69-79), rata-rata kurang (80-89), sedang (90-109), rata-rata cerdas (110-119), cerdas (120-139), sangat cerdas (140-160), istimewa cerdas (>160). Tabel 9 menunjukkan bahwa skor intelligence Quotient siswa kelas 4 SDN 09 sangat bervariasi. Sebanyak 31.6% siswa berada pada kategori rata-rata kurang dengan rentang skor 80-89, sedangkan siswa dengan IQ cerdas dengan rentang skor 120-139 relatif sedikit yaitu sebesar 5.3%. Rata-rata skor IQ siswa kelas 4 SDN 09 sebesar 87.7 dengan standar deviasi sebesar 16.5. Siswa yang memiliki IQ yang tinggi lebih mudah berinteraksi meskipun dalam lingkungan yang baru, dengan kemampuan yang ada, mereka lebih mudah bergaul dan beradaptasi. Hal ini juga dibantu dengan
40
adanya kemampuan yang mudah dalam mempelajari sesuatu hal oleh seseorang yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi (Dalyono 2007). Tabel 9 Sebaran siswa berdasarkan skor intelligence quotient Skor Intelligence Quotient (IQ) n % Sangat Kurang (<69)
0
0
Kurang (69-79)
11
28.9
Rata-rata Kurang (80-89)
12
31.6
Sedang (90-109)
11
28.9
Rata-rata Cerdas (110-119)
2
5.3
Cerdas (120-139)
2
5.3
Sangat Cerdas (140-160)
0
0
Istemewa Cerdas (> 160)
0
0
38
100
Total Rata-Rata±SD
87.7±16.5
Prestasi Belajar Matematika Prestasi belajar merupakan salah satu ukuran dari tingkat kecerdasan anak. Prestasi belajar siswa dapat diukur melalui skor prestasi belajar dari beberapa mata pelajaran. Hasil evaluasi tersebut diukur dengan menggunakan nilai rapor (Winkel 1996). Tabel 10 Sebaran siswa berdasarkan prestasi belajar matematika (n=38) Variabel n %
Nilai Raport Matematika Kurang (<60) Cukup (60-69) Lebih dari cukup (70-79) Baik (>80) Rata-rata±SD Tes hasil belajar Kurang (<60) Cukup (60-69) Lebih dari cukup (70-79) Baik (>80) Rata-rata±SD
8 15 11 4
21.1 39.5 28.9 10.5 64.2±8.4
18 7 4 9
47.4 18.4 10.5 23.7 65.8±14.7
Prestasi belajar dalam penelitian ini diperoleh dari hasil nilai raport matematika dan tes hasil belajar matematika kelas 4 semester satu. Nilai raport matematika dan tes hasil belajar matematika dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu kurang, cukup, lebih dari cukup, dan baik. Berdasarkan nilai raport matematika tersebut, hanya terdapat 10.5% (4 orang) siswa yang termasuk
41
dalam kategori prestasi belajar yang baik sedangkan 39.5% (15 orang) dalam kategori prestasi belajar cukup. Rata-rata nilai raport matematika kelas 4 semester satu adalah 64.2 dengan standar deviasi 8.4. Sementara itu, nilai tes harian bersama (THB) matematika, hanya terdapat 23.7% (9 orang) siswa yang termasuk dalam kategori prestasi belajar yang baik sedangkan 47.4% (18 orang) dalam kategori prestasi belajar kurang. Rata-rata nilai tes harian bersama (THB) matematika kelas 4 semester satu adalah 65.8 dengan standar deviasi 14.7. Menurut Dalyono (2007), seseorang yang memiliki intelegensi yang baik (IQ tinggi) umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya orang yang intelegensi rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah. Kebiasaan Makan Siswa Kebiasaan makan merupakan istilah yang menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, distribusi makan antaranggota keluarga (Suhardjo 1989). Kebiasaan makan yang jelek dicerminkan dengan terjadinya kelebihan asupan dan penyakit akibat gizi (Atmarita 2005). Kebiasaan makan siswa yang dilihat adalah frekuensi makan, kebiasaan sarapan, kebiasaan minum susu, jumlah susu yang biasa diminum, jenis susu yang dikonsumsi, konsumsi pangan hewani, konsumsi pangan nabati, konsumsi sayuran, konsumsi buah, kebiasaan membawa bekal, kebiasaan membawa air minum ke sekolah, kebiasaan jajan di sekolah, dan jenis makanan yang sering dibeli. Frekuensi Makan Sehari Seseorang yang dianjurkan untuk makan secara teratur dan pada jamjam tertentu, yaitu tiga kali sehari (Purwati, Rahayu, & Salimar 2002). Hal ini untuk menghindari makan secara berlebihan yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kelebihan berat badan. Siswa yang diteliti sebagian besar terbiasa makan tiga kali sehari. Hal ini terlihat pada persentase tertinggi terdapat pada frekuensi makan tiga kali sehari sebesar 92.1%. Tabel 11 Sebaran siswa berdasarkan frekeunsi makan Frekuensi Makan sehari n % 2 kali
3
7,9
3 kali
35
92,1
38
100
Total
42
Kebiasaan Sarapan Sarapan merupakan kegiatan yang penting dilakukan, tetapi seringkali ditinggalkan dengan berbagai alasan. Sarapan memberikan energi pada seseorang untuk melakukan kegiatan di siang hari, namun terkadang seseorang malas untuk sarapan dengan alasan ingin kurus, terburu-buru atau malas makan (Wirakusumah 1994). Tabel 12 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan sarapan Kebiasaan Sarapan n % Selalu
35
92.1
Kadang-kadang
3
7.9
Jarang
0
0.0
Tidak Pernah
0
0
38
100
Total
Tabel 12 menjelaskan tentang kebiasaan sarapan siswa, sebanyak 92.1% siswa kelas 4 selalu melakukan sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Hal ini diduga siswa kelas 4 terbiasa makan tiga kali sehari sehingga kebiasaan sarapan menjadi kegiatan yang selalu dilakukan oleh siswa.
Kebiasaan Minum Susu Susu merupakan bahan makanan sempurna karena memiliki nilai gizi yang tinggi dan perbandingan zat gizi di dalam susu sangat ideal, mudah dicerna serta diserap darah secara maksimal (Sanjaya et al. 2007). Susu memiliki nilai biologi protein yang sangat tinggi, susu juga mengandung zat-zat esensial lain yang mudah diserap. Jenis-jenis susu antara lain susu kental manis, susu bubuk, susu kambing, dan lain-lain. Selain itu, ada juga produk susu seperti yoghurt dan keju. Sebagian besar siswa selalu terbiasa minum susu setiap hari (73.7%). Rata-rata sebagian besar siswa mengkonsumsi susu sebanyak satu gelas setiap hari (76.3%). Berdasarkan hasil recall diketahui jenis susu yang paling banyak dikonsumsi adalah susu kental manis (52.6%). DKBM (2008) diketahui bahwa susu kental manis merupakan jenis susu yang tinggi kalori. Kandungan energi per 100 g susu kental manis adalah 168 Kalori.
43
Tabel 13 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan minum susu, jumlah susu yang biasa diminum setiap hari, jenis konsumsi susu (n=38) Variabel n % Kebiasaan Minum Susu Selalu
28
73.7
Kadang-Kadang
8
21.1
Jarang
2
5.3
Tidak Pernah
0
0
1 gelas/hari
29
76.3
2 gelas/hari
9
23.7
Susu Kental Manis
20
52.6
Susu Bubuk
18
47.4
Susu Sapi
0
0
Jumlah susu yang biasa diminum setiap hari
Jenis Susu yang dikonsumsi
Konsumsi Pangan Hewani Bahan makanan hewani kaya dalam protein bermutu tinggi. Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein komplit atau protein dengan nilai biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan (Almatsier 2004). Tabel 14 Sebaran siswa menurut kebiasaan mengonsumsi lauk hewani dan jenis lauk hewani yang dikonsumsi Variabel n % Kebiasaan Mengonsumsi Lauk Hewani Selalu
36
94.7
2
5.3
Daging Ayam
36
94.7
Daging Sapi
12
31.6
Telur Ayam
34
89.5
Ikan
32
84.2
Kadang-kadang Jenis Lauk Hewani yang Dikonsumsi
Sebesar 94.7% siswa selalu mengonsumsi lauk hewani yang termasuk di dalamnya adalah mengonsumsi daging ayam (94.7%), telur ayam (89.5%), dan ikan (84.2%). Berbeda dengan daging ayam, telur ayam, dan ikan, sumber pangan hewani berupa daging sapi menjadi sumber pangan hewani yang paling banyak tidak dikonsumsi oleh siswa (68.4%). Daging ayam, telur ayam, dan ikan paling banyak dikonsumsi dibandingkan daging sapi diperkirakan karena rasanya yang enak, dan harganya yang cukup terjangkau bagi konsumen.
44
Konsumsi Pangan Nabati Protein yang berkualitas tinggi sangat mudah ditemukan pada kacang polong,
berbagai kacang-kacangan yang memberikan bermacam-macam
manfaat bagi tubuh. Sebagian besar siswa selalu mengonsumsi lauk nabati (94.7%). Jumlah lauk nabati yang minimal dikonsumsi siswa yaitu sebanyak 3 jenis. Sebanyak 92.1% siswa mengkonsumsi tempe dan 86.8% mengonsumsi tahu, sedangkan kacang hijau paling banyak tidak disukai (68.4%). Hal ini diduga karena rasa tempe dan tahu yang enak dan harganya yang terjangkau. Tabel 15 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan mengonsumsi lauk nabati Variabel n % Kebiasaan Mengonsumsi Lauk Nabati Selalu 36 94.7 Kadang-kadang 2 5.3 Jenis Lauk Nabati yang Dikonsumsi Tempe 35 92.1 Kacang Hijau 12 31.6 Tahu 33 86.8
Konsumsi Sayur Sayuran berwarna hijau dapat mempertahankan berat badan, kekuatan dan kesehatan yang baik. Sayuran warna hijau dapat membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh karena merupakan antioksidan yang kuat, yang dapat membantu tubuh untuk tumbuh dan memiliki banyak manfaat kesehatan yang lain. Kebiasaan konsumsi sayur siswa dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi konsumsi sayur yang dikonsumsi siswa dan jenis sayuran yang dikonsumsi oleh siswa. Tabel 16 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan mengonsumsi sayur n % Variabel Kebiasaan Mengonsumsi Sayur Selalu
17
44.7
Kadang-kadang
14
36.8
Jarang
6
15.8
1
2.6
Bayam
27
71.1
Kacang Panjang
7
18.4
Kangkung
31
81.6
Tidak Pernah Jenis Sayur yang Dikonsumsi
Jenis sayuran yang dikonsumsi siswa yaitu bayam, kacang panjang, dan kangkung. Sebesar 44.7% siswa menyatakan selalu mengkonsumsi sayur. Dari
45
tiga jenis kelompok sayur, maka sebagian besar siswa lebih banyak mengonsumsi sayur bayam (71.1%) dan kangkung (81.6%), sedangkan kacang panjang paling banyak tidak dikonsumsi (81.6%). Alasan siswa kelas 4 lebih banyak mengonsumsi bayam dan kangkung karena rasanya enak dan bergizi. Konsumsi Buah Kebiasaan konsumsi buah siswa pada penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi konsumsi buah yang dikonsumsi siswa dan jenis buah yang biasa dikonsumsi siswa. Jenis buah yang dikonsumsi siswa yaitu jeruk, anggur, dan apel. Tabel 17 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan mengonsumsi buah Variabel n % Kebiasaan Mengonsumsi Buah Selalu
14
36.8
Kadang-kadang
19
50
Jarang
5
13.2
0
0
Jeruk
31
81.6
Anggur
12
31.6
Apel
28
73.7
Tidak Pernah Jenis Buah yang Dikonsumsi
Berdasarkan tabel 17 diketahui bahwa siswa kelas 4 kadang-kadang mengonsumsi buah (50%). Buah yang paling banyak dikonsumsi oleh siswa yaitu jeruk (81.6%) dan apel (73.7%), sedangkan buah yang paling banyak tidak dikonsumsi adalah anggur (31.6%). Hal ini diduga karena rasa buah apel dan jeruk yang manis, enak, dan harganya yang cukup terjangkau
Kebiasaan Membawa Bekal Ke Sekolah Siswa yang membawa bekal memiliki pengetahuan gizi yang baik, karena mereka lebih mengerti tentang kebersihan makanan jika dibawa dari rumah lebih terjamin kebersihannya dibandingkan jika harus jajan di luar rumah, termasuk sekolah, selain itu bekal yang dibawa dari rumah biasanya disediakan oleh ibu mereka yang dianggap lebih memperhatikan kandungan gizi dan kebersihan pada bekal yang akan dibawa (Triyanti et al. 2009). Tabel 18 menjelaskan tentang kebiasaan membawa bekal ke sekolah, sebagian besar (52.6%) siswa kadang-kadang terbiasa membawa bekal ke sekolah. Sebanyak 60% siswa paling banyak mengonsumsi nasi dan lauk pauk sebagai bekal sekolah. Jenis
46
lauk pauk yang biasa dibawa oleh siswa yaitu sosis ayam, nugget ayam, telur, ayam goreng. Tabel 18 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan membawa bekal ke sekolah dan jenis bekal yang dibawa Variabel n % Kebiasaan Membawa Bekal Ke Sekolah Selalu
5
13.2
Kadang-kadang
20
52.6
Jarang
4
10.5
9
23.7
Nasi + Lauk Pauk
18
60
Mie
3
10
Roti
9
30
Lainnya
0
0
Tidak Pernah Jenis Bekal yang Dibawa ke Sekolah
Kebiasaan Membawa Air Minum Ke Sekolah Kebutuhan manusia akan air sangat penting, karena tanpa air, manusia tidak dapat bertahan hidup lebih lama bila dibandingkan dengan kekurangan makanan. Air bermanfaat dalam menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh, sehingga metabolisme yang terjadi di dalam tubuh tetap dapat berjalan dengan baik (Wiseman 2002). Tabel 19
Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan membawa air minum dan jenis air minum yang dibawa ke sekolah Variabel n %
Kebiasaan Membawa Air Minum Selalu
20
52.6
Kadang-kadang
14
36.8
Jarang
3
7.9
1
2.6
Air mineral
34
89.5
Susu
13
34.2
Teh Manis
10
26.3
Sari Buah
0
0.0
Tidak Pernah Jenis Air Minum yang Dibawa ke Sekolah
Berdasarkan tabel 19, siswa selalu terbiasa membawa air minum ke sekolah (52.6%). Jenis air minum yang paling banyak dibawa yaitu air mineral (89.5%), sedangkan susu (65.8%) dan teh manis (73.7%) paling tidak banyak dibawa oleh siswa. Hal ini diduga karena air mineral praktis untuk dibawa ke sekolah.
47
Kebiasaan Jajan di Sekolah Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk kebiasaan makan. Suhardjo (1989)
menyebutkan
bahwa
kebiasaan
jajan
merupakan
istilah
untuk
menggambarkan kebiasaan dan prilaku yang berhubungan dengan jajan dan makanan jajanan seperti frekuensi jajan, jenis makanan jajanan, kepercayaan terhadap makanan jajanan (pantangan), preferensi dan cara pemilihan makanan jajanan. Sebanyak 86.8% siswa selalu terbiasa jajan di sekolah, dari beberapa jenis kelompok makanan jajanan, maka sebagian besar siswa lebih banyak membeli mie (50%), sosis (47.4%), dan pangsit (42.1%). Alasan siswa membeli jajanan tersebut karena rasanya enak dan gurih. Menurut Atmarita (2004), kebiasaan jajan anak-anak tidak perlu dihilangkan karena jika makanan yang dibeli tersebut sudah memenuhi syarat-syarat kesehatan, maka bisa melengkapi atau menambah kebutuhan gizi anak. Tabel 20 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan jajan dan jenis jajanan yang sering dibeli Variabel n % Kebiasaan Jajan Selalu
33
86.8
Kadang-kadang
4
10.5
Jarang
1
2.6
0
0
Pangsit
16
42.1
Mie
19
50
Martabak
13
34.2
Es Teh
9
23.7
Roti
7
18.4
Sosis
18
47.4
Nasi Goreng
6
15.8
Bakso
10
26.3
Lainnya
13
34.0
Tidak Pernah Makanan Jajanan yang sering dibeli
Frekuensi Konsumsi Pangan Frekuensi makan mempengaruhi jumlah asupan makanan bagi individu dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi (Sukandar 2007). Frekuensi makan diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu maupun kali per bulan. Frekuensi makan pada orang dengan kondisi sosial ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang kondisi
48
ekonominya lemah. Hal ini disebabkan orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi memilki daya beli yang lebih sehingga dapat mengonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi (Khomsan et al. 1998). Data ukuran dan frekuensi yang dikumpulkan meliputi makanan pokok, pangan hewani dan olahannya, pangan nabati dan olahannya, sayuran, dan buah-buahan, serta susu dan olahannya. Data ukuran dan frekuensi konsumsi selama 1 bulan terakhir dikumpulkan dengan menggunakan Food Frequency Quotientnaire (Gibson 2005). Tabel 21 Sebaran siswa berdasarkan frekuensi konsumsi pangan per minggu Pangan
Rata-rata Frekuensi ± SD(kali)
Makanan Pokok Nasi (Beras Putih)
18.4±3.8
Mie (Instant)
4.1±2.8
Roti
1.9±2.2
Pangan Hewani dan Olahannya Telur Ayam
6.4±4.6
Sosis Sapi (Worst)
7.6±4.6
Nugget Ayam
1.4±1.9
Pangan Nabati dan Olahannya Kacang Hijau
0.9±1.1
Tempe
7.4±4.6
Tahu
5.2±4.3
Sayuran Bayam
1.5±1.8
Kangkung
1.3±1.9
Sop Kol dan Wortel
1.4±2.1
Buah-Buahan Jeruk
1.6±1.7
Pepaya
1.7±2.4
Pisang
1.6±2.1
Susu dan olahannya Keju
0.7±0.7
Susu Kental manis
3.7±3.3
Susu Bubuk
1.5±2.9
Makanan pokok dalam penelitian ini terdiri atas nasi (beras putih), mie (instant), dan roti (Tabel 21). Nasi merupakan pangan sumber karbohidrat dengan frekeunsi konsumsi tertinggi. Rata-rata frekuensi konsumsi nasi siswa adalah 18.4±3.8 kali/ minggu (65.8%). Sumber protein hewani dan olahannya
49
terdiri atas telur ayam, sosis sapi, dan nugget ayam. Sumber protein hewani dengan frekuensi konsumsi tertinggi adalah sosis sapi dengan rata-rata frekuensi konsumsi 7.6±4.6 kali/ minggu (21.1%). Sumber pangan nabati dan olahannya terdiri atas kacang hijau, tempe, dan tahu. Pangan sumber protein nabati yang paling tinggi frekuensi konsumsi adalah tempe dengan rata-rata frekuensi konsumsi 7.4±4.6 kali/ minggu (26.3%). Sayuran yang dikonsumsi siswa terdiri atas bayam, kangkung, dan sop kol dan wortel. Sayuran yang paling tinggi dikonsumsi adalah sop kol dan wortel dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.4±2.1 kali/ minggu (10.5%). Buah yang dikonsumsi siswa adalah jeruk, papaya, dan pisang. Buah yang paling tinggi frekuensi konsumsinya adalah papaya dengan rata-rata frekuensi 1.7±2.4 kali/ minggu (13.2%). Sementara itu, susu dan olahannya yang dikonsumsi oleh siswa adalah keju, susu kental manis, dan susu bubuk. Sumber susu dan olahannya yang paling tinggi frekuensinya adalah susu kental manis dengan rata-rata frekuensi 3.7±3.3 kali/minggu (44.7%). Konsumsi Pangan dan Tingkat Kecukupan Gizi Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2005) konsumsi energi dan zat gizi dipengaruhi oleh umur, berat badan, tinggi badan, pola kebiasaan makan, serta pendapatan. Kesesuaian antara konsumsi zat gizi seseorang dengan kecukupannya disebut juga dengan tingkat kecukupan energi. Untuk mengetahui tingkat kecukupan energi responden, maka perlu diketahui data mengenai total energi yang dikonsumsi responden beserta data kecukupannya. Tabel 22 menunjukkan rata-rata konsumsi zat gizi, angka kecukupan zat gizi, dan tingkat kecukupan zat gizi siswa. Tabel 22 menunjukkan rata-rata konsumsi energi siswa adalah 1359 Kalori dan rata-rata konsumsi protein siswa adalah 35.3 gram. Jika dibandingkan dengan angka kecukupan gizi berdasarkan WNPG (2004), maka diperoleh ratarata Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) energi sebesar 65.8%, protein sebesar
50
69.9%. Rata-rata kecukupan konsumsi energi secara nasional anak umur 7–12 tahun (usia sekolah dasar) berkisar antara 71,6%-89,1% dan sebanyak 44,4% anak mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal, sedangkan rata-rata nasional kecukupan konsumsi protein anak usia 7-12 tahun berkisar antara 85,1%-137,4% dan persentase konsumsi protein di bawah kebutuhan minimal adalah 30,6% (Riskesdas 2010). Tabel 22 Konsumsi zat gizi, AKG, dan TKG siswa Rata-Rata Energi dan Protein
Jumlah
Energi Konsumsi (Kalori)
1359
Angka Kecukupan Energi (Kalori)
1936
Tingkat Kecukupan Energi (%)
65.8
Protein Konsumsi (g)
35.3
Angka Kecukupan Protein (g)
47.3
Tingkat Kecukupan Protein (%)
69.9
Gibson (2005) mengklasifikasikan tingkat kecukupan energi dan protein kedalam lima tingkat, yaitu : (1) defisit tingkat berat (<70% kebutuhan), (2) defisit tingkat sedang (70%-79% kebutuhan), (3) defisit tingkat ringan (80%-89% kebutuhan), (4) normal (90%-119% kebutuhan), dan (5) diatas angka kebutuhan (≥120% kebutuhan). Tingkat Kecukupan Zat Gizi Tingkat kecukupan energi dan protein siswa dibedakan menjadi lima dengan mengacu pada cut of poin berdasarkan Gibson (2005). Data pada Tabel 23 menunjukkan bahwa siswa memiliki presentase defisit energi tingkat berat sebesar 71.1%. Tingkat kecukupan yang tergolong defisit ini diduga karena siswa mengkonsumsi makanan yang rendah kalori dan lebih menyukai makanan jajanan. Konsumsi pangan yang kurang akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak, berakibat ketidakmampuan fungsi normal. Keadaan yang lebih berat dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan biokimia dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan otak (Soemantri 1978).
51
Tabel 23 Sebaran siswa menurut tingkat kecukupan energi Klasifikasi n % Defisit Berat
27
71.1
Defisit Sedang
3
7.9
Defisit Ringan
7
18.4
Normal
0
0
Diatas Angka Kebutuhan
1
2.6
38
100
Total
Protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena fungsinya sebagai bahan bakar dalam tubuh dan zat pembangun dan pengatur (Winarno 1997). Sebanyak 50% siswa mengalami defisit protein tingkat berat. Namun terdapat 10.5% siswa yang mengalami kelebihan konsumsi protein bila dibandingkan dengan nilai kecukupannya. Defisit protein tingkat berat yang dialami oleh sebagian besar siswa ini diperkirakan karena siswa lebih banyak mengkonsumsi makanan jajanan dibandingkan dengan mengkonsumsi lauk pauk, baik yang berasal dari hewani maupun nabati. Menurut Judarwanto (2004), kekurangan zat gizi berupa vitamin, mineral, dan zat gizi lainnya mempengaruhi metabolisme otak, sehingga menganggu pembentukan DNA di susunan syaraf. Hal ini mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel-sel otak baru terutama pada usia di bawah tiga tahun sehingga berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan otak anak. Tabel 24 Sebaran siswa menurut tingkat kecukupan protein Klasifikasi n % Defisit Berat
19
50
Defisit Sedang
9
23.7
Defisit Ringan
6
15.8
Normal
0
0
Diatas Angka Kebutuhan
4
10.5
38
100
Total
Fasilitas Belajar Tersedianya fasilitas belajar yang memadai merupakan salah satu faktor yang menentukan prestasi belajar seseorang. Menurut Moesono (1986), anakanak yang berbakat membutuhkan bimbingan dan perlengkapan. Tersedianya alat-alat penunjang pendidikan akan dapat membantu pengembangan bakat anak secara optimal. Penyediaan fasilitas belajar meliputi ruang belajar, bukubuku pelajaran, alat-alat tulis, keikutsertaan dalam les tambahan. Selain sarana
52
dan fasilitas belajar, proses belajarpun harus diperhatikan untuk mencapai prestasi belajar yang baik. Menurut Moesono (1986), proses belajar adalah seluruh kegiatan belajar yang dilakukan oleh anak baik ketika di sekolah maupun di rumah. Kegiatan belajar yang dilakukan anak misalnya mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru, pekerjaan sekolah, mempersiapkan diri sebelum ulangan, membaca buku pelajaran secara teratur dan mencatat semua pelajaran yang diberikan oleh guru. Proses belajar yang diteliti meliputi mengerjakan PR di rumah, mengulangkembali pelajaran di sekolah saat di rumah, orangtua menemani belajar, sedangkan sarana belajar meliputi memiliki meja khusus untuk belajar, kursus atau les, memiliki ruang belajar, memiliki buku pelajaran yang lengkap, memiliki alat-alat tulis. Proses belajar seseorang dapat memperlancar prestasi belajarnya. Tabel 25 menunjukkan bahwa lebih dari 70% siswa kelas 4 SDN 09 terbiasa mengerjakan PR di rumah. Sebesar 55.3% siswa tidak terbiasa mengulang kembali pelajaran di rumah, sedangkan sebanyak 60.5% siswa terbiasa ditemani belajar oleh orangtuanya. Siswa yang memiliki cara belajar yang baik dapat dilihat melalui mengerjakan PR di rumah, mengulang kembali pelajaran di rumah. Fasilitas yang dibutuhkan anak dalam kegiatan belajar meliputi fasilitas fisik dan non fisik. Fasilitas fisik seperti buku-buku pelajaran, alat tulis. Fasilitas non fisik seperti guru les (Moesono 1986). Menurut Gunarsa (2006), anak-anak yang mempunyai keluarga besar dan kondisi ekonomi yang miskin tidak punya cukup uang untuk membeli buku dan membiayai kegiatan-kegiatan belajar lainnya sehingga prestasi belajarnya rendah. Sarana belajar yang diperlukan meliputi meja belajar, ruang belajar, buku pelajaran yang lengkap, dan alat-alat tulis. Sebesar 50% siswa memiliki meja khusus untuk belajar. Fasilitas Belajar
Tabel 25 Sebaran fasilitas belajar siswa n
%
Mengerjakan PR di Rumah
30
78.9
Mengulang Kembali Pelajaran
17
44.7
Memiliki Meja Khusus untuk Belajar
19
50.0
Orangtua Menemani Belajar
15
39.5
Kursus atau Les
15
39.5
Memiliki Ruang belajar
15
39.5
Memiliki Buku Pelajaran yang lengkap
38
100
Memiliki alat-alat tulis
18
47.4
53
Sebagian besar (39.5%) siswa meluangkan waktunya untuk kursus. Sebanyak 60.5% siswa tidak memiliki ruang belajar untuk belajar di rumah. Penyediaan buku-buku pelajaran juga menjadi penunjang dalam proses belajar mengajar. Sebesar 100% siswa memiliki buku pelalajaran yang lengkap. Hal ini dikarenakan sekolah meminjamkan buku-buku pelajaran kepada siswanya. Penyediaan alat-alat tulis dapat memperlancar prestasi belajar seseorang (Sukardi dalam Damayanti 2002). Alat tulis yang diperlukan meliputi pensil, pulpen, penggaris, penghapus, rautan pensil, dan lain-lain. Sebagian besar (52.6%) siswa tidak memiliki alat tulis lengkap. Alasan yang dikemukan siswa karena alat-alat tulisnya sering hilang, maka dari itu siswa malas membeli kembali alat-alat tulisnya. Menurut Gunarsa (2006) kurangnya fasilitas belajar menyebabkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar yang dimiliki, sehingga dapat menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademiknya. Hubungan antar Variabel Berdasarkan hasil penelitian terdapat sembilan variabel yang diduga memiliki hubungan dengan intelligensi quetion (IQ) dan prestasi belajar yaitu durasi pemberian ASI, durasi pemberian ASI eksklusif, tingkat kecukupan gizi, konsumsi zat gizi, frekuensi konsumsi pangan, kebiasaan makan, fasilitas belajar, karakteristik siswa, dan karakteristk orangtua. Hubungan IQ dengan Beberapa Variabel Intelligence Quotient atau IQ adalah skor yang diperoleh dari tes intelegensi. Kecerdasan ini diatur oleh bagian korteks otak yang dapat memberikan kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi (Boeree 2003). Intelligence Quotient (IQ) diduga memiliki hubungan dengan durasi pemberian ASI, durasi pemberian ASI eksklusif, dan karakteristik orangtua. Tabel 26 Hubungan IQ (intelligence quotient) dengan beberapa variabel Intelligence Quotient (IQ) Variabel r p Durasi ASI Eksklusif 0.784 0.000 Durasi ASI 0.694 0.000 Pendidikan Ayah 0.200 0.228 Pendidikan Ibu 0.351 0.031 Pendapatan Keluarga 0.011 0.949
54
Hubungan Durasi Pemberian ASI Eksklusif dengan IQ Terdapat hubungan yang sangat nyata antara durasi pemberian ASI eksklusif dengan Intelligensi Quotient (IQ) (p<0.01). Hubungan yang ditunjukkan antara kedua variabel tersebut bernilai positif dengan nilai korelasi sebesar 0.784. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang diberikan ASI eksklusif selama enam bulan maka IQ anak tersebut semakin tinggi. Berdasarkan laporan Archives of General Psychiatry, para ilmuwan asal Kanada menemukan fakta bahwa bayi-bayi yang diberi ASI Eksklusif selama tiga bulan pertama, walaupun banyak di antaranya juga mendapat ASI sampai dua belas bulan, mencapai angka rata-rata 5.9 dalam tes IQ. Penelitian yang dilakukan tahun 1992 di Flinders Medical Center terhadap 32 bayi usia enam bulan menemukan, bayibayi yang diberi ASI, kecerdasan mentalnya 40 persen lebih tinggi dibanding bayi-bayi yang mendapat susu non-ASI. Kecerdasan mental pada bayi yang disusui dengan ASI memperlihatkan bayi tersebut tumbuh menjadi orang yang lebih cerdas (Pambudy 2010). ASI Ekslusif Kurang
Tabel 27 Sebaran siswa berdasarkan ASI eksklusif dan IQ IQ (intelligence quotient) Rata-Rata Rata-Rata Sedang Cerdas Kurang Cerdas n % n % n % n %
n
%
≤ 2 bulan
10
26.3
12
31.6
0
0.0
0
0.0
0
3-4 bulan
1
2.6
0
0.0
1
2.6
0
0.0
4-6 bulan
0
0.0
0
0.0
10
26.3
2
Total
11
28.9
12
31.6
11
28.9
2
Total n
%
0.0
22
57.9
0
0.0
2
5.3
5.3
2
5.3
14
36.8
5.3
2
5.3
38
100.0
Tabel 27 menunjukkan sebaran siswa berdasarkan ASI ekslusif dan IQ. Persentase siswa dengan IQ kurang (0%), rata-rata kurang (0%), sedang (26.3%), rata-rata cerdas (5.3%), dan cerdas (5.3%) sebagian besar diberikan ASI eksklusif selama 4-6 bulan. Riordan (2005) menjelaskan ASI dapat meningkatkan perkembangan otak, anak yang disusui lebih pintar dibandingkan anak yang tidak disusui. Komposisi ASI yang mengandung protein yang tinggi, memiliki perbandingan antara whey dan casein yang sesuai untuk bayi. ASI mengandung whey lebih banyak yaitu 63:65, sehingga protein ASI lebih mudah dicerna dibandingkan dengan susu sapi. ASI juga mengandung taurin, Dexosahexsanoid acid (DHA) dan Arachhidonic Acid (AA). Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang berperan penting sebagai neuro-transmitter dan proses maturasi sel otak (Depkes 2001).
55
Hubungan Durasi Pemberian ASI dengan Intelligence Quotient (IQ) Hubungan antara durasi pemberian ASI dengan Intelligensi Quotient (IQ) menunjukkan hubungan yang sangat nyata positif (r=0.694, p<0.01) (Tabel 26). Hal tersebut artinya semakin lama ibu memberikan asi kepada seorang anak maka semakin tinggi intelligence Quotient (IQ) seorang anak. Penelitian Jacobson, Chiodo & Jacobson (1999) membuktikan bahwa pemberian ASI meningkatkan perkembangan kognitif bayi dan meningkatkan IQ. Tim peneliti di Universitas McGill, Kanada, menemukan bahwa bayi yang mendapat ASI memiliki hasil lebih baik pada tes Intelligent Quotient (IQ) pada usia enam tahun (Perkins & Vannais 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Alan Lucas dan para koleganya di Institute for Child Care di Great Ormond Street Hospital, London menunjukkan bahwa anak-anak yang pada masa bayi menerima setidaknya sedikit ASI memiliki nilai tes IQ yang lebih tinggi dibanding yang hanya mendapat formula standar (Julianto 2010). Hubungan Karakteristik Orangtua dengan Intelligence Quotient (IQ) Hasil uji korelasi Rank Spearman (Tabel 26) tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ayah (r=0.200, p>0.05) dengan Intelligence Quetion (IQ), namun terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan ibu (r=0.351, p<0.05) dengan Intelligence Quotient (IQ). Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin tinggi IQ seorang anak, Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yulia (1987) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka peranan ibu cenderung semakin besar, sehingga ibu yang mempunyai keterampilan
membimbing
lebih
tinggi
lebih
mampu
mengembangkan
kemampuan intelektual anak-anaknya, dibandingkan dengan ibu-ibu yang mempunyai keterampilan membimbing lebih rendah. Faktor lingkungan yang juga mempunyai efek positif terhadap kecerdasan yaitu tingkat pendidikan ibu (Wibowo et al. 1995). Hasil penelitian Suprihatin et al. (1996) tentang studi transisi keluarga, konsumsi pangan dan gizi dan perkembangan/ kecerdasan anak bahwa tingkat pendidikan ibu terhadap skor IQ menunjukkan perbedaan yang nyata (p=0.004). Pertama, ibu yang pendidikan tinggi mempunyai potensi kecerdasan yang relatif tinggi pula yang diturunkan ke anak. Kedua, ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menyerap informasi yang berguna dalam pengasuhan anak, sehingga ibu mempunyai bekal pengetahuan yang relatif baik untuk diterapkan
56
dalam menumbuh kembangkan anak. Pendidikan ibu yang relatif tinggi, memungkinkan ibu lebih sering memperoleh informasi tentang perkembangan anak dari majalah, surat kabar, radio, dan televisi sehingga orangtua lebih mengerti tentang perkembangan anak (Hurlock 1999). Menurut Boeree (2003), IQ dipengaruhi oleh faktor genetik. Kecerdasan dapat ditunkan melalui gen-gen dalam kromosom. Oleh karena itu, ayah-ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas pula. Pendapatan keluarga tidak berhubungan nyata dengan IQ (r=0.011, p>0.05). Hal ini diduga karena rata-rata pendapatan keluarga siswa kurang dari Rp 1000000,00 per bulan, IQ dalam kategori rata-rata kurang.
Hubungan Prestasi belajar Matematika dengan Beberapa Variabel Menurut
Hawadi
(2001),
prestasi
belajar
merupakan
gambaran
penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak dapat berasal dari dalam dirinya sendiri (faktor internal), maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Faktor internal meliputi kecerdasan/ intelegensi, bakat, minat, dan motivasi, sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Prestasi belajar matematika diduga berhubungan dengan tingkat kecukupan zat gizi, konsumsi protein hewani dan nabati, karakteristik siswa, fasilitas belajar, karakteristik orangtua, dan IQ. Prestasi belajar matematika dilihat dari dua variabel yaitu nilai raport matematika dan THB matematika. Tabel 28 Hubungan prestasi belajar matematika dengan beberapa variabel Prestasi Belajar Matematika Variabel Nilai Raport Matematika THB Matematika r p r p Tingkat Kecukupan Energi 0.336 0.039 0.294 0.073 Tingkat Kecukupan Protein 0.384 0.017 0.347 0.033 Konsumsi Protein Hewani 0.663 0.000 0.762 0.000 Konsumsi Protein Nabati 0.189 0.257 0.039 0.814 Status Gizi -0.172 0.301 0.041 0.807 Jenis Kelamin 0.306 0.061 0.290 0.078 Uang Saku 0.037 0.826 0.045 0.789 Usia -0.331 0.042 -0.273 0.097 Mengerjakan PR di Rumah 0.843 0.000 0.806 0.000 Mengulangkembali Pelajaran 0.843 0.000 0.806 0.000 Orangtua Menemani Belajar 0.880 0.000 0.878 0.000 Kursus 0.880 0.000 0.878 0.000 Memiliki Ruang Belajar Pribadi 0.880 0.000 0.878 0.000 Memiliki Meja Khusus Belajar 0.784 0.000 0.695 0.000 Memiliki Alat Tulis Pribadi 0.813 0.000 0.738 0.000 Pendidikan Ayah -0.037 0.825 0.001 0.995 Pendidikan Ibu 0.210 0.205 0.279 0.090 Pendapatan Keluarga 0.029 0.865 0.089 0.596 IQ 0.490 0.002 0.409 0.011
57
Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Prestasi Belajar Matematika Berdasarkan uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang nyata positif antara tingkat kecukupan energi (r=0.336, p<0.05), tingkat kecukupan protein (r=0.384, p<0.05) dengan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai raport matematika. Sementara itu, tingkat kecukupan energi (r=0.294, p>0.05) tidak berhubungan nyata dengan prestasi belajar yang dilihat dari tes hasil belajar matematika, namun tingkat kecukupan protein (r=0.347, p<0.05). Hal ini berarti bahwa semakin cukup tingkat kecukupan protein maka semakin tinggi prestasi belajar siswa. Hal ini diduga karena siswa lebih banyak mengonsumsi makanan jajanan yang berasal dari protein daripada makanan yang mengandung kalori tinggi. Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2003) menyatakan bahwa protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun sel-sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon, membentuk zat anti energi dimana tiap gram protein menghasilkan sekitar 4.1 kalori. Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, daya kreativitas dan daya kerja merosot, mental lemah dan lain-lain. Protein merupakan salah satu sumber zat gizi makro (makronutrien) yang berkontribusi besar pada fungsi otak. Asam amino esensial diperlukan untuk mengatur pembentukan neurotransmiter di otak (Bourre 2006). Menurut Khomsan dan Faisal (2008), zat pembangun merupakan unsur protein yang sangat penting untuk perkembangan tingkat kecerdasan seseorang. Menurut Winarno dan Ong (2007), tubuh mencerna karbohidrat menjadi bentuk glukosa dan mendistribusikan glukosa ke seluruh sel dalam tubuh, termasuk otak. Dalam sel, glukosa mengalami proses pembakaran sehingga menghasilkan energi yang akan dipakai untuk beraktivitas, otak mengonsumsi lebih besar dari organ lainnya. Dalam aktivitas sehari-hari, otak mengonsumsi lebih dari 40% seluruh karbohidrat yang dimakan. Sel-sel neuron di otak memerlukan energi dalam jumlah yang besar karena sel tersebut berperan dalam aktivitas metabolisme. Menurut Waugh dan Grant (2003), mendukung aktivitas internal dan eksternal,
tubuh membutuhkan
energi.
Sumber
energi didapatkan dari
metabolisme bahan makanan yang mengandung karbohidrat, lemak dan protein.
58
Proporsi makanan yang normal biasanya mengandung karbohidrat 55-75%, lemak 15-30% dan protein 10-15%. Bahan makanan sumber energi tersebut akan dipecah menjadi molekul yang sederhana dan diubah menjadi energi kimia yang disimpan dalam bentuk Adenosin Tri Phosphat (ATP) dan menghasilkan panas melalui oksidasi seluler (siklus Krebs). Setiap 1 gram karbohidrat yang dioksidasi akan menghasilkan energi 4,1 kkal, air dan karbon dioksida. Sementara oksidasi lemak menghasilkan 9,3 kkal/gram dan oksidasi protein menghasilkan energi 4,35 kkal/gram (Sherwood 2007).
Hubungan Konsumsi Protein Hewani dan Nabati dengan Prestasi Belajar Matematika Hasil uji korelasi Pearson terhadap konsumsi protein hewani dan nilai raport matematika menunjukkan adanya hubungan nyata positif (r=0.663, p<0.01). Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi protein nabati (r=0.189, p>0.05) dengan nilai raport matematika. Terdapat hubungan sangat nyata positif antara konsumsi protein hewani (r=0.762, p<0.01) dengan THB matematika, namun tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi protein nabati (r=0.039, p>0.05) dengan THB matematika. Hal ini berarti semakin tinggi konsumsi protein hewani maka semakin tinggi prestasi belajar matematika siswa. Konsumsi protein berguna untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi, dan sebagai sumber energi, meskipun fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan, tetapi apabila tubuh kekurangan zat energi, fungsi protein untuk menghasilkan energi atau untuk membentuk glukosa akan didahulukan. Glukosa dibutuhkan sebagi sumber energi sel-sel otak dan sistem syaraf (Almatsier 2004). Hemoglobin, pigmen darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen ke otak, sehingga otak dapat berpikir lebih baik. Apabila protein yang masuk ke dalam tubuh kurang dapat menyebabkan konsentrasi belajar menurun sehingga menyebabkan prestasi belajar menurun, sebaliknya apabila protein yang masuk cukup dapat menyebabkan prestasi belajar menjadi lebih baik.
Menurut Winarno dan Ong
(2007), telur merupakan sumber protein hewani yang baik untuk otak, karena telur mengandung sumber kholin. Kholin khususnya asetilkholin merupakan neurotransmitter yang bertugas untuk daya tangkap dan kecerdasan otak.
59
Semakin cepat asetilkholin bekerja, semakin cepat pula daya tangkap satu unit manusia terhadap informasi. Hubungan Fasilitas Belajar dengan Prestasi Belajar Matematika Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara mengerjakan PR di rumah (r=0.854, p<0.01), mengulang kembali pelajaran (r=0.854, p<0.01), kursus (r=0.873, p<0.01), orangtua menemani saat belajar (r=0.873, p<0.01), memiliki ruang belajar (r=0.873, p<0.01), memiliki alat tulis sekolah (r=0.828, p<0.01), memiliki meja khusus belajar (r=0.804, p<0.01) dengan prestasi belajar yang dilihat dari nilai raport matematika siswa. Sementara itu, Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara mengerjakan PR di rumah (r=0.806, p<0.01), mengulang kembali pelajaran (r=0.806, p<0.01), kursus (r=0.878, p<0.01), orangtua menemani saat belajar (r=0.878, p<0.01), memiliki ruang belajar (r=0.878, p<0.01), memiliki alat tulis sekolah (r=0.738, p<0.01), memiliki meja khusus belajar (r=0.695, p<0.01) dengan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai THB matematika siswa. Hal ini berarti semakin banyak anak mendapatkan fasilitas belajar maka semakin tinggi prestasi belajar seorang anak. Tersedianya sarana belajar yang memadai memungkinkan anak dapat belajar dengan baik, sehingga memungkinkan anak mencapai prestasi belajar yang baik. Sebagaimana dikemukan Darman (1984) dalam (Siregar 2003) bahwa salah satu faktor yang menentukan prestasi belajar adalah adanya fasilitas belajar yaitu perlengkapan belajar. Apabila kebutuhan dan perlengkapan belajar kurang terpenuhi dapat membawa akibat yang negatif, misal anak tidak bisa belajar dengan baik sehingga sulit diharapkan untuk mencapai prestasi yang tinggi. Fasilitas belajar dapat mempengaruhi proses belajar seseorang. Kurangnya fasilitas menyebabkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar yang dimilikinya, sehingga dapat menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademiknya (Gunarsa & Gunarsa 2006). Hubungan Karakteristik Siswa dengan Prestasi Belajar Matematika Karakteristik
siswa
yang
dihubungkan
dengan
prestasi
belajar
matematika yaitu status gizi, uang saku, usia, dan jenis kelamin. Uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan tidak nyata antara uang saku siswa dengan nilai raport matematika (r=0.037, p>0.05) dan THB matematika (r=0.045, p>0.05),
60
hubungan tidak nyata antara jenis kelamin siswa dengan nilai raport matematika (r=0.306, p>0.05) dan THB mateamtika (r=0.290, p>0.05). Terdapat hubungan yang nyata negatif antara usia siswa dengan nilai raport matematika (r=-0.331, p<0.05), namun tidak terdapat hubungan yang nyata antara usia siswa dengan nilai THB matematika (r=-0.273, p>0.05). Hal ini berarti uang saku siswa dan jenis kelamin kurang berhubungan terhadap peningkatan prestasi belajar matematika siswa jika dibandingkan dengan faktor lainnya. Menurut Abdal (2007), umur bagi anak sekolah dasar menggambarkan kesiapan mental dan kematangan dalam belajar. Secara logika, dengan bertambahnya umur siswa, maka bertambah pula tingkat kematangan dan kesiapan mental dalam belajar yang sesuai dengan jenjang kelas yang ditempuhnya. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia siswa berhubungan nyata negatif dengan nilai raport matematika siswa, artinya semakin rendah usia siswa maka semakin tinggi nilai raport matematika siswa. Syah (2003) bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. faktor internal adalah semua faktor yang ada dalam diri siswa yang meliputi faktor fisik atau fisiologis dan faktor psikologis (intelegensi, status gizi, bakat, minat, dan sikap) sedangkan faktor eksternal adalah semua faktor yang berada di luar siswa yang meliputi faktor lingkungan sosial dan faktor non sosial (faktor perbedaan individual dan faktor pendekatan belajar). Sebaran siswa berdasarkan status gizi (IMT/U) dan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai raport matematika siswa terdapat pada Tabel 29. Sebagian besar siswa dengan status gizi kurus (2.6%), normal (15.8%), dan gemuk (2.6%) memiliki prestasi belajar matematika yang kurang. Sementara itu, sebaran siswa berdasarkan status gizi (TB/U) dan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai THB matematika siswa. Persentase siswa dengan status gizi kurus (5.3%),normal (36.8%), dan gemuk (5.3%) sebagian besar memiliki prestasi belajar matematika yang kurang. Uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang tidak nyata antara status gizi berdasarkan IMT/U dengan nilai raport matematika (r=-0.172, p>0.05) dan THB matematika (r=0.041, p>0.05). Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Brown dan Pollit (1996). Menurut Brown dan Pollit (1996) menyatakan bahwa pengaruh asupan zat gizi terhadap gangguan perkembangan anak melalui menurunnya status gizi. Status gizi yang kurang tersebut akan menimbulkan kerusakan otak, sakit, dan
61
penurunan pertumbuhan fisik. Ketiga keadaan ini akan berpengaruh terhadap perkembangan intelektual. Gangguan perkembangan yang tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial. Menurut Wibowo et al (1995), status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap inteligensinya. Status gizi yang baik jika tidak di dukung oleh usaha yang baik untuk belajar tidak akan memperoleh prestasi yang baik. Tabel 29 Sebaran siswa berdasarkan status gizi dan prestasi belajar matematika Status Gizi Total Prestasi Belajar Kurus
Normal
Gemuk
n
%
n
%
n
%
n
%
Kurang (<60)
1
2.6
6
15.8
1
2.6
8
21.1
Cukup (60-69)
1
2.6
11
28.9
3
7.9
15
39.5
Lebih dari cukup (70-79)
0
0.0
9
23.7
1
2.6
10
26.3
Baik (>80)
2
5.3
3
7.9
0
0.0
5
13.2
4
10.5
29
76.3
5
13.2
38
100.0
Kurang (<60)
2
5.3
14
36.8
2
5.3
18
47.4
Cukup (60-69)
1
2.6
4
10.5
2
5.3
7
18.4
Lebih dari cukup (70-79)
0
0.0
4
10.5
0
0.0
4
10.5
Baik (>80)
1
2.6
7
18.4
1
2.6
9
23.7
4
10.5
29
76.3
5
13.2
38
100.0
Nilai Raport Matematika
Total Nilai THB Matematika
Total
Hubungan Karakteristik Keluarga dengan prestasi belajar Matematika Hasil uji korelasi Rank Spearman tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ayah (r=-0.037, p>0.05) dan pendidikan ibu (r=0.210, p>0.05) dengan prestasi belajar matematika (nilai raport matematika siswa), tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ayah (r=0.001, p>0.05) dan pendidikan ibu (r=0.279, p>0.05) dengan prestasi belajar matematika (nilai THB matematika siswa). Pendapatan keluarga tidak berhubungan nyata dengan nilai raport matematika (r=0.029, p>0.05) dan THB matematika (r=0.089, p>0.05). Hal ini diduga karena rata-rata pendapatan keluarga siswa kurang dari Rp 1000000,00 per bulan, nilai raport matematika siswa dalam kategori cukup, dan nilai THB matematika dalam kategori kurang. Menurut Mc Wayne (2004), penghasilan orangtua yang rendah menyebabkan terhambatnya perkembangan kognitif anak.
62
Hubungan antara Intelligensi Quotient (IQ) dengan Prestasi Belajar Matematika Berdasarkan uji korelasi Pearson didapatkan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata positif (r=0.490, p<0.01) antara IQ dengan nilai raport matematika, begitu pula sebaliknya antara nilai raport matematika dengan IQ. Terdapat hubungan yang nyata positif (r=0.409, p<0.05) antara IQ dengan THB matematika, begitu pula sebaliknya antara THB matematika dengan IQ. Menurut Hawadi (2001), semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk mencapai prestasi yang tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk mencapai prestasi yang tinggi. Menurut Atmodowirjo (1993), salah satu faktor yang menentukan prestasi belajar adalah tingkat inteligensi (IQ). Tingkat inteligensi yang dimiliki siswa bersifat heterogen dan dapat digolongkan sesuai dengan tingkat kemampuannya. Seseorang yang memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, maka akan memudahkan dalam belajar dan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Fatmala (2008), faktor yang mempengaruhi prestasi belajar yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor fisiologi dan faktor psikologi, sedangkan faktor eksternal meliputi faktor lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Faktor psikologis, prestasi belajar salah satunya dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan intelektual (IQ).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Usia orangtua siswa terdiri dari usia ayah dan usia ibu. Usia ayah termasuk dalam golongan dewasa madya, sedangkan usia ibu berada dalam rentang dewasa muda. Besar keluarga siswa tersebar pada kelompok keluarga sedang. Sebagian besar pendidikan terakhir ayah dan ibu adalah SMA/ Sederajat. Persentase tertinggi pekerjaan ayah sebagai pegawai, sedangkan ibu merupakan ibu rumah tangga. Mayoritas pendapatan keluarga per bulan berada pada nilai < Rp 1.000.000,00. Lebih dari separuh siswa kelas 4 berjenis kelamin laki-laki. Usia siswa antara 10-13 tahun. Uang saku siswa sebagian besar berkisar Rp. 6.000,00-Rp. 10.000,00/ hari, berstatus gizi normal. Praktek ASI eksklusif relatif sedikit ditemukan di SD 09 dibandingkan dengan yang tidak diberikan ASI eksklusif. Rata-rata alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya dikarenakan ASI tidak keluar. Durasi pemberian ASI eksklusif mayoritas masih ≤ 2 bulan. Pemberian ASI di SD 09 selama lebih dari 12 bulan sebesar 26.3%. Lebih dari separuh ibu memberikan susu formula kepada anaknya saat anak berusia kurang dari 6 bulan. Intelligensi Quotient siswa berada pada kategori rata-rata kurang, sedangkan prestasi belajar matematika siswa yang dilihat dari nilai raport matematika dan THB matematika. Nilai raport matematika siswa berada dalam kategori cukup dan THB matematika siswa dalam kategori kurang. Siswa kelas 4 SDN 09 terbiasa makan tiga kali sehari. Lebih dari 80% siswa selalu melakukan sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Sebagian besar siswa selalu terbiasa minum susu setiap hari. Rata-rata siswa mengkonsumsi susu sebanyak satu gelas setiap hari. Jenis susu yang paling banyak dikonsumsi adalah susu kental manis. Mayoritas siswa selalu mengkonsumsi lauk hewani. Lauk hewani yang biasa dikonsumsi yaitu daging ayam. Siswa selalu mengkonsumsi lauk nabati. Lauk nabati yang biasa dikonsumsi siswa yaitu tempe. Siswa menyatakan selalu mengkonsumsi sayur. Siswa lebih terbiasa mengkonsumsi
sayur
kangkung.
Sebagian
besar
siswa
kadang-kadang
mengkonsumsi buah. Buah yang biasa dikonsumsi yaitu buah jeruk. Sebagian besar siswa kadang-kadang terbiasa membawa bekal ke sekolah. Lebih dari separuh siswa membawa nasi dan lauk pauk sebagai bekal sekolah. Siswa selalu terbiasa membawa air minum ke sekolah. Air minum yang paling biasa dibawa yaitu air mineral. Lebih dari 80% siswa selalu terbiasa jajan di sekolah.
64
Tiga jenis makanan jajanan yang biasa dibeli oleh siswa adalah mie, sosis, dan pangsit. Frekuensi pangan makanan pokok yang sering dikonsumsi yaitu nasi dengan rata-rata frekuensi konsumsi 18.4±3.8 kali/ minggu. Sumber protein hewani dengan frekuensi konsumsi tertinggi adalah sosis sapi dengan rata-rata frekuensi konsumsi 7.6±4.6 kali/ minggu. Pangan sumber protein nabati yang paling sering dikonsumsi adalah tempe dengan rata-rata frekuensi konsumsi 7.4±4.6 kali/ minggu. Sayuran yang paling tinggi dikonsumsi adalah sop kol dan wortel dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.4±2.1kali/ minggu. Buah yang paling tinggi frekuensi konsumsinya adalah papaya dengan rata-rata frekuensi 1.7±2.4 kali/ minggu. Sumber susu dan olahannya yang paling tinggi frekuensinya adalah susu kental manis dengan rata-rata frekuensi 3.7±3.3 kali/minggu. Lebih dari separuh tingkat kecukupan energi dan protein siswa tergolong defisit tingkat berat. Siswa kelas 4 SDN 09 terbiasa mengerjakan PR di rumah, terbiasa ditemani belajar oleh orangtua, dan tidak terbiasa mengulang kembali pelajaran di rumah. Sarana belajar yang dimiliki siswa yaitu memiliki meja khusus untuk belajar, memiliki ruang belajar, memiliki alat tulis lengkap, dan meluangkan waktunya untuk kursus, serta memiliki buku pelajaran yang lengkap. Berdasarkan uji korelasi Pearson, durasi pemberian ASI dan durasi pemberian ASI esksklusif, berhubungan signifikan dan positif dengan Intelligensi Quotient (IQ), sedangkan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, konsumsi protein hewani, mengerjakan PR di rumah, mengulang kembali pelajaran, orangtua menemani saat belajar, memiliki ruang belajar, memiliki alat tulis sekolah, memiliki meja khusus belajar, dan IQ sama-sama memiliki hubungan yang signifikan dan positif terhadap prestasi belajar matematika (nilai raport matematika) siswa, serta usia yang memiliki hubungan yang signifikan dan negatif dengan nilai raport matematika. Tingkat kecukupan protein, konsumsi protein hewani, mengerjakan PR di rumah, mengulang kembali pelajaran, orangtua menemani saat belajar, memiliki ruang belajar, memiliki alat tulis sekolah, memiliki meja khusus belajar, dan IQ berhubungan nyata dengan prestasi belajar matematika (THB matematika) siswa. Hasil uji korelasi Rank Spearman terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan ibu dengan Intelligence Quotient (IQ).
65
Saran Konsumsi makanan anak harus selalu diperhatikan setiap hari, agar kebutuhan zat gizi untuk melakukan aktivitas dapat terpenuhi. Peningkatan prestasi belajar dapat dilakukan, salah satunya dengan pola belajar yang teratur dan terencana. Pola belajar dengan cara mencicil sangat baik dilakukan agar bahan pelajaran yang dipelajari tidak mudah terlupakan. Penelitian selanjutnya disarankan dengan beberapa alternatif, diantaranya; (1) meneliti pengaruh pemberian asi, konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika matematika anak SDN favorit dengan SDN tidak favorit (biasa); (2) meneliti hubungan antara IQ dengan kecerdasan linguistik anak; (3) meneliti hubungan IQ dengan kecerdasan musikal anak; (4) meneliti hubungan IQ dengan kecerdasan spasial anak; (5) meneliti hubungan IQ dengan kecerdasan kinestik-jasmani anak; (6) meneliti hubungan IQ dengan kecerdasan antarpribadi; (7) meneliti hubungan IQ dengan kecerdasan intrapribadi; (8) meneliti hubungan IQ dengan kecerdasan naturalis anak.
DAFTAR PUSTAKA Abdal NJ. 2007. Hubungan proses pembelajaran dengan prestasi belajar siswa di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) dan Sekolah dasar Negeri (SDN) (penelitian di SDIT Ummul Quro dan SDN Sukadamai 3 Bogor) [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Almatsier. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Agustina H. 2003. Alokasi waktu anak untuk Leisure dan hubunganya dengan prestasi belajar siswa SD di kota Medan [Tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Armstrong T. 2002. Setiap Anak Cerdas. Jakarta :PT Gramedia Pustaka Umum. Atmarita FTS. 2004. Analisis Studi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Di dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi: Widyakarya Nasonal pangan dan Gizi VII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI. Hlm 149. Atmodowirjo ET. 1993. Stimulasi Terencana sebagai Upaya Peningkatan Kecerdasan Anak. Simposium Peranan Ibu dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran. Berg A. 1986. Gizi dalam Pembangunan Nasional, Sayogyo, Penerjemah. Jakarta: Rajawali. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta. Blackburn GL. 2001. Treatment Approaches: Food First for Weight Management and Health. Obes Res. 9:223-227. [07 April 2011] Boeree G.C. 2003. Intelligence and IQ. Shippensburg University in website http://webspace.ship.edu/cgboer/intelligence.html. [17 Maret 2011]. Bourre, J.M. 2006. Effects of nutrients (in food) on the structure and function of the nervous system: update on dietary requirements for brain. Part 2: Macronutrients. J Nutr Health Aging. 10:386-399. Brown JE et al. 2005. Nutrition through the life cycle. Balmont, USA: Thomson Wadsworth. Brown JL, Pollitt E. 1996. Malnutrition, Poverty and Intellectual Development. Scientific American 38-43. Campbell K. 2002. Family food environments of children: does sosioeconomics status make a difference. Asia Pacific Journal Clinical Nutrition. Daftar Komposisi Bahan Makanan. 2008. Persatuan Ahli Gizi Indonesia. Jakarta. Dalyono M. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
67
Damayanti R. 2002. Studi komparasi kecerdasan emosi pada siswa yang berprestasi baik dan berprestasi kurang [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. [Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 1997. Pedoman Deteksi Dini Kelainan Tumbuh Kembang Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan. ______________________________. 2001. Keunggulan dan Manfaat Menyusui. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes RI. _____________________________. 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi sehat dan kabupaten/ Kota Sehat. Jakarta: Depkes RI. ________________________________. 2004. Kebijakan Departemen Kesehatan tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pekerja Wanita. Jakarta: Pusat Kesehatan Kerja Depkes RI. Eastwood M. 2003. Principles of Human Nutrition (2nd Edition). USA: Blackwell Publishing Copany. Eckhardt L, Rivera J, Adair LS, Martorell R. 2001. Full breast-feeding for at least four months has differential effects on growth before and after six months of age among children in Mexican community. The Journal Of Nutrition 2304:2309. Engel JF, Backwell RD, Miniard PW. 1994. Perilaku Konsumen. Ed ke-6 Jilid I. Budiyanto FX, penerjemah. Jakarta: Binapura Aksara. Fatmala L. 2008. Pengaruh tingkat kecerdasan intelektual (IQ)terhadap prestasi belajar mata pelajaran ekonomi siswa kelas X SMA Laboratorium Universitas Negeri Malang tahun ajaran 2007-2008 [Skipsi]. Malang: Universitas Negeri Malang. Fawtrell et al. 2007. Optimal duration of exclusive breastfeeding: what is the evidence to support current recommendations?. American Journal of clinical Nutrition 85(suppl):635S-8S. Fitrisia DW. 2002. Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian susu formula pada bayi umur 0-12 bulan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. [FKMUI] Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 2009. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Ghozaly Laura F. 2011. Pengaruh kelompok teman sebaya dan media massa terhadap keterampilan sosial atlet muda di SMA Negeri Ragunan Jakarta [skripsi]. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Gibney MJ, MM Barrie, MK John, A Leonore. 2005. Publik Health Nutrion. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
68
Gibson. 2005. Principles of Nutritional Assesment. Oxford: University Press. Gunarsa SD, Gunarsa YSD. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gunawan AW. 2003. Born to be a Genius. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hapsari I. 2005. Tingkat kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional pada siswa sekolah dasa Berkonsep Alam dan sekolah dasar Konvensional [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Hardinsyah. 1997. Ekonomi Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. _________ et al. 2002. Modul Ketahanan Pangan 03: Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Institut Pertanian Bogor, Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) dan Departemen Pertanian, Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan (PPKP) Badan Bimas Ketahanan Pangan. Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. 1986. Pangan , Gizi, dan Pertanian (Suhardjo, penerjemah). Jakarta: UI-Press. Hawadi RA. 2001. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Hurlock EB. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Jacobson SW, ML Chiodo, JL Jacobson. 1999. Breastfeeding effects on intelligencequotient in 4-and 11-year-old children. Pediatrics 103:e71. Judarwanto, W. 2004. Mengatasi Kesulitan Makan Anak. Puspa Swara. Jakarta. Julianto I. 2010. Rahasia Kecerdasan Anak. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Kamalia D. 2005. Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi usia 1-6 bulan di wilayah kerja puskesmas kedungwuni I [Skripsi]. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat, UNS. Kartasapoetra G, Marsetyo H. 1991. Ilmu Gizi (Korelasi Kesehatan dan Produktivitas Kerja). Jakarta: Rineka Cipta. Khasanah N. 2011. ASI atau Susu FormulaYa?. Jogjakarta: Flash Books. Khomsan A, Hardinsyah, Sumarwan U dan Faisal A. 1998. Potensi Pengembangan Makanan Tradisional dalam Rangka Mendukung ACMI. Kerjasama Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) Lembaga Penelitian IPB.
69
Khomsan A. 2004. Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta: Grasindo. Khomsan A, Ridhayani S. 2008. 50 Menu Sehat untuk Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: PT Agromedia Pustaka. Khomsan A, Anwar F. 2008. Sehat Itu Mudah.Jakarta: Mizan. Krisnatuti D, R Yenrina. 2006. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa Swara. Megawangi R, Latifah M, Dina WF. 2005. Pendidikan Holistik. Jakarta: Indonesian Herritage Foundation. Mc Wayne C. 2004. A multivariate examination of parent involvement and the social and academic competencies of urban kindergarten children. Psychology in the Schools 41, 363-375. Mihilal.
2002. DHA tidak terdapat pada susu formula. http://www.suaramerdeka.com/harian/0208/23/nas23.html. [08 Oktober 2011].
Mindasa. 2007. Pengaruh pemberian ASI dan stimulasi psikososial terhadap tingkat perkembangan kognitif anak usia 2.5-5 tahun [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Moesono. 1986. Inteligensi, Bakat, dan Tes IQ. Jakarta. Gaya Favorite Press. Muchtadi D. 2002. Gizi untuk Bayi: Air Susu Ibu, Susu Formula dan Makanan Tambahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Napitu. 1994. Perilaku jajan di kalangan siswa SMA di pinggiran Kota DKI Jakarta. [Tesis]. Bogor:IPB. Nasoetion A, Riyadi H. 1994. Giziterapan. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdya keluarga. Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nilawati. 2006. Hubungan konsumsi ikan dengan perkembangan kognisi anak baduta (12-23 bulan) [Tesis]. http://eprints.undip.ac.id/15283/1/Nurul Salasa N e4e004043. [07 April 2011]. Nurmiati, Besral. 2008. Pengaruh durasi pemberian ASI terhadap ketahanan hidup bayi di Indonesia. Makara Kesehatan 12(2):47-52. Oktarina. 2010. Pengaruh riwayat pemberian ASI, MP-ASI, dan status gizi serta stimulasi psikososial saat ini terhadap perkembangan kognitif anak usia prasekolah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Pambudy N M. 2010. Rahasia Kecerdasan Anak. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Paramitadewi T. 2010. Analisis konsumsi pangan, aktivitas fisik, dan status gizi pada nelayan di kabupaten cilacap jawa tengah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, IPB.
70
Perkins S, Vannais C. 2004. Breast Feeding fo Dummies. Indian Polis: Wiley Publishing. Purwati S, Rahayuningsih S, Salimar. 2002. Perencanaan Menu untuk Penderita Kegemukan. Jakarta: Penebar Swadaya. Rachmadewi A. 2009. Pengetahuan, sikap, dan praktek pemberian ASI serta status gizi bayi usia 4-12 bulan di perdesaan dan perkotaan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Rina APM. 2008. Konsumsi pangan, status gizi dan prestasi belajar pada siswasiswi SMA Assalaam Surakarta [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Riordan. 2005. Breastfeeding and Human Lactation (3rd ed). Pediatrics 100: 1035 - 1039. [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes Republik Indonesia. Roesli U. 2000. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya. Sanjaya AW et al. 2007. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. Englowood Ciffs Prentice-Hall, New Jersey. Sara. 2006. Balita, IQ, dan gizi buruk. http://www.bkkbn.go.id/popups/. [24 Maret 2011]. Sardiman AM. 2005. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Satiadarma, Waruwu. 2003. Mendidik Kecerdasan. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Senjaya S. 2009. Pengertian inteligensi. http://sutisna.com/psikologi/inteligensi/ pengertian-inteligensi. [05 Maret 2011]. Setiawati. 2007. Analisis gaya pengasuhan, kecerdasan emosional, aktivitas ekstrakurikuler, dan prestasi belajar siswa di SMA Muhammadiyah Cirebon [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Sherwood L. 2007. Human Physiologi 6th ed. Thomson Broke/ Coke. Siregar. 2003. Pola asuh, tingkat konsumsi pangan, status gizi serta tingkat perkembangan sosial dan emosi anak yang tinggal dipanti asuhan dan keluarga [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Soekirman. 2002. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Dirjen Perguruan Tinggi Depdiknas.
71
Soemantri, A.G. 1978, Hubungan Anemia Kekurangan Zat Besi dengan Konsentrasi dan Prestasi Belajar [Tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, UNDIP. Soewendo A, Saidi S. 1990. Gizi perilaku dan pendidikan gizi di sekolah. Di dalam Karyadi D, Susanto D, Siagian UL, editor. Kesadaran Gizi Nasional dalam Rangka Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia Prosiding Simposium Pangan dan Gizi, serta Kongres IV Perhimpunan Peminat Pangan dan Gizi Indonesia; Padang, 26-28 Sep 1989. Padang. PergiziPangan Indonesia. Hlm 93. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor: IPB. _______. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta : Bumi Aksara. Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi Petani Sawah Beririgasi di Banjar Jawa Barat. Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Sulistijani DA, Herlianty MP. 2003. Menjaga Kesehatan Bayi dan Balita. Jakarta: Puspa Swara. Supariasa. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Suprihatin et al. 1996. Studi transisi keluarga, konsumsi pangan dan gizi dan perkembangan/ kecerdasan anak [Laporan Penelitian]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Suryabrata S. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Syah M. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers. Triyanti, Rina AA, Nofitasari A. 2009. Perilaku sarapan pagi dan kaitannya dengan prestasi belajar siswi sekolah menengah pertama di SMPN 2 Depok. Jurnal Kesehatan Masyarakat 03:02. Waugh A, Grant A. 2003. Ross and Wilson Anatomy and Physiology in Health and Ilness. London: Churchil Livingstone. [WHO] World Health Organization. 1995. WHO Expert Committee on Physical Status: the Use and Interpretation of Antrophometry. Geneva: WHO. ___________________________. 2007. Growth reference 5-19 years. http://www. who.int/growthref/who2007_bmi_for_age/en/index.html. [20 Maret 2011]. Wibowo, Kusno, R.H., Rihati, S. 1995. Media gizi keluarga,19(1) 1995: 27-37. http://isisonline.litbang.depkes.go.id/otomasi/index.php?p=show_detail&i d=454. [05 Maret 2011].
72
Widagdo, Mawardi H, Hannah. 2000. Pengetahuan dan praktek ibu anak balita tentang pemberian ASI di RW 03 kelurahan kamal kecamatan kalideres Jakarta barat. Kedokter Trisakti 19(3):104-114. Wigati PA. 2005. Hubungan antara riwayat durasi pemberian ASI dan tingkat kecerdasan (IQ) siswa usia 6-9 tahun di SDN Cepoko 01 Semarang [Skripsi]. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat, UNDIP. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia. Winarno FG, Ong R. 2007. Otak, Pangan, dan Kecerdasan. Bogor: M-Brio Press. Winkel WS. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo. Wirakusmah ES. 1994. Cara Aman dan Efektif Menurunkan Berat Badan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wiseman. 2002. Nutrition and Health. London: Taylor and Francis Inc. WNPG. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI. Yulia E. 1987. Konsumsi makanan dan prestasi belajar anak usia sekolah pada waktu sekolah pagi dan siang [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB.
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Kuesioner Penelitian (diisi oleh anak)
HUBUNGAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI, POLA KONSUMSI PANGAN, DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP KECERDASAAN LOGIKA-MATEMATIKA ANAK SDN 09 PAGI JAKARTA UTARA
Oleh: Aulia Masruroh I14070089
Nama Lengkap Siswa
:
Sekolah/Kelas
:
Pewawancara
:
Tanggal Wawancara
:
Jam Wawancara
:
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
75
A. KARAKTERISTIK SISWA A1
Nama
:
A2
Jenis Kelamin
1. Laki-laki
A3
Umur
:
A4
Alamat
:
A5
Tempat tinggal dengan:
1. Orang tua
A6
No. Telepon/HP
:
A7
Anak ke-
: ..............dari................bersaudara
A8
Tempat Tanggal Lahir
:
A9
Agama
:
A10
Uang saku per hari
: Rp.............................................................
A11
Berat Badan
:
A12
Tinggi Badan
:
A13
Status Gizi
:
2. Perempuan
2.Wali
D. POLA KONSUMSI PANGAN Kebiasaan Makan D1
D2
D3
Berapa kali kamu makan
a. 1 kali
c. 3 kali
dalam sehari?
b. 2 kali
d. 4 kali
Apakah kamu biasa sarapan
a. selalu
pagi?
b. kadang-kadang d. tidak pernah
Apakah kamu biasa
a. Selalu
c. jarang
mengonsumsi susu setiap
b. Kadang-kadang
d. tidak pernah
c. jarang
hari? D4
Bila selalu, berapa gelas yang kamu minum setiap
……………………………………..gelas
hari? D5
D6
Susu apa yang biasa kamu
a. Susu kental manis
konsumsi setiap hari?
b. Susu bubuk
Apakah kamu biasa
a. Selalu
mengonsumsi lauk hewani
b. Kadang-kadang
setiap hari?
c. susu sapi
d. lainnya,………. c. jarang
d. tidak pernah
76
D7
Lauk hewani apa yang biasa
a. Daging Ayam
[1] Ya
[2] Tidak
kamu konsumsi?
b. Daging Sapi
[1] Ya
[2] Tidak
c. Telur Ayam
[1] Ya
[2] Tidak
d. Ikan
[1] Ya
[2] Tidak
e. Lainya, sebutkan……….[1] Ya [2] Tidak D8
Apakah kamu biasa
a. Selalu
c. jarang
mengonsumsi lauk nabati
b. Kadang-kadang
d. tidak pernah
Lauk nabati apa yang biasa
a. Tempe
[1] Ya
[2] Tidak
kamu konsumsi?
b.
[1] Ya
[2] Tidak
[1] Ya
[2] Tidak
setiap hari? D9
kacang hijau
c. Tahu
d. lainnya, sebutkan………[1] Ya [2] Tidak D10
Apakah kamu biasa
c. Selalu
c. jarang
mengonsumsi sayuran
d. Kadang-kadang
d. tidak pernah
Sayuran apa yang sering
a. Bayam
[1] Ya
[2] Tidak
kamu konsumsi?
b.
[1] Ya
[2] Tidak
[1] Ya
[2] Tidak
setiap hari? D11
Kacang panjang
c. Kangkung d.
Lainnya, sebutkan……[1] Ya [2] Tidak
D12
Apakah kamu biasa
a. Selalu
c. jarang
mengkonsumsi buah setiap
b. Kadang-kadang
d. tidak pernah
hari? D13
Buah apa yang sering kamu
a. Jeruk
[1] Ya
[2]Tidak
konsumsi?
b. Anggur
[1] Ya
[2]Tidak
c. Apel
[1] Ya
[2]Tidak
d.
Lainnya,sebutkan…….[1] Ya
[2}
Tidak D14
Apakah kamu biasa
a. selalu
c. jarang
membawa bekal ke
b. kadang-kadang d. tidak pernah
sekolah? D15
Makanan apa yang biasa
a. nasi + lauk pauk c. roti
kamu bawa untuk bekal di
b. mie
d. lainnya, sebutkan …
77
sekolah? D16
Apakah kamu biasa
a. selalu
c. jarang
membawa air minum dari
b. kadang-kadang d. tidak pernah
rumah ke sekolah? D17
Minuman apa yang biasa
a. air mineral (air putih) [1] Ya [2] Tidak
kamu bawa ke sekolah?
b. susu
[1] Ya [2] Tidak
c. Teh manis
[1] Ya [2] Tidak
d. Sari buah
[1] Ya [2] Tidak
e. Lainnya, sebutkan ……[1] Ya [2] Tidak D18
D19
Apakah biasa jajan di
a. selalu
c. jarang
sekolah?
b. kadang-kadang d. tidak pernah
Makanan/jajanan apa yang biasa kamu beli? (sebutkan maksimal 3 jenis Jajanan)
E. POLA BELAJAR DAN FASILITAS BELAJAR E1
Apakah kamu mengerjakan
a. Ya
b. tidak
a. Ya
b. tidak
a. Ya
b. tidak
a. Ya
b. tidak
a. Ya
b. tidak
a. Ya
b. tidak
a. Ya
b. tidak
PR di rumah? E2
Apakah kamu suka mengulangkembali pelajaran di sekolah saat di rumah?
E3
Apakah kamu memiliki meja khusus untuk belajar?
E4
Apakah orang tua menemani kamu saat belajar?
E5
Apakah kamu kursus atau Les?
E6
Apakah kamu memiliki ruang belajar pribadi?
E7
Apakah kamu memiliki buku pelajaran yang
78
lengkap? E8
Apakah kamu memiliki alat-alat tulis pribadi?
a. Ya
b. tidak
79
F. Food Frequency Quotientaire (FFQ) Makanan Pokok Nama Pangan F1
Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan (per kali) Hari Minggu Bulan
Jumlah gram
Ket
URT
Nasi (beras merah/beras putih)*
F2
Mie (Instant)
F3
Roti
G. Food Frequency Quotientaire (FFQ) Pangan Hewani dan Olahannya Nama Pangan G1
Daging Ayam
G2
Daging Sapi
G3
Telur Ayam
G4
Ikan Segar
G5
Ikan Pindang
G6
Worst (sosis sapi)
G7
Corned beef
G8
Nugget Ayam
Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan (per kali) Hari Minggu Bulan
Jumlah gram
Ket
URT
H. Food Frequency Quotientaire (FFQ) Pangan Nabati dan Olahannya Nama Pangan H1
Kacang hijau
H2
Tempe
H3
Tahu
Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan (per kali) Hari Minggu Bulan
Jumlah gram
URT
Ket
80
I. Food Frequency Quotientaire (FFQ) Sayuran Nama Pangan I1
Bayam
I2
Buncis
I3
Kol
I4
Kangkung
I5
Kacang panjang
I6
Labu siam
I7
Sop kol dan wortel
I8
Wortel
I9
Daun singkong
Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan (per kali) Hari Minggu Bulan
Jumlah gram
Ket
URT
J. Food Frequency Quotientaire (FFQ) Buah-buahan Nama Pangan J1
Anggur
J2
Apel
J3
Jeruk
J4
Papaya
J5
Pisang
J6
Mangga
Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan (per kali) Hari Minggu Bulan
Jumlah Gram
Ket
URT
K. Food Frequency Quotientaire (FFQ) Susu dan olahannya, minyak, serta gula Nama Pangan K1
Keju
K2
Susu kental manis
K3
Susu sapi
K4
Susu bubuk
Frekuensi dan Jumlah Konsumsi Pangan (per kali) Hari Minggu Bulan
Jumlah gram
URT
Ket
81
K5
Yoghurt
. RECALL KONSUMSI PANGAN (2x24 jam) Hari 1/ Tanggal :…………………………………………………………… Waktu Pagi
Selingan I
Siang
Selingan II
Malam
Nama Bahan pangan Jumlah yang dikonsumsi makanan URT Berat (g)
Ket
82
Hari 2/ Tanggal :……………………………………………………………… Waktu
Nama makanan
Bahan pangan Jumlah yang dikonsumsi URT Berat (g)
Pagi
Selingan I
Siang
Selingan II
Malam
Terima kasih. Partisipasi anda sangat membantu kelancaran skripsi saya.
Ket
83
Lampiran 2
KUESIONER PENELITIAN (diisi oleh orang tua)
HUBUNGAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI, POLA KONSUMSI PANGAN, DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP KECERDASAAN LOGIKAMATEMATIKA ANAK SDN 09 PAGI PADEMANGAN BARAT Tanggal pengisian
:
Orang tua dari
:
Isilah kolom dibawah ini sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Berikan tanda (X) pada jawaban dengan pertanyaan pilihan dan Berilah keterangan pada jawaban yang bertanda (*).
B. KARAKTERISTIK KELUARGA B1
Nama
B2
Umur
B3
Alamat
B4
No.telp/HP
Ayah : Ibu
:
Ayah : Ibu
:
[1] Tidak Tamat SD/sederajat [2] SD/sederajat [3]SMP/sederajat B5
Pendidikan Terakhir Ayah:
[4] SMA/sederajat [5] Diploma/Akademi [6] Sarjana [7] Pasca Sarjana [1] Tidak Tamat SD/sederajat
B6
Pendidikan Terakhir ibu:
[2] SD/sederajat [3]SMP/sederajat [4] SMA/sederajat
84
[5] Diploma/Akademi [6] Sarjana [7] Pasca Sarjana [1] PNS [2] TNI/POLRI B7
[3] Pegawai Swasta/BUMN
Pekerjaan Ayah:
[4] Wiraswasta [5] Pedagang [6] Lainnya (….....................................)* [1] PNS [2] Pegawai Swasta/BUMN
B8
[3] Wiraswasta
Pekerjaan Ibu:
[4] Ibu rumah Tangga [5] Pedagang [6] Lainnya (….....................................)* [1] < Rp 1.118.009 [2] Rp 1.118.009-Rp 2.000.000 [3] Rp 2.000.000-Rp 2.499.000
B9
Pendapatan keluarga per [4] Rp 2.500.000-Rp 2.999.000 bulan : [5] Rp 3.000.000-Rp 3.499.000 [6] Rp 3.500.000-Rp 3.999.000 [7] > Rp 4.000.000 (sebutkan…..........)*
B10
B11
Berapa jumlah keluarga yang bersama Anda?
anggota [1] ≤ 3 orang (sebutkan…....................) tinggal [2] 4 orang
[3] 5 orang Misal (ayah, ibu, anak ke-1, [3] > 5 orang (sebutkan…....................)* anak ke-2, dan kakek = 5) Berapa jumlah pengeluaran untuk pangan dalam sebulan?
C. PRAKTEK PEMBERIAN ASI 1
2
Apakah dulu ibu memberikan ASI yang a. Ya b. Tidak keluar pertama kali (kolostrum) kepada anak ibu ? Jika tidak diberikan, apakah alasan ibu : a. Cair, kotor, dan berbau
85
amis b. Tidak diperbolehkan c. Lainnya, sebutkan…..
3
4 5
Apakah anak diberi ASI Eksklusif pada 6 a. Ya bulan pertama? b. Tidak (ASI Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa tambahan cairan dan makanan lain) Jika tidak, sampai usia berapa bulan Umur……………………bulan anak ibu diberi ASI Eksklusif (ASI saja) ? Jika tidak apa alasan ibu : a. Bayi menangis b. ASI tidak keluar c. Ibu bekerja d. Lainnya, sebutkan……… Umur………………bulan
6
Sampai usia berapa anak ibu menyusu ?
7
Apakah ibu memberikan susu formula a. Ya pada 1 tahu pertama usia anak ? b. Tidak
8
Sejak usia berapa bulan anak ibu diberi Umur………………bulan susu formula ?
Terima kasih. Partisipasi anda sangat membantu kelancaran skripsi saya.