HUBUNGAN KOMUNIKASI PEMASARAN DENGAN TINGKAT KUALITAS DAYA SAING UMKM KERAJINAN DI KOTA BOGOR
TIFFANY DIAHNISA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Komunikasi Pemasaran dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Kerajinan di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagaian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Tiffany Diahnisa NIM I34110061
ABSTRAK
TIFFANY DIAHNISA. Hubungan Komunikasi Pemasaran dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Kerajinan di Kota Bogor. Dibimbing oleh YATRI INDAH KUSUMASTUTI Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran penting dalam perekonomian lokal dan nasional. Berbagai produk UMKM merambah pasar lokal, nasional, dan internasional. Begitupun peran UMKM kerajinan di Kota Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pelaksanaan komunikasi pemasaran yang digunakan oleh UMKM kerajinan, mengidentifikasi tingkat kualitas daya saing UMKM kerajinan, menganalisis hubungan karakteristik UMKM kerajinan dengan pelaksanaan komunikasi pemasaran, dan menganalisis hubungan pelaksanaan komunikasi pemasaran dengan tingkat kualitas daya saing UMKM kerajinan. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah penelitian kuantitatif, yaitu penggunaan instrumen berupa kuesioner dan didukung data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor tergolong sedang, dimana sebagian besar menggunakan media sosial sebagai media komunikasi dan Word of Mouth (WOM) sebagai bauran promosi, sedangkan dalam hal kualitas daya saing, UMKM kerajinan di Kota Bogor memiliki tingkat kualitas daya saing yang tergolong sedang. Kesimpulan dari penelitian ini ialah pelaksanaan komunikasi pemasaran khususnya ragam media komunikasi dan ragam bauran promosi berhubungan dengan tingkat kualitas daya saing. Kata kunci: UMKM, komunikasi pemasaran, tingkat kualitas daya saing
ABSTRACT
TIFFANY DIAHNISA. The Coherency of Marketing Communications with Quality Level of Competitiveness of MSME’s craft in the city of Bogor. Supervised by YATRI INDAH KUSUMASTUTI Micro, Small, and Medium Enterprises (MSME) has an important role in local and national economy. Many MSME’s product penetrated local, national, and international market. This study aims to identify the implementation of marketing communication used by MSMEs craft, identify quality level of competitiveness of MSME’s craft, analyze the relationship characteristics of MSME’s craft with the implementation of marketing communications, and analyze the relationship between the implementation of marketing communications with the quality level of competitiveness of MSME’s craft. This study combined quantitative approach using questioner method and supported by qualitative data using depth interview method. The results showed that the implementation of the marketing communications MSME’s craft in the city of Bogor has classified moderate, while mostly using social media as a communication medium and Word of Mouth (WOM) as the promotional mix, while in terms of the quality competitiveness, MSME’s craft in Bogor has classified moderate in quality level of competitiveness. The conclusion from this study is the implementation of marketing communications especially variety of media communication and promotion mix related quality level of competitiveness. Keywords: MSME, marketing communication, quality level of competitiveness
HUBUNGAN KOMUNIKASI PEMASARAN DENGAN TINGKAT KUALITAS DAYA SAING UMKM KERAJINAN DI KOTA BOGOR
TIFFANY DIAHNISA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi
: Hubungan Komunikasi Pemasaran dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Kerajinan di Kota Bogor Nama Mahasiswa : Tiffany Diahnisa NIM : I34110061
Disetujui oleh
Ir Yatri Indah Kusumastuti MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:__________________
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Hubungan Komunikasi Pemasaran dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Kerajinan di Kota Bogor. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini mengangkat tema komunikasi pemasaran UMKM dengan lokasi di Kota Bogor, Jawa Barat. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Ir Yatri Indah Kusumastuti MSi sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada orang tua tercinta Bapak Agus Waryono SH dan Ibu Endah Nurlianti SH yang selalu mendoakan dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis. Selain itu juga kepada pihak pemerintah Kota Bogor, Dinas UMKM Kota Bogor, dan pemilik UMKM kerajinan. Tidak lupa juga penulis ucapkan terimakasih kepada teman-teman SKPM 48, khususnya Weninda Ayu, Aldilla Putri, Nafiah Kurniasih, Dwijayanti, Yulita Mega, Citra Dhyani, Adella Adiningtyas, Rifayana, Nindya Dewinta, Nina Juliyana, Febri Santoso, Nurlaila, Fatimah Azzahra, dan Riski Bayuni. Kemudian teman-teman akselerasi SKPM 48, Himasiera 2013/2014, khususnya Divisi Jurnalistik dan tim Majalah Komunitas FEMA. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Februari 2015
Tiffany Diahnisa
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Komunikasi Pemasaran Media Komunikasi Pemasaran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Daya Saing UMKM Kerangka Penelitian Hipotesis Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Teknik Pengambilan Informan dan Responden Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data GAMBARAN UMUM UMKM KERAJINAN DI KOTA BOGOR Latar Belakang Usaha Karakteristik UMKM Kerajinan Skala Usaha Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha Tingkat Pendidikan Pemilik UMKM Tingkat Pendidikan Pekerja UMKM Hambatan Pengembangan UMKM Kerajinan Pihak yang Membantu Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran PELAKSANAAN KOMUNIKASI PEMASARAN UMKM KERAJINAN DI KOTA BOGOR Media Komunikasi Pemasaran Bauran Promosi Biaya Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran TI TINGKAT KUALITAS DAYA SAING UMKM KERAJINAN DI KOTA BOGOR Tingkat Produktivitas UMKM Kerajinan Tingkat Profit UMKM Kerajinan Luas Cakupan Pasar UMKM Kerajinan
viii x xi xi 1 1 3 3 4 5 5 5 9 10 12 13 14 15 19 19 19 19 20 21 22 24 26 26 27 27 28 30 33 36 37 39 42 44 45 46 47
ix
HUBUNGAN KARAKTERISTIK UMKM KERAJINAN DENGAN PELAKSANAAN KOMUNIKASI PEMASARAN Hubungan Skala Usaha dengan Ragam Media Komunikasi Hubungan Skala Usaha dengan Ragam Bauran Promosi Hubungan Skala Usaha dengan Frekuensi Penggunaan Media Hubungan Skala Usaha dengan Frekuensi Penggunaan Bauran Promosi Hubungan Skala Usaha dengan Biaya Pelaksanaan Hubungan Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha dengan Ragam Media Komunikasi Hubungan Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha dengan Ragam Bauran Promosi Hubungan Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha dengan Frekuensi Penggunaan Media Hubungan Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha dengan Frekuensi Penggunaan Bauran Promosi Hubungan Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha dengan Biaya Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran HUBUNGAN PELAKSANAAN KOMUNIKASI PEMASARAN DENGAN TINGKAT KUALITAS DAYA SAING Hubungan Ragam Media Komunikasi dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Hubungan Ragam Bauran Promosi dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Hubungan Frekuensi Penggunaan Media Komunikasi dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Hubungan Frekuensi Penggunaan Bauran Promosi dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Hubungan Biaya Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM PENUTUP Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
49 49 50 50 51 51 52 52 53 53 54 55 55 56 56 57 58 59 59 60 61 63 78
x
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7
8
9 10 11
Perbandingan penggunaan bentuk komunikasi pemasaran Profil kategori media utama Perbedaan skala UMKM berdasarkan aset dan nilai penjualan Jumlah dan persentase skala usaha menurut tingkat pendidikan pemilik UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Jumlah dan persentase skala usaha berdasarkan tingkat pendidikan pekerja UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Jumlah dan persentase skala usaha menurut frekuensi penggunaan media oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Jumlah dan persentase skala usaha menurut frekuensi penggunaan bauran promosi oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Jumlah dan persentase skala usaha menurut biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Jumlah dan persentase skala usaha berdasarkan tingkat produktivitas UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Jumlah dan persentase skala usaha berdasarkan tingkat profit UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Jumlah dan persentase skala usaha berdasarkan luas cakupan pasar UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014
8 10 11 28 30 39
41
42 45 46 48
xi
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran 2 Persentase latar belakang UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 3 Persentase skala UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 4 Persentase tingkat pendidikan pemilik UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 5 Persentase tingkat pendidikan pekerja UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 6 Persentase hambatan pengembangan UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 7 Persentase pihak yang membantu pelaksanaan komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 8 Persentase pelaksanaan komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 9 Persentase ragam media komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 10 Persentase penggunaan media komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 11 Persentase ragam bauran promosi yang digunakan oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 12 Persentase penggunaan bauran promosi oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 13 Persentase tingkat kualitas daya saing UMKM Kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014
13 24 26 27 29 31 33 36 37 38 40 41 44
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5
Denah lokasi penelitian Jadwal kegiatan penelitian Daftar responden Hasil uji statistik Rank Spearman Dokumentasi penelitian
64 65 66 68 76
PENDAHULUAN
Latar Belakang Komunikasi pemasaran adalah upaya komunikasi yang dilakukan untuk memperkenalkan produk suatu perusahaan baik barang atau jasa kepada masyarakat, sehingga masyarakat tahu dan kemudian tertarik untuk menggunakan produk tersebut. Seorang komunikator dalam komunikasi pemasaran harus mampu menjelaskan dan menyampaikan informasi mengenai suatu produk yang ditawarkan dengan bahasa yang komunikatif dan mudah dipahami. Selain itu komunikasi pemasaran sebagai usaha untuk menyampaikan pesan kepada publik, terutama konsumen sasaran mengenai keberadaan suatu produk di pasar (Kotler 2000) seperti yang dikutip oleh (Kusumastuti 2009). Pelaku usaha melakukan berbagai upaya dalam rangka menjalankan komunikasi pemasaran yang efektif. Salah satunya dengan mengaplikasikan bauran promosi (promotion mix). Bauran menurut Tjiptono (2008) ialah tugastugas dimana perusahaan sebagai produsen mengenalkan, menyebarkan informasi, mempengaruhi konsumen melalui sebuah instrumen pemasaran yaitu periklanan, promosi penjualan, publisitas, penjualan tatap muka, dan pemasaran langsung. Sehingga konsumen dapat mengetahui, tertarik, dan selanjutnya membeli atau mengkonsumsi produk tersebut. Beberapa bentuk bauran promosi tersebut, antara lain periklanan (advertising), promosi penjualan (sales promotion), hubungan masyarakat dan publisitas (public relation and publicity), penjualan tatap muka (personal selling), dan penjualan langsung (direct selling). Hal terkait pemasaran tersebut tidaklah mudah, namun di era digital saat ini, komunikasi pemasaran dapat ditunjang melalui penggunaan media. Media adalah penghubung antara sumber dan penerima dalam berkomunikasi. Media dapat digunakan untuk menginformasikan pesan dan berkomunikasi dengan konsumen, seperti media massa (media elektronik dan media cetak), media kelompok (video presentasi), media personal (katalog, profil korporat, dan folder), dan media hibrida (social media, internet, dan lain-lain). Saat ini, pemasaran melalui media dan bauran promosi dilakukan sebagai cara untuk menghadapi era perdagangan bebas, dimana kualitas daya saing menjadi kunci keberlangsungan usaha tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). UMKM memiliki peran penting dalam perekonomian suatu negara baik di negara maju maupun di negara berkembang. Menurut Tambunan (2009) UMKM negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin berperan dalam menyerap tenaga kerja dan menjadi sumber pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan, serta pembangunan ekonomi pedesaan. Hal ini pun terjadi di Negara Indonesia. Usaha yang berorientasi pada sumber daya lokal ini berpengaruh terhadap sektor ekonomi lokal masyarakat dan mampu menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) yang dikutip oleh Widhi (2005), jumlah tenaga kerja yang terserap dalam sektor UMKM sekitar 80 persen sampai 90 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Sejak krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1998, di saat banyak usaha yang
2
mati, UMKM merupakan salah satu usaha yang berkembang. Hal ini disebabkan karena UMKM menggunakan bahan baku lokal, sehingga tidak menghadapi kesulitan keuangan akibat depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terjadi pada saat krisis tersebut. Usaha yang menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ini bertujuan untuk mengembangkan perekonomian nasional. Hal ini didukung oleh Urata (2000) seperti yang dikutip oleh Sulistyastuti dan Dyah (2004) yang mengemukakan tentang beberapa peran UMKM, antara lain sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di Indonesia, penyedia kesempatan kerja, pemain penting dalam pembangunan ekonomi lokal dan pengembangan masyarakat, pencipta pasar dan inovasi melalui fleksibilitas dan sensivitas serta keterkaitan dinamis antar kegiatan perusahaan, dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekspor non migas. Menghadapi era pasar bebas di tahun 2015, persaingan tidak hanya terjadi antar produk dalam negeri, tetapi juga bersaing dengan produk-produk luar negeri, dimana hal tersebut sebagai implementasi bentuk kerjasama regional negaranegara yang tergabung dalam ASEAN. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah label bagi kerjasama tersebut. Sebuah negara dituntut untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat mengelola dan menghasilkan produk yang mampu bertahan dan berdaya saing. Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah ialah meningkatkan kualitas daya saing melalui pengembangan sektor usaha. Sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Kota Bogor. Bogor merupakan kota di Provinsi Jawa Barat yang masuk dalam pilihan destinasi pariwisata. Kota yang terkenal dengan sebutan kota hujan ini memiliki banyak tempat yang dapat dikunjungi, antara lain Kebun Raya Bogor, Museum Perjoangan, berbagai wisata kuliner, outlet, dan gerai produk kerajinan. Sebagaimana usaha kerajinan di Kota Bogor, dimana perkembangan sektor usaha tersebut didukung oleh lembaga yang menaungi, memfasilitasi, dan membantu para pelaku usaha khususnya UMKM kerajinan untuk terus berkembang, bertahan, dan berdaya saing. Beberapa lembaga tersebut yaitu Dewan Kerajinan Nasional (Dekranasda), Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, serta Dinas Perdagangan dan Industri. Berbagai pelatihan, pameran, galeri produk, dan komunikasi pemasaran disediakan guna memfasilitasi perajin. Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh para pelaku UMKM di Kota Bogor, Jawa Barat, khususnya UMKM dalam bidang kerajinan, seperti kerajinan wayang, sulaman, batik, kerajinan daur ulang sampah, dan lain-lain untuk meningkatkan kualitas daya saing. Berbagai produk kerajinan dihasilkan kemudian dipasarkan baik di Bogor, beberapa kota sekitar Bogor, nasional, regional hingga menembus pasar internasional. Menurut Dekranasda Kota Bogor, pengunjung khususnya dari negara lain, memiliki ketertarikan yang tinggi pada produk kerajinan Kota Bogor, seperti batik, wayang, alat musik tradisional, dan lain sebagainya. Begitupun peran UMKM dalam meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor. Berdasarkan data dari Bagian Ekonomi Pemerintah Kota Bogor pada tahun 2014, pada tahun 2012 PDRB Kota Bogor sebesar Rp 22,712,531.28 atau sekitar 18.96 persen, kemudian mengalami peningkatan sebesar 3.61 persen pada tahun 2013 dengan PDRB sebesar Rp 27,035,861.34
3
atau 22.57 persen. Akan tetapi kuatnya persaingan di dunia usaha membuat para pelaku usaha, harus mampu beradaptasi dan bersaing secara sehat dengan produk impor yang mampu menembus pasar Indonesia melalui perdagangan bebas. Produk yang dihasilkan baik barang maupun jasa harus dapat menarik minat konsumen potensial dan mempertahankan konsumen tetap. Berbagai upaya dapat dilakukan agar produk dapat diketahui oleh masyarakat, salah satunya melalui strategi komunikasi pemasaran. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, maka hubungan pelaksanaan komunikasi pemasaran dengan tingkat kualitas daya saing UMKM kerajinan di Kota Bogor relevan untuk diteliti.
Masalah Penelitian Sektor UMKM memiliki peran penting dalam perekonomian lokal dan nasional. Berbagai produk UMKM merambah pasar lokal, nasional, dan internasional. Akan tetapi, masuknya perdagangan bebas ke Indonesia, menjadi hambatan bagi UMKM untuk bersaing dengan kualitas produk impor. Menurut Kepala Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor, para perajin di Kota Bogor kurang memiliki kreatifitas dalam mengembangkan produknya, selain itu belum mampu memenuhi permintaan pasar. Masalah lainnya ialah produk yang dihasilkan belum dapat menunjukkan ciri khas Kota Bogor dan belum banyak dikenal oleh masyarakat luas. Sehingga UMKM kerajinan tersebut membutuhkan suatu komunikasi pemasaran melalui bauran promosi dan penggunaan media komunikasi pemasaran untuk terus bertahan dan berkembang. Berdasarkan permasalahan di atas maka rumusan masalah yang akan diteliti, antara lain: 1. Bagaimana pelaksanaan komunikasi pemasaran yang digunakan oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor? 2. Bagaimana tingkat kualitas daya saing UMKM kerajinan di Kota Bogor? 3. Bagaimana hubungan karakteristik UMKM kerajinan dengan pelaksanaan komunikasi pemasaran? 4. Bagaimana hubungan pelaksanaan komunikasi pemasaran dengan tingkat kualitas daya saing UMKM kerajinan di Kota Bogor?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian bertujuan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi pelaksanaan komunikasi pemasaran yang digunakan oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor. 2. Mengidentifikasi tingkat kualitas daya saing UMKM kerajinan di Kota Bogor 3. Menganalisis hubungan karakteristik UMKM kerajinan dengan pelaksanaan komunikasi pemasaran. 4. Menganalisis hubungan pelaksanaan komunikasi pemasaran dengan tingkat kualitas daya saing UMKM kerajinan di Kota Bogor.
4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam kebijakan tentang UMKM. 2. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi perusahaan dalam menerapkan strategi komunikasi pemasaran. 3. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai hubungan komunikasi pemasaran dengan tingkat kualitas daya saing 4. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memotivasi masyarakat untuk lebih memilih untuk mengonsumsi produk-produk dalam negeri.
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka Komunikasi Pemasaran Komunikasi pemasaran adalah upaya komunikasi yang dilakukan untuk memperkenalkan produk suatu perusahaan baik barang atau jasa kepada masyarakat, sehingga masyarakat tahu dan kemudian tertarik untuk menggunakan produk tersebut. Seorang komunikator dalam komunikasi pemasaran harus mampu menjelaskan dan menyampaikan informasi mengenai suatu produk yang ditawarkan dengan bahasa yang komunikatif dan mudah dipahami. Mengutip pendapat Shinta (2011), komunikasi pemasaran adalah aktivitas pemasaran yang berusaha untuk menyebarkan informasi, mempengaruhi/membujuk dan atau mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan dan produknya agar bersedia menerima, membeli dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan. Selain itu komunikasi pemasaran sebagai usaha untuk menyampaikan pesan kepada publik, terutama konsumen sasaran, mengenai keberadaan suatu produk di pasar (Kotler 2000) seperti yang dikutip oleh (Kusumastuti 2009). Perusahaan melakukan berbagai upaya dalam rangka menjalankan komunikasi pemasaran yang efektif, salah satunya dengan mengaplikasikan bauran promosi. Bauran promosi menurut Tjiptono (2008) ialah tugas-tugas dimana perusahaan sebagai produsen mengenalkan, menyebarkan informasi, mempengaruhi konsumen melalui sebuah instrumen pemasaran (periklanan, promosi penjualan, publisitas, penjualan tatap muka, dan pemasaran langsung), sehingga konsumen sebagai kelompok sasaran dapat mengetahui, tertarik, dan selanjutnya membeli atau mengkonsumsi produk tersebut. Berikut ini penjelasan mengenai bauran promosi, yaitu pertama, periklanan merupakan salah satu bentuk bauran promosi yang sudah sering digunakan oleh mayoritas produsen, baik iklan melalui media cetak (surat kabar, majalah, baliho, dan lain-lain) maupun media elektronik (radio, televisi, dan lainlain). Iklan dibuat semenarik mungkin dengan berbagai tampilan visual dan katakata yang singkat namun langsung pada inti/tujuan. Beberapa karakteristik iklan menurut Kusumastuti (2009), yaitu iklan merupakan alat yang relatif murah dimana perusahaan dapat menyampaikan kepada konsumen mengenai keberadaan suatu produk. Tjiptono (2008) menyatakan bahwa iklan adalah bentuk komunikasi tidak langsung, yang didasari pada informasi tentang keunggulan atau keuntungan suatu produk, yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa menyenangkan yang akan mengubah pikiran seseorang untuk melakukan pembelian. Terdapat tiga jenis periklanan menurut tujuannya, yaitu periklanan informatif yang bertujuan untuk mengomunikasikan nilai kepada pelanggan, memberitahukan produk baru, membangun produk dan citra perusahaan; periklanan persuasif ialah pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan (langsung maupun tidak langsung), dimana bertujuan untuk membangun preferensi mereka, mengubah persepsi pelanggan
6
terhadap atribut produk, dan membujuk pelanggan untuk membeli sekarang; dan periklanan pengingat, bertujuan untuk memelihara hubungan dengan pelanggan, mengingatkan konsumen dimana harus membeli produk, dan menjaga merek dalam pikiran pelanggan selama musim sepi (Kotler dan Amstrong 2008). Pemasar memulai dengan mengidentifikasi segmentasi dan motif pembeli. dalam mengembangkan program iklan. Menurut Kotler dan Keller (2009), setelah melakukan dua hal utama diatas, seorang manajer pemasaran dapat menggunakan lima keputusan utama yang dikenal dengan “lima M”, yaitu misi/mission: apa tujuan iklan anda?; uang/money: berapa banyak uang yang dapat kita habiskan?; pesan/message: apa pesan yang harus kita kirimkan?; media: apa media yang harus kita gunakan?; dan pengukuran/measurement: bagaimana kita harus mengevaluasi hasilnya. Iklan dengan skala besar memungkinkan perusahaan manufaktur untuk menghasilkan produksi massal dengan biaya yang murah, dan membangun identitas merek untuk produk perusahaan tertentu. Besar biaya promosi sangat tergantung dari bentuk, tempat dan lama kegiatan (Syarif 2008). Pada era modern ini, tayangan iklan mendominasi program di televisi. Hal ini menunjukkan bahwa ketatnya persaingan di dunia bisnis produk, dimana produsen berlomba-lomba membujuk dan mempengaruhi masyarakat untuk membeli produknya. Perusahaan harus dapat membaca pasar. Menurut Kusumastuti (2009), periklanan mengandung enam elemen yaitu: 1. periklanan adalah suatu bentuk komunikasi yang memerlukan biaya. Kecuali iklan layanan masyarakat yang menggunakan ruang khusus yang tidak berbayar, walaupun harus membayar hanya dengan jumlah yang sedikit, 2. terdapat identifikasi produsen, dimana iklan tidak hanya menampilkan pesan mengenai kehebatan produk, tetapi juga pesan agar konsumen sadar mengenai perusahaan yang memproduksi produk tersebut, 3. upaya membujuk dan mempengaruhi konsumen melalui rancangan pesan, 4. periklanan membutuhkan elemen media massa sebagai media penyampai pesan, 5. sifatnya nonpersonal, dan 6. target audiens ditetapkan dengan jelas. Jika produk tersebut merupakan produk yang tergolong dewasa, maka perusahaan berperan sebagai pemimpin pasar dan menggunakan mereka rendah. Tujuannya ialah untuk merangsang lebih banyak pembeli, sedangkan jika produk merupakan produk baru, seorang pemasar harus membuat merek tersebut lebih baik dari merek pesaing. Hal ini dilakukan untuk menyakinkan pasar tentang keunggulan merek. Kedua, bentuk bauran promosi lainnya adalah bentuk persuasi langsung melalui penggunaan berbagai insentif yang dapat diatur untuk merangsang pembelian produk dengan segera dan/atau meningkatkan jumlah barang yang dibeli pelanggan atau disebut promosi penjualan (Tjiptono 2008). Tujuan dari promosi penjualan seperti dinyatakan oleh Tjiptono (2008), yaitu perusahaan dapat menarik pelanggan baru, mendorong pelanggan membeli lebih banyak, menyerang aktivitas promosi pesaing, meningkatkan impulse buying (pembelian tanpa rencana sebelumnya), atau mengupayakan kerja sama yang lebih erat
7
dengan pengecer. Menurut Kusumastuti (2009), tiga tujuan dari promosi penjualan, antara lain merangsang permintaan oleh pengguna industri atau konsumen rumah tangga, memperbaiki kinerja pemasaran dan penjual kembali, dan sebagai suplemen periklanan, penjualan tatap muka, hubungan masyarakat, dan pemasaran langsung. Sebagai contoh hubungan promosi penjualan dan periklanan, dimana promosi penjualan lebih menitikberatkan pada menciptakan tindakan segera dan berdasarkan daya tarik barang atau jasa, sedangkan periklanan cenderung untuk menciptakan citra dan berdasarkan pada daya tarik emosional. Jika keduanya digabungkan maka akan mampu meningkatkan jumlah konsumen, meningkatkan penggunaan produk oleh konsumen, dan membangun persepsi mengenai produk dan jasa yang ditawarkan. Promosi penjualan dapat dilakukan dalam bentuk media maupun non media, seperti undian, kupon, pameran, produk sampel, dan lain-lain. Bentuk bauran promosi yang ketiga yaitu hubungan masyarakat dan publisitas. Publisitas digunakan oleh perusahaan dalam memasarkan produknya dengan kelebihan yang tidak dimiliki jika menggunakan media iklan, dimana taktik ini memberi informasi yang lebih lengkap. Publisitas adalah bentuk penyajian dan penyebaran ide, barang, dan jasa secara non personal, yang mana orang atau organisasi yang diuntungkan tidak membayar untuk itu. Hal ini disebabkan karena bauran ini merupakan pemanfaatan nilai-nilai berita yang terkandung dalam suatu produk untuk membentuk citra produk yang bersangkutan (Tjiptono 2008). Sebagai contoh press kits, seminar, pidato, sponshorship, dan lain-lain. Keempat, penjualan tatap muka (personal selling) merupakan komunikasi langsung antara penjual dan calon pelanggan untuk memperkenalkan suatu produk kepada calon pelanggan dan membentuk pemahaman pelanggan terhadap produk sehingga mereka kemudian akan mencoba dan membelinya (Tjiptono 2008). Bauran promosi ini dinilai efektif untuk memasarkan produk dan membangun hubungan awal dengan pelanggan, walaupun perusahaan harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal. Terdapat beberapa fungsi dari penjualan tatap muka, yaitu menyampaikan pesan yang kompleks kepada konsumen potensial mengenai kebijakan dan produk perusahaan, mengadaptasi penawaran dan atau daya tarik promosional produk untuk kebutuhan yang unik dan konsumen yang spesifik, dan membujuk konsumen bahwa produk atau jasa perusahaan lebih baik atau setidak-tidaknya mempunyai sisi-sisi positif dibandingkan produk pesaing (Kusumastuti 2009). Contoh dari penjualan tatap muka, antara lain presentasi penjualan, pertemuan penjualan, program insentif, pasar malam, dan lain-lain. Terakhir, pemasaran langsung. Pemasaran langsung adalah sistem pemasaran yang bersifat interaktif, yang memanfaatkan satu atau beberapa media iklan untuk menimbulkan respon yang terukur dan atau transaksi disembarang lokasi (Tjiptono 2008). Beberapa contoh pemasaran langsung, yaitu katalog, surat, TV shopping, e-mail, telemarketing, dan lain-lain. Perkembangan teknologi dan transportasi semakin mempermudah cara bauran promosi ini. Selain itu tingginya tingkat aktivitas manusia, memungkinkan mempermudah proses transaksi antara penjual dan calon pembeli.
8
Akan tetapi menurut Amir (2005) secara umum pemasar menggunakan dua strategi yaitu push dan pull. Strategi push, yaitu pemasar mendorong produk ke konsumen lewat berbagai komunikasi pemasaran ke saluran pemasaran, wholeseller, dan peritel. Contoh dari push strategy ialah penjualan personel dan promosi perdagangan. Pull strategy merupakan strategi dimana produsen lebih dulu menjalankan komunikasi pemasaran untuk konsumen akhir, umumnya melalui periklanan dan promosi penjualan. Tabel 1 Perbandingan penggunaan bentuk komunikasi pemasaran Bentuk Komunikasi Pemasaran Penjualan tatap muka
Barang Industri
Barang Konsumsi Tahan Lama
Barang Konsumsi Tidak Tahan Lama
69.2
47.6
38.1
0.9
10.6
20.9
12.5
16.1
14.8
Promosi penjualan
9.6
15.5
15.5
Promosi merek kemasan
4.5
9.5
9.8
3.3
0.6
0.9
Periklanan di media elektronik Periklanan di media cetak
Lain-lain
dan
Sumber: Jon. G. Udel seperti yang dikutip oleh Kusumastuti (2009), “Komunikasi Bisnis”, Edisi Pertama, Bogor 2009, hal. 167 Bentuk komunikasi pemasaran lainnya yang masih efektif digunakan ialah Word of Mouth (WOM) atau berita dari mulut ke mulut, dimana produk diketahui oleh konsumen melalui konsumen lain yang sudah membeli dan menggunakan produk tersebut. Menurut Kotler dan Keller (2009), berita dari mulut ke mulut bisa sangat efektif untuk bisnis kecil yang di dalamnya pelanggan dapat merasakan hubungan yang lebih pribadi. Terdapat dua bentuk khusus berita dari mulut ke mulut, yaitu pemasaran Buzz dan Viral. Pemasaran Buzz (gosip/perbincangan) menghasilkan ketertarikan, menciptakan publisitas, dan mengeskpresikan informasi relevan baru yang berhubungan dengan merek melalui sarana yang tak terduga atau bahkan mengejutkan. Pemasaran viral adalah pemasaran yang dapat mendorong konsumen menceritakan produk dan jasa yang dikembangkan perusahaan atau informasi audio, video, dan tertulis kepada orang lain secara online. Efek berita dari mulut ke mulut ini, dapat diukur dengan skala kampanye (seberapa jauh jangkauan kampanye), kecepatan (seberapa cepat kampanye itu menyebar), pangsa suara di ruang tersebut, pangsa suara dalam kecepatan tersebut, apa kampanye tersebut mampu mengangkat sentimen positif, apakah
9
pesan itu dipahami, apakah pesan itu relevan, apakah pesan itu mampu bertahan, dan seberapa jauh pesan itu bergerak dari sumbernya (Kotler dan Keller 2009). Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Larasati (2011) pada UMKM Mitra binaan IPB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UMKM Mitra binaan IPB menggunakan lima bauran promosi tersebut dan WOM dalam pemasaran produknya. Namun pelaksanaan komunikasi pemasaran belum optimal terutama dari anggaran biaya promosi dan frekuensi pelaksanaannya. Media Komunikasi Pemasaran Kegiatan komunikasi pemasaran salah satunya adalah perlu dukungan dari media. Melalui pemilihan saluran komunikasi yang tepat, pesan dari penjual kepada pembeli dapat berlangsung efektif. Tjiptono (2008) menyatakan tujuan dari strategi pemilihan media ialah memilih media yang tepat untuk kampanye iklan dalam rangka membuat pelanggan menjadi tahu, paham, menentukan sikap, dan membeli produk yang dihasilkan perusahaan. Kusumastuti (2009) mengemukakan pendapat bahwa komunikasi pemasaran membagi media atas tiga kelompok, antara lain: a. media massa, terdiri atas media elektronik dan media cetak. b. media kelompok, biasa digunakan pada kegiatan-kegiatan yang melibatkan kelompok tertentu, misalnya video presentasi, dan c. media personal, seperti katalog, profil korporat, dan folder. Mugniesyah (2009) menyebutkan bahwa seiring dengan berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi, mulai muncul media yang berbasis teknologi komputer dan menggabungkan semua fungsi media, sehingga media ini mampu menjangkau khalayak di banyak lokasi. Media tersebut dikenal dengan sebutan media hibrida yaitu internet dan media sosial. Seorang komunikator dalam komunikasi pemasaran harus cermat dalam memilih media apa yang akan digunakan dalam memasarkan produk kepada konsumen, karena media dalam hal ini berhubungan dengan segmentasi yang dipilih. Suatu produk yang dihasilkan baik produk baru maupun produk lama membutuhkan media sebagai alat promosi. Hal tersebut bertujuan agar konsumen dan calon konsumen dapat mengetahui informasi produk yang bersangkutan baik harga, merek, dan ketersediaan di pasar. Menurut Kusumastuti (2009), efisiensi penggunaan media dilihat dari sejauh mana media itu dapat menjangkau sasaran secara tepat, frekuensi yang dibutuhkan, dan durasi tayang iklan pada media dengan intensitas tinggi. Media merupakan alat krusial yang memiliki arti penting dalam mendukung upaya komunikasi pemasaran dalam hal ini promosi. Oleh karena itu seorang pemasar perlu melakukan perencanaan media. Menurut Morrisan (2010), perencanaan media merupakan kegiatan yang sangat penting dalam periklanan dan promosi. Seringkali terjadi iklan dan promosi menjadi kegiatan penghamburan dana namun tidak memberikan hasil yang diharapkan. Perencanaan media yang dipersiapkan dengan baik akan menghasilkan komunikasi yang efektif sehingga pesan yang disampaikan akan mendapat perhatian lebih besar dari audiensi sasaran.
10
Tabel 2 Profil kategori media utama Media Surat Kabar
Televisi
Radio
Majalah
Direct Mail
Keunggulan Fleksibilitas, tepat waktu, mampu menangkap pasar lokal dengan baik, jangkauan penerimaan yang luas, tingkat kepercayaan tinggi. Informasi bisa dilihat, didengar dan gambar yang bergerak menarik untuk ditonton, perhatian tinggi, jangkauan luas. Mempunyai banyak pendengar, selektivitas geografi dan demografi yang tinggi dengan biaya yang rendah. Selektivitas demografi dan geografi yang tinggi, prestise dan kredibilitas, hasil cetakan berkualitas tinggi, berumur panjang, jumlah pembaca yang meneruskan informasi cukup baik. Memiliki selektivitas audiens, tidak ada iklan pesaing dalam media yang sama, bersifat pribadi.
Keterbatasan Umur informasi pendek, kualitas gambar dan cetakan jelek, sedikit audiens yang meneruskan informasi (small “pass-along” audience) Biaya tinggi, kebingungan yang tinggi, tingkat pemaparan yang cepat berlalu dan audiens kurang mempunyai daya seleksi Audiens hanya mendengarkan saja, perhatian yang lebih rendah dibandingkan televisi, pemaparan yang cepat berlalu. Waktu tunggu yang lama, waktu sirkulasi terbuang, dan tidak ada jaminan posisi yang lebih baik.
Biaya relatif tinggi dan kesan atau citra surat sampah
Sumber: Kotler dan Fox seperti yang dikutip oleh Kusumastuti (2009), “Komunikasi Bisnis”, Edisi Pertama, Bogor 2009, hal. 173 Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) UMKM merupakan usaha yang mampu bertahan ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia. Usaha ini mampu menyerap tenaga kerja dan berkontribusi dalam mendistribusikan hasil-hasil pembangunan dan menggunakan sumber daya lokal. Terdapat ciri khas dari UMKM, yaitu modal yang kecil, jumlah pekerja yang sedikit, risiko yang sedikit tinggi tetapi return tinggi, biasanya digerakkan dari rumah tangga, dan membawa kewirausahaan bagi pemiliknya (Isnaini 2010). Indonesia memiliki banyak UMKM, namun tidak seluruh UMKM ini berbadan hukum. Justru sebagian besar UMKM yang ada, yakni sekitar 95.1 persen dari jumlah unit usaha tidak berbadan hukum (BPS seperti yang dikutip oleh Tambunan 2009). Hal ini karena mayoritas UMKM memiliki modal yang sangat minim dan terbentur berbagai birokrasi dan persyaratan yang rumit dan kompleks untuk mendapatkan pelayanan dalam pengembangan usahanya. Menurut Sulistyastuti dan Dyah (2004), yang menjadi karakteristik UMKM adalah pemakaian bahan baku lokal. Keberadaan UMKM seringkali terkait dengan tingginya intensitas pemakaian bahan baku lokal. Selain itu juga dilihat dari lokasi, proses pengolahan, dan pasar atau tipe dari produk yang dihasilkan. Karakteristik lainnya ialah skala usaha, jenis bidang usaha, dan tingkat pendidikan. Skala usaha menunjukkan seberapa besar usaha berdasarkan aset dan
11
nilai penjualan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (BI 2008). Tabel 3 Perbedaan skala UMKM berdasarkan aset dan nilai penjualan Jenis Usaha Mikro Kecil Menengah
Aset (x)
Nilai Penjualan (y) ≤ 50 Juta
≤ 300 Juta
50 Juta < x ≤ 500 Juta
300 Juta < y ≤ 2.5 M
500 Juta < x ≤ 10 M
2,5 M < y ≤ 50 M
Sumber: UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia memiliki berbagai UMKM dengan bidang usaha yang beragam, seperti UMKM pangan, jasa, kerajinan, dan pertanian. Para pelaku UMKM menjalankan usaha sesuai kemampuan mereka, sebagai usaha untuk menghasilkan pemasukan dan memenuhi kebutuhan hidup. Mengacu pada data BPS yang dikutip oleh Tambunan (2009) diketahui bahwa sebagian besar pengusaha UMKM mengungkapkan alasan kegiatan usaha yang mereka lakukan adalah latar belakang ekonomi. Hal ini didukung dengan kondisi tingkat pendidikan pengusaha yang mayoritas tergolong rendah. Akan tetapi, beberapa pengusaha menjalankan bisnis keluarga secara turun-temurun. Sebagian pengusaha kecil di Indonesia memiliki alasan berusaha karena adanya peluang bisnis dan pangsa pasar. Sedangkan latar belakang pengusaha menengah, antara lain motivasi dari pengusaha kecil, yakni melihat prospek usaha ke depan, adanya peluang dan pangsa pasar yang aman dan besar. Pada era perdagangan bebas saat ini, UMKM dimaksudkan sebagai usaha yang memberdayakan lokal agar dapat bersaing di pasar internasional dengan pemasaran melalui berbagai media komunikasi pemasaran. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Khristianto (2012) mengenai penggunaan teknologi informasi di usaha kecil menengah (Studi pada usaha kecil menengah di wilayah Gedong Meneng). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah UKM pemakai internet masih sangat sedikit, namun pelaku bisnis sudah mempunyai pandangan dalam upaya memanfaatkan teknologi internet, seperti menjaga hubungan dengan pelanggan, menginformasikan usaha, dan mencari informasi. Akan tetapi kendala utama berasal dari internal UMKM, dimana pelaku UMKM belum merasa butuh terhadap teknologi komputer dan internet, lalu mahalnya harga perangkat komputer dan langganan internet karena keterbatasan dana, dan minimnya SDM yang mengoperasikan komputer dan internet. Berbagai penelitian lainnya yang mendukung ialah penelitian Tajuddin, Manan, dan Adil (2011) tentang model strategi pemasaran terintegrasi berbasis teknologi informasi di Nusa Tenggara Barat, dimana bertujuan untuk membuat sistem e-commerce sebagai alat pemasaran produk UMKM.
12
Daya Saing UMKM UMKM dalam usaha untuk mempertahankan keberadaannya harus dapat melihat peluang usaha dengan baik, khususnya saingan dari luar negeri melalui barang impor. Hal ini memunculkan suatu daya saing. Daya saing UMKM ialah kemampuan untuk memperoleh posisi dan mempertahankan diri dalam kompetisi dan pangsa pasar. Kunci suatu perusahaan untuk dapat berdaya saing ialah inovasi. Daya saing mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas perusahaan dan memperluas akses pasar. Hal ini akan bermuara kepada peningkatan omset penjualan dan profitabillitas perusahaan (Rahmana, Iriani, dan Oktarina 2009). Pengukuran daya saing UMKM dibagi menjadi daya saing produk dan daya saing perusahaan. Daya saing produk melihat bagaimana perusahaan tersebut dalam menghasilkan produk, sedangkan daya saing perusahaan merupakan cerminan dari daya saing produk, dimana tingkat daya saing sebuah perusahaan mendorong atau menentukan daya saing produk yang dibuatnya (Tambunan 2009). Indikator-indikator yang dapat digunakan dalam pengukuran daya saing, yaitu pertumbuhan nilai atau volume output, pangsa PDB, pangsa pasar, nilai omset, profit, tingkat pendidikan rata-rata pekerja dan pengusaha, pengeluaran R&D, jumlah sertifikat standardisasi yang dimiliki dan jumlah paten yang dibeli, standardisasi, jenis teknologi yang digunakan, produktivitas atau efisiensi, nilai mesin dan peralatan produksi atau nilai aset, jumlah pengeluaran promosi, dan jaringan kerja atau kerja sama dengan pihak lain. Persaingan di dunia usaha menjadi acuan bagi pelaku usaha untuk terus mengembangkan usaha dan berdaya saing tinggi. Pada era teknologi saat ini, hal tersebut bukan suatu hal yang sulit. Teknologi yang dikembangkan dapat digunakan untuk terus meningkatkan produktivitas usaha. Perusahaan berdaya saing tinggi umumnya merupakan perusahaan yang produktif. Produktivitas pun berkaitan dengan laju pertumbuhan nilai, dimana menurut Tambunan (2009) laju pertumbuhan nilai/volume output tidak hanya menunjukkan tingkat kemampuan produksi dari sebuah perusahaan, tetapi juga mencerminkan adanya permintaan pasar terhadap produk tersebut. Permintaan pasar tersebut dapat meningkatkan nilai omset perusahaan. Selanjutnya dari tingkat profit, artinya semakin besar daya saing maka semakin besar keuntungannya, dengan asumsi faktor-faktor lain tidak berubah. Akan tetapi untuk pasar dalam negeri, karena tidak ada data mengenai berapa banyak produk yang dibuat UMKM dijual di pasar dalam negeri, maka distribusi output menurut skala usaha dan sektor dapat digunakan. Sebuah perusahaan yang nilai omsetnya terus meningkat setiap tahun, yang artinya ada permintaan pasar terhadap produknya, adalah perusahaan yang berdaya saing tinggi. Indikator lainnya ialah luas cakupan pasar, dimana dapat dilihat dari segmentasi pasar sasaran dari produk suatu perusahaan. Segmentasi memiliki ciri khusus, yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan lain-lain. Perencanaan segmentasi harus dilakukan secara efektif dan efisien, jika tidak akan mengakibatkan pengeluaran biaya promosi dan waktu yang terlalu tinggi. Menurut Kusumastuti (2009), hal yang dilakukan ialah proses perencanaan dan segmentasi potensial yang meliputi pertama, analisis peluang pasar. Analisis pasar mencakup karakteristik dan kebutuhan pasar, strategi produk, tempat, daya
13
beli, dan sebagainya. Kedua, analisis pesaing, dimana menganalisis pesaing langsung (direct competitor) dan tidak langsung (indirect competitor). Pesaing langsung ialah pesaing yang memiliki hubungan langsung dengan produk, sedangkan pesaing tidak langsung yaitu perusahaan yang memiliki produk berbeda tetapi keberadaan produk bersifat substitutif. Ketiga, menetapkan pasar sasaran. Langkah ini menjadi fokus dari hasil, tujuan, dan pencapaian yang diharapkan perusahaan. Proses ini ditentukan melalui identifikasi pasar tentang kebutuhan yang belum terpuaskan, menentukan segmentasi pasar, menyeleksi pasar sasaran, dan pemosisian perusahaan melalui strategi pemasaran. Kerangka Penelitian Sektor UMKM merupakan usaha yang menjadi salah satu penunjang pembangunan ekonomi negara. Kuatnya persaingan di dunia usaha membuat para pelaku usaha, khususnya pelaku UMKM harus mampu beradaptasi dan bersaing sehat dengan produk impor yang mampu menembus pasar Indonesia melalui perdagangan bebas. Produk yang dihasilkan baik barang maupun jasa harus dapat menarik minat calon konsumen dan mempertahankan konsumen tetap. Karakteristik UMKM - Skala Usaha - Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha
Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran
Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM
-
Ragam Media Komunikasi Ragam Bauran Promosi Frekuensi Penggunaan Media Frekuensi Penggunaan Bauran Promosi - Biaya Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran
- Tingkat Produktivitas - Tingkat Profit - Luas Cakupan Pasar
Gambar 1 Kerangka pemikiran Keterangan: : berhubungan Karakteristik UMKM dapat dilihat dari modal yang kecil, jumlah pekerja yang minim, terbentur birokrasi, pemakaian bahan baku lokal, skala usaha dan tingkat pendidikan pelaku usaha, dan jenis bidang usaha. Akan tetapi dalam
14
penelitian ini karakteristik UMKM dilihat hanya dari skala usaha dan tingkat pendidikan pelaku usaha. Hal ini karena kedua variabel ini dapat mewakili pengukuran karakteristik UMKM di Kota Bogor. Variabel lainnya ditanyakan dalam kuesioner sebagai data tambahan, sedangkan untuk jenis bidang usaha tidak dijadikan variabel pengukuran karena responden bersifat homogen yaitu UMKM yang bergerak di bidang kerajinan. Skala usaha diukur berdasarkan aset dan nilai penjualan sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, dimana karakteristik tersebut diduga berhubungan dengan pelaksanaan komunikasi pemasaran. Berbagai upaya dapat dilakukan agar produk dapat diketahui oleh masyarakat, salah satunya melalui pelaksanaan komunikasi pemasaran yang terdiri dari ragam media komunikasi (media personal, media kelompok, dan media massa), ragam bauran promosi (periklanan, promosi penjualan, hubungan masyarakat dan publisitas, penjualan tatap muka, dan pemasaran langsung), frekuensi penggunaan media komunikasi dan bauran promosi, dan biaya pelaksanaan. Komunikasi pemasaran yang dilakukan diduga berhubungan dengan tingkat kualitas daya saing UMKM yang dapat diukur dari pertumbuhan nilai atau volume output, pangsa PDB, pangsa pasar, nilai omset, profit, tingkat pendidikan rata-rata pekerja dan pengusaha, pengeluaran R&D, jumlah sertifikat standardisasi yang dimiliki dan jumlah paten yang dibeli, standardisasi, jenis teknologi yang digunakan, produktivitas atau efisiensi, nilai mesin dan peralatan produksi atau nilai aset, jumlah pengeluaran promosi, dan jaringan kerja atau kerja sama dengan pihak lain. Akan tetapi dalam penelitian ini tingkat kualitas daya saing dilihat hanya dari tingkat produktivitas, tingkat profit, dan luas cakupan pasar. Hal ini karena variabel tersebut dapat mewakili pengukuran untuk melihat tingkat kualitas daya saing UMKM di Kota Bogor
Hipotesis Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: 1. Diduga terdapat hubungan antara skala usaha dengan ragam media komunikasi 2. Diduga terdapat hubungan antara skala usaha dengan ragam bauran promosi 3. Diduga terdapat hubungan antara skala usaha dengan frekuensi penggunaan media 4. Diduga terdapat hubungan antara skala usaha dengan frekuensi penggunaan bauran promosi 5. Diduga terdapat hubungan antara skala usaha dengan biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran 6. Diduga terdapat hubungan antara tingkat pendidikan pelaku usaha dengan ragam media komunikasi 7. Diduga terdapat hubungan antara tingkat pendidikan pelaku usaha dengan ragam bauran promosi 8. Diduga terdapat hubungan antara tingkat pendidikan pelaku usaha dengan frekuensi penggunaan media
15
9. Diduga terdapat hubungan antara tingkat pendidikan pelaku usaha dengan frekuensi bauran promosi 10. Diduga terdapat hubungan antara tingkat pendidikan pelaku usaha dengan biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran 11. Diduga terdapat hubungan antara ragam media komunikasi dengan tingkat kualitas daya saing UMKM 12. Diduga terdapat hubungan antara ragam bauran promosi dengan tingkat kualitas daya saing UMKM 13. Diduga terdapat hubungan antara frekuensi penggunaan media dengan tingkat kualitas daya saing UMKM 14. Diduga terdapat hubungan antara frekuensi penggunaan bauran promosi dengan tingkat kualitas daya saing UMKM 15. Diduga terdapat hubungan antara biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran dengan tingkat kualitas daya saing UMKM 16. Diduga terdapat hubungan antara pelaksanaan komunikasi pemasaran dengan tingkat kualitas daya saing UMKM
Definisi Operasional 1. Karakteristik UMKM Merupakan ciri-ciri yang menggambarkan UMKM, dimana hal tersebut mempengaruhi pelaksanaan komunikasi pemasaran. Karakteristik ini dapat dilihat dari beberapa variabel, yaitu skala usaha dan tingkat pendidikan pelaku usaha a. Skala usaha dapat dilihat dari pengkategorian UMKM yang didasarkan atas aset (diluar tanah dan banguan) serta nilai penjualan tahunan yang dihitung dalam rupiah. Skala usaha diukur dengan skala ordinal. Ketetapan skala usaha dapat dikategorikan berdasarkan ketentuan UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah seperti dapat dilihat di Tabel 3. Variabel ini dapat dikategorikan dengan skor sebagai berikut: mikro (skor 1); kecil (skor 2); dan menengah (skor 3). b. Tingkat pendidikan pelaku usaha ialah pendidikan formal yang pernah ditempuh. Dalam hal ini jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani oleh pelaku UMKM baik pemilik usaha maupun pekerja. Variabel tingkat pendidikan diukur dengan skala ordinal, selanjutnya dikategorikan dengan skor sebagai berikut: rendah (tidak bersekolah atau lulus SD) skor 1; sedang (lulus SMP atau SMA) skor 2; dan tinggi (Perguruan Tinggi) skor 3. 2. Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran
Komunikasi pemasaran adalah upaya komunikasi yang dilakukan untuk memperkenalkan produk suatu perusahaan baik barang atau jasa kepada masyarakat, sehingga masyarakat tahu kemudian tertarik untuk menggunakan produk tersebut. Begitu pun pelaksanaan komunikasi
16
pemasaran yang dilakukan oleh UMKM terdiri dari ragam media komunikasi, bauran promosi, frekuensi pelaksanaan, dan biaya pelaksanaan. Keempat variabel tersebut diukur dengan menggunakan skala ordinal yang dikategorikan berdasarkan rataan skor, yaitu: rendah (skor 58); sedang (skor 9-12); tinggi (skor 13-15). a. Ragam media komunikasi ialah variasi jenis media komunikasi yang digunakan oleh UMKM dalam menjalankan komunikasi pemasaran, seperti media massa, media kelompok, dan media personal. Variabel ini merupakan skala ordinal yang diukur dengan lima pilihan ragam media dengan pilihan jawaban jika Ya (skor 2) dan Tidak (skor 1). Berikut kategori skor yang digunakan: rendah (skor 1) apabila akumulasi skor dari semua pertanyaan 5-6; sedang (skor 2) apabila akumulasi skor dari semua pertanyaan 7-8; dan tinggi (skor 3) apabila akumulasi skor dari semua pertanyaan 9-10. b. Ragam bauran promosi adalah variasi bentuk komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh UMKM untuk memperkenalkan produknya kepada konsumen. Terdapat beberapa bauran promosi, yaitu periklanan, promosi penjualan, publisitas, penjualan tatap muka, dan pemasaran langsung. Variabel ini merupakan skala ordinal yang diukur dengan tujuh pilihan ragam media dengan pilihan jawaban jika Ya (skor 2) dan Tidak (skor 1). Dikategorikan dengan skor sebagai berikut: rendah (skor 1) apabila akumulasi skor dari semua pertanyaan 7-9; sedang (skor 2) apabila akumulasi skor dari semua pertanyaan 10-12; dan tinggi (skor 3) apabila akumulasi skor dari semua pertanyaan 13-14. c. Tingkat frekuensi penggunaan media komunikasi ialah tingkat atau derajat yang menyatakan keseringan dari pelaku UMKM dalam melaksanakan komunikasi pemasaran melalui penggunaan media komunikasi dalam kurun waktu satu tahun. Variabel ini tergolong skala ordinal, yang dikategorikan sebagai berikut: rendah (skor 1) apabila frekuensi pelaksanaan kurang dari rata-rata frekuensi pelaksanaan responden di lapang; sedang (skor 2) apabila frekuensi pelaksanaan sama dengan rata-rata frekuensi pelaksanaan responden di lapang; dan tinggi (skor 3) apabila frekuensi pelaksanaan lebih dari rata-rata frekuensi pelaksanaan responden di lapang. d. Tingkat frekuensi penggunaan bauran promosi ialah tingkat atau derajat yang menyatakan keseringan dari pelaku UMKM dalam melaksanakan komunikasi pemasaran melalui bauran promosi dalam kurun waktu satu tahun. Variabel ini tergolong skala ordinal, yang dikategorikan sebagai berikut: rendah (skor 1) apabila frekuensi pelaksanaan kurang dari rata-rata frekuensi pelaksanaan responden di lapang; sedang (skor 2) apabila frekuensi pelaksanaan sama dengan rata-rata frekuensi pelaksanaan responden di lapang;
17
dan tinggi (skor 3) apabila frekuensi pelaksanaan lebih dari ratarata frekuensi pelaksanaan responden di lapang. e. Biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan oleh UMKM untuk melaksanakan komunikasi pemasaran. Variabel ini tergolong skala ordinal, yang dikategorikan sebagai berikut: rendah (skor 1) apabila biaya pelaksanaan kurang dari rata-rata biaya pelaksanaan responden di lapang; sedang (skor 2) apabila biaya pelaksanaan sama dengan rata-rata biaya pelaksanaan responden di lapang; dan tinggi (skor 3) apabila biaya pelaksanaan lebih dari rata-rata biaya pelaksanaan responden di lapang. 3. Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Kualitas daya saing ialah derajat kemampuan untuk mempertahankan usaha di dalam pasar. Kualitas daya saing dapat diukur dari tingkat produktivitas, tingkat profit, dan luas cakupan pasar. Ketiga variabel tersebut diukur dengan menggunakan skala ordinal yang dikategorikan berdasarkan rataan skor, yaitu: rendah (skor 3-5), sedang (skor 6-7), tinggi (skor 8-9). a. Tingkat produktivitas merupakan ukuran produksi UMKM dalam menjalankan usaha. Hal ini diukur dengan membandingkan nilai omset yang dihasilkan UMKM dengan jenis bidang usaha yang sama dalam periode satu tahun. Variabel ini tergolong skala ordinal, dengan kategori skor sebagai berikut: rendah (skor 1) apabila tingkat produktivitas kurang dari rata-rata tingkat produktivitas responden di lapang; sedang (skor 2) apabila tingkat produktivitas sama dengan rata-rata tingkat produktivitas responden di lapang; dan tinggi (skor 3) apabila tingkat produktivitas lebih dari rata-rata tingkat produktivitas responden di lapang. b. Tingkat profit ialah derajat atau ukuran laba atau keuntungan usaha yang dijalankan oleh UMKM. Profit diukur dengan membandingkan keuntungan yang didapat dengan jenis bidang usaha yang sama dalam periode satu tahun. Variabel ini tergolong skala ordinal, dengan kategori skor sebagai berikut: rendah (skor 1) apabila tingkat profit kurang dari rata-rata tingkat profit responden di lapang; sedang (skor 2) apabila tingkat profit sama dengan ratarata tingkat profit responden di lapang; dan tinggi (skor 3) apabila tingkat profit lebih dari rata-rata tingkat profit responden di lapang. c. Luas cakupan pasar ialah keragaman konsumen yang mengkonsumsi produk UMKM. Konsumen dinilai dengan melihat segmentasi pasar. Variabel ini diukur berdasarkan rataan skor keragaman konsumen pada unit UMKM dengan jenis bidang usaha yang sama. Luas cakupan merupakan skala ordinal yang diukur dengan 31 pernyataan dengan pilihan jawaban jika Ya (skor 2) dan
18
Tidak (skor 1). Dikategori skor sebagai berikut: rendah (skor 1) apabila akumulasi skor dari semua pertanyaan 31-41; sedang (skor 2) apabila akumulasi skor dari semua pertanyaan 42-52; dan tinggi (skor 3) apabila akumulasi skor dari semua pertanyaan 53-62.
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian Penelitian tentang hubungan komunikasi pemasaran dengan tingkat kualitas daya saing ini merupakan penelitian kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Metode kuantitatif merupakan penelitian dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang diperoleh dari responden, sedangkan data-data kualitatif diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan (Singarimbun dan Efendi 1989). Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian ini ialah UMKM kerajinan di Kota Bogor, Jawa Barat (Lampiran 1). Lokasi tersebut dipilih dengan pertimbangan, antara lain: a. UMKM merupakan usaha yang terus berkembang saat ini dengan melaksanakan komunikasi pemasaran. b. Terdapat UMKM kerajinan di Kota Bogor, Jawa Barat yang melaksanakan komunikasi pemasaran. c. Terdapat lembaga yang menaungi UMKM kerajinan di Kota Bogor, Jawa Barat baik dalam hal pelatihan maupun pelaksanaan pemasaran. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2014 sampai dengan Januari 2015. Kegiatan dalam penelitian ini meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapang, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi (Lampiran 2). Teknik Pengambilan Informan dan Responden Subjek dalam penelitian ini terdiri dari responden dan informan. Responden ialah orang yang memberikan informasi mengenai diri mereka sebagai sumber data. Responden penelitian ini ialah pemilik UMKM kerajinan di Kota Bogor. Responden tersebut diwawancara, dimana jawaban dari responden akan diisikan pada kuesioner karena jawabannya dianggap dapat mewakili kondisi UMKM kerajinan di Kota Bogor. Responden yang menjawab pertanyaan peneliti ialah pemilik maupun staf dari UMKM dalam bidang usaha kerajinan di Kota Bogor. Populasi penelitian sensus ini ialah seluruh UMKM kerajinan di bawah naungan Dekranasda Kota Bogor sebanyak 64 UMKM. Akan tetapi setelah di lapangan penelitian, hanya 30 UMKM kerajinan di Kota Bogor yang masih aktif menjalankan usaha, aktif melaksanakan komunikasi pemasaran, dan bersedia diwawancara. (Lampiran 3). Informan dalam penelitian ini adalah lima lembaga yang terkait dengan UMKM di Bogor, yaitu Pemerintah Kota Bogor, Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Kota Bogor, Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor, dan Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor.
20
Teknik Pengumpulan Data Penelitian tentang hubungan komunikasi pemasaran dengan kualitas daya saing ini merupakan penelitian kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Metode kuantitatif merupakan penelitian dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data, sedangkan data-data kualitatif diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama yaitu pihak UMKM kerajinan. Pengumpulan data primer didukung dengan kuesioner yang dimaksudkan sebagai suatu daftar pertanyaan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden serta ditujukan untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian. Pengumpulan data penelitian ini juga menggunakan observasi (pengamatan langsung) yang dilakukan oleh peneliti di bengkel atau rumah produksi produk UMKM. Selain itu akan dilakukan wawancara mendalam dengan pihak Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kota Bogor, Dewan Kerajinan Nasional (Dekranasda), Pemerintah Kota Bogor, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor, dan Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor sebagai lembaga yang menaungi UMKM di Kota Bogor. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dokumen lembaga yang menaungi UMKM dan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini, yaitu buku, jurnal penelitian, skripsi, dan internet. Metode pengambilan data pada penelitian ini adalah sensus, dimana diambil seluruh UMKM kerajinan yang ada di Kota Bogor dengan beberapa kriteria responden. Populasi penelitian sensus ini ialah seluruh UMKM kerajinan di bawah naungan Dekranasada Kota Bogor sebanyak 64 UMKM. Akan tetapi setelah di lapangan penelitian, hanya 30 UMKM kerajinan di Kota Bogor yang masih aktif menjalankan usaha, aktif melaksanakan komunikasi pemasaran, dan bersedia diwawancara. Data jumlah UMKM diperoleh dari lembaga yang menaungi UMKM kerajinan di Kota Bogor. Beberapa kriteria pemilihan responden, yaitu: 1. Populasi dalam penelitian ini merupakan populasi heterogen yaitu UMKM kerajinan. 2. Lokasi UMKM berada di wilayah Kota Bogor, Jawa Barat. 3. UMKM kerajinan merupakan UMKM yang masih aktif menjalankan usahanya dan melaksanakan komunikasi pemasaran. Data yang telah dikumpulkan nantinya akan diolah dan disimpulkan. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten. Seluruh hasil penelitian akan dituliskan dalam rancangan skripsi.
21
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuesioner yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. Setelah seluruh data terkumpul adalah melakukan pengkodean data. Kegiatan ini bertujuan untuk menyeragamkan data. Setelah pengkodean, tahap selanjutnya adalah perhitungan persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabulasi silang. Data yang dikumpulkan selanjutnya diolah secara statistik dengan mengunakan software SPSS (Statistical Program for Social Sciences) for Windows versi 16.0 dan Microsoft Exel 2010. Beberapa variabel akan disajikan dalam bentuk diagram lingkaran (pie chart), yaitu latar belakang usaha, skala usaha, tingkat pendidikan pemilik usaha, tingkat pendidikan pekerja, hambatan pengembangan UMKM kerajinan, pihak yang membantu pelaksanaan komunikasi pemasaran, pelaksanaan komunikasi pemasaran, penggunaan ragam media komunikasi, penggunaan media komunikasi, penggunaan ragam bauran promosi, penggunaan bauran promosi, dan tingkat kualitas daya saing. Selain itu juga dilakukan tabulasi silang pada beberapa variabel yaitu antara skala usaha dengan tingkat pendidikan pemilik usaha, skala usaha dengan tingkat pendidikan pekerja, skala usaha dan frekuensi penggunaan media komunikasi, skala usaha dan frekuensi penggunaan bauran promosi, skala usaha dan biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran, skala usaha dan tingkat produktivitas, skala usaha dan tingkat profit, serta skala usaha dan luas cakupan pasar. Uji korelasi dilakukan antara variabel karakteristik UMKM dan variabel pelaksanaan komunikasi pemasaran, serta antara variabel pelaksanaan komunikasi pemasaran dan variabel tingkat kualitas daya saing, dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman untuk mengukur korelasi variabel berskala ordinalordinal. Data kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara digunakan sebagai data pendukung hasil penelitian kuantitatif (Lampiran 4). Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten. Seluruh hasil penelitian dituliskan dalam laporan skripsi.
22
GAMBARAN UMUM UMKM KERAJINAN DI KOTA BOGOR
Menurut data dari Pemerintah kota, Kota Bogor merupakan kota yang termasuk wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terletak antara 1060 480 BT dan 60 260 LS. Sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia, Kota Bogor mendapat sebutan sebagai kota hujan, dimana suhu rata-rata berada pada 260 C dengan curah hujan sekitar 3500-4000 mm setiap tahunnya. Berdasarkan data Pemerintahan Kota Bogor pada tahun 2014, luas wilayah Kota bogor sebesar 11.850 Ha terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Selain itu Kota Bogor juga berbatasan dengan wilayah lainnya, sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Bojong Gede, dan Kecamatan. Sukaraja Kabupaten Bogor. - Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. - Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Darmaga dan Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Kota Bogor tergolong daerah suburban yang letaknya strategis dan dekat dengan wilayah ibukota Jakarta. Hal ini menjadi sumber potensi bagi perekonomian kota, mulai dari jasa perdagangan, transportasi, hingga pariwisata. Karena potensi tersebut, Kota Bogor menjadi salah satu tujuan wisata bagi pengunjung, baik domestik maupun mancanegara. Berbagai destinasi wisata terdapat di kota ini, yaitu wisata kuliner, wisata sejarah, pendidikan, fashion, dan hotel. Selain itu kota yang berlambang kujang ini juga memiliki produk-produk kerajinan yang dapat menjadi cinderamata bagi para pengunjung. Sektor usaha khususnya kerajinan di Kota Bogor tergolong usaha yang berkembang, dimana sektor ini memberi kontribusi bagi peningkatan perekonomian Kota Bogor. Berdasarkan data Bagian Ekonomi Pemerintah Kota Bogor pada tahun 2014, pada tahun 2012 PDRB Kota Bogor sebesar Rp 22,712,531.28 atau sekitar 18.96 persen, kemudian mengalami peningkatan sebesar 3.61 persen pada tahun 2013 dengan PDRB sebesar Rp 27,035,861.34 atau 22.57 persen. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kerajinan di Kota Bogor sudah mulai berkembang sejak tahun 2000 bahkan pada tahun 1995 jumlah UMKM mulai bertambah. Melihat potensi yang besar pada usaha kerajinan, Pemerintah Kota Bogor berupaya untuk mengembangkan sektor ini, salah satunya melalui galeri UMKM kerajinan yaitu Dewan Kerajinan Nasional (Dekranasda) yang terdapat di pusat kota, tepatnya di Jalan Bina Marga nomor 1B, Bogor. Lembaga ini terdapat di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Menurut Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Dekranasda Tanggal 17 April Tahun 2010, Dekranasda merupakan lembaga independen dan wadah berhimpunnya segenap pemangku kepentingan seni kerajinan di Indonesia dalam menjalankan fungsinya membantu pemerintah dalam melindungi, menggali, melestarikan, membina serta mengembangkan seni kriya kerajinan.
23
Dasar hukum lainnya adalah Keputusan Ketua Dekranas Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 06/SK/DEKRANDA/IV/2014 tanggal 24 April 2014 Tentang Penetapan Pengurus Dekranasda Daerah Kota Bogor 2014-2019. Adapun tujuan pembentukan Dekranasda, antara lain: 1. mendorong terciptanya produk kerajinan khas dan unggulan Kota Bogor, 2. menciptakan peluang pasar yang luas bagi produk kerajinan Kota Bogor, 3. memfasilitasi pengrajin Kota Bogor dalam memperoleh berbagai akses bagi pengembangan usaha, dan 4. terciptanya sinergitas dan kerjasama yang saling menguntungkan antara perajin Kota Bogor dengan stakeholders maupun masyarakat Kota Bogor. Dekranasda berperan sebagai lembaga yang menaungi dan membantu pengembangan usaha kerajinan, salah satunya ialah kegiatan promosi. Pelaku usaha kerajinan atau perajin dapat menyimpan produknya di galeri, sehingga para pengunjung yang datang dapat mengetahui, tertarik, dan membeli produk kerajinan tersebut. Selain itu, Dekranasda sebagai lembaga independen yang mewadahi pelaku UMKM kerajinan untuk selalu inovatif dan kreatif. Perkembangan UMKM kerajinan juga “Dekranasda juga bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Koperasi dan UMKM, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Ketika dinas-dinas itu mengadakan pelatihan, maka anggota dan perajin Dekranasda dilibatkan. Selain itu menjadi rumah menjadi perajin. Ada interaksi berupa saung untuk berkumpul, sharing ilmu. Disana ada simbiosis mutualisme dan kontak dagang. Dekranasda Bogor juga menjadi acuan untuk studi banding dari daerah lain,” RHA, Kepala Subbagian Sarana Perekonomian dan Produksi. Berbagai produk kerajinan dihasilkan oleh para perajin di Kota Bogor, seperti keramik berbahan dasar tanah liat, wayang golek dari kayu lame, tas dari sampah plastik, kerajinan batik, mozaik batik, aksesoris, dan lain sebagainya. Produk-produk tersebut merupakan hasil kerajinan tangan (handmade) yang memiliki keunikan tersendiri. Mayoritas dari perajin tersebut menyimpan produk mereka di showroom Dekranasda untuk dibantu dalam hal pemasaran. Akan tetapi, saat ini terdapat pergantian manajemen baru, sehingga pengelolaan Dekranasda masih belum optimal. “Dulu pernah sangat berkembang, tetapi karena kesalahan manajemen, sehingga mengurangi kepercayaan dari perajin. Saat ini terdapat alih manajemen, yaitu bekerja sama dengan koperasi. Upaya ini dimaksudkan untuk mengembalikan krisis kepercayaan dengan bantuan dari pelaku usaha lain yang sudah merasakan adanya perubahan di Dekaranasda. Akan tetapi ada beberapa perajin yang merasa sudah bisa memasarkan sendiri, misalnya kerjasama dengan swasta dan online. Karena lebih meluas dengan online dibanding Dekranasda yang statis. Itu menjadi tantangan bagi Dekranasda. Tapi bagus juga jika perajin bisa mandiri,” HYP, Kepala Kantor Dinas Koperasi dan
UMKM Kota Bogor.
24
Latar Belakang Usaha Sebuah usaha didirikan dengan berbagai latar belakang dan tujuan yang ingin dicapai oleh pelaku usaha. UMKM merupakan sektor yang berkembang saat ini dan memiliki peran yang signifikan bagi perekonomian suatu daerah. Hal yang sama terjadi pada UMKM kerajinan di Kota Bogor, Jawa Barat, dimana bidang usaha ini mampu meningkatkan PDRB Kota Bogor sebesar 3,61 persen pada tahun 2013. Pada tahun 2014 terdapat sekitar 64 UMKM kerajinan yang terdaftar di Pemerintahan Kota Bogor. Akan tetapi hanya sebagian yang masih aktif menjalankan usaha. Berbagai alasan melatarbelakangi para pelaku usaha kerajinan tersebut untuk mendirikan usaha seperti karena hobi, usaha turunan keluarga (warisan), adanya prospek dan peluang usaha, pemberdayaan, dan keinginan melestarikan budaya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Persentase latar belakang UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Persentase diatas menunjukkan bahwa sebesar 63 persen pelaku usaha kerajinan di Kota Bogor memulai usaha dari sebuah hobi. Beberapa UMKM tersebut mayoritas merupakan UMKM yang menghasilkan produk berupa aksesoris, seperti gelang, kalung, bros, sepatu, pajangan meja, tas, dan figura. “Kalau saya sih awalnya dari hobi mengoleksi aksesoris kayak bros untuk jilbab, lalu saya terus belajar bagaimana merangkai bahan-bahan bros seperti pita, payet, kawat.”- HTI, pemilik UMKM NCN
“Sejak SD saya sudah suka membuat kerajinan dari barang-barang daur ulang. Pertama kali saya membuat tempelan kulkas dari kardus bekas.”-SHL, pemilik UMKM RFC
25
Selain itu, sebesar 10 persen pendirian UMKM kerajinan di Kota Bogor dilatarbelakangi oleh faktor warisan atau usaha turunan keluarga, prospek dan peluang usaha, dan pemberdayaan. Usaha yang berasal dari warisan, umumnya sudah berdiri sejak lama. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat tiga UMKM yang merupakan usaha turunan keluarga, seperti usaha yang menghasilkan produk cincin yang berdiri pada tahun 2000, alat musik gong berdiri sejak tahun 1985, dan wayang golek yang berdiri sejak tahun 2000. Kemudian beberapa responden mendirikan usaha karena melihat adanya prospek dan peluang, seperti UMKM HBP. Usaha ini berdiri karena melihat banyak yang berkunjung ke Kota Bogor dan membeli kaos bergambar berbagai hal yang menunjukkan kota tersebut, sehingga pemilik usaha membuat usaha kaos tematik Kota Bogor. Selain itu, kaos tersebut dijadikan sebagai alat promosi Kota Bogor. Produk kaos tematik lainnya dihasilkan oleh UMKM BLO. “Ide untuk membuat kaos tematik dari obrolan iseng dengan teman-teman. Tujuan awalnya kita mau orang yang datang ke Kota Bogor, pas pulang bisa bawa sesuatu yang mengingatkan terhadap kota ini. Nah salah satunya melalui kaos. Segala usia bisa memakainya.”-NMH, pemilik UMKM BLO.
Latar belakang lainnya ialah pemberdayaan. Usaha yang berbasis pemberdayaan ini mengajak masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah produksi sebagai tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa UMKM dapat merupakan usaha padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja. Sebagaimana pada UMKM NHC, dimana pemilik usaha mengajak masyarakat sekitar rumah, khususnya perempuan untuk bekerja. Mereka diberikan tugas dan dibayar sesuai bagian pekerjaan yang mereka lakukan, seperti melinting, mencuci kemasan, dan menjahit. Usaha yang memiliki omset Rp 5,000,000/bulan ini menghasilkan berbagai barang berbahan dasar kemasan plastik bekas, yaitu tas wanita, ransel, baju, gantungan kunci, vas bunga, dan lain-lain. “Kita disini ada bank sampah. Ibu-ibu sekitar yang punya sampah kemasan plastik misalnya bekas bungkus kopi, detergen dikumpulkan, dibersihkan, lalu dikasih ke saya. Jadi bukan kemasan di tempat sampah yang diambil, tapi memang kemasan yang masih bersih. Nanti saya bayar ke mereka sebesar Rp 10.000.”-SHH, pemilik UMKM NHC
Hal yang sama juga dilakukan oleh UMKM SGA dan SRE. SGA mengajak anak-anak sekitar Center for International Forestry Research (CIFOR) Bogor, untuk membuat kaos lukis, mug lukis, dan lain-lain. UMKM ini juga menyediakan semacam saung untuk tempat berkumpul. Sedangkan SRE mempekerjakan masyarakat sekitar untuk melinting koran bekas yang menjadi bahan utama untuk membuat berbagai produk, seperti tempat sampah, tas, kursi, lampion, dan lain sebagainya. Selain keempat latar belakang yang telah dijelaskan diatas, sebesar tujuh persen UMKM kerajinan di Kota Bogor dilatarbelakangi keinginan untuk melestarikan kebudayaan. Hal ini dilakukan oleh 2 UMKM, yaitu pertama, UMKM BBT. Berdiri sejak tahun 2008, usaha ini bertujuan untuk menjadikan batik sebagai tradisi. Pemilik usaha ingin Bogor memiliki batik yang menjadi ciri khas seperti batik Pekalongan. Berbagai produk seperti pakaian, souvenir,
26
dompet, hingga sepatu mampu dihasilkan setiap bulannya. Selain itu, mereka memproduksi kain batik sendiri, yakni batik tulis, batik cap, dan printing bermotif batik. Kedua, UMKM GBS. Usaha ini didirikan oleh seorang seniman yang memiliki keinginan untuk melestarikan alat musik tradisional Indonesia. Memulai usaha pada tahun 2007, UMKM ini sudah menghasilkan alat musik kecapi, gendang, dan beberapa alat musik modern seperti gitar, biola, bas berbahan dasar bambu. “Cita-cita saya ingin alat musik tradisional tetap lestari, tapi anak muda sekarang mana ada yang mau memainkannya.”-DAN, pemilik UMKM GBS
Karakteristik UMKM Kerajinan UMKM kerajinan di Kota Bogor dapat dilihat dari segi karakteristik yang dimilikinya, yaitu skala usaha dan pendidikan pelaku usaha yang terdiri dari pemilik dan pekerja UMKM. Skala Usaha Skala usaha UMKM dapat ditinjau berdasarkan aset usaha (di luar tanah dan bangunan) dan nilai penjualan. Terdapat penggolongan jenis usaha mikro, kecil, dan menengah menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Skala UMKM Kerajinan di Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Persentase skala UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Gambar diatas menunjukkan bahwa sebesar 87 persen UMKM kerajinan termasuk usaha mikro dengan aset ≤ 50 juta dan nilai penjualan ≤ 300 juta. Hal ini disebabkan karena mayoritas masih merupakan usaha yang baru berdiri sekitar satu sampai lima tahun. Sebagian kecilnya sudah tergolong usaha yang lama akan tetapi pemilik mengalami kendala dalam mengembangkannya, seperti dalam hal
27
kuantitas dan kualitas produksi karena berbagai hambatan seperti modal, tenaga kerja, dan hambatan lainnya. Kemudian sebesar 13 persen tergolong usaha kecil dengan aset 50 juta-500 juta dan nilai penjualan sebesar 300 juta-2.5 Miliar. UMKM yang termasuk dalam kelompok ini mayoritas sudah berdiri lama sekitar tujuh sampai 16 tahun. Selain itu, usaha mereka sudah memiliki strategi untuk mengembangkan usaha. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian, tidak terdapat usaha yang tergolong skala menengah. Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha Tingkat pendidikan pelaku usaha merupakan jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh pemilik dan pekerja UMKM. Pendidikan yang didapat oleh para pelaku usaha menjadi modal bagi pendirian dan pengembangan usaha kerajinan. Tingkat Pendidikan Pemilik UMKM Pemilik usaha merupakan individu maupun kelompok yang mendirikan usaha baik dengan modal sendiri atau pinjaman. Berdasarkan hasil penelitian mengenai tingkat pendidikan pemilik UMKM kerajinan di Kota Bogor menunjukkan bahwa sebagian besar pemilik usaha kerajinan memiliki pendidikan yang tergolong sedang (lulus SMP atau SMA) yaitu sebesar 63 persen, tingkat pendidikan tinggi (perguruan tinggi) sebesar 37 persen, dan tidak ada pemilik usaha yang termasuk tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah atau lulus SD).
Gambar 4 Persentase tingkat pendidikan pemilik UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Melalui tingkat pendidikan formal, pemilik usaha memiliki peluang untuk mengelola dan mengembangkan usaha dengan strategi yang tepat. Selain itu pengembangan usaha juga didukung oleh tenaga kerja yang memproduksi barang
28
kerajinan. Para pemilik UMKM kerajinan berasal dari tingkat pendidikan yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah dan persentase skala usaha menurut tingkat pendidikan pemilik UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Skala Usaha Tingkat Pendidikan Pemilik Usaha
Total Mikro Jumlah
Kecil %
Jumlah
%
Jumlah
%
Rendah Sedang Tinggi
0 16 10
0.00 61.54 38.46
0 3 1
0.00 75.00 25.00
0 19 11
0.00 63.33 36.67
Total
26
100.00
4
100.00
30
100.00
Hasil penelitian pada Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar pemilik UMKM memiliki tingkat pendidikan sedang, yaitu lulus SMP atau SMA, dengan jumlah sebanyak 19 UMKM atau 63.33 persen, dimana sebanyak 16 UMKM atau 61.54 persen tergolong skala usaha mikro dan tiga UMKM berskala kecil. Sementara itu pemilik usaha yang memiliki tingkat pendidikan tinggi hanya sekitar 11 UMKM atau 36.67 persen, dimana sebanyak 10 UMKM tergolong usaha mikro dan satu UMKM berskala kecil. Tingkat Pendidikan Pekerja UMKM Pekerja UMKM merupakan individu yang menjadi tenaga kerja di sebuah usaha, dalam hal ini bidang usaha kerajinan di Kota Bogor. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh para pekerja menjadi faktor pendukung bagaimana kualitas SDM berpengaruh pada kinerja usaha. Sebagaimana hasil penelitian pada tingkat pendidikan pekerja usaha di bidang kerajinan di Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan hasil penelitian mengenai tingkat pendidikan pemilik UMKM kerajinan di Kota Bogor menujukkan bahwa sebagian besar UMKM kerajinan memiliki jumlah pekerja tiga sampai 11 orang yang sebagian besar berasal dari tetangga dan kerabat dekat, sedangkan untuk tingkat pendidikan, sebesar 60 persen pekerja memiliki tingkat pendidikan formal sedang, sebesar 33 persen tergolong tinggi, dan sisanya tujuh persen tergolong tingkat pendidikan formal rendah. Hal ini menunjukkan bahwa UMKM kerajinan di Kota Bogor menyerap tenaga kerja bukan hanya berdasarkan tingkat pendidikan formal tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lainnya. Beberapa faktor tersebut, antara lain keahlian dalam bidang kerajinan tangan, adanya pelatihan bagi pekerja, dan pemberdayaan masyarakat sekitar rumah produksi. Pertama, keahlian untuk membuat kerajinan seperti membatik, menggambar dapat diperoleh di luar bangku sekolah. Sebagai contoh UMKM BBT yang merekrut pekerja yang memiliki keahlian membatik. Selain itu pemilik UMKM tersebut juga mendatangkan perajin batik dari Yogyakarta. Kedua, para
29
pemilik UMKM juga memberi pelatihan terlebih dahulu bagi pekerja, misalnya cara membuat pola, desain aksesoris, merangkai bahan baku pembuatan gelang, dan lain sebagainya.
Gambar 5 Persentase tingkat pendidikan pekerja UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Hal ini dilakukan sebagai upaya agar kualitas pekerja meningkat yang selanjutnya berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas produk. Ketiga, pemberdayaan masyarakat. Tenaga kerja yang diserap oleh UMKM tidak seluruhnya merupakan pekerja tetap, tetapi merupakan masyarakat sekitar yang diajak sebagai pekerjaan sampingan. Para pekerja UMKM kerajinan berasal dari tingkat pendidikan yang berbeda pada setiap skala usaha. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil penelitian pada Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja UMKM memiliki tingkat pendidikan sedang, yaitu lulus SMP atau SMA, dengan jumlah sebanyak 18 UMKM atau 60 persen, dimana sebanyak 15 UMKM atau 57.69 persen tergolong skala usaha mikro dan tiga UMKM atau 75 persen berskala kecil. Pemilik usaha yang memiliki tingkat pendidikan tinggi hanya sekitar 10 UMKM atau 33.33 persen, sedangkan untuk UMKM yang memiliki pekerja yang tergolong memiliki tingkat pendidikan rendah ialah sebanyak 2 UMKM atau 6.67 persen. “Ibu-ibu disini kebanyakan hanya ibu rumah tangga bahkan ada yang janda. Lumayan buat nambah uang jajan anak mereka, makanya saya mengajak mereka untuk terlibat dalam bank sampah dan beberapa bagian dari produksi.”- SHH,
pemilik UMKM NHC
30
Jumlah dan persentase skala usaha menurut tingkat pendidikan pekerja UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014
Tabel 5
Skala Usaha Tingkat Pendidikan Pekerja UMKM
Total Mikro Jumlah
Kecil %
Jumlah
%
Jumlah
%
Rendah Sedang Tinggi
1 15 10
3.85 57.69 38.46
1 3 0
25.00 75.00 0.00
2 18 10
6.67 60.00 33.33
Total
26
100.00
4
100.00
30
100.00
Hambatan Pengembangan UMKM Kerajinan Sektor UMKM kerajinan di Kota Bogor merupakan usaha yang termasuk mengalami perkembangan yang cepat dan memiliki peran penting dalam meningkatkan perekonomian Kota Bogor. Berbagai strategi dirancang dan dilakukan oleh pelaku UMKM untuk secara berkelanjutan dapat mengembangkan usaha. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hambatan, antara lain permodalan, teknologi, pemasaran, SDM, jaringan dengan pihak luar, dan akses pasar dan informasi. Menurut data BPS yang dikutip oleh Tambunan (2009), sebagian besar pelaku usaha mengatakan bahwa hambatan usaha yang dialami adalah modal. Tidak ada satupun responden yang mengatakan keterbatasan teknologi dan keterampilan. Hal ini tampak berbeda dengan hasil penelitian mengenai hambatan pengembangan UMKM kerajinan di Kota Bogor. Sebagaimana yang terjadi pada pengembangan UMKM kerajinan di Kota Bogor, dimana hal pertama yang menjadi hambatan besar yaitu keterampilan pekerja dengan persentase sebesar 28 persen. Sebagian besar responden mengatakan bahwa mereka sulit untuk mencari pekerja yang bisa membuat produk kerajinan, seperti aksesoris, batik, wayang golek, keramik dari tanah liat, dan lain sebagainya, sehingga pemilik usaha harus memberi pelatihan keterampilan sebelum menerima sebagai pekerja tetap. Kerajinan sebagai barang komplementer menuntut kreativitas, inovasi, dan produk yang menarik. “Sulit mencari orang yang terampil membuat aksesoris. Kalaupun ada mungkin nggak di sekitar Bogor. Jadi kami memberi pelatihan bagi pekerja bagaimana membuat bros, kalung, masih banyak lagi mbak.”-YDI, pemilik UMKM RMA
31
Gambar 6 Persentase hambatan pengembangan UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Selanjutnya hambatan yang dirasakan paling kecil adalah pemasaran dengan persentase sebesar 12 persen. Pemasaran merupakan aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari suatu usaha. Melalui pemasaran, produsen dapat mengenalkan produknya ke konsumen, sehingga konsumen mengetahui, tertarik, dan kemudian memutuskan untuk membeli. Pada UMKM kerajinan di Kota Bogor, pemasaran bukan menjadi kendala yang besar. Hal ini disebabkan karena dalam hal pemasaran, UMKM menggunakan berbagai macam bentuk promosi, seperti melalui pameran yang diadakan oleh pemerintah dan dinas terkait. Pameran tersebut biasanya tidak berbayar. Selain itu terdapat showroom Dekranasda yang menjadi tempat untuk menjual produk kerajinan dan beralihnya pemasaran di media sosial yang dengan mudah diakses dengan gadget. “Untuk pemasaran kami tidak menemui kendala. Karena kami aktif bekerja sama dengan mall, hotel, tempat wisata, sehingga mereka menggunakan produk keramik kami.”-FNI, marketing UMKM MBK
Hambatan lainnya yaitu keterbatasan jaringan dengan pihak luar sebesar 17 persen. Pada usaha kerajinan di Kota Bogor hanya sebagian kecil yang sudah memiliki jaringan dengan pihak lain, seperti bank, mall, tempat wisata, stasiun televisi, dan lain-lain. Seperti UMKM GBS yang sering mengikuti pameran ke luar negeri melalui kerja sama dengan GI dan SKK MGS. Selain itu, usaha alat musik bambu ini sering diliput dan ditayangkan oleh beberapa stasiun televisi di Indonesia. Akan tetapi dalam mengembangkan UMKM selain adanya dukungan dari SDM, juga membutuhkan modal. Berdasarkan hasil penelitian, hambatan dalam hal modal sebesar 16 persen. Rata-rata modal awal yang digunakan ialah sebesar Rp 26.000.000 untuk membeli bahan baku, mencari pekerja, dan membangun kios. Minimnya permodalan yang dimiliki UMKM, membuat mereka sulit untuk
32
membeli bahan baku, membayar biaya operasional, dan lain-lain. Menurut sebagian besar responden, mereka tidak mendapat dana dari pemerintah. Jika meminjam uang ke bank, para perajin menemui kendala yaitu harus ada jaminan dan penolakan baik secara langsung maupun tidak langsung dari pihak bank. “Salah satu hambatan yang paling besar adalah tidak adanya keinginan. Untuk permodalan tidak ada pemberian modal langsung. Kami hanya bisa memberi pelatihan dengan konteks pemberdayaan, seperti pelatihan membuat proposal. Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga melakukan. Sudah jarang proposal individu. Biasanya ada beberapa UMKM yang membuat proposal jadi mudah diawasi. Kami juga mendorong mereka untuk aktif bekerjasama dengan stakeholders lain, misalnya CSR. Itu juga salah satu bentuk kepedulian selain dari pemerintah.”- RHA, Kepala Subbagian Sarana Perekonomian dan Produksi. Hambatan lainnya ialah teknologi sebesar 14 persen. Sebagian besar UMKM kerajinan menggunakan tangan dalam proses produksinya. Sehingga teknologi tidak menjadi hambatan yang besar bagi pengembangan UMKM. Hanya sebagian kecil yang menggunakan alat bantu seperti mesin jahit, komputer untuk pemasaran, media printing untuk motif batik, dan lain-lain. Akan tetapi, beberapa pelaku UMKM mengatakan mereka juga membutuhkan teknologi untuk mempercepat pekerjaan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas. Selain itu, terdapat keterbatasan dalam akses pasar dan informasi sebesar 13 persen. Akses pasar dan informasi merupakan kemampuan untuk dapat terlibat dalam sistem pasar dan informasi. Melalui hal itu, UMKM dapat mengetahui bagaimana trend produk di pasar, sistem pemasaran, dan menentukan perencanaan hingga evaluasi strategi usaha. Sebagaimana UMKM kerajinan di Kota Bogor, hambatan dalam hal akses pasar dan informasi sebagian besar dirasakan oleh UMKM yang tergolong usaha kecil. “Hambatan pengembangan UMKM itu modal dan pendanaan, SDM, teknologi, pemasaran. Sedangkan untuk akses UMKM terhadap pasar sulit. Padahal Pemerintah Bogor sudah membuka diri dengan dinas–dinas terkait yang memiliki tupoksi pengembangan UMKM. Tetapi kadang pelaku usaha yang tidak bergerak.”- RHA, Kepala Subbagian Sarana Perekonomian dan Produksi.
33
Pihak yang Membantu Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran Pemasaran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh UMKM untuk mengenalkan produknya kepada konsumen. Begitupun dengan produk kerajinan di Kota Bogor, dimana ada pihak-pihak baik di dalam usaha maupun luar usaha yang membantu dalam pelaksanaan komunikasi pemasaran. UMKM kerajinan di Kota Bogor dalam menjalankan komunikasi pemasaran tidak hanya dibantu oleh satu pihak saja.
Gambar 7 Persentase pihak yang membantu pelaksanaan komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian, sebesar 44 persen pemasaran produk kerajinan dilakukan oleh pihak UMKM sendiri. Umumnya dilakukan oleh UMKM yang baru berdiri, dimana masih memiliki sedikit jaringan dengan pihak luar, akan tetapi ada juga beberapa UMKM yang sudah ditawarkan bantuan pemasaran seperti pemerintah dan Dekranasda, akan tetapi lebih memilih untuk memasarkan produknya sendiri. “Perajin kurang berminat untuk menyimpan di Dekranasda, mereka sebenarnya bisa mengajukan saran dan masukan untuk pengaturan dan pengelolaan barang kerajinan disana. Tetapi ± 30 perajin yang menyimpan disana.”- RHA,
Kasubag Sarana Perekonomian dan Produksi. Akan tetapi pihak UMKM memiliki alasan kenapa tidak mau menyimpan di Dekranasda, seperti: “Penataan barang di Dekranasda kurang rapi, terus kurang menarik jika dilihat dari luar. Jadi daripada barang saya rusak, lebih baik saya nggak simpan disana.”-YDI, pemilik UMKM RMA
Pada pemasaran produk kerajinan UMKM terdapat kontribusi pihak Dekranasda sebesar 19 persen, bantuan pemerintah sebesar 16 persen, dan pihak
34
swasta sebesar 12 persen. Pertama, Dekranasda merupakan lembaga yang khusus menaungi usaha kerajinan. Kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh Dekranasda, yaitu pameran di showroom dan mengikutsertakan para perajin untuk pameran di dalam dan luar negeri secara gratis. Selain itu, Dekranasda juga menyediakan ruangan untuk produksi dan pertemuan bagi para perajin untuk saling berbagi cerita seputar usaha. “Lalu untuk pemasaran dibantu dengan showroom Dekranas tempat produksi hingga pemasaran, dari, oleh, dan untuk mereka. Kami inginnya perajin ada pertemuan setiap minggu disana, agar sharing ide dan ilmu. Disini belum ada. Mereka belum memposisikan Dekranas seperti itu. Belum dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh perajin. Akan lebih komprehensif jika ada pertukaran pikiran dengan perajin lain. Selain itu dalam pertemuan dapat meminta bantuan dari perajin lain misalnya sebagai konsumen untuk menilai produk kita.”- HYP, Kepala Kantor Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor Selain peran Dekranasda, pemerintah seperti Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) juga ikut andil dalam pemasaran produk. Berbagai upaya dilakukan yaitu memfasilitasi pameran secara bergilir, pelatihan ekspor-impor, pembuatan proposal pengajuan dana dan kerjasama, pelatihan pengemasan produk, manajemen mutu, pelatihan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), fasilitasi website, dan lain-lain. Sedangkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya berfokus pada bagian promosi semua sektor pariwisata di Kota Bogor, promosi UMKM termasuk di dalamnya. Bentuk bantuan pemerintah lainnya ialah melalui KADIN. UndangUndang Nomor 1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang dan Industri menyatakan bahwa Kamar Dagang dan Industri sebagai wadah bagi pengusaha termasuk UMKM. KADIN berperan dalam penataan, pembinaan, dan pengembangan usaha. Terdapat tiga hal yang menjadi fokus upaya KADIN, antara lain: 1. permodalan. Hal ini dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga lain, seperti pinjaman ke bank. Akan tetapi sampai saat ini terkendala jaminan. Tetapi ada beberapa bank yang memberi keringanan dan fleksibel, seperti Bank Jawa Barat Banten (BJB) dengan Kredit Cinta Rakyat (KCR) dengan jaminan hanya 40% dari pinjaman; 2. promosi melalui jaringan KADIN. Bentuk promosi yang dilakukan oleh KADIN ialah melalui website dan pameran (2 kali/tahun). Data UMKM yang ada di website dikirim ke KADIN Nasional dan jaringan internasional seperti Dubai, Amerika Serikat, Cina, Aljazair, dan lain-lain. Akan tetapi, UMKM yang dapat ikut pameran adalah usaha yang sudah terseleksi baik dari segi kuantitas dan kualitas. Karena masih ada UMKM yang belum mampu memproduksi dalam jumlah banyak dan produk kurang tahan lama; dan 3. menyediakan tempat usaha. KADIN melakukan pendekatan ke sentra ekonomi seperti pasar dan mall.
35
“Harapannya bisa punya galeri UMKM dibawah KADIN melalui kerjasama dengan Pemerintah Kota Bogor. Sebenarnya UMKM di Kota Bogor sudah termasuk maju apalagi pelaku UMKM anak muda, hanya tinggal dikembangkan dan dibina. KADIN sendiri juga mengadakan pelatihan “Business Meeting”, pelatihan regulasi, dan program Gerakan 1000 wirausaha. Pengajarnya dari BUMD, Banker, dan lain-lain.”- EIS, Ketua KADIN
Bantuan lainnya dalam hal pemasaran ialah dari pihak swasta seperti TLKM, GI, SKK MGS, KF, dimana perusahaan-perusahan tersebut mengadakan pameran di dalam dan luar negeri yang mengajak perajin di Kota Bogor. Adapun bantuan dari lainnya sebesar 9.38 persen, seperti promosi yang dilakukan teman dan konsumen yang sudah membeli produk kerajinan, tempat wisata, dan kerjasama dengan UMKM kerajinan lainnya. Misalnya UMKM MBK yang bekerja sama dengan UMKM BBT dan Batik HDI, dimana kedua UMKM batik ini menggunakan produk dari UMKM MBK untuk interior dan eksterior tempat usaha. Sama halnya dengan kerja sama dengan pihak tempat wisata.
36
36
PELAKSANAAN KOMUNIKASI PEMASARAN UMKM KERAJINAN DI KOTA BOGOR
Pelaksanaan komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor dapat dilihat dari penggunaan ragam media komunikasi, penggunaan ragam bauran promosi, frekuensi penggunaan media komunikasi, frekuensi penggunaan bauran promosi, dan biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran.
Gambar 8 Persentase pelaksanaan komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 69 persen pelaksanaan komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor termasuk sedang, sedangkan sebesar 31 persen tergolong rendah. Hal ini berarti bahwa komunikasi pemasaran menjadi kegiatan yang penting bagi sebuah usaha kerajinan dalam memasarkan produknya kepada konsumen, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih belum optimal. Pelaksanaan komunikasi pemasaran UMKM tidak hanya dilakukan oleh pihak UMKM sendiri, tetapi juga dibantu oleh pemerintah, dinas terkait, swasta, dan lain sebagainya. Melalui komunikasi pemasaran, produk kerajinan yang dihasilkan dapat diketahui oleh calon konsumen dan selanjutnya membeli produk tersebut. “Pemasaran itu bentuk promosi, dimana promosi itu berfungsi ganda, yaitu sebagai ajang promosi dan dagang. Padahal sebenarnya promosi hanya memperkenalkan produk. Kami memfasilitasi UMKM bertemu dengan pelaku usaha besar sehingga usaha besar dapat membantu UMKM. Misalnya ke mall, supermarket, hotel untuk membangun kemitraan.”- HYP, Kepala Kantor Dinas
Koperasi dan UMKM Kota Bogor
37
“Kunci pemasaran itu mendatangi keramaian. Perajin juga harus punya kemauan punya inisiatif dan cari link.”- RHA, Kepala Subbagian Sarana Perekonomian dan Produksi.
Media Komunikasi Pemasaran Pelaksanaan komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh UMKM kerajinan didukung oleh media komunikasi pemasaran yang dapat dilihat dari, ragam media komunikasi, penggunaan media komunikasi pemasaran, dan frekuensi penggunaan media komunikasi pemasaran. Ragam media komunikasi pemasaran ialah berbagai jenis media komunikasi yang digunakan oleh UMKM dalam pemasaran, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9.
Gambar 9 Persentase ragam media komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014
Media komunikasi pemasaran yang sebagian besar digunakan oleh UMKM kerajinan ialah media hibrida sebesar 53 persen. Media hibrida adalah media yang berbasis teknologi komputer dan menggabungkan semua fungsi media, seperti internet dan media sosial. Perkembangan media hibrida saat ini sangat pesat, hal ini dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk dapat mempromosikan produknya kepada khalayak luas, karena sifat media yang dapat menjangkau khalayak luas. Selain itu alasan lainnya ialah karena penggunaannya yang dapat diakses dengan menggunakan smartphone, kemudahan mengaksesnya, dan mengurangi biaya dibandingkan harus cetak brosur atau leaflet. Saat ini sebagian besar orang memiliki akun di media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan website online shop lainnya. Atas dasar fenomena ini, para pemilik usaha mengalihkan pemasaran melalui online shop. Sehingga, produk mereka lebih cepat diketahui oleh konsumen dibandingkan jika
38
dengan pemasaran tradisional atau offline shop, walaupun ada beberapa UMKM yang mempertahankan pemasaran melalui cara lama tersebut, karena merasa kurang bisa menggunakan teknologi informasi. Pada urutan kedua, media yang digunakan yaitu media massa sebesar 26 persen. Media massa yang umumnya digunakan ialah media cetak melalui pemasangan iklan baik di surat kabar, tabloid, dan majalah. Selain itu ada juga UMKM yang dikenal melalui media elektronik, dimana usaha mereka sering diliput oleh surat kabar seperti tabloid PU yang terbit seminggu sekali dan stasiun televisi. “Tahun lalu kami pernah mengiklankan produk di surat kabar selama setahun berturut-turut. Dampaknya ke penjualan ya lumayan lah.”-WYN, pemilik UMKM OTS Ketiga, UMKM juga menggunakan media personal dalam pemasaran, seperti katalog dan profil korporat. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan media sebesar 16 persen. Sebagian besar UMKM lebih menggunakan katalog yang dicetak tiga bulan sekali, dimana katalog tersebut memuat gambar dan harga dari produk kerajinan. Keempat, media kelompok memberi kontribusi sebesar lima persen dalam pemasaran produk, dimana perajin mengadakan presentasi produk ketika mengajukan proposal kerjasama dengan pihak lain, sedangkan untuk pilihan lainnya pada media komunikasi, tidak ada kontribusi dalam pemasaran. Berdasarkan penggunaan dari berbagai jenis media komunikasi di atas dapat dilihat bahwa penggunaan media dalam pelaksanaan komunikasi pemasaran oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor tergolong sedang yaitu sebesar 53 persen. Lalu yang tergolong rendah sebesar 37 persen, dan hanya sebesar 10 persen yang tergolong tinggi. Hasil dari penggunaan media komunikasi pemasaran dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Persentase penggunaan media komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014
39
Adapun frekuensi penggunaan media komunikasi pemasaran oleh UMKM kerajinan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah dan persentase skala usaha menurut frekuensi penggunaan media oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Frekuensi Penggunaan Media Komunikasi
Skala Usaha Total Mikro Jumlah %
Rendah Sedang Tinggi
7 13 6
26.92 50.00 23.08
Total
26 100.00
Kecil Jumlah % 1 0 3
Jumlah
%
25.00 0.00 75.00
8 13 9
26.67 43.33 30.00
4 100.00
30
100.00
Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar frekuensi penggunaan media komunikasi tergolong sedang yaitu sebesar 43.33 persen atau 13 UMKM Kemudian hanya 30 persen atau 9 UMKM yang tergolong tinggi atau sering menggunakan media untuk memasarkan produk, dan hanya sebesar 26.67 persen atau 8 UMKM yang termasuk kategori rendah dalam frekuensi penggunaan, dimana sebagian besar termasuk usaha berskala mikro sebesar 50 persen atau 13 UMKM. Hasil menunjukkan bahwa masih sebagian kecil UMKM kerajinan di Kota Bogor yang menggunakan media komunikasi pemasaran tersebut, dimana berdasarkan hasil penelitian hanya sekitar 10-16 kali dalam setahun. Pada tabel di atas tidak terdapat data untuk usaha skala menengah. Hal ini disebabkan karena UMKM kerajinan di Kota Bogor tidak ada yang termasuk dalam kelompok skala usaha menengah. Bauran Promosi Pelaksanaan komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh UMKM tidak hanya menggunakan media komunikasi tetapi juga bauran promosi. Beberapa bauran promosi yang umum digunakan antara lain periklanan, promosi penjualan, hubungan masyarakat, penjualan tatap muka, dan pemasaran langsung. Selain kelima ragam bauran promosi tersebut, terdapat bentuk WOM. Berikut hasil penelitian terkait ragam bauran promosi dapat dilihat pada Gambar 11. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM menggunakan WOM sebagai bentuk promosi. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan WOM sebesar 27 persen. Seorang konsumen yang pernah membeli produk kerajinan memberi informasi pada calon konsumen mengenai produk tersebut, sehingga calon konsumen mengetahui informasi produk dan apabila tertarik, maka kemungkinan besar membeli produk tersebut.
40
Gambar 11 Persentase ragam bauran promosi yang digunakan oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 . Bauran promosi yang berikutnya banyak digunakan ialah bentuk promosi penjualan, seperti melalui kupon, undian, pameran, dan lain-lain yaitu sebesar 23 persen. Pada UMKM kerajinan di Kota Bogor, mayoritas pelaku usaha menggunakan pameran sebagai salah satu bentuk promosi penjualan. Pameran tersebut diikuti baik secara personal maupun dibawa oleh dinas terkait. Umumnya pameran yang dibawah dinas tidak berbayar dan sistem pameran digilir untuk setiap UMKM. Selain itu UMKM yang diikutsertakan dalam pameran mayoritas adalah UMKM yang tergolong berkembang dalam hal kuantitas dan kualitas. Berbagai pameran yang difasilitasi oleh dinas, yaitu Inacraft di Jakarta, pameran di SMESCO, dan pameran saat HUT Kota Bogor. Selain itu juga dinas memfasilitasi pameran ke luar negeri seperti Singapura, Belanda, Jerman, Thailand, dan negara lain. Akan tetapi umumnya saat pameran di luar negeri, dinas hanya membawa produk kerajinan saja. Selain kedua bentuk bauran yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat pemasaran langsung sebesar 14 persen. Bentuk pemasaran langsung yang umum digunakan adalah katalog produk yang diperbarui sebanyak tiga kali dalam setahun. Katalog tersebut memuat gambar dan harga dari produk yang dijual atau produk yang akan segera dijual. Selanjutnya untuk hubungan masyarakat, penjualan tatap muka melalui sales, dan periklanan tidak terlalu banyak digunakan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan hubungan masyarakat hanya sebesar 13 persen, penjualan tatap muka sebesar sembilan persen, dan 12 persen untuk periklanan. Hasil penelitian juga menunjukkan sebesar dua persen UMKM yang menggunakan bentuk bauran promosi lainnya, seperti paid promote dan endorse. Sistem paid promote ialah pemilik usaha A membayar sebuah akun di media sosial untuk mempromosikan produk A. Endorse sudah lebih dulu muncul dibandingkan paid promote, dimana endorse adalah bentuk kerjasama online shop dengan artis yang akan menggunakan produk tersebut, misalnya sepatu. Produk A tersebut diberikan secara gratis kepada artis, kemudian artis tersebut akan
41
menggunakan produk, mengambil foto ketika menggunakan produk, kemudian mempublikasikannya di akun media sosial miliknya dan mention ke akun milik produk A. Kedua bentuk ini sudah banyak digunakan di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Path. Berdasarkan penggunaan dari berbagai penggunaan jenis bauran promosi di atas dapat dilihat pada Gambar 9 yang menunjukkan bahwa penggunaan bauran promosi dalam pelaksanaan komunikasi pemasaran oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor tergolong sedang yaitu sebesar 63 persen. Hanya sebesar 10 persen yang tergolong tinggi dan sisanya sebesar 27 persen tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa bauran promosi sudah mulai sering digunakan oleh UMKM untuk memasarkan produknya, walaupun penggunaannya masih belum optimal. karena beberapa UMKM belum mengetahui manfaat pentingnya menggunakan bauran promosi dalam melaksanakan komunikasi pemasaran.
Gambar 12 Persentase penggunaan bauran promosi oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Adapun frekuensi penggunaan bauran promosi oleh masing-masing skala usaha dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7
Jumlah dan persentase skala usaha menurut frekuensi penggunaan bauran promosi oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014
Frekuensi Penggunaan Bauran Promosi
Skala Usaha Total Mikro Jumlah %
Kecil Jumlah
%
Jumlah
% 36.67 33.33 30.00
Rendah Sedang Tinggi
11 10 5
42.31 38.46 19.23
0 0 4
0.00 0.00 100.00
11 10 9
Total
26
100.00
4
100.00
30 100.00
42
Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar frekuensi penggunaan bauran promosi tergolong rendah yaitu sebesar 36.67 persen atau sebanyak 11 UMKM, dimana usaha kerajinan tersebut tergolong usaha mikro. Kemudian hanya 33.33 persen yang tergolong sedang atau sering menggunakan media untuk memasarkan produk, dan hanya sebesar 30 persen yang termasuk kategori tinggi dalam frekuensi penggunaan. Hasil menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil UMKM yang masih jarang menggunakan bauran promosi dalam memasarkan produk kerajinan, hanya sekitar 23-34 kali penggunaan dalam setahun.
Biaya Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran Penggunaan media komunikasi dan bauran promosi dalam melaksanakan komunikasi pemasaran tidak dapat dipisahkan dari anggaran biaya. Pengembangan sebuah usaha membutuhkan biaya yang cukup besar. Hal ini yang menjadi salah satu hambatan bagi UMKM, khususnya bagi usaha yang masih tergolong kecil. Selain itu, sebagian besar UMKM kerajinan belum memiliki pembukuan yang baik. Ada indiksi bahwa promosi pemasaran bukan kurang diminati oleh kalangan UMKM, melainkan umumnya karena mereka tidak mampu membayar biaya kegiatan tersebut. Besar biaya promosi sangat tergantung dari bentuk, tempat dan lama kegiatan (Syarif 2008). Adapun biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8
Jumlah dan persentase skala usaha menurut biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014
Biaya Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran
Skala Usaha Total Mikro Jumlah %
Kecil Jumlah %
Jumlah
%
Rendah Sedang Tinggi
13 12 1
50.00 46.15 3.85
0 0 0 0 4 100.00
13 12 5
43.33 40.00 16.67
Total
26
100.00
4 100.00
30
100.00
Biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran UMKM kerajinan di Kota Bogor sebagian besar tergolong rendah, yaitu sebesar 43.33 persen atau 13 UMKM, dimana UMKM tersebut memiliki skala usaha mikro. Hal ini menunjukkan hanya sebagian kecil UMKM kerajinan yang mengeluarkan biaya tinggi untuk melakukan kegiatan promosi. Terlihat bahwa sebesar 40 persen atau 12 UMKM tergolong sedang, dan sisanya 16.67 persen atau 5 UMKM yang tergolong tinggi.
43
Pemasaran merupakan hal krusial dalam sebuah usaha, begitupun dengan biaya yang akan digunakan untuk kegiatan tersebut. Sebagian besar UMKM kerajinan tidak memiliki budget atau biaya khusus untuk pemasaran, karena hasil penjualan yang didapat diprioritaskan untuk biaya produksi. Kendala ini diatasi dengan cara mengikuti kegiatan promosi berupa fasilitasi website dan pameran yang diadakan oleh dinas yang bersifat gratis. Tetapi untuk biaya bentuk promosi lainnya mereka harus membayar sendiri, misalnya biaya cetak katalog, brosur, website berbayar, dan lain-lain. Jika mengikuti pameran secara mandiri, UMKM harus mengeluarkan biaya untuk membayar sewa stand yang membutuhkan biaya tinggi. Hal lain yang dilakukan adalah menggunakan website gratis, tetapi hal ini menyebabkan masalah lainnya, yaitu ada konsumen yang tidak percaya terhadap kualitas produk UMKM tersebut. “Kami dominan melakukan pemasaran sendiri, biasanya melalui pameran. Sekali ikut pameran biayanya Rp 7.000.000 untuk sewa stand selama 4 hari.”-FNI, bagian marketing UMKM MBK.
“Bagian perekonomian ikut membuat atau ikut pameran, seperti Inacraft di Jakarta, perajin kota bogor dibawa kesana. Dibantu pemasarannya. Ada juga event Fashion and Crafts selama lima hari dengan harga sewa stand sebesar 40 juta di Jakarta. Karena perajin tidak mampu, maka difasilitasi oleh Pemkot dengan sistem digilir. UMKM yang sudah berkembang dilepas, seperti keramik MBK. Produk vas bunga usaha tersebut pernah dipakai istana kepresidenan ketika Obama dijamu makan di Indonesia. Itu satu prestasi. MBK juga sudah mengeskspor, pameran ke Belanda dan Mesir.”- RHA, Kepala Subbagian Sarana
Perekonomian dan Produksi.
44
TINGKAT KUALITAS DAYA SAING UMKM KERAJINAN DI KOTA BOGOR Produk kerajinan bukan merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat. Seseorang yang membeli produk kerajinan dipengaruhi oleh faktor hobi dan ketertarikan. Umumnya, mereka membeli produk kerajinan jika sudah terpenuhi kebutuhan pokoknya atau memiliki uang lebih. Oleh karena itu, UMKM kerajinan harus mengembangkan kreativitas dan inovasi produk agar konsumen tertarik untuk membeli. Menghadapi era perdagangan bebas melalui Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), para pelaku usaha harus mampu beradaptasi untuk dapat bersaing, bukan hanya dengan produk dalam negeri melainkan produk luar negeri. Terbukanya perdagangan bebas, produk luar negeri akan dengan mudah masuk ke Indonesia dengan harga yang relatif lebih murah dan kualitas yang lebih baik. “Menghadapi MEA, kita membuat pelatihan SDM dengan IT dan website serta bisnis online.”- HYP, Kepala Kantor Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor.
Gambar 13 Persentase tingkat kualitas daya saing UMKM Kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Begitupun dengan yang akan dihadapi oleh para perajin di Kota Bogor. Kota yang menjadi menjadi salah satu destinasi wisata ini memiliki produk kerajinan yang berkembang. Akan tetapi, masih belum optimal dalam melakukan pemasaran dan belum ada produk kerajinan yang menjadi ciri khas Kota Bogor. Selain itu untuk menghadapi perdagangan bebas, dibutuhkan UMKM yang mampu berdaya saing. Kualitas daya saing dapat dilihat dari tingkat produktivitas, tingkat profit, dan luas cakupan pasar.
45
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kualitas daya saing pada UMKM kerajinan di Kota Bogor termasuk sedang dengan persentase sebesar 47 persen. UMKM yang memiliki kualitas daya saing rendah sebesar 40 persen, dan yang tergolong tinggi hanya 13 persen. Sebagian besar UMKM kerajinan di Kota Bogor sudah termasuk berkembang, akan tetapi masih terkendala dalam hal kualitas dan kuantitas SDM seperti yang telah dijelaskan pada subbab hambatan pengembangan UMKM kerajinan. Selain itu ada beberapa faktor yang menjadi hambatan dalam pengembangan usaha, seperti modal, akses pasar dan informasi, teknologi, dan lain sebagainya. Hal lain ialah sebagian besar UMKM tidak memiliki pembukuan yang jelas mengenai omset, biaya produksi, dan keuntungan per bulan maupun per tahun. “Wah berapa omsetnya, saya nggak pernah ngitung tuh mba. Ya kalo dapat dari penjualan, langsung saya beli bahan baku lagi. Pelatihan pembukuan sih ada, tapi memang saya belum membuat pembukuan yang jelas”- NRA, pemilik
UMKM KSE
Tingkat Produktivitas UMKM Kerajinan Keberadaan sebuah UMKM dapat dilihat dari produk yang dihasilkannya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Menurut Tambunan (2009), laju pertumbuhan nilai atau volume ouput tidak hanya menunjukkan tingkat kemampuan produksi dari sebuah perusahaan, tetapi juga mencerminkan adanya permintaan pasar terhadap produk tersebut, yang berarti produk tersebut mempunyai daya saing. Mutu daya saing UMKM dapat dilihat dari tingkat produktivitas, dimana hal tersebut diukur dari nilai omset yang dihasilkan. Omset adalah harga dikali dengan jumlah barang yang dijual atau perolehan kotor dari nilai penjualan yang belum dikurangi dengan biaya operasional. Tabel 9 Jumlah dan persentase skala usaha berdasarkan tingkat produktivitas UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Skala Usaha Tingkat Produktivitas
Total Mikro Jumlah %
Kecil Jumlah %
Jumlah
%
Rendah Sedang Tinggi
11 13 2
42.31 50.00 7.69
0 1 3
0.00 25.00 75.00
11 14 5
36.67 46.67 16.67
Total
26 100.00
4
100.00
30
100.00
UMKM kerajinan di Kota Bogor memiliki tingkat produktivitas tergolong sedang yaitu sebesar 46.67 persen atau 14 UMKM, dimana sebanyak 13 UMKM berskala mikro, sedangkan sebagian lainnya sebesar 36.67 persen atau 11 UMKM termasuk rendah, dan hanya 16.67 persen atau 5 UMKM yang sudah memiliki
46
tingkat produktivitas tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM kerajinan masih berkembang dalam hal produktivitas. Tingkat produktivitas diukur dari omset yang diterima dalam periode waktu tertentu. Selain itu, dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas pekerja. Rata-rata omset yang didapat oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor sebesar Rp 194,000,000 per tahun dengan kisaran antara Rp 24,000,000-Rp 364,000,000 per tahun. Sebagian perajin menyediakan ready stock termasuk untuk dijadikan sample. Ada UMKM yang tidak menyediakan ready stock, karena menyediakan sesuai permintaan Akan tetapi ada juga yang menyediakan ready stock dan sistem custom (pemesanan sesuai keinginan). Seperti UMKM TTS yang memproduksi aksesoris seperti kalung dan bros. Pemilik usaha menyiapkan ready stock namun dalam jumlah terbatas, karena jumlah pembuatan aksesoris mengikuti permintaan konsumen. Sementara itu UMKM GPN hanya memproduksi gong dan alat musik tradisional lainnya hanya jika ada pemesanan saja. Lain halnya dengan UMKM FAT, pemilik usaha menyediakan ready stock dalam jumlah banyak dan juga menerima pemesanan (custom), dimana bentuk aksesoris yang dibuat sesuai dengan permintaan konsumen dan dijual dengan harga yang lebih mahal. Tingkat Profit UMKM Kerajinan
Keberhasilan suatu usaha umumnya dilihat dari seberapa besar profit yang didapat. Salah satu upaya untuk meningkatkan profit adalah melalui kegiatan promosi dan meningkatkan kualitas produk. Tingkat profit merupakan besarnya keuntungan atau laba yang didapat pada periode waktu tertentu. Berikut adalah tingkat profit UMKM kerajinan di Kota Bogor yang dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah dan persentase skala usaha berdasarkan tingkat profit UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Skala Usaha Total Tingkat Profit
Mikro Jumlah %
Rendah Sedang Tinggi
7 18 1
26.92 69.23 3.85
Total
26
100.00
Kecil Jumlah % 0 1 3
0.00 25.00 75.00
4 100.00
Jumlah
% 7 19 4
23.33 63.33 13.33
30 100.00
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar UMKM kerajinan termasuk memiliki tingkat profit yang sedang, yaitu sebesar 63.33 persen atau 19 UMKM, dimana sebanyak 18 UMKM termasuk usaha berskala mikro. Hanya sebagian kecil yaitu hanya 13.33 persen atau 4 UMKM yang termasuk tinggi dan 23.33 persen atau 7 UMKM tergolong rendah. Rata-rata keuntungan yang didapat oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor sebesar Rp 93,000,000 per tahun dengan kisaran
47
Rp 6,000,000 per tahun untuk yang terendah dan tertinggi Rp 181,000,000 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM kerajinan masih rendah dalam hal permintaan pasar yang selanjutnya mempengaruhi pada tingkat penjualan dan keuntungan yang didapat. Selain itu sebagian besar UMKM ini belum dapat memperlihatkan produk kerajinan yang menjadi ciri khas Kota Bogor. Perajin harus berusaha menciptakan inovasi dan keunikan produk agar konsumen tertarik untuk membeli.
Luas Cakupan Pasar UMKM Kerajinan Hasil penelitian pada UMKM kerajinan di Kota Bogor menunjukkan kemampuan melihat dan memiliki pangsa pasar untuk memasarkan produk. Selain itu pelaku usaha juga sudah mengetahui segmentasi pasar yang menjadi sasaran produk. Hal ini memudahkan mereka untuk dapat mengikuti trend pasar dan mengevaluasi untuk pengembangan inovasi produk dan usaha. Luasnya cakupan pasar UMKM ditunjukkan oleh lokasi pemasaran UMKM yang sudah memasuki wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), kota-kota besar di Indonesia, regional, hingga internasional, dan melihat dari sisi wilayah pemasaran untuk konsumen potensial dan konsumen tetap, kemudahan konsumen untuk mengakses produk, dan apakah lokasi usaha tergolong strategis. Sebagai contoh UMKM MBK yang sudah memasarkan produknya hingga ke negara Belanda dan Mesir. Kemudian produk wayang golek dari kayu lame yang merambah pasar Belanda, UMKM BTT yang mengekspor ke Cina dan Jepang Penentuan segmentasi pasar merupakan langkah awal untuk melaksanakan komunikasi pemasaran. Usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, jenis pekerjaan, dan lain sebagainya menjadi pedoman bagaimana produk yang sedang menjadi tren di masyarakat atau produk seperti apa yang konsumen inginkan. Hal ini menjadi bagian terpenting bagi UMKM kerajinan yang menghasilkan barang komplementer. Misalnya usaha kerajinan aksesoris. Pemilik usaha harus menentukan kelompok sasaran, sehingga produk yang dihasilkan dapat menyesuaikan dengan kondisi dan situasi serta keinginan pasar. Sebelum produk masuk ke pasar, perlu dilakukan evaluasi melalui sharing informasi dan pendapat dengan UMKM lain untuk menilai produk. Selanjutnya, UMKM mengenalkan produk ke pasar melalui upaya komunikasi pemasaran. Komunikasi pemasaran dapat meningkatkan posisi tawar usaha dibandingkan pesaing dengan usaha serupa. UMKM dalam menjalankan usaha, tidak hanya bersaing dengan sesama UMKM, melainkan juga dengan usaha besar. Oleh karena itu, UMKM perlu melaksanakan komunikasi pemasaran dengan baik, agar mampu meraih pasar yang lebih luas (Larasati 2011). Begitu juga dengan UMKM kerajinan di Kota Bogor yang melaksanakan komunikasi pemasaran guna memperluas cakupan pasar. Tabel 11 berikut ini menunjukkan luas cakupan pasar UMKM kerajinan.
48
Tabel 11 Jumlah dan persentase skala usaha berdasarkan luas cakupan pasar UMKM kerajinan di Kota Bogor pada tahun 2014 Luas Cakupan Pasar
Skala Usaha Total Mikro Jumlah %
Kecil Jumlah %
Jumlah
%
Rendah Sedang Tinggi
2 19 5
7.69 73.08 19.23
0 4 0
0.00 100.00 0.00
2 23 5
6.67 76.67 16.67
Total
26
100.00
4
100.00
30
100.00
Luas cakupan pasar merupakan keragaman konsumen yang akan atau sedang mengkonsumsi produk, baik konsumen potensial maupun tetap. Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa sebagian besar UMKM kerajinan di Kota Bogor memiliki luas cakupan pasar yang tergolong sedang, yaitu sebesar 76.67 persen atau 23 UMKM, dimana sebanyak 19 UMKM merupakan usaha berskala mikro. Lalu sebesar 16.67 persen atau 5 UMKM tergolong tinggi dan hanya 6.67 persen atau 2 UMKM yang memiliki luas cakupan pasar rendah. Sebagian besar UMKM kerajinan di Kota Bogor sudah memiliki segmentasi pasar nasional, bahkan beberapa produk sudah dipamerkan di tingkat internasional. Selain itu produk kerajinan Kota Bogor diminati oleh wisatawan asing, seperti UMKM MAH yang memproduksi wayang golek dari kayu lame. Produk wayang golek tersebut sudah diimpor ke Negara Belanda, walaupun melalui impor tidak langsung, dimana wisatawan yang berasal dari Belanda mengetahui UMKM MAH dari pameran yang diadakan oleh pihak Dekranasda. Ketertarikan pada kerajinan khas Indonesia, membuat wisatawan Belanda membeli dan kemudian membawa ke negaranya. “Kebanyakan sih orang Belanda datang ke tempat saya. mereka katanya suka dengan wayang. unik. terus mereka beli, mereka bawa kesana. Pas disana teman temannya juga ikut tertarik, dan ketika ke Indonesia mencari rumah saya untuk membeli wayang. Sekarang orang bule Belanda yang pertama kali beli di saya itu jadi akrab dengan saya, jadi sering ada pesanan wayang untuk dibawa kesana.”-MDA, pemilik UMKM MAH.
49
HUBUNGAN KARAKTERISTIK UMKM KERAJINAN DENGAN PELAKSANAAN KOMUNIKASI PEMASARAN Penelitian mengenai UMKM kerajinan ini melihat hubungan antara karakteristik UMKM dari skala usaha dan tingkat pendidikan pelaku usaha dengan pelaksanaan komunikasi pemasaran. Sebagian besar UMKM kerajinan di Kota Bogor merupakan usaha yang tergolong mikro, yaitu sebesar 87 persen atau 26 UMKM. Usaha ini merupakan usaha yang baru berdiri, akan tetapi ada juga yang sudah lama berdiri namun masih memiliki kendala dalam hal mengembangkan usaha. Hal ini dipengaruhi oleh faktor keterampilan tenaga kerja, modal, pemasaran, dan lain-lain. Kemudian, dalam hal tingkat pendidikan pelaku usaha, yaitu pemilik usaha dan pekerja, didapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan pemilik usaha sebesar 63 persen tergolong sedang, sedangkan tingkat pendidikan pekerja sebanyak 60 persen juga tergolong sedang. Tingkat pendidikan pelaku usaha menjadi salah satu kendala yang menghambat pengembangan usaha, hal ini karena kualitas pelaku usaha menentukan kinerja, kualitas, dan kuantitas produk kerajinan. Selanjutnya pelaksanaan komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh UMKM kerajinan tergolong sedang yaitu sebesar 69 persen. Hal ini menunjukkan bahwa UMKM kerajinan di Kota Bogor yang sebagian besar tergolong usaha mikro tersebut masih belum optimal dalam melakukan pemasaran. Hal lain ditunjukkan dengan penggunaan ragam media komunikasi pemasaran yang tergolong sedang yaitu 53 persen, frekuensi penggunaan media komunikasi tergolong sedang yaitu hanya sekitar 10-16 kali dalam satu tahun, dimana hanya sembilan persen UMKM yang memiliki intensitas tinggi pada penggunaan media dalam memasarkan produk. Pelaksanaan komunikasi pemasaran dilihat juga dari bauran promosi yang digunakan, dimana penggunaan ragam bauran promosi tergolong sedang yaitu 63 persen dan frekuensi penggunaan yang tergolong rendah yaitu hanya 23-24 kali dalam satu tahun. Pelaksanaan komunikasi pemasaran, sebuah usaha tidak akan terlepas dari anggaran biaya yang digunakan. Sebagian besar UMKM yaitu 13 UMKM atau 43.33 persen mengeluarkan biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran yang tergolong rendah, dimana rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh UMKM kerajinan sekitar Rp 5,100,000. Berikut adalah hasil uji korelasi pada masing-masing variabel. Hubungan Skala Usaha dengan Ragam Media Komunikasi Hasil uji korelasi antara skala usaha dengan ragam media komunikasi menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.284. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang lemah. Nilai hitung tersebut berada diantara nilai 0.10 –0.29. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang lemah. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.129, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel skala usaha tidak memiliki hubungan yang nyata, memiliki
50
korelasi yang lemah, dan tidak signifikan dengan variabel ragam media komunikasi. Hal tersebut karena pelaku usaha kerajinan memilih media yang digunakan berdasarkan kemudahan dalam mengaksesnya. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 53 persen UMKM menggunakan media hibrida seperti media sosial dalam melakukan pemasaran. Alasan pemilihan media sosial adalah karena mudah diakses dengan menggunakan smartphone dan mengurangi biaya cetak leaflet dan brosur. Selain itu media sosial lebih mudah menjangkau konsumen potensial yang lebih luas dan beragam. Hubungan Skala Usaha dengan Ragam Bauran Promosi Hasil uji korelasi antara skala usaha dengan ragam bauran promosi menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.352. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi atau hubungan moderat. Nilai hitung tersebut berada diantara nilai 0.30 –0.49. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang moderat. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.056, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel skala usaha tidak memiliki hubungan yang nyata, memiliki korelasi yang moderat, dan tidak signifikan dengan variabel ragam bauran promosi. Hal tersebut karena pelaku usaha kerajinan memilih ragam bauran promosi bukan berdasarkan keinginan sendiri tetapi karena adanya pihak Dekranasda Kota Bogor yang membantu dalam mengenalkan dan memasarkan produk kerajinan melalui pameran yang rutin diadakan setiap tahun baik di dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu sebanyak 27 persen pemasaran produk kerajinan UMKM menggunakan WOM yang dilakukan oleh konsumen yang sudah mengetahui dan membeli produk kerajinan tersebut. Hubungan Skala Usaha dengan Frekuensi Penggunaan Media Hasil uji korelasi antara skala usaha dengan frekuensi penggunaan media menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.079. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat. Nilai hitung tersebut berada diantara nilai 0.70 –0.89. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang sangat kuat. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.679, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel skala usaha tidak memiliki hubungan nyata, memiliki korelasi yang cukup kuat, dan tidak signifikan dengan variabel frekuensi penggunaan media. Hal tersebut karena intensitas penggunaan media tidak dilatarbelakangi apakah usaha tersebut tergolong usaha mikro, kecil, atau menengah. Tetapi
51
disebabkan karena masih belum dilakukan manajemen dari UMKM kerajinan untuk mengelola media untuk memasarkan produk kerajinan. Selain itu pelaku usaha kerajinan lebih fokus ke produksi dan belum memiliki pekerja khusus yang dapat mengelola media, padahal sebagian besar UMKM menggunakan media sosial dalam memasarkan produk, dimana media tersebut efektif dan efisien untuk menjangkau konsumen potensial. Hubungan Skala Usaha dengan Frekuensi Penggunaan Bauran Promosi Hasil uji korelasi antara skala usaha dengan frekuensi penggunaan bauran promosi menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.344. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi moderat. Nilai hitung tersebut berada diantara nilai 0.30 –0.49. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan moderat. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.063, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel skala usaha tidak memiliki hubungan nyata, memiliki korelasi yang moderat, dan tidak signifikan dengan variabel frekuensi penggunaan bauran promosi. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar UMKM masih mengandalkan cara lama dalam memasarkan produk, dimana mayoritas UMKM menggunakan WOM. Selain itu, pemasaran produk kerajinan dibantu oleh Dekranasda yang mengadakan pameran pada bulan-bulan tertentu dengan sistem digilir. Umumnya pameran mengikutsertakan UMKM kerajinan yang sudah mampu memenuhi permintaan pasar dan memiliki kualitas produk yang tergolong baik. Hubungan Skala Usaha dengan Biaya Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran Hasil uji korelasi antara skala usaha dengan biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.268. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi lemah. Nilai hitung tersebut berada diantara nilai 0.10–0.29. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan moderat. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.151, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel skala usaha tidak memiliki hubungan yang nyata, memiliki korelasi yang moderat, dan tidak signifikan dengan variabel biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran. Berdasarkan hasil penelitian, pelaku usaha kerajinan di Kota Bogor tidak memiliki budget atau anggaran khusus untuk biaya pemasaran produk. pelaku UMKM kerajinan yang sebagian besar tergolong usaha mikro ini, memiliki kemampuan dan pengalaman dalam mengelola usaha kerajinan salah satunya jaringan dengan pihak lain seperti pemerintah dan swasta mempermudah pelaku usaha kerajinan untuk memasarkan produk. Perajin juga dibantu oleh Dekranasda
52
Kota Bogor melalui pameran yang bersifat gratis. Akan tetapi ada sebagian besar dari pelaku UMKM kerajinan melakukan pemasaran sendiri melalui media sosial, WOM, dan sistem reseller. Hubungan Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha dengan Ragam Media Komunikasi Hasil uji korelasi antara tingkat pendidikan pelaku usaha dengan ragam media komunikasi menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar -0.004. Nilai tersebut menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan dan negatif (tidak searah). Nilai hitung tersebut berada dibawah 0.00. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat tidak terdapat hubungan antara variabel. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.982, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan dan tidak signifikan antara tingkat pendidikan pelaku usaha dengan ragam media komunikasi. Hal tersebut karena pelaku usaha kerajinan memilih media yang digunakan berdasarkan kemudahan dalam mengaksesnya. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 53 persen UMKM menggunakan media hibrida seperti media sosial dalam melakukan pemasaran. Alasan pemilihan media sosial adalah karena mudah diakses dengan menggunakan smartphone dan mengurangi biaya cetak leaflet dan brosur. Selain itu media sosial lebih mudah menjangkau konsumen potensia yang lebih luas dan beragam. Hubungan Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha dengan Ragam Bauran Promosi Hasil uji korelasi antara tingkat pendidikan pelaku usaha dengan ragam bauran promosi menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.225. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang lemah. Nilai hitung tersebut berada diantara 0.10-0.29. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang lemah antara variabel. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.231, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel tingkat pendidikan pelaku usaha tidak memiliki hubungan yang nyata, memiliki korelasi yang lemah, dan tidak signifikan dengan variabel ragam bauran promosi. Hal tersebut karena pelaku usaha kerajinan memilih ragam bauran promosi bukan berdasarkan keinginan sendiri tetapi karena adanya pihak Dekranasda Kota Bogor yang membantu dalam mengenalkan dan memasarkan produk kerajinan melalui pameran yang rutin diadakan setiap tahun baik di dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu sebanyak 27 persen pemasaran produk kerajinan UMKM menggunakan WOM yang dilakukan oleh konsumen yang sudah mengetahui dan membeli produk kerajinan tersebut.
53
Hubungan Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha dengan Frekuensi Penggunaan Media Hasil uji korelasi antara tingkat pendidikan pelaku usaha dengan frekuensi penggunaan media menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.057. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang kuat. Nilai hitung tersebut berada diantara 0.50 -0.69. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang kuat antara variabel. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.767, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel tingkat pendidikan pelaku usaha tidak memiliki hubungan yang nyata, korelasi yang kuat, dan tidak signifikan dengan variabel frekuensi penggunaan media komunikasi. Hal tersebut karena intensitas penggunaan media tidak dilatarbelakangi tingkat pendidikan dari pelaku usaha. Tetapi disebabkan karena masih belum dilakukan manajemen dari UMKM kerajinan untuk mengelola media untuk memasarkan produk kerajinan. Selain itu mereka lebih fokus ke produksi dan mereka belum memiliki pekerja khusus yang dapat mengelola media untuk memasarkan, padahal sebagian besar UMKM menggunakan media sosial dalam memasarkan produk, dimana media tersebut efektif dan efisien untuk menjangkau konsumen potensial. Hubungan Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha dengan Frekuensi Penggunaan Bauran Promosi Hasil uji korelasi antara tingkat pendidikan pelaku usaha dengan frekuensi penggunaan bauran promosi menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.204. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang lemah. Nilai hitung tersebut berada diantara 0.10-0.29. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang lemah antara variabel. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.280, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel tingkat pendidikan pelaku usaha tidak memiliki hubungan yang nyata, memiliki korelasi yang lemah, dan tidak signifikan dengan variabel frekuensi penggunaan bauran promosi. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar UMKM masih mengandalkan cara lama dalam memasarkan produk, dimana mayoritas UMKM menggunakan WOM. Selain itu, pemasaran produk kerajinan dibantu oleh Dekranasda yang mengadakan pameran pada bulan-bulan tertentu dengan sistem digilir. Umumnya pameran mengikutsertakan UMKM kerajinan yang sudah mampu memenuhi permintaan pasar dan memiliki kualitas produk yang tergolong baik.
54
Hubungan Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha dengan Biaya Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran Hasil uji korelasi antara tingkat pendidikan pelaku usaha dengan biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.095. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang kurang berarti. Nilai hitung tersebut berada diantara 0.01-0.09. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang kurang berarti antara variabel. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.616, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel tingkat pendidikan pelaku usaha tidak memiliki hubungan yang nyata, memiliki korelasi yang kurang berarti, dan tidak signifikan dengan variabel biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran. Berdasarkan hasil penelitian, pelaku usaha kerajinan di Kota Bogor tidak memiliki budget atau anggaran khusus untuk biaya pemasaran produk. Uang hasil penjualan produk digunakan untuk membiayai produksi. Para perajin di Kota Bogor yang sebagian besar memiliki tingkat pendidikan sedang yaitu lulus SMP/SMA, memiliki kemampuan dan pengalaman dalam mengelola usaha kerajinan salah satunya jaringan dengan pihak lain seperti pemerintah dan swasta mempermudah pelaku usaha kerajinan untuk memasarkan produk. Perajin juga dibantu oleh Dekranasda Kota Bogor melalui pameran yang bersifat gratis. Akan tetapi ada sebagian besar dari perajin yang melakukan pemasaran sendiri melalui media sosial, WOM, dan sistem reseller.
54
55
HUBUNGAN PELAKSANAAN KOMUNIKASI PEMASARAN DENGAN TINGKAT KUALITAS DAYA SAING UMKM Penelitian mengenai UMKM kerajinan di Kota Bogor ini melihat hubungan antara pelaksanaan komunikasi pemasaran dengan tingkat kualitas daya saing UMKM, dimana pelaksanaan komunikasi pemasaran tergolong sedang. Hal yang sama juga terlihat pada tingkat kualitas daya saing, yaitu tergolong sedang. Tingkat kualitas daya saing terdiri dari tingkat produktivitas, tingkat profit, dan luas cakupan pasar, dimana ketiga variabel tersebut menunjukkan hasil yang juga tergolong sedang. Pemaparan di atas didukung oleh hasil uji korelasi Rank Spearman antara pelaksanaan komunikasi pemasaran dengan kualitas daya saing menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.443. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang moderat. Nilai hitung tersebut berada diantara nilai 0.25 – 0.5. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang cukup kuat, sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.014, dimana nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut berhubungan signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa antara variabel pelaksanaan komunikasi pemasaran dengan kualitas daya saing UMKM terdapat hubungan yang moderat dan signifikan. Berikut hasil uji korelasi untuk masingmasing variabel. Hubungan Ragam Media Komunikasi dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Hasil uji korelasi antara ragam media komunikasi dengan tingkat kualitas daya saing UMKM menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.456. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang moderat. Nilai hitung tersebut berada diantara 0.30-0.49. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada diantara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang moderat antara variabel. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.011, dimana nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel ragam media komunikasi memiliki hubungan yang nyata, memiliki korelasi yang moderat, dan signifikan dengan tingkat kualitas daya saing UMKM. Hal tersebut karena penggunaan media komunikasi pemasaran dapat menjangkau konsumen potensial yang lebih luas. Sebagian besar UMKM kerajinan di Kota Bogor menggunakan media hibrida yaitu media sosial untuk memperkenalkan dan memasarkan produknya, hingga terjadi transaksi jual beli melalui media sosial seperti FB, Twitter, website, dan lain sebagainya. Pemasaran melalui media sosial yang intensif memungkinkan produk lebih cepat dikenal. Hal itu menuntut pelaku usaha untuk dapat membuat konten dan visualisasi produk yang menarik, sehingga calon konsumen tertarik untuk membeli. Selanjutnya pembelian tersebut akan meningkatkan permintaan pasar terhadap produk kerajinan dan mendatangakan profit untuk perajin. Selain itu pemasaran melalui
56
online dapat membidik pasar sasaran yang lebih luas, sehingga produk lebih cepat dikenal, usaha dapat berkembang, dan meningkatkan daya saing. Hubungan Ragam Bauran Promosi dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Hasil uji korelasi antara ragam bauran promosi dengan tingkat kualitas daya saing UMKM menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.441. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang moderat. Nilai hitung tersebut berada diantara 0.30-0.49. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang moderat antara variabel. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.015, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel ragam bauran promosi memiliki hubungan yang nyata, memiliki korelasi yang moderat, dan signifikan dengan variabel tingkat kualitas daya saing UMKM. Berdasarkan hasil penelitian bauran promosi yang digunakan oleh UMKM kerajinan di Kota Bogor ialah WOM (mulut ke mulut), dimana konsumen yang sudah membeli produk kerajinan menceritakan tentang bagaimana produk tersebut kepada orang lain, dan seterusnya, hingga banyak orang yang mengetahui produk tersebut. Pada zaman teknologi seperti ini, WOM masih dinilai efektif untuk memasarkan produk, karena masih banyak orang yang lebih percaya rekomendasi dari orang lain dalam hal membeli produk, dalam hal ini produk kerajinan. Sehingga melalui WOM, produk lebih dikenal luas dan melalui kepercayaan dari konsumen yang sudah membeli. Selain itu produk kerajinan tersebut dapat memiliki segmentasi pasar yang lebih luas, yang kemudian dapat meningkatkan permintaan pasar dan keuntungan bagi pelaku usaha.
Hubungan Frekuensi Penggunaan Media dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Hasil uji korelasi antara frekuensi penggunaan media dengan tingkat kualitas daya saing UMKM menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.184. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang lemah. Nilai hitung tersebut berada diantara 0.10-0.29. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang lemah antara variabel. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.330, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel frekuensi penggunaan media tidak memiliki hubungan yang nyata, memiliki korelasi yang lemah, dan tidak signifikan dengan tingkat kualitas daya saing UMKM. Hal ini karena produk kerajinan merupakan barang komplementer, dimana bukan merupakan barang yang menjadi kebutuhan utama. Hanya konsumen yang memiliki ketertarikan terhadap produk hasil kerajinan tangan yang akan membeli
57
atau produk tersebut dibeli untuk hadiah dan suvenir dari kota yang dikunjungi. Selain itu tingginya intensitas frekuensi penggunaan media komunikasi apabila tidak diimbangi dengan kualitas produk kerajinan yang lebih unggul dari produk kerajinan lainnya, maka konsumen tidak akan tertarik untuk membeli. Sebagai contoh pemasaran produk di media sosial, dimana konsumen tidak dapat melihat secara langsung barang yang ingin dibeli. Hal ini menjadi tantangan bagi pelaku usaha kerajinan untuk memperlihatkan keunikan produk yang buat dibandingkan produk sejenis yang juga dipasarkan melalui media sosial. Selain itu perajin dituntut untuk meningkatkan kreativitas untuk menghasilkan produk kerajinan yang unik dan menarik, bahkan saat ini konsumen cenderung membeli barang kerajinan yang dapat digunakan dibandingkan hanya menjadi hiasan, seperti bros dan gelang buatan tangan. Hubungan Frekuensi Penggunaan Bauran Promosi dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Hasil uji korelasi antara frekuensi penggunaan bauran promosi dengan tingkat kualitas daya saing UMKM menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.321. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang moderat. Nilai hitung tersebut berada diantara 0.30-0.49. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang moderat antara variabel. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.084, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel frekuensi penggunaan bauran promosi tidak memiliki hubungan yang nyata, memiliki korelasi yang moderat, dan tidak signifikan dengan tingkat kualitas daya saing UMKM. Hal ini karena produk kerajinan merupakan barang komplementer, dimana bukan merupakan barang yang menjadi kebutuhan utama. Hanya konsumen yang memiliki ketertarikan terhadap produk hasil kerajinan tangan yang akan membeli atau produk tersebut dibeli untuk hadiah dan suvenir dari kota yang dikunjungi. Selain itu tingginya intensitas frekuensi penggunaan bauan promosi apabila tidak diimbangi dengan kualitas produk kerajinan yang lebih unggul dari produk kerajinan lainnya, maka konsumen tidak akan tertarik untuk membeli. Perajin dituntut untuk meningkatkan kreativitas untuk menghasilkan produk kerajinan yang unik dan menarik, bahkan saat ini konsumen cenderung membeli barang kerajinan yang dapat digunakan dibandingkan hanya menjadi hiasan, seperti bros dan gelang buatan tangan.
58
Hubungan Biaya Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran dengan Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM Hasil uji korelasi antara biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran dengan tingkat kualitas daya saing UMKM menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.283. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat korelasi yang lemah. Nilai hitung tersebut berada diantara 0.10-0.29. Sarwono (2009) menjelaskan bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi atau hubungan yang lemah antara variabel. Sedangkan untuk nilai signifikasi ialah sebesar 0.130, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak signifikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran tidak memiliki hubungan yang nyata, memiliki korelasi yang lemah, dan tidak signifikan dengan tingkat kualitas daya saing UMKM. Hal ini karena produk kerajinan merupakan barang komplementer, dimana bukan merupakan barang yang menjadi kebutuhan utama. Hanya konsumen yang memiliki ketertarikan terhadap produk hasil kerajinan tangan yang akan membeli atau produk tersebut dibeli untuk hadiah dan suvenir dari kota yang dikunjungi.
59
PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemasaran yang dilakukan oleh perajin di Kota Bogor umumnya masih dilakukan oleh pihak UMKM sendiri. Pelaksanaan komunikasi pemasaran dapat dilakukan melalui media dan bauran promosi. UMKM kerajinan di Kota Bogor dominan menggunakan media hibrida, yaitu internet dan media sosial sebagai media komunikasi pemasaran dan Word of Mouth (WOM) sebagai bauran promosi. Adapun frekuensi penggunaan media komunikasi tergolong sedang, sedangkan pada frekuensi penggunaan bauran promosi tergolong rendah. Pemilihan media dan bauran promosi tersebut tidak terlepas dari biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan hasil penelitian, biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran usaha kerajinan di Kota Bogor tergolong rendah. 2. Melalui upaya komunikasi pemasaran, selain dapat mengenalkan produk, juga menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kualitas daya saing. Menghadapi era perdagangan bebas 2015, para pelaku usaha dituntut untuk berdaya saing tinggi. Tingkat kualitas daya saing dapat dilihat dari tingkat produktivitas, tingkat profit, dan luas cakupan pasar. Berdasarkan hasil penelitian terhadap UMKM kerajinan di Kota Bogor, sebagian besar usaha kerajinan memiliki kualitas daya saing sedang dalam hal tingkat produktivitas, tingkat profit, dan luas cakupan pasar. 3. Hasil uji korelasi antara variabel-variabel karakteristik UMKM (skala usaha dan tingkat pendidikan pelaku usaha) dengan variabel-variabel pelaksanaan komunikasi pemasaran (ragam media komunikasi, ragam bauran promosi, frekuensi penggunaan media komunikasi, frekuensi penggunaan bauran promosi, dan biaya pelaksanaan komunikasi pemasaran) menunjukkan nilai koefisien korelasi pada masing-masing variabel yang diuji yang lebih besar dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa antara variabel karakteristik UMKM kerajinan dengan variabel pelaksanaan komunikasi pemasaran tidak terdapat hubungan yang nyata dan tidak signifikan. 4. Hal lainnya ialah hubungan pelaksanaan komunikasi pemasaran dengan tingkat kualitas daya saing. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.443 dengan nilai signifikasi ialah sebesar 0.014, dimana nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata atau α sebesar 0.05. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kedua variabel berhubungan cukup kuat dan signifikan.
60
Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, beberapa saran yang diajukan oleh penulis, antara lain: 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media yang banyak digunakan untuk pemasaran adalah media sosial. Maka perlu dilakukan pelatihan tentang bagaimana manajemen pemasaran melalui media sosial baik dalam hal konten, visualisasi produk, dan intensitas melayani konsumen via media sosial. Selain itu perlu menggunakan media komunikasi yang lebih beragam seperti media massa, kelompok, dan personal dalam melakukan komunikasi pemasaran. Sedangkan dalam penggunaan bauran promosi, Pelaku usaha atau perajin harus meningkatkan pelayanan kepada konsumen. Hal ini karena berdasarkan hasil penelitian, bauran promosi WOM mendominasi dibandingkan ragam bauran promosi yang lain. Selain itu pelaku usaha kerajinan harus menggunakan bauran promosi yang lebih beragam seperti periklanan, promosi penjualan, humas, dan lain-lain. Pelaksanaan komunikasi pemasaran tidak terlepas dari pertimbangan biaya pemasaran yang diatur dengan sistem manajemen yang baik. Hal lainnya yang dapat dilakukan ialah menarik konsumen melalui produk kerajinan yang unik, berkualitas, dan bermanfaat, pengemasan produk, intensitas promosi yang tinggi, sistem reseller, dan lain sebagainya. 2. Pelaku UMKM kerajinan harus mengembangkan inovasi dan kreatifitas dalam menghasilkan produk, karena produk kerajinan merupakan barang komplementer, dimana hanya karena alasan tertentu konsumen akan membelinya. Mutu dan kuantitas produk tersebut dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas SDM, sehingga harus diperhatikan dalam hal rekruitmen dan pelatihan keterampilan pekerja. 3. Pelaku usaha harus dapat melihat trend pasar melalui identifikasi segmentasi pasar. Selanjutnya, dalam hal pemilihan media dan bauran promosi harus disesuaikan dengan pasar sasaran, dimana kedua hal tersebut dapat menjangkau khalayak luas 4. Pemerintah dalam hal ini Dekranasda dan beberapa dinas yang memiliki tugas pokok berkaitan dengan pengembangan UMKM, perlu melakukan perbaikan manajemen khususnya pada Dekranasda, sehingga para perajin mau menyimpan produk kerajinan di showroom Dekranasda. Kemudian, menekankan para pelaku UMKM untuk memiliki Tanda Daftar Industri (TDI), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan produk yang berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI). Selain itu perlu meningkatkan frekuensi pelatihan, pameran, dan seminar bagi UMKM serta menarik minat perajin untuk mengadakan pertemuan rutin di showroom dalam rangka sharing ide dan membangun jaringan baik dengan sesama perajin maupun dengan lembaga lain.
61
DAFTAR PUSTAKA
Amir MT. 2005. Dinamika Pemasaran: Jelajahi & Rasakan. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada. 254 hal. [BI] Bank Indonesia. 2008. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. [Internet]. [diunduh tanggal 27 Februari 2014]. Dapat diunduh dari: www.bi.go.id Isnaini S. 2010. Implementasi komunikasi pemasaran terpadu sebagai penyampai pesan promosi usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia. J Masyarakat Kebudayaan dan Politik [Internet]. [diunduh tanggal 19 Februari 2014]. 4: 324-332. Dapat diunduh dari: http://journal.unair.ac.id Kotler P, Amstrong G. 2008. Prinsip-prinsip Pemasaran. Edisi Ke-12 (Alih bahasa dari Bahasa Inggris oleh Sabran B). Edisi 12. Jilid 2. Jakarta (ID): Erlangga. [Judul asli: Principles of Marketing, Twelfth Edition]. 436 hal. Kotler P, Keller KL. 2009. Manajemen Pemasaran. Edisi Ke-13 (Alih bahasa dari Bahasa Inggris oleh Sabran B). Edisi 13. Jilid 2. Jakarta (ID): Erlangga. [Judul asli: Marketing Management, Thirteenth Edition. 436 hal Khristianto W. 2012. Penggunaan teknologi informasi di usaha kecil menengah (Studi pada usaha kecil menengah di wilayah Gedong Meneng). Seminar hasil-hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. [Internet]. [diunduh tanggal 19 Februari 2014]. Dapat diunduh dari: http://fisip.unila.ac.id Kusumastuti YI. 2009. Komunikasi Bisnis. Bogor (ID): IPB Press. 201 hal. Larasati BH. 2011. Analisis hubungan komunikasi pemasaran dengan kualitas daya saing usaha mikro kecil dan menengah (UMKM): Studi pada UMKM Mitra Binaan IPB. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 115 hal. Morrisan MA. 2010. Periklanan: Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta (ID): PRENADA MEDIA GROUP. 376 hal. Mugniesyah SS. 2009. Media Komunikasi dan Komunikasi Massa. Dalam: Dasardasar Komunikasi. Bogor (ID): Sains KPM, IPB Press. 392 hal. Rahmana A, Iriani Y, Oktarina R. 2012. Strategi pengembangan usaha kecil menengah sektor industri pengolahan. J Teknik Industri. [Internet]. [diunduh tanggal 19 Februari 2014]. 13(1): 14-21. Dapat diunduh dari: http://ejournal.umm.ac.id Sarwono J. 2009. Statistik itu Mudah: Panduan Lengkap untuk Belajar Komputasi Statistik Menggunakan SPSS 16. Yogyakarta (ID): ANDI OFFSET Shinta A. 2011. Manajemen Pemasaran. Malang (ID): Universitas Brawijaya Press. 156 hal. Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): LP3ES. 336 hal. Sulistyastuti, Dyah R. 2004. Dinamika usaha kecil dan menengah (UKM): Analisis konsentrasi regional UKM di Indonesia 1999-2001. J.Ekonomi Pembangunan. [Internet]. [diunduh tanggal 9 Mei 2014] 9(2): 143-164. Dapat diunduh dari: http://journal.uii.ac.id Syarif T. 2008. Kajian efektivitas model promosi pemasaran produk UMKM. [Internet]. [diunduh tanggal 26 November 2014]. Dapat diunduh dari: http://www.smecda.com/kajian/files/Jurnal_3_2008/01_T.Syarif.pdf
62
Tajuddin M, Manan A, Adil A. 2011. Studi kasus model strategi pemasaran terintegrasi berbasis teknologi informasi di Nusa Tenggara Barat. JKursor. [Internet]. [diunduh tanggal 19 Februari 2014]. 6(2): 65-76. Dapat diunduh dari: http://kursor.trunojoyo.ac.id Tambunan TTH. 2009. UMKM di Indonesia. Bogor (ID): GHALIA INDONESIA. 282 hal. Tjiptono F. 2008. Strategi Pemasaran. Edisi Ketiga. Yogyakarta (ID): ANDI OFFSET. 590 hal Widhi N. 2005. Kisah Sukses Pengusaha Mikro. Jakarta (ID): PT Pustaka Binaman Pressindo. 248 hal.
63
LAMPIRAN
64
Lampiran 1 Denah lokasi penelitian
65
Lampiran 2 Jadwal kegiatan penelitian tahun 2014-2015 Mei Juni Sep Okt Nov Des Jan Kegiatan 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 3 4 Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Pengambil -an Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Uji Petik Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Skripsi
66
Lampiran 3 Daftar responden No
Nama UMKM
Tahun Berdiri
Produk
Skala Usaha
Lokasi
1
GSP
2013 Sarung bantal, sepatu Mikro rajut, tas rajut
Bogor Timur
2
MBK
Kecil
Bogor Tengah
3
TTS
Mikro
4
SRE
Bogor Utara Bogor Utara
5
BLO
6
GBS
7
MAT
1999 Taggle, vas bunga, souvenir, jam, interior rumah, eksterior taman 2011 Bros, gelang, kalung handmade 2012 Box laundry, tempat sampah, tempat payung, tas bahan dasar koran bekas 2008 Kaos tematik, gantungan kunci, gelas 2007 Biola, bas, gitar dari bambu 2000 Cincin, gelang
8
NHC
Mikro
9
RBE
10
KSE
11
RFC
12
BBT
13
FAT
14
NCN
2009 Tas, baju, vas bunga dari plastik kemasan bekas 2012 Aksesoris dan figura handmade 2012 Tas, kap lampu, tempat tisu, boneka dari koran bekas 1996 Kotak, souvenir, gantungan kunci, boneka dari barangbarang daur ulang 2008 Kain batik, baju, souvenir, dompet, mozaik dari kain perca 2010 Aksesoris (Wire Work) handmade 2012 Bros handmade
15
GHP
1985 Gong, saron, bonang
Mikro
16
SDT
Mikro
17
OTS
18
MAH
19
SGA
2012 Gelang, kalung handmade 2007 Mainan anak-anak dari kayu pinus dan kayu peti kemas 1985 Wayang golek dari kayu 2010 Kaos painting, tempat
Mikro
Mikro Mikro Mikro
Kecil Mikro
Bogor Timur Bogor Timur Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Barat Tanah Sareal
Mikro
Bogor Timur
Kecil
Tanah Sareal
Mikro
Bogor Utara Bogor Barat Bogor Barat Bogor Barat Bogor Barat
Mikro
Kecil
Mikro Mikro
Bogor Barat Bogor
67
pensil, boneka, mug lukis 2013 Gelang handmade Mikro
20
CAS
21
SCT
22
DST
23
HSR
2013 Boneka, bros. dll dari Mikro clay 2012 Danbo, pop up, frame, Mikro scrapbook 2013 Aksesoris handmade Mikro
24
IMP
2014 Gelang handmade
25
ECT
26
QGY
27
HBP
2009 Gantungan kunci, Mikro bros, pembatas buku, tempat sisir, sandal hias 2009 Aksesoris, souvenir, Mikro tas, home decoration 2009 Kaos tematik Mikro
28
GAK
29
MUH
30
ULS
Mikro
2012 Ilustrasi wajah digital, Mikro design logo 2011 Gelang, kalung, bros Mikro handmade 2014 Sepatu, tas Mikro
Barat Bogor Barat Bogor Barat Bogor Barat Bogor Barat Bogor Barat Tanah Sareal
Bogor Timur Tanah Sareal Bogor Barat Bogor Barat Bogor Barat
68
Lampiran 4 Hasil uji statistik Rank Spearman
Ragam Media Komunikasi
Skala Usaha Spearman's rho
Skala Usaha
Correlation Coefficient
1.000
.284
.
.129
Sig. (2-tailed) N Ragam Media Correlation Coefficient Komunikasi Sig. (2-tailed) N
30 .284
1.000
.129
.
30
30
Ragam Bauran Skala Usaha Promosi Spearman's rho
Skala Usaha
Correlation Coefficient
1.000
.352
.
.056
30
30
Correlation Coefficient
.352
1.000
Sig. (2-tailed)
.056
.
30
30
Sig. (2-tailed) N Ragam Bauran Promosi
N
Frekuensi Penggunaan Media Komunikasi
Skala Usaha Spearman's rho
Skala Usaha
Correlation Coefficient
1.000
.079
.
.679
30
30
Correlation Coefficient
.079
1.000
Sig. (2-tailed)
.679
.
30
30
Sig. (2-tailed) N Frekuensi Penggunaan Media Komunikasi
N
69
Frekuensi Penggunaan Skala Usaha Bauran Promosi Spearman's rho
Skala Usaha
Correlation Coefficient
1.000
.344
.
.063
30
30
Correlation Coefficient
.344
1.000
Sig. (2-tailed)
.063
.
30
30
Sig. (2-tailed) N Frekuensi Penggunaan Bauran Promosi
N
Biaya Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran
Skala Usaha Spearman's rho
Skala Usaha
Correlation Coefficient
1.000
.268
.
.151
30
30
Correlation Coefficient
.268
1.000
Sig. (2-tailed)
.151
.
30
30
Sig. (2-tailed) N Biaya Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran
N
70
Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha Spearman's rho
Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha
Correlation Coefficient Sig. tailed)
Ragam Media Correlation Komunikasi Coefficient Sig. tailed)
1.000
-.004
.
.982
30
30
-.004
1.000
.982
.
30
30
(2-
N
(2-
N
Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha Spearman's rho
Tingkat Pendidikan Pelaku Usaha
Correlation Coefficient
Ragam Bauran Promosi
1.000
.225
.
.231
30
30
Correlation Coefficient
.225
1.000
Sig. (2-tailed)
.231
.
30
30
Sig. (2-tailed) N
Ragam Bauran Promosi
Ragam Media Komunikasi
N
71
Frekuensi Tingkat Pendidikan Penggunaan Pelaku Usaha Media Spearman's rho
Tingkat Pendidikan Correlation Pelaku Usaha Coefficient
.057
1.000
Sig. (2-tailed)
.
.767
30
30
Correlation Coefficient
.057
1.000
Sig. (2-tailed)
.767
.
30
30
N Frekuensi Penggunaan Media
N
Tingkat Frekuensi Pendidikan Pelaku Penggunaan Usaha Bauran Promosi Spearman's rho
Tingkat Pendidikan Correlation Pelaku Usaha Coefficient
1.000
.204
.
.280
30
30
Correlation Coefficient
.204
1.000
Sig. (2-tailed)
.280
.
30
30
Sig. (2-tailed) N Frekuensi Penggunaan Bauran Promosi
N
72
Tingkat Pendidikan Biaya Pelaku Usaha Pelaksanaan Spearman's rho
Tingkat Pendidikan Correlation Pelaku Usaha Coefficient Sig. (2-tailed) N Biaya Pelaksanaan Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
1.000
.095
.
.616
30
30
.095
1.000
.616
.
30
30
Tingkat Kualitas Ragam Media Daya Saing Komunikasi UMKM Spearman's rho
Ragam Media Komunikasi
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Tingkat Kualitas Correlation Coefficient Daya Saing Sig. (2-tailed) UMKM N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
1.000
.456*
.
.011
30
30
.456*
1.000
.011
.
30
30
73
Tingkat Ragam Bauran Kualitas Daya Promosi Saing UMKM Spearman's rho
Ragam Correlation Bauran Promosi Coefficient
1.000
.441*
.
.015
30
30
.441*
1.000
.015
.
30
30
Sig. (2-tailed) N Tingkat Kualitas Correlation Daya Saing Coefficient UMKM Sig. (2-tailed) N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Frekuensi Penggunaan Media Spearman's rho
Frekuensi Correlation Penggunaan Media Coefficient Sig. tailed)
(2-
N Tingkat Kualitas Correlation Daya Saing UMKM Coefficient Sig. tailed) N
(2-
Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM
1.000
.184
.
.330
30
30
.184
1.000
.330
.
30
30
74
Frekuensi Tingkat Penggunaan Kualitas Daya Bauran Promosi Saing UMKM Spearman's rho
FrekuensiPenggunaan Correlation Bauran Promosi Coefficient
1.000
.321
.
.084
30
30
Correlation Coefficient
.321
1.000
Sig. (2-tailed)
.084
.
30
30
Sig. (2-tailed) N Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM
N
Biaya Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran Spearman's rho
Biaya Pelaksanaan Correlation Komunikasi Coefficient Pemasaran Sig. (2-tailed)
1.000
.283
.
.130
30
30
Correlation Coefficient
.283
1.000
Sig. (2-tailed)
.130
.
30
30
N Tingkat Kualitas DayaSaing UMKM
Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM
N
75
Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran Spearman's rho
Pelaksanaan Komunikasi Pemasaran
Correlation Coefficient
1.000
.443
.
.014
30
30
Correlation Coefficient
.443
1.000
Sig. (2-tailed)
.014
.
30
30
Sig. (2-tailed) N
Tingkat Kualitas DayaSaing UMKM
Tingkat Kualitas Daya Saing UMKM
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
76
Lampiran 5 Dokumentasi penelitian
Bengkel (Rumah Produksi) UMKM
Produk Berbahan Dasar Kain Batik
Produk Baju dan Sepatu Rajutan
Produk Mozaik Coating Perca
Suvenir Berbahan Dasar Kayu dan Manik Rajutan
77
Rumah Produksi Kerajinan Wayang
Produk UMKM Berbahan Dasar Koran Bekas
Kemasan Produk
Produk Kerajinan Wayang Golek
Produk Kerajinan Daur Ulang
Alat Musik dari Bambu
78
RIWAYAT HIDUP
Tiffany Diahnisa dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1993 adalah anak tunggal dari pasangan Agus Waryono SH dan Endah Nurlianti SH. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah TK Handayani periode 1998-1999, SDN Jatimekar 9 periode 1999-2005, SMP Negeri 9 Bekasi periode 2005-2008, SMA Negeri 5 Bekasi periode 2008-2011. Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti kegiatan di dalam dan luar kampus. Penulis juga aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) Divisi Jurnalistik pada masa kepengurusan 2013/2014, Pengurus Majalah Komunitas FEMA (Divisi Advertising pada tahun 2012, Divisi Redaksi sebagai editor pada tahun 2013, dan Pimpinan Redaksi tahun 2014). Selain itu penulis juga mendapatkan beasiswa PPA selama tahun 2011-2014, menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Komunikasi Bisnis, Pengantar Ilmu Kependudukan, dan Komunikasi Massa pada tahun 2014. Selain itu penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan, antara lain Divisi Acara dalam Indonesian Ecology Expo (INDEX) 2013, Divisi Hubungan Masyarakat dalam Himasiera Expo tahun 2013, Divisi Acara dalam pelatihan jurnalistik Tempo Institute, dan Divisi Hubungan Masyarakat dalam Communication and Community Development in Action (Connection) 2014. Penulis juga mengikuti kegiatan di luar kampus sebagai freelance di Surat Kabar Sindo pada Rubrik GenSindo dan freelance wartawan di wikiDPR RI.
79
80
81