HUBUNGAN KEGIATAN INTERVENSI SPESIFIK PROGRAM 1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN DENGAN STATUS KESEHATAN DAN STATUS GIZI BADUTA DI PROVINSI JAWA TENGAH
ULFA MAESYA ZULFIA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Kegiatan Intervensi Spesifik Program 1000 Hari Pertama Kehidupan dengan Status Kesehatan dan Status Gizi Baduta di Provinsi Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Ulfa Maesya Zulfia NIM I14134002
________________________________ *Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
ABSTRAK ULFA MAESYA ZULFIA. Hubungan Kegiatan Intervensi Spesifik Program 1000 Hari Pertama Kehidupan dengan Status Kesehatan dan Status Gizi Baduta di Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh FAISAL ANWAR. Gerakan 1000 HPK merupakan suatu upaya perbaikan gizi pada masa kehamilan sampai anak berusia dua tahun, terdiri dari dua jenis intervensi yaitu spesifik dan sensitif. Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis hubungan kegiatan intervensi gizi spesifik pada program 1000 HPK dengan status kesehatan dan status gizi baduta di Provinsi Jawa Tengah. Desain penelitian adalah cross sectional study mengikuti desain penelitian Riskesdas (2013) karena seluruh data dalam penelitian merupakan data Riskesdas (2013). Jenis intervensi spesifik diantaranya adalah pemeriksaan kehamilan dan suplementasi zat besi untuk ibu hamil, IMD dan pemeriksaan kesehatan untuk bayi baru lahir, serta ASI eksklusif, imunisasi, pemberian MP-ASI, suplementasi vitamin A, dan pemantauan pertumbuhan untuk bayi dan anak. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara pendidikan ibu dengan pemeriksaan kesehatan pasca melahirkan, pemberian MP-ASI dengan status kesehatan baduta, serta imunisasi dan pemantauan pertumbuhan dengan status gizi baduta. Kata kunci: 1000 HPK, baduta, intervensi spesifik, status gizi, status kesehatan.
ABSTRACT ULFA MAESYA ZULFIA. The Correlation of Specific Intervention Activities of First 1000 Days of Life Program with Health Status and Nutritional Status in Children Under Two Years in Central Java Province. Supervised by FAISAL ANWAR. The first 1000 days of life program is the effort of nutrition improvement on pregnancy stage until children two years old. The program has two types of intervention, there were specific and sensitive. The objective of this research was to analyze the correlation between specific intervention activities of first 1000 days of life program with health status and nutritional status in children under two years old in Central Java Province. Design of this study was cross sectional reffered the design study of Riskesdas (2013). There were several types of specific intervention, antenatal care and iron supplementation for pregnant woman, early initiations of breastfeeding and postnatal care for infant, also exclusive breastfeeding, immunization, breastfeeding complementary food, vitamin A supplementation, and growth monitoring for children. The result of Spearman analysis test showed that there were significant correlation between mother’s education with postnatal care, breastfeeding complementary food with health status, also immunization and growth monitoring with nutritional status. Keywords: children under two years old, first 1000 days of life, health status, nutritional status, specific interventions.
HUBUNGAN KEGIATAN INTERVENSI SPESIFIK PROGRAM 1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN DENGAN STATUS KESEHATAN DAN STATUS GIZI BADUTA DI PROVINSI JAWA TENGAH
ULFA MAESYA ZULFIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Judul Skripsi
Nama NIM
: Hubungan Kegiatan Intervensi Spesifik Program 1000 Hari Pertama Kehidupan dengan Status Kesehatan dan Status Gizi Baduta di Provinsi Jawa Tengah : Ulfa Maesya Zulfia : I14134002
Disetujui oleh,
Prof Dr Ir Faisal Anwar MS Pembimbing
Diketahui oleh,
Dr Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
i
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini. Penelitian yang dipilih berjudul Hubungan Kegiatan Intervensi Spesifik Program 1000 Hari Pertama Kehidupan dengan Status Kesehatan dan Status Gizi Baduta di Provinsi Jawa Tengah dan dilaksanakan selama November 2015 sampai Februari 2016 di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama proses penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan dukungan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak mencurahkan ilmu dan membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc selaku dosen pemandu seminar sekaligus dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan demi penyempurnaan penulisan skripsi ini. 3. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes RI yang telah memberikan izin kepada penulis sehingga dapat menggunakan data hasil penelitian Riskesdas tahun 2013. 4. Ayah (H. Moch Amin Ismail), Ibu (Hj. Euis Aisyah, S.Pd, M.M.Pd), Adik (Tsani May Sharah), dan seluruh keluarga tercinta yang selalu memberikan motivasi dan mendoakan agar penyelesaian pendidikan dan skripsi ini diberikan kelancaran. 5. Rulia Ramaita S, Dwi Astuti, Masayu Nur Ulfa, dan Rifani Nabila selaku pembahas seminar atas saran dan koreksinya. 6. Teman-teman seperjuangan Nurul Hikmah, Fitrianisa Tiaranti, Nurzakiah Ulfah, Tia Rindjani, Meiliana Hanrizon, Syska Dita Violeta, dan Utari Diahningtias yang sama-sama berasal dari D3 Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi IPB. 7. Ika Yunivera, Rakian Nuzulia Utami, Annisa Maulida, Isra Maretfa, Wahyu Laila, Nunis Retia Mustika, Gusti Warni, Rinda Damayanti, dan Dinur Winda PM yang telah menjadi teman diskusi selama penulisan skripsi ini. 8. Keluarga besar Alih Jenis Gizi Masyarakat angkatan 7 atas kebersamaan dan dukungannya selama perkuliahan. 9. Seluruh staff Departemen Gizi Masyarakat yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penyusunan skripsi ini. 10. Alih Jenis GM angkatan 6 dan 8 serta GM 49 dan pihak-pihak terkait yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu atas segala dukungannya. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat. Terimakasih.
Bogor, Maret 2016
Ulfa Maesya Zulfia
iii
DAFTAR ISI PRAKATA ............................................................................................................... i DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... iv PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 Tujuan .................................................................................................................. 2 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 3 KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................... 3 METODE ................................................................................................................ 5 Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ............................................................... 5 Jumlah dan Teknik Penarikan Sampel ................................................................ 5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ...................................................................... 6 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................. 7 Definisi Operasional ............................................................................................ 9 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 11 Karakteristik Keluarga ...................................................................................... 11 Karakteristik Sampel ......................................................................................... 13 Status Kesehatan ................................................................................................ 14 Status Gizi ......................................................................................................... 17 Intervensi Spesifik Program 1000 HPK ............................................................ 19 Pemeriksaan kehamilan ................................................................................. 19 Suplementasi zat besi (Fe) ............................................................................. 21 Inisiasi menyusu dini (IMD) .......................................................................... 22 Pemeriksaan kesehatan .................................................................................. 23 ASI eksklusif.................................................................................................. 27 Imunisasi ........................................................................................................ 30 Pemberian MP-ASI ........................................................................................ 32 Suplementasi vitamin A ................................................................................. 34 Pemantauan pertumbuhan .............................................................................. 35 Uji Hubungan Antar Variabel ........................................................................... 36 Hubungan pendidikan ibu dengan kegiatan intervensi spesifik program 1000 hari pertama kehidupan .......................................................... 36 Hubungan kegiatan intervensi spesifik program 1000 hari pertama kehidupan dengan status kesehatan ............................................................... 37 Hubungan kegiatan intervensi spesifik program 1000 hari pertama kehidupan dengan status gizi ......................................................................... 38 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 39 Simpulan ............................................................................................................ 39 Saran .................................................................................................................. 39 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 41 LAMPIRAN .......................................................................................................... 45 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 46
iv
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Jenis dan cara pengumpulan data Pengkategorian variabel penelitian Sebaran karakteristik keluarga Sebaran karakteristik sampel Sebaran status kesehatan sampel Sebaran jenis penyakit infeksi Sebaran status gizi sampel Sebaran pemeriksaan kehamilan Sebaran konsumsi tablet besi Sebaran pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD) Sebaran riwayat persalinan Sebaran pemeriksaan postnatal Sebaran pemberian kolostrum Sebaran status pemberian ASI Sebaran waktu pemberian ASI pertama kali dan pemberian makanan prelakteal Sebaran status imunisasi Sebaran umur pemberian MP-ASI Sebaran suplementasi vitamin A Sebaran pemantauan pertumbuhan Hubungan pendidikan ibu dengan kegiatan intervensi spesifik Hubungan kegiatan intervensi spesifik dengan status kesehatan baduta Hubungan kegiatan intervensi spesifik dengan status gizi (TB/U) baduta
6 8 11 13 14 15 17 19 22 23 24 25 28 28 29 30 33 34 35 36 37 38
DAFTAR GAMBAR 1
2
Kerangka pemikiran hubungan kegiatan intervensi spesifik program 1000 hari pertama kehidupan dengan status kesehatan dan status gizi baduta di Provinsi Jawa Tengah 4 Alur proses cleaning data 5
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Sebaran pemeriksaan kehamilan sampel tiap trimester Sebaran postnatal care ibu dan anak tiap waktu kunjungan Sebaran tiap jenis imunisasi sampel
45 45 45
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya manusia yang sehat dan berkualitas merupakan modal utama atau investasi dalam pembangunan. Upaya peningkatan kesehatan dan kualitas hidup masyarakat yang dilakukan antara lain adalah perbaikan gizi yang juga menjadi sasaran pembangunan dalam bidang pangan dan gizi. Investasi dalam bidang gizi dapat membantu memutus lingkaran kemiskinan dan meningkatkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) hingga 2-3% per tahun (RANPG 2006-2010). Fokus dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan tersebut salah satunya adalah pada kelompok 1000 hari awal kehidupan melalui suatu program yang dalam skala global dikenal dengan program Scalling Up Nutrition (SUN) Movement. Di Indonesia program tersebut lebih dikenal dengan Gerakan Nasional Sadar Gizi dalam Rangka Percepatan Perbaikan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan atau disingkat Gerakan 1000 HPK (Bappenas 2012). Menurut Hadiat (2013), perbaikan gizi pada kelompok 1000 HPK akan menunjang proses tumbuh kembang janin, bayi, dan anak sampai usia dua tahun. Selama dalam kandungan, janin mengalami suatu periode kritis dimana sebagian besar organ dan sistem tubuhnya bersifat plastis dan sensitif terhadap lingkungannya. Plastisitas ini tidak hanya untuk keadaan kekurangan gizi, tetapi mencakup semua rentang lingkungan termasuk lingkungan dengan keadaan gizi yang berlebihan. Respon janin terhadap perubahan gizi ibu menyebabkan bayi membutuhkan lingkungan luar yang sama dengan saat dalam kandungan. Apabila lingkungan pasca-salin berbeda, maka akan terjadi suatu ketidaksesuaian antara apa yang sudah dipersiapkan oleh janin selama dalam kandungan untuk menghadapi lingkungan luar. Hal tersebut akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit tidak menular (Cleal et al. 2007). Setelah lahir otak tetap akan mengalami perkembangan fungsi, pada masa 0 – 2 tahun terjadi puncak perkembangan fungsi melihat, mendengar, berbahasa, serta fungsi kognitif lainnya dan setelah usia lebih dari dua tahun perkembangan fungsi-fungsi kognitif tersebut menurun diiringi dengan penurunan kebutuhan energi dan zat gizi per kilogram berat badan anak (Thompson dan Nelson 2001). Gangguan gizi pada masa janin dan usia dini akan memberikan dampak permanen sampai dewasa, dan dapat diekspresikan juga dengan tubuh pendek serta kemampuan kognitif yang rendah sehingga akan berdampak pada penurunan kualitas hidup yang mempengaruhi tingkat ekonomi dan kesejahteraan keluarga (Bappenas 2012). Selain itu, keadaan ini juga bisa menggiring pada siklus penyakit yang bersifat multi-generasi atau diturunkan pada generasi-generasi berikutnya. Bayi pendek kelak saat dewasa akan menjadi orang tua yang menyediakan kehidupan baru bagi anaknya, ibu bertugas untuk menyediakan zat gizi sedangkan ayah bertugas untuk mendonasikan gen, apabila kedua hal ini tidak optimal maka akan berdampak kurang optimal juga bagi pertumbuhan serta perkembangan bayinya dan kejadian ini akan terus berulang (Achadi 2014). Gerakan 1000 HPK memiliki dua jenis intervensi yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi baik spesifik maupun sensitif keduanya saling melengkapi, tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dan juga
2 merupakan upaya bersama (collaborative efforts) antara pemerintah dan masyarakat. Implementasi kedua intervensi tersebut secara baik akan berdampak baik pula pada perbaikan status gizi. Intervensi gizi spesifik ditujukan untuk perbaikan masalah gizi dalam jangka waktu pendek sehingga penyelesaiannya adalah pada penyebab langsung terjadinya masalah gizi. Kegiatan intervensi ini dilakukan pada kelompok sasaran yang diklasifikasikan menjadi ibu hamil, bayi baru lahir, serta bayi dan anak. Intervensi gizi spesifik merupakan suatu rangkaian kegiatan yang cukup cost effective untuk mengatasi masalah gizi, khususnya stunting. Intervensi ini telah banyak dilakukan, namun cakupan dan kualitasnya masih rendah dan berbeda-beda pada setiap daerah di Indonesia (Bappenas 2012). Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013, Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi dengan implementasi program yang cukup baik, dapat dilihat salah satunya dari persentase cakupan pelayanan kesehatan balita yang mencapai target Renstra 2013 yaitu sebesar 83.07%. Cakupan pelayanan kesehatan merupakan salah satu indikator dalam upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan. Akan tetapi, Jawa Tengah masih termasuk salah satu provinsi yang memiliki prevalensi balita stunting tinggi berdasarkan standar WHO (2010), meskipun masih lebih rendah daripada rata-rata nasional Indonesia, yaitu sebesar 36.7%. Keberhasilan gerakan 1000 HPK dalam bidang pembangunan memang tidak dapat dilihat secara langsung, akan tetapi setidaknya dapat memperbaiki status gizi anak itu sendiri selama dalam periode tersebut (0 - 23 bulan). Oleh karena itu, menjadi penting untuk melihat apakah kegiatan-kegiatan intervensi gizi spesifik yang dilakukan sudah terlaksana dengan baik dan apakah kegiatan-kegiatan tersebut memiliki hubungan signifikan dengan status kesehatan dan status gizi baduta khususnya di Provinsi Jawa Tengah.
Tujuan Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan kegiatan intervensi gizi spesifik pada program 1000 Hari Pertama Kehidupan dengan status kesehatan dan status gizi baduta di Provinsi Jawa Tengah. Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini berdasarkan tujuan umum yang telah diuraikan adalah: 1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga dan karakteristik baduta. 2. Mengidentifikasi status kesehatan dan status gizi baduta. 3. Menganalisis kegiatan intervensi gizi spesifik program 1000 Hari Pertama Kehidupan. 4. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga (pendidikan ibu) dengan kegiatan intervensi gizi spesifik. 5. Menganalisis hubungan kegiatan intervensi gizi spesifik dengan status kesehatan baduta. 6. Menganalisis hubungan kegiatan intervensi gizi spesifik dengan status gizi baduta.
3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu tolak ukur sekaligus bahan evaluasi atas kegiatan pembelajaran yang telah dijalani oleh peneliti. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan mengenai gerakan 1000 HPK yang saat ini tengah gencar dilakukan dan juga diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi berbagai pihak yang terlibat dalam gerakan 1000 HPK untuk melihat jenis kegiatan intervensi spesifik apa yang sudah baik dilakukan dan jenis intervensi apa yang perlu diperbaiki dalam implementasinya.
KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan kerangka pikir penyebab masalah gizi yang dikeluarkan oleh UNICEF (1990), faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi terbagi menjadi tiga bagian yaitu penyebab langsung, penyebab tidak langsung, dan akar masalah. Gerakan 1000 HPK mendorong perbaikan masalah gizi pada semua faktor tersebut. Gerakan 1000 HPK dengan kedua jenis intervensi gizinya ditargetkan untuk memperbaiki masalah gizi pada faktor yang berbeda. Intervensi gizi spesifik merupakan intervensi yang secara langsung dapat mempengaruhi status gizi sehingga ditujukan untuk perbaikan gizi dalam jangka pendek. Sasaran intervensi spesifik ini adalah pada penyebab langsung terjadinya masalah gizi. Sedangkan intervensi gizi sensitif merupakan kegiatan multisektoral karena merupakan upaya perbaikan dalam bidang-bidang dasar atau akar terjadinya masalah gizi sehingga intervensi ini ditujukan untuk pemecahan masalah gizi dalam jangka panjang (Bappenas 2012). Masalah gizi merupakan masalah yang kompleks karena berisiko untuk diturunkan kepada generasi berikutnya dan hal tersebut akan terus berulang, sehingga perbaikannya harus benar-benar tuntas. Status gizi seseorang, seperti telah diuraikan sebelumnya dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Akan tetapi, seorang anak khususnya baduta yang belum bisa melakukan apa-apa memiliki faktor lain yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi keadaan tubuhnya. Faktor tersebut adalah karakteristik orang tua atau keluarga dan karakteristik baduta itu sendiri. Faktor orang tua disini berperan sangat penting, karena baduta masih sangat tergantung kepada mereka. Karakteristik orang tua tersebut diantaranya ialah usia, pendidikan, dan pekerjaan. Sedangkan karakteristik baduta yaitu usia dan jenis kelamin. Upaya-upaya dalam rangka perbaikan gizi pada kelompok 1000 HPK telah banyak dilakukan oleh Pemerintah melalui kedua jenis intervensi tersebut. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya di lapangan masih banyak kendala yang ditemui sehingga tidak semua intervensi dapat diberikan dengan baik kepada masyarakat. Hasil intervensi yang telah dilakukan dapat dilihat salah satunya pada Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dipublikasikan setiap tiga tahun sekali dengan laporan terbarunya ialah Laporan Riskesdas tahun 2013. Berdasarkan hasil uraian diatas, kerangka pemikiran penelitian yang dapat dikemukakan adalah seperti terdapat pada Gambar 1.
4 Karakteristik baduta: Usia Jenis kelamin
Karakteristik keluarga: Usia orang tua Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua
Intervensi gizi spesifik Ibu hamil: Pemeriksaan kehamilan Suplementasi zat besi (TTD) Bayi baru lahir: Inisiasi menyusu dini (IMD) Pemeriksaan kesehatan Bayi dan anak: ASI eksklusif Imunisasi Pemberian MP-ASI Suplementasi vitamin A Pemantauan pertumbuhan
Status kesehatan
Intervensi gizi sensitif Penyediaan air minum dan sanitasi yang layak Keluarga berencana Jaminan kesehatan masyarakat Jaminan persalinan universal Program beras miskin Fortifikasi Pendidikan gizi masyarakat Kawasan bebas rokok Wajib belajar 9 tahun PMT-AS Promosi gizi seimbang dan aktivitas fisik, dsb.
Status gizi baduta (TB/U)
Keterangan: = variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang diteliti = hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan kegiatan intervensi spesifik program 1000 hari pertama kehidupan dengan status kesehatan dan status gizi baduta di Provinsi Jawa Tengah
5
METODE Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada desain penelitian Riskesdas (2013) yaitu cross sectional study mengingat data dalam penelitian ini seluruhnya menggunakan data sekunder dari hasil survei skala nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pengumpulan data dilakukan oleh tim Riskesdas dari bulan Mei hingga Juli 2013 di 33 Provinsi dan 497 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Permintaan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015 hingga Februari 2016 di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor-Jawa Barat.
Jumlah dan Teknik Penarikan Sampel Populasi dalam penelitian adalah seluruh rumah tangga yang memiliki baduta dan menjadi sampel penelitian Riskesdas (2013) di Provinsi Jawa Tengah. Provinsi Jawa Tengah dipilih sebagai lokasi penelitian secara purposive. Jawa Tengah memiliki 35 Kabupaten/Kota dengan jumlah RT dan ART yang berhasil diwawancarai sebanyak 99.29% dan 91.09%. Sampel yang kemudian digunakan dalam penelitian adalah yang memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan yaitu rumah tangga yang memiliki anak berusia 6 – 23 bulan, anak tidak BBLR, dan memiliki data lengkap sesuai dengan variabel penelitian. Alur cleaning data sehingga didapatkan sampel yang siap dianalisis dapat dilihat pada Gambar 2. Jumlah sampel awal (baduta sampel Riskesdas di Jawa Tengah): 1 625
Proses cleaning data: Usia 6 – 23 bulan: 400 Tidak ada data BB dan PB: 122 Tidak ada data IMD: 46 Tidak ada data BB dan PB lahir: 321 Bayi BBLR: 21 Tidak ada data ASI dan MP-ASI: 179 Tidak ada data imunisasi: 116 Jumlah sampel yang dianalisis: 321 Gambar 2 Alur proses cleaning data
6 Jumlah sampel yang digunakan untuk analisis setelah cleaning data adalah 321 rumah tangga atau 19.8% dari total populasi. Sampel tersebut kemudian terbagi menjadi dua berdasarkan daerah tempat tinggal mengacu pada Riskesdas (2013), yaitu 54.5% atau 175 di perkotaan dan 45.5% atau 146 di perdesaan.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya berupa data sekunder dengan penelitian induk Riskesdas (2013). Data diperoleh dalam bentuk electronic files dari Balitbangkes Kemenkes RI. Pengumpulan data Riskesdas (2013) dilakukan melalui wawancara, pengamatan, dan pengukuran langsung serta pengisian kuesioner oleh tim Riskesdas dari Balitbangkes, Kemenkes RI. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data yang berhubungan dengan variabel penelitian yang ditetapkan, yaitu karakteristik keluarga, karakteristik baduta, status kesehatan baduta, status gizi baduta, pemeriksaan kehamilan, suplementasi zat besi, pelaksanaan IMD, pemeriksaan kesehatan pasca melahirkan, ASI eksklusif, imunisasi, pemberian MP-ASI, suplementasi vitamin A, dan pemantauan pertumbuhan. Jenis variabel data yang digunakan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data No
Variabel
1.
Karakteristik keluarga
2.
Usia orang tua Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Karakteristik baduta
3.
Jenis kelamin Usia Tipe daerah tempat tinggal
4.
Perdesaan Perkotaan Status kesehatan baduta
5.
Riwayat ISPA Riwayat Diare Riwayat Pneumonia Riwayat TB Paru Riwayat Hepatitis Status gizi baduta Berat badan Tinggi/panjang badan
Sumber data yang digunakan Kuesioner Riskesdas (RKD13. RT) Blok IV No. 7 Blok IV No. 8 Blok IV No. 9 dan 10 Kuesioner Riskesdas (RKD13. RT) Blok IV No. 4 Blok IV No. 7 Kuesioner Riskesdas (RKD13. RT) Blok I
Cara pengumpulan data Wawancara dan kuesioner
Kuesioner Riskesdas (RKD13. IND) Blok A No. A01 - A02 Blok A No. A03 - A05 Blok A No. A06 - A08 Blok A No. A16 - A20 Blok A No. A21 - A23 Kuesioner Riskesdas (RKD13. IND) Blok K No. K01 Blok K No. K02
Wawancara dan kuesioner
Wawancara dan kuesioner
Observasi
Pengukuran langsung
7 Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data (Lanjutan) No 6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Sumber data yang digunakan Intervensi gizi spesifik ibu hamil Pemeriksaan kehamilan Kuesioner Riskesdas (RKD13. IND) Blok Ic No. Ic08 - Ic13 Riwayat pemeriksaan kehamilan Suplementasi zat besi Kuesioner Riskesdas (RKD13. IND) Blok Ic No. Ic14 - Ic15 Intervensi gizi spesifik bayi baru lahir Inisiasi menyusu dini (IMD) Kuesioner Riskesdas (RKD13. IND) Blok Jb No. Jb01 - Jb03 Pemeriksaan kesehatan Kuesioner Riskesdas (RKD13. IND) Blok Ic No. Ic20 - Ic23 Riwayat persalinan Blok Ic No. Ic24 Kunjungan nifas Riwayat komplikasi selama Blok Ic No. Ic30 kehamilan, persalinan, dan nifas Blok Ja No. Ja01 - Ja04 Berat bayi saat lahir Kunjungan neonatus Blok Ja No. Ja06 - Ja09 Kejadian sakit saat usia 0 – Blok Ja No. Ja10 - Ja12 28 hari Intervensi gizi spesifik bayi dan anak ASI eksklusif Kuesioner Riskesdas (RKD13. IND) Blok Jb No. Jb04 – Jb07 Imunisasi Kuesioner Riskesdas (RKD13. IND) Blok Ja No. Ja14 dan Ja20 – Ja22 Pemberian MP-ASI Kuesioner Riskesdas (RKD13. IND) Blok Jb No. Jb08 – Jb12 Suplementasi vitamin A Kuesioner Riskesdas (RKD13. IND) Blok J No. Ja27 Pemantauan pertumbuhan Kuesioner Riskesdas (RKD13. IND) Blok J No. Ja24 – Ja26 Variabel
Cara pengumpulan data Wawancara dan kuesioner
Wawancara dan kuesioner
Wawancara dan kuesioner Wawancara dan kuesioner
Wawancara dan kuesioner Wawancara dan kuesioner
Wawancara dan kuesioner Wawancara dan kuesioner Wawancara dan kuesioner
Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah didapatkan kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan software IBM SPSS Statistics version 20 for windows. Proses pengolahan data meliputi cleaning, coding, dan analyzing. Cleaning dilakukan untuk melihat kesesuaian data dengan kriteria inklusi yang ditetapkan. Setelah itu,
8 kemudian dilakukan pengkategorian variabel secara lebih spesifik (coding). Kategori tiap-tiap variabel penelitian secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pengkategorian variabel penelitian No 1.
Variabel Usia orang tua
2.
Pendidikan orang tua
3.
Pekerjaan orang tua
4.
Jenis kelamin
5.
Usia baduta
6.
Tipe daerah tempat tinggal Status kesehatan
7. 8.
Status gizi a. BB/U
b. TB/U
c. BB/TB
1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 1. 2. 1. 2. 1. 2.
Kategori 16 - 18 tahun 19 - 29 tahun 30 - 49 tahun 50 – 64 tahun 65 – 80 tahun Tidak sekolah/tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Tamat Perguruan Tinggi Tidak bekerja PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD Pegawai swasta Wiraswasta Petani Nelayan Buruh Lainnya Laki-laki Perempuan 6 – 12 bulan 13 – 23 bulan Perkotaan Perdesaan Sehat Tidak sehat
1. Gizi buruk (z-score < -3 SD) 2. Gizi kurang (z-score ≥ -3 SD s.d < -2 SD) 3. Gizi baik (z-score ≥ -2 SD) 1. Sangat pendek (z-score < -3 SD) 2. Pendek (z-score ≥ -3 SD s.d < -2 SD) 3. Normal (z-score ≥ -2 SD) 1. Sangat kurus (z-score < -3 SD) 2. Kurus (z-score ≥ -3 SD s.d < -2 SD) 3. Normal (z-score ≥ -2 SD s.d ≤ 2 SD) 4. Gemuk (z-score > 2 SD)
Acuan AKG 2013
UU RI No. 20 Tahun 2003
Riskesdas 2013
Riskesdas 2013 Ketentuan peneliti Riskesdas 2013 Ketentuan peneliti Riskesdas 2013
Riskesdas 2013
Riskesdas 2013
9 Tabel 2 Pengkategorian variabel penelitian (Lanjutan) No
Variabel
9.
Pemeriksaan kehamilan (antenatal care) Suplementasi zat besi
10.
11. 12.
14. 15.
16. 17.
18.
Kategori Intervensi gizi spesifik ibu hamil 1. Sesuai 2. Tidak sesuai
1. Tidak mengonsumsi TTD 2. Cukup 3. Kurang 4. Tidak tahu Intervensi gizi spesifik bayi baru lahir Inisiasi menyusu 1. Ya dini (IMD) 2. Tidak Pemeriksaan 1. Sesuai kesehatan 2. Tidak sesuai (postnatal care) Intervensi gizi spesifik bayi dan anak ASI eksklusif 1. Ya 2. Tidak Imunisasi 1. Lengkap 2. Belum lengkap 3. Tidak lengkap Pemberian MP1. Usia bayi ≥ 6 bulan ASI 2. Usia bayi < 6 bulan Suplementasi 1. Ya vitamin A 2. Belum cukup umur 3. Tidak 4. Tidak tahu Pemantauan 1. Sesuai pertumbuhan 2. Tidak sesuai 3. Tidak tahu
Acuan Ketentuan peneliti Ketentuan peneliti
Riskesdas 2013 Ketentuan peneliti
Riskesdas 2013 Riskesdas 2013
Riskesdas 2013 Riskesdas 2013
Ketentuan peneliti
Setelah semua variabel dikategorikan, selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan uji statistik deskriptif dan inferensia. Statistik deskriptif digunakan untuk melihat sebaran karakteristik masing-masing variabel penelitian. Statistik inferensia digunakan untuk melihat hubungan antar variabel dan jenis uji yang digunakan adalah uji korelasi Rank-Spearman. Uji ini digunakan karena semua variabel yang akan diuji hubungan memiliki jenis data kategorik.
Definisi Operasional 1000 HPK adalah upaya perbaikan gizi yang dilakukan pada seribu hari pertama kehidupan yaitu mulai dari 270 hari selama dalam kandungan sampai 730 hari setelah lahir atau anak berusia dua tahun. Program ini memiliki dua jenis kegiatan intervensi yaitu spesifik dan sensitif. ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa makanan atau minuman (cairan) lainnya kepada bayi sampai usia bayi enam bulan, tetapi pemberian ASI tetap dilanjutkan setidaknya sampai anak berusia dua tahun. Baduta adalah anak berusia dibawah dua tahun atau 0 – 23 bulan.
10 Imunisasi adalah upaya memasukkan virus yang dilemahkan ke dalam tubuh dengan maksud untuk kekebalan terhadap jenis-jenis penyakit tertentu. Inisiasi menyusu dini atau biasa disingkat IMD adalah proses mendekapkan bayi kepada ibunya segera setelah bayi lahir selama kurang lebih satu jam. Bayi dibiarkan merangkak untuk mencari sendiri puting susu ibunya kemudian mulai menyusu untuk pertama kali. Intervensi gizi spesifik adalah intervensi gizi yang ditujukan untuk perbaikan masalah gizi secara langsung dalam jangka pendek dan hanya melibatkan sektor kesehatan. Intervensi ini dibagi berdasarkan kelompok sasaran yaitu ibu hamil, bayi baru lahir, serta bayi dan anak. Karakteristik keluarga adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh orang tua sampel yang terdiri dari: umur, pekerjaan, dan tingkat pendidikan. Karakteristik sampel adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh sampel terdiri atas usia dan jenis kelamin. Pekerjaan adalah kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh orang tua sampel yang merupakan sumber pendapatan bagi keluarga. Pemantauan pertumbuhan adalah kegiatan memperhatikan pertumbuhan sampel dalam enam bulan terakhir melalui penimbangan berat badan di Posyandu setiap satu bulan sekali. Pemberian MP-ASI adalah pemberian makanan tambahan bagi bayi setelah berusia lebih dari sama dengan enam bulan, pemberian ASI tetap dilanjutkan pada masa ini setidaknya sampai anak berusia dua tahun. Pemeriksaan kehamilan adalah pemeriksaan keadaaan ibu dan janin dalam kandungan sebanyak minimal satu kali pada trimester 1, satu kali pada trimester 2, dan dua kali pada trimester 3. Pemeriksaan kesehatan adalah pemeriksaan kesehatan pasca melahirkan atau disebut postnatal care, terdiri dari riwayat persalinan, tiga kali kunjungan bagi bayi pada usia 0 – 28 hari dan empat kali kunjungan untuk ibu pada hari ke 0 – 42 setelah melahirkan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan kunjungan ke tempat kesehatan atau dikunjungi oleh petugas kesehatan. Pendidikan adalah lamanya jenjang pendidikan yang berhasil ditempuh secara formal dalam tahun. Sampel adalah anak berusia 6 – 23 bulan yang menjadi sampel Riskesdas 2013 dan memenuhi kriteria inklusi penelitian ini. Status gizi adalah keadaan tubuh sampel berdasarkan hasil pengukuran berat badan dan tinggi atau panjang badan kemudian dihitung menggunakan nilai z-score dan diterjemahkan dalam berbagai indikator yaitu TB/U, BB/U, serta BB/TB. Status kesehatan adalah keadaan tubuh sampel berdasarkan riwayat beberapa penyakit infeksi yang pernah di derita dalam satu tahun terakhir. Suplementasi vitamin A adalah pemberian vitamin A dosis tinggi pada sampel yang didapatkan dalam enam bulan terakhir saat pengambilan data. Suplementasi zat besi adalah pemberian tablet besi atau tablet tambah darah (TTD) kepada ibu saat mengandung sampel dan minimal dikonsumsi sebanyak 90 tablet selama kehamilan untuk dapat mencegah anemia. Usia adalah lama hidup mulai dari lahir sampai saat penelitian dilakukan, untuk sampel dinyatakan dalam bulan sedangkan untuk orang tua sampel dinyatakan dalam tahun.
11
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh satu keluarga yang akan berbeda dengan keluarga lainnya yang menjadi sampel penelitian. Karakteristik keluarga tersebut terdiri atas usia orang tua, pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua. Analisis deskriptif dalam penelitian ini membedakan karakteristik keluarga dan variabel lainnya berdasarkan daerah tempat tinggal untuk mengetahui sebaran dari masing-masing variabel di kedua daerah tempat tinggal tersebut. Sebaran karakteristik keluarga selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Sebaran karakteristik keluarga Variabel Usia
16 – 18 tahun 19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun 65 – 80 tahun Median (min, maks) Total Pendidikan Tidak sekolah/Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat PT Total Pekerjaan Tidak bekerja PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD Pegawai swasta Wiraswasta Petani Nelayan Buruh Lainnya Total
Ayah Perkotaan Perdesaan n % n %
Perkotaan n %
Ibu Perdesaan n %
0 42 24.0 128 73.1 4 2.3 1 0.6 34 (19, 74) 175 100
1 0.7 31 21.2 108 74.0 5 3.4 1 0.7 35 (18, 67) 146 100
3 1.7 80 45.7 92 52.6 0 0 30 (17, 45) 175 100
2 1.4 62 42.5 82 56.1 0 0 30 (16, 45) 146 100
6 46 37 59 27 175
3.4 26.3 21.1 33.7 15.5 100
11 57 45 29 4 146
7.5 39.1 30.8 19.9 2.7 100
9 33 50 58 25 175
5.1 18.9 28.6 33.1 14.3 100
7 55 54 23 7 146
4.8 37.7 37.0 15.7 4.8 100
3 10 48 40 8 1 61 4 175
1.7 5.7 27.4 22.8 4.6 0.6 34.9 2.3 100
4 1 19 32 47 37 6 146
2.7 0.7 13.0 21.9 32.2 0 25.3 4.2 100
121 2 21 14 1 12 4 175
69.1 1.1 12.0 8.0 0.6 0 6.9 2.3 100
87 3 8 17 18 12 1 146
59.6 2.1 5.5 11.6 12.3 0 8.2 0.7 100
Usia orang tua diklasifikasikan menjadi lima kelompok berdasarkan AKG (2013), disesuaikan dengan usia minimum dan maksimum yang terdapat pada sebaran orang tua sampel. Ukuran pemusatan data usia orang tua sampel menggunakan median karena sebaran data tidak normal. Usia ayah di perkotaan sebagian besar (73.1%) ialah pada rentang 30 – 49 tahun, usia ayah di perdesaan sebagian besar (74.0%) juga berada pada rentang yang sama. Usia ayah paling muda di daerah perkotaan adalah 19 tahun dan usia paling tua adalah 74 tahun
12 dengan median 34 tahun. Sedangkan usia ayah paling muda di perdesaan adalah 18 tahun dan usia ayah paling tua adalah 67 tahun dengan median 35 tahun. Sebagian besar (52.6%) ibu di perkotaan berusia 30 – 49 tahun, begitu juga di perdesaan (56.2%). Usia ibu paling muda di perkotaan ialah 17 tahun dan di perdesaan adalah 16 tahun, sedangkan usia ibu paling tua baik di perkotaan maupun di perdesaan ialah 45 tahun dengan median yang juga sama yaitu 30 tahun. Semua ibu baik di perkotaan maupun di perdesaan termasuk muda karena tidak ada yang berusia lebih dari 45 tahun. Namun, ada pula orang tua yang tergolong masih sangat muda karena berusia kurang dari sama dengan 18 tahun, yaitu 0.7% ayah di perdesaan, 1.7% ibu di perkotaan, dan 1.4% ibu di perdesaan. Berdasarkan hasil analisis, dapat dilihat bahwa usia orang tua sampel baik ayah maupun ibu tidak jauh berbeda antara yang tinggal di perkotaan dan di perdesaan. Usia merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang termasuk salah satunya dalam pengambilan keputusan. Semakin bertambah usia, secara psikologis akan semakin baik pula dampaknya terhadap kedewasaan seseorang. Usia berpengaruh terhadap terbentuknya kemampuan, karena kemampuan yang dimiliki dapat diperoleh melalui pengalaman sehari-hari diluar faktor pendidikan termasuk dalam hal merawat anak. Semakin bertambah usia, semakin bertambah pula kemampuannya (Sediaoetama 2006). Pendidikan orang tua diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu tidak sekolah atau tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat, dan tamat Perguruan Tinggi (UU RI No. 20 Tahun 2003). Tingkat pendidikan ayah di perkotaan paling banyak (33.7%) adalah tamat SMA/sederajat, sedangkan tingkat pendidikan ayah di perdesaan paling banyak (39.0%) adalah tamat SD/sederajat. Tingkat pendidikan ibu di perkotaan (33.1%) adalah tamat SMA, sedangkan sebagian besar (37.7%) ibu di perdesaan hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD/sederajat. Secara umum, tingkat pendidikan orang tua di perkotaan lebih tinggi daripada tingkat pendidikan orang tua di perdesaan. Pendidikan adalah kegiatan peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan penguasaan teknologi serta pelatihannya (Sandjaja et al. 2010). Seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah (Azwar 2002). Pendidikan ibu juga akan berpengaruh terhadap tingkat pemahaman dalam perawatan kesehatan, higiene, serta kesadaran terhadap anak dan keluarga (Madanijah 2003). Pekerjaan merupakan suatu kegiatan yang biasanya berhubungan dengan pendapatan dan memiliki peran penting dalam sosial ekonomi. Pekerjaan orang tua yang memadai akan dapat menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua mampu menyediakan semua kebutuhan anak (Soetjiningsih 1995). Pekerjaan orang tua dalam penelitian terdiri atas PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD, pegawai swasta, wiraswasta, petani, nelayan, buruh, dan lainnya. Sebanyak 34.9% ayah di perkotaan bekerja sebagai buruh, sedangkan di perdesaan sebagian besar (32.2%) ayah adalah petani. Selain buruh, ayah di perkotaan juga banyak yang bekerja sebagai pegawai swasta (27.4%) dan wiraswasta (22.8%), sedangkan di perdesaan selain sebagai petani ada juga ayah yang bekerja sebagai buruh (25.3%) dan wiraswasta (21.9%). Sebagian besar ibu, baik di perkotaan (59.6%) maupun di perdesaan (69.1%) tidak bekerja. Tetapi selain itu masih ada pula ibu yang
13 bekerja, paling banyak adalah sebagai pegawai swasta (12.0%) dan wiraswasta (8.0%) di perkotaan serta sebagai petani (12.3%) dan wiraswasta (11.6%) di perdesaan. Akan tetapi, adanya ibu yang tidak bekerja bukan berarti tidak baik karena ibu yang sibuk bekerja akan memiliki waktu yang sedikit bersama keluarga sehingga kesehatan dan perkembangan anak menjadi kurang diperhatikan. Hal tersebut akan berdampak pada berkurangnya pemenuhan kebutuhan gizi yang dapat menyebabkan terjadinya gizi buruk serta tumbuh kembang anak yang tidak optimal (Mulyani 1990).
Karakteristik Sampel Karakteristik sampel yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah usia dan jenis kelamin. Usia sampel di klasifikasikan menjadi dua, yaitu 6 – 12 bulan dan 13 – 23 bulan. Baduta berusia 0 – 6 bulan tidak diikutsertakan dalam penelitian karena didalam penelitian ini terdapat variabel ASI eksklusif yang baru bisa dilihat jika anak telah berumur lebih dari sama dengan enam bulan sehingga dikhawatirkan akan mengganggu hasil penelitian. Sebaran karakteristik sampel selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran karakteristik sampel Variabel
Perkotaan n %
Perdesaan N %
77 44.0 98 56.0 14 (6, 23) 175 100
61 41.8 85 58.2 14 (6, 23) 146 100
92 83 175
71 75 146
Usia
6 – 12 bulan 13 – 23 bulan Median (min, maks) Total Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
52.6 47.4 100
48.6 51.4 100
Sampel baik di perkotaan maupun di perdesaan tersebar hampir sama pada kedua kelompok usia, meskipun yang berusia lebih dari 12 bulan cenderung lebih banyak pada kedua daerah tempat tinggal. Usia sampel di perkotaan dan di perdesaan memiliki median yang sama yaitu 14 bulan dengan usia minimum dan maksimum sampel yang sama pula yaitu berturut-turut 6 bulan dan 23 bulan. Sejak kelahiran sampai usia anak dua tahun disebut sebagai masa bayi, pada masa ini anak akan mengalami perkembangan secara fisik, motorik, dan kognitif. Perkembangan fisik ditandai dengan adanya pertambahan berat dan panjang badan (Gunarsa 2008). Almatsier et al. (2011), menyatakan bahwa pada waktu satu tahun setelah kelahiran, bayi normal akan mengalami pertambahan berat badan sebanyak tiga kali lipat dan panjang badan bertambah 50% dari berat dan panjang badan saat lahir. Enam bulan pertama setelah kelahiran terjadi pertumbuhan otak dan pertumbuhan fisik secara keseluruhan dan pertumbuhan paling cepat terjadi pada usia empat bulan pertama setelah kelahiran, masa empat hingga delapan bulan berikutnya adalah masa transisi ke pola pertumbuhan yang lebih lambat. Makanan dan zat gizi yang didapatkan akan sangat berpengaruh terhadap
14 pertumbuhan dan perkembangannya. Masa baduta merupakan masa yang sangat kritis dan tidak akan terulang (golden age), sehingga ketidaksempurnaan tumbuh kembang pada masa ini akan bersifat permanen. Perkembangan motorik terjadi secara bertahap mulai dari mengangkat kepala, dada, telungkup, merangkak, duduk, berdiri, berjalan dan seterusnya meskipun tidak semua bayi melewatinya secara berurutan. Perkembangan kognitif ditandai dengan adanya rasa ingin tahu bayi melalui panca indera dan organ-organ tubuhnya mulai dari mata, mulut, gigi, tangan, dan jari sehingga tidak jarang pada masa ini terlihat bayi memasukkan berbagai benda ke dalam mulutnya. Selain itu, pada masa ini bayi juga akan mengalami perkembangan bicara dan emosi. Bayi berusia lebih dari dua belas bulan biasanya sudah bisa mengucapkan satu kalimat atau lebih. Perkembangan emosi bayi nampak dari ekspresi wajahnya saat senang atau lainnya akibat adanya rangsangan seperti ia merasa kenyang, mengantuk, bertemu orang lain, dan sebagainya. Setelah berusia 18 bulan, ia akan mengalami tahap kebutuhan otonomi dimana ia ingin melakukan segala sesuatu sendiri dan ingin mendapatkan penghargaan atas itu (Gunarsa 2008). Sebaran jenis kelamin sampel pada kedua daerah tempat tinggal juga hampir seimbang, namun sampel yang tinggal di perkotaan cenderung lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki (52.6%), sedangkan sampel yang tinggal di perdesaan cenderung lebih banyak perempuan (51.4%). Perbedaan jenis kelamin anak dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Anak perempuan akan memiliki kemampuan bicara yang lebih cepat daripada anak lakilaki. Anak perempuan juga memiliki kemampuan membaca tanda-tanda non verbal lebih baik. Selain itu, anak perempuan akan lebih dahulu menguasai kemampuan seperti memegang pensil atau menulis sedangkan anak laki-laki akan lebih cepat menguasai kemampuan motorik seperti melompat, menyeimbangkan tubuh, serta berlari. Anak laki-laki juga biasanya akan lebih agresif dan impulsif dalam hal berperilaku (Yusrina 2013).
Status Kesehatan Status kesehatan pada baduta akan sangat berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangannya, baduta yang tidak sehat akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang kurang optimal. Status kesehatan sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan riwayat beberapa jenis penyakit infeksi selama satu tahun ke belakang, yaitu ISPA, diare, pneumonia, TB paru, dan hepatitis (Riskesdas 2013). Sampel dinyatakan sehat apabila tidak pernah di diagnosis mengalami minimal satu dari penyakit infeksi yang disebutkan. Sebaran status kesehatan sampel selengkapnya terdapat pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran status kesehatan sampel Variabel Status Kesehatan Sehat Tidak sehat Total
Perkotaan N % 100 75 175
57.1 42.9 100
Perdesaan n % 81 65 146
55.5 44.5 100
15 Berdasarkan hasil analisis deskriptif, sebagian besar sampel baik di perkotaan (57.1%), maupun di perdesaan (55.5%) termasuk dalam kategori sehat. Definisi sehat menurut WHO adalah keadaan keseimbangan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, tidak hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. Berbagai kebiasaan baik dapat membantu menciptakan hidup sehat seperti memelihara kebersihan dan kesehatan pribadi, makan makanan sehat, memelihara kesehatan lingkungan, pemeriksaan kesehatan secara berkala, dan menghindari kebiasaan buruk yang merugikan kesehatan (Nasution 2004). Status kesehatan yang baik atau dalam hal ini bebas dari penyakit infeksi merupakan salah satu faktor yang dapat ikut mempengaruhi status gizi berdasarkan kerangka pikir UNICEF (1990). Jenis-jenis penyakit infeksi yang pernah diderita oleh sampel seperti telah dijelaskan sebelumnya terdapat lima jenis. Penyakit ISPA dan diare adalah dua jenis penyakit yang paling banyak pernah diderita oleh sampel baik di perkotaan maupun di perdesaan dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Sedangkan hepatitis adalah penyakit infeksi yang tidak pernah sama sekali diderita oleh sampel baik di perkotaan maupun di perdesaan. Sebaran jenis-jenis penyakit infeksi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran jenis penyakit infeksi Variabel Jenis penyakit ISPA Diare Pneumonia TB Paru Hepatitis
Perkotaan n %
n
60 22 4 5 0
56 15 2 1 0
34.3 12.6 2.3 2.9 0
Perdesaan % 38.4 10.3 1.4 0.7 0
Penyakit infeksi yang paling banyak pernah diderita oleh sampel dalam satu tahun terakhir adalah ISPA baik di perkotaan (34.3%) maupun di perdesaan (38.4%). ISPA adalah suatu infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas atau saluran pernafasan bagian bawah akibat virus, jamur, atau bakteri yang biasanya ditandai dengan tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, serta batuk kering atau berdahak. Data Riskesdas (2013), menunjukkan bahwa kejadian ISPA di Provinsi Jawa Tengah masih lebih tinggi daripada rata-rata Indonesia dan merupakan provinsi dengan periode prevalence ISPA kedua tertinggi di Pulau Jawa. Hasil penelitian Marhamah et al. (2013), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita yaitu status imunisasi, pemberian kapsul vitamin A, dan keberadaan anggota keluarga yang merokok di dalam rumah. Penyakit ini lebih banyak dialami oleh penduduk pada kelompok umur 1 – 4 tahun dan juga lebih banyak terjadi pada penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah serta menengah bawah (Riskesdas 2013). Diare adalah kondisi sering buang air besar yang bentuknya cair, lebih dari tiga kali sehari serta dapat disertai darah dan atau lendir. Diare dapat menyebabkan kehilangan cairan, elektrolit, dan zat gizi lainnya. Diare yang bersifat akut merupakan salah satu penyebab utama kematian bayi, terutama di negara berkembang. Diare umumnya disebabkan oleh infeksi virus, parasit, atau racun dari bakteri (Sandjaja et al. 2010). Diare merupakan penyakit kedua
16 terbanyak yang pernah di derita oleh sampel baik di perkotaan (12.6%) maupun di perdesaan (10.3%). Insiden diare pada balita di Jawa Tengah menempati urutan ketiga terendah di Pulau Jawa, tetapi masih sedikit lebih tinggi daripada rata-rata insiden diare pada balita di Indonesia. Kelompok usia 12 – 23 bulan memiliki insiden diare yang lebih tinggi daripada kelompok usia kurang dari 12 bulan (Riskesdas 2013). Pneumonia pernah di derita oleh 1.4% sampel di perdesaan atau terbanyak ketiga dan terbanyak keempat yang pernah di derita oleh sampel di perkotaan (2.3%). Pneumonia merupakan penyakit infeksi yang menjadi penyebab utama kematian balita di dunia. Gejala pneumonia antara lain panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat, dan sesak. Riskesdas (2013), menunjukkan bahwa pneumonia pada balita banyak terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan dan pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Faktorfaktor yang berperan terhadap kejadian pneumonia pada balita di Indonesia menurut hasil penelitian Anwar dan Dharmayanti (2014), adalah jenis kelamin, tipe tempat tinggal, pendidikan ibu, tingkat ekonomi keluarga, pemisahan dapur dari ruangan lain, keberadaan/kebiasaan membuka jendela kamar, dan ventilasi yang cukup. Periode prevalence pneumonia di Jawa Tengah merupakan tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah DKI Jakarta, dan masih lebih tinggi daripada rata-rata nasional Indonesia tetapi sedikit menurun apabila dibandingkan enam tahun sebelumnya (Riskesdas 2013). Penyakit TB paru atau tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyebabkan kerusakan terutama pada paru-paru dan dapat menyerang hingga ke tulang, otak, dan organ lainnya. TB paru merupakan jenis penyakit terbanyak ketiga yang pernah di derita sampel di perkotaan (2.9%) dan terbanyak keempat yang pernah di derita sampel di perdesaan (0.7%). Saat ini, tuberkulosis merupakan penyakit menular penyebab kematian utama di Indonesia dan Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan penderita tuberkulosis paling banyak di dunia dengan prevalensi 0.4%. Riskesdas (2013), menunjukkan bahwa Jawa Tengah masih memiliki prevalensi pneumonia yang cukup tinggi, tetapi masih lebih rendah daripada provinsi lain di Pulau Jawa. Jawa Tengah juga merupakan salah satu provinsi dengan penduduk yang mengobati TB dengan obat program terbanyak di Indonesia (50.4%). Tuberkulosis pada anak dapat ditularkan oleh ibu selama masih berada dalam kandungan atau selama persalinan karena menghirup atau menelan cairan ketuban yang terinfeksi, dapat pula ditularkan setelah lahir akibat menghirup udara yang terkontaminasi. Gejala anak yang terkena tuberkulosis antara lain demam, tampak mengantuk, tidak kuat mengisap, gangguan pernapasan, kegagalan pertumbuhan, serta terjadi pembesaran hati dan limpa. Salah satu cara untuk mencegah penularan penyakit ini adalah dengan pemberian imunisasi BCG (Burhan 2016). Hepatitis merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D, atau E yang ditularkan melalui makanan (food borne diseases). Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu, hilang nafsu makan, nyeri perut kanan atas, disertai ikterus (kuning pada bagian tubuh), tetapi dapat pula timbul tanpa gejala (asimptomatis). Prevalensi hepatitis di Indonesia masih cukup tinggi dan meningkat dua kali lipat dibandingkan enam tahun sebelumnya (1.2%), begitu pula di Jawa Tengah. Meskipun tidak pernah diderita oleh sampel, prevalensi hepatitis di Jawa Tengah mencapai 0.2% dengan penderita terbanyak
17 ialah yang berusia 15 tahun ke atas pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan jenis hepatitis yang paling banyak terjadi adalah hepatitis B (Riskesdas 2013).
Status Gizi Status gizi merupakan cerminan ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi. Status gizi secara parsial dapat diukur dengan antropometri, biokimia, atau klinis. Pengukuran status gizi sampel dalam penelitian ini menggunakan pengukuran antropometri karena ini merupakan pengukuran yang relatif sederhana dan banyak digunakan. Pengukuran antropometri dilakukan melalui pengukuran bagian tubuh seperti berat badan, tinggi badan, lingkar lengan, dan lingkar kepala (Sandjaja et al. 2010). Hasil pengukuran antropometri sampel selanjutnya dihitung dan dikategorikan menurut z-score dengan menggunakan indikator TB/U, BB/U, serta BB/TB dengan bantuan software WHO Anthro 2011. Hasil perhitungan status gizi sampel selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran status gizi sampel Variabel Status Gizi TB/U o Sangat pendek o Pendek o Normal BB/U o Gizi buruk o Gizi kurang o Gizi baik BB/TB o Sangat kurus o Kurus o Normal o Gemuk
Perkotaan n %
n
Perdesaan %
27 30 118
15.4 17.1 67.5
28 25 93
19.2 17.1 63.7
5 21 149
2.9 12.0 85.1
6 13 127
4.1 8.9 87.0
10 17 126 22
5.7 9.7 72.0 12.6
9 12 103 22
6.2 8.2 70.5 15.1
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa menurut indikator TB/U lebih dari setengah (67.4%) sampel di perkotaan dan 63.7% sampel di perdesaan memiliki status gizi normal, 17.1% sampel berstatus gizi pendek baik di perkotaan maupun di perdesaan, serta 15.4% dan 19.2% sampel berstatus gizi sangat pendek berturut-turut di perkotaan dan perdesaan. Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang bersifat kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh atau pemberian makan yang kurang baik. Masalah gizi yang dapat di deteksi melalui indikator ini adalah stunting atau pendek (Supariasa et al. 2002). Prevalensi stunting di Jawa Tengah merupakan yang tertinggi di Pulau Jawa meskipun masih lebih rendah daripada rata-rata Indonesia. Faktor risiko stunting menurut Kusuma (2013), adalah ekonomi yang rendah. Anak pada keluarga dengan status ekonomi yang rendah memiliki risiko 4.13 kali lebih besar untuk mengalami stunting. Status
18 ekonomi yang rendah akan mempengaruhi kualitas maupun kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi, sehingga menjadi kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama untuk pangan yang berfungsi penting dalam pertumbuhan anak seperti protein, vitamin, dan mineral sehingga meningkatkan risiko terjadinya kurang gizi termasuk stunting. Berat badan menurut umur (BB/U) merupakan indikator yang menunjukkan keadaan status gizi anak pada saat ini (current nutritional status) secara umum karena berat badan merupakan suatu parameter yang sangat labil dan sensitif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi seperti penyakit infeksi atau penurunan nafsu makan. Indikator ini dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya underweight atau overweight (Supariasa et al. 2002). Indikator BB/U mengklasifikasikan status gizi menjadi tiga yaitu gizi baik, gizi kurang, dan gizi buruk. Hampir sebagian besar sampel (85.1 %) di perkotaan dan 87.0% sampel di perdesaan memiliki status gizi baik. Akan tetapi, selain status gizi yang sudah baik masih ada pula sampel yang memiliki status gizi buruk yaitu sebesar 2.9% di perkotaan dan 4.1% di perdesaan. Prevalensi gizi kurang di Jawa Tengah lebih rendah daripada rata-rata nasional, namun menempati urutan kedua tertinggi di Pulau Jawa. Indikator BB/U yang rendah dapat terjadi karena adanya masalah gizi kronis seperti stunting atau masalah gizi akut seperti sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (Riskesdas 2013). Sampel yang menurut indikator BB/TB normal tetapi menurut indikator BB/U kurang dalam penelitian ini ialah sebesar 8.7% di perkotaan dan 10.7% di perdesaan. Hasil ini menunjukkan bahwa sampel yang menurut indikator BB/TB normal padahal tinggi badannya pendek atau stunting sebenarnya memiliki berat badan yang kurang menurut indikator BB/U. Indikator berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang dapat digunakan untuk melihat masalah gizi wasting atau kurus yaitu suatu masalah gizi yang bersifat akut akibat peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat misalnya terjadinya wabah penyakit atau kelaparan. Indikator ini dapat digunakan tanpa harus mengetahui umur sehingga dapat menunjukkan proporsi tubuh, akan tetapi pengukuran berat badan dan tinggi badannya harus tepat agar didapatkan hasil yang sesuai (Supariasa et al. 2002). Indikator barat badan menurut tinggi badan (BB/TB) mengklasifikasikan status gizi menjadi empat, yaitu sangat kurus, kurus, normal, dan gemuk. Hasil penilaian status gizi dengan indeks BB/TB menunjukkan lebih dari separuh (72.0%) sampel di perkotaan dan 70.5% sampel di perdesaan memiliki status gizi normal, 15.4% sampel di perkotaan dan 14.4% sampel di perdesaan memiliki status gizi kurus, serta 12.6% sampel di perkotaan dan 15.1% sampel di perdesaan berstatus gizi gemuk. Jumlah sampel berstatus gizi gemuk lebih banyak terjadi di perdesaan, hal ini diduga terjadi karena jumlah sampel yang mengalami stunting juga lebih banyak di perdesaan. Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel stunting menurut indikator TB/U dalam penelitian ini yang dinyatakan mengalami overweight berdasarkan indikator BB/TB adalah sebesar 29.8% di perkotaan dan 32.1% di perdesaan. Akan tetapi, menurut indikator BB/U seluruh sampel tersebut memiliki status gizi normal. Hal ini dapat terjadi karena tinggi atau panjang badan sampel yang pendek menyebabkan berat badan sampel menurut tinggi badan menjadi berlebih, padahal menurut umur berat badan sampel tersebut sudah sesuai.
19 Intervensi Spesifik Program 1000 HPK Pemeriksaan kehamilan Pemeriksaan kehamilan atau antenatal care (ANC) merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam pemeliharaan terhadap kesehatan ibu dan janin dalam kandungan. Ibu hamil penting untuk mengetahui tentang ANC dan manfaatnya karena ANC dapat membantu mencegah terjadinya komplikasi kehamilan, kematian saat persalinan, serta membantu menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Setiap ibu hamil harus mendapatkan perawatan kehamilan secara baik dengan memeriksakan kehamilannya. Pemeriksaan yang dilakukan adalah penimbangan berat badan, pemeriksaan kehamilan, pemberian tablet besi, pemberian tablet kalsium dan vitamin, pemberian imunisasi TT (tetanus) dan konsultasi (Saifuddin 2001). Seluruh sampel dalam penelitian melakukan pemeriksaan kehamilan dengan frekuensi yang berbeda-beda setiap trimesternya. Kemenkes (2010), menyatakan bahwa pemeriksaan kehamilan ideal (ANC K4) ialah dilakukan minimal satu kali pada Trimester 1, satu kali pada Trimester 2, dan dua kali pada Trimester 3. Tempat pemeriksaan kehamilan dan petugas pemeriksa kehamilan yang dianjurkan adalah tenaga kesehatan agar dapat terdeteksi sedini mungkin apabila terjadi kelainan dan dapat segera dirujuk ke Puskesmas atau rumah sakit yang memiliki fasilitas lebih baik. Sebaran pemeriksaan kehamilan sampel selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran pemeriksaan kehamilan Variabel Pemeriksaan kehamilan o Sesuai o Tidak sesuai Petugas pemeriksa: o Dokter kandungan o Dokter umum o Bidan Tempat pemeriksaan: o RS Pemerintah o RS Swasta o Rumah bersalin o Puskesmas/Pustu o Praktek dokter/Klinik o Praktek bidan o Poskesdes/Polindes o Posyandu
Perkotaan n %
Perdesaan n %
164 11
93.7 6.3
140 6
95.9 4.1
23 1 151
13.1 0.6 86.3
5 141
3.4 0 96.6
3 9 14 14 7 116 6 6
1.7 5.2 8.0 8.0 4.0 66.3 3.4 3.4
1 1 16 2 107 7 12
0.7 0 0.7 10.9 1.4 73.3 4.8 8.2
Seluruh sampel dalam penelitian (100%) menjalani pemeriksaan kehamilan. Akan tetapi, tidak semua sampel diperiksa sesuai dengan yang dianjurkan oleh Kemenkes (2010) sehingga pemeriksaan kehamilan diklasifikasikan menjadi dua yaitu sesuai dan tidak sesuai. Sampel dinyatakan melakukan pemeriksaan kehamilan yang sesuai jika melakukan minimal empat kali dan maksimal delapan belas kali pemeriksaan selama kehamilan, dan selain itu dinyatakan tidak sesuai. Sampel yang memeriksakan kehamilan dengan sesuai di perkotaan sebanyak
20 93.7% dan di perdesaan sebanyak 95.9%. Adanya sampel dengan kategori pemeriksaan kehamilan yang tidak sesuai akibat adanya ketidaksesuaian frekuensi pemeriksaan selama hamil. Jawa Tengah merupakan provinsi ketiga di Indonesia dengan cakupan indikator ANC minimal empat kali paling tinggi setelah Bali dan DI Yogyakarta, juga ketiga tertinggi cakupan ANC K4 setelah DI Yogyakarta dan Bali (Riskesdas 2013). Sampel di perkotaan diperiksa pada trimester pertama (0 – 3 bulan) dengan frekuensi pemeriksaan yang berbeda-beda, mulai dari satu kali (25.1%), dua kali (29.7%), tiga kali (34.8%), empat kali (2.9%), sampai enam kali (0.6%). Akan tetapi, ada pula sampel yang tidak diperiksa yaitu sebanyak 6.3% dan sampel yang tidak tahu berapa kali frekuensi pemeriksaan kehamilannya sebanyak 0.6%. Pada trimester kedua (4 – 6 bulan) masih ada sampel yang tidak diperiksa, namun jumlahnya jauh berkurang dari trimester pertama yaitu hanya sebesar 1.1%. Sebagian besar sampel (55.4%) diperiksa kehamilan pada trimester ini sebanyak tiga kali, dan sisanya melakukan pemeriksaan kehamilan dengan frekuensi satu kali (12.6%), dua kali (21.7%), empat kali (8.6%), serta lima kali (0.6%). Saat memasuki trimester ketiga (7 – 9 bulan), sampel diperiksa dengan frekuensi paling banyak adalah tiga kali (30.3%). Pada trimester ini terdapat sampel yang diperiksa hingga lebih dari enam kali yaitu sebanyak 5.1%. Hal ini diakibatkan salah satunya karena terjadi komplikasi pada ibu berupa bengkak kaki/badan (3.4%), perdarahan dan lainnya masing-masing 1.1%, serta hipertensi, ketuban pecah dini, masalah pada janin, nyeri kepala hebat, anemia, serta sesak nafas masing-masing 0.6%. Ibu yang mendapat ANC pada trimester 1 seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan sampai trimester 3 (Kemenkes 2010). Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu yang melakukan ANC pada trimester 3 di perkotaan lebih tinggi daripada trimester 1, hal ini dapat diartikan bahwa pemeriksaan kehamilan sudah dilakukan secara berkelanjutan di daerah perkotaan Provinsi Jawa Tengah. Sampel yang tinggal di perdesaan sebagian besar diperiksa pada trimester pertama dengan frekuensi paling banyak ialah satu kali (33.6%), yang lainnya diperiksa sebanyak dua dan tiga kali masing-masing 26.0%, serta empat kali (2.7%), tetapi ada pula yang tidak diperiksa pada trimester ini sebanyak 11.6%. Pada trimester kedua, separuh sampel (50%) diperiksa sebanyak tiga kali, sedangkan sisanya tersebar dari paling sedikit satu kali (8.9%), dua kali (26.0%), empat kali (10.3%), lima kali (1.4%), dan paling sering enam kali (2.0%). Adapula sampel yang tidak diperiksa pada trimester kedua ini, yaitu sebesar 1.4%. Pada trimester ketiga, seluruh sampel (100%) yang tinggal di perdesaan diperiksa kehamilan dengan frekuensi paling banyak tiga kali (41.1%), dan sisanya tersebar mulai dari satu kali (2.0%), dua kali (15.8%), empat kali (17.1%), lima kali (10.3%), enam kali (8.2%), tujuh kali (0.7%), sampai delapan kali (4.1%). Akan tetapi, pada trimester ini terdapat sampel yang diperiksa kehamilan sampai lima belas kali yaitu 0.7%, hal ini disebabkan karena ibu mengalami komplikasi hipertensi. Komplikasi lain yang dialami oleh ibu hamil di perdesaan ialah bengkak kaki/badan (2.7%), anemia (2.1%), perdarahan (1.4%), serta hipertensi, nyeri kepala hebat, sesak nafas, dan lainnya masing-masing sebesar 0.7%. Pemeriksaan kehamilan di daerah perdesaan juga sudah dilakukan secara berkelanjutan, dapat dilihat dari hasil analisis yang menunjukkan jumlah ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan terus meningkat setiap trimesternya dan
21 mencapai puncak pada trimester terakhir. Sebaran pemeriksaan kehamilan ibu sampel tiap trimester secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 1. Sampel yang tinggal di perkotaan lebih banyak diperiksa kepada bidan (86.3%), akan tetapi tidak sedikit pula yang diperiksa oleh dokter kandungan (13.1%), dan dokter umum (0.6%). Tempat yang paling banyak digunakan oleh sampel di perkotaan untuk memeriksa kehamilan adalah tempat praktek bidan (66.3%). Sedangkan sampel yang tinggal di perdesaan hampir seluruhnya diperiksakan kepada bidan (96.6%) dan tempat yang paling banyak digunakan adalah tempat praktek bidan (73.3%). Petugas dan tempat pemeriksaan kehamilan yang dipilih oleh ibu baik di perkotaan maupun di perdesaan sudah sesuai dengan anjuran Kemenkes (2010). Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak memberikan pelayanan ANC baik di Provinsi Jawa Tengah maupun provinsi lain di Indonesia, dan dokter kandungan merupakan tenaga kesehatan yang paling sedikit memberikan pelayanan ANC di Provinsi Jawa Tengah dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa. Tempat praktek bidan juga merupakan tempat yang menerima pelayanan ANC paling banyak di seluruh provinsi di Indonesia (Riskesdas 2013). Kategori pemeriksaan kehamilan yang tidak sesuai lebih banyak terjadi di perkotaan, hal ini terjadi karena adanya komplikasi seperti dapat dilihat bahwa ibu di perkotaan yang memiliki komplikasi ialah 10.9%, sedikit lebih banyak daripada di perdesaan (10.3%) sehingga lebih sering memeriksa kehamilan dan menyebabkan frekuensi pemeriksaan menjadi tidak sesuai. Hasil penelitian Diana et al. (2013) menyatakan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan komplikasi obstri kehamilan ibu adalah jarak kehamilan, penyakit ibu, riwayat komplikasi obstri sebelumnya, dan riwayat persalinan. Selain itu, ada cukup banyak pula ibu yang tidak memeriksakan kehamilan pada trimester pertama diduga karena ibu tidak mengetahui bahwa dirinya sedang hamil. Suplementasi zat besi (Fe) Suplementasi besi diberikan pada ibu hamil dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan zat besi (Fe) saat masa kehamilan sampai masa nifas karena kebutuhan Fe pada masa ini lebih besar dari biasanya. Kekurangan Fe dapat menimbulkan tubuh merasa lemas dan anemia. Anemia pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko berat badan bayi saat lahir rendah (BBLR) yaitu kurang dari 2500 gram dan perdarahan saat persalinan (Suharti 2012). Suplemen zat besi yang dikonsumsi oleh ibu hamil tidak hanya yang berasal dari Pemerintah, tetapi juga yang dijual bebas atau multivitamin yang mengandung zat besi. Jenisnya juga dapat bermacam-macam tetapi yang paling banyak adalah dalam bentuk tablet. Tablet besi yang dianjurkan untuk dikonsumsi adalah minimal 90 tablet untuk dapat mencegah anemia gizi besi saat hamil dan menjaga pertumbuhan janin secara optimal (Kemenkes 2010). Kepatuhan konsumsi tablet besi pada ibu sampel dibagi menjadi empat kelompok yaitu tidak mengonsumsi, konsumsi kurang, konsumsi cukup, dan tidak tahu. Sebaran cakupan suplementasi besi dan kepatuhan konsumsinya secara lebih lengkap terdapat pada Tabel 9. Sampel di perkotaan yang mendapatkan tambahan suplemen zat besi pada saat dalam kandungan adalah hampir seluruhnya yaitu sebesar 97.7% dan di perdesaan juga tidak jauh berbeda yaitu sebesar 97.3%. Riskesdas (2013), menunjukkan bahwa Jawa Tengah merupakan provinsi ketiga cakupan
22 suplementasi besi tertinggi di Indonesia. Kelompok dengan konsumsi tablet besi paling tinggi yaitu pada ibu yang berusia 20 – 34 tahun, ibu dengan pendidikan tinggi, dan kuintil indeks kepemilikan yang juga tinggi. Tabel 9 Sebaran konsumsi tablet besi Variabel Suplementasi zat besi Ya Tidak Jumlah konsumsi tablet besi 0 tablet < 90 tablet ≥ 90 tablet Tidak tahu
Perkotaan n %
n
Perdesaan %
171 4
97.7 2.3
142 4
97.3 2.7
4 49 87 35
2.3 28.0 49.7 20.0
4 41 70 31
2.7 28.2 47.9 21.2
Sampel yang cukup mengonsumsi tablet besi selama kehamilan tidak lebih dari setengahnya, yaitu hanya 49.7% di perkotaan dan 47.9% di perdesaan. Sampel yang tidak mendapat suplementasi zat besi sesuai anjuran minimal atau kurang dari 90 tablet selama kehamilan di perkotaan adalah sebesar 28.0% dan di perdesaan adalah sebesar 28.2%. Sumber zat besi bagi ibu selama hamil tidak hanya didapatkan dari TTD tetapi juga bisa dari makanan terutama pangan hewani karena zat besi yang berasal dari sumber hewani dapat diserap tubuh lebih cepat daripada zat besi yang berasal dari sumber lainnya (Sandjaja et al. 2010). Hasil analisis menunjukkan bahwa ada sampel yang tidak tahu jumlah tablet besi yang dikonsumsi yaitu sebesar 20.0% di perkotaan dan 21.2% di perdesaan, bahkan ada pula sampel yang tidak mengonsumsi tablet besi selama hamil yaitu sebanyak 2.3% di perkotaan dan 2.7% di perdesaan. Kepatuhan konsumsi pil TTD saat hamil dipengaruhi oleh berbagai faktor berdasarkan hasil penelitian Ramawati et al. (2008), diantaranya adalah pengetahuan ibu dan petugas kesehatan mengenai manfaat mengonsumsi zat besi dan dampak yang mungkin timbul apabila terjadi anemia saat kehamilan, dukungan suami, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, dan ketersediaan tablet besi itu sendiri. Inisiasi menyusu dini (IMD) Menurut Roesli (2008), inisiasi menyusu dini atau IMD adalah segera setelah bayi lahir diletakkan di perut ibu dan dibiarkan merangkak untuk mencari sendiri puting susu ibunya dan akhirnya mengisapnya tanpa bantuan. Bayi dibiarkan kontak dengan ibunya, setidaknya 1 jam untuk menjamin berlangsungnya proses menyusu yang benar. IMD penting untuk menjaga produktivitas ASI, isapan bayi dapat meningkatkan kadar hormon prolaktin yang berfungsi merangsang produksi ASI dan hormon oksitosin yang berfungsi untuk pengeluaran ASI. IMD juga merupakan rangsangan awal dalam pemberian ASI yang diharapkan dapat berkelanjutan selama enam bulan (ASI eksklusif). Data pelaksanaan IMD pada sampel selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10. Lebih dari separuh sampel menjalani IMD setelah dilahirkan yaitu 69.7% di perkotaan dan 67.8% di perdesaan. Sampel di perkotaan yang menjalani IMD kurang dari satu jam adalah 89.3% dari total sampel yang menjalani IMD,
23 sedangkan di perdesaan ialah 82.8%. Persentase proses IMD kurang dari satu jam di Jawa Tengah lebih tinggi daripada rata-rata di Indonesia, dan merupakan ketiga tertinggi di Pulau Jawa (Riskesdas 2013). Tabel 10 Sebaran pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD) Variabel
Perkotaan n %
Inisiasi menyusu dini (IMD) 122 Ya 53 Tidak Lama IMD*) 109 < 1 jam 13 ≥ 1 jam Ket: *) persentase berdasarkan pada jawaban Ya
n
Perdesaan %
69.7 30.3
99 47
67.8 32.2
89.3 10.7
82 17
82.8 17.2
IMD dapat melindungi bayi dari infeksi dan kematian akibat hipotermi karena adanya kontak kulit bayi dengan ibu. IMD yang kurang tepat dapat mengurangi keberhasilan inisisasi awal menyusu karena bayi belum siap untuk minum dan menyusu. Keberhasilan IMD sangat dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu pengetahuan, sikap, motivasi petugas kesehatan yang membantu proses persalinan, serta dukungan suami dan keluarga (Aprilia 2009). Keberhasilan IMD akan sangat membantu dalam keberlangsungan pemberian ASI eksklusif dan menyusui, dengan demikian akan dapat memenuhi kebutuhan bayi hingga usia dua tahun dan mencegah anak kurang gizi (Depkes 2008). Beberapa alasan yang menjadi hambatan pelaksanaan IMD adalah ibu terlalu lelah untuk segera menyusui anaknya setelah melahirkan, tenaga kesehatan yang kurang memadai, bayi harus segera dibersihkan, dimandikan, ditimbang, dan diukur, bayi kedinginan, kamar operasi sibuk sehingga bayi harus segera di pindahkan ke ruang perawatan, ibu harus segera mendapatkan perawatan setelah melahirkan, bayi kurang siaga sehingga sulit bergerak untuk mencapai puting susu ibu, kolostrum tidak memadai sehingga diperlukan cairan lain (Maretfa 2015). Pemeriksaan kesehatan Masa setelah kelahiran adalah masa kritis bagi ibu dan bayi yang baru lahir. Banyak kasus kematian yang terjadi pada masa ini. Postnatal care ditujukan untuk ibu dan bayi sampai usia 6 minggu setelah kelahiran. Perawatan bagi bayi baru lahir adalah berupa penilaian tanda-tanda klinis lengkap (berat badan, mata, tali pusar, tanda-tanda lain), rekomendasi penggunaan chlorhexidine untuk perawatan tali pusar, kontak dengan kulit ibu dan IMD, pemberian vitamin K prophylaxis dan imunisasi hepatitis B sesegera mungkin, serta promosi ASI (WHO 2015). Pemeriksaan kesehatan setelah melahirkan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mencakup riwayat persalinan, pemeriksaan kesehatan ibu, dan pemeriksaan kesehatan bayi (neonatus). Riwayat persalinan dalam penelitian ini mencakup proses persalinan, petugas penolong persalinan, serta tempat persalinan. Sebagian besar sampel di perkotaan dilahirkan dengan cara normal (88.0%), yang lainnya melalui operasi sesar (10.3%), dan vakum (1.7%). Sampel di perdesaan hampir seluruhnya dilahirkan dengan cara normal (91.8%), dan
24 sisanya melalui operasi sesar (6.8%), serta vakum (1.4%). Tingkat kelahiran dengan cara vakum dan operasi sesar di Jawa Tengah lebih tinggi daripada ratarata Indonesia yaitu berturut-turut 1.4% dan 10.1%. Pola persalinan sesar menurut karakteristik menunjukkan proporsi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikian teratas, tinggal di perkotaan, pekerjaan sebagai pegawai, dan pendidikan tinggi (Riskesdas 2013). Petugas penolong persalinan dan tempat persalinan yang dianjurkan adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang kompeten sebagai penolong persalinan ialah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum, serta bidan (Kemenkes 2010). Sebaran riwayat persalinan sampel selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran riwayat persalinan Variabel Proses persalinan Normal Vakum Sesar Petugas penolong persalinan Dokter kandungan Bidan Dukun beranak Dokter umum dan bidan Bidan dan anggota keluarga Bidan dan dukun beranak Dokter kandungan dan bidan Dokter kandungan, bidan, dan anggota keluarga Dokter kandungan, bidan, perawat Tidak ada yang menolong Tempat persalinan RS Pemerintah RS Swasta Rumah bersalin Klinik Praktek tenaga kesehatan Puskesmas Pustu Polindes/Poskesdes Rumah
Perkotaan
Perdesaan %
n
%
n
154 3 18
88.0 1.7 10.3
134 2 10
91.8 1.4 6.8
36 122 2 1 1 2 5 1
20.6 69.7 1.1 0.6 0.6 1.1 2.9 0.6
24 105 3 3 3 7 -
16.4 71.9 2.1 0 2.1 2.1 4.9 0
3
1.7
1
0.7
2
1.1
-
0
23 30 38 6 59 4 6 9
13.1 17.1 21.7 3.4 33.7 2.3 0 3.4 5.1
22 11 20 4 47 5 1 12 24
15.1 7.5 13.7 2.7 32.2 3.4 0.7 8.2 16.4
Berdasarkan hasil analisis deskriptif, tenaga kesehatan yang membantu proses persalinan di perkotaan yang paling banyak adalah bidan (69.7%) dan dokter kandungan (20.6%). Selain itu ada pula persalinan yang dibantu oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan baik dengan tenaga kesehatan lainnya atau dengan dukun beranak dan atau anggota keluarga. Sampel di perkotaan yang menggunakan jasa dukun beranak saat melahirkan ada sebanyak 1.1%, dan tanpa penolong juga sebanyak 1.1%. Sampel di perdesaan sebagian besar dibantu oleh bidan (71.9%) dan dokter kandungan (16.4%) saat persalinan. Tenaga kesehatan
25 sudah dimanfaatkan dengan cukup baik sebagai penolong persalinan oleh ibu di perdesaan karena hanya 2.1% yang menggunakan jasa dukun beranak saat persalinan. Sebagai penolong dengan kualifikasi tertinggi, dokter kandungan lebih banyak membantu persalinan ibu di perkotaan sedangkan dukun beranak sebagai penolong dengan kualifikasi terendah lebih banyak digunakan di perdesaan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Riskesdas (2013) yang menyatakan bahwa ibu yang tinggal di perkotaan, memiliki tingkat pendidikan tinggi, bekerja sebagai pegawai, dan termasuk kuintil indeks kepemilikan teratas lebih banyak menggunakan dokter kandungan sebagai penolong persalinan dan dukun beranak semakin banyak digunakan pada ibu yang berpendidikan rendah, bekerja sebagai petani/nelayan/buruh, tinggal di perdesaan, dan termasuk dalam kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah. Jawa Tengah termasuk salah satu provinsi yang sudah banyak menggunakan tenaga kesehatan kompeten sebagai penolong persalinan lebih tinggi daripada rata-rata nasional dan juga sudah meninggalkan dukun beranak sebagai penolong persalinan lebih tinggi dari rata-rata nasional Indonesia. Tempat persalinan yang paling banyak digunakan oleh sampel di perkotaan adalah tempat praktek tenaga kesehatan (33.7%) dan rumah bersalin (21.7%). Sedangkan tempat persalinan yang paling banyak digunakan oleh ibu di perdesaan adalah tempat praktek tenaga kesehatan (32.2%) dan rumah (16.4%). Petugas dan tempat persalinan yang digunakan oleh ibu baik di perkotaan maupun di perdesaan sudah sesuai dengan anjuran Kemenkes (2010). Riskesdas (2013), menunjukkan bahwa di Jawa Tengah tempat persalinan yang paling banyak digunakan oleh ibu adalah rumah bersalin/klinik/tempat praktek tenaga kesehatan (51.9%), rumah sakit (25.8%), dan rumah (16.1%). Proses persalinan di rumah sebenarnya kurang dianjurkan karena apabila terjadi kondisi gawat darurat tidak dapat dengan segera ditangani. Ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi, kuintil kepemilikan teratas, tinggal di perkotaan, dan bekerja sebagai pegawai adalah yang paling banyak melahirkan di fasilitas kesehatan. Pemeriksaan kesehatan ibu setelah melahirkan atau lebih dikenal dengan kunjungan nifas dibagi menjadi empat kali dan pemeriksaan kesehatan untuk bayi baru lahir atau kunjungan neonatus dibagi menjadi tiga. Riwayat pemeriksaan kesehatan setelah melahirkan (postnatal care) pada ibu dan bayi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran pemeriksaan postnatal Variabel Postnatal ibu o Lengkap o Tidak lengkap Postnatal bayi o Lengkap o Tidak lengkap Pemeriksaan kesehatan pasca melahirkan o Sesuai o Tidak sesuai
Perkotaan n %
n
Perdesaan %
64 111
36.6 63.4
47 99
32.2 67.8
110 65
62.9 37.1
74 72
50.7 49.3
58 117
33.1 66.9
37 109
25.3 74.7
26 Riskesdas (2013), membagi kunjungan nifas bagi ibu setelah melahirkan yaitu 6 jam – 3 hari setelah melahirkan, 4 – 6 hari setelah melahirkan, 7 – 28 hari setelah melahirkan, dan 29 – 42 hari setelah melahirkan. Sedangkan kunjungan neonatus bagi bayi yaitu 6 – 48 jam setelah lahir (KN 1), 3 – 7 hari setelah lahir (KN 2), dan 8 – 28 hari setelah lahir (KN 3). Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya sedikit ibu yang melakukan pemeriksaan kesehatan setelah melahirkan dengan lengkap sampai empat kali yaitu 36.6% di perkotaan dan 32.2% di perdesaan. Akan tetapi, pemeriksaan kesehatan sampel setelah lahir cukup banyak yang memiliki status lengkap atau diperiksa sebanyak tiga kali yaitu 62.9% di perkotaan dan 50.7% di perdesaan. Pemeriksaan kesehatan ibu dan anak pasca melahirkan dinyatakan sesuai apabila ibu diperiksa empat kali dan anak diperiksa tiga kali, selain itu dinyatakan tidak sesuai. Sampel yang mendapatkan pemeriksaan kesehatan yang sesuai adalah hanya sebanyak 33.1% di perkotaan dan 25.3% di perdesaan. Rendahnya jumlah sampel yang melakukan pemeriksaan kesehatan dengan sesuai dapat terjadi karena pada saat setelah melahirkan banyak ibu yang tidak diperiksa secara lengkap sampai empat kali sehingga mempengaruhi status kesesuaian pemeriksaan kesehatan. Selain itu, ada pula sampel yang tidak diperiksa dengan lengkap meskipun ibunya diperiksa dengan lengkap, dapat dilihat dari jumlah sampel yang status pemeriksaannya sesuai lebih rendah daripada jumlah ibu yang diperiksa secara lengkap. Secara umum, Jawa Tengah merupakan provinsi dengan cakupan pelayanan masa nifas lengkap 10 tertinggi di Indonesia tetapi terendah di Pulau Jawa. Hasil analisis menunjukkan sebanyak 86.9% ibu yang tinggal di perkotaan mendapatkan pemeriksaan kesehatan setelah 6 jam sampai 3 hari melahirkan, tempat yang paling banyak digunakan ibu untuk pemeriksaan kesehatan pada masa ini adalah tempat praktek bidan (36.8%) dan rumah (19.1%). Pada masa 4 – 6 hari setelah melahirkan, ibu yang memeriksakan kesehatannya adalah sebanyak 73.1% dan tempat yang paling sering digunakan adalah rumah (38.3%) serta tempat praktek bidan (28.1%). Sebanyak 74.9% ibu memeriksa kesehatan pada hari ke 7 - 28 pasca melahirkan. Tempat yang paling banyak dikunjungi ibu untuk memeriksa kesehatan pada masa ini adalah tempat praktek bidan (31.3%) dan rumah (28.2%). Pada hari ke 29 – 42 setelah melahirkan, jumlah ibu yang memeriksakan kesehatannya jauh berkurang daripada masa-masa sebelumnya yaitu hanya 53.1% dengan tempat yang paling banyak digunakannya adalah praktek bidan (46.2%). Ibu di perdesaan yang memeriksa kesehatannya pada 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan adalah sebanyak 92.5%. Pemeriksaan banyak dilakukan di rumah (38.5%) dan di tempat praktek bidan (32.6%). Pada hari ke 4 sampai 6 setelah melahirkan, jumlah ibu yang memeriksa kesehatan berkurang yaitu hanya sebesar 78.8% dan pemeriksaanya masih banyak yang dilakukan di rumah (54.8%) serta tempat praktek bidan (31.3%). Ibu yang memeriksa kesehatan pada hari ke 7 sampai 28 setelah melahirkan juga berkurang dari sebelumnya, yaitu hanya 63.0% dengan tempat pemeriksaan yang paling banyak digunakan adalah seperti sebelumnya yaitu rumah sebanyak 51.1% dan tempat praktek bidan sebanyak 37.0%. Pada hari ke 29 sampai 42 setelah melahirkan jumlah ibu yang memeriksa kesehatannya sangat berkurang, bahkan lebih banyak ibu yang tidak memeriksa kesehatan yaitu hanya sebesar 44.5%. Tempat yang paling banyak
27 digunakan untuk pemeriksaan pada masa ini adalah tempat praktek bidan (46.2%) dan rumah (41.5%). Secara umum, ibu memeriksakan kesehatan setelah melahirkan dengan cara mengunjungi tempat praktek bidan atau dikunjungi petugas kesehatan di rumah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Bayi di perkotaan yang melakukan KN 1 adalah sebanyak 91.4%, KN 2 85.1%, dan KN 3 71.4%. Sedangkan bayi di perdesaan yang melakukan KN 1 sebanyak 93.8%, KN 2 83.6%, dan KN 3 57.5%. Jumlahnya terus menurun setiap waktu kunjungan di kedua daerah tempat tinggal. Tempat kunjungan yang paling banyak digunakan di perkotaan untuk KN 1 adalah tempat praktek tenaga kesehatan (39.4%), pada KN 2 tempat praktek tenaga kesehatan (34.2%) dan rumah (33.6%), pada KN 3 tempat praktek tenaga kesehatan (40.8%). Sedangkan tempat kunjungan neonatus yang lebih banyak di perdesaan ialah tempat praktek tenaga kesehatan dan rumah masing-masing sebesar 32.1% pada KN 1, rumah (55.7%) pada KN 2, dan rumah (46.4%) pada KN 3. Sama seperti ibu, bayi diperiksa kesehatannya setelah lahir dengan cara dibawa mengunjungi tempat praktek tenaga kesehatan atau dikunjungi oleh petugas kesehatan di rumah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Provinsi Jawa Tengah memiliki cakupan kunjungan neonatus lengkap lebih tinggi dari rata-rata nasional Indonesia, dan kunjungan neonatus pertama (6 – 48 jam setelah lahir) merupakan kunjungan paling tinggi daripada waktu lainnya. Persentase cakupan kunjungan neonatus di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan, dan semakin tinggi seiring meningkatnya kuintil indeks kepemilikan (Riskesdas 2013). Sebaran pemeriksaan postnatal ibu dan anak setiap waktu kunjungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Selain melaksanakan kunjungan neonatus yang telah ditetapkan dalam tiga waktu, terdapat beberapa sampel yang juga diperiksa oleh tenaga kesehatan karena mengalami sakit pada usia 0 – 28 hari yaitu sebanyak 16% di perkotaan dan 7.5% di perdesaan. Jenis keluhan yang dialami oleh sampel di perkotaan adalah bayi kuning (17.9%), bayi biru (3.6%), dan lainnya 78.6%. Sedangkan sampel di perdesaan mengalami keluhan kejang (18.2%), bayi kuning, sulit bernapas/asfiksia, dan tali pusar memerah masing-masing 9.1%, serta lainnya 45.5%. ASI eksklusif ASI eksklusif adalah pemberian ASI kepada bayi secara langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat (Gibney et al. 2005). Depkes (2000), menyatakan bahwa ASI eksklusif ialah bayi diberikan ASI saja sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan dan dianjurkan untuk dilanjutkan sampai usia 2 tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai. Menyusui sejak dini mempunyai dampak positif baik bagi ibu maupun bayi. Bagi ibu, menyusui dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas karena proses menyusui akan merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan. Sedangkan bagi bayi, proses menyusu mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan kelangsungan hidup (Riskesdas 2013). Pemberian kolostrum pada bayi baru lahir juga tidak kalah penting, bahkan sangat baik untuk perkembangan daya tahan tubuhnya karena kolostrum mengandung protein yang tinggi untuk membentuk antibodi (Almatsier et al.
28 2011). Status pemberian kolostrum pada sampel selengkapnya terdapat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran pemberian kolostrum Variabel Pemberian kolostrum o Diberikan semua o Dibuang sebagian o Dibuang semua o Tidak tahu
Perkotaan n % 155 11 1 8
88.6 6.3 0.6 4.6
n
Perdesaan %
133 8 3 2
91.1 5.5 2.1 1.4
Menurut Roesli (2008), kolostrum merupakan cairan yang pertama kali di ekskresi oleh payudara dengan viskositas yang kental dan berwarna kekuningan yang dinamakan the gift of life. Bayi di perkotaan yang mendapatkan seluruh kolostrum dari ibunya yaitu 88.6%, yang mendapatkan hanya sebagian kolostrum sebesar 6.3%, yang tidak mendapatkan kolostrum sebesar 0.6%. Bayi di perdesaan yang mendapatkan semua kolostrum sebesar 91.1%, yang mendapatkan sebagian kolostrum 5.5%, dan yang tidak mendapatkan kolostrum 2.1%. Jawa Tengah memiliki persentase pemberian semua kolostrum pada anak ke-4 tertinggi di Indonesia dan ke-2 di Pulau Jawa setelah DI Yogyakarta. Perilaku ibu terhadap kolostrum yang dibuang sebagian atau dibuang semua di Jawa Tengah juga dapat dikatakan baik karena lebih rendah dari rata-rata nasional Indonesia (Riskesdas 2013). Hasil penelitian Warni (2015), menyatakan bahwa banyak ibu yang tidak memberikan kolostrum kepada anaknya karena menganggap bahwa ASI yang pertama keluar dan berwarna kekuningan tidak baik diberikan kepada bayi karena dapat membuat bayi sakit. Penilaian status bayi mendapat ASI eksklusif atau tidak pada penelitian ini didasarkan pada makanan atau minuman apa yang diberikan pada sampel sebelum disusui pertama kali atau sebelum ASI keluar dengan lancar dan pada usia berapa sampel mendapat makanan pendamping ASI pertama kali. Sebaran status pemberian ASI sampel selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran status pemberian ASI Variabel Status pemberian ASI Eksklusif Tidak eksklusif
Perkotaan n % 43 132
24.6 75.4
n
Perdesaan %
41 105
28.1 71.9
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa sampel yang mendapat ASI eksklusif lebih rendah dari yang tidak ASI eksklusif yaitu hanya sebesar 24.6% dari total seluruh sampel di perkotaan dan 28.1% dari total sampel di perdesaan. Banyaknya sampel yang memiliki status ASI tidak eksklusif terjadi karena sampel diberikan minuman atau cairan lain sebelum disusui pertama kali atau sebelum ASI keluar dengan lancar, jumlahnya mencapai 48.0% di perkotaan dan 42.5% di perdesaan. Pemberian minuman atau cairan lain sebelum ASI keluar dengan lancar disebut pemberian makanan prelakteal. Persentase baduta yang diberi makanan prelakteal di Jawa Tengah adalah 44.9% sedikit lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Hal ini memperkuat hasil penelitian karena semakin tinggi
29 jumlah baduta yang diberi makanan prelakteal akan menjadikan status pemberian ASI eksklusif semakin rendah. Pemberian makanan prelakteal pada sampel disebabkan salah satunya karena terdapat cukup banyak ibu yaitu 37.1% di perkotaan dan 46.6% di perdesaan yang baru bisa menyusui anaknya setelah lebih dari 1 jam melahirkan, bahkan sebanyak 20.0% ibu di perkotaan dan 17.8% di perdesaan baru bisa menyusui anaknya untuk pertama kali setelah lebih dari 24 jam melahirkan. Hasil penelitian Fikawati dan Syafiq (2003), menyatakan bahwa jika ibu tidak memberikan ASI segera dalam 30 menit setelah melahirkan berisiko memberikan makanan prelakteal 1.8 – 5.3 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang dengan segera menyusui anaknya. Sampel yang diberikan makanan prelakteal cenderung lebih banyak yang tinggal di perkotaan daripada di perdesaan. Waktu pemberian ASI pertama kali dan jenis makanan yang diberikan pada sampel selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15
Sebaran waktu pemberian ASI pertama kali dan pemberian makanan prelakteal Variabel
Perkotaan n %
n
Perdesaan %
Waktu pertama kali disusui 75 42.9 52 o < 1 jam 65 37.1 68 o < 24 jam 35 20.0 26 o ≥ 24 jam Jenis makanan prelakteal*) o Susu formula 76 90.5 57 o Susu non-formula 2 2.4 o Madu 10 11.9 9 o Air gula 1 1.2 2 o Air tajin 0 1 o Teh manis 0 1 o Air putih 2 2.4 4 o Bubur tepung/bubur saring 3 3.6 2 o Pisang dihaluskan 0 2 Ket: *) Makanan prelakteal yang diberikan dapat lebih dari satu jenis
35.6 46.6 17.8 91.9 0 14.5 3.2 1.6 1.6 6.5 3.2 3.2
Waktu menyusui pertama kali kurang dari satu jam setelah melahirkan seharusnya masuk kedalam waktu IMD, akan tetapi data yang diperoleh dari hasil analisis menunjukkan nilai yang berbeda antara IMD dengan waktu pertama kali menyusui. Namun, apabila waktu menyusui pertama kali antara yang kurang dari satu jam dijumlahkan dengan yang waktu pertama kali menyusui satu jam setelah lahir, maka jumlahnya mendekati nilai yang sama dengan lamanya waktu IMD kurang dari satu jam. Menurut Rahardjo (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian ASI pada bayi satu jam setelah lahir adalah daerah tempat tinggal, kehamilan yang diinginkan, akses terhadap media, dan tenaga penolong persalinan. Makanan prelakteal yang paling banyak diberikan oleh ibu di perkotaan adalah susu formula (90.5%) dan madu baik dengan atau tanpa ditambahkan air (11.9%). Begitu juga di perdesaan, makanan prelakteal yang paling banyak diberikan adalah susu formula (91.9%) dan madu (14.5%). Riskesdas (2013), menunjukkan bahwa makanan prelakteal yang rata-rata diberikan pada bayi di Indonesia adalah
30 susu formula (79.8%), madu (14.3%), dan air putih (13.2%). Sedangkan di Jawa Tengah jenis makanan prelakteal yang paling banyak diberikan adalah sama seperti hasil penelitian ini yaitu susu formula (88.1%) dan madu (13.8%). Pemberian makanan prelakteal bukan satu-satunya yang menyebabkan kegagalan pemberian ASI eksklusif, selain itu banyak pula sampel yang mendapatkan MP-ASI sebelum berusia enam bulan yaitu sebesar 65.7% di perkotaan dan 61.0% di perdesaan. Kegagalan pemberian ASI eksklusif juga dipengaruhi oleh aktivitas ibu di luar rumah. Sebanyak 30.9% ibu sampel di perkotaan dan 40.4% ibu sampel di perdesaan memiliki pekerjaan diluar rumah. Akibatnya, ibu meninggalkan susu formula untuk bayi saat melaksanakan aktivitas di luar rumah. Hal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai ASI perahan (ASIP) belum tersebar secara luas dan ibu menganggap bahwa ASI yang sudah dikeluarkan akan cepat basi, selain itu ibu juga tidak terbiasa memerah ASI (Roesli 2000). Menurut Ramadani dan Hadi (2010), pemberian ASI eksklusif pada anak dipengaruhi pula oleh dukungan suami. Suami merupakan orang terdekat yang akan membantu mendukung dalam kegiatan yang bersifat emosional dan psikologis pada ibu menyusui. Produksi ASI akan meningkat apabila produksi oksitosin meningkat dan hal ini dipengaruhi oleh keadaan emosi berupa pikiran, perasaan, dan sensasi (Roesli 2000). Selain itu, faktor lain yang juga ikut mempengaruhi pemberian ASI adalah pengetahuan dan persepsi tentang manfaat ASI (Hannon et al. 2000). Kegagalan dalam pemberian ASI eksklusif juga dipengaruhi oleh orang tua atau mertua karena sebagian sampel, yaitu 24.0% di perkotaan dan 19.9% di perdesaan ada yang tinggal bersama kakek dan nenek nya. Hasil penelitian Susin et al. (2005) pada 601 ibu dan bayi menunjukkan hasil bahwa kegagalan ibu dalam memberikan ASI eksklusif pada bayinya karena pengaruh negatif dari orang tua atau mertua yang biasanya malah menyarankan pemberian air, teh, dan susu formula pada bayi saat usianya masih kurang dari enam bulan dan ibu juga hanya dapat mengikuti saran tersebut akibat kurang memahami dengan baik manfaat dari ASI bagi ibu dan anak. Imunisasi Imunisasi yang diberikan untuk baduta terdapat lima jenis sehingga sering dikenal lima imunisasi dasar lengkap (LIL), yaitu Hepatitis B, BCG, DPT, Polio, dan Campak. Pemberian imunisasi dilaksanakan dalam upaya menurunkan kejadian penyakit PD3I yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus, dan hepatitis B. Catatan imunisasi sampel didapat dari buku KMS/KIA/catatan kesehatan anak, lengkap dengan waktu imunisasinya. Status imunisasi sampel diklasifikasikan empat dan sebaran status imunisasi sampel selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran status imunisasi Variabel Status imunisasi Lengkap Tidak lengkap Belum lengkap
Perkotaan n % 133 25 17
76.0 14.3 9.7
n
Perdesaan %
111 20 15
76.0 13.7 10.3
31 Menurut Depkes (2009), imunisasi hepatitis B hanya diberikan satu kali pada bayi yaitu segera setelah lahir sampai maksimal berusia tujuh hari. Sebanyak 98.9% sampel di perkotaan dan 95.2% sampel di perdesaan melakukan imunisasi hepatitis B. Persentase imunisasi hepatitis atau HB-0 pada anak usia 12 -23 bulan di Jawa Tengah jauh lebih tinggi dari rata-rata Indonesia yaitu 90.5%. Imunisasi BCG atau Bacille Calmette-Guerin juga diberikan satu kali saat bayi berusia satu bulan, persentase imunisasi BCG di Jawa Tengah mencapai 94.8%. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa hampir seluruh sampel mendapatkan imunisasi BCG yaitu sebanyak 98.9% di perkotaan dan 99.3% di perdesaan. Imunisasi DPT atau Diphteria, Pertussis, Tetanus diberikan sebanyak tiga kali yaitu pada saat bayi berusia dua bulan, tiga bulan, dan empat bulan. Pada imunisasi DPT 1, seluruh sampel (100%) melakukan imunisasi baik di perkotaan maupun di perdesaan. Akan tetapi pada DPT 2 dan DPT 3 jumlahnya menurun, yaitu berturut-turut 98.3% dan 97.1% di perkotaan serta masing-masing 97.9% di perdesaan. Total sampel yang melakukan imunisasi DPT secara lengkap sebanyak tiga kali ialah 97.1% di perkotaan dan 97.9% di perdesaan. Persentase imunisasi DPT lengkap di Jawa Tengah berdasarkan data Riskesdas (2013) ialah sebesar 89.2%, sedikit lebih rendah daripada hasil penelitian ini namun tetap tergolong baik dan lebih tinggi dari rata-rata nasional. Imunisasi polio diberikan sebanyak empat kali, pada saat bayi berusia satu sampai empat bulan masing-masing satu kali setiap bulan (Depkes 2009). Sebanyak 98.9% sampel di perkotaan dan 100% sampel di perdesaan melakukan imunisasi polio 1, namun pada imunisasi polio 2 jumlahnya relatif menurun yaitu 99.4% di perkotaan dan 99.3% di perdesaan. Begitu pula pada imunisasi polio 3, sampel yang diimunisasi hanya 98.3% di perkotaan dan 97.9% di perdesaan. Pada imunisasi polio 4 jumlah sampel yang diimunisasi lebih sedikit lagi yaitu 96% di perkotaan dan 95.2% di perdesaan. Adanya penurunan jumlah sampel yang melakukan imunisasi ini setiap bulannya diduga karena ibu merasa bahwa anaknya sudah diimunisasi polio sehingga tidak perlu melakukannya lagi. Total sampel yang melakukan imunisasi polio lengkap empat kali adalah sebesar 96.0% di perkotaan dan 95.2% di perdesaan. Riskesdas (2013), menunjukkan bahwa persentase imunisasi polio lengkap di Jawa Tengah ialah sebesar 87.6%, lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Imunisasi campak merupakan imunisasi terakhir yang diberikan pada baduta dan hanya satu kali diberikan yaitu pada saat bayi berusia sembilan bulan (Depkes 2009). Jumlah sampel yang mendapatkan imunisasi campak adalah sebanyak 78.9% di perkotaan dan 81.5% di perdesaan. Apabila dibandingkan dengan jenis imunisasi lainnya, sampel yang mendapatkan imunisasi campak adalah yang paling sedikit. Hal ini terjadi karena cukup banyak sampel yang berusia kurang dari 9 bulan sehingga belum mendapatkan imunisasi ini. Persentase imunisasi campak pada bayi usia 12 -23 bulan di Jawa Tengah menurut data Riskesdas (2013), ialah sebesar 92.6%, lebih tinggi dari hasil penelitian. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan sampel analisis, pada data Riskesdas sampel yang dianalisis untuk imunisasi berusia dua belas bulan keatas sehingga seluruh sampel dianggap telah mendapatkan semua jenis imunisasi termasuk campak. Sedangkan sampel dalam penelitian ini mulai dari bayi yang berusia 6 bulan, sehingga masih ada yang belum cukup umur imunisasi ikut di analisis. Anak usia 0 – 11 bulan tidak dimasukkan dalam analisis data Riskesdas (2013), dengan beberapa alasan
32 yaitu: (1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan “valid immunization”, (2) survei-survei lain juga menggunakan kelompok umur yang sama sehingga dapat dibandingkan, (3) bias karena ingatan ibu yang diwawancara saat pengumpulan data lebih rendah dibandingkan kelompok umur diatasnya. Sebagian besar sampel di perkotaan dan di perdesaan (76.0%) mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap, namun tidak sedikit pula yang mendapatkan imunisasi dasar tidak lengkap yaitu sebesar 14.3% di perkotaan dan 13.7% di perdesaan. Jawa Tengah termasuk salah satu provinsi dengan persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12 – 23 bulan cukup baik yaitu 76.9% sehingga menempati urutan ke-4 paling tinggi di Indonesia setelah DI Yogyakarta, Bali, dan Gorontalo. Semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkapnya. Ibu di perkotaan menyatakan bahwa alasan anak tidak mendapat imunisasai lengkap adalah sibuk/repot (13.5%), takut anak menjadi panas (13.5%), anak sering sakit (8.1%), dan vaksin tidak tersedia (2.7%). Sedangkan ibu di perdesaan mengaku alasan anaknya tidak mendapat imunisasi secara lengkap adalah karena sibuk/repot (14.3%), vaksin tidak tersedia (7.1%), takut anak menjadi panas (7.1%), anak sering sakit (3.6%), dan petugas tidak datang (3.6%). Kelengkapan imunisasi sampel juga dapat dipengaruhi oleh faktor pengetahuan ibu tentang manfaat imunisasi dan motivasi ibu melakukan imunisasi untuk anaknya (Ningrum dan Sulastri 2008). Selain itu, ada pula sampel yang mendapatkan imunisasi belum lengkap sebanyak 9.7% di perkotaan dan 10.3% di perdesaan. Hal ini terjadi pada sampel yang berusia kurang dari 9 bulan karena mereka belum mendapatkan imunisasi campak. Imunisasi campak pada baduta diberikan sebanyak satu kali pada saat berusia 9 bulan dan diberikan dengan cara injeksi pada paha atau lengan kiri atas. Sebaran imunisasi sampel untuk tiap-tiap jenis imunisasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Setelah mendapatkan imunisasi baik campak ataupun yang lain, anak biasanya akan mengalami reaksi efek samping atau disebut Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) berupa demam ringan sampai tinggi, bengkak, kemerahan, bernanah, dan lainnya. Jenis KIPI yang paling banyak dialami oleh baduta di Jawa Tengah ialah kemerahan (12.2%), bengkak (8.9%), demam tinggi (5.1%), bernanah (4.6%), dan lainnya (0.4%) (Riskesdas 2013). Pemberian MP-ASI MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi (Mufida et al. 2015). Menurut Depkes (2006), waktu yang tepat untuk memberikan makanan tambahan bagi bayi adalah setelah bayi berusia 6 bulan karena pada masa ini kebutuhan energi dan zat gizi meningkat sehingga pemberian ASI saja tidak akan cukup. Selain itu, pada masa ini sistem pencernaan bayi juga sudah terbentuk cukup matang meskipun belum sempurna sehingga makanan sudah dapat dicerna dengan cukup baik (Purwanti 2004). Waktu pemberian MP-ASI dan jenis MP-ASI yang diberikan pada sampel selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 17. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa sebagian besar sampel di perkotaan (65.7%) dan di perdesaan (61.0%) mulai mendapatkan makanan pendamping air susu ibu atau MP-ASI saat berusia kurang dari 6 bulan.
33 Pemberian MP-ASI terlalu dini akan meningkatkan risiko diare dan infeksi lainnya, serta kemungkinan bayi kurang gizi karena kurangnya konsumsi ASI yang kaya gizi (Ramaiah 2007). Tabel 17 Sebaran umur pemberian MP-ASI Variabel
Perkotaan n %
Umur diberikan MP-ASI 115 65.7 o < 6 bulan 60 34.3 o ≥ 6 bulan Jenis MP-ASI o Susu formula 104 59.4 o Susu non-formula 4 2.3 o Bubur formula 69 39.4 o Biskuit 28 16.0 o Bubur tepung/bubur saring 31 17.7 o Air tajin 4 2.3 o Pisang dihaluskan 46 26.3 o Bubur nasi/nasi tim/nasi dihaluskan 27 15.4 Ket: *) MP-ASI yang diberikan dapat lebih dari satu jenis
n
Perdesaan %
89 57
61.0 39.0
75 1 54 45 20 4 46 35
51.4 0.7 37.0 30.8 13.7 2.7 31.5 24.0
Jenis makanan yang diberikan kepada bayi harus bertahap, menurut Depkes (2000), yaitu bayi usia 0 – 6 bulan diberikan ASI saja; bayi usia 6 – 9 bulan, pemberian ASI diteruskan dan mulai diperkenalkan dengan makanan lumat dua kali sehari; bayi usia 9 – 12 bulan, pemberian ASI diteruskan dan mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga, diberikan makanan selingan seperti bubur kacang hijau, buah, dan sebagainya satu kali sehari serta diperkenalkan dengan beraneka ragam bahan makanan seperti lauk pauk dan sayuran secara bergantian; bayi usia 12 – 24 bulan, pemberian ASI tetap dilanjutkan dengan pemberian MP-ASI atau makanan keluarga sekurang-kurangnya tiga kali sehari dengan porsi separuh dari makanan orang dewasa setiap kali makan, selingan diberikan dua kali sehari, variasi makanan harus diperhatikan, dan mulai menyapih secara bertahap dengan mengurangi frekuensi pemberian ASI. Menurut Sandjaja et al. (2010), jenis makanan pendamping ASI yang dapat diberikan pada bayi adalah dalam bentuk bubur, nasi tim, dan biskuit yang dibuat sendiri. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan istilah MP-ASI lokal yaitu MPASI yang dibuat sendiri oleh rumah tangga, terbuat dari bahan makanan yang tersedia di tempat, mudah diperoleh dengan harga terjangkau oleh masyarakat, dan memerlukan pengolahan sebelum dikonsumsi. Jika demikian, maka jenis MPASI yang sebaiknya dikonsumsi adalah bubur formula, biskuit, bubur tepung/bubur saring, bubur nasi/nasi tim/nasi yang dihaluskan, serta pisang yang dihaluskan. Bubur formula dikonsumsi paling banyak yaitu oleh 39.4% sampel di perkotaan dan 37.0% sampel di perdesaan, konsumsi paling banyak selanjutnya adalah pisang yang dihaluskan yaitu 26.3% di perkotaan dan 31.5% di perdesaan, biskuit dikonsumsi lebih sedikit di perkotaan yaitu hanya 16.0% tetapi dikonsumsi cukup banyak di perdesaan yaitu 30.8%, bubur tepung/bubur saring di konsumsi lebih banyak di perkotaan yaitu 17.7% daripada di perdesaan hanya 13.7%, bubur nasi/nasi tim/nasi yang dihaluskan di konsumsi lebih banyak juga di perdesaan
34 yaitu sebesar 24%, sedangkan di perkotaan konsumsinya hanya 15.4%. Konsumsi bubur formula dan pisang yang dihaluskan baik di perkotaan maupun di perdesaan menempati urutan pertama dan kedua yang paling banyak di konsumsi, tetapi jenis MP-ASI lainnya yang menempati urutan paling banyak dikonsumsi berbeda antara di perkotaan dan perdesaan. Konsumsi MP-ASI jenis bubur tepung lebih banyak di perkotaan sedangkan jenis MP-ASI yang lebih banyak dikonsumsi di perdesaan adalah biskuit dan bubur nasi/nasi tim/nasi yang dihaluskan. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan tempat tinggal tersebut, ibu yang tinggal di perkotaan memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi dan pemahaman MP-ASI sehingga lebih memilih jenis MP-ASI lokal. Akan tetapi, bukan berarti jenis MP-ASI yang lain tidak baik untuk diberikan kepada bayi. Suplementasi vitamin A Vitamin A atau retinol adalah salah satu vitamin larut lemak yang mempunyai banyak fungsi dalam tubuh, diantaranya untuk diferensiasi sel, pertumbuhan dan perkembangan janin serta plasenta, penglihatan, dan sebagainya (Sandjaja et al. 2010). Suplementasi vitamin A pada anak diberikan dua kali pada bulan Februari dan Agustus setiap tahunnya. Suplemen ini diberikan dalam bentuk kapsul dengan vitamin A dosis tinggi yang terdiri dari dua jenis, yaitu kapsul merah berisi vitamin A 100 000 IU untuk anak berusia 6 – 11 bulan, dan kapsul biru berisi vitamin A 200 000 IU untuk anak berusia 12 – 59 bulan (Riskesdas 2013). Suplementasi vitamin A pada sampel dinilai dari apakah dalam 6 bulan terakhir sampel pernah mendapatkan kapsul vitamin A. Status suplementasi vitamin A pada sampel dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran suplementasi vitamin A Variabel Suplementasi vitamin A Ya Tidak Belum cukup umur Tidak tahu
Perkotaan n % 145 22 7 1
82.8 12.6 4.0 0.6
Perdesaan n % 115 19 8 4
78.8 13.0 5.5 2.7
Jawa Tengah termasuk tiga provinsi tertinggi persentase balita yang menerima kapsul vitamin A dalam enam bulan terakhir (Riskesdas 2013). Hasil analisis menunjukkan sebanyak 82.8% sampel di perkotaan dan 78.8% sampel di perdesaan mendapatkan kapsul vitamin A pada waktu enam bulan terakhir saat penelitian dilaksanakan, sedangkan sebesar 12.6% di perkotaan dan 13.0% di perdesaan tidak mendapatkan kapsul vitamin A. Adapula yang tidak mendapat kapsul vitamin A karena pada saat pembagian, anak berusia kurang dari 6 bulan yaitu sebesar 4% di perkotaan dan 5.5% di perdesaan. Selain itu, ada pula 0.6% ibu sampel di perkotaan dan 2.7% di perdesaan yang tidak tahu apakah anaknya mendapat kapsul vitamin A atau tidak. Hal ini mungkin terjadi karena anak diantar ke Posyandu oleh selain ibu, bisa jadi neneknya karena seperti telah dijelaskan sebelumnya terdapat sampel tinggal bersama kakek dan neneknya. Vitamin A menurut Almatsier (2004), adalah salah satu zat gizi yang dapat
35 membantu menurunkan morbiditas dan mortalitas karena vitamin A dapat meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit. Pemantauan pertumbuhan Pemantauan pertumbuhan pada balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering). Pemantauan pertumbuhan sampel dilihat dari riwayat penimbangan berat badan dalam enam bulan terakhir. Jawa Tengah memiliki persentase baduta yang melakukan penimbangan dalam enam bulan terakhir cukup baik yaitu 88.3% dan rata-rata melakukan penimbangan dengan frekuensi lebih dari sama dengan empat kali (Riskesdas 2013). Pemantauan pertumbuhan bayi dan anak melalui penimbangan berat badan dan atau pengukuran tinggi badan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 155 Tahun 2010, sebaiknya dilakukan satu kali setiap bulan dan Posyandu memiliki fungsi yang sangat penting dalam hal ini. Selain itu, digunakan kartu menuju sehat (KMS) sebagai alat ukur pertumbuhan yang valid. Oleh karena itu, status pemantauan pertumbuhan sampel diklasifikasikan menjadi tiga yaitu sesuai, tidak sesuai, dan tidak tahu. Sebaran status pemantauan pertumbuhan sampel selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran pemantauan pertumbuhan Variabel Pemantauan pertumbuhan Sesuai Tidak sesuai Tidak tahu
Perkotaan n % 106 66 3
60.6 37.7 1.7
n
Perdesaan %
91 51 4
62.3 34.9 2.7
Status pemantauan pertumbuhan dinyatakan sesuai apabila sampel ditimbang sebanyak enam kali dalam enam bulan terakhir. Sampel yang tidak ditimbang, ditimbang kurang dari enam kali, atau ditimbang lebih banyak dari enam kali dinyatakan tidak sesuai. Sebanyak 60.6% sampel di perkotaan dan 62.3% sampel di perdesaan memiliki status pemantauan pertumbuhan yang sesuai berdasarkan Permenkes 155/2010. Banyaknya sampel yang memiliki status pertumbuhan sesuai lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan. Hal ini dapat terjadi karena sampel di perkotaan yang tidak ditimbang dalam enam bulan terakhir juga lebih tinggi yaitu 9.1% daripada di perdesaan yaitu hanya 4.8%, sampel yang ditimbang kurang dari enam kali sebanyak 30.1% di perkotaan dan 28.7% di perdesaan. Sampel yang tidak tahu berapa kali ditimbang 1.9% di perkotaan dan 2.9% di perdesaan. Selain itu, terdapat cukup banyak pula sampel yang ditimbang lebih dari tujuh kali dalam enam bulan terakhir yaitu sebanyak 1.2% di perkotaan dan 2.8% di perdesaan. Alasan ibu di perkotaan tidak melakukan penimbangan anak adalah karena sibuk/repot (31.3%), anak sudah selesai imunisasi (18.8%), anak tidak mau ditimbang (18.8%), lupa/tidak tahu jadwal penimbangan (18.8%), tidak ada tempat penimbangan (6.3%), dan anak sudah besar atau berusia lebih dari 1 tahun (6.3%). Sedangkan ibu di perdesaan menyatakan alasan tidak melakukan penimbangan anak adalah karena tempat penimbangan jauh (28.6%), sibuk/repot (28.6%), anak sudah besar (14.3%), anak sudah selesai imunisasi (14.3%), dan malas (14.3%).
36 Uji Hubungan Antar Variabel Uji korelasi Rank-Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel dalam penelitian ini. Variabel-variabel yang akan diuji tersebut antara lain pendidikan ibu, jenis-jenis kegiatan intervensi spesifik pada program 1000 HPK, status kesehatan, dan status gizi berdasarkan indeks TB/U. Selain itu, dilakukan pula analisis dengan menggunakan tabulasi silang pada beberapa variabel agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai variabel tersebut. Hubungan pendidikan ibu dengan kegiatan intervensi spesifik program 1000 hari pertama kehidupan Ibu merupakan seseorang dalam keluarga yang langsung berhubungan dengan anak. Seorang ibu yang memiliki pendidikan tinggi diharapkan dapat memiliki pengetahuan yang tinggi pula termasuk dalam hal mengurus anak. Halhal yang berkaitan dengan pengurusan anak antara lain seperti yang terdapat dalam intervensi spesifik pada program 1000 HPK. Kegiatan intervensi spesifik dalam uji hubungan ini adalah sebagai variabel terikat. Hasil uji hubungan pendidikan ibu dengan jenis-jenis kegiatan intervensi spesifik pada program 1000 hari pertama kehidupan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Hubungan pendidikan ibu dengan kegiatan intervensi spesifik Variabel Dependen Pemeriksaan kehamilan Suplementasi zat besi Inisiasi menyusu dini (IMD) Pemeriksaan kesehatan ASI eksklusif Imunisasi Pemberian MP-ASI Suplementasi vitamin A Pemantauan pertumbuhan
Pendidikan Ibu p r 0.710 -0.021 0.059 -0.105 0.424 -0.045 0.017* -0.133 0.121 0.087 0.913 -0.006 0.891 -0.008 0.458 -0.042 0.911 -0.006
Ket: * memiliki hubungan signifikan Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu hanya memiliki hubungan signifikan dengan pemeriksaan kesehatan setelah melahirkan atau postnatal care (p<0.05). Hal ini berarti semakin tinggi pendidikan ibu, semakin sesuai frekuensi postnatal care (PNC) yang dilakukan. Sebagian besar ibu yang tinggal di perkotaan memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada ibu yang tinggal di perdesaan sehingga ibu yang tinggal di perkotaan juga lebih banyak yang melakukan postnatal care sesuai dengan yang dianjurkan oleh Kemenkes (2010) yaitu sebesar 33.1% daripada ibu yang tinggal di perdesaan yaitu hanya 25.3%. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian Jayanthi et al. (2015), yang menyatakan bahwa ibu yang berpendidikan tinggi cenderung melaksanakan postnatal care dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Hal ini bisa terjadi karena ibu yang berpendidikan rendah tidak tahu akan resiko buruk yang akan terjadi terhadap tubuhnya selama dalam masa nifas. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan rendah berisiko untuk
37 tidak melakukan kunjungan nifas 4.364 kali lebih besar dibandingkan ibu yang berpengetahuan tinggi (Rahmawati 2015). Hubungan kegiatan intervensi spesifik program 1000 hari pertama kehidupan dengan status kesehatan Kegiatan intervensi spesifik merupakan kegiatan yang melibatkan sektor kesehatan berdasarkan berbagai kelompok sasarannya. Jenis-jenis intervensi ini diharapkan dapat meningkatkan status kesehatan baduta. Status kesehatan itu sendiri berhubungan secara langsung dengan status gizi. Status kesehatan yang baik akan dapat membantu memperbaiki status gizi, dan jika status gizi seseorang tidak baik maka dapat menurunkan status kesehatannya karena seseorang akan lebih mudah terpapar oleh penyakit. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara jenis-jenis kegiatan intervensi spesifik program 1000 hari pertama kehidupan dengan status kesehatan baduta. Kegiatan intervensi spesifik dalam uji hubungan ini adalah sebagai variabel bebas atau independent. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Hubungan kegiatan intervensi spesifik dengan status kesehatan baduta Variabel Independen Pemeriksaan kehamilan Suplementasi zat besi Inisiasi menyusu dini (IMD) Pemeriksaan kesehatan ASI eksklusif Imunisasi Pemberian MP-ASI Suplementasi vitamin A Pemantauan pertumbuhan
Status kesehatan p r 0.195 0.073 0.832 -0.012 0.527 -0.035 0.181 0.075 0.060 -0.105 0.598 0.030 0.019* 0.131 0.676 -0.023 0.370 0.050
Ket: * memiliki hubungan signifikan Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa kegiatan intervensi gizi spesifik program 1000 HPK yang memiliki hubungan signifikan dengan status kesehatan adalah hanya pemberian MP-ASI (p<0.05). Hal ini berarti, sampel yang mendapatkan MP-ASI setelah berusia enam bulan memiliki status kesehatan yang lebih baik daripada sampel yang mendapat MP-ASI saat berusia kurang dari enam bulan. Anak yang mendapatkan MP-ASI sesuai umurnya akan memiliki derajat kesehatan yang optimal karena anak akan lebih tahan terhadap gangguan penyakit infeksi yang berasal dari luar tubuhnya dan proses tumbuh kembangnya juga akan berjalan sesuai umur (Wargiana 2013). Berdasarkan hasil tabulasi silang, sampel yang mendapatkan MP-ASI saat berusia lebih dari sama dengan enam bulan dan memiliki status kesehatan yang baik lebih tinggi (61.7%) daripada sampel yang mendapatkan MP-ASI saat berusia kurang dari enam bulan dan memiliki status kesehatan yang baik (54.8%) di perkotaan. Sampel di perdesaan juga demikian, sebanyak 68.4% sampel yang diberikan MP-ASI saat berusia lebih dari sama dengan enam bulan memiliki status kesehatan yang baik, sedangkan hanya 47.2% sampel yang diberikan MPASI saat usianya kurang dari enam bulan dan status kesehatannya baik. Menurut
38 Indriyawati (2010), faktor yang mempengaruhi ibu memberikan MP-ASI dini kepada anaknya adalah pendidikan dan pengetahuan gizi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Cicih (2011), yang menyatakan bahwa status pemberian ASI (eksklusif atau tidak) berpengaruh signifikan dengan status kesehatan baduta, baduta yang mendapat ASI eksklusif atau baru mendapatkan makanan pendamping ASI setelah berusia lebih dari sama dengan enam bulan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Widodo (2004), juga menyatakan bahwa bayi yang mendapatkan MP-ASI dini mengalami pertambahan berat dan panjang badan yang lebih rendah daripada bayi yang mendapat MP-ASI sesuai umur. Hubungan kegiatan intervensi spesifik program 1000 hari pertama kehidupan dengan status gizi Kegiatan intervensi gizi pada program 1000 HPK ditujukan untuk perbaikan status gizi anak mulai dari dalam kandungan sampai berusia dua tahun. Status gizi yang digunakan dalam analisis ini hanya status gizi berdasarkan indeks TB/U karena kegiatan intervensi spesifik lebih diutamakan untuk memperbaiki keadaan stunting. Hasil analisis bivariat selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Hubungan kegiatan intervensi spesifik dengan status gizi (TB/U) baduta Variabel Independen Pemeriksaan kehamilan Suplementasi zat besi Inisiasi menyusu dini (IMD) Pemeriksaan kesehatan ASI eksklusif Imunisasi Pemberian MP-ASI Suplementasi vitamin A Pemantauan pertumbuhan
Status gizi p 0.255 0.549 0.489 0.909 0.202 0.037* 0.341 0.680 0.031*
r 0.064 -0.034 0.039 -0.006 0.071 -0.117 -0.053 -0.023 0.120
Ket: * memiliki hubungan signifikan Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman diketahui bahwa imunisasi memiliki hubungan signifikan dengan status gizi baduta (p<0.05). Semakin lengkap status imunisasinya maka semakin baik status gizinya, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ihsan et al. (2013), yang menyatakan bahwa anak dengan status imunisasi yang tidak lengkap lebih banyak yang mengalami status gizi kurang (44.2%), status imunisasi yang tidak lengkap merupakan faktor resiko balita gizi kurang. Berdasarkan hasil tabulasi silang, sampel di perkotaan yang memiliki status imunisasi lengkap dan status gizi normal sebesar 66.1% dari total sampel yang memiliki status imunisasi lengkap. Sedangkan di perdesaan, sampel yang memiliki status imunisasi lengkap dan status gizi normal adalah sebesar 58.6% dari total sampel yang memiliki status imunisasi lengkap. Hasil penelitian Vindriana et al. (2012), menyebutkan bahwa kelengkapan imunisasi memiliki hubungan bermakna dengan status gizi. Seorang anak yang mendapatkan imunisasi secara lengkap tidak akan mudah terserang penyakit sehingga asupan makanan akan baik dan zat gizi pun terserap dengan baik. Zat gizi akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan sehingga menghasilkan status gizi
39 yang baik. Kelengkapan imunisasi dasar pada sampel dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Paridawati (2014), yaitu pendidikan ibu, pengetahuan ibu, sikap ibu, ketepatan pelayanan, dan dukungan keluarga. Pemantauan pertumbuhan juga memiliki hubungan signifikan dengan status gizi baduta (p<0.05). Semakin sesuai frekuensi penimbangan anak maka semakin baik status gizinya. Sampel yang ditimbang sebanyak enam kali dalam waktu enam bulan dan memiliki status gizi normal adalah sebanyak 67.8% dari total sampel yang memiliki status gizi normal di perkotaan. Lebih dari separuh sampel (62.4%) di perdesaan juga memiliki status gizi normal dan ditimbang sebanyak enam kali dalam waktu enam bulan terakhir. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yogiswara (2011), yang menyatakan bahwa tingkat kehadiran ibu di Posyandu berhubungan dengan status gizi anak. Semakin sering ibu hadir di Posyandu, status gizi balita akan lebih sering dipantau oleh petugas posyandu sehingga apabila ada gangguan akan dapat dengan segera ditangani. Selain itu, Octaviani et al. (2008) juga menyatakan bahwa ibu yang tidak aktif di Posyandu memiliki risiko 6.857 kali lebih besar untuk anaknya mengalami KEP (Kurang Energi Protein).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Usia orang tua di kedua daerah tempat tinggal sebagian besar berada pada rentang 30 – 49 tahun. Pendidikan orang tua di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Pekerjaan ayah di perkotaan sebagian besar buruh, sedangkan di perdesaan adalah petani, dan sebagian besar ibu di kedua daerah tempat tinggal tidak bekerja. Usia dan jenis kelamin sampel tersebar hampir sama pada kedua daerah tempat tinggal. Status kesehatan sampel sebagian besar termasuk dalam kategori sehat, dan status gizi sampel menurut ketiga indikator yang digunakan sebagian besar adalah normal baik di perkotaan maupun di perdesaan. Jenis kegiatan intervensi spesifik pada program 1000 HPK diantaranya adalah pemeriksaan kehamilan dan suplementasi besi untuk kelompok sasaran ibu hamil, IMD dan pemeriksaan kesehatan untuk kelompok sasaran bayi baru lahir, serta ASI eksklusif, imunisasi, pemberian MP-ASI, suplementasi vitamin A, dan pemantauan pertumbuhan untuk kelompok sasaran bayi dan anak. Berdasarkan hasil uji statistik, pendidikan ibu berhubungan signifikan dengan pemeriksaan kesehatan, pemberian MP-ASI berhubungan signifikan dengan status kesehatan baduta, serta imunisasi dan pemantauan pertumbuhan berhubungan signifikan dengan status gizi baduta berdasarkan indeks TB/U.
Saran Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya beberapa jenis kegiatan intervensi spesifik saja yang berhubungan dengan status kesehatan dan status gizi baduta, padahal seharusnya semua jenis kegiatan tersebut berhubungan signifikan.
40 Penelitian lain yang serupa bisa dilakukan di daerah lain untuk membuktikan bahwa semua jenis kegiatan intervensi spesifik yang dilakukan pemerintah memiliki hubungan signifikan dengan status kesehatan dan status gizi baduta. Sosial ekonomi orang tua juga sebaiknya di analisis dengan menggunakan kuintil indeks kepemilikan. Analisis pada jenis kegiatan intervensi sensitif program 1000 HPK juga penting untuk dilakukan agar menjadi lebih lengkap. Selain itu, peneliti menyarankan dalam pembuatan pertanyaan pada kuesioner Riskesdas agar dilakukan dengan lebih tajam atau training enumerator dilakukan lebih mendalam agar tidak terjadi bias seperti yang terjadi pada data IMD dan waktu pertama kali menyusui.
DAFTAR PUSTAKA Achadi EL. 2014. Periode kritis 1000 hari pertama kehidupan dan dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan fungsinya. [2014 Nov 25; Yogyakarta]. Depok (ID): Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. __________, Soetardjo S, Soekatri M. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Anwar A, Dharmayanti I. 2014. Pneumonia pada anak balita di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 8(8): 359-365. Aprilia Y. 2009. Analisis sosialisasi program inisiasi menyusu dini dan ASI eksklusif kepada bidan di Kabupaten Klaten [tesis]. Semarang (ID): Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Konsentrasi Manajemen Kesehatan Ibu dan Anak, Universitas Diponegoro. Azwar S. 2002. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Jakarta (ID): Pustaka Pelajar. [BAPPENAS] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Republik Indonesia. 2005. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG 20062010). Jakarta (ID): Bappenas. __________________________________________________________________ ________. 2012. Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan. Jakarta (ID): Bappenas. __________________________________________________________________ ________. 2012. Pedoman Perencanaan Program Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan. Jakarta (ID): Bappenas. Burhan E. 2016. Tuberkulosis paru pada anak [Internet]. [diunduh 2016 Feb 2]. Tersedia pada http://www.tuberkulosis.org/. Cicih LHM. 2011. Pengaruh perilaku ibu terhadap status kesehatan anak baduta di Provinsi Jawa Tengah. Sari Pediatri. 13(1): 41-48. [DEPKES] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Jakarta (ID): Depkes RI. _________________________________________________. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Lokal. Jakarta (ID): Depkes RI. _________________________________________________. 2008. Paket Modul Kegiatan Inisisasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI Eksklusif 6 Bulan. Jakarta (ID): Depkes RI. _________________________________________________. 2009. Berikan imunisasi dasar lengkap untuk melindungi si buah hati [Internet]. [diunduh 2015 Okt 29]. Tersedia pada http://pppl.depkes.go.id/. Diana, Sukandar H, Handono B. 2013. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan komplikasi obstektri ibu dan bayi di Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat [Internet]. [diunduh 2015 Sep 1]. Tersedia pada www.pustaka.unpad.ac.id.
42 Fikawati S, Syafiq A. 2003. Hubungan antara menyusui segera (immediate breastfeeding) dan pemberian ASI eksklusif sampai dengan empat bulan. Jurnal Kedokteran Trisakti. 22(2): 47-55. Gibney MJ, Margarets BM, Kearney JM, Arab L. 2005. Public Health Nutrition. Oxford (US): Blackwell Publishing. Gunarsa SD. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta (ID): PT BPK Gunung Mulia. Hadiat. 2013. Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (PP RI No. 42 Tahun 2013) [Internet]. [2013 Okt 18-20; Jakarta]. Jakarta (ID): Kementrian PPN/Bappenas. [diunduh 2015 Okt 22]. Tersedia pada http://mcaindonesia.go.id/. Hannon PR, Willis SK, Bishop-Townsend V, Martinez IM, Scrimshaw SC. 2000. African-American and Latina adolescent mothers’ infant feeding decisions and breastfeeding practices: a qualitative study. Journal Adolescent Health. 26: 399-407. Ihsan M, Hiswani, Jemadi. 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi anak balita di Desa Teluk Rumbia Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil tahun 2012. Jurnal Gizi, Kesehatan Reproduksi, dan Epidemiologi. 2(1). Indriyawati I. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini pada bayi usia <6 bulan [artikel penelitian]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Jayanthi D, Ansariadi, Sidik D. 2015. Determinan pemanfaatan pelayanan pasca persalinan (post-natal care) ibu primipara di Kabupaten Jeneponto. Journal Publisher. 15(15): 49. [KEMENKES] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Panduan Pelayanan Kesehatan Bayi Baru Lahir Berbasis Perlindungan Anak. Jakarta (ID): Direktorat Kesehatan Anak. ___________________________________________________. 2010. Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Jakarta (ID): Kemenkes RI. ___________________________________________________. 2013. Laporan Riskesdas Tahun 2013. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kemenkes RI. ___________________________________________________. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta (ID): Kemenkes RI. Kusuma KE. 2013. Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-3 tahun (Studi di Kecamatan Semarang Timur) [artikel penelitian]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Madanijah S. 2003. Model pendidikan “GI-PSI-Sehat” bagi ibu serta dampaknya terhadap perilaku ibu, lingkungan pembelajaran, konsumsi pangan, dan status gizi anak usia dini [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Maretfa I. 2015. Analisis hubungan inisiasi menyusu dini dan pemberian ASI eksklusif dengan morbiditas dan status gizi bayi di Sumatera [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Marhamah, Arsin AA, Wahiduddin. 2013. Faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita di Desa Bontongan Kabupaten Enrekang. [Internet]. [diunduh 2016 Jan 31]. Tersedia pada http://repository.unhas.ac.id/.
43 Mufida L, Widyaningsih TD, Maligan JM. 2015. Prinsip dasar makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) untuk bayi 6 – 24 bulan: kajian pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(4): 1646-1651. Mulyani S. 1990. Penelitian Gizi dan Kesehatan. Bogor (ID): Puslitbang. Nasution SK. 2004. Meningkatkan status kesehatan melalui pendidikan kesehatan dan penerapan pola hidup sehat [Internet]. [diunduh 2015 Nov 24]. Tersedia pada http://repository.usu.ac.id/. Ningrum EP, Sulastri. 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasar pada bayi di Puskesmas Banyudono Kabupaten Boyolali. Berita Ilmu Keperawatan. 1(1): 7-12. Octaviani U, Juniarti N, Mardiyah A. 2008. Hubungan keaktifan keluarga dalam kegiatan posyandu dengan status gizi balita di Desa Rancaekek Kulon Kecamatan Rancaekek. [Internet]. [diunduh 2016 Jan 31]. Tersedia pada http://pustaka.unpad.ac.id/. Paridawati K. 2014. Faktor yang berhubungan dengan tindakan ibu dalam pemberian imunisasi dasar pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Bajeng Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa [skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 155 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS) Bagi Balita. Purwanti HS. 2004. Konsep Penerapan ASI Eksklusif: Buku Saku untuk Bidan. Jakarta (ID): EGC. Rahardjo S. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI satu jam setelah melahirkan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 1(1): 1117. Rahmawati L. 2015. Faktor yang berhubungan dengan kunjungan ibu nifas di wilayah kerja Puskesmas Jelbuk Kabupaten Jember [skripsi]. Jember (ID): Universitas Jember. Ramadani M, Hadi EN. 2010. Dukungan suami dalam pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Air Tawar Kota Padang Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 4(6): 269-274. Ramaiah S. 2007. ASI dan Menyusui. Jakarta (ID): Buana Ilmu Populer. Ramawati D, Mursiyam, Sejati W. 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi di Desa Sokaraja Tengah Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas. Jurnal Keperawatan Soedirman. 3(3): 114-124. Roesli U. 2000. Mengenal ASI Eksklusif Edisi 1. Jakarta (ID): Trubus Agriwidya. _______. 2008. Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta (ID): Pustaka Bunda. Saifuddin AB. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta (ID): JNPKR-POGI. Sandjaja, Budiman B, Herartri R, Afriansyah N, Soekatri M, Sofia G, Suharyati, Sudikno, Permaesih D. 2010. Kamus Gizi: Pelengkap Kesehatan Keluarga. Jakarta (ID): Kompas Penerbit Buku. Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta (ID): EGC.
44 Suharti. 2012. Hubungan pengetahuan ibu hamil tentang antenatal care (ANC) dengan motivasi ibu hamil dalam melakukan kunjungan antenatal care (ANC). Jurnal Florence Vol. V No.2. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): EGC. Susin LRO, Giugliani ERJ, Kummer SC. 2005. Influence of grandmothers on breastfeeding practices. Revista de Saude Publica. 39(2): 159. Thompson RA, Nelson CA. 2001. Developmental science and the media: early brain development. American Psychologist. 56(1): 5-15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. [UNICEF] United Nations Children’s Fund. 1990. The State of World’s Children 1990. Swiss (CH): UNICEF. Vindriana V, Kadir A, Askar M. 2012. Hubungan kelengkapan imunisasi dengan status gizi pada balita usia 1-5 tahun di Kelurahan Watonea wilayah kerja Puskesmas Katobu Kabupaten Muna. Journal from e-library STIKES Nani Hasanuddin. 1(2). Wargiana R. 2013. Hubungan pemberian MP-ASI dini dengan status gizi bayi umur 0 - 6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Rowotengah Kabupaten Jember [skripsi]. Jember (ID): Universitas Jember. Warni G. 2015. Pengetahuan dan persepsi terkait pemberian ASI pada pasangan pranikah di kantor urusan agama (KUA) Kecamatan Bogor Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [WHO] World Health Organization. 2015. Postnatal care for mothers and newborns [Internet]. [diunduh 2015 Nov 24]. Tersedia pada http://www.who.int/maternal_child_adolescent/publications/WHO-MCAPNC-2014-Briefer_A4.pdf?ua=1. Widodo Y. 2004. Pertumbuhan bayi usia 0 - 4 bulan yang mendapat ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Yogiswara BA. 2011. Hubungan antara tingkat partisipasi ibu di posyandu dengan status gizi balita. [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Yusrina. 2013. Inilah bedanya pertumbuhan fisik anak laki-laki dan perempuan [Internet]. [diunduh 2016 Jan 26]. Tersedia pada http://www.ibupedia.com/.
45
LAMPIRAN Lampiran 1 Sebaran pemeriksaan kehamilan sampel tiap trimester Perkotaan Perdesaan Variabel n % n % Umur kehamilan: Trimester 1 163 93.1 129 88.4 Trimester 2 173 98.8 144 98.6 Trimester 3 172 98.7 146 100
Lampiran 2 Sebaran postnatal care ibu dan anak tiap waktu kunjungan Variabel Postnatal ibu o 6 jam – 3 hari o 4 – 6 hari o 7 – 28 hari o 29 – 42 hari Postnatal bayi o 6 – 48 jam o 3 – 7 hari o 8 – 28 hari
Perkotaan n %
n
Perdesaan %
152 128 131 93
86.9 73.1 74.9 53.1
135 115 92 65
92.5 78.8 63.0 44.5
160 149 125
91.4 85.1 71.4
137 122 84
93.8 83.6 57.5
Lampiran 3 Sebaran tiap jenis imunisasi sampel Variabel Jenis imunisasi Hepatitis B BCG DPT 1 DPT 2 DPT 3 Polio 1 Polio 2 Polio 3 Polio 4 Campak
Perkotaan n % 173 173 175 172 170 173 174 172 168 138
98.9 98.9 100 98.3 97.1 98.9 99.4 98.3 96.0 78.9
n
Perdesaan %
139 145 146 143 143 146 145 143 139 119
95.2 99.3 100 97.9 97.9 100 99.3 97.9 95.2 81.5
46
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 23 September 1992. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan H. Moch Amin Ismail dan Hj. Euis Aisyah, S.Pd, M.MPd. Penulis menempuh pendidikan dasar di MI At-Taqwa Cidatar Cisurupan Garut pada tahun 1997-2003, kemudian pendidikan menengah pertama di MTs Negeri Garut tahun 2003-2006, selanjutnya pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Cisurupan jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada tahun 2006-2009. Kemudian tahun 2009 penulis diterima di Program Diploma Institut Pertanian Bogor pada jurusan Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis menjalani praktek kerja lapang (PKL) di RSUD Ciawi selama tiga bulan. Selanjutnya penulis melaksanakan praktek penyelenggaraan usaha jasa boga (PUJB) di katering dan kantin sehati selama satu bulan. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Diploma III pada tahun 2012 dengan membuat tugas akhir berjudul Persiapan dan Pengolahan Beras dan Tepung Beras di Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan studi ke jenjang pendidikan sarjana pada program alih jenis di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui ujian mandiri. Penulis menjalani masa Kuliah Kerja Nyata Berbasis Profesi (KKN-P) selama dua bulan di Desa Karangsari, Kecamatan Leuwigoong, Kabupaten Garut. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Sarjana Gizi pada tahun 2016.