HUBUNGAN FREKUENSI PEMBERIAN ASI DENGAN KEJADIAN IKTERUS PADA BBL 2-10 HARI DI BPM “N” PADANG PANJANG TAHUN 2013 1,*
Rulfia Desi Maria, 2 Suci Rahmadeni 1,2 STIKes Prima Nusantara Bukittinggi *e-mail :
[email protected] ABSTRAK Ikterus merupakan masalah yang bisa berdampak serius terhadap bayi.Berdasarkan survei awal di 4 BPM di Padang Panjang, didapatkan data ikterus dan persalinan yang banyak di BPM N yaitu bayi ikterus 28 orang dari 85 orang yang lahir dalam 2 bulan terakhir. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui Hubungan Frekuensi Pemberian ASI dengan Kejadian Ikterus pada Bayi Baru Lahir 2-10 hari di BPM “N “Padang Panjang. Penelitian merupakan penelitian observasional Analitik dengan pendekatan case control. Penelitian dilakukan pada bulan Juni- Juli 2013 di BPM “N” padang panjang dengan sampel sebanyak 60 orang, 30 untuk kelompok kasus dan 30 untuk kontrol dengan teknik Purposive Sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji statistik Chi Square. Hasil penelitian didapatkan dari 30 responden pada kelompok kasus ada sebanyak 12 responden (40%) sering diberikan ASI eksklusif dan pada keompok kontrol ada sebanyak 28 responden (93,33%) yang sering diberikan ASI eksklusif. dan hasil uji statistik chi square didapatkan p value = 0,00 < 0,05. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ikterus pada BBL 2-10 hari di BPM “N”Padang Panjng tahun 2013. Diharapkan pada BPM “N” Padang Panjang untuk dapat meningkatkan pemberian informasi tentang pentingnya pemberian ASI yang adekuat kepada bayi. Kata Kunci
: Ikterus, ASI eksklusif
ABSTRACT Jaundice is a problem that can seriously affect bayi. Based initial survey in 4 BPM in Padang Panjang, jaundice and delivery of data obtained many of BPM N infant jaundice which 28 people from 85 people who were born in the last 2 months. The purpose of this study was to determine frequency of breastfeeding relationship with Genesis Jaundice in Newborns 2-10 days in BPM "N" Padang Panjang. Analytical research was an observational study with case control approach. The study was conducted in June-July 2013 in BPM "N" long paddock with a sample of 60 people, 30 to 30 for a group of cases and controls with purposive sampling technique. Data was collected using a questionnaire. Data processing is computerized. Data analysis was performed using univariate and bivariate statistical test Chi Square. Research results obtained from 30 respondents in the case group there were 12 respondents (40%) are often given exclusive breastfeeding and the control groups has as many as 28 respondents (93.33%), which is often given exclusive breastfeeding. and the chi-square test results obtained p value = 0.00 <0.05. Based on the research results it can be concluded that there is a significant correlation between the frequency of exclusive breastfeeding with the incidence of jaundice in the BBL 2-10 days in BPM "N" Padang Panjang 2013. It is expected that the BPM "N" Padang Panjang to be able to improve the provision of information about the importance of Adequate breastfeeding to infants. Keywords: Jaundice, exclusive
Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013
93
PENDAHULUAN Angka Kematian bayi di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi dalam usia 28 hari pertama kehidupan per 1000 kelahiran hidup. Angka ini merupakan salah satu indikator derajat kesehatan bangsa. Tingginya angka Kematian bayi ini dapat menjadi petunjuk bahwa pelayanan maternal dan noenatal kurang baik, untuk itu dibutuhkan upaya untuk menurunkan angka kematian bayi tersebut (Saragih, 2011). Di Indonesia, dari seluruh kematian bayi, sebanyak 57% meninggal pada masa bayi baru lahir (usia dibawah 1 bulan). Setiap 6 menit terdapat satu bayi baru lahir yang meninggal. Penyebab kematian bayi baru lahir adalah bayi berat lahir rendah (29%), asfiksia (27%), trauma lahir, ikterus neonatorum, infeksi lain dan kelainan kongenital (JNPK-KR 2008). Ikterus neonatorum merupakan fenonema biologis yang timbul akibat tingginya produksi ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Neonatus memproduksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 grm atau usia gestasi < 37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kelahirannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kelahirannya. (Swaramedia, 2010). Angka kejadian ikterus pada bayi baru lahir berkisar 50% yang cukup bulan dan 75% pada bayi baru lahir yang kurang bulan. Angka kejadian ikterus ternyata berbeda-beda untuk beberapa negara, klinik, dan waktu yang tertentu. Hal ini kemungkinan besar disebabkan perbedaan dalam pengelolaan BBL yang pada akhir-akhir ini mengalami banyak kemajuan (Sarwono, 2006). Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 gram atau usia gestasi < 37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan (Boback, 2006).
Menurut WHO (World Health Organization) Ikterus adalah kondisi munculnya warna kuning di kulit dan selaput mata pada bayi baru lahir karena adanya bilirubin (pigmen empedu) pada kulit dan selaput mata sebagai akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia) (Suradi, 2009). Ikterus terbagi dua yaitu ikterus fisiologi dan patologi. Ikterus fisiologi adalah ikterus normal yang dialami bayi baru lahir, tidak mempunyai dasar patologis sedangkan ikterus patologi adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis dengan kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin (Vivian, 2010). Dampak yang terjadi apabila bayi tidak diberi ASI adalah bayi tidak memperoleh kekebalan tubuh dan tidak mendapatkan makanan yang bergizi tinggi serta berkualitas, sehingga bayi mudah mengalami sakit yang mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan terhambat (Depkes RI, 2006). Untuk mengendalikan kadar bilirubin pada bayi baru lahir dapat dilakukan pemberian minum sedini mungkin dengan jumlah cairan dan kalori yang mencukupi. Pemberian minum sedini mungkin akan meningkatkan motilitas usus dan juga menyebabkan bakteri introduksi ke usus. Bakteri dapat mengubah bilirubin direk menjadi urobilin yang tidak dapat diabsorpsi kembali. Dengan demikian, kadar bilirubin serum akan turun. Pemberian minum yang cukup dapat membantu pemenuhan kebutuhan glukosa pada neonatus. Makanan yang terbaik bagi neonatus adalah ASI karena ASI mempunyai manfaat yang besar bagi neonatus pada periode transisi. Kandungan yang dibutuhkan neonatus dalam ASI adalah antibodi, protein, karbohidrat, lemak dan vitamin. Sebagian bahan yang terkandung dalam ASI yaitu beta glukoronidase akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam lemak, sehingga bilirubin indirek akan meningkat dan kemudian akan diresorbsi oleh usus. Selain itu meletakkan bayi dibawah sinar matahari selama 1520 menit, dapat dilakukan setiap hari antara pukul 06.30-08.00 selama ikterus masih terlihat (Surasmi,2006). Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksin dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekresikan dan mudah melalui membrane biologis seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Segera setelah ada dalam hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein – Y, protein Z, dan glutation hati lain yang membawanya ke reticulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi (Jejeh, 2010).
Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013
94
Berdasarkan hasil penelitian Khairunnisak pada tahun 2013 RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh di kemukahkan bahwa dari 35 responden yang sering melakukan pemberian ASI ternyata mayoritas Negatif mengalami ikterus (68,6%) dan dari 16 responden yang tidak sering melakukan pemberian ASI mayoritas 87,5% positif mengalami ikterus. Berdasarkan survei awal di 4 BPM di Padang Panjang, didapatkan data ikterus dan persalinan yang banyak di BPM N yaitu bayi ikterus 28 orang dari 85 orang yang lahir dalam 2 bulan terakhir. Jadi berdasarkan survei awal yang dilakukan, peneliti tertarik meneliti tentang hubungan Frekuensi pemberian ASI eksklusif dengan kejadian Ikterus pada Bayi Baru Lahir. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Frekuensi Pemberian ASI dengan Kejadian Ikterus Pada BBL 2-10 Hari di BPM “N” Padang Panjang tahun 2013.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain case control. Penelitian ini akan dilakukan di BPM “N” Padang Panjang pada bulan Juni – Juli 2013. Sampel dalam penelitian ini adalah 60 orang dengan 30 kelompok kasus dan 30 kelompok kontrol dengan menggunakan teknik dengan teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner. Data dianalisis secara univariat untuk melihat distribusi frekuensi masing-masing variabel dan analisis bivariat untuk melihat hubungan antara variabel dengan menggunakan uji chi-square (CI 95% ). Frekuensi pemberian ASI Seirng Tidak Sering Total
Kasus f 12 18 30
% 40 60 100
Kontrol f 28 2 30
% 93,33 6,67 100
Jumlah
40 20 108
HASIL DAN PEMBAHASAN Frekuensi Pemberian ASI Ekskslusif Tabel 1. Distribusi frekuensi Pemberian ASI eksklusif pada BBL 2-10 Hari di BPM “N” Padang Panjang 2013 Tabel di atas menunjukan bahwa pada kelompok kasus ada sebanyak 12 responden 40%) yang sering diberikan ASI dan pada kelompok kontrol ada sebanyak 28 responden (93,33%) yang sering diberikan ASI eksklusif. Ibu hanya memberikan ASI pada bayinya bangun saja, tanpa membangunkan bayinya yang tertidur, posisi yang salah menyusui membuat susu ibu sakit dan malas menyusui, karena ibu baru pengalaman pertama menyusui/anak pertama dan
paritas lebih, dukungan dari keluarga yang kurang. Sedangkan yang sering memberikan ASI, melakukan pemberian ASI tanpa dijadwalkan dan membangunkan bayinya jika waktu menyusui telah tiba minimal 2 jam sudah diberikan ASI pada bayinya, tapi produksi ASI yang masih kurang, banyak terjadi pada ibu yang memiliki anak pertama. Rentang frekuensi menyusui yang optimal adalah antara 8 hingga 12 kali setiap hari. Meskipun mudah untuk membagi 24 jam menjadi 8 hingga 12 kali menyusui dan menghasilkan perkiraan jadwal, cara ini bukan merupakan cara makan sebagian besar bayi. Menurut Bahiyatun (2009) bayi yang sehat dapat mengosongkan satu payudara dalam 5-7 menit dan ASI dalam lambung bayi akan kosong dalam waktu 2 jam. Menyusui yang dijabwalkan akan berakibat kurang baik. Hal ini disebabkan oleh isapan bayi sangat berpengaruh pada rangsangan produksi ASI selanjutnya. Dengan menyusui ASI tanpa jabwal dan sesuai kebutuhan bayi, akan mencegah banyak masalah hari akan sangat berguna bagi ibu yang bekerja. Hal ini akan memacu produksi ASI dan mendukung keberhasilan penundaan kehamilan. Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Khairunnisak pada tahun 2013 di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh bahwa lebih dari separoh yang sering pemberian ASI (68,6%). Menurut asumsi penulis dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa bayi yang tidak sering diberikan ASI lebih banyak dari pada sering diberikan ASI. Pemberian ASI yang adekuat sangat baik untuk bayi karena ASI mempunyai banyak manfaat untuk bayi dan keluarga. Salah satu manfaat bayi diberi ASI lebih mampu menghadapi efek penyakit kuning, asalkan bayi tersebut disusui sesering mungkin. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa yang tidak sering memberikan ASI sebanyak 18 orang bayi (60%) dan sering 12 orang (40%) pada kasus. Yang sering memberikan ASI pada kasus ditemukan cara menyusui yang salah sehingga bayi tidak puas menyusu, air susu ibu yang sedikit. Sedangkan yang tidak sering pada kasus ditemukan jadwal menyusui ibu yang tidak teratur atau jarak terlalu lama, ibu menyusui bayinya ketika bayi bangun dan jika bayi tertidur ibu hanya membiarkan saja.
Hubungan Frekuensi Pemberian ASI dengan Kejadian Ikterus pada BBL 210 Hari Tabel 2. Hubungan Frekuensi Pemberian ASI dengan Kejadian Ikterus pada BBL 2-10 Hari di BPM “N” Padang Panjang Tahun 2013
Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013
95
Pembe rian ASI
Kasus f %
Kejadian Ikterus Kontrol Jumlah f % f %
Sering
12
40
28
93,3
40
0
Tidak sering
18
60
2
6,6
20
33,3
30
10 0
30
100
60
13,3
OR P
0,017
0,04 8
Berdasarkan tabeldi atas dapat diketahui bahwa dari 30 responden pada kelompok kasus ada sebanyak 12 responden(40%) yang sering diberikan ASI (53,7%) sedangkankan pada 30 responden pada kelompok kontrol ada sebanyak 28 responden (93,3%) yang sering diberikan ASI. Setelah dilakukan uji statistik Chi-Square didapatkan p=0,017 yang berarti Ha diterima, dengan derajat kepercayaan sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara frekuensi pemberian ASI dengan kejadian Ikterus pada BBL 2-10 hari di BPM “N” Padang Panjang tahun 2013. Nilai Odd Ratio (OR) 0,048 yang berarti frekuensi pemberian ASI merupakan faktor protektif terhadap kejadian ikterus. ASI adalah suatu emulasi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam organik yang disekresi oleh kedua kelenjar payudara ibu dan merupakan makan terbaik untuk bayi. Selain memenuhi segala kebutuhan makanan bayi baik gizi, imunologi, atau lainnya sampai pemberian ASI memberi kesempatan bagi ibu mencurahkan cinta kasih serta perlindungan kepada anaknya (Bahiyatun, 2009). Berdasarkan teori yang di sampaikan oleh Sunar (2009) yaitu rentang frekuensi menyusui
yang optimal adalah antara 8 hingga 12 kali setiap hari, salah satu manfaat pemberian ASI bagi bayi adalah menjadikan bayi yang diberi ASI lebih mampu menghadapi efek penyakit kuning (ikterus). Jumlah bilirubin dalam darah bayi banyak berkurang seiring diberikannya kolostrum yang dapat mengatasi kekuningan, asalkan bayi tersebut disusui sesering mungkin dan tidak diberi pengganti ASI. ASI adalah sumber makanan terbaik bagi bayi selain mengandung komposisi yang cukup sebagai nutrisi bagi bayi, Pemberian ASI juga dapat meningkatkan dan mengeratkan jalinan kasih sayang antara ibu dengan bayi serta meningkatkan kekebalan tubuh bagi bayi itu sendiri. Ikterus merupakan penyakit yang sangat rentang terjadi pada bayi baru lahir, terutama dalam 24 jam setelah kelahiran, dengan pemberian ASI yang sering, bilirubin yang dapat menyebabkan terjadinya ikterus akan dihancurkan dan dikeluarkan melalui urine. Oleh sebab itu, pemberian ASI sangat baik dan dianjurkan guna mencegah terjadinya ikterus pada bayi baru lahir.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairunnisak (2013) yang berjudul Hubungan pemberian ASI dengan kejadian ikterus pada bayi baru lahir 0-7 hari di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2013 yang menunjukkan bahwa dari 16 responden yang tidak sering melakukan pemberian ASI ternyata sebanyak 87,5% positif mengalami ikterus. Sedangkan dari 35 responden yang sering melakukan pemberian ASI ternyata mayoritas 51,4% negatif mengalami ikterus. Hasil analisa statistik menggunakan uji chisquare menghasilkan nilai p value = 0,020. Sehingga didapatkan bahwa p ≤ 0,05 yang artinya Ha diterima atau terdapat hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ikterus pada bayi baru lahir 0-7 hari.
Menurut asumsi penulis dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa bayi ikterus banyak dialami oleh ibu yang tidak sering memberikan ASI pada bayinya yaitu sebanyak 18 orang (60%) yang sering 12 orang (40%) dari 30 orang bayi ikterus fisiologis. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu tenaga kesehatan yang kurang memberikan penkes tentang teknik menyusui yang benar serta manfaat ASI bagi bayi ibu, faktor ibu yang malas menyusui bayinya karena takut terjadi perubahan fisik yang tidak baik serta dukungan yang kurang dari kelurga, faktor bayi yang malas menyusui disebabkan oleh terlambat pemberian ASI awal sehingga bayi lebih suka tidur, cara ibu yang tidak benar memberikan ASI dan lainlain.
KESIMPULAN 1. 2.
3.
Lebih dari separoh responden yang mengalami ikterus tidak sering memberikan ASI. Sebagian besar responden yang tidak ikterus sering memberikan ASI. Ada hubungan frekuensi pemberian ASI dengan kejadian ikterus pada bayi baru lahir 210 hari di BPM N Padang Panjang Tahun 2013.
SARAN 1.
Bagi Peneliti Dengan adanya penelitian ini peneliti dapat menambah pengetahuan tentang metodelogi penelitian dan asuhan neonatus yang dapat diterapkan sendiri dan bagi masyarakat.
Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013
96
2.
3.
4.
5.
Bagi Tempat Penetian Dengan adanya penelitian ini di BPM N Padang Panjang lebih dapat meningkatkan sumber informasi tentang pentingnya pemberian ASI yang adekuat kepada bayi. Bagi Institusi Pendidikan Dengan adanya penelitian ini menjadi bahan bacaan bagi mahasiswa diperpustakaan atau referensi untuk mahasiswa. Bagi Responden Dengan adanya penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan ibu-ibu post partum tentang frekuensi pemberian ASI dan Ikterus. Bagi peneliti selanjutnya. Dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman atau bahan acuan dalam melaksanakan penelitian berikutnya untuk lebih dapat menjelaskan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kejadian ikterus pada bayi baru lahir dan dapat mengobservasi secara berkelanjutan
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nur, Muslihatun, Wafi, (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta: Fitramaya. Prawirohardjo, Sarwono, (2009). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka. Proverawati, Atikah, Eni Rahmawati.2010. Kapita ASI & Meyusui. Yogyakarta: Nuha Medika. Sarwono, 1999, Ilmu Kebidana. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta. EGC Sastroasmoro,S dan Sofyan,I. 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV Sagung Seto. Sunar, Dwi, Prasetyono, (2009). Buku Pintar ASI Ekslkusif. Jogjakarta: DIVA Press.
DAFTAR PUSTAKA Bahiyatun. (2009). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: EGC Guslihan, (2009). Dasa Tjipta, Kuning Pada Bayi Baru Lahir. Kapan Harus Ke Dokter?. Medan, Devisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU.
Surasmi,Asrining.2006.Perawatan Bayi Risiko Tinggi.Jakarta: EGC Yuliarti, Nurheti, (2010). Keajaiban ASI-Makanan Terbaik Untuk Kesehatan, Kecerdasan, dan kelincahan Si Kecil. Yogyakarta: Andi Offset
Hasfirah, (2009), Mengenal Ikterus Neonatorum, http://www.smallcrab.com/anak-anak/535mengenal-ikterus-neonatorum (Dikutip tanggal 1 Januari 2013). Hidayat,
A.Aziz. 2011. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.
IDAI. (2008). Frekuensi Menyusui pada Bayi. Jakarta: EGC Jejeh, Ai, Rukiyah dan Julianti, Lia, (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: TIM. Khairunnisak. (2013). Hubungan Pemberian ASI dengan Kejadian Ikterus pada Bayi Baru Lahir 0-7 Hari di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Maryunani, Anik, (2010). Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta: TIM
Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013
97