Hubungan antara Teman Sebaya dengan Kompetensi Interpersonal Mahasiswa
Oleh
Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd Email :
[email protected] [email protected] [DOSEN PAI FIAI UII YOGYAKARTA]
1
Hubungan antara Teman Sebaya dengan Kompetensi Interpersonal Mahasiswa Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd Email :
[email protected] &
[email protected] Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara interaksi teman sebaya dengan kompetensi interpersonal mahasiswa. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga maret 2007. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tahun akademik 2007/2008 yang berjumlah sebanyak 1.256 orang. Subjek penelitian diambil secara sampel, dengan menggunakan stratified proportional random sampling dengan jumlah proporsi yang ditentukan sebanyak 25 % dari populasi, yaitu berjumlah 315 orang. Data diambil dengan menggunakan quesioner yang dikembangkan sendiri dengan mengadopsi model skala Likert. Hasil uji coba instrumen menunjukkan tingkat validitas untuk seluruh instrumen berkisar 0,3239 hingga 0,5655 dan harga koefisien alpha untuk masing-masing skala sebesar 0,8903 (skala interaksi teman sebaya) dan 0,9546 (skala kompetensi interpersonal). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan formula korelasi product moment dari Pearson dengan software SPSS versi 11,0 for Windows. Berdasarkan hasil perhitungan korelasi product moment diketahui harga korelasi antara interaksi antarteman sebaya dengan kompetensi interpersonal sebesar 0,457 (p = 0,000). Hasil tersebut menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara interaksi teman sebaya dengan kompetensi interpersonal, oleh karena itu Dengan begitu dapat dinyatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat interaksi individu dengan teman sebaya akan secara signifikan mempengaruhi kompetensi interpersonal individu yang bersangkutan. Kata kunci : interaksi teman sebaya, kompetensi interpersonal. I. Pendahuluan Dalam tulisannya, Golson (2006) menyatakan bahwa bukan persoalan seseorang memiliki kecerdasan, juga bukan karena yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk mengelaborasi masalah dari persoalan yang dihadapi, namun jika yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi kepada orang lain, maka kemampuankemampuan tersebut menjadi tidak berguna, kompetensi interpersonal merupakan kunci bagi individu untuk mengkomunikasikan ide-ide cemerlangnya kepada orang lain. Lebih lanjut diungkap Golson (2006) bahwa orang yang memiliki kemampuan sosial dan dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam waktu yang lama cenderung lebih berhasil dibanding dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan tersebut, dan salah satu
2
faktor yang banyak menentukan keberhasilan dalam menjalin komunikasi dengan orang lain adalah kompetensi interpersonal. Menurut Hayes (2006) bahwa kompetensi interpersonal merupakan kunci yang membedakan antara manager yang sukses dan yang tidak sukses. Pendapat lain, Suchy (2000) menyatakan bahwa efektivitas kehidupan individu dan kehidupan pekerjaan seseorang hingga 80% merupakan sumbangan dari faktor kompetensi interpersonal. Dalam hal ini, Nandeshwar (2006) menyatakan bahwa kemampuan teknis tidaklah cukup untuk kesuksesan karir individu, dan banyak kajian mengindikasikan bahwa orang yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan atau mempertahankan pekerjaannya mungkin memiliki kemampuan teknis, tetapi yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi interpersonal. Pernyataan Nandeshwar ini didukung oleh Stephenmarks (2006) yang menegaskan bahwa kompetensi interpersonal merupakan dasar bagi suatu kesuksesan. Dua pendapat tersebut cukup beralasan sebab kompetensi interpersonal merupakan kemampuan individu dalam melakukan interaksi dengan individu lainnya. Menurut Spitzberg dan Cupach (dalam DeVito, 1996) menyatakan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan individu untuk melakukan komunikasi yang efektif, yang ditandai karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antarpribadi yang baik dan memuaskan. Selanjutnya jika telah terjadi hubungan antarpribadi yang baik dan memuaskan, maka individu yang memiliki kompetensi interpersonal ini akan mudah untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuannya. Hal ini dikuatkan pendapat Chickering (dalam Janosik, dkk., 2004) bahwa perkembangan kompetensi interpersonal sebagai sebuah syarat untuk membangun hubungan yang sukses, dan kompetensi interpersonal merupakan kompetensi penting bagi karir, dan keluarga.
3
Kesadaran kognitif akan pentingnya kompetensi interpersonal dalam diri individu ternyata tidak selamanya dapat tumbuh dan berkembang secara baik pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Setidaknya secara empirik kerap ditemukan ada individu yang mengalami konflik dengan sesamanya tidak berusaha menyelesaikan konflik dengan baik, namun justru memilih menyelesaikannya dengan pertengkaran. Kemampuan untuk mengatasi konflik dengan baik merupakan indikasi adanya kompetensi interpersonal, hal ini sebagaimana diungkap oleh McGaha & Fitzpatrick (2005) bahwa ciri adanya kompetensi interpersonal pada individu adalah kemampuan memulai kontak, dukungan emosional, keterbukaan, dan mengatasi konflik. Problem kompetensi interpersonal juga terjadi pada diri mahasiswa, hal tersebut sebagaimana dilaporkan oleh Partosuwido (1993) bahwa banyak persoalan pribadi dan kompetensi interpersonal di kalangan mahasiswa yang meliputi: kesulitan hubungan dengan sesama maupun lawan jenis, kurang mampu mengendalikan emosi, sering terlibat konflik dengan teman. Selain itu, Partosuwido (1993) juga melaporkan bahwa banyak mahasiswa mengeluhkan persoalan pribadi yang pada gilirannya dapat menyulitkan mereka dalam melakukan hubungan interpersonal seperti, rendah diri, sikap tertutup, kecemasan tinggi, tidak mampu mengendalikan diri, dan mudah dipengaruhi orang lain. Dalam proses interaksi di antara teman sebayanya, mahasiswa akan banyak mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Tekait dengan hal tersebut, Erwin & Hartup (dalam Durkin, 1995) meyakini bahwa kelompok teman sebaya memiliki banyak fungsi termasuk dalam proses pengembangan identitas sosial, saling membagi norma perilaku sosial, mempraktekkan kemampuan sosial (social skill), dan mempertahankan struktur sosial. Welsh dan
Bierman (2006) mengungkap bahwa dalam banyak situasi,
relasi teman sebaya sebagai “ladang latihan” (training grounds) bagi hubungan interpersonal, menyiapkan individu mempelajari tentang hubungan timbal balik dan
4
kedekatan (intimacy). Lebih lanjut menurut Welsh dan Bierman, bahwa semua kemampuan tersebut berhubungan dengan efektivitas hubungan interpersonal dalam kehidupan orang individu termasuk di dalamnya hubungan dengan teman kerja ataupun pasangan romantisnya. Secara lebih tegas Kuh & Terenzini et al., (dalam Foubert & Grainger, 2006)
menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya juga memiliki
kontribusi terhadap kompetensi interpesonal. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Kramer dan Gottman (1992) yang menyatakan bahwa individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah membina hubungan interpersonal. Begitu pentingnya kompetensi interpersonal ini untuk dimiliki oleh setiap individu, oleh karenanya ranah ini menarik untuk dikaji. Dari paparan di atas terungkap bahwa salah satu faktor yang menyebabkan berkembangnya kompetensi interpersonal seseorang adalah adanya interaksi antarteman sebaya. Berdasarkan hal ini, maka penelitian yang ingin mengungkap keterkaitan antara interaksi teman sebaya dengan kemampuan interpersonal penting untuk dilakukan. Diasumsikan bahwa semakin baik interaksi yang terjadi antara individu dengan teman sebayanya, dengan bukti diterimanya individu tersebut dalam kelompok teman sebayanya, maka akan semakin tinggi kompetensi interpersonal yang dimiliki individu yang bersangkutan.
II. Kajian Teori A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Dalam berinteraksi dengan orang lain, setiap individu akan melakukan komunikasi antarpribadi baik sendiri-sendiri ataupun dalam kelompoknya. Seberapa
5
besarnya suatu komunitas, namun yang pasti komunikasi yang terjadi di antara individu yang ada tetap merupakan komunikasi interpersonal. Hal ini sebagaimana dinyatakan Larasati (1992) bahwa sekitar 73 persen komunikasi yang dilakukan manusia merupakan komunikasi interpersonal. Demikian pula Bierman (2006) dan Suchy (2000) juga menyatakan hal yang lebih kurang sama, yaitu bahwa kompetensi interpersonal adalah salah satu faktor penting bagi keberhasilan individu dalam meniti kehidupannya. Handfield (2006) mengartikan kompetensi interpersonal sebagai kemampuan seseorang untuk bekerja dengan orang lain. Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam membina hubungan interpersonal. Adapun McGaha & Fitzpatrick (2005) mengartikan kompetensi interpersonal sebagai perilaku-perilaku yang sesuai dalam berhubungan seperti memulai kontak, dukungan emosional, keterbukaan, mengatasi konflik. Sementara itu, Porter, dkk (tt) mengartikan kompetensi interpersonal dengan kemampuan mengelola diri sendiri secara efektif dalam bekerja dengan orang lain dalam rangka menyelesaikan tugas/pekerjaan bersama. Kemampuan tersebut adalah sikap dan perilaku interpersonal yang biasanya dikenal sebagai kemampuan kerja sama tim.
Ahli lain, Spitzberg dan Cupach (dalam DeVito, 1996) memberi
pengertian kompetensi interpersonal sebagai kemampuan seorang individu untuk melakukan komunikasi yang efektif. Jerving ( 2001) mengartikan Kompetensi interpersonal sebagai sebuah kemampuan untuk membangun dan menjaga hubungan yang efektif. Dari beberapa pengertian kompetensi interpersonal yang dipaparkan di atas, dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk melakukan komunikasi secara efektif yang meliputi kemampuan untuk memulai suatu hubungan interpersonal, kemampuan
6
membuka diri, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang lain, kemampuan bersikap asertif, empati serta kemampuan mengelola dan mengatasi konflik dengan orang lain. Edit
2. Aspek Kompetensi Interpersonal Elsayed-Elkhouly (2001)
mengungkap beberapa faktor Kompetensi
interpersonal yaitu adanya komunikasi, perolehan kekuasaan dan pengaruh, memotivasi orang lain, pengelolaan konflik dan negosiasi. Sementara itu, Stephenmarks (2006) memerinci komponen kompetensi interpersonal yang terdiri dari : (1) Kesadaran diri, yaitu seberapa jauh individu mengenal dirinya sendiri; (2) Kemampuan mendengar, yaitu seberapa efektifnya seseorang menjadi seorang pendengar yang baik; (3) Empati dan pemahaman; (4) Kemampuan berkomunikasi. Chappelow & Leslie (2001) mengemukakan komponen kompetensi interpersonal yang terdiri dari: (a) Menjadi pendengar yang baik; (b) Cocok terhadap siapa saja; (c) Kolaboratif; (d) Berbagi tanggungjawab: (e) Tidak otoriter: (f) Berorientasi pada kelompok; (g) Mendukung ide-ide orang lain: (h) Jujur: (i) Berterus terang; (j) etis/beretika. Chickering
and
Reisser
(1993)
mengungkap
bahwa
Kompetensi
interpersonal mencakup: (a) kemampuan mendengar; (b) kerjasama; (c) komunikasi efektif –seperti kemampuan menyesuaikan agenda dirinya dengan tujuan kelompok; dan (d) kemampuan untuk memilih dari strategi yang bervariasi untuk menolong hubungan yang atau fungsi kelompok.
Buhrmester, dkk (1988) menyatakan
kompetensi interpersonal meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
7
a. kemampuan berinisiatif. Menurut Buhrmester (1988) inisiatif adalah usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain, atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar. Inisitif merupakan usaha pencarian pengalaman baru yang lebih banyak dan luas tentang dunia luar, juga tentang dirinya sendiri dengan tujuan untuk mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui agar dapat lebih memahaminya. b. kemampuan untuk bersikap terbuka (self-disclosure), kemampuan membuka diri merupakan kemampuan untuk membuka diri, menyampaikan informasi yang bersifat pribadi dan penghargaan terhadap orang lain. Kartono dan Gulo (1987) mengungkap bahwa pembukaan diri adalah suatu
proses yang dilakukan
seseorang hingga dirinya dikenal oleh orang lain. Sears, dkk, (1991) menyatakan bahwa kemampuan membuka diri diwujudkan dengan perilaku orang yang melakukan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. c. kemampuan bersifat asertif. Menurut Pearlman dan Cozby (1983) asertivitas adalah kemampuan dan kesediaan individu untuk mengungkapkan perasaanperasaan secara jelas dan dapat mempertahankan hak-haknya dengan tegas. Dalam konsteks komunikasi interpersonal seringkali seseorang harus mampu mengungkapkan ketidaksetujuannya atas berbagai macam hal atau peristiwa yang tidak sesuai dengan alam pikirannya. d. Kemampuan memberikan dukungan emosional. Kemampuan memberikan dukungan emosional sangat berguna untuk mengoptimalkan komuniksi interpersonal antar dua pribadi. Baker dan Lemie (dalam Buhrmester, dkk, 1988) dukungan emosional mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberi
8
rasa nyaman kepada orang lain ketika orang tersebut dalam keadaan tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini lahir dari adanya empati dalam diri seseorang. e. kemampuan dalam mengatasi konflik. Kemampuan mengatasi konflik meliputi sikap-sikap untuk menyusun strategi penyelesaian masalah, mempertimbangkan kembali penilaian atau suatu masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baru. Menyusun strategi penyelesaian masalah adalah bagaimana individu yang bersangkutan merumuskan cara untuk menyelesaikan konflik dengan sebaik-baiknya. Junior (1997) mengajukan komponen kompetensi interpersonal yang terdiri dari: (a) menghargai orang lain; (b) terbuka; (c) mempercayai motif orang lain; (d) menunjukkan kehangatan dalam berinteraksi. Secara singkat Junior mencirikan orang yang tidak memiliki kompetensi interpersonal sebagai seorang yang ”dingin”. Dari paparan di atas, komponen dari kompetensi interpersonal dapat berupa (a) kemampuan untuk memulai suatu hubungan interpersonal, (b) kemampuan membuka diri; (c) kemampuan untuk memberikan dukungan emosional kepada orang lain; (d) kemampuan bersikap asertif; (e) empati; serta (f) kemampuan mengelola dan mengatasi konflik dengan orang lain. B. Interaksi Teman Sebaya 1. Pengertian Interaksi Teman Sebaya Musser & Graziano (1991) menulis bahwa istilah teman sebaya (peer) merujuk pada kesamaan status. Ivor Morrish (dalam Ahmadi, 2004: 191) mengungkap teman sebaya dengan kalimat “a peer is an equal, and a peer is a group composes of individuals who are equals”. Dari pendapat Morrish setidaknya dapat dimaknai bahwa istilah teman sebaya (peer) memiliki makna sekelompok individu yang memiliki kesamaan. Tentunya kesamaan yang dimaksud oleh Morrish dapat
9
dimaknai secara berbeda. Hartup (dalam Musser & Graziano, 1991) menyatakan bahwa istilah tersebut mengacu pada kesamaan usia, yang berjarak kurang dari 12 bulan. Berbeda dengan pendapat di atas, Lewis and Rosenblum (dalam Musser & Graziano, 1991) mendefinisikan teman sebaya tidak merujuk pada terminologi usia, tetapi lebih kepada makna bahwa individu-individu yang pada saat tertentu berperilaku pada tingkat kompleksitas yang sebanding. Sementara itu Musser & Graziano (1991) menyatakan bahwa teman sebaya (peer) tidak sama dengan teman yang berusia sama (agemate), pemaknaan teman sebaya hendaklah diperluas sebagai interaksi yang terjadi bukan hanya dengan mereka yang berusia sama. Craig (1980) memahami kelompok teman sebaya bukan sekadar sekumpulan anak, yang dengan keanggotaan terbatas, namun juga mengharuskan adanya interaksi satu dengan yang lain. Ditambahkannya bahwa kelompok teman sebaya ini relatif stabil untuk waktu tertentu, dengan saling membagi dan mempengaruhi nilai, norma kebiasaan di antara mereka. Dalam kelompok tersebut mereka melakukan interaksi sosial, yaitu hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi inividu yang lain (Walgito, 1978). Merujuk pada pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa interaksi teman sebaya adalah interaksi yang terjadi di antara anak dengan teman-temannya yang tidak hanya berusia sama tetapi juga berbeda usia, tetapi masih dalam kegiatan yang sama. Pendapat ini didukung Musser & Graziano (1991) yang menyatakan bahwa banyak anak yang kerap berinteraksi dengan mereka yang tidak sama usianya. Allen (dalam Musser & Graziano, 1991) menyatakan bahwa kebanyakan anak memiliki peluang untuk berinteraksi dengan mereka yang tidak sama usianya. Hasil penelitian yang dilakukan
Barker and Wright (dalam Musser & Graziano, 1991) yang
12
10
menemukan bahwa hingga 65% dari subjek penelitiannya melakukan interaksi tidak dengan teman mereka yang berusia tidak sama. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan interaksi teman sebaya adalah sekumpulan anak
dengan keanggotaan terbatas, yang melakukan interaksi satu
dengan yang lain, saling membagi dan mempengaruhi nilai, norma kebiasaan di antara mereka yang ditandai dengan sikap sifat toleran, luwes,
energik, riang,
memiliki rasa humor, bertingkah sewajarnya, kepercayaan diri, mencari perhatian, egois, interaksi dengan kelompoknya 2. Model Interaksi Teman Sebaya Berdasar pada penelitian yang dilakukannya, Dunphy (dalam Atwater, 1992) membagi dua model interaksi teman sebaya yang disebutnya (1) kelompok kecil (clique); dan (2) kelompok besar (crowd). Mussen, dkk. (1984) menambah satu model interaksi yang disebutnya persahabatan individual. Model interaksi tersebut bukan hanya berbeda dari sisi ukuran, namun juga fungsi masing-masing. Kelompok kecil menurut Mussen, dkk (1984) merupakan fungsi instrumental yang penting sebagai pusat persiapan bagi aktivitas kumpulan yang lebih besar, penyebaran informasi dan untuk evaluasi atas aktivitas yang mereka lakukan. Dalam kelompok kecil ini, menurut Mussen, dkk. (1984) memungkinkan remaja untuk tetap bertahan dengan mode pakaian, penampilan diri, musik, bahasa, topik pembicaraan populer yang sama. Selain itu ditegaskan Mussen, dkk. bahwa kelompok ini juga sebagai latar uji bagi pengembangan nilai-nilai dan keyakinan pribadi serta keyakinan sosial remaja. Atwater (1992) menambahkan bahwa klik (clique) ini secara esensial terdiri dari hanya beberapa orang –kurang dari 10 orang- yang bertemu kebanyakan karena
11
adanya komunikasi personal dan keinginan untuk saling membagi. Lebih lanjut diungkap Atwater bahwa aktivitas kelompok ini terjadi secara spontan, dan para anggotanya memiliki perhatian terhadap satu sama lainnya berdasar pada kesamaan minat, kepribadian, sekolah, tetangga, atau agama. Adapun yang dimaksud dengan crowd (kelompok besar) merupakan pusat terbesar aktivitas sosial yang lebih terorganisir, yang menyediakan bagi interaksi antar jenis kelamin (Mussen, dkk, 1984). Dalam hal yang sama Dunphy (dalam Atwater, 1992) mengungkap bahwa kelompok besar dilihat dari jumlahnya lebih dari sepuluh orang yang melakukan kegiatannya pada akhir pekan. Dari hasil penelitian Dunphy ditemukan bahwa crowd secara esensial terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Selain itu hasil penelitian Dunphy juga menyebutkan bahwa sekitar 30% anak laki-laki, dan 20% anak perempuan dari subjek yang diteliti Dunphy ternyata tidak masuk menjadi salah satu kelompok di atas, dan mereka biasanya disebut sebagai orang luar atau penyendiri. Model ketiga yang disebut Mussen, dkk. (1984) adalah persahabatan individual. Menurut Mussen, teman sebaya yang dekat
(teman dekat) biasanya
menyumbang terhadap perkembangan remaja, sedangkan yang jauh tidak dapat melakukannya. Hal ini mungkin dikarenakan teman dekat dapat saling mengkritik secara bebas, dan masing-masing remaja juga dapat saling belajar memodifikasi perilaku, perasaan, ide-ide. Secara ringkas Mussen, dkk (1984) menyatakan bahwa pada suasana yang mendukung, persahabatan dapat membantu remaja untuk secara lebih baik menjelaskan identitasnya, meyakini dan bangga atas identitas yang dimilikinya.
12
Dalam tulisannya yang sama Mussen, dkk (1984) juga membagi posisi seorang dalam kelompoknya, yaitu (1) remaja yang diterima kelompok ; (2) remaja yang diabaikan, dan (3) remaja yang ditolak kelompok teman sebayanya. Remaja yang diterima kelompoknya memiliki sifat toleran, luwes, energik, riang, memiliki rasa humor, bertingkah sewajarnya, antusias, mendorong dan merencanakan aktivitas kelompok. Sementara itu remaja yang diabaikan memiliki karakterisitik yang berlawanan dengan remaja yang diterima. Beberapa karakteristik tersebut adalah, kurang percaya diri, cenderung bereaksi secara kasar, gugup, mengisolasi diri. Hampir sama dengan karakteristik remaja yang dilupakan, Mussen, dkk (1984) memberi karakteristik mereka yang ditolak oleh teman sebayanya seperti cenderung kurang percaya diri dan sebagai pengimbangnya dia berperilaku terlalu agresif, mengganggap dirinya penting, mencari-cari perhatian, berpusat selalu pada diri, tidak mau menerima kondisi orang lain, sarkastis, bersikap kasar, egois, dan sedikit memberi kontribusi terhadap upaya-upaya yang dilakukan kelompoknya, demikian juga mereka sedikit menerima dari kelompoknya. Dalam memberi karakteristik tentang remaja yang diabaikan dan yang ditolak Mussen, dkk tampaknya hampir sama. Hanya saja Mussen, dkk menegaskan bahwa remaja yang diabaikan sebenarnya merupakan lawan remaja yang populer. Dengan kalimat lain, remaja yang diabaikan adalah kelompok remaja yang tidak populer. Tentu saja model interaksi remaja diterima ataupun ditolak sebagaimana dua sisi mata uang. Artinya jika seorang
remaja diterima dalam komunitas teman
sebayanya, maka sifat-sifat ataupun karakteristik remaja diterima (point 1 di atas) akan cenderung lebih tinggi (dominan) dibanding sifat-sifat remaja ditolak (point 2).
13
Sebaliknya jika remaja ditolak, maka hal itu karena sifat-sifat remaja ditolaknya cenderung dominan, dibanding dengan karakteristik remaja diterima.
C. Hubungan Antara Interaksi Teman Sebaya dengan Kompetensi Interpersonal Pada awalnya lingkungan keluarga merupakan lingkungan awal tempat anak berusaha untuk melakukan aktivitas dalam rangka memenuhi harapan sosial. Dalam aktivitas tersebut terjadi interaksi antara anak dengan orangtua, anak dengan saudara sekandungnya, dan untuk lingkungan keluarga yang besar (extended family) dapat juga terjadi interaksi anak dengan anggota keluarga lainnya yang bukan saudara sekandung. Brooks (dalam Hamner & Turner, 1996) memahami proses interaksi yang berkelanjutan antara orang tua dan anak ini sebagai sebuah proses pengasuhan. Dalam proses tersebut menurut Brooks, orang tua akan melakukan proses pemeliharaan, perlindungan dan mengarahkan anak pada perkembangannya. Proses pengasuhan memiliki kontribusi yang besar terhadap perkembangan individu menuju tahap-tahap perkembangan psikologisnya. Dipahami bahwa jika pada awal perkembangan individu orang tua memiliki peran yang dominan, sehingga bagaimana sikap ataupun pemikiran orang tua akan sedikit banyak mempengaruhi cara berpikir, ataupun berprilaku anak. Hanya saja ketika anak mulai bertambah usia peran dominan itu mulai berkurang, dan bahkan bergeser pada kelompok teman sebayanya. Pergeseran peran ini sebagaimana diungkap Oden (1987) yang menegaskan bahwa meski pada awalnya orang tua merupakan sumber utama bagi dukungan sosial dan emosional anak untuk masa-masa awal kehidupan anak, namun pada tahun-tahun berikutnya, teman sebaya memiliki peran pengganti yang signifikan.
14
Terkait dengan pergeseran peran ini, Fuligni, dkk., (2001) menengarai bahwa pengaruh teman sebaya meningkat terhadap anak saat mereka memasuki masa transisi remaja. Kecenderungan peningkatan ini menurut Fuligni, dkk. terjadi selama tahuntahun awal remaja dan akan menurun secara bertahap saat anak-anak mulai melakukan penawaran hubungan mereka dengan orangtua dan mulai mengembangkan otonomi. Lebih jauh diungkap Fuligni, dkk (2001) bahwa anak secara meningkat menghabiskan waktu luangnya dengan teman sebaya melebihi dari yang dilakukannya dengan orangtua atau anggota keluarga lainnya. Jika merujuk pada ungkapan Kochanska (1992), bahwa salah satu sebab pergeseran peran ini karena posisi kesederajatan anak dengan teman sebayanya. Adanya hubungan kesederajatan inilah yang menjadikan anak akan merasa nyaman, sebab dia bukan hanya menerima secara pasif tetapi juga dapat memberi dengan aktif. Dalam relasi aktif tersebut seorang anak bukan hanya memperoleh “sesuatu”, namun yang bersangkutan juga dapat memberikan sesuatu. Mereka saling membagi norma dan tujuan-tujuan,
saling mengembangkan status dan peran, serta memiliki
kewenangan untuk mengatur interaksi. Bahkan adanya teman sebaya menjadikan anak memodifikasi cara berpikir, perasaan, dan aspirasi sebagaimana mereka pelajari, dan untuk selanjutnya mereka terima atau mereka sebarkan pada sesamanya. Secara lebih sederhana dalam interaksi dengan teman sebayanya, seorang anak akan saling mempengaruhi antar sesamanya. Hal ini sebagaimana ditegaskan Mussen, dkk (1984) yang menyatakan interaksi dengan teman sebaya
bahwa
akan menyediakan peluang untuk belajar cara
berinteraksi dengan teman seusianya, untuk mengontrol perilaku sosial, untuk mengembangkan ketrampilan dan minat yang sesuai dengan usia dan untuk saling membagi persoalan atau perasaan yang sama. Piaget (dalam Oden, 1987) menegaskan
15
bahwa interaksi antar teman sebaya merupakan sumber utama bagi perkembangan kognitif dan sosial anak, terutama bagi perkembangan pengambilan peran dan empati. Dengan teman sebayanya anak akan lebih dapat menembangkan fantasi yang dimilikinya, mencoba pelbagai peran di antara mereka, mempelajari dan menerima cara pandang orang lain, mengembangkan kompetensi sosial, memahami pelbagai aturan sosial, budaya dan norma yang ada pada lingkungannya. Lebih dari itu, hubungan di antara teman sebaya bukanlah hubungan satu arah semata, namun lebih merupakan hubungan interaksi dua arah yang saling memberi dan menerima, hal inilah yang menyebabkan anak dapat secara lebih baik mengembangkan nilai-nilai yang dimiliki serta kompetensi interpersonal. interpersonal,
Terkait dengan kompetensi
Kuh & Terenzini et al., (dalam Foubert & Grainger, 2006)
menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya memiliki kontribusi terhadap kompetensi interpesonal. Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa dalam mengadakan interaksi antar sesamanya, seorang anak akan banyak mengembangkan kemampuankemampuan yang dimiliki. Kemampuan-kemampuan tersebut akan digunakannya dalam proses berinteraksi dengan orang lain, baik dalam komunitas sebayanya, atau dengan individu lain di luar komunitasnya. Salah satu kemampuan yang dikembangkan anak dalam interaksi dengan teman sebayanya adalah kompetensi interpersonal, yaitu sebuah kompetensi yang dipandang memiliki peran penting dalam efektivitas kepemimpinan, efektivitas kehidupan individu dan kehidupan pekerjaan seseorang. Secara ringkas dapat diungkap bahwa kompetensi interpersonal dapat menjadi penentu keberhasilan seseorang dalam berinteraksi dengan individu lainnya. Jika interaksi dan komunikasi antar individu dapat berjalan dengan baik, maka diharapkan indiviu yang bersangkutan akan sukses dalam kehidupannya.
16
III. METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia untuk tahun akademik 2007/2008 tercatat sebanyak 1.256 orang mahasiswa. Dari jumlah tersebut 50 orang telah diambil sebagai subjek dalam kegiatan ujicoba skala, sehingga tersisa 1.206 orang. Mengingat banyak keterbatasan yang peneliti miliki, dan jumlah populasi yang banyak, maka subjek penelitian akan diambil secara sampel. Adapun teknik yang akan digunakan adalah stratified proportional random sampling. Teknik stratified digunakan karena mahasiswa terbagi dalam beberapa angkatan tahun, yang pengambilannya dilakukan secara proporsi dan kemudian dilakukan secara random, sedangkan jumlah proporsi yang ditentukan adalah sebanyak 25 % dari populasi. B. Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dalam bentuk skala. Ada dua jenis skala yang digunakan dalam proses pengumpulan data yaitu (a) skala interaksi teman sebaya, (b) skala kompetensi interpersonal. Data tentang interaksi teman sebaya dikumpulkan dengan menggunakan skala interaksi teman sebaya.
Jumlah butir pernyataan skala
interaksi teman sebaya ini sebanyak 84 butir pernyataan. Adapun untuk data tentang kompetensi interpersonal dikumpulkan dengan menggunakan skala kompetensi interpersonal.
Jumlah butir pernyataan skala
17
kompetensi interpersonal ini sebanyak 30 butir pernyataan. Model skala yang dikembangkan untuk kedua skala mengadopsi dari model yang dikembangkan Likert dengan lima alternatif jawaban yaitu Sangat Sesuai, Sesuai, Ragu-ragu (subjek tidak ingat situasinya), Tidak Sesuai dan Sangat Tidak Sesuai.
C. Metode Analisis Data Untuk menganalisis data dalam penelitian ini akan digunakan tehnik statistik inferensial dengan menggunakan korelasi product moment dari Pearson yang dimaksudkan untuk mencari korelasi antara interaksi teman sebaya dengan Kompetensi interpersonal. (Popham & Popham, J.W. and Sirotnik, K.A. 1971).
D. Hasil Uji Coba Instrumen Untuk uji coba instrumen ini dilakukan pada 50 orang responden. Penentuan jumlah subjek tersebut berdasar pada pendapat yang dikemukakan Ancok (1995) yang menyatakan bahwa jumlah subjek yang diperlukan untuk ujicoba instrumen minimal 30 orang yang sebaiknya memiliki ciri-ciri yang relatif sama dengan ciri-ciri subjek pada siapa alat pengukur akan diterapkan. Untuk selanjutnya 50 orang ini tidak lagi diikutsertakan dalam pengambilan data untuk penelitian yang sebenarnya. Untuk kebutuhan analisis ini digunakan program SPSS (Statistical Package for Social Solution) versi 11,0 for Windows. Dalam program SPSS harga validitas butir pernyataan muncul secara bersamaan dengan harga reliabilitasnya. Untuk harga validitas butir diketahui dengan melihat harga corrected item-total correlation-nya, yang menunjukkan indeks validitas butir. Untuk analisis butir ini dilakukan dengan 2 putaran. Dari hasil analisis pertama (putaran pertama) dapat diketahui harga-harga butir pernyataan yang valid dan yang
18
gugur, untuk butir yang gugur tidak lagi disertakan dalam analisis berikutnya (putaran ke dua). Pada saat dilakukan analisis putaran kedua, sekaligus juga dicari reliabilitas instrumen dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach. Berikut ini dipaparkan hasil ujicoba masing-masing skala berserta harga koefisien korelasi serta koefisien alphanya.
Tabel 1. Distribusi Butir-butir Valid Skala Interaksi antar Teman Sebaya Aspek
Toleran Luwes Riang Humoris
Bertingkah wajar Energik Kepercayaan diri Isolasi diri Agresif Mencari perhatian Egois Penerimaan pada kondisi orang lain kontribusi pada kelompok menerima dari kelompoknya.
Nomor butir Awal (84 Butir) 1,4, 6, 8,12, 14 2,3, 7,9, 11, 16 5,10, 13,15, 17,26 19, 22,24,27,32, 33 18,21,25,28, 30,38 20,23,31, 34,36,39 29,35,37, 40,51,62 43,47, 53,57, 68,72 41,44, 50, 54,74,76 45, 59,63,65,77, 80 42,58, 60,61,64,66 46,52,67,70, 71, 81
No. butir gugur (13 butir) 1, 14
Perubahan No. item
-
1,2,6,8,10,
-
5,9,12,13,15 , 24 17, 19, 21, 24
48, 49,56,73,75, 78 55, 69, 79, 82,83, 84
-
41, 42, 48, 62, 63, 66
82
47, 58, 67, 70, 71
32, 33
28 20 68 74 -
60, 64 46, 52
3,5,37,11
16, 18, 22, 26, 32 20, 27, 28, 30, 33 25, 29, 31, 34, 44, 53 37, 40, 45, 49, 61 35, 38, 43, 46, 64 39, 51, 54, 55, 65, 68 36, 50, 52, 56 57, 59, 60, 69
indeks koefisien korelasi 0,3410-0,5655
koefisien alpha 0,9546 (reliabel)
19
Tabel 2. Distribusi Butir-butir Valid Skala Interaksi antar Teman Sebaya Aspek
Memulai hubungan Membuka diri Dukungan emosional Asertif Atasi konflik
Nomor butir Awal (30 Butir) 1, 4, 8, 11,15,18 3,7,10, 13,14,21 2,6,9, 16,27,30 5,12,19, 22,26,29 17,20, 23,24,25,28
No. butir gugur (4 butir) -
Perubahan No. item
Indeks koefisien Koefisien alpha korelasi 0,3139 - 0,6410
6, 30
1,4,7,10,14, 17 3,6,9,12,13, 20 2,8,15,26
26, 29
5,11,18,21
-
16,19,22,23, 24
-
0,8903 (Reliabel)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Asumsi Pengujian normalitas sebaran data dalam penelitian ini menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov Goodness-of-fit test (K-SZ) dengan menggunakan program SPSS. Sebaran dinyatakan normal jika hasil perhitungan menunjukkan p > 0,05, dan sebaliknya tidak normal jika p < 0,05 (Hadi, 1993; Sudjana, 2000). Adapun variabel yang diuji normalitas sebaran datanya mencakup seluruh variabel observasi yang ada. Hasil selengkapnya dari pengujian tersebut dapat dilihat pada tabel rangkuman hasil uji analisis normalitas sebagaimana pada tabel berikut ini. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa seluruh data dari masing-masing variabel observasi yang dianalisis memiliki sebaran normal, sehingga syarat normalitas sebaran data dapat terpenuhi. Tabel 3. Ringkasan Hasil Uji Normalitas Sebaran Data Variabel
K-SZ
Sig
Keterangan
Interaksi teman sebaya
0,903
0,389
Normal
Kompetensi interpersonal
0,960
0,316
Normal
20
Seperti juga uji normalitas sebaran data, dalam uji linieritas hubungan antar variabel menurut Jőreskog & Sőrbom (1996) dengan melihat secara visual pada bentuk quantile plot dan Q-plot, atau melihat scatterplots (Ferdinand, 2000) juga dengan menggunakan perhitungan statistik. Untuk uji linieritas hubungan dalam penelitian ini akan menggunakan program SPSS dilakukan dengan formula compare mean dengan kriteria penerimaan linieritas jika nilai F deviation from linieritynya memiliki tingkat signifikansi di atas 0,05. Adapun untuk uji linieritas ini dilakukan pada variabel independen dan variabel dependen yaitu variabel interaksi antar teman sebaya dengan kompetensi interpersonal. Dari hasil uji linieritas dengan menggunakan formula compare mean diperoleh harga F deviation from linierity sebesar 0,943 dengan taraf signifikani sebesar 0,612. Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa kedua variabel memiliki garis hubungan yang linier. Hasil uji prasyarat ini merekomendasikan peneliti untuk dapat menggunakan teknik statistik parametrik.
2. Uji Hipotesis dan Pembahasan Hasil uji asumsi menunjukkan bahwa data yang terkumpul telah memenuhi syarat normalitas dan linieritas serta proses pengumpulannya dilakukan secar random, sehingga data yang terkumpul dapat dilakukan analisis berikutnya menggunakan teknik statistik parametrik. Hipotesis yang akan diujikan dihitung dengan menggunakan teknik statistik product moment dari Pearson. Hasil perhitungan korelasi product moment
diketahui harga korelasi antara
interaksi antar teman sebaya dengan kompetensi interpersonal sebesar 0,457 (p = 0,000). Hasil tersebut merekomendasikan peneliti untuk menerima hipotesis alternatif yang menyatakan ada hubungan yang sangat signifikan antara interaksi teman sebaya dengan
21
kompetensi interpersonal. Dengan begitu dapat dinyatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat interaksi individu dengan teman sebaya akan secara signifikan mempengaruhi kompetensi interpersonal individu yang bersangkutan. Semakin baik interaksi yang terjadi antara individu dengan teman sebayanya, dengan bukti diterimanya individu tersebut dalam kelompok teman sebayanya, akan semakin tinggi kompetensi interpersonal yang dimiliki individu yang bersangkutan. Hasil penelitian ini secara langsung mendukung pendapat yang diajukan oleh Hartup (dalam Garbarino dan Benn, 1992) yang mengungkap bahwa hubungan teman sebaya berpengaruh penting dalam perkembangan kehidupan individu. Meskipun pendapat yang diajukan Hartup tersebut tidak secara ekplisist menyebut tentang kompetensi interpersonal, namun setidaknya dapat dimaknai bahwa hubungan antar teman sebaya akan berpengaruh dalam kehidupan individu. Perkembangan yang terjadi pada individu dapat dimaknai salah satunya terkait dengan kompetensi interpersonal yang dimiliki individu yang bersangkutan. Selain itu juga penelitian ini secara tidak langsung mendukung pendapat yang diajukan Mussen, dkk (1984) yang menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya akan menyediakan peluang untuk belajar cara berinteraksi dengan teman seusianya, untuk mengontrol perilaku sosial, untuk mengembangkan ketrampilan dan minat yang sesuai dengan usia dan untuk saling membagi persoalan atau perasaan yang sama. Dari pendapat Mussen, dkk., ini dapat dipahami bahwa interaksi yang terjadi antar teman sebaya memberi peluang bagi individu untuk mengembangkan berbagai ketrampilan dan potensi yang dimiliki –termasuk di dalamnya komptensi interpersonal individu-. Secara tegas hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat dari Kuh & Terenzini et al., (dalam Foubert & Grainger, 2006) yang menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya memiliki kontribusi terhadap kompetensi interpesonal. Merujuk pada hasil
22
penelitian ini secara kuantitatif besar kontribusi yang diberikan variabel interaksi antar teman sebaya adalah sebesar 21 % (r2xy ). Jika dilihat dari besar kontribusi yang diajukan tentunya disadari ada faktor-faktor lain yang juga memiliki peran dalam pembentukan kompetensi interpersonal.
Secara umum faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pembentukan kompetensi interpersonal dapat berupa (1) faktor internal seperti jenis kelamin, tipe kepribadian, kematangan individu; (2) faktor eksternal misalnya adanya perlakuan khusus seperti pelatihan asertivitas, pemecahan problem, pelatihan inisiatif (Iriani, 1994). Jika merujuk pada hasil penelitian ini, setidaknya masih terdapat 79% kontribusi faktor lain selain interaksi antar teman sebaya yang membentuk kompetensi interpersonal individu. Tentunya ini menjadi rekomendasi bagi peneliti berikutnya jika hendak melakukan
penelitian
dengan
tema
kompetensi
interpersonal
untuk
mencoba
mengkaitkan beberapa faktor yang telah diungkap di atas. Di luar faktor-faktor yang telah diungkap di muka, bagi peneliti persoalan budaya juga dapat dikaitkan dengan tema interpersonal. Hal ini didasarkan pada asumsi tidak semua budaya di Indonesia dapat menerima beberapa karakteristik kompetensi interpersonal, misal keterbukaan, atau asertif. Pada budaya tertentu sulit bagi individu untuk secara terbuka mengungkapkan apa yang dipikirkan ataupun sedang dirasakannya. Begitu juga terkait dengan sikap asertif, misalnya pada masyarakat Jawa –terutama di daerah pedesaan- sulit untuk bersikap asertif. Dengan begitu mengkaitkan tema kompetensi interpersonal dengan budaya masyarakat menjadi salah satu tema menarik untuk diteliti.
V. PENUTUP A. Kesimpulan
23
Dari hasil analisis data dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara interaksi teman sebaya dengan kompetensi interpersonal. Dengan begitu dapat dinyatakan semakin baik interaksi yang terjadi antara individu dengan teman sebayanya, akan semakin tinggi kompetensi interpersonal yang dimiliki individu yang bersangkutan.
B. Saran Merujuk pada hasil penelitian dan kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang dapat diajukan: 1. Hasil penelitian ini secara tegas menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara interaksi teman sebaya dengan kompetensi interpersonal, maka disarankan kepada para orangtua, pendidik untuk dapat mendorong terjadinya interaksi yang sehat di antara anak dengan teman-teman mereka. Interaksi yang sehat akan menjadikan banyak peluang bagi anak untuk dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak. 2. Mengingat sisi penting kompetensi interpersonal bagi kesuksesan individu, maka sudah selayaknya para pendidik untuk mendorong berkembangnya kompetensi tersebut pada diri anak didik mereka dengan menyediakan sarana pengembangan diri misalnya melakukan diskusi di kelas, mendemontrasikan hasil karya, membiasakan untuk bersikap asertif, demokrasi. 3. Mengingat hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak faktor lain yang dimungkinkan memiliki peran terhadap terbentuknya kompetensi interpersonal individu, maka kepada peneliti berikut disarankan untuk memilih faktor-faktor lain yang diduga memiliki kontribusi bagi terbentuknya kompetensi interpersonal
24
individu. Beberapa faktor tersebut misalnya, jenis kelamin, tipe kepribadian, kematangan individu, budaya, perlakuan khusus seperti model-model pelatihan .
25
DAFTAR PUSTAKA Ancok, D. (1995). Teknik Penyusunan Skala Pengukur. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM Atwater, E. (1992). Adolescence. Englewood Cliffs, New Jersey: A. Simon & Schuster Company. Baumrind, D. (1967). Child Care Practies Anteceding Three Pattern of Free School Behavior. Genetice Psychology Monograph. Buhrmester, D., Furman, W., Wittenberg, M.T., & Reis, D. (1998). Five Domain of Interpersonal Competence in Peer Relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 55 (6), 991-1008. Chappelow, C. and Leslie, J. B. 2001. Throwing the Right Switches: How to Keep Your Executive Career on Track. Leadership in Action. V o l u m e 2 0 , Number 6 • 2 0 0 1. pp. 6-9 Chickering, Arthur, & Reisser, Linda. Education and Identity. Josey-Bass: San francisco, CA 1993. Craig, G. J. (1980). Human Development. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hll, Inc. DeVito, J.A. (1996). The Interpesonal Communications Book. 7 thEdition. New York: Harper Collins College Publishers. Durkin, K. 1995. Developmental Social Psychology: From infancy to old age. Cambridge, Massachussetts: Blackwell Publishers, Ltd. Elsayed-Elkhouly, Sayed M (2001). Core Competency as a Competitive Advantage in Service Operations Management: A Comparative Study. Source: Global Competitiveness American Society for Competitiveness. Http//www.accessmyalibarary.com/com2/browse_JJ_G07 Ferdinand, A. (2000). Structural Equation Modeling Dalam Penelitian Manajemen. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Foubert, J.D. Grainger, L. U. .2006. Effects of Involvement in Clubs and Organizations on the Psychosocial Development of First-Year and Senior College Students. NASPA Journal, 2006, Vol. 43, no. 1. Pp. 166-182 Fuligni, A.J., Eccles, J.S., Barber, B.L., and Clements, P. (2001). Early Adolescence Peer Orientation and Adjustment during High Schools. Developmental Psychology. 37(1) 28-36. Garbarino, J. & Benn, J.L., (1992). The Ecology of Childbearing and Child Rearing, In Garbarino, J. (Eds.). Children and Families in the Social Environment, 2nd Editon. Pp. 133-178. New York: Aldine de Gruyter. Garnier, H.E., & Stein, J. A., (2002). An 18-year Model of Family and Peer Effects on Adolescent Drug Use and Delinquency. Journal of Youth and Adolescence. 31(1):45-56. Retrieved May, 22, 2002. From the World Wide Web: http://proquest.umi.com/pqdweb?Did=000000110369427&Fmt=4&Deli=1&Mtd =1&Idx=22&Sid=1&RQT=309&L =1
26
Gottman, J. & Declaire, J. (1977). Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional. Penterjemah Widodo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hadi, S. (1991). Analisis Butir Instrumen. Yogyakarta: Andi Offset. Hamner, T.J., & Turner, P.H., (1996). Parenting in Contemporary Society. Third Edition. Boston: Allyn & Bacon. Handfield, R. (2006). Faith in the Moral Integrity http://www.careersuperstar.com/interpersonal_competence/
of
Others.
Harris. L.L. (2003) Integrating and Analyzing Psychosocial and Stage Theories to Challenge the Development of the Injured Collegiate Athlete Journal of Athelic Trainning. 2003 Jan–Mar; 38(1): 75–82: The Ohio State University, Columbus, OH: the National Athletic Trainers' Association, Inc Hartup, W. W. (1992). Having Friends, Making Friends, and Keeping Friends. ERIC Digest. Urbana IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed345854.html. Hayes,
J. (2006). Interpersonal Skills at Work. Retrived from: http://www.workpsychologyarena.com/books/book.asp?isbn=0415227755. 10 Oktober 2006.
Hetherington, E. M., & Parke, R. D. (1986). Child Psychology: Contemporary View Point. 3rdEditon. New York: McGraw-Hill Publishing Company. http://www.business.auckland.ac.nz/Excelerator/18624.html. development. 20 Oktober 2006.
Leader
and
leadership
http://www.linc-on.com/asset.cfm?id=55. Interpersonal Competence. 20 Oktober 2006. Hudson, S.M. & Ward, T. (2002). Interpersonal Competency in Sex Offenders. Behavior Modification. Vol. 24. no. 4 Sep. 2000. Pp. 494-527. Sage Publications. Hurlock, E. B. (1979). Personality Development. New Delhi: McGraw-Hill. Janosik, S. M., Creamer, D. G., Kowalski, G.J. (2004). Intelectual and Interpersonal Competence Between Sibling: The College Years Kyle Felps Draucker. Thesis. Virginia: Departemend of Educational Leadership and Policy Studies. Virginia Polytechnic Institute and State University Jerving, J. 2001. Managing Through Motivation. e-book: a summary of M35. Managing . Condensed from Management Enrichment Training Program (MERIT) module M35 Managing Through Motivation, published by CUNA’s Center for Professional. www.cuna.org. Junior, B.H. 1997. Strategic Leadership Development: An Operation Domain Application. A Research Paper Presented To The Research Department Air Command and Staff College. In Partial Fulfillment of the Graduation Requirements of ACSC. AU/ACSC/97-0607M/97-. March 1997 Kagitcibasi, C. (1996). Family and Human Development across Cultures: A View from the Other Side. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher. Kartono, K. & Gulo, D. (1987). Kamus Psikologi. Bandung: Pionei Jaya.
27
Kochanska, G. (1992). Children’s Interpersonal Influence with Mother and Peers. Developmental Psychology. 28(3) 491-499. KOMPETENSI INTERPERSONAL Oktober 2006.
http://raffly.multiply.com/journal/item/21.
20
Kramer, L. & Gottman, J.M. (1992). Becoming a Sbiling: With a Little Help From Friends. Journal of Developmental Psychologi, 28, 685-699. Larasati, B. (1992). Komunikasi Efektif. Makalah disampaikan dalam Pelatihan Public Relation yang dilaksanakan Lembaga Pendidikan Abisheka Yogyakarta. McGaha, V. & Fitzpatrick, J. 2005. Personal and social contributors to dropout risk for undergraduate students. College Student Journal, June, 2005. http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m0FCR/is_2_39/ai_n14703156/pg_7 Suchy, S. (2000). Personal Change And Leadership Development: A Process Of Learning How To Learn. Paper presented to ICTOP Annual Victoria, Canada. Retrieved From: http://www.city.ac.uk/ictop/suchy-2000.html. 15 Oktober 2006. Miller, J.B. & deWinstanley, P.A. (2002). The Role of Interpersonal Competence in Memory for Conversation. Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 28. No. 1. Jan, 2002. Pp. 78-89. Mouly, G.J., (1968). Psychology Effective Teaching. New York: Hall Rinehart and Winston. Mussen, P.H., Conger, J.J., & Kagan, J.(1984). Child Development and Personality. New York: Harper & Row Publishers, Inc. Musser, L. M. & Graziano, W.G. 1991. Behavioral Confirmation in Children's Interactions With Peers. BASIC AND APPLIED SOCIAL PSYCHOLOGY, 1991, 12(4), 441-456. Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Nandeshwar, R.L. (2006). Interpersonal skills is a vital element for a successful career, Retrieved from http://www.deccanherald.com/deccanherald/oct22/av1.asp. 15 Oktober 2006 Oden, S. (1987). The Development of Social Competence in Children. ERIC Identifier: ED281610. Publication Date: 1987-00-00. Source: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education Urbana IL. Retrieved from: http://www.ericdigests.org/pre-925/social.htm . 20 Oktober 2006. Pearlman, D. & Cosby, P. C. (1983). Social Psychology. New York: Holt, Rinehart & Winston. Pikunas, J. (1976). Human Development: An Emergent Science. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha. Porter, J., Camerlengo, R., DePuye, M., and Sommer, M. (tt). Campus Life And The Development Of Postsecondary Deaf And Hard Of Hearing Students: Principles And Practices. National Technical Institute for the Deaf (Rochester, New York), Carnegie-Mellon University (Pittsburgh, Pennsylvania), Northern Illinois University (DeKalb, Illinois), and Essex Community College, (Baltimore, Maryland). Northern Illinois University (DeKalb, Illinois), and Essex Community College, (Baltimore, Maryland)..
28
Popham, J.W. and Sirotnik, K.A. (1971). Education Statistik : Use and Interpretation. New York: Harper & Row Publisher. Purwati. (1992). Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua dengan Penyesuaian Diri Remaja di Kotamadya Magelang. Tesis Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Schuster, C. S., Ashburn, S. S., (1980). The Process of Human Development: A Holistic Approach. Boston: Little, Brown and Company Sears, D. O. , Freedman, J.L., & Peplau, L. A. (1991). Psikologi Sosial. Terjemahan M. Adryanto & S. Sokresno. Jakarta: Airlangga. Steinberg, L. (1993). Adolescence. New York: McGraw-Hill, Inc. Stephenmarks. (2006). Interpersonal http://www.stephenmarks.com/interpersonal-competence.htm
Competence.
Stewart, A. C., Perlmutter, M., & Friedman, S. (1988). Lifelong Human Development. New York: John Wiley & Sons. STUDENTS: PRINCIPLES AND PRACTICES. National Technical Institute for the Deaf (Rochester, New York), Carnegie-Mellon University (Pittsburgh, Pennsylvania), Welsh, J.A., and Bierman, K., L. (2006) Social Competence. Retrieved From : http://www.findarticles.com/p/articles/mi_g2602/is_0004/ai_2602000487/pg_11). The Pennsylvania State University . 20 Oktober 2006. Whitt, E.J., Nora, A., Edison, M., Terenzini, P.T., Pascarella, E. T. (1999). Interactions with peers and objective and self-reported cognitive outcomes across 3 years of college. Journal of College Student Development, Jan/Feb 1999. http://www.findarticles.com/p/articles/mi_qa3752/is_199901/ai_n8830575/pg_8
Biodata Singkat Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd, lahir di Purworejo, 23 Agustus 1965, Menyelesaikan S1 Manajemen Pendidikan (IKIP Yogyakarta, 1991) & Psikologi (Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, 2007), S2 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (IKIP Yogyakarta, 1998, dan S3 Psikologi (Konsentrasi Psikologi Pendidikan, UGM 2004). Saat ini sebagai dosen Prodi Pendidikan Agama Islam FIAI UII. Selain itu juga saat ini menjadi anggota Tim Adhoc Pengembangan Instrumen Buku Pendidikan Agama di Badan Standar Nasional Pendidikan. Beberapa pengalaman kerja dengan BSNP antara lain sebagai Tim AdHoc Pengembangan Panduan Penilaian Pendidikan Kesetaraan (Maret-Oktober 2008), Tim Ahli Panduan Penilaian Pendidikan Kesetaraan dan Panduan Pengendalian Mutu Soal Ujian Nasional, anggota Tim AdHoc Standar Penilaian Pendidikan, Anggota Tim AdHoc Standar Pemantauan, Local Consultand, dan Staff sekretaria Penyelenggara Ujian Nasional tahun 2006/2007