HUBUNGAN ANTARA TEACHER EFFICACY DAN KEPUASAN KERJA PADA GURU SEKOLAH DASAR NEGERI INKLUSI Penulis : Sony Setyanto Wibowo dan Gagan Hartana Tupah Brahma Program Studi Sarjana Ekstensi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kepuasan kerja dan teacher efficacy pada guru SD Negeri inklusi. Partisipan penelitian ini adalah guru SD Negeri inklusi yang berada di wilayah JABODETABEK sebanyak 77 orang. Kepuasan kerja diukur dengan menggunakan alat ukur yang dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan instrumen JSS (Job Satisfaction Survey) yang dikembangkan oleh Paul E. Spector (1985) yang terdiri atas sembilan aspek kepuasan kerja seperti gaji, kenaikan pangkat, atasan, imbalan, penghargaan, kondisi operasi kerja, Rekan kerja, pekerjaan itu sendiri dan komunikasi. Teacher efficacy diukur dengan menggunakan alat ukur yang dimodifikasi oleh Winafaisal (2010) berdasarkan instrumen OSTES (Ohio State Teacher Efficacy Sense) yang dikembangkan oleh TschannenMoran & Woolfolk Hoy (2001) dengan tiga dimensi yakni Efficacy in Student Engagement, Efficacy in Instructional Strategies dan Efficacy in Classroom. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan teacher efficacy mengunakan teknik korelasi pearson (r = 0.249). Aspek nature of work pada kepuasan kerja juga memiliki korelasi positif dengan teacher efficacy (korelasi parsial = 0,336). Kesimpulan yang dapat ditarik sehubungan dengan penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara teacher efficacy dan kepuasan kerja pada guru sekolah dasar inklusi. Aspek kepuasan kerja yang signifikan mempengaruhi teacher efficacy adalah kepuasan kerja nature of work dan mempunyai nilai korelasi yang positif, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin besar kepuasan kerja nature of work pada guru maka semakin tinggi keyakinan diri guru tersebut begitu pula sebaliknya. Implikasi dari penelitian ini penting bagi pengembangan dunia pendidikan inklusi di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan teacher efficacy dan kepuasan kerja bagi guru sekolah dasar negeri inklusi.
Kata kunci: Teacher efficacy, kepuasan kerja, guru, sekolah inklusi
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
ABSTRACT The purpose of this study is to find out whether there is any between teacher efficacy and job satisfaction among public inclusive elementary school teachers. Participants of this study are inclusive public elementary school teacher
located around
satisfaction was measured by instrument modified by
JABODETABEK. Job
researcher based on JSS (Job
Satisfaction Survey) which originally developed by Paul E. Spector (1985) with nine aspect of job satisfaction (Pay, Promotion, Supervision, Fringe Benefit, Contingen reward, Operating condition, Co-worker, Nature of work and Communication). Teacher efficacy was measured by instrument
modified by Winafaisal (2010) based on OSTES (Ohio State
Teacher Efficacy Sense) originally developed by Tschannen-Moran & Woolfolk Hoy (2001) with three dimention (Efficacy in Student Engagement, Efficacy in Instructional Strategies and Efficacy in Classroom Management). This current study shows that there is a significant correlation between job satisfaction and teacher efficacy using Pearson Correlation (r=0,249). The nature of work aspect in job satisfaction also has positive correlation with instructional engagement aspect in teacher efficacy (partial correlation= 0,336). This study has important implications for the development of inclusive education in Indonesia, particularly those related to teacher efficacy and job satisfaction for public inclusive elementary school teachers.
Key words: Teacher efficacy, job satisfaction, teacher, inclusive school
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
Pendahuluan Deklarasi Jomtien menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh manfaat maksimal dari pendidikan. Sebagai konsekuensi dari hak tersebut, semua anak mempunyai hak untuk menerima jenis pendidikan yang tidak mendiskriminasikan ketidakmampuan, etnik, agama, bahasa, jenis kelamin, kapabilitas, budaya, dan kondisi lain (UNESCO, 1990). Hak tersebut juga dengan jelas dinyatakan oleh UUD 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2) yang mengamanatkan setiap warga Negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan (MPR, 2002). Kemudian, dikuatkan oleh UU No. 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu bahkan warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus” (DIKTI, 2003). Berkaitan dengan usaha untuk menjamin hak yang sama dalam pendidikan, dilaksanakan Lokakarya Nasional “Indonesia menuju pendidikan inklusi” oleh guru-guru dan praktisi pendidikan pada 8-14 Agustus 2004. Lokakarya tersebut menghasilkan Deklarasi Bandung yang berisi: (1) menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun bidang lainnya, sehingga menjadi generasi penerus yang handal; (2) menjamin setiap anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupan baik fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis maupun kultural; (3) menyelenggarakan dan mengembangkan pengelolaan pendidikan inklusif yang ditunjang kerjasama yang sinergis dan produktif
antara pemerintah, institusi pendidikan, institusi
terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta masyarakat. Berdasarkan pasal tersebut, pendidikan inklusif menjadi inti dari hak asasi manusia untuk memperoleh pendidikan, dalam hal ini untuk anak berkebutuhan khusus. Di dunia pendidikan, guru merupakan komponen penting untuk mencapai kesuksesan proses belajar mengajar. Guru memegang peranan yang kuat, karena memiliki peran besar dalam proses alih pengetahuan dan melakukan interaksi dengan para siswa di dalam kelas (Medley dalam Cruickshank, dkk,1995). Dalam sekolah inklusi, efektivitas mengajar dimulai dari sikap positif serta keingintahuan guru untuk memahami apa yang paling baik untuk
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
semua siswa di kelas dan hal tersebut merupakan hal yang tidak mudah. Diperlukan perhatian yang lebih besar, serta kesabaran yang lebih tinggi dari guru terhadap siswa berkebutuhan khusus dibandingkan siswa reguler. Permasalahan yang sering kali dihadapi oleh guru ketika mengajar siswa berkebutuhan khusus adalah kurangnya kerjasama dari orang tua siswa berkebutuhan khusus. Orang tua tidak memberikan perhatian yang cukup pada siswa berkebutuhan khusus, sehingga usaha yang dikerahkan guru di sekolah tidak dilanjutkan oleh orang tua ketika siswa berada dirumah. Seharusnya, peran orang tua menjadi salah satu hal yang krusial dalam kesuksesan pendidikan siswa berkebutuhan khusus (Garguilo, 2007). Tantangan lainnya, guru sekolah inklusi diwajibkan untuk mengajar dua kelompok siswa, yaitu siswa berkebutuhan khusus dan siswa reguler bersama-sama. Hal ini menyebabkan guru akan lebih banyak memberikan perhatiannya kepada siswa berkebutuhan khusus karena memerlukan waktu yang lebih lama untuk memberikan pemahaman terhadap materi yang diajarkan (Garguilo, 2007). Sementara itu, sistem pendidikan di Indonesia menerapkan standar kelulusan dan pencapaian yang sama bagi seluruh siswa, baik siswa berkebutuhan khusus maupun siswa reguler. Sesuai yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.45 tahun 2006, yang menyatakan siswa berkebutuhan khusus yang menuntut pendidikan di Pendidikan khusus juga diwajibkan mengikuti ujian nasional dengan standar kelulusan yang sama dengan sekolah reguler. Meskipun demikian, siswa berkebutuhan khusus berhak memperoleh penyesuaian metode ujian sesuai dengan keterbatasan siswa, misalnya penggunaan huruf braille pada lembar soal ujian bagi siswa penyandang tuna netra. Jadi hal tersebut menegaskan bahwa guru memegang peran penting dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan bagi semua kalangan siswa, baik siswa reguler maupun siswa berkebutuhan khusus. Guru sekolah inklusi tidak hanya dituntut untuk dapat mengajar, melainkan juga menyiapkan siswa/siswi didiknya untuk memiliki kompetensi. Untuk dapat menjalankan perannnya dengan baik seorang guru juga harus memiliki kepercayaan atas kemampuan dirinya dalam mengajar (selanjutnya disebut sebagai teacher efficacy), yang berperan dalam mewujudkan kesuksesan nyata dalam proses mengajar (Medley dalam Cruickshank, dkk,1995). Teacher efficacy adalah penilaian guru atas keyakinan terhadap kemampuan dirinya untuk menghasilkan tingkat keterlibatan dan prestasi belajar siswa yang diharapkan,termasuk juga untuk siswa yang bermasalah maupun siswa yang tidak termotivasi (Bandura, dalam Tschannen-Moran & Hoy, 2001). Menurut Ashton & Webb (1986 dalam Dembo, 1991; Tschannen-Moran & Hoy, 2002), teacher efficacy adalah keyakinan seorang guru atas kemampuannya untuk memengaruhi atau membantu kegiatan belajar murid-muridnya agar
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
mencapai sebuah hasil yang diharapkan. Tschannen-Moran dan Hoy (2001), mengemukakan keyakinan guru akan kemampuannya meliputi: (1) keyakinan guru akan kemampuannya mengatur kelas (efficacy in classroom management); (2) keyakinan guru akan kemampuannya mengatur siswa (efficacy in student engagement); dan (3) keyakinan guru akan kemampuannya memilih metode yang tepat dalam mengajarkan suatu materi pembelajaran (efficacy in instructional strategies). Keyakinan guru akan kemampuannya mengajar akan berpengaruh terhadap prestasi akademik, motivasi, dan pengembangan self-efficacy siswa (Ashton & Webb, dkk., 1986 dalam Coladarci, 1997). Lebih lanjut, teacher efficacy memiliki hubungan dengan perilaku guru di dalam kelas, guru dengan teacher efficacy tinggi menunjukkan antusiasme dan komitmen yang lebih tinggi ketika mengajar (Allinder; Guskey; Coladarci; Evans & Tribble. 1994), dan cenderung untuk bertahan sebagai pengajar (Burley, Hall, Villeme, & Brockmeier, dalam Tschannen-Moran & Hoy, 2001). Tingkat efficacy mempengaruhi persistensi dan resiliensi guru ketika menghadapi masalah, dimana guru dengan tingkat efficacy tinggi mampu bertahan untuk menangani siswa bermasalah (Dembo & Gibson, 1985). Penelitian yang dilakukan oleh Guskey dan Passaro (1994) pada 342 guru kelas di sekolah reguler memperlihatkan hasil bahwa siswa cenderung memiliki motivasi belajar dan tingkat selfefficacy yang lebih tinggi jika guru mereka juga memiliki teacher efficacy yang tinggi dibandingkan dengan guru yang memiliki teacher efficacy yang rendah. Beberapa penelitian lain menunjukkan pentingnya peran teacher efficacy terhadap pencapaian akademik siswa. Guru dengan teacher efficacy yang lebih tinggi mampu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dengan membuat perencanaan dan pengaturan, namun fleksibel dalam memenuhi kebutuhan pembelajaran. Guru tersebut juga akan memberlakukan teknik pengajaran yang mampu meningkatkan kemandirian siswa dan mengurangi kontrol berlebih terhadap siswa. Selain itu, guru dengan teacher efficacy tinggi juga mampu menentukan instruksi dan metode yang tepat untuk memenuhi kebutuhan siswa, serta membantu siswa menentukan tujuannya dan meyakinkan siswa akan pentingnya materi yang dipelajari sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa (Allinder, 1994; Rose, 1998; Alderman, 1998; dalam Yeo, dkk., 2008). Teacher efficacy merupakan salah satu faktor yang akan membantu guru untuk mereduksi stres yang dipicu oleh pekerjaannya (Brouwers, Evers, & Tomic. 2001). Guru dengan tingkat teacher efficacy yang lebih tinggi akan lebih gigih menghadapi hambatan yang terjadi di dalam kelas, sehingga stres yang dialami dapat ditanggulangi olehnya (Ashton & Webb dalam Tschannen-Moran & Hoy, 2001).
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
Guru dengan teacher efficacy yang lebih kuat memiliki karakteristik: (1) cenderung untuk memperlihatkan perencanaan dan pengaturan yang lebih baik, (2) lebih terbuka pada ide-ide baru dan bersedia untuk mencobakan metode baru untuk memenuhi kebutuhan siswa dengan lebih baik, (3) lebih gigih dan resilien terhadap hambatan yang terjadi di kelas, (4) dapat menerima kesalahan siswa tanpa mengkritik siswa tersebut, dan (5) mencoba untuk menangani siswa bermasalah tanpa langsung mereferensikannya pada kelas berkebutuhan khusus (Jerald dalam Protheroe, 2008). Selain berperan penting dalam menentukan kesuksesan siswa, teacher efficacy juga memiliki pengaruh terhadap kegigihan, antusiasme, serta komitmen guru dalam mengajar (Tschannen-Moran & Hoy, 2001). Guru dengan tingkat teacher efficacy yang lebih tinggi memiliki motivasi dan komitmen yang lebih tinggi dalam mengajar, sehingga usaha yang dikeluarkan akan lebih optimal untuk mengembangkan motivasi siswa dalam mencapai sebuah prestasi. Hal tersebut disebabkan guru dengan teacher efficacy tinggi memiliki kemauan untuk mencoba sesuatu yang baru yang dapat meningkatkan kualitas pengajaran serta mengimplementasikan teknik mengajar yang progresif dan inovatif (Allinder, 1994; Tschannen-Moran & Hoy, 2001 dalam Coladarci & Breton, 1997) Allinder juga menyebutkan guru tersebut memiliki perencanaan dan pengorganisasian yang lebih baik (Allinder, dalam Tschannen-Moran & Hoy, 2001). Mengajar merupakan profesi yang memiliki karakteristik yang sarat konflik, ambiguitas dan beban kerja yang tinggi. Ruang kelas merupakan lokasi, dimana situasinya dinamis dan dapat berubah dengan sangat cepat, dan terkadang dengan konsekuensi yang tidak terduga dampaknya pada guru maupun murid (Van de Berg, dalam Voris, 2011). Semua kondisi yang terjadi di sekolah memiliki pengaruh terhadap terhadap job satisfaction (Peri & Baker, dalam Voris, 2011). Job Satisfaction (selanjutnya disebut kepuasan kerja) merupakan persepsi yang berasal dari kegiatan kerja sehari-hari yang dikaitkan dengan tingkat yang lebih tinggi dari kinerja pekerjaan (Hakim, Thoresen, Bono, & Patton, 2001). Menurut Locke (dalam Luthan, 2010) kepuasan kerja merupakan tingkat emosi yang positif atau menyenangkan yang terhadap suatu pekerjaan/pengalaman kerja melibatkan kognitif, afektif, dan sikap. Lebih lanjut kepuasan kerja merupakan hasil dari persepsi seseorang tentang sejauh mana pekerjaan mereka dapat memenuhi hal-hal yang mereka anggap penting (seperti gaji, kondisi kerja, pekerjaan itu sendiri dan lain-lain). Menurut Perie dan Baker (dalam Voris 2011), Kepuasan kerja pada guru juga berasal dari kesuksesan bekerja dengan murid-murid, interaksi dengan rekan kerja dan suksesnya kegiatan sehari-hari di dalam kelas. Kepuasan kerja pada guru di peroleh
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
ketika mereka puas dengan kesuksesan yang mereka dapatkan seputar tanggung jawab individu, tantangan kerja, dan kesempatan untuk memperoleh prestasi dan promosi (Johnson & Johnson, 1999). Kepuasan guru mempengaruhi performa kerja, interaksi guru dengan murid dan performa murid itu sendiri (Shann, 2002). Caprara, Barbaranelli, Borgogni, dan Steca (2003) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah element penentu yang mempengaruhi perilaku dan performa guru, dan juga menemukan bahwa self-efficacy memiliki kontribusi yang penting terhadap Kepuasan kerja. Teacher self-efficacy juga merupakan indikator penting untuk tingkat komitmen guru dan kepuasan kerja (Di Paola & Hoy, 2005 dalam Voris 2011). Dalam penelitiannya, Cockburn dan Haydn (2004) menemukan bahwa kepuasan kerja guru diperoleh dari sifat kegiatan kelas sehari-hari, seperti bekerja dengan anak-anak, melihat siswa membuat kemajuan, bekerja dengan rekan-rekan yang mendukung, dan iklim sekolah secara keseluruhan. Guru yang tidak puas dengan pekerjaan mereka menampilkan komitmen yang lebih rendah dan berada pada risiko lebih besar untuk meninggalkan profesi sebagai guru (Evans dalam Ingersoll, 2001). Menurut Nichols and Sonsnowsky (2002, dalam Voris, 2011) guru, terutama guru pendidikan khusus lebih rentan terhadap stres atau professional burnout dibandingkan atau pekerja lainya di bidang kemanusiaan. Liu dan Ramsey (2008) juga menemukan bahwa stres yang berawal dari kondisi kerja yang buruk memiliki pengaruh kuat terhadap kepuasan kerja guru dan bahwa waktu yang tidak memadai untuk perencanaan dan persiapan serta beban kerja mengajar yang berat berpengaruh berkurang kepuasan dalam memberikan pengajaran. Studi yang dilakukan oleh Klassen dan Chiu (2010a) tentang Effects on Teachers’ Self-Efficacy and Job Satisfaction dengan sampel 1.430 guru ini menemukan adanya hubungan non-linear dengan ketiga faktor self-efficacy. Guru dengan beban kerja yang lebih besar memiliki self-efficacy manajemen kelas yang lebih besar, sedangkan guru dengan stres yang lebih besar, memiliki self-efficacy yang lebih rendah dan kepuasan kerja rendah. Guru dengan manajemen self-efficacy yang lebih besar atau yang memiliki strategi pembelajaran self-efficacy lebih besar memiliki kepuasan kerja yang lebih besar. Teacher efficacy juga memiliki peranan penting untuk menentukan kesuksesan siswa, namun teacher efficacy juga memiliki pengaruh terhadap komitmen guru dalam mengajar, antusiasme, dan kegigihan guru (Tschannen-Moran & Hoy, 2001). Studi yang dilakukan oleh Winafaisal (2010) tentang hubungan teacher efficacy pada guru sekolah menengah atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang antara character strengths dan teacher efficacy pada guru sekolah menengah atas. Guru dengan tingkat teacher
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
efficacy yang tinggi maka guru tersebut akan memperlakukan orang lain secara sama dan tidak membeda-bedakan. Belum banyaknya penelitian tentang teacher efficacy dan kepuasan kerja pada guru sekolah dasar inklusi di Indonesia hal tersebut memicu peneliti untuk bertanya mengenai bagaimana hubungan antara teacher efficacy dan kepuasan itu sendiri?. Penelitian ini ditujukan untuk melihat hubungan kepuasan kerja dan teacher efficacy pada guru yang mengajar di sekolah dasar inklusi, dimana guru sekolah inklusi berisiko mengalami stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru di sekolah reguler.
Tinjauan Teoritis Teacher Efficacy Teacher efficacy merupakan aplikasi dari konsep self efficacy
yang konteksnya
spesifik ditujukan pada guru. Bandura mendefinisikan Teacher efficacy (dalam TschannenMoran & Hoy, 2001) sebagai keyakinan guru akan kemampuan dirinya untuk menghasilkan tingkat keterlibatan dan prestasi belajar siswa yang diharapkan, termasuk untuk siswa yang bermasalah maupun siswa yang tidak termotivasi. Guskey & Passaro (dalam TschannenMoran, Woolfok Hoy, & Hoy, 1998), memberikan definisi teacher efficacy sebagai keyakinan guru bahwa mereka mampu mempengaruhi dan membantu seberapa baik siswa belajar dan hasil belajarnya, meliputi siswa yang merasa kesulitan atau tidak termotivasi. Definisi lainnya adalah teacher efficacy merupakan kepercayaan guru akan kemampuannya untuk mengorganisasi dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengerjakan tugas mengajar yang spesifik secara sukses (Tschannen-Moran, Woolfok Hoy, & Hoy, 1998) . Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa teacher efficacy adalah kepercayaan guru akan kemampuan dirinya dalam mengerjakan tugas mengajar secara sukses untuk menghasilkan tingkat keterlibatan dan prestasi siswa yang diharapkan, bahkan pada siswa yang sulit dan tidak termotivasi.
Faktor-Faktor Teacher Efficacy Seorang guru akan memiliki teacher efficacy yang tinggi apabila guru-guru lainnya dan staf di bidang administrasi sekolah juga mempunyai harapan yang tinggi kepada siswasiswanya,mendapatkan bantuan dan dukungan sekolah dengan memberikan instruksi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan manajemen kelas (Hoy & Woolfolk, 1993). Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa teacher efficacy berkembang dari
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
kesuksesan bersama dengan siswa, bukan hanya dari dukungan moral yang diberikan oleh atasan atau rekan guru lainnya (Hoy & Woolfolk dalam Woolfolk, 2004). Penelitian yang dilakukan Tschannen-Moran & Woolfolk Hoy (2001) sebelumnya menemukan 3 dimensi teacher efficacy yang merupakan kekayaan pekerjaan profesi guru dan persyaratan untuk pengajaran yang baik. Faktor struktur Teacher efficacy meliputi: 1. Efficacy in Student Engagement, yaitu keyakinan diri yang berkaitan dengan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, dimana tidak hanya guru yang aktif untuk mengajar tetapi siswa juga aktif dalam mengikuti pembelajaran. 2. Efficacy in Instructional Strategies, yaitu keyakinan diri yang berhubungan dengan cara guru memberikan strategi pengajaran kepada siswa-siswanya. 3. Efficacy in Classroom Management, yaitu keyakinan diri yang berkaitan dengan pengelolaan kelas yang dilakukan guru sehingga kelas kondusif untuk kegiatan belajar mengajar.
Kepuasan Kerja Definisi kepuasan kerja menurut Spector (1997) adalah bagaimana seseorang merasakan pekerjaan mereka secara utuh dan aspek-aspek dari pekerjaan tersebut, dimana kepuasan kerja dapat dipahami sebagai perasaan umum mengenai suatu pekerjaan, atau sebagai kumpulan berbagai sikap yang saling berhubungan mengenai berbagai aspek dari pekerjaan. Lebih lanjut lagi, menurut Spector (1997) kepuasan kerja dapat dijelaskan melalui dua pendekatan, yakni global job satisfaction (kepuasan kerja secara keseluruhan) dan facets job satisfaction (aspek kepuasan kerja). Global job satisfaction merupakan sikap dan perasaan suka atau tidak suka seorang secara keseluruhan terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. banyak peneliti akan mengunakajan pendekatan global job satisfaction untuk melihat kepuasan kerja secara keseluruhan dalam hubungannya dengan faktor-faktor lain yang diminatinya. Sedangkan facets job satisfaction (aspek kepuasan kerja) merupakan sikap dan perasaan suka atau tidak suka terhadap bagian/aspek tertentu dari pekerjaan yang mereka lakukan. Pendekatan ini digunakan untuk menentukan dan menemukan bagian-bagian mana dari pekerjaan yang akan menghasilkan kepuasan atau ketidakpuasan pada karyawan untuk memberikan gambaran lengkap tentang kepuasan kerja karyawan dibandingkan dengan pendekatan keseluruhan, karena karyawan dapat memiliki perasaan yang berbeda-beda atas beberapa aspek kerja. Contoh dari aspek-aspek kepuasan kerja adalah kepuasan terhadap
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
pimpinan, gaji, promosi, hubungan dengan rekan kerja, komunikasi, kondisi kerja, pelaksaan peraturan, dan imbalan.
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
Aspek Kepuasan Kerja Spector (1985) mengemukakan sembilan aspek kepuasan kerja, yaitu : (1) Aspek Gaji (Pay), merupakan perasaan suka atau tidak, puas tidak puas seorang karyawan terhadap aspek kepuasan terhadap upah dan kenaikan upah ditempat kerja. (2) Aspek Kenaikan Pangkat (Promotion), merupakan perasaan suka atau tidak, puas tidak puas seorang karyawan terhadap terhadap kesempatan/peluang kenaikan jabatan ditempat kerja. (3) Aspek Atasan (Supervision), merupakan perasaan suka atau tidak, puas tidak puas seorang karyawan terhadap atasan meliputi kompetensi atasan dalam melakukan pekerjaannya. (4) Aspek Imbalan (Fringe Benefit), merupakan perasaan suka atau tidak, puas tidak puas seorang karyawan terhadap terhadap keuntungan sampingan yang didapatkan. (5) Aspek Penghargaan (Contingen reward), merupakan perasaan suka atau tidak, puas tidak puas seorang karyawan terhadap terhadap hadiah-hadiah (tidak hanya dalam bentuk uang) yang diberikan untuk unjuk kerja yang baik, (6) Kondisi operasi kerja (Operating condition), merupakan perasaan suka atau tidak, puas tidak puas seorang karyawan terhadap terhadap prosedur dan peraturanperaturan kerja. (7) Rekan kerja (Co-worker) merupakan perasaan suka atau tidak, puas tidak puas seorang karyawan terhadap rekan kerja yang meliputi kompetensi rekan kerja dalam melakukan pekerjaannya. (8) Pekerjaan itu sendiri (Nature of work), merupakan perasaan suka atau tidak, puas tidak puas seorang karyawan terhadap jenis perkerjaan yang dilakukan. (9) Komunikasi (Communication) merupakan perasaan suka atau tidak, puas tidak puas seorang karyawan terhadap komunikasi yang terjalin dalam organisasi/tempat kerja.
Metode Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah guru yang aktif mengajar di sekolah dasar negeri inklusi di Jabodetabek. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur kepuasan kerja yang digunakan, merupakan alat ukur Job Satisfaction Survey (JSS) yang dikembangkan oleh Paul E. Spector (1985). Peneliti melakukan adaptasi alat ukur Job Satisfaction Survey (JSS) agar sesuai dengan konteks penelitian, alat ukur ini memiliki 36 item. Sedangkan untuk mengukur gambaran teacher efficacy, peneliti menggunakan kuesioner teacher efficacy scale berisi 24-item yang telah diadaptasi oleh Winafaisal (2010). Kedua alat ukur ini kemudian disatukan dalam satu kuesioner. Penelitian ini bersifat kuantitatif. Kumar (1999) menjelaskan penelitian kuantitatif dilakukan jika peneliti ingin menguantifikasikan variasi dari suatu fenomena. Tipe penelitian yang digunakan adalah ex post field, yaitu penelitian bersifat non-eksperimental karena dalam
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
penelitian ini tidak ada variabel yang dimanipulasi, tidak dilakukan randomisasi, dan kontrol pada variabel terikat. Penelitian ini bersifat penelitian korelasional tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dan menjelaskan hubungan serta asosiasi antar variabel (Gravetter & Forzano, 2006). Kelebihan dari penelitian korelasional adalah peneliti menguji sesuatu yang sudah ada tanpamanipulasi, sehingga dapat dijelaskan hubungan pada kondisi natural. Dilihat dari number of contact, penelitian ini bersifat one-shot study karena hanya ada satu kali pengambilan data terhadap partisipan penelitian (Kumar,1999). Variabel yang akan di ukur dalam penelitian ini adalah teacher efficacy dan kepuasan kerja. Peneliti melakukan pengolahan data dengan menggunakan analisis statistik untuk
menjawab pertanyaan
peneltian. Teknik statistik yang dilakukan yaitu Statistik deskriptif teknik ini digunakan untuk melihat mean, median, modus, frekuensi, standar deviasi, nilai minimum, dan nilai maksimum pada data demografis partisipan penelitian. Kemudian teknik lainnya adalah korelasi Pearson yang digunakan untuk melihat hubungan antara dua variabel penelitian.
Hasil Penelitian Untuk mendapatkan hasil utama dalam penelitian ini, dilakukan pengujian terhadap hipotesis dengan perhitungan statistik menggunakan korelasi pearson. Pengujian hipotesis dilakukan untuk menerima atau menolak hipotesis null. Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa hasil perhitungan dengan menggunakan teknik analisis korelasi pearson menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0.249 dan signifikan pada l.o.s 0,05 (p = 0.029). Berdasarkan hasil tersebut maka hipotesis null di tolak. Hasil perhitungan selanjutnya menunjukkan bahwa kepuasan
yang signifikan
mempengaruhi teacher efficacy pada l.o.s. 0,05 adalah nature of work (p = 0,004), seperti terlihat pada tabel 4.10 berikut ini.
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
Tabel Korelasi Parsial dan signifikansi antara Kepuasan Kerja dan Teacher Efficacy Aspek Kepuasan Kerja
Korelasi Parsial
Signifikansi
Kenaikan Pangkat
-,072
,549
Atasan
-,071
,555
Kondisi Operasi Kerja
-,159
,183
Rekan Kerja
,128
,285
Nature of Work
,336
,004
Komunikasi
-,078
,514
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa aspek signifikan mempengaruhi
teacher efficacy,
kepuasan
kepuasan kerja
yang
kerja Nature of work memiliki
pengaruh yang besar terhadap skor total teacher efficacy dengan koefisien korelasi parsial sebesar 0,336.
Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara teacher efficacy dan kepuasan kerja pada guru sekolah dasar inklusi. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukan oleh Caprara, Barbaranelli, Borgogni, dan Steca (2003) bahwa teacher self-efficacy memiliki kontribusi yang penting terhadap kepuasan kerja dan merupakan element penentu yang mempengaruhi perilaku dan performa guru. Dimana semakin tinggi tingkat teacher efficacy guru maka semakin tinggi juga tingkat kepuasan kerja guru tersebut. hal tersebut juga meningkatkan performa mengajar dan perilaku guru dalam upaya pendekatan dengan siswanya. Kemudian hasil tambahan penelitian ini juga menunjukkan bahwa kepuasan kerja yang mempengaruhi teacher efficacy adalah nature of work. Aspek kepuasan kerja nature of work mempunyai pengertian bahwa seseorang mememiliki kepuasan terhadap dasar dari jenis pekerjaan yang dilakukan (Spector,1997). Hasil penelitian lanjutan juga menunjukan bahwa aspek nature of work dari kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif terhadap teacher efficacy. Hal ini berarti guru yang memiliki kepuasan terhadap profesinya akan mempunyai keyakinan diri yang tinggi, dan sebaliknya. Hal tersebut mungkin disebabkan karena menjadi guru sekolah dasar inklusi adalah profesi yang memberikan tantangan, peluang untuk belajar dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab (Kendal & Hulin dalam Luthans, 1998). Hasil temuan tersebut juga sesuai dengan apa yang diutarakan Hackman dan Oldham (dalam Spector, 1997) di mana ketika seorang karyawan/guru
merasa nyaman dalam
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, maka orang tersebut akan menyukai pekerjaan dan termotivasi untuk memunculkan unjuk kerja yang maksimal dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang guru. Berdasarkan hasil temuan diatas bahwa menjadi guru adalah sebuah pilihan sehingga hal-hal yang mempengaruhi kepuasan kerjanya lebih kepada nature of work pekerjaan guru itu sendiri yakni mengajar dan mendidik siswa. Jika meninjau temuan Cockburn dan Haydn (2004), mereka menemukan bahwa guru memperoleh kepuasan kerja dari sifat kegiatan kelas sehari-hari, seperti bekerja dengan anak-anak, melihat siswa membuat kemajuan, bekerja dengan rekan-rekan yang mendukung, dan iklim sekolah secara keseluruhan.
Kesimpulan Kesimpulan sesuai dengan permasalahan utama yang dapat ditarik sehubungan dengan penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara teacher efficacy dan kepuasan kerja pada guru sekolah dasar inklusi. Tidak semua teacher efficacy dipengaruhi oleh kepuasan kerja. Kepuasan kerja yang signifikan mempengaruhi teacher efficacy adalah kepuasan kerja nature of work. Hubungan antara kepuasan kerja nature of work dan teacher efficacy mempunyai nilai korelasi yang positif, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin besar kepuasan kerja nature of work pada guru maka semakin tinggi keyakinan diri guru tersebut begitu pula sebaliknya.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, peneliti menyarankan beberapa hal, yakni penelitan selanjutnya terkait dengan teacher efficacy dan kepuasan kerja pada guru sekolah dasar inklusi, sebaiknya melihat hubungan kedua variabel tersebut kepada guru pendamping khusus dan guru-guru sekolah inklusi pada jenjang pendidikan yang lain. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dari hubungan kedua variabel tersebut. Penelitian ini akan lebih baik jika jumlah partisipan ditambah karena semakin banyak partisipan akan didapatkan hasil yang semakin representatif terhadap populasi. Sekolah atau Kemendiknas dapat lebih memperhatikan kondisi guru bukan hanya bersifat materiil. Melainkan memberikan bentuk penghargaan-perhargaan atas kinerja guru dan memberikan pelatihan yang dapat berhubungan dengan teacher efficacy dan kepuasan kerja untuk membantu menjalankan tugas sebagai tenaga pendidik, karena teacher efficacy mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja yang nantinya juga akan berdampak dengan prestasi siswa yang diajar dan terciptanya keadaan kelas yang kondusif.
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2004). Deklarasi Bandung: Indonesia Menuju Pendidikan Inklusi. (Online). Diakses http://www.idpeurope.org/indonesia/compendium/id/ deklarasi_bandung.php , pada 17 November 2012 Caprara, G. V., Barbaranelli, C., Borgogni, L., & Steca, P. (2003). Efficacy beliefs as determinants of teachers’ job satisfaction. Journal of EducationalPsychology, 95, 821–832. Diunduh dari http://search.proquest.com/docview /614454384/fulltextPDF/139A93BDDD05533244F/1?accountid=17242 pada 13 September 2012 Cockburn, A. D., & Haydn, T. (2004). Recruiting and retaining teachers:Understanding why teachers teach. London, England: Routledge Falmer. Coolahan, J., & Murphy, 1. (2003). Attracting, developing and retaining effective teachers. Country background report for Ireland. Dublin: Department of Education and Science Coladarci, T., Breton, W. A. (1997). Teacher Efficacy, Supervision, and the Special Education Resource-Room Teacher. Journal of Educational Research, Vol. 90. No. 4 (Mar-April, 1997), pp. 230-239. Diunduh dari http://www.jstor.org/stable/ 27542097 pada 15 September 2012 Cruickshank, Bainer & Metcalf. (1995). The act of teaching. New York: McGraw-Hill, Inc. Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia. Dembo, M.H. & Gibson, S. (1985). Teachers Sense of Efficacy: An Important Factor in School Improvement. The Elementary School Journal, 86, 173-184. Dembo, M. H. (1991). Applying Educational Psychology in the Classroom, 4th Ed. New York: Longman DIKTI (2003).Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 13 September 2012 www.dikti.go.id/.../UU202003Sisdiknas.pdf Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu Inklusi: Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Direktorat PLB Dirjendikdansen Depdiknas. Gargiulo, R. M. (2007). Special Education in Contemporary Society: An Introduction to Exceptionality, 2nd Ed with IDEA Update. USA: Thompson Wadsworth. Guskey, T.R., & Passaro, P.D. (1994). Teacher Efficacy: A Study of Construct Dimensions. American Educational Research Journal, 31, 627-643. Hallahan, D. P., Kauffman, J. M. (2006). Exceptional Learners: Introduction to Special Education, 10th Ed. USA: Pearson. Johnson, W. L., & Johnson, A. M. (1999). World class schools in the 21st century. NASSP Bulletin, 83(606), 26–32. Diunduh dari...... pada 10 Oktober 2012 Kementerian Pendidikan Nasional (2005). Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus. 13 September 2012. http://hukor.kemdikbud.go.id/asbodoku/media/peruu/Permendiknas_32_2008.pdf
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013
Klassen, R.M., & Chiu, M.M (2010a). Effects on Teachers’ Self-Efficacy and Job Satisfaction: Teacher Gender, Years of Experience, and Job Stress.Journal of Educational Psychology. Diunduh dari https://umdrive.memphis.edu/yxu/public/ Hamlet%20and%20McConnell.pdf pada 15 September 2012. Klassen, R.M. (2010b). Confidence to manage learning: The self-efficacy for self regulated learning of early adolescents with learning disabilities. Learning Disability Quarterly, 33, 1–12. Klassen, R. M. (2010c). Teacher stress: The mediating role of collective efficacy beliefs. The Journal of Educational Research, 103, 342–350. 15 September 2012. Kaplan, R. M., & Sacuzzo, D. P. (2005). Psychological Testing: Principles, Applications and Issues. CA: Thomson Wadsworth. Kumar, R.(1999). Research Methodology : A Step-by-Step Guide for Beginners. London: Thousand Oaks Sage Publication.inc Lee, S.W. 2005. Encyclopedia of school psychology. Sage Publication, CA. Liu, X. S., & Ramsey, J. (2008). Teachers’ job satisfaction: Analyses of the Teacher FollowUp Survey in the United States for 2000–2001.Teaching and Teacher Education, 24, 1173–1184. Locke, E.A., & Lathan, G.P. (1990). Theory of goal setting and task performance. New Jersey: Prentice-Hall.Inc MPR (2002). Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945(Amandemen Keempat).13 September 2012 http://www.mpr.go.id/pages/ produk-mpr/uud-1945 Spector, P. E. (1985). Measurement of Human Service Staff Satisfaction: Development of the Job Satisfaction Survey. American Journal of Community Psychology, VoL 13, No. 6, 198. Diunduh dari http://link.springer.com/article/ 10.1007%2FBF00929796?LI=true pada 18 Oktober 2012. Spector, P. E. (1997). Job satisfaction: Applications, assessment, causes and consequences. Thousand Oaks, CA: Sage. Tschannen-Moran, M. Hoy, A. W, & Hoy, W. K. (1998). Teacher Efficacy: Its Meaning and Measure. Review of Educational Research, Vol. 68, No. 2(Summer, 1998), pp. 202248. Diunduh dari http://www.jstor.org/stable/1170754 pada 13 September 2012. Tschannen-Moran, M., Hoy, W. (2001). Teacher Efficacy: Capturing an Elusive Construct. Journal of Teaching and Teacher Education 17 (2001) 783–805.Diunduh dari http://www.sciencedirect.com/science/article/B6VD8-444DY273/2/a761d0d1cd6c2c8233010050b6dd1658 pada 14 September 2012 UNESCO (1990, March). World Declaration on Education For All: Meeting Basic Learning Needs. Diunduh dari http://www.un-documents.net/jomtien.htm pada 13 September 2012. Voris, C. B. (2011). Teacher Efficacy, Job Satisfaction, and Alternative Certification in Early Career Special Education Teachers. Kentucky : Doctoral Degree Programs University of Kentucky.
Hubungan Antara ..., Sony Setyanto Wibowo, FPsi UI, 2013