HUBUNGAN ANTARA STRATA PENDIDIKAN BIDAN DENGAN PENGETAHUAN TENTANG MANAJEMEN AKTIF KALA III DARI HASIL PELATIHAN APN
Diajukan Oleh :
ABDUL HAKIM NIM : S 5804001
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I OBSTETRI GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2009
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus-kasus perdarahan di Indonesia cukup tinggi. Diperkirakan terdapat 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya, paling sedikit 128.000 perempuan mengalami perdarahan sampai meninggal (WHO, 1998). Begitu juga di Kabupaten Sukoharjo kematian akibat perdarahan post partum paling tinggi dibanding preeklampsia dan infeksi (profil DINKESSOS Kab Sukoharjo). Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan dan merupakan akibat dari masalah yang timbul selama kala III. Pemerintah mengadakan pelatihan APN yang salah satunya di Kabupaten Sukoharjo. Pelatihan tersebut diikuti oleh bidan DI dan DIII. Bidan DIII berasal dari SMA akan memperoleh kesempatan pendidikan lebih banyak dari DI yang bersal dari SMP. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik kualitas pemahamanya ( Tirta Raharja, 2005). Bidan DIII akan lebih baik pemahamanya dibandingkan dengan Bidan DI dalam mengikuti pelatihan APN yang dilakukan dalam rentang waktu yang sama yaitu 2 minggu, padahal bidan DI lebih banyak jumlahnya yang ikut APN dari pada DIII kemungkinan hal inilah yang berakibat tidak berhasilnya program pemerintah untuk menangani permasalahan. Di Indonesia perdarahan postpartum merupakan penyebab kematian ibu yang paling sering, sehingga masih menjadi masalah utama. Sampai saat ini kematian ibu di Indonesia merupakan kematian tertinggi di Asia Tenggara (Manuba, 1998). Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1985 angka kematian ibu sebesar 450 per 100.000 kelahiran hidup (Djadja & Suwandono,2001). Meskipun telah dilakukan upaya yang intensif dengan dibarengi dengan menurunnya angka kematian ibu di setiap rumah sakit, praktek bidan swasta dan di masyarakat, namun sampai saat ini kematian ibu di Indonesia masih berkisar 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2003). Angka ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka kematian ibu di negara-negara Asia Tenggara pada tahun 1998 ( Depkes RI, 1998, Manuaba, 1998). 2
Perbandingan angka kematian ibu di Indonesia dan negara Asia Tenggara dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Manuaba, 1998). Tabel 1. Perbandingan angka kematian ibu di beberapa negara Asia Tenggara tahun 1998. Negara
Kematian ibu/100.000 kelahiran hidup
Singapura
5
Malaysia
69
Thailand
100
Myanmar
120
Philipina
142
Indonesia
390
Waspodo, dkk (1999) mengemukakan ada tiga penyebab utama kematian ibu di Indonesia yakni : perdarahan 40 persen, infeksi 30 persen, dan eklampsia 20 persen. Prendivile, dkk (2000) mengatakan bahwa penyebab kematian ibu dari kasus obstetrik di Afrika Barat adalah perdarahan (3,05 per 100 kelahiran hidup), sedangkan lainnya penyebabnya adalah ruptur uteri, hipertensi dalam kehamilan, eklampsia dan sepsis. Kasus perdarahan umumnya terjadi karena atonia uteri, retensio plasenta, kasus ini sebenarnya dapat dicegah dan dihindari sedini mungkin. Sampai saat ini ada berbagai upaya untuk mencegah perdarahan postpartum
diantaranya
peningkatan
kualitas
pelayanan
antenatal,
peningkatan kualitas pertolongan persalinan, peningkatan penanganan komplikasi persalinan, peningkatan mutu pendidikan dokter, bidan dan tenaga kesehatan lainnya, penerapan standar pelayanan kesehatan dan penggunaan obat-obatan untuk pencegahan perdarahan postpartum. Salah satu upaya untuk mencegah perdarahan postpartum dengan menerapkan manajemen aktif kala III dalam pertolongan persalinan. Sesuai dengan obstetrik modern, pimpinan kala III persalinan tidak lagi menunggu, tetapi dilakukan secara aktif (Prendivile, 2000). Upaya-upaya tersebut telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan dan sosial Kabupaten Sukoharjo dalam memasyarakatkan penerapan pertolongan persalinan menurut DEPKES RI tahun 2000 kepada 3
setiap bidan yang melakukan pertolongan persalinan khususnya penerapan managemen aktif kala III. Upaya lain yaitu dilakukan pelatihan APN yang didalamnya terdapat pengetahuan tentang manajement aktif kala III. Berdasarkan data profil kesehatan di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2008 kasus-kasus perdarahan post partum cukup tinggi bahkan kasus kematian maternal akibat perdarahan post partum paling tinggi dibandingkan dengan preeclampsia dan infeksi. Kematian ibu selama bulan Januari 2008 sampai Desember 2008 sejumlah 9 kasus, 5 diantaranya meninggal akibat perdarahan post partum. Hal ini tidak jauh berbeda dengan profil 2007. Dinkessos Kabupaten Sukoharjo sejak tahun sebelumnya sampai dengan 2006 telah mengadakan pelatihan APN. Setiap bidan dianjurkan mengikuti APN yang didalamnya diajarkan cara penerapan manajemen aktif kala III. Bidan yang mengikuti pelatihan APN mempunyai perbedaan strata yaitu DI dan DIII. Kemungkinan strata pendidikan bidan akan berpengaruh terhadap pemahaman manajement aktif kala III hasil pelatihan APN. Menurut Simon dan Morton (1995) semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi pula tingkat perkembangan dan kemampuan dalam memahami pengetahuan. hal tersebut dapat berpengaruh terhadap pengetahuan bidan tentang manajaemen aktif kala III sebagai hasil dari APN yang telah difasilitasi oleh Dinkessos kabupaten Sukoharjo. Bidan DI kompetensinya ditekankan pada obstetri fisiologis yang nantinya akan menggantikan posisi dukun. Sedangkan bidan DIII kompetensinya adalah mempelajari keseluruhan obstetri ginekologi dan bertindak sebagai pelaksana asuhan kebidanan atas instruksi dokter. Bidan DI adalah berasal dari SMP atau SPK sedangkan DIII bersal dari SMA. Sehingga kesempatan untuk memperoleh pendidikan lebih banyak dan lama pada DIII. Jumlah bidan keseluruhan di Kabupaten Sukoharjo adalah 300 bidan, tetapi yang telah mengikuti APN dan belum DIII adalah 102 bidan. Sedangkan yang sudah DIII dan telah mengikuti APN adalah 60 bidan. Jumlah bidan yang telah ikut D III adalah 114 bidan sedangkan yang belum D III adalah 186 bidan tersebar di wilayah Sukoharjo. Dengan banyaknya bidan DI dibanding DIII yang ikut APN, maka program
4
pemerintah berupa APN kurang berhasil karena kualitas pemahaman bidan DIII lebih baik dari pada bidan DI.
1.2 Perumusan Masalah “Apakah
strata
pendidikan
bidan
berpengaruh
terhadap
pengetahuan tentang manajemen aktif kala III dari hasil pelayanan APN di kabupaten Sukoharjo?” 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pemahaman tentang manajemen aktif kala III hasil pelatihan APN dan mengetahui hubungan strata pendidikan bidan dengan pengetahuan tentang manajemen aktif kala III hasil pelatihan APN. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk mengetahui peran tingkat pendidikan terhadap pengetahuan manajemen aktif kala III dari hasil pelatihan APN oleh bidan dalam pertolongan persalinan. 1.5 Keaslian Penelitian Menurut penelurusan kepustakaan bahwa penelitian yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut : Penelitian Sumali, AM (2004) di Kabupaten Pemalang Jawa Tengah tentang hubungan tingkat pengetahuan bidan desa dengan cakupan penanganan persalinan. Hasil penelitian tersebut tingkat pengetahuan bidan mempunyai hubungan bermakna dengan cakupan penanganan persalinan. Penelitian
ini
berfokus untuk
mengetahui hubungan strata
pendidikan bidan dengan pengetahuan manajemen aktif kala III. Dengan variabel bebas pendidikan bidan dengan lokasi penelitian di Kabupaten Sukoharjo serta waktu penelitiannya Tahun 2009.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.2.1 Manajemen Aktif Kala III Untuk membantu proses kelahiran plasenta memerlukan tindakan manajemen aktif kala III, hal ini akan mencegah kejadian perdarahan postpartum. Mengingat kematian ibu bersalin yang terjadi sebagian besar adalah perdarahan postpartum, utamanya disebabkan karena atonia uteri dan retensio plasenta, maka upaya yang dianjurkan bagi penolong persalinan adalah dengan menerapkan manajemen aktif kala III. Manajemen aktif kala III, yaitu dengan penggunaan oksitosin profilaksis, penjepitan tali pusat segera dan melahirkan plasenta dengan traksi terkontrol, telah dipergunakan secara luas dengan tujuan untuk pencegahan perdarahan postpartum dan retensi plasenta (McDonald, dkk, 1993). Uterotonika profilaksis menurunkan resiko perdarahan postpartum sekitar 60 persen dan menurunkan kebutuhan uterotonika tambahan sekitar 70 persen dihubungkan dengan efek samping obat seperti nausea dan nyeri kepala. (Khan dkk, 1995). Telah diterangkan bahwa pendekatan yang dipilih harus berdasarkan keuntungan dan kerugian yang sesuai dengan masing-masing daerah. Manajemen pasif dapat dikerjakan pada ibu hamil dengan resiko rendah yang melahirkan di rumah sakit atau yang melahirkan di rumah bidan/klinik serta mudah dirujuk ke rumah sakit dalam waktu singkat bila ada kedaruratan. Hal ini biasanya berlaku di negara industrialis. Di negara berkembang bagaimanapun ada beberapa faktor resiko yang perlu dipertimbangkan : 1. Di daerah pedesaan kurangnya tenaga penolong persalinan terlatih untuk memberikan suntikan dan mengirim ke klinik/rumah sakit bila ada kedaruratan.
6
2. Tingginya insidensi anemia dalam kehamilan pada sebagian besar negara berkembang mendorong upaya-upaya untuk mencegah kehilangan darah yang tidak diinginkan. 3. Almari pendingin untuk obat-obatan dan pelayanan tranfusi darah yang tidak adekuat (McDonald dkk, 1993). Manajemen aktif kala III tidak hanya pemberian oksitosin saja tetapi komponen yang lain harus dilaksanakan. Komponen manajemen aktif kala III terdiri dari : a. Pemberian Oksitosin Uterotonika diberikan untuk menghasilkan kontraksi uterus yang adekuat. Ada dua jenis uterotonika yang dapat dipakai, yaitu oksitosin dan ergometrin, tetapi yang dianjurkan adalah oksitosin 10 IU intramuskuler. Penelitian yang dilakukan Prendiville (2000), oksitosin 10 IU intramuskuler yang digunakan pada manajemen aktif kala III lebih
efektif
dapat
mencegah
perdarahan
postpartum
jika
dibandingkan dengan manajemen fisiologi. Perdarahan yang terjadi pada paska persalinan pada persalinan yang dilakukan manajemen aktif kala III relatif menurun (Prendeville, 2000). Ketepatan dosis, waktu pemberian dan penyimpanan oksitosin menentukan pengaruh rangsangan kontraksi pada uterus. Pemberian oksitosin yang tepat adalah dosisnya 10 IU intramuskuler, waktunya segera setelah bayi lahir. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa potensi obat oksitosin menurun karena tidak disimpan dengan cara yang benar ( Mario dkk, 2003 ).
b. Penegangan Tali Pusat Terkendali atau Controled Cord Traction Penegangan tali pusat terkendali adalah tindakan yang dilakukan untuk membantu proses kelahiran plasenta. Hasil penelitian, bahwa penegangan tali pusat terkendali tidak mencegah perdarahan postpartum tetapi bersama-sama oksitosin membantu proses kelahiran plasenta.
7
Langkah-langkah tindakan penegangan tali pusat terkendali, adalah sebagai berikut: a) satu tangan penolong diletakkan pada korpus uteri tepat di atas simpisis pubis. Selama ada kontraksi tangan penolong mendorong korpus uteri dengan gerakan dorso cranial ke arah belakang dan ke arah kepala ibu, b) tangan yang satu memegang tali pusat dekat dengan pembukaan vagina dan melakukan penarikan tali pusat terus menerus dalam tegangan yang sama dengan tekanan ke uterus selama ada konstraksi. Langkah-langkah ini diulangi setiap ada kontraksi sampai plasenta lahir. c. Massase Fundus Uteri Setelah Plasenta Lahir Setelah plasenta lahir, maka kala III berakhir, tetapi tugas penolong persalinan belum selesai, karena masih ada resiko perdarahan. Penyebab terbesar kejadian perdarahan postpartum adalah atonia uteri. Untuk mengurangi kemungkinan atonia uteri dilakukan masase fundus uteri secara aktif untuk menunjang kontraksi uterus yang baik.
2.2.2 Bidan Bidan (DI) adalah seseorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan bidan yang diakui oleh pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku (IBI, 1999). Menurut Zapata dan Godue (1997), bidan adalah seorang wanita yang telah mendapatkan pendidikan kesehatan, untuk memberikan perawatan pada wanita, perawatan kehamilan dan persalinan yang beresiko rendah. Bidan (DIII) adalah pelaksana asuhan kebidanan berdasarkan atas instruksi dokter (Depkes RI 2002). Tahun
1989/1990
pendidikan
bidan
mulai
digalakkan,
pendidikan bidan diselenggarakan agar menghasilkan bidan dalam jumlah yang cukup untuk ditempatkan di desa. Lama pendidikan 1 tahun untuk lulusan SPK dan 3 tahun untuk lulusan SMP. Setelah lulus mereka ditempatkan di desa sebagai upaya untuk menggantikan peranan dukun dalam pelayanan kesehatan ibu yang dianggap sebagai penyebab tingginya angka kematian ibu. Setelah jumlah bidan terpenuhi, angka kematian 8
belum menunjukkan penurunan yang berarti. Upaya pemerintah yang ditempuh salah satunya meningkatkan pendidikan bidan lebih tinggi yaitu DIII Kebidanan. Sampai proposal ini disusun (2009) lama kerja bidan antara 3 tahun sampai 30 tahun. Menurut Muchlas (1998) pengalaman bidan dalam bidang tertentu belum menjamin bahwa mereka lebih produktif dan bijaksana dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan mereka yang belum lama bekerja. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Robbin (1996), masa kerja tidak berhubungan dengan pengetahuan kinerja, semakin senior seorang pekerja belum berarti akan lebih baik pengetahuan kinerjanya dibandingkan dengan pekerja yang senioritasnya lebih rendah. Selain lama kerja, status kepegawaian ternyata tidak mempengaruhi pengetahuan dan kinerja bidan, baik pegawai negeri sipil atau pegawai tidak tetap. Hal ini sesuai dengan temuan Syah dan Prawitasari (1998), bahwa kinerja dan pengetahuan bidan yang berstatus PNS tidak jauh berbeda dengan bidan dengan status pegawai tidak tetap. Lulusan program pendidikan bidan saat ini relatif masih muda umurnya dan waktu pendidikannya sangat singkat. Disisi lain mereka dihadapkan dengan luasnya cakupan kemampuan yang harus dimiliki dan kekurangsesuaian antara masalah di lapangan dengan materi pendidikan yang mereka peroleh di bangku pendidikan. Banyak kendala yang dihadapi bidan di desa dan dianggap program ini belum berhasil menurunkan AKI, sehingga bidan memerlukan pendidikan yang berkelanjutan (continuing education) (Mukti, 1998). Temuan Suhadi dan Hakimi (2000), bidan yang telah mengikuti pendidikan ternyata penanganan kasus rujukannya meningkat dari 19 kasus (6,2%) menjadi 34 kasus (7,2%). Kajian lain ditemukan oleh Muchlas (1997) yang mengatakan bahwa produk dan jasa yang dihasilkan sangat tergantung pada karyawan yang diberdayakan, dilatih dan diakui kerjanya. Bidan dengan usia yang relatif muda dan kurangnya pengalaman dalam menolong persalinan membutuhkan supervisi dan pengawasan dari 9
mereka yang berkompeten. Hal ini sesuai dengan pendapat Syah dan Prawitasari (1998), bahwa semakin efektif pimpinan atau pengawas melakukan supervisi terhadap bidan akan meningkatkan pengetahuan yang berpengaruh terhadap kinerja bidan.
2.2.3 Pendidikan Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur karakteristik seseorang. Tingkat pendidikan formal menunjukkan strata intelektual atau tingkat pengetahuan seseorang. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan pendidikan yang lebih tinggi seseorang mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan informasi dan ia lebih terlatih untuk mengolah, memahami, mengevaluasi, mengingat, yang kemudian menjadi pengetahuan yang dimilikinya (Tirtaraharja., 2005). Pendidikan menurut sifatnya dibedakan menjadi (Ahmadi A., Uhbiyati N, 1991) : 1) Pendidikan informal, adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar maupun tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga, dalam pergaulan seharihari, maupun dalam pekerjaan. 2) Pendidikan formal adalah pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah. Dapat
dikatakan
bahwa
semua
manusia
dalam
aspek
kehidupannya agar tidak dikatakan ketinggalan dari yang lainnya mereka memerlukan suatu pendidikan. Dengan pendidikan ini diharapkan nantinya memiliki pengetahuan yang lebih rasional dalam aspek kehidupan. Semua manusia yang telah memperoleh pendidikan tentunya mempunyai tingkatan pendidikan yang mereka peroleh juga berbeda-beda. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan semakin berpengaruh terhadap pola pikir, sikap dan daya nalar dalam menghadapi suatu masalah. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi yang terlatih pola pikirnya dan daya nalarnya tentu akan lebih 10
mudah menerima informasi tentang suatu hal dan menganalisanya, dan menerapkan makna dan segi-segi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari (Mardiatmadja, 1996). Frekuensi informasi yang sering diterima dan berkesinambungan akan mempengaruhi daya ingat dan akan menimbulkan sikap terhadap informasi tersebut (Ahmadi, 1991). Menurut Azwar (1995) lembaga pendidikan mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena lembaga pendidikan meletakkan dasar pengertian dan konsep moral. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan yang diperoleh dari pendidikan dan ajaran-ajarannya. Menurut pemahaman perubahan perilaku, pendidikan dapat menjadi faktor internal sebagai penentu perubahan perilaku sehat. Pendidikan dapat juga menjadi faktor eksternal yang memudahkan seseorang melakukan perilaku sehat. Lingkungan pendidikan seperti teman, guru dan orang lain dapat menjadi pendorong peningkatan perilaku (dalam Simon Morton, 1995). Dari pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan formal dapat mempengaruhi sikap seseorang. Tingkat pendidikan formal memungkinkan seseorang lebih tinggi tingkat pengetahuannya.
2.2.4 Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek atau informasi tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Untuk memperoleh pengetahuan dbutuhkan proses kognitif yang merupakan hal penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Bila
seseorang
dapat
menjawab
pertanyaan-pertanyaan
mengenai suatu bidang tertentu dengan baik secara lisan atau tulisan, maka dapat dikatakan ia mengetahui bidang itu. Sekumpulan jawaban 11
verbal yang diberikan orang tersebut dinamakan pengetahuan (knowledge) (Notoatmodjo, 2003). Petanyaan dapat dipergunakan untuk mengukur pengetahuan dan dapat dikelompokan jadi 2 jenis yaitu : 1. Pertanyaan subyektif misalnya jenis pertanyaan essay 2. Pertanyaan obyektif, misalnya pertanyaan pilihan berganda, benarsalah dan pertanyaan menjodohkan. Dari kedua jenis pertanyaan tersebut, pertanyaan obyektif terutama pilihan berganda lebih disukai untuk dijadikan sebagai alat pengukuran karena lebih mudah disesuaikan dengan pengetahuan yang akan diukur serta lebih cepat dinilai Pengetahuan
merupakan
hasil
stimulasi
informasi
yang
diperhatikan, dipahami dan diingat. Informasi dapat berasal dari berbagai bentuk termasuk pendidikan formal maupun informal, percakapan harian, membaca, mendengar radio, menonton televisi, dan dari pengalaman hidup (Simon-Morton, 1995). Pengetahuan dapat diukur melalui beberapa metode yaitu : wawancara, observasi dan uji tertulis (Elwes dan Simnet, 1995).
2.2.5 Pelatihan Banyak kendala yang akan menghalangi keberhasilan suatu pelatihan, sebagaimana kita ketahui pelatihan yang diberikan pada para Bidan dapat dikategorikan sebagai pelatihan di bidang kesehatan, tidaklah berbeda dengan pelatihan – pelatihan di bidang yang lain yang penuh dengan
unsur
pendidikan,
informasi
dan
penularan
pengetahuan/ketrampilan yang semuanya diperlukan waktu dan sistem yang baik dan harus dapat dilakukan berulang-ulang untuk menumbuhkan motifasi pada diri sendiri (Widyawati S, 2003) Komunikasi pada pelayanan kesehatan dapat dimasukkan dalam bentuk
komunikasi
pribadi
(interpersonal
communication)
yaitu
merupakan komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka 2 orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun kerumunan orang. 12
Untuk melaksanakan komunikasi pribadi yang efektif baik pemberi maupun penerima informasi harus memiliki ciri : keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif dan kesetaraan. Sedangkan penilaian akan keberhasilannya adalah terjadinya sikap perilaku dari penerima informasi (Wiryanto, 2006). Maka selain dari pada itu dalam unsur pendidikan mengandung pokok – pokok penting yang mengait proses pembelajaran, proses sosial, memanusiakan manusia dan berusaha mengubah atau mengembangkan kemampuan, sikap dan perilaku yang positif. Sehubungan dengan banyaknya pesan yang harus disampaikan pada pelatihan APN, kondisi sarana dan prasarana yang belum mencukupi serta masih majemuknya bidan di bidang pendidikan dan banyaknya faktor yang menghadang, maka pemahaman terhadap materi pelatihan tidak menjamin pemahaman mengenai hasil pelatihan (James D, 1996). Sisi lain yang tidak kalah pentingnya dalam melaksanakan pelatihan adalah kinerja pelatih, tempat dan suasana di tempat dilakukannya pertukaran informasi. Tersediannya tempat yang aman dengan alat-alat medis yang cukup, alat peraga audio visual yang cukup, ruangan yang bersih
dan
pelatih
penyelenggaraan
yang
ramah
pelatihan
agar
adalah selalu
modal dapat
utama
dalam
memahami
pelatihan/pengetahuan yang diberikan pelatih. Penyelenggaraan pelatihan yang penuh dengan informasi harus disampaikan oleh pelatih dengan lugas dan dapat dimengerti/diterima oleh para bidan. Oleh karenanya penyampai harus dengan sabar dan tekun. Para pelatih harus melakukan tugasnya secara efektif dan efisien sehingga transfer ilmu dapat lancar dan mudah (Lubis H, 2008).
13
2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Strata Pendidikan Bidan
DI (SMP + 3Th)
Pola Pikir Daya Nalar
D III (SMA + 3Th)
APN
Daya Ingat
Pengetahuaan bidan tentang manajemen aktif kala III Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Bidan mempunyai tugas dan tanggung jawab kepada ibu bersalin dalam mencegah perdarahan postpartum dengan mengacu pada standar pelayanan yang telah ditetapkan. Manajemen aktif kala III sesuai standar pelayanan yaitu pemberian oksitosin 10 IU, penegangan tali pusat terkendali dan masase fundus uteri setelah plasenta lahir akan dapat mencegah ibu hamil bersalin dari perdarahan postpartum. Perdarahan postpartum merupakan salah satu penyebab kematian ibu, apabila tidak ditangani dengan manajemen aktif kala III yang benar akan berdampak meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu bersalin. Pengetahuan manajemen aktif kala III dalam pertolongan persalinan oleh bidan dipengaruhi oleh faktor pendidikan.
2.3 Hipotesis Tingkat pengetahuan tentang manajemen aktif kala III dari hasil pelatihan APN pada bidan dengan srata pendidikan DIII lebih baik dari pada bidan dengan strata pendidikan DI.
14
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik, dengan rancangan penelitian cross sectional, yaitu penelitian epidemiologi yang mempelajari hubungan antara varibel bebas dengan variabel terikat dengan melakukan pengukuran sesaat dan bersamaan.
3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di wilayah kabupaten Sukoharjo.
3.3 Subyek Penelitian A. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua bidan yang telah ikut APN di Kabupaten Sukoharjo baik yang sudah D3 maupun yang belum D3. B. Sampel Penelitian Dalam pelaksanaan pengambilan sampel dilakukan secara total sampling yaitu sejumlah 162 bidan desa yang menolong persalinan di 12 kecamatan wilayah kabupaten Sukoharjo. Dengan pertimbangan bidan-bidan tersebut telah ikut APN.
3.4 Kriteria Subjek A. Inklusi -
Bidan tersebut telah mengikuti APN
-
Berdomisili di wilayah Kabupaten Sukoharjo
B. Eksklusi -
Tidak bersedia menjadi subjek penelitian
15
3.5 Variabel Penelitian Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah : Variabel bebas meliputi : Strata pendidikan bidan Variabel terikat
: Pengetahuan tentang manajemen aktif kala III oleh bidan setelah pelatihan APN.
3.6 Instrumen Penelitian Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif menggunakan kuesioner yang pernah dilakukan dalam penelitian milik AM Sumali, jadi tidak perlu lagi dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Menurut Ernest dan Young (1993), kuesioner adalah kelompok atau urutan pertanyaan yang dibuat untuk memperoleh informasi dari sumber-sumber informasi atau responden yang ditanyakan oleh pewawancara.
3.7 Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan langsung dari bidan di wilayah Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2008.
3.8 Definisi Operasional Tabel 3. 1. Definisi Operasional No
Variabel
Definis Operasional
Skala Pengukuran
1
Variabel bebas adalah
Pendidikan adalah pendidikan profesi
1.Pendidikan
bidan tertinggi yang dimiliki.
Ordinal (Menggunakan wawancara)
D I Kebidanan D III Kebidanan 2
Variabel terikat
Tindakan
pengetahuan
plasenta dengan manajemen aktif kala (menggunakan
manajemen aktif kala
III yang diberikan melalui APN.
16
membatu
melahirkan Ordinal
kuesioner)
III setelah pelatihan
Strata pengetahuan bidan tentang
APN
manajemen
aktif
kala
III
dikategorikan :
Baik Score diatas Means
Kurang
baik
Score
dibawah Means
3.9 Analisis Data Analisa data dengan menggunakan parameter rasio prevalensi dilanjutkan dengan uji bermaknasi menggunakan uji statistik chi-square.
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Subjek penelitian ini adalah bidan yang berdomisili di kabupaten Sukoharjo. Responden di bagi menjadi 2 kategori yaitu bidan yang telah memiliki ijasah DIII kebidanan dan yang belum memiliki ijasah DIII kebidanan (DI). Serta ke dua kategori responden tersebut telah mengikuti pelatihan APN untuk disamakan standar pelayanan kebidanan khususnya manajemen aktif kala III. Kategori ini dibuat dengan dasar pertimbangan bahwa bidan dikatakan sesuai standard profesi dengan syarat pendidikan profesi minimal DIII kebidanan. Bidan yang belum memiliki ijasah D III (DI) dan telah ikut APN sejumlah 102 orang atau 63%. Sedangkan bidan yang telah memiliki ijasah DIII dan ikut APN sejumlah 60 orang atau 37%. Jumlah keseluruhan bidan yang ikut APN 162 bidan (54%), sedangkan yang belum ikut APN 138 bidan ( 46%). Jumlah bidan yang belum D III sejumlah 186 bidan ( 62%) sedangkan yang sudah D III sejumlah 114 bidan (38%). Jumlah bidan D III yang belum ikut APN sejumlah 54 bidan (18 %). Jumlah bidan yang belum DIII dan belum ikut APN sejumlah 84 bidan (28%). Hal tersebut diatas dibandingkan dengan keseluruhan jumlah bidan yang ada di Kabupaten Sukoharjo sebanyak 300 bidan.
Tabel 4. 1. Sebaran bidan di Kabupaten Sukoharjo
BIDAN DI D III
Ikut APN Jumlah 102 60
Jumlah total
162
% 34 20
Belum Ikut APN Jumlah 84 54
% 28 18
54
138
46
18
BIDAN Jumlah 186 114 300
% 62 38 100
Berdasarkan hasil analisis untuk mengetahui hubungan antara variabel pendidikan dan variabel pengetahuan tentang manajemen aktif kala III dengan menggunakan uji statistik Chi-square secara terinci hasil analisis ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. 2. Hasil Penelitian Pengetahuan Manajement Aktif Kala III Baik Kurang Baik
Variabel
N
%
N
D3 Kebidanan
43
71,6
17
D1 Kebidanan
20
19,6
82
X2
95% CI
P
RR
%
Pendidikan
28,4
43,08
4,926 s.d 21,833
0,000
10,37
80,4
Melihat tabel tersebut diatas dari keseluruhan bidan yang ikut APN dan mendapat nilai baik = 63 bidan (39%), yang dapat nilai kurang= 99 bidan ( 61%). Jumlah bidan DIII yang telah mengikuti APN dan mendapat nilai baik adalah 43 bidan (71,6%) dan yang mendapat nilai kurang baik adalah 17 bidan (28,4%), sedangkan bidan D I yang telah mengikuti APN dan mendapat nilai baik sejumlah 20 orang (19,6%). Sedangkan yang mendapat nilai kurang baik sejumlah 82 orang (80,4%). Hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan bidan ada hubungan bermakna dengan pengetahuan bidan dalam hal manajemen aktif kala III ( p=0,000 dan RR=10,37 ). Bidan yang pendidikannya belum D I cenderung kurang baik dalam pengetahuan tentang manajemen aktif kala III hasil pelatihan APN sebesar 10,37 X dibandingkan dengan bidan yang telah berpendidikan D III, dimana 95 % CI : 4,926 – 21,833.
19
4.2 Pembahasan Dari latar belakang penelitian ini bahwa upaya dari DINKESSOS kabupaten Sukoharjo untuk melaksanakan APN yang didalamnya terdapat manajement aktif kala III tidak memperoleh hasil yang bermakna. Hal ini dikarenakan apanya perbedaan strata pada bidan yang mengikuti APN sehingga akan mempengaruhi pemahaman tentang pengetahuan manajament aktif kala III. Dari hasil pelatihan seluruh bidan yang ikut APN sejumlah 162 orang yang memahami dengan baik yaitu 63 bidan (39%) yang kurang baik adalah 99 bidan (61%). Bidan D III lebih banyak yang mendapat nilai diatas mean (71,6%) dibanding dengan yang dibawah mean (28,4%). Sedangkan bidan DI lebih banyak yang mendapat nilai
dibawah mean (80,4%)
dibandingkan dengan yang mendapat nilai diatas mean (19,6%). Dengan melihat hasil penelitian tersebut diatas berarti strata bidan mempunyai hubungan yang bermakna terhadap pengetahuan tentang manajemen aktif kala III. Bidan yang pendidikannya belum D III cenderung mempunyai pengetahuan tentang manajemen kala III yang kurang baik dibandingkan dengan bidan yang pendidikannya lebih D III setelah mendapatkan pelatihan APN. Pengetahuan merupakan hasil stimulasi informasi yang diperhatikan, dipahami dan diingat. Informasi dapat berasal dari berbagai bentuk termasuk pendidikan
formal
maupun
informal,
percakapan
harian,
membaca,
mendengar radio, menonton televisi, dan dari pengalaman hidup (SimonMorton, 1995). Bila seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai suatu bidang tertentu dengan baik secara lisan atau tulisan, maka dapat dikatakan ia mengetahui bidang itu. Sekumpulan jawaban verbal yang diberikan orang tersebut dinamakan pengetahuan (knowledge) (Notoatmodjo, 2003). Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur karakteristik seseorang. Tingkat pendidikan formal menunjukkan strata intelektual atau tingkat pengetahuan seseorang. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan 20
pendidikan yang lebih tinggi seseorang mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan informasi dan ia lebih terlatih untuk mengolah, memahami, mengevaluasi, mengingat, yang kemudian menjadi pengetahuan yang dimilikinya (Tirtaraharja., 2005). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi pula tingkat perkembangan dan kemampuan dalam mengetahui atau memahami pengetahuan ( Simon-Morton 1995 ). Berdasarkan hasil penelitian ini upaya – upaya untuk meningkatkan pengetahuan bidan perlu mempertimbangkan faktor pendidikan. Pendidikan mengandung pokok-pokok penting yang mengait proses pembelajaran, proses sosial memanuasiakan manusia dan berusaha mengubah atau mengembangkan kemampuan, sikap dan perilaku yang positif ( Sukanto S, 1992 ). Faktor pendidikan adalah merupakan faktor yang terpenting untuk memahami informasi, seorang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional dari pada mereka yang berpendidikan kurang. Selain itu mereka juga akan lebih terbuka dan dapat juga lebih menyesuaikan diri terhadap segala sesuatunya yang berhubungan dengan hal-hal atau informasi yang baru ( Istiarti, 2000 ). Perbedaan tingkat pendidikan akan menyebabkan perbedaan pengetahuan. Pendidikan adalah merupakan satu kebutuhan dasar yang dibutuhkan untuk mengembangkan diri ( Mardiatmaja, 1996 ). Menurut Basov dan Sulen terdapat korelasi yang positif antara tingkat pendidikan
dan
status/
pengetahuan
kesehatan.
Makin
meningkat
pendidikanya maka pengetahuan / status kesehatan seseorang juga meningkat, sebaliknya tingkat kesehatan seseorang adalah investasi yang cukup tinggi untuk meningkatkan pendidikan. Menurut Hindun memaparkan persepsi yang sama dalam penelitianya bahwa pendidikan mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap pengetahuan setelah mendapatkan pelatihan. Banyak kendala yang akan menghalangi keberhasilan suatu pelatihan atau penyuluhan, sebagai mana kita ketahui pelatihan yang diberikan di kategorikan sebagai pelatihan di bidang kesehatan, tidaklah berbeda dengan pelatihan-pelatihan dibidang yang lainya, yang penuh unsur pendidikan, informasi dan penularan pengetahuan. Yang semuanya diperlukan waktu, 21
sistem yang baik dan harus dapat dilakukan berulang-ulang untuk menumbuhkan motivasi pada diri sendiri ( Widiawati S, 2003). Komunikasi pada pelatihan kesehatan dapat dimasukkan dalam bentuk komunikasi pribadi ( Interpersonal Communication) yaitu komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kerumunan orang. Untuk melaksanakan komunikasi yang efektif baik pemberi maupun penerima informasi harus memiliki ciri sebagai mana berikut: Keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif dan kesetaraan sedangkan penilaian akan keberhasilanya adalah terjadinya perubahan sikap prilaku dari penerima informasi ( Wiryanto, 2006 ). Sisi lain yang tidak kalah pentingnya dalam melaksanakan pelatihan adalah kinerja pelatih, tempat dan suasana di tempat dilakukannya pertukaran informasi. Tersediannya tempat yang aman dengan alat-alat medis yang cukup, alat peraga audio visual yang cukup, ruangan yang bersih dan pelatih yang ramah adalah modal utama dalam penyelenggaraan pelatihan agar selalu dapat
memahami
pelatihan/pengetahuan
yang
diberikan
pelatih.
Penyelenggaraan pelatihan yang penuh dengan informasi harus disampaikan oleh pelatih dengan lugas dan dapat dimengerti/diterima oleh para Bidan. Oleh karenanya penyampai harus dengan sabar dan tekun. Para pelatih harus melakukan tugasnya secara efektif dan efisien sehingga transfer ilmu dapat lancar dan mudah (Lubis H, 2008). Menurut Mardi Atmaja (1996), semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin berpengaruh terhadap pola pikir, sikap dan daya nalar dalam menghadapi suatu masalah. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka akan lebih terlatih pola pikir dan daya nalarnya sehingga akan lebih mudah menerima informasi tentang suatu hal dan menganalisanya. Frekuensi informasi yang sering diterima dan berkesinambungan akan mempengaruhi daya ingat. Dari penelitian ini terbukti bahwa bidan D III yang berasal dari SMA lebih baik dalam penerimaan pengetahuan tentang manajemen aktif kala III dari hasil pelatihan APN dibanding D I yang berasal dari SMP.
22
Di kabupaten Sukoharjo bidan yang pendidikannya belum D III sejumlah 186 bidan (62%). Hal ini lebih banyak di banding dengan bidan yang sudah D III sejumlah 114 orang (38%). Hal ini berarti bidan yang belum berpendidikan diwajibkan mengikuti pendidikan lanjutan agar dapat mencapai kompetensi maupun standar profesi. Setelah itu mereka diwajibkan untuk ikut pelatihan APN. Bidan yang belum pernah mengikuti pelatihan APN berjumlah 138 bidan (46%) dari 300 bidan yang ada di kabupaten Sukoharjo. Padahal pelatihan ini sangatlah diperlukan bidan untuk meningkatkan pengetahuan dalam pertolongan persalinan khususnya pelaksanaan manajemen aktif kala III. Tetapi lebih baik pelatihan APN dilaksanakan setelah pendidikan D III kebidanan agar mendapat hasil yang optimal.
23
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Dari uraian hasil penelitian yang telah disajikan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa : Bidan yang memahami dengan baik manajement aktif kala III setelah mendapat pelatihan APN adalah 63 bidan (39%). Dari keseluran biodan DIII yang ikut APN 71,6% yang mendapat nilai baik, sedangkan DI sebanyak 19,6%. Hal ini menggambarkan adanya hubungan antara strata pendidikan bidan dengan pemahaman pengetahuan manajement aktif kala III.
5.2 SARAN Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti memberikan saran sebagai berikut : 1. Bidan yang mengikuti APN dianjurkan yang telah lulus D III agar pengetahuan yang didapat lebih baik dan tidak terjadi kesalahan persepsi. 2. Menilai materi dan waktu pelatihan dan meninjau kembali tugas-tugas dari para bidan.
24
DAFTAR PUSTAKA AbouZahr, C., (1998). Antepartum And Postpartum Haemorrhage. In Murray, C., J., L., and Lopez, A., D., eds. Health Dimensions Of Sex And Reproduction. Boston : Harvard University Press. Page 17-21 Ahmadi A, 1991. Sosiologi Pendidikan, Edisi ke-2, Jakarta,Rineka cipta, hal : 162-9 Akins, S. (1994). Postpartum Haemorrhage : 90s Approach To An Age-Old Problem. Journal Nurse-Midwifery 39 (2), Supplement : 123S-134S, March/April 1994. page 102-106 Arikunto, S. (1998). Metodologi Penelitian. Rineka Cipta : Jakarta. Hal 31-33 Azwar, S. (1995). Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya. Edisi 2, Liberty Yogyakarta. Hal 22 -27 Basov J, Suren P, 2002. Heterogenous Human Capital in Life, Cycle Invesment, Healthand Education, Australia Univesity of Melbourne, page 124-5 Departemen Kesehatan R.I, (2002), Kurikulum Pendidikan D-III Kebidanan Tahun 2002, Bakti Husada, Jakarta hal 27 Djaja, S., Suwandono, A. (2001). “The Determinat of maternal morbidity in Indonesian”, Regional Health Forum, hal 1-10. Ernest & Young. (1993). The Manager’s Self Assesmant Kit. Pustaka Binawan Presisindo, Jakarta. Page 18 - 22 Ewies, L, dan Simnet, Ina, (1994), Promosi Kesehatan, Terjemahan Ova Emilia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Hal 45 – 49 Hindun, 2008, Upaya Meningkatkan Kinerja Bidan di Desa Dalam Pelayanan Antenatal Bedasarkan Prespektif Karakteistik Bidan dan Ibu Hamil di Kabupaten Bangkalan, Surabaya, Airlangga Uniiversity Library. Istianti, 2000. Menanti Buah Hati Dalam Kaitan Antara Kemiskinan dan Kesehatan . Yogyakarta, Media Presindo, hal 79-83 Ikatan Bidan Indonesia (IBI). (1999). Standard Profesi Kebidanan. Yayasan Buah Delima, Jakarta. Hal 9 -12 James D, 1996., Organization of Prenatal Care and Identification of Risk in James DK, 1 st ed., London, WD Saundesr Company Ltd, page21 -23.
25
Khan. GQ., John, IS., Chan, T., Wani, S., Hughes, AO., Stirat, GM (1995). “ Abu Dhabi Third Stage Of Labour,” Eur J Obtet Gynecol Repro Bio; 58: 14751. Lubis H, 2008, Total Motivation , Yogyakarta, POR-YOU , hal 16 - 33 Manuaba, A. B. (1998). Ilmu Kebidanan dan KB Untuk Pendidikan Kebidanan. EGC, Jakarta. Hal 22 - 24 Mardiatmaja P., 1996. Tantangan Dunia Pendidikan, Jakarta, Kanisius, Hal: 21-5 Mario, R., Festin at. Al. (2003): WHO International Survey on Variations in Practice of the Management of the Thirtd Stage of Labour” Bulletin WHO, 2003, 81(4). Page 62 -65 Mayor Polak, 1979. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Penerbit Balai Buku “Ichtiar”, hal: 71-5 McDonald, SJ., Prendivelli, WJ., Blair, E. (1993). “Randomised Controlled Trial of Oxytocin Alone Vs Oxytocin and Ergometrine in Active Management of Third Stage of Labour,” BMJ; 307 :1167-71. Muchlas, M. (1997). Perilaku Organisasi II. Program Pascasarjana. Magister Rumah Sakit, UGM, Yogyakarta. Hal : 29 - 33 Mukti, A. G (1998). Menjaga Mutu Pelayanan Bidan Desa. Penerapan Metode Belajar Berdasar Masalah. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal 47 - 50 Notoadmojo S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta, hal : 46-55 Prendiville, WJ., Elboume, D., Mcdonal, S. (2000). Active Versus Expectant Management in The Third Stage of Labour. (Chochrane Review). In The Chochrane Library, 1, Oxford : Update Software. Page 124 - 128 Robbins. (1996). Perilaku Organisasi. PT Prenhallindo. Jakarta. Hal 64 - 66 Sarwono, S. (1997). Sosiologi Kesehatan. Gadjah Mada University Press. Hal 22 24 Simon-Morton, B., Green, W. H., H. (1995). Introduction to Health Education and Health Promotion. Waveland Press, Inc, USA. Page 134 - 137 Spancer, P. (1962). “Controlled Cord Traction in the Managemant of Third Stage of Labour”. BMJ. 1962: 1728-1732.
26
Sugiono. (1999). Statistik Untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta, Bandung. Hal 47 49 Suhadi, A., Hakimi, M. (2000). “ Evaluasi Penetalaksanaan Pelatihan Ketrampilan Kegawatdaruratan Obsteri dan Neonatal bagi bidan desa di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah”, Medika No. 3 tahun XXVI. Sutrisno, Andriani, L. (1999). “Karakteristik Kematian Maternal di Kabupaten, Timor, Tengah”, Utara. Cermin Dunia Kedokteran, No: 125, 36-40. Sumali, A. M. (2004). “Hubungan Strata Pengetahuan Bidan Desa Dengan Cakupan Penanganan Persalinan di Kabupaten Pemalang”, Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hal 72 - 75 Syah, M., Prawitasari, J.E. (1998). “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Bidan Dalam Pelayanan Antenatal di Kabupaten Pati”, Jurnal Menejemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 01/1998. Hal. 77-85. Syah, M., Yohana, M. J. (1998). “Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Bidan Dalam Pelayanan ANC di Kabupaten Pati”, Jurnal Menejemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 01/none 02/1998. Hal 13 -16 Soekanto S, 1992. Sosiolagi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawaliu, Hal 40-68 Tirtaraharja U., 2005. Pengantar pendidikan , Jakarta, Rineka Cipta, hal : 88 -9. Wiryanto, 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakata, Grasindo, hal 32-43 Widayati S, 2003. Hubungan berapa Karakteistik Bidan, Kelengkapan Srana dan Kualitas Pelayanan Antenatal dengan Cakupan K4 di Kabupaten Bandung tahun 2002, Skripsi Biostatistik dan kependudukan UGM. Waspodo, D., Joewono, H. T, Suwardi. (1999). “Perbandingan Aktif Pertolongan Kala III Antara Oksitosin IM Dengan Mesoprostol Perrectal”, Majalah Obstetrik Ginaekologi. Vol. 8. No. 2, hal 15-20. Wood, J., Rogers, J. (1997). The Stage of Labour. in : Alexander J, Levy V, Roth C (eds) Midwifery Practice : Core Topic 2, London Macullian. Page 21 25 Zapata, B. C., and Godue, C. J. M. (1997). “International Maternal and Health Child”, In Kotch, J. B. Maternal and Child Health Programs. Problems, Ang Policy in Public Health. Chapter 13. Apsen Publisher Inc., Guiherburg, Maryland, Page 245-248.
27