1
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KECENDERUNGAN BURN OUT PADA GURU WANITA SMU FINTA EKA WULANDANI 01 320 224
Abstrak Kecenderungan burn out merupakan kecenderungan individu untuk mengalami kondisi ketegangan psikis yang ditandai dengan kelelahan fisik, mental dan emosional serta adanya penghargaan yang rendah terhadap diri. Aspek kecenderungan burn out antara lain physical exhaustion, emotional exhaustion, depersonalization dan low of performance. Religiusitas adalah sikap individu dalam memahami, menghayati, mengaplikasikan nilai-nilai luhur dan aturan-aturan agama yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Aspek religiusitas antara lain akidah, ibadah, ihsan, ilmu dan amal. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara religiusitas dengan kecenderungan burn out pada guru wanita SMU. Subjek penelitian adalah guru wanita SMU dengan rentangan usia 22 – 50 tahun, beragama Islam. Subjek dalam penelitian seluruhnya berjumlah 90 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala kecenderungan burn out yang didasarkan pada teori Maslach dan Jackson dilengkapi oleh teori Baron dan Greenberg dan skala religiusitas dikembangkan berdasarkan teori Glock dan Stark dilengkapi teori Nashori dan Mucharam. Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis product moment pearson onetailed. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi negatif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan kecenderungan burn out dengan rxy = -0,480 dengan p = 0,000 (p < 0,01). Dengan demikian hipotesis penelitian dapat diterima. Korelasi negatif menandakan bahwa semakin tinggi religiusitas maka kecenderungan burn out pun semakin rendah. Sebaliknya semakin rendah religiusitas maka kecenderungan burn out pun semakin tinggi. Sumbangan efektif religiusitas terhadap kecenderungan burn out adalah sebesar 23% sedangkan 77% lainnya adalah faktor lain, seperti usia, kepribadian, karakteristik pekerjaan dan sebagainya. Berdasarkan perolehan mean empirik subjek dalam penelitian ini termasuk kategori sedang untuk kecenderungan burn out dan religiusitas. Hal ini ditunjukkan data yang menyebutkan bahwa untuk kategori sedang pada skala kecenderungan burn out sebesar 70% dengan nilai mean empirik 89,62 yang berada pada rentangan 76,42 < X < 102,82. untuk skala religiusitas sebesar 57,78% kategori sedang dengan nilai mean empirik 147,06 yang berada pada rentangan 134, 16 < X < 159,96. Kata kunci : Religiusitas, Kecenderungan Burn Out
2
PENDAHULUAN Pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi telah banyak mengubah kondisi sosial, budaya, pola pikir, gaya hidup masyarakat. Perubahan tersebut tidak terlepas dari perkembangan masyarakat dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, sehingga merubah pola berpikir dan tatanan nilai tradisional. Tatanan nilai tradisional tidak lagi dapat bertahan dan tergantikan oleh nilai-nilai yang modern sehingga menyebabkan terjadi perubahan sosial, dimana wanita “meninggalakan rumah” dan memilih bekerja di luar rumah menjadi wanita karir sekalipun mereka juga sebagai ibu rumah tangga (Supardi, 1987). Jumlah atau prosentase wanita yang bekerja di luar rumah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini diungkapkan oleh Kantor Menteri Negara Urusan Wanita (1995) tentang semakin melajunya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan dalam kurun waktu antara 80-an sampai 90-an yaitu mencapai angka 4,4% dibandingkan dengan laki-laki yang hanya sebesar 3,18% (Idrus, 2001). Diasumsikan peningkatan tersebut terjadi karena adanya kesempatan yang terbuka bagi wanita untuk menuntut ilmu yang tinggi, terbukanya kesempatan yang luas pada wanita untuk berkarir (aktualisasi diri) dan adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi agar tetap survive, seiring dengan semakin tingginya tingkat kebutuhan hidup yang tidak sebanding dengan penghasilan, serta meningkatnya kesadaran dan berkembangnya pola pikir para wanita untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain dengan kemampuan mereka dan mengubah pandangan negatif masyarakat tentang wanita yang hanya mampu bekerja di sektor domestik saja.
3
Wanita karir merupakan pilihan hidup bagi wanita masa kini walaupun tidak sedikit diantara mereka yang menjani fungsi ganda. Berbagai alasan yang dikemukakan antara lain karena kebutuhan finansial, kebutuhan akan sosial relasional, kebutuhan akan aktualisasi diri serta hanya untuk menghindar dari keluarga karena persoalan psikologis yang mendalam (Rini, 2002). Dalam menjalankan peran wanita karir, seorang wanita dihadapkan pada berbagai tuntutan dan tugas-tugas dari tempat kerja. Tuntutan tersebut dapat menjadi sumber konflik yang dapat menimbulkan ketegangan dan tekanan yang dapat menimbulkan perasaan cemas, stres, frustrasi, kelelahan psikis bahkan depresi (Rini, 2002). Kondisi kelelahan tersebut dikenal dengan istilah burn out. Beberapa penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa guru merupakan profesi yang beresiko tinggi mengalami stres kerja yang bersifat kronis dan mengarah pada kecenderungan burn out. Kyriacou (Prawasti dan Napitupulu, 2002)
mengatakan
stres
kerja
yang
dialami
oleh
guru
disebabkan
ketidakmampuan untuk meningkatkan motivasi siswa dalam aktualisasi di sekolah sebagai akibat rendahnya motivasi siswa tersebut, menghadapi tingkah laku siswa yang kurang disiplin, kesempatan berkarir yang terbatas, penghasilan yang rendah, perlengkapan mengajar yang sederhana dan kelas yang sangat besar. Sedangkan Supriadi (Prawasti dan Napitupulu, 2002) mengatakan bahwa stres kerja pada guru disebabkan oleh adanya pandangan sebelah mata pada peran guru dan rendahnya atau terbatasnya kesempatan untuk mengembangkan karir. Selain itu, sering kali terjadi semua kesalahan pendidikan ditimpakan pada guru dan guru tidak diperlakukan secara profesional dalam bidangnya, permasalahan ini menjadi semakin kompleks karena kesejahteraan guru yang kurang mendapatkan perhatian jika dibandingkan dengan tugas dan jasa yang
4
mereka lakukan dan berikan. Hal inilah yang mendorong timbulnya stres pada guru yang dapat mengarah pada kecenderungan burn out, terutama pada guru wanita, karena tugas dan beban mereka terutama secara emosional lebih berat jika dibandingkan rekan kerja pria mereka. Menjalani kehidupan adalah wajar jika individu selalu berhadapan dengan berbagai permasalahan, konflik, tugas-tugas berat yang menyita waktu, biaya dan tenaga. Namun, hal tersebut dapat diatasi dan tidak perlu menimbulkan stres, manakala individu mempunyai kepribadian yang di dalamnya terkandung unsur iman dan agama yang teguh (Lestari dan Purwati, 2002). Dengan religiusitas yang dimiliki, diharapkan akan adanya suatu sikap penerimaan diri terhadap keadaan, tetap tenang apabila dihadapkan pada permasalahan yang komplek dan tugas yang berat, tetap berfikiran positif dan sabar. Tugas dan beban yang diemban dijadikan sebagai suatu bentuk ibadah kepada Allah dan dilaksanakan dengan keikhlasan. Selain itu, apabila mengahadapi hambatan atau kesulitan dalam perjalanan tersebut, tetap tenang dan berusaha mencari jalan keluar, tidak larut dalam kesulitan tersebut yang dapat menyebabkan stres. Ancok (2004) mengatakan untuk mengatasi keadaan kehilangan kontrol pribadi tersebut perlunya para wanita karir untuk banyak berolahraga, berekreasi dan meningkatkan daya tahan mental melalui kegiatan keagamaan atau kegiatan spiritual untuk meningkatkan religiusitas dan pengetahuan tentang cara mengatasi stres (stress management). TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dengan kecenderungan burn out pada wanita karir.
5
TINJAUAN PUSTAKA A. KECENDERUNGAN BURN OUT 1. Pengertian Kecenderungan Burn Out Burn out merupakan salah satu fenomena yang berkaitan dengan stress kerja yang banyak ditemukan dalam profesi human services yaitu orang yang bekerja pada bidang pelayanan kemanusiaan dan menuntut keterlibatan emosional yang tinggi (Tjondronegoro, 2004). Pines dan Aronson (Farhati dan Rosyid, 1996) menyatakan bahwa burn out adalah suatu bentuk ketegangan atau tekanan psikis yang berhubungan dengan stres yang kronik yang ditandai dengan kelelahan fisik, mental dan emosional. Globiewsky (Farhati dan Rosyid, 1996) menyatakan burn out muncul dalam bentuk berkurangnya kepuasan kerja, partisipasi menurun, meningkatnya frekuensi absensi dan menurunnya disiplin kerja. Maslach, Jackson dan Meier (Randall dan Scott, 1988) mendefinisikan burn out sebagai kondisi perasaan dan sikap pegawai yang ditandai dengan kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi atau sikap untuk menarik diri dari orang lain dan pekerjaan, dan tidak adanya penghargaan atau pengakuan akan hasil kerja karena ketidakpuasan dengan prestasi kerja dan menilai diri negatif. Freudenberger (As’ad, 2000) menyoroti aspek kelelahan psikis, frustrasi dan ketidakmampuan
untuk
memberi
penghargaan
yang
tinggi
terhadap
pekerjaannya sebagai fenomena burn out. Burn Out adalah situasi kehilangan kontrol pribadi karena terlalu banyak tekanan pekerjaan terhadap dirinya (Ancok, 2004). Pines (2002) mendefinisikan burn out sebagai kondisi kelelahan fisik,
6
emosional dan mental yang disebabkan oleh lamanya waktu untuk terlibat dalam aktivitas dan dalam situasi yang memerlukan keterlibatan emosional yang tinggi. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa burn out adalah suatu kondisi ketegangan psikis yang ditandai dengan kelelahan fisik, mental dan emosional serta adanya penghargaan yang rendah terhadap diri sebagai akibat dari stres yang bertumpuk dan ketidakmampuan diri untuk mengontrol kondisi tersebut. Sedangkan kecenderungan burn out adalah kecenderungan individu untuk mengalami kondisi burn out. 2. Faktor-faktor Penyebab Burn Out Farhati dan Rosyid (Tjondronegoro, 2004) mengungkapkan beberapa faktor penyebab burn out yang berasal dari internal antara lain : 1. Usia Hal ini terkait dengan kemampuan berfikir seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungan dan individu yang usianya berbda-beda 2. Jenis kelamin Wanita dan pria memiliki cara yang berbeda dalam mengahdapi masalah. Pria akan lebih mengutamakan tindakan seara langsung dan rasional. Schultz dan Schultz (1994) mengatakan bahwa wanita memiliki frekuensi burn out lebih besar daripada pria. 3. Harga diri Harga diri adalah perasaan berharga yaitu bagaimana seseorang menilai dan menghargai dirinya sendiri. Harga diri yang rendah berkorelasi dengan kecenderungan burn out.
7
4. Kepribadian Kepribadian mencirikan sifat yang membuat individu memiliki karakteristik dan mempunyai cara tertentu dalam menghadapi persoalan. Kepribadian yang mudah pesimis, sulit mengontrol lingkungan dan tantangan serta kurang mampu melibatkan diri dengan sepenuh hati akan lebih memiliki kecenderungan mengalami burn out. Faktor internal lainnya yang mungkin mempengaruhi kecenderungan burn out adalah religiusitas. Penulis menyimpulkan hal ini berdasarkan penelitian Sentot (1993) yang menemukan adanya hubungan yang signifikan religiusitas dengan depresi. Greenhaus, Callanan, Godshalk
(2000) menyebutkan beberapa faktor
eksternal penyebab burn out adalah sebagai berikut ; 1. Organizational characteristic Organisasi atau instansi yang memiliki centralization system dalam pengambilan keputusan cenderung tidak memberikan kesempatan kepada bawahan untuk terlibat di dalamnya sehingga menimbulkan ketidakpuasan terhadap pemimpin dan kekecewaan, akibatnya dalam melaksanakan pekerjaan menjadi kurang maksimal, karena karyawan merasa tidak dibutuhkan. 2. Job demands Job demand terkait dengan waktu kerja dan tekanan yang ada dalam pekerjaan, beban tanggung jawab terhadap orang lain, pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang.
8
3. Role characteristic Role characteristic dibagi menjadi tiga, yaitu role conflict yang berkaitan dengan konflik jabatan atau peran dalam pekerjaan dengan harapan diri, role ambiguity berkaitan dengan kejelasan akan tugas yang harus dikerjakan sesuai
dengan
deskripsi
kerja
sedangkan
role
overload/underload
berhubungan dengan banyak dan sedikitnya pekerjaan yang diberikan. 4. Interpersonal relationship Berkaitan dengan konflik dengan rekan kerja dan kelompok lain dan persaingan antar rekan kerja 5. Working conditions Berkaitan dengan suasana di tempat kerja seperti kebisingan, suhu udara, dan kepadatan ruang kerja 6. Career concern Berkaitan dengan perubahan dalam pekerjaan, lokasi, pemimpin, bias di tempat kerja, pengembangan karir karyawan, kehilangan dan kekurangan karyawan 7. Nonwork pressure Hal ini terkait dengan konflik keluarga, seperti perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, kehilangan salah satu pasangan hidup, kelahiran anak yang tidak diinginkan. Berdasarkan uraian, faktor-faktor penyebab burn out dibagi dua, yaitu secara internal dan eksternal. Internal antara lain usia, jenis kelamin, kepribadian, religiusitas. Sementara eksternalnya antara lain kondisi pekerjaan, hubungan interpersonal dengan rekan kerja, waktu kerja yang padat, gaji yang
9
sedikit, jenis pekerjaan, tuntutan untuk pekerjaan, gaya kepemimpinan dan adanya tekanan dalam pekerjaan. 3. Indikator Burn Out Maslach dan Jackson (Reggio, 1993) menyebutkan tiga indikator burn out, yaitu emotional exhaustion, depersonalization, dan low of performance. Baron dan Grenberg (2003) membagi burn out menjadi tiga, yaitu : 1. Physical exhaustion Ditandai dengan penurunan energi tubuh dan mudah merasa lelah. Symptom lainnya yang dirasakan oleh fisik antara lain mudah terserang sakit kepala, sulit tidur dan perubahan pada pola makan. 2. Emotional exhaustion Ditandai dengan depresi, merasa tidak berdaya, dan merasa terkukung dengan pekerjaan tersebut 3. Depersonalization Depersonalisasi adalah suatu kondisi yang dialami oleh penderita burn out dimana munculnya kelelahan dalam melakukan hubungan sosial dengan orang lain. Penderita biasanya menunjukkan sikap negatif seperti sinis, apatis pada orang lain. 4. Feeling of low personal accomplishment Orang yang mengalami burn out merasa bahwa diri mereka tidak mampu menyeleseikan tugas-tugas mereka, tidak mampu memberikan yang terbaik dari diri mereka dan merasa bahwa mereka tidak akan mungkin meraih sukses di masa depan.
10
Berdasarkan pendapat di atas maka disimpulkan beberapa indikator burn out , antara lain : 1. Physical Exhaustion Ditandai dengan merasa mudah lelah, sakit kepala, sering mual, mengalami perubahan pola makan dan tidur, merasa terkuras tenaganya secara berlebihan, sehingga tubuh tidak bersemangat dalam bekerja. Kelelahan fisik ini dirasakan secara biologis oleh tubuh. 2. Emotional Exhaustion Kelelahan emosional ditandai dengan munculnya rasa frustrasi, depresi, mudah sedih, pesimis, mudah marah, merasa tidak berdaya pada diri sehingga mempengaruhi
konsentrasi
dalam
bekerja
yang
dapat
berimbas
pada
produktivitas kerja individu tersebut. 3. Depersonalization Kondisi ini ditandai dengan munculnya sikap tidak peduli dengan lingkungan sekitar baik dalam keluarga maupun dengan rekan kerja, sikap kurang menghargai pekerjaan orang lain, kurang memiliki pandangan yang positif pada orang lain, munculnya perilaku apatis, cuek, kasar dan kurang sensitif. 4. Low of Performance Perasaan ini muncul karena adanya ketidakpuasan dalam diri untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat dalam hidupnya bagi orang lain, merasa tidak kompeten dalam pekerjaan dan merasa belum optimal dalam melakukan sesuatu. Dalam pekerjaan individu merasa tidak bisa memberikan yang terbaik untuk pekerjaannya, sehingga muncul pandangan yang negatif terhadap diri sendiri.
11
4. Dampak Burn Out Greenhaus,
Callanan,
Godshalk
(2000)
mengungkapkan
beberapa
konsekuensi dari burn out, antara lain : 1. Negative emotion. Seseorang yang mengalami burn out memiliki negative emotional yang lebih tinggi dari orang biasa, misalnya rasa cemas yang berlebihan, merasa tidak percaya diri dan mudah marah. Pada dasarnya emosi yang negatif ini akan menjadi kronis dan akan mengarah pada kelelahan emosional. 2. Interpersonal friction dan withdrawal Seseorang yang mengalami burn out mamiliki rasa empati yang kecil dengan orang lain yang berada di sekitarnya. Komunikasi dengan orang lain pun menjadi kurang dan seseorang yang mengalami burn out akan menarik diri sebagai suatu bentuk penyesuaian atas perasaan yang dialami. 3. Health suffers Keadaan psikologis yang tertekan berpengaruh pada keadaan fisik seseorang yang mengalami burn out. Reaksi fisik terhadap keadaan ini antara lain merasa kedinginan, sakit kepala, insomnia dan sakit punggung. 4. Declining performance Kondisi burn out yang semakin meningkat berdampak pada semangat dan produktifitas kerja karyawan. Individu akan mengalami kebosanan dan menemui kesulitan untuk menumbuhkan kembali semangat kerja dan meningkatkan produktivitas dalam kerja mereka.
12
5. Substance abuse Sebagai suatu bentuk penyesuaian (cope) terhadap keadaan stres, dilampiaskan pada minuman. Penderita burn out banyak ditemukan minum alkohol atau kopi yang berlebihan, mengkonsumsi obat-obatan, pola makan yang kacau dan merokok yang berlebihan. 6. Feelings of meaninglessness Seseorang yang mengalami burn out menjadi apatis dengan lingkungan sekitarnya. Rasa antusiasme diwujudkan dalam bentuk sikap sinis. Berdasarkan pendapat di atas maka disimpulkan dampak burn out dibagi dua, yaitu secara eksternal (dalam hal ini di tempat kerja) dan secara Internal (individu). Secara eksternal, antara lain terjadinya turn over karyawan pada perusahaan, abesnteism, kekerasan ditempat kerja terutama dengan rekan kerja, penurunan kualitas pelayanan perusahaan. Secara internal antara lain memiliki penilaian yang rendah terhadap diri, tidak percaya diri, menarik diri dari orang lain, motivasi untuk bekerja menurun, mudah marah. B. RELIGIUSITAS 1. Pengertian Religiusitas Jamaludin (1995) mengungkapkan bahwa religiusitas berbeda dengan agama, seseorang yang beragama belum tentu religius, tetapi seseorang yang memiliki religiusitas secara otomatis beragama, artinya agama belum dapat menentukan apakah seseorang tersebut religius atau tidak. Verawaty (2003) mendefinisikan religiusitas sebagai meliputi
keyakinan,
totalitas keberagamaan seseorang yang
penghayatan,
pengetahuan
dan
konsekuensi
keberagamaannya. Adityo (2004) mendefinisikan religiusitas sebagai bentuk totalitas keberagamaan seseorang yang meliputi kualitas religius seseorang
13
meliputi kualitas jasmani dan rohani, fikir dan dzikir, akidah dan ritual, penghayatan dan pengamalan, akhlak, individual dan kemasyarakatan, dunia dan ukhrawi. Wahid (2005) mengatakan religiusitas ialah penghayatan terhadap nilai-nilai yang disampaikan agama dan dipraktikkan dalam kehidupan seharihari. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan sikap individu dalam memahami, menghayati, mengaplikasikan nilainilai luhur dan aturan-aturan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh kesadaran dan keikhlsan untuk mengharap rihdo Tuhannya yang akan tercermin dalam perilakunya. 2. Aspek-aspek Religiusitas Glock dan Stark (Rakhmat, 2003) membagi dimensi religiusitas ke dalam 5 kategori, yaitu : 1. Dimensi ideologis Dimensi ini berkaitan dengan kepercayaan seseorang terhadap agamnya dan dimensi ini merupakan dimensi paling dasar dalam hidup manusia. Rakhmat (2003) mengatakan dimensi ideologi inilah yang membedakan antara satu agama dengan agama lainnya. 2. Dimensi Ritualistik Dimensi ini berhubungan dengan sejauh mana tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang diperintahkan oleh agama, seperti melaksanakan puasa, sholat, zakat, menunaikan ibadah haji. Rakhmat (2003) mengatakan dimensi ini berkaitan dengan sejumlah perilaku khusus yang dilakukan seseorang sebagai suatu sikap taat pada ajaran agamanya.
14
3. Dimensi Eksperensial Dimensi ini berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama. Psikologi menyebutnya dengan istilah religious experiences. Sentot (1993) mengungkapkan, dimensi ini menunjukkan seberapa jauh tingkat seseorang
dalam
merasakan
dan
mengalami
perasaan-perasaan
atau
pengalaman-pengalaman religinya sebagai suatu akibat kedekatannya dengan Allah SWT. 4. Dimensi intelektual Dimensi ini berkaitan dengan pengetahun dan pemahaman seseorang terhadap informasi khusus tersebut. Informasi khusus berupa hukum-hukum agama, halal dan haramnya perbuatan, kebenaran akan kitab suci agamanya, ritual-ritual keagamaannya. Dengan pengetahuan tersebut diharapkan individu dapat mengetahui dan memahami akan kebenaran dalam ajaran agamanya serta manjaga diri agar tidak melanggar ajaran agamanya itu sehingga dalam kehidupan pun mendapatkan ketenangan. Adityo (2004) menyebutkannya dengan dimensi ilmu. 5. Dimensi Konsekuensial Dimensi ini menunjukkan akibat ajaran agama dalam perilaku umum, yang tidak secara langsung dan secara khusus ditetapkan agama. Dimensi konsekuensial merupakan efek ajaran agama yang dianut oleh individu tersebut, yang berpengaruh pada perilaku individu dalam kehidupannya sehari-hari. Seperti, sabar dalam bertindak, sopan dalam bertutur kata, santun dalam bertingkah laku, senantiasa bersikap jujur dan menjaga diri, bersedekah, berzakat dan sebagainya. Glock (Rakhmat, 2003) mengtakan banyak efek positif
15
yang didapat dari religiusitas (keberagamaan) terhadap kesehatan mental dan kebahagiaan spiritual. Adityo (2004) menyebut dimensi ini dengan istilah dimensi amal, dimana adanya suatu pembuktian sikap
dan tindakan individu dalam
kehidupan berdasarkan etika dan hukum agama yang dianutnya. Nashori dan Mucharam (2002) membagi dimensi religiusitas menjadi lima, yaitu : 1. Dimensi akidah, menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, para Nabi dan sebagainya 2. Dimensi ibadah, menyangkut frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah yang telah ditetapkan seperti shalat, zakat, haji dan puasa 3. Dimensi amal, menyangkut tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya menolong orang lain, membela orang yang lemah, bekerja 4. Dimensi ihsan, menyangkut pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan, perasaan takut melanggar larangan Tuhan 5. Dimensi ilmu, menyangkut pengetahuan seseorang tentang ajaran-ajaran agama Berdasarkan pendapat yang telah disebutkan mengenai aspek-aspek religiusitas, maka disimpulkan : 1. Aspek akidah Aspek ini berhubungan dengan keyakinan yang dimiliki individu terhadap Tuhannya, keyakinan akan keberadaan Tuhannya dan kebenaran ajaran agama yang dianut. 2. Aspek ibadah Aspek ini berkaitan dengan aplikasi individu terhadap ajaran agamanya, kepatuhan dalam melaksanakan ajaran agama tersebut dengan penuh
16
keikhlasan, seperti sholat, puasa, berbuat baik terhadap orang lain, berbagi dengan sesama, zakat, dzikir, manunaikan haji dan sebagainya. Aspek ini meliputi frekuensi atau intensitas individu dalam melakukan ibadah tersebut. 3. Aspek ihsan Dimensi ihsan berhubungan dengan seberapa jauh seseorang merasa dekat dan merasakan akan kehadiran Allah SWT dalam setiap aktivitas kehidupan sehari-harinya. Religiusitas dalam disini mencakup tentang perasaan dekat dengan Allah SWT, perasaan tenang ketika mengingat Allah SWT, nikmat dalam beribadah, sikap ikhlas dan tawakkal kepada Allah, keyakinan dan pikiran positif kepada Allah SWT, hatinya akan tersentuh bila didengarkan asma Allah dan sikap selalu bersyukur. 4. Aspek ilmu Aspek ini berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya dan bukti-bukti akan kebenaran agamanya. Pengetahuan dalam dimensi ini seperti pemahaman akan rukun iman, rukun islam, syarat-syarat
syahnya dalam melakukan ibadah, halal dan haramnya
suatu perbuatan dan jenis makanan, etika dalam pergaulan, pengetahuan tentang sifat Allah dan sebagainya. 5. Aspek amal Dimensi ini berkaitan dengan kewajiban manusia sebagai pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dengan bukti sikap dan tindakan. Aspek amal mengarah pada perbuatan amal yang dilakukan individu, seperti shodaqoh, infak, memberikan bantuan kepada orang lain yang kesusahan.
17
C. HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KECENDERUNGAN BURN OUT PADA GURU WANITA Wanita karir merupakan peran yang cukup berat untuk dijalankan ditambah lagi apabila wanita tersebut juga sebagai ibu rumah tangga. Beban pekerjaan yang harus dijalankan oleh seorang wanita karir di tempat kerja dan masalah dalam pekerjaan terkadang menjadi sumber ketegangan dan stres bagi wanita karir sehingga mereka mudah merasa lelah, ditambah tugas sebagai ibu rumah tangga yang berkewajiban mengurus rumah tangga, dimana kehadirannya sangat dinantikan oleh keluarga (Rini, 2002). Peran ganda yang dijalankan oleh wanita
tidak jarang menimbulkan dilema dalam diri wanita tersebut, karena
kesulitan membagi perhatian dan waktu antara pekerjaan dan keluarga (Anoraga, 1998). Kondisi tersebut tidak jarang menimbulkan rasa lelah, baik fisik, pikiran maupun emosional. Demikian juga halnya dengan para guru wanita yang juga merupakan wanita karir. Tanggung jawab moral sebagai pendidik, tuntutan akan kualitas mengajar, ditambah tugas dalam rumah tangga serta kewajiban lain dalam lingkungan tempat tinggal dan organisasi yang diikuti, dapat menjadi stressor yang akan menimbulkan kecenderungan burn out. Harian kompas (2005) yang menuliskan tentang wanita dan karir bahwa semakin banyak atribut yang dimiliki wanita maka semakin bertambah pula kewajiban dan semakin sedikit waktu yang dimiliki, dimana kondisi demikian sangat memicu timbulnya stres dan jika tidak diatasi dapat memiliki kecenderungan timbulnya kelelahan psikis dan depresi emosional. Kondisi demikian dikenal dengan istilah burn out. Burn out pada guru dapat tinggi karena berbagai faktor. Irawan (2005) menyebutkan beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya burn out pada
18
profesi guru, antara lain karena lamanya waktu berkecimpung dalam profesinya yang dapat menimbulkan kejenuhan, keadaan ekonomi, tuntutan peran untuk menjadi sosok teladan bagi masyarakat luas, kesejahteraan yang kurang diperhatikan, perilaku siswa yang terkadang membuat para guru harus menahan emosional, hubungan interpersonal yang tidak selalu berjalan harmonis, kurangnya penghargaan terhadap profesi guru. Faktor-faktor tersebut dapat membuat seorang guru menjadi mudah untuk mengalami kelelahan, kejenuhan. Pada guru wanita, resiko untuk mengalami kondisi burn out akan lebih besar karena terkait dengan daya tahan kepribadian wanita, tanggung jawab dan beban emosional yang mereka emban jauh lebih banyak dan berat dibandingkan rekan kerja prianya. Ramachanran (Agustian, 2001) mengatakan bahwa di dalam otak manusia terdapat suatu titik yang di sebut God-spot sebagai suatu pusat yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Spiritual center inilah yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya, mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan transedentalnya dan senantiasa ingin menyembah Tuhannya. Naluri tersebut mendorong manusia untuk mengadakan penyembahan pada Tuhannya agar mendapatkan ketenangan batin dan terkabulkannya doa. Adz-Dzaky (2002) mengatakan setiap manusia yang terlahir ke muka bumi adalah dalam keadaan fitrah dan nuraninya senantiasa ingin menghadap Tuhannya dan ingin mengikuti agamaNya dan fitrah tersebut tidak akan berubah dan akan selalu ada dalam hati untuk kembali kepada Allah. Oleh karena itu, ketika manusia mengalami suatu masalah berat, kegelisahan hati, maka secara naluriah dalam dirinya akan berusaha mencari ketenangan batin dan tempat yang dapat menggantungkan semua beban yang ada dalam dirinya yang hanya bisa didapatkan ketika lebih
19
mendekatkan diri kepada Tuhannya. Semakin dekat diri pada Tuhan maka hati akan semakin tenang dan tidak mudah merasa cemas, gelisah, takut, stres. Kedekatannya dengan Allah SWT membuat manusia merasa nikmat ketika beribadah kepada Allah SWT dan ingin menjaga hubungannya dengan sang kholik sehingga dalam diri akan timbul keinginan untuk selalu menjaga dan meningkatkan ibadahnya, tidak pernah lupa untuk bersyukur pada Allah atas segala karunia yang telah diberikanNYA. Rutinitas dan intesitas ibadah yang dilakukan tersebut menjadikan diri lebih dekat pada Allah dan hati dapat menjadi lebih tenang sehingga ketika diri dihadapkan pada cobaan, beban, tugas yang berat hati tetap tenang dan tidak mudah stres yang dapat mengarah pada burn out, depresi dan gangguan psikis lainnya. HIPOTESIS Ada hubungan negatif antara religiusitas dengan kecenderungan burn out pada wanita karir, dimana semakin tinggi religiusitas maka kecenderungan burn out akan semakin rendah, sebaliknya semakin rendah religiusitas maka kecenderungan burn out pun semakin tinggi. SUBJEK PENELITIAN Subjek dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Subjek adalah guru wanita 2. Subjek mengajar di Sekolah Menengah Umum 3. Usia 22 - 50 tahun 4. Beragama Islam
20
METODE PENGUMPULAN DATA 1. Skala Kecenderungan Burn Out Skala ini dikembangkan berdasarkan pada teori yang dikemukakan oleh Maslach dan Jackson ditambah teori Baron dan Greenberg. dalam skala antara lain physical exhaustion, emotional exhaustion, depersonalization dan low of performance. 2. Skala Religiusitas Religiusitas diukur dengan menggunakan skala religiusitas. Aspek yang dijadikan acuan dalam pembuatan skala, yaitu akidah, ibadah, ihsan, ilmu, amal. Skala ini menggunakan alternatif jawaban sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek menggambarkan semakin tingginya religiusitas.
HASIL PENELITIAN 1. Hasil Uji Asumsi a. Uji Normalitas Dari hasil perhitungan diperoleh hasil sebaran skor kedua variabel sebagai berikut : Tabel 10. Hasil Uji Asumsi Normalitas VARIABEL SKOR KS-Z Kecenderungan burn out 1,002 Religiusitas 1,290
p 0,268 0,072
KETERANGAN Normal Normal
Berdasarkan data tersebut dapat diuraikan, untuk variabel kecenderungan burn out dengan nilai KS-Z = 1,002 dan p = 0,268 maka distribusi data adalah normal demikian juga untuk variabel religiusitas dengan nilai KS-Z = 1,290 dan p = 0,072 adalah normal, karena nilai p > 0,05 memenuhi syarat untuk normalnya suatu distribusi data yaitu sebesar p > 0,05.
21
b. Uji Linieritas Uji linieritas dilakukan pada variabel religiusitas terhadap kecenderungan burn out. Hasil penghitungan yang diperoleh adalah sebagai berikut : Tabel 11. Religiusitas terhadap Kecenderungan Burn Out VARIABEL LINERITY p KETERANGAN Religiusitas – 50,060 0,000 Linier Kecenderungan Burn Out Berdasarkan tebel tersebut dapat dilihat bahwa distribusi data pada kedua variabel adalah linier karena dengan nilai F = 50,060 dan p = 0,000 memenuhi syarat linieritas (p < 0,05). 2. Hasil Uji Hipotesis Analisis data menggunakan metode korelasi product moment
dengan
fasilitas program SPSS versi 11.5 for windows. Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan antara religiusitas dan kecenderungan burn out yang bersifat negatif. Hal ini dilihat dari koefisien korelasi (rxy = -0,480) dengan p = 0,000 (p < 0,001). Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa “ada hubungan yang negatif antara religiusitas dengan kecenderungan burn out pada wanita karir” diterima. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara kedua variabel yang bersifat negatif. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara religiusitas dengan kecenderungan burn out dapat diterima. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil perhitungan yaitu dengan nilai r = -0,480 dan p = 0,000 (p < 0.01). Kecenderungan burn out pada subjek adalah sedang demikian juga untuk religiusitas. Hal ini ditunjukkan dari perolehan skor empirik, yaitu untuk
22
kecenderungan burn out
sebesar 89,62 yang berada dalam rentangan skor
76,42 < X = 102,82. Untuk religiusitas adalah skor sebesar 147,06 yang berada dalam rentangan 134,16 < X = 159,96. Kedua rentangan skor tersebut adalah kategori sedang. Dalam penelitian ini sumbangan efektif yang diberikan religiusitas terhadap kecenderungan burn out adalah sebesar 23% sedangkan 77% adalah faktor lain yang turut berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kecenderungan burn out, seperti dukungan sosial, kepribadian, usia, karakteristik pekerjaan dan sebagainya. Berdasarkan hasil perhitungan dari jawaban subjek pada skala religiusitas, subjek merasa bahwa dengan semakin seringnya melaksanakan ibadah baik wajib maupun sunnah maka mereka merasa hati menjadi semakin dekat dengan Allah SWT dan mereka tidak mudah mengeluh, putus asa, stres ketika menghadapi masalah, justru dapat menjadi lebih sabar. Hal ini ditunjukkan bahwa 98,9% subjek mengatakan bahwa mereka merasa ketenangan dalam hati juga pikiran ketika mereka mendekatkan diri pada Allah SWT dan merasa lebih sabar dan ikhlas dalam menjalani kehidupan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara religusitas dengan kecenderungan burn out yang bersifat negatif. Hal ini berarti semakin tinggi religiusitas maka kecenderungan untuk mengalami burn out akan semakin rendah, demikian sebaliknya, semakin rendah religiusitas maka kecenderungan burn out akan meningkat.
23
SARAN 1. Agar meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah diri sehingga dapat lebih dekat dengan Allah SWT dan ketika mendapatkan masalah ataupun beban berat, hati dapat tetap tenang, tidak mudah stres 2. Sesekali waktu mengadakan pengajian bersama dengan seluruh perangkat sekolah yang juga dapat dijadikan ajang menjalin silaturahmi 3. Penelitian burn out tetapi dalam hal perbedaan karena penelitian ini masih jarang dilakukan dan manfaatnya selain dapat menambah wacana bidang penelitian khususnya tentang burn out , juga dapat menambah bidang pengetahuan tentang perbedaan burn out pada suatu kelompok subjek tertentu 4. Penelitian dilakukan dengan menggunakan faktor lainnya yang terkait dengan burn out, seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, waktu bekerja, harga diri dan sebagainya.