2 HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA Anastasia Arika Widiana, Heni Nugraheni Universitas Setia Budi Surakarta
Abstrak Pola asuh demokratis orang tua merupakan salah satu faktor terbentuknya kemandirian pada remaja. Pola asuh demokratis merupakan cara pengasuhan dimana remaja boleh mengemukakan pendapat sendiri, mendiskusikan pandangan-pandangan mereka dengan orang tua, menentukan dan mengambil keputusan. Akan tetapi orang tua masih melakukan pengawasan dan bimbingan dalam hal mengambil keputusan terakhir dan bila diperlukan persetujuan orang tua. Dalam hal ini, peran orang tua dalam pengasuhan yang bersifat bimbingan, dialogis, pemberian alasan terhadap aturan sangatlah besar dalam proses pembentukan kemandirian. Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik ada atau tidaknya hubungn antara pola asuh demokratis dengan kemandirian pada remaja. Subjek penelitian sebanyak 47 mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi. Hasil analisis menunjukkan ada hubungan yang positif yang sangat signifikan antara pola asuh demokratis dengan kemandirian pada remaja, dengan nilai koefisien korelasi Pearson (xy ) sebesar 0,396 dengan P = 0,006 ( P < 0,01 ) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pola asuh demokratis semakin tinggi kemandirian dan sebaliknya, semakin rendah pola asuh demokratis maka semakin rendah kemandirian. Nilai koefisien determinasi ( r2 ) sebesar 0,156 yang berarti sumbangan pola asuh demokratis terhadap pembentukan kemandirian adalah 15,6 %, sedangkan untuk sisanya 84,4 % disumbang oleh faktor-faktor lain, baik dari faktor internal maupun faktor eksternal. Kata kunci : kemandirian, pola asuh demokratis, dan remaja
THE RELATIONSHIP BETWEEN UPBRINGING PATTERN OF DEMOCRATIC AND AUTONOMY AGAINST ADOLESCENT ABSTRACT Parents upbringing pattern is one of factors which forms the adolescent autonomy. Democratic upbringing pattern is an upbringing manner in which adolescent is allowed to propose their mind, discuss their views with parents, determine and take out the decision. When the adolescent need parents agreement in term of taking out the final decision, parents will still oversee and guide them. In this case, parents role of upbringing the adolescent in forming the autonomy is very significant. This role tends to guidance, dialogue and reason awarding toward the rule. Democratic upbringing pattern which emerges conviction and self confidence supports the autonomy action, and makes self decision will have consequense in emerging the responsible autonomy behavior. Autonomy is quite needed by adolescent to come at the more complex living and continue the next development duty. This study aims at examining empirically if there was relationship between democratic upbringing patttern with adolescent autonomy. The subject research as much 47 of Universitas Setia Budi Surakarta students major in Pharmacy Faculty. The result of the analysis showed that there was a significant positive relationship between democratic upbringing pattern with adolescent autonomy by Pearson Coefficient Corelation score (rxy) reaches 0,396 at p = 0,006 (p < 0,01) which states that the higher democratic upbringing pattern, the higher the autonomy, on the contrary the lower democratic upbringing pattern, the lower the autonomy. The determination coefficient score (r2) reached 0,156 means that the contribution of democratic upbringing pattern toward autonomy establishment was 15,6% while the residue was 84,4% contributed by other factors, either internal or external factor. Key words : autonomy, democratic upbringing pattern, and adolescent
3 PENDAHULUAN Kecenderungan yang muncul di permukaan dewasa ini, ditunjang oleh laju perkembangan teknologi dan narus gelombang kehidupan global yang sulit atau tidak mungkin dibendung, mengisyaratkan bahwa kehidupan masa mendatang akan menjadi sarat pilihan yang rumit. Kaum remaja ingin untuk membentuk nilai-nilainya sendiri. Mereka tidak mau lagi untuk hanya mengikuti ide-ide dari orang tua mereka. Mereka ingin mengusahakan sendiri apa yang mampu mereka buat dan boleh, mereka merasa bangga atas keberhasilannya. Mereka ingin disukai, dicintai, dan dihargai seperti mereka adanya. Menurut Clemes dkk (1995) anak memasuki masa remaja dengan berbagai sikap, perasaan, keterampilan, dan ketergantungan atas kehidupan awalnya. Maka diharapkan remaja akan keluar dari tahap masa anak dengan kesiapan penuh untuk menanggulanginya sebagai orang yang bertanggung jawab dalam dunia orang dewasa. Banyak remaja menghabiskan sebagian dari dua puluh tahun pertama dengan mengisi keterampilan, pengetahuan diri, dan kepercayaan diri. Pada kenyataannya masih tampak masalah-masalah negatif pada remaja yang muncul akhir-akhir ini antara lain, perkelahian antar pelajar, penyalahgunaan obat dan alkohol, reaksi emosional yang berlebihan, dan berbagai perilaku yang mengarah pada tindak kriminal. Dalam dunia pendidikan gejala-gejala negatif yang tampak adalah kurang mandiri dalam belajar, kebiasaan belajar yang kurang baik yaitu tidak tahan lama dan baru belajar setelah menjelang ujian, membolos, menyontek, dan mencari bocoran soal ujian. Problem remaja tersebut merupakan perilaku reaktif, semakin meresahkan jika dikaitkan dengan situasi masa depan remaja yang diperkirakan akan semakin kompleks dan penuh tantangan. (Ali dan Asrori, 2004). Pada mahasiswa ditunjukkan dengan penggunaan biro jasa penerjemahan bahasa, titip absen pada mahasiswa lain, malas mengikuti kuliah. Menurut Tilaar (dalam Ali dan Asrori, 2004) tantangan kompleksitas masa depan memberikan dua alternatif, yaitu pasrah
kepada nasib atau mempersiapkan diri sebaik mungkin. Pilihan yang akan dilakukan tentunya pada alternatif kedua, yaitu mempersiapkan diri sebaik mungkin. Pentingnya usaha mempersiapkan diri bagi masa depan remaja, karena remaja sedang mencari jati diri, mereka juga berada pada tahap perkembangan yang sangat potensial. Melihat potensi remaja, menjadi penting dan sangat menguntungkan jika usaha pengembangannya difokuskan pada hal-hal positif pada remaja daripada menyoroti sisi negatifnya. Usaha mempersiapkan remaja menghadapi masa depan yang serba kompleks, salah satunya dengan mengembangkan kemandirian. Pada umumnya semua orang tua menginginkan remaja-remaja untuk lebih bersikap mandiri, memiliki tanggung jawab pada diri sendiri dan tidak tergantung pada orang lain dalam bekerja dan bertingkah laku. Pengembangan kemandirian menjadi sangat penting karena dewasa ini semakin terlihat gejala-gejala negatif, seperti yang dipaparkan oleh Kartadinata (dalam Ali dan Asrori, 2004) antara lain, ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas, perilaku seperti ini akan mengarah kepada perilaku formalistik dan ritualistik serta tidak konsisten. Kedua, sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup merupakan gejala perilaku impulsif yang menunjukkan bahwa kemandirian remaja masih rendah. Ketiga, sikap hidup konformistik tanpa pemahaman dan kompromistik dengan mengorbankan prinsip, gejala mitos bahwa segala sesuatunya bisa diatur yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, merupakan petunjuk ketidakjujuran berpikir dan bertindak serta kemandirian yang masih rendah. Gejala-gejala tersebut merupakan sebagian kendala utama dalam mempersiapkan individu-individu yang mampu mengarungi kehidupan masa mendatang yang semakin komplek dan penuh tantangan. Oleh sebab itu, perkembangan remaja perlu diikhtiarkan secara serius, sistematis, dan terprogram. Hurlock (dalam Mu’tadin, 2002) menyatakan bahwa keinginan yang kuat untuk mandiri berkembang pada awal masa remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode ini berakhir. Pada masa remaja seorang
4 individu sudah mencapai tingkat kematangan baik secara kognitif maupun emosi, sehingga muncul keinginan dalam diri remaja untuk mandiri dan lepas dari orang tua. Hal ini senada dengan pendapat Mussen dkk (dalam Sunarno, 1991) mengungkapkan bahwa tugas utama yang harus diselesaikan oleh remaja adalah mandiri dan lepas dari keterikatan orang tua dan keluarga. Menurut Erikson, kemandirian akan mempengaruhi pembentukan identitas remaja (dalam Thomas dalam Suparmi dan Sumijati, 2005). Pencapaian identitas dimungkinkan hanya apabila pada diri remaja terdapat perasaan bahwa dia dapat dan mampu mengatur hidupnya sendiri. Monks dkk (dalam Suparmi dan Sumijati, 2005) menunjukkan bahwa orang yang mandiri akan memperlihatkan perilaku yang eksploratif, mampu mengambil keputusan, percaya diri, dan kreatif. Selain itu juga mampu bertindak kritis, tidak takut berbuat sesuatu, mempunyai kepuasan dalam melakukan aktifitasnya, percaya diri, dan mampu menerima realitas (Cronbach dalam Suparmi dan Sumijati, 2005) serta dapat memanipulasi lingkungan, mampu berinteraksi dengan teman sebaya, percaya diri, terarah pada tujuan, dan mampu mengendalikan diri (Johnson dan Medinnus dalam Suparmi dan Sumijati, 2005). Schaefer dan Millman (dalam Suparmi dan Sumijati, 2005) berpendapat bahwa tidak adanya kemandirian pada anak akan menghasilkan berbagai macam problem perilaku, misalnya rendahnya harga diri, pemalu, tidak punya motivasi sekolah, kebiasaan belajar yang jelek, perasaan tidak aman, kecemasan, dan lain sebagainya. Sikap mandiri terbentuk melalui peranan keluarga, terutama orang tua artinya orang tua bertanggung jawab untuk menyiapkan perilaku mandiri sedini mungkin dengan memberikan bimbingan dan pengarahan, serta contoh perilaku yang dapat mengarah pada perilaku mandiri (Haqquzzaki, 1994). Perubahan perilaku yang dialami remaja, mau tidak mau menuntut perubahan sikap orang tua. Pendekatan proses di sini adalah merupakan konsekuensi logis perkembangan manusia dari masa anak menuju dewasa dalam bentuk perubahan pola asuh secara alamiah, yaitu dari bentuk kaku ke bentuk bimbingan yang dilakukan
secara berangsur- angsur (Bernhard dalam Mindrowo, 1995). Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara orang tua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktek pengasuhan orang tua kepada anaknya. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Brown (dalam Tarmudji, 2001) yang menyatakan bahwa keluarga adalah lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran anak. Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu diantaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya, orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan anaknya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena itu orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu. Pola pengasuhan menurut Stewart dan Koch (dalam Tarmudji, 2001) terdiri dari tiga kecenderungan pola asuh orang tua, yaitu pola asuh otoriter yang kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik, orang tua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian. Pola asuh demokratis menyatakan bahwa orang tua yang selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhankeluhan dan pendapat anak-anaknya, dalam bertindak selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian. Pola asuh permisif menyatakan bahwa orang tua yang cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali, anak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Atkinson dkk (dalam Sunarno, 1991) menyatakan bahwa orang tua yang mampu mengasuh anaknya secara hangat, penuh kasih sayang, komunikatif, menghargai pendapat anak, bersikap jelas dan tegas mengenai perilaku yang dianggap kurang layak, cenderung mempunyai anak dengan
5 kontrol diri yang kuat, kompeten, dan mandiri. Barnadib (dalam Tarmudji, 2001) menyatakan bahwa orang tua yang demokratis selalu memperhatikan perkembangan anak dan tidak hanya sekedar mampu memberi nasehat dan saran tetapi juga bersedia mendengarkan keluhan-keluhan anak berkaitan dengan persoalan-persoalannya. Dalam pola asuh dan sikap orang tua yang demokratis menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak remaja merasa diterima oleh orang tua, sehingga ada pertautan perasaan (Hidayah dkk dalam Shochib, 1998). Pada bentuk pengasuhan demokratis, remaja cenderung diberi kebebasan, namun juga dituntut untuk mampu mengendalikan diri sendiri dan bertanggung jawab (Baumrind dalam Sukadji dan Badingah, 1994). Berdasarkan uraian diatas, maka diasumsikan bahwa pola asuh demokratis orang tua akan membentuk kemandirian yang dimiliki oleh remaja. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang hubungan antara pola asuh demokratis dengan kemandirian pada remaja.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kemandirian di sini dapat diartikan sebagai zelfstandig, yaitu kemampuan berdiri di atas kaki sendiri dengan keberanian dan tanggung jawab atas segala tingkah laku sebagai manusia dewasa dalam melaksanakan segala macam kewajiban guna memenuhi kebutuhan sendiri (Kartono, 1990). Kemandirian menurut Barnadib (dalam Mu’tadin, 2001) meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Sikap mandiri atau kemandirian adalah mampu berdiri di atas kemampuan sendiri dalam mempertahankan kelangsungan hidup dengan keberanian dan tanggung jawab atas segala tingkah laku sebagai manusia dewasa dalam melaksanakan segala kewajibannya guna memenuhi kebutuhan sendiri (Haqquzzaki, 1994). Masrun dkk (1986) menyatakan bahwa kemandirian
adalah suatu sifat yang memungkinkan seseorang bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri dan untuk kebutuhan sendiri, mengejar prestasi, penuh ketekunan serta berkeinginan untuk mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berfikir dan bertindak original, kreatif dan penuh inisiatif, mampu mengatasi persoalan yang dihadapi, mampu mengendalikan tindakan-tindakan, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki, menghargai keadaan diri dan memperoleh kepuasan atas usaha sendiri. Pola asuh orang tua yang demokratis dapat didefinisikan sebagai pola pemeliharaan anak atau kendali orang tua terhadap anak dengan cara kesederajatan dan lebih mengutamakan kepentingan anak atau child centeredness (Hurlock dalam Handayani, 2001). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991) pola asuh demokratis merupakan cara pengasuhan dimana remaja boleh mengemukakan pendapat sendiri, mendiskusikan pandanganpandangan mereka dengan orang tua, menentukan dan mengambil keputusan. Akan tetapi orang tua masih melakukan pengawasan dalam hal mengambil keputusan terakhir dan bila diperlukan persetujuan orang tua. Barnadib (dalam Tarmudji, 2001) mengatakan bahwa orang tua yang demokratis selalu memperhatikan perkembangan anak, dan tidak hanya sekedar mampu memberi nasehat dan saran tetapi juga bersedia mendengarkan keluhan-keluhan anak berkaitan dengan persoalan-persoalannya. Selanjutnya Barnadib (dalam Tarmudji, 2001) juga mengatakan bahwa anak yang berada dalam pola pengasuhan demokratis akan memiliki sifat dapat menghargai orang lain, percaya diri, sosialnya baik, tanggung jawab dan mudah menyesuaikan diri. Watson (dalam Marsudi, 1996) menyatakan bahwa anak yang diasuh dengan pola asuh demokratis akan menunjukkan perilaku yang rasional, teliti, penuh kesadaran, mudah menyesuaikan diri, dan dapat merasakan apabila melakukan suatu kesalahan. Menurut Dalimunthe (dalam Handayani, 2001) ada beberapa aspek untuk melihat pola asuh demokratis orang tua, yaitu : aspek pandangan orang tua terhadap anak yang memandang sedang
6 berkemban sesuai kemampuannya mengurusi dirinya, menentukan kebutuhan dirinya sendiri dan orang tua sebagai pembimbing agar anak menjadi lebih baik, aspek cara komunikasi dengan cara komunikasi dua arah dimana orang tua memberi kesempatan pada anak untuk mengekspresikan pendapatnya, berdiskusi, dan orang tua juga mampu memahami komunikasi non verbal anak, aspek penerapan disiplin melalui aturan-aturan atau kontrol diterapkan oleh orang tua dengan memberi penjelasan rasional pada anak, melibatkan pemahaman anak, bersifat terbuka, anak mendapatkan kesempatan untuk memahami arti dan kegunaan aturan atau kontrol terhadap tingkah lakunya.
METODE PENELITIAN Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kemandirian, sedangkan variabel bebasnya adalah pola asuh demokratis. Subjek dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Perguruan Tinggi di Surakarta, yaitu Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi Surakarta, baik laki-laki maupun perempuan yang berusia 17 – 21 tahun sesuai dengan batas usia yang diberikan oleh Hurlock (dalam Panuju dan Umami, 1999) Skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala pola asuh demokratis dan skala kemandirian. Skala pola asuh demokratis disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Dalimunthe (dalam Handayani, 2001 ) yang meliputi : (1) Aspek pandangan orang tua terhadap anak, (2) Aspek cara komunikasi, (3) Aspek penerapan disiplin. Skala yang digunakan berbentuk model Likert. Skala kemandirian disusun berdasarkan modifikasi dari angket yang disusun oleh Haqquzzaki (1994) berdasarkan komponen pembentuk kemandirian yang dikemukakan oleh Masrun dkk (1986) yang meliputi : (1) Bebas, (2) Progresif dan ulet, (3) Inisiatif, (4) Pengendalian dari dalam (Internal Locus of Control), (5) Kemantapan diri (selfesteem dan self- confidence). Skala yang digunakan berbentuk model Likert. Setiap pernyataan terdapat empat pilihan jawaban, yaitu : STS (Sangat Tidak Sesuai), TS (Tidak Sesuai), N (Antara
Sesuai dan Tidak), S ( Sesuai), SS (Sangat Sesuai). Pernyataan favourable dimulai dengan skor yaitu 1, 2, 3, 4, 5 dan pernyataan unfavourable dimulai dengan skor yaitu 5, 4, 3, 2, 1. Makin tinggi skor yang diperoleh, maka makin tinggi kemandirian remaja.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan KSZ untuk variabel pola asuh demokratis adalah normal dengan nilai Z = 0,657 dan p = 0,781 (p > 0,05). Sementara itu, KSZ untuk variabel kemandirian adalah normal dengan nilai Z = 0,638 dan nilai p = 0,811 (p > 0,05). Hasil uji normalitas pada variabel pola asuh demokratis dan kemandirian terlampir pada lampiran. Hasil pengujian yang diperoleh adalah nilai F = 8,346 dan p = 0,006 yang menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel linear. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. Berdasarkan hasil uji hipotesis, ditemukan bahwa nilai koefisien korelasi Pearson (rxy) sebesar 0,396 (positif) dengan p = 0,006 (p < 0,01) serta koefisien determinasi (r2) sebesar 0,156. Dengan demikian hipotesis dapat diterima dengan taraf yang sangat signifikan. Koefisien determinasi (r2) sebesar 0,156 menunjukkan bahwa sumbangan efektif pola asuh demokratis terhadap munculnya kemandirian adalah sebesar 15,6%, sedangkan sisanya (84,4%) disumbang oleh faktor lain. Korelasi Pearson bertanda positif (0,396) menunjukkan bahwa semakin tinggi pola asuh demokratis semakin tinggi kemandirian dan sebaliknya, semakin rendah pola asuh demokratis maka semakin rendah kemandirian. Berdasarkan analisis Korelasi Momen Pearson diperoleh koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,396 dengan p=0,006 (p < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara pola asuh demokratis dengan kemandirian, dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima kebenarannya. Semakin tinggi pola asuh demokratis yang diperoleh maka semakin tinggi kemandirian remaja, demikian pula sebaliknya semakin rendah pola asuh demokratis maka semakin rendah kemandirian remaja. Seperti yang
7 dikemukakan oleh Mussen (dalam Farida, 2006) bahwa pola asuh demokratis adalah pola asuh yang yang menggunakan penjelasan, diskusi, dan penalaran untuk membantu anak mengerti akan perilaku tertentu dan mempersepsikan perilakunya tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Kemandirian pada anak berasal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Didalam keluarga, orang tualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing, dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri. Peranan orang tua sangat mempengaruhi bentuk kemandirian. Pada remaja yang diberi kebebasan untuk mengembangkan pemikirannya. Secara umum, sikap bijaksana orang tua sangat diperlukan dalam membentuk kemandirian remaja. (Wimbardi dalam Republika, 2003). Orang tua yang dapat memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Dengan demikian anak akan dapat mengalami perubahan dari keadaan yang sepenuhnya tergantung pada orang tua menjadi mandiri (Mu’tadin, 2002). Dari data yang diperoleh remaja yang tinggal dengan orang tua memiliki kemandirian yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin positif pola asuh demokratis yang diberikan. Seperti yang diungkapkan oleh Widiarti (dalam Suparmi dan Ngahu, 2006) menyatakan bahwa jenis pola asuh yang nampak menyediakan kesetimbangan yang benar adalah pola asuh demokratis. Pola asuh ini menawarkan kehangatan dan penerimaan, ketegasan dengan menegakkan aturan, norma dan nilai-nilai, harapan untuk mendengar, menerangkan dan negosiasi, memperoleh otonomi psikologis, mendorong anak membentuk diri mereka sendiri. Dalam pola asuh ini orang tua selalu melibatkan anak mereka dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, sehingga seorang remaja diharapkan mempunyai keterampilan dan pengalaman dalam pemecahan masalah. Hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga yang demokratis ditandai dengan adanya saling menghormati persamaan kedudukan sosial,
sikap bergotong royong dan tanggung jawab. Jika orang tua mampu menghindari diri dari dorongan perasaan yang kurang baik dan berhasil menerapkan pendekatan yang bersifat mendorong anak berbuat positif pasti akan terjadi perbaikanperbaikan yang berarti dalam perilaku anakanaknya sehingga akan berkembang rasa percaya diri, tanggung jawab, kooperatif dan kemandirian dalam diri anak-anaknya (Balson, 1993). Baumrind dan Black (dalam Wijaya dalam Tarmudji, 2001) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknikteknik asuhan orang tua demokratis yang menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan- tindakan mandiri membuat keputusan sendiri akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab. Baumrind (dalam Basir, 2003) menyatakan bahwa pola asuh demokratis dimaksudkan agar anak bebas melakukan sesuatu dengan kontrol dari orang tua, langkah dan tujuan dijelaskan secara rasional, hubungan orang tua dan anak hangat tapi tetap berpegang pada standar yang ditentukan, maka anak akan menjadi mandiri, responsif, berani menyatakan pendapat dan kreatif. Berdasarkan data yang diperoleh kemandirian subyek dalam kategorisasi tinggi. Subyek dalam penelitian ini berada pada tahap usia remaja akhir yaitu 17 – 21 tahun (Hurlock dalam Panuju dan Umami, 1999), remaja berada pada tahap perkembangan yang sangat potensial. Masa remaja tidak ubahnya sebagai jembatan penghubung antara masa tenang yang selalu bergantung kepada pertolongan dan perlindungan orang tua, dengan masa berdiri sendiri atau mandiri, berfikir matang dan bertanggung jawab. Keinginan untuk berdiri sendiri dan mewujudkan dirinya sendiri ini merupakan kecenderungan yang ada pada setiap remaja. Banyak remaja mulai melatih diri dengan keterampilan, pengetahuan diri, dan kepercayaan diri untuk mempersiapkan diri menjadi orang yang bertanggung jawab dalam dunia orang dewasa. Remaja di dalam kesiapannya memasuki masa dewasa diharapkan mampu untuk lebih berani mengambil inisiatif, berusaha mengatasi permasalahan sendiri dan bertanggung jawab terhadap keputusan-keputusan yang telah diambil
8 serta tidak tergantung, remaja akan bisa mandiri dari lingkungan orang tua dan keluarga (Havighurst dalam Suparmi dan Ngahu, 2006). Steinberg (dalam Karma, 2002) menyatakan bahwa dalam beberapa hal, masa puber itu mendorong remaja untuk keluar dari rasa ketergantungan pada keluarga sepenuhnya ke arah kemandirian. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini konsisten dengan teori-teori yang diacu dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh demokratis dengan kemandirian remaja. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sumbangan efektif pola asuh demokratis terhadap kemandirian remaja sebesar 15,6% masih terdapat 84,4% variabel lain yang berpengaruh terhadap kemandirian remaja.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis data, penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh demokratis dengan kemandirian remaja. Hal ini berarti semakin tinggi pola asuh demokratis yang diberikan oleh orang tua dan dipandang oleh remaja maka akan semakin tinggi kemandirian remaja, begitu juga sebaliknya semakin rendah pola asuh demokratis yang diberikan orang tua dan dipandang remaja maka semakin rendah kemandirian remaja. Berdasarkan keterbatasanketerbatasan dari penelitian ini, maka penulis dapat memberikan saran kepada remaja, orang tua, pihak fakultas, dan peneliti selanjutnya yang ingin menggali lebih dalam mengenai pola asuh demokratis dan kemandirian sebagai berikut: 1. Bagi subyek penelitian, kemandirian remaja sangat penting untuk menghadapi kehidupan yang lebih kompleks, maka remaja diharapkan dapat mempertahankan sikap yang dapat meningkatkan kemandirian. Cara tersebut dapat berupa melatih keterampilan, lebih percaya diri, serta berani bertanggung jawab terhadap keputusannya akan dapat meningkatkan kemandirian remaja. Remaja akan lebih
siap menghadapi kehidupan yang lebih kompleks, karena mereka pasti akan lepas dari ketergantungan pada orang tua. 2. Bagi lingkungan sekitar subyek yaitu orang tua , diharapkan untuk lebih meningkatkan pengasuhan dan pemberian stimulasi yang dapat meningkatkan kemandirian remaja dengan model pola asuh demokratis, karena dengan hal tersebut secara baik akan menjadikan remaja tumbuh dan berkembang dengan kemandirian dan kepribadian yang baik, sehingga remaja akan lebih siap memasuki dunia orang dewasa serta mampu menghadapi permasalahan yang lebih kompleks. 3. Bagi lingkungan pendidikan subyek yaitu pihak Fakultas Farmasi, diharapkan memberikan kegiatan di luar mata kuliah untuk lebih meningkatkan kemandirian mahasiswa. Program yang dapat membantu pembentukan kemandirian lebih tinggi misalnya out bond, bakti sosial, pelatihan kepemimpinan dan program-program lainnya yang dapat memacu kemandirian. 4. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melihat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kemandirian dan lebih memperluas sampel penelitian serta melakukan pengontrolan terhadap variabel-variabel lain yang juga dapat mempengaruhi kemandirian.
DAFTAR PUSTAKA Ali, M. dan Asrori, M. 2004. Psikologi Remaja. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Bumi Aksara Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar -----------. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Basir, S.A. 2003. Perilaku Demonstran Ditinjau Dari Pengasuhan Orang Tua, Penanaman Norma Agama Dan Media Massa. Phronensis. Vol 5 no. 10. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara
9 Balson, M. 1993. Bagaimana Menjadi Orang Tua Yang Baik. (terjemahan oleh Arifin H.M.). Jakarta : Bumi Aksara Clemes, H., Bean, R., dan Clark, A. 1995. Bagaimana Meningkatkan Harga Diri Remaja. (terjemahan oleh Meitasari Tjandrasa). Jakarta : Binarupa Aksara Farida, N. 2006. Hubungan Antara Identitas Diri Dan Pola Asuh Demokratis Dengan Moralitas Pada Remaja. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Surakarta : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Gunarsa, S.D. dan Gunarsa, S.D. 1991. Psikologi Remaja. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Hadi, S. 1993. Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Andi Offset. Handayani, A. 2001. Hubungan Pola Asuh Demokratis Orang Tua Dalam Masalah Seksualitas Dengan Pemilihan Orang Tua Sebagai Sumber Informasi Seksualitas Pada Remaja. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Haqquzaki, M. 1994. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orang Tua Dengan Kemandirian Remaja. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Surakarta : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hernawati, N.M. 2006. Hubungan Antara Kemandirian Dan Kepercayaan Diri Dengan Kemampuan Pemecahan Masalah Pada Remaja Yang Tinggal Dalam Panti Asuhan. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Surakarta : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hetherington, E.M., dan Parke, R.D. 1979. Child Psychology A Contemporary Viewpoint. 2nd ed. Tokyo : McGrawHill, Inc.
Hurlock, E.B. 1973. Adolescence Development. Tokyo : McGraw-Hill, Inc. ----------------. 1990. Perkembangan Anak Jilid II. (terjemahan oleh Istiwidayanti dan Meitasari Tjandrasa). Jakarta : Erlangga. ----------------. 1996. Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Terjemahan oleh Istiwidayanti. Jakarta : Erlangga. Karma, I.N. 2002. Hubungan Antara Pola Pengasuhan Orang Tua Dan Otonomi Remaja. Studi Tentang Remaja Pertengahan Pada Budaya Sasak Di Kabupaten Lombok Barat. Jurnal Psikologi. Hal 45-59 Vol 9 no. 1. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran. Kartono, K. 1990. Psikologi Anak. Bandung : Mandar Maju. Kristanti, N. D. 2006. Hubungan Antara Identitas Diri Dengan Optimisme Pada Remaja. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Surakarta : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Kusuma, A. 2000. Hubungan Antara Kematangan Emosi Dan Kemandirian Dengan Penyesuaian Sosial. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Surakarta : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya : Usaha Nasional. Marsudi. 1996. Kemandirian Anak Tuna Grahita Ditinjau Dari Pola Asuh Orang Tua Dan Jenis Kelamin. Tesis. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Masrun, Martono, Haryanto, F.P., Hardjito, P., Sofiati, M., Bawani, A., Aritonang, I., Soetjipto, H.P., 1986. Studi Mengenai Kemandirian Pada Penduduk Di Tiga Suku Bangsa (Jawa, Batak, Bugis). Laporan
10 Penelitian. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Mindrowo, S. 1995. Penalaran Moral Remaja Ditinjau Dari Pola Asuh Demokratis Dan Jenis Kelamin. Intisari Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Mönks, F.J., Knoers, A.M.P., dan Haditono S.R. 2002 . Psikologi Perkembangan. Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Mu’tadin, Z. 2002. Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis Pada Remaja. Jurnal Penelitian. http : // www.epsikologi.com / remaja / 250602
Suparmi dan Ngahu, I.K. 2006. Problem Solving Skills Pada Remaja Ditinjau Dari Pola Asuh Autoritatif Orang Tua Dan Intelegensi. Psikodimensia. Hal 139- 150 Vol 5 no 2. Semarang : Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata. Suparmi dan Sumijati, S. 2005. Kemandirian Pada Mahasiswa Ditinjau Dari Parental Responsiveness Dan Parental Demandingness. Proceedings. Semarang : Universitas Katolik Soegijapranata. Suryabrata, S. 1991. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Susmohamijaya, 1980. Membina Sikap Mental Wiraswasta. Jakarta : Gunung Jati.
Nasution, T. dan Nasution, N. 1985. Peran Orang Tua Dalam Meningkatkan Prestasi Anak. Yogyakarta : Gunung Mulia.
Tarmudji, T. 2001. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Agresivitas Remaja. Jurnal Penelitian. http : // www. epsikologi.com / dewasa / 160502.
Panuju, P. dan Umami, I. 1999. Psikologi Remaja. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Utami, M.S.S. 1990. Hubungan Antara Pola Asuhan Orang Tua Dengan Status Identitas Diri Remaja. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Santrock, J.W. 2003. Adolescence. Perkembangan Remaja. 6th Edition. Terjemahan oleh Adelar Shinto B. dan Saragih Sherly. Jakarta : Erlangga. Schochib, 1998. Pola Asuh Orang Tua Untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta : Rineka Cipta. Sukadji, S. dan Badingah, S. 1994. Pola Asuh, Perilaku Agresif Orang Tua Dan Kegemaran Menonton Film Kekerasan Sebagai Prediktor Perilaku Agresif. Jurnal Psikologi. Tahun XXI, no 1. 19-27. Sunarno. 1991. Hubungan Pola Asuh Demokratis Dengan Harga Diri Remaja Pada Siswa-Siswi Kelas I SMA Taman Siswa Di Kotamadya Binjai. Intisari Skripsi. Tidak Diterbitkan. Medan : Universitas Medan Area.
Wimbardi, S. 2003. Biarkan Anak Bicara. Jakarta : Republika
11