1
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PEER ACCEPTANCE DAN FREKUENSI BULLYING TERHADAP SISWA PENYANDANG AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD) PADA SISWA NORMAL (STUDI DI DUA SEKOLAH INKLUSI DI JAKARTA) Penulis : Fika Rahmayati Pembimbing : Adriana S. Ginanjar
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara penerimaan teman sebaya (peer acceptance) dan frekuensi bullying yang dilakukan oleh siswa normal terhadap siswa penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD) dalam tatanan sekolah inklusi di Jakarta. Tingkat peer acceptance diukur dengan menggunakan Peer Acceptance Scale (PAS), sementara frekuensi bullying diukur melalui Bullying Questionnaire (BQ). Penelitian ini melibatkan 172 siswa yang berasal dari SMPN Inklusi di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan (0,418) antara skor PAS dan skor BQ. Korelasi antara kedua skor tersebut ialah negatif, yang artinya, semakin tinggi tingkat peer acceptance maka semakin rendah frekuensi bullying yang dilakukan siswa normal terhadap siswa ASD dan sebaliknya Kata kunci: Bullying; Peer Acceptance; ASD; Sekolah Inklusi
Abstract The aim of this study is to measure the correlation between peer acceptance and frequency of bullying among non ASD students toward ASD students in the inclusion school in Jakarta. The degree of peer acceptance is measured by Peer Acceptance Scale (PAS), while the frequency of bullying is measured by Bullying Questionnaire (BQ). This study involves 172 student from inclusion school in East Jakarta and South Jakarta. The result shows a negative correlation (0,418) between score of PAS and score of BQ. This means that higher score on BQ are associated with lower score on PAS, and lower scores on BQ are associated with higher scores on PAS. Keyword : Bullying; Peer Acceptance; ASD; Inclusion School 1. Pendahuluan Sekolah inklusi kini menjadi salah satu alternatif pendidikan yang dipilih oleh banyak orangtua dengan anak berkebutuhan khusus, termasuk orangtua siswa penyandang Autism Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
2
Spectrum Disorder (ASD). ASD sendiri didefinisikan sebagai gangguan perkembangan, dimana penyandangnya memiliki abnormalitas dalam fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, serta adanya perilaku dan minat yang tidak biasa (Mash & Wolf, 2010). Seluruh penyandang gangguan tersebut memiliki hambatan dalam aspek sosialisasi dan komunikasi dengan orang lain, sehingga seringkali mereka harus menjalani pendidikan dalam sekolah khusus. Hal ini tidak jarang membuat siswa kemudian terkucil dan mendapat stigma negatif dari masyarakat. Selain itu, sekolah khusus juga seringkali tidak menyediakan kesempatan bagi siswa ASD untuk berinteraksi dengan anak normal, sehingga siswa semakin tidak terbiasa untuk menghadapi situasi lingkungan di luar rumah dan sekolah yang justru didominasi oleh orang normal. Berdasarkan kekurangan sekolah khusus di atas, banyak orangtua yang kemudian tergerak untuk mendapatkan alternatif pendidikan lain bagi anaknya, yaitu sekolah inklusi. Orangtua beralasan bahwa pendidikan inklusi dapat memberikan suasana belajar yang senormal mungkin bagi anaknya (Monchy, et al, 2004). Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 pendidikan inklusi didefinisikan sebagai, “ sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”. Dalam pasal selanjutnya juga dijelaskan bahwa peserta didik yang dimaksud melingkupi siswa dengan kelainan fisik, emosional, mental dan sosial, sehingga terwujud sebuah pendidikan yang menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif bagi seluruh siswa (Sunaryo, 2009). Menurut Emawati (2008), sekolah inklusi memberikan manfaat bagi siswa berkebutuhan khusus, dimana siswa memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi terbaiknya bersama dengan siswa normal. Selain itu, pelaksanaan aktivitas belajar mengajar bersama siswa normal lainnya juga dapat menghilangkan stigma negatif masyarakat akan siswa berkebutuhan khusus yang selama ini seringkali dikucilkan karena keterbatasannya. Adapun siswa normal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa yang tidak memiliki gangguan perkembangan pervasif atau tidak menyandang gangguan autism. Akan tetapi, walaupun sekolah inklusi dapat memberikan banyak manfaat bagi siswa, tidak sedikit ahli pendidikan yang mengkritisi pelaksanaan model pendidikan ini. Guralnick et al (1995, dalam Monchy et al , 2004) menyatakan bahwa menjadi siswa di sekolah inklusi tidak Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
3
serta merta membuat siswa ASD dapat menjalin kontak sosial dan hubungan pertemanan dengan siswa normal yang lain. Kemudian menurut Sunaryo (2009), dalam pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia, guru cenderung belum mampu bersikap aktif dan ramah pada semua siswa. Hal ini lalu menciptakan kekecewaan dari orangtua dan siswa pun seringkali menjadi bahan olokolokan oleh siswa normal. Hal ini akhirnya membuat siswa ASD rentan mengalami bullying oleh siswa normal di sekolah. Bullying didefinisikan sebagai serangkaian perilaku negatif dan seringkali agresif atau manipulatif yang dilakukan oleh satu orang atau lebih kepada orang lain yang terjadi dalam rentang waktu tertentu (Sullivan, Clearly, dan Sullivan, 2004). Menurut Dauntehahn & Woods (no date), pelaku bullying dapat memanipulasi siswa lain karena mereka tahu bahwa korban bukanlah bagian dari kelompok pertemanannya, sehingga tidak perlu dikasihani. Dengan demikian siswa tidak akan berempati dan tetap mempertahankan perilaku bullying terhadap korban. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa menjadi bagian dari kelompok pertemanan bisa jadi menurunkan resiko siswa untuk menjadi korban bullying. Dalam hal ini, penerimaan teman sebaya (peer acceptance) dapat memberikan situasi yang kondusif terhadap hubungan sosial siswa. Peer acceptance sendiri didefinisikan sebagai sejauh mana seorang anak atau remaja secara sosial diterima oleh kelompok teman sebaya (Berk, 2007). Ketika siswa memiliki teman yang dapat dimintai tolong, maka bullying yang dialaminya dapat berakhir dengan cepat. Akan tetapi, Chamberlin, Kasari dan Rotheram-Fuller (2007, dalam Dudas, 2012) menyatakan bahwa siswa ASD cenderung kurang terlibat dalam struktur sosial di ruang kelas, dan mendapatkan penerimaan kelompok (peer acceptance) yang lebih rendah dibandingkan siswa normal yang lain. Situasi bullying akan memburuk ketika anak memasuki usia remaja. Menurut Berk (2007), ketika remaja siswa dituntut untuk lebih memahami kebutuhan dan keinginan teman sebayanya. Mereka diharapkan dapat bertukar pikiran dan keinginan dengan siswa yang lain untuk membina hubungan pertemanan yang dekat, penuh rasa percaya dan pengertian satu sama lain. Sementara itu, sulit bagi siswa ASD untuk dapat memenuhi tuntutan di atas. Akan tetapi, menurut Mash dan Wolf (2010), siswa ASD memiliki hambatan dalam memahami emosi yang kompleks dan jarang berbagi mengenai pengalaman dan perasaannya kepada orang lain. Mereka memiliki kesulitan untuk memahami situasi sosial saat berhubungan dengan teman sebaya. Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
4
Padahal dalam lingkungan sekolah inklusi, siswa ASD dapat bertemu dengan siswa yang agresif, impulsif, dan memiliki empati rendah, dimana siswa tersebut sulit untuk memahami perbedaan perilaku yang ditampilkan oleh siswa ASD (Huebner & Morgan, 2009). Berdasarkan uraian studi di atas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan dampak sekolah inklusi bagi siswa ASD. Di satu sisi, sekolah inklusi dianggap bermanfaat karena memberikan kesempatan bagi siswa ASD untuk bersosialisasi dengan siswa normal. Namun di sisi lain, banyak ahli juga menyatakan, bahwa sebenarnya tidak mudah bagi siswa ASD untuk diterima dengan baik oleh peer group di sekolah, terutama ketika remaja. Perbedaan pandangan tersebut akhirnya menggerakkan penulis untuk kemudian meneliti situasi pertemanan yang sesungguhnya terjadi antara siswa ASD dan siswa normal. Penulis ingin mengetahui apakah memang terdapat hubungan yang signifikan antara peer acceptance dan frekuensi perilaku bullying yang ditampilkan terhadap siswa ASD di sekolah inklusi di Jakarta. 2. Tinjauan Teoritis 2.1 Sekolah Inklusi di Indonesia Menurut pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 70 tahun 2009, pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Sunaryo, 2009). Adapun manfaat yang dari pelaksanaan sekolah inklusi antara lain (Emawati, 2008) : 1.
Tumbuhnya sikap positif bagi siswa berkubutuhan khusus yang berkembang dari komunikasi dan interaksi dengan teman sebaya.
2.
Munculnya rasa sensitif, pemahaman, penghargaan, dan rasa nyaman akan perbedaan individual.
3.
Siswa berkebutuhan khusus dapat belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat.
4.
Siswa berkebutuhan khusus dapat terhindar dari stigma atau label negatif di masyarakat.
5.
Siswa berkebutuhan khusus tidak lagi dianggap sebagai ancaman dalam lingkungan sosial, melainkan bagian dari anggota masyarakat. Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
5 Pada kenyataannya, banyak praktisi pendidikan yang menyatakan bahwa pelaksanaan
sekolah inklusi di Indonesia masih jauh dari ideal. Menurut Sunaryo (2009), banyak sekolah inklusi di Indonesia yang tidak bersungguh-sungguh dalam memfasilitasi kebutuhan siswa, sehingga siswa berkebutuhan khusus sering terekslusi dari lingkungan sosialnya. Mereka merasa ditolak, tidak nyaman, sedih, marah, dan sebagainya. 2.2 Autism Spectrum Disorder (ASD) ASD adalah gangguan perkembangan, dimana penyandangnya memiliki abnormalitas dalam fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, serta adanya perilaku dan minat yang tidak biasa (Mash & Wolf, 2010). Istilah ini melingkupi beberapa gangguan perkembangan pervasive, yaitu gangguan autistic, gangguan asperger, dan gangguan perkembangan perfasif yang tidak spesifik (PDD-NOS). Terdapat tiga gangguan utama yang ada pada setiap bentuk, yaitu hambatan dalam sosialisasi, komunikasi, dan imajinasi. Mash dan Wolf (2010) menjelaskan bahwa, siswa ASD memiliki keterbatasan dalam menampilkan ekspresi sosial dan kepekaan pada informasi sosial disekitarnya. Selain itu mereka juga memiliki hambatan dalam memahami emosi yang kompleks dan jarang berbagi mengenai pengalaman atau perasaannya kepada orang lain. Hal tersebut yang akhirnya membuat siswa ASD memiliki kesulitan dalam mengintegrasikan perilaku sosial, komunikasi, dan emosi yang sesuai saat berhubungan dengan orang lain. 2.3 Teori Bullying Bullying didefinisikan sebagai serangkaian perilaku negatif dan seringkali agresif atau manipulatif yang dilakukan oleh satu orang atau lebih kepada orang lain yang terjadi dalam rentang waktu tertentu (Sullivan, Clearly, dan Sullivan, 2004). Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa perilaku bullying bersifat menyakiti dan berdasar pada ketidakseimbangan kekuatan antara dua pihak. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Duffy (2004), ditemukan tiga tipe bullying yang diidentifikasikan oleh siswa, yaitu: 1. Physical bullying, seperti mendorong, memukul, atau menendang. 2. Verbal bullying, seperti membuat panggilan ejekan, menghina, mengatakan hal yang jahat di belakang orang lain.
Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
6 3. Relational bullying, seperti mengeluarkan orang dari sebuah permainan, atau tidak mengikutsertakan orang dalam kegiatan tertentu. Menurut Huebner dan Morgan (2009), siswa yang dilaporkan sebagai pelaku bullying
seringkali sulit untuk menerima kritik, berpikir terlalu tinggi mengenai dirinya, butuh untuk menjadi pusat perhatian, dan tidak jarang juga merupakan korban bullying. Kemudian menurut Olweus (2001), pelaku bullying juga seringkali impulsif, mudah marah, senang mendominasi siswa lain, dan juga menunjukkan empati yang rendah terhadap korban. Sementara itu, menurut Santrock (2006) siswa yang dilaporkan sebagai korban bullying digambarkan sebagai anak yang kesepian dan memiliki kesulitan dalam berteman. Ketika anak tidak atau hanya memiliki sedikit teman, tidak ada orang yang akan membelanya saat mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang lain. 2.4 Teori Peer Acceptance Dalam Berk (2007) peer acceptance didefinisikan sebagai sejauh mana seorang anak atau remaja secara sosial diterima oleh kelompok teman sebaya. Hal yang menentukan apakah seorang anak disukai dan dapat dipilih sebagai anggota kelompok adalah pandangan sepihak seluruh anggota kelompok terhadap anak tersebut. Siswa yang ditolak oleh teman sebaya dilaporkan mengalami gangguan baik secara akademik, emosional, dan sosial. Selain itu, siswa tersebut juga rentan terlibat dalam interaksi destruktif yaitu peer victimization, dimana mereka rentan menjadi sasaran serangan fisik dan verbal atau disakiti dengan berbagai macam bentuk secara berkala. Bagi siswa ASD peer acceptance menjadi tantangan yang lebih sulit dibandingkan siswa normal. Hambatan dalam keterampilan sosial, membuat siswa seringkali terisolasi dari lingkungan sosial di sekolah. Hal ini menyebabkan kerusakan pada perkembangan sosial dan emosional siswa, serta berakibat pada meningkatnya potensi siswa untuk menjadi korban bullying (Monchy, Pijl dan Zandberg, 2004). Dalam Jonas & Frederickson (2010) dijelaskan bahwa, seringkali siswa ASD ditolak oleh siswa normal lain karena dianggap tidak mampu bekerjasama dengan baik, memiliki ketergantungan yang tinggi, serta pemalu. Menurut Howlin (1998), hal yang paling sulit dan seringkali diminta pada siswa ASD adalah cara mereka untuk dapat berinteraksi secara tepat pada anak-anak seusianya. Dikatakan bahwa siswa ASD lebih mudah untuk belajar dan mengembangkan keterampilan strategi sosialnya dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan karena orang dewasa lebih dapat memahami Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
7
dan bertoleransi terhadap masalah yang dihadapi olehnya. Sementara teman sebaya dianggap tidak dapat bertoleransi terhadap perilaku yang berbeda dari apa yang biasanya ada dalam kelompok. Aturan-aturan tentang cara untuk diterima sebagai anggota kelompok, bagaimana mengikuti aktivitas yang ada, bagaimana cara berbicara pada anggota kelompok yang lain, adalah hal rumit, tidak tertulis dan seringkali sulit untuk dipahami oleh siswa ASD. 3. Metode Penelitian Partisipan yang peneliti ambil dalam penelitian ini adalah siswa remaja awal dengan rentang usia 12 – 14 tahun di SMPN inklusi di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Secara spesifik, partisipan penelitian merupakan siswa normal yang belajar pada kelas yang sama dengan anak penyandang ASD. Sementara variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah peer acceptance dan frekuensi bullying. Adapun peer acceptance diukur dengan menggunakan Peer Acceptance Scale (PAS) yang dikembangkan oleh Piercy dan Townsand (2002) dan frekuensi bullying diukur dengan menggunakan Bullying Questionnaire (BQ) dari Duffy (2004). Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode pearson correlation, yang mana metode ini digunakan untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara variabel peer acceptance dan variabel bullying terhadap siswa ASD. Selain itu, untuk mengetahui besar kontribusi skor PAS terhadap skor BQ, peneliti menggunakan analisis regresi dengan metode enter. Metode ini dipilih karena peneliti ingin mengetahui bagaimana skor frekuensi bullying dapat diprediksi melalui informasi skor peer acceptance. 4. Hasil Penelitian 4.1 Gambaran Umum Partisipan Secara umum partisipan penelitian terdiri dari siswa kelas 7, 8, dan 9 SMPN inklusi dengan rentang usia dari 12 hingga 14 tahun. Adapun jumlahnya ialah 172 siswa dan berasal dari dua sekolah inklusi di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Rinciannya ialah sebagai berikut: Tabel 4.1 Gambaran umum partisipan Jumlah
Kota
Persentase
Laki-laki Perempuan
Total
Jumlah Total
Jakarta Selatan
53
48
101
58,72%
Jakarta Timur
41
30
71
41,28% Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
8 4.2 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil perhitungan skor PAS, ditemukan bahwa jumlah siswa normal yang
memiliki skor PAS tinggi, yaitu di atas 6, adalah 79 orang (45,93%). Sementara itu, siswa yang memiliki skor PAS yang rendah, yaitu di bawah 7, adalah 93 orang (54.07%). Kemudian, dari hasil perhitungan skor BQ, ditemukan variasi frekuensi perilaku untuk tiap bentuk bullying. Adapun rinciannya dapat dilihat dalam tabel berikut Tabel 4.2 Frekuensi Perilaku Bullying Bentuk Bullying
Tidak pernah
Fisik Non-fisik Relasional
112 87 63
Jumlah Siswa Kurang dari Lebih dari 3 3 kali dalam kali dalam sebulan sebulan 52 6 75 8 98 9
Melakukan setiap ada kesempatan 3 2 2
Jumlah Pelaku 61 85 108
Menurut data pada tabel di atas, kebanyakan siswa normal melakukan bullying terhadap siswa ASD kurang dari tiga kali dalam rentang waktu satu bulan. Selain itu, dapat dilihat bahwa kebanyakan siswa lebih cenderung melakukan bentuk bullying relasional dibandingkan bentuk bullying fisik dan non fisik terhadap siswa ASD. Adapun rincian perilakunya dapat dilihat dalam diagram berikut: Gambar 4.1 Bentuk-bentuk bullying relasional yang dilakukan siswa normal
Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
9 Adapun rincian perilaku bullying jenis fisik dan non fisik dapat dilihat dalam diagram
berikut ini. Gambar 4.2 Bentuk-bentuk bullying fisik yang dilakukan siswa normal
Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bentuk-bentuk bullying fisik yang menempati tiga ranking tertinggi adalah menyubit atau menggores siswa ASD (32 orang), melempar benda ke arah siswa ASD (19 orang), dan mengambil barang milik siswa ASD dan menyembunyikannya (18 orang). Gambar 4.3 Bentuk-bentuk bullying non fisik yang dilakukan siswa normal
Dari gambar di atas, dapat dilihat bentuk-bentuk bullying non- fisik yang menempati tiga ranking tertinggi. Pertama adalah berbicara mengenai hal yang tidak menyenangkan mengenai Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
10
siswa ASD. Kemudian, bentuk kedua bullying non fisik yang sering dilakukan siswa normal adalah mengucapkan kata kasar tentang siswa ASD. Lalu, bentuk bullying non-fisik ketiga yang dilakukan siswa adalah membuat lelucon kasar mengenai siswa ASD. Kedua total skor PAS dan BQ yang telah diuraikan di atas, kemudian dikorelasikan dengan menggunakan merode pearson correlation (SPSS ver. 17). Berdasarkan perhitungan, didapatkan korelasi sebesar 0,418 (signifikan pada LOS 0,01), yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara skor PAS dan skor BQ. Dengan demikian, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat penerimaan siswa ASD dalam kelompok pertemanan siswa normal dan jumlah perilaku bullying yang dilakukan oleh siswa normal terhadap siswa ASD di sekolah inklusi. Adapun korelasi antara kedua variabel adalah negatif, yang berarti, semakin tinggi peer acceptance pada siswa ASD maka semakin rendah frekuensi perilaku bullying yang dilakukan siswa normal terhadap mereka. Kemudian dari perhitungan mean pada skor PAS dan BQ, diketahui bahwa siswa yang memiliki skor PAS rendah cenderung memiliki frekuensi bullying di atas rata-rata frekuensi bullying kelompok partisipan. Sementara, siswa yang memiliki skor PAS tinggi cenderung memiliki frekuensi bullying di bawah rata-rata frekuensi bullying kelompok partisipan. Skor PAS dan BQ juga dianalisis dengan menggunakan regresi linear. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa F1,170 = 35.99, p< 0,05 dengan nilai adjusted R squared sebesar 0,170. Dengan demikian 17% varians frekuensi bullying dapat dijelaskan oleh peer acceptance. Hasil ini menunjukkan bahwa 17% dari perilaku bullying siswa non ASD terhadap siswa ASD dipengaruhi oleh tingkat peer acceptance. 4.3 Hasil Wawancara Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah dan staff guru pada SMPN inklusi di Jakarta Timur, diketahui bahwa keberadaan siswa ASD di kelas seringkali menimbulkan ketidaknyamanan bagi siswa normal yang lain. Hal ini disebabkan oleh perilaku yang sering ditampilkan, antara lain mengamuk, membuat kegaduhan, meludahi siswa normal, dan memegang bagian pribadi dari tubuh siswa perempuan. Selain itu, banyak perilaku siswa normal yang sebenarnya dimaksudkan untuk bercanda dianggap sebagai bentuk serangan oleh siswa ASD. Hal ini lalu membuat siswa ASD tidak jarang melakukan serangan verbal, yaitu dengan
Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
11
berteriak kepada siswa normal, atau melalui serangan fisik, sehingga menimbulkan luka pada siswa normal. Mengenai gambaran bentuk bullying yang ditampilkan, baik kepala sekolah dan staff guru di kedua sekolah menyatakan bahwa tidak ada siswa yang pernah melakukan serangan fisik kepada siswa ASD. Menurut pihak sekolah, hal tersebut terjadi karena siswa takut akan kosekuensi yang diterimanya, baik dari siswa ASD langsung maupun dari pihak sekolah. Untuk kosekuensi dari siswa ASD, pihak sekolah menyatakan bahwa siswa ASD dapat menyerang dengan lebih keras apabila ada siswa normal yang menyakitinya. Sementara kosekuensi dari sekolah terkait dengan hukuman yang mungkin akan diterima oleh siswa normal. Informasi lain yang diperoleh dari staff pengajar SMPN inklusi di Jakarta Selatan adalah terdapat beberapa siswa normal, terutama teman sebangku siswa ASD, yang memberikan perhatian baik kepada kondisi siswa. Mereka tidak segan untuk mengingatkan siswa ASD agar tetap fokus mengikuti pelajaran, membantunya apabila mengalami kesulitan, dan senantiasa memberi tahu perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hal ini juga penulis temukan dalam pengamatan saat melakukan administrasi kuesioner. Dalam 2 kelas yang penulis masuki, tampak beberapa siswa normal berusaha untuk membantu siswa ASD untuk memahami instruksi kuesioner. Siswa itu pun terlihat senang dan nyaman berada di dalam kelas. 5. Diskusi Adanya korelasi yang signifikan antara peer acceptance dan frekuensi bullying terhadap anak ASD di dua sekolah inklusi di Jakarta telah mendukung hasil penelitian sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan oleh ketidakmampuan anak ASD membina hubungan sosial dengan teman sebaya, membuatnya seringkali dikucilkan dan akhirnya mereka pun dapat dengan mudah menjadi korban bullying (Cappodocia et al, 2011; Naylor et al, 2008). Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan adanya frekuensi bullying yang tinggi terhadap siswa ASD, dimana hasil tersebut juga berhubungan dengan penerimaan yang rendah terhadap siswa ASD dalam kelompok pertemanan siswa normal. Hasil ini mendukung pernyataan Howlin (1998) yang menyatakan bahwa, sulit bagi teman sebaya untuk bertoleransi terhadap perilaku individu yang berbeda dari norma kelompok. Banyak perilaku siswa ASD yang dianggap mengganggu, seperti meludah, memegang bagian tubuh pribadi siswa perempuan, dan mengamuk kepada siswa normal. Hal ini sesuai Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
12
dengan situasi yang digambarkan dalam Naylor et al (2008), dimana siswa ASD memiliki hambatan dalam memahami situasi sosial yang berlaku dalam hubungan teman sebaya. Selain itu, simtom yang mereka tunjukkan juga merupakan hal yang sulit untuk diterima, sehingga akhirnya mereka pun dikucilkan dalam pergaulan. Berdasarkan perhitungan dari data yang telah dikumpulkan, diketahui bahwa bentuk perilaku yang paling sering ditampilkan oleh siswa normal terhadap siswa ASD adalah bentuk relasional. Hal ini berbeda dari hasil temuan pada penelitian-penelitian sebelumnya, dimana dinyatakan bahwa bentuk perilaku bullying yang paling sering ditampilkan adalah bentuk verbal (Naylor et al, 2008; McLaughlin, Byers dan Vaughan, 2010). Adanya perbedaan hasil ini dapat disebabkan oleh dua hal. Menurut Sullivan et al (2004), siswa seringkali melakukan bentuk bullying non-verbal atau relasional agar tidak meninggalkan bukti fisik atas perbuatannya. Dengan demikian, perilaku mereka akan luput dari intervensi guru. Alasan kedua yang menyebabkan adanya perbedaan hasil penelitian mengenai perilaku bullying yang ditampilkan siswa normal kepada siswa ASD adalah karena perilaku faking good yang dilakukan siswa saat mengerjakan kuesioner. Berdasarkan hasil wawancara informal diketahui bahwa dinamika hubungan sosial yang ditemukan antara siswa ASD dan siswa normal tidak selalu merupakan kondisi negatif. Menurut keterangan dari staff pengajar, tidak sedikit partisipan yang juga menunjukkan peer acceptance yang tinggi dan frekuensi bullying yang rendah terhadap siswa ASD. Situasi ini mendukung pernyataan Emawati (2008) mengenai manfaat sekolah inklusi. Perilaku tolong menolong dan toleransi yang diharapkan dapat berkembang dalam diri siswa normal, ternyata terwujud dalam diri siswa-siswa di atas. Hal ini juga sesuai dengan penemuan Bruyn (2008), dimana peer acceptance yang tinggi pada siswa dapat memberinya perlindungan dari bullying. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerimaan baik siswa normal pada kondisi siswa ASD merupakan hal yang penting dalam mencegah atau mengurangi frekuensi bullying terhadap anak ASD. Hal lain yang juga berpengaruh terhadap penelitian ini adalah kesulitan perolehan literatur tentang motivasi siswa normal untuk melakukan atau tidak melakukan bullying terhadap siswa ASD. Sementara izin untuk melakukan wawancara kepada para pelaku bullying juga sulit didapatkan dari pihak sekolah, sehingga sulit bagi peneliti untuk melakukan analisa yang lebih dalam terhadap hasil penelitian. Selain itu, peneliti juga memiliki kesulitan untuk menemukan Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
13
literatur yang membahas mengenai PAS secara lengkap. Dengan demikian sulit bagi peneliti untuk dapat mengembangkan instrumen tersebut secara lebih tepat sesuai dengan konteks di Indonesia. 6. Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat peer acceptance pada siswa ASD dan frekuensi perilaku bullying yang dilakukan siswa normal terhadap siswa tersebut. Semakin rendah penerimaan siswa normal akan siswa ASD dalam kelompok pertemanannya, maka semakin tinggi jumlah perilaku bullying yang dilakukan oleh siswa normal terhadap siswa ASD di sekolah inklusi. Adapun bentuk bullying yang paling banyak dilakukan ialah relasional. Selain itu berdasarkan analisis regresi linear, diketahui bahwa 17% perilaku bullying yang dilakukan oleh siswa non ASD terhadap siswa ASD memang dipengaruhi oleh persepsi peer acceptance siswa non ASD. 7. Saran 7.1 Saran Praktis Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, meskipun beberapa siswa normal dapat menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan siswa ASD, namun tidak sedikit dari mereka yang juga menolak kehadiran siswa ASD dalam lingkungan pertemanan. Hambatan dalam komunikasi dan kemampuan sosial yang dimiliki oleh siswa ASD membuatnya sulit untuk diterima kelompok teman sebaya. Untuk itu, baik pihak sekolah dan praktisi pendidikan lainnya perlu membuat program belajar yang dapat meningkatkan interaksi antara siswa ASD dan siswa normal. Selain itu, pihak sekolah juga perlu meningkatkan sistem pengawasan pada perilaku siswa untuk mencegah munculnya bullying terhadap siswa ASD. 7.2 Saran Metodologis Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya, antara lain: 1. Untuk mendapatkan data yang lebih mendalam, penelitian tidak hanya melibatkan partisipasi dari siswa normal melainkan juga partisipasi dari siswa ASD dan guru. Dengan demikian, dapat dilihat kesesuaian antara jawaban ketiga pihak tersebut, apakah hasilnya konsisten atau tidak. Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
14 2. Penelitian tidak hanya menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data, melainkan juga menggunakan observasi dan wawancara untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan mendalam. 3. Penelitian dapat dilakukan pada jenjang sekolah yang lain, seperti SD dan SMA. Selain itu, penelitian juga dapat dilakukan pada sekolah swasta dan SMP di daerah lainnya. Dengan demikian data yang didapatkan lebih representatif dari sebelumnya.
Daftar Pustaka Berk, Laura.E. 2007. Development Through The Lifespan (4th edition). New York: Pearson Education, Inc. Bruyn, Eddy H., Cillessen, Antonius H.N. dan Wissink, Inge B. 2009. Associations of Peer Acceptance and Perceived Popularity With Bullying an Victimization in Early Adolescence. Diunduh pada tanggal 9 September 2012, dari: http://cehs15.unl.edu/edps/brnet/uploads/14deBruyn,%20et%20al.,%202009.pdf Cappadocia, M. Catherine, Weiss, Jonathan A. dan Pepler, Debra. 2011. Bullying Experiences Among Children and Youth with Autism Spectrum Disorder. Diunduh pada tanggal 18 Oktober
2012,
dari
:
http://download.springer.com/static/pdf/40/art/%253110.1007%252Fs10803-011-1241x.pdf?auth66=1350571406_d2895b14621264a345f81a6b53f9cb27&ext=.pdf Dautenhahn, Kerstin dan Woods, Sarah. No date. Possible Connections between Bullying Behaviour, Empathy and Imitation. Diunduh pada tanggal 28 september 2012, dari: http://homepages.feis.herts.a.c.uk/~comqkd/dautenhahnwoods.pdf Dudas, Lynne. 2012. Socially Including Students with Autism Spectrum Disorder in Early Elementary Classroom : A Children’s Literature Kit. Diunduh pada tanggal 16 September 2012,
dari
:
http://csusm-
dspace.calstate.edu/bitstream/handle/10211.8/225/DudasLynne_Summer2012.pdf?sequence= 1 Duffy, Amanda L. 2004. Bullying in School : A Social Identity Perspective. Diunduh pada tanggal 16 Oktober 2012, dari : https://www120.secure.griffith.edu.au/rch/file/96d19111fd64-51ea-62bc-e109701da884/1/02Whole.pdf Emawati. 2008. Mengenal Lebih Jauh Sekolah Inklusi. Diunduh pada tanggal 7 september 2012, Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
15 dari: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/51082535.pdf
Howlin, Patricia.1998. Children With Autism and Asperger Syndrome. London : Wiley Huebner, Angela, dan Morgan, Erin. 2009. Adolescent Bullying. Diunduh pada tanggal 9 November 2012, dari : http://pubs.ext.vt.edu/350/350-852/350-852_pdf.pdf Jones, Alice P. Dan Frederickson, Norah. 2010. Multi-Informant Predictors of Social Inclusion for Student with Autism Spectrum Disorder Attending Mainstream School. Diunduh pada tanggal
29
September
2012,
dari:
http://eprints.gold.ac.uk/2544/1/Jones_et_al_JADD_PostPrint.doc Mash, Eric J, dan Wolfe, David A. 2010. Abnormal Child Psychology (4th edition). California: Wadsworth Monchy, Marleen De ; Pijl, Sip Jan & Zandberg, Tjalling. 2004. Discrepancies in Judging Social Inclusion and Bullying of Pupils With Behaviour Problems. Diunduh pada tanggal 27 Agustus
2012,
dari:
http://teach.newport.ac.uk/sen/SEN_0708/Beh_Resources/Inc_Bullying.pdf McLaughlin, Colleen; Byers Richard & Vaughan, Rosie Peppin. 2010. Responding to Bullying Among Children With Special Educational Needs And/Or Dissabilities. Diunduh pada tanggal
9
September
2012,
dari
:
http://anti-
bullyingweek2012.org/PDF/SEND_bullying_Literature_Review.pdf Naylor, Paul ; Sutcliffe, Paul ; Tantam, Digby ; Wainscot, Jennifer J & Williams, Jenna V. 2008. Relationships with Peers and Use of the School Environment of Mainstream Secondary School Pupils with Asperger Syndrome (High-Functioning Autism): A Case Control Study. Diunduh
pada
tanggal
24
Agustus
2012,
dari
:
http://redalyc.uaemex.mx/src/inicio/ArtPdfRed.jsp?iCve=56080103 Olweus, Dan. No date. Bullying in School : Facts and Intervention. Diunduh pada tanggal 1 Januari 2013, dari: http://oud.nigz.nl/upload/presentatieolweus.pdf Santrock, John W. 2006.Life Span Development. New York : Mc-Graw Hill. Sunaryo. 2009. Manajemen Pendidikan Inklusif (Konsep, Kebijakan, dan Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa). Diunduh pada tanggal 7 November 2012, dari : http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195607221985031SUNARYO/Makalah_Inklusi.pdf Sullivan, Keith. 2004. What We Know About Bullying in Secondary School. Diunduh pada Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013
16 tanggal 16 Oktober 2012, dari : http://www.sagepub.com/upm-data/9688_023124P3_17.pdf
http://extension.unh.edu/Family/Parent/teenpubs/bully.pdf
Universitas Indonesia
Hubungan Antara ..., Fika Rahmayati, FPsi UI, 2013