Psikologia 2015, Vol. 10, No. 3, hal. 78-86
78
HUBUNGAN ANTARA KUALITAS KEHIDUPAN KERJA DENGAN BURNOUT SYNDROME PADA KARYAWAN PT. SURYA ALAM PERMAIDI PALEMBANG Dwi Yasni Habibah, Rahmi Lubis* Universitas Medan Area
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kualitas kehidupan kerja dengan burnout syndrome pada karyawan PT. Surya Alam Permai, Palembang. Hipotesis yang diajukan, ada hubungan antara kualitas kehidupan kerja dengan burnout, dengan asumsi bahwa semakin tinggi kualitas kehidupan kerja maka semakin rendah burnout syndrome pada karyawan dan sebaliknya semakin rendah kualitas kehidupan kerja maka semakin tinggi burnout syndrome pada karyawan. Untuk membuktikan hipotesis, digunakan metode analisis Product Moment, terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kualitas kehidupan kerja dengan burnout syndrome pada karyawan di PT. Surya Alam Permai, Palembang. Dari hasil analisis data diperoleh koefisien korelasinya rxy = -0,538 ; p = 0,000, p < 0,050. Hal ini diartikan bahwa kualitas kehidupan kerja memiliki hubungan yang signifikan terhadap burnout pada karyawan. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian dinyatakan diterima. Kata-kata kunci:Kualitas kehidupan kerja, burnout
RELATIONSHIP BETWEEN THE QUALITY OF LIFE WORKING WITH THE BURNOUT SYNDROME OF EMPLOYEES PT. SOLAR NATURAL PERMAIDI PALEMBANG ABSTRACTS This study aims to look at the relationship between quality of work life with burnout syndrome in employees, which are the subject of this study were employees of PT Surya Alam Permai, Palembang. The sampling technique in this study using total sampling technique. The hypothesis of this study is there is relationship between the quality of working life with burnout, with the assumption that the higher the quality of working life, the lower burnout syndrome in employees and conversely the lower the quality of working life, the higher the employee burnout syndrome. To prove the above hypothesis, we used the method of analysis Product Moment. The results indicate that there is a significant negative correlation between the quality of working life with burnout syndrome in employees at PT Surya Alam Permai, Palembang. From the analysis of the data obtained by the correlation coefficient r xy = -0.538; p = 0.000, p <0.050. It is understood that the quality of working life has a significant relationship to burnout on employees. Thus, the hypothesis proposed in the study are accepted. The comparation between hypothetical mean and mean empirical work shows that the quality of life is high, because the average value of empirical (95.41) is greater than the average value of hypothetic (75.00). Meanwhile burnout is very low level where the average value of empirical (52.42) is smaller than the average value of hypothetic (87.00). Keywords: Social loafing tendency, cooperative learning, academic achievement, gender
Ketatnya persaingan dewasa ini membuat setiap perusahaan harus memiliki kualitas produksi yang lebih baik.
Banyaknya perusahaan-perusahaan yang memiliki jenis produksi yang sama, membuat mereka harus meningkatkan
Korespondensi mengenai penelitian ini dapat dilayangkan kepada Rahmi Lubis melalui email:
[email protected]
Rekomendasi mensitasi: Habibah, D. Y., & Lubis, R. (2015). Hubungan antara kualitas kehidupan kerja dengan burnout syndrome pada karyawan PT. Surya Alam Permaidi Palembang. Psikologia, 10(3), 77-85.
79
kinerja para karyawannya agar produksi atau layanan yang mereka miliki lebih baik dari perusahaan lainnya. Para karyawan dituntut meningkatkan produktivitas kerja, meningkatkan kualitas pelayanan kepada konsumen, meningkatkan jumlah produksi dalam jangka waktu yang singkat agar mampu bersaing di pasaran dan lain sebagainya. Para karyawan harus lebih banyak waktunya untuk bekerja daripada memiliki waktu kosong untuk beristirahat. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan terjadinya burnout pada karyawan atau pekerja. Pengertian yang mendalam mengenai kehilangan semangat kerja (burnout) tersebut adalah sebuah kondisi dimana seseorang berada pada ambang jenuh yang sangat tinggi karena situasi di lingkungan kerja (Maslach, 2003). Hal ini bisa disebabkan adanya tuntutan pekerjaan yang melebihi batas normal dan tidak sesuai dengan kondisi karyawan, jauhnya jarak tempat tinggal dan kantor tempat bekerja, kurangnya rasa toleransi perusahaan terhadap privasi atau kesejahteraan para karyawan.
memahami aspek-aspek yang dapat menyebabkan terjadinya burnout, yaitu kelelahan emosional yang ditandai dengan berkurangnya semangat para karyawan untuk datang ke kantor, mereka akan sering terlambat datang. Depersonalisasi yang ditandai dengan mulai mengabaikan tugas yang diberikan ataupun tidak menyelesaikan tugas tepat pada waktunya. Penurunan prestasi yang ditandai dengan berkurangnya kepercayaan diri seorang karyawan dalam menyelesaikan tugasnya, menjadi orang yang pesimis ketika berhadapan dengan tugas. Sehubungan dengan burnout, pemilik dari suatu perusahaan harus memiliki pemahaman akan praktek manajemen sumber daya manusia yang akan mempengaruhi kualitas kehidupan kerja dari para karyawan. Apabila perusahaan tidak mampu mengelola sumber daya manusianya, perusahaan atau organisasi akan mengalami kerugian dan penurunan pada hasil produktivitasnya karena tidak terjaminnya kualitas kehidupan kerja (QWL) karyawan.
Burnout membuat seorang karyawan tidak merasakan pekerjaan tersebut menjadikan dirinya lebih baik. Karyawan pada situasi ini hanya akan bekerja sesuai dengan tuntutan perusahaan berdasarkan kewajiban yang harus mereka lakukan. Namun karyawan atau pekerja tidak merasakan manfaat atas pekerjaan tersebut di dalam dirinya. Hari kerja seakan menyakitkan dan membuatnya frustrasi.
Pengertian dari kualitas kehidupan kerja adalah sebuah strategi tempat kerja yang mendukung dan memelihara kepuasan karyawan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi kerja karyawan dan organisasi serta keuntungan untuk pemberi kerja. Dalam hal ini para pemilik perusahaan atau organisasi harus mampu membuka diri untuk menerima berbagai ide yang dimiliki oleh para karyawan, tidak hanya membuat sebuah keputusan pada satu pihak saja.
Apabila sebuah perusahaan ingin mencegah ataupun meminimalkan terjadinya burnout itu bisa dilakukan. Sebuah organisasi atau perusahaan perlu
Fokus dari kualitas kehidupan kerja (QWL) adalah bagaimana pekerjaan dapat menjadikan orang lebih baik dibanding dengan bagaimana orang dapat bekerja
80
lebih baik (Umstot, 1988). Aspek-aspek yang terdapat pada kualitas kehidupan kerja adalah pekerjaan yang patut dikerjakan, kondisi kerja yang memadai, upah dan keuntungan yang memadai, jaminan kerja, supervisi yang cukup, umpan balik atas hasil pekerjaan seseorang, kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, kesempatan yang wajar untuk maju berdasarkan jasa, iklim sosial yang positif, keadilan dan perlakuan yang wajar terhadap semua orang. Tetapi tidak sedikit perusahaan di masa kini yang kurang memperhatikan kualitas kehidupan kerja (QWL) para karyawan atau pekerjanya terutama berdasarkan aspek kualitas kehidupan kerja. Mereka tidak memberikan suatu situasi kerja yang dapat membuat seorang karyawan atau pekerja merasakan kondisi yang nyaman dari pekerjaan tersebut dan merasa lebih baik ketika berada pada pekerjaan itu. Para pemilik perusahaan terlalu menikmati hasil atas keberhasilan perusahaannya, tidak melihat dari mana keberhasilan itu di dapatkannya. Tanpa para karyawan atau pekerja, perusahaan tidak akan berkembang. Maka dari itu antara perusahaan dan karyawan saling membutuhkan, sehingga tidak ada salahnya untuk saling memberikan kenyamanan. Jika kenyamanan di dalam perusahaan terjadi, akan memiliki dampak positif yang berkepanjangan terhadap karyawan. Jewell (1998) melukiskan konsep kualitas kehidupan kerja dengan indikator negatif, yaitu dua gejala QWL yang rendah: ditandai dengan tingkat kebosanan (boredom) dan kehilangan semangat kerja (burnout). Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Hubungan antara Kualitas Kehidupan Kerja dengan burnout syndrome pada Karyawan PT. Surya Alam Permai, Palembang”.
Burnout Menurut Maslach (2003) burnout adalah perasaan yang lebih dari sedih atau memiliki hari yang buruk. Ini adalah situasi yang terjadi secara menahun yang berhubungan dengan sebuah pekerjaan, dan bisa menyebabkan situasi yang sangat krisis di dalam hidup. Cherniss (dalam Sukamto, 1998) menggambarkan burnout sebagai penarikan diri secara psikologis dari pekerjaan yang dilakukan sebagai reaksi atas stres dan ketidakpuasan terhadap situasi kerja yang berlebihan atau berkepanjangan. Pines dan Aronson (dalam Sukamto, 1998) mengungkapkan bahwa burnout merupakan bentuk ketegangan atau tekanan psikis yang berhubungan dengan stres yang kronik, dialami dari hari ke hari, serta ditandai dengan kelelahan fisik, mental dan emosional. Hal tersebut menunjukkan bahwa burnout berbeda dengan stres. Menurut Greenberg (2010) terlalu banyak pekerjaan atau sering frustasi di tempat kerja dapat menyebabkan sindrom kelelahan fisik dan emosional. Sindrom ini disebut kelelahan (burnout). Burnout adalah suatu kondisi pekerjaan yang menyebabkan stres reaksi negatif dengan komponen psikologis, psychophysiological, dan perilaku.
Aspek Burnout Terdapat beberapa aspek dari burnout (Maslach, 2003), yaitu: 1) Emotional exhaustion atau kelelahan emosional yaitu orang-orang merasa emosi mereka terkuras dan habis.
81
Mereka kekurangan energi untuk menghadapi hari lain. Sumber daya emosional mereka habis, dan tidak ada sumber pengisian. 2) Depersonalization atau depersonalisasi yaitu orang-orang merasa depresi akan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Mereka merasa jenuh dengan berbagai tuntutan sehingga mereka akan mengabaikan permintaan-permintaan yang dituntut oleh pekerjaan. 3) Reduced personal accomplishment atau penurunan prestasi yaitu seseorang merasa tidak yakin tentang kemampuan mereka untuk berhubungan dengan orang lain sehingga hal ini akan memungkinkan mereka membebankan diri dengan sebuah keputusan “kegagalan”. Baron dan Greenberg (1990) juga mengemukakan empat aspek burnout, yaitu: 1) Kelelahan fisik, yang ditandai dengan serangan sakit kepala, susah tidur, kurang nafsu makan. 2) Kelelahan emosional, ditandai dengan depresi, perasaan tidak berdaya, merasa terperangkap dalam pekerjaannya, mudah marah serta cepat tersinggung. 3) Kelelahan mental, ditandai dengan bersikap sinis terhadap orang lain, bersifat negatif terhadap orang lain, cenderung merugikan diri sendiri, pekerjaan, organisasi dan kehidupan pada umumnya. 4) Rendahnya penghargaan terhadap diri, ditandai dengan tidak pernah puas terhadap hasil kerja sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek burnout adalah
emotional exhaustion, depersonalization dan reduced personal accomplishment.
Kualitas Kehidupan Kerja Kualitas kehidupan bekerja adalah dinamika multidimensional yang meliputi beberapa konsep seperti jaminan kerja, sistem penghargaan, pelatihan dan karir, peluang kemajuan, dan keikutsertaan di dalam pengambilan keputusan (Normala, 2010). Menurut Lau & May (Normala, 2010) kualitas kehidupan bekerja didefinisikan sebagai strategi tempat kerja yang mendukung dan memelihara kepuasan karyawan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi kerja karyawan dan organisasi serta keuntungan untuk pemberi kerja. Sedangkan Walton (dalam Kossen, 1986) mendefinisikan kualitas kehidupan bekerja sebagai persepsi pekerja terhadap suasana dan pengalaman pekerja di tempat kerja mereka. Robbins (2003) menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja sebagai sebuah proses bagaimana organisasi memberikan respon pada kebutuhan pegawai dengan cara mengembangkan mekanisme untuk mengijinkan para pegawai memberikan sumbangan saran penuh dan ikut serta mengambil keputusan dan mengatur kehidupan kerjanya dalam sebuah organisasi. Beberapa hal yang termasuk kualitas kehidupan kerja adalah keamanan kerja, sistem penghargaan yang lebih baik, gaji yang lebih baik, kesempatan untuk mengembangkan diri, partisipasi dan meningkatkan produktivitas organisasi di antara mereka. Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya (Luthans, 2005).
82
Aspek-aspek Kualitas Kehidupan Kerja Albrecht (1983) mengemukakan bahwa aspek-aspek kualitas kehidupan kerja adalah sebagai berikut: 1) Pekerjaan yang patut dikerjakan yaitu pekerjaan yang bermanfaat bagi tujuan-tujuan organisasi dan meminta bagian keterampilan, pengetahuan dan kesanggupan para karyawan. 2) Kondisi kerja yang memadai, seperangkat kondisi fisik dan psikologis yang cukup manusiawi dan aman, di sekeliling tempat pelaksanaan pekerjaan. 3) Upah dan keuntungan yang memadai sebagai imbalan kerja yang baik. 4) Jaminan kerja, mengetahui bahwa seseorang punya harapan masa datang bila dia mau bekerja. 5) Supervisi yang cukup perlakuan yang positif, bersifat mendukung dan menyetujui oleh atasannya serta orangorang dari kalangan yang lebih tinggi. 6) Umpan balik atas hasil pekerjaan seseorang, pengakuan dan penghargaan terhadap jasa seseorang bagi tujuan-tujuan organisasi. 7) Kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dalam keterampilan kerja dan pertanggungjawaban, pekerjaan yang secara bertahap lebih menantang, yang mengembangkan atau mendorong peningkatan keterampilan. 8) Kesempatan yang wajar untuk maju berdasarkan jasa, kesempatan untuk latihan, kenaikan ke kedudukan manajemen yang lebih tinggi, serta kesempatan bersaing secara sehat untuk memperoleh kenaikan tingkat.
9) Iklim sosial yang positif, yaitu lingkungan kerja yang mantap, secara psikologis mendorong, serta manusiawi dalam hal nilai dan proses antar pribadi. Keadilan dan perlakuan yang wajar terhadap semua orang, yaitu perasaan bahwa orang-orang yang memimpin menghargai dan menekankan kejujuran serta perlakuan sama terhadap semua karyawan, tanpa membedakan latar belakang sosial atau suku bangsa.
Hubungan antara Kualitas Kehidupan Kerja dengan Burnout Burnout merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami kejenuhan secara fisik dan emosional di dalam bekerja (Maslach, 2003). Hal ini terjadi dikarenakan perusahaan tidak memikirkan kualitas kehidupan kerja para karyawannya, berupa kenyamanan baik secara psikologis maupun fisik yang harus didapatkan oleh para karyawan atau pekerjanya. Apabila hal tersebut tetap terjadi, tidak hanya di dalam kehidupan bekerja saja yang akan mengalami permasalahan yang dipengaruhi oleh burnout, tetapi di dalam kehidupannya sehari-hari terutama hubungan dengan teman dan keluarganya akan mengalami kesenjangan atau masalah yang disebabkan dari perubahan atau goncangan emosi di dalam diri seorang pekerja yang mengalami burnout. Sedangkan kualitas kehidupan kerja sebagai sebuah proses bagaimana organisasi memberikan respon pada kebutuhan pegawai dengan cara mengembangkan mekanisme untuk mengijinkan para pegawai memberikan sumbangan saran penuh dan ikut serta mengambil keputusan dan mengatur kehidupan kerjanya dalam sebuah
83
organisasi. Beberapa hal yang termasuk kualitas kehidupan kerja adalah keamanan kerja, sistem penghargaan yang lebih baik, gaji yang lebih baik, kesempatan untuk mengembangkan diri, partisipasi dan meningkatkan produktivitas organisasi di antara mereka (Robbins, 2003). Mengatur kualitas kehidupan kerja seorang pekerja atau karyawan di dalam sebuah organisasi atau perusahaan sangatlah penting. Adanya komunikasi yang efektif antara perusahaan dengan para pekerja atau karyawan menjadi faktor pendukung utama. Oleh sebab itu, hubungan antara kualitas kehidupan kerja dengan burnout secara teori yang telah dirumuskan oleh para ahli memang benar adanya, bahwa kualitas kehidupan kerja mengacu pada pengaruh situasi kerja keseluruhan terhadap seorang individu (Jewell, 1998). Jewell (1998) melukiskan konsep kualitas kehidupan kerja dengan indikator negatif, yaitu dua gejala kualitas kehidupan kerja (quality of work life) yang rendah: ditandai dengan tingkat kebosanan (boredom) dan kehilangan semangat kerja (burnout).
METODE Partisipan Populasi pada penelitian ini adalah karyawan pada PT. Surya Alam Permai, Palembang yang berjumlah delapan puluh orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan total sampling yaitu proses pemilihan sampel secara keseluruhan dari total populasi. Sampel pada penelitian ini berjumlah 80 orang dengan jenis kelamin laki-laki yang berusia 27-45 tahun.
Alat ukur Data penelitian diperoleh melalui teknik skala yang terdiri dari 2 skala yaitu skala burnout yang disusun berdasarkan aspek-aspek burnout yaitu emotional exhaustion, depersonalization, dan reduced personal accomplishment. Yang kedua adalah skala kualitas kehidupan kerja yang disusun menggunakan aspek-aspek kualitas kehidupan kerja yaitu pekerjaan yang patut dikerjakan, kondisi kerja yang memadai, upah dan keuntungan yang memadai, jaminan kerja, supervisi yang cukup perlakuan yang positif, umpan balik atas hasil pekerjaan seseorang, kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, kesempatan yang wajar untuk maju berdasarkan jasa, iklim sosial yang positif, keadilan dan perlakuan yang wajar terhadap semua orang.
Prosedur Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah koefisien korelasi product moment.
HASIL Hasil uji coba skala burnout menunjukkan dari 32 butir aitem terdapat 3 butir aitem yang gugur dengan koefisien = 0,317 sampai = 0,784 dengan Indeks reliabilitas sebesar = 0,928. Skala kualitas kehidupan kerja menunjukkan dari 36 butir aitem terdapat 11 butir aitem yang gugur dan yang valid berjumlah 25 butir dengan koefisien = 0,309 sampai = 0,860 dengan Indeks reliabilitas sebesar = 0,874. Hasil Uji normalitas sebaran dianalis dengan menggunakan uji One Sample Kolmogrov-Smirnov dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
84
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas Sebaran
Sedangkan hasil analisis linieritas hubungan variabel penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Hasil Uji Linearitas Hubungan Variabel
Berdasarkan hasil perhitungan korelasi product moment, diketahui bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara kualitas kehidupan kerja dengan burnout (rxy= berarti bahwa semakin rendah kualitas kehidupan kerja maka semakin tinggi burnout. Sebaliknya semakin tinggi kualitas kehidupan kerja maka semakin rendah burnout dengan koefesien determinan (r2) sebesar 0,290 sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3. Hasil Uji Korelasi Product Moment
Nilai perbandingan mean/nilai hipotetik dan empirik dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 4. Nilai Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik
Berdasarkan analisis product moment diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara
kualitas kehidupan kerja dengan burnout pada karyawan PT. Surya Alam Permai, Palembang (rxy= berarti bahwa semakin rendah kualitas kehidupan kerja maka semakin tinggi burnout. Sebaliknya semakin tinggi kualitas kehidupan kerja maka semakin rendah burnout. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada karyawan PT. Surya Alam Permai, Palembang, maka hipotesis yang diajukan dinyatakan diterima. Zulkarnain (2011) menjelaskan bahwa terdapat tiga alasan yang dapat menjelaskan hubungan negatif tersebut yaitu yang pertama, hubungan negatif antara burnout dengan kualitas kehidupan bekerja disebabkan karena masalah berkaitan dengan isu-isu pekerja sering timbul antara lain masalah gangguan mental, tekanan, kelesuan, burnout, ketidakpuasan kerja, turnover yang semuanya mempengaruhi prestasi kerja. Pengaruh negatif ini seterusnya dapat mempengaruhi dan menurun tahap kualitas kehidupan bekerja. Kondisi ini pada akhirnya akan mengarah pekerja menjadi tidak bersemangat dan mudah mengalami tekanan kerja. Apabila pekerja tidak mampu mengontrol tekanan kerja maka akan muncul respons seperti menarik diri secara psikologi dari pekerjaan, menjaga jarak dengan klien maupun bersikap sinis dengan mereka, bolos kerja, sering terlambat, dan memiliki keinginan untuk pindah kerja.
85
Kedua, hubungan negatif tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Schaufeli-Buunk. Mereka menyatakan burnout juga muncul karena adanya harapan yang salah terhadap imbalan, hasil dan keberhasilan. Pekerja meletakkan standar keberhasilan peribadi yang terlalu tinggi dan sukar untuk dicapai berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Pengurangan pencapaian peribadi dilihat sebagai kemerosotan perasaan persaingan dan pencapaian keberhasilan dalam tugasnya dibandingkan orang lain. Individu juga cenderung menilai diri mereka secara negatif, cenderung untuk merendahkan diri dan merasa tidak berguna serta tidak produktif. Ketiga, adanya hubungan antara burnout dengan kualitas kehidupan bekerja bersesuai dengan pendapat Seashore. Apabila ciri-ciri kerja dan lingkungan kerja yang dihadapi oleh pekerja tidak dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar, pekerja cenderung menjadi tidak bersemangat dan mudah mengalami tekanan kerja dan pada akhirnya mengalami burnout. Pekerja-pekerja baru sering mengalami burnout. Kondisi ini terjadi karena pekerja ini cenderung meletakkan harapan yang terlalu tinggi terhadap pekerjaan mereka dan juga mereka terlalu berdedikasi terhadap tugas. Jika keadaan terus berkelanjutan akan berdampak kepada kualitas kehidupan bekerja mereka, seperti berperilaku negatif, kurang termotivasi dalam menjalankan aktivitas kerja dan menurunnya produktivitas kerja. Hasil lain dari penelitian ini, diketahui bahwa kualitas kehidupan kerja yang dimiliki subjek penelitian yaitu karyawan PT. Surya Alam Permai, Palembang dinyatakan tergolong tinggi. (MH=75,00<ME= 95,41,selisih > 1SD).
Kualitas kehidupan kerja pada penelitian ini memberikan pengaruh sebesar 29% terhadap burnout, selebihnya 71% burnout dipengaruhi oleh faktor lain yang dalam penelitian ini tidak diteliti seperti work overload, lack of work control, rewarded for work, breakdown in community treated fairly dan dealing with conflict values (Leither & Maslach, 1997). Selanjutnya burnout dinyatakan tergolong sangat rendah (MH= 87>ME= 52,42, selisih > 1SD).
DISKUSI Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara kualitas kehidupan kerja dengan burnout yang artinya semakin tinggi kualitas kehidupan kerja maka semakin rendah burnout, sebaliknya semakin rendah kualitas kehidupan kerja maka semakin tinggi burnout. Maka hipotesis yang diajukan dinyatakan diterima. Kualitas kehidupan kerja menyumbang atau mempengaruhi burnout sebesar 29%. Dengan demikian terdapat 71% faktor lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini yang dapat mempengaruhi burnout. Dapat dinyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja karyawan pada PT. Surya Alam Permai pada kategori tinggi (MH= 75,00; ME= 95,41; SD= 12,552) dan burnout karyawan pada PT .Surya Alam Permai pada kategori sangatrendah (MH= 87,00; ME= 52,42; SD= 12,636). Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa implikasi praktis dapat kami ajukan. Pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja karyawan tergolong dalam kategori tinggi dan burnout karyawan tergolong
86
dalam kategori sangat rendah, maka diharapkan bagi karyawan agar tetap bersemangat dalam bekerja untuk meningkatkan keuntungan di dalam perusahaan karena perusahaan sudah mencoba untuk menjaga agar kehidupan para karyawannya menjadi lebih baik. Namun, para karyawan juga harus memanfaatkan waktu luang yang diberikan dengan baik dan bermanfaat bagi karyawan agar terhindar dari kejenuhan rutinitas kerja. Kedua, diharapkan bagi pihak perusahaan untuk tetap mempertahankan suasana kerja dan juga tetap menjaga komunikasi yang baik serta mengadakan kegiatan yang mampu menyegarkan kembali pikiran para karyawan seperti family gathering, olahraga bersama di akhir minggu, agar kualitas kehidupan kerja yang sudah tergolong tinggi semakin baik atau lebih ditingkatkan lagi sehingga karyawan tidak mengalami burnout. Ketiga, peneliti selanjutnya sebaiknya mengaitkan beberapa variabel lain yang dapat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan kerja.
REFERENSI. Albrecht, K. (1983). Pengembangan Organisasi:pendekatan sistem yang menyeluruh untuk mencapai perubahan positif dalam setiap organisasi usaha. Bandung: Angkasa. Greenberg, J. (2010). Managing Behavior in Organizations, 5th ed. Pearson. Greenberg, Jerald. & A. Baron. (1993). Behavior in Organization, Understanding and Managing the Human side of Work , edisi kelima, New Jersey: Prentice Hall inc., Englewood Cliff, 1993.
Jewell,L.N.(1998).Contemporary Industrial/Organizational Psychology—3rd edition. California: International Thomsom Publishing. Kossen, dkk. (1986). Aspek Manusiawi Dalam Organisasi. Jakarta: Erlangga. Lether & Maslach, C. (1997). The Truth About Burnout. How Organization Cause Personal Stress and What To Do About It. USA: Jossey Bass. Luthans, Fred. (2005). Organizational Behavior. 10th ed, McGraw-Hill, New York. Maslach, C. (2003). Burnout: The cost of caring. Cambridge. MA: Malor Books. Normala,D.(2010).Investigating the Relationship between QWL and Organizational Commitment amongst Employees in Malaysian Firms, International Journal of Business and Management, 2010, Vo.5, No.10. Robbins, S.P. & Judge, T.A. (2003). Organizational Behavior. New Jersey: Pearson Education. Sukamto, E, M., Setiasih, & Setiawan, J. L. (1998). Hubungan Antara Kebiasaan Proaktivitas dan Masa Kerja dengan Gejala Burnout pada Sekolah Dasar. Anima, XIII, 354-373 Umstot, D.D., (1988). Understanding Organizational Behaviour. St. Paul: West Publishing Company. Zulkarnain, A. (2011). Dampak Burnout terhadap Kualitas Kehidupan Bekerja pada Pekerja Public Service. Prosiding. Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. diambil dari http://www.researchgate.net/publicatio n/237841444_DAMPAK_BURNOUT _TERHADAP_KUALITAS_KEHID UPAN_BEKERJA_PADA_PEKERJ A_PUBLIC_SERVICE.