HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS DENGAN PERILAKU AGRESI PADA KOMUNITAS PUNK DI KOTA MALANG Nia Megawati Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konformitas dengan perilaku agresi pada komunitas punk di Kota Malang. Sampel penelitian adalah anggota komunitas punk yang tersebar di beberapa daerah di Kota Malang, terdiri dari 61 laki-laki dan 23 perempuan berjumlah keseluruhan 84 orang. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu Skala Konformitas sebanyak 20 aitem (α = 0,889) dan Skala Perilaku Agresi sebanyak 45 aitem (α = 0,972). Skala ini menggunakan skala model Likert dan analisis statistiknya menggunakan SPSS versi 16.0. Metode penelitian menggunakan metode kuantitatif korelasional. Data dianalisis dengan menggunakan korelasi product moment Pearson, didapat koefesien korelasi (r) sebesar 0,310 dengan taraf signifikansi 0,004 (p < 0,05). Hasil uji korelai tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konformitas dengan perilaku agresi pada komunitas punk di Kota Malang. Kata kunci: konformitas, perilaku agresi, komunitas punk ABSTRACT This study was aimed to determine relation between conformity and aggressive behavior of the punk communities in Malang. The samples of this study were 84 members of punk communities who spread across several regions in Malang, consist of 61 men and 23 women. Methods of data collection in this study using two scales, namely Conformity Scale by 20 items (α = 0,889) and Aggression Behavior Scale by 45 items (α = 0,972). This scale uses a Likert scale models and statistical analysis using SPSS version 16.0. Research method in this study was using quantitative correlation method. Data was analyzed by Pearson’s correlation product moment, obtained correlation coefficient (r) of 0,310 with a significance level of 0,004 (p < 0,05). The result was indicated that there was significant correlation between conformity and aggressive behavior of the punk communities in Malang. Keywords: conformity, aggressive behavior, punk communities PENDAHULUAN Latar Belakang Komunitas punk adalah sekumpulan individu yang memiliki kesamaan kepentingan dan kegemaran, dalam hal ini berupa genre musik dan ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik dengan konsep Do it Yourself (D.I.Y) yang saling peduli dan perhatian, saling berinteraksi secara terus-menerus, serta menitikberatkan pada nilai-nilai persahabatan (unite). Awal kemunculan punk adalah di Eropa, setelah tahun 1977 punk menyebar dari Eropa ke Amerika bahkan mungkin hampir ke seluruh peradaban di dunia. Punk masuk 1
2
Indonesia pada akhir 80-an, tetapi perkembangan besar terjadi pada awal sampai dengan pertengahan tahun 90-an. Ada kesamaan dalam suasana sosial dan politik di Inggris ketika budaya punk muncul dengan keadaan sosial di Indonesia pada pertengahan tahun 90-an. Tingkat pendidikan antara kaum miskin masih rendah, kesenjangan sosial di Indonesia sangat tajam antara kelas menengah ke atas dan kelas bawah, tingkat pengangguran dan buta huruf di kalangan pemuda sangat tinggi, serta ada kesamaan juga dalam hal-hal politik (Pickles, 2000). Komunitas punk di Indonesia tersebar di beberapa wilayah seperti Jakarta, Bandung, Makassar, Aceh, Samarinda, Klaten, Yogyakarta, dan tidak terkecuali di Malang. Komunitas Punk di Kota Malang dapat dijumpai di perempatan ITN, di perempatan Dieng, di pertigaan lampu merah Dinoyo, di daerah Mitra II, di Kota Batu, di sekitar pasar Lawang, dan tempat lain di Kota Malang. Mengenai aktivitas, sebagian dari mereka memiliki pekerjaan seperti menjadi tukang parkir, penjual stiker, penjual koran, bahkan ada juga dari mereka yang mempunyai usaha sablon (Maghfiroh, 2007). Berkaitan dengan punk, Marshall (Dwiyantari, 2012) membagi punk ke dalam tiga kategori, yaitu Hardcore Punk, Street Punk, dan Glam Punk. Hardcore Punk ditandai dengan gaya pemikiran dan bermusik yang mengarah pada rock hardcore dengan beat-beat musik yang cepat. Jiwa pemberontakan mereka sangat ekstrim sehingga seringkali terjadi keributan di antara mereka sendiri. Street Punk sering disebut The Oi dan anggotanya dinamakan skinheads. Mereka biasanya tidur di pinggir jalan dan mengamen untuk membeli rokok. Sebagai akibatnya, mereka banyak bergaul dengan pengamen dan pengemis karena samasama hidup di jalanan. Mereka adalah aliran pekerja keras. Glam Punk biasanya jarang berkumpul dengan komunitas mereka di pinggir jalan dan lebih memilih tempat-tempat yang elite seperti distro atau kafe. Umumnya, mereka adalah para seniman dengan berbagai macam karya seni. Cara kaum punk mensosialisasikan sikap dan kritik mereka menjadikan musik sebagai alat komunikasi. Sejak dulu corak musik keras punk dijadikan simbol pemberontakan yang membawa pesan anti kemapanan. Lirik-lirik protes atau kritik sosial disampaikan secara lantang tanpa kiasan untuk memperhalus makna (Pickles, 2000). Kaum punk menyatakan dirinya melalui penampilan, pakaian, dan gaya rambut yang berbeda. Ciri khas dari punk adalah celana jeans sobek-sobek, peniti cantel (safety pins) yang dikenakan di telinga atau pipi, mereka menggunakan aksesoris yang lain seperti kalung anjing, salib, dan model rambut spike-top dan mohican. Kadang-kadang mereka mengecat rambutnya dengan warna-warna cerah seperti hijau menyala, pink, ungu, dan orange. Orang-orang punk menyatakan dirinya sebagai golongan anti-fashion, dengan semangat dan etos kerja do it yourself yang tinggi (Hebdige, 2002). Penampilan anggota komunitas punk menciptakan sebuah stigma yang berkembang di masyarakat bahwa mereka seringkali melakukan hal-hal negatif dan beresiko tinggi yang dapat meresahkan masyarakat. Misalnya saja mengkonsumsi minuman beralkohol, menjadi pecandu narkoba, pelaku seks bebas, melakukan tindakan kriminal seperti perampasan, perampokan, pembunuhan, pemberontakan, pemukulan, melakukan perusakan terhadap sarana umum, dan menyebabkan kekacauan di jalanan (Maghfiroh, 2007). Penelitian terbaru di Perancis yang dilakukan oleh Nicolas Gueguen (Antara, 2012) memperkuat anggapan tersebut. Ia menemukan bahwa mereka yang melakukan kebiasaan tato dan tindik cenderung minum alkohol lebih banyak. Penelitian sebelumnya yang diadakan secara rutin memperlihatkan bahwa individu dengan tindik dan tato cenderung terlibat dalam perilaku berisiko tinggi daripada mereka yang tidak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Myrna Armstrong (2007) seorang peneliti dari Amerika juga menyebutkan bahwa tindik tubuh ini berkaitan dengan beragam perilaku berbahaya seperti penggunaan alkohol,
3
merokok, penggunaan obat-obatan, seks berisiko tinggi, dan judi. Berdasarkan penelitianpenelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penampilan anggota komunitas punk merupakan indikator bahwa perilaku beresiko tinggi merupakan gaya hidup mereka. Tidak sedikit kasus kriminal yang melibatkan anggota komunitas punk sebagai pelaku maupun korban. Contohnya adalah adanya kasus pembunuhan terhadap seorang pengamen yang dilakukan oleh anak punk di Cipulir, Jakarta pada tahun 2013 dan pengeroyokan terhadap sesama anak punk di Jakarta pada tahun 2012 lalu yang disebabkan oleh kesalahpahaman (Purnama, 2013). Kasus lain yang meresahkan juga dilakukan oleh puluhan anak punk di kota Pekanbaru, Riau. Mereka menganiaya seorang anggota TNI yang sedang bertugas di wilayah tersebut (Wibowo, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Maghfiroh (2007) menunjukkan hasil bahwa anggota komunitas Punk di Kota Malang akrab dengan minuman keras dan narkoba, mereka meninggalkan norma-norma dan aturan-aturan dalam masyarakat maupun agama. Selain itu, mereka juga tidak jarang melakukan perilaku agresi seperti ketika para pengendara mobil tidak bersedia memberikan uang saat mereka mengamen, mereka tidak segan-segan mencoret mobil orang tersebut. Tidak hanya itu, salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Waluyo (2010) pada anggota komunitas punk di Kota Malang menunjukkan bahwa mereka memunculkan perilaku agresi pada saat pertunjukan musik. Perilaku agresi yang ditunjukkan berupa perilaku verbal seperti memaki dan non-verbal seperti saling mendorong. Kesamaan identitas, kesamaan kebutuhan akan kebebasan, kecenderungan untuk bergaya hidup, berpenampilan, dan berperilaku yang sama antara anggota komunitas punk satu dengan lainnya menunjukkan adanya konformitas dalam komunitas punk. Sarwono (2002) menjabarkan konformitas sebagai bentuk perilaku sama dengan orang lain yang didorong oleh keinginan sendiri. Adanya konformitas dapat dilihat dari perubahan perilaku atau kenyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja. Dasar utama dari konformitas adalah ketika individu melakukan aktivitas dimana terdapat tendensi yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan yang lainnya, walaupun tindakan tersebut merupakan cara-cara yang menyimpang. Kecenderungan untuk melakukan konformitas tidak selalu berarti hanya mengikuti pada halhal yang positif saja. Manusia juga dapat melakukan konformitas pada bentuk-bentuk perilaku negatif misalnya mencoba minum alkohol, obat-obat terlarang atau berperilaku agresif (Sarwono, 2011). Menurut Buss dalam Morgan (Hutahaean, 2009), perilaku agresi adalah suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut baik secara fisik atau verbal dan langsung atau tidak langsung. Penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara konformitas dan perilaku agresi dilakukan oleh Wijayanti (2009). Ia meneliti mengenai hubungan antara konformitas kelompok dengan kecenderungan agresi pada anggota kelompok balap motor liar. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara konformitas kelompok dengan kecenderungan agresi pada anggota kelompok balap motor liar, dimana semakin tinggi konformitas kelompok maka akan semakin tinggi pula kecenderungan agresi pada anggota kelompok balap motor liar. Penelitian lain dilakukan oleh Puput & Budiani (2012) mengenai pengaruh konformitas pada remaja terhadap perilaku agresi di SMK PGRI 7 Surabaya menunjukkan hasil bahwa ada pengaruh signifikan antara konformitas pada geng remaja terhadap perilaku agresi di SMK PGRI 7 Surabaya. Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara konformitas dan perilaku agresi pada komunitas punk di Kota Malang.
4
KAJIAN PUSTAKA Konformitas Menurut Sears (2005), konformitas adalah suatu bentuk tingkah laku menyesuaikan diri dengan tingkah laku orang lain, sehingga menjadi kurang lebih sama atau identik guna mencapai tujuan tertentu. Sarwono (2002) menjabarkan konformitas sebagai bentuk perilaku sama dengan orang lain yang didorong oleh keinginan sendiri. Adanya konformitas dapat dilihat dari perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja. Menurut Baron & Byrne (2005), konformitas adalah penyesuaian terhadap kelompok sosial, karena adanya tuntutan dari kelompok tersebut untuk menyesuaikan diri, meskipun tuntutan tersebut tidak secara terbuka. Sementara itu, Santrock (2003) menyatakan bahwa konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan. Deaux (Nugroho, 2010) menyebutkan bahwa konformitas berarti menyerah terhadap tekanan kelompok yang dirasakan, meskipun tidak ada permintaan langsung dari kelompok. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konformitas adalah salah satu bentuk tingkah laku meniru atau identik dengan tingkah laku orang lain atas keinginan sendiri sebagai wujud dari penyesuaian diri karena adanya tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan dari kelompok. Perilaku Agresi Buss yang terkenal dalam penelitiannya mengenai agresi, menyatakan secara lebih spesifik mengenai perilaku agresi. Menurut Hergenhahn (Proborini, 2012) dengan mengacu pada teori behavioral Thorndike dan Skinner, Buss dan Perry mendefinisikan perilaku agresi sebagai perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kusumawati, 2007) menjelaskan agresi sebagai perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan, kegagalan dalam mencapai pemuas atau tujuan yang dapat diarahkan kepada orang atau benda. Agresi merupakan konsep yang familiar tetapi nampaknya tidak mudah untuk mendefinisikannya. Aronson dalam Koeswara (1998) mengemukakan agresi adalah tingkah laku yang dijalankan individu dengan maksud melukai atau mencelakakan individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Menurut Baron dan Richardson (Krahe, 2005) agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai dan mecelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Definisi agresi dari Baron ini mencakup empat faktor yaitu tingkah laku, tujuan untuk melukai atau mencelakakan (termasuk mematikan atau membunuh), individu yang menjadi pelaku dan individu yang menjadi koban, dan ketidakinginan korban menerima tingkah laku pelaku. Myers (Sarwono, 2002) menyatakan perilaku agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Selain itu, Atkinson (1999) menyatakan bahwa perilaku agresi adalah perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain secara fisik atau verbal atau merusak harta benda. Pengertian yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah tingkah laku manusia yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan
5
untuk menyakiti manusia lain ataupun terhadap objek benda, baik itu secara fisik maupun secara non fisik. Komunitas Punk Menurut Soenarno (Indaryanto, 2011), definisi komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional. Menurut Kertajaya Hermawan (Indaryanto, 2011), komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest atau values. Menurut Ronaldo (Marbun, 2012) kata punk berasal dari sebuah kepanjangan public united not kingdom. Punk merupakan sub-budaya yang lahir di LondonInggris di pertengahan tahun 1970 yang dulunya adalah sebuah gerakan untuk menentang para elit politik yang berkuasa di Inggris pada saat itu. Namun, punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Menurut Maghfiroh (2007) punk mempunyai dan membentuk satu scene tersendiri, semua benda yang dibuat adalah melalui satu konsep yaitu Do it Your Self (D.I.Y) dimana konsep ini merupakan satu konsep yang menitikberatkan pada nilai-nilai persahabatan (unite), semangat berdikari tanpa mengharapkan bantuan dari pihak manapun. Berdasarkan pengertian komunitas dan punk dapat disimpulkan bahwa pengertian komunitas punk adalah sekumpulan individu yang memiliki kesamaan kepentingan dan kegemaran dalam hal ini berupa genre musik dan ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik dengan konsep Do it Your Self (D.I.Y), yang saling peduli dan perhatian, saling berinteraksi secara terus-menerus, serta menitikberatkan pada nilai-nilai persahabatan (unite). Keterkaitan Konformitas dalam Menjelaskan Kecenderungan Perilaku Agresi pada Komunitas Punk Komunitas punk adalah sekumpulan individu yang memiliki kesamaan kepentingan dan kegemaran dalam hal ini berupa genre musik dan ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik dengan konsep Do it Your Self (D.I.Y), yang saling peduli dan perhatian, saling berinteraksi secara terus-menerus, serta menitikberatkan pada nilai-nilai persahabatan (unite). Menurut Piliang (1998), punk sebagai bentuk subkultur, memiliki nilai-nilai yang bersifat bertentangan karena subkultur ini muncul sebagai bentuk counter culture dari sistem sosial budaya arus utama (mainstream). Arus utama (mainstream) adalah pola sosial yang dominan dan konvensional. Perbedaan ini dapat menimbulkan anggapan menyimpang dari masyarakat tentang subkultur punk. Khasanah (Indaryanto, 2011) mengungkapkan bahwa selama ini komunitas punk memang dikenal dengan gaya hidupnya yang serba bebas. Mereka berupaya melepaskan diri dari berbagai aturan, baik norma masyarakat, aturan pemerintah, maupun agama. Bagi mereka, gaya punk bukan sekadar corak dalam bermusik tetapi punk sudah menjadi ideologi. Pernyataan diatas diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Indaryanto (2011) dengan hasil bahwa komunitas punk melakukan berbagai macam penyimpangan sosial yang terjadi dan mengarah kepada penyakit masyarakat yang juga termasuk dalam perilaku beresiko tinggi. Diantaranya yaitu konsumsi minuman keras, narkoba, perilaku seks diluar nikah / prostitusi / pelacuran, tindak kejahatan seperti penganiayaan, perkelahian, pemerasan, pencuri. Kesamaan identitas dan kesamaan kebutuhan
6
akan kebebasan membuat antara anggota punk yang satu dengan yang lain cenderung bergaya hidup, berpenampilan, dan berperilaku sama. Hal ini merupakan salah satu wujud nyata dari adanya konformitas dalam komunitas punk. Menurut Hurlock (2009) konformitas terhadap standar kelompok terjadi karena adanya keinginan untuk diterima kelompok sosial. Semakin tinggi keinginan individu untuk diterima secara sosial maka semakin tinggi pula tingkat konformitasnya. Dasar utama dari konformitas adalah ketika individu melakukan aktivitas dimana terdapat tendensi yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan yang lainnya, walaupun tindakan tersebut merupakan cara-cara yang menyimpang. Kecenderungan untuk melakukan konformitas tidak selalu berarti hanya mengikuti pada hal-hal yang positif saja. Manusia juga dapat melakukan konformitas pada bentuk-bentuk perilaku negatif misalnya mencoba minum alkohol, obat-obat terlarang atau berperilaku agresif (Sarwono, 2011). Penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara konformitas dan perilaku agresi dilakukan oleh Wijayanti (2009). Ia meneliti mengenai hubungan antara konformitas kelompok dengan kecenderungan agresi pada anggota kelompok balap motor liar. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara konformitas kelompok dengan kecenderungan agresi pada anggota kelompok balap motor liar, dimana semakin tinggi konformitas kelompok maka akan semakin tinggi pula kecenderungan agresi pada anggota kelompok balap motor liar. Penelitian lain dilakukan oleh Puput & Budiani (2012) mengenai pengaruh konformitas pada remaja terhadap perilaku agresi di SMK PGRI 7 Surabaya menunjukkan hasil bahwa ada pengaruh signifikan antara konformitas pada geng remaja terhadap perilaku agresi di SMK PGRI 7 Surabaya. METODE PENELITIAN Partisipan dan Desain Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota komunitas punk yang berada di Kota Malang. Sampel yang digunakan sebagai uji coba (try out) pada penelitian ini melibatkan 30 orang anggota komunitas punk di Kota Malang, sedangkan ketika penelitian berlangsung peneliti melibatkan 84 orang anggota komunitas punk di Kota Malang. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Non-Probability Sampling dengan metode snowball sampling. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode bersifat korelasional untuk mengetahui hubungan antara konformitas (X) dengan perilaku agresi (Y) pada komunitas punk di Kota Malang. Alat Ukur dan Prosedur Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari skala konformitas dan skala perilaku agresi dengan skala likert menggunakan aitem favorable dan unfavorable. Skala konformitas dalam penelitian ini disusun oleh peneliti berdasarkan teori Sears (2005) terdiri dari tiga dimensi, antara lain: kekompakan, kesepakatan, dan ketaatan. Skala konformitas sebelum uji coba terdiri dari 28 aitem. 8 aitem gugur saat uji coba sehingga tersisa 20 aitem dengan koefisien korelasi aitem total 0,361 sampai dengan 0,680 dan nilai cronbach alpha sebesar 0,889. Skala perilaku agresi dalam penelitian ini disusun oleh peneliti berdasarkan teori Buss dan Perry (1992) terdiri dari empat dimensi, antara lain: agresi fisik, agresi verbal, kemarahan, dan permusuhan. Skala perilaku agresi sebelum uji coba terdiri dari
7
48 aitem. 3 aitem gugur saat uji coba sehingga tersisa 45 aitem dengan koefisien korelasi aitem total 0,357 sampai dengan 0,879 dan nilai cronbach alpha sebesar 0,972. Prosedur dalam penelitian ini terdiri dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap analisis data. Persiapan penelitian ini dilakukan dengan menempuh beberapa tahap, antara lain: membuat alat ukur terdiri dari skala konformitas dan skala perilaku agresi, melakukan uji coba pada 30 anggota komunitas punk di Kota Malang, dan melakukan analisis item menggunakan software SPSS 16.0 for windows untuk menentukan validitas dan reliabilitas alat ukur. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan membagikan skala pada 84 anggota komunitas punk di Kota Malang. Analisis data penelitian ini dilakukan dengan menempuh beberapa tahap, antara lain: memberi skor jawaban subjek pada skala, membuat tabulasi data, melakukan analisis data menggunakan software SPSS 16.0 for windows, membuat interpretasi hasil analisis data, dan membuat kesimpulan hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan analisis korelasi product moment dari Pearson untuk uji hipotesis sehingga perlu melakukan uji asumsi klasik. Uji asumsi klasik terdiri dari uji normalitas dan uji linieritas. HASIL Hasil uji normalitas variabel konformitas dan perilaku agresi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa data penelitian berdistribusi normal karena pada gambar terlihat titiktitik tersebar di sekitar garis diagonal dan taraf signifikansi lebih dari 0,05. Hasil uji linieritas menunjukkan hasil bahwa diperoleh nilai F sebesar 15,707 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 yang nilainya lebih kecil daripada 0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel konformitas memiliki bentuk hubungan yang linier dengan variabel perilaku agresi. Uji normalitas dan uji linearitas sebelumnya menunjukkan bahwa data penelitian memenuhi syarat normalitas yaitu skor kedua variabel berdistribusi normal dan memiliki korelasi linear. Terpenuhinya syarat tersebut memungkinkan uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson. hasil pengolahan data antara konformitas dengan perilaku agresi diperoleh koefisien korelasi R = 0,310 yang berada pada kategori rendah. Nilai p = 0,004 (p < 0,01) dimana hal ini berarti bahwa ada hubungan yang signifikan antara konformitas dan perilaku agresi, sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti diterima. Hasil analisis juga menunjukkan koefisien determinasi (R Squared) variabel konformitas dengan perilaku agresi sebesar 0,096, maka sumbangan efektif konformitas terhadap perilaku agresi sebesar 9,6% sedangkan 90,4% sumbangan lainnya dipengaruhi oleh variabel lain. DISKUSI Subjek pada penelitian ini berada pada rentang usia 16-25 tahun, dengan jumlah anggota komunitas punk usia remaja lebih banyak daripada anggota komunitas punk yang berusia dewasa awal. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dwiyantari (2012) memperkuat penemuan pada penelitian ini, dimana hasil pada penelitian tersebut menyatakan bahwa jumlah Remaja Punk Jalanan (RPJ) semakin banyak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan subjek yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Maghfiroh (2007), dimana rata-rata anggota komunitas punk di Kota Malang berjenis kelamin laki-laki. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara konformitas dengan perilaku agresi pada komunitas punk di Kota Malang. Uji statistik yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan hasil bahwa hipotesis yang diajukan oleh peneliti
8
diterima, yaitu terdapat hubungan antara konformitas dengan perilaku agresi pada komunitas punk di Kota Malang. Penelitian lain yang mendukung hasil dari penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti mengenai hubungan antara konformitas kelompok dengan kecenderungan agresi pada anggota kelompok balap motor liar. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara konformitas kelompok dengan kecenderungan agresi pada anggota kelompok balap motor liar, dimana semakin tinggi konformitas kelompok maka akan semakin tinggi pula kecenderungan agresi pada anggota kelompok balap motor liar (Wijayanti, 2009). Tinggi rendahnya tingkat konformitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kohesivitas (cohesiveness), jumlah kelompok dimana semakin banyak anggota yang tergabung dalam kelompok akan menambah kuat seseorang untuk melakukan konformitas., dan tipe dari norma sosial yang didalamnya terdapat norma deskriptif / himbauan (descriptive norms) dan norma injungtif / perintah (injunctive norms) (Baron & Byrne, 2005). Ketiga faktor tersebut mempengaruhi tingkat konformitas subjek pada penelitian ini. Faktor kohesivitas (tingkat ketertarikan yang dirasa oleh individu terhadap suatu kelompok ) dapat teramati menggunakan dimensi kekompakan, sedangan tipe norma sosial dapat teramati melalui dimensi kesepakatan dan ketaatan yang ada pada Skala Konformitas. Faktor jumlah kelompok dapat teramati secara langsung ketika peneliti berada di lapangan. Anggota komunitas punk yang menjadi subjek pada penelitian ini termasuk dalam kategori street punk. Mereka biasanya tidur di pinggir jalan dan mengamen untuk membeli rokok. Akibatnya, mereka banyak bergaul dengan pengamen dan pengemis karena samasama hidup di jalanan dan mereka adalah aliran pekerja keras. Kehidupan anggota komunitas punk di jalanan pada umumnya memang berbeda dengan kehidupan normatif yang ada dalam masyarakat. Mereka yang hidup di jalanan berkembang di bawah tekanan dan dicap sebagai pengganggu ketertiban (Maghfiroh, 2007). Pernyataan diatas diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Indaryanto dengan hasil bahwa komunitas punk melakukan berbagai macam penyimpangan sosial yang terjadi dan mengarah kepada penyakit masyarakat yang juga termasuk dalam perilaku beresiko tinggi. Diantaranya yaitu konsumsi minuman keras, narkoba, perilaku seks di luar nikah / prostitusi / pelacuran, tindak kejahatan seperti penganiayaan, perkelahian, pemerasan, pencurian (Indaryanto, 2011). Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa tingkat perilaku agresi anggota komunitas punk di Kota Malang termasuk dalam kategori sedang. Meski tergolong sedang, hasil tersebut cukup membuktikan bahwa anggota komunitas punk dekat dengan perilaku agresi. Tidak sedikit kasus kriminal yang melibatkan anggota komunitas punk sebagai pelaku maupun korban. Contohnya adalah adanya kasus pembunuhan terhadap seorang pengamen yang dilakukan oleh anak punk di Cipulir, Jakarta pada tahun 2013 dan pengeroyokan terhadap sesama anak punk di Jakarta pada tahun 2012 lalu yang disebabkan oleh kesalahpahaman (Purnama, 2013). Kasus lain yang meresahkan juga dilakukan oleh puluhan anak punk di kota Pekanbaru, Riau. Mereka menganiaya seorang anggota TNI yang sedang bertugas di wilayah tersebut (Wibowo, 2013). Adanya kasus-kasus tersebut mendukung penerimaan hipotesis pada penelitian ini, bahwa perilaku agresi yang ditunjukkan oleh anggota komunitas punk berhubungan dengan adanya konformitas dalam kelompok.
9
Dasar utama dari konformitas adalah ketika individu melakukan aktivitas dimana terdapat tendensi yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan yang lainnya, walaupun tindakan tersebut merupakan cara-cara yang menyimpang. Kecenderungan untuk melakukan konformitas tidak selalu berarti hanya mengikuti pada hal-hal yang positif saja. Manusia juga dapat melakukan konformitas pada bentuk-bentuk perilaku negatif (Sarwono, 2011). Teori tersebut memperkuat hasil dari penelitian ini, dimana kontribusi variabel konformitas terhadap perilaku agresi adalah 0,096. Hal ini menunjukkan bahwa konformitas memberi sumbangan efektif sebesar 9,6% terhadap munculnya perilaku agresi pada komunitas punk. Sisanya sebesar 90,4% adalah faktor lain yang memungkinkan memberikan pengaruh terhadap munculnya perilaku agresi, namun tidak diperhatikan dalam penelitian ini. Buss & Perry (Bushman & Anderson, 2001) menyebutkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku agresi pada individu adalah petunjuk untuk melakukan tindakan agresi (aggressive cues), provokasi, rasa sakit dan ketidaknyamanan, serta obat-obatan. Selain itu, Koeswara (1998) mengungkapkan asumsi dari pendekatan biologis yang menyatakan bahwa perilaku organisme termasuk didalamnya adalah perilaku agresi bersumber atau ditentukan oleh faktor bawaan yang sifatnya biologis. Pendekatan biologis menggunakan konsep naluri (instinct) sebagai faktor bawaan yang menjadi sumber agresi.
DAFTAR PUSTAKA Antara. (2012). Penelitian: Ditemukan Hubungan Tato Tindik dan Peminum Berat. Diakses melalui www.gayahidup.plasa.msn.com [13 Agustus 2013]. Armstrong, M. L. (2007). The Hole Picture: Risks, Decision Making, Purpose, Regulations, and The Future of Body Piercing. Clinics in Dermatology. Diunduh dari courses.ttu.edu [23 Februari 2013]. Atkinson, R. L., Atkinson, R. C., Hilgard, E. R. (1999). Pengantar Psikologi. Edisi Ke-8. Jilid Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga. Baron, R. A., Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial. Jilid 2. Edisi Kesepuluh. Alih Bahasa: Ratna Djuwita. Jakarta: Erlangga. Bushman, B. J., Anderson, C. A. (2001). Is it time to pull the plug on the hostile versus instrumental aggression dichotomy?. Psychological Review. Diunduh dari http://www.psychology.iastate.edu [21 Oktober 2013]. Buss, A. H., Perry, M. (1992). The Aggression Questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc. [28 Agustus 2013]. Dwiyantari, S. (2012). Remaja Punk Jalanan dan Penguatan Fungsi Keluarga (Sebuah Alternatif Pengendalian Maraknya Remaja Punk Jalanan). Insani. Diunduh dari http://stisip.kampuswiduri.ac.id [15 April 2013]. Hebdige, D. (2002). Subculture: The Meaning of Style. Diunduh dari www.isns.uw.edu.pl [15 April 2013].
10
Hurlock, E. B. (2009). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa: Istiwidayanti, Soedjarwo. Jakarta: Erlangga. Hutahaean, V. G. (2009). Pengaruh Emosi Dasar Negatif Terhadap Perilaku Agresi Remaja pada SMU Dharma Pancasila. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Diunduh dari share.pdfonline.com [30 April 2013]. Indaryanto, A. P. (2011). Identifikasi Keterpaan dan Kontribusi Komunitas Punk pada Penyakit Masyarakat di Jakarta Selatan. Thesis Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Jakarta. Diunduh dari lontar.ui.ac.id [22 Mei 2013]. Koeswara. (1998). Agresi Manusia. Bandung: PT. Eresco. Krahe, B. (2005). Perilaku Agresif Buku Panduan Psikologi Sosial. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Kusumawati, M., Nu’man, T. M. (2007). Hubungan Konflik Peran Ganda dengan Perilaku Agresif pada Wanita Karier. Skripsi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Diunduh dari http://psychology.uii.ac.id [26 Februari 2013]. Maghfiroh, T. (2007). Konsep Diri Anggota Komunitas Punk Malang. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Malang. Diunduh dari lib.uin-malang.ac.id [4 Maret 2013]. Marbun, F. B. (2013). Tanggapan Masyarakat Terhadap Perilaku Budaya Anak Punk di Kota Medan. Skripsi Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan. Diunduh dari http://jurnal.usu.ac.id [15 April 2013]. Nugroho, A. W. (2010). Perilaku Konformitas pada Remaja Anggota Klub Vespa di Semarang Ditinjau dari Kepercayaan Diri dan Dukungan Sosial. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Diunduh dari eprints.unika.ac.id [29 Januari 2014]. Pickles, J. M. (2000). Dari Subkultur ke Budaya Perlawanan: Aspirasi dan Pemikiran Sebagian dari Kaum Punk/Hardcore dan Skinhead di Yogyakarta dan Bandung. Skripsi Program Acicis FISIP Universitas Muhammadiyah Malang. Diunduh dari www.acicis.murdoch.edu.au [22 Mei 2013]. Piliang, Y. A. (1998). Sebuah Dunia Yang dilipat; Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme. Bandung: Mizan. Proborini, N. (2012). Hubungan Eksposur Kekerasan dalam Video Game dengan Perilaku Agresif Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Suruh Kabupaten Semarang. Skripsi Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Diunduh dari http://repository.library.uksw.edu [16 Juli 2013].
11
Puput, W., Budiani, M. S. (2012). Pengaruh Konformitas pada geng Remaja Terhadap Perilaku Agresi di SMK PGRI 7 Surabaya. Jurnal Ilmiah Program Studi Psikologi Universitas Negeri Surabaya. Diunduh dari ejournal.unesa.ac.id [4 Februari 2014]. Purnama, A. (2013). Kasus Pembunuhan Anak Punk: Dicekoki Miras dan Digebuki Hingga Tewas. Diakses melalui www.joglosemar.co [2 November 2013]. Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja. Edisi Ke-6. Jakarta: Erlangga. Sarwono, S. W. (2002). Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. _____________. (2011). Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Sears, D. O. (2005). Psikologi Sosial. Edisi Ke-5. Jakarta: Penerbit Erlangga. Waluyo, B. (2010). Agresi Anak Punk Batu Ketika Konser. Skripsi Jurusan Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Diunduh dari http://budiwaluyo65.student.umm.ac.id [16 Maret 2013]. Wibowo, M. R. (2013). Puluhan Anak ‘Punk’ Pekanbaru Aniaya Anggota TNI. Diakses melalui http://www.republika.co.id [20 Januari 2014]. Wijayanti, A. A. (2009). Hubungan Antara Konformitas Kelompok dengan Kecenderungan Agresi pada Anggota Kelompok Balap Motor Liar. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya. Diunduh dari alumni.unair.ac.id [10 Maret 2014].