HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANGTUA ANAK DENGAN PENYESUAIAN SEKOLAH PADA SISWA KELAS VII DI SMP PIUS BAKTI UTAMA GOMBONG
OLEH OLIVIA LEONARTI 802009030
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan komunikasi interpersonal orangtua anak dengan penyesuaian sekolah pada siswa kelas VII di SMP Pius Bakti Utama Gombong. Pengukuran komunikasi interpersonal menggunakan alat ukur dari aspek komunikasi interpersonal DeVito (1997) dan pengukuran penyesuaian sekolah menggunakan alat ukur SACQ (1989) yang disusun oleh Baker dan Siryk. Partisipan penelitian ini berjumlah 77 siswa kelas VII di SMP Pius Bakti Utama Gombong. Data penelitian diolah dengan teknik statistik korelasi spearman. Hasil penelitan menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara komunikasi interpersonal orangtua anak dengan penyesuaian sekolah pada siswa kelas VII di SMP Pius Bakti Utama Gombong (r = 0,493; p = 0,000).
Kata Kunci : Komunikasi Interpersonal, Penyesuaian Sekolah.
Abstract This research was conducted to find the correlation interpersonal communication between parents and child with school adjustment in class VII of Pius Bakti Utama Gombong junior high school. Measurement of interpersonal communication using a measuring instrument of interpersonal communication aspects of DeVito (1997) and measurement school adjustment using a measuring instrument SACQ (1989) compiled by Baker and Siryk. The participants of this research were 77 students in the first year junior high school of Pius Bakti Utama Gombong. Data were analyzed using Spearman correlation technique. The main results of this research showed that interpersonal communication positively correlated significantly with school adjustment (r = 0.493; p = 0.000).
Keywords: Interpersonal Communications, School Adjustment.
PENDAHULUAN Penyesuaian diri di sekolah atau penyesuaian sekolah (school adjustment) pada siswa sekolah menengah menjadikan hal yang perlu diperhatikan bagi pendidik. Pendidik perlu tahu apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu siswa dalam menyesuaikan diri di sekolah. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak-anak dan juga bukan seorang yang dewasa. Menurut Hurlock (1980) masa remaja dibagi menjadi dua yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Awal masa remaja berlangsung kira-kira 13-16 tahun dan akhir masa remaja berlangsung 17-18 tahun. Status remaja ini menjadi tidak jelas, dikatakan anak-anak belum dan dikatakan dewasa juga belum. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani transisi kehidupan, salah satunya adalah transisi sekolah. Transisi sekolah adalah perpindahan siswa dari sekolah yang lama ke sekolah yang baru yang lebih tinggi tingkatannya. Transisi memasuki sekolah menengah atau sekolah menengah pertama dari sekolah dasar merupakan suatu pengalaman normatif yang dialami oleh semua anak. Meskipun demikian, transisi tersebut dapat menimbulkan stres karena banyaknya perubahan yang terjadi baik itu di dalam diri individu, di dalam keluarga, dan di sekolah. Perubahan ini meliputi masa pubertas dan hal-hal yang berkaitan dengan citra tubuh, kemunculan beberapa aspek pemikiran operasional formal, yang meliputi perubahan dalam kognisi sosial, meningkatnya tanggung jawab dan kemandirian dalam kaitannya dengan berkurangnya ketergantungan pada orangtua, perubahan struktur kelas yang kecil menjadi lebih besar dan lebih impersonal, perubahan dari seorang guru menjadi banyak guru dan sekelompok teman sebaya yang kecil dan homogen menjadi sekelompok teman sebaya yang besar dan heterogen, serta meningkatnya fokus pada prestasi dan unjuk kerja, serta pengukurannya (Eccles,
2004; Eccles & Wigfield, 2000; Hawkins & Berndt, 1985; Wigfield, dkk, 2006 dalam Santrock, 2007). Pendidikan di sekolah dilaksanakan sebagai upaya untuk memberikan perubahanperubahan positif terhadap tingkah laku dan sikap diri siswa yang sedang berkembang menuju kedewasaannya dimana proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pembawaan, kematangan, dan lingkungan.
Sekolah sebagai
salah satu
faktor lingkungan
yang
mempengaruhinya ikut memberikan pengaruh dalam membimbing siswa agar pribadinya berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Namun dalam proses perkembangannya itu siswa tidak dapat lepas dari berbagai permasalahan, salah satunya adalah masalah penyesuaian diri (Dewi, dkk, 2014). Pada umumnya penyesuaian diri di sekolah atau penyesuaian sekolah (school adjustment) adalah sama. Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian (adjustment) sebagai suatu proses dimana individu berusaha keras untuk mengatasi atau menguasai kebutuhan dalam diri, ketegangan, frustrasi, dan konflik; tujuannya untuk mendapatkan keharmonisan dan keselarasan antara tuntutan lingkungan dimana dia tinggal dengan tuntutan didalam dirinya. Dalam hal ini, yang akan diteliti adalah penyesuaian diri di lingkungan sekolah, maka di bawah ini akan dipaparkan mengenai penyesuaian diri di lingkungan sekolah. Arkoff (1968) mendefinisikan penyesuaian sekolah sebagai interaksi seseorang dengan atau lingkungannya dan mencakup prestasi akademik, pertumbuhan pribadi dan prestasi di luar kelas seperti dalam seni, musik, kreativitas dan kepemimpinan. Menurut Baker & Siryk (1999) penyesuaian sekolah memiliki empat aspek yaitu penyesuaian akademik, penyesuaian sosial, penyesuaian pribadi-emosional, dan attachment dengan sekolah. Menurut Agbakwuru & Agbakwuru (dalam Opara & Onyekuru, 2013) penyesuaian sekolah atau school adjustment
didefinisikan sebagai proses membawa perilaku individu untuk beradaptasi terhadap lingkungan dan budaya sekolah. Gates & Jersild (dalam Opara & Onyekuru, 2013) melihat bahwa penyesuaian sekolah sebagai proses yang berkelanjutan dimana perilaku siswa yang bervariasi untuk menghasilkan hubungan yang lebih harmonis dengan lingkungan sekolah. Penyesuaian sekolah dapat dilihat terdiri dari akademik, sosial dan emosional, hal ini berarti sebagai proses siswa mengadopsi dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan akademik, sosial dan emosional dengan lingkungan sekolah. Menurut Bernard (dalam Supriyantini & Safura, 2006) terdapat tiga masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri di sekolah, yaitu pertama, penyesuaian diri dengan kelompok teman sebaya (peer group) yang muncul akibat adanya keinginan bergaul dengan teman sebaya. Kedua, penyesuaian diri dengan para guru. Kebutuhan ini timbul karena dalam perkembangannya remaja ingin melepaskan diri dari keterikatan dengan orang tua, ingin mendapatkan orang dewasa lain yang dapat dijadikannya sahabat dan sebagai pembimbing. Ketiga, penyesuaian diri dalam hubungan dengan orang tua, guru, dan murid. Kebutuhan ini di latarbelakangi antara lain, remaja ingin berkembang tanpa bergantung pada orang tua, ingin diakui sebagai individu yang mempunyai hak-hak sendiri, dan orang yang mampu memecahkan persoalannya sendiri. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri di lingkungan sekolah dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya keadaan fisik, perkembangan dan kematangan, psikologis, religiusitas dan kebudayaan, serta keadaan lingkungan. Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak
aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud salah satunya adalah lingkungan keluarga. Menurut Abriyoso (2012) keluarga merupakan lingkungan dari anak didik dan memiliki peranan besar dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang. Ketika sebuah keluarga terbentuk, interaksi sosial pun tidak berlangsung dengan sendirinya, tetapi karena ada tujuan dan kebutuhan yang berbeda antara ayah, ibu, dan anak maka menyebabkan mereka saling berinteraksi dan berhubungan. Di dalam sebuah keluarga, hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai dengan bimbingan dan dorongan dari orangtua. Setiap anggota keluarga harus saling menghormati, saling memperhatikan dan saling memberi tanpa harus diminta, dan juga setiap masalah harus dihadapi dan diupayakan untuk kemudian dipecahkan bersama, serta memberi kebebasan kepada anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Jika seseorang menginginkan sesuatu atau mengungkapkan sesuatu, maka keinginan itu perlu diungkapkan atau dikomunikasikan agar orang lain dapat mengetahuinya. Banyak orang memiliki kemampuan dan keinginan yang besar, tetapi karena ia tidak dapat mengkomunikasikannya kepada orang lain, maka kemampuan atau keinginan itu tidak dapat dikembangkan atau terpenuhi. Keinginan tersebut tidak terlepas dari kegiatan komunikasi interpersonal antara orangtua dan anak (Kurniadi, 2010). DeVito (1997) menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal merupakan pengiriman pesan-pesan dari seorang dan diterima oleh orang yang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik langsung. Dengan demikian komunikasi interpersonal orangtua dan anak adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara orangtua dan anak dengan efek yang diketahui segera.
Cangara (2005) mengemukakan bahwa komunikasi interpersonal dengan baik akan menghasilkan umpan balik yang baik pula. Komunikasi interpersonal diperlukan untuk mengatur tata krama pergaulan antar manusia, sebab dengan melakukan komunikasi interpersonal dengan baik akan memberikan pengaruh langsung pada struktur seseorang dalam kehidupannya. Tujuan dari komunikasi interpersonal dalam keluarga yaitu untuk mengetahui dunia luar, untuk mengubah sikap dan perilaku. Komunikasi interpersonal dalam keluarga sangat penting karena dengan adanya komunikasi interpersonal antar sesama anggota keluarga maka akan tercipta hubungan yang harmonis dan dapat diketahui apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh salah satu anggota keluarga (Widjaya dalam Rejeki, 2008). Komunikasi yang buruk antara orang tua dan anak sering kali menciptakan konflik yang tidak berkesudahan. Konflik di dalam keluarga dapat mendorong anggota keluarga menjadi frustrasi sehingga mempengaruhi hasil belajar anak, serta perilaku dan sikap pada anak. Abriyoso (2012) menyebutkan penyebab konflik dalam keluarga beragam, seperti percek-cokan orang tua, perbedaan pendapat dalam anggota keluarga, masalah ekonomi serta memaksakan kehendak kepada anaknya dengan dalih mendisiplinkan, serba melarang dengan dalih melindungi. Jaudah (dalam Ilyas, 2004) mengatakan suasana komunikasi orangtua di rumah mempunyai peranan penting dalam menentukan kehidupan anak di sekolah maka orangtua perlu menciptakan komunikasi yang intens dengan anaknya terhadap proses belajar anaknya. Peranan orangtua harus menjadikan rumah sebagai wadah untuk berkomunikasi secara terus menerus dengan anaknya yang berhubungan dengan kegiatan belajar anak di rumah dan di luar rumah serta pemenuhan kebutuhan belajar anak. Abriyoso (2012) mengatakan solusi dari semua konflik adalah komunikasi yang baik, penuh pengertian, saling menghargai, dan menyayangi, serta saling membahagiakan. Seperti menurut DeVito (1997) karakteristik komunikasi interpersonal
yang baik menekankan pada keterbukaan, empati, sikap mendukung, kesetaraan, dan sikap positif. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Colemen (dalam Ilyas, 2004) menyebutkan bahwa bahwa orangtua merupakan faktor paling berpengaruh terhadap perilaku sosial dan prestasi belajar anak dan status pekerjaan anak di kemudian hari. Abriyoso (2012) menyebutkan pula bahwa penyesuaian anak di sekolah tidak lepas dari peran orangtua yaitu sikap saling terbuka dalam mendengar dan menerima keluhan anak, dorongan untuk menghargai pentingnya orang lain, serta menyelaraskan perbedaan pendapat dalam keluarga dapat meningkatkan motivasi belajar anak di sekolah. Patterson & Loeber (dalam Ilyas, 2004) menyebutkan bahwa kebiasaan yang diterapkan orangtua siswa dalam mengelola keluarga yang keliru, seperti kelalaian orangtua dalam memonitor kegiatan belajar anak baik di rumah maupun di luar rumah, dapat berdampak buruk bagi pencapaian prestasi belajar siswa. Ini berarti bahwa apabila orangtua dapat mengelola keluarga dalam arti menciptakan komunikasi yang aktif pada kegiatan belajar siswa maka siswa akan memproleh hasil yang optimal (prestasi belajar yang tinggi). Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilyas (2004) yang menyebutkan bahwa intensitas komunikasi dan dan perhatian orangtua terhadap anak masih kurang optimal, namun siswa mampu menyerap pelajaran dengan baik. Penulis melakukan wawancara pada tanggal 26 Maret 2014 kepada salah satu siswa SMP Pius Bakti Utama Gombong, ia mengatakan bahwa sibuknya orangtua yang bekerja dari pagi hingga malam membuat subjek jarang menanyakan tugas sekolah yang sulit kepada orangtuanya atau saudaranya. Begitu pula sebaliknya, orangtua tidak pernah menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan di sekolah dan tugas apa saja yang didapat. Subyek jarang belajar atau mengerjakan PR di rumah karena menurutnya kondisi di rumah tidak memungkinkan dirinya
untuk mengerjakan tugasnya dengan tenang. Pada wawancara kedua dengan salah satu siswa, ia mengatakan bahwa walaupun orangtua bekerja sepanjang hari dengan membuka toko di pasar, dan hanya bertemu ketika malam hari, orangtua tetap memperhatikan dan menyuruh ia untuk belajar setiap malam, dan prestasi yang dihasilkan stabil. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru BP dan wali kelas VII yang berkaitan dengan aspek penyesuaian akademik beberapa dari siswa cenderung lebih senang untuk mengerjakan PR di sekolah atau mencontek pekerjaan milik temannya, selain itu kurangnya motivasi dalam belajar sehingga berpengaruh pada nilai-nilai akademis siswa yang dilihat dari hasil rapor bahwa nilai pelajaran siswa setiap tahun mengalami penurunan. Kemudian berkaitan dengan penyesuaian sosial yang melibatkan siswa dalam kegiatan sosial sekolah diketahui bahwa ada beberapa siswa yang kurang tertarik dalam kegiatas sekolah seperti ektrakurikuler, pramuka dan OSIS. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa kelas VII berkaitan dengan relasi teman sekolah dan guru, ada teman dan guru yang mereka tidak suka. Alasan mereka tidak menyukai teman karena arogan, suka cari perhatian, dan suka ikut campur sedangkan alasan mereka tidak menyukai guru tersebut dikarenakan pelajarannya tidak menyenangkan dan membosankan, galak dan tugasnya banyak. Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis tertarik untuk mengetahui hubungan komunikasi interpersonal dalam keluarga dengan penyesuaian sekolah (school adjustment) pada siswa di SMP Pius Bakti Utama Gombong. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII atau kelas 1 SMP. Menurut Hawkins & Berndt (dalam Santrock, 2007) peralihan dari SD ke SLTP disebut dengan top-dog phenomenon, dimana terjadi pergerakan dari posisi teratas (di Sekolah Dasar, mereka adalah murid-murid yang paling tua, paling besar, dan siswa yang paling berkuasa di sekolah) ke posisi terendah (di sekolah lanjutan atau Sekolah Menengah Pertama menjadi muridmurid yang paling muda, paling kecil, dan paling lemah di sekolah). Hal tersebut sering kali
menimbulkan masalah bagi banyak siswa yang kurang dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan komunikasi interpersonal dalam keluarga dengan penyesuaian sekolah (school adjustment).
TINJAUAN PUSTAKA Penyesuaian Sekolah Agbakwuru & Agbakwuru (dalam Opara & Onyekuru, 2013) penyesuaian sekolah atau school adjustment didefinisikan sebagai proses membawa perilaku individu untuk beradaptasi terhadap lingkungan dan budaya sekolah. Gates & Jersild (dalam Opara & Onyekuru, 2013) melihat bahwa penyesuaian sekolah sebagai proses yang berkelanjutan dimana perilaku siswa yang bervariasi untuk menghasilkan hubungan yang lebih harmonis dengan lingkungan sekolah. Penyesuaian sekolah dapat dilihat terdiri dari akademik, sosial dan emosional, hal ini berarti sebagai proses siswa mengadopsi dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan akademik, sosial dan emosional dengan lingkungan sekolah. Arkoff (1968) mendefinisikan penyesuaian sekolah sebagai interaksi seseorang dengan atau lingkungannya dan mencakup prestasi akademik, pertumbuhan pribadi dan prestasi di luar kelas seperti dalam seni, musik, kreativitas dan kepemimpinan. Berdasarkan definisi adjustment secara umum, school adjustment menurut Baker & Siryk (1984) merupakan proses psikologis yang dimensi-dimensinya mempengaruhi dan menentukan penyesuaian sesorang serta melibatkan tuntutan yang memiliki variasi dalam hal jenis serta tingkatannya serta membutuhkan beragam respon untuk mengatasi tuntutan yang akan berbeda pula efektivitasnya pada masing-masing individu. Baker & Siryk (1984) mengemukakan empat aspek penyesuaian sekolah yaitu penyesuaian akademik (academic adjustment), penyesuaian
social (social adjustment), penyesuaian pribadi – emosi (personal-emotional adjustment) dan institutional attachment. 1. Penyesuaian Akademik Menjelaskan sejauh mana pelajar dapat memenuhi keperluan motivasi (sikap dan motivasi dalam belajar dan mengerjakan tugas akademik), aplikasi (melihat seberapa besar usaha yang ditunjukan pelajar dalam proses akademik), prestasi (hasil yang diperoleh dalam proses akademik), kepuasan pelajar terhadap proses akademik di sekolah. 2. Penyesuaian sosial Menjelaskan keberhasilan pelajar dalam menghadapi tuntutan antarpribadi-sosial yang melekat dalam kehidupan sekolah. Melibatkan pelajar dalam aktivitas sosial, hubungan dengan orang lain, hubungan dengan keluarga (walaupun berjauhan), kepuasan terhadap lingkungan. 3. Penyesuaian Pribadi - Emosi Menjelaskan kesejahteraan psikologis pada pelajar dan fisik yang menunjukan bahwa pelajar sehat. Aspek psikologi yang terdiri dari kestabilan emosi, tekanan, mengatur perasaan dan pikiran, dan kebimbangan. Aspek fisik terdiri dari sehat tidaknya fisik pelajar, selera makan, berat badan, bisa tidaknya siswa menjaga kesehatan fisik. 4. Institutional Attachment Menjelaskan perasaan tentang atau tingkat kepuasan siswa mengenai keberadaannya di sekolah. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Siswa di Sekolah Menurut Baker (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi siswa di sekolah antara lain adalah usia, jenis kelamin, kebangsaan, kemampuan intelektual, kepribadian seperti extraversion dan neuroticism, dan dukungan sosial. Menurut Schneiders (1964) ada lima faktor yang
mempengaruhi penyesuaian siswa di sekolah yaitu kondisi fisik, perkembangan dan kematangan intelektual, sosial, dan emosi, pengalaman dan belajar, keadaan lingkungan, dan faktor kebudayaan, adat istiadat, dan agama. Adapun, faktor lain yang disebutkan oleh Soeparwoto, dkk (2004) yang mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penyesuaian siswa disekolah salah satunya adalah faktor keluarga dan pola asuh orangtua, dimana pola asuh dan suasana keluarga meliputi keterbukaan dalam berkomunikasi dapat memberikan peluang kepada siswa untuk menyesuaikan diri di sekolah. Selain itu, Toews dan Yazedjidan (2007) mengatakan bahwa kepercayaan diri juga berpengaruh terhadap penyesuaian diri siswa di sekolah. Seperti halnya, Martin, Swartz-Kulstad, dan Madson (dalam Toews & Yazedjidan, 2007) mengatakan bahwa dukungan dari peer group juga berpengaruh terhadap school adjustment. Saat siswa merasa bahwa dukungan sosial dari keluarga kurang efektif, maka ia akan lebih mendekatkan dari kepada peer group.
Komunikasi Interpersonal Orangtua Anak Cangara (2005) komunikasi adalah bentuk interaksi antara manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi. De Vito (1997) mengatakan bahwa komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seorang dan diterima oleh orang yang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik langsung. Gerbner (dalam Yuniarti, 2009) menjelaskan pengertian komunikasi orangtua dan anak melalui komunikasi interpersonal yaitu proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau dari sejumlah orang-orang dalam suatu kelompok dengan sejumlah efek yang dapat
diketahui dengan segera. Dengan demikian komunikasi interpersonal orangtua dan anak adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara orangtua dan anak dengan efek yang diketahui segera. Menurut Liliweri (2007), bentuk komunikasi interpersonal orangtua anak: 1. Menciptakan lingkungan yang penuh penghargaan, dan kesempatan untuk mandiri. 2. Mengembangkan pola komunikasi yang positif. 3. Menyediakan aturan yang konsisten dan batas-batas yang jelas dari setiap aturan. 4. Menyediakan aktifitas yang mendukung penguasaan anak akan keterampilan yang harus dikuasainya. 5. Membuat anak mengembangkan perasaan mampu 6. Menekankan pentingnya belajar. De Vito (1997) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal memiliki beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh para pelaku komunikasi interpersonal, yaitu: a. Keterbukaan (openess); Penilaian terhadap kualitas keterbukaan dalam komunikasi dapat dimengerti paling tidak dengan 2 hal yaitu: adanya keinginan untuk membuka diri dengan setiap orang yang mempunyai maksud berinteraksi dan adanya keinginan untuk membuka diri dengan orang lain, dapat dipahami sebagai keinginan untuk menyampaikan informasi yang dimiliki kepada orang lain. b. Empati (emphaty); Komunikasi interpersonal memerlukan adanya empati yang dimiliki para pelakunya. Empati yang terjadi selama komunikasi interpersonal berlangsung menjadikan para pelakunya mempunyai pemahaman yang sama mengenai perasaannya karena masingmasing pihak berusaha untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain dengan cara yang sama.
c. Dukungan (supportness); Ada banyak cara untuk mengungkapkan dukungan kepada orang lain. Dukungan yang tidak diucapkan melalui kata-kata bukanlah merupakan dukungan yang bernilai negatif, tetapi lebih jauh dari itu dapat mengandung nilai-nilai positif dalam komunikasi. d. Kepositifan (positiveness); Kepositifan dalam komunikasi interpersonal dapat dilakukan dengan dua jalan, yaitu berdasarkan sikap positif dan menghargai orang lain. e. Kesetaraan (equality); Komunikasi interpersonal dapat berlangsung dengan efektif apabila suasananya setara. Ini di tunjukkan dengan bagaimana orangtua dapat menerapkan konsep kesamaan perilaku, kesukaan, sikap, pengalaman antara orangtua dan anak. Pentingnya komunikasi interpersonal antara orangtua dan remaja menurut Wahlross (dalam Yuniarti, 2009) kunci keharmonisan sebuah keluarga adalah terletak pada komunikasi yang efektif. Permasalahan-permasalahan dalam keluarga yang destruktif terutama yang menyangkut anak-anak bisa terjadi karena komunikasi yang tidak efektif. Lestari (1997) menambahkan bahwa melalui komunikasi, orangtua menyampaikan berbagai nilai, norma, aturan yang ada dalam sosial budaya. Melalui komunikasi pula orangtua dapat mengenali dan memahami kehidupan anaknya yang dari sini orangtua akan dapat menentukan langkah yang terbaik dalam mengiringi proses perkembangan anaknya menuju kedewasaan.
Hubungan antara Komunikasi Interpersonal Orangtua Anak dengan Penyesuaian Sekolah Baker & Siryk (1984) mengatakan bahwa penyesuaian diri di sekolah atau penyesuaian sekolah memiliki empat aspek yang dimana dalam aspek tersebut menjelaskan sejauh mana siswa memiliki motivasi dalam belajar, seberapa besar usaha untuk belajar, prestasi yang diperoleh. Seperti yang dikatakan oleh Pratama (2011) bahwa anak-anak perlu untuk memiliki
motivasi agar dapat berprestasi di sekolahnya. Namun, tidak semua anak memiliki motivasi yang berasal dari diri mereka sendiri, mereka membutuhkan orang lain yang dapat membantu mereka memiliki motivasi tersebut. Salah satu pihak yang membantu anak memperoleh motivasi mereka adalah orang tua atau keluarga. Keluarga adalah pihak yang memiliki peranan terbesar dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang (Abriyoso, 2012). Seperti pendapat Lestari (1997) lingkungan keluarga adalah tempat anak pertama kali berinteraksi, karena dalam keluarga terdapat orangtua mempunyai peran penting dalam pembentukan watak dan kepribadian anak. Hal ini dikarenakan orangtua meletakkan landasan bagi anak tentang pola penyesuaian dan belajar berpikir tentang dirinya sebagaimana dilakukan oleh anggota keluarga mereka. Dasar kepribadian inilah yang nantinya dijadikan modal bagi anak ketika ia harus bergaul dan berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas. Subroto (dalam Ilyas, 2004) lingkungan keluarga banyak dihubungkan dengan prestasi belajar anak. Karena itu, yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pendidikan seorang anak adalah orangtua, di samping lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Orangtua menjadi salah satu kunci keberhasilan anak dalam belajar, sehingga orang tua perlu menciptakan komunikasi yang intens dengan anaknya terhadap proses belajar anaknya. Orangtua harus menjadikan rumah sebagai wadah untuk berkomunikasi secara intens dengan anaknya yang berhubungan dengan kegiatan belajar anak di rumah dan di luar rumah serta pemenuhan kebutuhan belajar anak. Pendapat lain dikemukakan oleh Gunarsah (1995), bahwa orang tua mempunyai fungsi tidak hanya terbatas selaku penerus keturunan saja, tetapi dalam bidang pendidikan, orang tua merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual anak diperoleh pertama-tama dari orangtua sendiri. Dari pendapat di atas, jelaslah bahwa
komunikasi orangtua dengan anaknya dalam kegiatan belajar sangat diperlukan, sebab komunikasi seperti itu dapat meningkatkan kualitas belajar anak. Komunikasi antara anggota keluarga yang terpenting adalah komunikasi orangtua dengan anaknya. Komunikasi yang harmonis antara orangtua dengan anaknya adalah komunikasi yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk menyukseskan belajar anak sendiri. Orangtua harus dapat menciptakan suasana rumah menjadi tenang dan tentram sehingga anaknya betah dan bergairah untuk belajar. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana orangtua mengkomunikasikan kebutuhan fasilitas belajar anaknya. Dari uraian di atas jelaslah bahwa komunikasi orangtua sangat diperlukan untuk lebih menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya, baik ia sebagai orangtua, maupun sebagai pendidik. Karena itu, komunikasi orangtua sebagai pendidik meliputi kesadaran akan kemajuan pendidikan anak, keterlibatan dalam kegiatan belajar anak di sekolah maupun di rumah, keterlibatan dalam menciptakan kondisi belajar yang baik, penyediaan fasilitas belajar, bimbingan serta dorongan atau motivasi untuk lebih menggiatkan anak belajar.
Hipotesis Menurut penjelasan di atas, dalam peneliian ini muncul hipotesis sebagai berikut : H0 = Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara komunikasi interpersonal orangtua anak dengan penyesuaian sekolah. H1 = Ada hubungan positif yang signifikan antara komunikasi interpersonal orangtua anak dengan penyesuaian sekolah.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasional, yaitu penelitian yang menyelidiki ada tidaknya hubungan antara dua variabel atau beberapa variabel (Arikunto, dalam Kusumaningsih & Mulyana, 2013). Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Bebas (X) : Komunikasi Interpersonal Orangtua Anak. 2. Variabel Terikat (Y) : Penyesuaian Sekolah / School Adjustment. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Pius Bakti Utama Gombong kelas VII A, B, C sebanyak 77 siswa dengan teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah sampling jenuh. Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa skala psikologi dan uji coba skala psikologis pada penelitian ini menggunakan try out terpakai. Untuk skala penyesuaian sekolah diadaptasi dari SACQ yang diungkapkan oleh Baker & Siryk (dalam Effendi & Matore, nd) yaitu penyesuaian akademik (academic adjustment), penyesuaian sosial (social adjustment), penyesuaian pribadi-emosi (personal – emotional adjustment), dan attachment. Skala ini terdiri dari 67 aitem, yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu 33 aitem favorable (aitem yang mendukung pernyataan) dan 34 aitem unfavorable (aitem yang tidak mendukung pernyataan) dan menggunakan 4 tingkat penilaian (Skala Likert) yaitu nilai 1 sampai 4. Setelah dilakukan tiga kali pengujian pada skala penyesuaian sekolah, terdapat 19 aitem yang tidak memenuhi syarat minimal, sehingga total aitem yang dapat digunakan untuk skala penyesuaian sekolah berjumlah 48 aitem dengan nilai reliabilitas sebesar 0,930.
Sedangkan untuk mengukur komunikasi interpersonal orangtua anak digunakan skala komunikasi interpersonal yang dibuat oleh Yuniarti (2009) diadaptasi oleh penulis yaitu dari 5 aspek yang diungkap oleh De Vito (1997) yaitu: keterbukaan (openness), empati (empathy), dukungan (supportness), kepositifan (positiveness), kesetaraan (equality). Skala psikologi ini terdiri dari 43 aitem, yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu 20 aitem favorable dan 23 aitem unfavorable dan menggunakan 4 tingkat penilaian (Skala Likert) yaitu nilai 1 sampai 4. Pada skala komunikasi interpersonal pengujian dilakukan dua kali dan didapati 10 aitem yang tidak memenuhi syarat minimal, maka jumlah aitem yang baik digunakan untuk skala komunikasi interpersonal adalah 33 aitem dengan nilai reliabilitas sebesar 0,927. Prosedur Pengambilan data dilakukan pada tanggal 28 Mei 2015 pada 3 kelas yaitu kelas VII A, B, dan C. Penulis memulai penyebaran angket pada kelas VII C dikarenakan kelas tersebut sedang kosong, penyebaran angket di kelas tersebut dimulai dari jam 8.35 sampai dengan 9.15 WIB, penulis mendapatkan 26 siswa. Setelah selesai menyebarkan angket pada kelas VII C dilanjutkan pada kelas VII B namun penulis membutuhkan 15 menit karena berada pada gedung yang berbeda. Kemudian, pada jam 9.30 sampai 10.00 WIB penulis mulai menyebarkan angket pada kelas VII B yang berjumlah 25 siswa. Penyebaran angket pada kelas A tertunda selama satu jam dikarenakan kelas VII A sedang ada pelajaran, maka penulis mulai menyebarkan angket pada jam 11.00 sampai dengan 11.35 WIB dengan jumlah siswa yang didapat sebanyak 26 siswa. Setelah melakukan penyebaran angket pada ketiga kelas tersebut penulis mendapatkan total angket sebanyak 77.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Analisis Deskriptif Tabel 1 Kategorisasi Penyesuaian Sekolah Interval 156 ≤ x ≤ 192 120 ≤ x < 156 84 ≤ x < 120 48 ≤ x < 84
Kategori Sangat Tinggi Tinggi Rendah Sangat Rendah TOTAL
Frekuensi 7 61 8 1 77
% 9,09 % 79,22 % 10,39 % 1,30 % 100 %
M 137,56
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat data dengan kategori sangat rendah (1,30%), rendah (10,39%), tinggi (79,22%), dan sangat tinggi sebesar (9,09%). Rata-rata yang diperoleh yakni sebesar 137,56 dan standar deviasi yang ada yakni sebesar 16,548. Hal ini berarti penyesuaian sekolah pada siswa kelas VII pada kategori tinggi. Tabel 2 Kategorisasi Komunikasi Interpersonal Interval 107,25 ≤ x ≤ 132 82,5 ≤ x < 107,25 57,75 ≤ x < 82,5 33 ≤ x < 57,75
Kategori Sangat Tinggi Tinggi Rendah Sangat Rendah TOTAL
Frekuensi 21 50 5 1 77
% 27,27 % 64,94 % 6,49% 1,30 % 100 %
M 99,13
Bila meninjau data tersebut didapatkan data dengan sangat rendah (1,30%), rendah (6,49%), tinggi (64,94%), dan sangat tinggi sebesar (27,27%). Rata-rata yang diperoleh yakni sebesar 99,13 dan standar deviasi yang ada yakni sebesar 14,508. Data tersebut juga menunjukkan bahwa komunikasi interpersonal dalam keluarga pada kategori tinggi.
Uji Asumsi Uji Normalitas Uji normalitas sebaran ini menggunakan teknik one sample Kolmogorov-Smirnov test (ks-z) yang dikatakan normal jika p (asym sig (2-tailed)) > 0,05. Hasil uji normalitas variabel penyesuaian sekolah dijelaskan sebagai berikut: Tabel 3 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Penyesuaian_ Komunikasi_I Sekolah nterpersonal N Normal Parametersa Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal.
77 137.56 16.548 .112 .093 -.112 .984 .287
77 99.13 14.508 .109 .059 -.109 .954 .322
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa hasil uji normalitas variabel penyesuaian sekolah, nilai ks-z adalah 0,984 dengan asym sig (2-tailed) 0,287 >0,05 dan variabel komunikasi interpersonal, nilai ks-z adalah 0,954 dengan asym sig (2-tailed) 0,322 > 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa distribusi data skala penyesuaian sekolah dan komunikasi interpersonal adalah normal. Uji Linieritas Uji linieritas ini menggunakan compare means test for linierity. Berdasarkan hasil uji linieritas menggunakan menggunakan program SPSS For MS windows versi 16 :
Tabel 4 Uji Linieritas ANOVA Table Sum of Squares Penye Between Groups suaian _Seko lah * Komu nikasi _Inter person Within Groups al Total
df
Mean Square
F
Sig.
(Combine d)
15987.237
38
420.717 3.314
.000
Linearity
7080.273
1
7080.273 55.776
.000
Deviation from Linearity
8906.964
37
240.729 1.896
.027
4823.750
38
126.941
20810.987
76
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai signifikansi pada Deviation from Linearity sebesar 0,027. Karena p < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel penyesuaian sekolah dan komunikasi interpersonal tidak terdapat hubungan yang linear.
Uji Korelasi Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi Spearman dengan bantuan SPSS 16.0 didapatkan hubungan sebesar 0,493 dan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hasil tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara komunikasi interpersonal orangtua anak dengan penyesuaian sekolah. Hasil analisis data dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5 Correlationsa Penyesuaian_ Komunikasi_I Sekolah nterpersonal Spearman's rho Penyesuaian_Sekolah
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Komunikasi_Interperso Correlation nal Coefficient Sig. (2-tailed) **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). a. Listwise N = 77
1.000
.493**
.
.000
.493**
1.000
.000
.
Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara komunikasi interpersonal orangtua anak dengan penyesuaian sekolah pada siswa kelas VII di SMP Pius Bakti Utama Gombong, didapatkan hasil perhitungan uji korelasi rxy sebesar 0,493 dengan p ˂ 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi komunikasi interpersonal orangtua anak maka semakin tinggi pula penyesuaian siswa di sekolah. Dengan demikan H0 dalam penelitian ini ditolak dan H1 diterima, artinya adanya hubungan postif yang signifikan antara komunikasi interpersonal orangtua anak dengan penyesuaian sekolah pada siswa kelas VII di SMP Pius Bakti Utama Gombong. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa variabel X (komunikasi interpersonal) dan Y (penyesuaian sekolah) memiliki hubungan positif dan signifikan. Hal ini disebabkan oleh dukungan orangtua terhadap prestasi dan kegiatan sekolah pada anak seperti hasil penelitian oleh Firdaus (dalam Ilyas, 2004) yang mengatakan pula bahwa partisipasi orangtua dalam pelaksanaan pendidikan sangat berpengaruh positif terhadap prestasi belajar siswa dan
menunjukkan semakin tinggi keterlibatan dan kepedulian orangtua terhadap masalah-masalah pendidikan di sekolah, semakin meningkat pula prestasi anaknya dalam mata pelajaran di sekolah. Sama halnya Napoli dan Wortman (1998) yang mengatakan bahwa dukungan dari orangtua berdampak positif baik dari sisi dimensi penyesuaian sosial dan penyesuaian akademik. Kemudian, pendapat Montague (dalam Rakhmat, 1988) yang mengatakan, “The most important agency through which the child learns to be human is communication, verbal also non verbal”. Hal yang paling penting dalam interaksi antara orang tua dan anak yang dalam hal ini pada remaja adalah komunikasi. Komunikasi yang terjalin antara orang tua dan remaja akan membuat remaja merasa diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat, merasa didengar dan dapat belajar berempati. Dari sini remaja akan mampu mengembangkan komunikasi yang baik dan akan membantunya dalam menyesuaikan dirinya di sekolah. Seperti pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawati (2011) menyebutkan bahwa aspek komunikasi seperti keterbukaan, sikap mendukung, sikap positif, kesetaraan mempunyai aspek sosialisasi, jika seorang anak memiliki komunikasi interpersonal orangtua dan anak yang baik maka baik pula kemampuan sosialisasinya di lingkungan sekolah. Hasil korelasi antara komunikasi interpersonal orangtua anak dengan penyesuaian sekolah maka variabel komunikasi interpersonal memberikan sumbangsih efektif sebesar 24,30% sisanya sebesar 75,70% dipengaruhi oleh faktor lain yaitu kelompok teman sebaya / peer group seperti dalam Martin, Swartz-Kulstad, dan Madson (dalam Toews & Yazedjidan, 2007) mengatakan bahwa dukungan dari peer group juga berpengaruh terhadap school adjustment. Saat siswa merasa bahwa dukungan sosial dari keluarga kurang efektif, maka ia akan lebih mendekatkan dari kepada peer group dan selain itu, Toews dan Yazedjidan (2007) mengatakan bahwa kepercayaan diri juga berpengaruh terhadap penyesuaian diri siswa di sekolah.
Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara komunikasi interpersonal orangtua anak dengan penyesuaian sekolah pada siswa kelas VII. Seperti pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yuniarti (2009) bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara komunikasi interpersonal orang tua dengan penyesuaian diri di sekolah pada remaja. Berdasarkan hasil penelitian yang dijelaskan diatas, Abriyoso (2012) menjelaskan bahwa penyesuaian anak di sekolah tidak lepas dari peran orangtua yaitu sikap saling terbuka dalam mendengar dan menerima keluhan anak, dorongan untuk menghargai pentingnya orang lain, serta menyelaraskan perbedaan pendapat dalam keluarga yang dapat meningkatkan motivasi belajar anak di sekolah.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas tentang komunikasi interpersonal dan penyesuaian sekolah diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Adanya hubungan yang positif signifikan antara komunikasi interpersonal orangtua anak dengan penyesuaian sekolah pada siswa kelas VII di SMP Pius Bakti Utama Gombong. Yang artinya semakin tinggi komunikasi interpersonal orangtua anak semakin tinggi pula penyesuaian sekolah pada siswa. Hal ini dapat dilihat dari uji korelasi antara komunikasi interpersonal dan penyesuaian sekolah sebesar 0,493 dengan p ˂ 0,05. 2. Komunikasi interpersonal orangtua anak pada siswa kelas VII SMP Pius Bakti Utama Gombong sebesar 58,44 % dan penyesuaian sekolah pada siswa kelas VII SMP Pius Bakti Utama Gombong sebesar 68,83 % yang artinya siswa memiliki komunikasi interpersonal orangtua anak dan penyesuaian sekolah yang baik.
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Bagi Remaja Diharapkan remaja mulai sering bertanya dan menyampaikan pendapat dengan orang tua, agar terjadi komunikasi timbal balik antara remaja dan orang tua, sehingga antara orang tua dan remaja dapat saling memahami. Remaja diharapkan pula untuk lebih meningkatkan prestasi belajar dan hubungan sosial di sekolah dengan baik. 2. Bagi Orangtua Bagi orang tua diharapkan untuk terbuka dan mendengarkan setiap keluh kesah anaknya agar tercipta komunikasi yang baik sehingga remaja dapat menyampaikan pendapatnya, menceritakan masalah-masalah yang dihadapinya. Selain itu, orang tua juga diharapkan mampu menciptakan interaksi yang aman dengan remaja dan responsif dalam menanggapi segala hal yang terjadi dengan remaja. Kondisi tersebut dipersepsikan remaja bahwa orang tua sebagai tempat yang nyaman dalam berinteraksi. Hal ini juga untuk membentengi remaja dari hal-hal yang bersifat negatif. 3. Bagi Peneliti Lain Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian dengan tema yang sama, disarankan untuk mengumpulkan data tidak hanya dari remaja, akan tetapi dari observasi dan wawancara langsung dengan orangtua, sehingga hasilnya akan lebih lengkap dan bervariasi. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian dengan tema yang sama, dapat lebih meneliti variabel lain misalnya peer group / teman sebaya dan kepercayaan diri yang dapat mempengaruhi penyesuaian siswa di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Abriyoso, J. O. dkk (2012). Hubungan Efektivitas Komunikasi Antarpribadi dalam Keluarga dengan Motivasi Belajar Anak di Sekolah. Diunduh pada 17 Februari 2014, dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=104013&val=1378. Arkoff, A. (1968). Adjustment and mental health. New York: McGraw-Hill. Azwar, S. (2013). Penyusunan skala psikologi. Cetakan III. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Baker, R. W., & Siryk B. (1984). Measuring adjustment to college. Journal of CounselingPsychology, 31(2), 179-189. _________________________. (1989). SACQ: Student adaptation to college questionnaire manual (2nd. ed.). Los Angeles: Western Psychological Services. Baker, R. (2004). Intrinsic, extrinsic, and amotivational orientations: Their role in university adjustment, stress, well-being, and subsequent academic performance. Current Psychology: Developmental. Learning, Personalty, and Social. 23(3), 189-202. Cangara, H. (2005). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Devito, J., A. (1997). Komunikasi antarmanusia. Jakarta: Proffesionals Books. Deswita. (2007). Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosda Karya. _______. (2010). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Dewi, K. S. dkk (2014). Kualitas Komunikasi Interpersonal terhadap Penyesuaian Diri Siswa Kelas VIII Negeri 2 Sawan Tahun Pelajaran 2013/2014. Diunduh pada tanggal 8 Februari 2015, dari http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJBK/article/viewFile/3715/2974. Gunarsa, Singgih D. (1995). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. BPK Gunung Mulia. Jakarta Pratama, H. (2011). Pola Hubungan Komunikasi Interpersonal antara Orang Tua dengan Anak terhadap Motivasi Berprestasi pada Anak. Diunduh pada tanggal 28 November 2014, dari http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1854/1/HERDIANSYAH%2 0PRATAMA-FDK.pdf. Hardjana, Agus. (2003). Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius. Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga. Ilyas. (2004). Pengaruh Komunikasi Orang Tua terhadap Prestasi Belajar Siswa pada MTsN Model Makassar. Diunduh pada 14 November 2014 dari https://datastudi.files.wordpress.com/2010/09/ilyas.pdf. Kurniadi, A. (2010). Intensitas Komunikasi Keluarga dan Prestasi Belajar Anak. Diunduh pada tanggal 14 November 2014 dari http://eprints.uns.ac.id/10605/1/148651608201011341.pdf. Lestari, S. (1997). Menjadi Orang Tua Pun Perlu Belajar. Majalah Ilmiah Kognisi: No 3 Mei 1997 Hal:23 Liliweri, A. (2007). Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Napoli, A. R. & Wortman, P. M. (1998). Psychosocial Factors Realted to Retention and Early Depature of Two-Year Community College Students. Research in Higher Education, 39(4), 419-455. Opara & Onyekuru. (2013). Psychosocial Predictors of Secondary School Students Adjustment to School. Europe Scientific journal. Diunduh pada 15 September 2014, dari http://eujournal.org/index.php/esj/article/view/1173. Rakhmat, J. (1988). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rakhmawati, D. (2011). Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal Dengan Kemampuan Sosialisasi Pada Siswa Kelas VI SD N Kotagede 1. Diunduh pada tanggal 30 Agustus 2015, dari http://journal.uny.ac.id/index.php/didaktika/article/download/3139/2636. Rejeki, A. S. (2008). Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal dalam Keluarga dengan Pemahaman Moral pada Remaja. Diunduh pada 3 Maret 2014, dari http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2008/Artikel_105031 79.pdf. Santrock, J. W. (2007). Remaja; Edisi 11 Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. ____________ (2009). Psikologi Pendidikan; Edisi 3 Jilid 1. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Schneiders, A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. USA: Brosh Publishing Company. Soeparwoto, Hariyadi, S., Hendriyani R,. Litfiah. (2004). Psikologi Perkembangan. Semarang: UNNES Press.
Supriyantini & Safura. (2006). Hubungan antara Penyesuaian Diri Anak di Sekolah dengan Prestasi Belajar. Diunduh pada tanggal 18 Februari 2014, dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15722/1/psi-jun2006-%20(4).pdf. Toews, L., Yazedjian, A. (2007). College Adjustment Among Freshmen : Predictors for White and Hispanic Males and Females. College Student Journal. 41, 891. Yuniarti, N. Y. (2009). Hubungan Persepsi Efektivitas Komunikasi Interpersonal Orangtua dan Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Diri pada Remaja Siswa SMAN I Polaharjo. Diunduh pada 13 Februari 2014, dari http://eprints.uns.ac.id/10016/1/110050802201009551.PDF.