Hubungan Antara Komunikasi Efektif Orangtua Dan Anak Dengan Tingkat Stres Pada Remaja Siswa Smk Negeri 6 Yogyakarta
Rasmin Kamumu Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Jalan Kapas 9 Semaki Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komunikasi efektif orangtua dan anak dengan tingkat stres pada remaja. Subjek penelitian ini adalah Siswa Kelas XI SMK Negeri 6 Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini berusia 16-18 tahun dan tinggal bersama orangtua. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 122 orang. Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling.Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, data berupa skor diambil menggunakan skala yaitu skala stres dan skala komunikasi efektif orangtua dan anak. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi product moment dari pearson dengan bantuan komputasi statistik program SPSS 16,0 for windows.Hasil analisis data menunjukkan adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara komunikasi efektif orangtua dan anak dengan tingkat stres pada remaja, dengan koefisien korelasi r=-0,425 dengan taraf signifikan p=0,000 (p<0,01). Variabel komunikasi efektif orangtua dan anak memberikan sumbangan yang efektif sebesar 18,1 % dalam mempengaruhi stres pada remaja. Kategorisasi skor stres pada remaja sebesar 74,59 % subjek berada pada kategorisasi sedang dan kategorisasi skor komunikasi efektif orangtua dan anak sebesar 63,12 % subjek berada pada kategori sedang.Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara komunikasi efektif orangtua dan anak dengan tingkat stres pada remaja.Semakin baik komunikasi efektif yang dilakukan orangtua pada anak maka semakin rendah stres yang dialami remaja, sebaliknya semakin buruk komunikasi efektif orangtua pada anak maka semakin tinggi stres yang dialami remaja. Kata Kunci : komunikasi efektif, stres
Abstract This study aims to know the relation between effective communication parent and child with a stress on teen. A subject of study this is students public SMK Negeri 6 Yogyakarta. The subjects in this study was 16-18 years and live with parents. The number of samples in this research is about 122nd people. The
1
sample uses the technique clusters of random sampling. A method of data used in this research is quantitative method, data in form of score taken use scale namely scale stress and scale effective communication parent and child. Engineering analysis of data used is analysis correlation product moment of pearson with the help of computing statistics program spss 16,0 for windows.The result analysis of data show a relationship negative very significant effective communication between parent and child with a stress on remaja, with a correlation coefficient r = -0,425 standard with significant p = 0,000 (p < 0,01). Variable effective communication parent and child contributing effective of 18,1% in effecting stress on teen. A categorization score stress on remaja of 74,59% subject is at a categorization being and a categorization score effective communication parent and child of 63,12% subject is at category being. Based on the research that has been done, the researchers concluded that there was a very significant negative relationship between parent and child is effective communication with the level of stress in teenagers.The better the effective communication is done on the child's parents then the lower the stress experienced by adolescents, instead getting worse parents effective communication in children then the higher the stress experienced by teenagers. Key words: effective communication, stress
PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa peralihan dan perubahan dari masa anakanak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai dengan berkembangnya kapasitas reproduksi. Selain itu terjadi perubahan secara kognitif dan mulai mampu berpikir abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini remaja mulai melepaskan diri secara emosional dari orangtua dalam rangka menjalankan peranan sosialnya yang baru sebagai orang dewasa (Clarke-Stewart & Friedman dalam Agustiani, 2006). Perubahan terjadi juga dalam lingkungan sosial remaja itu sendiri, bahwa sikap orangtua atau anggota keluarga lain, sikap guru maupun sikap masyarakat pada umumnya mengubah pandangan bahwa remaja tidak lagi diperlakukan sebagai anak-anak, melainkan memandang remaja sebagai orang yang sudah mampu mandiri dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pada periode ini, remaja menghadapi berbagai tantangan perkembangan dengan mampu menampilkan tingkah laku yang dianggap pantas atau sesuai dengan orang-orang seusianya. Remaja yang tumbuh dengan baik harus mampu dan berhasil melalui tugas-tugas perkembangannya dengan baik, namun pada kenyataannya tidak semua remaja berhasil melalui tahap perkembangannya, seperti ketidakmampuan remaja dalam menghadapi masalah, terkadang tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan yang penting dan ketidakmampuan menempatkan diri dalam lingkungan sosialnya sebagai anak yang beranjak dewasa. Hal ini membuat remaja mudah mengalami ketidakpahaman akan apa yang sedang dialaminya,
2
sehingga membuat remaja mudah mengalami “stress dan strain” (kegoncangan dan kebimbangan) (Hurlock,1999). Stres adalah suatu proses penilaian suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menentang, ataupun membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku (Feldmen dalam Fausiah & Widury, 2005). Stres juga diartikan sebagai sebuah keadaan yang dialami seseorang ketika ada ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya (Looker & Gregson,2005). Gejala-gejala stres ditunjukkan dengan melihat aksi-aksi fisiologis, antara lain detak jantung berdebar-debar, nafas tidak teratur, mulut kering, mules, diare, sembelit, kegelisahan, sulit tidur, sakit kepala, telapak tangan berkeringat, tangan dan kaki dingin, sering buang air kecil, makan berlebihan, hilang selera makan, merokok lebih banyak dan makin banyak minum alkohol. Selain itu gejala psikologisnya antara lain cemas, gelisah, histeris, depresi, tidak sabar, mudah tersinggung, mudah marah, agresif, dan sulit berkonsentrasi (Looker & Gregson,2005). Stres merupakan bagian yang tidak terhindarkan dari kehidupan. Setiap hari dan setiap saat, selalu saja ada kejadian dan adanya tuntutan yang berlebihan baik dari diri sendiri maupun orang lain sehingga membuat individu merasa tertekan atau stres. Begitu juga dengan remaja, mereka sering menghadapi masalah-masalah dalam hidup yang menyebabkan remaja menjadi stres, antara lain tuntutan akademis yang terlalu berat, hasil-hasil ulangan atau ujian-ujian yang buruk, tugas yang menumpuk dan juga tuntutan orangtua yang dianggap terlalu berat, serta lingkungan pergaulan tempat remaja melakukan hubungan interaksi dengan teman-teman seusianya. Teman bagi seorang remaja bisa dianggap segalanya bahkan bisa melebihi keluarganya sendiri. Keadaan fisik juga bisa membuat remaja stres, seperti tubuh yang terlalu gemuk, terlalu kurus, tinggi, pendek dan jerawat yang banyak tumbuh pada wajah dapat menumbuhkan perasaan ketidakpercayaan diri dan mengganggu pikiran remaja, apalagi pada masa sekarang ini menurut sebagian remaja penampilan adalah faktor yang dapat mempengaruhi suksesnya pergaulan. Penyebab lain yang membuat remaja stres yakni kondisi keluarga yang mengalami hubungan yang tidak harmonis antara anak dengan orangtua. Kondisi keuangan keluarga yang tidak baik juga dapat menjadikan remaja stres karena kondisi keuangan keluarga menjadi masalah yang sensitif bagi para remaja. Hubungan remaja dengan lawan jenis juga dapat membuat remaja mengalami stres (Kusuma, 2009). Semua permasalahan yang remaja hadapi, membuat sebagian dari remaja sering merokok, mengkonsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan sebagai pelarian dari masalah yang dihadapinya. Penelitian yang dilakukan oleh Walker (Kemala & Hasnida, 2007) pada 60 orang remaja, penyebab utama ketegangan dan masalah yang ada pada remaja berasal dari hubungan dengan teman dan keluarga, tekanan dan harapan dari diri mereka sendiri dan orang lain, tekanan di sekolah oleh guru dan pekerjaan rumah, tekanan ekonomi dan tragedi yang ada dalam kehidupan mereka misalnya kematian, perceraian dan penyakit yang dideritanya atau anggota keluarganya.
3
Gambaran kasus stres peneliti temukan di salah satu sekolah yakni Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 6 Yogyakarta. Informasi mengenai kasus ini didapatkan melalui wawancara. Wawancara dilakukan dengan guru bimbingan konseling (BK) pada hari Rabu tanggal 17 Oktober 2012. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan, ditemukan beberapa siswa yang mengalami stres dengan gejala-gejala seperti melamun saat proses belajar mengajar berlangsung, suka menyendiri, keras kepada teman dan bahkan meninggalkan rumah tanpa izin. Sumber masalah yang dialami siswa tersebut salah satunya yakni masalah perceraian kedua orangtua. Menurut Ariesandi (2011) remaja yang mengalami stres, seharusnya sudah mengembangkan kemampuan untuk mencari jalan keluar atas suatu permasalahan, namun dikarenakan emosi remaja yang dapat berubah dengan tiba-tiba dan keraguan akan keputusan yang penting, maka remaja memerlukan bantuan khusus dan dukungan dari orang dewasa terutama kedua orangtua. Hal ini biasanya akan terlewati dengan baik jika orangtua mengembangkan sebuah komunikasi yang efektif dengan anak. Komunikasi orangtua dan anak yang beranjak remaja dapat dikatakan efektif bila kedua belah pihak saling dekat, saling menyukai, adanya keterbukaan sehingga komunikasi antara keduanya menjadi hal yang menyenangkan dan tumbuh sikap percaya antara keduanya. Komunikasi efektif dilandasi adanya kepercayaan, keterbukaan, dan dukungan yang positif pada anak agar anak dapat menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh orangtua. Menurut Gunadi (2010) komunikasi orangtua dan remaja juga merupakan pengisi kebutuhan remaja yang hakiki akan interaksi. Tanpa komunikasi, remaja akan tumbuh dalam kehampaan sehingga remaja mudah mengalami stres. Komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Selain karena manusia adalah makhluk yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi segala kebutuhannya, komunikasi juga mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang. Apabila dalam lingkungan keluarga, remaja banyak menghabiskan waktu bersama dengan orang-orang terdekatnya dengan mampu menjaga keefektifan komunikasi antara orangtua dan remaja, maka besar peluang bagi remaja untuk tumbuh sebagai manusia dewasa yang dapat berkomunikasi dengan baik dan bersikap positif pada diri sendiri dan lingkungannya sehingga tidak mudah membuat remaja mengalami stres (Henny, 2006). Keluarga adalah penyedia utama lingkungan fisik intelektual dan emosional bagi kehidupan remaja. Lingkungan ini akan mempengaruhi pandangan dunia anak remaja dikemudian hari dan kemampuan anak tersebut untuk mengatasi berbagai tantangan di masa depan (Geldard & Geldard, 2010). Keluarga yang harmonis sangat menentukan terciptanya lingkungan yang baik dalam suasana kekeluargaan dan menjadi pusat ketenangan hidup. Semua itu dapat terwujud dengan upaya adanya pola komunikasi yang efektif antara anggota keluarga terutama antara orangtua dan anak (Laily & Matulessy, 2004) maka harus ada komunikasi efektif agar diantara keduanya dapat mengerti kebutuhan satu sama lain. Adanya komunikasi efektif bertujuan agar pikiran antara orangtua dan anak tidak mengalami kesenjangan yang drastis dan anak lama kelamaan akan lebih terbuka dan leluasa membicarakan masalah yang dihadapi dan ini akan
4
mempengaruhi tingkat stres pada remaja. Hal ini sesuai dengan pedapat Devito (Suranto, 2011) tentang ciri-ciri komunikasi interpersonal yang efektif yakni ketika saat orangtua melakukan komunikasi dengan anak sebaiknya mampu memahami konsep komunikasi itu sendiri, sehingga anak tidak merasakan tuntutan yang berlebihan pada dirinya. Berdasarkan permasalahan dan fenomena di atas, muncul permasalahan apakah ada hubungan antara komunikasi efektif orangtua dan anak dengan tingkat stres pada remaja, sehingga peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “Hubungan Antara Komunikasi Efektif Orangtua dan Anak dengan Tingkat Stres Pada Remaja Siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta”. TINJAUAN PUSTAKA A. Stres 1. Pengertian Stres Menurut Lazarus dan Launier (Lurr, 2010) stres adalah ketegangan fisik dan mental atau emosional karena tubuh merespon terhadap tuntutan dan gangguan yang ada di sekeliling. Stres adalah suatu keadaan atau tantangan yang kapasitasnya di luar kemampuan seseorang, oleh karena itu stres sangat individual sifatnya. Stres juga dianggap sebagai respon individu terhadap stressor, yaitu situasi dan peristiwa yang mengancam dan menuntut kemampuan coping (Santrock, 2007). Menurut Selye (Lurr, 2010) stres sebagai respon umum dari tubuh terhadap segala jenis tuntutan (stressor) yang diberikan kepadanya. Menurut Putra (2011) stres adalah faktor fisik, kimia atau emosional yang dapat menyebabkan ketegangan pada tubuh atau mental. 2. Pengertian Stres Pada Remaja Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, yang berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan” (Ali & Asrori, 2009). Menurut Geldard & Geldard (2010) masa remaja sebagai tahapan dalam kehidupan seseorang yang berada di antara tahap kanak-kanak dengan tahap dewasa, periode ini adalah ketika seorang anak muda harus beranjak dari ketergantungan menuju kemandirian, otonomi dan kematangan. Perkembangan lebih lanjut istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja juga adalah masa sebagai periode “badai dan tekanan” atau “strom and stress”, suatu masa dimana ketegangan emosi meningkatkan sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock,1999). Stres diyakini disebabkan oleh berbagai masalah yang ada, seperti masalah di sekolah, masalah keuangan, masalah keluarga dan masalah dalam lingkungan mereka. Remaja juga mengalami stres karena remaja kadang-kadang terperangkap di antara membuat keputusan yang mengikuti aturan dan perintah atau untuk bebas dan menemukan dunia seusia remaja seharusnya. Jika tidak dikelola dengan baik, stres dapat menyebakan gangguan psikologis bagi remaja ketika dewasa kelak (Sulaiman dkk, 2009).
5
Menurut Needlmen (Nasution, 2007) ada beberapa sumber stres yang dialami remaja, yakni sebagai berikut: a. Biological Stress Pada umumnya perubahan fisik pada remaja sangat cepat, dari umur 12-14 tahun pada remaja perempuan dan 13 – 15 pada remaja laki-laki. Tubuh remaja berubah sangat cepat. Remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya. Jerawat juga dapat membuat remaja stres, terutama bagi mereka yang mempunyai pikiran sempit tentang kecantikan yang ideal. Saat yang sama, remaja menjadi sibuk di sekolah, bekerja dan bersosialisasi, sehingga membuat remaja kurang tidur. b. Family Stress Salah satu sumber utama stres pada remaja adalah hubungannya dengan orangtua karena remaja merasa bahwa mereka ingin mandiri dan bebas, tapi dilain pihak mereka juga ingin diperhatikan. c. School Stress Tekanan dalam masalah akademik cenderung tinggi pada dua tahun terakhir di sekolah. Keinginan untuk mendapat nilai tinggi, atau keberhasilan dalam bidang olahraga, dimana remaja selalu berusaha untuk tidak gagal, ini semua dapat menyebabkan stres. d. Peer Stress Stres pada kelompok teman sebaya cenderung tinggi pada pertengahan tahun sekolah. Remaja yang tidak diterima oleh teman-temannya biasanya akan menderita, tertutup dan mempunyai harga diri yang rendah. Pada beberapa remaja, agar dapat diterima oleh teman-temannya, mereka melakukan hal-hal yang negatif seperti merokok, minum alkohol dan menggunakan obat terlarang. Beberapa remaja merasa bahwa alkohol, rokok dan obat-obatan terlarang dapat mengurangi stres, tetapi justru meningkatkan stres tersebut. e. Social Stress Remaja tidak mendapat tempat pada pergaulan orang dewasa karena mereka tidak diberikan kebebasan mengungkapkan pendapat mereka, tidak boleh membeli alkohol secara legal, dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang bayarannya tinggi. Pada saat yang sama mereka tahu bahwa mereka semua nanti akan mewarisi masalah besar dalam kehidupan sosial, seperti perang, polusi dan masalah ekonomi yang tidak stabil, ini dapat membuat remaja menjadi stres. 3. Aspek-Aspek Stres Stressor yang dihadapi individu akan menimbulkan respon atau reaksi dari individu tersebut baik secara fisiologis, psikologis, dan sosial. Sarafino (1994) membagi reaksi terhadap stres dibagi kedalam dua aspek, yaitu: a. Aspek Biologis Walter Canon (Sarafino,1994) menyatakan reaksi tubuh yang mengancam yakni fight or flight response karena respon fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam tersebut. Fight or flight response menyebabkan individu dapat merespon dengan cepat terhadap situasi yang mengancam. Akan tetapi arousal yang tinggi, bersifat terus menerus muncul dapat membahayakan kesehatan individu.
6
b. Aspek Psikososial Stresor akan menghasilkan perubahan-perubahan psikologis dan juga sosial individu. Perubahan-perubahan tersebut antara lain: 1) Kognitif Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam kegiatan kognitif (Cohen dkk dalam Sarafino, 1994). Baum (Sarafino, 1994) mengatakan bahwa individu yang terus menerus memikirkan stresor dapat menimbulkan stres yang lebih parah terhadap stresor. 2) Emosi Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. 3) Perilaku sosial Stres dapat merubah perilaku individu terhadap orang lain (Sarafino, 1994). Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilku agresif (Donnerstein & Wilson dalam Sarafino, 1994). Stres juga dapat mempengaruhi perilaku pada individu (Cohen & Spacapan dalam Sarafino, 1994). 4. Faktor-Faktor Mempengaruhi Stres Faktor-faktor yang mempengaruhi stres di antaranya adalah sebagai berikut: a. Faktor Perilaku Ada beberapa pendapat mengenai faktor perilaku yang mempengaruhi stres, yakni: 1) Tatkala seseorang menjumpai stressor dalam lingkungannya, ada dua karakteristik pada stressor tersebut yang akan mempengaruhi reaksinya terhadap stressor itu, yakni berupa lamanya (duration) ia harus menghadapi stressor itu dan berapa terduganya stressor itu (predictability) (Lurr, 2010) 2) Reaksi individu terhadap stres berbeda-beda yakni ada individu-individu yang memandang stres yang dihadapi sebagai tantangan sehingga individu bergerak untuk mengatasinya maka stres berfungsi menjadi motivator yang membuat individu berusaha mencari jalan keluar dari tekanan yang dihadapi. Sedangkan ada individu-individu yang memandang stres yang dihadapi sebagai ancaman yang membahayakan diri sehingga individu merasa tertekan dan terganggu dengan permasalahan yang dihadapi dan tidak melakukan langkah-langkah yang berorientasi untuk menyelesaikan permasalahannya (Widiana, 2008) b. Faktor Psikologis 1) Menurut Lurr (2010) ada tiga faktor psikologis yang terlibat, yakni: a) Perceived control, yakni keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai stresor itu. Orang dengan internal locus of control (peristiwa yang terjadi sangat dipengaruhi oleh perilakunya) cenderung lebih mampu mengatasi stres dibanding dengan orang dengan external locus of control (peristiwa yang terjadi bergantung pada nasib, keberuntungan, atau orang lain). b) Learned helplessness, adalah reaksi tidak berdaya akibat seringnya mengalami peristiwa yang berada di luar kendalinya. Produk akhirnya adalah motivational deficit (menyimpulkan bahwa semua upaya adalah siasia), cognitive deficit (kesulitan mempelajari respons yang dapat membawa
7
2)
c. 1)
2)
hasil yang positif), dan emotional deficit (rasa situasinya tak terkendalikan karena melihat bahwa individu tidak dapat berbuat apa-apa lagi). c) Hardiness (keberanian, ketangguhan), yang terdiri dari tiga karakterisitik yakni keyakinan bahwa seseorang dapat mengendalikan atau mempengaruhi apa yang terjadi padanya, komitmen, keterlibatan, dan makna pada apa yang dilakukannya hari demi hari, dan fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, seakan-akan perubahan merupakan tantangan untuk pertumbuhannya. Adapun menurut Walker (2002) faktor psikologis yang mempengaruhi stres yakni sebagai berikut: a) Persepsi. Salah satu faktor yang terlibat dalam persepsi adalah sistem panca indera perilaku seseorang dapat mengontrol persepsi. b) Perasaan dan Emosi. Tujuh macam emosi yang paling berkaitan dengan stres adalah kecemasan (kegelisahan), rasa bersalah, kekhawatiran/ketakutan, kemarahan, kecemburuan, kesedihan. Misalnya kehilangan orang yang dicintai seperti kematian teman atau anggota keluarga, putus cinta, kepindahan teman dekat. c) Situasi adalah sebuah konsepsi individual tentang keadaan atau kondisi dimana individu berada pada suatu waktu. Misalnya tidak dapat menyelesaikan konflik dengan keluarga, teman sebaya, guru, pelatih yang dapat menyebabkan frustasi dan penolakan. d) Pengalaman hidup meliputi seluruh kejadian psikologis seseorang selama rentang kehidupan seperti pengalaman yang dapat membuat individu merasa rendah diri sehingga membuat remaja kehilangan harga diri atau penolakan dan pengalaman buruk seperti hamil atau masalah keuangan. e) Perilaku (behavioral) adalah semua output dari setiap tingkatan hierarki dari sistem syaraf seperti sensasi, perasaan, emosi, kesadaran, penilaian. Misalnya tidak dapat memenuhi harapan orangtua seperti gagal dalam mencapai sesuatu harapan, tinggal kelas dan penolakan sosial. Faktor Kepribadian Menurut Walker (2002) faktor kepribadian juga dapat mempengaruhi stres pada remaja, yakni: tingkah laku impulsif, obesitas dan ketakutan yang tidak nyata, tingkah laku agresif dan anti sosial, penggunaan dan ketergantungan obat terlarang, hubungan sosial yang buruk dengan orang lain, menyalahkan diri sendiri dan merasa bersalah, masalah tidur atau makan. Rosenmen & Chesney (Lurr, 2010) tipe kepribadian juga dapat mempengaruhi stres. Tipe kepribadian terbagi atas dua tipe kepribadian antara lain dengan ciriciri tipe kepribadian “A” sebagai berikut: a) Ambisius, agresif dan kompetitif, banyak jabatan rangkap b) Kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung dan marah (emosional) c) Kewaspadaan berlebihan, kontrol diri kuat, percaya diri kuat, percaya diri berlebihan (over confidence) d) Cara bicara cepat, bertindak serba cepat, hiperaktif, tidak dapat diam e) Bekerja tidak mengenal waktu (workaholic) f) Pandai berorganisasi dan memimpin dan memerintah (otoriter) g) Lebih suka bekerja sendirian bila ada tantangan
8
h) Kaku terhadap waktu, tidak dapat tenang dan serba tergesa-gesa i) Mudah bergaul (ramah), pandai menimbulkan perasaan empati dan bila tidak tercapai maksudnya mudah bersikap bermusuhan j) Tidak mudah dipengaruhi, kaku (tidak fleksibel) k) Bila berliburan pikirannya ke pekerjaan, tidak dapat santai l) Berusaha keras untuk dapat segala sesuatunya terkendali. Individu dengan kepribadian tipe “B” adalah kebalikan dari tipe kepribadian “A” yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Ambisinya wajar-wajar saja, tidak agresif dan sehat dalam berkompetisi serta tidak memaksakan diri b) Penyabar, tenang, tidak mudah tersinggung dan tidak mudah marah c) Kewaspadaan dalam batas yang wajar, demikian pula kontrol diri dan percaya diri tidak berlebihan. d) Cara bicara tidak tergesa-gesa, bertindak pada saat yang tepat, perilaku tidak hiperaktif e) Dapat mengatur waktu dalam bekerja (menyediakan waktu untuk istirahat) f) Dalam mengorganisasikan dan memimpin bersikap akomodatif g) Lebih suka bekerja sama dan tidak memaksakan diri bila menghadapi tantangan h) Pandai mengatur waktu dan tenang (relaks), tidak tergesa-gesa i) Mudah bergaul, dan dapat menimbulkan empati untuk mencapai kebersamaan (mutual benefit) j) Tidak kaku (fleksibel), dapat menghargai pendapat orang lain, tidak merasa dirinya paling benar k) Dapat membebaskan diri dari segala macam problem kehidupan l) Dalam mengendalikan segala sesuatunya mampu menahan serta mengendalikan diri. d. Faktor Sosial Faktor sosial yang mempengaruhi stres terbagi atas 2 bagian yakni: 1) Lingkungan Keluarga a) Suksesnya perkembangan remaja dilihat dari ketika remaja terpisah dari orangtua namun tetap menjaga keterhubungan emosional. Adanya komunikasi efektif membuat hubungan orangtua dan anak lebih kuat dan relatif mengurangi stres yang dialami remaja (Weichold dkk, 2007). b) Ikatan orangtua dan anak remaja yang tidak harmonis membuat remaja merasa orangtua tidak mampu memberikan rasa aman, tidak adanya cinta dan kasih sayang dalam pengasuhan anak, sehingga remaja merasa hampa dan membuat remaja mudah mengalami stres (Santrock, 2007). Sebuah studi, remaja dapat mengatasi stres dengan lebih efektif apabila individu memiliki relasi afektif dengan komunikasi dengan orangtua (Wagner, Cohen & Brook dalam Santrock, 2007). 2) Lingkungan Sosial a) Faktor sosial budaya, meliputi stres akultural dan stres sosial ekonomi seperti kemiskinan (Santrock, 2007)
9
b) Kehidupan perkotaan, gaya hidup modern, kejadian besar dalam hidup seperti kehilangan seseorang yang disayangi, ketidakharmonisan dengan teman dan lawan jenis (Welker, 2002). c) Peristiwa lainnya seperti tugas rutin sehari-hari juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa seperti kecemasan, stres dan depresi (Lurr, 2010). B. Komunikasi Efektif Orangtua dan Anak 1. Pengertian Komunikasi Efektif Orangtua dan Anak Komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Selain karena manusia adalah makhluk yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi segala kebutuhannya, komunikasi juga mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang. Istilah komunikasi berasal dari kata communication yang bersumber dari kata communis yang artinya sama makna, jadi yang dimaksud dengan komunikasi adalah terjadinya percakapan antara komunikan dengan komunikator karena keduanya ada kesamaan dalam makna yang disampaikan (Bahri, 2004). Komunikasi juga dikatakan sebagai suatu proses antara dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (Rogers & Kincaid dalam Cangara, 2011). Effendy (2011) menyatakan bahwa proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran dapat merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan dapat berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan dan lain-lain yang timbul dari lubuk hati. Memahami istilah komunikasi di atas, komunikasi dapat dikatakan efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan secara suka rela oleh penerima pesan dapat meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Hardjana dalam Suranto, 2011). Menurut Gunawati, dkk (2006) Komunikasi efektif adalah proses penyampaian pesan verbal dan non verbal secara timbal balik dari komunikator ke komunikan, pesan diinterpretasi sesuai dengan maksud pesan, dan ada umpan balik dari pesan yang disampaikan. Menurut Supratiknya (1995) komunikasi efektif tercapai, bila komunikan menginterpretasikan pesan yang diterima mempunyai makna yang sama dengan maksud pesan yang disampaikan oleh komunikator. Komunikasi yang efektif juga dibangun dengan dasar keterbukaan yang menjadi kunci dasar bagi kepercayaan dan kesenangan (Stephen, 2011). Komunikasi orangtua dan anak dikatakan efektif bila kedua belah pihak saling dekat, saling menyukai dan komunikasi diantara keduanya merupakan hal yang menyenangkan dan adanya keterbukaan sehingga tumbuh sikap percaya. Komunikasi yang efektif dilandasi adanya kepercayaan, keterbukaan, dan dukungan yang positif pada anak agar anak dapat menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh orangtua (Rakhmat, 2011). Komunikasi efektif antara orangtua dan anak sangat penting untuk menumbuhkan keakraban. Ketika orangtua mendengarkan secara aktif, kemampuan anak untuk mengungkapkan perasaan dan isi hatinya dirangsang dan
10
semakin meningkat. Kebutuhan komunikasi merupakan kebutuhan vital dalam hubungan orangtua dan anak. Orangtualah yang diharapkan anak sebagai teman untuk berkomunikasi karena hanya orangtualah yang dekat dan dapat mendengar dengan penuh perhatian, menerima dan menanggapi segala bentuk perasaan yang dikemukakan anak sehingga anak tidak lari mencari orang lain yang dapat mendengar keluh kesah dan ungkapan perasaan hatinya (Laily & Matulessy, 2004). 2. Aspek-Aspek Komunikasi Efektif Aspek-aspek efektivitas komunikasi antar pribadi yang diungkapkan oleh Devito (Suranto, 2011) sebagai berikut: a. Keterbukaan (openness) Keterbukaan adalah sikap dapat menerima masukan dari orang lain, serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Hal ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya, tetapi rela membuka diri ketika orang lain menginginkan informasi yang diketahuinya. Sikap keterbukaan ditandai adanya kejujuran dalam merespon segala stimulasi komunikasi. Tidak berbohong dan tidak menyembunyikan informasi yang sebenarnya. b. Empati (empathy) Empati ialah kemampuan seseorang untuk merasakan kalau seandainya menjadi orang lain, dapat memahami sesuatu yang sedang dialami orang lain, dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain dan dapat memahami sesuatu persoalan dari sudut pandang orang lain melalui kacamata orang lain. Empati akan membuat seseorang lebih mampu menyesuaikan komunikasinya. c. Dukungan (supportivenness) Hubungan antarpribadi yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung, artinya masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki komitmen untuk mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka. Oleh karena itu respon yang relevan adalah respon yang bersifat spontan dan lugas. Dukungan ini lebih diharapkan dari orang terdekat yaitu keluarga. Individu memperlihatkan sikap mendukung dengan cara: 1) Ketika memaparkan gagasan harus bersifat deskripstif dan bukan evaluatif. Suasana yang bersifat deskriptif dan bukan evaluatif membantu terciptanya sikap mendukung bila individu mempersepsikan suatu komunikasi sebagai permintaan akan informasi atau uraian mengenai suatu kejadian tertentu, individu pada umumnya tidak merasakan ini sebagai ancaman. Sebaliknya, komunikasi yang bernada menilai seringnya membuat orang lain defensif. 2) Spontan bukan strategi. Orang yang spontan dalam komunikasi dan terus terang serta terbuka dalam mengutarakan pikirannya, biasanya bereaksi dengan cara yang sama, terus terang dan terbuka. Sebaliknya bila individu merasa bahwa seseorang menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, bahwa mempunyai rencana tersembunyi, maka individu juga akan bereaksi secara defensif. 3) Provisionalisme. Provisionalisme dalam bahasa inggris artinya bersifat sementara atau menunggu sampai ada bukti yang lengakp. Bersikap provisionalisme artinya kesediaan untuk meninjau kembali pendapat yang
11
disampaikan untuk mengetahui bahwa pendapat manusia adalah tempat kesalahan karena itu wajar juga kalau suatu saat pendapat dan keyakinan bisa berubah. Kata lain sikap provisionalisme merupakan sikap tentatif dan berpikiran terbuka, serta bersedia mendengar pandangan yang berlawanan dan bersedia mengubah posisi jika keadaan mengharuskan. d. Rasa positif (positiveness). Sikap positif ditunjukkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif. Apabila seseorang berpikir positif tentang dirinya, maka akan berpikir positif juga terhadap orang lain, sebaliknya bila menolak diri sendiri, maka akan menolak orang lain. Bila seseorang memahami dan menerima perasaan-perasaannya, maka akan lebih menerima perasaan-perasaan sama yang ditunjukkan orang lain. Rasa positif dapat ditunjukkan dengan adanya ketertarikan terhadap komunikasi disertai dengan memberikan reinforcement terhadap perilaku yang diharapkan, seperti tepukan di bahu dan senyuman. Selain itu sikap positif lainnya dapat ditunjukkan dengan berbagai macam perilaku dan sikap, antara lain menghargai orang lain, tidak menaruh curiga secara berlebihan dan meyakini pentingnya orang lain. e. Kesetaraan/kesamaan (equality) Kesetaraan ialah pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga serta saling memerlukan. Komunikasi antar pribadi akan lebih efektif bila suasananya setara, artinya harus ada pengakuan diam-diam bahwa kedua belah pihak (orangtua dan remaja) menghargai, berguna dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kemampuan orangtua dalam melakukan komunikasi akan efektif jika orangtua dapat membaca dunia anaknya (selera, keinginan, hasrat, pikiran dan kebutuhan). Indikator kesetaraan meliputi: 1) Menempatkan diri setara dengan orang lain 2) Menyadari akan adanya kepentingan yang berbeda 3) Mengakui pentingnya kehadiran orang lain 4) Tidak memaksakan kehendak 5) Komunikasi dua arah 6) Saling membutuhkan 7) Suasana komunikasi: akrab dan nyaman. C. Hubungan Antara Komunikasi Efektif Orangtua dan Anak dengan Tingkat Stres Pada Remaja Melakukan komunikasi dengan orangtua tentang pengalaman sehari-hari bagi anak sangatlah penting karena akan mengurangi stresor yang dihadapi anak. Sebuah studi, remaja dapat mengatasi stres dengan lebih efektif apabila individu memiliki relasi afektif dengan komunikasi dengan orangtua (Wagner, Cohen & Brook dalam Santrock, 2007). Adanya komunikasi efektif membuat hubungan orangtua dan anak lebih kuat dan relatif mengurangi stres yang dialami remaja (Weichold dkk, 2007).
12
Komunikasi yang dilakukan orangtua dan anak menurut Devito (Suranto, 2011) melibatkan lima aspek komunikasi. Pertama keterbukaan (openness), dengan keterbukaan antara orangtua dan anak, anak dapat terbuka dalam pikiran dan perasaannya kepada orangtua begitupun sebaliknya, sehingga komunikasi yang dilakukan dapat berjalan secara jujur dan terbuka. Anak yang berkomunikasi secara terbuka kepada orangtuanya akan membuat orangtua memahami permasalahan yang dihadapi anak terutama saat anak memasuki usia remaja sehingga stres yang dialami remaja akan menurun. Aspek kedua empati (empathy) merupakan kemampuan untuk bisa merasakan setiap apa yang dialami atau dirasakan oleh orang lain. Anak dapat merasakan apa yang orangtua alami seperti ia mengalami sendiri tanpa kehilangan identitas dirinya sebagai anak yang harus membantu dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Empati yang sama-sama dirasakan menambah kedekatan yang lebih akrab sehingga anak dapat menjadi orang yang peduli sehingga anak mampu mengatasi stresnya ketika menghadapi masalah dan stres yang dialami remaja cenderung menurun. Aspek ketiga dukungan (supportivenness), komunikasi yang dilakukan orangtua dan anak lebih bersikap deskriptif daripada evaluatif. Suasana yang bersifat deskriptif yakni proses penyampaian perasaan dan persepsi tanpa menilai, dengan hal ini membantu terciptanya sikap mendukung bila individu mempersepsikan suatu komunikasi sebagai permintaan akan informasi atau uraian mengenai suatu kejadian tertentu, individu pada umumnya tidak merasakan ini sebagai ancaman, sedangkan komunikasi yang bersifat evaluatif yakni komunikasi yang bernada menilai dan hal ini sering membuat orang lain defensif, sehingga anak didalam menggunakan pikiran dan perasannya mengalami ketakutan. Jadi akan lebih baik orangtua melakukan komunikasi dengan sikap deskriptif supaya anak lebih nyaman menyampaikan gagasan dan perasaan sehingga anak merasa dihargai. Keadaan demikian membuat stres yang dialami remaja akan cenderung menurun. Aspek keempat adalah sikap positif (positiveness), komunikasi yang dilakukan orangtua dan anak memiliki nilai-nilai penghargaan dan memuji apa yang disampaikan anak kepada orangtua. Pujian tersebut dapat meningkatkan rasa percaya diri anak dalam mengemukakan pendapat yang dirasakan dan pikirkan anak sehingga membuat anak lebih menghargai dirinya, dengan demikian anak merasa hidupnya lebih bermakna dan stres yang dialami anak remaja akan menurun. Aspek kelima kesamaan (equality), komunikasi akan lebih efektif jika banyak faktor yang sama diantara orangtua dan anak sehingga akan tercipta keharmonisan komunikasi. Anak akan selalu mendapatkan kebahagiaan dan mampu menjalin relasi dengan baik pada siapa saja sehingga membuat anak tidak merasa sendiri dan merasa memiliki teman yang lebih dewasa untuk berbagi cerita sehingga dengan hal ini cenderung akan menurunkan stres yang dialami remaja. D. Hipotesis Berdasarkan uraian tinjauan pustaka yang telah dikemukakan, peneliti mengajukan hipotesis: “Ada hubungan yang negatif antara komunikasi efektif
13
orangtua dan anak dengan tingkat stres pada remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta”. Semakin baik komunikasi efektif yang dilakukan orangtua dan anak yang menginjak remaja maka semakin rendah stres yang dialami remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta, sebaliknya semakin buruk komunikasi efektif orangtua dan anak yang menginjak remaja maka semakin tinggi stres yang dialami remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta. METODE PENELITIAN 1. Populasi dan Sampel Pada penelitian ini, populasi yang akan digunakan adalah remaja siswa yang duduk di kelas XI SMK Negeri 6 Yogyakarta. Sampel adalah sebagian dari populasi, maka sampel tersebut harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu menggunakan cluster random sampling, yaitu melakukan randomisasi (acak) terhadap kelompok dan bukan terhadap subjek secara individual (Azwar, 2007). Hasil dari melakukan randomisasi, terpilih empat kelas sebagai sampel penelitian yakni kelas XI Jasa Boga 2, XI Jasa Boga 3, XI Kecantikan Rambut 1 dan XI Busana Butik SMK Negeri 6 Yogyakarta, yang keseluruhan jumlah sampel penelitian yakni sebanyak 122 orang siswa. 2. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kuantitatif dengan menggunakan alat ukur berupa skala psikologis dengan metode pernyataan diri (self report). Skala psikologis yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu skala stres yang terdiri dari 24 aitem (rtt=0,853) dan skala komunikasi efektif yang terdiri dari 25 aitem (rtt=0,930). 3. Metode Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini mengguna metode korelasi product moment dari Karl Person dengan menggunakan fasilitas komputer dengan program Statistical Program For Socials Science For Windows (SPSS) versi 16.00. Sebelum dilakukan analisis teknik korelasi product moment, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas. HASIL PENELITIAN 1. Hasil Utama/Uji Hipotesis Dari hasil perhitungan dan pengujian korelasi dengan menggunakan Pearson Product Moment, diperoleh hasil rxy=-0,425 dengan p=0,000. Dengan demikian hipotesis yang diajukan terbukti, bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara komunikasi efektif orangtua dan anak dengan stres pada remaja. Hipotesis penelitian diterima. Selain itu komunikasi efektif orangtua dan anak memberikan sumbangan efektif (𝑟 2 ) sebesar 18,1% terhadap stres pada remaja. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang dilakukan orangtua dan anak dapat mengurangi stres pada remaja sebesar 18,1 %, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.
14
Tabel 1. Product Moment Pearson Komunikasi Efektif dengan Stres kominikasiefekti f komunikasiefektif
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed)
-.425** .000
N stres
stres
Pearson Correlation
122
122
**
1
-.425
Sig. (2-tailed)
.000
N
122
122
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
2. Hasil Tambahan/Kategorisasi Komunikasi Efektif dan Stres Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh skor empirik dan skor hipotetik. Tabel 2. Deskripsi Data Penelitian Variabel Komunikasi efektif Stres
Min 47 31
Empirik Max Mean 98 76,08 71
48,39
SD 12,515
Min 25
7,853
24
Hipotetik Max Mean 100 62,5 96
SD 12,5
60
12
Deskripsi data penelitian di atas, maka dapat dilakukan suatu pengkategorisasian skor pada kedua variabel penelitian. Skor yang diperoleh subjek diklasifikasikan menggunakan tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tabel 3. Kategorisasi Nilai Variabel Komunikasi Efektif Berdasarkan Mean Empirik Norma x < (µ-1σ) (µ-1σ) ≤ x < (µ+1σ) (µ+1σ) ≤ x
Kategori Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Interval x < 63,6 63,6 ≤ x < 88,6 88,6 ≤ x
Frekuensi 20 77
Persentase 16,39 % 63,12 %
25 122
20,49 % 100 %
Berdasarkan kategori variabel komunikasi efektif, siswa yang melakukan komunikasi dengan orangtuanya dalam kategori rendah sebanyak 16,39 %, kategori sedang sebanyak 63,12 % dan kategori tinggi sebanyak 20,49 %, sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa komunikasi efektif antara orangtua dan anak yang diperoleh dari subjek dalam penelitian ini berdasarkan persepsi anak mayoritas termasuk sedang. Tabel 4. Kategorisasi Nilai Variabel Stres Berdasarkan Mean Empirik Norma x < (µ-1σ) (µ-1σ) ≤ x < (µ+1σ) (µ+1σ) ≤ x
Kategori Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Interval x < 40,5 40,5 ≤ x < 56,2 56,2 ≤ x
Frekuensi 9 91
Persentase 7,38 % 74,59 %
22 122
18,03 % 100 %
Berdasarkan kategori variabel stres pada remaja, siswa yang mengalami keadaan stres dalam kategori rendah sebanyak 7,38 %, kategori sedang 74,59 %
15
dan kategori tinggi sebanyak 18,03 %, sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa stres yang dialami subjek dalam penelitian ini mayoritas termasuk sedang. Pembahasan Berdasarkan uji hipotesis menunjukkan besarnya koefisien korelasi antara kedua variabel dalam penelitian ini adalah sebesar r = -0,425 dan p=0,000 (p<0,01), maka hal ini berarti terdapat korelasi negatif yang sangat siginifikan antara komunikasi efektif orangtua dan anak dengan stres remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta. Semakin baik komunikasi efektif yang dilakukan orangtua dan anak maka semakin rendah stres yang dialami remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta, sebaliknya semakin buruk komunikasi efektif orangtua pada anak maka semakin tinggi stres yang dialami remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan terjadinya stres pada remaja dapat dipengaruhi oleh komunikasi efektif antara orangtua dan anak, yang memiliki arti bahwa jika terjalin suatu komunikasi efektif yang baik antara orangtua dan anak remajanya maka dapat mengurangi atau menekan tingkat stres pada remaja tersebut. Sebaliknya, jika terjalin suatu komunikasi efektif yang buruk antara orangtua dan anak remajanya maka dapat menambah atau meningkatkan stres pada remaja. Komunikasi efektif orangtua dan anak memberikan sumbangan efektif 2 (𝑟 ) sebesar 18,1% terhadap stres pada remaja. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang dilakukan orangtua dan anak dapat mengurangi stres pada remaja sebesar 18,1 %, sedangkan sisanya 81,9% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti, yang kemungkinan dapat mengurangi tingkat stres pada remaja, misalnya dari faktor internal locus of control yang artinya pengelolaan atau kontrol diri dan faktor hardiness (keberanian, ketangguhan) untuk mengelola stres (Lurr, 2010). Faktor lainnya seperti kestabilan emosi dan sikap berpikir positif (walker, 2002). Hasil penelitian Gunawati, dkk (2006) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi stres pada mahasiswa yang sedang skripsi adalah 29,3% ditentukan oleh faktor efektivitas komunikasi mahasiswa-dosen pembimbing utama skripsi. Semakin baik efektivitas komunikasi mahasiswa-dosen pembimbing maka semakin rendah stres pada mahasiswa yang sedang skripsi, sebaliknya semakin buruk efektivitas komunikasi mahasiswa-dosen pembimbing maka semakin tinggi stres yang dialami mahasiswa yang sedang skripsi. Penelitian Gunawati, dkk ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang menjelaskan bahwa komunikasi efektif memberikan sumbangan efektif dalam mengurangi stres. Berdasarkan desksripsi data hasil penelitian, menunjukkan hubungan negatif yang sangat signifikan antara komunikasi efektif orangtua dan anak dengan tingkat stres pada remaja. Hal ini dapat diperkuat datanya dengan melihat hasil skor psikologis masing-masing subjek penelitian dari kedua skala psikologis yakni skala stres dan skala komunikasi efektif. Hasil skor psikologis dari masingmasing subjek menunjukan bahwa kelompok subjek yang memiliki skor stres yang tergolong pada kategori rendah yakni sebanyak 7,38 % atau ada 9 siswa yang mengalami stres yang rendah, ternyata sebagian besar siswa tersebut
16
memiliki skor komunikasi efektif yang tergolong pada kategori tinggi, artinya menunjukkan bahwa komunikasi efektif yang baik antara orangtua dan siswa dapat memberikan kontribusi untuk menurunkan stres pada remaja siswa tersebut. Selain itu ada juga kelompok subjek yang memiliki skor stres yang tergolong pada kategori tinggi yakni sebanyak 18,03% atau ada 22 siswa yang mengalami stres yang tinggi. Ternyata sebagian besar siswa tersebut memiliki skor komunikasi efektif yang tergolong pada kategori rendah sehingga dapat disimpulkan bahwa komunikasi efektif yang buruk antara orangtua dan siswa memberikan kontribusi tingginya stres pada remaja siswa tersebut. Kategorisasi subjek menunjukkan bahwa sebagian besar remaja siswa tersebut sudah melakukan komunikasi efektif dengan orangtuanya dalam kategorisasi sedang yakni sebesar 63,12%, artinya ada 63,12% atau 77 siswa yang sudah melakukan komunikasi efektif yang cukup baik dengan orangtuanya. Begitu juga dengan stres pada remaja siswa tersebut yang mayoritas berada pada kategorisasi sedang yaitu sebesar 74,59 %, yang memiliki arti bahwa ada 74,59% atau 91 siswa mengalami stres yang sedang. Jadi kedua kategori ini menunjukkan bahwa sebagian besar remaja siswa kelas XI SMK Negeri 6 Yogyakarta sudah melakukan komunikasi efektif yang cukup baik dengan orangtuanya sehingga remaja siswa kelas XI SMK Negeri 6 Yogyakarta sudah cukup mampu menekan atau menurunkan stres yang dialaminya. Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah bahwa ada hubungan yang negatif yang sangat signifikan antara komunikasi efektif orangtua dan anak yang menginjak remaja dengan stres pada remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta. Hubungan negatif tersebut mengindikasikan atau memiliki arti semakin baik komunikasi efektif yang dilakukan orangtua dan anak yang menginjak remaja maka semakin rendah stres yang dialami remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta, sebaliknya semakin buruk komunikasi efektif orangtua dan anak yang menginjak remaja maka semakin tinggi stres yang dialami remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta. Sumbangan efektif (𝑟 2 ) dari komunikasi efektif orangtua dan anak terhadap stres pada remaja sebesar 18,1 %, hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang dilakukan orangtua dan anak dapat mengurangi stres pada remaja sebesar 18,1 %, sedangkan 81,9 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang kemungkinan dapat mengurangi tingkat stres pada remaja. Saran Penelitian selanjutnya dapat disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi stres terutama pada faktor yang memungkinan dapat menurunkan stres. Hal ini diperlukan untuk pengembangan lebih lanjut untuk menjadi pembanding bagi penelitian ini agar dapat memberikan manfaat dalam rangka meningkatkan keilmuan. Selain itu berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan:
17
a. Bagi remaja Berdasarkan hasil penelitian ternyata ada juga remaja yang mengalami stres tinggi yakni sebesar 18,03%, untuk itu peneliti menyarankan agar remaja perlu membutuhkan orang dewasa yang dapat diajak bertukar pikiran mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh remaja itu sendiri. Hal ini orangtualah yang tepat untuk diajak berbagi atau bertukar pikiran karena orangtua merupakan sosok terdekat dan dapat dipercaya untuk dapat memberikan penjelasan-penjelasan yang tidak diketahui oleh anak. Remaja juga harus menjaga hubungan yang baik dengan orangtua dengan cara mau mendengarkan kata orangtua dan bersikap lebih kooperatif. Belajar dan membiasakan diri untuk dapat menyampaikan pendapat kepada orang lain dengan baik, dengan demikian ketika anak remaja menghadapi masalah, anak dapat berbagi dengan orangtua tanpa merasa canggung dan takut agar remaja dapat menekan terjadinya stres pada dirinya dan tidak akan mengalami stres yang berat. b. Bagi Orangtua Berdasarkan hasil penelitian, ternyata masih ada orangtua dan anak remaja yang memiliki komunikasi efektif yang buruk yakni sebesar 16,39%, hal ini peneliti menyarankan agar orangtua lebih meningkatkan hubungan yang baik dengan anak remaja dengan memperhatikan perkembangan anak tersebut dan memberi perhatian pada anak remajanya dengan cara sering menghabiskan waktu bersama, mengobrol, jalan-jalan sehingga anak merasa dekat dengan orangtua. Selain itu orangtua harus lebih bersikap terbuka dengan cara mau mendengarkan pendapat anak dan mau dikritik, sehingga anak remaja merasa lebih dihargai. Hal ini membuat remaja dapat menekan terjadinya stres pada dirinya. Ada juga orangtua dan anak remaja yang sudah melakukan komunikasi efektif dengan baik yakni sebesar 20,49% dan pada kategori sedang sebesar 63,12%, dengan demikian peneliti menyaran agar orangtua tetap menjaga dan mempertahankan hubungan yang baik dengan anak remaja dengan melakukan komunikasi yang efektif agar remaja dapat berkembang dengan baik dan tidak mudah mengalami stres. c. Bagi Sekolah Berdasarkan hasil penelitian terdapat 18,03% siswa yang mengalami stres yang tinggi. Hal ini peneliti menyarankan agar pihak sekolah khususnya guru BK (Bimbingan Konseling) lebih memperhatikan siswa-siswanya pada saat berada di lingkungan sekolah. Jika ditemukan ada sikap dan perilaku siswa yang sudah berbeda dari biasanya, seperti lebih banyak murung, tidak tertarik pada pelajaran, bersikap keras pada temannya dan mengalami prestasi yang menurun maka dalam hal ini guru harus segera mendekati siswa yang bermasalah tersebut untuk diajak mengobrol dengan tujuan menggali penyebab siswa tersebut bersikap lain dari biasanya agar guru segera memberikan penanganan lebih dini atas permasalahn yang dihadapi siswa agar siswa tersebut tidak mengalami stres yang berat. Dalam menangani siswa yang bermasalah, guru diharapkan melakukan komunikasi yang efektif dengan siswa tersebut dengan cara tidak adanya unsur
18
menghakimi agar siswa tidak merasa diadili, melainkan dalam proses perbincangan diharapkan guru mampu menciptakan rasa nyaman kepada siswa agar siswa tersebut dapat menceritakan segala permasalahan tanpa merasa takut dan canggung. Hal ini dapat menekan atau mengurangi stres pada remaja siswa. Guru BK juga disarankan disetiap kesempatan dapat melakukan pertemuan dengan para orangtua siswa untuk membahas perkembangan siswa di sekolah, khususnya siswa yang bermasalah. Guru diharapkan mengadakan diskusi dengan para orangtua siswa, membahas peran orangtua dalam lingkungan keluarga agar lebih peka terhadap keadaan dan perkembangan anak remajanya serta memberikan motivasi kepada anak remajanya tanpa ada unsur tuntutan-tuntutan yang berlebihan yang membuat anak merasa terbebani. Hal ini bertujuan agar anak tersebut dengan kesadaran sendiri bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu tanpa ada beban yang membuat stres siswa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Agustiani, H. 2006. Psikologi Perkembangan “Pendekatan Ekologi kaitannya dengan konsep diri dan Penyesuaian diri pada Remaja”. Bandung: PT Refika Aditama. Ali, M & Asrori, M. 2009. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Ariesandi. 2011. Peran Orang tua mengatasi masalah Remaja Broken Home. http://pikrtulipmayang.blogspot.com/2011/04/.html. [on line] 19 April 2012. Azwar, S. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bahri, S.D. 2004. Pola Komunikasi Orangtua dan Anak dalam Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta. Cangara, H. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers. Effendy, O. U. 2011. Ilmu Komunikasi “Teori dan Praktik”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Fausiah, F. & Widuri, J. 2005. Psikologi Abnormal “Klinis Dewasa”. Jakarta: Universitas Indonesia. Geldard, K. & Geldard, D. 2010. Konseling Remaja. Jakarta: Pustaka Pelajar. Gunadi, P. (2010). Putusnya komunikasi dan Pemberontakan Anak. www.tegala.org [on line]. 24 April 2012. Gunawati, R., Hartati, S., & Listiara, A. 2006. Hubungan Antara Efektivitas Komunikasi Mahasiswa dan dosen Pembimbing Utama Skripsi Dengan Stres Dalam Menyusun Skripsi Pada Mahasiswa Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro. Vol. 3, No. 2 : 93-115. Hurlock. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga Henny, A. 2006. Hubungan antara Komunikasi Orang Tua-Anak Mengenai Seksualitas dan Kontrol Diri dengan Perilaku Seks Pranikah. Skripsi. (tidak diterbitkan). Malang: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
19
Kemala, I. & Hasnida. 2007. Hubungan antara Stres dan Perilaku Merokok pada Remaja Laki-laki. Jurnal Psikologi. Vol. 1, No. 2 : 105-111. Kusuma, I. 2009. Remaja Stres. http://blog-oda.blogspot.com. [on line] 16 november 2011 Laily, N. & Matulessy, A. 2004. Pola komunikasi Masalah Seksual Antara Orang Tua dan Anak. Jurnal Psikologi. Vol. 19, No. 2 : 194-205. Looker, T. & Gregson, O. 2005. Managing Stress. Yogyakarta: Baca. Lurr, R.K. 2010. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Stain Press. Nasution, I.K. 2007. Stres Pada Remaja. Skripsi. (tidak diterbitkan). Palembang: Universitas Sumatra Selatan. Putra, H. 2011. STRESS Cara Mencegah dan Menanggulanginya. Bali: Udayana University Press. Rakhmat, J. 2011. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Santrock, J.W. 2007. Remaja “edisi kesebelas”. Jakarta: Erlangga. Sarafino, E.P. 1994. Health Psychology. New York: John Wiley and Sons. Stephen. 2011. Seni Mendengar dan Komunikasi yang Efektif. Jakarta: Klik Publishing. Sulaiman, T., Hassan, A., Sapian, M.V., & Abdullah, K.S. 2009. The Level of Stress Among Students in Urban and Rural Secondary Schools in Malaysia. European Journal of Social Sciences. Vol. 10, No. 2 : 179-184. Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antar Pribadi Tinjauan Psikologis. Yogyakarta: Kanisius. Suranto, AW. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu. Walker, J. 2002. Teens In Distress Series Adolescent Stress and Depression. http://www.extension.umn.edu/distribution/youthdevelpoment/DA3083.ht ml[on line]. 12 desember 2011. Weichold, K., Buttig, S., & Silbereisen, R.K. 2008. Effects Of Pubertal Timing On Communication Behaviors And Stress Reactivity In Young Women During Conflict Discussions With Their Mothers. Journal of Youth Adolescence. 37:1123-1133. Widiana, H.S. 2008. Peranan Keberfungsian Keluarga dan Efikasi Diri terhadap Reaksi Stres. Jurnal Humanitas. Vol 5, No. 2 : 108-123.
20