Artikel Asli HUBUNGAN ANTARA INDEKS GLIKEMIK DAN BEBAN GLIKEMIK DENGAN INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR-1 PADA PASIEN AKNE VULGARIS Rudyn Reymond Panjaitan,1 Zaimah Z. Tala,2 Nelva K. Jusuf1 1
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 2 Departemen Ilmu Kesehatan Gizi FK Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik, Medan
ABSTRAK Akne vulgaris (AV) merupakan penyakit kulit yang sering ditemukan dengan patogenesis yang bersifat kompleks. Banyak perdebatan seputar pengaruh makanan terhadap timbulnya AV. Makanan dengan indeks glikemik (IG) dan beban glikemik (BG) yang tinggi diduga merupakan salah satu kontributor yang signifikan terhadap tingginya prevalensi AV melalui hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia dapat terlibat dalam patofisiologi AV karena hubungannya dengan peningkatan bioavailabilitas androgen dan konsentrasi insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dalam serum. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara IG dan BG makanan dengan kadar IGF-1 pada pasien AV. Penelitian analitik dengan rancangan potong lintang yang dilaksanakan pada bulan Januari – April 2010, melibatkan 18 orang pasien AV dan 18 orang kontrol yang tidak AV. Terhadap subyek penelitian dilakukan dietary food recall untuk mengetahui jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh pasien 1-2 jam sebelum pengambilan sampel darah dan kemudian dihitung nilai IG dan BG dari makanan yang dikonsumsi tersebut. Nilai IG dan BG hasil perhitungan selanjutnya dianalisis secara statistik terhadap hubungannya dengan kadar IGF-1 dalam serum. Hasil: rerata kadar IGF-1 pada pasien AV (282,7 ± 104,9 ng/dl) lebih tinggi dibandingkan pada individu yang tidak menderita AV (263,8 ± 88,2 ng/dl) walaupun tidak signifikan secara statistik (p = 0,563). Tidak terdapat hubungan antara IG dan BG dengan IGF-1 pada pasien AV (berturut-turut r = -0,028; p = 0,079 dan r = -0,045; p = 0,227).(MDVI 2011; 38/s: 7s - 13s) Kata kunci : Akne vulgaris, indeks glikemik, beban glikemik, insulin-like growth factor-1
ABSTRACT
Korespondensi:
Jl. Bunga Lau No.17 Medan Telpon: 061-8365915 Email:
[email protected]
Acne vulgaris (AV) is a common skin disease with complex pathogenesis. Much debate arose about the effect of foods on the occurrence of AV. Foods with a high glycemic index (GI) and glycemic load (GL) value may be a significant contributor to the high prevalence of AV through hyperinsulinemia. Hyperinsulinemia may be involved in the pathophysiology of AV because of its relationship with increased of androgen bioavailability and insulin-like growth factor-1 (IGF-1) levels in serum. Aim to determine the correlation between GI and GL of food with insulin-like growth factor1 levels in AV patients serum. Subject and method: An analytic study with cross sectional design was conducted from January to April 2010, involving 18 AV patients and 18 matched individuals without AV. On the subject of research, dietary food recall to determine the type and amount of food consumed by patients 1-2 hours before taking blood samples was conducted, and then the values of IG and BG of the food consumed were calculated. The values of IG and BG calculation result were statistically analyzed in relation to the levels of IGF-1 in serum. Results : Mean levels of IGF-1 in AV patients (282,7 ± 104,9 ng/dl) are higher than in control subjects (263,8 ± 88,2 ng/dl), although not statistically significant (p = 0,563). There is no correlation between GI and GL values with IGF-1 levels in AV patients (r = -0,028, p = 0,079 and r = -0,045, p = 0,227, respectively).(MDVI 2011; 38/s: 7s - 13s) Keywords : Acne vulgaris, glycemic index, glycemic load, insulin-like growth factor-1
7S
MDVI
PENDAHULUAN Akne vulgaris (AV) merupakan penyakit kulit yang paling sering ditemukan akibat peradangan pada folikel pilosebasea, namun dapat sembuh sendiri.1 Diperkirakan AV mengenai sedikitnya 80% dari seluruh populasi yang berusia antara 12 dan 25 tahun.2 Akne vulgaris ditandai dengan adanya papul folikular non inflamasi (komedo) dan adanya papul inflamasi, pustul, dan nodus pada bentuk yang berat.1,3 Akne vulgaris mengenai daerah kulit dengan populasi kelenjar sebasea yang padat; antara lain pada daerah wajah, dada bagian atas, dan punggung.3 Patogenesis AV bersifat kompleks, dengan bukti-bukti yang kuat mendukung keterlibatan hiperplasia kelenjar sebasea, hiperkeratinisasi folikular, hiperkolonisasi bakteri, dan inflamasi.1-3 Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh para ahli, ternyata AV jarang ditemukan pada populasi non-barat (nonwesternized). Walaupun faktor familial dan etnik berperan dalam prevalensi AV, berbagai pengamatan menunjukkan bahwa insidens AV meningkat seiring dengan diadopsinya pola hidup barat. Pengamatan tersebut menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi gaya hidup barat, termasuk diet, dapat terlibat dalam patogenesis AV.4 Berdasarkan catatan sejarah, banyak perdebatan timbul seputar pengaruh makanan terhadap timbulnya AV. Pada tahun 1930-an, AV dianggap sebagai penyakit akibat gangguan metabolisme karbohidrat karena ditemukannya gangguan toleransi glukosa pada pasien AV, akibatnya pasien AV dilarang mengkonsumsi makanan dengan kandungan karbohidrat atau gula yang tinggi secara berlebih. Hubungan antara diet dengan AV akhirnya mulai berkurang pada tahun 1969 ketika sebuah penelitian mengemukakan bahwa ternyata tidak timbul eksaserbasi lesi AV pada kelompok yang mengkonsumsi coklat batangan dibandingkan dengan kelompok kontrol. 5 Walaupun penelitian tersebut adalah yang paling luas diterima, yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara diet dengan AV, penelitian tersebut akhirnya dikritik karena adanya sejumlah kekurangan dalam rancangan penelitiannya, misalnya komposisi nutrisi yang sama antara plasebo dengan coklat batangan.6 Saat ini terdapat suatu tinjauan ulang mengenai hubungan antara diet dengan AV karena adanya pemahaman yang lebih besar mengenai bagaimana makanan dapat mempengaruhi faktor endokrin yang terlibat dalam AV. Adanya konsep indeks glikemik (IG), yaitu suatu sistem yang mengklasifikasikan respons glikemik dari karbohidrat. IG adalah suatu indikator untuk menilai respons glukosa darah tubuh terhadap makanan dibandingkan dengan respons glukosa darah tubuh terhadap glukosa murni. IG merupakan angka yang menyatakan urutan makanan berdasarkan kecepatannya menaikkan kadar gula darah. Karena IG hanya dapat membandingkan makanan dengan
8S
Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 7 s-13 s
kandungan karbohidrat yang sama, maka dikembangkan konsep beban glikemik (glycemic load) untuk menilai efek glikemik keseluruhan makanan atau diet. Beban glikemik (BG) merupakan IG untuk masing-masing makanan dikalikan kandungan karbohidratnya (dalam gram) dan kemudian dibagi 100. Cordain menyatakan bahwa diet dengan BG yang tinggi mungkin merupakan satu kontributor yang signifikan terhadap tingginya prevalensi AV di negara-negara barat. Para peneliti berspekulasi bahwa konsumsi karbohidrat dengan IG yang tinggi dapat menyebabkan remaja pasien AV tersebut terpajan berulangkali dengan hiperinsulinemia akut. Hiperinsulinemia telah dinyatakan terlibat dalam patofisiologi AV karena hubungannya dengan peningkatan bioavailibilitas androgen dan konsentrasi insulin-like growth factor-1 (IGF-1).7,8 Insulin-like growth factor-1 adalah satu polipeptida dengan urutan yang sangat mirip dengan insulin. Insulinlike growth factor-1 adalah bagian dari sistem kompleks yang digunakan oleh sel untuk berkomunikasi dengan lingkungan fisiologisnya.9 Insulin-like growth factor-1 yang bersirkulasi dalam darah disintesis di hati. Sintesis IGF-1 diatur oleh beberapa faktor. Secara invivo, sintesis IGF-1 dirangsang oleh hormon pertumbuhan (growth hormone) dan asupan nutrisi. 10 Growth hormone (GH) menstimulasi sintesis dan sekresi IGF-1 hepatik. Sebaliknya, IGF-1 mengatur sekresi GH dari hipofisis melalui mekanisme umpan balik negatif.9,11,12 Selain oleh GH, sintesis IGF-1 juga distimulasi oleh insulin. Tidak adanya insulin sebagaimana yang terlihat pada pasien diabetes tipe 1, ditandai dengan penurunan insulin dan kadar IGF-1 walaupun sekresi GH meningkat.13 Data menunjukkan bahwa IGF-1 dibutuhkan untuk proliferasi keratinosit pada manusia dan pada tikus transgenik. 14 Ekspresi yang meningkat dari IGF-1 menyebabkan hiperkeratosis dan hiperplasia epidermis, yang mendukung pernyataan bahwa peningkatan kadar IGF1 bebas yang dipicu oleh insulin dapat mencetuskan AV melalui hiperkeratinisasi.15 Selain faktor GH yang terkait dengan usia, asupan nutrisi, dan insulin, berbagai keadaan yang diakibatkan oleh perubahan kadar hormon androgen dalam darah, antara lain menstruasi, kehamilan dan penggunaan kontrasepsi hormonal, diduga dapat mempengaruhi kadar IGF-1 dalam serum. Demikian pula halnya dengan obesitas sentral. Faktor lain yang juga masih menjadi perdebatan adalah kaitan antara IGF-1 dengan perubahan antropometrik, yaitu indeks massa tubuh.16,17 Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut agar keterkaitan antara IGF-1 dengan faktor-faktor tersebut menjadi lebih jelas dan bermakna khususnya pada pasien-pasien AV. Penelitian yang dilakukan oleh Smith dkk. (2007) adalah penelitian pertama yang menunjukkan suatu efek terapeutik intervensi makanan pada AV. Setelah 12 minggu, diet dengan BG yang rendah secara signifikan ternyata dapat
Rudyn Reymond Panjaitan dkk.
Hubungan antara Indeks Glikemik dengan Insulin-Like Growth Factor-1
menurunkan jumlah lesi akne dan meningkatkan sensitivitas insulin dibandingkan dengan diet BG yang tinggi. Walaupun peneliti tidak dapat mengisolasi pengaruh diet dengan BG yang rendah terhadap hilangnya berat badan, penemuan mereka konsisten dengan usulan sebelumnya mengenai hubungan antara hiperinsulinemia dan AV.18 Di Indonesia hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian untuk menilai hubungan antara diet dengan AV. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian mengenai keterkaitan antara kedua faktor tersebut. Faktor diet (makanan) dinilai dari IG dan BG, sedangkan AV dinilai dari peningkatan kadar IGF-1 dalam serum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara IG dan BG makanan harian dengan kadar IGF-1 dalam serum pada pasien AV.
SUBYEK DAN METODE Penelitian bersifat analitik dengan rancangan potong lintang yang dilaksanakan pada bulan Januari – April 2010, bertempat di Poliklinik Sub Bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan, melibatkan 18 orang pasien AV dan 18 orang kontrol yang tidak AV. Pasien berusia 12-34 tahun, tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menyebabkan eksaserbasi akne, baik berupa kortikosteroid oral dan/atau topikal, maupun obat oral lainnya, antara lain antiepilepsi (carbamazepine, phenytoin, gabapentin, topiramate), antidepresan (lithium, sertraline), antipsikosis (pimozide, risperidone), antituberkulosis (isoniazide, pyrazinamide), antineoplastik (dactinomycin), antiviral (ritonavir, ganciclovir), antagonis kalsium (nimodipine), vitamin (B12 dan kelompok vitamin B lainnya), dan lain-lain (buserelin, cabergoline, clofazimine, dantrolene, famotidine, follitropin alpha, isosorbide mononitrate, medroxyprogesterone, mesalazine, ramipril) dalam waktu 1 bulan sebelum datang berobat. Pasien wanita dengan menstruasi (haid) yang tidak normal atau perdarahan melalui vagina yang tidak diketahui penyebabnya, pasien dengan hirsutisme atau alopesia androgenetika, sedang hamil, menyusui atau sedang menggunakan kontrasepsi hormonal baik oral (pil), suntikan ataupun implant, pasien dengan obesitas sentral
(abdominal), pasien yang menderita penyakit hati akut atau kronik atau riwayat menderita penyakit hati, perokok, dan pasien yang menderita diabetes melitus merupakan kriteria eksklusi pada penelitian ini. Kelompok kontrol adalah pasienpasien yang berobat ke Poliklinik Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan atau keluarga pasien yang membawa pasien berobat, yang tidak mengidap AV, dengan karakteristik yang sama dengan kelompok pasien AV serta bersedia untuk ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed consent. Terhadap subyek penelitian dilakukan food recall untuk mengetahui jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh pasien 1-2 jam sebelum pengambilan sampel darah dan kemudian dihitung nilai IG dan BG dari makanan yang dikonsumsi tersebut. Nilai IG dan BG hasil perhitungan selanjutnya dianalisis secara statistik dalam hubungannya dengan kadar IGF-1 dalam serum. Untuk mengukur kadar IGF-1 dalam serum digunakan mesin Immulite 2000®. Semua analisis statistik dikerjakan menggunakan SPSS versi 15.0 untuk windows. Batas uji kemaknaan (p) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05. Untuk mengetahui normalitas distribusi data, digunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Karena data mempunyai distribusi normal, untuk menilai perbedaan rerata dua variabel yang numerik digunakan uji t-independen. Untuk menilai perbedaan rerata tiga variabel yang numerik, digunakan uji Anova. Untuk menilai hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen digunakan uji korelasi. Karena data mempunyai distribusi normal, digunakan uji korelasi parametrik Pearson. Jika terdapat korelasi antara IG dan BG dengan IGF-1, dilakukan analisis regresi linear. Tabel 1. Perbandingan insulin-like growth factor-1 antara kelompok kasus dan kontrol Variabel
IGF-1 (ng/dl) Kasus
Mean SD p-value
Kontrol
282,7 104,9
263,8 88,2 0,563
t-independen
Tabel 2. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin
Laki-laki
IGF-1 (ng/ml)
Mean
Kasus SD
322,4
153,2
p-value
p-value*
Mean
Kontrol SD
258,0
102,2
0,334 Perempuan
267,4
82,8
p-value 0,400 0,832
267,5
83,2
0.998
t-independen
* p-value antara kelompok kasus dan kontrol
9S
MDVI
Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 7 s -13 s
HASIL Perbandingan kadar IGF-1 antara kelompok kasus dan kontrol dapat dilihat pada tabel 1. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa nilai rerata kadar IGF-1 pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun perbedaan tersebut ternyata tidak bermakna secara statistik (p = 0,563). Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, nilai rerata kadar IGF-1 pada kelompok kasus dan kontrol dapat dilihat pada tabel 2. Pada kelompok kasus, nilai rerata kadar IGF-1 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik (p = 0,334). Pada kelompok kontrol, nilai rerata kadar IGF-1 pada perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Namun perbedaan tersebut juga tidak bermakna secara statistik (p = 0,832). Nilai rerata IGF-1 laki-laki pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik (p = 0,400). Nilai rerata IGF-1 perempuan pada kelompok kasus lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun perbedaan tersebut juga tidak bermakna secara statistik (p = 0,998).
nilai rerata IGF-1 kelompok remaja lebih tinggi dibandingkan kelompok dewasa muda, namun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik (p = 0,097) Pada tabel 4 dapat dilihat perbandingan IGF-1 pada kelompok kasus dan kontrol berdasarkan indeks massa tubuh. Pada kelompok kasus, semakin tinggi IMT pasien, ternyata nilai rerata IGF-1 juga meningkat. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak bermakna secara statistik (p = 0,677). Demikian pula halnya pada kelompok kontrol, tidak terdapat hubungan antara perubahan IMT dengan kadar IGF-1 dalam serum (p = 0,247). Pada tabel 5 dapat dilihat perbandingan IG dan BG antara kelompok kasus dan kontrol. Ternyata nilai rerata IG pada kelompok kasus lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol, sedangkan nilai BG pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun perbedaan tersebut ternyata tidak bermakna secara statistik (berturut-turut p = 0,230 dan p = 0,829). Pada hasil penelitian ini, didapatkan bahwa nilai rerata kadar IGF-1 pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun perbedaan tersebut ternyata tidak bermakna secara statistik. Pada tabel 6 dapat dilihat bagaimana hubungan antara IG dan BG dengan IGF-
Tabel 3. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan kelompok umur Kelompok umur (tahun)
12-19
IGF-1 (ng/ml)
Mean
Kasus SD
335,2
85,4
p-value
p-value*
Mean
SD
298,3
92,6
Kontrol p-value 0,393
0,029 20-34
230,1
99,4
0,097 229,2
72,6
0,983
t-independen * p-value antara kelompok kasus dan kontrol
Tabel 3 memperlihatkan nilai rerata IGF-1 berdasarkan kelompok umur, baik pada kelompok kasus maupun kontrol. Pada kelompok kasus, nilai rerata IGF-1 kelompok remaja (usia 12-19 tahun) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dewasa muda (usia 20-34 tahun) dan perbedaan tersebut signifikan secara statistik (p = 0,029). Pada kontrol,
1 pada kelompok kasus dan kontrol. Berdasarkan hasil uji analisis korelasi Pearson disimpulkan bahwa ternyata tidak terdapat hubungan antara IG dengan IGF-1 pada kelompok kasus (p = 0,913). Demikian pula halnya pada kelompok kontrol, hubungan antara IG dengan IGF-1 ternyata tidak signifikan secara statistik (p = 0,079). Berdasarkan hasil uji
Tabel 4. Insulin-like growth factor-1 berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) IMT
IGF-1 (ng/ml) Kasus
< 18,5 18,5 - 22,9 23,0 – 24,9
Mean
SD
242,5 266,0 304,6
183,14 72,8 118,4
Kontrol p-value*
Mean
SD
p-value*
0,677
264,0 281,8 185,7
49,5 97,1 90,1
0,247
* Anova ** p-value antara kelompok kasus dan kontrol (t-independen)
10 S
p-value**
0,887 0,689 0,147
Rudyn Reymond Panjaitan dkk.
Hubungan antara Indeks Glikemik dengan Insulin-Like Growth Factor-1
analisis korelasi Pearson disimpulkan bahwa ternyata tidak terdapat hubungan antara BG dengan kadar IGF-1, baik pada kelompok kasus (p = 0,858) maupun kontrol (p = 0,227).
kasus lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Akan tetapi kedua perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik (berturut-turut p = 0,393, p = 0,983) Kekurang
Tabel 5. Perbandingan indeks glikemik dan beban glikemik antara kelompok kasus dan kontrol Kasus
Kontrol
Variabel
Mean
SD
Mean
SD
p-value
IG BG
62,5 41,6
14,9 12,8
72,9 40,6
11,2 14,4
0,230 0,829
t-independen Tabel 6. Hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik dengan insulin-like growth factor-1 Kasus Variabel IG dengan IGF-1 BG dengan IGF-1
r - 0,028 - 0,045
Kontrol P
r
0,913 0,858
0,425 0,300
P 0,079 0,227
korelasi Pearson r = koefisien korelasi Pearson
DISKUSI Cappel dkk. (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat peningkatan kadar IGF-1 pada pasien AV.19 Hasil yang berbeda dinyatakan oleh Kaymak dkk. (2007) yang menyatakan bahwa kadar IGF-1 pada pasien AV lebih rendah dibandingkan dengan individu yang sehat.20 Landin-Wilhelmsen dkk. (1994) menyatakan bahwa rerata kadar IGF-1 pada wanita berusia 25-34 tahun (278 ng/dl) sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (227 ng/ ml), sedangkan Goodman-Gruen dan Barrett-Connor (1997) menyatakan bahwa kadar IGF-1 pada perempuan (126,9 ng/ ml) lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki (134,1 ng/dl) pada kelompok umur diatas 50 tahun. 22 Penelitian yang dilakukan oleh Kaklamani dkk. (1999) menyatakan bahwa kadar IGF-1 pada perempuan (248,92 ng/ml) sedikit lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki pada semua kelompok umur (326,49 ng/dl).23 Meskipun demikian, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nystrom dkk. (1997) dan Janssen dkk. (1998), ternyata tidak terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap kadar IGF-1 dalam serum.24,25 Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Juul (1994), Landin-Wilhelmsen dkk. (1994), Goodman-Gruen dan Barrett-Connor (1997), Connor dkk. (1998), dan Kaklamani dkk. (1999) disimpulkan bahwa kadar IGF-1 meningkat seiring dengan bertambahnya usia, mencapai puncaknya pada pertengahan masa remaja (pubertas) kemudian menurun secara perlahan.21-23,26,27 Pada penelitian ini juga dapat dilihat bahwa nilai rerata kadar IGF-1 remaja pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan pada kelompok kontrol, namun nilai rerata kadar IGF-1 dewasa muda pada kelompok
konsistenan ini memerlukan evaluasi lebih lanjut dalam skala penelitian yang lebih luas. Penurunan kadar IGF-1 seiring dengan bertambahnya usia setelah pasien melewati usia remaja dan dewasa muda, dihubungkan dengan sejumlah proses. Proses tersebut antara lain adalah berkurangnya sekresi hormon pertumbuhan yang berfungsi untuk menstimulasi sekresi IGF-1 di hati dan berkurangnya jumlah reseptor hormon pertumbuhan itu sendiri di hati.28 Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara perubahan IMT dengan kadar IGF-1 dalam serum. Hasil penelitian ini berbeda dengan studi epidemiologis yang dilakukan oleh Connor dkk. (1998) dan Kaklamani dkk. (1999) yang menyatakan bahwa IGF-1 berhubungan secara negatif dengan IMT.23,27 Namun penelitian yang dilakukan oleh Teramukai dkk. (2002) menyimpulkan bahwa hubungan antara IGF-1 dan IMT dapat bervariasi secara signifikan pada populasi etnis yang berbeda.17 Berdasarkan tabel 5 dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya tidak terdapat perbedaan nilai kandungan glikemik dalam makanan yang dikonsumsi oleh pasien AV dan individu yang tidak menderita AV pada penelitian ini. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ternyata tidak terdapat hubungan antara IG dan BG dengan IGF-1 pada pasien AV. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Smith RN dkk. (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara IG dan BG dengan IGF-1. Dalam percobaannya, Smith RN dkk. menyatakan bahwa konsumsi makanan dengan BG yang rendah akan dapat mengubah sejumlah parameter biokimia yang berhubungan dengan AV, antara lain menurunkan
11 S
MDVI
kadar IGF-1 dan meningkatkan kadar IGFBP-3.18 Karena IG, BG, dan IGF-1 pada kelompok kasus tidak berbeda dengan kelompok kontrol, dapat dinyatakan bahwa IG dan BG tidak memainkan peranan yang penting dalam patogenesis AV pada kelompok kasus dalam penelitian ini. Hubungan antara makanan dengan AV bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Nasihat untuk menghindari coklat, makanan berlemak, makanan yang manis-manis, dan minuman bersoda, umumnya diberikan kepada pasien sebagai bagian dari pengobatan AV. Meskipun demikian, nasihat-nasihat seperti ini sekarang sudah tidak ditemukan lagi dalam berbagai buku ajar, dan tidak ada makanan khusus yang direkomendasikan untuk tidak dikonsumsi oleh pasien. Meskipun demikian, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tan J dkk. (2001) dapat disimpulkan bahwa banyak pasien percaya AV dipengaruhi oleh makanan.29 Terdapat 4 faktor penting yang dianggap berperan dalam perkembangan lesi AV. Antara lain hiperproliferasi epidermal folikular, peningkatan produksi sebum, kolonisasi folikel oleh P. acnes, dan inflamasi.1-4,30 Mekanisme pasti yang mendasari hiperproliferasi epidermal folikular dan peningkatan produksi sebum belum sepenuhnya dimengerti. Namun bukti-bukti terkini memperlihatkan bahwa kaskade hormonal yang dicetuskan oleh makanan yang menginduksi hiperinsulinemia, akan meningkatkan pertumbuhan jaringan dan sintesis androgen. Hiperinsulinemia akut maupun kronik akan menginisiasi suatu kaskade hormonal yang meningkatkan pertumbuhan jaringan melalui peningkatan kadar IGF-1 dan penurunan kadar IGFBP-3. Data menunjukkan bahwa IGF-1 diperlukan untuk proliferasi keratinosit manusia dan pada tikus transgenik. Ekspresi yang meningkat dari IGF-1 menyebabkan hiperkeratosis dan hiperplasia epidermis, sehingga mendukung pernyataan bahwa peningkatan kadar IGF-1 bebas yang dipicu oleh insulin dapat mencetuskan AV melalui hiperkeratinisasi. 14,15 Oleh karena itu, diet hiperinsulinemia dinyatakan sebagai faktor lingkungan yang sebelumnya tidak diketahui yang berperan dalam perkembangan lesi AV. Fulton dkk. (1969) menyatakan tidak ada pengaruh konsumsi coklat terhadap eksaserbasi lesi-lesi AV dibandingkan kontrol.5 Akan tetapi penelitian selanjutnya mengenai kandungan plasebo mengindikasikan bahwa ternyata komposisinya identik dengan coklat.6 Cordain dkk. (2002) menyatakan bahwa diet dengan BG yang tinggi mungkin merupakan suatu kontributor yang signifikan terhadap tingginya prevalensi AV di negara-negara barat.4 Peneliti berspekulasi bahwa seringnya mengkonsumsi karbohidrat dengan IG yang tinggi dapat menyebabkan para remaja terpajan berulangkali dengan hiperinsulinemia akut. Oleh karena itu, intervensi diet dengan BG yang rendah dapat memberikan efek terapeutik pada AV berdasarkan pengaruh endokrin yang menguntungkan dari makanan-
12 S
Vol 38 No. Suplemen Tahun 2011; 7 s -13 s
makanan ini. Hipotesis ini didasarkan pada fakta bahwa diet dengan BG yang tinggi dapat mempengaruhi 1 dari 4 faktor yang mendasari terjadinya AV.8 Cappel dkk. (2005) dalam penelitiannya telah menyatakan dengan jelas bahwa terdapat peningkatan kadar IGF-1 pada pasien dengan AV.19 Brand-Miller dkk. (2005) menyatakan bahwa diet secara jelas akan mempengaruhi IGF-1. Insulin meningkatkan kadar IGF1, sehingga diharapkan kadar IGF-1 juga akan meningkat setelah mengkonsumsi makanan yang memiliki IG dan BG yang tinggi.31 Suatu pendapat yang berbeda dinyatakan oleh Kaymak dkk. (2007), yang menyimpulkan bahwa IG, BG, dan kadar insulin dalam serum pada pasien-pasien yang lebih muda tidak berperan dalam patogenesis akne vulgaris.20 Namun kekurangan dari penelitian ini adalah bahwa evaluasi makanan dilakukan berdasarkan suatu voluntary self-completed questionnaire. Pada penelitian ini hubungan antara IG dan BG dengan IGF-1 tidak signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh kesukaran dalam penghitungan IG dan BG makanan yang benar-benar tepat. Secara normal, makanan riil terdiri dari berbagai jenis pangan. Kita dapat menerapkan IG kepada pangan riil meskipun nilai IG yang diperoleh berasal dari pengujian makanan tunggal. Para ilmuwan telah menemukan bahwa kenaikan kadar gula darah dapat diperkirakan dari makanan yang mengandung beberapa jenis pangan dengan IG yang berbeda. Untuk mendapatkan IG makanan campuran, kandungan karbohidrat total makanan dan sumbangan masing-masing pangan terhadap karbohidrat total harus diketahui. 32 Kesukaran untuk menentukan kandungan karbohidrat dalam makanan terutama timbul jika makanan tersebut merupakan makanan tradisional. Penentuan KH yang kurang akurat dari masing-masing makanan dapat menimbulkan nilai BG total yang kurang akurat.
KESIMPULAN Telah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara IG dan BG dengan IGF-1 pada pasien akne vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan Januari – April 2010 dengan kesimpulan sebagai berikut; kadar IGF-1 pada pasien akne vulgaris lebih tinggi dibandingkan dengan pada individu yang tidak menderita akne vulgaris walaupun tidak signifikan secara statistik; tidak terdapat hubungan bermakna antara IG dengan kadar IGF-1 pada pasien akne vulgaris; tidak terdapat hubungan bermakna antara BG dengan kadar IGF-1 pada pasien akne vulgaris; dan makanan dengan IG dan BG yang tinggi belum terbukti berperan pada timbulnya gejala klinis akne vulgaris.
DAFTAR PUSTAKA 1. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne
Rudyn Reymond Panjaitan dkk.
2.
3.
4.
5. 6. 7. 8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Hubungan antara Indeks Glikemik dengan Insulin-Like Growth Factor-1
vulgaris and acneiform eruptions. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. h.690-703. Baran R, Chivot M, Shalita AR, Lewis A, Wechsler A. Acne. Baran R, Maibach HI, editor. Textbook of cosmetic dermatology. Edisi ke-3. London: Taylor & Francis; 2005. h. 423-34. Harper JC, Fulton J. Acne Vulgaris. Diunduh dari: http:// emedicine.medscape.com/article/1069804-overview. Sitasi terakhir tanggal 15 Juli 2008. Cordain L, Lindeberg S, Hurtado M, Hill K, Eaton B, Brand Miller B. Acne vulgaris - a disease of western civilization. Arch Dermatol 2002; 138: 1584-90. Fulton J, Plewig G, Kligman A. Effect of chocolate on acne vulgaris. JAMA. 1969; 210: 2071-4. Rasmussen J. Diet and acne. Int J Dermatol 1977; 16: 488-91. Cordain L. Implications for the role of diet in acne. Semin Cutan Med Surg. 2005; 24: 84-91. Cordain L, Eades M, Eades M. Hyperinsulinemic diseases of civilization: more than just syndrome x. Comp Biochem Physiol. 2003; 136: 95-112. Insulin-like growth factor. Diunduh dari: http:// en.wikipedia.org/wiki/Insulin-like_growth_factor. Sitasi terakhir tanggal 19 Juni 2009. Karl JP, Alemany JA, Koenig C, dkk. Diet, body composition, and physical fitness influences on IGF-I bioactivity in woman. Growth Horm IGF Res. 2009; 19(6): 491-6. Berelowitz M, Szabo M, Frohman LA, Firestone S, Chu L, Hintz RL. Somatomedin-C mediates growth hormone negative feedback by effects on both hypothalamus and the pituitary. Science. 1981; 212: 1279-81. Heemskerk VH, Daemen MARC, Buurman WA. Insulin-like growth factor-1 (IGF-1) and growth hormone (GH) in immunity and inflammation. Cytokine & Growth Factor Rev. 1999; 10: 5-14. Attia N, Caprio S, Jones TW, Heptulla R, Helcombe J, Silver D, dkk. Changes in free insulin-like growth factor-1 and leptin concentrations during acute metabolic decompensation in insulin withdrawn patients with type 1 diabetes. J Clin Endocrinol Metab. 1999; 84(7): 2324-7. Rudman SM, Philpott MP, Thomas GA, Kealey T. The role of IGF-1 in human skin and its appendages: morphogen as well as mitogen? J Invest Dermatol 1997; 109:770-7. Bol KK, Kiguchi K, Gimenez-Conti I, Rupp T, DiGiovanni J. Over expression of insulin-like growth factor-1 induces hyperplasia, dermal abnormalities, and spontaneous tumor formation in transgenic mice. Oncogene. 1997; 14: 1725-34. Onder G, Liperoti R, Russo A, Soldato M, Capoluongo E, Volpato S, dkk. Body mass index, free insulin-like growth factor 1, and physical function among older adults: results from the ilSIRENTE study. Am J Physiol Endocrinol Metab. 2006; 29: E829–34. Teramukai S, Rohan T, Eguchi H. Anthropometric and behavioral correlates of insulin-like growth factor-1 and insulinlike growth factor binding protein-3 in middle-age Japanese men. Am J Epidemiol. 2002; 156: 344-8. Smith RN, Mann NJ, Braue A, Mächeläinen H, Varigos JA. A low glycemic-load diet improves symptoms in acne vulgaris
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29. 30.
31.
32.
patients: a randomized controlled trial. Am J Clin Nutr. 2007; 86: 107-15. Cappel M, Mauger D, Thiboutot D. Correlation between serum levels of insulin-like growth factor-1, dehydroepiandrosterone sulphate, and dehydrotestosterone and acne lesion counts in adult women, Arch Dermatol. 2005; 141: 333-8. Kaymak Y, Adisen E, Ilter N, Bideci A, Gurler D, Celik B. Dietary glycemic index and glucose, insulin, insulin-like growth factor-I, insulin-like growth factor binding protein 3, and leptin levels in patients with acne. J Am Acad Dermatol. 2007; 57: 819-23. Landin-Wilhelmsen K, Wilhelmsen L, Lappas G, Rosén T, Lindstedt G, Lundberg PA, dkk. Serum insulin-like growth factor I in a random population sample of men and women: relation to age, sex, smoking habits, coffee consumption and physical activity, blood pressure and concentrations of plasma lipids, fibrinogen, parathyroid hormone and osteocalcin. Clin Endocrinol. (Oxf) 1994; 41(3): 351-7. Goodman-Gruen D, Barrett-Connor E. Epidemiology of insulin-like growth factor-1 in elderly men and women. Am J Epidemiol. 1997; 145: 970-6. Kaklamani VG, Linos A, Kaklamani E, Markaki I, Mantzoros C. Age, sex, and smoking are predictors of circulating insulinlike growth factor 1 and insulin-like growth factor–binding protein 3. J Clin Oncol. 1999; 7(3): 813-7 Nyström FH, Ohman PK, Ekman BA, Osterlund MK, Karlberg BE, Arnqvist HJ. Population based reference values for IGF-1 and IGF-binding protein-1: relations with metabolic and anthropometric variables. Eur J Endocrinol. 1997; 136: 165-72. Janssen JA, Stolk RP, Pols HA. Serum free IGF-1, total IGF1, IGFBP-1 and IGFBP-3 levels in an elderly population: relation to age and sex steroid levels. Clin Endocrinol. (Oxf) 1998; 48: 471-8. Juul A dkk. The ratio between serum levels of insulin-like growth factor (IGF)-1 and the IGF binding proteins (IGFBP-1, 2and 3) decreases with age in healthy adults and is increased in acromegalic patients. Clin Endocrinol. (Oxf.) 1994; 41: 85–93. Connor KGO, Tobin JD, Harman SM. Serum levels of insulinlike growth factor-1 are related to age and not to body composition in healthy women and men. J Gerontol Biol Sci Med Sci. 1998; 53: M176–82. Roith DL, Bondy C, Yakar S, Liu J, Butler A. The Somatomedin hypothesis: 2001. Endocrinol Rev. 2001; 22: 53-74. Tan J, Vasey K, Fung K. Beliefs and perceptions of patients with acne. J Am Acad Dermatol. 2001; 44: 439-45. Habif TP. Acne, rosacea, and related disorders. Clinical dermatology: A color guide to diagnosis and therapy. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby; 2004. h.162-208. Brand-Miller JC, Liu V, Petocz P, Baxter RC. The glycemic index of foods influences postpandrial insulin-like growth factor binding protein responses in lean young subjects. Am J Clin Nutr. 2005; 82: 350-4. Jenkins DJ, Wolever TMS, Taylor RH, Barker H, Fielden H, Baldwin JM, dkk. Glycemic index of foods: a physiological basis for carbohydrate exchange. Am J Clin Nutr. 1981; 34: 362-6.
13 S