Hubungan Faktor Individu... - Kriswiharsi K.S; Eti R.
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR INDIVIDU DAN FAKTOR BANGUNAN DENGAN KEJADIAN NYERI KEPALA SICK BUILDING SYNDROME PADA STAF EDUKATIF DI LINGKUNGAN UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO SEMARANG
Kriswiharsi Kun Saptorini*); Eti Rimawati*) *) Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Jl. Nakula I No5-11 Semarang Email :
[email protected]
ABSTRACT Background: Sick Building Syndrome (SBS) is a collection of symptoms experienced by occupants of the building, which are associated with time spent in the building, but there is no specific illness or cause can be identified. SBS symptoms may include headache, dry cough, breathing problems, etc. Based on the monthly summary data on disease clinic Dian Nuswantoro, headache is one symptom of which is found every month. In the last 4 months than the total visits, in January of 7.9%, 8.5% in February, 5.8% in March, and 4.15% in April. This study discusses the factors associated with headache occurrence Sick Building Syndrome. The factors identified include individual factors (age, gender, work load) and building factors (noise and lighting). Chief complaint of pain is the most widely felt by people with SBS. Method: This research includes studies of explanatory research; survey research method was cross sectional approach. The numbers of samples are 85 educational staff that remains as respondents’ and includes 5 faculty graduate programs. Primary data are characteristics of respondent, workload, noise and lighting measured directly by the method of interviews and readings with lux-meter and sound level meters. Secondary data obtained from UDINUS profile and recapitulation of disease in UDINUS clinic. Data analysis conducted descriptive and analytical with the chi-square test and Spearman rank. Result: Research shows the prevalence of SBS headache 8.6%. There is no relationship between age (p-value = 0.623), gender (p-value = 1.0), workload (p-value = 0.395), noise (pvalue = 0.195), light (p-value = 0, 373) with SBS headache events. This happens because of the low prevalence of SBS headache. Sick building syndrome can only be considered if more than 20%, or even up to 50%, the user of a building have complaints. Keywords Bibliography
10
: Sick Building Syndrome, individual factors, building factors : 20 pieces (1998-2007)
JURNAL VISIKES - Vol. 9 / No. 1 / April 2010 PENDAHULUAN Penyakit akibat lingkungan semakin hari semakin menimbulkan problem kesehatan, terutama pada kondisi lingkungan di bawah standar. Kualitas udara, ventilasi, pencahayaan serta penggunaan bahan kimia dalam gedung, merupakan penyebab yang sangat potensial bagi timbulnya Sick Building Syndrome (SBS). Sick Building Syndrome (SBS) adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau bangunan, yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus yang dapat diidentifikasi. Berbagai keluhan dan gejala timbul pada saat seseorang berada di dalam gedung dan kondisi membaik setelah tidak berada di dalam gedung. Banyak kasus SBS menunjukkan gejalagejala yang tidak jelas secara klinis, sehingga tidak dapat diukur (Anies, 2005). Para penghuni gedung yang tidak sehat ini umumnya mengalami gejala-gejala SBS yang bervariasi. Gejala-gejala tersebut meliputi sakit kepala, pening, mual, iritasi pada mata, hidung maupun tenggorokan yang disertai dengan batuk kering. Sindrom gedung sakit baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20%, atau bahkan sampai 50%, pengguna suatu gedung mempunyai keluhankeluhan seperti di atas. Kalau hanya dua atau tiga orang maka mereka mungkin sedang kena flu biasa (Tjandra Yoga Aditama, 1991). Gejala-gejala SBS dapat berupa nyeri kepala, batuk kering, gangguan pernafasan, dsb. Penelitian kesehatan dan keselamatan kerja yang dilakukan Manufacturing, Science and Finance Union (MSF) di City and Guilds Institute London tahun 1990 menunjukkan keluhan yang dirasakan 90 % mengalami sakit kepala. Berdasarkan penelitian The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) ada enam sumber utama
pencemaran udara di dalam gedung, yaitu pencemaran alat-alat di dalam gedung (17%), pencemaran dari luar gedung (11%), pencemaran bahan bangunan (3%), pencemaran mikroba (5%), gangguan ventilasi (52%), dan sumber yang tidak diketahui (12%). Faktor-faktor yang dapat menimbulkan SBS sangat bervariasi. Paling dominan adalah gedung atau bangunan itu sendiri, di samping polutan-polutan lingkungan yang spesifik. Gedung-gedung kantor yang megah yang dilengkapi dengan sistem AC. Kondisi semakin buruk jika gedung yang bersangkutan menggunakan Air Conditioner (AC) yang tidak terawat dengan baik. Gedunggedung seperti ini biasanya dibuat tertutup dan mempunyai sirkulasi udara sendiri. Tetapi, di pihak lain, kemungkinan adanya gangguan kesehatan pada gedung-gedung seperti itu yang pada akhirnya justru akan menurunkan produktifitas kerja karyawannya yang bekerja di dalam gedung-gedung itu. Juli Soemirat Slamet, ahli lingkungan dari ITB, menengarai salah satu penyebab gedung sakit lantaran pengelola gedung tidak menghitung secara benar berapa banyak AC yang dibutuhkan. Umumnya yang diperhatikan hanya asal dingin. Padahal semakin dingin sebuah ruangan semakin banyak orang berkumpul sehingga makin banyak yang terkena dampak buruk. Dari pengamatannya, Juli Soemirat melihat bahwa banyak filter AC tidak pernah dicuci dan diberi desinfektan. Padahal apabila patokan pembersihan filter dilakukan dengan benar, maka akan mencegah berkembangnya sindrom gedung sakit. Selain itu, faktor-faktor yang bersifat individual seperti jenis kelamin wanita, riwayat alergi, stres emosional yang terkait dengan pekerjaan, memberikan andil bagi timbulnya SBS (Aper et al, 1994; Redlich et al, 1997; Menzies, 1997; Norback, 1990). Keluhankeluhan pada SBS juga dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan, seperti prob-
11
Hubungan Faktor Individu... - Kriswiharsi K.S; Eti R. lem pribadi, pekerjaan dan psikologis yang dianggap mempengaruhi kepekaan seseorang terhadap SBS. Universitas Dian Nuswantoro adalah salah satu perguruan tinggi swasta di Semarang yang terletak di tengah kota dengan ciri gedungnya yang bertingkat dan ber-AC. Kondisi tersebut dilatarbelakangi pemenuhan fasilitas kenyamanan bagi penggunanya, terlebih letaknya yang ditengah kota sehingga konsep gedung modern dengan penggunaaan AC menjadi salah satu daya tarik yang diandalkan. Berdasarkan pengamatan, ada beberapa AC di ruangan tertentu yang bising, kurangnya kebersihan filter AC, suhu dalam ruangan yang masih panas meskipun sudah tersedia AC. Sebagai instutusi pendidikan, staf edukatif merupakan salah satu komponen utamanya. Berdasarkan rekapitulasi bulanan data penyakit di Poliklinik Dian Nuswantoro, nyeri kepala termasuk salah satu gejala yang dijumpai setiap bulannya. Dalam 4 bulan terakhir dibandingkan total kunjungan, pada bulan Januari sebesar 7,9 %, bulan Februari 8,5 %, bulan Maret 5,8 %, dan April 4,15 %. Meskipun hanya sebagai gejala, nyeri kepala tetap harus diwaspadai. Kondisi-kondisi tersebut memungkinkan menimbulkan Sick Building Syndrome. SBS merupakan problem kesehatan masyarakat yang cukup penting. Upaya untuk mengatasi SBS harus selalu dilakukan oleh para pengelola gedung, baik hotel, perkantoran maupun perumahan sejak tahap perencanaan, konstruksi maupun operasional. Untuk itu perlu dikaji kejadian nyeri kepala sebagai salah satu gejala SBS. Sehingga diharapkan dapat memberi pertimbangan tentang kondisi gedung yang baik sebagai tempat yang nyaman untuk bekerja, dan karena itu dapat pula meningkatkan produktifitas kerja karyawan. Berbagai gejala dan keluhan SBS merupakan problem kesehatan masyarakat
12
yang cukup serius dan memerlukan penangaaan dengan cermat. Sekecil apapun sesuatu bahan tertentu, tanpa penanganan yang cermat, dikhawatirkan akan menurunkan produktivitas kerja dan dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai penyakit atau kelainan yang tidak terprediksi sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara faktor individu (umur, jenis kelamin, beban kerja) dan faktor bangunan (penerangan dan kebisingan) dengan kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome pada staf edukatif di lingkungan Universitas Dian Nuswantoro Semarang ?” METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian explanatory research. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan pendekatan cross sectional. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah total populasi yaitu staf edukatif tetap UDINUS. Dalam pelaksanaan pengambilan data, didapatkan sejumlah 85 responden. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dan pedoman observasi. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara. Observasi dilakukan melalui pengukuran kebisingan, penerangan sedangkan wawancara dilakukan untuk mencari data tentang umur, beban kerja, kejadian nyeri kepala. Analisa data dilakukan secara univariat dalam bentuk table distribusi frekuensi dan analisa bivariat dengan menggunakan uji Rank Spearman untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan terikat dengan skala data ordinal dan ordinal dan uji Chisquare (x2) untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan terikat dengan skala data nominal dan ordinal. Nilai kemaknaan (a) adalah 5%. Kriteria hasil uji :
JURNAL VISIKES - Vol. 9 / No. 1 / April 2010 Ø Jika nilai signifikansi < 0,05 artinya ada hubungan antara variable bebas dengan variable terikat Ø Jika nilai signifikansi > 0,05 artinya tidak ada hubungan antara variable bebas dengan variable terikat HASIL DANPEMBAHASAN Keterbatasan penelitian 1. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional dimana variabel bebas dan terikat diukur secara bersamaan hanya pada suatu saat. 2. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah total populasi, tetapi sampai berakhirnya waktu pengambilan data (8 Juni 2007) hanya diperoleh sejumlah 85 responden.
3. Faktor nyeri kepala bersifat individual sehingga sulit diukur secara obyektif. Selain itu, nyeri kepala ditentukan bila dirasakan dalam waktu yang menetap minimal dalam waktu 2 minggu, sehingga sulit ditemukan responden dengan keadaan ini. 4. Beban kerja dalam penelitian ini hanya diukur berdasarkan beban mengajar, sedangkan beban yang lain diabaikan Prevalensi nyeri kepala Sick Building Syndrome Sick Building Syndrome (SBS) adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau bangunan, yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus yang dapat
Tabel 1. Karakteristik Responden Variabel Umur 15 – 49 tahun ≥ 50 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Unit kerja FIK FE FBS F.KES FT Pasca Sarjana Beban kerja >12SKS ≤ 12 SKS Kebisingan ≥ 85 dB (A) < 85 dB (A) Penerangan Kelamin < 200 luks ≥ 200 luks Kejadian nyeri kepala Nyeri kepala SBS Tidak nyeri kepala SBS
Frekuensi 82 3
% 96,5 3,5
49 36
57,6 42,4
37 9 14 14 8 3
43,5 10,6 16,5 16,5 9,4 3,5
52 33
61,2 38,8
22 63
25,9 74,1
100,0 0
100,0 0
5 80
8,6 91,4
13
Hubungan Faktor Individu... - Kriswiharsi K.S; Eti R. Tabel 2. Analisis Bivariat
Variabel terikat Variabel Bebas Umur 15 – 49 tahun ≥ 50 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Beban kerja > 12 SKS ≤ 12 SKS Kebisingan > 85 dB (A) ≤ 85 dB (A) Penerangan ≥ 200 luks < 200 luks
Nyeri kepala ∑ %
Jumlah
Tidak Nyeri kepala ∑ %
∑
%
5 0
6,1 0
77 3
93,9 100,0
82 3
100,0 100,0
3 2
6,1 5,6
46 4
93,9 94,4
49 36
100,0 100,0
2 3
3,8 9,1
50 30
96,2 90,9
52 33
100,0 100,0
0 5
0 7,9
22 58
100,0 92,1
22 63
100,0 100,0
0 5
0 5,9
0 80
0 94,1
0 85
0 100,0
Tabel 3. Hasil Uji Korelasi
Variabel Umur
p value 0,623
Jenis kelamin
1,0
Beban kerja
0, 395
Kebisingan
0,195
Penerangan
0,373
Keterangan tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian nyeri kepala SBS tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian nyeri kepala SBS tidak ada hubungan beban kerja dengan kejadian nyeri kepala SBS tidak ada hubungan antara kebisingan dengan kejadian nyeri kepala SBS tidak ada hubungan antara penerangan dengan kejadian nyeri kepala SBS
diidentifikasi. Penelitian kesehatan dan keselamatan kerja yang dilakukan Manufacturing, Science and Finance Union (MSF) di City and Guilds Institute London tahun 1990 menunjukkan 90 % mengalami sakit kepala, 74% mengalami lethargy, 61 % mengalami mata kering, 58 % mengalami nyeri tenggorok dan gejala lain yang dialami pekerjanya . Banyak kasus SBS menunjukkan gejalagejala yang tidak jelas secara klinis, sehingga tidak dapat diukur (Anies, 2005). Dalam
14
penelitian ini diperoleh 8,6 % responden yang mengalami nyeri kepala Sick Building Syndrome (SBS). Rendahnya prevalensi nyeri kepala SBS dalam penelitian ini dimungkinkan terjadi karena gejala SBS bersifat individual yang sulit diukur secara obyektif, seringkali sulit diperoleh penyebab yang nyata (Anies, 2005) serta bersifat menetap dalam waktu tertentu (Kompas, 2001). Secara lebih spesifik dr. Tjandra Yoga Aditama, D.S.P., D.T.M & H, dokter spesialis
JURNAL VISIKES - Vol. 9 / No. 1 / April 2010 paru mengatakan keluhan-keluhan SBS biasanya menetap setidaknya dalam waktu dua minggu. Sindrom gedung sakit baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20%, atau bahkan sampai 50%, pengguna suatu gedung mempunyai keluhan-keluhan seperti di atas. Kalau hanya dua atau tiga orang maka mereka mungkin sedang kena flu biasa (Tjandra Yoga Aditama, 1991). Hubungan antara umur dengan kejadian nyeri kepala SBS Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai sig 0,623 sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian nyeri kepala SBS. Hal tersebut menunjukkan bahwa umur tidak menunjukkan perbedaan dalam kejadian nyeri kepala. Dilihat dari persentase menurut umur pada responden yang mengalami nyeri kepala berumur 15 – 49 tahun (6,1 %). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dr M Stafford dkk dari Department of Epidemiology and Public Health, University College London Medical School dalam penelitiannya “Building health: an epidemiological study of “sick building syndrome” in the Whitehall II study “ yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aspek umur dengan keberadaan gejala SBS. Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian nyeri kepala SBS Hasil uji Chi Square diperoleh nilai p = 1,0 sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian nyeri kepala SBS. Dilihat dari persentase menurut jenis kelamin pada responden yang mengalami nyeri kepala, persentase yang berjenis kelamin laki-laki (6,1 %) hampir sebanding dengan yang berjenis kelamin perempuan (5,6 %). Hal tersebut menunjukkan antara yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan untuk terjadinya nyeri kepala SBS.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dr M Stafford dkk dari Department of Epidemiology and Public Health, University College London Medical School dalam penelitiannya “Building health: an epidemiological study of “sick building syndrome” in the Whitehall II study “ yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aspek jenis keamin dengan keberadaan gejala SBS. Hubungan antara beban kerja dengan kejadian nyeri kepala SBS Responden dalam penelitian ini adalah staf edukatif di lingkungan Universitas Dian Nuswantoro. Menurut SK Mendiknas No. 074/ U/2000, tentang tata kerja tim penilai dan tata cara penilaian angka kredit jabatan dosen PT, dan SK Mendiknas No. 36/D/O/2001, tentang petunjuk teknis pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan dosen, beban kerja dosen maksimal 12 SKS per semester (Diknas, 2001). Secara keseluruhan, sebagian besar responden yaitu sebesar 61,2 % mempunyai beban kerja > 12 SKS. Namun pada responden yang mengalami nyeri kepala, persentase yang mempunyai beban kerja d” 12 SKS (9,1 %) lebih besar daripada yang mempunyai beban kerja > 12 SKS (3,8 %). Nyeri kepala merupakan salah satu gejala dari Sick Building Syndrome (SBS). Michael J. Hodgson menyatakan bahwa pekerjaan (yang terkait dengan aktifitasnya) merupakan salah satu faktor risiko SBS. Dalam artikelnya berjudul Sick Building Syndrome, faktor-faktor pekerjaan terdiri dari stress kerja, waktu yang dihabiskan dengan penggunaan mesin fotokopi, komputer, dll (Michael J. Hodgson). Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Beban dimaksud mungkin fisik, mental atau sosial. Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja (Suma’mur, 1994). Hasil uji korelasi Rank
15
Hubungan Faktor Individu... - Kriswiharsi K.S; Eti R. Spearman diperoleh nilai sig 0,395 sehingga disimpulkan tidak ada hubungan beban kerja dengan kejadian nyeri kepala SBS. Artinya, responden dengan beban kerja yang cukup dan berat dapat mengalami nyeri kepala. Hal ini kemungkinan terjadi karena beban kerja dalam penelitian ini hanya didasarkan pada beban mengajar, belum terkait dengan beban lain seperti beban administratif maupun beban sosial. Selain itu, faktor pekerjaan yang lain seperti stress kerja dan alat kerja juga tidak diukur. Hubungan antara kebisingan dengan kejadian nyeri kepala SBS Kebisingan adalah bunyi-bunyi yang tidak dikehendaki yang didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis. Secara keseluruhan 74,1% responden kebisingannya d < 85 dB (A), 25,9 % responden yang kebisingannya > 85 dB (A). Kebisingan mengganggu pelaksanaan tugas. Ditempat bising, berpikir sulit dilakukan. Kebisingan mengganggu kenyamanan kerja, berpengaruh buruk terhadap komunikasi, perhatian sehingga konsentrasi dan kesigapan mental menurun. Selain itu tidak menguntungkan terhadap efisiensi. Kegiatankegiatan yang bersifat belajar biasanya lebih terganggu daripada kegiatan rutin (Suma’mur, 1989). Berdasarkan observasi pada saat pengumpulan data, sumber kebisingan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bersumber pada Air Conditioned (AC) di ruang kerja. Kebisingan ini bersifat kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas. Namun dalam penelitian ini, hanya mengukur kebisingan pada suatu waktu dan suatu tempat dan tidak menunjukkan dosis kumulatif tenaga kerja yang meliputi waktu-waktu kerjanya (Suma’mur, 1994). Hal ini karena jenis penelitian ini adalah cross sectional dimana pengukurannya dilakukan pada suatu saat. Hasil uji korelasi Rank Spearman
16
diperoleh nilai sig 0,195 sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara kebisingan dengan kejadian nyeri kepala SBS. Hal ini mungkin terjadi karena pada responden yang mengalami nyeri kepala tidak mengalami kebisingan. Sehingga menunjukkan bahwa faktor kebisingan tidak berhubungan dengan terjadinya nyeri kepala. Hubungan antara penerangan dengan kejadian nyeri kepala SBS Penerangan membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan. Sumber penerangan dapat berasal dari penerangan alami (cahaya matahari) maupun buatan (lampu) (AM. Sugeng Budiono, 1991). Menurut PMP No. 7 tahun 1964 tentang syarat-syarat kesehatan, kebersihan serta penerangan dalam tenaga kerja, Nilai Ambang Batas (NAB) penerangan untuk pekerjaan yang agak teliti harus paling sedikit mempunyai kekuatan 200 luks (Suma’mur, 1994). Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai sig 0,373, sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara penerangan dengan kejadian nyeri kepala SBS. Dalam penelitian ini, faktor penerangan diukur berdasarkan penerangan di meja kerja, tanpa mempertimbangkan sumber penerangannya. Secara keseluruhan, semua responden (100%) penerangannya d< 200 luks. Pada responden yang mengalami nyeri kepala, semuanya mempunyai penerangan yang tidak sesuai. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada responden yang nyeri kepala dan tidak nyeri kepala, terpapar penerangan yang tidak sesuai (d< 200 luks). SIMPULAN 1. Prevalensi kejadian nyeri kepala Sick Building Syndrome (SBS) 8,6 %. 2. Tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian nyeri kepala SBS (nilai Sig =
JURNAL VISIKES - Vol. 9 / No. 1 / April 2010 0,623). 3. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian nyeri kepala SBS (p value = 1,0) 4. Tidak ada hubungan beban kerja dengan kejadian nyeri kepala (nilai sig = 0,395). 5. Tidak ada hubungan antara kebisingan dengan kejadian nyeri kepala SBS (nilai sig = 0,195). 6. Tidak ada hubungan antara penerangan dengan kejadian nyeri kepala SBS (nilai sig = 0, 373).
DAFTAR PUSTAKA —————, “H & S Guidance Sick Buildng Syndrome”, http://www.devonline .gov.uk/index/information_and_services/ environmental_health/ehhealthandsafety-intro/eh-hs-guidance/ eh-hs-sickbuilding.htm, (25 Juni 2007) ——————, “Sick Building Syndrome causes, effects and control”, http:// www.lhc.org.uk/members/pubs/books/ sbs/sb05.htm, (9 Maret 2007) ———, “Mengatasi Sick Building Syndrome”, http://www.properti.net/ berita /?q=2115, (10 November 2006) ——————, 1994, “Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja”, CV. Haji Masagung, Jakarta. ——————, 2000, SK Mendiknas No. 074/ U/2000, “Tata kerja tim penilai dan tata cara penilaian angka kredit jabatan dosen PT, dan SK Mendiknas No. 36/D/ O/2001, tentang petunjuk teknis pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan dosen”, Diknas, Jakarta A F Marmot, J Eley, M Stafford, S A Stansfeld, E Warwick & M G Marmot, “ Building health: an epidemiological study of “sick building syndrome” in the Whitehall II study”, http://oem.bmj.com/cgi/con-
tent/abstract/63/4/283, (12 April 2007) AM. Sugeng Budiono, 1991, “Bunga rampai hiperkes dan Keselamatan Kerja”, PT. Tri Tunggal Tata Fajar. Surakarta Anies, 2005, “Mewaspadai Penyakit Lingkungan (Berbagai Gangguan Kesehatan Akibat Pengaruh Faktor Lingkungan)”, Elex Media Komputindo, Jakarta. Bourbeau J, Brisson C, Allaire S., “Prevalence of the sick building syndrome symptoms in office workers before and after being exposed to a building with an improved ventilation system”, http:// w w w. n c b i . n l m . n i h . g o v / s i t e s / entrez?Db=pubmed&Cmd=ShowDetailV iew&TermToSearch=8704863&ordinalpos= 1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubm ed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_ RVAbstractPlus, (25 Juni 2007) Budiman Chandra,1997, “Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi”, EGC, Jakarta. Chih-Shan Li, Chu-Wan Hsu, Mei-Luan Tai, Archives of Environmental Health,MayJune, 1997, “Indoor pollution and sick building syndrome symptoms among workers in day-care centers “ , http:// findarticles.com/p/articles/mi_m0907/ is_n3_v52/ai_19478914, (25 Juni 2007) Depnakertrans RI, 2001, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja”, Depnakertrans, Jakarta. Juli Soemirat Slamet, 1994, “Kesehatan Lingkungan”, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Kompas, 2001, “Gedung Tertutup bisa menyebabkan sakit”, http:// www.indomedia.com/intisari /2001/Sept/ khas_airud.htm, (10 November 2006) Margaretha Winarti, “Pengaruh Kecepatan
17
Hubungan Faktor Individu... - Kriswiharsi K.S; Eti R. Gerakan Udara, Gender, dan Kebiasaan Sarapan Terhadap Risiko Nyeri Kepala Sindrom Gedung Sakit (SGS) Pada Pekerja PT “D” di Jakarta”, http:// www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/ng/ detail.jsp?id=72845 &lokasi=lokal, (10 November 2006) Michael J. Hodgson, “Sick Building Syndrome”, http://www.ilo.org/encyclopedia/ ?doc&nd=857400188&nh=0,(9 Maret 2007) Niven RM, Fletcher AM, Pickering CA, Faragher EB, Potter IN, Booth WB, Jones TJ, Potter PD., “Building sickness syndrome in healthy and unhealthy buildings: an epidemiological and environmental assessment with cluster analysis”,http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ sitesentrez?Db=pubmed&Cmd=ShowDet ailView&TermToSearch=10935944& ordinalpos=3&itool=EntrezSystem2. PEntrez.Pubmed.Pubmed_ ResultsPanel.Pubmed_RVDocSum, (25 Juni 2007) Nordström K, Norbäck D, Akselsson R.” Influence of indoor air quality and personal factors on the sick building syndrome (SBS) in Swedish geriatric hospitals”, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/ entrez?Db=pubmed&Cmd=ShowDe tailView&TermToSearch=7735389& ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pu bmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_ RVAbstractPlus, (25 Juni 2007) Ooi PL, Goh KT, Phoon MH, Foo SC, Yap HM, “ Epidemiology of Sick Building Syndrome and its associated risk factors in Singapore”, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ sites/entrez?cmd=Retrieve&db= PubMed&list_uids=9624270&dopt= Abstract, (25 Juni 2007) Soekidjo Notoatmodjo, 2003, “Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat”,
18
Rineka Cipta. Jakarta Suma’mur, 1989, “Ergonomi untuk Produktivitas kerja”, CV. Haji Masagung, Jakarta. Tjandra Yoga Aditama, 1991, “Sindrom Gedung Sakit”, Cermin Dunia Kedokteran No. 70, 1991 25 , Jakarta. Vincent Gaspersz, 1991, “Teknik Penarikan Contoh untuk Penelitian Survei”, Penerbit Tarsito, Bandung