59
HUBUNGAN ANTARA EMOTIONAL FOCUS COPING DAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KECENDERUNGAN BUNUH DIRI PADA REMAJA Aditya Nanda Priyatama, Nugraha Arif Karyanta Program Studi Psikologi FK UNS ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara emotional focus coping dan kecerdasan emosional dengan kecenderungan bunuh diri pada remaja. Emotional focus coping merupakan keadaan dimana seseorang mereduksi, mengontrol maupun melindungi diri dari sebuah ketegangan yang diakibatkan oleh sebuah situasi yang memunculkan sebuah stres akibat sebuah permasalahan yang dihadapinya. Emotional focused coping cenderung dilakukan oleh individu jika merasa bahwa situasi permasalahan yang dihadapi tidak mampu dirubah dengan cara mengatur respon emosi dan memelihara keseimbangan afektif melalui sebuah perilaku. Sedangkan kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengenali, memahami, mengelola dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat, terkendali serta menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Penelitian ini menggunakan 3 skala psikologi, yaitu skala emotional focused coping, skala kecerdasan emosional dan skala kecenderungan bunuh diri. Subyek yang akan diteliti adalah mahasiswa Program Studi Psikologi angkatan 2008 dengan jumlah 82 orang. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesis mayor adalah analisis regresi dua. Teknik analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis minor adalah korelasi parsialPerhitungan dilakukan dengan menggunakan fasilitas program SPSS (Statistical Product and Service Solution) for Windows Release versi 14. Kata Kunci: emotional focus coping, kecerdasan emosi, kecenderungan bunuh diri
PENDAHULUAN Hidup merupakan sebuah anugerah terbesar yang telah diberikan Sang Pencipta kepada hamba-hambanya. Kehidupan dengan berbagai bentuk sirkulasi maupun medan permasalahan merupakan bentuk dinamika hidup yang akan dijalani oleh manusia. Manusia sebagai mahluk yang selalu berkembang secara dinamis akan selalu mempelajari arti sebuah hidup melalui eksistensi diri di dalam kehidupan yang dijalaninya. Sekiranya dapat dilihat bahwa sebuah permasalahan, hambatan, keterpurukan, kesenangan, kesedihan merupakan hal yang wajar akan di temui dalam kehidupan ini. Manusia dalam mempertahankan eksistensi diri, diharapkan harus mampu menjalani segala fase kehidupan yang akan dialami. Ironi jika akhir-akhir ini banyak terdapat sebuah pemberitaanpemberitaan maupun kasus-kasus tentang maraknya bunuh diri. Bunuh diri mulai muncul sebagai ”tren” sebagai cara untuk menyelesaikan permasalahan.
59
60
Keadaan maupun stabilitas emosi sangat mempengaruhi munculnya perilaku bunuh diri tersebut. Dengan kata lain bahwa seorang individu yang berada pada fase perkembangan kerentanan emosional ini dapat dengan mudah terprovokasi didalam diri bahwa bunuh diri merupakan “jalan terbaik” yang bisa diambil dalam menghadapi permasalahan. Dimana kerentanan akan stabilitas emosi ini jika ditelaah lebih mendalam kembali banyak dialami pada saat fase remaja berlangsung, sesuai dengan pendapat Arnett (1999) bahwa remaja dapat dengan mudah muncul sebuah emosi yang tinggi dan tendensi adanya perasaan yang negatif. WHO (Wirawan, 2006) memberikan definisi tentang remaja yang lebih konseptual adalah masa dimana individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Proses inilah yang dapat
dilihat bahwa remaja
merupakan sebuah fase yang perlu kita sadari bahwa di dalam proses menuju perkembangan kedewasaannya itu akan dapat dengan mudah pengaruh-pengaruh dari luar masuk dan tertanam didalam diri remaja itu sendiri tanpa dapat di pilah dengan baik oleh remaja. Fase seorang remaja untuk memulai merasakan dinamika-dinamika kehidupan yang di rasa lebih kompleks pada tahap perkembangannya. Hal yang patut diwaspadai dalam hal tersebut adalah perasaan maupun keyakinan yang salah dalam memandang sebuah permasalahan akan hidup. Hal tersebut dapat memicu kelemahan-kelamahan daya tahan seorang remaja dalam menjalani kehidupan ini. Remaja akan rentan untuk melakukan hal-hal yang negatif yang dikhususkan bahwasanya bunuh diri merupakan keinginan untuk mendapatkan sebuah jalan keluar dari permasalahan. Kartono (2000) mencantumkan beberapa definisi bunuh diri yang diambil dari beberapa kamus dan ensiklopedia menjelaskan bahwa bunuh diri adalah salah satu jalan untuk mengatasi macam-macam kesulitan pribadi, misalnya berupa rasa kesepian, dendam, takut, kesakitan, fisik, dosa dan lain-lain. Remaja juga mengalami sebuah perubahan dalam sisi kehidupan dari seorang anakanak berkembang ke dalam fase perkembangan selanjutnya, perubahan ini menjadikan seorang remaja akan meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan (Hurlock, 1980). Hal ini memberikan sebuah image bahwa remaja adalah individu yang membutuhkan sebuah pengalaman hidup baru untuk menghadapi fase 60
61
perkembangan selanjutnya. Sehingga remaja mampu bertahan dalam kehidupan ini dengan mampu mempertahankan makna hidup yang akan memberikan kesuksesan di dalam menjalani kehidupannya. Remaja sebagai individu yang mulai beranjak dari sebuah fase perkembangan sebelumnya hendaknya mulai menyadari mulai saat ini bahwa dengan ciri-ciri perkembangan yang rentan akan sebuah konflik dengan melihat ciri seorang remaja yang labil secara emosi dalam diri. Pencarian dan pembentukan makna hidup yang akan dijalani oleh seorang remaja sangatlah penting dalam hal ini. Bastaman (Soleh, 2001) mengatakan bahwa orang yang menghayati hidupnya sebagai hidup yang bermakna menunjukkan kehidupan yang penuh gairah dan optimis, hidupnya terarah dan bertujuan, mampu beradaptasi, luwes dalam bergaul dengan tetap menjaga identitas diri, dan apabila dihadapkan pada suatu penderitaan ia akan tahan dan menyadari bahwa hikmah selalu ada dibalik penderitaan. Tingkat kemampuan beradaptasi seorang remaja dalam menghadapi sebuah konflik akan mempengaruhi remaja dalam mempertahankan eksistensi dirinya. Proses coping yang dilakukan akan menuntut kemampuan yang dimiliki oleh diri remaja tersebut. Remaja akan diberikan sebuah pilihan-pilihan dalam menyelesaikan konflik yang sedang terjadi dengan mencoba untuk mencari sebuah celah solusi yang terbaik maupun sebuah pilihan yang dirasa bahwa harus menyerah pada sebuah keadaaan. Individu yang cenderung memiliki keinginan bunuh diri merupakan sebuah refleksi dalam diri. Smet (1994, menjelaskan bahwa emotion focused coping ini salah satunya digunakan individu untuk meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan. Hal tersebut memberikan sebuah pemahaman dalam diri bahwa jika seseorang dihadapkan dengan sebuah permasalahan yang dianggap tidak mampu diselesaikan maka mengatur emosinya merupakan salah satu solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan. Lazarus & Folkman (Sarafino, 1998) menjelaskan bahwa seseorang akan menggunakan strategi emotional focused coping jika dirasa tidak mampu untuk merubah kondisi yang menimbulkan stres. Pengaturan emosi dalam diri akan memicu sebuah perilaku yang jika dilakukan dengan efektif maka akan memunculkan sebuah potensi perilaku yang mampu menerima dalam diri. Perasaan tidak mampu menerima fakta-fakta yang ada dengan adanya perasaan bahwa tidak mampu dalam menghadapi situasi tersebut maka potensi perilaku bunuh diri akan 61
62
muncul sebagai bentuk penghindaran terakhir jika seseorang tidak mampu memilih secara efektif bentuk coping yang seharusnya. Kecerdasan emosional menurut beberapa tokoh diatas diperlukan apabila seseorang menghadapi suatu masalah yang kemungkinan menimbulkan tekanan untuk orang tersebut, dapat mengendalikan emosi yang dimiliki agar dapat menghadapinya dengan baik. Pendapat diatas didukung oleh Patton (2000) yang mengungkapkan bahwa orang yang memiliki
kecerdasan
emosional
akan
mampu
menghadapi
permasalahan
dan
mempertahankan semangat hidup, kecerdasan emosional akan membuat perbedaan bagaimana memberi tanggapan terhadap konflik dan ketidakpastian.
DASAR TEORI A. Kecenderungan Bunuh Diri 1. Pengertian Kecenderungan Bunuh Diri Kartono (1996) menerangkan bahwa kecenderungan merupakan hasrat atau kesiapan – reaktif yang tertuju pada objek konkrit dan selalu muncul berulang kali. DeLeo et al (Andriessen dalam Kaplan & Saddock, 1997) mendefinisikan bunuh diri sebagai perilaku yang memiliki hasil yang fatal yang berasal dari inisiatif diri yang meliputi tindakan yang dikenakan pada diri sendiri baik berupa tindakan aktif maupun pasif yang memiliki niat atau keinginan untuk mati. Bunuh diri berhubungan dengan kebutuhan yang dihalangi atau tidak terpenuhi, perasaan keterputus-asaan dan ketidakberdayaan, konflik ambivalen antara keinginan hidup dan tekanan yang tidak dapat ditanggung. Kartono (2000) dalam aliran behavior, bunuh diri merupakan bentuk pelarian diri yang paling parah dari dunia nyata, atau lari dari situasi yang tidak ditolerir. Maramis (1995) menerangkan pada dewasa ini kalangan psikiatri memandang bunuh diri sebagai perilaku yang bertujuan mengatasi masalah hidup, suatu perilaku yang ”unik manusiawi” dan kultural, yang sesungguhnya bukan berarti pemusnahan diri, melainkan penyelesaian masalah frustrasi, penghindaran diri dari segala situasi yang tidak menyenangkan, pernyataan amarah atau kegelisahan, untuk memperoleh keadaan tidur yang damai dan tenteram.
62
63
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Bunuh Diri Farberow (Kartono, 2000) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan bunuh diri adalah : 1.
Ketergantungan yang telah dikecewakan atau terhambat.
2.
Kerinduan akan kelahiran ulang yang spiritual.
3.
Keinginan mencari kontak dengan jati diri atau the self dengan jalan
merusak ego, atau melakukan bunuh diri. 4.
Perasaan-perasaan inferior yang sangat kuat, dan agresi yang
terselubung pada individu-individu yang sangat bergantung pada orang lain, dengan penampilan diri ”bergaya hidup manja”. 5.
Tipe kebencian dari struktur kepribadian yang berubah menjadi
depresif, disebabkan oleh pengalaman-pengalaman interpersonal. 6.
Alienasi (rasa keterasingan) dan perasaan-perasaan disparitas atau
perbedaan antara diri pribadi yang diidealisir dengan diri pribadi yang riil. 7.
Usaha-usaha untuk mensahkan dirinya sesuai dengan kerangka
”konstruksi-konstruksi” sendiri. Supratiknya (1995) menjelaskan bahwa banyak kasus bunuh diri dilakukan karena stres yang ditimbulkan oleh berbagai sebab, antara lain : 1.
Depresi dengan ada indikasi bahwa sebagian besar dari orang yang
berhasil melakukan bunuh diri tengah dilanda depresi pada saat tindakan tersebut dilakukan. 2.
Krisis
dalam
hubungan
interpersonal.
Konflik-konflik
dan
pemutusan hubungan, seperti konflik-konflik dalam perkawinan, perpisahan, perceraian, kehilangan orang-orang terkasih akibat kematian, dapat menimbulkan stres berat yang mendorong dilakukannya tindakan bunuh diri. 3.
Coping dalam arti sebagai perlakuan dalam pemenuhan atau
pemecahan permasalahan yang dihadapi. Kegagalan dan devaluasi diri, perasaan bahwa dirinya telah gagal dalam suatu urusan penting, biasanya menyangkut pekerjaan, dapat menimbulkan devaluasi diri atau rasa kehilangan harga diri yang mendorong tindakan bunuh diri.
63
64
4.
Konflik batin, disini stres bersumber dari konflik batin atau
pertentangan di dalam pikiran orang yang bersangkutan sendiri. 5.
Kebermaknaan hidup, kehilangan makna dan harapan dalam hidup
akan membuat orang merasa bahwa hidup ini sia-sia. Akhirnya orang memilih mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
B. Emotional Focused Coping 1. Pengertian Emotional Focused Coping Pearlin & Schooler menyatakan bahwa coping adalah suatu bentuk tingkah laku individu untuk melindungi diri dari tekanan-tekanan psikologis, yang ditimbulkan oleh problematika pengalaman sosial (Thalib & Diponegoro, 2001). Lazarus & Folkman (Smet, 1994) mendefinisikan coping sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful. Coping dikonsepsikan sebagai proses yang dinamis. Individu mengubah secara konstan pikiran dan perilaku mereka dalam merespon perubahan dalam penilaian terhadap kondisi stres dan tuntutan-tuntutan dalam situasi tersebut (Cheng dalam Hapsari, Karyani & Taufik, 2002). Stebbin (2003) menjelaskan bahwa jika terdapat konfrontasi dengan sebuah permasalahan dimana kontrol yang dimiliki sangat kecil ataupun tidak adanya sebuah kontrol maka strategi emotional focused coping sangat dianjurkan di dalamnya. 2. Bentuk-bentuk Perilaku Emotional Focused Coping Folkman dan Lazarus (Sarafino, 1998) menyatakan bahwa cara-cara coping yang terdapat dalam situasi yang penuh stres secara emotinal focused coping adalah: 1.
Mencari dukungan sosial : mencoba untuk mendapatkan dukungan
atau informasi. 2.
Menjauh : membuat upaya-upaya kognitif untuk melepaskan atau
memisahkan diri sendiri dari situasi itu atau membuat harapan atau pandangan lain. 3.
Escape-avoidance : berpikir dengan penuh harap mengenai situasi
atau mengambil tindakan untuk keluar diri atau menghindari situasi itu.
64
65
4.
Self-control : mencoba untuk mengatur perasaan diri sendiri atau
bertindak yang sesuai dengan masalah yang dihadapi. 5.
Menerima tanggung jawab : mengakui peran diri sendiri atas
masalah yang ada sambil mencoba untuk melakukan sesuatu yang tepat. 6.
Positive reappraisal : mencoba untuk membuat arti yang positif dari
situasi dalam kerangka pertumbuhan personal, kadang-kadang dengan nuansa religius.
3. Faktor-faktor Emotional Focused Coping Hapsari, Karyani & Taufik (2002) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi emotional focused coping adalah sebagai berikut : 1)
Usia. menunjukkan bahwa pada usia yang lebih tua akan menggunakan emotion focused coping yang disebabkan pada orang yang lebih tua memiliki anggapan bahwa dirinya tidak mampu melakukan perubahan terhadap masalah yang dihadapi sehingga akan bereaksi dengan mengatur emosinya daripada pemecahan permasalahan.
2)
Jenis kelamin. Billings dan Moos menjelaskan bahwa wanita lebih lemah atau lebih sering menggunakan penyaluran emosi daripada pria.
3)
Individu yang memiliki kesehatan mental yang buruk kurang efektif dalam memilih strategi menghadapi tekanan.
C. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Goleman (2000) mengatakan bahwa kecerdasan emosional didalamnya termasuk kemampuan mengontrol diri, tetap tekun serta dapat memotivasi diri sendiri. Kecakapan tersebut mencakup pengelolaan bentuk emosi, baik yang positif maupun yang negatif. Herrnstein dan Muray (Goleman, 2000) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. 65
66
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan suatu kemampuan untuk mengenali, memahami, mengelola dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat, terkendali serta menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Disamping itu kecerdasan emosional merupakan kemampuan menangani perasaan diri sendiri, menerapkan daya dan kepekaan emosi, mampu merespon secara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi, membaca dan menghadapi perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir dan berempati.
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional Solvey dan Mayer (Goleman, 2000) membagi kemampuan kecerdasan emosional dalam lima aspek wilayah utama, yaitu : a. Mengenali emosi diri (knowing one’s emotions), yaitu kemampuan untuk memantau perasan diri dari waktu ke waktu dan memberikan perhatian yang terus menerus.Dalam keadaan refleksi dini, pikiran mengamati dan menggali pengalaman termasuk emosi. Kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut kedalam emosi, bereaksi secara berlebihan dan melebih-lebihkan emosi yang diserap. Kesadaran diri lebih pada modus netral yang mempertahankan refleksi diri bahkan ditengah badai emosi. b.
Mengelola emosi (managing emotions), yaitu kemampuan untuk menangani
perasaan agar dapat mengungkapkannya dengan tepat, tidak bersikap secara berlebihan atau menggunakan emosinya secara ekstrim. Mengelola emosi ini meliputi kemampuan menghibur diri sendiri, melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibatakibat yang timbul karena gagalnya keterampilan dasar. c.
Memotivasi diri sendiri (self motivations), yaitu kemampuan individu untuk
mendorong dirinya sendiri agar tetap bersemangat dan mau berusaha setelah mengalami peristiwa yang kurang menyenangkan atau menyedihkan. d.
Mengenali emosi orang lain (emphaty), yaitu merasakan apa yang dirasakan
orang lain, menyatu dengan orang lain untuk mengetahui bukan hanya pikirannya melainkan juga perasaannya dan untuk merasakan kebersamaan dengan orang lain tersebut. 66
67
Hal ini berarti memberi perhatian penuh pada orang lain. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang menyiratkan apa yang dikehendaki atau dibutuhkan orang lain. e.
Membina hubungan dengan orang lain (handing relationship), yaitu
seseorang yang trampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain, mampu memimpin dan mengorganisir, pandai menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia. Berdasarkan uraian diatas maka diambil aspek dari salah satu tokoh tersebut diatas yaitu dari Solvey dan Mayer dimana aspek-aspek kecerdasan emosional tersebut meliputi lima aspek yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain. Aspek kecerdasan emosional dari Solvey dan Mayer diambil sebagai aspek kecerdasan emosional dalam penelitian ini karena lebih jelas dan lebih mencerminkan wilayah utama kecerdasan emosional.
METODE PENELITIAN
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik. Alasannya,
bahwa
statistik
merupakan
cara
ilmiah
yang
dipergunakan
untuk
mengumpulkan, menyusun, menyajikan, dan menganalisis data penelitian yang berwujud angka-angka sehingga hasilnya lebih obyektif. Penentuan metode statistik yang digunakan sangat dipengaruhi oleh tujuan penelitian dan jenis data. Analisis data ini menggunakan analisis regresi dengan menggunakan bantuan program SPSS 12.0
HASIL PENELITIAN 1. Uji asumsi Klasik a. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak digunakan dalam penelitian adalah data yang memiliki distribusi normal. Uji normalitas ini menggunakan teknik 67
68
one sample kolmogorov-Smirnov. Data yang terdistribusi secara normal jika tingkat signifikansinya lebih besar dari 0,05. b. Uji linieritas Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah variabel bebas dan tergantung mempunyai hubungan yang linear atau tidak secara signifikan. Pengujian dengan SPSS menggunakan test for linearity pada taraf signifikansi 0,05. Dua variabel dikatakan mempunyai hubungan yang linear apabila signifikansi (linearity) kurang dari 0,05 (Priyatno, 2008).
c. Uji otokorelasi Pengujian otokorelasi dalam suatu model bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara variabel pengganggu pada periode tertentu dengan variabel pengganggu periode sebelumnya (Nugroho, 2005). Prasyarat yang harus terpenuhi adalah tidak adanya otokorelasi dalam model regresi. Metode pengujian yang sering digunakan adalah uji Durbin-Watson (uji DW) dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL), maka hipotesis nol ditolak, yang berarti terdapat otokorelasi. 2) Jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada otokorelasional. 3) Jika d terletak antara dL dan dU atau di antara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti. 4) Nilai dU dan dL dapat diperoleh dari tabel statistik Durbin Watson yang bergantung banyaknya observasi (n) dan banyaknya variabel yang menjelaskan (k). Hasil analisis output SPSS tabel model summary menunjukkan nilai DW (DurbinWatson) sebesar 1,821. Nilai Durbin Watson (DW) sebesar 1,807 terletak di antara batas atas (dU) 1,715 dan nilai (4-dU) sebesar 2,285 (4-1,715). Dengan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi. d. Uji multikolinearitas Uji multikolinearitas diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain dalam satu model (Nugroho, 2005). Selain itu, deteksi terhadap multikolinearitas juga bertujuan untuk menghindari 68
69
kebiasan dalam proses pengambilan kesimpulan mengenai pengaruh pada uji parsial tiaptiap variabel independen terhadap variabel dependen. Jika nilai Variance Inflation Factor (VIF) tidak lebih dari 10 dan nilai tolerance tidak kurang dari 0,1, maka dapat dikatakan terbebas dari multikolinearitas. e. Uji Heteroskedstisitas Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji terjadinya perbedaan varians residual suatu periode pengamatan ke periode pengamatan yang lain (Nugroho, 2005). Model regresi yang baik adalah yang tidak mengalami heteroskedastisitas. Cara memprediksi ada tidaknya heterokedastisitas, dapat dilihat dari pola gambar scatterplot yang menyatakan model regresi tidak terdapat gejala heteroskedastiitas jika : 1) Titik-titik data menyebar di atas dan di bawah atau di sekitar angka 0. 2) Titik-titik data tidak mengumpul hanya di atas atau di bawah saja. 3) Penyebaran titik-titik data tidak boleh membentuk pola bergelombang melebar kemudian menyempit dan melebar kembali. 4) Penyebaran titik-titik data sebaiknya tidak berpola. (Nugroho, 2005). Dari hasil analisis pola gambar scatterplot diperoleh bahwa penyebaran titik-titik tidak teratur, terpencar, dan tidak membentuk suatu pola tertentu. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa model regresi terbebas dari asumsi klasik heteroskedastisitas.
2. Uji Hipotesis Setelah dilakukan uji asumsi, langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Untuk menguji hipotesis digunakan teknik analisis regresi dua prediktor dan analisis tambahan korelasi parsial, serta analisis determinasi a) Regresi dua prediktor Analisis regresi ini bertujuan untuk mengetahui arah hubungan antara variabel tergantung yaitu kecenderungan bunuh diri dengan variabel bebas yaitu emotional focus coping dan kecerdasan emosional, apakah tiap-tiap variabel bebas berhubungan positif atau negatif. Kemudian juga untuk memprediksi nilai dari variabel tergantung apabila nilai variabel bebas mengalami kenaikan atau penurunan.
69
70
b) Analisis determinasi Analisis determinasi dalam regresi dua prediktor digunakan untuk mengetahui persentase sumbangan pengaruh variabel bebas secara serentak terhadap variabel tergantung. Dari tabel diperoleh koefisien determinasi yang menunjukkan nilai R2 (R square) sebesar 0,139. Artinya, emotional focus coping dan kecerdasan emosional memberikan sumbangan sebanyak 13, 9%
terhadap kecenderungan bunuh diri pada
remaja. Hal ini berarti masih terdapat 86,1 % faktor lain yang mempengaruhi kecenderungan bunuh diri yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini.
c) Korelasi parsial Uji korelasi ini bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi, variabel bebas secara parsial (individual) berpengaruh signifikan terhadap variabel tergantung
PEMBAHASAN Hasil analisis data penelitian mengenai hubungan antara emotional focus coping dan kecerdasan emosional dengan kecenderungan bunuh diri pada remaja, diperoleh nilai R =0,373, p-value 0,029 < 0,05 dan F hitung = 3,809 lebih besar dari F tabel = 3,20 artinya signifikan (df1 = 2 dan df2 = 47). Berdasarkan hasil analisis regresi tersebut dapat dikatakan bahwa faktor emotional focus coping dan kecerdasan emosional
memiliki
hubungan dengan kecenderungan bunuh diri pada remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa emotional focused coping dan kecerdasan emosional dengan kecenderungan bunuh diri memiliki hubungan yang signifikan. Kecenderungan untuk melakukan sebuah perilaku bunuh diri dapat terjadi dalam setiap individu yang diakibatkan oleh suatu hal yang dirasa sangat memberatkan dalam hidup, sehingga menyebabkan munculnya anggapan bahwa bunuh diri adalah salah satu sebuah solusi yang secara khusus dapat muncul dalam diri remaja karena kelabilan dan ketidakmatangan dalam emosi. Sesungguhnya stres yang dialami orang muda berhubungan dengan permasalahan emosi dan psikologi. Hasil penelitian dalam analisis data dengan menggunakan korelasi parsial menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara emotional focus coping dengan 70
71
kecenderungan bunuh diri. Hal ini ditunjukkan dengan nilai r: -0,373 dengan p: 0,008. Terdapat pula hubungan signifikan yang negatif antara kecerdasan emosional dengan kecenderungan bunuh diri pada remaja, yang ditunjukkan dengan hasil analisis data korelasi parsial dengan r: -0,491 dengan p: 0,038. R square disebut juga koefisien determinan adalah 0,139 (nilai R square adalah pengkuadratan dari koefisien korelasi (R)). Artinya 13,9% kecenderungan bunuh diri pada mahasiswa dapat dijelaskan oleh variabel emotional focus coping dan kecerdasaan emosional. Sedangkan sisanya (100% - 13,9% = 86,1%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain. Hall (dalam Arnett, 1999) melihat bahwa adanya tendensi akan aspek yang memunculkan sebuah stres ada didalam remaja. Kapplan, Taylor & Stansfeld (dalam Comer, 1992) menjelaskan bahwa seorang remaja dalam periode perkembangannya dalam bereaksi lebih mudah sensitif terhadap situasi yang dialami, marah, mendramatisir, dan lebih impulsif. Sehingga kemungkinan adanya perilaku bunuh diri yang disebabkan adanya sebuah stres dapat meningkat. Adler (2006) menambahkan bahwa kesalahan yang diperlihatkan oleh orang yang melakukan bunuh diri adanya kegagalan dalam melakukan pendekatan terhadap permasalahan hidup, mereka gagal dalam menentukan langkah yang tepat. Sinambela (1996) menambahkan bahwa pada umumnya stimulus yang mendorong seseorang ketika bunuh diri adalah sakit psikis yang sulit ditoleransi. Hal tersebut merupakan bentuk kegagalan individu dalam melakukan sebuah adaptasi diri dengan bentuk permasalahan yang ada. Bentuk adaptasi ini berupa coping, khususnya emotional focused coping. Mekanisme coping mencakup usaha untuk mengubah penilaian sehingga orang tidak lagi merasa terancam dengan stimulus dari luar. Dalam hal ini remaja dalam perkembangannya lebih banyak dipersoalkan dengan permasalahan yang dikaitkan dengan dominasi emosi yang kurang matang dan kurang labil. Keadaan tersebut akan dengan mudah memberikan sebuah asumsi dalam diri remaja akan dengan mudah untuk menyerah dengan keadaan. Hapsari, Karyani & Taufik (2002) menjelaskan bahwa strategi coping yang berfokus pada emosi termasuk penolakan karena tertekan atau merasa bingung dapat dihindari dengan memikirkan hal-hal yang nyata, melakukan aktivitas, mencari kesibukan, dan melakukan sesuatu sehingga terkonsentrasi pada apa yang dilakukan. Strategi coping yang berfokus pada emosi juga bisa dihindari dengan memikirkan harapan-harapan yang diinginkan. 71
72
DAFTAR PUSTAKA Azwar, Saifuddin. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Badudu, J.S. dan Zain, Sutan Muhammad. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Bishop, George D. 1994. Health Psychology: Integrating Mind and Body. Needham Heights: Allyn and Bacon Folkman, Susan (1984). “Personal control and stress and coping processes: A theoretical analysis”. Journal of Personal and Social Psychology. 46: 839–852. Goleman, D. 1999. Kecerdasan emotional. Terjemahan. Cetakan IX. Jakarta: Gramedia Pustala Utama. Goleman, D. 2000. Kecerdasan Emosional :Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Hadi. 2000. Statistik. Jilid 2. Cetakan XVII. Yogyakarta: Andi offset ______. 2000. Metodologi Reserach. Cetakan Keenam belas, jilid 3 Yogyakarta: ANDI Offse Hurlock, Elizabeth B.1999. Psikologi Perkembangan (Suatu pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan), edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga Kartono, kartini. (2005). Patologi Sosial. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada Kaplan & Saddock, 1997, Sinopsis Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, Edisi ke-7, jilid 2, Binarupa Aksara, Jakarta
Lazarus, R., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer. Mayer, J. D., Caruso, D. R., & Salovey, P. (1999). Emotional intelligence meets traditional standards for an intelligence. Intelligence, 27, 267-298. Mayer, J. D., Salovey, P., & Caruso, D. (2002). Competing models of emotional intelligence. Dalam R. J. Sternberg (Sid. Ed.), Handbook of human intelligence. New York: Cambridge UP. Patton, P. 2000. EQ : Pengembangan SuksesLebih Bermakna. Jakarta : Mitra Media Publishers.
72
73
Sarafino, Edward P. 1998. HEALTH PSYCHOLOGY Biopsychosocial Interaction third edition. Newyork: John Wliey & Sons, Inc Smet, Bart.1994. Psikologi Kesehatan. Jakarata: Penerbit Pt Gremedia Widiasarana Indonesia. Supratiknya, A. 1995. Mengenal perilaku abnormal. Jakarta: Kanisius Thompson, R. A. (1991). Emotional regulation and emotional development. Educational Psychology Review, 3, 269-307.
73