Home
Portal
Gallery
Calendar
FAQ
Search
Search Query Go
Display results as :
Posts
Topics
Advanced Search Memberlist
Usergroups
Register
Log in
Share | Actions ! Actions ! Iluni-FK'83 :: KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERAN :: PERATURAN dan PERIJINAN
View posts since last visit View your posts View unanswered posts Topic being watched Add to your favourites Send to a friend Copy BBCode URL Print this page
Hukum Kesehatan
Goto page : 1, 2, 3 Author
Message
gitahafas
Moderator
Number of posts:
Subject: Hukum Kesehatan
Thu Jun 24, 2010 5:32 am
HUKUM KESEHATAN. I. Pendahuluan Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat
5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan. Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat. Sebagai konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala kegiatan apapun harus berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya pemeliharaan dan peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat serta lingkungan dan secara terus menerus memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Secara ringkas untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang maka harus secara terus menerus dilakukan perhatian yang sungguhsungguh bagi penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan, adanya jaminan atas pemeliharaan kesehatan, ditingkatkannya profesionalisme dan dilakukannya desentralisasi bidang kesehatan. Kegiatankegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan perangkat hukum kesehatan yang memadai. Perangkat hukum kesehatan yang memadai dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara upaya kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan hukum kesehatan, apa yang menjadi landasan hukum kesehatan, materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa mendatang. Diharapkan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memberikan sumbangan pemikiran, baik secara teoritikal maupun praktikal terhadap keberadaan hukum kesehatan. Untuk itu dilakukan kajian normatif, kajian yang mengacu pada hukum sebagai norma dengan pembatasan pada masalah kesehatan secara umum melalui tradisi keilmuan hukum. Dalam hubungan ini hukum kesehatan yang dikaji dibagi dalam 3 (tiga) kelompok sesuai dengan tiga lapisan ilmu hukum yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Selanjutnya untuk memecahkan isu hukum, pertanyaan hukum yang timbul maka digunakan pendekatan konseptual, statuta, historis, dogmatik, dan komparatif. Namun adanya keterbatasan waktu maka kajian ini dibatasi hanya melihat peraturan perundang-undangan bidang kesehatan.
II. Batasan dan Lingkup Hukum Kesehatan Van der Mijn di dalam makalahnya menyatakan bahwa, “…health law as the body of rules that relates directly to the care of health as well as the applications of general civil, criminal, and administrative law”.(1) Lebih luas apa yang dikatakan Van der Mijn adalah pengertian yang diberikan Leenen bahwa hukum kesehatan adalah “…. het geheel van rechtsregels, dat rechtstreeks bettrekking heft op de zorg voor de gezondheid en de toepassing van overig burgelijk, administratief en strafrecht in dat verband. Dit geheel van rechtsregels omvat niet alleen wettelijk recht en internationale regelingen, maar ook internationale richtlijnen gewoonterecht en jurisprudenterecht, terwijl ook wetenschap en literatuur bronnen van recht kunnen zijn”.(2) Dari apa yang dirumuskan Leenen tersebut memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan cabang baru dalam ilmu hukum, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Rumusan tersebut dapat berlaku secara universal di semua negara. Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu pada peraturan perundangundangan saja tetapi mencakup kesepakatan/peraturan internasional, asas-asas yang berlaku secara internasional, kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin. Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam hukum kesehatan meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya, maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa hukum kesehatan cukup luas dan kompleks. Jayasuriya mengidentifikasikan ada 30 (tiga puluh) jenis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kesehatan.(3) Secara umum dari lingkup hukum kesehatan tersebut, materi muatan yang dikandung didalamnya pada asasnya adalah memberikan perlindungan kepada individu, masyarakat, dan memfasilitasi penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai. Jayasuriya bertolak dari materi muatan yang mengatur masalah kesehatan menyatakan ada 5 (lima) fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan, peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan kesehatan.(4) Dalam perjalanannya diingatkan oleh Pinet bahwa untuk mewujudkan kesehatan untuk semua, diidentifikasikan faktor determinan yang mempengaruhi sekurangkurangnya mencakup, “... biological, behavioral, environmental, health system, socio economic, socio cultural, aging the population, science and technology, information and communication, gender, equity and social justice and human rights”.(5) III. Landasan Hukum Kesehatan Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum kesehatan
bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).(6) Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing mentautkan hukum kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi, dan hak untuk memperoleh informasi.(7) Demikian juga Leenen secara khusus, menguraikan secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang merupakan dasar bagi hukum kesehatan.( IV. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan Sebenarnya dalam kajian ini akan disajikan menyangkut seluruh lingkup hukum kesehatan, namun keterbatasan waktu, maka penyajian dibatasi pada materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan seringkali dikatakan sebagian masyarakat kesehatan dengan ucapan saratnya peraturan. Peraturan dimaksud dapat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan berbagai ketentuan internal bagi profesi dan asosiasi kesehatan. Agar diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga) komponen dalam suatu sistem hukum seperti yang dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties instellingen dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah diambil dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en handelingen. Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan, norma dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan. Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan
perundang-undangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan dan yang bersifat mengatur. Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat dikatakan mengandung 4 (empat) obyek, yaitu: 1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan; 2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan; 3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan; 4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan. Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip perikemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan dan kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri.(10) Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana kesehatan adalah mencakup kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan ini mencakup 4 (empat) prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence dan justice.(11) Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas terlebih dahulu komponen ketiga mengenai intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur. Komponen ini merupakan aktualisasi terhadap komponen ideal yang ada dalam komponen pertama. Bila diperhatikan isi ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan terdapat 4 (empat) sifat, yaitu: 1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu; 2. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu; 3. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan. 4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.(12) Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah benar atau tidak, kiranya dapat diukur dengan tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, yaitu apakah masih bersifat represif, otonomous atau responsive.(13) Selanjutnya dengan komponen kedua tentang organisasi yang ada dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu organisasi pemerintah dan organisasi / badan swasta. Pada organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat dan daerah serta
departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Pada sektor swasta terdapat berbagai organisasi profesi, asosiasi dan sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang kesehatan. Dari susunan dalam 3 (tiga) komponen tersebut secara global menurut Schuyt bahwa tujuan yang ingin dicapat adalah (14): 1. Penyelenggaraan ketertiban sosial; 2. Pencegahan dari konflik yang tidak menyenangkan; 3. Jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk secara individual; 4. Penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai peristiwa yang baik dalam masyarakat; 5. Kanalisasi perubahan sosial. V. Hukum Kesehatan di Masa Mendatang Hermien Hadiati Koeswadji mencatat bahwa dari apa yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang ada perlu terus ditingkatkan untuk (15): 1. Membudayakan perilaku hidup sehat dan penggunaan pelayanan kesehatan secara wajar untuk seluruh masyarakat; 2. Mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; 3. Mendorong kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan; 4. Memberikan jaminan kepada setiap penduduk untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan; 5. Mengendalikan biaya kesehatan; 6. Memelihara adanya hubungan yang baik antara masyarakat dengan penyedia pelayanan kesehatan; 7. Meningkatkan kerjasama antara upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat melalui suatu bentuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang secara efisien, efektif dan bermutu serta terjangkau oleh masyarakat. Untuk itu dukungan hukum tetap dan terus diperlukan melalui berbagai kegiatan untuk menciptakan perangkat hukum baru, memperkuat terhadap tatanan hukum yang telah ada dan memperjelas lingkup terhadap tatanan hukum yang telah ada. Beberapa hal yang perlu dicatat disini adalah yang berkaitan dengan: 1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional yang telah ada harus diperkuat dan harus merupakan organisasi yang independen sehingga dapat memberikan pertimbangan lebih akurat; 2. Perlu dibangun keberadaan Konsil untuk tenaga kesehatan dimana lembaga tersebut merupakan lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan berbagai standar yang harus dipenuhi oleh tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam dunia kedokteran dan kedokteran gigi
telah dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; 3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga kesehatan dalam upaya untuk menilai kemampuan profesional yang dimiliki tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Bagi tenaga dokter dan dokter gigi peranan Konsil Kedokteran Indonesia dan organisasi profesi serta Departemen Kesehatan menjadi penting; 4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk tenaga medis telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004; 5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi berbagai sarana kesehatan. VI. Kesimpulan Dari apa yang telah diuraikan diatas, hukum kesehatan merupakan cabang ilmu hukum yang baru. Untuk itu masih terbuka kesempatan yang luas bagi para ahli hukum melakukan berbagai pengembangan dengan tujuan tersedianya perlindungan yang menyeluruh baik untuk masyarakat penerima pelayanan kesehatan maupun tenaga dan sarana kesehatan pemberi pelayanan kesehatan. Kajian dapat dilakukan baik secara sektoral maupun dimensional melalui inter dan multidisiplin.
CATATAN KAKI (1) Van der Mijn, 1984, ”The Development of Health Law in the Nederlands”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari ”Issues of Health Law”, Tim Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI bekerja sama dengan PERHUKI dan PB IDI, Jakarta, hal 2. (2) H.J.J. Leenen, 1981, Gezondheidszorg en recht, een gezondheidsrechtelijke studie, Samson uitgeverij, alphen aan den rijn/Brussel, hal 22. (3) D.C.Jayasuriya, 1997, Health Law, International and Regional Perspectives, Har-Anand Publication PUT Ltd, New Delhi India, hal 16-28. (4) Ibid, hal 33. (5) Genevieve Pinet, 1998, “Health Challenges of The 21st Century a Legislative Approach to Health Determinants”, Artikel dalam International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 134. (6) Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran, Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 22. (7) Roscam Abing, 1998, “Health, Human Rights and Health Law The Move Towards Internationalization With Special Emphasis on Europe” dalam journal International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 103 dan 107.
( HJJ. Leenen, 1981, Recht en Plicht in de Gezondheidszorg, Samson Uitgeverij, Alphen aan den Rijn/Brussel. (9) Schuyt, 1983, Recht en Samenleving, van Gorcum, Assen, hal 11-12. (10) Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. (11) Lihat Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 1994, Oxford University Press, New York, hal 38. (12) Bruggink, 1993, Rechtsrefleeties, Grondbegrippen uit de Rechtstheorie, Kluwer, Deventer, hal 72. (13) Philipie Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition, Toward, Responsive Law, Hasper Torch Books, New York. (14) Schuyt, op.cit, hal 19. (15) Hermin Hadiati Koeswadji, 2002, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 17-18. Oleh : Faiq Bahfen Biro Hukum & Organisasi Departemen Kesehatan R.I. Jalan H.R. Rasuna Blok X5 Kav No. 4-9 Kuningan, Jakarta Selatan 12950 _________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
gitahafas
Moderator
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 5:25 am
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikoelgal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat Telp: 3106976. Fax : 3154626 PRAKTIK KEDOKTERAN Praktik kedokteran, sebagaimana juga praktik advokat, bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional tertentu yang memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesinya.
Secara teoritis-konseptual, antara kelompok profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak sosial (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi hak kepada kelompok profesi untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktik hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktik profesinya sesuai dengan standar. [1] Dengan demikian, profesi harus dapat memastikan bahwa para anggotanya yang akan berpraktik adalah benar telah memiliki kompetensi dan kewenangan medis yang sesuai dan melakukan praktiknya sesuai dengan standar dan etika profesinya. Oleh karena itulah diundangkan UU Praktik Kedokteran yang mengatur hal-hal yang harus diatur dengan disiplin dan hukum karena sifatnya yang harus “executable” dan akuntabel. Sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas – termasuk klien, dicerminkan dalam sikap profesionalisme. Beberapa ciri profesionalisme merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu “sesuai dengan tempat dan waktu”, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, sikap altruisme (mendahulukan kepentingan pasien), bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan sikap “care”. [2] [3]
LAYANAN KEDOKTERAN Layanan kedokteran didasarkan atas ilmu kedokteran yang empiris, sehingga ketidakpastian merupakan salah satu ciri khasnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran masih menyisakan kemungkinan adanya bias dan ketidaktahuan, meskipun perkembangannya telah sangat cepat sehingga sukar diikuti oleh standar prosedur yang baku dan kaku. Kedokteran tidak menjanjikan hasil layanannya, melainkan hanya menjanjikan upayanya (inspanningsverbintennis). Selain itu, layanan kedokteran di rumah sakit dikenal sebagai suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled)[4], khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi, teknologi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.
Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko-risiko tersebut apabila terjadi bukan menjadi tanggung-jawab dokter sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui (doktrin informed consent). Namun informed consent tidak menghilangkan tanggung-jawab dokter dari hasil buruk pada pasien yang diakibatkan oleh kelalaiannya. Suatu risiko / peristiwa buruk yang tidak dapat diduga atau diperhitungkan sebelumnya (unforeseeable, unpredictable) yang terjadi saat dilakukan “tindakan medis yang sesuai standar” tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter atau pemberi layanan medis (misalnya reaksi hipersensitivitas, emboli air ketuban). World Medical Association menyatakan: “An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability”. [5] Suatu penelitian di New York dengan menggunakan data tahun 1984 menemukan bahwa pasien yang mengalami adverse events (hasil buruk yang tidak diharapkan) adalah sebesar 3.7% dari seluruh pasien rawat inap (n = 30.195), dan penelitian lain di Utah dan Colorado tahun 1992 menemukan angka adverse events sebesar 2.9% (n = 14.565). Penelitian serupa menunjukkan variasi angka adverse events yang besar, 16.6% di Australia (1992), 9.0% di Denmark (1998), 12.9% di New Zealand (1998), 11.7% di U.K., dan 7.5% di Kanada (2001).3 Sebagian dari adverse event ternyata disebabkan oleh error sehingga dianggap sebagai preventable adverse events. Error sendiri diartikan sebagai kegagalan melaksanakan suatu rencana tindakan (error of execution; lapses dan slips) atau penggunaan rencana tindakan yang salah dalam mencapai tujuan tertentu (error of planning; mistakes). Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam suatu error dan dampaknya, perlu dipahami perbedaan antara active errors dan latent errors. Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk. Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat
mengakibatkan berbagai jenis active errors. Sebagai contoh adalah sistem pendidikan dokter spesialis yang mahal, pembolehan dokter bekerja pada “banyak” rumah sakit, tidak adanya sistem yang menjaga akuntabilitas profesi adalah latent errors yang tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error), maka terjadilah accident. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa penyebab suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors. Umumnya kita merespons suatu error dengan berfokus pada active error-nya dengan memberikan hukuman kepada individu pelakunya, retraining dan lain-lain yang bertujuan untuk mencegah berulangnya active errors. Meskipun hukuman seringkali bermanfaat pada kasus tertentu (pada mistakes yang timbul karena kesengajaan) dengan memberikan efek penjeraan, namun sebenarnya tidak cukup efektif untuk mengurangi errors dan meningkatkan safety. Memfokuskan perhatian kepada active errors akan membiarkan latent errors tetap ada di dalam sistem, atau bahkan mungkin akan terakumulasi, sehingga sistem tersebut semakin mungkin mengalami kegagalan di kemudian hari. Namun demikian bukan berarti bahwa tindakan terhadap para pelaku active errors tidak ada manfaatnya. Pembinaan sikap etis akhir-akhir ini dikumandangkan kembali melalui sebuah Charter of Medical Professionalism, yang mengingatkan kembali kepada nilai-nilai principle of primary of patient welfare (mengutamakan kesejahteraan pasien), principle of patient autonomy (menghargai otonomi pasien) and principle of social justice (keadilan sosial). [6] Inggris bahkan menerbitkan pedoman berpraktik yang baik, yang disebut Good Medical Practice. Langkah negara tersebut banyak diikuti oleh negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Selain meninjau kembali sikap perilaku para pelaku pemberi layanan kedokteran, masyarakat kedokteran memperbaiki kembali akuntabilitas profesinya dan layanannya, yaitu melalui pemberlakuan UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang pada pokoknya menjamin bahwa dokter yang berpraktik adalah mereka yang kompeten dan berwenang, menjamin bahwa mereka menjaga etika dan standar profesinya, serta mengancamnya dengan pendisiplinan bagi mereka yang melanggarnya. Dari sisi sistem layanan kedokteran juga diupayakan penyempurnaan melalui good clinical governance dan risk management, serta upaya-upaya lain yang bertujuan meningkatkan mutu layanan. [1] Cruess SR et al: MJA 2002 177 (4): 208-211 [2] Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi
profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik profesi (Ps 12 ayat 1 UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK). [3] True professionalism means the pursuit of excellence, not just competence. Professionalism is predominantly an attitude, not a set of competencies (Maister DH: True Professionalism, The Free Press, 1997) [4] Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer health system. Washington DC: National Academy Press, 2000, p58-60 [5] WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical Assembly, Marbella, Spain, Sept 1992 [6] Annals of Internal Medicine, Vol 136 Issue 3, 5 Feb 2002, http://www.annals.org/cgi/content/full/136/3/243
MALPRAKTIK KEDOKTERAN Tidak ada satupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menyebut kata “malpraktik” dalam pelayanan kedokteran. Namun beberapa pasal UndangUndang mengisyaratkan sebagian perbuatan / praktik yang dianggap “tidak baik”. Pasal 55 ayat (1) UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan”. Sedangkan UU Praktik Kedokteran menguraikannya dengan cara lain. Pasal 50 UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa “dokter dan dokter gigi berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional”. Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”. Dari definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada professional misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Malpraktik bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (mafia peradilan), akuntan (berbagai bentuk korupsi), perbankan (misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Sedangkan pengertian malpraktik medis
menurut World Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.” [1] Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering dituduhkan. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Kelalaian memiliki empat unsur yang harus dipenuhi, yaitu (1) adanya kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, (2) adanya pelanggaran atau kegagalan memenuhi kewajiban tersebut, (3) adanya kerugian atau cedera pada pasien dan (4) adanya hubungan kausalitas antara pelanggaran atau kegagalan memenuhi kewajiban tersebut dengan cedera atau kerugian. Dengan melihat pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada atau tidaknya malpraktik bukanlah ditentukan atas dasar “hasil akhirnya”, melainkan atas dasar “prosesnya”. Suatu hasil buruk yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu : 1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter. 2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas. 3. Hasil dari suatu kelalaian medik. 4. Hasil dari suatu kesengajaan. Dengan demikian, suatu dugaan adanya malpraktik kedokteran harus ditelusuri dan dianalisis terlebih dahulu untuk dapat dipastikan ada atau tidaknya malpraktik, kecuali apabila faktanya sudah membuktikan bahwa telah terdapat kelalaian – yaitu pada res ipsa loquitur (the thing speaks for itself). [1] WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical Assembly, Marbella, Spain, September 1992
PENANGANAN KASUS DUGAAN MALPRAKTEK Pada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan kepada konsep malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas. Dalam makalah ini tidak akan diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus, namun lebih ke arah hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengalaman penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari sisi profesi (etik dan disiplin) maupun dari sisi hukum. Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan). Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang “layak” dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma, standar, ataupun suatu kebiasaan/kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata). Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu. Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan
para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan. Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal, juga harus diselesaikan dari sisi profesi (etik dan disiplin) dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (disiplin profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi – tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya “kasus” tersebut. Penyelesaian secara profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, atau MKDKI). Pemberitaan kasus dugaan malpraktik Pada dasarnya pemberitaan tentang kasus dugaan malpraktik harus mengikuti tata cara atau etika pemberitaan pada umumnya. Pemberitaan harus tetap menjaga azas praduga tak bersalah, dengan cara memberitakan kasus secara seimbang dari kedua pihak yang bersengketa. Lebih baik lagi apabila juga memuat pendapat dari narasumber yang kompeten di bidangnya. Pemberitaan harus menjauhi penghakiman seseorang oleh media massa, sehingga salah satu pihak dapat tercemar nama baiknya tanpa terlebih dahulu terbukti kesalahannya. Pemberitaan kasus tentang layanan kedokteran juga harus memperhatikan privasi dan kerahasiaan pasien. Ijin dari pasien untuk diberitakan perihalnya di media massa sebaiknya diperoleh terlebih dahulu. Pemberi layanan kedokteran seringkali mengalami kesulitan untuk dapat memberikan informasi tentang peristiwa dugaan malpraktik, oleh karena penjelasan tentang kasus seringkali harus membuka rahasia kedokteran – sehingga menghalanginya untuk berbicara terbuka. Berita tentang kasus malpraktik yang berlebihan dapat mengakibatkan keresahan di kalangan pemberi layanan kedokteran, yang dampak lanjutannya dapat sangat negatif – yaitu layanan kedokteran yang defensif (excessive defensive medicine).
Dokter menjadi terlalu berhati-hati sehingga menggunakan berbagai pemeriksaan untuk mendiagnosis dan hanya berani melakukan terapi apabila diagnosis telah pasti dan tindakan terapinya mendekati kepastian keberhasilan. Layanan kedokteran menjadi terlalu mahal. Dengan pemahaman tentang layanan kedokteran dan pengertian tentang malpraktik medis sebagai latar belakang keilmuan para wartawan, maka pemberitaan tentang kasus dugaan malpraktik dapat lebih mendalam, seimbang dan tidak menghakimi – sebagaimana layaknya berita yang baik. Namun, berita tersebut harus masih dapat memenuhi keingintahuan masyarakat akan berita yang bermutu. Kesimpulan Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dan rentan akan terjadinya kecelakaan, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati oleh orang-orang yang kompeten dan memiliki kewenangan khusus untuk itu, serta bersikap dan perilaku yang sesuai etika profesi dan standar profesi. Pemberitaan tentang kasus dugaan malpraktik medis diperlukan untuk pembelajaran bagi masyarakat, namun harus dilakukan sesuai dengan etika pemberitaan agar tidak menimbulkan dampak negatif yang berlebihan. Kepustakaan Lanjutan AHRQ’s Patient Safety Initiatives. http://www.ahrg.gov Carroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San Fransisco: Jossey-Bass, 2001 Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996. General Medical Council. Good Medical Practice. May 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer health system. Washington: National Academy Press, 2000 Lens P and vander Wal G. Problem Doctors, a conspiracy of silence. Amsterdam:Jos Press, 1997 Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern: International Business Communications Pty Ltd, 1989. McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No 1 / 205 tentang Registrasi dokter dan dokter gigi. Peraturan Menteri Kesehatan No 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi. Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An
Aspen Publ, 2002 Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ, 1995 Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001. Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Vincent C, Ennis M and Audley RJ. Medical Accident. Oxford: Oxford University Press, 1993. _________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:49 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 5:37 am
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jl Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat KELALAIAN MEDIK Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-perorang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. “An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability”. UNSUR-UNSUR KELALAIAN Sebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu layanan medik dikenal gugatan ganti kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian medik. Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di bawah ini. 1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dasar dari adanya kewajiban ini adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum. 2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadangkadang suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen). Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan. Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang “normal” sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan “What is right (or wrong) for
one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation”. 3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah “real cost” atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity). Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang. 4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”. 5. Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya keempat unsur di atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat dibuktikan maka gugatan tersebut dapat dinilai tidak cukup bukti. DASAR HUKUM Pasal 1365 KUH Perdata : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal 1366 KUH Perdata : setiap orang bertanggung-jawa tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatiannya Pasal 1367 KUH Perdata : seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Pasal 55 Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan : (1) setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan. Pasal 1370 KUH Perdata : Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan. Pasal 1371 KUH Perdata : Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan. Pasal 1372 KUH Perdata : Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Di bidang pidana juga ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian, yaitu : Pasal 359 KUHP : Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lainmati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Pasal 360 KUHP : (1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain lukaluka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. Pasal 361 KUHP : Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan. Pembuktian adanya kewajiban dan adanya pelanggaran kewajiban Dasar adanya kewajiban dokter adalah adanya hubungan kontraktual-profesional
antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk memperoleh perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum. UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa kewajiban utama dokter adalah memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien (pasal 51). Dalam kaitannya dengan kelalaian medik, kewajiban tersebut berkaitan dengan kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis tertentu, atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu (due care). Untuk dapat memperoleh kualifikasi sebagai dokter, setiap orang harus memiliki suatu kompetensi tertentu di bidang medik dengan tingkat yang tertentu pula, sesuai dengan kompetensi yang harus dicapainya selama menjalani pendidikan kedokterannya. Tingkat kompetensi tersebut bukanlah tingkat terrendah dan bukan pula tingkat tertinggi dalam kualifikasi tenaga medis yang sama, melainkan kompetensi yang rata-rata (reasonable competence) dalam populasi dokter. Selanjutnya untuk dapat melakukan praktek medis, dokter tersebut harus memiliki kewenangan medis yang diperoleh dari penguasa di bidang kesehatan dalam bentuk ijin praktek. Kewenangan formil diperoleh dengan menerima “surat penugasan” (atau nantinya disebut sebagai Surat Tanda Registrasi), sedangkan kewenangan materiel diperoleh dengan memperoleh ijin praktek. Seseorang yang memiliki kewenangan formil dapat melakukan tindakan medis di suatu sarana kesehatan yang sesuai dengan surat penugasannya di bawah supervisi pimpinan sarana kesehatan tersebut, atau bekerja sambil belajar di institusi pendidikan spesialisasi di bawah supervisi pendidiknya. Sedangkan seseorang yang memiliki kewenangan materiel memiliki kewenangan penuh untuk melakukan praktik medis di tempat praktiknya, karena SIP dokter menurut UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran hanya berlaku untuk satu tempat praktik. Namun demikian tidak berarti dokter tidak diperkenankan melakukan pertolongan atau tindakan medis di tempat lain di seluruh Indonesia. Sikap dan tindakan yang wajib dilaksanakan oleh dokter diatur dalam berbagai
standar. Setidaknya profesi memiliki 3 macam standar, yaitu standar kompetensi, standar perilaku dan standar pelayanan [1]. Standar kompetensi adalah yang biasa disebut sebagai standar profesi [2]. Standar berperilaku diuraikan dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI. Dalam bertindak di suatu sarana kesehatan tertentu, dokter diberi rambu-rambu sebagaimana diatur dalam standar prosedur operasi sarana kesehatan tersebut [3]. Menilai ada atau tidaknya penyimpangan berbagai kewajiban di atas dilakukan dengan membandingkan apa yang telah dikerjakan oleh tenaga medis tersebut (das sein) dengan apa yang seharusnya dilakukan (das sollen). Apa yang telah dikerjakan dapat diketahui dari rekam medis, sedangkan apa yang seharusnya dikerjakan terdapat di dalam berbagai standar. Tentu saja hal ini bisa dilaksanakan apabila di satu sisi rekam medis dibuat dengan akurat dan cukup lengkap sedangkan di sisi lainnya standar pelayanan juga tertulis cukup rinci. Dalam hal tidak ditemukan standar yang tertulis maka diminta peer-group untuk memberikan keterangan tentang apa yang seharusnya dilakukan pada situasi dan kondisi yang identik. Perlu diingat bahwa sesuatu standar seringkali berkaitan dengan kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana kasus itu terjadi. Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang “normal” (pada clean case) sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Banyak hal harus diperhitungkan disini, seperti bagaimana keadaan umum pasien dan faktor-faktor lain yang “memberatkannya”; adakah situasi kedaruratan tertentu, adakah keterbatasan sarana dan/atau kompetensi institusi, adakah keterbatasan waktu, dan lain-lain. Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan “What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation”. Pembelaan dengan mengatakan bahwa tidak ada kewajiban pada pihak dokter hampir tidak mungkin dilakukan, oleh karena pada umumnya hubungan profesional antara dokter dengan pasien telah terbentuk. Sangat jarang kelalaian medis terjadi tanpa adanya hubungan dokter-pasien, seperti pada upaya pertolongan yang dilakukan dokter pada gawat darurat medik yang tidak pada sarana kesehatan. Dengan demikian pembelaan harus ditujukan kepada upaya pembuktian tidak adanya pelanggaran kewajiban yang dilakukan dokter.
Pada awalnya tentu saja dibuktikan terlebih dahulu adanya kompetensi dan kewenangan medik pada dokter pada peristiwa tersebut, demikian pula kompetensi dan kewenangan institusi kesehatan tempat terjadinya peristiwa. Berikutnya dinilai apakah terdapat pelanggaran dokter terhadap kewajiban dokter mengikuti pasal-pasal dalam KUHP, UU Kesehatan dan peraturan perundangundangan lain yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Demikian pula pasalpasal dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI, kecuali yang berkaitan dengan standar prosedur / standar pelayanan minimal. Selanjutnya diidentifikasi semua data tentang peristiwa, sehingga “peer group” dapat menyusun standar prosedur operasional dan standar pelayanan medis yang dapat diberlakukan pada situasi dan kondisi yang identik dengan kasus yang dipertanyakan. Dalam hal ini, berbagai keterbatasan yang bersifat lokal dan “common practice” dapat menyimpangi standar profesi yang bersifat nasional, sepanjang penyimpangan tersebut masih dapat diterima ditinjau dari falsafah dan prinsip pelayanan medik serta state-of-the-art kedokteran. [1] Yaitu pedoman yang harus diikuti oleh dokter dalam menyelenggarakan praktik kedokteran (Penjelasan ps 44 UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran) [2] yaitu batasan kemampuan (knowledge, skill dan professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang dibuat oleh organisasi profesi (Penjelasan ps 50 UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran) [3] yaitu perangkat instruksi / langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, yang memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi. Pembuktian adanya kerugian dan kausalitas Pada prinsipnya terdapat dua jenis kerugian yang menjadi landasan gugatan ganti rugi tersering kepada pemberi layanan jasa, yaitu yang pertama merupakan kerugian sebagai akibat langsung (atau setidaknya “proximate cause”) dari suatu kelalaian; dan jenis yang kedua adalah kerugian sebagai akibat dari pemberian jasa yang tidak sesuai dengan perjanjian (wanprestasi). Dalam kaitannya dengan layanan jasa kedokteran juga dikenal kerugian akibat peristiwa lain, yaitu misalnya kerugian akibat tindakan tanpa persetujuan, kerugian akibat penelantaran, kerugian akibat pembukaan rahasia kedokteran, kerugian akibat penggunaan alat
kesehatan atau obat yang defek, dan kerugian akibat tiadanya peringatan pada pemberian jasa yang berbahaya. Di dalam pelayanan kesehatan dan kedokteran umumnya tidak dikenal adanya perjanjian tentang hasil atas pemberian jasa kedokteran (perikatan pelayanan kedokteran bukan bersifat resultaatsverbintennis), sehingga kerugian akibat hasil layanan jasa yang tidak sesuai dengan perjanjian (wanprestasi) pun jarang ditemukan di dalam gugatan sengketa hukum di bidang medik. Demikian pula gugatan ganti rugi akibat peristiwa-peristiwa lain di atas jarang ditemukan dalam praktek sehari-hari. Oleh karena itu dalam makalah ini hanya akan dibicarakan tentang kerugian akibat kelalaian medik. Sementara itu, kerugian akibat pemberian suatu barang (produk medik atau obatobatan dan gizi medik) masih merupakan kerugian yang dapat dimintakan penggantiannya, terutama kepada institusi penyelenggara pelayanan. Pada prinsipnya suatu kerugian adalah sejumlah uang tertentu yang harus diterima oleh pasien sebagai kompensasi agar ia dapat kembali ke keadaan semula seperti sebelum terjadinya sengketa medik. Tetapi hal itu sukar dicapai pada kerugian yang berbentuk kecederaan atau kematian seseorang. Oleh karena itu kerugian tersebut harus dihitung sedemikian rupa sehingga tercapai jumlah yang layak (reasonable atau fair). Suatu kecederaan sukar dihitung dalam bentuk finansial, berapa sebenarnya kerugian yang telah terjadi, apalagi apabila diperhitungkan pula tentang fungsi yang hilang atau terhambat dan ada atau tidaknya cedera psikologis. Sebagaimana telah diuraikan di atas, kerugian atau damages dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Kerugian immateriel (general damages, non pecuniary losses) 2. Kerugian materiel (special damages, pecuniary losses) : 1. Kerugian akibat kehilangan kesempatan 2. Kerugian nyata : i. Biaya yang telah dikeluarkan hingga saat penggugatan ii. Biaya yang akan dikeluarkan sesudah saat penggugatan Ditinjau dari segi kompensasinya, kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Kompensasi untuk kecederaan yang terjadi (compensation for injuries, yaitu kerugian yang bersifat immateriel) a. Sakit dan penderitaan b. Kehilangan kesenangan/kenikmatan (amenities) c. Kecederaan fisik dan / atau psikiatris
2. Kompensasi untuk pengeluaran tambahan (compensation for additional expenses, real cost) a. Pengeluaran untuk perawatan rumah sakit b. Pengeluaran untuk biaya medis lain c. Pengeluaran untuk perawatan 3. Kompensasi untuk kerugian lain yang foreseeable (compensation for other foreseeable loss, yaitu kerugian akibat kehilangan kesempatan) a. Kehilangan penghasilan b. Kehilangan kapasitas mencari nafkah Kerugian-kerugian di atas umumnya ditagihkan satu kali, yaitu pada saat diajukannya gugatan. Kerugian, meskipun dapat terjadi berkepanjangan, tidak dapat digugatkan berkali-kali. Oleh karena itu penggugat harus menghitung secara cermat berapa kerugiannya, kini dan yang akan datang. Cara pembayarannya dapat saja berupa pembayaran tunai sekaligus, tetapi dapat pula diangsur hingga satuan waktu tertentu yang disepakati kedua pihak (structured settlement). Pembayaran berjangka tersebut dapat dibebani dengan bunga. Bunga tidak dapat dibebankan kepada kerugian yang akan datang, sedangkan kerugian yang sudah terjadi – termasuk kerugian yang non pecuniary – dapat diberi bunga yang besarnya reasonable. Misalnya pada kasus diamputasinya tungkai kanan seseorang yang diduga sebagai akibat dari kelalaian dokter dalam menangani patah tulang paha kanannya akibat kecelakaan lalu-lintas, maka kerugian berupa biaya yang digugatkan kepadanya dapat dirinci sebagai berikut : biaya perawatan medis sejak masuk rumah sakit hingga selesainya terapi pasca-operasi – termasuk biaya non medis yang terjadi sebagai akibat dari perawatan rumah sakit (transport, peralatan khusus, perawat pada home care, dll); biaya pemulihan fungsi tungkai kanan tersebut yang masih akan dibutuhkan (fisioterapi, kaki palsu, dll); kerugian akibat kehilangan penghasilan selama ia tidak bisa bekerja; kerugian sebagai akibat dari kehilangan kapasitas bekerja apabila pekerjaan semula atau profesinya “secara umum” membutuhkan adanya tungkai kanan, serta kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit dan penderitaannya. Semua biaya nyata (real cost) mudah dihitung, baik yang telah dikeluarkan maupun yang akan dikeluarkan. Kerugian akibat kehilangan kesempatan agak lebih sulit dihitungnya, karena kerugian tersebut sebenarnya bersifat “prediktif” dengan tidak pasti atau dengan tingkat ketepatan yang tidak dapat ditentukan. Selain itu juga tidak dapat diperkirakan sampai berapa lama kehilangan
kesempatan tersebut dapat diperhitungkan (berkaitan dengan panjang usia yang akan dicapai dan kemampuan bekerjanya secara umum). Lebih sulit lagi dihitungnya adalah kerugian immateriel. Undang-undang hanya memberi rambu-rambu sebagaimana diuraikan dalam pasal 1370 dan 1371 KUH Perdata, yaitu harus mempertimbangkan kedudukan, kemampuan dan keadaan kedua belah pihak. Penggugat tentu saja akan memperhitungkan kerugian tersebut berdasarkan kedudukan, kemampuan dan keadaan sosial-ekonomi penggugat; yang tentu saja belum tentu sesuai dengan pihak tergugat (dokter). Dalam hal ini tentu akan terjadi semacam tawar-menawar tentang besarnya ganti rugi. Apabila perkara ini diajukan ke pengadilan perdata, maka hakim pada akhirnya akan mengambil keputusan jumlah ganti rugi tersebut, dengan mempertimbangkan kemampuan dan keadaan kedua pihak. Peranan Rekam Medis Seorang dokter mungkin saja telah bersikap dan berkomunikasi dengan baik, membuat keputusan medik dengan cemerlang dan/atau telah melakukan tindakan diagnostik dan terapi yang sesuai standar; namun kesemuanya tidak akan memiliki arti dalam pembelaannya apabila tidak ada rekam medis yang baik. Rekam medis yang baik adalah rekam medis yang memuat semua informasi yang dibutuhkan, baik yang diperoleh dari pasien, pemikiran dokter, pemeriksaan dan tindakan dokter, komunikasi antar tenaga medis / kesehatan, informed consent, dll informasi lain yang dapat menjadi bukti di kemudian hari – yang disusun secara berurutan kronologis. Sebuah adagium mengatakan “good record good defence, bad record bad defence, and no record no defence” Biasanya kata kunci yang sering digunakan oleh para hakim adalah (1) bahwa kewajiban profesi dokter adalah memberikan layanan dengan tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang normalnya diharapkan akan dimiliki oleh rata-rata dokter pada situasi-kondisi yang sama, (2) bahwa tindakan dokter adalah masih reasonable, dan didukung oleh alasan penalaran yang benar, (3) bahwa dokter harus memperoleh informed consent untuk tindakan diagnostik / terapi yang ia lakukan, dan (4) bahwa dokter harus membuat rekam medis yang baik. Rekam medis dapat digunakan sebagai alat pembuktian adanya kelalaian medis, namun juga dapat digunakan untuk membuktikan bahwa seluruh proses penanganan dan tindakan medis yang dilakukan dokter dan tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional atau berarti bahwa kelalaian medis tersebut tidak terjadi. Rekam medis adalah suatu dokumen yang berisikan informasi tentang apa yang telah terjadi pada pasien selama ia dalam perawatan. Rekam medis yang baik
tentu saja harus akurat, benar dan tepat waktu, sehingga dapat digunakan sebagai bukti di depan hukum. Rekam medis juga memperlihatkan apa yang telah dilakukan para pemberi layanan kesehatan (das sein) yang dapat dibandingkan dengan apa yang seharusnya dilakukan sebagaimana tertera dalam standar profesi dan standar prosedur operasional (das sollen) yang merupakan pembuktian ada atau tidaknya pelanggaran kewajiban dan ada atau tidaknya kerugian yang diakibatkannya. KEPUSTAKAAN 1. Buckley WR. Torts and Personal Injury Law. New York : Delmar Publishers, 1993 2. Elliot C and Quinn F. Tort Law. Second edition. Essex: Pearson Education Limited, 1999. 3. Hart HLA and Honore AM. Causation in the Law. London: Oxford University Press, 1962 4. Jackson JP (ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: SpringerVerlag, 1991 5. Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996. 6. Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern: International Business Communications Pty Ltd, 1989. 7. Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Edisi revisi, Jakarta : Pradnya Paramita, 1995. 8. Soenarto Soerodibroto. KUHP dan KUHAP, Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Edisi keempat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. 9. Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts from Across the sea. In Medicolegal Annual Seminar 2001, Singapore: 27-28 October 2001. 10. Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan 11. Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran _________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:49 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 5:39 am
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Faultas Kedokteran Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat Telp: 3106976. Fax: 3154626 Malpraktek Kedokteran MALPRAKTIK KEDOKTERAN Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktek medis, yang merupakan sebutan “genus” dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya. Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”(bahasa mudahnya: lalai). Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurangmahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Malpraktek dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya oleh dokter. Profesional di bidang hukum, perbankan dan akuntansi adalah beberapa profesional lain di luar kedokteran yang dapat ditunjuk sebagai pelaku malpraktek dalam pekerjaannya masing-masing. Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum – khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk (lihat pula bagan 1). Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.” WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek atau kelalaian medik. “An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability”. Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang dari iptekdok saat itu dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada dokter.
Tinjauan tentang adverse events Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled)[1], khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut: 1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dll. 2. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berrisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat. Kedua jenis risiko di atas apabila terjadi bukan menjadi tanggung-jawab dokter sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui (volenti non fit injuria). Pada situasi seperti inilah manfaat pelaksanaan informed consent. Dengan adverse events diartikan sebagai setiap cedera yang lebih disebabkan karena manajemen kedokteran daripada akibat penyakitnya, sedangkan adverse event yang disebabkan suatu error adalah bagian dari preventable adverse events. Error sendiri diartikan sebagai kegagalan melaksanakan suatu rencana tindakan (error of execution; lapses dan slips) atau penggunaan rencana tindakan yang salah dalam mencapai tujuan tertentu (error of planning; mistakes). Di dalam kedokteran, semua error dianggap serius karena dapat membahayakan pasien. Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu (lihat bagan 1):
a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter. b. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas. c. Hasil dari suatu kelalaian medik. d. Hasil dari suatu kesengajaan. Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam suatu error dan dampaknya, perlu dipahami perbedaan antara active errors dan latent errors. Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk (lihat bagan 2). Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis active errors. Sebagai contoh adalah sistem pendidikan dokter spesialis yang mahal, pembolehan dokter bekerja pada “banyak” rumah sakit, tidak adanya sistem yang menjaga akuntabilitas profesi (lihat pula bagan di bawah) adalah latent errors yang tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error), maka terjadilah accident. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa penyebab suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors. Umumnya kita merespons suatu error dengan berfokus pada active error-nya dengan memberikan hukuman kepada individu pelakunya, retraining dan lain-lain yang bertujuan untuk mencegah berulangnya active errors. Meskipun hukuman seringkali bermanfaat pada kasus tertentu (pada mistakes yang timbul karena kesengajaan), namun sebenarnya tidak cukup efektif. Memfokuskan perhatian kepada active errors akan membiarkan latent errors tetap ada di dalam sistem, atau bahkan mungkin akan terakumulasi, sehingga sistem tersebut semakin mungkin mengalami kegagalan di kemudian hari.
Pendapat yang mengatakan bahwa kecelakaan dapat dicegah dengan desain organisasi dan manajemen yang baik akhir-akhir ini sangat dipercaya kebenarannya. Konsep safety (dalam hal ini patient safety), yang pada mulanya diberlakukan di dalam dunia penerbangan, akhir-akhir ini diterapkan oleh Institute of Medicine di Amerika (dan institusi serupa di negara-negara lain). Keselamatan pasien diartikan sebagai penghindaran, pencegahan dan perbaikan terjadinya adverse events atau freedom from accidental injury. Keselamatan tidak terdapat pada diri individu, peralatan ataupun bagian (departemen, unit), melainkan muncul dari interaksi komponen-komponen dalam sistem. Berasal dari pemahaman ini muncullah konsep human factors yang mempelajari hubungan antar manusia, peralatan yang mereka gunakan dan lingkungan dimana mereka hidup dan bekerja. Implikasi Hukum Tuntutan pidana yang ditujukan kepada dokter dan atau rumah sakit dapat merupakan akibat tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun di dalam ketentuan pidana UU lainnya. Sebagian diantaranya dimasukkan ke dalam tindak pidana malpraktek medis dalam bahasan ini, yaitu pidana-pidana yang dicakup di dalam pengertian malpraktek medis di atas, baik berupa tindak kesengajaan (professional misconducts) ataupun akibat kelalaian. Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal 347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42 dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP), penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain. Gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu : 1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian 2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.
3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis. Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu : 1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. 2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. 3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. 4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”. Selanjutnya, oleh karena teori kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors. Tanggung-jawab profesi dan tanggung-jawab rumah sakit Dokter yang bekerja di suatu rumahsakit dapat memiliki hubungan administratif yang bervariasi dengan rumahsakit tersebut. Di rumahsakit, seorang dokter dapat berstatus sebagai (a) pegawai negeri yang dipekerjakan atau ditempatkan di rumahsakit pemerintah, atau berstatus (b) pegawai swasta dari perusahaan pemilik rumahsakit swasta tersebut, atau sebagai (c) pegawai tetap rumahsakit, atau sebagai (d) tenaga kerja (purnawaktu) berdasar kontrak untuk waktu tertentu, atau sebagai (e) tenaga kerja berdasar kontrak untuk melakukan pelayanan kedokteran tertentu secara paruh waktu, atau sebagai (f) dokter tamu. Jenis hubungan tersebut sangat mempengaruhi hak dan kewajiban diantara kedua pihak dan tanggung-jawabnya kepada pihak ketiga. Bentuk hubungan (a), (b) dan (c) umumnya dianggap serupa, dengan
menyebutnya sebagai dokter tetap atau pegawai tetap. Status pegawai negeri sebenarnya tidak sama benar dengan pegawai tetap yang lain karena pegawai negeri diatur dengan hukum publik (UU Kepegawaian) sedangkan pegawai tetap lain diatur dengan hukum sipil / perdata (hukum perburuhan / ketenagakerjaan). Bentuk hubungan (d) memiliki hubungan kerja yang tegas sebagai pegawai purna waktu untuk waktu tertentu dan dilindungi oleh hukum perjanjian dan hukum perburuhan. Hak dan kewajiban kedua pihak ditentukan oleh kedua pihak dalam perjanjian, namun tetap dilindungi oleh rambu-rambu yang dibuat oleh Permenaker No: Per-02/Men/1993. Hubungan kerja berdasarkan kontrak paruh waktu tidak diatur oleh hukum perburuhan, melainkan oleh hukum perjanjian (perdata). Oleh karena itu hak dan kewajibannya bebas ditentukan oleh kedua pihak sepanjang tidak melanggar hukum, ketertiban umum dan kesusilaan (ps 1337 KUH Per). Hingga saat ini banyak dokter yang bekerja di rumahsakit tanpa didasari oleh suatu perjanjian (kontrak), meskipun ketentuan tentang rumah sakit mengharuskan dibuatnya kontrak antara rumahsakit dengan dokter. Kontrak diperlukan untuk menghindari terjadinya perlakuan sewenang-wenang oleh pihak yang sedang berada “di atas angin”. Seluruh dokter tersebut di atas mempunyai hubungan kerja dengan rumahsakit, sehingga dengan sendirinya dalam melakukan pekerjaannya di rumahsakit berkewajiban mengikuti standar prosedur dan hospital bylaws. Ikatan kerja dengan rumah sakit tidak mengakibatkan hilangnya kebebasan profesi para dokter, dalam arti bahwa sebenarnya para dokter jua-lah yang membentuk standar prosedur yang diberlakukan di rumahsakit dan mereka juga tetap berwenang mengembangkan professional judgment mereka dalam menangani kasus-kasus tertentu. Berbeda dengan status dokter-dokter yang diuraikan di atas, dokter tamu (f) tidak memiliki hubungan kerja dengan rumahsakit; melainkan hanya hubungan perjanjian peminjaman fasilitas rumahsakit untuk dapat dipergunakan oleh dokter tamu dalam rangka merawat pasiennya di rumahsakit tersebut. Oleh karena itu dokter tamu dianggap sebagai dokter yang independen. Dalam hal tanggung-jawab hukum perdata, rumahsakit sebagai badan hukum bertanggung-jawab sebagai satu entity (korporasi) dan juga bertanggung-jawab atas tindakan orang-orang yang bekerja di dalamnya (respondeat superior) sebagaimana diatur dalam ps 1365 - 1367 KUH Perdata. Tanggung-jawab ini tidak hanya untuk medical / professional liability, melainkan juga untuk public liability-
nya. Di Amerika Serikat, rumah sakit bertanggung-jawab perdata secara penuh bagi para dokter yang bekerja sebagai employee. Bagi dokter yang bekerja sebagai independent-contractor, rumah sakit berbagi tanggung-jawab dengan dokter tersebut, sesuai dengan perjanjian diantara keduanya. Dahulu berlaku pendapat bahwa rumahsakit tidak bertanggung-jawab atas perbuatan dokter paruh waktu, namun berdasarkan teori apparent or ostensible agency (pasien menganggap semua orang yang bekerja di rumahsakit adalah “agen” dari rumahsakit), teori reliance (pasien mengacu lebih ke arah rumahsakit sebagai pemberi pelayanan ketimbang dokternya), dan teori non delegable duty (bahwa kewajiban menyelenggarakan berbagai pelayanan kedokteran adalah kewajiban rumahsakit yang tak dapat didelegasikan), maka rumahsakit juga bertanggung-jawab atas perbuatan dokter paruh waktu (vicarious liability). Rumahsakit tidak bertanggung-jawab atas perbuatan dokter tamu oleh karena dokter tamu adalah profesional yang independen. Pasien yang ditangani juga bukan pasien rumahsakit – melainkan pasien dokter tamu tersebut. Perbuatan para karyawan rumahsakit yang bekerja untuk dokter tamu tersebut ditanggung oleh dokter tamu berdasarkan doktrin “borrowed servants”. Selain bertanggungjawab sebagai akibat dari respondeat superior atau vicarious liability di atas, rumah sakit juga bertanggungjawab sendiri atas kerugian yang diakibatkan oleh kebijakan, peraturan dan fasilitas rumah sakit. Tanggungjawab ini tidak hanya terbatas kepada tanggungjawab di bidang medikolegal, melainkan juga di bidang public liability. Pencegahan Errors Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors, yaitu: [1] 1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum “pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis, sehingga pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di kemudian hari.
2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama ke unit-unit klinik. 3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya meningkatkan keselamatan pasien. 4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk, mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan mengembangkan langkah koreksinya. 5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman. 6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak menimbulkan kesalahan baru. Elemen-elemen di atas diterapkan bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko yang bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko. Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya. Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko bersama.[2] The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit (HO) untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri.[3] Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).
Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi. [4] Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun sebagian besarnya merupakan hasil “belajar” dari pengalaman dan menerapkannya kembali untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus, yang terdiri dari empat tahap, yaitu: 1 2 [5] 1. Risk Awareness. Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masingmasing dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis, sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis, dokter, perawat bedah, perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan ruang bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko. 2. Risk control (and or Risk Prevention). Manajemen merencanakan langkahlangkah praktis dalam menghindari dan atau meminimalkan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang medis, manajemen harus bekerjasama erat dan saling mendukung dengan komite medis. Langkah-langkah tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment) tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila tidak mungkin maka dicari upaya menguranginya (control solution) – baik terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk mengurangi dampaknya. Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan pembaruan prosedur, standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain. 3. Risk containment. Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun
akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan melakukan langkahlangkah yang tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif. 4. Risk transfer. Akhirnya apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi. Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve them). [1] AHRQ’s patient safety initiative: Building Foundation, Reducing Risk (2004), chapter 2 [2] Dental Protection: Essentials of risk management. Manual, tanpa tahun. [3] Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby), 1998. [4] Sedwick J and Porto GG. The Health Care Risk Management Professional. In Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organization. 3rd ed. San Francisco (Jossey Bass), 2001 [5] Wood RH. Aviation Safety Program – a management handbook. Washington (Jeppesen), 1997. Kesimpulan Upaya meminimalkan tuntutan hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti seluruh upaya mengelola risiko dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien. Upaya tersebut pada akhirnya juga akan menurunkan angka kejadian malpraktek medis. _________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:50 pm; edited 2 times in total
gitahafas
Moderator
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 5:50 am
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medioklegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat 10430 Telp: 021 3106976. Fax: 3154626 IMPLIKASI UU No 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN Pendahuluan Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan etik dan standar. [1] Dengan demikian, profesi harus dapat memastikan bahwa para anggotanya yang akan berpraktik adalah benar telah memiliki kompetensi dan kewenangan medis yang sesuai dan melakukan praktiknya sesuai dengan standar dan etika profesinya. [2] Oleh karena itulah diundangkan UU Praktik Kedokteran yang mengatur hal-hal yang harus diatur dengan hukum karena sifatnya yang harus dapat dipaksakan, ?executable? dan akuntabel. Sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas ? termasuk klien, dicerminkan dalam sikap profesionalisme. Beberapa ciri profesionalisme merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu ?sesuai dengan tempat dan waktu?, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, sikap altruisme (mendahulukan kepentingan pasien), bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan sikap ?care?. [3] [1] The contract between professions and society is relatively simple. The professions are granted a monopoly over the use of a body of knowledge, as well as considerable autonomy, prestige, and financial rewards ? on the understanding that they will guarantee competence, provide altruistic service, and conduct their affairs with morality and integrity. (Cruess SR et al: MJA 2002 177 (4): 208-211). [2] Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik profesi (Ps 12 ayat (1) UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK).
[3] Public mistrust happened when there was a public perception that medicine failed to self-regulate in a way that can guarantee competence and that it put its own interest above that of patients and the public, or when medicine has protected incompetent or unethical colleagues in the name of collegiality (Cruess SR et al: MJA 2002 177 (4): 208-211). UU Praktik Kedokteran dan akuntabilitas profesi Perjalanan pembuatan undang-undang yang akan mengatur dokter, dalam rangka akuntabilitas dokter, telah sejak lama dimulai. Pada mulanya diinginkan adanya undang-undang tentang Konsil Kedokteran, yang hanya akan mengatur tentang berdirinya Konsil Kedokteran yang akan meregistrasi dan mengatur dokter. Tetapi kemudian perancangan undang-undang tersebut berkembang menjadi undangundang tentang praktik kedokteran. Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Dengan demikian secara formal dokter harus memiliki STR dan SIP yang masih berlaku apabila ingin berpraktik. Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No 29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter. Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3 tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan
namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya. Penjelasan pada proses informed consent setidaknya harus meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosisnya. Persetujuan pasien atau oleh yang berhak menyetujuinya dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis, namun demikian disebutkan bahwa tindakan yang memiliki risiko tinggi membutuhkan persetujuan tertulis. Undang-undang mengijinkan pengungkapan rahasia kedokteran untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan undang-undang. Pada bagian tersebut Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan pasien. Beberapa hak dokter adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, bekerja sesuai dengan standar profesi dan SOP, menerima informasi yang lengkap dan jujur dari pasien dan memperoleh imbalan jasa. Sedangkan hak pasien adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, alternatif, risiko, komplikasi dan prognosisnya, hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis, serta hak mendapatkan isi rekam medis. Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin profesi. Undang-Undang memandatkan pendirian Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu yang dibutuhkan. Pengaduan ke MKDKI tidak menghalangi penuntutan pidana dan/atau perdata. Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka yang berpraktik tanpa STR (ps 75) dan atau SIP (ps 76), mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah dokter (ps 77 dan 78), dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter (ps 79). Pidana lebih berat diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP (ps 80).[1]
Undang-Undang No 29/2004 berlaku setelah satu tahun sejak diundangkan (6 Oktober 2005), bahkan penyesuaian STR dan SIP diberi waktu hingga dua tahun sejak Konsil Kedokteran terbentuk (29 April 2007). UU Praktik Kedokteran belum bisa diterapkan secara sempurna apabila peraturan pelaksanaannya belum seluruhnya dibuat. Peraturan Konsil yang harus dibuat adalah ketentuan tentang Fungsi & Tugas KKI; Fungsi, Tugas, Wewenang KK / KKG; Pemilihan tokoh masyarakat sebagai anggota; Tata Kerja KKI; Tata cara Registrasi; Kewenangan dokter / dokter gigi; Tata cara pemilihan Pimpinan MKDKI dan Tata Laksana kerja MKDKI. Peraturan Menteri Kesehatan yang harus dibuat, atau direvisi bila sudah ada, adalah peraturan tentang Ijin Praktik, Pelaksanaan Praktik, Standar Pelayanan, Persetujuan Tindakan Medik, Rekam Medis, dan Rahasia Kedokteran. Selain itu masih diperlukan pembuatan berbagai standar seperti standar profesi yang di dalamnya meliputi standar kompetensi, standar perilaku dan standar pelayanan medis, serta standar pendidikan. Bahkan beberapa peraturan pendukung juga diperlukan untuk melengkapinya, seperti UU perumahsakitan, peraturan tentang penempatan dokter dalam rangka pemerataan pelayanan kedokteran, pendidikan dokter spesialis, pelayanan medis oleh tenaga kesehatan non medis ? terutama dalam hal tidak adanya tenaga medis, penataan layanan kesehatan non medis (salon, pengobatan tradisionil, pengobatan alternatif), dan lain-lain. Saat ini Konsil Kedokteran Indonesia telah mengeluarkan Peraturan KKI No 1 tahun 2005 tentang Registrasi Dokter dan Doktergigi berikut Pedomannya, sedangkan Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Permenkes No 1419 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi. Beberapa ketentuan dalam peraturan-peraturan tersebut telah ?memperluas dan menjelaskan? ketentuan dalam UU, seperti ketentuan bagi mahasiswa kedokteran dan peserta PPDS, evaluasi lulusan luar negeri, registrasi ulang, kewenangan dinas kesehatan kabupaten/kota mempertimbangkan keseimbangan jumlah dokter dengan kebutuhan pelayanan kesehatan serta kewenangan untuk menugaskan dokter untuk bekerja di rumah sakit tertentu untuk kepentingan pelayanan tanpa memiliki SIP di rumah sakit tersebut. Permenkes 1419 bahkan ?memperlunak? ketentuan tentang pembatasan 3 tempat praktik dengan membolehkan dokter bekerja di rumah sakit pendidikan berikut seluruh jejaringnya dengan keharusan hanya memiliki satu SIP dan kemungkinan dokter bekerja dengan berdasarkan surat tugas dari dinkes Kab/kota sebagaimana di atas.
Masyarakat kedokteran dapat mengidentifikasi beberapa kelemahan UU, bahkan juga ?kesalahan? UU, diantaranya tentang ketentuan pidana yang berlebihan, tidak diaturnya PPNS, mudahnya pembukaan rahasia kedokteran, pembatasan 3 tempat praktik tanpa jalan keluar bagi keahlian yang terbatas jumlahnya, serta belum adanya ketentuan yang berkaitan dengan malpraktik medis. Mukernas IDI di bulan Desember 2005 menyepakati perlunya peninjauan kembali UU Praktik Kedokteran, tidak hanya bertujuan untuk menambal-sulam kekurangan UU, melainkan juga melengkapinya sehingga UU tersebut betul-betul dapat mencapai tujuannya. [1] Perbedaan pendapat terjadi di bidang ini. Sebagian ahli tidak setuju atas ancaman pidana bagi pelanggaran yang dianggap pelanggaran administratif (pasal-pasal 75 dan 76, apalagi pasal 79), sebagian ahli lain berpendapat perlunya kriminalisasi oleh karena menganggap pelanggaran tersebut bukan sekedar administratif ? melainkan pelanggaran kewajiban yang azasi ? sebagai konsekuensi akuntabilitas profesi. Namun umumnya setuju bahwa pasal 79 bukan pasal yang tepat dan diperlukan aturan tentang PPNS sebagai penyidik pada pidana yang diatur dalam UU tersebut. Dampak bagi perorangan dokter dan organisasi profesi Undang-undang mengharapkan bahwa pada suatu saat kelak para dokter tidak lagi harus berkejaran dengan waktu untuk mencapai tempat praktik (bekerja)-nya yang banyak. Tidak ada lagi kalimat sinis ?dokter ada dimana-mana tetapi tidak ada dimana-mana?. Dokter akan lebih memusatkan perhatiannya ke tempat praktiknya yang hanya tiga atau kurang, sehingga dokter lebih memiliki care kepada pasien-pasiennya. Undang-undang juga mendorong para dokter untuk lebih menjaga dan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme, disamping juga mengendalikan biaya. Paradigma patient safety yang sedang didengungkan oleh kalangan penyelenggara pelayanan kesehatan di seluruh dunia tampaknya sudah seirama dengan ?ruh? undang-undang ini. Masyarakat profesi diharapkan lebih bergairah untuk membuat berbagai standar dan perangkat lunak lainnya yang bertujuan mendukung proses pendidikan, sertifikasi kompetensi, rekomendasi kesehatan/perilaku/etik, standar profesi, standar pelayanan, pendidikan dan pelatihan pengembangan keprofesian, dll. Dampak UU bagi akuntabilitas profesi Undang-undang hanya memperkenankan tenaga medis yang kompeten dan yang
berwenang saja yang dapat berpraktik. Undang-undang juga mengawasi pelaksanaan praktik kedokteran melalui berbagai standar, kendali mutu dan biaya, pengawasan dan bahkan juga pemberian sanksi disiplin bagi pelanggarnya. Dengan demikian tujuan menjaga akuntabilitas profesi benar-benar telah diupayakan pencapaiannya oleh undang-undang. Namun sayangnya undang-undang kurang memperhitungkan (atau para pelaksananya yang lambat mengantisipasi) bahwa keberlakuan undang-undang memerlukan berbagai peraturan pelaksanaan dan perangkat lunak lain, sehingga masa tunda keberlakuan yang setahun ternyata tidak mencukupi. Konsil Kedokteran Indonesia yang dibentuk di bulan April 2005 belum didukung dengan perangkat sekretariat dan pendanaan yang memadai. KKI yang hanya terdapat di pusat ? tanpa perwakilan di daerah ? mengakibatkan cara kerja registrasi yang dirasa ?lambat?, disamping registrasi itu sendiri yang masih dirasa ?baru?. Berbagai perangkat lunak yang seharusnya ?ada? ternyata belum mampu terbuat hingga saat ini, padahal sangat diperlukan atau bahkan menjadi ?prasyarat? bagi tercapainya akuntabilitas. Belum adanya standar pendidikan, standar profesi dan ujian kompetensinya, standar pelayanan medis, prosedur re-evaluasi kompetensi, pedoman kendali mutu dan biaya, dan lain-lain merupakan hambatan terlaksananya undang-undang. Tampaknya kita membutuhkan waktu persiapan yang lebih panjang. Undang-undang juga dianggap kurang memperhitungkan bahwa dokter pengganti yang sudah memiliki SIP (1-3 tempat praktik) sangat mungkin akan harus bekerja di lebih dari 3 tempat praktik. Dalam hal ini diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam Permenkes. Permenkes 1419/2005 bahkan mempersulit situasi. Pembolehan adanya jejaring RS pendidikan tanpa pengaturan kriteria anggota jejaring dan pembolehan dokter peserta PPDS menggantikan praktik dokter spesialis dapat mengancam akuntabilitas profesi yang telah diatur di dalam UU. Dampak UU bagi pelayanan medis Pelayanan medis memang dapat terganggu sebagai akibat dari pembatasan jumlah tempat praktik, sehingga beberapa sarana pelayanan kesehatan akan ? kehilangan? dokter tertentu. Undang-undang ingin mempertahankan pelayanan medis dengan ?penyimpangan aturan? dalam bentuk pembolehan dokter bekerja secara insidentil sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 37 ayat (2), bahkan
Permenkes 1419 menambahkan kemungkinan penugasan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota dalam rangka pelayanan dan pada pertolongan gawat/darurat. Terbatasnya sumber daya manusia dengan keahlian tertentu juga menjadi masalah. Banyak rumah sakit yang ?kehilangan? dokter dengan keahlian tertentu atau keahlian khusus, yang mestinya dapat ditanggulangi dengan aturan penyimpangan sebagaimana di atas. Selain itu, di Indonesia banyak puskesmas atau saryankes lain yang tidak memiliki dokter, sehingga banyak dokter yang harus melayani banyak puskesmas, atau melayani banyak klinik / saryankes milik TNI / Polri / perusahaan perkebunan / pertambangan. Pemberian surat tugas pada kasus seperti ini merupakan jalan keluar yang terbaik, meskipun agak menyulitkan karena masa berlakunya yang hanya 3 bulan. Namun ternyata pelaksana di daerah tidak mudah atau tidak berani menempuh jalan ?menyimpang? di atas. Kepala dinas kesehatan kab/kota tidak mudah memberikan surat penugasan kepada dokter dan dokter tidak berani melakukan pekerjaan atas permintaan saryankes secara insidentil. Mudah-mudahan masalah ini hanya masalah yang sementara sifatnya sebagai akibat ketidaktahuan. Hal yang lebih sulit diatasi adalah banyaknya petugas kesehatan non medis yang berpraktik medis, sebagian atas nama pelayanan karena tidak adanya tenaga medis dan sebagian lagi memang karena telah ?terbiasa? seperti itu. Undangundang melarangnya dan mengancam dengan pidana yang cukup berat, namun tidak memberikan peluang pada keadaan tidak adanya tenaga medis. Kepmenkes no 1239 tentang praktik perawat memberi peluang kepada perawat melakukan tindakan medis atas pelimpahan wewenang dari tenaga medis. Namun, dalam hal tidak adanya tenaga medis, belum diatur bagaimana tata cara pelimpahan wewenang tersebut dan bagaimana pertanggung-jawabannya. Beberapa ahli kesehatan menyayangkan undang-undang ini tidak dikaitkan dengan persoalan pembiayaan pelayanan kedokteran, meskipun menyebutkan kata pengendalian biaya (pasal 49), sehingga tidak banyak yang dapat diharapkan dampaknya dilihat dari segi efisiensi pelayanan kedokteran. Pelajaran yang dapat dipetik Pelaksanaan UU Praktik Kedokteran dengan konsekuen dapat diharapkan mencapai akuntabilitas profesi dokter, yang berarti perlindungan bagi masyarakat dan pasien. Namun demikian tercapainya keadaan tersebut sangat bergantung kepada tersedianya peraturan pelaksanaan dan perangkat lunak pendukung yang cukup. Kekurangan atau kelemahan undang-undang dan peraturan pelaksanaan yang
dihadapi saat ini harus ditanggapi dengan positif dengan melaksanakan ketentuan yang telah ada disertai upaya perbaikan aturan yang kurang atau lemah. Kepustakaan 1. Cruess SR, Johnston S, Cruess RL. Professionalism for medicine: oppotunities and obligations. MJA 2002: 177 (4): 208-211 2. Republik Indonesia. Undang-Undang No 18 tahun 2002 tentang IPTEK. Lembaran Negara tahun 2002 no 84 dan Tambahan Lembaran Negara No 4219. 3. Republik Indonesia. Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Lembaran Negara tahun 2004 No 116 dan Tamabahan Lembaran Negara No 4431. 4. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No 1 tahun 2005 tanggal 5 Oktober 2005 tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi. 5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1419/Menkes/Per/X/2005 tanggal 5 Oktober 2005 tentang Penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi.
_________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:51 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 5:53 am
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medioklegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat 10430 Telp: 021 3106976. Fax: 3154626 PROFESI KEDOKTERAN DAN KODE ETIKNYA SERTA PERAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT TERHADAP KASUS MAL PRAKTIK Ilmu kedokteran adalah ilmu empiris dan bukan ilmu eksakta, dalam arti bahwa dalam membuat suatu kesimpulan deduktif ataupun induktif, ilmu kedokteran membutuhkan pengalaman-pengalaman yang disusun dengan menggunakan metode pengumpulan dan pengolahan data secara ilmiah (evidence based). Metode ini mengakibatkan pengambilan suatu kesimpulan selalu memiliki peluang
terjadinya bias dan peluang adanya “fakta” yang belum diketahui karena belum adanya pengalaman.[1] Konsekuensi logisnya adalah bahwa tingkat kepastian dalam ilmu kedokteran disusun dalam bentuk probabilitas – bukan kepastian sebagaimana di dalam ilmu matematis. Kalangan hukum menganggap adanya “reasonable medical certainty” yang diartikan sebagai kepastian yang “cukup meyakinkan”, sebagaimana juga di bidang hukum dikenal sebagai “beyond reasonable doubt”. Mengingat sifat keilmuan tersebut di atas maka muncullah doktrin hubungan dokter-pasien yang bersifat kontrak berdasar upaya (inspanningsverbintennis) dan bukannya kontrak berdasar hasil. Keberhasilan suatu tindakan medik tidak hanya bergantung kepada kompetensi dokter dan stafnya, melainkan juga bergantung kepada ketersediaan peralatan dan waktu, keadaan penyakitnya, faktor-faktor lingkungan, kepatuhan pasien, serta faktor konstitutif pasien itu sendiri. Perlu diingat bahwa tidak semua faktor tersebut dapat dikendalikan oleh dokter dan stafnya. Dengan mengingat fakta di atas, maka wajarlah apabila praktek kedokteran hanya boleh dilaksanakan oleh orang-orang dengan kompetensi yang memadai dan memiliki kewenangan untuk itu. Kompetensi diperoleh dari pendidikan dan pelatihan, sedangkan kewenangan diperoleh dalam bentuk ijin praktek dari instansi yang berwenang untuk itu. Selain itu dalam menjalankan prakteknya, para dokter diberi rambu-rambu etika dan standar profesi. Pasal 12 ayat (1) UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK menyatakan bahwa “Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik profesi”. Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa kita ke arah persyaratan profesi dokter di atas, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas profesi kedokteran benar-benar dapat ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan
ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Ketentuan yang mendukung good clinical governance di sarana kesehatan harus dibuat dan ditegakkan. Dalam hal ini peran sarana kesehatan (manajemen rumah sakit) sangat diperlukan. Sarana kesehatan harus mampu mencegah praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana” dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti (evidence based medicine). [1] Sebagai akibat dari metode induksi berdasarkan kurva normal dengan bias pada kedua ekornya. Demikian pula daftar efek samping obat harus dibaca sebagai “known side effects” karena masih dimungkinkan adanya efek samping yang belum diketahui. _________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:51 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 5:56 am
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedoteran Forensik dan Medikolegal FKUI Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat 10430 PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT ( HOSPITAL BY LAWS ) Sebagaimana pengertiannya, by-laws adalah regulations, ordinances, rules or laws adopted by an association or corporation or the like for its government. 1 Dengan demikian hospital by-laws dalam arti luas adalah segala ketentuan, baik berupa statuta atau AD-ART, peraturan, standar dll yang dibuat oleh dan diberlakukan untuk sesuatu rumah sakit tertentu. Sedangkan hospital by-laws dalam arti sempit adalah ketentuan yang menjelaskan tentang tata-hubungan antara pemilik rumah sakit, manajemen rumah sakit dan komite medis. Hospital by-laws bukanlah suatu peraturan yang standar dan berlaku atau dapat
diterapkan begitu saja bagi setiap rumah sakit, namun juga bukan suatu peraturan yang berisi ketentuan yang sangat individual atau bahkan bertentangan dengan hospital by-laws pada umumnya. Hospital by-laws dibuat dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama di bidang hukum perdata dan hukum ketenagakerjaan. Oleh karena itu sangat dianjurkan kepada yang berkepentingan di rumah sakit yang akan membuatnya untuk berkonsultasi dengan ahli hukum, terutama yang mengenal hukum kedokteran. 2 Peran dan Fungsi Hospital by Laws Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa hospital by-laws adalah semua peraturan yang berlaku di rumah sakit yang mengatur segala sesuatu penyelenggaraan di rumah sakit tersebut. Dalam prototype hospital by-laws yang diajukan bersama oleh Ontario Hospital Association and Ontario Medical Association disebutkan secara implisit bahwa hospital by-laws terdiri dari bagian administratif (dalam arti penyelenggaraan, berkaitan dengan hospital administrator) dan bagian medical staff. Selain kedua bagian hospital by-laws tersebut, di rumah sakit juga dapat dibuat berbagai peraturan, keputusan dan kebijakan rumah sakit, termasuk standar prosedur pelayanan medis, yang merupakan aturan/ketentuan di bawah hospital by-laws. Demikian pula Keputusan Menteri Kesehatan R.I nomor 772/Menkes/SK/VI/2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws) menguraikan bahwa Hospital Bylaws terdiri dari Corporate Bylaws dan Medical staff bylaws. Di dalam pedoman tersebut juga diuraikan bahwa penyusunan medical staff bylaws dapat digabung menjadi satu dengan corporate bylaws yaitu menjadi salah satu pasal atau bab di dalam corporate bylaws, meskipun bisa juga di susun secara terpisah. Hospital (administrative atau corporate) by-laws mengatur tentang bagaimana kepentingan pemilik direpresentasikan di rumah sakit, bagaimana kebijakan rumah sakit dibuat, bagaimana hubungan antara pemilik dengan manajemen rumah sakit dan bagaimana pula dengan staf medis, dan bagaimana hubungan manajemen dengan staf medis. Hubungan-hubungan tersebut diuraikan dalam keadaan statis dan dinamis. Hospital (medical) by-laws memberikan suatu kewenangan kepada para profesional medis untuk melakukan self-governance bagi para anggotanya, dengan cara membentuk suatu "komite medis" yang mandiri; sekaligus memberikan tanggung-jawab (responsibility) kepada "komite" tersebut untuk mengemban seluruh kewajiban pemastian terselenggaranya pelayanan profesional yang berkualitas dan pelaporannya kepada administrator rumah sakit.
(6) Hospital by-laws juga mengatur tentang upaya yang harus dilakukan guna mencapai kinerja para profesional yang selalu berkualitas dalam merawat pasiennya; utamanya melalui rambu-rambu penerimaan, review berkala dan evaluasi kinerja setiap praktisi di rumah sakit. Dalam rangka itu pula hospital bylaws juga dapat memerintahkan "komite medis" untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan guna mencapai dan menjaga standar serta menuju kepada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan profesi.( 6, 7) Akhirnya hospital by-laws juga harus merangsang timbulnya, memelihara, mereview dan menyempurnakan peraturan dan standar guna tercapainya selfgovernance. (6) Self governance selanjutnya harus diikuti dengan self-regulation dan self-disciplining. Hal ini mengharuskan hospital by-laws untuk juga mengatur tentang pengawasan, sistem pelaporan dan pencatatan, sistem penilaian (peerreview, hearing, dll), dan tentu saja pemberian sanksi disiplin bagi mereka yang melanggarnya sampai pada tingkat tertentu. Ketentuan dalam hospital by-laws Di dalam bagian administratif dari suatu hospital by-laws diatur tentang Badan Pengawas (Board of Trustees atau Dewan Penyantun), kepengurusan korporasi, kepanitiaan (komite) yang diperlukan, rapat, keuangan, tugas-tugas administrator (manajemen) serta hubungan administrator dengan pengurus rumah sakit lainnya. 5 Dianjurkan di dalam prototype hospital by-laws tersebut bahwa administrator rumah sakit ditunjuk juga sebagai sekretaris Badan Pengawas, tetapi bukan sebagai anggota Badan Pengawas. Administrator adalah orang yang bertanggung-jawab atas berjalannya korporasi rumah sakit, termasuk mempekerjakan-mengendalikan dan mengarahkan semua pegawai rumah sakit. Di dalam bagian medical staff by-laws diatur hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan medis di rumah sakit, baik yang bersifat profesional maupun yang bersifat legal, utamanya tentang sumber daya manusia di bidang medis. Diperlukannya medical staff by-laws didasarkan kepada pemikiran bahwa kinerja para profesional, pelayanan medis, pendidikan dan penelitian di dalam rumah sakit adalah tugas yang maha penting dari rumah sakit dan staf medis perlu memberikan saran atau nasehatnya kepada administrator agar kepentingan pasien tetap merupakan tujuan utama disamping tujuan-tujuan korporasi lainnya. By-laws bagian ini juga bertujuan untuk menjaga kerjasama yang baik antara staf medis dengan administrator.
Pada umumnya, medical staff by-laws berisikan ketentuan tentang nama, tujuan, keanggotaan, kategori keanggotaan, profesional yang bukan dokter/dokter gigi, prosedur pengangkatan dan review, clinical privileges, tindakan korektif, proses hearing dan banding, kepengurusan staf medis, organisasi pelayanan medis, kepanitiaan yang harus dibentuk, rapat-rapat, kerahasiaan dan pengungkapan informasi, peraturan lain, dan ketentuan tentang penambahan by-laws atau peraturan. 5,6,7,8,9 Tidak ada seorang dokter yang dapat berpraktek atau merawat pasiennya di rumah sakit kecuali dia adalah anggota staf medis, atau dokter yang bukan anggota tetapi diberi hak khusus secara temporer atau dokter yang berada dalam pendidikan dan memperoleh hak tersebut secara khusus dengan supervisi dari anggota staf medis. Untuk dapat menjadi anggota staf medis, seseorang harus dapat menunjukkan ijasah dokternya (sertifikat kompetensi), ijin dokter (surat penugasan atau surat tanda registrasi dan surat ijin praktek tenaga medis sebagai bentuk pengakuan publik atas kewenangannya), pengalaman, latar belakang, pelatihan yang pernah diikuti, kemampuan terakhir atau brevet spesialisasi terakhir yang telah disahkan oleh Kolegium terkait, pertimbangan dalam membuat keputusan medis, serta status kesehatannya. Semuanya bertujuan untuk memastikan bahwa dokter tersebut akan memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar tingkat kualifikasinya, bersikap dan bertindak etis, dan mampu bekerjasama dengan sejawatnya. Ia juga diharapkan selalu menjaga standar perilaku dan patuh kepada standar pelayanan medis yang terkait dengan kualifikasinya, sumpah dokter, etik kedokteran dan ketentuan lain. Rumah sakit sebaiknya mengharuskan para dokter tersebut telah memiliki polis asuransi profesi dengan jumlah pertanggungan yang disepakati kedua pihak. Ketentuan tersebut harus tetap dijaga sepanjang keanggotaannya sebagai staf medis. Seseorang dokter/dokter gigi tidak akan ditunjuk menjadi staf medis selamanya, melainkan akan selalu di-review per-tahun atau setidaknya setiap dua tahun. Review ini bermanfaat untuk tetap menjaga kualitas layanan dan perilakunya. Keanggotaan staf medis dikategorikan ke dalam beberapa kelompok, sesuai dengan status dan perannya. Kategori anggota yang digunakan di berbagai hospital by-laws di negara lain mungkin tidak tepat benar untuk diterapkan di negara kita, namun setidaknya dapat digunakan sebagai acuan cara berpikir kita.
Anggota aktif adalah anggota staf medis, baik dokter atau spesialis ataupun dokter gigi, purna-waktu ataupun paruh-waktu, yang melaksanakan pelayanan medis di rumah sakit dengan menempati jadwal kerja dan tempat praktek yang telah tertentu dan berhak merawat inap pasien di bidang kualifikasinya. Di rumah sakit pendidikan, staf tersebut termasuk staf dosen Fakultas Kedokteran yang ditunjuk untuk menjadi staf medis rumah sakit. Anggota yang tidak memenuhi kriteria anggota aktif dapat dimasukkan ke dalam kategori keanggotaan lain, seperti “anggota sementara”, “anggota konsultan”, “anggota kehormatan”, dll. Anggota jenis ini tidak memiliki hak suara dalam pembuatan keputusan, tetapi dapat berkontribusi di dalam kepanitiaan yang dibentuk. Anggota sementara diperuntukkan bagi anggota baru yang diharapkan kelak menjadi anggota aktif, namun membutuhkan evaluasi terlebih dahulu; atau bagi residen pendidikan spesialis di rumah sakit pendidikan. Dengan mengingat bahwa dokter di Indonesia tidak hanya bekerja di satu rumah sakit, maka harus dipikirkan kemungkinan bahwa seorang dokter menjadi anggota staf medis dari beberapa rumah sakit. Barangkali perlu diatur agar seseorang tidak menjadi “pengurus staf medis” di lebih dari satu rumah sakit, agar mutu pengabdiannya tidak terganggu. Medical staff by-laws harus mengatur tanggung-jawab profesional anggota staf medis, seperti keharusan mematuhi standar profesi, mematuhi by-laws dan peraturan lain, dapat bekerjasama, mematuhi aturan pengisian rekam medis, mematuhi sumpah dokter dan etik kedokteran, kewajiban mengikuti pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan lain-lain. Prosedur aplikasi menjadi anggota, review oleh tim credential, pengambilan keputusan, serta waktu pemrosesan harus diuraikan secara rinci di dalam medical staff by-laws. Demikian pula proses persidangan bila diduga terdapat pelanggaran etik, kelalaian medis atau pelanggaran profesional lain; kewajiban mengajukan bukti-bukti dan hak membela diri, hak naik banding, tindakan korektif yang bisa diberikan – dari peringatan hingga pencabutan hak sebagai anggota staf medis, dll. By-laws juga mengatur tentang kewenangan medis dari tiap anggotanya sesuai dengan kualifikasinya, pengaturan apabila terdapat tindakan atau kasus yang menjadi lahan lebih dari satu spesialisasi, sistem rujukan dan konsultasi internal, sistem jaga dan perpindahan kewenangan dan tanggung-jawab, dll.
Sebagaimana layaknya yang berlaku saat ini, rumah sakit juga diharuskan memiliki beberapa kepanitiaan yang mengurusi aspek khusus dan tertentu dari pelayanan medis di rumah sakit, misalnya Panitia By-laws, Panitia kredensial, Panitia Pelayanan Kritis (Critical Care), Panitia Bank Darah dan pemanfaatan darah, Panitia Kanker, Panitia Pelayanan Klinik, Panitia Penyakit Ginjal terminal, Panitia Pendidikan Kedokteran, Panitia pengendalian infeksi (nosokomial), Panitia etik kedokteran, Panitia Perpustakaan medis, Panitia Rekam Medis, Panitia Quality Assurance, Panitia Kamar Operasi, Panitia Farmasi dan Perobatan, Panitia Koordinasi peningkatan kualitas, Panitia Praktek profesioal, Panitia Rehabilitasi, Panitia Trasplantasi, Panitia Trauma, Panitia Utilization Review, dll. Selain hospital by-laws dalam bentuk bagian administratif dan bagian staf medis di atas, rumah sakit juga harus mengeluarkan peraturan, kebijakan dan berbagai standar yang harus dipatuhi oleh staf medis dan pegawai rumah sakit lainnya. Sebagai contoh peraturan tersebut adalah Peraturan Perawatan Inap Pasien, Peraturan tentang Rekam Medis, Peraturan tentang Sikap Umum dalam Melakukan Pelayanan Medis, Safety and Disaster Plan, Peraturan Umum tentang Pembedahan, Peraturan Umum tentang Dialisis, Kerahasiaan Medis, Hak pasien dan privacy-nya, dan peraturan lain yang diperlukan. Apabila dikaji uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hospital (medical) by-laws memiliki peran yang besar dalam menertibkan penyelenggaraan layanan medis di sebuah rumah sakit, yang berarti pula merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kasus medikolegal. Bahkan bukan hanya sengketa medis antara pemberi layanan dengan penerima layanan medis saja yang dicegah, melainkan juga sengketa hukum antara manajemen rumah sakit dengan dokter pemberi layanan medis atau antar para pemberi layanan medis di rumah sakit tersebut.
_________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:51 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 6:02 am
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedoteran Forensik dan Medikolegal FKUI Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat 10430 link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm MANAJEMEN RISIKO PADA RUANG BEDAH SENTRAL Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada dari sudut pandang mana seseorang melihatnya. Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko bersama.[1] The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit (HCO) untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri.[2] Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing). Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi. [3] [1] Dental Protection: Essentials of risk management. Manual, tanpa tahun. [2] Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby), 1998. [3] Sedwick J and Porto GG. The Health Care Risk Management Professional. In Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organization. 3rd ed. San
Francisco (Jossey Bass), 2001 Risiko adalah sesuatu yang lazim di kedokteran, bahkan sebagian risiko tersebut memang harus diterima sebagai risiko yang inheren di dalam misi. Dari segi medis risiko-risiko tersebut adalah (a) risiko yang tingkat probabilitas dan keparahannya minimal sehingga telah dapat diterima, risiko tersebut foreseeable tetapi unavoidable, (b) risiko yang cukup bermakna tetapi harus dihadapi karena merupakan risiko dari tindakan yang merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasien, dan (c) risiko yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya (unforeseeable) yang dapat menuju ke untoward results.[1] Sedangkan dilihat dari sisi keuangan, risiko-risiko tersebut adalah (1) risiko yang tidak dapat direduksi, dipindahkan atau dihindari, (2) risiko yang probabilitasnya kecil dengan potensi kerugian yang juga kecil, (3) risiko kerugian yang telah dapat dihitung dan diprediksi, dan (4) risiko yang sedemikian kecil sehingga dapat ditanggulangi sendiri. [2] Ruang Bedah Sentral adalah suatu interaksi kompleks dari perangkat keras (hard ware), perangkat lunak (software), sumber daya manusia (brainware) dan lingkungan (environment). Pasien pun tidak bisa dikatakan hanya sebagai obyek pembedahan oleh karena dia juga berperan dan berkontribusi dalam menentukan keberhasilan tindakan pembedahan. Kesalahan dapat muncul dari setiap faktor, namun pada umumnya faktor manusia merupakan pembuat kesalahan yang terbanyak, meskipun latar belakang sebenarnya adalah manajemen yang tidak adekuat. Ruang operasi harus dibangun sesuai dengan persyaratan administratif dan teknis. Setiap komponen dari bangunan tersebut dapat saja memiliki risiko yang potensial, seperti bentuk atap atau plafon, bahan dinding dan lantai, sistem aliran dan pendinginan udara, sistem pembuangan, dan tata letak peralatan di dalamnya. Demikian pula sistem gas sentral, sterilisator, serta perlistrikan dan gen-set yang merupakan pendukung Ruang Bedah Sentral dapat berpoteni menimbulkan risiko. Berbagai prosedur dan standar yang merupakan pedoman bagi para profesional yang terlibat di dalamnya harus cukup lengkap dan selalu disesuaikan dengan situasi-kondisi terkini, sehingga tidak ada aktivitas yang tidak memiliki prosedur dan atau standarnya serta tidak ada prosedur yang sudah ketinggalan jaman. Perangkat lunak ini juga berkaitan dengan tersedianya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan komunikasi yang layak (reasonable competence and communication) yang siap melakukan pengelolaan pasien dengan adekuat
(reasonable care). Kegagalan dalam memenuhi hal-hal di atas dapat merupakan risiko terjadinya suatu kecelakaan ataupun kerugian. Memang harus diakui bahwa risiko tersebut tidak selalu terjadi dan tidak selalu berbahaya, tergantung kepada tingkat probabilitas dan keparahannya. James Reason dalam teorinya tentang kecelakaan menyatakan bahwa kecelakaan terjadi oleh karena adanya beberapa latent failure yang berurutan di tingkat manajemen yang kemudian dicetuskan oleh adanya unsafe act oleh faktor manusia. Satu latent failure saja atau unsafe act saja berdiri sendiri belum tentu dapat menghasilkan suatu kecelakaan. (lihat bagan 1). [3] Risiko juga bisa muncul sebagai akibat dari isu umum dalam profesi kedokteran yang terjadi di luar ataupun di dalam kamar operasi, seperti duty of care, duty to refer, duty to maintain standards, informed consent, duty to record properly, dan confidentiality. Self-assessment Penilaian diri dapat dilakukan terhadap layanan utama dalam Ruang Bedah Sentral, yaitu dari segi kesiapan ruang bedah sentral, layanan anestesia, layanan bedah dan layanan obstetri-ginekologi. Kesiapan ruang operasi dapat dinilai dari berbagai unsur sebagaimana telah diuraikan di atas, sesuai dengan kebutuhan operasi yang akan dilakukan. Pengelola ruang bedah sentral harus memastikan bahwa bangunan, peralatan bedah dan anestesi, serta peralatan pendukungnya berada dalam keadaan siap pakai dan berfungsi dengan baik. Selain itu harus dipastikan bahwa upaya pencegahan infeksi nosokomial telah dilakukan dengan layak. Berita acara tentang sterilisasi peralatan bedah, penyiapan gas sentral, pemeliharaan alat, dan upaya pencegahan infeksi nosokomial harus berada dalam posisi yang dapat diakses oleh para personil kamar bedah. Dari segi layanan anestesi dapat kita ajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah dokter spesialis anestesi selalu hadir dalam setiap operasi, apakah perawat anestesi berperan sebagai asisten saja ataukah justru berperan sebagai pelaksana utama, apakah perawat anestesi terlatih dengan penanganan kegawatdaruratan medis, apakah seluruh staf anestesia terlatih untuk menggunakan peralatan yang digunakan, apakah terdapat pelatihan untuk itu, apakah mereka terlatih untuk menghadapi keadaan atau situasi yang tidak lazim (unusual situation), apakah terdapat koordinasi antara dokter operator dengan dokter anestesi perihal metode anestesi yang akan digunakan, apakah anestesia
didukung oleh peralatan yang diperlukan seperti pulse oximetry dan tidal CO2 atau capnogram , apakah peralatan monitoring memadai, apakah di dalam rekam medis terdapat check-list peralatan, apakah pengelola anestesi memperoleh salinan atau tembusan tentang pemeliharaan peralatan anestesi dan penyiapan gas anestesi, apakah tersedia dan dipatuhi standar dan prosedur di bidang anestesia, apakah dilakukan pre-operative visit dan perencanaan anestesia, apakah dilakukan penjelasan tentang anestesia kepada pasien atau keluarganya, dan masih banyak lagi pertanyaan lain. Dari segi pelayanan bedah dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan: apakah kewenangan melakukan tindakan operatif spesifik sudah diatur berdasarkan kompetensi masing-masing staf dan terdokumentasi, apakah operator memenuhi aturan tersebut, apakah perawat bedah telah memperoleh pelatihan khusus sesuai dengan tugasnya, apakah prosedur menghitung pra dan post operasi diberlakukan bagi peralatan bedah, jarum dan sponges, apakah perawat bedah memiliki kewenangan untuk menghentikan operator apabila terdapat ketidak-cocokan perhitungan, apakah pemeriksaan pra-operasi tercatat dalam rekam medis, apakah terdapat mekanisme untuk mencegah operasi apabila tidak terdapat catatan pra-operasi dalam rekam medis, apakah terdapat prosedur untuk memastikan identitas pasien, apakah terdapat prosedur keselamatan pada penggunaan sinar laser, dan lain-lain. Dari segi layanan obstetri-ginekologi (tidak hanya di kamar operasi): apakah dokter spesialis obsgin selalu hadir pada setiap kelahiran atau adakah kriteria kehadirannya, apakah tim kelahiran datang serentak dalam setiap kelahiran untuk merawat ibu dan anaknya, berapa lamakah waktu yang dibutuhkan untuk menghadirkan tim kelahiran tersebut, apakah prosedur bedah diberlakukan pula bagi pembedahan dibidang obsgin, apakah dokter spesialis anak wajib hadir pada kelahiran tertentu, apakah terdapat prosedur pemantauan keadaan janin, apakah pemantauan janin tersebut terdokumentasi, apakah peralatan pemantauan keadaan ibu dan janin memadai, bila dilakukan induksi partus apakah diawasi oleh orang yang kompeten untuk itu serta adakah persiapan untuk keadaan darurat yang mungkin terjadi, apabila terjadi penggantian dokter apakah dilakukan diskusi pelimpahan kasus, dan lain-lain. [1] World Medical Association (1992): an injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of any lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is an untoward result, for which the physician should not bear any liability [2] Bryant JM and Hagg-Rickert S. Development of a Risk Management Program.
In Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organization. 3rd ed. San Francisco (Jossey Bass), 2001 [3] ICAO circular 247-AN/148 Manajemen risiko adalah upaya yang cenderung proaktif, meskipun sebagian besarnya merupakan hasil "belajar" dari pengalaman dan menerapkannya kembali untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus, yang terdiri dari empat tahap, yaitu: 1 2 [1] 1. Risk Awareness. Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masingmasing dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis, sehingga upaya ini melibatkan manajemen, dokter, perawat bedah, perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan ruang bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko. 2. Risk control (and or Risk Prevention). Manajemen merencanakan langkahlangkah praktis dalam menghindari dan atau meminimalkan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Langkah-langkah tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment) tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila tidak mungkin maka dicari upaya menguranginya (control solution) baik terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk mengurangi dampaknya. Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan pembaruan prosedur, standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker dan lain lain. 3. Risk containment. Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan
tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif. 4. Risk transfer. Akhirnya apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi. Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve them). 3 Kesimpulan Manajemen risiko adalah suatu rangkaian tindakan yang dilakukan oleh seluruh personil yang terlibat, meliputi seluruh faktor yang berinteraksi dalam ruang bedah sentral, serta ditujukan untuk menghindari risiko, baik bagi pasien ataupun bagi tenaga medis dan rumah sakit. Manajemen risiko bukanlah sesuatu yang berjalan begitu saja, melainkan suatu upaya yang sistematik dan terstruktur serta terus menerus. Kepustakaan 1. Dental Protection: Essentials of risk management. Manual of the Dental Protection, a division of the Medical Protection Society, London, tanpa tahun. 2. Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby), 1998. 3. Sedwick J and Porto GG. The Health Care Risk Management Professional. In Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organization. 3rd ed. San Francisco (Jossey Bass), 2001 4. World Medical Association (1992): Statement on Medical Malpractice. 5. Bryant JM and Hagg-Rickert S. Development of a Risk Management Program. In Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organization. 3rd ed. San Francisco (Jossey Bass), 2001 6. ICAO circular. Human Factor Digest No 10: Human Factors Management and Organization. Montreal (ICAO), 1993. 7. Wood RH. Aviation Safety Program - a management handbook. Washington (Jeppesen), 1997. Departemen IKF FKUI 2007
_________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:52 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 6:08 am
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedoteran Forensik dan Medikolegal FKUI Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat 10430 MALPRAKTIK Istilah malpraktik memang bukan istilah hukum yang tertera di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun berbagai tindakan yang termasuk ke dalam kelompok tindak malpraktik telah diatur dalam hukum pidana. Kata malpraktik lebih diartikan sebagai suatu "genus" tindak pidana yang "spesies" nya teruraikan di dalam berbagai pasal ketentuan pidana. Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal 347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42 dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP), penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain. Gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu : 1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian 2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.
3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis. Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu : 1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. 2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. 3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. 4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan "proximate cause". Selanjutnya, oleh karena teori kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors. PENANGANAN MALPRAKTIK Pada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan kepada konsep malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas. Dalam makalah ini tidak akan diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus, namun lebih ke arah hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengalaman penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari sisi profesi maupun dari sisi hukum. Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan). Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang
jumlah uang ganti rugi yang "layak" dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata). Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu. Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan. Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal, juga harus diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi - tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya "kasus" tersebut. Penyelesaian secara profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report
system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, dll). Bila putusan MKEK menyatakan pihak medis telah melaksanakan profesi sesuai dengan standar dan tidak melakukan pelanggaran etik, maka putusan tersebut dapat digunakan oleh pihak medis sebagai bahan pembelaan. LANGKAH LANGKAH PENANGANAN KASUS Berbicara mengenai langkah-langkah tindakan kita dalam menghadapi kemungkinan adanya tuntutan hukum, seharusnya dimulai dari langkah pencegahan. Dalam upaya ini dimasukkan perspektif safety di setiap langkah prosedur atau tindakan medis dengan juga melibatkan proses manajemen risiko. Dengan perspektif safety berarti meyakini bahwa faktor-faktor yang berkontribusi dalam keberlangsungan layanan medis, baik perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), maupun sumber daya manusia (liveware atau brainware) sudah berorientasi kepada keselamatan. Dalam hal telah terjadi peristiwa yang potensial menjadi kasus tuntutan hukum, maka profesional wajib menganalisis peristiwa tersebut untuk menemukan apakah "kesalahan" yang telah terjadi dan kemudian melakukan koreksi, guna mencegah terulangnya peristiwa serupa di kemudian hari. Untuk dapat melakukan hal itu, ia harus membuat catatan tentang kronologi peristiwa dan menjelaskan alasan masing-masing tindakannya, dan menandatanganinya (semacam pernyataan affidavit). Hal ini bisa dicapai apabila ia memiliki dokumen (rekam medis) yang cukup lengkap, termasuk informed consent dan catatan yang terkait. Apabila lebih dari satu orang yang terlibat dalam kasus tersebut, maka mereka harus membahasnya bersama untuk dapat saling melengkapi "jalannya ceritera" - tanpa melakukan manipulasi fakta. Apabila tingkat potensial menjadi kasus medikolegalnya cukup tinggi, maka kasus tersebut dilaporkan ke atasan (ketua KSMF atau Komite Medik) untuk dibahas bersama. Institusi kesehatan yang relatif kecil dan memiliki staf medis yang terbatas mungkin sukar membahas kasus yang "spesialistik" dengan baik, maka harus berupaya untuk mengundang pakar dari organisasi profesi atau perhimpunan spesialis terkait. Dalam audit klinis tersebut dilakukan pembahasan tentang keadaan pasien, situasi-kondisi yang merupakan "tekanan", diagnosis kerja dan diagnosis banding, indikasi medis dan kontra-indikasi, alternatif tindakan, informed consent, komunikasi, prosedur tindakan dibandingkan dengan standar, penyebab peristiwa yang menuju ke peristiwa medikolegal, penanganan peristiwa tersebut saat itu, diagnosis akhir, dan kesimpulan apakah prosedur medis dan alasannya telah dilakukan sesuai dengan standar profesi atau SOP yang cocok dengan situasi-kondisi kasus.
Keseluruhan yang dilakukan di atas adalah juga merupakan langkah-langkah persiapan menghadapi komplain pasien, atau bahkan menghadapi somasi dan gugatan di kemudian hari. Di samping itu profesional terkait kasus tersebut harus melihat kembali dokumen kompetensi (keahlian) dan kewenangan medis (perijinan), serta kompetensi / kewenangan medis khusus (dokumen pelatihan/workshop, pengakuan kompetensi, pengalaman, dll) yang berkaitan dengan kasus. Pertimbangan apakah kasus akan diselesaikan di pengadilan ataukah dengan cara perdamaian perlu dibahas pada waktu tersebut. Kasus yang secara nyata merupakan kesalahan pihak medis dan dinilai "undefensable" sebaiknya diselesaikan dengan cara non litigasi. Sebaliknya, kasus yang secara nyata tidak memiliki titik lemah di pihak medis dapat dipertimbangkan untuk diselesaikan melalui sidang pengadilan. Kadang-kadang terdapat kasus "abu-abu" atau "kasus ringan" yang penyelesaian cara non litigasi mungkin akan lebih "menguntungkan" dari segi finansial daripada memilih cara penyelesaian litigasi. Kepada pasien dan/atau keluarganya harus diberikan penjelasan yang memuaskan tentang terjadinya peristiwa tersebut, penyebabnya atau kemungkinan penyebabnya, tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah atau mengatasinya, tindakan yang masih diperlukan, dan peluang kesembuhannya di masa mendatang. Apabila pasien meninggal dunia, maka penjelasan tentang sebab kematian yang cukup rinci diperlukan. Keberhasilan penjelasan ini sangat bergantung kepada kualitas penjelasan yang telah diberikan sewaktu memperoleh informed consent. Keluhan atau komplain pasien dan/atau keluarganya harus direspons dengan segera dan adekuat. Alangkah lebih baik apabila penjelasan dilakukan oleh tim dokter terkait didampingi oleh salah seorang direktur dan wakil dari Komite Medis. Apabila di kemudian hari datang somasi, maka tim dokter segera berkonsultasi dengan atasan dan penasehat hukum terkait. Tenaga medis dan staf lain yang terlibat pada kasus tersebut haruslah berada dalam satu pihak yang solid dengan rumah sakit agar tidak mudah digoyang oleh pihak penuntut. Suatu pertemuan dan penjelasan yang adekuat seringkali dapat meredakan permasalahan. Tidak sedikit yang berlanjut ke pembicaraan tentang "kompensasi" finansial di luar pengadilan. Cara tersebut dirasakan cukup efektif untuk mencegah kasus ke pengadilan yang membawa berbagai dampak. Proses di pengadilan dianggap dapat merusak citra pofesional, mengganggu bisnis, berbiaya tinggi dan makan waktu lama. Namun, sebagian kecil kasus mungkin masih akan maju ke pengadilan.
Tidak jarang, sebagaimana akhir-akhir ini sering terjadi, pasien dan kuasanya mengungkapkan kasusnya kepada publik melalui media massa - dilihat dari sisi mereka dengan persepsi mereka sendiri. Tulisan, tayangan atau pernyataan yang sangat menyudutkan rumah sakit atau menyesatkan persepsi masyarakat sebaiknya segera direspons oleh rumah sakit dengan memberikan informasi yang adekuat tanpa harus membuka rahasia kedokteran. Dalam kasus pidana dugaan kelalaian yang mengakibatkan cedera atau kematian, penanganan awalnya boleh dianggap sama dengan di atas. Selanjutnya proses pemeriksaan oleh penyidik diikuti dengan patuh, dengan memberikan pembelajaran kepada penyidik di bidang medis dan medikolegal. Di wilayah hukum Polda Metro Jaya disepakati untuk mengajukan satu atau dua orang saksi ahli di bidang yang dibutuhkan, satu berasal dari organisasi profesi (MKEK) dan satu dari kalangan akademisi (dosen Fakultas Kedokteran). Guna menghadapi hal itu, organisasi profesi (PDSp) membentuk semacam "dewan pakar" atau "dewan kehormatan pembina", yang akan menilai kasus dari sisi profesi dan kemudian akan menjadi saksi ahli - menyampaikan hasil pembahasan peer-group tersebut kepada penyidik. Kesimpulan Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dan rentan akan terjadinya kecelakaan, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati oleh orang-orang yang kompeten dan memiliki kewenangan khusus untuk itu. Upaya meminimalkan tuntutan hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti seluruh upaya mengelola risiko dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien. Kepustakaan AHRQ's Patient Safety Initiatives. http://www.ahrg.gov Carroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San Fransisco: Jossey-Bass, 2001 Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer health system. Washington: National Academy Press, 2000 Lens P and vander Wal G. Problem Doctors, a conspiracy of silence. Amsterdam:Jos Press, 1997
Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern: International Business Communications Pty Ltd, 1989. McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002. Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An Aspen Publ, 2002 Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ, 1995 Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001. Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Vincent C, Ennis M and Audley RJ. Medical Accident. Oxford: Oxford University Press, 1993. WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical Assembly, Marbella, Spain, September 1992 _________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:53 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 10:08 am
Kerjasama Rumah Sakit dengan Organisasi Profesi untuk mengatasi Malpraktek link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jl Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat Telp: 021 3106976 Pendahuluan Layanan kedokteran di dalam rumah sakit adalah suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled) [1], khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah, obstetrik dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat
berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran di rumah sakit haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut: 1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dll. 2. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berrisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat. 3. Risiko yang tidak dapat diprediksikan / dibayangkan sebelumnya, sebagai hasil dari “ketidakpastian ilmu kedokteran”, yaitu unforeseeable risk. Terjadinya kedua risiko pada butir 1 dan 2 di atas bukan menjadi tanggungjawab hukum dokter apabila telah diinformasikan kepada pasien dan/atau keluarganya dan kemudian memperoleh persetujuannya (doktrin informed consent, volenti non fit injuria). Risiko pada butir 3 juga bukan menjadi tanggungjawab dokter oleh karena ilmu kedokteran memang tidak dapat melakukan tindakan “pencegahan” terjadinya risiko yang tidak dapat diduga sebelumnya. Namun demikian, Informed consent tidak melindungi dokter dari terjadinya hasil buruk akibat suatu kelalaian ataupun suatu perbuatan melanggar hukum lainnya. [1] Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer health system. Washington DC: National Academy Press, 2000, p58-60 Memahami Malpraktek dan Kelalaian Medik Karena ketidaktahuan masyarakat pada umumnya tumbuh miskonsepsi yang menganggap bahwa setiap kegagalan praktek medis (misalnya, hasil buruk atau tidak diharapkan selama dirawat di rumah sakit) sebagai akibat malpraktek medis atau akibat kelalaian medis. Padahal perlu diingat bahwa suatu hasil yang tidak
diharapkan di bidang kedokteran sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu : a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter. b. Hasil dari suatu risiko yang acceptable sebagaimana diuraikan di atas. c. Hasil dari suatu kelalaian (culpa). d. Hasil dari suatu kesengajaan (dolus). Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”. Malpraktek bukan hanya terjadi pada profesional medis, melainkan juga terjadi pada semua profesional, termasuk profesional di bidang hukum, perbankan, konstruksi, akuntansi dan bidang lainnya. Kita pernah mendengar kisah malpraktek profesi non medis seperti “mafia peradilan”, praktek kekerasan di kepolisian, runtuhnya jembatan yang sedang/baru dibangun, laporan akuntan publik yang “palsu”, musibah BLBI di dunia perbankan, dan lain-lain.[1] Dilihat dari segi hukum, malpraktek sebagaimana didefinisikan sebagaimana di atas bukanlah suatu rumusan hukum yang diatur dalam undang-undang, melainkan suatu kumpulan dari berbagai perilaku menyimpang yang dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Professional misconduct yang sebagian diantaranya merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata. Sebagai contoh di bidang medik adalah melakukan kesengajaan yang merugikan klien/pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll.
Kelalaian adalah salah satu bentuk dari malpraktek, sekaligus merupakan bentuk malpraktek yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.” WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek atau kelalaian medik. “An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability”. Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang dari iptekdok pada saat dan dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada dokter. Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu : 1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. 2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. 3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. 1. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.
Implikasi dari tindak malpraktek adalah bahwa tindakan tersebut melanggar salah satu atau beberapa norma yang dianutnya, yaitu norma-norma etik, disiplin profesi, hukum pidana atau hukum perdata. Masing-masing pelanggaran norma tersebut haruslah diperiksa, dibuktikan dan kemudian dihukum / dikoreksi sesuai dengan domainnya. [1] Legal malpractice consists of failure of an attorney to use such skill, prudence, and diligence as lawyers of ordinary skill and capacity commonly possess and exercise in performance of tasks which they undertake, and when such failure proximately causes damage it gives rise to an action in tort (BlackÂ’s Law Dictionary) Penyebab dan pencegahannya Kecelakaan (hasil buruk) tidak terjadi sebagai akibat dari satu sebab (single cause), melainkan merupakan hasil dari banyak sebab (multiple cause). Suatu kesalahan manusia (human error) yang terlihat pada waktu terjadi kecelakaan sebenarnya hanyalah merupakan active error, yang mungkin kita sebut sebagai faktor penyebab ataupun pencetus / presipitasi. Sementara itu terdapat faktorfaktor penyebab lain yang merupakan latent errors atau yang biasa kita sebut sebagai predisposisi, underlying factors, faktor kontribusi, dll. Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk. Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis active errors. Latent errors tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error), maka terjadilah accident. Dengan demikian perlu kita pahami bahwa penyebab suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors. Dengan demikian alangkah lebih baik apabila kita mencari faktor penyebab yang tergolong ke dalam predisposisi, yang lebih bersifat sistemik, organisatoris dan manajerial, sehingga kita dapat melakukan langkah-langkah pencegahannya, juga secara sistemik. Dalam diskusi internal Ikatan Dokter Indonesia pada pertengahan tahun lalu dimunculkan beberapa akar penyebab tersebut, yaitu:
1. Pemahaman dan penerapan etika kedokteran yang rendah. Hal ini diduga merupakan akibat dari sistem pendidikan di Fakultas Kedokteran yang tidak memberikan materi etika kedokteran sebagai materi yang juga mencakup afektif – tidak hanya kognitif. 2. Paham materialisme yang semakin menguat di masyarakat pada umumnya dan di dalam pelayanan kedokteran khususnya. 3. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin akuntabilitas profesi kedokteran (saat ini kita sedang menunggu diundangkannya UU Praktik Kedokteran yang diharapkan dapat mengatur praktek kedokteran yang akuntabel). 4. Belum adanya good clinical governance di dalam pelayanan kedokteran di Indonesia, yang terlihat dari belum ada atau kurangnya standar (kompetensi, perilaku dan pelayanan) dan pedoman (penatalaksanaan kasus), serta tidak tegasnya penegakan standar dan pedoman tersebut. Diduga masih banyak penyebab-penyebab lain atau derivat dari penyebabpenyebab di atas, seperti tidak adanya standar pendidikan kedokteran, peraturan yang membolehkan para dokter bekerja di banyak tempat praktek (sarana kesehatan) dengan risiko menipisnya mutu hubungan dokter-pasien, mahalnya pendidikan kedokteran – terutama PPDS, sistem pembiayaan yang membebankan sebagian besar keputusan kepada dokter, komersialisasi rumah sakit, dan lain-lain. Dengan melihat faktor-faktor penyebab di atas maka pencegahan terjadinya malpraktek harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari pendidikan hingga ke tata-laksana praktek kedokteran. Pendidikan etik kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etikklinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan. Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy, beneficence, non maleficence dan justice, serta sikap
altruisme. Diyakini bahwa hal ini adalah bagian tersulit dari upaya sistemik pencegahan malpraktek, oleh karena diperlukan kemauan politis yang besar dan serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk mau bergerak ke arah tersebut. Perubahan besar harus dilakukan. Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional yang “kotor” dibersihkan dan mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat profesi. Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan. Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana” dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti (EBM). Patient safety dan risk management Pendapat yang mengatakan bahwa kecelakaan dapat dicegah dengan desain organisasi dan manajemen yang baik akhir-akhir ini sangat dipercaya kebenarannya. Konsep safety (dalam hal ini patient safety), yang pada mulanya diberlakukan di dalam dunia penerbangan, akhir-akhir ini diterapkan oleh Institute of Medicine di Amerika (dan institusi serupa di negara-negara lain). Keselamatan pasien diartikan sebagai penghindaran, pencegahan dan perbaikan terjadinya adverse events atau freedom from accidental injury. Keselamatan tidak terdapat pada diri individu, peralatan ataupun bagian (departemen, unit), melainkan muncul dari interaksi komponen-komponen dalam sistem. Berasal dari pemahaman ini muncullah konsep human factors yang mempelajari hubungan antar manusia, peralatan yang mereka gunakan dan lingkungan dimana mereka hidup dan bekerja.
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors, yaitu: [1] 1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum “pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen (dan atau komite medis), sehingga pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di kemudian hari. 2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini manajemen dan komite medik serta tokoh-tokoh terkemuka di rumah sakit. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama ke unit-unit klinik. 3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya meningkatkan keselamatan pasien. 4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk, mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan mengembangkan langkah koreksinya. 5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman. 6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak menimbulkan kesalahan baru. Elemen-elemen di atas diterapkan bersama-sama dengan menerapkan clinical governance yang memastikan akuntabilitas layanan dan manajemen risiko yang bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko. Clinical governance diartikan sebagai ”a framework through which NHS organizations are accountable for continously improving the quality of their services and safeguarding high standards of care by creating an environment in which excellence in clinical care will flourish”. Upaya ini memerlukan 3 komponen penting, yaitu pencegahan kegagalan atau kesalahan layanan, belajar dari
pengalaman yang baik dan perubahan organisasi kesehatan ke arah suasana yang kondusif. Sementara itu, dalam bidang kesehatan dan keselamatan, manajemen risiko lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sedangkan di dalam suatu komunitas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko bersama.[2] The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit (HO) untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri.[3] Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing). [1] AHRQÂ’s patient safety initiative: Building Foundation, Reducing Risk (2004), chapter 2 [2] Dental Protection: Essentials of risk management. Manual, tanpa tahun. [3] Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby), 1998. Upaya bersama Profesi dan Rumah Sakit Dengan melihat berbagai upaya pencegahan terjadinya kecelakaan medis ataupun kelalaian medis di atas, tampak bahwa upaya pencegahan tersebut harus dilakukan pada tingkat profesional maupun pada tingkat rumah sakit. Kedua pihak harus saling memberikan peluang kepada pihak lainnya untuk dapat melaksanakan upaya-upaya pencegahan di atas, maupun upaya penanganan kasus-kasus dugaan malpraktek. Upaya besar pencegahan dimulai dengan sosialisasi nilai-nilai patient safety kepada seluruh komponen profesional dan rumah sakit, disusul dengan penyiapan seluruh faktor yang diperlukan, seperti berbagai perangkat lunak yang menunjang berlakunya Undang-Undang No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran beserta
peraturan di bawahnya (standar kompetensi, standar perilaku, standar pelayanan, S.O.P, informed consent dan refusal, pedoman incident report system, pedoman medical / clinical audit, dll), menyiapkan program-program pelatihan bagi mereka yang akan melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut, menghimbau dilakukannya perubahan organisasi rumah sakit agar memungkinkan program-program patient safety terlaksana, dan menerapkan sistem pengawasan yang akseptabel. Di sisi lain, organisasi profesi dan rumah sakit bekerjasama dalam menangani kasus dugaan malpraktek di rumah sakit. Setiap kasus harus ditangani sedemikian rupa sehingga aspek pembinaan dan aspek hukumnya berjalan bersamaan. Setiap kasus diperiksa, dipelajari dan dianalisis bersama dalam suasana nonblaming dan dicarikan tindakan korektifnya sehingga di masa mendatang tidak terjadi lagi. Komite medis diharapkan berperan dalam menganalisis kasus dari teknis-medis, yang dianjurkan melibatkan organisasi profesi yang sesuai. Dalam menghadapi proses hukum, rumah sakit sebaiknya berada dalam satu pihak dengan profesional pelakunya. Persi dan organisasi profesi dapat membentuk suatu badan advokasi bersama yang beraktivitas di bidang hukum dan kehumasan secara bersama-sama. Di bidang pendanaan dapat dilakukan dua hal, yaitu menyiapkan dana ”no fault compensation” dan melibatkan perusahaan asuransi profesi. Dana ”no fault compensation” diperlukan dalam menyelesaikan kasus-kasus ”ringan” melalui pendekatan ”interest based” ataupun kasus yang menghadapi proses hukum pidana sebagai bagian dari kontribusi rumah sakit, sedangkan asuransi profesi diperlukan dalam menghadapi proses hukum perdata. Kesimpulan Rumah sakit dan profesional adalah pihak-pihak yang saling dependen sehingga penyelesaian berbagai masalah di dalam rumah sakit harus pula dilakukan secara bersama. “The world is a dangerous place to live; not because of the people who are evil, but because of the people who don't do anything about it." (Albert Einstein) Kepustakaan lanjutan 1. AHRQ’s patient safety initiative: Building Foundation, Reducing Risk (2004), chapter 2 2. Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby), 1998 3. Blacks’s Law Dictionary
4. Dental Protection: Essentials of risk management. Manual, tanpa tahun. 5. Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer health system. Washington DC: National Academy Press, 2000 6. Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An Aspen Publication, 2002 7. Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ, 1995 8. Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001. 9. Undang-Undang No 29 / 2004 tentang Praktik Kedokteran 10. Vincent C. Clinical Risk Management, enhancing patient safety. 2nd ed. London: BMJ Books, 2001. 11. WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical Assembly, Marbella, Spain, September 1992
_________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:53 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 10:15 am
ASPEK HUKUM INFORMASI KESEHATAN Dan Implementasi Undang-Undang Praktik Kedokteran link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya no 6 Telp: 3106976, Fax: 3154626 Jakarta Pusat Indonesia Pendahuluan Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan
kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No 29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter. Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3 tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya. Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis. Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah
berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu. Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP. Undang-Undang No 29/2004 baru akan berlaku setelah satu tahun sejak diundangkan, bahkan penyesuaian STR dan SIP diberi waktu hingga dua tahun sejak Konsil Kedokteran terbentuk. Beberapa peraturan lanjutan tampaknya harus dibuat oleh Konsil Kedokteran dan/atau Menteri Kesehatan untuk memperjelas ketentuan yang belum jelas, yaitu tentang perijinan yang dikaitkan dengan tempat dan jam praktik, “penempatan dokter” yang masih dikaitkan dengan ijin praktek – meskipun ketentuan WKS telah dicabut, peraturan ijin praktik medis untuk perawat di Balai Pengobatan, standar profesi, ketentuan kelengkapan rekam medis, manfaat informed consent, tanggungjawab hukum dan lain-lain. Ketentuan yang berkaitan dengan masalah rekam medis Dalam UU No 29/2004 terdapat beberapa ketentuan yang berhubungan dengan penyelenggaraan rekam medis, yaitu tentang Standar Pelayanan, Persetujuan Tindakan Kedokteran, Rekam medis, Rahasia Kedokteran dan Kendali mutu dan kendali biaya. Sebagian besar ketentuan hukum tersebut adalah ketentuan yang telah diterbitkan dalam bentuk peraturan perundangundangan lain. Di bawah adalah ketentuan tersebut: 1. Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa “dokter dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran dan kedokteran gigi”. 2. Pasal 45 ayat (5) menyatakan bahwa “setiap tindakan kedokteran dan kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan” 3. Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis”. 4. Pasal 46 ayat (2) menyatakan bahwa “rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan
kesehatan” 5. Penjelasan pasal 46 ayat (3) menyatakan bahwa : “yang dimaksud dengan petugas adalah dokter atau dokter gigi atau tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Apabila dalam pencatatan rekam medis menggunakan teknologi informasi elektronik, kewajiban membubuhi tandatangan dapat diganti dengan menggunakan nomor identitas pribadi (personal identification number) 6. Pasal 47 ayat (2) menyatakan bahwa “rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan”. 7. Pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa “dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan audit medis”, dengan penjelasan bahwa “yang dimaksud dengan audit medis adalah upaya evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis”. 8. Pasal 79 menyatakan bahwa “Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) setiap dokter dan dokter gigi yang (b) dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1)” Memang masih banyak ketentuan hukum lain di dalam UU no 29/2004 di bidang pelayanan rekam medik yang juga penting, namun uraian ayat-ayat di atas sangat berkaitan dengan kelengkapan pengisian rekam medis yang saat ini sedang dijadikan isu utama. Permenkes 749a tahun 1989 tentang Rekam medis dalam pasal 15 dan 16 menyebutkan butir-butir minimal yang harus dimuat dalam rekam medis, misalnya untuk pasien rawat inap setidaknya memuat informasi tentang identitas pasien, anamnesis, riwayat penyakit, hasil pemeriksaan, diagnosis, persetujuan tindakan medik, catatan perawatan, catatan observasi klinis dan hasil pengobatan dan resume akhir dan evaluasi pengobatan. Sayang sekali bahwa format dan seberapa jauh “kelengkapan” isi rekam medis tidak atau belum diuraikan disuatu peraturan pun. Kewajiban pengadaan rekam medis Kewajiban pengadaan rekam medis bagi setiap sarana pelayanan kesehatan sudah diberlakukan sejak 1989 melalui permenkes no 749a, termasuk ke dalamnya adalah pengisian rekam medis dengan akurat, lengkap dan tepat waktu. Namun demikian sanksi administratif yang diberlakukan pada Permenkes diubah menjadi sanksi pidana pada UU Praktik Kedokteran. Harapan pembuat UU adalah
agar para klinisi menjadi lebih bertanggungjawab dalam mengisi rekam medis. Dokter yang merawat pasien bertanggungjawab atas kelengkapan dan keakurasian pengisian rekam medis. Di dalam praktik memang dapat saja pengisian rekam medis dilakukan oleh tenaga kesehatan lain (perawat, asisten, residen, co-ass), namun dokter yang merawat pasienlah yang memikul tanggungjawabnya. Perlu diingat bahwa kelengkapan dan keakuratan isi rekam medis sangat bermanfaat, baik bagi perawatan dan pengobatan pasien, bukti hukum bagi rumah sakit dan dokter, maupun bagi kepentingan penelitian medis dan administratif. Petugas rekam medis atau profesional manajemen informasi kesehatan wajib berupaya untuk memastikan bahwa pendokumentasian dilakukan dengan baik, pengkodean dilakukan dengan benar, menyampaikan informasi kesehatan hanya dengan prosedur yang sah, mengolah data rekam medis dengan baik, memanfaatkan data rekam medis untuk kepentingan pengendalian mutu layanan kesehatan, dan menyadari bahwa komputerisasi rekam medis sangat membantu segala upaya pengelolaan tetapi memiliki dampak lebih terbuka sehingga aspek kerahasiaan menjadi tertantang. Dokumentasi yang dianggap tidak dapat diterima adalah melakukan pencatatan mundur dan pengubahan catatan disesuaikan dengan hasil layanan yang terjadi. Fraud dan abuse di bidang pendokumentasian dan pengkodean harus bisa dicegah, seperti mengkode sedemikian rupa agar pembayaran menjadi lebih besar, misrepresentasi atau untuk tujuan menghindari konflik. Kewajiban menjaga informasi kesehatan sebagai rahasia Kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik Kedokteran pasal 47 ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas. UU tersebut memang hanya menyebut dokter, dokter gigi dan pimpinan sarana yang wajib menyimpannya sebagai rahasia, namun PP no 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran tetap mewajibkan seluruh tenaga kesehatan dan mereka yang sedang dalam pendidikan di sarana kesehatan untuk menjaga rahasia kedokteran. Lebih lanjut UU Praktik Kedokteran memperkuat peraturan sebelumnya yang menyatakan bahwa berkas RM adalah milik sarana kesehatan sedangkan isi RM milik pasien. Pernyataan tersebut sering mengakibatkan kesulitan dalam mengartikannya. Di AS umumnya berlaku pemahaman bahwa “the medical record, as a medium, is owned by the health-care provider, with the patient possessing a limited property interest in the health information contained therein” [1]
Selanjutnya, pasal 1 PP 10 tahun 1966 yang menyatakan bahwa ”yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orangorang dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran” sehingga tidak ada sedikitpun yang bukan rahasia. Namun umumnya para praktisi menyederhanakannya dengan menyatakan bahwa merahasiakan berarti tidak menyebut identitas (dalam arti luas) bila berbicara tentang “riwayat medik” dan begitu pula sebaliknya. Selanjutnya UU Praktik Kedokteran memberikan peluang pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2): 1. untuk kepentingan kesehatan pasien 2. untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum 3. permintaan pasien sendiri 4. berdasarkan ketentuan undang-undang Sedangkan pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa: (1) pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dengan ijin tertulis pasien. (2) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam medis tanpa seijin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini kesulitan masih dapat terjadi karena belum ada peraturan yang merinci bagaimana tata cara penyerahan informasi kesehatan, baik kepada pasien maupun kepada pihak ketiga. Oleh karena pasien adalah pemilik ”isi rekam medis”, maka sarana kesehatan dapat menyerahkan dengan lebih tidak ragu-ragu, yaitu dapat dalam bentuk fotokopi rekam medis ataupun dalam bentuk surat keterangan yang memuat resume perjalanan penyakit dan perawatannya selama di sarana kesehatan tersebut. Rekam medis asli hanya dapat dibawa keluar sarana kesehatan atas perintah pengadilan. Sedangkan kepada pihak ketiga, setelah memperoleh persetujuan pasien, informasi yang disampaikan harus memenuhi prinsip ”need to know”, yaitu minimal tapi mencukupi, relevan dan akurat. Di bidang keamanan rekam medis, Permenkes No 749a/MENKES/ PER/XII/1989
menyatakan dalam pasal 13, bahwa pimpinan sarana kesehatan bertanggungjawab atas (a) hilangnya, rusaknya, atau pemalsuan rekam medis, (b) penggunaan oleh orang / Badan yang tidak berhak. Peluang menyimpan dalam bentuk elektronik juga dinyatakan dalam UU Praktik Kedokteran, dengan memberikan isyarat keharusan menggunakan PIN. Dalam hal ini para praktisi harus segera menyikapi dengan membuat rambu-rambu ketentuan sedemikian agar privasi, kerahasiaan dan keamanan harus tetap terjaga. [1] McWay DC. Legal Aspects of Health Information Management. Albany: Delmar Publisher, 1997: 86 Kewajiban menganalisis dan audit medis UU Praktik Kedokteran mewajibkan dokter dan dokter gigi, atau dalam hal ini juga sarana kesehatannya, untuk melakukan kendali mutu dan kendali biaya. Dalam rangka melakukan kedua tugas tersebut perlu dilakukan analisis rekam medis. Berbagai kegiatan dapat dilakukan dalam menunjang tugas-tugas di atas, misalnya audit (analisis kualitatif dan kuantitatif) rekam medis, analisis berbagai angka kesehatan, laporan kasus, incident report, dan audit medis. Audit rekam medis berbeda dengan audit medis. Walaupun ada persamaan berkas yang diaudit yaitu berkas rekam medis, namun ada perbedaan prinsip antara audit medis dengan audit rekam medis. Audit rekam medis dilakukan oleh sub komite rekam medis dan atau penanggung jawab unit kerja rekam medis, yang terkait dengan kelengkapan pengisian rekam medis, sedangkan audit medis dilakukan oleh staf medis dengan melihat diagnose dan pengobatan yang terdokumentasi dalam rekam medis tersebut dan menganalisisnya apakah telah sesuai dengan standar atau belum. [1] Departemen Kesehatan saat ini juga sedang merevisi buku Pedoman Rekam Medis, yang didalamnya juga memuat tatacara menganalisis rekam medis. Aspek legal terpenting dari audit medis adalah penggunaan informasi medis pasien, yang tentu saja terkait dengan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Pada Permenkes RI tentang rekam medis disebutkan bahwa salah satu tujuan dari rekam medis adalah untuk riset dan sebagai data dalam melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan medis. Permenkes ini juga memberikan peluang pembahasan informasi medis seseorang pasien di kalangan profesi medis untuk tujuan rujukan dan pengembangan ilmiah. Demikian pula Asosiasi dokter sedunia (WMA, Oktober 1983) menyatakan bahwa penggunaan informasi medis untuk tujuan riset dan audit dapat dibenarkan.
It is not a breach of confidentiality to release or transfer confidential health care information required for the purpose of conducting scientific researchs, management audits, financial audits, program evaluations, or similar studies, provided the information released does not identify, directly or indirectly, any individual patient in any report of such research, audit or evaluation, or otherwise disclose patient identities in any manner (Statement of World Medical Association, 1983). Ketentuan model yang diajukan oleh the American Medical Record Association menyatakan bahwa informasi medis dapat dibuka dalam hal : (a) memperoleh otorisasi tertulis dari pasien, (b) sesuai dengan ketentuan undang-undang, (c) diberikan kepada sarana kesehatan lain yang saat ini menangani pasien, (d) untuk evaluasi perawatan medis, (e) untuk riset dan pendidikan sesuai dengan peraturan setempat. (2) Di pihak lain, audit medis yang mereview rekam medis dapat saja menemukan kesalahan-kesalahan orang, kesalahan prosedur, kesalahan peralatan dan lainlain, sehingga dapat menimbulkan rasa kurang nyawan bagi para profesional (dokter, perawat, dan profesi kesehatan lain). Oleh karena itu perlu diingat bahwa audit medis bertujuan untuk mengevaluasi pelayanan medis dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan bukan untuk mencari kesalahan dan menghukum seseorang. Tindakan manajemen yang diusulkan oleh panitia untuk mengoreksi perilaku dan atau kapasitas perorangan harus dilakukan secara bijaksana sehingga tidak terkesan sebagai sanksi hukuman. Boleh dikatakan bahwa audit medis tidak mencari pelaku kesalahan (liable person/parties), melainkan lebih ke arah menemukan risiko yang dapat dicegah (avoidable risks) – sehingga arahnya benar-benar menuju peningkatan kualitas dan safety. Dengan demikian dalam melaksanakan audit medis perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Semua orang / staf yang turut serta dalam audit medis adalah mereka yang telah disumpah untuk menjaga kerahasiaan kedokteran sebagaimana diatur dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966, dikenal memiliki integritas yang tinggi dan memperoleh penunjukan resmi dari direksi. 2. Semua formulir data yang masuk dalam rangka audit medis tetap memiliki tingkat kerahasiaan yang sama dengan rekam medis, termasuk seluruh fotokopi dan fax. 3. Harus disepakati tentang sanksi bagi pelanggaran atas rahasia kedokteran ini, misalnya penghentian penugasan / akses atas rekam medis, atau bahkan penghentian hubungan kerja.
4. Seluruh laporan audit tidak diperkenankan mencantumkan identitas pasien, baik secara langsung maupun tidak langsung. 5. Seluruh hasil audit medis ditujukan untuk kepentingan perbaikan pelayanan medis di rumah sakit tersebut, tidak dapat dipergunakan untuk sarana kesehatan lain dan tidak digunakan untuk menyalahkan atau menghukum seseorang atau satu kelompok orang. 6. Seluruh hasil audit medis tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan (dalam keadaan tertentu, rekam medis tetap dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan) [1] draft Pedoman Audit Medis di RS, Departemen Kesehatan, 20 Sept 2004 Komputerisasi Rekam Medis / Informasi Kesehatan Pemanfaatan komputer sebagai sarana pembuatan dan pengiriman informasi medis merupakan upaya yang dapat mempercepat dan mempertajam bergeraknya informasi medis untuk kepentingan ketepatan tindakan medis. Namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah baru di bidang kerahasiaan dan privacy pasien. Bila data medis pasien jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, maka dapat terjadi masalah hukum dan tanggung-jawab harus ditanggung oleh dokternya atau oleh rumahsakitnya. Untuk itu maka standar pelaksanaan pembuatan dan penyimpanan rekam medis yang selama ini berlaku bagi berkas kertas harus pula diberlakukan pada berkas elektronik. Umumnya komputerisasi tidak mengakibatkan rekam medis menjadi paperless, tetapi hanya menjadi less paper. Beberapa data seperti data identitas, informed consent, hasil konsultasi, hasil radiologi dan imaging harus tetap dalam bentuk kertas (print out). Konsil Asosiasi Dokter Sedunia di bidang etik dan hukum menerbitkan ketentuan di bidang ini pada tahun 1994. Beberapa petunjuk yang penting adalah : 1. Informasi medis hanya dimasukkan ke dalam komputer oleh personil yang berwenang. 2. Data pasien harus dijaga dengan ketat. Setiap personil tertentu hanya bisa mengakses data tertentu yang sesuai, dengan menggunakan security level tertentu. 3. Tidak ada informasi yang dapat dibuka tanpa ijin pasien. Distribusi informasi medis harus dibatasi hanya kepada orang-orang yang berwenang saja. Orangorang tersebut juga tidak diperkenankan memindahtangankan informasi tersebut kepada orang lain. 4. Data yang telah “tua” dapat dihapus setelah memberitahukan kepada dokter dan pasiennya (atau ahli warisnya). 5. Terminal yang on-line hanya dapat digunakan oleh orang yang berwenang.
Rekam medis yang berbentuk kertas umumnya disimpan di Bagian Rekam Medis. Orang yang akan mengaksesnya harus menunjukkan kartu pengenal atau surat ijin dari direksi atau pejabat yang ditunjuk. Tetapi, sekali rekam medis ini keluar dari “sarangnya”, petugas rekam medis tidak dapat lagi mengendalikannya. Mungkin saja rekam medis ini dikopi, diedarkan, dll. Komputerisasi rekam medis harus menerapkan sistem yang mengurangi kemungkinan kebocoran informasi ini. Setiap pemakai harus memiliki PIN dan password, atau menggunakan sidik jari atau pola iris mata sebagai pengenal identitasnya. Data medis juga dapat dipilah-pilah sedemikian rupa, sehingga orang tertentu hanya bisa mengakses rekam medis sampai batas tertentu. Misalnya seorang petugas registrasi hanya bisa mengakses identitas umum pasien, seorang dokter hanya bisa mengakses seluruh data milik pasiennya sendiri, seorang petugas “billing” hanya bisa mengakses informasi khusus yang berguna untuk pembuatan tagihan, dll. Bila si dokter tidak mengisi sendiri data medis tersebut, ia harus tetap memastikan bahwa pengisian rekam medis yang dilakukan oleh petugas khusus tersebut telah benar. Sistem juga harus dapat mendeteksi siapa dan kapan ada orang yang mengakses sesuatu data tertentu (footprints). Di sisi lain, sistem harus bisa memberikan peluang pemanfaatan data medis untuk kepentingan auditing dan penelitian. Dalam hal ini perlu diingat bahwa data yang mengandung identitas tidak boleh diakses untuk keperluan penelitian. Kopi rekam medis juga hanya boleh dilakukan di kantor rekam medis sehingga bisa dibatasi peruntukannya. Suatu formulir “perjanjian” dapat saja dibuat agar penerima kopi berjanji untuk tidak membuka informasi ini kepada pihak-pihak lainnya. Pengaksesan rekam medis juga harus dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang tidak berwenang tidak dapat mengubah atau menghilangkan data medis, misalnya data jenis “read-only” yang dapat diaksesnya. Bahkan orang yang berwenang mengubah atau menambah atau menghilangkan sebagian data, harus dapat terdeteksi “perubahannya” dan “siapa dan kapan perubahan tersebut dilakukan”. Masalah hukum lainnya adalah apakah rekam medis elektonik tersebut masih dapat dikategorikan sebagai bukti hukum dan bagaimana pula dengan bentuk elektronik dari informed consent? Memang kita menyadari bahwa berkas elektronik juga merupakan bukti hukum, namun bagaimana membuktikan ke-otentik-annya? Bila di berkas kertas selalu dibubuhi paraf setiap ada perubahan, bagaimana dengan berkas elektronik?
Di sisi lain, komputerisasi mungkin memberikan bukti yang lebih baik, yaitu perintah jarak jauh yang biasanya hanya berupa per-telepon (tanpa bukti), maka sekarang dapat diberikan lewat email yang diberi “signature”. Penyimpanan dan Pemusnahan Permenkes menyebutkan bahwa rekam medis harus disimpan setidaknya hingga 5 tahun sejak kunjungan terakhir pasien. Setelah itu rekam medis dapat dimusnahkan dengan mengikuti suatu ketentuan tertentu, yaitu yang diatur dalam Pedoman yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan. Penyimpanan juga dapat dilakukan dengan mikrofilm atau media penyimpanan lain, yang hingga saat ini belum diuraikan media-media apa saja yang diperbolehkan. Dalam praktek ternyata banyak kasus atau penyakit yang membutuhkan data medis yang sudah sangat lama. Data medis seorang anak-anak dapat saja dibutuhkan kembali kelak pada saat ia dewasa, mungkin lebih dari 5 tahun kemudian. Penyakit tertentu, seperti kanker dan atau penyakit kronis lainnya, juga membutuhkan penyimpanan rekam medis yang lebih lama dari lima tahun. Oleh karena itu pemusnahan harus mengikuti prosedur yang benar, melalui suatu skrining terlebih dahulu, memperoleh persetujuan dari dokter yang merawatnya, tercatat dalam berita-acara pemusnahan dll. Kesimpulan Sebagian besar ketentuan tentang rekam medis dalam UU Praktik Kedokteran telah diatur dalam peraturan-peraturan sebelumnya, sebagian kecil lainnya merupakan penguatan ketentuan sebelumnya dan penambahan ketentuan yang sebelumnya belum ada. Keseluruhan ketentuan tersebut ditujukan untuk melindungi pasien, meningkatkan mutu pelayanan dan memberikan kepastian hukum. Kepustakaan 1. Rowland HS and Rowland BL. Hospital Administration Handbook. Rockville : AN Aspen Publication, 1984 2. Huffman EK. Medical Record Management. Illinois : Physicians’ record Company, 1981 3. Waters KA and Murphy GF. Medical Records in Health Information. Germantown : Aspen Systems Corporation, 1979 4. Kogan M and Redfern S. Making Use of Clinical Audit. Buckingham: Open University Press. 1995 5. Sanbar SS, Gibofsky A, Firstone MH, LeBlang TR. Legal Medicine. 4th ed. St Louis:American College of Legal Medicine, 1998. 6. Permenkes RI No 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis.
7. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
_________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:54 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 10:18 am
Implikasi Hukum link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya no 6 Telp: 3106976, Fax: 3154626 Jakarta Pusat Indonesia Istilah malpraktik memang bukan istilah hukum yang tertera di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun berbagai tindakan yang termasuk ke dalam kelompok tindak malpraktik telah diatur dalam hukum pidana. Kata malpraktik lebih diartikan sebagai suatu “genus” tindak pidana yang “spesies” nya teruraikan di dalam berbagai pasal ketentuan pidana. Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal 347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42 dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP), penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain. Gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :
1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian 2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain. 3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis. Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu : 1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. 2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. 3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. 4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”. Selanjutnya, oleh karena teori kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors. _________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:55 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 10:45 am
MALPRAKTIK KEDOKTERAN Pemahaman dari segi kedokteran dan hukum link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat Telp: 021 3106976 Fax: 3154626
Pendahuluan Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesinya. Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Sikap profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas – termasuk klien. Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu “sesuai dengan tempat dan waktu”, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud. [1] Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No 29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter. Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3 tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya. Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis. Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu.
Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP.[2] Undang-Undang No 29/2004 baru akan berlaku setelah satu tahun sejak diundangkan, bahkan penyesuaian STR dan SIP diberi waktu hingga dua tahun sejak Konsil Kedokteran terbentuk. UU Praktik Kedokteran belum akan bisa diterapkan secara sempurna apabila peraturan pelaksanaannya belum dibuat. Peraturan Konsil yang harus dibuat adalah ketentuan tentang Fungsi & Tugas KKI; Fungsi, Tugas, Wewenang KK / KKG; Pemilihan tokoh masyarakat sebagai anggota; Tata Kerja KKI; Tata cara Registrasi; Kewenangan dokter / dokter gigi; Tata cara pemilihan Pimpinan MKDKI dan Tata Laksana kerja MKDKI. Peraturan Menteri Kesehatan yang harus dibuat atau direvisi bila sudah ada adalah peraturan tentang Surat Ijin Praktik, Pelaksanaan Praktik, Standar Pelayanan, Persetujuan Tindakan Medik, Rekam Medis, dan Rahasia Kedokteran. Selain itu masih diperlukan pembuatan berbagai standar seperti standar profesi yang di dalamnya meliputi standar kompetensi, standar perilaku dan standar pelayanan medis, serta standar pendidikan. Bahkan beberapa peraturan pendukung juga diperlukan untuk melengkapinya, seperti peraturan tentang penempatan dokter dalam rangka pemerataan pelayanan kedokteran, pendidikan dokter spesialis, pelayanan medis oleh tenaga kesehatan non medis, penataan layanan kesehatan non medis (salon, pengobatan tradisionil, pengobatan alternatif), perumahsakitan dan sarana kesehatan lainnya, dan lainlain. [1] Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik profesi (Ps 12 ayat 1 UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK). [2] Perbedaan pendapat terjadi di bidang ini. Sebagian ahli tidak setuju atas ancaman pidana bagi pelanggaran yang dianggap pelanggaran administratif (praktik tanpa STR/SIP dan tidak memasang papan praktik), sebagian ahli lain berpendapat perlunya kriminalisasi oleh karena menganggap pelanggaran tersebut bukan sekedar administratif – melainkan pelanggaran kewajiban yang azasi – sebagai konsekuensi hak pasien atas informasi dan akuntabilitas profesi.
Layanan kedokteran, errors dan adverse events Ilmu kedokteran adalah ilmu empiris, sehingga ketidakpastian merupakan salah satu ciri khasnya. Iptekdok masih menyisakan kemungkinan adanya bias dan ketidaktahuan, meskipun perkembangannya telah sangat cepat sehingga sukar diikuti oleh standar prosedur yang baku dan kaku. Kedokteran tidak menjanjikan hasil layanannya, melainkan hanya menjanjikan upayanya (inspanningsverbintennis). Layanan kedokteran dikenal sebagai suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled)[1], khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut: 1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dll. 2. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berrisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat. Kedua jenis risiko di atas apabila terjadi bukan menjadi tanggung-jawab dokter sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui (volenti non fit injuria). Pada situasi seperti inilah manfaat pelaksanaan informed consent. Suatu risiko / peristiwa buruk yang tidak dapat diduga atau diperhitungkan sebelumnya (unforeseeable, unpredictable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter atau pemberi layanan medis (misalnya reaksi hipersensitivitas, emboli air
ketuban). World Medical Association berpendapat: “An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability”. Setiap cedera yang lebih disebabkan karena manajemen kedokteran daripada akibat penyakitnya disebut sebagai adverse events. Sebagian dari adverse event ternyata disebabkan oleh error sehingga dianggap sebagai preventable adverse events. Error sendiri diartikan sebagai kegagalan melaksanakan suatu rencana tindakan (error of execution; lapses dan slips) atau penggunaan rencana tindakan yang salah dalam mencapai tujuan tertentu (error of planning; mistakes). Di dalam kedokteran, semua error dianggap serius karena dapat membahayakan pasien. Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu (lihat bagan 1): a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter. b. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas. c. Hasil dari suatu kelalaian medik. d. Hasil dari suatu kesengajaan. Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam suatu error dan dampaknya, perlu dipahami perbedaan antara active errors dan latent errors. Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk (lihat bagan 2). Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis active errors. Sebagai contoh adalah sistem pendidikan dokter spesialis yang mahal, pembolehan dokter bekerja pada “banyak” rumah sakit, tidak adanya sistem yang menjaga akuntabilitas profesi
(lihat pula bagan di bawah) adalah latent errors yang tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error), maka terjadilah accident. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa penyebab suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors. Umumnya kita merespons suatu error dengan berfokus pada active error-nya dengan memberikan hukuman kepada individu pelakunya, retraining dan lain-lain yang bertujuan untuk mencegah berulangnya active errors. Meskipun hukuman seringkali bermanfaat pada kasus tertentu (pada mistakes yang timbul karena kesengajaan), namun sebenarnya tidak cukup efektif. Memfokuskan perhatian kepada active errors akan membiarkan latent errors tetap ada di dalam sistem, atau bahkan mungkin akan terakumulasi, sehingga sistem tersebut semakin mungkin mengalami kegagalan di kemudian hari. Pendapat yang mengatakan bahwa kecelakaan dapat dicegah dengan desain organisasi dan manajemen yang baik akhir-akhir ini sangat dipercaya kebenarannya. Konsep safety (dalam hal ini patient safety), yang pada mulanya diberlakukan di dalam dunia penerbangan, akhir-akhir ini diterapkan oleh Institute of Medicine di Amerika (dan institusi serupa di negara-negara lain). Keselamatan pasien diartikan sebagai penghindaran, pencegahan dan perbaikan terjadinya adverse events atau freedom from accidental injury. Keselamatan tidak terdapat pada diri individu, peralatan ataupun bagian (departemen, unit), melainkan muncul dari interaksi komponen-komponen dalam sistem. [1] Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer health system. Washington DC: National Academy Press, 2000, p58-60 Malpraktik Kedokteran Tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya dari waktu ke waktu semakin meningkat kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa seharihari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang merupakan sebutan “genus” dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya. Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”. Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan (misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.” Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurangmahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll. Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih ke arah deliberate violation (berkaitan dengan motivasi) ketimbang hanya berupa error (berkaitan dengan informasi). Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum – khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang
tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk (lihat pula bagan 1). Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. Implikasi hukum Istilah malpraktik memang bukan istilah hukum yang tertera di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun berbagai tindakan yang termasuk ke dalam kelompok tindak malpraktik telah diatur dalam hukum pidana. Kata malpraktik lebih diartikan sebagai suatu “genus” tindak pidana yang “spesies” nya teruraikan di dalam berbagai pasal ketentuan pidana. Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal 347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42 dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP), penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain. Gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu : 1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian 2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain. 3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar
dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis. Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu : 1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. 2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. 3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. 4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”. Selanjutnya, oleh karena teori kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors. Penanganan Kasus Dugaan Malpraktik Pada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan kepada konsep malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas. Dalam makalah ini tidak akan diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus, namun lebih ke arah hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengalaman penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari sisi profesi maupun dari sisi hukum. Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan). Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan
menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang “layak” dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata). Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu. Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan. Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal, juga harus diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi – tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya “kasus” tersebut. Penyelesaian secara
profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, dll). Bila putusan MKEK menyatakan pihak medis telah melaksanakan profesi sesuai dengan standar dan tidak melakukan pelanggaran etik, maka putusan tersebut dapat digunakan oleh pihak medis sebagai bahan pembelaan. Langkah-langkah Penanganan Kasus Berbicara mengenai langkah-langkah tindakan kita dalam menghadapi kemungkinan adanya tuntutan hukum, seharusnya dimulai dari langkah pencegahan. Dalam upaya ini dimasukkan perspektif safety di setiap langkah prosedur atau tindakan medis dengan juga melibatkan proses manajemen risiko. Dengan perspektif safety berarti meyakini bahwa faktor-faktor yang berkontribusi dalam keberlangsungan layanan medis, baik perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), maupun sumber daya manusia (liveware atau brainware) sudah berorientasi kepada keselamatan. Dalam hal telah terjadi peristiwa yang potensial menjadi kasus tuntutan hukum, maka profesional wajib menganalisis peristiwa tersebut untuk menemukan apakah “kesalahan” yang telah terjadi dan kemudian melakukan koreksi, guna mencegah terulangnya peristiwa serupa di kemudian hari. Untuk dapat melakukan hal itu, ia harus membuat catatan tentang kronologi peristiwa dan menjelaskan alasan masing-masing tindakannya, dan menandatanganinya (semacam pernyataan affidavit). Hal ini bisa dicapai apabila ia memiliki dokumen (rekam medis) yang cukup lengkap, termasuk informed consent dan catatan yang terkait. Apabila lebih dari satu orang yang terlibat dalam kasus tersebut, maka mereka harus membahasnya bersama untuk dapat saling melengkapi “jalannya ceritera” – tanpa melakukan manipulasi fakta. Apabila tingkat potensial menjadi kasus medikolegalnya cukup tinggi, maka kasus tersebut dilaporkan ke atasan (ketua KSMF atau Komite Medik) untuk dibahas bersama. Institusi kesehatan yang relatif kecil dan memiliki staf medis yang terbatas mungkin sukar membahas kasus yang “spesialistik” dengan baik, maka harus berupaya untuk mengundang pakar dari organisasi profesi atau perhimpunan spesialis terkait. Dalam audit klinis tersebut dilakukan pembahasan tentang keadaan pasien, situasi-kondisi yang merupakan “tekanan”, diagnosis kerja dan diagnosis banding, indikasi medis dan kontra-indikasi, alternatif tindakan, informed consent, komunikasi, prosedur tindakan dibandingkan dengan standar, penyebab peristiwa yang menuju ke peristiwa medikolegal, penanganan peristiwa
tersebut saat itu, diagnosis akhir, dan kesimpulan apakah prosedur medis dan alasannya telah dilakukan sesuai dengan standar profesi atau SOP yang cocok dengan situasi-kondisi kasus. Keseluruhan yang dilakukan di atas adalah juga merupakan langkah-langkah persiapan menghadapi komplain pasien, atau bahkan menghadapi somasi dan gugatan di kemudian hari. Di samping itu profesional terkait kasus tersebut harus melihat kembali dokumen kompetensi (keahlian) dan kewenangan medis (perijinan), serta kompetensi / kewenangan medis khusus (dokumen pelatihan/workshop, pengakuan kompetensi, pengalaman, dll) yang berkaitan dengan kasus. Pertimbangan apakah kasus akan diselesaikan di pengadilan ataukah dengan cara perdamaian perlu dibahas pada waktu tersebut. Kasus yang secara nyata merupakan kesalahan pihak medis dan dinilai “undefensable” sebaiknya diselesaikan dengan cara non litigasi. Sebaliknya, kasus yang secara nyata tidak memiliki titik lemah di pihak medis dapat dipertimbangkan untuk diselesaikan melalui sidang pengadilan. Kadang-kadang terdapat kasus “abu-abu” atau “kasus ringan” yang penyelesaian cara non litigasi mungkin akan lebih “menguntungkan” dari segi finansial daripada memilih cara penyelesaian litigasi. Kepada pasien dan/atau keluarganya harus diberikan penjelasan yang memuaskan tentang terjadinya peristiwa tersebut, penyebabnya atau kemungkinan penyebabnya, tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah atau mengatasinya, tindakan yang masih diperlukan, dan peluang kesembuhannya di masa mendatang. Apabila pasien meninggal dunia, maka penjelasan tentang sebab kematian yang cukup rinci diperlukan. Keberhasilan penjelasan ini sangat bergantung kepada kualitas penjelasan yang telah diberikan sewaktu memperoleh informed consent. Keluhan atau komplain pasien dan/atau keluarganya harus direspons dengan segera dan adekuat. Alangkah lebih baik apabila penjelasan dilakukan oleh tim dokter terkait didampingi oleh salah seorang direktur dan wakil dari Komite Medis. Apabila di kemudian hari datang somasi, maka tim dokter segera berkonsultasi dengan atasan dan penasehat hukum terkait. Tenaga medis dan staf lain yang terlibat pada kasus tersebut haruslah berada dalam satu pihak yang solid dengan rumah sakit agar tidak mudah digoyang oleh pihak penuntut. Suatu pertemuan dan penjelasan yang adekuat seringkali dapat meredakan permasalahan. Tidak sedikit yang berlanjut ke pembicaraan tentang “kompensasi” finansial di luar pengadilan. Cara tersebut dirasakan cukup efektif untuk mencegah kasus ke pengadilan yang membawa berbagai dampak. Proses di pengadilan dianggap dapat merusak citra
pofesional, mengganggu bisnis, berbiaya tinggi dan makan waktu lama. Namun, sebagian kecil kasus mungkin masih akan maju ke pengadilan. Tidak jarang, sebagaimana akhir-akhir ini sering terjadi, pasien dan kuasanya mengungkapkan kasusnya kepada publik melalui media massa – dilihat dari sisi mereka dengan persepsi mereka sendiri. Tulisan, tayangan atau pernyataan yang sangat menyudutkan rumah sakit atau menyesatkan persepsi masyarakat sebaiknya segera direspons oleh rumah sakit dengan memberikan informasi yang adekuat tanpa harus membuka rahasia kedokteran. Dalam kasus pidana dugaan kelalaian yang mengakibatkan cedera atau kematian, penanganan awalnya boleh dianggap sama dengan di atas. Selanjutnya proses pemeriksaan oleh penyidik diikuti dengan patuh, dengan memberikan pembelajaran kepada penyidik di bidang medis dan medikolegal. Di wilayah hukum Polda Metro Jaya disepakati untuk mengajukan satu atau dua orang saksi ahli di bidang yang dibutuhkan, satu berasal dari organisasi profesi (MKEK) dan satu dari kalangan akademisi (dosen Fakultas Kedokteran). Guna menghadapi hal itu, organisasi profesi (PDSp) membentuk semacam “dewan pakar” atau “dewan kehormatan pembina”, yang akan menilai kasus dari sisi profesi dan kemudian akan menjadi saksi ahli – menyampaikan hasil pembahasan peer-group tersebut kepada penyidik. Kesimpulan Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dan rentan akan terjadinya kecelakaan, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati oleh orang-orang yang kompeten dan memiliki kewenangan khusus untuk itu. Upaya meminimalkan tuntutan hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti seluruh upaya mengelola risiko dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien. Kepustakaan Lanjutan AHRQ’s Patient Safety Initiatives. http://www.ahrg.gov Carroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San Fransisco: Jossey-Bass, 2001 Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer
health system. Washington: National Academy Press, 2000 Lens P and vander Wal G. Problem Doctors, a conspiracy of silence. Amsterdam:Jos Press, 1997 Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern: International Business Communications Pty Ltd, 1989. McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002. Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An Aspen Publ, 2002 Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ, 1995 Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001. Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Vincent C, Ennis M and Audley RJ. Medical Accident. Oxford: Oxford University Press, 1993. WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical Assembly, Marbella, Spain, September 1992 _________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:55 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 11:37 am
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya No. 6 Jakarta Pusat Telp: 3106976. Fax: 3154626 Malpraktik medis Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir
selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang merupakan sebutan “genus” (kumpulan) dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya. Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”(bahasa mudahnya: lalai). Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurangmahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Malpraktik dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya oleh dokter. Profesional di bidang hukum, perbankan dan akuntansi adalah beberapa profesional lain di luar kedokteran yang dapat ditunjuk sebagai pelaku malpraktik dalam pekerjaannya masing-masing. Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll. Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses) yang akan diuraikan dibawah, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum – khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak
secara langsung menimbulkan dampak buruk (lihat pula bagan 1). Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.” Tinjauan tentang adverse events Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled)[1], khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut: 1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dll. 2. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berrisiko tersebut harus dilakukan
karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat. Kedua jenis risiko di atas apabila terjadi bukan menjadi tanggung-jawab dokter sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui (volenti non fit injuria). Pada situasi seperti inilah manfaat pelaksanaan informed consent. Suatu risiko / peristiwa buruk yang tidak dapat diduga atau diperhitungkan sebelumnya (unforeseeable, unpredictable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter atau pemberi layanan medis (misalnya reaksi hipersensitivitas, emboli air ketuban). World Medical Association berpendapat: “An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability”. Setiap cedera yang lebih disebabkan karena manajemen kedokteran daripada akibat penyakitnya disebut sebagai adverse events. Sebagian dari adverse event ternyata disebabkan oleh error sehingga dianggap sebagai preventable adverse events. Error sendiri diartikan sebagai kegagalan melaksanakan suatu rencana tindakan (error of execution; lapses dan slips) atau penggunaan rencana tindakan yang salah dalam mencapai tujuan tertentu (error of planning; mistakes). Di dalam kedokteran, semua error dianggap serius karena dapat membahayakan pasien. Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu (lihat bagan 1): a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter. b. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas. c. Hasil dari suatu kelalaian medik. d. Hasil dari suatu kesengajaan. Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam suatu error dan dampaknya, perlu dipahami perbedaan antara active errors dan latent errors. Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk (lihat bagan
2). Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis active errors. Sebagai contoh adalah sistem pendidikan dokter spesialis yang mahal, pembolehan dokter bekerja pada “banyak” rumah sakit, tidak adanya sistem yang menjaga akuntabilitas profesi (lihat pula bagan di bawah) adalah latent errors yang tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error), maka terjadilah accident. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa penyebab suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors. Umumnya kita merespons suatu error dengan berfokus pada active error-nya dengan memberikan hukuman kepada individu pelakunya, retraining dan lain-lain yang bertujuan untuk mencegah berulangnya active errors. Meskipun hukuman seringkali bermanfaat pada kasus tertentu (pada mistakes yang timbul karena kesengajaan), namun sebenarnya tidak cukup efektif. Memfokuskan perhatian kepada active errors akan membiarkan latent errors tetap ada di dalam sistem, atau bahkan mungkin akan terakumulasi, sehingga sistem tersebut semakin mungkin mengalami kegagalan di kemudian hari. Pendapat yang mengatakan bahwa kecelakaan dapat dicegah dengan desain organisasi dan manajemen yang baik akhir-akhir ini sangat dipercaya kebenarannya. Konsep safety (dalam hal ini patient safety), yang pada mulanya diberlakukan di dalam dunia penerbangan, akhir-akhir ini diterapkan oleh Institute of Medicine di Amerika (dan institusi serupa di negara-negara lain). Keselamatan pasien diartikan sebagai penghindaran, pencegahan dan perbaikan terjadinya adverse events atau freedom from accidental injury. Keselamatan tidak terdapat pada diri individu, peralatan ataupun bagian (departemen, unit), melainkan muncul dari interaksi komponen-komponen dalam sistem. Berasal dari pemahaman ini muncullah konsep human factors yang mempelajari hubungan antar manusia, peralatan yang mereka gunakan dan lingkungan dimana mereka hidup dan bekerja. Implikasi hukum Tuntutan pidana yang ditujukan kepada dokter dan atau rumah sakit dapat merupakan akibat tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun di dalam ketentuan pidana UU lainnya. Kata atau istilah malpraktik tidak dijumpai di dalam ketentuan pidana Undang-Undang manpun di Indonesia, namun unsur-unsur
perbuatan yang tergolong ke dalam tindak malpraktik medis dapat saja memenuhi unsur-unsur pidana yang diatur di dalam ketentuan pidana undang-undang yang berlaku. Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal 347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42 dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP), penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain. Gugatan perdata dalam bentuk permintaan ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu : 1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian 2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain. 3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis. Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu : 1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. 2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. 3. 3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. 4. 4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”. Selanjutnya, oleh karena teori kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan
kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors. [1] Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer health system. Washington DC: National Academy Press, 2000, p58-60 Penanganan Kasus Dugaan Malpraktik Pada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan kepada konsep malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas. Dalam makalah ini tidak akan diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus, namun lebih ke arah hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengalaman penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari sisi profesi maupun dari sisi hukum. Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan). Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang “layak” dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata). Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan,
bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu. Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan. Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal, juga harus diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi – tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya “kasus” tersebut. Penyelesaian secara profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, MKDKI, dll). Bila putusan MKEK menyatakan pihak medis telah melaksanakan profesi sesuai dengan standar dan tidak melakukan pelanggaran etik, maka putusan tersebut dapat digunakan oleh pihak medis sebagai bahan pembelaan. Langkah-langkah Penanganan Kasus Berbicara mengenai langkah-langkah tindakan kita dalam menghadapi kemungkinan adanya tuntutan hukum, seharusnya dimulai dari langkah pencegahan. Dalam upaya ini dimasukkan perspektif safety di setiap langkah prosedur atau tindakan medis dengan juga melibatkan proses manajemen risiko. Dengan perspektif safety berarti meyakini bahwa faktor-faktor yang berkontribusi dalam keberlangsungan layanan medis, baik perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), maupun sumber daya manusia (liveware atau brainware) sudah berorientasi kepada keselamatan. Dalam hal telah terjadi peristiwa yang potensial menjadi kasus tuntutan hukum,
maka profesional wajib menganalisis peristiwa tersebut untuk menemukan apakah “kesalahan” yang telah terjadi dan kemudian melakukan koreksi, guna mencegah terulangnya peristiwa serupa di kemudian hari. Untuk dapat melakukan hal itu, ia harus membuat catatan tentang kronologi peristiwa dan menjelaskan alasan masing-masing tindakannya, dan menandatanganinya (semacam pernyataan affidavit). Hal ini bisa dicapai apabila ia memiliki dokumen (rekam medis) yang cukup lengkap, termasuk informed consent dan catatan yang terkait. Apabila lebih dari satu orang yang terlibat dalam kasus tersebut, maka mereka harus membahasnya bersama untuk dapat saling melengkapi “jalannya ceritera” – tanpa melakukan manipulasi fakta. Seringkali ada baiknya menghadirkan ahli lain di bidang yang terkait sebagai penilai atas sikap dan tindakan yang dilakukan. Pada tahap ini sebab terjadinya “kesalahan” harus dicari untuk dapat ditemukan pula bagaimana mencegah terulangnya kejadian serupa dimasa mendatang, umumnya dengan melakukan revisi software, memperbaiki atau mengadakan hardware, atau melakukan training bagi liveware. Apabila tingkat potensial menjadi kasus medikolegalnya cukup tinggi, maka kasus tersebut dilaporkan ke atasan (ketua KSMF atau Komite Medik) untuk dibahas bersama. Institusi kesehatan yang relatif kecil dan memiliki staf medis yang terbatas mungkin sukar membahas kasus yang “spesialistik” dengan baik, maka harus berupaya untuk mengundang pakar dari organisasi profesi atau perhimpunan spesialis terkait. Dalam audit klinis tersebut dilakukan pembahasan tentang keadaan pasien, situasi-kondisi yang merupakan “tekanan”, diagnosis kerja dan diagnosis banding, indikasi medis dan kontra-indikasi, alternatif tindakan, informed consent, komunikasi, prosedur tindakan dibandingkan dengan standar, penyebab peristiwa yang menuju ke peristiwa medikolegal, penanganan peristiwa tersebut saat itu, diagnosis akhir, dan kesimpulan apakah prosedur medis dan alasannya telah dilakukan sesuai dengan standar profesi atau SOP yang cocok dengan situasi-kondisi kasus. Keseluruhan yang dilakukan di atas adalah juga merupakan langkah-langkah persiapan menghadapi komplain pasien, atau bahkan menghadapi somasi dan gugatan di kemudian hari. Di samping itu profesional terkait kasus tersebut harus melihat kembali dokumen kompetensi (keahlian) dan kewenangan medis (perijinan), serta kompetensi / kewenangan medis khusus (dokumen pelatihan/workshop, pengakuan kompetensi, pengalaman, dll) yang berkaitan dengan kasus. Pertimbangan apakah kasus akan diselesaikan di pengadilan ataukah dengan cara perdamaian perlu dibahas pada waktu tersebut. Kasus yang secara nyata merupakan kesalahan pihak medis dan dinilai “undefensable” sebaiknya
diselesaikan dengan cara non litigasi. Sebaliknya, kasus yang secara nyata tidak memiliki titik lemah di pihak medis dapat dipertimbangkan untuk diselesaikan melalui sidang pengadilan. Seringkali terdapat kasus “abu-abu” atau “kasus ringan” yang penyelesaian cara non litigasi mungkin akan lebih “menguntungkan” dari segi finansial ataupun dampak psikologis daripada memilih cara penyelesaian litigasi. Demikian pula terdapat kasus “abu-abu” lain yang meskipun tidak putih benar tetapi memerlukan penyelesaian litigasi demi kehormatan profesi. Kepada pasien dan/atau keluarganya harus diberikan penjelasan yang memuaskan tentang terjadinya peristiwa tersebut, penyebabnya atau kemungkinan penyebabnya, tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah atau mengatasinya, tindakan yang masih diperlukan, dan peluang kesembuhannya di masa mendatang. Apabila pasien meninggal dunia, maka penjelasan tentang sebab kematian yang cukup rinci diperlukan. Keberhasilan penjelasan ini sangat bergantung kepada kualitas penjelasan yang telah diberikan sewaktu memperoleh informed consent. Keluhan atau komplain pasien dan/atau keluarganya harus direspons dengan segera dan adekuat. Alangkah lebih baik apabila penjelasan dilakukan oleh tim dokter terkait didampingi oleh salah seorang direktur dan wakil dari Komite Medis. Apabila di kemudian hari datang somasi, maka tim dokter segera berkonsultasi dengan atasan dan penasehat hukum. Tenaga medis dan staf lain yang terlibat pada kasus tersebut haruslah berada dalam satu pihak yang solid dengan rumah sakit agar tidak mudah digoyang oleh pihak penuntut. Suatu pertemuan dan penjelasan yang adekuat seringkali dapat meredakan permasalahan. Tidak sedikit yang berlanjut ke pembicaraan tentang “kompensasi” finansial di luar pengadilan. Cara tersebut dirasakan cukup efektif untuk mencegah kasus ke pengadilan yang membawa berbagai dampak. Proses di pengadilan dianggap dapat merusak citra pofesional, mengganggu bisnis, berbiaya tinggi dan makan waktu lama. Namun, sebagian kecil kasus mungkin masih akan maju ke pengadilan. Tidak jarang, sebagaimana akhir-akhir ini sering terjadi, pasien dan kuasanya mengungkapkan kasusnya kepada publik melalui media massa – dilihat dari sisi mereka dengan persepsi mereka sendiri. Tulisan, tayangan atau pernyataan yang sangat menyudutkan rumah sakit atau menyesatkan persepsi masyarakat sebaiknya segera direspons oleh rumah sakit dengan memberikan informasi yang adekuat tanpa harus membuka rahasia kedokteran. Media massa wajib memuat “hak jawab” kita dan dapat digugat hingga 500 juta rupiah apabila tidak memuat hak jawab dengan tata cara yang layak. Dalam kasus pidana dugaan kelalaian yang mengakibatkan cedera atau kematian,
penanganan awalnya boleh dianggap sama dengan di atas. Selanjutnya proses pemeriksaan oleh penyidik diikuti dengan patuh, dengan memberikan pembelajaran di bidang medis dan medikolegal dan kerjasama yang baik dengan penyidik. Salinan rekam medis yang telah disahkan dapat diberikan kepada penyidik guna membuat jelas perkara tersebut. Di wilayah hukum Polda Metro Jaya disepakati untuk diajukan satu atau dua orang saksi ahli di bidang yang dibutuhkan, satu berasal dari organisasi profesi (MKEK) dan satu dari kalangan akademisi (dosen Fakultas Kedokteran). Hasil penyidikan dapat saja berupa keputusan penghentian penyidikan atau dapat juga berupa pemberkasan dan pelimpahan ke jaksa penuntut umum. Guna menghadapi hal itu, organisasi profesi (PDSp) membentuk semacam “dewan pakar” atau “dewan kehormatan pembina”, yang akan menilai kasus dari sisi profesi dan kemudian akan menjadi saksi ahli – menyampaikan hasil pembahasan peer-group tersebut kepada penyidik. Kesimpulan Penanganan kasus dugaan malpraktik medis haruslah dimulai dengan pembahasan internal guna menilai kasus dari sisi profesi, sekaligus mempertimbangkan cara penyelesaian sengketanya dengan pihak pasien. Sengketa antara pihak medis dengan pihak pasien tidaklah harus diselesaikan melalui sidang pengadilan. Cara non litigasi perlu dipertimbangkan apabila diperkirakan akan lebih menguntungkan daripada apabila ditempuh cara litigasi, baik dari sisi finansial maupun dari sisi nama baik dan bisnis rumah sakit di kemudian hari. Kepustakaan Lanjutan AHRQ’s Patient Safety Initiatives. http://www.ahrg.gov Carroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San Fransisco: Jossey-Bass, 2001 Elliot C and Quinn F. Tort Law. Second edition. Essex: Pearson Education Limited, 1999. Harpwood V. Modern Tort Law. 5th ed. London: Cavendish Publ Ltd, 2003. Hart HLA and Honore AM. Causation in the law. London: Oxford University Press,
1959. Jackson JP (ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: SpringerVerlag, 1991 Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer health system. Washington: National Academy Press, 2000 Lens P and vander Wal G. Problem Doctors, a conspiracy of silence. Amsterdam:Jos Press, 1997 Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern: International Business Communications Pty Ltd, 1989. McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002. Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An Aspen Publication, 2002 Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ, 1995 Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001. Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical Assembly, Marbella, Spain, September 1992
_________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 ! Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:56 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator
Subject: Re: Hukum Kesehatan
Sat Jun 26, 2010 11:47 am
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Number of posts: 5564 Age: 52 Location: Jakarta Registration date: 2008-09-30
Budi Sampurna Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Faultas Kedokteran Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat Telp: 3106976. Fax: 3154626 Tanggung-jawab profesi dan tanggung-jawab rumah sakit Dokter yang bekerja di suatu rumahsakit dapat memiliki hubungan administratif yang bervariasi dengan rumahsakit tersebut. Di rumahsakit, seorang dokter dapat berstatus sebagai (a) pegawai negeri yang dipekerjakan atau ditempatkan di rumahsakit pemerintah, atau berstatus (b) pegawai swasta dari perusahaan pemilik rumahsakit swasta tersebut, atau sebagai (c) pegawai tetap rumahsakit, atau sebagai (d) tenaga kerja (purnawaktu) berdasar kontrak untuk waktu tertentu, atau sebagai (e) tenaga kerja berdasar kontrak untuk melakukan pelayanan kedokteran tertentu secara paruh waktu, atau sebagai (f) dokter tamu. Jenis hubungan tersebut sangat mempengaruhi hak dan kewajiban diantara kedua pihak dan tanggung-jawabnya kepada pihak ketiga. Bentuk hubungan (a), (b) dan (c) umumnya dianggap serupa, dengan menyebutnya sebagai dokter tetap atau pegawai tetap. Status pegawai negeri sebenarnya tidak sama benar dengan pegawai tetap yang lain karena pegawai negeri diatur dengan hukum publik (UU Kepegawaian) sedangkan pegawai tetap lain diatur dengan hukum sipil / perdata (hukum perburuhan / ketenagakerjaan). Bentuk hubungan (d) memiliki hubungan kerja yang tegas sebagai pegawai purna waktu untuk waktu tertentu dan dilindungi oleh hukum perjanjian dan hukum perburuhan. Hak dan kewajiban kedua pihak ditentukan oleh kedua pihak dalam perjanjian, namun tetap dilindungi oleh rambu-rambu yang dibuat oleh
Permenaker No: Per-02/Men/1993. Hubungan kerja berdasarkan kontrak paruh waktu tidak diatur oleh hukum perburuhan, melainkan oleh hukum perjanjian (perdata). Oleh karena itu hak dan kewajibannya bebas ditentukan oleh kedua pihak sepanjang tidak melanggar hukum, ketertiban umum dan kesusilaan (ps 1337 KUH Per). Hingga saat ini banyak dokter yang bekerja di rumahsakit tanpa didasari oleh suatu perjanjian (kontrak), meskipun ketentuan tentang rumah sakit mengharuskan dibuatnya kontrak antara rumahsakit dengan dokter. Kontrak diperlukan untuk menghindari terjadinya perlakuan sewenang-wenang oleh pihak yang sedang berada “di atas angin”. Seluruh dokter tersebut di atas mempunyai hubungan kerja dengan rumahsakit, sehingga dengan sendirinya dalam melakukan pekerjaannya di rumahsakit berkewajiban mengikuti standar prosedur dan hospital bylaws. Ikatan kerja dengan rumah sakit tidak mengakibatkan hilangnya kebebasan profesi para dokter, dalam arti bahwa sebenarnya para dokter jua-lah yang membentuk standar prosedur yang diberlakukan di rumahsakit dan mereka juga tetap berwenang mengembangkan professional judgment mereka dalam menangani kasus-kasus tertentu. Berbeda dengan status dokter-dokter yang diuraikan di atas, dokter tamu (f) tidak memiliki hubungan kerja dengan rumahsakit; melainkan hanya hubungan perjanjian peminjaman fasilitas rumahsakit untuk dapat dipergunakan oleh dokter tamu dalam rangka merawat pasiennya di rumahsakit tersebut. Oleh karena itu dokter tamu dianggap sebagai dokter yang independen. Dalam hal tanggung-jawab hukum perdata, rumahsakit sebagai badan hukum bertanggung-jawab sebagai satu entity (korporasi) dan juga bertanggung-jawab atas tindakan orang-orang yang bekerja di dalamnya (respondeat superior) sebagaimana diatur dalam ps 1365 - 1367 KUH Perdata. Tanggung-jawab ini tidak hanya untuk medical / professional liability, melainkan juga untuk public liabilitynya. Di Amerika Serikat, rumah sakit bertanggung-jawab perdata secara penuh bagi para dokter yang bekerja sebagai employee. Bagi dokter yang bekerja sebagai independent-contractor, rumah sakit berbagi tanggung-jawab dengan dokter tersebut, sesuai dengan perjanjian diantara keduanya. Dahulu berlaku pendapat bahwa rumahsakit tidak bertanggung-jawab atas perbuatan dokter paruh waktu, namun berdasarkan teori apparent or ostensible
agency (pasien menganggap semua orang yang bekerja di rumahsakit adalah “agen” dari rumahsakit), teori reliance (pasien mengacu lebih ke arah rumahsakit sebagai pemberi pelayanan ketimbang dokternya), dan teori non delegable duty (bahwa kewajiban menyelenggarakan berbagai pelayanan kedokteran adalah kewajiban rumahsakit yang tak dapat didelegasikan), maka rumahsakit juga bertanggung-jawab atas perbuatan dokter paruh waktu (vicarious liability). Rumahsakit tidak bertanggung-jawab atas perbuatan dokter tamu oleh karena dokter tamu adalah profesional yang independen. Pasien yang ditangani juga bukan pasien rumahsakit – melainkan pasien dokter tamu tersebut. Perbuatan para karyawan rumahsakit yang bekerja untuk dokter tamu tersebut ditanggung oleh dokter tamu berdasarkan doktrin “borrowed servants”. Selain bertanggungjawab sebagai akibat dari respondeat superior atau vicarious liability di atas, rumah sakit juga bertanggungjawab sendiri atas kerugian yang diakibatkan oleh kebijakan, peraturan dan fasilitas rumah sakit. Tanggungjawab ini tidak hanya terbatas kepada tanggungjawab di bidang medikolegal, melainkan juga di bidang public liability. Pencegahan Errors Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors, yaitu: [1] 1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum “pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis, sehingga pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di kemudian hari. 2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama ke unit-unit klinik. 3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya meningkatkan keselamatan pasien.
4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk, mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan mengembangkan langkah koreksinya. 5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman. 6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak menimbulkan kesalahan baru. Elemen-elemen di atas diterapkan bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko yang bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko. Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya. Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko bersama.[2] The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit (HO) untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri.[3] Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing). Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi. [4] Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun sebagian besarnya merupakan hasil “belajar” dari pengalaman dan
menerapkannya kembali untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus, yang terdiri dari empat tahap, yaitu: 1 2 [5] 1. Risk Awareness. Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masingmasing dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis, sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis, dokter, perawat bedah, perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan ruang bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko. 2. Risk control (and or Risk Prevention). Manajemen merencanakan langkahlangkah praktis dalam menghindari dan atau meminimalkan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang medis, manajemen harus bekerjasama erat dan saling mendukung dengan komite medis. Langkah-langkah tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment) tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila tidak mungkin maka dicari upaya menguranginya (control solution) – baik terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk mengurangi dampaknya. Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan pembaruan prosedur, standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain. 3. Risk containment. Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan melakukan langkahlangkah yang tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif. 4. Risk transfer. Akhirnya apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.
Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve them). [1] AHRQ’s patient safety initiative: Building Foundation, Reducing Risk (2004), chapter 2 [2] Dental Protection: Essentials of risk management. Manual, tanpa tahun. [3] Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby), 1998. [4] Sedwick J and Porto GG. The Health Care Risk Management Professional. In Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organization. 3rd ed. San Francisco (Jossey Bass), 2001 [5] Wood RH. Aviation Safety Program – a management handbook. Washington (Jeppesen), 1997. Kesimpulan Upaya meminimalkan tuntutan hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti seluruh upaya mengelola risiko dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien. Upaya tersebut pada akhirnya juga akan menurunkan angka kejadian malpraktek medis.
_________________ Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you. Ask what you can do for Iluni-FK'83 !
Hukum Kesehatan Page 1 of 3
Goto page : 1, 2, 3
Permissions of this forum:
You cannot reply to topics in this forum
Iluni-FK'83 :: KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERAN :: PERATURAN dan PERIJINAN
Iluni-FK'83 :: KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERAN :: PERATURAN dan PERIJINAN
Jump to:
Free forum | © phpBB | Free forum support | Report an abuse | Free forums
Go