Herbal Sanitizer, Inovasi Mahasiswa untuk Cegah Penularan Kuman di Toilet UNAIR NEWS – Masalah sanitasi masih menjadi salah satu problem terbesar kesehatan di Indonesia. Berdasarkan data World Economic Forum, kualitas toilet Indonesia berada pada peringkat 40 dari 140 negara. Data global juga menyatakan bahwa toilet umum di Indonesia yang memenuhi standar kebersihan baru mencapai 50 persen. Kualitas toilet yang masih rendah dapat menimbulkan penularan berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri-bakteri yang bersarang di toilet umum seperti E. coli, S. aureus, dan K. pneumonia. Selain itu, jumlah pekerja dan pelajar yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka di luar rumah dipastikan menggunakan toilet umum. Berangkat dari permasalahan di atas, lima mahasiswa S-1 Pendidikan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang beranggotakan Husniatul Fitriah (2014), Malisda Irwantri Leonald (2015), Hatif Indra Nur Septiyanti (2014), Muhammad Aviv Addin (2014), dan Rendha Kusumaning Kristiwi (2014), memiliki gagasan untuk membuat produk obat semprot ekstrak daun sirih bernama Hezer. Gagasan tersebut tertuang dalam proposal program kreativitas mahasiswa kewirausahaan (PKM–K) berjudul “HEZER (Herbal Sanitizer): Solusi Jitu Mengurangi Penularan Penyakit melalui Toilet Umum”. Proposal tersebut berhasil lolos dan mendapatkan pendanaan dari Kemenristekdikti tahun 2017. “Herbal Sanitizer merupakan produk toiletries (perlengkapan mandi) dengan ekstrak daun sirih yang ampuh membasmi bakteri
dengan cara yang cukup praktis, yakni cukup disemprotkan pada dudukan toilet umum dilap bila perlu dan toilet umum bersih siap digunakan,” tutur Husnia. Indra menyebutkan, produk sanitasi memang sudah banyak sebelumnya. Namun, mereka mengkombinasikan ekstrak daun sirih yang mampu menghambat bakteri lebih besar. Daun sirih mengandung turunan fenol yakni kavikol dan kavibetol yang memiliki kemampuan antiseptik atau desinfektan, antioksidan, dan fungisida dengan aktivitas aktibakteri enam kali lebih efektif daripada senyawa flouride dan fenol biasa.
PRODUK-produk yang sudah dihasilkan. (Foto: Istimewa) Keunggulan lainnya, produk Hezer yang memiliki netto 30 mililiter mudah digenggam dan dibawa. Cara penggunaannya pun praktis. “Satu botol Hezer dapat digunakan hingga 30 kali. Hezer disemprotkan di lima titik dudukan toilet umum dengan jarak penyemprotan 25 cm dari permukaan dudukan toilet. Tunggu lima detik, maka dudukan toilet akan mengering dengan sendirinya dan siap untuk digunakan,” tutur Indra. Sampai saat ini, 152 produk Hezer sudah sampai di tangan
konsumen area Jawa dan Sumatera. Dengan harga Rp 16ribu per botol, masyarakat sudah bisa melindungi diri dari bakteribakteri di toilet umum. “Hezer mudah dibawa kemana-mana dan bisa digunakan secara praktis. Jadi, saya sudha tidak merasa khawatir kalau mau ke toilet umum,” ungkap Defviana, salah satu konsumen Hezer. Anggota tim Hezer, Rendha, menyatakan ke depan pihaknya akan mengembangkan produk dalam bentuk tisu basah agar orang yang tergesa-gesa bisa lebih efisien dalam menggunakan toilet umum. Editor: Defrina Sukma S
Obsesi Calon Dokter Menjadi Seorang Barista UNAIR NEWS – Mayoritas orang berfikiran jika kopi hitam identik dengan rasa yang pahit. Agar tetap bisa dinikmati, gula seringkali dicampurkan untuk menetralisir rasa. Namun dunia kopi tidak melulu soal manis dan pahit. Semua tergantung dari keterampilan meracik dan selektif dalam memilih biji kopi. Di tangan Adantio Rashid Santoso, secangkir kopi hitam ternyata dapat dinikmati tanpa harus menambahkan gula di dalamnya. Kemampuan meracik kopi ini perlahan ia kuasai usai mengikuti sebuah course di Jakarta tahun lalu. Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNAIR ini tidak hanya bercitacita menjadi seorang dokter saja. Pria berusia 23 tahun ini ternyata juga terobsesi ingin menjadi seorang barista.
Meskipun berseberangan dengan dunia dokter yang digelutinya saat ini, namun sebagai seorang ‘coffee lover’, Adantio membulatkan tekadnya untuk berbisnis kopi. Mulanya, Adantio berfikir bagaimana caranya agar bisa menghasilkan pendapatan dari hobinya tersebut. Setelah sebulan mengikuti sebuah kursus di Jakarta, Tio sapaan karibnya, memberanikan diri mengawali sebuah bisnis. Bersama Muhammad Nanda Firdaus, keduanya menjajal peruntungan dengan membuka sebuah kedai kopi yang berlokasi di Café Museum Pendidikan Dokter FK UNAIR. “Tadinya mikir, jadi dokter masih lama. Akhirnya, saya coba nyambi jualan kopi buat nambah-nambah pemasukan. Karena saya kepingin sekali mandiri. Pinginnya nanti waktu daftar dokter spesialis pakai uang sendiri. Nikah juga pakai uang sendiri. Tidak ingin lagi membebani orang tua,” ungkapnya. Awal menjalani bisnis kedai kopi, Tio hanya bermodal alat penggiling kopi manual. Berulangkali ia mencoba bereksperimen meracik kopi untuk dikonsumsi sendiri. Sampai akhirnya ia menjual kopi buatannya kepada teman satu kos. Produk kopi pertama yang ia jual yaitu cold brew coffee atau kopi hitam yang digiling lalu direndam dalam air dingin semalaman dalam kemasan botol. “Saya coba tawarkan ke teman-teman sesama pecinta kopi. Untuk pengenalan, saya bagi-bagikan kopi secara gratis. Itung-itung promosi sekalian menampung ide dan masukan juga dari temanteman,” tambahnya. Seiring berjalannya waktu, Tio kemudian mendapat tawaran dari Nanda yang kala itu menjabat sebagai Ketua Bursa Aesculap FK UNAIR untuk membuka stand kopi di Student Center yang tak lain adalah ‘base camp’ tempat mahasiswa kedokteran biasa berkumpul. Dalam waktu yang cukup singkat, cold brew coffee buatannya pun mulai populer di kalangan mahasiswa. Meskipun pada saat itu
produk kopinya belum punya nama, namun Tio gencar memperkenalkan produk kopinya dengan mengikuti berbagai acara pop up market yang biasa diselenggarakan di mal-mal maupun di fakultas lain. Sebulan kemudian, tawaran untuk join bisnis datang dari pengelola Museum Cafe FK UNAIR. Tak ingin menyia-nyiakan peluang, keduanya menerima tawaran untuk membuka kedai kopi di cafe yang diresmikan pada 21 Agustus 2016 lalu. Bersama dukungan Pengurus Satuan Usaha Akademik (SUA) FK UNAIR, Tio dan Nanda berkomitmen mengembangkan Café Museum itu bersama-sama, dan menamai kedainya dengan nama ‘Caffeink’. “Supaya cafenya makin rame, jadi setelah mengunjungi museum pendidikan dokter, para tamu bisa menikmati kopi sambil duduk dan ngobrol santai,” ungkapnya. Dari hasil penjualan serta keuletan mengelola uang modal, Tio perlahan mulai membeli beberapa peralatan baru, mulai dari peralatan manual hingga elektrik. Tak tanggung-tanggung, ia membeli peralatan dari yang seharga 250 ribu rupiah hingga 30 juta rupiah. Hal itu ia lakukan demi perkembangan produk kopi miliknya. “Kami ingin menyajikan berbagai variasi kopi. Tidak melulu manual brewing saja, tapi juga espresso, dan lain sebagainya. Kalau pakai manual terus capek. Makanya kami beli alatnya yang elektrik. Sehingga lebih efektif dan efisien waktu,” ungkapnya. Selain didukung dengan peralatan yang mumpuni, pemilihan biji kopi juga amat mempengaruhi kualitas dari rasa kopi yang disajikan. Dalam penyajiannya, Tio memakai biji kopi Arabica, tanpa menggunakan biji kopi robusta sedikitpun. “Kami ingin memperkenalkan ke khalayak luas bahwa nggak selamanya kopi itu pahit. Kopi hitam bisa kami sajikan tanpa gula dan tanpa meninggalkan rasa pahit di lidah. Ini karena
kami selektif dalam memilih biji kopi. Roasting profilnya tidak pakai yang dark atau gosong, karena kita nggak ingin kopinya pahit,” jelasnya. Caffeink dan Koas Meskipun memilih serius menggeluti usaha kopi, bukan berarti Tio melupakan cita-citanya menjadi seorang dokter. Caffeink dan pendidikan dokternya saat ini adalah dua prioritas utama di kehidupan pria kelahiran Arizona, Amerika Serikat ini. Saat ini, Tio baru saja menyelesaikan pendidikan koas (coassistant) sebagai dokter muda. Kini ia juga sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang akan berlangsung pada bulan September mendatang. Karena sudah konsisten membuka kedai kopi setiap hari Senin sampai Jumat pukul 13.00-17.00 WIB, maka itu menjadi tantangan tersendiri baginya untuk pandai-pandai membagi waktu ntara kuliah dan jaga kedai. “Abis jaga di rumah sakit, setelah itu jaga warung sampai sore. Disela-sela itu juga disambi belajar,” ungkapnya. Selangkah lagi, Tio akan mengantongi gelar dokter. Setelah lulus, ia berencana melanjutkan pendidikan dokter spesialis dan mengembangkan sebuah penelitian yang menggabungkan antara efek cafein dari kopi terhadap kesehatan. “Di sebuah jurnal kesehatan disebutkan, konsumsi kopi tanpa pemanis ternyata lebih sehat dibanding minum kopi pakai gula. Ini pula yang menginspirasi Caffeink untuk bisa menyajikan kopi tanpa gula dan tanpa rasa pahit,” ungkapnya. Berdasarkan studi dan pengalaman yang ia dapatkan, ada keterkaitan antara efek kafein dari biji kopi terhadap peningkatan kualitas olahraga seorang atlet. “Dalam penelitian ini saya coba kerja sama juga dengan
mahasiswa S-1 maupun mahasiswa S-2 dari Ilmu Kesehatan Olahraga FK UNAIR,” ungkapnya. Menurut Tio, kesibukan yang ia jalani saat ini sebenarnya saling berkaitan. Di satu sisi, Tio dapat mengeksplor lebih banyak dunia kopi melalui bisnisnya. Namun di lain sisi, ia sekaligus dapat meneliti dampak positif dari kafein untuk kesehatan. Dalam berwirausaha, selalu ada mimpi dan target pencapaian. Begitupula dengan bisnis kedai kopi milik Tio. Ia dan Nanda berencana mengembangkan usaha dengan membuka cabang Caffeink di RSUD Dr. Soetomo dan RS UNAIR. “Dokter mana sih yang nggak butuh ngopi? Kalau dokter sedang jaga tengah malam misalnya, pasti yang dicari kopi. Semoga mimpi kami dapat terwujud,” ungkapnya. (*) Penulis: Sefya Hayu Editor: Binti Q. Masruroh
Mengintip Suasana Berbuka Ala Pesantren di Ulul Azmi UNAIR NEWS – Beberapa menit jelang berbuka puasa, sejumlah jemaah putri di Masjid Ulul Azmi telah siap menanti kudapan yang ada di hadapannya. Kudapan –yang dikenal dengan istilah takjil untuk berbuka– terdiri dari dua biji kurma dan segelas air mineral siap disantap untuk membatalkan puasa. “Alhamdulillah,” seru mereka dengan kompak. Seruan itulah yang menyambut adzan Magrib. Momen yang ditunggu-tunggu setelah umat Islam berpuasa selama lebih dari 13 jam.
Usai menyantap kudapan, mereka membasuh diri dengan air wudhu dan siap melaksanakan ibadah salat Magrib. Di pintu masuk ruangan salat Masjid Ulul Azmi bagian putri, ada dua panitia yang membagikan kupon makanan berat. Kupon berupa kertas berwarna putih berisi nomor dan identitas lokasi masjid, kemudian ditukarkan dengan sebungkus nasi lengkap beserta lauknya usai salat. “Ini kupon makanannya untuk ditukar selepas salat,” kata panitia kepada saya. Kalimat yang sama, ia ungkapkan juga kepada jemaah putri lainnya. Beberapa saat usai salat, jemaah putri secara tertib turun untuk menukar kupon dengan santapan berat. Jalur antrian dibagi menjadi dua agar tak terjadi penumpukan. “Terima kasih, mbak,” ujar salah satu pengunjung putri kepada para panitia. “Eh ayo buka di sana (di tempat terbuka dekat ruang wudhu) biar nggak jauh-jauh,” serunya lagi. Mereka terlihat begitu menikmati apapun menu yang dihidangkan saat itu. Saya mendapat sebungkus nasi dengan mi dan tahu bali, sedangkan rekan-rekan lainnya menyantap menu nasi campur tumis sayur dan ayam. Rata-rata, pengunjung masjid penikmat menu berbuka berasal dari sivitas akademika UNAIR. Mereka adalah mahasiswa, karyawan hingga dosen yang menghabiskan waktunya di sekitar kampus C. Namun, santapan berbuka juga diperuntukkan bagi kalangan umum. Jumat sore, (2/6), ada peserta tes kepolisian serta bapak bapak dan ibu ibu yang juga melahap santapan buka puasa. Mirip pesantren Menghabiskan waktu berbuka puasa di Ulul Azmi menyisakan
berbagai cerita di benak para pengunjung khususnya bagi mahasiswa UNAIR. Erni, mahasiswa Fisika tahun angkatan 2016, mengaku hampir setiap hari menikmati suasana buka puasa di Ulul Azmi. Dirinya senang karena tak perlu kebingungan mencari makanan berat. “Enak sih buka di sini. Gratis. Lumayan bisa hemat,” tutur Erni seraya tertawa. Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi itu tak datang sendiri di Ulul Azmi. Ia datang bersama kawan-kawan kuliahnya yang tengah duduk di samping dirinya. “Ini sama teman-teman. Kita barusan selesai kuliah jam empat sore jadi sekalian datang ke sini,” tutur Erni. Lain Erni lain pula dengan Amalia. Mahasiswa D-3 Teknik Kesehatan Gigi itu baru kali kedua datang ke Ulul Azmi. Meski demikian, Amalia mengaku senang dengan suasana berbuka di kampus C. “Enak. Ramai banyak temannya,” akunya. Hal yang sama juga dirasakan oleh jemaah putra. Salah satu mahasiswa yang juga pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka, Akhmad Janni, juga mengaku menikmati waktu berbuka puasa di masjid yang baru diresmikan tiga tahun lalu. “Suasananya hampir mirip pesantren. Menyejukkan. Dan juga karena setelah takjil dan makan masih ada makanan penutup,” tuturnya seraya tertawa ketika ditanya soal alasan. Selain itu, pengalaman berbuka di Ulul Azmi tak sekadar soal makanan. Janni mengaku, ia juga sering mendengarkan ceramah agama dan mengikuti tadarus bersama teman-teman UKM. Bentuk pengabdian Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Anang
Fajrul mengatakan, penyediaan menu berbuka puasa menjadi agenda tahunan organisasi mahasiswa dan pengurus masjid. Setiap harinya, BEM KM UNAIR melalui divisi pengabdian masyarakat membagikan sajian tak kurang dari 500 porsi. Bahkan, jumlah porsi yang dibagikan pernah mencapai 1.500 bungkus. Anang menambahkan, sajian berupa kudapan dan makanan berat merupakan sumbangan dari berbagai donatur seperti alumni, staf, pimpinan, hingga masyarakat. Pihaknya berharap, agar kontribusi dari berbagai pihak bisa meringankan para pengunjung yang didominasi oleh mahasiswa UNAIR. Penulis: Defrina Sukma S Editor: Nuri Hermawan
ELIQUIN, Solusi Pintar Calon Tenaga Medis Masa Kini UNAIR NEWS – Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Bidang Kewirausahaan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga berhasil membuat peralatan sarana klinis untuk mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan kesehatan yang berupa Electronical Injecting Mannequin (ELIQUIN). Produk inovatif ELIQUIN yang dibanderol dengan harga Rp 599.000 ini, diyakini lebih murah, lebih fleksibel, dan fungsional dibandingkan dengan produk manekin impor yang harganya mencapai Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. Program PKM ini telah lolos seleksi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang kemudian menghibahkan dananya untuk penelitian dan pengembangannya.
Lidya Pertiwi, mewakili Tim PKMK-nya, menjelaskan bahwa ELIQUIN merupakan alat peraga injeksi yang diyakini sebagai produk dalam negeri pertama yang menggabungkan dua aplikasi injeksi, yakni injeksi intramuskular dan intravena dalam bentuk manekin tangan manusia yang berisi sensor dan diletakkan pada lokasi injeksi. Dalam dunia kedokteran, tambah Lidya, keterampilan klinis merupakan salah satu penentu amat penting dalam mendiagnosis dan penatalaksanaan masalah kesehatan. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012, seorang dokter dituntut mampu melakukan prosedur klinis yang berkaitan dengan kesehatan dengan menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan keselamatan orang lain. ”Jadi ketrampilan klinis menyuntik secara intravena dan intramuscular merupakan satu hal esensial yang wajib dikuasai oleh tenaga medis. Untuk itu kami berharap dengan keberhasilan inovasi ini akan memberikan solusi bagi tenaga medis untuk mengasah kemampuan dan kompetensi dalam hal ketrampilan tersebut melalui produk ELIQUIN ini,” kata Lidya.
SEBUAH petunjuk cara kerja pada peralatan medis ELIQUIN. (Foto: Istimewa)
Selain Lidya Pertiwi sebagai ketua tim, empat mahasiswa FK UNAIR anggota PKMK ini adalah Siti Ermawati, Mega Rizkya, Annisa Aulia, dan Muchlas Rabbani. ”Jadi jika seorang pengguna secara benar dalam melakukan injeksi intramuskular, maka sensor akan mengeluarkan bunyi dan lampunya menyala,” papar Lidya Pertiwi mengenai produknya. Sensor pada produk ini diletakkan pada lokasi, kedalaman, dan sudut kemiringan injeksi yang akurat dan disesuaikan dengan anatomi tubuh manussia. Selain itu, ELIQUIN ini dilapisi oleh bahan lateks yang tahan lama, halus dan sesuai dengan anatomi kulit manusia, sehingga pengguna akan merasa nyaman dan tidak merasa canggung saat berhadapan dengan pasien. Selain itu, ELIQUIN juga mempunyai slot baterai A2 yang mudah didapatkan di pasaran. Produk ini dikemas dengan tas cantik yang flexible untuk bisa dibawa kemana-mana menyesuaikan target, yaitu mahasiswa jurusan kesehatan dan institusi pendidikan dalam bidang kesehatan yang notabene mereka memiliki mobilitas tinggi dan aktivitas yang cukup padat. Produk inovatif ELIQUIN ini dibanderol seharga Rp 599.000. Harga ini jauh lebih terjangkau jika dibandingkan dengan produk manekin impor yang notabene hanya memiliki satu fungsi injeksi, harganya berkisar antara 1,5 juta hingga Rp 2 juta. ”Sehingga ELIQUIN jauh lebih murah, flexible, dan fungsional dibanding produk manekin yang ada di pasaran. ELIQUIN A Must Have Medical Mannequin,” kata Lidya didampingi Siti Ermawati. (*) Editor: Bambang Bes