Pengantar Realitas di lapangan menunjukkan laju angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan, 2009). Data BPS tentang perceraian di Indonesia pada tahun 2004 cukup tinggi dibandingkan dengan Negara Malaysia, Singapura dan negara lain di wilayah Asia, yaitu 50% dari jumlah perkawinan yang ada (Barje, 2004 ; dalam Hendrati, 2010). BP4 Provinsi Yogyakarta melaporkan bahwa pada bulan Januari hingga Juni 2008 terdapat kasus perceraian sebanyak 406 kasus, jumlah ini meningkat dari tahun 2007 sebanyak 377 kasus (Syaifullah, 2008). Syaifullah melanjutkan, dari lima kabupaten di Yogyakarta, Kabupaten Sleman menempati urutan pertama dengan 158 kasus perceraian. Asumsi utama yang mendasari munculnya perceraian yaitu adanya konflik pernikahan yang terjadi dalam masa transisi yang penuh tekanan baik bagi orang dewasa sebagai orangtua dan pasangan, maupun bagi anak-anak (Amato, 2000). Konflik pernikahan didefinisikan sebagai konflik yang melibatkan pasangan suami istri dimana konflik memberikan efek atau pengaruh yang signifikan terhadap relasi kedua pasangan (Sadarjoen, 2005). Konflik pernikahan juga memberikan efek negatif terhadap kesehatan mental dan fisik, seperti munculnya gejala depresi, gangguan makan, perilaku alkoholisme, dan juga kesehatan yang buruk seperti menderita kanker, sakit jantung, dan nyeri kronis (Fincham & Beach, 2006). Level penyesuaian pernikahan yang rendah pada pasangan dapat menimbulkan konflik dalam ketidaksepakatan pola pengasuhan yang mengakibatkan masalah gangguan perilaku 9
pada anak dan menyebabkan pasangan berbicara kasar (O’Leary & Vidair, 2005) dan yang kemudian ditiru oleh anak (Papp, Cumming, Goeke-Morey, & Dukewich, 2002). Pernikahan merupakan salah satu dimensi krusial dalam kehidupan manusia, serta dipandang sebagai hal yang sakral dan legal. Pada saat pasangan memutuskan untuk menikah, ada harapan-harapan yang direncanakan untuk kehidupannya di masa datang. Dalam pernikahan yang sehat, masing-masing pasangan memperoleh dukungan emosional, rasa nyaman, pemenuhan kebutuhan seksual serta memiliki teman untuk bertukar pikiran yang menyenangkan (Ginanjar, 2009). Namun, perbedaan pendapat dan kegagalan pasangan untuk saling menyesuaikan diri memiliki potensi untuk menjadi sumber konflik dalam pernikahan yang berujung pada perceraian (Pebriartati, 2011). Penyesuaian
pernikahan
dijelaskan
sebagai
proses
memodifikasi,
menyesuaikan dan mengubah perilaku yang individualis menjadi perilaku berpasangan dan berinteraksi secara maksimal untuk mencapai kepuasan dalam hubungan (DeGenova & Rice, 2005). Penyesuaian ini bersifat dinamis dan berlangsung dalam keseluruhan hidup pasangan dalam pernikahan. Penyesuaian pernikahan ini berhubungan erat dengan usia pernikahan. Semakin lama usia pernikahan, semakin banyak kesempatan dan waktu bagi dua individu untuk belajar mengenal, memahami dan menyesuaikan diri. Kesulitan penyesuaian di awal pernikahan cenderung dialami oleh pasangan (Judson & Landis, 1983). Dijelaskan juga bahwa lima tahun pertama dalam pernikahan juga merupakan periode yang 10
rawan perceraian. Data menunjukkan bahwa 80% dari kasus perceraian di Indonesia terjadi pada usia pernikahan di bawah lima tahun (BP4, 2001). Pada tahun 2007, terdapat sejumlah 55% pasangan dengan usia perkawinan 1-10 tahun mengalami perceraian di Malang (BPS, 2007). Epsteins (2006, dalam Hendrati, 2010) mengukuhkan bahwa masa awal pernikahan merupakan faktor resiko penyebab perceraian yang cukup besar, yang disebabkan oleh kurangnya 1) pengetahuan tentang derajat kecocokan pasangan, 2) kemampuan berkomunikasi dan 3) keterampilan dalam melakukan resolusi konflik. Pasangan yang dapat melakukan penyesuaian pernikahan dengan baik di awal pernikahan akan terbantu untuk proses penyesuaian di masa mendatang (Landis& Landis, dalam Wahyuningsih, 2003). Addis dan Bernard (2002) mengungkapkan bahwa distorsi kognitif dan permasalahan emosi yang dimiliki pasangan menjadi sumber utama terjadinya kesulitan dalam penyesuaian pernikahan. Individu yang banyak menuntut, memandang negatif dirinya dan orang lain, memiliki toleransi frustasi rendah dan rentan mengalami konflik, cenderung memiliki penyesuaian pernikahan yang rendah. Konsep pasangan ideal, pemenuhan kebutuhan, kesamaan latar belakang, minat dan kepentingan bersama, keserupaan nilai, konsep peran, penyesuaian seksual (Hurlock, 1999), komunikasi, harga diri, (Navran dalam Blanchard, 2008), hubungan dan kondisi pernikahan orangtua, dan religiusitas (Burges & Cottrel dalam Klein, 2000) disebutkan menjadi faktor yang memperangaruhi proses penyesuaian. 11
Faktor lain yang diidentifikasi memegang peranan penting dalam proses penyesuaian pernikahan yaitu budaya. Masyarakat jawa khas dengan kaidah moril yang menekankan sikap narima, sabar, waspada-eling (mawas diri), andap asor (rendah hati), prasaja (sahaja) (Nahori & Setiono, 2010). Dalam budaya jawa juga terdapat ajaran berbentuk piwulang yang ditujukan untuk kaum wanita mengenai sikapnya terhadap suami, diantaranya patuh, sepenuh hati, narima, hormat dan ramah. Sikap tersebut merupakan sebagian cara penyesuaian diri wanita (istri) terhadap suami agar terhindar dari konflik dan tercipta suatu ketentraman dalam pernikahan (Ani, 2005). Terdapat lima aspek yang menentukan kebahagiaan pasangan yaitu komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, dan resolusi konflik (Olson & Olson, 2000). Fleksibilitas pasangan merefleksikan kemampuan pasangan untuk berubah dan beradaptasi. Hal ini juga berkaitan dengan peran yang muncul dalam relasi suami istri (role relationship). Resolusi konflik berkaitan dengan sikap, perasaan, dan keyakinan individu terhadap penyelesaian konflik dalam relasi pasangan. Kedekatan pasangan menggambarkan kedekatan emosi yang dirasakan yang berimplikasi pada pemanfaatan waktu luang, pengungkapan perasaan sayang dan lain-lain. Hal ini merupakan domain dari penyesuaian pernikahan. Mengingat hal-hal tersebut, pasangan perlu didorong untuk mengembangkan aspek-aspek yang dapat meningkatkan penyesuaian pernikahan agar terbentuk keluarga serta kehidupan pernikahan yang harmonis. Kebersyukuran memberikan beberapa dampak positif untuk kehidupan individu seperti menguatkan hubungan 12
interpersonal (Emmons & McCullough, 2003), kesejahteraan psikologis, perilaku prososial, menunjukkan rendahnya gejala fisik (Froh, Yurkewics & Kashdan, 2009), rendahnya tingkat depresi (Wood, Maltby, Gillet, Linley & Joseph, 2008), serta meningkatkan perkembangan individu (Li, Zhang, Li, Li & Ye, 2012). Kebersyukuran juga mampu meningkatkan harga diri, afek positif dan juga sumber prevensi konflik individu (Kashdan, Uswatte & Julian, 2006 ; Sheldon & Lyubomirsky, 2006 ; Froh, Kashdan, Ozimkowski & Miller, 2009), meningkatkan kualitas hidup serta lebih optimis dalam memandang hidup (Froh, Sefick & Emmons, 2008 ; Hyland, Whalley, & Geraghty, 2007) . Menurut Emmons dan McCullough (2003) kebersyukuran merupakan sebuah bentuk emosi atau perasaan, yang kemudian berkembang menjadi suatu sikap, sifat moral yang baik, kebiasaan, sifat kepribadian dan akhirnya akan mempengaruhi seseorang menanggapi/bereaksi terhadap sesuatu atau situasi. Dampak dari perasaan bersyukur dapat berkembang menjadi reaksi atau tanggapan yang berwujud pada sebuah sikap yang pada akhirnya dapat mendorong atau memotivasi seseorang untuk memberi balasan atas pemberian kebaikan yang dilakukan orang lain (Weiner & Graham, dalam McCullogh, Tsang & Emmons, 2004). Level kebersyukuran yang tinggi pada seorang istri karena apresiasi yang diberikan suami juga mampu memberikan implikasi yang signifikan atas meningkatnya kepuasan hidup (Lee & Waite, 2010). Agloe, Gable dan Maisel (2010) menjelaskan bahwa kebersyukuran mampu meningkatkan
kedekatan
dan
kepuasan
pasangan
dalam
menjalani
hari. 13
Mengungkapkan rasa syukur juga mampu meningkatkan perilaku menawarkan bantuan, mensugesti lahirnya perilaku prososial (Emmon & McCullough, 2003) meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan hidup (Toepfer & Walker, 2009) serta menunjukkan inti dari perilaku positif (Wood, Josept & Maltby, 2008). Hal yang sama terjadi dalam konteks pernikahan. Pasangan yang bersyukur memiliki pandangan yang lebih positif mengenai diri dan pasangan sehingga mempermudah proses penerimaan yang menjadi komponen penting dalam penyesuaian. Miller mengungkapkan empat tahap yang bisa dilakukan untuk meningkatkan rasa syukur seseorang (Emmons & Shelton, 2002) yaitu 1) mengidentifikasi pikiran yang salah (kekurangan atau penyesalan mengenai suatu kejadian), 2) merumuskan pikiran yang mendukung kebersyukuran, 3) mengganti pikiran yang salah menuju pikiran yang bersyukur, 4) mengaplikasikan pikiran-pikiran syukur melalui tindakan. Intervensi kebersyukuran berupa “Menabung Kebahagiaan” ditawarkan sebagai solusi untuk meningkatkan level penyesuaian pernikahan pada pasangan dengan menggunakan pendekatan rasional-emotif perilaku. Rasional-emotive behavior therapy menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi dan bertindak secara simultan. Manusia cenderung merasakan emosi dengan berpikir, sebab perasan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi spesifik (Corey, 2009). Pelaksanaan intervensi kebersyukuran dilakukan dalam setting konseling kelompok. Dalam teori konseling kelompok Yallom (1985) dikatakan bahwa latihan diskusi atau sharing membantu peserta untuk memiliki kontak yang lebih personal serta mendapatkan dukungan emosional. Selain itu, dalam program ini juga 14
menggunakan media menulis sebab terdapat proses terapeutik serta menjadi media katarsis (Pannebaker & Chung, 2007; Baikie & Wilhelm, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh program “Menabung Kebahagiaan” dalam meningkatkan penyesuaian pernikahan pada pasangan di awal usia pernikahan. Hipotesis yang diajukan adalah pemberian program “Menabung Kebahagiaan” mampu meningkatkan level penyesuaian pernikahan pada pasangan di awal usia pernikahan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar ilmiah mengenai penerapan intervensi kebersyukuran yang berkaitan dengan penyesuaian pernikahan di awal usia pernikahan pada pasangan suami istri dan menjadi panduan praktis bagi para psikolog ataupun konselor yang memiliki fokus pada pasangan dan keluarga. Kerangka pemikiran
Usia awal perkawinan
Penyesuaian Perkawinan rendah Rendahnya penyesuaian diri dengan kepribadian dan kebiasaan pasangan Meningkatnya emosi negatif
Fokus pada kekurangan pasangan Relasi yang buruk dengan keluarga pasangan
Level penyesuain perkawinan meningkat
Intervensi Kebersyukuran Tahap I Cognitive restucturing Pengenalan graritude
Tahap II Counting blessing (Diri dan pasangan) Expressing, visualizing gratitude & feeling Penugasan Self guided
Tahap III Roleplay (letter of Gratitude) Sharing gratitude dengan pakar Tahap IV Penguatan Evaluasi
Keterangan : Menyebabkan : Pemberian intervensi : rentan akan
15 Gambar 1. Alur Berpikir