HASIL STUDI KUALITATIF PERSPEKTIF PERAN SERTA MASYARAKAT SIPIL UNTUK KEBERHASILAN PROGRAM KESEHATAN IBU, ANAK, dan REMAJA TAHUN 2013
Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak Jakarta 2014
ii
HASIL STUDI KUALITATIF PERSPEKTIF PERAN SERTA MASYARAKAT SIPIL UNTUK KEBERHASILAN PROGRAM KESEHATAN IBU, ANAK, dan REMAJA TAHUN 2013 DR.dr. Brian Sriprahastuti, M.P.H. dr. Budhi Setiawan, M.P.H. Asteria Aritonang, S.Sos, M.Min., M.B.A.
Jakarta, Maret, 2014
Laporan ini ditulis atas nama Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) berdasarkan studi yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil (OMS) yang tergabung dalam Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA), dengan pendanaan World Health Organization (WHO), melalui Wahana Visi Indonesia. Pengumpulan data didukung oleh: Aliansi Pita Putih Indonesia, Child Fund, FOPKIA – Banten, FORMAP KIA – Sulawesi Selatan, Mercy Corps Indonesia, Micronutrient Initiative, Muhammadiyah, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Plan Indonesia, Save the Children, Wahana Visi Indonesia, Yayasan Pembangunan Cita Insani Indonesia. GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
iii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii EXECUTIVE SUMMARY............................................................................................... iv SEKILAS PANDANG TENTANG GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK ........................... v BAB 1. PENDAHULUAN ...............................................................................................1 1.1. Latar Belakang .................................................................................................3 1.2. Tujuan Studi ....................................................................................................5 BAB 2. DESAIN STUDI .................................................................................................6 BAB 3. HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN .....................................................................8 3.1. Proses Pengumpulan Informasi ........................................................................8 3.2. Pengolahan serta Analisis Data dan Informasi ................................................. 11 3.3. Keterlibatan LSM sebagai Pelaksana Diskusi Kelompok ................................... 12 3.4. Karakteristik Peserta Diskusi .......................................................................... 13 3.5. Persepsi Peserta tentang Program Kesehatan Ibu ........................................... 14 3.5.1. Indikator Program Kesehatan Ibu ............................................................. 14 3.5.2. Kebijakan Program Kesehatan Ibu............................................................ 18 3.6. Persepsi Peserta tentang Program Kesehatan Anak ........................................ 29 3.6.1. Indikator Program Anak ........................................................................... 29 3.6.2. Kebijakan Program Kesehatan Anak ......................................................... 31 3.7. Persepsi Peserta terhadap Program Kesehatan Remaja ................................... 41 3.7.1. Indikator Program Kesehatan Remaja ...................................................... 41 3.7.2. Kebijakan Program Kesehatan Remaja ..................................................... 44 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................ 49 KESIMPULAN .................................................................................................. 49 B. SARAN.............................................................................................................. 51
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
iv
EXECUTIVE SUMMARY The UN’s Commission on Information and Accountability (COIA) recommended that each country develop an accountability framework that includes a strong role for Civil Society Organizations (CSOs) to improve policy and accountability for maternal and child health programmes. Since no formal mechanism is established through which CSOs can fulfil this role, a coalition of Indonesian CSOs piloted an initiative to obtain the needed inputs by reviewing 2013’s programme status and offering its perspective to the GoI on MCH policy and accountability for inclusion in the next health strategic plan. A study explored the perspective of the participating CSOs with regard to this process. A qualitative study was conducted through 35 focus group discussions with representatives from CSOs, family welfare empowerment and faith-based organisations as well as other relevant agencies. The study assessed the participants’ experience in the development and monitoring of MCH programmes in 12 representative provinces of Indonesia. Analysis method used for this study was content analysis where data reduction and display were done before formulating the conclusion CSOs viewed that while some local governments had useful MCH policies, the influence of civil society to ensure accountability was limited by lack of access to data and consultation by the GoI with them. CSOs expressed the concern that local politicians are biased towards infrastructure development as compared to programmes with broad social benefits, while communities themselves are largely unaware of both the obligations of government to deliver good MCH services as well as their right to receive such services. Civil society organisations may improve accountability for MCH programmes by strengthening grass-root participation in advocacy and monitoring of equitable results especially for marginalised groups. At the same time, CSOs should more aggressively seek to obtain information on MCH policies and budgets, as is their right under Indonesian law. Increased grassroots participation and awareness coupled with better informed advocacy from civil society may be expected to improve accountability. Writer.
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
v
SEKILAS PANDANG TENTANG GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) diinisiasi bersama oleh Pemerintah dan Lembaga Non Pemerintah (organisasi masyarakat sipil, organisasi profesi, organisasi berbasis iman) pada awal 2010 dan diluncurkan pada 23 Juni 2010 oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Bapak Agung Laksono. GKIA bertujuan untuk mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium/ Millenium Development Goals 2015. Pada saat diluncurkannya, GKIA melibatkan mitra Pemerintah dan Non Pemerintah dari 10 provinsi dengan angka kematian balita tertinggi di Indonesia berdasarkan SDKI 2007. Dalam perjalanannya GKIA berupaya mendukung fokus yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2012, yaitu 12 provinsi, yang diprioritaskan untuk program peningkatan kualitas Kesehatan Ibu dan Anak. GKIA secara reguler mengadakan pertemuan koordinasi sejak awal 2011 dan telah menjadi media yang digunakan untuk membangun komunikasi yang lebih intensif dengan para pengambil keputusan di bidang KIA dan Gizi, khususnya di tingkat nasional. GKIA juga telah dianggap dan dipercaya mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia di bidang KIA dan Gizi pada forum di tingkat regional Asia Pasifik dan Global, antara lain pertemuan yang diadakan WHO serta UNICEF. Sejak diluncurkannya Strategi Global untuk Kesehatan Perempuan dan Anak “Every Woman, Every Child” oleh Sekjen PBB pada tahun 2011, GKIA telah menginisiasi serangkaian pertemuan lintas kementerian/lembaga, termasuk dengan Komisioner Indonesia - Menteri Luar Negeri RI, serta mengawal tindak-lanjut rekomendasi dari Komisi Informasi dan Akuntabilitas (Commission on Information and Accountability). GKIA bahkan dipercaya menjadi penanggung jawab Kelompok Kerja Advocacy & Outreach, dan mengelola dana dari WHO untuk melakukan kegiatan berupa Pelatihan Jurnalis dan Diskusi Masyarakat Sipil. Studi ini merupakan salah satu hasil dari Kelompok Kerja Advocacy & Outreach, yang telah dipaparkan sebagai bagian dari Seminar Background Study RPJMN yang diselenggarakan Bappenas RI pada bulan Februari 2014. Asteria Aritonang – Koordinator Tim Kerja GKIA
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
GLOSSARY AKB
: Angka Kematian Bayi
AKABA
: Angka Kematian Balita
AKI
: Angka Kematian Ibu
ANC
: Ante Natal Care
APBD
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BKKBN
: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
Bapermas
: Badan Pemberdayaan Masyarakat
CHIS
: Consolidated Health Information System
COIA
: Commission on Information and Accountability
DKT
: Diskusi Kelompok Terarah
D/S
: Ditimbang / Semua
Jamkesmas
: Jaminan Kesehatan Masyarakat
Jampersal
: Jaminan Persalinan
Kemenkes
: Kementerian Kesehatan
KDS
: Komunitas Donor Sukarela
KIBBLA
: Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, dan Anak
KN
: Kunjungan Neonatal
KP Ibu
: Kelompok Pendukung Ibu
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
OMS
: Organisasi Masyarakat Sipil
MDG
: Millenium Develompment Goals
P4K
: Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
PKK
: Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
PN
: Persalinan Normal
PNPM
: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
2
PONED
: Pelayanan Obstetri Neonatus EmergensiDasar
PONEK
: Pelayanan Obstetri Neonatus Emergensi Komprehensif
PWS-KIA
: Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak
RSUD
: Rumah Sakit Umum Daerah
RT
: Rukun Tetangga
RW
: Rukun Warga
Rifaskes
: Riset Fasilitas Kesehatan
Riskesdes
: Riset Kesehatan Dasar
SDKI
: Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
SKPD
: Satuan Kerja Perangkat Daerah
SPOG
: Spesialis Obstetri & Ginekologi
TTS
: Timor Tengah Selatan
TTU
: Timor Tengah Utara
UKBM
: Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat
UNICEF
: United Nations Children’s Fund
WHO
: World Health Organization
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
3
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada bulan Februari 2013, kelompok pemerintah dan masyarakat sipil telah menyelesaikan kerangka kerja akuntabilitas negara yang mengacu pada 10 rekomendasi Komisi Informasi dan Akuntabilitas. Kelompok Kerja Advokasi dan Penjangkauan (Outreach) telah menyepakati untuk memprioritaskan penguatan peran masyarakat sipil dan media sebagai kegiatan penting di tahun 2013, untuk meningkatkan hubungan pemerintah, masyarakat sipil dan media dalam upaya peningkatan akuntabilitas kesehatan ibu dan anak. Pada tahun 2012, Direktorat Jendral Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (GiKIA) melakukan tinjauan paruh waktu untuk mengkonfirmasi pencapaian kinerja program yang dilaporkan rutin secara berjenjang dari Puskemas hingga tingkat pusat. Tinjauan paruh waktu renstra progam GiKIA dilakukan melalui studi kuantitatif di 16 kabupaten dari 8 provinsi di Indonesia yang dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan heterogenitas, laporan kinerja program dan kepentingan Direktorat GiKIA. Laporan fasilitas menyebutkan tiga indikator utama GiKIA, yaitu PN (Persalinan Normal), D/S dan KN1, hampir mencapai target, tetapi AKI, AKB dan AKABA masih tinggi. Hasil studi tinjauan paruh waktu pencapaian Renstra GiKIA 2010-2014 secara deskriptif menunjukkan capaian indikator program GiKIA yang rendah dibandingkan dengan data fasilitas hasil pencatatan dan pelaporan tahun 2011, walaupun terjadi kenaikan dibandingkan tahun 2010. Analisis terhadap situasi tersebut menemukan fakta bahwa akses program GiKIA belum mencapai cakupan semesta, kualitas layanan kesehatan GiKIA belum mencapai standar, kapasitas sumber daya kesehatan terbatas, SIK tidak berfungsi optimal dan perencanaan program GiKIA kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
4
“Akses program GiKIA belum mencapai cakupan semesta, kualitas layanan kesehatan GiKIA belum mencapai standar, kapasitas sumber daya kesehatan terbatas, SIK tidak berfungsi optimal dan perencanaan program GiKIA kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.” (Tinjauan Paruh Waktu Renstra GiKIA, 2012)
Hasil studi tersebut merekomendasikan perlunya sinergitas
berbagai
faktor
untuk
dapat memecahkan kendala lemahnya kemampuan manajerial Puskemas, terbatasnya sumber daya manusia (SDM) kesehatan, kendala geografis dan akseptabilitas keluarga serta kurangnya peran serta masyarakat sipil.
Studi ini dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang kinerja pemerintah Republik Indonesia terkait dengan kesehatan reproduksi, ibu hamil, bayi baru lahir, balita, anak dan remaja dari perspektif yang berbeda. Hasil studi ini akan menjadi informasi pendukung hasil riset kesehatan terkini (SDKI 2012, Riskesdas 2013 dan Risfaskes 2011) serta pengayaan informasi analisis stakeholder institusi pemerintah yang saat ini sedang berlangsung di enam kabupaten terpilih. Oleh karena itu, perlu dicari jawab atas pertanyaan berikut: 1) Faktor apa saja yang menjadi determinan capaian kinerja program Gizi dan KIA menurut perspektif masyarakat sipil? 2) Kebijakan kritis apa yang direkomedasikan kepada pemerintah sebagai upaya percepatan capaian target indikator program kesehatan ibu, balita, dan remaja sesuai Renstra 2010-2014? 3) Kebijakan apa yg harus ditetapkan sebagai indikator keberhasilan dan cara pengukuran Renstra GiKIA 2015-1019? 4) Apa peran masyarakat sipil untuk mendukung pencapaian indikator program GiKIA 2015-2019?
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
5
Informasi yang dikumpulkan, diolah, dan dianalisis, akan menjadi input rekomendasi kebijakan bagi perbaikan kinerja Kementerian Kesehatan dalam penyusunan Rencana Strategi 2015-2019 yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat serta menjadi bukti peran serta organisasi non pemerintah dalam pembangunan kesehatan ibu dan anak di Indonesia. 1.2. Tujuan Studi Studi ini dilakukan untuk mencapai tujuan umum, yaitu untuk mengetahui persepsi organisasi non pemerintah dan unsur masyarakat tentang kinerja program GiKIA serta peran serta yang harus dirumuskan. Sedangkan tujuan khusus studi ini adalah: 1) Diketahuinya infomasi mendalam permasalahan capaian program GiKIA. 2) Diketahuinya kebijakan kritis apa yang direkomendasikan kepada pemerintah sebagai upaya percepatan capaian target indikator GiKIA 2010-2014. 3) Diketahuinya kebijakan apa yang harus ditetapkan sebagai indikator keberhasilan dan cara pengukuran Renstra GiKIA 2015-1019. 4) Dirumuskannya peran masyarakat sipil untuk mendukung program GiKIA serta pengukuran indikatornya.
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
6
BAB 2. DESAIN STUDI
Studi ini dirancang sebagai sebuah studi kualitatif murni. Pengumpulan informasi dilakukan dengan metode diskusi kelompok
terarah dengan
informan yang mewakili unsur-unsur masyarakat sipil. Instrumen pada studi ini adalah peneliti, sedangkan alat ukur yang dipergunakan adalah catatan dan perekam suara. Pengumpulan informasi dilakukan dengan menggunakan panduan diskusi yang dikembangkan dari pertanyaan-pertanyaan kunci yang muncul untuk menjawab tujuan studi ini. Tujuan diskusi kelompok terarah adalah sebagai berikut: 1) menggali informasi tentang persepsi masyarakat yang berkaitan dengan kinerja pemerintah dalam pencapaian target indikator program kesehatan ibu, bayi baru lahir, balita, anak, dan remaja. 2) menganalisis akar permasalahan yang ditemukan dari temuan hasil tinjauan tengah tahun capaian Renstra 2012, SDKI 2012, Riskesdas 2012, dan Risfaskes 2010. 3) menganalisis informasi kualitatif untuk menentukan kepentingan siapa yang
harus
diperhitungkan
ketika
mengembangkan
dan/atau
menerapkan kebijakan atau program, sehingga dapat dipetakan posisi pemangku berdasarkan
kepentingan
(terkait
pengetahuan,
permasalahan
yang
kekuasaan/kepemimpinan,
ditemukan) sumberdaya,
aliansi, dan dukungan. 4) merumuskan opsi kebijakan untuk mengatasi masalah yang ditemukan hasil studi sebelumnya. Peserta DKT (diskusi kelompok terarah) adalah: Perwakilan LSM lokal, PKK, komisi anak, organisasi berbasis agama, adat/budaya, profesi non kesehatan (PGRI, Himpaudi) dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang dianggap relevan untuk memberikan informasi sesuai kebutuhan. Ruang lingkup studi ini meliputi tiga aspek, yaitu kesehatan ibu, kesehatan anak, dan kesehatan
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
7
remaja. Daerah studi ditentukan secara purposif, meliputi 12 provinsi yaitu: Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Selatan. Diskusi kelompok terarah diikuti 8-12 peserta yang mewakili organisasi berbeda, dipandu oleh seorang fasilitator dan didampingi oleh seorang pencatat. Peserta diskusi kelompok disepakati bersama bukan atas nama perorangan dan bukan pegawai pemerintah. Fasilitator dan pencatat dipilih oleh LSM focal point dengan mempertimbangkan kompetensi untuk memandu sebuah diskusi kelompok terarah. Rancangan panduan diskusi dipersiapkan oleh peneliti dan disempurnakan berdasarkan masukan dari LSM focal point, sekaligus menyamakan persepsi tentang pertanyaan dan informasi yang diharapkan dari pertanyaan tersebut. Studi ini dilakukan selama tiga bulan sejak pertengahan November 2013 sampai dengan pertengahan Februari 2014. Proses dan analisis informasi dilakukan di Jakarta oleh peneliti dan asisten peneliti. Penelitian ini dibiayai oleh WHO (World Health Organization) untuk Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak melalui Wahana Visi Indonesia.
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
8
BAB 3. HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN
3.1. Proses Pengumpulan Informasi Rapat persiapan dihadiri perwakilan LSM focal point, WHO, UNICEF, dan GKIA, dilaksanakan di kantor ChildFund pada tanggal 19 November 2013 dengan tujuan menyepakati tujuan, proses, dan hasil yang diharapkan dari DKT serta finalisasi panduan DKT, mekanisme pelaksanaan, dan kerangka waktu. Kesepakatan penting yang dihasilkan dari rapat persiapan ini adalah modifikasi panduan DKT menjadi kombinasi dengan kuesioner, sehingga metode studi menjadi kuantitatif-kualitatif dengan bobot lebih besar pada studi kualitatif.
Foto 1. Suasana Diskusi Persiapan – 19 November 2013 Hasil rapat menyepakati bahwa DKT dilaksanakan di tingkat kabupaten di 12 provinsi yang direncanakan pada awal studi ini dirancang. Tiga topik diskusi, yaitu kesehatan ibu, kesehatan anak, dan kesehatan remaja, bisa
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
9
dilaksanakan di kabupaten yang sama ataupun berbeda. LSM focal point diberi kebebasan untuk menentukan sendiri kabupaten yang akan dijadikan sampel dengan mempertimbangkan juga keanekaragaman organisasi masyarakat sipil yang ada di daerah tersebut serta urgensi masalah KIA dan Kespro yang dihadapi. Kriteria peserta DKT adalah sbb: 1)
Bukan dari unsur Pemerintah dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah);
2)
Mewakili masyarakat sipil, contoh: PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga), organisasi profesi, tokoh agama, tokoh masyarakat , LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), akademisi, forum remaja;
3)
Memperhatikan aspek keterwakilan jender dan kelompok umur (remaja);
4)
Sudah terlibat (praktisi/pengamat) dalam program Kesehatan Ibu dan Anak minimal 2 (dua) tahun;
5)
Pernah berkoordinasi langsung dengan Dinas Kesehatan minimal tingkat kabupaten/kota untuk minimal 1 (satu) kegiatan;
6)
Bersedia mengikuti DKT secara utuh (sekitar 2 jam) pada hari yang telah ditentukan di tingkat provinsi/kabupaten/kota.
Uji coba panduan diskusi dilakukan di Kabupaten TTS (Timor Tengah Selatan) – Provinsi Nusa Tenggara Timur oleh Sanggar Suara Perempuan pada tanggal 26 November 2013.
Foto 2. Suasana Ujicoba Instrumen di Kab. TTS – 26 November 2013
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
10
Hasil uji coba memperlihatkan bahwa panduan layak untuk dipergunakan, menghabiskan waktu tidak lebih dari tiga jam, optimal bila diikuti minimal delapan peserta dari organisasi masyarakat sipil yang berbeda, feasible melibatkan remaja (dewan anak) dalam diskusi dan dukungan dana juga cukup bagi peserta, notulis dan fasilitator. Beberapa masukan untuk pelaksanaan DKT adalah pemisahan kelompok ibu dan balita secara programatik sulit dilakukan sehingga diperlukan keahlian fasilitator untuk memandu peserta diskusi agar diskusi dapat terfokuskan untuk memberikan informasi yang jelas antara kedua kelompok tersebut. Diskusi kelompok terarah dilaksanakan antara 2-3 jam, dipandu oleh 1 orang fasilitator dan 1-2 orang pencatat dengan tahapan diskusi sbb: 1) Fasilitator menyampaikan kuesioner terstruktur tentang uraian sebabakibat masalah dan stakeholders analysis kepada semua informan untuk diisi selama 30 menit. 2) Fasilitator memimpin DKT dengan panduan pertanyaan yang sudah disiapkan dengan tujuan: a) mengenali uraian sebab-akibat masalah yang ditemukan dan opsi kebijakannya,
posisi
stakeholders
berdasarkan
pengetahuan,
kekuasaan/kepemimpinan, sumberdaya, aliansi, dan dukungan. b) menggali secara mendalam pendapat peserta diskusi tentang masalah kesehatan ibu/balita/remaja, penyebab, dan opsi kebijakannya. c) merumuskan hasil DKT berdasarkan uraian sebab-akibat masalah dan opsi kebijakan. 3) LSM
focal
point
membuat
ringkasan
proses
diskusi
dan
mempresentasikan kepada Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak pada 10-11 Desember 2013. Pertemuan ini dilakukan untuk proses belajar
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
11
pelaksanaan diskusi kelompok terarah serta mediasi pengumpulan hasil DKT. 4) Informasi dari voice recorder dipindahkan ke bentuk transkrip oleh anggota Pergerakan Anggota Muda Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (PAMI) pada tanggal 11 Desember 2013 hingga minggu pertama bulan Januari 2014. 5) Transkrip diolah menjadi tampilan informasi oleh asisten peneliti dan diserahkan kepada peneliti utama pada minggu ke-3 bulan Januari 2014. 6) Reduksi infromasi, analisis lanjutan, dan pelaporan dilakukan oleh peneliti utama. 7) Draft awal laporan dipresentasikan dan dibahas untuk klarifikasi kepada anggota GKIA pada akhir bulan Jnauari 2014. 8) Laporan Final dipresentasikan dalam Seminar Sehari bersama Bappenas pada 12 Februari 2014. 3.2. Pengolahan serta Analisis Data dan Informasi Metode kuantitatif dan kualitatif dilakukan untuk menghasilkan informasi komprehensif tentang program kesehatan ibu, bayi baru lahir, bayi, balita, dan remaja di 12 provinsi daerah studi. Data kuantitatif disarikan melalui distribusi frekuensi data yang dihasilkan dari kuesioner FGD bagian 1 (satu) yang telah dipersiapkan sebelum dimulainya diskusi di setiap diskusi kelompok terarah. Formulasi data yang dihasilkan berbentuk proporsi yang mewakili karakteristik individu tiap anggota diskusi. Karakteristik yang dilihat dalam data kuantitatif antara lain umur informan, jenis kelamin informan, latar belakang pendidikan, serta skor individu terhadap indikator program kesehatan ibu/anak/remaja, dan kebijakan kesehatan ibu/anak/ remaja di kabupaten/kota. Analisis kualitatif digunakan untuk mendapatkan informasi secara mendalam terhadap keadaan program yang sudah, sedang, dan akan berlangsung di
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
12
daerah kabupaten tempat tinggal peserta diskusi. Studi ini menggunakan analisis isi dengan tahapan proses: fasilitator ataupun note-taker merekam proses diskusi menggunakan perekam suara (voice recorder) dan catatan untuk kemudian dihasilkan transkrip verbatim yang akan direduksi untuk kemudian ditampilkan dan diambil kesimpulan yang berbasis bukti (evidence-based). 3.3. Keterlibatan LSM sebagai Pelaksana Diskusi Kelompok Delapan LSM berperan sebagai focal point DKT di tingkat provinsi. Sembilan LSM dan dua koalisi sebagai pemandu DKT di tingkat kabupaten. LSM focal point rata-rata memandu dua kelompok diskusi, tergantung pada interest dan fokus program yang dijalankan oleh masing-masing LSM. Penentuan LSM pemandu DKT cukup dinamis sehingga terjadi interaksi yang baik untuk saling mendukung (Tabel 3.3.1). Tercatat sejumlah 368 orang menjadi peserta diskusi, DKT kesehatan remaja di Jawa Timur terkendala dalam pelaksanaan, demikian juga halnya di Jawa Barat yang hanya diikuti 3 orang peserta saja (Tabel 3.3.2). Tabel 3.3.1 Distribusi LSM Pelaksana DKT Berdasarkan Provinsi No
Provinsi
Kesehatan Ibu
1
Forum Percepatan KIA PKBI
3 4 5
Sumatra Utara Sumatra Selatan Lampung DKI Jakarta Banten
6
Jawa Barat
7
Jawa Tengah Jawa Timur NTT Papua
2
8 9 10
PKBI Mercy Corps Forum Komunikasi KIA ChildFund ChildFund APPI APPI YPCII
Kesehatan Balita Forum Percepatan KIA PKBI
Kesehatan Remaja Forum Percepatan KIA PKBI
LSM focal point
PKBI Mercy Corps Forum Komunikasi KIA Save the Children ChildFund
PKBI Wahana Visi Micronutrient Initiative
PKBI Mercy Corps Muhammadiyah
Save the Children ChildFund
Save the Children ChildFund
APPI Plan YPCII/World Vision
Wahana Visi Plan Wahana Visi
APPI Plan YPCII
Muhammadiyah PKBI
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
13
Tabel 3.3.1 Distribusi LSM Pelaksana DKT Berdasarkan Provinsi No
Provinsi
Kesehatan Ibu
11 12
Papua Barat Sulawesi Selatan
PKBI USAID - EMAS
Kesehatan Balita PKBI USAID - EMAS
Kesehatan Remaja PKBI PKBI
LSM focal point PKBI Muhammadiyah
Tabel 3.3.2 Distribusi Jumlah Peserta DKT Berdasarkan Provinsi NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Provinsi Sumatra Utara Sumatra Selatan Lampung Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur NTT Papua Papua Barat Sulawesi Selatan Total
Jumlah Peserta DKT Ibu 9 12 12 9 12 14 13 11 8 9 10 9 115
Jumlah Peserta DKT Anak 11 11 12 10 11 13 10 10 11 10 13 9 140
Jumlah Peserta DKT Remaja 12 12 13 9 14 3 13 NA 9 8 11 9 113
3.4. Karakteristik Peserta Diskusi Partisipasi masyarakat sipil pada studi ini cukup variatif berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, dan latar belakang pendidikan. Usia termuda peserta diskusi adalah 12 tahun dan tertua adalah 77 tahun. DKT didominasi peserta perempuan, kecuali pada DKT remaja proporsi laki-laki dan perempuan hampir sama. Pendidikan peserta sebagian besar (89%) adalah minimal tamat SMA sehingga diasumsikan mempunyai pendidikan yang baik untuk dapat memberikan pendapat terkait program KIA di daerahnya.
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
14
80 70 60
74
71
50 51
40
Perempuan
49
Laki-Laki
30 20
26
29
10 0 DKT Kes Ibu
DKT Kes Anak
DKT Kes Remaja
Gambar 3.4.1. Grafik Proporsi Peserta Diskusi Berdasarkan Jenis Kelamin 50 40 DKT Ibu
30
DKT Anak
20
DKT Remaja
10 0 Tidak Minimal Minimal Minimal Minimal Tamat Tamat Tamat Tamat Tamat Pendas SMP SMA Sarjana Pasca Sarjana
Gambar 3.4.2. Grafik Proporsi Peserta Diskusi Berdasarkan Pendidikan 3.5. Persepsi Peserta tentang Program Kesehatan Ibu 3.5.1. Indikator Program Kesehatan Ibu Keberhasilan Program Kesehatan Ibu diukur dari ketercapaian indikator. Ada enam indikator yang dinilai pada studi ini, yang dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu indikator akses dan indikator kualitas. Indikator akses dengan melihat cakupan pemeriksaan pertama kehamilan pada trimester pertama (K1), pemeriksaan ke-4 kehamilan pada trimester ke-3 (K4) dan persalinan dengan pertolongan oleh tenaga kesehatan (PN), sedangkan indikator kualitas dengan mempertimbangkan dilakukannya layanan 7 T
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
15
pada saat pemeriksaan antenatal, dilakukannya pemeriksaan kehamilan (ANC/Ante Natal Care) dengan timing yang tepat (1:1:2), dan pertolongan persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan.
Tabel 3.5.1. Distribusi Frekuensi Sikap Peserta terhadap Indikator Kesehatan Ibu STS (%) TS (%) S (%) SS (%) TM (%) K1 0.87 1.75 43.85 52.63 0.9 7T 0 0.85 40.35 58.8 0 K4 0.87 1.75 43.85 52.63 0 K4 murni 0 4.38 60.52 33.3 1.8 PN 0.87 0 35.08 64.05 0 PNF 0 0 42.98 43.85 13.7
Analisis terhadap data kuantitatif menunjukkan bahwa terhadap semua indikator sejumlah 86.83%-99.15% peserta setuju dengan indikator akses dan kualitas yang ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku pada saat ini. Indikator yang paling disetujui adalah indikator kualitas layanan ANC 7 T (99.15%), diikuti PN (99.13%). Indikator persalinan di fasilitas kesehatan paling rendah frekuensi yang menyetujuinya. Terhadap semua indikator tersebut, 81% peserta beranggapan bahwa target kabupaten sudah tercapai. Peserta dalam diskusi berpendapat bahwa indikator-indikator tersebut tidak dapat mengukur pemerataan layanan kesehatan ibu. Ada lokus dan kelompok sasaran yang masih menghadapi kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan. Hal tersebut terjadi karena ada daerah yang kondisi geografisnya sulit, tidak semua desa memiliki fasilitas dan tenaga kesehatan, dan ibu diffable diperlakukan sama padahal kebutuhan mereka khusus. Indikator partisipasi laki-laki dalam keluarga berencana sudah ada, yaitu jumlah suami yang menggunakan kondom (atau vasektomi). Indikator ini menjadi kinerja BKKBN. Peserta DKT beranggapan bahwa indikator partisipasi laki-laki ini penting juga sebagai indikator keberhasilan program
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
16
ibu karena suami/bapak banyak dilibatkan sekarang untuk pertemuan dan sosialisasi dukungan kepada ibu. Selain indikator yang langsung mengukur layanan kesehatan ibu, diperlukan pengukuran juga pada kelompok sasaran remaja putri karena ibu hamil yang sehat dan persalinan yang selamat dapat dipersiapkan sejak dini oleh calon ibu. Pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil, yang menjadi indikator kualitas ANC, tidak secara otomatis mengatasi masalah anemia pada ibu hamil. Semestinya program kesehatan ibu juga bisa memastikan bahwa semua remaja putri tidak anemia. Konseling dan upaya kesehatan bagi remaja putri perlu dipikirkan menjadi indikator yang tidak terpisah dengan program ibu. “Jika berpikir tentang kesehatan ibu, maka semestinya kita harus memulai dari calon ibu. … Mereka adalah remaja putri, yang harus disiapkan secara baik sejak dini untuk menjadi ibu berkualitas di masa depan. Oleh-karenanya, perlu upaya-upaya terukur dan terarah dari pemerintah untuk mempersiapkan remaja putri secara baik.” Perlu dipikirkan adanya indikator partisipasi masyarakat sipil untuk program kesehatan ibu. Indikator tersebut semestinya adalah indikator yang sensitif dan strategis. Indikator partisipasi masyarakat sipil diukur berjenjang dari desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga ke tingkat nasional. Partisipasi di tingkat desa bisa diukur dari keberadaan dan berfungsinya Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) yang relevan dengan kesehatan ibu. Desa Siaga dan Posyandu menjadi kendaraan UKBM yang strategis, demikian pula kemitraan antara Kader dan Bidan/Perawat desa dalam Poskesdes. ”… ada UKBM berbasis ibu, seperti tabupas, tabungan ibu hamil. Program ibu hamil berjalan. Di masyarakat sudah mulai ada kesadaran donor sukarela (KDS=Komunitas Donor Sukarela). Motivator KIA sudah berjalan.…”
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
17
Partisipasi masyarakat sipil bisa saja dalam bentuk pemantauan pelaksanaan program kesehatan ibu dan mengevaluasi dampak program, misalnya kematian ibu. Kutipan berikut ini mewakili pendapat tersebut: “… Belum adanya pemantuan mengenai program. Ada ibu yang mendapat stiker P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi), …digunakan untuk menambal ember yang pecah.” “Di Jateng (ada) kematian 635 ibu. Data ini harus diekspos agar lebih waspada.” Ketersediaan layanan menjadi input penting dalam pencapaian target indikator program kesehatan ibu. Perlu digali lebih mendalam apa indikator ketersediaan tenaga kesehatan ini. Dengan mempertimbangkan aspek pemerataan, perlu didiskusikan lebih lanjut apakah ketersediaan layanan tersebut menggunakan unit desa atau rasio terhadap penduduk. Dari enam indikator program kesehatan ibu yang dijadikan topik DKT, terpenuhinya 7T pada K1 dianggap sebagai indikator yang penting oleh sebagian besar peserta diskusi. Hal tersebut sejalan dengan hasil DKT bahwa kualitas penyediaan layanan kesehatan ibu tidak hanya dilihat dari kapasitas teknis tenaga/fasilitas kesehatan, tetapi juga kepatuhan tenaga kesehatan terhadap pedoman/SOP (Standar Operasional Prosedur) serta komunikasi yang baik dengan masyarakat yang dilayani. Secara umum, peserta diskusi menyambut baik inisiatif pemerintah dengan kebijakan Jampersal karena terbukti meningkatkan akses masyarakat untuk menjangkau fasilitas kesehatan. Hanya saja, pemerintah perlu mengatur lebih tegas agar tidak berdampak pada meningkatnya jumlah kehamilan dan persalinan. Sebagian peserta kuatir bahwa pemeriksaan kehamilan dan persalinan gratis akan memicu kehamilan, tanpa mengindahkan risiko GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
18
penyulit dan kematian yang dihadapi ibu. Kecenderungan peningkatan kunjungan pemeriksaan kehamilan dan persalinan di fasilitas sebagai akibat kebijakan Jampersal tampaknya belum diantisipasi dengan penambahan jumlah tenaga kesehatan yang melayani di fasilitas kesehatan. ”… Jampersal tujuannya untuk menurunkan angka kematian, tapi toh masih tinggi mungkin berkaitan dengan pelaporan kematian yang jalan saat ini. Pemeriksaan hamil gratis …Akibat yang terjadi antrian panjang.…” 3.5.2. Kebijakan Program Kesehatan Ibu Analisis terhadap data kuantitatif menunjukkan bahwa 74% peserta diskusi setuju bahwa kebijakan yang berlaku di kabupaten memberikan keuntungan bagi organisasi masing-masing. Keuntungan tersebut paling banyak adalah aspek upaya kesehatan dan sumber daya kesehatan, sedangkan yang paling rendah adalah sistem informasi kesehatan. Sebagian besar peserta diskusi setuju bahwa ada pihak-pihak di luar sektor kesehatan yang mendukung kebijakan program kesehatan ibu. Pihak-pihak tersebut adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan institusi pemerintah, sedangkan perusahaan profit yang paling sedikit dukungannya. Sebagian besar peserta tidak setuju pernyataan bahwa ada pihak-pihak di luar sektor kesehatan yang tidak mendukung kebijakan kabupaten tentang program kesehatan ibu. Kalaupun ada, proporsinya hampir sama antara institusi pemerintah di luar kesehatan, perusahaan profit, LSM, dan lain-lain.
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
19
Sebagian besar kabupaten yang menjadi kajian dalam diskusi ini telah memiliki kebijakan yang berhubungan dengan kesehatan ibu. Sebagian besar kebijakan tersebut berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub) atau Peraturan Bupati (perbup) tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Anak Balita (KIBBLA). Ada juga peraturan tentang kesehatan yang lebih luas, misalnya tentang Kartu Jakarta Sehat atau Jaminan Kesehatan Magelang Sehat (JKMS). Di Sumatra Selatan, peraturan yang tersedia adalah Perda tentang HIV. Tiga provinsi, yaitu Jawa Timur, Papua, dan Papua Barat, tidak secara spesifik menyebutkan peraturan tertulis tentang kesehatan ibu, walaupun ada kebijakan dalam bentuk program, misalnya
insentif
kader
dan
pemberian makanan tambahan di Ada pihak-pihak di luar sektor kesehatan yang mendukung kebijakan program kesehatan ibu. Pihak-pihak tersebut adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan institusi pemerintah, sedangkan perusahaan profit yang paling sedikit dukungannya. (FGD, 2013)
Posyandu. Enam provinsi lainnya, yaitu NTT, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumuatra Utara, Sulawesi Selatan, menurut peserta DKT
telah
memiliki
peraturan
tertulis yang mengatur kebijakan tentang KIBBLA. Sebagian
besar
pemerintah
kabupaten mempunyai komitmen yang baik untuk penyelamatan ibu, terutama di kabupaten yang sudah memiliki Perda
tentang KIBBLA
karena Perda berimplikasi pada alokasi APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Ada beberapa hal yang menjadi kepedulian masyarakat sipil dapat disimpulkan dari hasil diskusi ini:
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
20
1) Kekuasaan untuk menyetujui anggaran tidak hanya berada di tangan Pemerintah Daerah, melainkan ada aktor lain, seperti anggota dewan yang belum melihat upaya penyelamatan ibu sebagai prioritas. “…Kesehatan ibu dan hamil masih belum mendapatkan prioritas. Orang penting rata-rata bapak-bapak menganggap itu tidak menjadi prioritas. Patriarki masih dibawa. Sehingga dalam mengambil kebijakan cenderung tidak bagaimana ibu selamat…”. 2) Prioritas pembangunan masih pada pembangunan fisik dan infrastruktur. Hal ini berpengaruh juga pada realisasi hasil rangkaian musrenbang maupun rencana desa untuk PNPM. “Seperti PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) itu juga didiskusikan dalam musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan), catatan saya banyak masalah fisik saja yang dibahas, namun persoalan kesehatan tidak pernah dibahas”. 3) Terbitnya Perda/Perbup tidak diikuti dengan sosialisasi sehingga banyak anggota masyarakat yang tidak paham keberadaan peraturan yang mewajibkan pemerintah daerah untuk memenuhinya dan hak masyarakat untuk menerimanya. ”Satu kader dilatih, jadi pesan tidak sampai. Saya melihat paling-paling di Kelurahan. Sebaiknya dikumpulkan dalam satu meeting dan disosialisasikan ke masyarakat. Harusnya disosialisasikan dan semua terlibat.” Ada proses bottom-up planning untuk rencana pembangunan. Mekanisme musrenbang dari desa sampai kabupaten/kota bertujuan untuk memastikan proses pembangunan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Namun dalam pelaksanannya masalah kesehatan ibu belum menjadi agenda utama pembahasan musrenbang. Hal ini juga terjadi pada PNPM yang seharusnya
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
21
mengalokasikan 15% anggarannya untuk kesehatan ibu belum sepenuhnya diterapkan. MDG (Millenium Development Goals) lebih dikaitkan dengan pengentasan kemiskinan, sehingga prioritas pembangunan terutama untuk pembangunan fisik. Komitmen pemerintah juga dilihat dari strategi program yang dijalankan. Desa siaga dinilai sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah untuk kesehatan ibu. Diskusi lebih lanjut perlu dilakukan untuk menggali apakah desa siaga merupakan program penggerakan dari atas, ataukah sesuai kebutuhan masyarakat? Komitmen pemerintah hendaknya tidak hanya berhenti di tataran wacana dan dokumen resmi saja, tetapi perlu dioperasionalkan. “…Masalahnya bagaimana menerjemahkan komitmen menjadi aksi, misalnya untuk mengatasi persoalan kesehatan ibu yang tidak bisa hanya dilihat capaiannya di wilayah-wilayah yang lebih terbuka, tetapi juga melihat implementasinya di wilayah-wilayah terpencil yang jauh dari memadai.” Kebijakan Pemerintah Pusat, misalnya kebijakan tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu UU No. 40 Tahun 2004 atau Peraturan Pemerintah tentang ASI yaitu PP No. 33 Tahun 2012, menjadi panduan bagi pemerintah daerah, namun kebijakan pusat tersebut belum tentu diterapkan oleh Pemerintah Daerah. Di era desentralisasi, wewenang penentuan strategi dan prioritas program sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah. Faktanya, tidak semua kepala daerah mempunyai pemahaman yang baik tentang KIA. “Kepentingan kesehatan ibu dan hamil masih belum mendapatkan prioritas. Orang penting itu rata-rata bapak-bapak yang menganggap hal itu tidak menjadi prioritas. Sehingga dalam mengambil kebijakan cenderung tidak bagaimana ibu selamat, tetapi lebih ke infrastruktur.”
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
22
Ketersediaan fasilitas kesehatan di kabupaten yang terlibat dalam studi ini dinilai sudah cukup baik. Kelemahannya terletak pada kualitas layanan yang belum sepenuhnya mengikuti standar/protap, penyebaran tenaga kesehatan tidak merata, serta kurangnya keterampilan komunikasi interpersonal dari tenaga kesehatan. Sebagian kelompok diskusi memberikan contoh mengenai sikap tenaga kesehatan yang memberikan perlakuan berbeda pada peserta Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat)/Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah), baik di Puskesmas maupun rumah sakit daerah. Peserta diskusi mempunyai anggapan bahwa layanan di RS Pemerintah kurang baik karena beban pekerjaan yang tinggi (terutama setelah ada kebijakan tentang jaminan kesehatan), jasa yang rendah dari tarif sebelumnya, apalagi ditambah adanya keharusan untuk menyetorkan potongan retribusi kepada pemda sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Masih banyak masalah…. PONEK buka 24 jam dalam seminggu dalam kenyataannya, Kematian di RS tinggi… Jaspel (jasa pelayanan) 60% Pemda, 40% pemberi pelayanan… sehingga Nakes jadi malas menolong.” Mekanisme penyampaian keluhan masyarakat untuk peningkatan layanan kesehatan belum menjadi kebijakan yang diterapkan seluruh fasilitas kesehatan. Hanya Provinsi Jateng yang menyatakan bahwa mekanisme penyampaian keluhan sudah diterapkan melalui SMS center walikota, namun dapat
mengakibatkan
tindakan
reaktif
tanpa
didahului
konfirmasi
kebenarannya. Bentuk lain transparansi informasi antara penyedia dan pengguna layanan adalah ketersediaan informasi mengenai jam layanan (amanat layanan). Ada yang mengatakan bahwa kebijakan amanat layanan yang sebelumnya sudah berlaku di Puskesmas, kemudian tidak diteruskan karena kebijakan walikota yang baru berbeda dengan sebelumnya. “Dari hasil penilaian kita hampir semua Puskesmas tidak ada sistem pengaduan yang memadai, kebanyakan ngadunya ke koran Tribun atau
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
23
lapor ke walikota. Walikota terkadang langsung memecat, jadi sistemnya belum berjalan.” Secara umum dikatakan bahwa sistem informasi kesehatan ibu belum berjalan maksimal. Ada dua sub indikator untuk melihat hal tersebut, yaitu: 1) sejauh mana data yang ada bisa dipercaya kebenarannya, 2) kemudahan mengakses data. Peningkatan cakupan program tidak diikuti dengan penurunan Angka Kematian Ibu. Hal ini mengindikasikan adanya kendala dengan validitas data. Selain itu, data yang ada tidak mutakhir dan sulit untuk diketahui oleh publik. Organisasi masyarakat sipil merasa tidak mudah mendapatkan data. Fenomena ini dapat diartikan bahwa tata kelola pemerintahan, dalam hal ini manajemen sistem informasi, masih perlu ditingkatkan. “Pemerintah masih sangat hati-hati dengan pemanfaatan data, apalagi ada UU Informasi. … masih sangat pelit (memberikan informasi) mengenai kesehatan ibu dan anak, bisa jadi dinas tersebut nanti akan dikatakan jelek.” Sistem informasi juga dimaknai sebagai tersedianya media dan forum komunikasi. Beberapa contoh baik yang sudah ada antara lain forum komunikasi desa di Kabupaten Bogor, dan inisiatif notifikasi SMS rujukan ibu hamil di Flores Timur. Diskusi seperti pelaksanaan DKT ini diharapkan oleh peserta akan lebih sering dilakukan secara berkelanjutan, karena juga sebagai forum komunikasi. “Mengharapkan informasi kesehatan juga dapat disampaikan pada saat khotbah Jum’at, media massa, media elektronik, website, call center, buku saku, pamflet, dll, sehingga informasi kesehatan Ibu dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.” Secara umum upaya yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sumber daya kesehatan sudah baik, walaupun masih ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan terkait dengan kualitas, pemerataan, dan efisiensi. GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
24
Ditemukannya obat kadaluarsa di fasilitas kesehatan mengindikasikan manajemen logistik obat yang belum optimal. Disparitas kecukupan tenaga kesehatan dapat dilihat dari fakta bahwa adanya daerah yang masih mengeluh kekurangan tenaga bidan di desa, di lain pihak masih banyak bidan di Puskemas yang belum didayagunakan karena ada pemahaman bahwa bidan yang tidak memiliki sertifikasi APN tidak bisa memberikan pertolongan persalinan. Berdasarkan hasil DKT, didapatkan informasi bahwa tidak semua Rumah Sakit memiliki dokter spesialis kebidanan, di sisi lain ada banyak dokter umum tersedia. Hasil diskusi ini menyimpulkan perlunya untuk melihat kejelasan tentang kebijakan penempatan tenaga kesehatan yang lebih realistis sesuai dengan jenis fasilitas kesehatannya. Diperlukan kesesuaian ketersediaan tenaga kesehatan berdasarkan profesi, kualifikasi, dan kewenangan terhadap kapasitas layanan yang seharusnya dapat diberikan di fasilitas kesehatan tersebut. Hal ini semestinya juga berkaitan dengan mekanisme dan sistem rujukan yang berjenjang. “...kenapa SPOG (Spesialis Obstetri Ginekologi) tidak memberdayakan dokter umum? padahal jika membicarakan risiko tinggi dibutuhkan golden time, apakah harus menunggu SPOG untuk mendapatkan penanganan kedaruratan kebidanan? …” Pelaksanaan UKBM baru melibatkan PKK sebagai motor penggerak masyarakat. Kader kesehatan yang ada di masyarakat umumnya adalah kader PKK karena UKBM yang saat ini berjalan secara nasional adalah Posyandu. Sayangnya, sekalipun Posyandu bukan milik sektor kesehatan, tetapi perhatian serius kepada Posyandu saat ini masih dari Dinas Kesehatan. Peserta berpendapat bahwa keterlibatan sektor terkait dapat ditingkatkan melalui istri para kepala instansi yang tergabung dalam Tim Penggerak PKK. Kepengurusan PKK berjenjang dari pusat hingga ke desa dan mengikat istri pejabat di lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
25
Hal tersebut membuat secara politis Posyandu menjadi kendaraan UKBM yang strategis. Kader bekerja secara sukarela, mau belajar dan ada kemauan untuk berubah. Kader Posyandu menjadi pelaksana UKBM dan sumber informasi kesehatan bagi masyarakat, tetapi kader belum diposisikan sebagai mitra kesehatan. Kondisi saat ini, kader lebih diperankan sebagai pembantu kesehatan di tingkat UKBM. “Selama ini kader tidak di-uwongke... kader tidak diberikan kesejahteraan. Usulan kepada PLKB atau Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat) untuk memberikan penghargaan kepada kader, bukan gaji …Kader masih dianggap sebelah mata. Bagaimana menjadikan kader Posyandu yang handal?” Organisasi masyarakat sipil (OMS) juga memiliki jejaring sampai ke tingkat desa, namun kekuatan ini belum dimanfaatkan dengan optimal. Sebagai agen perubahan, OMS mempunyai sumber daya untuk memperluas jangkauan layanan Posyandu supaya tidak sekedar menjadi pos penimbangan dan pemberian makanan tambahan. Peserta DKT menekankan bahwa Posyandu dapat dintegrasikan dengan layanan pengobatan di desa dan menjadi jejaring poskesdes. Permendagri Nomor 19/2013 mengatur Posyandu sebagai pusat layanan sosial dasar, oleh karenanya kader Posyandu sebagai agen perubahan sosial di masyarakat tidak harus diidentikkan dengan perempuan, sekalipun Posyandu identik dengan PKK. Dengan pemahaman tersebut, maka kaum laki-laki juga harus berpartisipasi dalam kegiatan Posyandu dan bisa menjadi kader. “Semua kader rata-rata ibu-ibu. Masih jarang laki-laki. Bagaimana untuk menginisiasi kader laki-laki menjadi gerakan di Kabupaten. Bagaimana menciptakan kader siaga, supaya balance antara peran kader dan laki-laki? Jadi bukan hanya tanggung jawab perempuan saja.”
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
26
Organisasi masyarakat sipil jumlahnya tidak banyak, apalagi yang bergerak untuk kesehatan ibu dan anak. Masalah kesehatan dianggap kurang “sexy” bagi sejumlah organisasi masyarakat sipil, sehingga tidak banyak tergarap. Sebagian organisasi masyarakat sipil yang ada lebih banyak berperan di tataran implementasi program, mengisi kesenjangan layanan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah ataupun membuat proyek percontohan dengan maksud untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap
layanan
kesehatan.
Beberapa organisasi
masyarakat
sipil
mengatakan banyak mendukung kegiatan untuk peningkatan kapasitas kader di Posyandu dan pengorganisasian masyarakat desa, sehingga masyarakat mempunyai kemandirian untuk mengenali masalah dan kemampuan untuk memecahkan masalah tersebut, termasuk mengubah perilaku (aksi sosial) untuk mendekatkan layanan (mobilisasi sumber daya). Beberapa organisasi masyarakat sipil telah mulai berperanan dalam aksi politik, yaitu kritis terhadap kebijakan yang berlaku dan beritikad untuk memastikan kebijakan pemerintah yang lebih baik. Aksi-aksi tersebut dilakukan dari tataran terendah, yaitu desa, kabupaten, dan nasional. Keterbatasan jumlah organisasi masyarakat sipil untuk kesehatan ibu menjadi hambatan untuk keberhasilan advokasi jika dilakukan terpisahpisah. Jejaring organisasi masyarakat sipil menjadi hal yang krusial dan penting untuk dilakukan. Fakta tersebut mengemuka dalam diskusi kelompok terarah dan menghasilkan rekomendasi perlu adanya forum di tingkat provinsi dan kabupaten sebagaimana forum tingkat nasional (GKIA) yang telah lebih dulu terbentuk. “Peran organisasi masyarakat sipil bisa ditingkatkan manakala diberi ruang keterlibatan dan kemitraan di mana bisa dilakukan sharing skills juga dana untuk kemajuan kualitas kesehatan ibu. Organisasi masyarakat sipil juga bisa berperan sebagai garda atau pengawal proses penganggaran kesehatan di tingkat musrenbang hingga penetapan anggaran di tingkat legislatif.”
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
27
Forum organisasi masyarakat sipil menjadi penting, selain sebagai media untuk saling berbagi, juga untuk menggalang kekuatan yang lebih besar sehingga mempunyai posisi tawar dengan pemerintah. Forum ini sebaiknya juga dikelola dengan profesional dan mempunyai rencana lima tahunan, tetapi tidak dengan memaksakan visi dan misi yang sama untuk semua organisasi masyarakat sipil yang terlibat di dalamnya. Pertanyaan mendasarnya adalah diperlukan motor penggerak dan dukungan dana. Apakah dimungkinkan untuk pendanaan dari pemerintah? Kesbanglinmas salah satu yang diusulkan untuk menjadi payung instansinya, hanya saja perlu didiskusikan lebih lanjut independensi dari organisasi masyarakat sipil sehingga fungsi kontrol yang melekat pada peranan agen eksternal tetap bisa dijalankan. Peran kontrol tersebut tidak selalu berarti bahwa organisasi masyarakat sipil tidak bisa bersinergi dengan pemerintah, akan tetapi bagaimana organisasi masyarakat sipil bisa dikenal pemerintah, mampu untuk terlibat di setiap kesempatan yang strategis dan melakukan negosiasi untuk good governance. “Ada forum-forum dan sekretariat bersama di mana Organisasi Masyarakat Sipil bersinergi di dalamnya untuk mendorong peningkatan program kesehatan ibu, baik secara langsung kepada eksekutif maupun melalui lembaga legislatif.” “Jejaring perlu, tapi saat ini sudah sangat banyak, tinggal bagaimana peranan dan fungsinya dapat dimaksimalkan lagi secara komprehensif. Sebaiknya ada tim pemantau dari masyarakat sipil dari proses pelaksanaan, perencanaan, sampai dengan evaluasi.” Berjejaring dengan organisasi masyarakat sipil mempunyai keunikan tersendiri. Informalitas menjadi salah satu ciri yang memudahkan dalam membina komunikasi, tetapi ruang lingkup garapan aktivis organisasi masyarakat sipil kadang sangat beragam, sehingga menyulitkan untuk mencari waktu yang tepat untuk berkumpul. Selain daripada itu, fakta bahwa
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
28
organisasi masyarakat sipil mempunyai kedekatan dengan masyarakat yang lebih luas, namun tidak menafikan fakta lain bahwa aktivitas organisasi masyarakat sipil kurang teroganisir dengan baik. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah organisasi masyarakat sipil menciptakan sistem paralel dan terkotak-kotak. Jejaring organisasi masyarakat sipil juga dapat memicu adanya inovasi-inovasi dalam upaya mencari solusi yang bersifat katalitik dan mempunyai daya ungkit. “…bisa memberikan best practice dari inisiatif-inisiatif yang dilakukan dalam bentuk pilot program sebagai evidence base untuk menggugah pemerintah agar bisa mereplikasi atau mengadopsi model-model yang dirintis oleh organisasi masyarakat sipil.” Kesiapan daerah untuk membentuk forum dan kapasitas organisasi masyarakat sipil tidak sama antara satu daerah dengan daerah yang lain. Perbedaan ini perlu dipikirkan bersama tentang strategi terbaik agar tidak terjadi kesenjangan yang besar antara kabupaten/provinsi maju dan kabupaten/provinsi
tertinggal.
Kesenjangan
keterampilan
organisasi
masyarakat sipil di masing-masing daerah perlu diidentifikasi, di antaranya mencakup keterampilan untuk bernegosiasi, melibatkan diri dalam setiap kesempatan,
advokasi,
berpikir
kritis
dan
berjejaring/bermitra.
Jejaring/forum yang terbentuk seharusnya dapat membuat organisasi masyarakat sipil menjadi lebih kuat sekalipun tidak menutup kemungkinan adanya persaingan dan ego lembaga karena dinamika menjadi ciri lain dari organisasi masyarakat sipil. Harapannya, dinamika ini bisa dikelola dengan konstruktif demi asas manfaat yang lebih luas bagi bangsa dan negara. ”Dengan adanya pertemuan ini bisa bekerja sama, jangan saling menjatuhkan tapi seiring sejalan.” ”Perlu ada pertemuan triwulan antar lembaga dalam satu tempat supaya kesehatan ibu dapat terjaga/saling membantu dalam kebaikan.”
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
29
3.6. Persepsi Peserta tentang Program Kesehatan Anak 3.6.1. Indikator Program Anak Keberhasilan Program Kesehatan Anak pada studi ini dinilai berdasarkan informasi atas ketercapaian lima indikator, yaitu KN1 (Kunjungan Neonatal), yankes bayi, yankes balita, ANC, pemeriksaan tumbang bayi dan balita. Analisis terhadap data kuantitatif menunjukkan bahwa terhadap semua indikator sejumlah 75%-91.6% peserta setuju dengan indikator akses dan kualitas yang ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku pada saat ini. Indikator yang paling disetujui adalah indikator KN1 (91.57%), sedangkan pelayanan kesehatan balita dan yang paling rendah frekuensi yang menyetujuinya (74.99%). Terhadap semua indikator tersebut, 48.07% peserta beranggapan bahwa target kabupaten sudah tercapai.
Tabel 3.6.1. Distribusi Frekuensi Sikap Peserta terhadap Indikator Kesehatan Ibu STS (%) TS (%) S (%) SS (%) TM (%) KN1 1.28 12.8 46.7 44.87 0.5 Yankes Bayi 1.56 4.48 53.8 25.64 14.52 Yankes balita 1.28 8.97 55.76 19.23 14.76 ENC 1.56 4.48 44.87 39.74 9.35 Tumbang 4 kali, vit A, 1.56 4.48 39.74 44.87 9.35 imunisasi lengkap Tumbang 2 kali, vitamin A, 1.56 4.48 44.87 39.6 9.49 MTBS
Pada umumnya pemahaman peserta diskusi tentang indikator program kesehatan anak terbatas pada program yang ada di Posyandu. Hampir semua kelompok diskusi mengetahui indikator pertumbuhan (D/S) sebagai indikator program kesehatan anak. Beberapa kelompok diskusi yang diikuti oleh perwakilan OMS yang memiliki program yang terkait dengan PAUD dan BKB menyebutkan status perkembangan juga sebagai indikator program kesehatan anak:
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
30
“…bayi tersebut perlu diperhatikan psikomotoriknya. Bayi umur 1-3 bulan dia sudah bisa mendengar suara, ada respon dari bayi itu bila dia mendengar suara....” Menurut peserta diskusi, tolok ukur pemerintah dalam keberhasilan program kesehatan anak dapat dilihat dari: 1) tercapainya target aksesibilitas layanan, yang artinya semakin banyak anak yang mendapatkan layanan kesehatan dan gizi anak, maka makin baik capaian program; 2) meningkatnya alokasi anggaran daerah untuk pembiayaan program kesehatan anak; 3) tidak adanya kematian balita dan semakin banyak anak yang sehat dan status gizi baik; dan 4) ibu balita mempunyai pemahaman yang tepat tentang manfaat layanan kesehatan dan gizi anak, sehingga dapat berpartisipasi untuk memastikan anaknya mendapatkan layanan tersebut. Peserta diskusi juga menyampaikan bahwa laporan pencapaian tolok ukur di atas hendaknya diverifikasi dengan hasil pengamatan untuk melihat kenyataan di lapangan, sebagaimana salah satu kutipan berikut: “….masih ada yang melihat dari hasil laporan kesehatan saja, hanya sebuah catatan yang bisa dibuat, kenyataannya di lapangan masih banyak anak yang kurang secara tumbuh kembangnya kurang baik, masih belum sesuai dengan yang diharapkan…”
Untuk memastikan tolok ukur tersebut dapat terlaksana, pemerintah hendaknya melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kader secara optimal. OMS dapat menjadi mitra pemerintah untuk memberikan pendampingan teknis, dana, dan barang, oleh karenanya koordinasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah dan OMS menjadi kunci keberhasilan kemitraan ini. Demikian pula halnya, bahwa ada ribuan kader Posyandu yang tersebar di RT, dusun dan desa adalah aset sumber daya yang berharga, oleh karenanya, peningkatan kapasitas kader agar memiliki kemampuan yang baik sebagai
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
31
mitra pembangunan pemerintah untuk bidang kesehatan semestinya menjadi strategi yang penting dan perlu. “…pasal 28 UUD 1945 tentang hak kesehatan… harusnya semua masyarakat mendapatkan layanan kesehatan, tapi sayangnya belum sampai ke tingkat desa. … tidak ada Perda, …jadi ini bagaimana menuju Indonesia Sehat 2015 tidak akan tercapai saya yakin kalo tidak dijalankan secara maksimal … minimal itu kader Posyandu dibuatkan payung hukum.. jadi kalau dibuatkan SK / Surat Keputusan (untuk kader) bisa lebih maksimal menuju Indonesia Sehat 2015.”
3.6.2. Kebijakan Program Kesehatan Anak Analisis terhadap data kuantitatif menunjukkan bahwa 84.61% peserta diskusi setuju bahwa kebijakan yang berlaku di kabupaten memberikan keuntungan bagi organisasi masing-masing. Keuntungan tersebut paling banyak adalah aspek upaya kesehatan (58%), sedangkan yang paling rendah adalah sistem informasi kesehatan (2%). Sebagian besar peserta diskusi (47%-60%) tidak menjawab ketika ditanyakan apakah ada pihak-pihak di luar sektor kesehatan yang mendukung/tidak mendukung kebijakan program kesehatan ibu. Hal ini mengindikasikan bahwa koordinasi antar OMS dan stakeholder lainnya untuk kesehatan anak masih lemah. Secara umum, hasil diskusi menyimpulkan bahwa komitmen pemerintah pusat sudah cukup baik, karena target program kesehatan anak berkaitan dengan upaya pencapaian target MDG. Komitmen tersebut dinilai dari ketersediaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan program yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. Pemberian layanan gratis imunisasi dasar bagi bayi (Hepatitis, BCG, polio, DPT dan campak) dan imunisasi TT bagi calon pengantin dan ibu hamil serta suplementasi vitamin A untuk ibu hamil di Posyandu sebagai contoh bentuk komitmen pemerintah pusat. Demikian pula
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
32
kebijakan Jampersal dan Jamkesmas menjadi bukti komitmen pemerintah untuk mengatasi barrier finansial dalam mengakses layanan kesehatan. Sayangnya, pelaksanaan program-program tersebut masih menghadapi kendala dalam pelaksanaan di daerah. “…komitmen terhadap kesehatan anak. kita mengacu yg sudah ada. Jampersal, Jamkesmas itu kan program pemerintah (pusat), itu saja ga maksimal (pelaksanaannya)…ada RS yang belom siap karena anggaran minim… kesannya jadi sebuah angan-angan karena dibuat kemudian dibiarkan….sama saja dengan pemerintah belom memikirkan, khususnya Pemkab. Pemerintah daerah bertanggung-jawab melaksanakan kebijakan programprogram tersebut dan memastikan bahwa semua balita mendapatkan manfaat program dengan maksimal. Memastikan layanan kesehatan yang merata
dan
dapat dimanfaatkan
sepenuhnya
oleh anak,
tentunya
membutuhkan dukungan sumber daya dan dana yang cukup. Dukungan tersebut tidak saja berasal dari Pusat, tetapi juga berasal dari pemerintah daerah. Peserta diskusi menilai bahwa komitmen pemerintah daerah untuk pencapaian target indikator program kesehatan anak dilihat berdasarkan dukungan politis berupa peraturan tentang kebijakan program kesehatan daerah dan besarnya alokasi dana daerah (APBD). Kedua hal tersebut sangat berkaitan karena adanya peraturan daerah (Perda) juga akan berimplikasi pada alokasi dana APBD dan mobilisasi sumber daya lainnya, termasuk pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan dan pemberdayaan kader/ masyarakat, walaupun dalam praktiknya tetap ada fakta yang tidak sesuai antara ketersediaan dana untuk program kesehatan anak dan dampak progam. “Indonesia itu kaya, tapi tidak sampai di bawah. Katanya Kementerian Kesehatan sudah mengucurkan dana banyak tapi kenapa angka kematian masih tinggi. Intinya masalahnya komitmen pemerintah masih rendah.”
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
33
Di tingkat kabupaten, sepengetahuan peserta diskusi, hanya empat kabupaten, yaitu Deli Serdang, Bogor, TTS, dan TTU yang menyampaikan sudah adanya Peraturan Daerah Kabupaten yang mengatur kesehatan anak dalam bentuk Perda KIBBLA. Dari DKT kesehatan ibu, dikatakan bahwa dari enam provinsi yang memiliki peraturan tertulis tentang KIBBLA, tiga di antaranya adalah provinsi NTT, Jawa Barat, dan Sumatra Utara. Dengan demikian, tampak bahwa komitmen pemerintah provinsi bisa jadi mendorong komitmen pemerintah kabupaten untuk KIBBLA. “Ada Perda yang mengharuskan semua ibu harus melakukan pemeriksaan secara rutin ke Posyandu, imunisasi, melahirkan di fasilitas kesehatan, Pustu tidak melayani ibu melahirkan dan dukun hanya boleh membantu bidan untuk melahirkan.” Seperti halnya kurangnya sosialisasi program kesehatan anak kepada masyarakat, kurangnya sosialisasi keberadaan dan isi Perda juga menjadi kendala yang dirasakan oleh peserta diskusi. Kalaupun dilakukan, sosialisasi tersebut umumnya terbatas kepada lingkungan SKPD atau PKK. ”…Produk hukum tersebut tersosialisasi pada tingkat SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan PKK saja, belum merata ke masyarakat… Masalah tersebut terjadi dikarenakan belum adanya Forum dan saluran komunikasi yang baik antara SKPD dengan masyarakat/OMS.” Selain Peraturan Daerah, ada juga kebijakan Pemerintah Daerah berupa pembentukan tim DTPS (District Team Problem Solving), KIBBLA, dan lainlain melalui surat keputusan kepala Dinas Kesehatan; ataupun kebijakan program yang memihak pada pemenuhan layanan kesehatan anak, misalnya gerakan sayang ibu, desa siaga, pemberian makanan tambahan, dan lain-lain. Hanya saja, dari pembahasan yang berkembang selama proses diskusi, didapatkan informasi bahwa sosialisasi keberadaan tim maupun program ini tidak merata dan sosialisasi yang dilakukan sesaat saja, sehingga program tidak dilaksanakan dengan berkesinambungan. Hal tersebut terungkap pada salah satu pernyataan berikut:
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
34
“Kegiatan Gerakan Sayang Ibu telah dianggarkan oleh Pemerintah dengan menyediakan segala kebutuhan (yang) terkait dengan kegiatan tersebut. Pernah dilakukan di wilayah RW 2 tetapi tidak bertahan lama ... ini disebabkan tidak adanya sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah.” Besarnya dana program yang bersumber pada APBD sangat ditentukan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan usulan kegiatan tahunan oleh SKPD. Dari hasil diskusi ini terangkat permasalahan masih rendahnya partisipasi masyarakat melalui OMS dalam proses musyawarah
rencana
pembangunan
daerah
(musrenbang).
Tingkat
partisipasi tersebut bervariasi antara satu daerah dengan daerah yang lain, sehingga mengesankan bahwa keterlibatan OMS hanya untuk memenuhi persyaratan keterwakilan dan tidak pada esensi untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Fenomena tersebut terjadi baik di tingkat terendah yaitu desa/RT maupun kabupaten: “… Keikutsertaan peserta diskusi dalam hal perencanaan atau kebijakan hanya pelibatan untuk formalitas dan memenuhi kuota peserta saja.” “Musrenbang adalah suatu perencanaan untuk wilayah…, tetapi ada yang aneh dari musrenbang di wilayah RW 2 bahwasanya dari tahun 1992, hasil musrenbang yang saya pernah ikuti belum pernah terealisasi.” Jika pelibatan masyarakat sipil dilakukan dengan tepat, semestinya hasil musyawarah perencanaan desa akan menghasilkan program yang sesuai dengan kebutuhan warga, dan dana dialokasikan untuk memastikan program tersebut dapat dilaksanakan. Salah satu keberhasilan tersebut disampaikan berdasarkan pengalaman berikut ini: “Kegiatan Musrembang di wilayah RW 04 mengakomodir perihal Kesehatan Ibu dan Anak dikarenakan dilibatkan semua unsur/pihak warga masyarakat dalam menentukan 10 prioritas. Hasilnya untuk RW
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
35
4 Kel. Rawa Buaya mendapatkan dana sekitar Rp 40 juta untuk KIA melalui program KP Ibu.” Didapatkan informasi bahwa keterlibatan OMS pada proses musrenbang sering kali tidak komprehensif. Padahal para peserta yakin bahwa masyarakat mempunyai kapasitas untuk secara aktif mengikuti proses ini. Kapasitas masyarakat untuk terlibat aktif dalam perencanaan meliputi kapasitas untuk analisis situasi, mengidentifikasi masalah, mencari solusi, membuat perencanaan sesuai kebutuhan, memantau pelaksanaan program yang direncanakan dan mengevaluasi pencapaian target program sesuai yang direncanakan. “Setiap organisasi atau masyarakat mampu untuk terlibat aktif dalam membuat perencanaan program kesehatan anak, masyarakat juga harus diajak untuk berpartisipasi mengungkapkan pendapat tentang program kesehatan anak yang memang dibutuhkan masyarakat, bukan yang dibutuhkan oleh pemerintah.” Peserta diskusi juga mempercayai bahwa kader kesehatan mempunyai informasi yang baik dan tepat tentang situasi kesehatan balita, semestinya mereka terlibat dalam proses musrenbang di tingkat RT/dusun/desa untuk mempertajam analisis masalah kesehatan dan kematian balita. “Analisis situasi perencanaan tidak menggunakan data ataupun laporan rutin... yang tahu data Ibu dan Anak, tentang upaya peningkatan kesehatan Ibu dan Anak adalah Ibu-ibu kader, sedangkan bapak-bapak tidak pernah tahu tentang kesehatan ibu dan anak. Jadi, usulan untuk kesehatan Ibu dan Anak tidak pernah masuk ke usulan Musrenbang, karena kader-kader (Ibu-ibu) tidak pernah ikut atau tidak pernah dilibatkan dalam Perencanaan Program ataupun Musrenbang.” Dominasi kaum laki-laki untuk mewakili masyarakat sipil menyebabkan program kesehatan anak tidak dibahas dalam musrenbang dan akhirnya tidak menjadi prioritas rencana pembangunan.
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
36
“Di beberapa wilayah di Rawa Buaya, peserta musrenbang hanya didominasi oleh kaum bapak, yang mana tidak sensitif perihal KIA sehingga kesehatan ibu dan anak tidak terakomodir.” “Proses musrenbang tidak dimulai dengan analisis masalah, biasanya berdasarkan kebutuhan fisik. Pemerintah belum tegas tentang kebijakan penempatan petugas, termasuk mendukung penyedian sarana prasarana penunjang.”
Terdapat kesan bahwa permasalahan kesehatan anak dapat terwakili dengan tersedianya program Posyandu, sehingga pembahasan lebih detil tentang kematian dan kesakitan anak di tingkat dusun dan desa tidak menjadi prioritas. Sebagaimana juga temuan hasil DKT kesehatan ibu, prioritas pembangungan oleh peserta DKT masih pada pembangunan sarana fisik. “Melalui kegiatan musrenbang usulan-usulan awal dimulai dari RT, perihal kesehatan ibu dan anak tidak masuk dalam prioritas karena yang paling diutamakan adalah untuk fasilitas umum (perbaikan jalan, gorong-gorong, pot bunga, gerobak sampah, lampu jalan).” Masyarakat sipil secara individu mungkin tidak mempunyai suara dalam proses musrenbang, tetapi masyarakat sipil yang tergabung dalam organisasi dapat
menjadi
kekuatan
yang
dapat
menentukan
arah
kebijakan
pembangunan negara. Adanya forum koordinasi antara OMS dan pemerintah daerah menjadi media yang baik untuk membangun kemitraan yang konstruktif, sehingga perencanaan pembangunan tidak dilakukan sepihak oleh pemerintah dan partisipasi masyarakat sipil juga tidak diartikan hanya sebagai keterwakilan unsur masyarakat, tetapi memang dilakukan untuk memastikan rencana pembangunan sesuai dengan kebutuhan rakyat. “Adanya forum kegiatan yang bersifat rutin dari Pemerintah Daerah seperti OMS yang peduli kesehatan dalam evaluasi program kesehatan, khususnya anggaran Kesehatan sebagai bentuk akuntabilitas pemerintah daerah.”
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
37
Ada pengalaman-pengalaman berharga proses perencanaan pembangunan dengan melibatkan masyarakat sipil dengan optimal. Salah satu keberhasilan tersebut terjadi di Kabupaten TTU yang menginformasikan bahwa OMS terlibat
hingga
proses
pemantauan
dan
evaluasi
penerapan
hasil
musrenbang. “…Pemerintah juga melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam pembahasan perencanaan tahunan bersama dengan SKPD (Forum SKPD tahunan). Dinas Kesehatan Kabupaten TTU sudah mengalokasikan dana monev melalui SK Bupati.”
Manajemen upaya kesehatan anak sudah baik, walaupun menurut peserta diskusi masih ditemukan perlakuan yang diskriminatif di Rumah Sakit antara layanan kepada masyarakat miskin yang ditandai dengan kepemilikan Jamkesmas dan masyarakat mampu serta belum tersedia fasilitas khusus bagi
kelompok
masyarakat
berkebutuhan khusus. Masyarakat sipil secara individu mungkin tidak mempunyai suara dalam proses musrenbang, tetapi masyarakat sipil yang tergabung dalam organisasi dapat menjadi kekuatan yang dapat menentukan arah kebijakan pembangunan negara. (FGD, 2013)
“Harusnya dokter ataupun petugas kesehatan anak berupaya melakukan pelayanan yang sama kepada anakanak secara rutin, bukan hanya melihat dari kalangan atas/menengah, namun kalangan bawah juga harus diperhatikan dan diberi layanan.” “Kelompok khusus yang terabaikan belum ada kebijakan khusus dari pemerintah kota.” Selain
aspek
manajerial,
upaya
kesehatan anak yang masih perlu ditingkatkan
adalah
kualitas
layanannya.
Kualitas
layanan
pengobatan misalnya, peserta diskusi di dua provinsi menyebutkan bahwa
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
38
balita sakit diare tidak selalu diberi zinc karena stok terbatas, sedangkan di Posyandu hanya oralit yang diberikan. Sedangkan layanan kesehatan emergensi neonatal, baik itu PONEK di Rumah Sakit ataupun PONED di Puskemas, seharusnya tersedia setiap saat, karena kasus emergensi dapat terjadi kapan pun. “Pelayanan PONEK di RSUD dan PONED di Puskesmas terhadap pelayanan kesehatan anak belum maksimal dilakukan walaupun dikatakan pelayanan dilakukan 24 jam/7 hari.” Layanan kesehatan yang berkualitas menurut peserta diskusi juga dilihat dari sikap ramah petugas kepada pasien, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan untuk mendapatkan penjelasan. Peserta diskusi mengatakan bahwa pasien perlu berkonsultasi dengan petugas kesehatan sehingga tenaga kesehatan seharusnya memiliki keterampilan dalam berkomunikasi dan melakukan konseling. “…. Biasanya kan ada beberapa pelayanan kesehatan yang ngga lama gitu ya … daftar terus udah…orang jadi males.” ”Komunikasi petugas (bidan) dengan masyarakat pada waktu di Posyandu sangat baik. Namun kalau di Puskemas kurang merespon dengan baik, mungkin dikarenakan kesibukan bidan.” Aspek manajerial lainnya yang berkaitan dengan upaya kesehatan adalah ketersediaan tenaga kesehatan. Pada umumnya peserta diskusi lebih menyoroti tenaga kesehatan yang tidak merata dan tidak siaga. Dua hal ini hampir terjadi di semua daerah walapun dengan latar belakang permasalahan yang berbeda. “Yang perlu diperhatikan saat ini adalah tenaga medisnya, yang kami sesalkan program yang dibuat Pemerintah sangat baik, tetapi realisasi di lapangan tidak sama dengan harapan, misal bidan menandatangani surat tugas belajar, harus kembali ke tempat semula, tetapi setelah orang belajar lebih pintar, pulang tidak melayani di tempat asalnya, dia ditarik ke kota, sementara yang ada di desa ini kosong, ini yang
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
39
menimbulkan kematian. Dia ditarik ke kota karena SDM makin baik, tetapi tidak ada orang yang ditugas menggantikan mereka di desa.” Ketersediaan tenaga kesehatan yang tidak merata, tidak saja menjadi persoalan di provinsi dengan geografis sulit seperti NTT, Papua, dan Papua Barat, akan tetapi juga di wilayah-wilayah tertentu di Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, misalnya. “Di Cilacap di tempat saya itu Posyandunya dari jam 8–13… bidan hadir 1 jam saja. Dokter datang itu kalau mau ada penilaian. Jadi SDM-nya harus ditambah dan peningkatan dalam mengatur waktu kunjungan.” Beragam informasi yang berhasil dikumpulkan dari studi ini terkait ketersediaan sistem informasi kesehatan. Di kabupaten TTS dan TTU, misalnya, disebutkan bahwa sudah diterapkan sistem informasi kesehatan melalui SIKDA, baik secara manual maupun elektronik, yang difasilitasi sebuah lembaga donor. Sistem informasi kesehatan yang khusus adalah PWSKIA atau CHIS dengan mempergunakan perangkat lunak (software) yang diterapkan di beberapa kabupaten saja karena dukungan proyek tertentu. Ada juga komentar bahwa alur informasi antara pemerintah dan masyarakat tidak seimbang, karena pada praktiknya lebih banyak penekanan pada arus pencatatan dan pelaporan dari Posyandu/Desa ke Puskemas/pemerintah daripada penyebarluasan informasi dari pemerintah ke masyarakat. “Paling malah kebalikannya kalo informasi dari bawah ke atas ada, informasi dalam bentuk data. Informasi tentang kesehatan anak yang dilaporkan. Jadi pemerintah itu mencari informasinya kebalik, bukan memberikan informasi malah minta informasi ke kita. Sama dengan pemerintahan yang mencari datanya di Posyandu yang menikmati hasilnya Desa, Camat, Kabupaten. Jadi itu untuk sistem informasi khusus itu belom ada. Malah kita dari lembaga sosial yang memberi informasi ke pemerintah.” Informasi tentang jumlah/angka kematian dan kesakitan bayi/balita, misalnya, seharusnya bersumber dari pencatatan dari bawah yang divalidasi kebenarannya, kemudian diinformasikan kembali ke masyarakat. Bila ini dilakukan, masyarakat menjadi sadar akan masalah kesehatan bayi dan balita
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
40
di wilayahnya masing-masing. Tentu saja, penyampaian informasi kepada masyarakat harus dilakukan dengan strategi komunikasi yang tepat. Pemilihan saluran informasi dengan mempertimbangkan media yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat. Menurut peserta, media yang paling startegis saat ini adalah penyampaian pesan melalui SMS, pusat informasi untuk layanan kesehatan (call center), serta forum komunikasi desa dan pertemuan koodinasi kader Posyandu. Informasi kesehatan disampaikan oleh orang dengan kredibilitas yang sesuai, misalnya dokter dan tokoh agama yang telah dilatih pesan kesehatan. Sebagai media komunikasi yang tak kalah penting adalah ketersediaan sarana untuk menyampaikan keluhan dan berkomunikasi dua arah. Hal-hal tersebut akan membantu terbangunnya iklim komunikasi yang baik antara masyarakat/klien dan petugas kesehatan/provider. Beberapa aktivitas yang berkaitan dengan sistem informasi kesehatan telah melibatkan anggota masyarakat. Pencatatan dan pelaporan situasi kesehatan balita sudah dilakukan dengan melibatkan kader. Pendataan yang dilakukan oleh kader membantu bidan desa dan puskemas untuk mengetahui jumlah sasaran balita di wilayah kerjanya. Status tumbuh kembang balita dicatat setiap bulan oleh kader, baik di Posyandu maupun di PAUD. “Melalui pendataan di suatu daerah tentang jumlah balita dan permasalahannya sehingga tahu bagaimana perkembangan anak dari daerah itu. Pendataan biasa dilakukan oleh kader…Ada pelaporan, ada monev di akhir kegiatan.” Menurut alur pelaporan yang benar, tenaga kesehatan penanggung jawab desa akan mengambil laporan Posyandu/PAUD untuk direkapitulasi di tingkat desa. Dalam praktiknya, ada juga daerah yang mewajibkan kader untuk membuat laporan resmi hasil pencatatan ke puskesmas. Hal ini tentu saja tergantung pada kebijakan program di masing-masing daerah, dengan implikasi yang berbeda pula. Secara hirarkis, kader Posyandu bukan tenaga
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
41
kesehatan yang berada di bawah Puskemas/Dinas Kesehatan, melainkan sebagai organ PKK yang berada di bawah tanggung jawab manajerial dari Pokja/Pokjanal Posyandu. “Mekanisme pencatatan dan pelaporan Posyandu yaitu mengisi form dari puskemas, lalu distempel dan kemudian data dikirim ke puskemas, berisikan data Ibu dan Balita. Selain itu, dilaporkan ke kelurahan juga.” Bentuk UKBM yang paling umum dan merata adalah Posyandu, sehingga kader Posyandu juga menjadi penyedia layanan kesehatan di masyarakat yang paling umum dijumpai. Terkait dengan kesehatan anak, bentuk UKBM lainnya dalah kemitraan bidan dan dukun; MTBS-M dan desa siaga. Kemitraan antara tenaga kesehatan profesional dan penyedia layanan kesehatan di masyarakat sudah sangat baik. Ada kemitraan yang terjalin antara bidan dan dukun untuk layanan pertolongan persalinan dan kemitraan antara petugas dan kader untuk fungsi pencatatan sasaran dan rujukan kasus kegawat-daruratan kebidanan, neonatal dan balita sakit. Di beberapa tempat bahkan kemitraan ini sudah dituangkan secara tertulis untuk kesepakatan kemitraan dukun dan bidan atau peraturan tentang desa siaga. Bahkan juga ada kemitraan antara bidan praktik swasta dan Posyandu setempat. “Ada mitra kerja antara paraji dan bidan desa…Sudah ada surat kesepakatan. Bentuknya paraji mengantar ke bidan dan ikut mendampingi… Paraji membantu merawat anaknya… Bidan menolong persalinan.” 3.7. Persepsi Peserta terhadap Program Kesehatan Remaja 3.7.1. Indikator Program Kesehatan Remaja Keberhasilan Program Kesehatan Remaja pada studi ini diukur dari ketercapaian lima indikator (Tabel 3.7.1). Analisis terhadap data kuantitatif menunjukkan bahwa terhadap semua indikator sejumlah 60%-71% peserta
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
42
setuju dengan indikator yang ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku pada saat ini. ”Perlu adanya indikator, dari sisi pergaulan sosial karena faktor lingkungan anak dapat meniru perlakuan dari teman sebaya. Untuk mengukur indikator tersebut, dapat dilhat dari angka kasus pernikahan dini, penyalahgunaan narkoba, dan pola asuh orangtua.” Tabel 3.7.1. Distribusi Frekuensi Sikap Peserta terhadap Indikator Kesehatan Remaja Usia Pernikahan Pertama (L/P) Usia Kehamilan Pertama Pengetahuan ttg metode kontrasepsi, UPP, UKP, metode cegah penularan HIV Tidak merokok, minum alkohol, sex pranikah Puskesmas PKPR
STS (%) 2.85 2.85 2.85
TS (%) 26.6 19.04 19.04
S (%) 57.14 67.6 57.14
SS (%) 2.85 3.8 2.85
TM (%) 10.56 6.71 18.12
2.85 2.85
19.04 26.6
67.6 57.14
3.8 2.85
6.71 10.56
Indikator yang paling disetujui adalah indikator kualitas layanan usia kehamilan pertama dan perilaku tidak merokok, minum alkohol dan seks pranikah (71%). Terhadap semua indikator tersebut, 52.81% peserta beranggapan tidak setuju bahwa target kabupaten sudah tercapai. Kesimpulan yang didapat dari hasil diskusi kelompok bahwa kinerja pemerintah kabupaten/kota untuk program kesehatan remaja belum optimal karena banyak permasalahan akses layanan peduli remaja (PKPR), lingkungan yang tidak mendukung perilaku (kesehatan) remaja dan pengetahuan atau peranan orangtua yang kurang terhadap (kesehatan) remaja. Selain jumlah fasilitas kesehatan yang memberikan layanan kesehatan remaja masih kurang, pemanfaatan fasilitas yang ada oleh remaja juga masih rendah. Selain karena malu dan ketidaktahuan, tekanan sosial teman sebaya turut mempengaruhi pilihan pencarian informasi dan layanan kesehatan reproduksi remaja. Studi ini menyarankan untuk memformalkan pendidikan tentang kesehatan reproduksi remaja melalui kurikulum sekolah.
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
43
”...bagaimana kalau kita masukkan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum di sekolah. Pelajaran Biologi yang hanya beberapa jam saja itu menurut saya tidak cukup. Dengan demikian akan ada pengetahuan tentang kesehatan remaja dengan lebih baik.” “Kesehatan remaja tidak banyak disentuh, sarannya adalah bahwa layanan kesehatan reproduksi remaja harus diberikan secara formal, atau masuk dalam kurikulum sekolah dan/atau muatan lokal, agar semua remaja dapat mengakses informasi kespro, kalau hanya sebatas penyuluhan tidak cukup.” Risiko remaja mempunyai masalah kesehatan reproduksi semakin besar. Hal ini disebabkan karena pengaruh media internet dan adanya tren remaja tinggal di rumah kost sehingga kurang pengawasan. Keterbatasan ketersediaan informasi tentang kesehatan reproduksi maupun perilaku pacaran yang sehat, serta kesibukan orangtua sehingga kurang mengawasi pergaulan anaknya, menyebabkan praktik hidup bersama di luar ikatan perkawinan (kumpul kebo) atau perilaku seks bebas. Dua indikator penting yang dijadikan kinerja BKKBN adalah usia perkawinan pertama dan usia kehamilan pertama. Keduanya dinilai penting oleh peserta diskusi, tetapi usia kehamilan pertama diakui peserta sebagai indikator yang lebih tepat dan sensitif untuk mengukur keberhasilan program kesehatan remaja. Sedangkan istilah perkawinan pertama bisa disalah-artikan dengan perkawinan kedua, ketiga, dan seterusnya. “Saya tidak setuju dengan istilah usia kawin pertama, karena konotasinya akan ada kawin ke-2, 3, dst, lebih baik usia perkawinan ideal.” “Life skill (education) sebaiknya disebarkan kepada siswa dan mahasiswa sehingga kita akan tahu usia berhubungan seks pertama, dan itu lebih penting dari perkawinan pertama.” Selain karena kehamilan yang tidak diinginkan/direncanakan, menurut informasi yang didapatkan dari diskusi kelompok, orangtua di beberapa
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
44
daerah cenderung untuk segera menikahkan anaknya bila sudah ada yang melamar, sekalipun usia belum mencukupi. Hal ini tentu saja berimplikasi pada kehamilan usia remaja yang berisiko lebih besar untuk menyebabkan kematian ibu. ”...Ada kecenderungan orangtua di kabupaten sini menikahkan anaknya tidak berdasarkan umur, tetapi berdasarkan lamaran.” ”Ya, banyak kasus anak SD dinikahkan...” Selain indikator yang telah ditentukan oleh pemerintah, perlu juga adanya indikator tentang kesakitan remaja (misalnya HIV-AIDS pada remaja) dan angka pelacuran remaja. ”...kalau pacaran... akhirnya mengarah ke seks bebas...mereka tidak sadar bahwa nantinya mendapatkan penyakit seperti HIV-AIDS. ...tadi siang saya dapat informasi bahwa banyak remaja yang mendapatkan penyakit AIDS.”
3.7.2. Kebijakan Program Kesehatan Remaja Analisis terhadap data kuantitatif menunjukkan bahwa 64.61% peserta diskusi setuju bahwa kebijakan yang berlaku di kabupaten memberikan keuntungan bagi organisasi masing-masing. Keuntungan tersebut paling banyak adalah aspek upaya kesehatan dan pembiayaan (4.5%), sedangkan yang paling rendah adalah sistem informasi kesehatan (2%). Sebagian besar (62.85%) peserta diskusi setuju bahwa ada pihak-pihak di luar sektor kesehatan yang mendukung kebijakan program kesehatan remaja. Pihakpihak tersebut adalah Lembaga Keagamaan (4.5%) dan Institusi Pemerintah bukan kesehatan (4.3%), sedangkan perusahaan profit (2.5%) yang paling sedikit dukungannya. Sebagian besar peserta tidak menjawab (70.8%) pernyataan bahwa ada pihak-pihak di luar sektor kesehatan yang tidak mendukung kebijakan kabupaten tentang program kesehatan remaja.
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
45
Kecuali di Provinsi Papua yang telah memiliki Perda No. 4 Tahun 2011 tentang Pendidikan (pasal 37 butir C) yang mengamanatkan muatan Lokal HIV-AIDS, pada umumnya kabupaten yang lain belum memiliki kebijakan khusus tentang kesehatan remaja berupa produk hukum, walaupun di tataran program sudah ada, yaitu berupa Puskesmas Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), Pusat Informasi Kesehatan (PIK) Remaja di desa-desa, dan Bina Keluarga Remaja (BKR), dan lain-lain. Berbagai kendala dihadapi pada pelaksanaan program-program tersebut karena kurangnya tenaga pelaksana terlatih, fasilitas yang terbatas, pemanfaatan yang kurang oleh remaja, dan lain-lain. “PIK Remaja sudah dibentuk hingga tingkat desa/kelurahan. Namun kebanyakan hanya sekedar ada. Untuk pembinaan lanjutan terkesan kurang perhatian. Pengurus dan keberadaan PIK Remaja tidak disiapkan secara khusus dan intens, sehingga tanpa bimbingan dan supervisi yang terus-menerus, manjadi ‘mati’.” “…walaupun saya belum pernah melihat langsung, tapi saya pernah mendengar upaya pemerintah untuk meningkatkan kesehatan remaja melalui pelatihan keterampilan hidup atau life skill education dll.” Program pembangunan untuk kesehatan remaja di tingkat desa diterapkan melalui progam PIK dan BKR. Hal ini dapat dimengerti karena proses analisis situasi kesehatan remaja juga tidak dilakukan, sekalipun ada kelompok diskusi yang mengatakan bahwa proses musrenbangdes sudah melibatkan remaja. ” Kesehatan reproduksi menjadi masalah bagi orang dewasa, sedangkan remaja merasa tidak bermasalah. Oleh karena itu, dalam musrenbang harus melibatkan anak. Yang selama ini terjadi tidak melibatkan anak dalam menyusunan program di desa.”
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
46
Sekalipun dilakukan perencanaan desa untuk upaya penanganan masalah kesehatan remaja, peserta diskusi juga tidak yakin bahwa rencana desa tersebut mendapatkan persetujuan karena tidak ada yang mengawal rencana desa hingga ke kabupaten. ”Pengalaman di TTU, bahwa perencanaan desa tidak dipakai oleh SKPD. Diskusi SKPD, perencanaan desa tidak dipakai. Yang dibahas adalah program SKPD. Oleh karena itu, lebih baik kita langsung dekati SKPD saat penganggaran.” Sekalipun telah menjadi program nasional, tetapi beberapa program kesehatan remaja yang ada baru diterapkan di beberapa daerah dan sering kali tidak berkesinambungan. Belum lagi faktor utilisasi layanan kesehatan remaja yang rendah karena sosialisasi yang kurang ataupun waktu pelayanan, sikap petugas yang tidak simpati dan ruang konseling yang tidak nyaman bagi remaja. Waktu konseling sesuai jam kerja puskesmas juga menjadi hambatan bagi remja karena bersamaan dengan waktu belajar di sekolah. Mungkin perlu dipikirkan metode konseling yang lain, misalnya dengan cara konsultasi via SMS atau surat. “…..bentuk sosialisasi-sosialisasi kesehatan reproduksi remaja di tingkat SMP, SMA dan di lingkungan masyarakat yang berada di desa. Tetapi program itu pun juga tidak setiap tahun dilakukan. Apabila dilakukan jika ada kasus baru dilakukan usaha-usaha preventif melalui sosialisasi.” “Waktu pelayanan kurang pas dengan waktu yang dimiliki remaja yang membutuhkan. Konsultasi di puskesmas, biasanya hari Sabtu, antara jam 10.00 – 11.00, sementara remaja yang membutuhkan masih sekolah.” ”Jangankan daerah yang sulit akses, yang kota saja belum mendapatkan perhatian.”
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
47
Pencatatan dan pelaporan terkait program kesehatan remaja dilakukan secara manual dan bukan oleh petugas khusus. Belum tersedia data base yang berbasis komputer, yang datanya dimutakhirkan secara teratur, sehingga peserta diskusi menyampaikan adanya kendala untuk mengakses data kesehatan remaja. Sistem informasi yang sudah tersedia adalah untuk Kesehatan Ibu dan Anak. “Dalam meningkatkan kinerja program kesehatan remaja di kabupaten ini, pemerintah belum memiliki sistem informasi yang akurat dan baik dalam perencanaan dan penanganan program kesehatan reproduksi remaja yang mudah diakses oleh semua masyarakat dan remaja.” Utilisasi layanan oleh remaja juga menjadi persoalan. Sosialisasi kepada masyarakat
tentang
keberadaan
layanan
kesehatan
remaja
belum
tersampaikan dengan baik. Peranan organisasi masyarakat sipil diperlukan untuk memantau pelaksanaan program kesehatan remaja dan tidak terjadi penyimpangan. “Perlu peran CSO dalam mengontrol jalannya program kesehatan remaja yang dilakukan oleh pemerintah sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.” Untuk menjangkau lebih banyak remaja terlayani, maka UKBM menjadi salah satu solusi. BKR, PIK-KRR dan Saka Pramuka adalah bentuk UKBM untuk kesehatan remaja. Perluasan program UKS di sekolah menengah dapat diwujudkan dalam bentuk dokter remaja. Permendagri No. 19 Tahun 2013 mengisyaratkan untuk menjadikan Posyandu sebagai pusat layanan sosial dasar yang terpadu. BKR dan PIK-KRR dimungkinkan untuk memperkaya aktivitas Posyandu, walaupun wacana yang berkembang kemudian adalah menyediakan ruangan konseling yang privat tapi tidak mencurigakan. ”Sebenarnya Posyandu itu Pos Pelayanan Terpadu. Posyandu tidak hanya fokus pada penyakit tertentu, karena sistemnya terpadu. Bentuknya kapasitasi kader sehingga mampu dalam segala bidang.” GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
48
”Posyandu ramai. Kalau Posyandu ramai, maka remaja tidak akan datang untuk memeriksa kesehatan reproduksinya. Oleh karena itu, mestinya ada waktu khusus untuk pemeriksaan reproduksi remaja.”
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
49
KESIMPULAN DAN SARAN
A.KESIMPULAN 1) Secara
umum
sekitar
40%-80%
peserta
diskusi
kelompok
menyatakan bahwa pemerintah telah berhasil mencapai target indikator kesehatan ibu, anak, dan remaja. Dengan latar belakang peserta diskusi yang pada umumnya bukan ahli kesehatan, para peserta merasa indikator yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk kesehatan ibu, anak, dan remaja sudah tepat, terlebih dengan mencakup aspek akses dan kualitas layanan kesehatan. Di antara indikator-indikator yang sudah ada, peserta diskusi mengidentifikasi beberapa indikator yang dianggap sensitif, yaitu: a) Layanan 7T pada pemeriksaan kehamilan yang pertama (K1); b) Persalinan oleh tenaga kesehatan (PN); c) Dilakukannya essential newborn care pada kunjungan bayi baru lahir pada 6 jam-3 hari pertama (KN1); c) Usia pada kehamilan pertama. Selain indikator yang sudah ada, peserta diskusi juga menyoroti perlu adanya indikator yang bisa mengukur pemerataan layanan, mencakup populasi berkebutuhan khusus (diffable), partisipasi laki-laki pada kesehatan ibu dan anak, serta keterlibatan remaja pada perencanaan dan pelaksanaan program yang terkait kesehatan reproduksi. 2) Pada umumnya daerah sudah memiliki kebijakan berupa produk hukum untuk kesehatan ibu dan anak, tetapi tidak untuk kesehatan reproduksi. Sedangkan pada tataran program, semua kabupaten telah melaksanakan kebijakan program kesehatan ibu dan anak, hanya saja daerah masih menghadapi persoalan utilisasi layanan yang tidak merata.
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
50
3) Hasil diskusi ini menemukan bahwa organisasi masyarakat sipil (OMS) setuju dengan program kesehatan ibu, anak, dan remaja karena merasa mendapat keuntungan daripadanya, baik dari aspek upaya kesehatan maupun aspek yang lain. OMS merasa dirinya sebagai pendukung pemerintah untuk ketiga program tersebut, bersama dengan instansi pemerintah lainnya di luar kesehatan dan lembaga keagamaan. Kelemahan yang dirasakan oleh OMS adalah ketersediaan dan akses atas informasi yang akurat dan mutakhir. OMS merasa kesulitan untuk mendapatkan informasi, juga sebaliknya, jika mempunyai informasi, kesulitan untuk meyakinkan pemerintah atas keabsahan informasi tersebut. 4) Peranan OMS dalam mendukung keberhasilan program kesehatan ibu, anak, dan remaja adalah pada: OMS sebagai fasilitator peningkatan kapasitas masyarakat desa, membentuk agen perubahan sosial di masyarakat, penggerak masyarakat dan peningkatan kapasitas masyarakat sipil di desa untuk advokasi kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan ibu, anak, dan remaja. Penguatan proses perencanaan desa untuk penajaman pada komponen
kesehatan
ibu,
bayi,
dan
remaja,
dengan
memperhatikan analisis data yang akurat dan mutakhir. Termasuk di dalamnya adalah memastikan kader Posyandu sebagai pelaku dalam musrenbangdes. Memantau pelaksanaan program kesehatan ibu, anak, dan remaja dengan memberikan perhatian lebih pada aspek yang mungkin tidak terjangkau pelayanan oleh pemerintah, yaitu pada
upaya
pemerataan
layanan
di
daerah
dengan
keterbatasan ketersediaan tenaga/fasilitas kesehatan dan aksesibilitas geografis, layanan/fasilitas kesehatan untuk
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
51
kelompok sasaran yang berkebutuhan khusus dan peningkatan partisipasi masyarakat sipil dengan keseimbangan jender, baik dalam proses musrenbang maupun pelaksanaan program di tingkat desa, kabupaten, provinsi, dan Pusat. Mengevaluasi dampak program kesehatan ibu, anak, dan remaja dengan perhatian pada kematian ibu dan kematian balita yang valid dan diinformasikan dengan benar kepada masyarakat. B. SARAN a) Perlunya dibentuk sebuah koalisi organisasi masyarakat sipil untuk Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) di tingkat kabupaten/ kota. Koalisi GKIA menjadi mitra pemerintah dalam mengawal program KIA dalam rangka pencapaian target MDG dan equity. Koalisi OMS melibatkan LSM lokal, tokoh adat, tokoh agama, forum pemuda/anak di tingkat kabupaten dengan agenda pertemuan rutin minimal sebulan sekali. Focal point koalisi di tingkat kabupaten/kota adalah OMS yang telah eksis di bidang kesehatan ibu, anak, dan remaja. b) Koalisi GKIA tingkat kabupaten/kota hendaknya mempunyai rencana strategis lima tahunan dengan jaminan pendanaan/ anggaran yang jelas. Pendanaan dapat bersumber dari pemerintah, lembaga donor, salah satu OMS maupun sharing budget, asalkan pemanfaatannya disepakati bersama-sama. c) Rencana Strategis koalisi GKIA tidak mengambil alih peran pemerintah, tetapi bersinergi dengan program pemerintah, dengan
memperhatikan
pada
isu
inequity
services
dan
keberpihakan pada kelompok sasaran berkebutuhan khusus serta
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
52
membangun partisipasi masyarakat sipil dan kapasitas tenaga profesional anggota koalisi GKIA. d) Peningkatan kapasitas tenaga profesional koalisi GKIA dilakukan dengan tujuan agar tenaga profesional koalisi GKIA mempunyai pemahaman
yang
tepat
mengenai
strategi
program
dan
pelaksanaannya, serta keterampilan untuk melakukan jejaring, berkoordinasi dan advokasi. e) Rencana
strategi,
advokasi,
dan
peningkatan
kapasitas
dikembangkan dengan berbasis data dan penilaian terhadap situasi daerah masing-masing. Hal ini mendorong koalisi GKIA untuk memiliki data-base yang baik dengan metodologi pengumpulan data yang tepat, sehingga validitas dan reliabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Data-base ini semestinya tidak tumpang tindih dengan data yang dikumpulkan pemerintah baik melalui pelaporan rutin maupun survei rutin, tetapi akan bersifat melengkapi, lebih menjelaskan dan dapat menjadi rujukan untuk triangulasi data/informasi. f) Pemerintah diharapkan secara serius mendukung organisasi masyarakat sipil dan mendorong agar jaringan ini eksis dan pada gilirannya keberhasilan
sangat
membantu
pembangunan
pemerintah
bidang
untuk
kesehatan,
mencapai
dengan
tetap
menghargai independensi dan dinamika yang menjadi ciri organisasi masyarakat sipil.
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
53
Lampiran 1. Lembaga Pelaksana FGD/DKT
Maternal
Newborn & U-5
Adolescent/ Reproductive
NGO Focal Point
Sumatra Utara
Forum Komunikasi Perubahan Perilaku – CERIA (percepatan penurunan kematian ibu dan anak) Deli Serdang, 2 Des 2013 PKBI Palembang, 5 Des 2013
Forum Komunikasi Perubahan Perilaku – CERIA (percepatan penurunan kematian ibu dan anak) Deli Serdang, 5 Des 2013 PKBI Palembang, 5 Des 2013
Muhamma diyah (Santoso, Taufik Hidayat)
Sumatra Selatan
Forum Komunikasi Perubahan Perilaku – CERIA (percepatan penurunan kematian ibu dan anak) Deli Serdang, 4 Des 2013 PKBI Palembang, 5 Des 2013
Lampung
PKBI BandarLampung, 5 Des 2013 Mercy Corps Jakarta Barat, 5 Des 2013 Forum Kesehatan Peduli Kesehatan Ibu & Anak 3 Desember 2013
PKBI BandarLampung, 5 Des 2013 Mercy Corps Jakarta Barat, 6 Des 2013 Forum Kesehatan Peduli Kesehatan Ibu & Anak 5 Desember 2013 Save the Children Yayasan Bahtera, LAHA, KAP, MCR, LPA, YMS Bandung 4 Des 2013
PKBI BandarLampung, 6 Des 2013 World Vision Wahana Visi Indonesia Cilincing, 1 Des 2013 Micronutrient Initiative 3 Desember 2013
DKI Jakarta Banten
Jawa Barat
Child Fund Warga Upadaya Bogor, 6 Des 2013
Jawa Tengah
Child Fund LP3S Magelang, 5 Des 2013
Child Fund LP3S Magelang, 5 Des 2013
Jawa Timur
APPI 4 Desember 2013
APPI 5 Desember 2013
World Vision Wahana Visi Indonesia 4 Des 2013 tidak berhasil diadakan
Sulawesi Selatan
Forum EMAS ibu dan anak Kabupaten Pinrang 4 Desember 2013
Forum EMAS ibu dan anak Kabupaten Pinrang 5 Desember 2013
PKBI 7 Desember 2013
Save the Children Post KB, PERSISTRI, Aisyah, NU, Muhamadiyah, Forum Kab.Bandung Sehat Bandung 5 Des 2013 Child Fund LP3S Magelang, 5 Des 2013
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
PKBI (Amirul Husni) PKBI (Herdi Mansyah) Mercy Corps Muhamma diyah
Save the Children
Child Fund ( Sunarni, Laila Diryat) APPI (Lucia Rahajeng, Irul Hidayati) Muhamma diyah (Hikmiati)
54
Maternal
Newborn & U-5
Adolescent/ Reproductive
NGO Focal Point
NTT
APPI 6 Desember 2013
Papua
YPCII Mimika, 4 Des 2013
Plan Kefamenanu – TTU (CP P. Denny) YPCII Mimika, 4 Des 2013
Papua Barat
PKBI Manokwari, 4 Des 2013
PKBI Manokwari, 6 Des 2013
Plan Kefamenanu – TTU (CP P. Denny) World Vision Wahana Visi Indonesia Merauke, 5 Des 2013 PKBI Manokwari, 7 Des 2013
Plan (Denny Rahadian) YPCII (Agus Priatna) PKBI
Catatan:
Mitra Child Fund: 1. Konsorsium Peduli Anak Kabupaten dan Kota Semarang (KOMPASS) Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang 2. Mitra ChildFund Kabupaten Boyolali dan Wonogiri : Suko Marsudi Siwi (SMS) 3. Mitra ChildFund Cilacap dan Banyumas : Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) 4. Mitra ChildFund Kabupaten Magelang: Yayasan Citra Kasih
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
55
Lampiran 2. Foto suasana Diskusi Kelompok Terarah
DKT – Prov. Sumatra Utara
DKT– Prov. Sumatra Selatan
DKT – Prov Lampung
DKT – Provinsi DKI Jakarta
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
56
DKT – Prov Jawa Barat DKT – Prov Banten
DKT – Provinsi Jawa Tengah
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
57
DKT – Provinsi Jawa Timur
DKT – Prov NTT
DKT – Prov Papua
DKT – Prov Sulsel
DKT – Prov Papua Barat
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
58
ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL PENDUKUNG STUDI
GERAKAN KESEHATAN IBU DAN ANAK