HASIL RUMUSAN LOKAKARYA MORATORIUM KONVERSI HUTAN ALAM DAN PENUTUPAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU SARAT HUTANG Jakarta, 8-9 Agustus 2000 A. PENDAHULUAN Dalam sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) di Jakarta tanggal 1-2 Februari 2000 yang lalu, Pemerintah Indonesia menyampaikan komitmen untuk membentuk
Komite Antar
Departemen Tentang Kehutanan guna memotori proses penyusunan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan hutan. Komitmen itu menjabarkan delapan butir penting yang menjadi prioritas dalam membenahi kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan dan kegiatan industri berbasis kehutanan, yaitu : 1. To invite cooperation and coordination of other Ministries to impose strong measures against illegal loggers especially those operating within national park, and closure of illegal sawmills. 2. To speed up forest resource assessment as a basis of National Forest Program (NFP) formulation. 3. To evaluate the policy in conversion forest and put moratorium on all natural forest conversion until NFP agreed. 4. To downsize and restructure wood based industry to balance between supply and demand of raw material and most importantly to increase competitiveness of Indonesia wood based industry. 5. To close heavily-indebted wood industries under control of IBRA and linking proposed debt write-off to capacity reduction. 6. To connect the reforestation program with the existing forest industries and those under construction. 7. To recalculate real value of timber 8. To use decentralization processes as a tool to enhance sustainable forest management. Komitmen tersebut dilandasi oleh keprihatinan atas degradasi sumberdaya hutan dimana laju deforestasi mencapai 1,6 juta ha/tahun dalam decade terakhir akibat eksploitasi hutan yang berlebihan, konversi hutan alam untuk berbagai keperluan, penjarahan hutan, perladangan, kebakaran hutan dan sebagainya. Kerusakan sumberdaya hutan juga disebabkan oleh kapasitas industri perkayuan dan pulp yang jauh melebihi kemampuan sumberdaya hutan dalam menghasilkan bahan bahan baku kayu secara lestari. Pada masa sebelum krisis (1996) industri pengolahan kayu pertukangan skala menengah dan besar, dan industri pulp, membutuhkan masing-masing 24 juta m3 dan 15 juta m3. Sedangkan kebutuhan untuk industri kecil kayu gergajian diperkirakan sebesar 9,4 juta m3. Maka kebutuhan ketiga kelompok industri pengolahan kayu adalah sebesar 48,2 juta m3. Padahal kemampuan hutan alam menyediakan bahan baku secara lestari diperkirakan tidak lebih besar dari 22,5 juta m3. Kayu yang dipanen paling banyak diserap oleh industri plywood dan pulp yang merupakan kelompok industri besar yang sebagian besar mempunyai masalah keuangan dalam menjalankan bisnisnya. Permintaan bahan baku untuk industri pulp tahun 1999/2000 diperkirakan mencapai 20-24 juta m3, sedangkan pasokan yang berasal dari HTI hanya 1 juta m3/tahun dan pasokan
HASIL RUMUSAN LOKAKARYA MORATORIUM KONVERSI HUTAN ALAM DAN PENUTUPAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU SARAT HUTANG
dari IPK untuk industri pulp hanya sekitar 10 juta m3. Hal ini menunjukkan kesenjangan sebesar 9-13 juta m3 yang sebagian dipasok dari kayu illegal/penebangan liar. Jumlah kayu yang berasal dari penebangan liar yang digunakan untuk industri diperkirakan antara 17 sampai 30 juta meter kubik per tahun. B. HASIL DISKUSI B.1. MORATORIUM KONVERSI HUTAN ALAM Pengertian. 1. Moratorium konversi hutan alam adalah penghentian sementara kegiatan mengubah hutan alam menjadi bentuk penggunaan lahan lain. Moratorium ini dilakukan sampai dengan disetujuinya National Forest Programme (NFP). 2. Terdapatnya beberapa persepsi yang berbeda mengenai cakupan konversi hutan, yaitu : a. Konversi dari hutan alam dapat terjadi pada : •
Hutan alam primer
•
Hutan alam sekunder (logged over area)
•
Hutan alam yang rusak
b. Konversi hanya berasal dari kawasan hutan konversi saja c.
Konversi dapat berasal dari semua kawasan hutan
d. Konversi hutan alam mencakup perubahan untuk keperluan non kehutanan. e. Konversi hutan alam mencakup perubahan untuk seluruh keperluan termasuk hutan tanaman. f.
Konversi dapat didasarkan pada ijin atau de facto proses yang sedang dan atau akan terjadi di lapangan bagi yang ijinnya sudah dikeluarkan.
Issue-issue Yang Perlu Diperhatikan. 1. Konversi hutan alam menimbulkan kekhawatiran terjadinya kehancuran sumberdaya hutan karena deforestasi dan degradasi hutan yang terus berlangsung di dalam skala besar. Pada banyak kasus, konversi hutan alam menjadi perkebunan skala besar dan hutan tanaman, disamping mengurangi luas hutan alam juga dilihat sebagai bentuk marginalisasi atau penggusuran lahan kehidupan masyarakat setempat. 2. Penghentian sementara konversi hutan alam (moratorium) disadari dapat menimbulkan kekhawatiran daerah untuk tidak dapat memaksimumkan peluang diperolehnya pendapatan daerah,
hilangnya
sumberdaya
hutan
kesempatan
masyarakat
dan hilangnya
peluang
untuk untuk
secara
langsung
mengembangkan
memanfaatkan wilayah melalui
pemanfaatan hutan terutama guna perluasan lahan perkebunan. Disamping itu juga ditengarai juga keputusan nasional moratorium akan mengurangi kewenangan daerah untuk menggunakan hak otonomi di bidang kehutanan. Dari sini muncul usulan bahwa moratorium harus dilaksanakan secara selektif dan menempatkan daerah sebagai penentu utamanya. 3. Implikasi penghentian sementara konversi hutan alam : 3.1.
Implikasi social •
Keterbatasan masyarakat untuk membuka lahan untuk kehidupan sehari-hari.
HASIL RUMUSAN LOKAKARYA MORATORIUM KONVERSI HUTAN ALAM DAN PENUTUPAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU SARAT HUTANG
•
Kemungkinan penurunan pendapatan masyarakat karena kehilangan pendapatan dari pembukaan hutan alam.
3.2.
Implikasi Ekonomi •
Terhentinya sementara beberapa ijin pemanfaatan kawasan untuk kegiatan perkebunan dan pertambangan.
•
Terganggunya pendapatan asli daerah (PAD)
•
Terganggunya beberapa usaha kehutanan dan industri berbahan baku kayu.
•
Dapat memberikan efek positif pada tuntutan global untuk lingkungan
•
Dapat menurunkan kinerja perdagangan hasil hutan.
3.3.
Implikasi Kelembagaan •
Ketetapan dan pelaksanaan moratorium tidak dapat mengabaikan kewenangan daerah sebagaimana diatur di dalam PP25/2000.
•
Pelaksanaan moratorium mengakibatkan pekerjaan tambahan dalam hal persiapan, monitoring dan pengendalian yang sampai sekarang belum dipikirkan.
•
Harus ada perangkat insentif terutama bagi masyarakat yang terkena dampak negatif pelaksanaan moratorium.
•
Batas kesementaraan moratorium adalah sampai sampai Program Kehutanan Nasional (NFP) tersusun dan disetujui. Disisi lain, belum ada gambaran kapan NFP tersebut dimulai, disusun dan disetujui.
•
Moratorium jangan dipandang dari segi kepentingan memenuhi tuntutan IMF saja, tetapi menjadi kebutuhan nasional Indonesia.
•
Diperlukan prakondisi untuk penetapan dan pelaksanaan di lapangan, terutama dalam hal data dan informasi.
•
Kerusakan hutan lebih banyak disebabkan moral degradation, sehingga moratorium dipandang bukan sebagai satu-satunya perangkat yang efektif untuk menghentikan degradasi sumberdaya hutan.
•
Jika moratorium dilaksanakan perlu diperhatikan waktu penyesuaian (adjustment time) dalam rangka restrukturisasi industri dan sumber bahan baku.
•
Pelaksanaan otonomi daerah (PP 25/2000, UU 22/1999 dan UU 18/97 yang sedang direvisi).
•
Ketersediaan kompensasi dan alternatif pendapatan daerah.
Pilihan-Pilihan Kebijakan Kebijakan penghentian sementara konversi hutan alam dapat berupa : 1. Penghentian pengeluaran ijin konversi baru 2. Penghentian ijin baru dan proses konversi yang sedang berjalan (terutama yang di luar area yang sah). 3. Penghentian konversi dari seluruh kawasan hutan alam tanpa melihat kondisi ekologi. 4. Menghentikan konversi hutan alam diluar kawasan hutan konversi. Rekomendasi 1. Perlu segera dibentuk Tim Teknis yang akan bekerja dibawah Kelompok Kerja IDCF untuk menyiapkan kebijakan moratorium konversi hutan alam.
HASIL RUMUSAN LOKAKARYA MORATORIUM KONVERSI HUTAN ALAM DAN PENUTUPAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU SARAT HUTANG
2. Kebijakan dan implementasi moratorium perlu memperhatikan kondisi obyektif dan kebutuhan daerah, oleh karenanya
diperlukan konsultasi dengan daerah termasuk
implikasinya. B.2. PENUTUPAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU SARAT HUTANG DAN BERMASALAH Pengertian Industri kayu sarat hutang yang dimaksud disini adalah industri pengolahan kayu yang saat ini berada dalam penanganan BPPN yang meliputi 87 perusahaan dengan asset mencapai Rp. 12,4 triliun. Isu-isu Yang Perlu Diperhatikan. 1. Terjadinya kapasitas yang berlebih pada industri perkayuan dalam arti permintaan bahan baku melebihi kapasitas pasokan lestari baik dari HPH maupun HTI yang mendorong terjadinya pembalakan tidak sah (illegal logging) yang menyebabkan percepatan laju deforestasi. 2. Kekuatiran habisnya sumber daya hutan akibat over cutting dan illegal logging, sehingga ketika itu terjadi seluruh industri berbahan baku kayu terpaksa tutup. 3. Adanya masalah efisiensi teknis (technical efficiency) di beberapa industri pengolahan kayu. 4. Banyaknya tenaga kerja dan investasi yang telah ditanamkan pada industri pengolahan kayu. Pilihan-pilihan Kebijakan 1. Penutupan kilang pengolahan kayu 2. Penurunan kapasitas industri pengolahan kayu 3. Relokasi industri dengan mendekati sumber bahan baku 4. Reengineering (modifikasi fasilitas industri) untuk produk hilir atau sejenis 5. Peningkatan ketersediaan bahan baku antara lain melalui : •
Impor bahan baku
•
Mempercepat HTI
•
Pemulihan hutan alam
•
Peningkatan efisiensi pada pembalakan dan pengolahan
Rekomendasi 1. Perlu penetapan kriteria evaluasi untuk dapat memutuskan apakah suatu industri perlu ditutup atau cukup dilakukan restrukturisasi hutang oleh pemerintah. Kriteria yang disarankan : •
11 tahap evaluasi yang dilakukan BPPN
•
Kriteria tambahan yang meliputi : a.
Environmental due deligence (antara lain dalam bentuk penerapan instrumen log tracking system untuk menguji legalitas bahan baku yang digunakan suatu industri)
b.
Aspirasi daerah
HASIL RUMUSAN LOKAKARYA MORATORIUM KONVERSI HUTAN ALAM DAN PENUTUPAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU SARAT HUTANG
c.
Komitmen terhadap kelestarian sumber daya hutan, kinerja lapangan, catatan kinerja masa lalu, rencana realisasi pembangunan hutan tanaman dan/atau rehabilitasi hutan alam.
d.
Implikasi lingkungan dan social (tenaga kerja, konflik social, HAM)
e.
Efisiensi teknis
2. Strategi yang diperlukan : a. Perlunya dibentuk Tim Teknis yang akan bekerja dibawah Kelompok Kerja IDCF untuk melakukan kajian dan memutuskan tentang perlu tidaknya suatu kilang pengolahan kayu ditutup. Dalam hal
pembentukan tim teknis ada dua pendapat yang berbeda,
yaitu : •
Segera membentuk team teknis secara ad hoc.
•
Mendorong IDCF agar segera membentuk tim teknis dimaksud.
b. Mengadakan forum-forum pertemuan antara BPPN dengan para pihak (stakeholders) industri kehutanan c.
Aplikasi kriteria dilakukan ole h tim penilai dari pihak ketiga yang independen (independent 3
rd
party) secara transparan.
d. Masalah diselesaikan berdasarkan kasus per kasus e. Mekanisme pengambilan keputusan perlu dirumuskan (mencakup penetapan cut-off point dan penggunaan kriteria, termasuk ketentuan hukum tentang kewenangan Deperindag menutup industri yang terbukti menggunakan input yang illegal) 3. Jika restrukturisasi menjadi pilihan maka persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan adalah : •
Untuk perusahaan yang tidak memungkinkan memperoleh pasok bahan baku secara lestari sebesar kapasitas
terpasang, maka untuk
direstrukturisasi diisyaratkan penurunan kapasitas
setiap
bracket
hutang
(downsizing). Di samping
yang itu
disyaratkan :
•
o
Pemenuhan bahan baku dari sumber yang sah (membeli dari sumber legal)
o
Membangun hutan tanaman dengan jadwal dan jangka waktu yang jelas.
Untuk perusahaan yang masih mungkin memperoleh pasok bahan baku kayu secara lestari sesuai kapasitas terpasang, restrukturisasi hutang perlu diikuti syarat-syarat : o
Penurunan produksi sementara samoai dapat dilakukan pemenuhan bahan baku dari sumber yang sah/legal.
o
Membangun hutan tanaman dengan jadwal dan jangka waktu yang jelas.
Jakarta, 8-9 Agustus 2000 Tim Perumus Ketua
:
Dr. Boen Purnama
Sekretaris :
Ir. Hariyadi, MBA
Anggota
1. Dr. Hariadi Kartodihardjo
:
2. Dr. Mubariq Achmad 3. Dr. Komara Djaja 4. Agus Purnomo, MBA 5. Dr. Agus Setyarso 6. Dr. Togu Manurung 7. Dr. Hasim, DEA 8. R.B. Suryama, MS
HASIL RUMUSAN LOKAKARYA MORATORIUM KONVERSI HUTAN ALAM DAN PENUTUPAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU SARAT HUTANG