3
HASIL Hubungan ciri morfologi malai jantan dan stadia mikrospora Morfologi malai jantan kelapa sawit dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan ukuran pembukaan spata, posisi spikelet pada malai, dan posisi bunga pada spikelet (Gambar 1 & Tabel 1). Ciri morfologi yang diamati kemudian dihubungkan dengan stadia mikrospora. Malai jantan kelapa sawit dengan spata ¼ terbuka mengandung populasi mikrospora yang didominasi oleh stadia uninukleat awal-tengah. Sel mikrospora stadia uninukleat awal-tengah terutama dapat diisolasi dari bunga yang terletak di ujung spikelet yang terdapat pada bagian ujung malai. Mikrospora pada stadium ini dicirikan dengan sel yang berbentuk triangular dengan inti yang mengalami dekondensasi dan terletak di tengah sel (Gambar 2A). Selanjutnya inti sel tampak mengalami rekondensasi dan kedudukannya semakin ke arah tepi karena terdesak oleh vakuola (mendekati dinding sel) (Gambar 2B). Sel mikrospora dengan ciri seperti ini berada pada stadium uninukleat akhir. Mikrospora pada stadium uninukleat akhir dapat diisolasi dari bunga yang terletak di ujung spikelet yang terdapat pada bagian tengah malai dengan spata ½ terbuka. Selanjutnya sel mikrospora memasuki stadium binukleat awal. Pada stadium ini, inti sel mengalami pembelahan mitosis sebanyak satu kali sehingga dihasilkan dua inti yang berukuran sama dalam satu sel (Gambar 2C). Sel mikrospora stadium ini banyak dijumpai pada bunga yang terletak di tengah spikelet yang terdapat pada bagian pangkal malai dengan spata ½ terbuka. Setelah inti sel membelah secara mitosis, kedua inti tersebut mulai bergerak menjauh dan mulai terjadi diferensiasi, yaitu menjadi inti vegetatif dan inti generatif. Sel mikrospora dengan ciri seperti ini menandakan bahwa sel berada pada stadium binukleat tengah (Gambar 2D). Mikrospora stadium binukleat tengah dapat dijumpai dengan populasi terbesar pada bunga yang terletak di pangkal spikelet yang terdapat pada bagian pangkal malai dengan spata ½ terbuka. Pada perkembangan selanjutnya, sel mikrospora akan memasuki stadium binukleat akhir. Stadium binukleat akhir dicirikan oleh inti vegetatif dan inti generatif yang dapat dibedakan dengan jelas. Perbedaan ini terlihat pada inti generatif yang berukuran lebih kecil
karena lebih terkondensasi sehingga terlihat lebih terang daripada inti vegetatif (Gambar 2E). Setelah stadium binukleat akhir, mikrospora akan menjadi polen matang. Polen matang ditunjukkan oleh kedua inti (inti vegetatif & inti generatif) yang berukuran kecil dan inti generatif berbentuk lonjong sempit (Gambar 2F). Polen matang dapat diisolasi pada semua bagian malai jantan kelapa sawit dengan spata terbuka sepenuhnya.
Gambar 1 Morfologi malai jantan dan spikelet kelapa sawit, (A) malai jantan dengan spata ¼ terbuka, (B) malai jantan setelah spata dibuka, dan (C) spikelet. Malai dan spikelet dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pangkal (P), tengah (T), dan ujung (U). Garis skala = 1 cm untuk B-C.
Gambar 2 Stadia mikrospora kelapa sawit, (A) uninukleat awal-tengah, (B) uninukleat akhir, (C) binukleat awal, (D) binukleat tengah, (E) binukleat akhir, dan (F) polen matang. Inti generatif (ig) dan inti vegetatif (iv). Garis skala = 30 µm untuk A-F.
4 Tabel 1
No.
Hubungan ciri morfologi malai bunga jantan dan stadia mikrospora kelapa sawit Ciri morfologi malai
Posisi spikelet pada malai ujung
1.
malai dengan spata 1/4 terbuka
tengah
pangkal
ujung
2.
malai dengan spata 1/2 terbuka
tengah
pangkal
ujung
3.
malai dengan spata terbuka sepenuhnya
tengah
pangkal
Keterangan :
EMU LU EB
Posisi bunga pada spikelet ujung tengah pangkal ujung tengah pangkal ujung tengah pangkal ujung tengah pangkal ujung tengah pangkal ujung tengah pangkal ujung tengah pangkal ujung tengah pangkal ujung tengah pangkal
Stadia mikrospora
= uninukleat awal-tengah = uninukleat akhir = binukleat awal
Perkembangan gametofitik mikrospora Kultur mikrospora yang dimulai dari populasi mikrospora yang didominasi oleh fase uninukleat awal-tengah ataupun fase uninukleat akhir menunjukkan respon yang sama. Namun, terlihat bahwa kelompok kultur yang dimulai dengan mikrospora stadium uninukleat akhir mengalami perkembangan yang lebih stabil. Hal ini terlihat dari stabilitas pengurangan jumlah mikrospora stadium uninukleat akhir akibat kematian sel mikrospora pada kultur (Gambar 3B). Sedangkan pengurangan jumlah mikrospora stadium uninukleat awal-tengah akibat
EMU (%)
LU (%)
EB (%)
MB (%)
LB (%)
MP (%)
99 79 56 99 76 51 91 47 25 28 28 20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 17 3 1 14 26 7 34 30 33 34 21 42 39 23 17 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 5 12 0 7 17 1 16 28 27 25 38 40 43 43 50 54 43 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 2 0 3 6 0 3 16 13 22 19 18 19 30 33 36 45 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 4 0 3 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100
MB LB MP
= binukleat tengah = binukleat akhir = polen matang
kematian sel mikrospora pada kultur cenderung fluktuatif dan kematian sel sangat tinggi pada 1 HSK (Gambar 3A). Selama satu hari kultur (Gambar 4B), kondisi mikrospora tidak berbeda dari kondisi awal kultur (0 HSK) (Gambar 4A). Namun, Kematian sel terus meningkat mulai dari 1 HSK sampai 15 HSK (Gambar 3) yang ditandai dengan plasmolisis dan keluarnya inti (Gambar 4D & Gambar 4E) serta sitoplasma sel (Gambar 4F). Namun, kedua kelompok kultur mampu mendukung perkembangan mikrospora sampai menjadi polen matang pada 3 HSK (Gambar 4C).
Persentase mikrospora (%)
5
100 80
60 40 20 0 1
Persentase mikrospora (%)
3
4
5
6
Hari setelah kultur (HSK)
A
100
polen matang
80
binukleat akhir
60
binukleat tengah binukleat awal
40
uninukleat akhir
uninukleat awal-tengah
20
Mati
0 1
B
2
2
3
4
5
6
Hari setelah kultur (HSK)
Gambar 3 Perkembangan gametofitik mikrospora dari kondisi awal didominasi (A) uninukleat awal-tengah dan (B) uninukleat akhir dalam kultur in vitro.
Gambar 4 Perkembangan mikrospora dari kondisi awal didominasi uninukleat akhir dalam antera pada kultur in vitro (A) 0 HSK, (B) 1 HSK, (C) 3 HSK, (D) 6 HSK, (E) 10 HSK, dan (F) 15 HSK. Mikrospora stadium uninukleat akhir (lu), polen matang (mp), inti sel keluar (ik), dan sitoplasma keluar (sk). Garis skala = 30 µm untuk A-F.
6 Viabilitas dan tingkat perkecambahan polen Hasil pengujian viabilitas polen kelapa sawit dengan menggunakan uji TTC yang mengindikasikan keberadaan enzim sitoplasmik diperoleh 95% polen viable, 1% semi-viable, dan 4% polen unviable setelah empat jam pengujian (Gambar 7). Polen yang berkecambah membentuk tabung polen dengan panjang rata-rata mencapai 190 µm setelah diinkubasi selama 24 jam (Gambar 5). Kapasitas germinasi polen kelapa sawit dapat mencapai 95% bila diinkubasi dalam waktu 12-14 jam (Gambar 6).
panjang tabung polen (µm)
250
200
150 r = 0.792 y = 9,479x
100
50
0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Gambar 7 Pengujian viabilitas dan tingkat perkecambahan polen kelapa sawit. (A) Uji viabilitas dengan TTC, polen viable (v) berwarna merah, semi-viable (im) berwarna merah muda, dan polen unviable (uv) tidak berwarna; (B) Polen yang dikecambahkan membentuk tabung polen (tp).Garis skala = 30 µm.
waktu inkubasi (jam) Gambar 5 Ukuran panjang tabung polen kelapa sawit dalam periode 24 jam inkubasi.
PEMBAHASAN
persentase perkecambahan (%)
100
80 r = 0.988
60
y = 9(1-exp(-5x) 40
20
0 0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
waktu inkubasi (jam) Gambar 6 Tingkat perkecambahan polen kelapa sawit dalam periode 24 jam inkubasi.
Antera untuk induksi androgenesis kelapa sawit dengan populasi mikrospora stadium uninukleat akhir sampai binukleat awal lebih dari 50% dapat diisolasi dari bunga pada ujung spikelet yang terletak di tengah malai dengan spata ½ terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa posisi bunga pada spikelet, posisi spikelet pada malai, dan ukuran membukanya spata malai jantan kelapa sawit dapat digunakan sebagai penanda stadia mikrospora. Ciri yang digunakan sebagai penanda stadia mikrospora berbedabeda antar spesies tanaman, seperti warna ungu pada ujung antera tanaman cabai (Supena et al. 2006), ukuran kuncup bunga pada tanaman tembakau (Wahidah 2010), dan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup bunga pada tanaman kedelai (Budiana 2010).
7 Penentuan stadia mikrospora dalam antera yang akan digunakan pada induksi androgenesis merupakan faktor penting. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Perera et al. (2008), stadium mikrospora yang paling responsif untuk induksi androgenesis pada Cocos nucifera adalah saat pembelahan mitosis pertama yaitu stadium uninukleat akhir sampai binukleat awal. Hal ini karena mikrospora pada stadium uninukleat akhir merupakan transisi antara fase G1 dan Sintesis (S). Fase G1 merupakan periode presintesis DNA, sedangkan fase S merupakan masa berlangsungnya sintesis DNA. Bila mikrospora diberi perlakuan stress ketika memasuki check point G1 yang berada di antara fase G1 dan S, maka akan menghasilkan proses seluler yang berbeda dari proses alaminya sehingga dapat dimanfaatkan untuk proses pembelokkan arah perkembangan gametofitik ke arah sporofitik untuk induksi androgenesis dalam upaya pengembangan teknologi haploid (Indrianto et al. 2001). Stadia mikrospora yang paling responsif untuk induksi androgenesis pada fase uninukleat akhir sampai binukleat awal juga dilaporkan untuk tanaman Hordeum vulgare (Maraschin et al. 2005), Brassica napus (Custers et al. 1994), dan Capsicum annuum (Supena et al. 2006; Supena & Custers 2011). Perkembangan mikrospora dalam kultur antera dengan teknik media dua lapis dengan media Y3 yang mengandung maltosa 4% sebagai sumber karbon dapat mendukung perkembangan kelompok mikrospora uninukleat awal-tengah dan uninukleat akhir menjadi polen matang pada hari ketiga setelah kultur (3 HSK). Namun, tidak dapat dipastikan bahwa polen matang tersebut merupakan hasil perkembangan dari mikrospora stadium uninukleat awal-tengah ataupun uninukleat akhir. Adam et al. (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa waktu yang diperlukan oleh gamet jantan untuk berkembang dari fase tetrad menjadi polen matang in planta adalah 6 minggu. Berdasarkan hal ini, polen matang yang dijumpai pada 3 HSK tersebut kemungkinan dapat berasal dari perkembangan mikrospora stadia binukleat yang sudah ada pada 0 HSK. Septiani (2008) menyebutkan bahwa perkembangan mikrospora secara in vitro dalam teknik kultur antera pada media dua lapis dengan media standar embriogenesis yang mengandung sukrosa 1.5% dan glukosa 0.5% hanya dapat mendukung perkembangan mikrospora dari tahap uninukleat akhir hingga
binukleat tengah. Hal ini karena banyaknya mikrospora yang mengalami plasmolisis pada 3 HSK. Sel mikrospora mengalami kematian selama periode kultur. Bertambahnya tingkat kematian sel mulai dari 1 HSK sampai 15 HSK ditandai dengan keluarnya inti dan sitoplasma sel. Penggunaan maltosa dapat mempertahankan persentase sel hidup kurang lebih sebesar 40% pada 15 HSK. Sementara penggunaan sukrosa dan glukosa seperti yang telah disebutkan oleh Septiani (2008), hanya dapat mempertahankan persentase sel hidup kurang dari 35% pada 15 HSK. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penggunaan maltosa sebagai sumber karbon dalam media kultur lebih baik daripada sukrosa dan glukosa. Maltosa merupakan disakarida yang secara struktur lebih lambat dimetabolisme oleh sel. Sedangkan sukrosa secara struktur lebih mudah dihidrolisis dan glukosa merupakan monosakarida yang dapat langsung digunakan oleh sel untuk memperoleh ATP melalui respirasi, sehingga metabolismenya cepat yang menyebabkan terjadinya keracunan pada sel (Scott & Lyne 1994). Pengujian viabilitas dengan metode pewarnaan menunjukkan hasil yang sama dengan metode pengujian tingkat perkecambahan, yaitu sebesar 95% polen viable. Polen viable mampu mereduksi senyawa TTC yang mengindikasikan keberadaan enzim dehidrogenase yang dibutuhkan untuk respirasi sel. Polen viable ini juga dikategorikan sebagai polen fertil karena mampu membentuk tabung kecambah. Sedangkan polen semi-viable dan unviable dapat disebut sebagai polen steril karena kemampuan metabolisme yang rendah dan tidak mampu membentuk tabung kecambah (Asma 2008) Berdasarkan viabilitasnya yang mencapai 95%, polen kelapa sawit dikategorikan cepat berkecambah dengan tingkat perkecambahan yang tinggi. Menurut Franchi et al. (2002), lebih dari 40 famili anggota Angiospermae memiliki polen dengan kadar air lebih dari 30% pada saat antesis (pelepasan polen dari antera ke lingkungan). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa polen tersebut secara metabolik lebih aktif dan lebih mudah membentuk tabung polen, namun polen dengan kadar air tinggi lebih sensitif terhadap kelembaban rendah karena lebih mudah kehilangan air (Heslop-Harrison 2000).