HASIL DAN PEMBAHASAN Deteksi Fitoplasma pada Tanaman Sumber Inokulum Sumber inokulum yang digunakan dalam uji penularan adalah tanaman
kacang tanah yang menunjukkan gejala penyakit sapu yang berasal dari lapangan. Deteksi
molekuler dengan teknik PCR menggunakan primer P1/P7 terhadap
contoh DNA dari tanaman sumber inokulum dilakukan untuk memastikan adanya infeksi fitoplasma pada tanaman tersebut. Hasil PCR terdeteksi adanya fragmen DNA dengan ukuran 1800 bp yang merupakan sekuen target dari fitoplasma
(Gambar 8). Menurut Schneider et al. (1995) deteksi fitoplasma dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer P1 dan P7 akan mengamplifikasi DNA dengan ukuran ± 1800 bp sebagai penanda spesifik fitoplasma secara universal.
Hasil ini menunjukkan bahwa gejala yang muncul pada tanaman sumber inokulum berasosiasi dengan fitoplasma penyebab penyakit sapu pada kacang
tanah.
Gambar 8 Visualisasi hasil uji PCR terhadap contoh DNA tanaman kacang tanah sumber inokulum M = 1 Kb ladder, Kt SG = sumber inokulum asal Situ Gede, Kt CP = sumber inokulum asal Carangpulang, dan Kt CK = sumber inokulum asal Cikarawang
19 Uji Penularan Fitoplasma Menggunakan Wereng Daun Uji penularan fitoplasma pada kacang tanah menggunakan wereng daun dilakukan untuk mengetahui potensi wereng daun yang berada di pertanaman kacang tanah dalam menularkan fitoplasma penyebab penyakit sapu dan untuk memperoleh informasi terkait jumlah minimal vektor untuk dapat menularkan penyakit sapu.
Parameter yang digunakan dalam uji penularan fitoplasma
menggunakan wereng daun adalah kejadian penyakit dan masa inkubasi fitoplasma (waktu dimana gejala penyakit pertama kali muncul setelah inokulasi). Pengamatan kejadian penyakit dan masa inkubasi fitoplasma didasarkan pada hasil pengamatan gejala penyakit yang muncul baik pada daun, cabang, bunga, dan bagian tanaman lainnya. Kejadian Penyakit dan Masa Inkubasi Fitoplasma Uji penularan fitoplasma dengan wereng daun O. argentatus yang diberi periode makan akuisisi selama 3 hari, periode laten sekaligus periode makan inokulasi selama 3 hari menunjukkan hasil yang positif untuk semua perlakuan, kecuali pada perlakuan kontrol.
Kejadian penyakit pada keempat perlakuan
tersebut mencapai 100% (Tabel 3). Tabel 3 Kejadian penyakit dan masa inkubasi fitoplasma pada uji penularan dengan wereng daun O. argentatus dan Empoasca sp. Jenis wereng O. argentatus
Empoasca sp.
a b c
Kejadian Penyakit Jumlah wereng (ekor) (gejala/ulangan) kontrola 1 3 5 7 kontrol 1 3 5 7
0/3 3/3 3/3 3/3 3/3 0/3 0/3 0/3 0/3 0/3
Kejadian penyakit (%)
Masa Inkubasi (HSP)
0 100 100 100 100 0 0 0 0 0
-b 67,33ac 61,33a 53,33a 21,33b -
Periode akuisisi pada tanaman kacang tanah sehat Tanaman uji tidak menunjukkan gejala sampai akhir pengamatan (-) Nilai rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (uji selang berganda Duncan α = 0,05)
20 Masa inkubasi fitoplasma berkisar dari 21 sampai 67 hari. Masa inkubasi fitoplasma pada perlakuan yang menggunakan wereng daun O. argentatus dengan jumlah serangga 7 ekor per tanaman berbeda nyata dengan perlakuan yang menggunakan 1, 3, dan 5 ekor serangga per tanaman (Tabel 3). Secara umum, waktu yang dibutuhkan oleh patogen untuk menimbulkan gejala setelah inokulasi oleh 1, 3, dan 5 ekor wereng daun O. argentatus lebih lama dibandingkan dengan penularan yang menggunakan 7 ekor wereng O. argentatus per tanaman. Data tersebut menunjukkan bahwa hanya dengan populasi 1 ekor wereng O. argentatus per tanaman sudah dapat menularkan fitoplasma pada tanaman. Tingginya kejadian penyakit pada perlakuan ini menunjukkan bahwa O. argentatus merupakan vektor yang efektif dalam menularkan fitoplasma. Hasil yang diperoleh dari percobaan ini menunjukkan bahwa jumlah serangga vektor berbanding terbalik dengan masa inkubasi. Semakin banyak vektor yang dipergunakan maka masa inkubasi semakin pendek.
Hal ini
kemungkinan terjadi karena pengaruh dari jumlah inokulum yang ditrasmisikan ke dalam jaringan tanaman.
Semakin banyak vektor yang menyerang maka
semakin banyak pula fitoplasma yang ditransmisikan. Menurut McCoy et al. (1989) penyebaran dan perkembangan penyakit tanaman dipengaruhi oleh kepadatan inokulum yang ditransmisikan oleh aktivitas vektor. Menurut D’Arcy & Nault (1982) dan Agrios (2005), jika fitoplasma telah diakuisisi oleh serangga vektornya maka fitoplasma akan bersirkulasi dan berkembang biak di dalam tubuh vektor dan pada akhirnya akan masuk ke kelenjar ludah. Jika konsentrasi fitoplasma dalam ludah telah mencapai tingkat tertentu, fitoplasma bersama-sama dengan ludah disekresikan dan ditularkan pada tanaman baru pada saat serangga melakukan aktivitas makan. Hasil pengamatan pada uji penularan fitoplasma pada tanaman kacang tanah dengan wereng daun Empoasca sp. tidak menunjukkan gejala penyakit sapu pada semua perlakuan (Tabel 3). Dengan demikian, Empoasca sp. bukan merupakan vektor fitoplasma penyebab penyakit sapu pada tanaman kacang tanah. Gejala Penyakit yang Teramati pada Tanaman Uji Gejala yang teramati pada setiap perlakuan yang diberikan berbeda-beda. Menurut Sinaga (2006) gejala adalah ekspresi dari inang terhadap kondisi
21 penyakit patologis sehingga suatu penyakit tertentu dapat dibedakan dengan penyakit lain. Gejala pada perlakuan uji penularan fitoplasma dengan wereng daun O. argentatus dengan jumlah serangga 1, 3, dan 5 ekor per tanaman berupa pemendekan ruas daun dan terbentuknya daun-daun baru yang berukuran lebih kecil. Pada perlakuan ini, gejala tidak berkembang menjadi lebih lanjut. Hal ini kemungkinan terjadi karena jumlah fitoplasma yang ditransmisikan tidak mendukung untuk meningkatkan keparahan penyakit. Perlakuan dengan 7 ekor serangga O. argentatus per tanaman menunjukkan gejala penyakit sapu yang kemudian berkembang sampai gejala lanjut dan menunjukkan gejala khas dari penyakit tersebut.
Gejala yang pertama kali
muncul berupa geotrofisme negatif, yaitu keadaan dimana ginofor mengarah ke atas. Pada kondisi normal, ginofor mengarah ke tanah dan akan masuk menembus tanah untuk selanjutnya membentuk polong. Selanjutnya terjadi pembentukan tunas-tunas samping (proliferasi) dengan daun-daun yang sangat banyak serta berukuran sangat kecil, pembentukan bunga menjadi struktur daun (phyllody), dan polong yang terbentuk jumlahnya sedikit dan keriput bahkan sampai dengan tidak terbentuknya polong (Gambar 9). Dengan demikian, penularan fitoplasma dengan tujuh ekor O. argentatus per tanaman mampu mentransmisikan fitoplasma pada jumlah yang mampu mendukung terjadinya peningkatan keparahan penyakit sapu sehingga memunculkan gejala yang lebih berat. Gejala yang muncul pada perlakuan uji penularan fitoplasma dengan wereng daun Empoasca sp. tidak menunjukkan gejala yang identik dengan penyakit sapu. Gejala yang muncul pada perlakuan penularan menggunakan Empoasca sp. sebanyak 3, 5, dan 7 ekor/tanaman adalah layu pucuk daun (Gambar 10B) yang dapat teramati pada satu hari setelah perlakuan (HSP). Menurut McCoy et al. (1983) terjadinya mati pucuk pada tanaman yang terserang oleh Empoasca sp. adalah karena wereng tersebut dapat menghasilkan fitotoksemia.
Pada
perkembangan selanjutnya, pertumbuhan tanaman akan menjadi terhambat. Semakin banyak populasi Empoasca sp. per tanaman maka penghambatan pertumbuhan semakin tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan tanaman yang menjadi lebih pendek (Gambar 10B).
22
A
B
C
D
E
F
Gambar 9 Gejala penyakit sapu kacang tanah hasil penularan fitoplasma menggunakan O. argentatus Tanaman kontrol (A), tanaman A. hypogea hasil uji penularan fitoplasma dengan wereng daun O. argentatus yang menunjukkan gejala penyakit sapu (B), ginofor mengarah ke atas (geotrofisme negatif) (C), pembentukan tunas-tunas samping dengan daun yang kecil (D), pembentukan struktur phyllody (E), dan tidak terbentuknya polong (F)
23
A
B
Gambar 10 Tanaman A. hypogea hasil uji penularan fitoplasma dengan wereng daun Empoasca sp. Gejala layu pucuk daun pada 1 HSP (A) dan penghambatan pertumbuhan tanaman (B)
Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah yang Ditulari Fitoplasma
Penularan fitoplasma dengan wereng daun O. argentatus dengan berbagai perlakuan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata untuk pertumbuhan tinggi tanaman, begitu pula pada penularan fitoplasma dengan wereng daun Empoasca sp.
Secara umum pada penularan dengan Empoasca sp. semakin
banyak jumlah Empoasca sp. per tanaman maka tinggi tanaman semakin rendah (Gambar 11).
Akan tetapi penurunan tinggi tanaman ini bukan merupakan
pengaruh dari infeksi fitoplasma, melainkan dari adanya fitotoksemia yang dihasikan oleh Empoasca sp. (McCoy et al. 1983). Infeksi fitoplasma pada bagian daun menyebabkan peningkatan jumlah daun yang yang luar biasa.
Menurut McCoy (1979) infeksi fitoplasma dapat
mengganggu proses translokasi fotosintat sehingga mengakibatkan terjadinya
gangguan fisiologis.
Gangguan fisiologis yang terjadi pada tanaman berupa
terganggunya keseimbangan hormon yang mengakibatkan munculnya gejala
proliferasi dan phyllody. Munculnya gejala proliferasi dan phyllody pada tanaman uji menyebabkan jumlah daun menjadi jauh lebih banyak dari kondisi normal.
Berdasarkan Gambar 12, perlakuan penularan dengan wereng daun O. argentatus tujuh ekor per tanaman yang menimbulkan gejala penyakit sapu yang berat menyebabkan peningkatan jumlah daun yang cukup tinggi dibandingkan perlakuan lain walaupun secara statistik pengaruhnya tidak berbeda nyata.
24 Peningkatan jumlah daun yang tinggi terlihat jelas dimulai pada 5 MSP sampai dengan akhir pengamatan.
Tinggi tanaman (cm)
60 50 40 kontrol Oa 30
Oa 1 ekor
20
Oa 3 ekor Oa 5 ekor
10
Oa 7 ekor 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Umur tanaman (MSP)
Tinggi tanaman (cm)
60 50 40 kontrol E 30
E 1 ekor
20
E 3 ekor E 5 ekor
10
E 7 ekor 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Umur tanaman (MSP)
Gambar 11 Pengaruh perlakuan jumlah O. argentatus dan Empoasca sp. terhadap tinggi tanaman kacang tanah selama 13 MSP Oa = O. argentatus dan E = Empoasca sp.
Penularan
fitoplasma
menggunakan
wereng
daun
Empoasca
sp.
memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun pada setiap perlakuan yang diuji
(Gambar 12).
Hal ini karena perlakuan penularan
fitoplasma menggunakan wereng daun Empoasca sp. tidak dapat menularkan fitoplasma penyebab penyakit sapu pada tanaman uji.
Jumlah daun
25 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
kontrol Oa Oa 1 ekor Oa 3 ekor Oa 5 ekor Oa 7 ekor 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Jumlah daun
Umur tanaman (MSP)
650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
kontrol E E 1 ekor E 3 ekor E 5 ekor E 7 ekor 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Umur tanaman (MSP)
Gambar 12 Pengaruh perlakuan jumlah O. argentatus dan Empoasca sp. terhadap jumlah daun tanaman kacang tanah selama 13 MSP Oa = O. argentatus dan E = Empoasca sp.
Infeksi fitoplasma menimbulkan gejala proliferasi menyebabkan jumlah cabang tanaman kacang tanah menjadi jauh lebih banyak dari kondisi normal. Perlakuan penularan dengan wereng daun O. argentatus tujuh ekor per tanaman yang menimbulkan gejala penyakit sapu yang berat menyebabkan peningkatan jumlah cabang yang cukup tinggi dibandingkan perlakuan lain walaupun berdasarkan uji statistik pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata. Peningkatan jumlah cabang mulai terlihat jelas pada 7 MSP sampai dengan akhir pengamatan (Gambar 13). Begitu pula pada penularan fitoplasma menggunakan wereng daun Empoasca sp. memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah cabang pada setiap perlakuan yang diuji (Gambar 13).
26 140
Jumlah cabang
120 100 kontrol Oa
80
Oa 1 ekor
60
Oa 3 ekor
40
Oa 5 ekor
20
Oa 7 ekor
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Umur tanaman (MSP)
140
Jumlah cabang
120 100 kontrol E
80
E 1 ekor
60
E 3 ekor
40
E 5 ekor
20
E 7 ekor
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Umur tanaman (MSP)
Gambar 13 Pengaruh perlakuan jumlah O. argentatus dan Empoasca sp. terhadap jumlah cabang tanaman kacang tanah selama 13 MSP Oa = O. argentatus dan E = Empoasca sp.
Penularan fitoplasma penyebab penyakit sapu terjadi melalui jaringan floem yang
memiliki
fungsi
sebagai
jaringan
pengangkut
hasil
fotosintesis
(Agrios 2005). Jaringan floem terdapat pada bagian batang, daun, dan akar. Infeksi fitoplasma pada tanaman kacang tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman seperti pada tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang. Pengaruh Infeksi Fitoplasma terhadap Hasil Panen dan Umur Tanaman Tabel 4 menunjukkan hasil pengamatan terhadap hasil panen berupa polong yang dihasilkan pada berbagai perlakuan. Walaupun berdasarkan uji statistik jumlah polong yang dihasilkan oleh setiap perlakuan tidak berbeda nyata, terdapat perbedaan yang cukup tinggi pada perlakuan yang menimbulkan gejala penyakit
27 sapu yang berat. Perlakuan penularan dengan O. argentatus dengan populasi 7 ekor per tanaman rata-rata menghasilkan persentase jumlah polong isi 48%, artinya lebih dari 50% polong yang dihasilkan merupakan polong hampa. Sedangkan pada perlakuan lainnya baik pada perlakuan penularan dengan O. argentatus maupun Empoasca sp. persentase jumlah polong yang dihasilkan lebih dari 50%. Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap persentase jumlah polong isi per jumlah polong total Jenis wereng O. argentatus
Empoasca sp.
a b
Jumlah wereng (ekor)
Jumlah polong total
Jumlah polong isi
Persentase jumlah polong isi/jumlah polong total
kontrola 1 3 5 7 kontrol 1 3 5 7
9,67 9,33 6,67 12,00 7,00 9,00 8,00 5,00 10,67 8,67
6,33 7,00 5,33 7,00 5,00 6,00 4,67 5,00 6,33 5,33
66,67 ab 76,33 a 78,67 a 60,00 a 48,00 a 70,33 a 58,67 a 100,00 a 63,67 a 69,00 a
Akuisisi pada tanaman kacang tanah sehat Nilai rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (uji selang berganda Duncan α = 0,05)
Tabel 5 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering dan umur tanaman Jenis wereng O. argentatus
Empoasca sp.
a b
Jumlah wereng (ekor) kontrola 1 3 5 7 kontrol 1 3 5 7
Bobot kering
Umur tanaman (HSP)
10,60 ab 7,69 a 8,14 a 11,59 a 9,59 a 11,97 a 10,09 a 8,36 a 9,58 a 6,48 a
96,00 a 113,33 a 122,00 a 102,00 a 115,00 a 91,67 a 94,00 a 101,33 a 104,00 a 92,67 a
Akuisisi pada tanaman kacang tanah sehat Nilai rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (uji selang berganda Duncan α = 0,05)
28 Infeksi fitoplasma terutama yang menunjukkan keparahan penyakit yang tinggi (gejala berat) dapat menurunkan hasil panen kacang tanah.
Infeksi
fitoplasma dapat menyebabkan gangguan pada proses fisiologis dan biokimia dari tanaman inang sehingga mengakibatkan malformasi pada daun yang merupakan tempat fotosintesis. Menurut Hadidi et al. (1998) malformasi pada daun akan menyebabkan gangguan pada proses fotosintesis sehingga berakibat pada penurunan produksi. Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata baik pada semua perlakuan penularan dengan O. argentatus maupun Empoasca sp.
Begitu pula pada umur tanaman, perlakuan tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur tanaman pada uji penularan fitoplasma dengan kedua wereng uji pada berbagai perlakuan populasi yang digunakan.
Namun secara umum dapat diketahui bahwa tanaman uji dari
perlakuan yang mampu menularkan fitoplasma, yaitu perlakuan penularan O. argentatus dengan populasi 1, 3, 5, dan 7 ekor per tanaman memiliki umur yang lebih lama (Tabel 5). Deteksi Fitoplasma Menggunakan Teknik PCR Deteksi fitoplasma pada contoh DNA hasil isolasi dari tanaman kacang tanah hasil penularan dengan O. argentatus menunjukkan hasil yang positif pada semua perlakuan kecuali perlakuan kontrol. Begitu pula pada contoh wereng, seluruh contoh wereng O. argentatus yang digunakan untuk penularan menunjukkan hasil yang positif mengandung fitoplasma kecuali pada wereng yang digunakan untuk perlakuan kontrol. Fitoplasma tidak terdeteksi pada contoh tanaman kacang tanah hasil penularan dengan Empoasca sp. maupun pada tubuh wereng Empoasca sp. yang digunakan untuk penularan (Tabel 6). Deteksi molekuler terhadap keberadaan fitoplasma pada contoh DNA hasil isolasi dari tanaman kacang tanah, tubuh wereng, dan air liur wereng pada uji penularan penting dilakukan untuk mengklarifikasi asosiasi antara patogen penyebab penyakit sapu (fitoplasma) dengan vektor dan gejala yang muncul pada tanaman uji.
Identifikasi serangga vektor fitoplasma hanya dengan deteksi
keberadaan fitoplasma di dalam tubuh serangga uji tidak dapat mengidentifikasi secara akurat apakah serangga tersebut merupakan vektor fitoplasma atau bukan.
29 Tabel 6 Hasil PCR terhadap contoh DNA tanaman uji, wereng uji, dan medium sukrosa
a b
Hasil uji PCR
Jumlah wereng (ekor)
Tanaman
Wereng
Medium sukrosa
O. argentatus
kontrola 1 3 5 7
-b + + + +
+ + + +
-
Empoasca sp.
kontrol 1 3 5 7
-
-
-
Jenis wereng
Akuisisi pada tanaman kacang tanah sehat Hasil uji PCR (+ = DNA fitoplasma positif teramplifikasi, - = DNA fitoplasma tidak teramplifikasi).
Menurut D’Arcy & Nault (1982) penularan fitoplasma oleh serangga vektornya berlangsung secara persisten dan bersifat sirkulatif-profagatif. Identifikasi serangga sebagai vektor secara akurat dapat dilakukan dengan deteksi keberadaan fitoplasma pada medium makan sukrosa-TE (feeding sachet) yang mengandung air liur wereng daun yang diuji karena uji tersebut dapat menunjukkan apakah penularan fitoplasma oleh wereng uji bersifat sirkulatifprofagatif atau tidak.
Namun deteksi fitoplasma pada feeding sachet tidak
menunjukkan hasil yang positif pada semua sampel air liur wereng uji yang dipergunakan. Hal ini kemungkinan terjadi karena jumlah titer fitoplasma sangat rendah sehingga pada saat dilakukan ekstraksi DNA, DNA fitoplasma tidak terisolasi. Pada saat dilakukan uji artifisial selama 72 jam, wereng tetap dapat bertahan hidup, padahal berdasarkan kegiatan pemeliharaan sebelumnya, wereng akan segera mati apabila tidak diberi pakan selama ± 24 jam. Dengan demikian, hasil uji PCR yang negatif pada semua contoh air liur wereng yang diuji kemungkinan terjadi bukan karena wereng uji tidak melakukan aktivitas makan pada feeding sachet, melainkan karena jumlah titer fitoplasma sangat rendah sehingga pada saat dilakukan ekstraksi DNA, DNA fitoplasma tidak terisolasi dan selanjutnya tidak terdeteksi dengan PCR.
30 Gambar 14 menunjukkan visualisasi hasil PCR terhadap keseluruhan contoh
yang diuji. Semua tanaman uji hasil penularan yang tidak menunjukkan gejala penyakit sapu menunjukkan hasil uji PCR yang negatif. Hasil uji PCR yang positif ditandai dengan terbentuknya pita DNA berukuran 1800 bp yang merupakan fragmen DNA dari fitoplasma penyebab penyakit sapu pada kacang tanah melalui elektroforesis dengan gel agarose 1%. Sampel DNA yang
menunjukkan hasil yang positif pada deteksi menggunakan teknik PCR berasal dari seluruh tanaman perlakuan yang bergejala, yaitu perlakuan yang menggunakan serangga penular O. argentatus 1 ekor, 3 ekor, 5 ekor, dan 7 ekor per tanaman. Hasil positif juga diperoleh diperoleh pada seluruh sampel wereng
O. argentatus yang dipergunakan untuk penularan pada semua perlakuan tersebut.
A
1800 bp
B
1800 bp
Gambar 14 Hasil deteksi PCR untuk berbagai contoh DNA dari tanaman dan B serangga uji A Hasil PCR DNA fitoplasma dari tanaman kacang tanah hasil uji penularan fitoplasma (A), Hasil PCR DNA fitoplasma dari wereng daun yang digunakan pada uji penularan fitoplasma (B), M (1 kb ladder), Oa (O. argentatus), E (Empoasca sp.)
31 Hasil yang diperoleh dari deteksi keberadaan fitoplasma dengan teknik molekuler pada contoh tanaman dan wereng daun yang diuji dapat mendukung data yang diperoleh dalam uji penularan fitoplasma dengan wereng daun O. argentatus dan Empoasca Sp. Gejala yang muncul pada perlakuan
yang
menggunakan serangga penular O. argentatus 1 ekor, 3 ekor, 5 ekor, dan 7 ekor per tanaman berasosiasi dengan fitoplasma penyebab penyakit sapu pada kacang tanah dan wereng daun O. argentatus merupakan vektor dari fitoplasma. Sedangka Empoasca sp. bukan merupakan vektor dari fitoplasma karena gejala yang muncul pada tanaman uji hasil penularan dengan Empoasca sp. tidak berasosiasi dengan fitoplasma. Teknik PCR merupakan teknik molekuler yang dapat digunakan untuk mendeteksi fitoplasma secara akurat (Marcone et al. 1997). Teknik ini dianggap sangat sensitif dalam mendeteksi fitoplasma, artinya mampu mengamplifikasi DNA target walau dalam jumlah sedikit. Dalam teknik PCR ini, hanya dengan satu molekul DNA saja maka proses amplifikasi sudah dapat terjadi.
Pada
praktiknya, teknik PCR cukup sulit dilakukan karena dalam pengerjaannya dibutuhkan ketelitian yang tinggi, harus menghindari adanya kontaminasi sekecil apapun, dan DNA template yang digunakan harus memiliki kualitas yang baik. Pada penelitian ini,
DNA fitoplasma baru berhasil teramplipikasi setelah
beberapa kali mengulang proses PCR. Menurut Marzachi et al. (2004) keberhasilan teknik PCR sangat bergantung pada metode yang digunakan dalam mendapatkan DNA yang berkualitas baik.