HASIL DAN PEMBAHASAN
Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT Budidaya konvensional merupakan budidaya cabai yang menggunakan pestisida kimia secara intensif dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Sebagian besar petani di Indonesia menerapkan budidaya jenis ini dalam mengembangkan tanaman cabai. Penggunaan pestisida kimia yang intensif pada kegiatan budidaya menimbulkan dampak negatif yang besar bagi tanaman, lingkungan dan manusia (Igbedioh 1991). Penggunaan pestisida kimia yang intensif dipicu oleh minimnya informasi mengenai teknologi budidaya tanaman yang ramah lingkungan dan tingginya tingkat kekhawatiran petani terhadap kemungkinan gagal panen. Kondisi ini diperparah dengan cara aplikasi pestisida kimia yang tidak sesuai dengan aturan dan dosis yang berlaku. Besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida kimia mengharuskan adanya pembatasan atau pengurangan penggunaannya dalam budidaya tanaman. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan budidaya tanaman secara pengendalian hama terpadu (PHT). PHT merupakan strategi budidaya tanaman yang menerapkan pendekatan budidaya alami dan ramah lingkungan. Konsep budidaya PHT telah terbukti mampu meminimalisir penggunaan pestisida kimia dalam kegiatan budidaya tanaman. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan memanfaatkan agen antagonis, musuh alami dan meningkatkan ketahanan alami tanaman. Penggunaan pestisida kimia dalam budidaya PHT hanya dilakukan ketika upaya pengendalian yang lain gagal dan disesuaikan dengan nilai ambang ekonomi, sehingga kerugian ekonomi pada budidaya cabai dapat dihindari. Budidaya konvensional yang diterapkan pada penelitian ini mengadopsi praktik budidaya cabai yang dilakukan oleh petani, mulai dari pengolahan lahan sampai dengan panen. Praktik budidaya cabai konvensional yang dilakukan pada penelitian ini disajikan secara lengkap di dalam lampiran. Aplikasi pestisida kimia dalam budidaya konvensional tidak sepenuhnya sama dengan yang dilakukan oleh petani, penelitian ini hanya mengadopsi jenis-jenis pestisida kimia yang umum digunakan oleh petani dalam megendalikan hama dan penyakit pada budidaya cabai keriting hibrida TM 999. Jenis pestisida kimia yang digunakan umumnya dikenal dengan nama dagang Dithane, Curacron, Antracol dan Actara. Budidaya PHT yang dilakukan dalam penelitian ini memanfaatkan beberapa jenis bakteri yang telah terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, serta membantu meningkatkan sistem ketahanan alami tanaman. Bakteri yang digunakan adalah Bacillus polymixa dan Pseudomonas fluorrescens yang terkandung dalam Actigrow, bakteri ini termasuk dalam kelompok plant growth promoting rhizobacteria (PGPR). PGPR merupakan kelompok bakteri yang hidup pada perakaran tanaman, bakteri ini mampu mengikat nitrogen bebas dari alam dan mengubahnya menjadi amonia yang kemudian dimanfaatkan oleh tanaman. PGPR juga mampu menginduksi sistem ketahan tanaman, sehingga tanaman menjadi lebih tahan terhadap serangan hama
16
dan penyakit (Kaymak 2010). Aplikasi kedua bakteri ini juga membantu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai keriting dengan cara memproduksi zat pengatur tumbuhan (ZPT) dan meningkatkan penyerapan fosfat pada akar tanaman. Selain itu, kedua bakteri ini juga mampu merangsang pembentukan antibodi dan fitoaleksin pada tanaman yang membantu meningkatkan kesehatan tanaman (Dardanelli 2010). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terlihat bahwa budidaya PHT mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produksi cabai keriting hibrida TM 999, namun masih kurang begitu baik dalam mengendalikan keberadaan hama dan penyakit. Secara umum, kedua jenis budidaya yang dilakukan pada penelitian ini memberikan hasil yang hampir sama terhadap budidaya cabai keriting hibrida TM 999. Uji selang ganda Duncan yang dilakukan terhadap hasil penelitian tidak menunjukkan adanya nilai beda nyata yang signifikan diantara kedua jenis budidaya yang dilakukan.
Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 Berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan tanaman, budidaya cabai keriting hibrida TM 999 secara PHT menunjukkan hasil yang lebih baik daripada konvensional. Secara umum pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada petak PHT terlihat lebih cepat, tanaman tumbuh lebih subur dan perkembangan tanaman optimal. Budidaya PHT membantu tanaman cabai keriting hibrida TM 999 mengoptimalkan unsur-unsur penting yang dibutuhkannya, sehingga tanaman mampu berkembang dengan baik. Parameter yang diamati seperti tinggi tanaman, tinggi cabang dikotom, diameter dan jumlah cabang menunjukkan nilai rata-rata yang lebih tinggi pada budidaya cabai secara PHT. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa parameter tinggi tanaman pada budidaya keriting hibrida TM 999 secara PHT memiliki nilai yang lebih tinggi daripada konvensional, walaupun setelah dilakukan uji lanjut tidak menunjukkan adanya nilai beda nyata diantara kedua jenis budidaya yang dilakukan. Perbedaan tertinggi dapat dilihat pada pengamatan ke-2 mst. Tinggi cabang dikotom adalah tinggi tanaman dimana cabang pertama mulai terbentuk. Budidaya cabai keriting hibrida TM 999 secara PHT menunjukkan nilai tinggi cabang dikotom yang lebih tinggi daripada konvensional, perbedaan tertinggi terlihat pada pengamatan ke-4 mst. Parameter berikutnya yang diamati adalah diameter batang tanaman cabai keriting hibrida TM 999, dari 3 kali pengamatan yang telah dilakukan hanya pengamatan ke-2 mst yang menunjukkan adanya tingkat perbedaan nyata. Jumlah cabang berkorelasi positif dengan kemampuan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 dalam menghasilkan buah, semakin banyak cabang yang dihasilkan maka kemungkinan buah yang dihasilkan akan semakin besar. Budidaya PHT menghasilkan jumlah cabang yang lebih banyak daripada konvensional, perbedaan tertinggi terlihat pada pengamatan ke-2 mst.
17
Tabel 1
Pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010
Sifat agronomi
Umur saat pengamatan (mst)
Konvensional
PHT
2
31.53a
46.80a
4
66.80a
75.20a
10
74.67a
80.00a
2
17.13a
30.73a
4
29.97a
33.93a
10
31.47a
34.30a
2
0.49a
0.66a
4
0.91b
1.06a
10
1.03a
1.14a
2
5.73a
12.47a
4
39.13a
52.27a
Tinggi tanaman
Tinggi cabang Dikotom
Diameter
Jumlah cabang
10 91.00a 89.87a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan
Aplikasi mikroorganisme bermanfaat seperti Bacillus polymyxa dan Pseudomonas fluorescens yang dilakukan pada budidaya PHT mampu memacu pertumbuhan tanaman cabai. Kedua mikroorganisme tersebut merupakan bagian dari plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) yang berfungsi sebagi pupuk hayati (Vessey 2003). PGPR mampu mengikat nitrogen bebas di udara dan mengubahnya menjadi senyawa yang siap diserap oleh tanaman (Dardanelli et al. 2010). PGPR juga mampu menekan keberadaan penyakit pada tanaman dengan cara menstimulus pembentukan ketahanan tanaman. Selain itu budidaya PHT juga memberikan ruang bagi perkembangan organisme lain yang bermanfaat bagi tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kondisi inilah yang menjadikan PHT mempunyai nilai lebih dalam pengembangan pertanian berkelanjutan (Heinrichs et al. 2009).
18
(a)
(b)
(c)
Gambar 2 Pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada budidaya Konvensional: (a) 2 mst, (b) 4 mst, (c) 10 mst
(a)
(b)
(c)
Gambar 3 Pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada budidaya PHT: (a) 2 mst, (b) 4 mst, (c) 10 mst
Perkembangan Hama dan Penyakit
Thrips (Thrips parvispinus Karny) Gejala serangan thrips terlihat dari adanya bercak berwarna putih atau keperakan yang tidak beraturan pada daun cabai. Setelah beberapa waktu bercak tersebut akan berubah menjadi cokelat tembaga. Daun cabai yang terserang akan mengeriting/keriput dan kemudian mati. Serangan berat menyebabkan pucuk daun menggulung ke dalam dan muncul benjolan seperti tumor. Keberadaan thrips menyebabkan pertumbuhan tanaman cabai terganggu, tanaman menjadi kerdil atau bahkan mati pucuk. Terhambatnya pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada lahan penelitian menyebabkan terganggunya proses produksi buah. Berdasarkan Tabel 2, aplikasi Fitplanta dan insektisida kimia pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam mengendalikan keberadaan thrips. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama ini hampir merata pada kedua jenis budidaya yang dilakukan, namun pengendalian secara PHT menunjukkan hasil yang lebih baik pada pengamatan ke- 9 mst.
19
Tabel 2
Perkembangan gejala thrips pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010
Umur saat pengamatan (mst)
Rata-rata gejala serangan (pucuk tanaman) Konvensional PHT
Rata-rata persentase gejala serangan (%) Konvensional PHT
1
0.40a
1.13a
26.67a
63.33a
2
2.20a
6.73a
31.46a
60.55a
3
5.87a
15.40a
59.70a
68.46a
4
5.33a
6.80a
25.71a
17.65a
5
6.73a
5.93a
21.55a
11.27a
6
5.60a
4.93a
16.06a
10.11a
7
4.13a
2.47a
9.26a
4.71a
8
4.67a
2.00a
6.27a
2.42a
9
6.27b
2.40a
8.01b
2.75a
10 5.47a 2.80a 7.54a 3.10a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan
Secara umum terlihat bahwa persentase serangan thrips cukup tinggi pada tanaman muda, kemudian semakin berkurang ketika tanaman memasuki masa berbuah. Thrips menyukai tanaman cabai yang masih muda atau pucuk tanaman, ketika tanaman memasuki masa generatif hama ini lebih sering terlihat meyebabkan kerusakan pada bunga. Thrips memanfaatkan celah kecil pada pangkal daun atau bunga sebagai tempat bersembunyi dari predator atau ketika dilakukan kegiatan pengendalian. Kondisi ini cukup menyulitkan tindakan pengendalian yang dilakukan pada lahan penelitian, kondisi hujan yang tidak menentu juga mempengaruhi keefektifan dari tindakan pengendalian yang dilakukan.
Gambar 4 Gejala serangan thrips pada daun cabai keriting hibrida TM 999
20
Empoasca sp. Keberadaan Empoasca sp. pada tanaman cabai menimbulkan bercak berwarna putih pada daun. Hama ini merupakan serangga penghisap cairan tanaman, aktifitas makan yang dilakukan oleh hama ini menimbulakan bercak putih pada daun tanaman cabai. Empoasca sp. terlihat cukup banyak pada daun tanaman cabai, terutama pada daun muda atau pucuk tanaman. Keberadaan tanaman terong di sekitar lahan penelitian merupakan salah satu faktor melimpahnya Empoasca sp. pada tanaman cabai. Pengendalian Empoasca sp. dilakukan bersaman dengan thrips, aplikasi Fitplanta dan insektisida kimia dilakukan untuk mengurangi serangan hama ini pada lahan penelitian. Pengendalian yang dilakukan masih belum mampu mengurangi keberadaan Empoasca sp., hama ini masih terlihat cukup melimpah pada lahan penelitian. Faktor utama yang menyebabkan kurang efektifnya pengendalian yang dilakukan adalah kemampuan mobilitas Empoasca sp. yang tinggi, serta keberadaan inang lain disekitar lahan penelitian. Hama ini akan menghindar ketika aplikasi dilakukan, baik penyemprotan Fitplanta maupun insektisida kimia. Setelah 1 atau 2 hari kemudian hama ini kembali terlihat menyerang tanaman cabai. Berdasarkan hasil pengamatan gejala serangan Empoasca sp. yang disajikan pada Tabel 3, diketahui bahwa pengendalian secara PHT dan konvensional menunjukkan hasil yang hampir sama pada tingkat serangan hama Empoasca sp. Pengendalian secara konvensional terlihat sedikit lebih efektif dan mampu menekan keberadaan hama ini pada tanaman cabai. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 10 kali pengamatan pada tingkat serangan Empoasca sp., terdapat 3 kali pengamatan yang menunjukkan adanya nilai perbedaan nyata. Tingkat perbedaan tertinggi terlihat pada pengamatan ke-10 mst.
Tabel 3
Perkembangan serangan Empoasca sp. pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010
Umur saat pengamatan (mst)
Rata-rata gejala serangan (pucuk tanaman) Konvensional PHT
Rata-rata persentase gejala serangan (%) Konvensional PHT
1
0.27b
0.80a
13.33b
46.67a
2
0.67b
4.13a
13.44b
38.45a
3
3.33a
9.07a
34.69a
41.00a
4
7.47a
17.73a
38.88a
45.12a
5
12.00a
19.67a
37.47a
34.87a
6
22.53a
27.87a
56.67a
51.28a
7
19.87a
43.93a
36.20a
75.39a
8
21.40b
88.13a
28.35b
100.00a
9
22.47a
84.33a
25.78a
92.91a
10 23.33a 84.33a 29.17a 88.51a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan
21
Gejala serangan Empoasca sp. lebih banyak terlihat pada budidaya PHT, hampir semua tanaman cabai yang terdapat pada lahan penelitian terserang oleh hama ini. Empoasca sp. juga terlihat menyerang tanaman cabai yang ditanam secara konvensional, namun serangan yang terjadi tidak sebesar pada budidaya PHT. Tindakan pengendalian yang dilakukan pada budidaya konvensional mampu mengurangi jumlah hama ini secara langsung, beberapa Empoasca sp. terlihat mati setelah dilakukan aplikasi pengendalian pada budidaya ini.
a
b
Gambar 5 Gejala serangan Empoasca sp. : (a) serangga dewasa, (b) bercak putih
Lalat Buah (Bactrocera spp.) Lalat buah menyebabkan kerusakan pada buah, buah yang terserang akan membusuk dan kemudian jatuh ke tanah. Lalat buah menyebabkan kerusakan pada buah cabai yang masih muda maupun buah yang sudah matang. Gejala awal terlihat dari adanya titik hitam pada bagian pangkal buah, titik hitam pada pangkal buah muncul karena aktifitas lalat buah dewasa yang memasukkan telurnya pada buah cabai. Telur tersebut akan menetas dan berkembang di dalam buah cabai. Larva yang terdapat di dalam buah menimbulkan kerusakan dari dalam, buah menjadi berwarna kuning pucat dan layu. Kualitas buah cabai yang terserang hama ini akan menurun dan tidak layak untuk dipasarkan. Pengendalian hama ini cukup sulit untuk dilakukan, karena hama ini menyebabkan kerusakan dari dalam buah dan hanya stadia larva yang menjadi hama. Umumnya pengendalian dilakukan dengan melakukan rotasi tanaman, pembungkusan buah, perangkap feromon (metil eugenol) atau infestasi parasitoid. Pengendalian lalat buah pada penelitian ini dilakukan secara alami dan kimia, pengendalian alami dilakukan dengan mengaplikasikan Fitplanta, sedangkan pengendalian kimia dilakukan dengan mengaplikasikan insektisida kimia. Kedua pengendalian yang dilakukan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, kedua jenis pengendalian yang dilakukan masih belum mampu menekan serangan lalat buah.
22
Tabel 4
Perkembangan serangan lalat buah pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010
Umur saat pengamatan (mst) 1
Konvensional
PHT
0.00a
0.00a
2
0.00a
0.00a
3
0.00a
0.00a
4
0.00a
0.60a
5
0.00b
0.47a
6
0.07a
0.80a
7
0.20a
0.67a
8
0.20a
1.07a
9
0.27a
0.53a
10 0.00a 2.00a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan
Serangan lalat buah pada lahan penelitian terlihat cukup kecil dan tidak menimbulkan kerugian yang cukup besar pada budidaya cabai yang dilakukan. Perkembangan populasi lalat buah tidak berlangsung dengan baik, kondisi tanah yang padat dan sering tergenang air kurang mendukung perkembangan pupa dari lalat buah. Disamping itu, sanitasi yang dilakukan terhadap buah yang terserang cukup efektif dalam menurunkan tingkat serangan hama ini.
Gambar 6 Gejala serangan lalat buah pada buah cabai keriting hibrida TM 999 Puru Puru merupakan penyakit baru yang terlihat menyerang tanaman cabai keriting hibrida TM 999 , penyakit ini ini disebabkan oleh Asphondylia capsici Barnes (Diptera : Cecidomyiidae). Keberadaan penyakit puru pada tanaman cabai menyebabkan buah menjadi kerdil dan tidak mampu berkembang dengan baik, buah cabai membengkak dan tumbuh melingkar.
23
Pengendalian yang dilakukan pada penelitian ini tidak terlalu spesifik, karena tingkat serangan yang relatif kecil dan secara ekonomi tidak menimbulkan kerugian. Gejala serangan puru lebih sering terlihat pada budidaya PHT. Kedua jenis budidaya yang dilakukan menunjukkan hasil yang hampir sama terhadap keberadaan penyakit puru. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan sebanyak 10 kali, diketahui bahwa pengamatan ke-8 mst menunjukan adanya tingkat perbedaan yang nyata.
Tabel 5
Perkembangan penyakit puru pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010
Umur saat pengamatan (mst) 1
Konvensional
PHT
0.00a
0.00a
2
0.00a
0.00a
3
0.00a
0.00a
4
0.00a
0.00a
5
1.27a
2.00a
6
0.80a
2.20a
7
1.07a
1.47a
8
0.00b
2.07a
9 10
2.00a 2.07a
1.87a 2.47a
Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan
Penyakit puru yang terlihat pada lahan pertanaman cabai keriting hibrida TM 999 tidak menimbulkan kerugian yang besar. Serangan penyakit ini memang hanya terlihat pada beberapa buah saja, namun dampak yang ditimbulkan pada buah cabai perlu diwaspadai karena mampu menurunkan kualitas dan kuantitas buah. Buah menjadi tidak layak untuk dikonsumsi, karena terjadi penghitaman pada bagian dalam buah dan rasa buah menjadi agak pahit.
Gambar 7 Gejala penyakit puru pada buah cabai keriting hibrida TM 999
24
Bercak Daun (Cercospora sp.) Bercak daun merupakan salah satu jenis penyakit yang umum menyerang tanaman cabai di Asia Tenggara. Penyakit ini menimbulkan kerusakan pada daun, batang dan akar. Gejala serangan penyakit ini mulai terlihat dari munculnya bercak berwarna coklat pada daun, ukuran bercak bisa mencapai sekitar 1 inci. Bercak daun mampu menimbulkan kerugian ekonomi yang besar pada budidaya cabai, daun yang terserang akan layu dan rontok. Serangan berat meyebabkan tanaman cabai kehilangan hampir semua daunnya, kondisi ini akan mempengaruhi kemampuan cabai dalam menghasilkan buah. Kondisi lingkungan yang selalu hujan mendukung perkembangan dan penyebaran penyakit bercak daun. Berdasarkan Tabel 6 serangan penyakit bercak daun mulai muncul pada pengamatan ke-5 mst, penyebaran penyakit bercak daun sangat terbatas dan tidak meluas. Gejala penyakit hanya terlihat menyerang beberapa tanaman cabai di lahan penelitian. Upaya pengendalian yang dilakukan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata, baik pengendalian secara PHT maupun konvensional. Terdapat 2 kali pengamatan yang menunjukkan adanya nilai perbedaan nyata diantara kedua pengendalian, yaitu pada pengamatan ke- 8 dan 10 mst.
Tabel 6
Umur saat pengamatan (mst)
Perkembangan penyakit bercak daun pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010 Rata-rata gejala serangan (pucuk tanaman) Konvensional PHT
Rata-rata persentase gejala serangan (%) Konvensional PHT
1
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
2
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
3
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
4
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
5
0.00a
0.13a
0.00a
0.55a
6
0.00a
0.13a
0.00a
0.73a
7
0.13a
0.47a
0.74a
1.60a
8
0.47b
1.93a
2.71b
7.54a
9
0.67a
1.27a
5.24a
8.09a
10 0.73b 1.40a 5.09b 7.41a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan
Serangan penyakit bercak daun pada lahan penelitian terlihat cukup rendah dan tidak menimbulkan kerugian ekonomi yang besar pada kegiatan budidaya cabai cabai keriting hibrida TM 999. Beberapa daun cabai terlihat menunjukkan gejala serangan penyakit ini, namun penyebaran penyakit ini sangat terbatas dan hanya menyerang sebagian kecil tanaman cabai. Penyakit bercak daun lebih banyak terlihat pada budidaya PHT daripada konvensional, namun gejala serangan yang ditimbulkan masih ringan dan tidak menimbulkan kematian pada tanaman.
25
Gambar 8 Gejala penyakit bercak daun pada daun cabai keriting hibrida TM 999
Antraknosa (Colletotrichum sp.) Petani cabai umumnya menyebut penyakit ini dengan nama “patek”, karena gejala yang ditimbulkan menyerupai penyakit kulit pada manusia. Antraknosa merupakan penyakit penting pada tanaman cabai, keberadaan penyakit ini pada pertanaman cabai mampu menurunkan kuantitas dan kualitas buah cabai dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Gejala awal terlihat dari adanya bercak kecil pada buah cabai, bercak tersebut akan meluas dan membentuk sebuah lingkaran konsentris. Buah cabai yang terserang akan mengkerut dan tetap melekat pada cabang tanaman cabai. Penyakit ini mampu menimbulkan kerusakan pada semua buah cabai, baik buah yang masih muda maupun yang sudah matang. Penyebaran penyakit antraknosa ke tanaman lain dilakukan melalui percikan air.
Tabel 7
Perkembangan penyakit antraknosa pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010
Umur saat pengamatan (mst) 1
Konvensional
PHT
0.00a
0.00a
2
0.00a
0.00a
3
0.00a
0.00a
4
0.00a
0.00a
5
0.00a
0.00a
6
0.00a
0.00a
7
0.00a
0.87a
8
0.67a
3.47a
9
1.20b
10.60a
10 2.13b 17.40a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan
26
Berdasarkan Tabel 7, serangan penyakit antraknosa mulai terlihat pada pengamatan ke-7 mst. Penyakit ini mampu menimbulkan kerusakan pada waktu tanaman cabai mulai berbuah. Serangan antraknosa semakin meningkat pada pengamatan berikutnya dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar pada lahan pertanaman cabai. Serangan terberat terlihat pada pengamatan ke-10 mst, hampir semua tanaman cabai pada lahan penelitian terserang penyakit ini. Pengendalian secara konvensional menunjukkan hasil yang sedikit lebih baik dalam menekan serangan penyakit antraknosa. Terdapat 2 kali pengamatan yang menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam mengendalikan penyakit ini, yaitu pada pengamatan ke-9 dan 10 mst. Pengendalian antraknosa pada budidaya cabai harus didukung dengan kegiatan sanitasi, baik sanitasi terhadap lingkungan di sekitar pertanaman maupun buah yang terserang. Sanitasi yang kurang optimal menyebabkan melimpahnya inokulum pada lahan penelitian, sehingga penyebaran penyakit ini mampu meluas dan menyebabkan kerusakan dengan cepat. Kondisi cuaca di lahan penelitian yang sering diguyur air hujan, serta lokasi penanaman yang berada di bawah sangat mendukung perkembangan dan penyebaran penyakit antraknosa.
\ Gambar 9 Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai keriting hibrida TM 999
Virus Kuning Gejala penyakit virus kuning pada tanaman cabai ditandai dengan munculnya “vein clearing” pada helaian daun, serangan penyakit ini pada umumnya dimulai dari pucuk daun. Daun yang terserang akan berwarna kuning dengan tulang daun yang menebal dan terjadi penggulungan daun. Serangan tingkat lanjut menyebabkan daun mengecil dan pengkerdilan tanaman, tanaman yang telah terserang tidak mampu menghasilkan buah. Serangan penyakit virus kuning pada budidaya cabai keriting hibrida TM 999 terlihat cukup rendah, jumlah tanaman yang terserang penyakit ini berkisar antara 1-6 tanaman setiap petaknya. Rendahnya tingkat serangan disebabkan oleh minimnya serangga vektor yang membantu proses penyebaran penyakit ini. Serangga Bemisia tabaci yang merupakan vektor utama penyakit virus kuning hanya terlihat pada 2 kali pengamatan dengan jumlah populasi yang sedikit, yaitu sebanyak 6 dan 8 individu.
27
Tabel 8
Perkembangan penyakit virus pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010
Umur saat pengamatan (mst) 1
Konvensional
PHT
0.33a
0.00a
2
0.33a
0.00a
3
0.33a
0.00a
4
0.33a
2.33a
5
1.33a
3.33a
6
1.33a
3.33a
7
5.33a
4.67a
8
5.33a
4.67a
9 10
5.33a
4.67a
5.33a 4.67a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan
Gambar 10 Gejala penyakit virus kuning pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999
Produksi Cabai keriting hibrida TM 999 Tanaman cabai keriting hibrida TM 999 memasuki masa generatif pada umur 7 mst, beberapa tanaman cabai mulai terlihat berbuah. Jumlah buah pertama yang dihasilkan relatif sedikit dan tidak merata pada semua tanaman. Buah cabai yang sudah matang harus segera di panen walaupun jumlahnya sedikit, hal ini dilakukan guna merangsang pembentukan buah berikutnya. Kegiatan panen dilakukan pada buah yang sudah benar-benar matang dengan warna merah yang merata pada seluruh bagian buah, buah cabai yang setengah matang atau belum matang sempurna tidak dipanen. Umumnya panen dilakukan setiap 3-5 hari sekali, atau disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Panen buah dilakukan secara manual, yaitu pemetikan buah dilakukan dengan menggunakan tangan.
28
Panen sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau ketika embun sudah mulai menguap, apabila kondisi cuaca sedang hujan sebaiknya tidak dilakukan kegiatan pemanenan. Panen pada kondisi hujan akan meningkatkan resiko kebusukan ketika buah disimpan, buah cabai yang dipanen pada waktu hujan sebaiknya dikering anginkan terlebih dahulu. Kegiatan pemanenan yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan sanitasi buah yang terserang penyakit antraknosa. Kegiatan sanitasi yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan pemanenan sebaiknya dihindari, karena akan meningkatkan laju penyebaran penyakit antraknosa. Berdasarkan tabel produksi cabai keriting hibrida TM 999 diketahui bahwa tingkat produktivitas buah pada budidaya PHT lebih baik daripada konvensional. Rata-rata hasil panen buah cabai pada budidaya PHT lebih tinggi daripada konvensioanal, rata-rata panen tertinggi terdapat pada panen ke-4. Berdasarkan hasil panen dilakukan diketahui bahwa budidaya secara PHT lebih baik, walaupun perbedaan rata-rata panen cabai keriting hibrida TM 999 antara budidaya secara PHT dengan konvensional cukup kecil.
Tabel 9
Produksi tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010 Panen ke-
Konvensional
PHT
1
0.47a
0.70a
2
0.97a
1.13a
3
1.40a
2.00a
4
2.30a
3.10a
5 2.10a 2.33a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan
Gambar 11 Panen buah cabai keriting hibrida TM 999