PENGARUH EMPAT STRAIN BAKTERI PERAKARAN PEMACU PERTUMBUHAN TANAMAN DAN WAKTU INOKULASI VIRUS TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEPARAHAN PENYAKIT KUNING PADA TANAMAN CABAI
HARI PRIWIRATAMA A44102014
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK
HARI PRIWIRATAMA. Pengaruh Empat Strain Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman dan Waktu Inokulasi Virus terhadap Pertumbuhan Tanaman serta Keparahan Penyakit Kuning pada Tanaman Cabai. Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT dan WIDODO. Bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman (plant growth promoting rhizobacteria [PGPR]) telah menunjukkan efektivitas dalam menekan serangan patogen. Bacillus dan Pseudomonas mampu menekan keparahan penyakit yang disebabkan oleh cucumber mosaic virus (CMV), tobacco mosaic virus (TMV), tobacco necrosis virus (TNV) dan tomato mottle virus (ToMoV). Efektivitasnya dalam menekan penyakit kuning yang disebabkan oleh geminivirus pada tanaman cabai belum banyak diketahui. Empat strain PGPR Bacillus polymixa BG25, B. subtilis SB3 , Pseudomonas fluorescens PG01 dan P. fluorescens ES32 serta campuran suspensi keempat bakteri diaplikasikan melalui perendaman benih. Inokulasi geminivirus dilakukan di rumah kaca pada 3, 5 dan 6 minggu setelah tanam dengan bantuan vektor Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae). Tanaman tanpa perlakuan perendaman benih dalam suspensi bakteri digunakan sebagai pembanding. Perlakuan bakteri tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman pada tiap taraf waktu inokulasi. Pengaruh yang nyata diperlihatkan pada penghambatan muculnya gejala awal. Taraf waktu inokulasi yang semakin tinggi membuat tanaman semakin toleran terhadap serangan geminivirus dan pada taraf waktu inokulasi yang tinggi, perlakuan bakteri memberi pengaruh yang nyata dalam menekan keparahan penyakit.
PENGARUH EMPAT STRAIN BAKTERI PERAKARAN PEMACU PERTUMBUHAN TANAMAN DAN WAKTU INOKULASI VIRUS TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEPARAHAN PENYAKIT KUNING PADA TANAMAN CABAI
HARI PRIWIRATAMA A44102014
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Skripsi
:
Pengaruh Empat Strain Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman dan Waktu Inokulasi Virus terhadap Pertumbuhan Tanaman serta Keparahan Penyakit Kuning pada Tanaman Cabai
Nama Mahasiswa
:
Hari Priwiratama
NRP
:
A44102014
Program Studi
:
Hama dan Penyakit Tumbuhan
Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc. NIP 131 610 286
Dr. Ir. Widodo, MS. NIP 131 476 605
Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr. NIP 130 422 698
Tanggal lulus:……………………….
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, Jawa Barat pada tanggal 2 Januari 1985 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Djadja ABD Rodjak dan Ibu Mimin Djarnudji. Penulis memperoleh pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di SMU Negeri 6 Bogor dan menyelesaikannya pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Mahasiswa IPB. Aktifitas kemahasiswaan yang pernah diikuti penulis yaitu menjadi anggota Biro Infokom Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) tahun 20022003 dan kepala Departemen Keprofesian HIMASITA pada tahun 2004-2005. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Dasar-dasar Perlindungan Tanaman, Nematologi Tumbuhan, Metode Statistika I (tahun ajaran 2004/2005), Ilmu Penyakit Tumbuhan Umum serta Hama dan Penyakit Tanaman Pangan (tahun ajaran 2005/2006).
PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Illahi Rabbi yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi penulis berjudul Pengaruh Empat Strain Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman dan Waktu Inokulasi Virus terhadap Pertumbuhan Tanaman serta Keparahan Penyakit Kuning pada Tanaman Cabai dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan Cikabayan, Laboratorium Mikologi dan Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman mulai bulan Januari 2006 hingga Juni 2006. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian dosen pembimbing yang didanai melalui Hibah Penelitian Program Hibah Kompetisi-B (PHK-B) Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc. sebagai pembimbing I tugas akhir. 2. Dr. Ir. Widodo, MS. sebagai pembimbing II tugas akhir. 3. Dr. Ir. Kikin H Mutakin, MSc. yang telah membantu dalam analisis data. 4. Kedua orang tua untuk doa dan dukungannya. 5. Mia Saumiati atas waktu, tenaga dan dukungan yang telah diberikan. 6. Romadhona, Hendrayana, Ari, Lusi, Astri dan Sri Endang yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian penulis. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai acuan dalam melaksanakan penelitian yang berkaitan.
Bogor, Agustus 2006
Hari Priwiratama
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
x
PENDAHULUAN Latar Belakang .........................................................................................
1
Tujuan ......................................................................................................
3
Manfaat ....................................................................................................
3
Hipotesis ...................................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA Kemaknaan Geminivirus pada Tanaman Cabai .......................................
4
Karakteristik Geminivirus ........................................................................
4
Kemaknaan B. tabaci sebagai Vektor Geminivirus .................................
5
PGPR dalam Teknik Pengendalian Penyakit Tanaman ...........................
6
Bacillus spp. dan Pseudomonas spp. sebagai Agensi Hayati Pengendalian Virus tanaman ....................................................................
7
Induksi Ketahanan Sistemik oleh PGPR ..................................................
9
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ...................................................................................
10
Bahan .......................................................................................................
10
Metode Pembuatan Suspensi Bakteri .............................................................. Perlakuan Benih dan Penanaman Tanaman Uji ................................. Perbanyakan Serangga Vektor Bebas Virus ...................................... Pemurnian dan Perbanyakan Isolat Virus .......................................... Inokulasi Virus pada Tanaman Uji .................................................... Pengamatan Morfologi Tanaman ....................................................... Pengukuran Keparahan Penyakit .......................................................
10 10 11 11 11 12 12
Rancangan Percobaan ..............................................................................
13
Analisis Data ............................................................................................
13
vii Halaman HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR dan Waktu Inokulasi Terhadap Morfologi Tanaman Pengaruh PGPR terhadap Perkembangan Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, Daun dan Bunga ................................................................... Pengaruh Waktu Inokulasi Virus terhadap Perkembangan Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, Daun dan Bunga ..................................... Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Bakteri dan Waktu Inokulasi Virus terhadap Perkembangan Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, Daun dan Bunga .................................................................................
14 16 18
Pengaruh PGPR dan Waktu Inokulasi Virus terhadap Perkembangan Penyakit Kuning Pengaruh PGPR terhadap Masa Inkubasi dan Perkembangan Keparahan Penyakit ........................................................................... Pengaruh Waktu Inokulasi terhadap Masa Inkubasi dan Perkembangan Keparahan Penyakit ................................................... Pengaruh Interaksi Perlakuan Bakteri dan Waktu Inokulasi terhadap Masa Inkubasi dan Tingkat Keparahan Penyakit ...............................
23 26 28
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ..............................................................................................
31
Saran .........................................................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
32
LAMPIRAN .............................................................................................
35
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Pengaruh Perlakuan Bakteri terhadap Tinggi Tanaman Cabai pada Beberapa Waktu Pengamatan ...........................................
14
Tabel 2 Pengaruh Perlakuan Bakteri terhadap Jumlah Cabang Utama, Cabang Sekunder, Daun dan Bunga .........................................
15
Tabel 3 Pengaruh Waktu Inokulasi terhadap Jumlah Cabang Utama, Cabang Sekunder, Daun dan Bunga .........................................
18
Tabel 4 Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Bakteri dan Waktu Inokulasi Virus terhadap Perkembangan Tinggi Tanaman Cabai .........................................................................................
19
Tabel 4 (lanjutan) Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Bakteri dan Waktu Inokulasi Virus terhadap Perkembangan Tinggi Tanaman Cabai .........................................................................
20
Tabel 5 Pengaruh Interaksi Perlakuan Bakteri dan Waktu Inokulasi Virus Terhadap Jumlah Cabang Utama, Cabang Sekunder, Daun dan Bunga ........................................................................
22
Tabel 6 Pengaruh Perlakuan Bakteri terhadap Keparahan Penyakit Kuning .......................................................................................
25
Tabel 7 Pengaruh Waktu Inokulasi Virus Terhadap Keparahan Penyakit .....................................................................................
27
Tabel 8 Pengaruh Interaksi Perlakuan Bakteri dan Waktu Inokulasi Virus terhadap Perkembangan Keparahan Penyakit .................
29
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 Pengaruh Waktu Inokulasi Virus terhadap Perkembangan Tinggi Tanaman .....................................................................
17
Gambar 2 Pengaruh Perlakuan Bakteri terhadap Masa Inkubasi Penyakit ..................................................................................
24
Gambar 3 Pengaruh Waktu Inokulasi Virus terhadap Masa Inkubasi Penyakit ..................................................................................
26
Gambar 4 Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Bakteri dan Waktu Inokulasi Virus terhadap Masa Inkubasi Penyakit .................
28
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Gambar Gejala Tanaman yang Terinfeksi Geminivirus dengan Berbagai Tingkat Keparahan ..................................
36
Lampiran 2 Tabel Pengaruh Perlakuan Bakteri terhadap Perkembangan Tinggi Tanaman Cabai ........................................................
37
Lampiran 3 Tabel Pengaruh Waktu Inokulasi terhadap Perkembangan Tinggi Tanaman Cabai ........................................................
37
Lampiran 4 Tabel Pengaruh Perlakuan Bakteri terhadap Masa Inkubasi Penyakit ................................................................
38
Lampiran 5 Tabel Pengaruh Waktu Inokulasi Virus terhadap Masa Inkubasi Penyakit ...............................................................
38
Lampiran 6 Tabel Pengaruh Perlakuan Bakteri dan Waktu Inokulasi Virus terhadap Masa Inkubasi .............................................
39
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penyakit kuning yang disebabkan geminivirus merupakan penyakit penting pada tanaman cabai di Indonesia. Penyakit ini mampu menyerang setiap tahap perkembangan tanaman cabai, sejak pesemaian hingga masa pembuahan. Serangan akan lebih merugikan jika terjadi pada fase vegetatif muda karena dapat menyebabkan penurunan kemampuan berbuah sedangkan serangan pada fase generatif menyebabkan penurunan kualitas buah (Sukamto 2005). Tanaman cabai yang terinfeksi geminivirus akan menunjukkan gejala berupa penguningan disertai penggulungan terutama pada daun muda. Serangan geminivirus juga menyebabkan penghambatan pertumbuhan tanaman. Infestasi geminivirus pada tanaman dapat menyebabkan penurunan hasil. Ahmed et al. (2001) melaporkan bahwa kehilangan hasil karena penyakit ini dapat mencapai 100% di Sudan, sedangkan di Gezira kehilangan hasil mencapai 70%. Di Indonesia kehilangan hasil berkisar 20% sampai 100% serta menyebabkan kerugian hingga Rp. 7,31 milyar dengan luas serangan mencapai 984,6 hektar (Anonim 2004; Sukamto 2005). Geminivirus tidak dapat ditularkan secara mekanis, tetapi hanya dapat ditularkan dengan bantuan serangga vektor sehingga persebarannya di lapangan bergantung pada kemampuan pemencaran vektornya. Bemisia tabaci (Genn.) (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan vektor yang efektif dalam menularkan virus ini. Persentase infeksi melalui penularan oleh B. tabaci mencapai 80% pada varietas cabai besar Capsicum annum (L) (Rusli et al. 1999). Walaupun bersifat persisten, tetapi geminivirus tidak terbawa pada keturunan vektor yang berikutnya. Virus juga tidak terbawa benih sehingga benih yang dihasilkan dari tanaman sakit tidak secara langsung terinfeksi virus dan masih aman untuk digunakan (Hull 2002). Beberapa usaha pengendalian untuk mengurangi kejadian penyakit yang disebabkan oleh virus (termasuk geminivirus) telah banyak dilakukan. Salah satu usaha yang paling banyak dilakukan yaitu penggunaan varietas tahan. Penggunaan
2 varietas tahan dapat mengurangi kejadian penyakit di lapangan secara efektif, tetapi pengembangan varietas tanaman ini relatif lama dan dinilai tidak ekonomis (Hadidi et al. 1998). Disamping itu, munculnya strain virus baru dengan tingkat virulensi yang lebih tinggi menyebabkan efektivitas penggunaan varietas tahan ini semakin menurun. Pengendalian secara tidak langsung dapat dilakukan melalui pengelolaan vektor virus. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa geminivirus hanya dapat ditularkan oleh serangga vektor. Melalui penggunan insektisida, populasi vektor dapat ditekan sejak awal budidaya sehingga mencegah penularan penyakit secara luas. Ahmed et al. (2001) memaparkan bahwa penggunaan insektisida dapat menekan kejadian penyakit geminivirus 2,2% hingga 17%. Walaupun demikian, penggunaannya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, diantaranya resistensi pada serangga vektor serta matinya musuh alami. Usaha pengendalian penyakit yang mulai dikembangkan dan relatif aman terhadap lingkungan yaitu penggunaan Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman (Plant Growth Promoting Rhizobacteria [PGPR]). Usaha ini sering disebut dengan bakterisasi, yaitu perlakuan benih atau akar perkecambahan dengan suspensi bakteri sehingga dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman (Baker 1974 dalam Widodo 1993). Selain memperbaiki pertumbuhan, PGPR juga berperan dalam pengendalian penyakit tanaman. Pemanfaatan PGPR dalam pengendalian patogen telah banyak dilakukan, terutama terhadap cendawan dan bakteri (van Loon et al. 1998). Penelitian tentang pengaruh PGPR terhadap virus belum banyak dilakukan seperti pada penyakit yang disebabkan cendawan dan bakteri. PGPR diantaranya dilaporkan efektif menekan cucumber mosaic virus (CMV), tobacco mosaic virus (TMV), tobacco necrosis virus (TNV) dan tomatto mottle virus (ToMoV) (Maurhofer et al. 1994; Murphy et al. 2000; Raupach & Kloepper 1998; Zehnder et al 2000). Pemanfatannya dalam pengendalian penyakit kuning yang disebabkan oleh geminivirus pada tanaman cabai belum banyak diketahui. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas PGPR dalam menekan penyakit kuning tersebut.
3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan PGPR serta variasi waktu inokulasi virus terhadap pertumbuhan tanaman dan perkembangan penyakit kuning pada tanaman cabai besar.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengendalian penyakit kuning bagi petani dan pihak yang terkait serta dapat menjadi inspirasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
Hipotesis Penggunaan PGPR mampu menginduksi ketahanan sistemik tanaman terhadap virus sehingga dapat memperlambat masa inkubasi, mengurangi kejadian dan menurunkan tingkat keparahan penyakitnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Kemaknaan Geminivirus pada Tanaman Cabai Geminivirus
termasuk kategori lima belas jenis organisme pengganggu
tanaman utama yang menyerang tanaman cabai di lapangan. Penyakit yang disebabkannya
dikenal
dengan
sebutan
penyakit
kuning
karena
dapat
menyebabkan daun-daun tanaman menjadi kuning. Serangan virus juga menyebabkan pemucatan pada tulang daun utama disertai penggulungan daun (cupping) dan kekerdilan pada tanaman sehingga tanaman tidak dapat berproduksi (Brown 2003). Serangan virus ini dapat menyebabkan kehilangan hasil yang sangat tinggi, berkisar antara 20% dan 100% (Brown & Bird 1992). Di Indonesia, serangan geminivirus menyebabkan tanaman cabai menjadi kerdil dan tidak menghasilkan buah. Kehilangan hasil yang disebabkannya berkisar antara 70% dan 100% pada cabai rawit, sedangkan pada tanaman cabai besar menyebabkan kehilangan hasil antara 20% dan 100% (Anonim 2004). Perbedaan respon tersebut diduga karena perbedaan ketahanan genetik dan teknik budidaya.
Karakteristik Geminivirus Geminivirus
termasuk dalam virus dengan genom berupa DNA utas
tunggal, berpartikel kembar (geminate), dan memiliki tiga subgrup utama. Subgrup I dan subgrup II memiliki genom yang monopartit dan ditularkan oleh wereng daun, menginfeksi tanaman monokotil (subgrup I) dan tanaman dikotil (subgrup II). Subgrup yang ke III memiliki genom yang bipartit, menginfeksi tanaman dikotil dan ditularkan oleh kutu kebul (Hull 2002). Di antara tiga subgrup tersebut, subgrup ketiga memiliki anggota yang lebih banyak dan beragam. Geminivirus
yang menginfeksi tanaman cabai pada daerah tropis dan
subtropis di kenal dengan nama umum tomato yellow leaf curl bigeminivirus (TYCLV) yang tergolong ke dalam subgrup III (Smith 2003). Namun demikian, melalui sekuen DNA diketahui bahwa virus asal cabai di Indonesia berbeda
5 dengan geminivirus yang telah dilaporkan menyerang cabai sebelumnya (Sukamto 2005). Geminivirus ini kemudian dinamakan pepper yellow leaf curl indonesia virus (PepYLCIDV) yang menyebabkan gejala berupa penguningan disertai penggulungan dan pengeritingan daun pada tanaman yang diinfeksinya, pada beberapa kasus menyebabkan kekerdilan pada tanaman. Di lapangan, geminivirus hanya ditularkan oleh serangga vektornya. Jika inang utama tidak tersedia, virus ini mampu bertahan dengan baik pada babadotan (Ageratum conyzoides) dan gulma bunga kancing (Gomphrena globosa). Oleh karena itu, serangannya dapat terjadi terus-menerus selama inang alternatif bagi virus tersedia. Selain melalui vektor, virus ini dapat ditularkan melalui penyambungan, tetapi virus tidak tertularkan melalui biji maupun melalui sap tanaman sakit (mekanis) (Hull 2002). Virulensi geminivirus akan lebih baik pada musim kemarau, yang ditandai dengan kecepatan pemunculan gejala sejak inokulasi oleh vektornya (Hidayat 12 April 2005, komunikasi pribadi). Hal ini didukung dengan lebih tingginya populasi vektor pada musim tersebut, akan tetapi belum ada laporan yang secara khusus menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi. Dugaan sementara yaitu adanya tekanan lingkungan yang secara langsung mempengaruhi keadaan tanaman inang sehingga menurunkan ketahanannya terhadap serangan virus.
Kemaknaan B. tabaci sebagai Vektor Geminivirus B. tabaci memiliki kisaran inang yang luas mencakup 600 spesies dari 67 famili tanaman yang berbeda (Brown 2003). Selain inang yang luas, B. tabaci sebagai vektor virus mampu menularkan 60 jenis virus, di antaranya geminivirus, closterovirus, nepovirus, carlavirus, potyvirus dan rod-shape DNA virus (Smith 2003). Sebagian besar virus yang ditularkannya merupakan penyebab penyakit penting pada tanaman budidaya sehingga keberadaan B. tabaci
berpotensi
menyebabkan epidemi penyakit. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa geminivirus secara alami memerlukan vektor untuk dapat menginfeksi tanaman inangnya. B. tabaci merupakan vektor yang memiliki peran tinggi dalam penularan dan penyebaran
6 virus di lapangan, terutama pada pertanaman cabai. Anonim (2004) melaporkan efektivitas penularan virus oleh imago B. tabaci di rumah kaca dengan periode makan akuisisi 30 menit mencapai 40%. Hal ini tentu saja sangat berperan dalam penyebaran penyakit karena dalam waktu yang cukup singkat, seekor imago B. tabaci mampu menularkan virus pada beberapa tanaman. Melalui hasil penelitian yang lain, Rusli et al (1999) melaporkan efektivitas penularan oleh imago B. tabaci mencapai 80%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan B. tabaci memiliki keefektivan yang cukup tinggi dalam menularkan geminivirus, oleh karena itu intensitas serangan di lapangan juga menunjukkan hasil yang cukup tinggi. B. tabaci merupakan faktor pembatas dalam penyebaran virus di lapangan. Walaupun sumber inokulum melimpah di lapangan, jika serangga ini tidak ada maka ledakan kejadian penyakit tidak akan terjadi. Karenanya, di samping karakteristik virus itu sendiri, karakteristik vektor merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan penularan dan penyebaran virus secara alami.
PGPR dalam Teknik Pengendalian Penyakit Tanaman Sejak tahun 1970-an, telah dilaporkan adanya kelompok bakteri yang secara khusus mengkoloni perakaran tanaman dan kemudian mulai diinokulasi sejak tahap awal penanaman (Liu et al. 1995). Dewasa ini, kelompok bakteri tersebut dikenal dengan PGPR, yaitu kelompok bakteri yang dapat mengkoloni perakaran tanaman dan memiliki kemampuan untuk merangsang pertumbuhan tanaman (Nelson 2004). Kelompok bakteri ini banyak ditemukan mengkoloni permukaan akar atau hidup bebas disekitar lapisan rizosfer (Compant et al. 2005). Beberapa diantaranya ditemukan mengkoloni bagian dalam akar tanaman (endofit), mulai dari korteks sampai melewati lapisan endodermis dan jaringan pembuluh, juga dapat ditemukan sebagai endofit pada batang, daun dan organ lainnya (Gray & Smith 2005). Walaupun memiliki habitat yang berbeda, baik yang bersifat endofit maupun yang hidup bebas dan mengkoloni perakaran, kelompok PGPR ini memiliki mekanisme yang hampir sama dalam merangsang pertumbuhan tanaman dan menekan populasi patogen atau penyakit (Bloemberg & Lugtenberg 2001).
7 PGPR memiliki spektrum yang luas terhadap organisme pengganggu tanaman sehingga menjadikannya lebih efektif, ekonomis dan praktis untuk diterapkan sebagai model dalam teknik pengendalian penyakit tanaman (Ramamoorthy et al. 2001). Hingga saat ini, pemanfaatan PGPR telah banyak dilakukan dan menunjukkan potensi yang cukup tinggi sebagai agens pengendali hayati penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan, bakteri, virus dan nematoda. Beberapa strain PGPR yang digunakan dilaporkan efektif dalam mengendalikan patogen tanaman seperti: 1) golongan cendawan, diantaranya: Botrytis cinerea, Colletotrichum gloeosporioides, C. orbiculare, Sclerospora graminicola, Puccinia psidii, Fusarium oxysporum,
Phytium Sklerotium
rolfsii, Rhizoctonia solan, Phytophthora infestans dan Peronospora tabacina; 2) golongan
bakteri,
diantaranya:
Erwinia
tracheiphila,
E.
carotovora,
Pseudomonas syringiae dan Ralstonia solanacearum; 3) golongan virus, diantaranya: CMV, TMV, TNV dan ToMoV;
4) golongan nematoda,
diantaranya: Heterodera sp., Meloidogyne spp. dan Pratylenchus spp. (De Meyer & Hofte 1997; Jetiyanon et al. 2003; Jetiyanon & Kloepper 2002; Kloepper et al. 2004; Maurhofer et al. 1994; Murphy et al. 2000; Nirajan Raj et al. 2003; Oostendorp & Sikora 1990; Pieterse et al. 1996; Raupach & Kloepper 1998; Siddiqui & Shaukat 2004; Yan et al. 2002; Zehnder et al. 2000). Melalui penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut dapat diketahui bahwa peran PGPR dalam menekan penyakit tanaman sangat besar dan memiliki peluang yang cukup tinggi untuk dijadikan sebagai teknik pengendalian penyakit tanaman yang utama di masa mendatang.
Bacillus spp. dan Pseudomonas spp. sebagai Agensi Hayati Pengendalian Virus Tanaman Bacillus dan Pseudomonas sebagai kelompok PGPR merupakan genus yang paling banyak diteliti dan berpotensi tinggi sebagai agens pengendali penyakit tanaman (Compant et al. 2005). Keduanya dilaporkan mampu menekan patogen secara langsung dengan mengeluarkan senyawa antibiotik ataupun secara tidak langsung dengan induksi ketahanan sistemik pada tanaman. Penelitian
8 terhadap kedua genus bakteri ini banyak diarahkan pada penyakit-penyakit yang disebabkan cendawan, bakteri dan nematoda seperti yang telah disebutkan diatas dan telah dilaporkan efektif. Walaupun belum banyak dilaporkan, namun kedua genus bakteri juga memiliki pengaruh positif terhadap virus tanaman. Beberapa strain Bacillus spp. telah dilaporkan efektivitasnya terhadap virus tanaman. Murphy et al. (2000) melaporkan adanya penurunan kejadian dan keparahan penyakit yang disebabkan ToMoV secara nyata pada tanaman tomat yang diberi perlakuan bakteri dibandingkan dengan kontrol, hal ini juga berkorelasi positif dengan keberadaan vektornya (B. tabaci). Pada tanaman mentimun, penggunaan Bacillus spp. di lapangan mampu menekan perkembangan penyakit CMV secara nyata (Jetiyanon et al.
2002). Penelitian serupa yang
dilakukan berikutnya menunjukkan penggunaan Bacillus spp. mampu menekan kejadian penyakit hingga 80% (Jetiyanon et al. 2003). Melalui percobaan rumah kaca, penggunaan Bacillus spp. mampu menekan kejadian penyakit CMV hingga 64%, disamping itu juga menurunkan tingkat keparahan penyakitnya (Murphy et al. 2003; Zehnder et al 2000). Pseudomonas spp. kelompok fluorescens menjadi salah satu genus PGPR yang paling banyak diteliti dan memiliki efektivitas yang tinggi dalam pengendalian patogen pada tanah yang supresif (van Loon et al. 1998). Kontribusinya dalam pengendalian penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus telah dibuktikan melalui penelitian terhadap TMV, CMV dan TNV. Pada tembakau, penggunaan P. aeruginosa mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan TMV (De Meyer & Hofte 1997). Perlakuan P. fluorescens pada tembakau dapat mengurangi jumlah lesio nekrotik pada tanaman yang terinfeksi TNV, hal ini menunjukkan peningkatan ketahanan tanaman terhadap virus tersebut (Maurhofer et al. 1994). Penelitian lainnya menunjukkan adanya peningkatan ketahanan terhadap infeksi CMV dan menghambat munculnya ekspresi gejala pada mentimun dan tomat (Raupach et al. 1996).
9 Induksi Ketahanan Sistemik oleh PGPR Melalui penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan adanya induksi ketahanan sistemik tanaman oleh bakteri sehingga tanaman menjadi lebih toleran terhadap patogen yang menyerang, bahkan diantaranya menjadi tahan terhadap patogen tertentu. Ketahanan Sistemik Terinduksi (induced systemic resistance [ISR]) pada dasarnya memiliki kesamaan dengan Ketahanan Sistemik yang Diterima (systemic acquired resistance [SAR]). Mekanisme ini terjadi sebagai akibat adanya infeksi oleh patogen sehingga tanaman memberikan respon berupa reaksi-reaksi pertahanan seperti reaksi hipersensitif yang menyebabkan terjadinya lesio nekrotik pada daerah terserang. Berbeda dengan SAR, ISR tidak menyebabkan adanya gejala tampak seperti lesio nekrotik (Compant et al. 2005). Ramamoorthy et al. (2001) memaparkan bahwa mekanisme ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap serangan patogen. Perubahan fisiologi tersebut dapat berupa modifikasi struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan adanya induksi ketahanan sistemik oleh bakteri yaitu: 1) adanya sumbangan lipopolisakarida oleh bakteri; 2) produksi siderofor oleh bakteri; dan 3) produksi asam salisilat, yang dapat terjadi secara langsung oleh bakteri ataupun secara tidak langsung (van Loon et al. 1998). Terinduksinya ketahanan sistemik tanaman sebagai akibat bakteri ini semakin membuka peluang dikembangkannya PGPR sebagai metode baru dalam usaha pengelolaan penyakit tanaman. Melalui temuan-temuan di atas dapat diketahui bahwa penggunaan PGPR cenderung membawa dampak positif melalui peningkatan pertumbuhan dan ketahanan tanaman. Hal ini akan semakin menegaskan prospek penggunaannya di masa mendatang.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi dan Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman serta di Rumah Kaca Kebun Percobaan Cikabayan Institut Pertanian Bogor sejak bulan Januari 2006 sampai Juni 2006.
Bahan Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini yaitu B. polymixa BG25, B. subtilis SB3, P. fluorescens PG01 dan P. fluorescens ES32 yang merupakan koleksi Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman. Bahan tanaman uji yang digunakan adalah cabai besar (C. annuum) varietas Hot Chili yang didapat dari toko pertanian. Sumber inokulum berasal dari Koleksi Laboratorium Virologi Departemen Proteksi Tanaman, yaitu tanaman tomat yang terinfeksi geminivirus isolat Segunung.
Metode Pembuatan Suspensi Bakteri Bakteri yang berasal dari media Nutrient Broth (NB) diremajakan pada media Triptic Soy Agar (TSA [kelompok Bacillus]) dan King’s B (kelompok Pseudomonas) dengan menggoreskan masing-masing 1 loop suspensi pada media tersebut. Bakteri yang telah diremajakan diinkubasikan pada suhu ruangan selama 48 jam. Sebanyak 15 loop biakan murni yang didapat diencerkan dalam 100 ml NaCl 0,85% sehingga didapat suspensi bakteri (stok) dengan kepadatan masingmasing 1012 cfu/ml untuk Bacillus dan 1013 cfu/ml untuk Pseudomonas (Jamaliyah 2005).
Perlakuan Benih dan Penanaman Tanaman Uji Masing-masing suspensi stok bakteri diencerkan secara bertingkat sehingga didapat suspensi dengan kepadatan 109 cfu dalam 10 ml NaCl 0,85%. Sebanyak 2 ml dari masing-masing suspensi bakteri dicampurkan sehingga didapat
11 suspensi kombinasi keempat bakteri tersebut (Campuran) dengan kepadatan yang sama. Benih cabai yang sebelumnya telah dicuci kemudian dimasukkan ke dalam suspensi bakteri (BG25, SB3, PG01, ES32 dan Campuran) dan dibiarkan selama 10 jam pada suhu ruang. Sebagai kontrol, benih cabai direndam pada 8 ml NaCl 0,85% selama 10 jam. Benih yang telah direndam kemudian ditanam pada baki semai yang berisi media berupa campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1 (v/v). Setelah berumur empat minggu setelah tanam (MST) dilakukan pemindahan tanaman ke dalam
polybag (35x35 cm2) dengan media yang sama pada
pesemaian.
Perbanyakan Serangga Vektor Bebas Virus Imago B. tabaci koleksi Laboratorium Virologi Departemen Proteksi Tanaman dibiakkan pada tanaman kapas yang berumur dua minggu dalam kurungan kedap serangga (1x1x1 m3). Serangga dibiarkan berkembang biak hingga jumlah yang mencukupi untuk inokulasi virus.
Pemurnian dan Perbanyakan Isolat Virus Imago B. tabaci yang bebas virus diinfestasikan pada tanaman tomat yang terinfeksi geminivirus isolat Segunung dan dibiarkan selama 24 jam melewati periode makan akuisisi. Kemudian, sebanyak sepuluh ekor imago dipindahkan ke tanaman cabai sehat yang telah berumur lima minggu dan di inkubasi hingga tanaman menunjukkan gejala penyakit kuning.
Inokulasi Virus pada Tanaman Uji Inokulasi virus dilakukan pada kurungan inokulasi (1x1x2 m3) saat tanaman telah menunjukkan daun sejati yaitu pada umur 3 MST, 5 MST dan 6 MST. Serangga vektor dan sumber inokulum yang telah ada dimasukkan ke dalam kurungan dan dibiarkan selama satu minggu. Setelah satu minggu, tanaman yang akan diinokulasi dimasukkan ke dalam kurungan tersebut dan dibiarkan selama tiga hari. Selama periode tersebut, tanaman uji dan sumber inokulum diberi
12 gangguan fisik (tanaman digoyang) untuk memastikan serangga vektor hinggap dan makan (inokulasi) pada setiap tanaman uji. Metode ini dilakukan khususnya untuk tanaman berumur 3 MST dan 5 MST, sedangkan untuk tanaman berumur 6 MST, inokulasi dilakukan secara langsung dengan menaruh sumber inokulum dan sejumlah vektor diantara tanaman yang akan diuji selama tiga hari. Hal ini dikarenakan ukuran kurungan inokulasi tidak dapat menampung seluruh tanaman berumur 6 MST yang telah dipindahkan ke polybag yang lebih besar.
Pengamatan Morfologi Tanaman Variabel pengamatan terkait morfologi tanaman yaitu: 1) tinggi tanaman, diukur setiap minggu sejak tanaman berumur 5 hingga 15 MST; 2) jumlah cabang utama dan sekunder, dihitung pada saat tanaman mencapai masa pembungaan (15 MST); 3) jumlah daun dan bunga, dihitung pada 15 MST.
Pengukuran keparahan penyakit Pengamatan mulai dilakukan 3 minggu setelah periode makan inokulasi (3 MSI) dengan mengukur skor penyakit pada masing-masing tanaman uji. Kategori skor yang digunakan (gambar lampiran 1): 0
:
tidak bergejala
1
:
penguningan tulang daun
2
:
seluruh tulang daun menguning, daun keriting
3
:
lamina daun menguning, daun keriting
4
:
tanaman kerdil, seluruh daun menguning, reduksi ukuran daun, daun keriting sepenuhnya
Nilai skor yang didapat kemudian dikonversi dalam nilai keparahan penyakit (disease severity) berdasarkan rumus Townsend & Heüberger (1974 dalam Agrios 1997):
KP =
Σ ni vi NV
ni = jumlah tanaman dengan skor ke-i x 100%
vi = nilai skor penyakit N = jumlah tanaman yang diamati V = skor tertinggi
13 Variabel lain dari penyakit kuning yaitu masa inkubasi yang diamati sejak periode makan inokulasi berakhir hingga munculnya gejala awal dari penyakit tersebut.
Rancangan Percobaan Percobaan disusun dalam rancangan acak faktorial dengan dua faktor utama yaitu jenis bakteri dan waktu inokulasi virus. Unit perlakuan terdiri dari enam taraf yang terdiri dari strain bakteri (BG25, SB3, PG01 dan ES32), kombinasi keempat strain bakteri (Campuran) dan pembanding (Kontrol) yang disusun dalam empat blok dengan tiga unit contoh pada masing-masing blok.
Analisis Data Data variabel pengamatan yang didapat dianalisis dengan menggunakan program SAS for Windows v 6.12 melalui Analisys of Variance (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 5% (α = 0,05). Interaksi antara jenis bakteri yang digunakan dan waktu inokulasi virus dianalisis dengan uji Least Square Means (LSMeans) dengan nilai tengah berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh PGPR dan Waktu Inokulasi Terhadap Morfologi Tanaman
Pengaruh PGPR terhadap Perkembangan Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, Daun dan Bunga PGPR mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman secara langsung melalui hormon-hormon pertumbuhan yang dihasilkan seperti Giberilin (GAs) dan indole3-acetic acid (IAA) (Barazani & Friedman 1999; Glickman et al. 1997). Disamping itu, PGPR juga mampu mensintesis sitokinin dan beberapa fitohormon lain (Nelson 2004). Oleh karena itu, umumnya tanaman yang diberi perlakuan PGPR mampu tumbuh lebih baik. Tabel 1 Pengaruh perlakuan bakteri terhadap tinggi tanaman cabai pada beberapa waktu pengamatan Tinggi Tanaman pada t MST b)
Perlakuan
a)
Kontrol
5 6,71 abcAB
6 12,44 aA
7 c) 16,47 aA
14 48,20 abAB
15 51,87 abAB
BG25
7,41 aA
11,46 abA
15,90 aA
50,01 abAB
53,21 abAB
SB3
7,12 abcAB
11,66 abA
15,62 aA
48,17 bB
48,47 bB
PG01
7,15 abAB
12,49 aA
16,32 aA
45,84 abAB
53,55 abAB
ES32
6,24 cB
10,50 bA
14,79 aA
52,17 aA
57,27 aA
Campuran
6,46 bcAB
12,17 abA
16,07 aA
49,48 abAB
53,71 abAB
a)
Kontrol = tanpa bakteri; BG25= B. polymixa BG25; SB3 = B. subtilis SB3; PG01 = P. fluorescens PG01; ES32 = P. fluorescens ES32. b) angka yang diikuti dengan huruf kecil dan huruf kapital yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada α = 0,05 dan α = 0,01; c) tinggi tanaman pada minggu ke-8 hingga minggu ke-13 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan sehingga data tidak ditampilkan.
Data perkembangan tinggi tanaman yang diperlihatkan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa secara umum tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tanaman yang diberi perlakuan bakteri dengan tanaman tanpa perlakuan bakteri (kontrol). Sejak awal pengamatan (5 MST), tinggi tanaman kontrol selalu memiliki perbandingan yang seimbang dengan tanaman pada perlakuan bakteri.
15 Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan bakteri tidak mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman cabai secara nyata. Perbedaan pertumbuhan tinggi tanaman justru diperlihatkan diantara perlakuan bakteri yang diberikan. Pada 5 dan 6 MST, tanaman yang diberi perlakuan P. fluorescens PG01 dan perlakuan bakteri lainnya mampu memacu pertumbuhan tanaman lebih baik (nyata pada PG01) dibandingkan tanaman yang diberi perlakuan P. fluorescens ES32. Akan tetapi, sejak 7 MST, tanaman dengan perlakuan P. fluorescens ES32 mulai menunjukkan kemampuan dalam meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman. Kemampuan P. fluorescens ES32 ini terus ditunjukkan hingga akhir pengamatan, bahkan dalam perkembangannya, tanaman dengan bakteri ini cenderung menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
perlakuan
lainnya.
Pseudomonas
fluorescens
ES32
juga
menunjukkan kemampuan memacu pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan B. subtilis SB3. Hal ini bertentangan dengan penelitian serupa yang dilakukan oleh Wirianti (2005), dimana tanaman dengan perlakuan B. subtilis SB3 selalu menunjukkan tinggi tanaman yang lebih baik dibandingkan perlakuan bakteri lainnya dan berbeda nyata dengan tanaman kontrol. Tabel 2
Pengaruh perlakuan bakteri terhadap jumlah cabang utama, cabang sekunder, daun dan bunga Variabel Pengamatan pada 15 MST b)
Perlakuan a)
Kontrol
Jumlah Cabang Utama 2,47 aA
Jumlah Cabang Sekunder 36,92 bB
300,28 aA
127,05 cdBC
BG25
2,39 aA
42,28 abAB
284,47 aA
155,08 abAB
SB3
2,55 aA
45,05 aAB
305,58 aA
122,86 dC
PG01
2,47 aA
45,86 aAB
312,17 aA
158,42 aA
ES32
2,44 aA
46,94 aA
277,03 aA
149,44 abcABC
Campuran
2,33 aA
42,28 abAB
278,06 aA
131,83 bcdABC
a)
Jumlah Daun
Jumlah Bunga
Kontrol = tanpa bakteri; BG25= B. polymixa BG25; SB3 = B. subtilis SB3; PG01 = P. fluorescens PG01; ES32 = P. fluorescens ES32. b) angka yang diikuti dengan huruf kecil dan huruf kapital yang sama dalam satu kolom berturut-turut tidak berbeda nyata pada α = 0,05 dan α = 0,01.
16 Melalui Tabel 2 terlihat adanya keragaman pada kemampuan bakteri dalam memacu perkembangan vegetatif dan generatif tanaman. Secara umum, tidak ada perbedaan jumlah cabang utama pada tanaman cabai. Akan tetapi pada perkembangan cabang sekunder, perlakuan B. subtilis SB3, P. fluorescens PG01 dan P. fluorescens ES32 menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol dimana jumlah cabang sekunder yang dihasilkan lebih banyak. Pada penghitungan jumlah daun perlakuan bakteri tidak menunjukkan pengaruh yang nyata, walau demikian tanaman dengan perlakuan P. fluorescens PG01 menunjukkan jumlah daun yang lebih banyak dari perlakuan lainnya. Pada penelitian ini, B. subtilis SB3 terlihat hanya mampu memacu pertumbuhan vegetatif tanaman melalui peningkatan jumlah cabang sekunder tanaman. Perlakuan bakteri juga mampu memacu pertumbuhan generatif tanaman. Perlakuan P. fluorescens PG01 menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibanding kontrol, sementara perlakuan bakteri lainnya tidak. Selain itu, perlakuan bakteri ini juga berbeda nyata dengan perlakuan B. subtilis SB3. Dengan mengasumsikan bahwa persentase keberhasilan bunga menjadi buah adalah sama pada tiap perlakuan, maka dapat diketahui bahwa P. fluorescens PG01 dapat membantu tanaman menghasilkan produksi yang lebih banyak dibanding perlakuan lainnya. Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan bakteri dalam memacu pertumbuhan tanaman. Secara umum adanya bakteri mampu meningkatkan kemampuan pertumbuhan tanaman, akan tetapi kemampuan tersebut tidak selalu terjadi pada kedua fase pertumbuhan tanaman (vegetatif dan generatif) dan tidak selalu memacu semua variabel ukur pertumbuhan pada masing-masing fase pertumbuhan.
Pengaruh Waktu Inokulasi Virus terhadap Perkembangan Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, Daun dan Bunga Perbedaan waktu inokulasi virus secara umum memberikan pengaruh yang nyata pada pertumbuhan tinggi tanaman di akhir waktu pengamatan. Inokulasi virus pada awal fase pertumbuhan tanaman akan menyebabkan penghambatan pertumbuhan tinggi tanaman dibandingkan dengan tanaman yang diinokulasi
17 virus pada umur tanaman yang lebih tua. Dari Gambar 1 terlihat bahwa tanaman yang diinokulasi virus pada 5 MST secara nyata memiliki pertumbuhan tinggi yang lebih baik (55,93 cm) dibandingkan dengan tanaman yang diinokulasi virus pada 3 MST (51,31 cm) dan 6 MST (51,81 cm). Hal ini kemungkinan disebabkan karena nilai tengah yang digunakan merupakan rata-rata nilai tinggi tanaman dari semua unit perlakuan pada taraf waktu inokulasi yang sama. 60
3 MST
5 MST
6 MST
Tinggi (cm)
45
30
15
0 5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Umur Tanaman (MST)
Gambar 1
Pengaruh waktu inokulasi virus terhadap perkembangan tinggi tanaman; nilai rata-rata yang digunakan berasal dari seluruh perlakuan pada waktu inokulasi yang sama; 3, 4 dan 5 MST menunjukkan umur tanaman saat inokulasi virus.
Saat tanaman berumur 5 MST, tanaman yang diinokulasi virus pada 3 MST menunjukkan tinggi tanaman yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan kedua taraf waktu inokulasi lainnya (Lampiran 3). Hal ini kemungkinan disebabkan tanaman mendapat tekanan infeksi geminivirus lebih awal dibandingkan kedua taraf waktu inokulasi lainnya sehingga pertumbuhan tanaman mulai terhambat. Tanaman yang diinokulasi geminivirus pada 6 MST pada awalnya memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan kedua taraf waktu inokulasi lainnya. Akan tetapi, saat tanaman berumur 11 MST mulai terlihat perbedaan nyata dengan taraf waktu inokulasi 5 MST. Hal ini kemungkinan disebabkan sebagian besar
18 tanaman (waktu inokulasi 6 MST) sudah memasuki fase generatif, sehingga pertumbuhan vegetatifnya mulai terhambat. Tabel 3 Waktu Inokulasi (MST)
Pengaruh waktu inokulasi terhadap jumlah cabang utama, cabang sekunder, daun dan bunga Variabel Pengamatan pada 15 MST a) Jumlah Cabang Utama
Jumlah Cabang Sekunder
Jumlah Daun
Jumlah Bunga
3
2,57 aA
44,46 aAB
299,60 aA
145,28 abA
5
2,26 bB
39,35 bB
292,49 aA
130,97 bA
6
2,50 aAB
45,86 aA
286,71 aA
146,10 aA
a)
angka yang diikuti dengan huruf kecil dan huruf kapital yang sama dalam satu kolom berturut-turut tidak berbeda nyata pada α = 0,05 dan α = 0,01.
Perbedaan waktu inokulasi virus yang berimplikasi pada perbedaan waktu infeksi dan perkembangan penyakit juga menunjukkan perbedaan pada variabel pengamatan lain yang ditunjukkan pada Tabel 3. Jumlah cabang pada tanaman yang diinokulasi pada umur 5 MST berbeda nyata dengan dua waktu inokulasi lainnya. Pada waktu inokulasi tersebut, jumlah cabang utama dan cabang sekundernya lebih banyak dibanding dua taraf lainnya. Jumlah daun pada ketiga waktu inokulasi tidak memiliki pengaruh yang berbeda nyata. Jumlah daun yang lebih tinggi pada waktu inokulasi 3 dan 5 MST kemungkinan terjadi sebagai respon terhadap adanya gangguan penyakit sehingga tanaman menghasilkan daun yang lebih banyak. Bertentangan dengan hal diatas, jumlah bunga pada tanaman yang diinokulasi virus pada 5 MST menunjukkan hasil yang lebih rendah (berbeda nyata) dibanding dua taraf waktu lainnya. Akan tetapi, tidak dapat diketahui secara pasti faktor penyebab jumlah bunga yang lebih rendah ini.
Pengaruh Interaksi antara Perlakuan PGPR dan Waktu Inokulasi Virus terhadap Perkembangan Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, Daun dan Bunga Terdapat interaksi antara waktu inokulasi dan aplikasi bakteri terhadap morfologi tanaman (tinggi tanaman, jumlah cabang utama, cabang sekunder, daun
19 Tabel 4 Pengaruh interaksi antara perlakuan bakteri dan waktu inokulasi virus terhadap perkembangan tinggi tanaman cabai Perlakuan
Tinggi Tanaman pada t MST
a)
5 3 MST
6
7
b)
8
9
c)
Kontrol
6,42 abcdefg
14,38 d
19,95 b
23,10 ab
27,85 ab
BG25
5,84 abcd
10,24 a
16,07 ab
19,77 ab
24,14 ab
SB3
7,32 bcdefg
13,04 abcd
16,87 ab
20,33 ab
23,60 a
PG01
5,58 ab
11,24 abcd
16,24 ab
19,84 ab
25,09 ab
ES32
4,62 a
9,63 a
14,26 ab
19,36 ab
24,34 ab
Campuran
6,52 abcdefg
13,96 bcd
18,48 b
22,89 ab
29,61 ab
Kontrol
6,15 abcde
10,59 abc
13,79 ab
18,97 ab
27,19 ab
BG25
8,04 efg
10,99 abcd
14,85 ab
19,89 ab
29,05 ab
SB3
6,63 bcdefg
11,52 abcd
16,30 ab
21,71 ab
28,55 ab
PG01
7,62 cdefg
12,02 abcd
15,36 ab
20,79 ab
25,08 ab
ES32
7,76 defg
12,68 a
16,86 a
21,74 a
Campuran
5,80 abc
11,78 abcd
15,11 ab
20,08 ab
28,46 ab
Kontrol
7,56 cdefg
12,35 abcd
15,66 ab
20,74 ab
26,22 ab
BG25
8,33 g
13,14 abcd
16,77 ab
20,90 ab
28,41 ab
SB3
7,41 bcdefg
10,42 ab
13,70 ab
17,23 a
22,89 a
PG01
8,26 fg
14,20 cd
17,37 ab
21,82 ab
28,59 ab
ES32
6,33 abcdef
12,02 abcd
14,42 ab
23,63 b
32,39 b
Campuran
7,06 bcdefg
10,79 abcd
14,62 ab
18,87 ab
23,33 a
5 MST
9,85 a
6 MST
a)
Kontrol = tanpa bakteri; BG25= B. polymixa BG25; SB3 = B. subtilis SB3; PG01 = P. fluorescens PG01; ES32 = P. fluorescens ES32. b) angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada α = 0,05. c) waktu inokulasi geminivirus pada tiap unit contoh perlakuan
20 Tabel 4 Pengaruh interaksi antara waktu inokulasi virus dan perlakuan bakteri terhadap perkembangan tinggi tanaman cabai (lanjutan) Perlakuan
Tinggi Tanaman pada t MST
a)
b)
10
11
12
13
14
15
Kontrol
32,30 abc
36,19 abcd
39,83 abc
47,10 abcd
49,66 ab
53,97 abc
BG25
29,08 ab
33,80 abcd
37,28 abc
41,66 abc
45,09 a
48,01 ab
SB3
27,43 a
30,68 a
35,23 a
39,38 ab
43,06 a
47,06 ab
PG01
29,93 abc
32,67 abc
36,79 ab
40,16 abc
44,45 a
49,22 abc
ES32
30,67 abc
35,18 abcd
39,32 abc
44,34 abcd
49,25 ab
55,63 bc
Campuran
34,10 abc
38,23 abcd
42,73 abc
46,66 abcd
49,77 ab
53,97 abc
Kontrol
34,72 abc
38,22 abcd
42,12 abc
48,19 abcd
50,48 ab
54,28 abc
BG25
36,87 bc
43,10 cd
46,99 bc
21,03 cd
53,87 ab
57,10 bc
SB3
34,07 abc
39,92 abcd
45,00 abc
48,05 abcd
51,47 ab
55,36 abc
PG01
30,00 abc
35,64 abcd
39,74 abc
45,23 abcd
50,21 ab
56,28 bc
ES32
27,91 ab
33,50 abcd
38,83 abc
44,20 abcd
49,04 ab
54,83 abc
Campuran
36,78 bc
42,01 bcd
46,94 bc
50,60 bcd
53,73 ab
57,73 bc
Kontrol
30,12 abc
33,52 abcd
36,43 ab
40,47 abc
44,47 a
47,38 ab
BG25
33,23 abc
38,28 abcd
41,33 abc
45,89 abcd
51,07 ab
54,51 abc
SB3
27,31 a
31,43 ab
34,82 a
38,53 a
43,01 a
42,99 a
PG01
33,30 abc
38,92 abcd
42,04 abc
46,19 abcd
49,85 ab
55,16 abc
ES32
38,76 c
44,04 d
48,02 c
53,36 d
58,22 b
61,36 c
Campuran
26,69 a
30,65 a
35,47 a
40,15 abc
44,93 a
49,44 abc
3 MST
c)
5 MST
6 MST
a)
Kontrol = tanpa bakteri; BG25= B. polymixa BG25; SB3 = B. subtilis SB3; PG01 = P. fluorescens PG01; ES32 = P. fluorescens ES32. b) angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada α = 0,05. c) waktu inokulasi geminivirus pada tiap unit contoh perlakuan
21 dan bunga). Secara umum tidak terdapat perbedaan tinggi tanaman yang nyata antara perlakuan pada taraf waktu inokulasi yang berbeda. Pertumbuhan tinggi tanaman antara waktu inokulasi virus yang berbeda cenderung menunjukkan hasil yang sama. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa perlakuan bakteri tidak dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman walaupun terdapat variasi waktu terinfeksinya tanaman oleh geminivirus. Walaupun terdapat keragaman dalam peningkatan tinggi tanaman, tetapi tiap perlakuan didalamnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan yang sama pada tiap taraf waktu inokulasi virus yang berbeda. Hal ini juga mengindikasikan bahwa perlakuan bakteri tidak dapat membantu tanaman dalam mengurangi gangguan fisiologis yang berdampak pada penghambatan pertumbuhan tanaman yang disebabkan infeksi geminivirus. Melalui Tabel 4, dapat diketahui bahwa perlakuan P. fluorescens ES32 dengan waktu inokulasi geminivirus pada 6 MST memiliki perbedaan nyata dibanding tanaman kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa P. fluorescens ES32 mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik jika geminivirus baru menginfeksi tanaman pada umur 6 MST. Sedangkan, jika tanaman terinfeksi sebelum berumur 6 MST maka P. fluorescens ES32 tidak dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman secara nyata jika dibandingkan dengan tanaman kontrol. Disamping itu, tanaman dengan perlakuan P. fluorescens ES32 menunjukkan pertumbuhan yang lambat pada awal penanaman tetapi ketika tanaman mulai memasuki umur 9 MST terjadi peningkatan tinggi tanaman yang lebih baik. Ada kemungkinan bahwa P. fluorescens SB3 memacu pertumbuhan tanaman dengan lebih baik ketika tanaman mulai memasuki fase vegetatif cepat. Tanaman yang diberi perlakuan B. subtilis SB3, seperti telah disinggung sebelumnya, tidak menunjukkan adanya pertambahan tinggi yang lebih baik dibanding tanaman dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada tanaman yang terinfeksi geminivirus perlakuan B. subtilis SB3 tidak mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman.
22 Tabel 5 Pengaruh interaksi perlakuan bakteri dan waktu inokulasi virus terhadap jumlah cabang utama, cabang sekunder, daun dan bunga Varibel Pengamatan pada 15 MST b) a)
Jumlah Cabang Utama
Jumlah Cabang Sekunder
Jumlah Daun
Kontrol
2,50a
35,08 ab
263,99 a
113,58 ab
BG25
2,50a
45,50 abc
315,00 a
169,83 cd
SB3
2,33a
45,50 abc
373,84 a
100,92 a
PG01
2,67a
45,17 abc
294,42 a
174,08 d
ES32
2,75a
50,92 bc
308,25 a
173,83 d
Campuran
2,67a
44,59 abc
242,09 a
139,42 abcd
Kontrol
2,42a
36,67 abc
378,92 a
140,42 abcd
BG25
2,34a
43,50 abc
303,42 a
169,67 cd
SB3
2,59a
43,58 abc
237,67 a
118,17 abc
PG01
2,08a
42,25 abc
327,17 a
132,00 abcd
ES32
2,17a
36,58 abc
237,92 a
108,58 a
Campuran
2,00a
33,50 a
269,84 a
117,00 abc
Kontrol
2,50a
39,00 abc
257,92 a
127,17 abcd
BG25
2,33a
37,83 abc
235,00 a
125,75 abcd
SB3
2,75a
46,08 abc
305,25 a
149,50 abcd
PG01
2,67a
50,17 abc
314,92 a
169,17 cd
ES32
2,42a
53,34 c
284,92 a
165,92 bcd
Campuran
2,33a
48,75 abc
322,25 a
139,08 abcd
Perlakuan
3 MST
c)
Jumlah Bunga
5 MST
6 MST
a)
Kontrol = tanpa bakteri; BG25= B. polymixa BG25; SB3 = B. subtilis SB3; PG01 = P. fluorescens PG01; ES32 = P. fluorescens ES32. b) angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada α = 0,05. c) waktu inokulasi geminivirus pada tiap unit contoh perlakuan
Perlakuan campuran bakteri tidak menunjukkan hasil yang nyata dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat disebabkan karena strain
23 bakteri yang digunakan tidak memiliki sifat yang sinergistik sehingga tidak dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan lebih baik. Tabel 5 menunjukkan interaksi antara waktu inokulasi geminivirus dan strain bakteri terhadap jumlah cabang, daun dan bunga. Secara umum, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan bakteri dan kontrol pada tiap waktu inokulasi. Hal ini juga menunjukkan bahwa adanya perbedaan waktu inokulasi geminivirus pada tiap perlakuan tidak terlalu berpengaruh terhadap perkembangan cabang, daun dan bunga pada tiap perlakuan bakteri yang diberikan. Artinya, walaupun geminivirus menginfeksi hanya pada saat tanaman berumur 6 MST, maka pengaruhnya terhadap pembentukan cabang, daun dan bunga tidak akan berbeda dengan tanaman yang terinfeksi sebelum tanaman berumur 6 MST. Melalui uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa interaksi antara waktu inokulasi geminivirus dan perlakuan bakteri tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tidak semua kombinasi dua faktor perlakuan yang ada menunjukkan hasil positif terhadap morfologi tanaman.
Pengaruh PGPR dan Waktu Inokulasi Virus terhadap Perkembangan Penyakit Kuning
Pengaruh PGPR terhadap Masa Inkubasi dan Perkembangan Keparahan Penyakit Secara umum, tanaman yang diberi perlakuan bakteri menunjukkan masa inkubasi yang lebih lama dibanding tanaman kontrol. Hal ini menunjukkan adanya kemampuan bakteri dalam memperlambat perkembangan geminivirus sehingga ekspresi gejala yang muncul lebih lama dari tanaman tanpa perlakuan bakteri. Tanaman yang diberi
perlakuan P. fluorescens PG01 dan ES32
menunjukkan pemunculan gejala awal yang lebih lama, berbeda nyata dengan tanaman kontrol (Gambar 2).
24 12
Masa Inkubasi (hari)
9
b B
ab AB
a AB
BG25
SB3
a A
a A
PG01
ES32
ab AB
6
3
0 Kontrol
Campuran
Perlakuan
Gambar 2 Pengaruh perlakuan bakteri terhadap masa inkubasi penyakit Kontrol = tanpa bakteri; BG25= B. polymixa BG25; SB3 = B. subtilis SB3; PG01 = P. fluorescens PG01; ES32 = P. fluorescens ES32; Huruf kecil dan huruf kapital yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0,05 dan α = 0,01
Walaupun perlakuan bakteri menunjukkan kemampuan dalam menghambat masa inkubasi penyakit, akan tetapi perlakuan bakteri belum dapat dikatakan efektif secara ekonomi. Hal ini dikarenakan selisih waktu penghambatan masa inkubasi penyakit hanya berbeda sekitar satu hari. Selisih waktu tersebut tidak akan menunjukkan penghambatan yang berarti dalam perkembangan penyakit yang disebabkan oleh virus. Daya penghambatan terhadap pemunculan gejala ini berimplikasi pada perkembangan keparahan penyakit geminivirus. Tanaman pada perlakuan bakteri menunjukkan perbedaan tingkat keparahan penyakit yang lebih rendah pada minggu awal pengamatan. Tanaman yang diberi perlakuan P. fluorescens PG01 dan ES32 menunjukkan perbedaan yang nyata pada 4 MSI (Tabel 6). Memasuki 5 MSI, seluruh perlakuan bakteri menunjukkan tingkat keparahan penyakit yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa geminivirus mulai dapat berkembang dengan baik di semua tanaman pada perlakuan bakteri sehingga menunjukkan tingkat keparahan yang sama dengan
25 tanaman kontrol. Perlakuan bakteri yang diberikan secara umum tidak dapat melindungi tanaman terhadap serangan geminivirus. Tabel 6 Pengaruh perlakuan bakteri terhadap keparahan penyakit kuning Keparahan penyakit pada beberapa t MSI (%) b)
a)
Perlakuan
3
4
5 c)
7
8
9
Kontrol
34,03 aA
52,78 aA
64,58 aA
72,92 aA
70,83 aA
67,36 aA
BG25
29,17 aA
41,67 bAB 54,86 aA
70,14 abA 67,36 aA
64,58 aA
SB3
31,94 aA
42,36 bAB 56,25 aA
68,05 bA
66,67 aA
64,58 aA
PG01
29,17 aA
38,89 bB
57,64 aA
68,75 abA 66,67 aA
65,28 aA
ES32
29,17 aA
37,50 bB
56,94 aA
69,44 abA 66,67 aA
65,97 aA
Campuran
32,64 aA
41,67 bAB 60,42 aA
68,75 abA 65,97 aA
65,28 aA
a)
Kontrol = tanpa bakteri; BG25= B. polymixa BG25; SB3 = B. subtilis SB3; PG01 = P. fluorescens PG01; ES32 = P. fluorescens ES32. b) angka yang diikuti dengan huruf kecil dan huruf kapital yang sama dalam satu kolom berturut-turut tidak berbeda nyata pada α = 0,05 dan α = 0,01. c) seluruh perlakuan pada pengamatan minggu ke-6 setelah inokulasi tidak berbeda nyata
Pada minggu ke-8 setelah inokulasi terjadi penurunan tingkat keparahan penyakit, baik pada seluruh tanaman yang diberi perlakuan bakteri maupun tanaman kontrol. Hal ini menunjukkan adanya penghambatan kembali terhadap perkembangan geminivirus dalam tanaman inang. Terhambatnya perkembangan geminivirus ini belum mengindikasikan adanya induksi ketahanan tanaman, akan tetapi lebih mengindikasikan adanya proses penyembuhan (recovery) yang berasal dari tanaman itu sendiri. Proses recovery pada tanaman tersebut dapat terjadi secara alami yang ditunjukkan adanya penurunan tingkat keparahan penyakit pada tanaman kontrol pada 8 MSI dan 9 MSI. Recovery yang terjadi mungkin disebabkan perubahan fisiologis selama perkembangan tanaman sebagai respon adanya gangguan dari patogen yang berimplikasi pada terhambatnya perkembangan geminivirus dalam sel tanaman. Hasil ini juga dapat menunjukkan bahwa proses recovery pada tanaman dipercepat melalui perlakuan bakteri yang diberikan.
26 Pengaruh Waktu Inokulasi terhadap Masa Inkubasi dan Perkembangan Keparahan Penyakit Perbedaan waktu inokulasi virus tidak menyebabkan perbedaan waktu munculnya gejala tanaman (masa inkubasi) secara nyata (Gambar 3). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam mengekspresikan gejala awal, geminivirus tidak bergantung pada waktu inokulasi oleh serangga vektor. Perlakuan waku inokulasi mungkin akan memberikan pengaruh jika waktu inokulasi dilakukan pada tanaman yang berumur lebih dari 6 MST. 12
Masa Inkubasi (hari)
a A
a A
a A
5
6
8
4
0 3
Waktu Inokulasi (MST)
Gambar 3 Pengaruh waktu inokulasi virus terhadap masa inkubasi penyakit Huruf kecil dan huruf kapital yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0,05 dan α = 0,01
Semakin tua umur tanaman saat terinfeksi oleh geminivirus maka tingkat keparahannya akan semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan pada tabel 7 dimana secara umum tingkat keparahan penyakit semakin menurun seiring dengan peningkatan taraf waktu inokulasi virus. Sejak 4 MSI tanaman dengan waktu inokulasi geminivirus pada 6 MST menunjukkan perbedaan nyata dibanding kedua taraf inokulasi lainnya. Perbedaan nyata pada tiap waktu inokulasi terjadi mulai 8 MSI, dimana keparah penyakitnya semakin rendah pada taraf waktu yang lebih lama.
27 Kejadian ini dapat disebabkan karena pada umur yang lebih tua saat inokulasi, tanaman telah membentuk senyawa-senyawa yang dapat menghambat infeksi patogen. Dapat pula disebabkan ketersediaan zat yang dibutuhkan oleh virus untuk berkembang dan mengekspresikan gejala lebih sedikit dibandingkan pada tanaman muda. Hasil ini menunjukkan terjadinya peningkatan ketahanan terhadap infeksi virus pada tanaman yang diinokulasi pada umur yang lebih tua. Tabel 7 Pengaruh waktu inokulasi virus terhadap keparahan penyakit Waktu Inokulasi (MST) 3
4 b) 5 6 7 8 47,57 aA 61,46 aA 68,75 aA 75,00 aA 75,00 aA
9 75,00 aA
5
43,40 aA 58,33 aA 68,05 aA 73,96 aA 68,75 bB
64,58 bB
6
36,46 bB 55,55 bA 57,29 bB 60,07 bB 58,33 cC
56,94 cC
Keparahan Penyakit pada t MSI (%) a)
a)
angka yang diikuti dengan huruf kecil dan huruf kapital yang sama dalam satu kolom berturut-turut tidak berbeda nyata pada α = 0,05 dan α = 0,01. b) keparahan penyakit pada 3 MSI memiliki komposisi beda nyata yang sama dengan pengamatan pada 4 MSI
Penurunan nilai keparahan penyakit pada minggu ke 8 dan 9 MSI menunjukkan adanya suatu proses penyembuhan (recovery) dari tanaman yang dapat terjadi secara alami atau karena ada rangsangan dari luar seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Namun demikian, secara umum proses recovery ini terjadi pada tanaman yang diinokulasi lebih akhir. Pada tanaman yang diinokulasi pada 3 MST cenderung tidak menunjukkan penurunan tingkat keparahan penyakit, hal ini mengindikasikan bahwa proses recovery akan terjadi jika tanaman terinfeksi tidak pada fase paling rentannya, dalam hal ini saat tanaman masih di pesemaian. Dengan demikian dapat diketahui bahwa waktu inokulasi lebih berperan dalam menekan tingkat keparahan penyakit dibandingkan dengan perlakuan bakteri yang diberikan.
28 Pengaruh Interaksi Perlakuan Bakteri dan Waktu Inokulasi terhadap Masa Inkubasi dan Tingkat Keparahan Penyakit Melalui analisis statistik, dapat terlihat bahwa interaksi antara waktu inokulasi virus dan strain bakteri yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang nyata dalam menghambat waktu pemunculan gejala awal penyakit kuning. Perlakuan bakteri yang diberikan tidak mempengaruhi lama terlihatnya ekspresi awal gejala baik dalam waktu inokulasi yang sama maupun antara waktu inokulasi yang berbeda (Gambar 4). Walaupun demikian, perlakuan bakteri pada tiap waktu inokulasi virus menunjukkan ekspresi gejala yang secara rata-rata lebih lambat dibanding pada tanaman kontrol. 12
Kontrol
BG25
Masa Inkubasi (hari)
a a a a
SB3
a
a a
a
PG01
a
a
a
ES32
a
a
Mix Campuran
a a
a
a
a
8
4
0
3
5
6
Waktu Inokulasi (MST)
Gambar 4 Pengaruh interaksi antara perlakuan bakteri dan waktu inokulasi virus terhadap masa inkubasi penyakit Kontrol = tanpa bakteri; BG25= B. polymixa BG25; SB3 = B. subtilis SB3; PG01 = P. fluorescens PG01; ES32 = P. fluorescens ES32
Tidak adanya pengaruh terhadap lama waktu inkubasi menunjukkan bahwa geminivirus mampu berkembang dengan baik pada kondisi tanaman yang telah diberi perlakuan bakteri. Kondisi ini dapat menyebabkan tanaman mengalami tingkat keparahan penyakit yang sama pada setiap taraf waktu inokulasi. Akan tetapi, tidak selamanya waktu inkubasi yang sama akan menunjukkan keparahan yang sama pula.
29 Tabel 8 Pengaruh interaksi perlakuan bakteri dan waktu inokulasi virus terhadap perkembangan keparahan penyakit Perlakuan 3 MST
Keparahan Penyakit pada t msi b)
a)
4 c)
5
6
7
8
9
c)
Kontrol
58.33 c
64.58 a
68.75 abc
75.00 c
75.00 c
75.00 c
BG25
52.08 bc
58.33 a
66.67 abc
75.00 c
75.00 c
75.00 c
SB3
47.92 abc
58.33 a
66.67 abc
72.92 c
75.00 c
75.00 c
PG01
45.83 abc
62.50 a
70.83 abc
72.92 c
75.00 c
75.00 c
ES32
37.50 ab
58.33 a
66.66 abc
75.00 c
75.00 c
75.00 c
Campuran
43.75 abc
66.67 a
68.75 abc
72.92 c
75.00 c
75.00 c
Kontrol
52.08 bc
64.58 a
72.92 bc
75.00 c
68.75 c
68.75 bc
BG25
35.42 ab
50.00 a
62.50 abc
75.00 c
70.83 c
64.58 abc
SB3
45.83 abc
60.42 a
70.83 abc
75.00 c
66.67 bc
62.49 abc
PG01
35.42 ab
56.25 a
66.67 abc
75.00 c
68.75 c
62.50 abc
ES32
43.75 abc
60.42 a
64.58 abc
75.00 c
70.83 c
68.75 bc
Campuran
47.92 abc
58.33 a
75.00 c
75.00 c
66.67 bc
60.41 ab
Kontrol
47.92 abc
64.58 a
66.67 abc
68.75 bc
68.75 c
58.33 ab
BG25
37.50 ab
56.25 a
56.25 ab
60.41 ab
56.25 ab
54.16 a
SB3
33.33 ab
50.00 a
54.16 a
56.25 a
58.33 abc
56.25 ab
PG01
35.42 ab
54.16 a
54.16 a
58.33 a
56.25 ab
58.33 ab
ES32
31.25 a
52.08 a
54.16 a
58.33 a
54.16 a
54.16 a
Campuran
33.33 ab
56.25 a
58.33 abc
58.33 a
56.25 ab
60.41 ab
5 MST
6 MST
a)
Kontrol = tanpa bakteri; BG25= B. polymixa BG25; SB3 = B. subtilis SB3; PG01 = P. fluorescens PG01; ES32 = P. fluorescens ES32. b) angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada α = 0,05. c) waktu inokulasi geminivirus pada tiap unit contoh perlakuan d) seluruh perlakuan pada pengamatan minggu ke-3 setelah inokulasi tidak berbeda nyata
Hubungan antara waktu inokulasi virus dan strain bakteri yang digunakan terhadap keparahan penyakit dapat dilihat pada Tabel 8. Secara umum terlihat bahwa dengan semakin lama tanaman mulai terinfeksi virus (taraf waktu inokulasi
30 semakin tinggi) maka tingkat keparahan penyakit pada tiap perlakuan akan semakin rendah. Pengamatan yang dilakukan sejak tanaman berusia 3 MSI hingga 9 MSI menunjukkan kecenderungan yang sama dimana terjadi penurunan tingkat serangan geminivirus, walaupun pada 7 MSI beberapa perlakuan bakteri menunjukkan keparahan yang lebih tinggi pada taraf waktu inokulasi 5 MST tetapi keparahannya kembali lebih rendah ketika memasuki 8 MSI. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan toleransi tanaman terhadap penyakit kuning jika infeksi terjadi pada usia tanaman yang lebih tua. Peningkatan toleransi tanaman pada waktu inokulasi virus yang lebih lama dapat terlihat pada 7 hingga 9 MSI dimana secara umum terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan pada taraf waktu inokulasi yang lebih rendah (3 MST) dan lebih tinggi (8 MST). Perbedaan nyata di 7 dan 8 MSI pada beberapa strain bakteri (tidak terjadi pada kontrol) dengan taraf waktu inokulasi 3 dan 6 MST menunjukkan bahwa perlakuan bakteri akan efektif menekan tingkat keparahan penyakit geminivirus dengan syarat tanaman tidak terinfeksi pada perkembangan awal tanaman (3 MSI) melainkan baru terinfeksi saat tanaman sudah dapat berkembang dengan baik (6 MST). Hasil penelitian ini tidak dapat menunjukkan adanya induksi ketahanan sistemik oleh bakteri terhadap adanya infeksi geminivirus. Tanaman kontrol pada taraf waktu inokulasi 5 dan 6 MST menunjukkan kemampuan penekanan tingkat keparahan penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa secara alami tanaman mampu meningkatkan
toleransinya
terhadap
infeksi
geminivirus
seiring
dengan
bertambahnya umur tanaman tersebut. Mekanisme yang terjadi tidak dapat dijelaskan secara pasti tetapi kemungkinannya adalah terjadinya perubahan fisiologis pada tanaman yang dalam perkembangannya dapat menghasilkan senyawa-senyawa yang mampu memberikan tekanan pada virus secara langsung ataupun tidak langsung sehingga mengurangi virulensi virus tersebut. Meskipun demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan bakteri mampu mempercepat perubahan fisiologis tersebut sehingga tanaman memasuki fase toleran lebih awal. Perlakuan bakteri juga mampu memperlambat perkembangan penyakit walaupun tidak dapat mencegah infeksi yang terjadi.
KESIMPULAN
Kesimpulan Aplikasi empat strain PGPR dengan waktu inokulasi yang berbeda tidak dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman secara nyata. Perlakuan bakteri kelompok Pseudomonas mampu memperlambat masa inkubasi penyakit tetapi pada taraf waktu inokulasi yang berbeda tidak menunjukkan hambatan terhadap pemunculan gejala awal. Keparahan penyakit berkorelasi negatif dengan taraf waktu inokulasi yang digunakan, semakin tinggi taraf waktu inokulasi semakin rendah tingkat keparahan penyakitnya. Taraf waktu inokulasi memiliki peran yang lebih tinggi dalam menekan keparahan penyakit. Pada taraf waktu yang lebih tinggi, perlakuan bakteri memperlihatkan kemampuan menekan keparahan penyakit lebih baik.
Saran Perlu dilakukan eksplorasi PGPR yang berasal dari pertanaman cabai pada daerah endemik geminivirus guna meningkatkan efektivitasnya terhadap penghambatan perkembangan penyakit. Penelitian dalam skala lapangan perlu dilakukan untuk mengetahui dinamika perkembangan penyakit secara lebih jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Edisi ke-4. San Diego: Academic Press. Ahmed NE, Kanan HO, Sugimoto Y, Ma YQ, Inanaga S. 2001. Effect of imidacloprid on incidence of tomato yellow leaf curl virus. Plant Dis. 85(1):84-87. [Anonim]. 2004. Penyakit kuning rusak tanaman cabai. Lampung post 5 Juli 2004:8(kolom 1-4). Bloemberg GV, Lugtenberg BJJ. 2001. Molecular basis of plant growthpromotion and biocontrol by rhizobacteria. Curr. Opin. Plant Biol. 4:343350. Brown JK. 2003. General information begomoviruses. Arizona Biological Science. http://gemini.biosci.arizona.edu/mini-blast.html [23 Mei 2005]. Brown JK, Bird J. 1992. Whitefly-transmitted geminiviruses and associated disorders in the Americas and the Caribbean Basin. Plant Dis. 76:220-225. Compant S, Duffy B, Nowak J, Clement C, Barka EA. 2005. Use of plant growth-promoting rhizobacteria for biocontrol of plant diseases: principles, mechanisms of action and future prospect. Applied and Environmental Microbiology 71(9): 4951-4959. De Meyer G, Hofte M. 1997. Salicylic acid produced by the rhizobacterium Pseudomonas aeruginosa 7NSK2 induced resistance to leaf infection by Botrytis cinerea on Bean. Phytopathology 87:588-593. Gray EJ, Smith DL. 2005. Intracellular and extracellular PGPR: commonalities and distinctions in the plant-bacterium signalling processes. Soil. Biol. Biochem. 37:395-412. Hadidi A, Khetarpal RK, Koganezawa H. 1998. Plant Virus Disease Control. USA: APS Press. Hull R. 2002. Matthew’s Plant Virology. Edisi ke-4. New York: Academic Press. Jamaliyah W. 2005. Ketahanan hidup dan kemampuan antagonisme Bacillus subtilis ERB21, dan Pseudomonas flourescens ES32 dalam berbagai formulasi [skripsi] Bogor: IPB. Fakultas Pertanian. Jetiyanon K, Fowler WD, Kloepper JW. 2003. Broad-spectrum protection against several pathogens by PGPR mixtures under field conditions in Thailand. Plant Dis. 87:1390-1394. Jetiyanon K, Kloepper JW. 2002. Mixtures of plant growth-promoting rhizobacteria for induction of systemic resistance against multiple plant diseases. Biol. Cont. 24:285-291.
33 Kloepper JW, Ryu CM, Zhang S. 2004. Induced systemic resistance and promotion of plant growth by Bacillus spp. Phytopathology 94:1259-1266. Liu L, Kloepper JW, Tuzun S. 1995. Induction of systemic resistance in cucumber against bacterial angular leaf spot by plant growth-promoting rhizobacteria. Phytopathology 85:843-847. Maurhofer M, Hase C, Meuwly P, Metraux JP, Defago G. 1994. Induction of systemic resistance of tobacco to tobacco necrosis virus by the rootcolonizing Pseudomonas fluorescens strain CHA0: influence of the gacA gene and pyoverdine production. Phytopathology 84:139-146. Murphy JF, Zehnder GW, Schuster DJ, Sikora EJ, Polston JE, Kloepper JW. 2000. Plant growth-promoting rhizobacterial mediated protection in tomato against tomato mottle virus. Plant Dis. 84:779-784. Nirajan Raj S, Chaluvaraju G, Amruthesh KN, Shetty HS, Reddy MS, Kloepper JW. 2003. Induction of growth promotion and resistance against downey mildew on pearl millet (Pennisetum glaucum) by Rhizobacteria. Plant Dis. 87:380-384. Nelson LM. 2004. Plant growth promoting rhizobacteria (PGPR): Prospects for New Inoculants. Crop Management. Oostendorp M, Sikora RA. 1990. In vitro interrelationship between rhizosphere bacteria and Heterodera schachtii. Rev. Nematol. 13(3):269-274. Pieterse CMJ, van Wees SCM, Hoffland E, van Pelt JA, van Loon LC. 1996. Systemic resistance in Arabidopsis induced by biocontrol bacteria is independent of salicylic acid accumulation and pathogenesis-related gene expression. Plant Cell. 8:1225-1237. Ramamoorthy V, Viswanathan R, Raguchander T, Prakasam V, Samiyappan R. 2001. Induction of systemic resistance by plant growth promoting rhizobacteria in crop plants against pests and diseases. Crop Prot. 20:1-11. Raupach GS, Kloepper JW. 1998. Mixture of plant growth-promoting rhizobacteria enhance biological control of multiple cucumber pathogens. Phytopathology 88:1158-1164. Raupach GS, Liu L, Murphy JF, Tuzun S, Kloepper JW. 1996. Induced systemic resistance in cucumber and tomato against cucumber mosaic cucumovirus using plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR). Plant Dis. 80:891-94. Rusli ES, Hidayat SH, Suseno R, Tjahjono B. 1999. Geminivirus pada cabai: variasi gejala dan studi cara penularan. Buletin HPT 2:26-31. Siddiqui IA, Shaukat SS. 2004. Systemic resistance in tomato induced by biocontrol bacteria against the root-knot nematode Meloidogyne javanica is independent of salicylic acid production. Phytopathology 152(1):48.
34 Smith IM. 2003. Data sheets on quarantine pests: Bemisia tabaci. EPPO Quarantine Pests. http://gemini.biosci.arizona.edu/links.html [30 Mei 2005]. Sukamto. 2005. Mengenali virus tanaman cabai. http://www.beritaiptek.com/. [13 Juli 2006]. Van Loon LC, Bakker PAHM, Pietersen CMJ. 1998. Systemic resistance induced by rhizosphere bacteria. Annu. Rev. Phytopathol. 36:453-83. Widodo 1993. Penggunaan Pseudomonas spp. kelompok fluorescens untuk pengendalian penyakit akar gada (Pseudomonas brassicae Wor) pada caisin (Brassica campestris L) var Chinensis (Rupr) Olson [tesis]. Bogor: IPB. Program Pasca Sarjana. Wirianti DA. 2005. Pengaruh penggunaan bakteri pemacu pertumbuhan tanaman dalam menekan populasi kutu kebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) pada tanaman cabai [skripsi]. Bogor: IPB. Fakultas Pertanian. Yan Z, Reddy MS, Ryu CM, McInroy JA, Wilson M, Kloepper JW. 2002. Induced systemic protection against tomato late blight elicited by plant growth-promoting rhizobacteria. Phytopathology 92:1329-1333. Zehnder GW, Yao C, Murphy JF, Sikora ER, Kloepper JW. 2000. Induction of resistance in tomato against cucumber mosaic cucumovirus by plant growthpromoting rhizobacteria. Biol. Cont. 45:127-137.
LAMPIRAN
36 Lampiran 1 Gambar gejala tanaman yang terinfeksi geminivirus dengan berbagai tingkat keparahan; (a) gejala dengan nilai skor 1; (b) gejala dengan nilai skor 2; (c) dan (d) gejala dengan nilai skor 3.
(a)
(b)
(c)
(d)
37 Lampiran 2 Tabel pengaruh perlakuan bakteri terhadap perkembangan tinggi tanaman cabai Tinggi Tanaman pada t MST b)
Perlakuana) 5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Kontrol
6,71abc
12,44a
16,47a
20,94a
27,09a
32,38a
35,97a
39,46a
45,26a
48,20ab
51,87ab
BG25
7,41a
11,46ab
15,90a
20,18a
27,20a
33,06a
38,39a
41,87a
46,19a
50,01ab
53,21ab
SB3
7,12abc
11,66ab
15,62a
19,75a
25,01a
29,60a
34,01a
38,35a
41,98a
48,17b
48,47b
PG01
7,15ab
12,49a
16,32a
20,82a
26,25a
31,07a
35,74a
39,52a
43,86a
45,84ab
53,55ab
ES32
6,24c
10,50b
14,79a
19,95a
26,16a
32,45a
37,57a
42,05a
47,30a
52,17a
57,27a
Campuran
6,46bc
12,17ab
16,07a
20,61a
27,13a
32,53a
36,96a
41,71a
45,80a
49,48ab
53,71ab
Lampiran 3 Tabel pengaruh waktu inokulasi terhadap perkembangan tinggi tanaman cabai Waktu Inokulasi (MST) 5 3 6,05b
14
15
12,08ab
16,98a
20,88a
25,77a
30,58b
34,46b
38,53b
43,22b
46,88b
51,31b
5
7,00a
11,12b
14,68b
19,72a
26,68a
33,39a
38,73a
43,27a
47,88a
51,49a
55,93a
6
7,49a
12,15a
15,92ab
20,53a
26,97a
31,57ab
36,14b
39,68b
44,09b
48,59ab
51,81b
Tinggi Tanaman pada t MST b) 6
7
8
9
10
11
12
13
a)
Kontrol = tanpa bakteri; BG25= B. polymixa BG25; SB3 = B. subtilis SB3; PG01 = P. fluorescens PG01; ES32 = P. fluorescens ES32 (lampiran 2) b) angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada α = 0,05.
37
38 Lampiran 4 Tabel pengaruh perlakuan bakteri terhadap masa inkubasi penyakit Perlakuan
Masa Inkubasi (hari) a)
Kontrol
8,14 b B
BG25
9,28 ab AB
SB3
9,30 a AB
PG01
9,69 a A
ES32
9,61 a A
Campuran
9,14 ab AB
a)
angka yang diikuti dengan huruf kecil dan huruf kapital yang sama dalam satu kolom berturut-turut tidak berbeda nyata pada α = 0,05 dan α = 0,01..
Lampiran 5 Tabel waktu inokulasi virus terhadap masa inkubasi penyakit Waktu Inokulasi (MST)
Masa Inkubasi (hari) a)
3
8,93a A
5
9,29a A
6
9,36a A
a)
angka yang diikuti dengan huruf kecil dan huruf kapital yang sama dalam satu kolom berturut-turut tidak berbeda nyata pada α = 0,05 dan α = 0,01..
39 Lampiran 6 Tabel pengaruh perlakuan bakteri dan waktu inokulasi terhadap masa inkubasi Perlakuan
a)
a)
Masa Inkubasi (hari) pada waktu inokulasi virus t MST b) 3
5
6
Kontrol
8,00 a
8,75 a
7,67 a
BG25
9,00 a
9,59 a
9,25 a
SB3
9,17 a
9,17 a
9,58 a
PG01
9,08 a
9,92 a
10,08 a
ES32
9,83 a
9,50 a
9,50 a
Campuran
8,49 a
8,84 a
10,08 a
Kontrol = tanpa bakteri; BG25= B. polymixa BG25; SB3 = B. subtilis SB3; PG01 = P. fluorescens PG01; ES32 = P. fluorescens ES32 b) angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada α = 0,05