JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 3 - Juli 2013
ISSN 2087-5622
PENGANTAR REDAKSI
H
ari Bhakti Adhyaksa (HBA) tahun 2013 ini mempunyai makna tersendiri bagi seluruh pegawai Kejaksaan dikarenakan Hari Bhakti Adhyaksa yang jatuh pada tanggal 22 Juli 2013 kali ini bertepatan dengan pelaksanaan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, bulan penuh berkah bagi umat muslim di seluruh dunia. Memaknai bulan suci yang penuh berkah ini, penerbitan Jurnal Bina Adhyaksa edisi bulan Juli 2013 juga dilandasi oleh keikhlasan untuk berbuat dan berupaya guna kesempurnaan yang diharapkan sebagai penerbitan yang terakreditasi. Dengan memahami dan mencermati kewenangan Kejaksaan yang demikian kompleks sebagaimana diuraikan secara gamblang melalui tulisan Kepala Badan Diklat Kejaksaan R.I. tentang Aktualisasi Penyelesaian Perkara Pidana di luar Pengadilan oleh Kejaksaan dan Satriyo Wibowo tentang Meningkatkan Kompetensi Jaksa Pengacara Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional (Studi Perbandingan Hukum Indonesia dan Hukum Singapura), betapa kompleks dan beragam tugas dan kewenangan Kejaksaan yang selama ini masih perlu untuk lebih diaktualisasikan. Penerbitan kali ini juga dilengkapi dengan tulisan Monang Siahaan tentang Tinjauan Hukum Penyitaan Barang Bukti di luar Kasus Simulator SIM Polri Tahun 2011 dan Kasus Kuota Daging Sapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Baringin Sianturi tentang Bagaimana Peradilan Menciptakan Hukum Dianutnya Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Amelya Gustina tentang Pentingnya Pemberantasan Illegal, Unreported dan Regulated (IUU) Fishing Guna Mendukung Pembangunan Wilayah Laut Berkelanjutan, dan diakhiri dengan hasil penelitian Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I. Tahun 2012, tentang Efektifitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum oleh Niniek Suparni, melalui hasil penelitian ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa rentut tetap diperlukan dalam rangka pengendalian penanganan perkara oleh pimpinan, dengan tetap memperhatikan norma yang berlaku dalam rangka penegakan hukum. Dengan dibarengi semangat peringatan Hari Bhakti Adhyaksa 2013, yang bertemakan “ Melalui Hari Bhakti Adhyaksa Tahun 2013, Mari Kita Terus Tingkatkan Integritas Moral Dalam Rangka Pemulihan Kepercayaan Masyarakat”, semoga penerbitan jurnal edisi bulan Juli ini tetap dapat memberikan semangat untuk optimalisasi pelaksanaan tugas-tugas Kejaksaan. Selamat Hari Bhakti Adhyaksa 2013.
JAYA SELALU KORPS ADHYAKSA REDAKSI
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 3 - Juli 2013
ISSN 2087-5622
Daftar Isi Kata Pengantar ...........................................................................................................................................
i
Daftar Isi ...........................................................................................................................................................
iii
Aktualisasi Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan oleh Kejaksaan Actualization Criminal settlement Out of Court by the Prosecution Office
179 - 186
Bambang Waluyo
Meningkatkan Kompentensi Jaksa Pengacara Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional (Studi Perbandingan Hukum Indonesia dan Singapura) .......................................................................................................................... 187 - 202 Improving the Competences of State Attorney of Indonesia in International Dispute Settlements (A Comparative Study of Indonesia and Singapore) Satriyo Wibowo
Tinjauan Hukum Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Tahun 2011 dan Kasus Kuota Daging Sapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ..................................................................................................................................... 203 - 225 Legal Review Seizure the Evidence Outside the Case of Simulator SIM Police in 2011 and the Case Quote of Beef by Commission Eradication Corruption (CEC) Monang Siahaan
Bagaimana Peradilan Menciptakan Hukum Dianutnya Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ........ 227 - 236 How the Court Creates the Implementation Against Materiel Law Principle in the Act of Corruption Eradication Baringin Sianturi
Pentingnya Pemberantasan Illegal, Unreported and Regulated (IUU) Fishing Guna Mendukung Pembangunan Wilayah Laut Berkelanjutan ............................ 237 - 248 (The Importance of Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing in supporting the Sustainable Development of the Sea) Amelya Gustina
Hasil Penelitian : Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Dalam Penegakan Hukum ...................................................................................... 249 - 273 Result Research : The Effective Prosecution Planning in General and Special Crime Cases for Law Enforcement Niniek Suparni
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 3 - Juli 2013
ISSN 2087-5622
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. Bambang Waluyo Aktualisasi Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan oleh Kejaksaan Jurnal Bina Adhyaksa Vol 3 No. 3 Juli 2013, Hal. 179 Abstrak Banyak ragam jenis dan lembaga penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan oleh Kejaksaan. Historis yuridis sudah ada yang tidak berlaku, dan ada yang sudah tidak relevan. Namun sebagian masih berlaku dan bahkan sangat relevan untuk diaktualisasikan. Dalam sejarahnya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan misalnya transactie, afkoop, submissie, compositie, schikking, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, restoratif justice, diversi dan penyampingan perkara demi kepentingan umum. Aktualisasi penerapan kewenangan ini bila dilakukan secara professional, obyektif, transparan, dan akuntabel akan membawa dampak positif bagi penegakan hukum dan kejaksaan. Dalam hal ini demi terwujudnya keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat. Restoratif justice merupakan model pendekatan yang tepat untuk pelaksanaan kewenangan tersebut. Kata kunci : aktualisasi, penyelesaian perkara pidana, di luar pengadilan
Satriyo Wibowo Meningkatkan Kompentensi Jaksa Pengacara Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional (Studi Perbandingan Hukum Indonesia dan Singapura) Jurnal Bina Adhyaksa Vol 3 No. 3 Juli 2013, Hal. 187 Abstrak Peranan Jaksa Pengacara Negara di Indonesia dalam mewakili kepentingan negara atau pemerintah dalam penyelesaian sengketa di forum internasional baik melalui litigasi maupun arbitrase selama ini terkesan belum dilaksanakan secara maksimal. Pemilihan Singapura sebagai perbandingan didasarkan pada pertimbangan bahwa peranan Attorney General’s Chambers yang sangat besar terhadap kemajuan dan perkembangan pelaksanaan penyelesaian sengketa
internasional yang menjadikan negara ini favorit untuk dipilih sebagai forum dalam penyelesaian sengketa oleh pihak asing. Dengan mempelajari sistem organisasi dan tata kerja Attorney General’s Chambers terutama di bidang yang membawahi Jaksa Pengacara Negara, termasuk pula berbagai upaya eksternal institusi ini untuk menarik perhatian para pihak asing agar memilih Singapura sebagai forum penyelesaian sengketa, maka diharapkan dapat memberikan pandangan bagi kemajuan kinerja Jaksa Pengacara Negara termasuk juga upaya Kejaksaan yang secara tidak langsung dapat menciptakan pandangan terhadap Indonesia sebagai negara yang konsisten dalam menerapkan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Kata kunci : peranan jaksa pengacara negara, penyelesaian sengketa internasional Monang Siahaan Tinjauan Hukum Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Tahun 2011 dan Kasus Kuota Daging Sapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jurnal Bina Adhyaksa Vol 3 No. 3 Juli 2013, Hal. 203 Abstrak Dalam Kasus Simulator Sim tahun 2011 dan kasus kuota daging,dimana Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan penyitaan harta Kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo,Lutfhi Hasan Ishaq, dan tersangka Ahmad Fathanah yang diperoleh sebelum kasus tersebut terjadi.Harta Kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko Susuilo yang diperoleh sebelum tahun 2011 telah disita lebih dari 20 unit dan dijadikan barang bukti dalam kasus Simulator SIM, demikian juga harta kekayaan tersangka Lutfhi Hasan Ishaq,dan tersangka Ahmad Fathanah berupa mobil dan rumah. Dalam Penyitaan barang bukti tersebut dimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan pembuktian terbalik. Penerapan Pembuktian terbalik menimbulkan beberapa masalah, antara lain : 1. Bertentangan dengan Asas Praduga tidak bersalah yaitu seseorang dinyatakan bersalah setelah perbuatannya dihukum hakim yang
2.
3.
4.
5.
sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti,sedangkan Pembuktian terbalik menerapkan asas menyalahkan diri sendiri (non self incriminationm). Bertentangan dengan sistim pembuktian wettelijk negatif stelsel yaitu minimal dua alat bukti dan hakim yakin,sedangkan pembuktian terbalik menganut pembuktian vrij stelsel yaitu hakim menjatuhkan hukum menguatkan keyakinan hakim ,dan hakim tidak terikat kepada alat bukti yang diakui negara,maka hakim sematamata menjatuhkan hukuman hanya berdasarkan keyakinan hakim sendiri tanpa ada alat buktinya. Bertentangan dengan pasal 66 KUHAP bahwa terdakwa tidak dibebani pembuktian,sedangkan pembuktian terbalik terdakwa membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah ,dan jika alasannya tidak dapat diterima hakim ,maka terdakwa dihukum. Bertentangan dengan Undang-undang nomor 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana pencucian Uang,dimana dalam Kasus pencucian uang harus ada kasus pokoknya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) hurup a. Korupsi, sedangkan pembuktian terbalik tidak ada kasus pokoknya Bertentangan dengan asas hukum pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan dalam arti hanya yang salah dihukum.
Akibat penerapan pembuktian terbalik. Dalam menerapkan pembuktian terbalik terutama yang dilandasi pasal 37 dan penjelasannya Undangundang Nomor 20 tahun 2001 yang secara tegas menyebutkan tidak menerapkan sitim pembuktian wettelijk negatief stelsel tetapi menerapkan asas menyalahkan diri sendiri (non self incriminatioan) yang searah dengan asas hukum yaitu tiada pidana tanpa kesalaahan dalam arti hanya yang bersalah yaang dapat dihukum.Bersarkan hal tersebut setiap pemilik mobil mewah atau rumah bagus yang tidak sesuai dengan penghasilannya dapat ditangkap penyidik Polisi,penyidik Kejaksaan,atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ,dan bila tidak bisa menjelaskan sumber uang untuk membeli mobil atau rumah atau barang lainnya,maka kasusnya dapat dilimpahkan ke Pengadilan untuk ,mendapat hukuman dari hakim,yang berakibat timbulnya rasa ketakutan bagi aparat Pemerintah maupun masyarakat yang memiliki harta kekayaan. Kata Kunci : penyitaan, barang bukti, komisi pemberantasan korupsi.
Baringin Sianturi Bagaimana Peradilan Menciptakan Hukum Dianutnya Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jurnal Bina Adhyaksa Vol 3 No. 3 Juli 2013,
Hal. 227
Abstrak Hukum Positif dalam bentuk peraturan perundangundangan tidak pernah mampu mengimbangi perkembangan kehidupan masyarakat, hal mana dipacu dengan perkembangan teknologi canggih dan ilmu pengetahuan yang sudah barang tentu semakin berkembangnya bentuk-bentuk kejahatan yang non konvensional. Sesuai dengan adagium yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dalam Pasal 10 ayat (1) nya mengatakan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dalam keadaan demikian maka peranan hakim sangat sentral untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) yang hidup di tengah-tengah masyarakat, sehingga hukum itu menjadi sarana pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering). Kata kunci : peradilan, menciptakan hukum, sifat melawan hukum materiil. Amelya Gustina Pentingnya Pemberantasan Illegal, Unreported and Regulated (IUU) Fishing Guna Mendukung Pembangunan Wilayah Laut Berkelanjutan Jurnal Bina Adhyaksa Vol 3 No. 3 Juli 2013,
Hal. 237
Abstrak Besarnya potensi kelautan Indonesia menjadi penting untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin guna kesejahteraan seluruh masyarakat. Akan tetapi kekayaan tersebut tidak hanya dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan, media rekreasi, ataupun sumber bagi peningkatan pemasukan bagi negara, tetapi disatu sisi harus juga memperhatikan keberlanjutan dari potensi tersebut. Hal ini menyangkut kekayaan hayati dari kegiatan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Permasalahan IUU fishing di perairan Indonesia tidak hanya mencakup pencurian ikan
(illegal fishing), tetapi juga masalah perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan perikanan yang tidak diatur (unregulated fishing). Tulisan ini memberikan perspektif dalam pemberantasan IUU fishing dan kendala nya. Pemberantasan IUU fishing mengalami kendala yang disebabkan oleh kurang memadainya instrumen hukum. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan tidak memuat pasal yang memberikan hak dalam proses pemeriksaan di laut kepada aparat penegak hukum. Kondisi ini semakin diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dan lambatnya penyelesaian kasus per kasus yang telah ditangani oleh Aparat Penegak Hukum mulai dari Penyidikan, Penuntutan dan Putusan Pengadilan. Dukungan sarana dan prasarana dalam melakukan pengawasan dan penegakkan hukum di laut juga sangat lemah, baik dari teknologinya maupun sumberdaya manusianya. Kompleksitanya permasalahan dan pemberantasan IUU fishing dapat diatasi dengan pendekatan hukum dan ekonomi. Kata Kunci: illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing, perlindungan kekayaan hayati.
Niniek Suparni Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus dalam Penegakan Hukum Jurnal Bina Adhyaksa Vol 3 No. 3 Juli 2013, Hal. 249 Abstrak Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas penuntutan, Jaksa Penuntut Umum menuangkan tuntutannya dalam bentuk rencana tuntutan yang biasa disingkat “rentut.” Dasar pemikiran adanya rentut adalah dalam rangka pengendalian perkara agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok pada perkara-perkara yang jenis tindak pidananya sama. Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan jaman. Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan, efektivitas, serta sikap Jaksa Penuntut Umum terhadap keberadaan “rentut.” Penelitian ini bersifat deskriptif dengan
tipe penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik non probability sampling jenis purposive sampling dan responden yang digunakan sebagai sampel adalah Jaksa dari 6 (enam) wilayah hukum Kejaksaan Tinggi (Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, DI Yogyakarta, Bengkulu, Sulawesi Utara, dan Papua), sebanyak 242 responden, sedangkan data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian adalah bahwa (1) dalam mengajukan “rentut” harus senantiasa memperhatikan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, karena pada hakikatnya tujuan dari penegakan hukum adalah untuk mewujudkan atau terciptanya keadilan dan ketertiban ditengah-tengah masyarakat; (2) “rentut” akan efektif bila dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tugas penuntutan. Perbedaan pendapat yang mungkin timbul dengan pejabat struktural, adalah merupakan dan menjadi bagian dari reformasi birokrasi dan komunikasi Kejaksaan RI, dapat dituangkan dalam Berita Acara pendapat dengan dilandasi fakta persidangan dan analisis yuridis; (3) Sikap para Jaksa terhadap keberadaan lembaga “rentut,” bahwa “rentut” masih diperlukan dalam rangka memberikan masukan kepada pimpinan sebagai fungsi kontrol para Jaksa. Kata Kunci : efektivitas, “rentut,” penegakan hukum.
JURNAL BINA ADHYAKSA Vol. 3 No. 3 - July 2013
ISSN 2087-5622
Keywords sourced from the article. This Abstract sheet may be copied without permission and fees.
Bambang Waluyo Actualization Criminal settlement Out of Court by the Prosecution Office Jurnal Bina Adhyaksa Vol 3 No. 3 July 2013,
Page 179
Abstract Many different institutions and types of criminal settlements out of court have been implemented by the Prosecution Office years ago, some were irrelevant and not implemented again and some of it are still relevant and valid, even need to be actualized. Historically, the Indonesian Prosecution Office have power to settle criminal case through out of court settlement such as transactie (transaction), afkoop, submissie, compositie, schikking, to stop the investigation and prosecution process, restorative justice, diversion, and waiver case in the public interest. Actualization of this authority professionally, objectively, transparent, and accountable will have a positive impact for law enforcement and the prosecution office, as well as the realization of justice, the certainty of law and the benefits to the community. Restorative justice is an appropriate approach model for the implementation of the authority. Keywords: actualization, criminal settlement, out of court. Satriyo Wibowo State Financial Iinvesment in Owned Enterprises State / Regional Viewed from the Perspective of Law Number 17 of 2003 Jurnal Bina Adhyaksa Vol 3 No. 3 July 2013,
Page 187
Abstract The role of state attorney to perform international dispute settlements either litigation or arbitration on behalf of the state or government interest may not be accomplished. Singapore is selected for comparative legal study based on the role of Attorney General’s Chambers which gives great influences in order to develop international dispute settlement. Those efforts has created great image for Singapore as the favorite country to settle international dispute.
By learning dispute resolution legal system, organisational structure for government lawyer and external attempts to attract international parties to choose Singapore as the best forum for dispute settlement, it is expected to give insight for state attorney development in Indonesia as well as create perspective for Indonesia as a friendly country to recognise and enforce international arbitral award. Keywords: role, state attorney, international dispute settlement Monang Siahaan Legal Review Seizure the Evidence Outside the Case of Simulator SIM Police in 2011 and the Case Quote of Beef by Commission Eradication Corruption (CEC) Jurnal Bina Adhyaksa Vol 3 No. 3 July 2013,
Page 203
Abstract In the case of driving license test simulator in 2011 and the case of beef import quota in 2013, the Corruption Eradication Commission (CEC) has confiscated the assets of suspect Irjen Pol. Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishaq, and Ahmad Fathanah which they got it before those cases happened. The CEC has confiscated more than 20 unit assets of suspect Irjen Pol Djoko Susilo, and the assets of Luthfi Hasan Ishaq and Ahmad Fathanah such as cars and houses, as evidence based on the reverse burden of proof principle. The application of this reverse burden of proof principle has raises some problems, such as : 1. Contrary to the presumption of innocence principle which someone will be declared as guilty by the judge decision in court, while the reverse burden of proof principle applies that someone should declared himself as not guilty (non self incrimination). 2. The reverse burden of proof principle implies vrij stelsel evidence that the judge in making dicision merely based on his faith without restricted by the legal evidence, contrary to the wettelijk negatif stelsel evidence system that has been applied in Indonesia for years with minimum two items of
evidence and the faith of the judge. 3. According to the Article 66 Criminal Proceeding Act (KUHAP) the duty to proof the crime and its evidences rely on the prosecutor not the defendant, while in the reverse burden of proof principle the defendant must prove that he is not guilty, and if the reason is not receive by the judge, the defendant will be punished. 4. According to Law No. 8 of 2010, Article 2 paragraph (1) letter a, Corruption, about the Prevention and Eradication of Money Laundering Act, which in money laundering case there should have principal case before process it, while in the reverse burden of proof principle they do not need to have principal case before. 5. The reverse burden of proof principle contradict to the Geen Straaf Zonder Schuld (no punishment without conviction) that means only the one who is guilty can be punish. The impact of application the reverse burden of proof principle. The reverse burden of proof principle particularly based on Article 37 and the explanation of the Act No. 20 of 2001 which clearly stated not to apply the wettelijk negatief stelsel system but using the principle that someone must prove himself that he is not guilty (non self incrimination). Based on this regulation, every owner of a luxury car or a huge house which do not fit to the real income could be captured and the asset will be seized by the police investigator, investigator from the prosecution office, or investigator from the corruption eradication commission, and if he could not explain its sources the process will be continue to the court in order to get the judge’s decision. This situation can be resulted by the emergence sense of fear of the government official and the people who have assets. Keywords: confiscate/seizure, evidence, corruption eradication commission (CEC),
Baringin Sianturi How the Court Creates the Implementation Against Materiel Law Principle in the Act of Corruption Eradication Jurnal Bina Adhyaksa Vol 3 No. 3 July 2013,
Page 227
Abstract Positive law in the form of legislation was never be able to keep pace with the development of society. The development of sophisticate technology and science, has influence the development of other forms of nonconventional crimes. Concordance to the adage adopted in Act No. 48 of 2009 Article 10 paragraph (1) concerning Judicial Power that stated: “The court was not allowed to refuse examining, hearing and deciding a case on the grounds that the law does not exist or is less obvious, but it was obliged to examine and to make judgement “. In such circumstances, the judge has central role to the discovery of the law (rechtsvinding) that lives in the society. So, the law to be a means of renewing society (law as a tool of social engineering). Keywords: court, creating the law, violence/breach the rechtmaterriel.
Amelya Gustina (The Importance of Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing in supporting the Sustainable Development of the Sea) Jurnal Bina Adhyaksa Vol 3 No. 3 July 2013,
Page 237
Abstract The vast Indonesian Marine potential is advantageous to use for the welfare of the whole community. However, these potentials are not only can be used as transportation means, recreational media, or as source to increase the country’s income, but should also consider the sustainability of these potentials that was endangered by Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing activities. This paper provides a perspective in eradicating Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing, and its barriers because of insufficient law relating with this matter. Act No. 31/2004 concerning Fisheries, does not give authority to the law enforcer to investigate and to examine suspect at sea (on shore). The condition is worsened by the lack of law enforcement
and the slow case resolution of law enforcement agencies, in all procedural levels, from investigation, prosecution and court decisions. Furthermore, insufficient of Infrastructure in monitoring and enforcing the law at sea, both technological and human resources increasing the IUU problems. All of these problems can be resolved through legal and economic approaches. Keywords: illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing, protection of biodiversity.
the performance duties of prosecution. Disagreement that may arises with structural is a part of the bureaucracy reform and the communication within the Indonesian Prosecutors. The disagreement could be mentioned in the Minutes of Opinion based on facts and analysis of court proceedings, (3) The Prosecutor’s attitude toward the existence of “rentut” agency is “rentut” still needed in order to provide input to the leaders as the control functions of the Prosecutors. Keywords: effectiveness, “rentut”, law enforcement.
Niniek Suparni Result Research : The Effective Prosecution Planning in General and Special Crime Cases for Law Enforcement Jurnal Bina Adhyaksa Vol 3 No. 3 July 2013,
Page 249
Abstract Act Number 16 Year 2004 regarding the Indonesian Prosecution Office, Article 2 paragraph (1), asserts that the Indonesian Prosecution Office is a government body implementing the state’s power in prosecution and other authority according to the law. In carrying out the duties of prosecution, public prosecutor plans the indictment and prosecution in the form of Indictment Planning (Rencana Penuntutan) commonly abbreviated as “rentut.” The basic rational for the “rentut” is in order to control the case in order to avoid huge disparity at the same cases. “Rentut” only applies to certain offenses or crimes established by the Attorney General Office that can be changed along with the changing times. The research was conducted to determine how the implementation and the effectiveness of “rentut”, and the Public Prosecutor’s attitudes towards the presence of “rentut”. This study is descriptive with the juridical normative and empirical type of research, sampling study using non-probability sampling technique of purposive sampling, and respondents used as samples are the Prosecutors from 6 (six) High/Provincial Prosecution Offices at South Sumatra, Central Kalimantan, Yogyakarta, Bengkulu, North Sulawesi, and Papua, amount 242 respondents, while the data were analyzed qualitatively. The results are that (1) to propose that “rentut” is determines according to the sense of justice that live and thrive in society, as the essential purpose of law enforcement is to achieve and promote justice and order in the society, (2) “rentut” will be effective when used as guidelines in
AKTUALISASI PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN OLEH KEJAKSAAN (ACTUALIZATION CRIMINAL SETTLEMENT OUT OF COURT BY THE PROSECUTION OFFICE) Bambang Waluyo Kepala Badan Diklat Kejaksaan Agung RI Jl. Sultan Hasanudin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email :
[email protected] (Diterima tanggal 3 Juni 2013, direvisi tanggal 17 Juni 2013, disetujui tanggal 21 Juni 2013) Abstrak Banyak ragam jenis dan lembaga penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan oleh Kejaksaan. Historis yuridis sudah ada yang tidak berlaku, dan ada yang sudah tidak relevan. Namun sebagian masih berlaku dan bahkan sangat relevan untuk diaktualisasikan. Dalam sejarahnya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan misalnya transactie, afkoop, submissie, compositie, schikking, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, restoratif justice, diversi dan penyampingan perkara demi kepentingan umum. Aktualisasi penerapan kewenangan ini bila dilakukan secara professional, obyektif, transparan, dan akuntabel akan membawa dampak positif bagi penegakan hukum dan kejaksaan. Dalam hal ini serta terwujudnya keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat. Restoratif justice merupakan model pendekatan yang tepat untuk pelaksanaan kewenangan tersebut. Kata kunci : aktualisasi, penyelesaian perkara pidana, di luar pengadilan Abstract Many different institutions and types of criminal settlements out of court have been implemented by the Prosecution Office years ago, some were irrelevant and not implemented again and some of it are still relevant and valid, even need to be actualized. Historically, the Indonesian Prosecution Office have power to settle criminal case through out of court settlement such as transactie (transaction), afkoop, submissie, compositie, schikking, to stop the investigation and prosecution process, restorative justice, diversion, and waiver case in the public interest. Actualization of this authority professionally, objectively, transparent, and accountable will have a positive impact for law enforcement and the prosecution office, as well as the realization of justice, the certainty of law and the benefits to the community. Restorative justice is an appropriate approach model for the implementation of the authority. Keywords: actualization, criminal settlement, out of court.
I. PENDAHULUAN Perkara pidana lahir karena ada tindak pidana yang ditangani oleh penegak hukum. Perkara pidana selalu muncul manakala ada proses pidana. Adapun tindak pidana atau kejahatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktifitas manusia baik aktifitas politik, sosial dan ekonomi, dapat menjadi kausa bagi terjadinya suatu kejahatan (tindak pidana). Jelas dirasakan bahwa kejahatan (tindak pidana) marak ada dan berada di segala lini kehidupan. Sering terjadi di lingkungan keluarga, kelompok, masyarakat, aparatur pemerintah, bangsa atau negara dan bahkan berdimensi internasional
(transnational crime). Sepanjang ada kehidupan dipastikan muncul kejahatan / tindak pidana dan untuk itu dapat terjadi perkara pidana. Pada masa kini masyarakat menaruh perhatian serius terhadap penegakan hukum khususnya proses peradilan. Oleh karena itu, masyarakat khususnya korban kejahatan senantiasa menyoroti sistem peradilan di negaranya, sebagaimana juga terjadi di Indonesia. Peradilan bukan saja terkait persidangan, putusan pengadilan, keadilan dan kepastian hukum, tetapi lebih luas lagi termasuk upaya-upaya penanggulangan kejahatan. Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan
Aktualisasi Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan oleh Kejaksaan - Bambang Waluyo
179
dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (di luar hukum pidana).1 Upaya penal atau melalui penerapan hukum pidana lebih menitikberatkan pada sifat “represif” (penindakan/penumpasan /pemberantasan) setelah kejahatan terjadi. Sebaliknya upaya non penal lebih mnitikberatkan pada sifat “preventif” (pencegahan / penangkalan / pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama upaya penal adala faktor-faktor kondusif pemicu terjadinya kejahatan. Menurut Sudarto, pembedaan jalur penal dan non penal merupakan pembedaan secara kasar, karena pada hakekatnya tindakan “represif” (penindakan) merupakan tindakan “preventif” (preventif) dalam arti luas. Sebalinya tindakan pencegahan (preventif) merupakan upaya pemberantasan kejahatan dalam arti luas.2 Bagi Mardjono Reksodiputro sistem peradilan pidana dianggap berhasil menjalankan tugas utamanya menanggulangi kejahatan, bila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke siding pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapat hukuman (pidana).3 Keberhasilan sistem peradilan pidana menghukum pelaku kejahatan akan membawa dampak ketentraman bagi masyarakat, sebaliknya kegagalannya dapat menggoyahkan kepercayaan masyarakat pada pelaksana sistem dan dapat mendorong pelaku kejahatan lebih berani melakukan perbuatannya. Adapun tujuan akhir dari sistem peradilan pidana ialah terwujudnya suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil, dan sejahtera (tata tentrem kerta raharja).4 Suatu peradilan pidana dianggap berhasil apabila aparatur penegak hukum mampu membawa pelaku kejahatan ke pengadilan untuk mendapatkan hukuman yang setimpal. Namun dalam kasus tertentu ternyata masyarakat seringkali mempersoalkan dan tidak puas atas upaya penuntutan yang dilakukan kejaksaan terhadap para pelaku tindak pidana. Beberapa kasus yang Barda Nawawi Arief, Upaya Non-Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bahan Seminar Kriminologi VI di Semarang tanggal 16 – 18 September 1991. Hal 2. 2 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hal 118. 3 Mardjono Reksodiputro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan), dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana.” Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994, hal 84. 4 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985, hal 19. 1
180 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
terjadi di masyarakat antara lain; kasus pencurian semangka yang dilakukan oleh Basar Suyanto dan Kholil warga Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kediri, Jawa Timur. Juga pencurian tiga biji buah kakao dari kebun milik PT. Rumpun Sari Antan 4 yang dilakukan nenek Minah warga desa Darma Kradenen Kecamatan Ajibarang Banyumas Jawa Tengah. Kemudian pencurian setandan pisang di Cilacap, kasus pemotongan pohon bambu di Desa Tampingan Kecamatan Tegal Rejo Kabupaten Magelang Jawa Tengah serta kasus-kasus lain yang menurut masyarakat tidak layak untuk diajukan ke Pengadilan. Kasus tersebut sempat mendapatkan sorotan masyarakat karena penuntutan atas kasus tersebut dinilai mengesampingkan nilai keadilan di masyarakat, dan dianggap berbanding terbalik dengan kasus para koruptor yang kurang tuntas penyelesaiannya, sehingga ada kesan bahwa terjadi tebang pilih dalam proses penegakan hukum. Selain itu, terdakwa sebelumnya juga sempat ditahan sehingga hal tersebut menderitakan yang bersangkutan dan sangat mengganggu perekonomian keluarganya. Seorang teoritisi menyatakan bahwa “terhadap rakyat kecil yang tidak berdaya, dengan gagahnya hukum ditegakkan, namun sebaliknya terhadap si kuat hukum enggan menunjukkan keampuhannya. “We don’t believe the paper rules, show me over the prison” kata orang Amerika.5 Dalam berbagai kasus di atas, pada intinya alasan masyarakat mempersoalkan upaya penuntutan yang dilakukan kejaksaan terhadap para pelaku kejahatan ialah bahwa penuntutan terhadap kasus-kasus semacam itu justru menimbulkan ketidakadilan dan ketidaktentraman serta dapat menggoyahkan rasa damai dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu muncul gagasan agar kasuskasus semacam itu dapat diselesaikan di luar pengadilan (out of court settlement). Memang kejaksaan secara teknis dapat menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan, seperti melalui SP3 dan SKP2. Akan tetapi akibat legalitas penuntutan maka perkara-perkara seperti di atas harus diajukan ke pengadilan. Untuk itulah perlu dibangun dan dikembangkan eksistensi dan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan oleh kejaksaan secara komprehensif dan akuntabel. Muhadar et. al., Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, Surabaya : Putra Media Nusantara, 2009, hal 256.
5
Pemikiran bahwa penyelesaian perkara pidana hanya dapat dilakukan melalui lembaga pengadilan dan teori pemidanaan retributif, ternyata banyak menimbulkan permasalahan dan dampak negatif. Untuk itu kiranya perlu perubahan pendekatan yaitu melalui penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dengan prinsip keadilan restoratif (restoratif justice).
KUHAP juga diatur penyelesaian perkara di luar pengadilan.7 Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, penyelesaian perkara di luar pengadilan merupakan hal yang biasa bagi mereka yang menggunakan optik sosiologi hukum dalam memandang hukum. Namun tidak demikian bagi mereka yang berfikir formal legalistik. Sebab kaum legalis lebih mengutamakan bentuk sedangkan sosiologi hukum melihat pada fungsi.8
II. PEMBAHASAN A. Eksistensi dan Fungsi
Dari kepustakaan yang ada disebutkan bahwa para legalis tidak selalu menolak proses penyelesaian perkara di luar pengadilan. Mereka juga mengakui adanya proses penyelesaian perkara, tanpa harus membawa kasus tersebut ke pengadilan. Hanya saja proses penyelesaian perkara di luar pengadilan juga harus ada dasar aturan tertulis dalam sebuah peraturan perundangundangan. Hal seperti ini, umumnya dianut negara-negara Eropa Kontinental dengan Civil Law system-nya, yang mengedepankan sistem hukum tertulis. Sistem penuntutan di Eropa Kontinental menganut sistem kebijaksanaan untuk tidak melakukan penuntutan terhadap suatu perkara pidana demi kepentingan umum atau yang dikenal dengan asas oportunitas.
Banyak ragam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan yang dapat dilakukan oleh Jaksa, penuntut umum dan kejaksaan. Dalam praktek sehari-hari yang lebih popular adalah penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Beberapa tahun lalu ada penyampingan perkara demi kepentingan umum dalam kasus Bibit Slamet Riyanto dan Chandra Hamzah oleh Jaksa Agung. Di luar itu secara yuridis historis dalam tindak pidana ekonomi Jaksa Agung mempunyai kewenangan schikking (denda damai) serta penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan untuk kepentingan pendapatan negara atas permintaan Menteri Keuangan. Sejatinya bukan itu saja, ada Afkoop (Pasal 82 KUHP) dan bahkan A.Z. Abidin menyatakan, “penyelesaian di luar pengadilan berupa “afkoop” dan “transactie” sebenarnya sudah lama dikenal di Eropa, termasuk Nederland. Dahulu kala penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan antara lain meliputi Submissie dan compositie. Dalam submissie, terdakwa bersama penuntut umum menghadap pengadilan, sedangkan compositie ditangani oleh penuntut umum (tanpa hakim) dengan terdakwa membayar sejumlah denda.6
Telah diketahui bahwa di luar asas oportunitas, dikenal pula penyelesaian perkara di luar pengadilan oleh Kejaksaan yang diatur undang-undang. Penyelesaian perkara pidana tersebut adalah penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Penghentian perkara pidana seperti ini dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu yang diatur dalam Undang-Undang (KUHAP). Asas oportunitas telah dianut oleh Kejaksaan Republik Indonesia sejak zaman dahulu. Azas ini mula-mula berlaku atas dasar hukum tidak tertulis dari Hukum Belanda dan sudah dipraktekkan jaksa di Indonesia dalam bentuk penghentian penuntutan perkara, sekalipun bukti dan saksinya cukup. Dalam bahasa ilmiahnya disebut “penghentian penuntutan karena alasan kebijakan (policy)” dan dalam bahasa sehari-harinya disebut
Berkaitan hal di atas, Andi Hamzah antara lain menyebutkan penyelesaian perkara di luar pengadilan dikenal, “Belanda; afdoening buiten proces; Inggris, transaction out of judiciary, ini mirip dengan restoratif justice tetapi restoratif justice itu bersifat perdata, perdamaian antara kedua pihak korban dan pelaku dengan ganti kerugian termasuk perkara berat. Di Arab bahkan sampai pada delik pembunuhan. Dalam rancangan
Andi Hamzah, Beberapa Hal Dalam Rancangan KUHAP, Jakarta, 2013. Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2010, Hal 3.
7
Abidin, A.Z., Bunga Rampai Hukum Pidana Bagian III, Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1983, Hal 83.
6
8
Aktualisasi Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan oleh Kejaksaan - Bambang Waluyo
181
“mengesampingkan perkara”.9 Selanjutnya RM Surachman menyatakan, untuk mencegah hal-hal negatif, misalnya komersialisasi jabatan dan kolusi, asas oportunitas tersebut, sejak tahun 1961 hanya diberikan kepada Jaksa Agung RI. Oleh karena itu, bila jaksa ingin mengenyampingkan perkara yang buktibukti dan saksinya cukup, ia harus memohon agar perkara tersebut dikesampingkan oleh Jaksa Agung.10 Rupa-rupanya dalam rancangan KUHAP kewenangan Jaksa menghentikan penuntutan karena alasan kebijakan tersebut diakomodir. Informasi ini sebagaimana tersurat dalam ketentuan Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3) RUU KUHAP Tahun 2010 dan tahun 2013 yang menyatakan : (2) Penuntut Umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat. (3) Kewenangan penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan jika : a. Tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan; b. Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. c. Tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda; d. Umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh puluh) tahun, dan/atau e. Kerugian sudah diganti. Pada ayat (4) RUU tersebut ada pembatasan yaitu ketentuan ayat (3) huruf d dan huruf e hanya berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Kemudian pada ayat (5) diatur kewajiban bagi penuntut umum yang menghentikan penuntutan wajib melapor kepada Kepala Kejaksaan Tinggi setempat melalui Kepala Kejaksaan Negeri setiap bulan. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 42 ayat (2) RUU KUHAP disebutkan bahwa : RM. Surachman, “Memahami Diskresi Jaksa di Berbagai Negara”, dalam: Mozaik Hukum I: 30 Bahasan Terpilih, Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Kejaksaan Agung RI, 1996, hal 73. 10 Ibid. 9
182 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
“kewenangan penuntut umum dalam ketentuan ayat ini disebut juga dengan asas oportunitas yaitu kewenangan untuk menuntut atau tidak menuntut perkara di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan ini dipertanggungjawabkan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi setiap bulan”. Mencermati rumusan RUU KUHAP tidak dibedakan antara penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dengan alasan teknis (SKP2) dan diluar alasan teknis misalnya oportunitas. Sebaiknya tetap diatur dan dibedakan penyelesaian perkara pidana tersebut dengan alasan teknis, diluar alasan teknis, atau dengan syarat maupun tanpa syarat. Hal ini untuk tetap menjaga profesionalitas, proporsionalitas, integritas, dan tertib administrasi perkara. Memang sudah waktunya untuk diaktualisasikan kewenangan kejaksaan yang demikian. Agar pelaksanaannya tidak disalahgunakan maka perlu rambu-rambu yang jelas dan pengaturan ketat, pengawasannya, sanksinya, dan juga perlu sosialisasi dan pelatihan-pelatihan. Bila demikian tidak kalah penting adalah pembinaan kode etik, profesi, dan pengawasan intern dan ekstern. Kewenangan diversi dan penerapan keadilan restoratif memang sebaiknya diberikan kepada jaksa di daerah agar upaya mewujudkan rasa keadilan masyarakat dapat tercapai. Sebagai penyandang dominus litis (pengendali) sangat layak kalau jaksa diberi kewenangan untuk menerapkan keadilan restoratif dan secara terbatas dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Sebab jaksa-lah yang diberi wewenang menentukan apakah suatu perkara dapat diajukan ke pengadilan. Sangat dirasakan akibat legalistik penuntutan oleh Kejaksaan maka banyak pelaku tindak pidana yang dijatuhi hukuman pidana. Akhir dari penjatuhan pidana adalah terpidana menjadi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Dampaknya Rumah Tahanan Negara (RUTAN) dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) menjadi penuh, yang melahirkan problem kompleks sehingga tujuan pemasyarakatan dan kemanfaatannya tidak dapat dirasakan masyarakat. Dalam hal ini Romli Atmasasmita antara lain berpendapat,
manfaat satu-satunya menempatkan orang di dalam penjara selama waktu yang cukup lama yang pasti pelaku kejahatan mengalami isolasi fisik dan mental dan bahkan mendekati “kematian perdata” seumur hidupnya; lebih buruk lagi berujung pada kematian. Negara tidak mengambil manfaat, bahkan pada kenyataannya menanggung beban ekonomi yang tinggi (high cost economy).11
Memang diversi dan keadilan restoratif telah diatur Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 untuk perkara pidana anak, tetapi model demikian dapat diterapkan pula untuk perkara pidana yang tersangkanya bukan anak. Memang dalam rancangan KUHAP telah diatur, tetapi bagaimana mekanisme penghentian penuntutan yang harus dilakukan belum jelas. Apakah semua perkara yang memenuhi kriteria Pasal 42 ayat (3) dan ayat (4) RUU KUHAP dapat dihentikan penuntutan? Bila penghentian penuntutan Pasal 140 ayat (2) KUHAP jelas syaratsyaratnya. Kemudian dalam RUU KUHAP apakah penghentian itu mutlak menjadi hak atau diskresi dari penuntut umum atau perlu melibatkan pihak-pihak lain, dan seterusnya.
Sehubungan itu Andi Hamzah mengatakan, di Nederland sekarang menurut Prof. Mr. Dr. Strijards tenaga ahli kejaksaan Nederland kepada delegasi Kejaksaan Agung yang mengadakan studi banding ke Den Haag tanggal 15 Juni 2010, perkara di Nederland yang diselesaikan di luar pengadilan mencapai 60 %, di Norwegia lebih tinggi lagi 74 %.”12 Data diatas menunjukkan persentasi penyelesaian perkara di luar pengadilan justru lebih besar. Diyakini bersama bila hal itu dilakukan kejaksaan RI dengan komitmen tinggi akan mendapat beberapa manfaat, antara lain :
Kiranya pendekatan keadilan restoratif dan sistem diversi yang diatur dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dapat dijadikan model atau acuan. Disebutkan dalam Pasal 1 butir 6 yang dimaksud Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Sedangkan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara (anak) dari proses peradilan pidana ke proses di luar pengadilan (vide Pasal 1 Butir 7). Tentunya ketika dijadikan model atau acuan untuk peradilan orang dewasa perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian.
1. Tercapainya tujuan penegakan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat. 2. Tercapainya cita-cita peradilan yang cepat, sederhana, murah efektif, dan efisien. 3. Penguatan institusi kejaksaan, aparaturnya, peran sertanya dan peningkatan kepercayaan publik. 4. Penghematan keuangan negara. 5. Over kapasitas RUTAN dan LAPAS dapat dikurangi atau dihindari. 6. Pengurangan penumpukan perkara di kejaksaan dan pengadilan.
Diantara latar belakang keluarnya restoratif justice yakni praktek penegakan hukum selama ini dirasakan kurang sesuai dengan rasa keadilan , masyarakat. Untuk itu Harifin A Tumpa menyatakan : kini telah berkembang wacana keadilan restoratif yang memperbaiki sistem peradilan pidana yang ada, karena semua tujuan pemidanaan hanya ditujukan pada pelaku pidana (teori retributif) maka pemidanaan diarahkan pada orientasi baru dimana penyelesaian perkara pidana diharapkan dapat menguntungkan semua pihak yang terkait perkara tersebut.13
7. Pemasukan kepada pendapatan keuangan negara, asset recovery, penyelamatan keuangan negara, dsb. B. Keadilan Restoratif Mengacu kepada ketentuan yang telah ada, sebenarnya model penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan seperti diatur Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dapat dijadikan model dalam perundangan lainnya. Romli Atmasasmita, Efektifitas Hukuman Badan (Penjara), Harian Seputar Indonesia, 14 Februari 2013. 12 Andi Hamzah, Loc Cit. 11
Harifin A. Tumpa, Sistem Peradilan Pidana di Negara Hukum Indonesia, Kumpulan Laporan Hasil Seminar Kejaksaan Agung RI. Jakarta : Puslitbang, 2011, hal 55.
13
Aktualisasi Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan oleh Kejaksaan - Bambang Waluyo
183
Pendekatan restoratif justice diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana saat ini, meskipun gerakan ini sudah dimulai tahun 1970 di Amerika Utara dan Eropa yang ditandai kehadiran Victim Offender Reconciliation Program di Ontario, kemudian Discovery di Indiana dan Inggris.14 Selanjutnya Marwan Effendy berpendapat, bahkan 21 abad yang lalu sejak Yesus atau Isa Almasih menyebarkan Kitab Perjanjian Baru (Injil) dan 14 abad lalu dengan kehadiran Islam, sudah diperkenalkan prinsip Restoratif justice yang masing-masing berupa prinsip “Cinta Kasih” dan “Qisos” yang diganti dengan “Diyat”, yaitu “mengampuni” dan “memaafkan”.15 Menurut Marlina, di Indonesia praktek restoratif justice ini juga telah dilakukan yang dikenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian dengan beberapa suku di Medan.16 Lebih lanjut Marlina menyatakan, praktek yang ada merupakan sebagian dari tradisi dalam masyarakat atau hasil penelitian dan perjalanan panjang dari contoh atau pilot project yang diambil sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan kasus pidana di luar pengadilan.17 Adapun Achmad Ali menyebutkan “salah satu implementasi dari restoratif justice adalah penyelesaian kasus rekonsiliasi yang telah diterapkan di Afrika Selatan dan diikuti sejumlah negara lain. Indonesia dan Timor Leste melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Xanana Gusmao (kemudian menjadi Perdana Menteri) dan Menlu Ramos Horta (kemudian menjadi Presiden) dan Dr. Hassan Wirayuda. Saya sendiri diangkat menjadi salah seorang dari komisioner yang mewakili Indonesia . KKP telah berhasil menuntaskan tugasnya pada Juli 2008.”18
Muladi, Makalah Restoratif justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, Seminar IKAHI, 25 April 2012, dalam pidato pengukuhan Marwan Effendy, Keadilan restoratif (Restoratif justice) Dalam Konteks Ultimum Remedium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sebagai Guru Besar Pada Universitas Sam Ratulangi Manado, 4 Oktober 2012, hal 18 – 19. 15 Marwan Effendy, Ibid. 16 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif justice, Jakarta : Refika Aditama, 2011. 17 Marlina, Ibid. 18 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan 14
184 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Dengan demikian nyatalah bahwa pendekatan penal, penggunaan hukum pidana, teori pemidanaan retributif banyak menimbulkan permasalahan. Pendekatan demikian sebaiknya ditempatkan sebagai upaya akhir atau sebagai ultimum remidium. Pendekatan restoratif justice justru dapat diterapkan dalam berbagai pelaku tindak pidana, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, narkotika, dan sebagainya. Fakta diatas juga sejalan dengan yang disampaikan oleh Aswanto antara lain bahwa perampasan aset tanpa pemidanaan (Non Conviction Based / NCB) berlandaskan Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC; “mewajibkan semua pihak negara untuk mempertimbangkan perampasan hasil tindak kejahatan tanpa pemidanaan sebagai alat untuk semua yurisdiksi dalam perang melawan korupsi.”19 Selaras dengan pentingnya pendekatan restoratif justice, Marwan Effendy berpendapat, “sebagai alternatif dari kebijakan represif, dan sejalan pula dengan prinsip fundamental dalam UNCAC tahun 2003 dan terakhir di Marrakech tahun 2011 yang tetap memprioritaskan upaya pengembalian uang negara yang dikorupsi (asset recovery) dan sebaliknya menempatkan penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remedium atau sebagai upaya terakhir (last resort) dengan mengedepankan pendekatan restoratif justice.20
III. PENUTUP Historis dan yuridis banyak pengaturan terkait kewenangan kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Ada yang sudah tidak berlaku dan tidak relevan, namun sebagian masih tetap berlaku dan bahkan menjadi sangat relevan untuk diaktualisasikan. Dengan kondisi yuridis, politis, ekonomis, sosiologis dan dinamika masyarakat ternyata lebih membawa pemanfaatan bagi masyarakat (Judicial Procedure) termasuk interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Volume I, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, Cet. Ke 4, 2012, hal 247. 19 Aswanto, Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan, Bahan Seminar, Jakarta, 9 Mei 2013. 20 Marwan Effendy, Keadilan Restoratif (Restoratif justice) Dalam Konteks Ultimum Remedium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Universitas Sam Ratulangi Manado.
bila perkara pidana tersebut tidak diselesaikan di pengadilan. Antara lain hal ini sejalan dengan pandangan dan pendekatan progresif , restoratif justice, dan sistem diversi. Konsekuensi logis dari aktualisasi dan penerapan kebijakan tersebutdiperlukan kondisi yang prima. Kondisi prima melingkupi secara institusional, kebijakan, personalia, koordinasi, sinergitas, dan sebagainya. Sebenarnya perwujudan kondisi demikian sudah dimulai antara lain dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. Dalam reformasi birokrasi tersebut menitikberatkan pada perubahan-perubahan umum (pola pikir, budaya kerja dan perilaku) serta khusus yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia (SDM). Image negative atas penyelesaian perkara di luar pengadilan oleh kejaksaan dapat ditangkal dengan semangat pengabdian berdasar Tri Krama Adhyaksa : 1. Satya; kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia. 2. Adhi; kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab, bertanggung jawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga dan terhadap sesama manusia. 3. Wicaksana; bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, A.Z. “Sejarah dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia” dalam: Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983; Aburaera, Sukarno. Kekuasaan Kehakiman Indonesia. Makassar : Asia Timur, 2012; Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Intepretasi UndangUndang (Legisprudence). Jakarta : Prenada Media Group, cet ke-4, 2012. Arif, Barda Nawawi. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. Semarang: CV. Ananta, 1994; -------. Upaya Non-Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bahan Seminar Kriminologi VI di Semarang tanggal 16-18 September 1981; Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Pres, 2005; Aswanto. Hukum dan Kekuasaan, Relasi Hukum, Politik dan Pemilu. Yogyakarta: Rangkang Education, 2012; Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana Media Group, 2010. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Cetakan keempat. Jakarta: Balai Pustaka, 2007; Durkheim, Emile. “Crime as a Normal Phenomenon”. Dalam: J. E. Sahetapy. Bacaan Kriminologi I. Surabaya: Pusat Studi Kriminologi Universitas Airlangga 1987; Effendy, Marwan. Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005; ----------. Keadilan Restoratif Dalam Konteks Ultimum Remedium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar UNSRAT Manado, 4 Oktober 2012. Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985; Hartono, Sunaryati. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991;
Aktualisasi Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan oleh Kejaksaan - Bambang Waluyo
185
Hoefnagels, G. Peter. The Other Side of Criminology. Holland: Kluwer Deventer, 1969; Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 2005; Kejaksaan Agung. Kumpulan Laporan Hasil Seminar. Jakarta : PUSLITBANG, 2011. Marlina. Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Jakarta: Refika Aditama, 2011. Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2004; Rahardjo, Satjipto Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010; -------. “Hukum Progresif: Hukum Yang Membebaskan”. Dalam: Jurnal Hukum Progresif. Vol.1, No.1 April 2005. Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang; -------. “Indonesia Membutuhkan Penegakan Hukum Progresif”. Dalam Harian Kompas, tanggal 15 Juli 2002; Reksodiputro, Mardjono. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan), dalam: Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994, hal. 84. Santoso, Topo. Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan. Depok: Pusat Studi Peradilan Pidana, 2000; Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981; Surachman, RM. “Memehami Diskresi Jaksa di Berbagai Negara. Dalam buku: Mozaik Hukum I: 30 Bahasan Terpilih. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Kejaksaan Agung RI, 1996; -------. “Karakteristik Jaksa Indonesia”. Dalam buku: Mozaik Hukum I. Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 1996; ------- dan Andi Hamzah. Jaksa di Berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya. Jakarta: Sinar Grafika, 1996; 186 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Zulva, Eva Achyani. Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus, Peringan dan Pemberat Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010.
IMPROVING THE COMPETENCES OF STATE ATTORNEY OF INDONESIA IN INTERNATIONAL DISPUTE SETTLEMENTS (A COMPARATIVE LEGAL STUDY OF INDONESIA AND SINGAPORE) Meningkatkan Kompentensi Jaksa Pengacara Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Internasional (Studi Perbandingan Hukum Indonesia dan Singapura) Satriyo Wibowo Bond University Australia, Email :
[email protected] (Diterima tanggal 5 Juni 2013, direvisi tanggal 18 Juni 2013, disetujui tanggal 24 Juni 2013) Abstrak Peranan Jaksa Pengacara Negara di Indonesia dalam mewakili kepentingan negara atau pemerintah dalam penyelesaian sengketa di forum internasional baik melalui litigasi maupun arbitrase selama ini terkesan belum dilaksanakan secara maksimal. Pemilihan Singapura sebagai perbandingan didasarkan pada pertimbangan bahwa peranan Attorney General’s Chambers yang sangat besar terhadap kemajuan dan perkembangan pelaksanaan penyelesaian sengketa internasional yang menjadikan negara ini favorit untuk dipilih sebagai forum dalam penyelesaian sengketa oleh pihak asing. Dengan mempelajari sistem organisasi dan tata kerja Attorney General’s Chambers terutama di bidang yang membawahi Jaksa Pengacara Negara, termasuk pula berbagai upaya eksternal institusi ini untuk menarik perhatian para pihak asing agar memilih Singapura sebagai forum penyelesaian sengketa, maka diharapkan dapat memberikan pandangan bagi kemajuan kinerja Jaksa Pengacara Negara termasuk juga upaya Kejaksaan yang secara tidak langsung dapat menciptakan pandangan terhadap Indonesia sebagai negara yang konsisten dalam menerapkan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Kata kunci: peranan jaksa pengacara negara, penyelesaian sengketa internasional Abstract The role of state attorney to perform international dispute settlements either litigation or arbitration on behalf of the state or government interest may not be accomplished. Singapore is selected for comparative legal study based on the role of Attorney General’s Chambers which gives great influences in order to develop international dispute settlement. Those efforts has created great image for Singapore as the favorite country to settle international dispute. By learning dispute resolution legal system, organisational structure for government lawyer and external attempts to attract international parties to choose Singapore as the best forum for dispute settlement, it is expected to give insight for state attorney development in Indonesia as well as create perspective for Indonesia as a friendly country to recognise and enforce international arbitral award. Keywords: role, state attorney, international dispute settlement
I. Introduction More states in Asia recently have embraced investment treaties and free trade agreements that contain investment protections. Those treaties commonly provide that disputes can be submitted to binding international arbitration in the event of disputes arising between the investor of one state party and the other state party. Mr. Steven Chong Sc, Attorney-General Of Singapore, said that the world’s first bilateral investment treaty, signed on 25 November 1959, was concluded between an Asian state, Pakistan, and Germany, and formed part of the process of reconstruction
in the aftermath of the Second World War.1 Since then, over 2,700 such treaties have been signed by at least 179 countries around the world. The reality is that investor state claims are going to become more prominent in the Asia Pacific region.2 Unfortunately, not all international investments could give prosperity to the host state. The Government of Indonesia has got an experience of losing in international arbitration case such as Karaha Bodas Company v. Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Steven Chong Sc, ‘Welcome Ceremony’, Singapore International Arbitration Academy, Singapore, 26 November 2012, Address. Ibid.
1
2
Improving the Competences of the State Attorney of Indonesia in International Dispute Settlements... - Satriyo Wibowo
187
Negara. Karaha Bodas Company (KBC) which is 81% controlled by Florida Light and Power (FLP) and New York-based Caithness Energy, has pursued Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) in courts in Switzerland, the US, Canada, Singapore and Hong Kong3. The aim is to regain its investment in the West Java geothermal project, which the government cancelled after Indonesia was plunged into chaos by the Asian financial crisis of 1997984. As Pertamina is an Indonesian state-owned oil and natural gas exploration company, the government should pay US$ 291 million to KBC.5 Therefore the government may loss the asset, pay compensation to the plaintiff or defendant as well as pay expensive international court fees. Reflecting on this case, actually the Government of Indonesia has right to order the state attorney by power of attorney to represent the government interest, besides hiring the professional lawyer. Government’s legal basis is Article 30 (2) Indonesian Public Prosecutor Service Law (2004) that provides authority for state attorney to perform litigation or alternative dispute resolution on behalf of the state or government. Furthermore The Regulation of the President of the Republic of Indonesia Number 38 Year 2010 concerning Public Prosecutor Service Organization states specific task for state attorney includes law enforcement, legal services, legal opinions and other legal measures for the state or government, government institution or agency, state-owned enterprises. It can be seen from this article that state attorney in Indonesia has wide authority in civil matters including international dispute settlement by arbitration and litigation.
this moment there are only limited numbers of international dispute settlement cases that are represented by State Attorney of Indonesia. Due to those facts, this essay will discuss the role of State Attorney of Indonesia in order to represent the State or Government’s interest as claimant and respondent in international arbitration forum as well as plaintiff or defendant in international litigation. In addition, this essay will also examine the solutions may be offered to improve the State Attorney of Indonesia performance in international arbitration and litigation forum. The Attorney General’s Chamber of Singapore approaches to settle international dispute are used as references for the last issue. It is based on Singapore grow as hub and venue for arbitration managed over the years by the various stakeholders in the development of the arbitration space, not only by Attorney General’s Chamber, but also the Ministry of Law, the Singapore International Arbitration Centre (SIAC), the Singapore Academy of Law, the Law Society and the Singapore Courts.6
II. Analize A. Types of International Dispute Settlements Managed by the State Attorney 1. Arbitration Black’s Law Dictionary defines arbitration as ‘[a] method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are usually agreed to by the disputing parties and whose decision is binding’.7 This definition has four main elements of arbitration as follows (Simon et al 2011):8
However, the task of State Attorney of Indonesia to perform international dispute settlement may not well known to the public because the government, government institution or agency, or state-owned enterprises do not really pay attention to take advantage of this service. Even though the State Attorney of Indonesia has experience winning Government of The Republic of Indonesia v. PT. Newmont Nusa Tenggara case which representing the Government as claimant in international arbitration forum in 2009, until Robert McKutchen, ‘Jakarta Retaliates in Karaha Bodas Case’ (2004) 5 Energy Compass 1, 1
. See also in Gary B. Born, International Arbitration Case and Materials (Wolters Kluwer, 2011) 542. 4 Ibid. 5 bid. 3
188 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
a. ‘a method of dispute resolution’ (arbitration is simply a procedure for resolving disputes); b. ‘involving one or more neutral third parties’ (the idea that all of the arbitrators be neutral, independent and impartial is an essential feature of arbitration); c. who are usually agreed to by the disputing parties (party consent is essential to all aspects of arbitration such as appointment Chong Sc, above n 1. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (Thomson West, 8th ed. 2004) 112. 8 Simon Greenberg, Christopher Kee and J. Romesh Weeramantry, International Commercial Arbitration An Asia-Pacific Perspective (Cambridge University Press, 2011) 2. 6 7
of the arbitrator or arbitral tribunal by agreement of the parties); d. ‘whose decision is binding’ (the binding nature of arbitral decision namely ‘awards’ has been facilitated by the law that including both laws and international treaties. The law provides a framework to ensure that arbitration agreements and arbitral awards are legally recognize and enforceable).
reason for choosing of arbitration because its advantages even some characteristics in formality are similar to litigation. 2. Litigation Litigation is the traditional form of dispute resolution, based on taking action through the courts. A judge sits and listens to argument on the interpretation of the relevant law as applied to the particular dispute and then makes a decision as to who wins and who loses. Unlike with many non-court dispute resolution methods, a judge normally has little flexibility to consider what might be ‘fair treatment’ between the parties.14
In terms of international dispute settlements, arbitration is classified into legal means of settlement group because it is employed with a binding decision usually on the basis of international law.9 The other group is diplomatic means which consist of negotiation, mediation, inquiry and conciliation because the parties retain control of dispute and may accept or reject a proposed settlement as they see fit.10
There are several differences between litigation and arbitration, including:15 a. International litigation takes place in a court that derives its competence from the application of sometimes clumsy international jurisdiction rules. In international arbitration, the seat or place of arbitration is chosen by the parties without the restrictions that can apply to the choice of a court in international litigation proceedings.
Arbitration is a formal process similar to litigation but where the hearing is in private in front of a nominated third party, the arbitrator, who makes a binding decision. The arbitrator is not a court judge but rather an industryspecific expert or otherwise a well-qualified individual who both parties agree is suitable for resolving their dispute.11
b. In litigation, a judge is assigned to the case by the court so the parties cannot select the judge who will determine their dispute. By contrast, in arbitration the parties are free to choose the arbitrator(s) with desired skills or characteristic such as people with the appropriate expertise or cultural neutrality.
Sourdin (2005) states that one of the most commonly cited advantages of arbitration is that the parties have greater freedom to mould the procedure to suit their particular disputes and needs. In some circumstances, an arbitrator can adopt inquisitorial processes, arbitrate without pleadings, or on documents alone without hearing.12 It is about a faster and less expensive way to resolve a dispute. According to Blackford (1997), the more important advantage of arbitration is private which means only the parties and the arbitration institution are aware of the existence of the dispute.13 These speed and privacy processes are important when making business relationship. This is the main J.G. Merrills, International Dispute Settlement (Cambridge University Press, 4th ed, 2005) 91. Ibid. 11 Chartered Institute of Arbitrators, Arbitration (28 March 2009) . 12 Tania Sourdin, Alternative Dispute Resolution (Lawbook Co, 2nd ed, 2005) 37. 13 Jason C Blackford, ‘An Introduction To International Arbitration’ [1997] 43[4] Practical Lawyer 79, 80 .
c. In litigation the procedure is fixed by the rules of particular court. In arbitration the parties have enormous flexibility to choose the kind of procedure that they wish to adopt for their arbitration. d. In litigation the proceedings are usually open to the public. In arbitration the confidentiality is important for business dispute, however, the confidential nature of arbitration is reduced when support for court is needed to enforce arbitral awards.
9
10
e. In litigation the party usually has one or more levels of appeal from the initial Chartered Institute of Arbitrators, Litigation (28 March 2009) . Greenberg, above n 8, 18-19.
14
15
Improving the Competences of the State Attorney of Indonesia in International Dispute Settlements... - Satriyo Wibowo
189
judgment if a party wishes to challenge that judgement. International arbitral awards are, with a few exceptions, final.
tolerate unfamiliar methods due to certain fundamental differences between legal systems or even be caught in judicial conflict.
f. Enforcing a foreign arbitral award is generally much easier than enforcing a foreign court judgment by character of the New York Convention.
c. Which rule will apply to the substance of the dispute? This problem may occur when national courts have to select the applicable law and possibly have to apply foreign laws.
Even though the parties face the challenges in seeking recognition and enforcement of arbitral awards, the international arbitration regime continues to be particularly attractive to parties from different nationalities and who may have concerns of anticipated bias in litigating deals with the domestic courts. Arbitration often provides for a convenient neutral alternative and is complemented by the New York Convention in allowing parties to enforce their awards basically across the globe. On the other hand, litigation in the domestic courts of one of the parties, gives rise to even more severe cross-border enforcement issues. Parties seeking the enforcement of foreign court judgments face more barriers because of lack of reciprocal arrangements or treaties between most foreign countries. In practice of any cross border litigation several legal systems are involved a number of specific legal complexities that increase the uncertainty and transaction costs associated with litigation such as delays or disruptions.
d. Which effect will its judgments have abroad? A judgment may not be of much worth outside the jurisdiction where it was obtained. Those inevitable uncertainties make the deficiencies of litigating international disputes in national court. As a result, it has been the major factor for the rise of arbitration to being the ‘preferred’ means of dispute resolution especially for international business.17 Nevertheless, sometimes litigation can be preferable in some particular conditions such as: a. Where the enforcement of judgments abroad is either unnecessary (because the defendant has sufficient assets in the jurisdiction of the court that decided the case).18 b. In certain standard types of cases accelerated procedures like summary or documents only proceedings may offer a more efficient form of dispute resolution particularly dispute in the banking field.19
Bühring-Uhle (2006) argues that there are four legal issues of litigating international disputes in national court as follows:16 a. Which court has jurisdiction over the dispute? It may already be difficult to find an appropriate forum, if the court of several countries claim jurisdiction over the same disputes, at the same time litigations in several jurisdiction can occur, so then litigants will have to defend themselves in two or more courts at the same time and may get caught in the battle of conflicting anti-suit injections, if the jurisdictional conflict is not resolved, courts may issue conflicting judgments in the same matter. b. How will it conduct the procedure? During the procedure, litigants will be concerned with the neutrality of the court, Christian Bühring-Uhle, Arbitration and Mediation in International Business (Kluwer Law International, 2nd ed, 2006) 12, 27.
16
190 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
c. In some jurisdictions arbitration agreements are interpreted to inhibit interim measures of protection by the courts.20
d. Litigation may be the only solution where the assets of the defendant are located in a country where does not enforce foreign arbitral award.21
Ibid. Ibid 68. William W. Park, ‘When the Borrower and the Banker are at Odds: The interaction of Judge and Arbitrator in Trans-Border Finance’, [1991] 65 Tul. L. Rev. 1323, 1324-1325 in Christian Bühring-Uhle, Arbitration and Mediation in International Business (Kluwer Law International, 2nd ed, 2006) 68. 20 Otto Sandrock, ‘Internationale Kredite und die Internationale Schiedsgerichtsbarkeit’, [1994] WM Zeitschrift für Wirtschafts und Bankrecht 405, 447 in Christian Bühring-Uhle, Arbitration and Mediation in International Business (Kluwer Law International, 2nd ed, 2006) 68. 21 Bühring-Uhle, above n 14, 68. 17 18 19
B. Task and Authority of the State Attorney in International Arbitration and Litigation Forum Indonesia ratified the Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards in 1981. The instrument giving effect of the Convention in Indonesia is the Presidential Decree Number 34 of 1981. However, the Presidential Decree is silent on which court or institution entitled to handle the issue of the execution of the international arbitration award in Indonesia22. Moreover, there was a controversy as to whether the Presidential Decree needs implementing legislation to enable the international treaty (Convention) be implemented in Indonesia23. To answer those two questions, the Supreme Court issued the Supreme Court Regulation Number 1 Year 1990 concerning the Enforcement of Foreign Arbitral Awards on March 1 of 1990. The Regulation ends the controversies by appointing the District Court of Central Jakarta as the sole district court entitled to handle the request for the execution of international arbitration awards in Indonesia24. This Regulation also provides a greater detail the procedure or requirements for the execution the award. Furthermore, the Indonesian government enacted the Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution (Indonesian Arbitration Law). The Law contains the substantive provisions concerning arbitration and alternative dispute resolution.
The amending Act now allows the Singapore courts to grant interim orders (such as disclosure and the freezing of assets) in arbitrations outside Singapore28. Authorised by national law, both Attorney General of Indonesia and Attorney General of Singapore have some tasks and authorities in international dispute settlements through arbitration and litigation. 1. Indonesia Article 2 (1) Indonesian Public Prosecutor Service Law (2004) states that the Public Prosecutor Service of Indonesia is a government institution for exercising the power of the state in prosecutorial field and activities in condition to the law. Therefore, Public Prosecutor Service has obtained the principal position in law enforcement such as to control the processing of a case, determine whether a case should proceed to court based on legitimate evidence as defined in the Criminal Procedures Code and responsible for the implementation of judicial award. The Public Prosecutor Service is led by Attorney General who has responsibility to advise the Government about law problems. The Attorney General is also a Solicitor General who can represent the Government in the court.29 Moreover, the duties and powers of Indonesian Public Prosecutor Service are ruled by Article 30 Indonesian Public Prosecutor Service Law (2004) that consists of three main areas:30
Unlike Indonesia which has one regime for arbitration of domestic and international under the Indonesian Arbitration Law, Singapore makes distinction among them which are the Arbitration Act (Cap 10) for domestic arbitration and the International Arbitration Act (Cap 143A) (‘IAA’) for international one25. Previously, the IAA came into force on 27 January 1995 which adopting the Model Law and the New York Convention26. In January 2010 Singapore’s International Arbitration (Amendment) Act 2009 came into force, implementing many of the amendments to the Model Law made by UNCITRAL in 200627. Huala Adolf, ‘Improving the Encorcement of International Arbitral Awards in ASEAN Countries’, Indonesia Arbitration – BANI Arbitration Center Quaterly Newsletter (2009) 7. 23 Ibid. 24 Ibid. 25 Lawrence Boo, ‘Arbitration’ (2009) 10 Singapore Academy of Law Annual Review of Singapore Cases 53, 53. 26 Gordon Smith and Andrew Cook, ‘International Commercial Arbitration in Asia-Pasific: A Comparison of the Australian and Singapore Systems’ (2011) 77(1) Chartered Institute of Arbitrator 108, 112. 27 Ibid.
a. Criminal Matters: • Conducting prosecutions; • Enforcing judicial orders and award that has been final and legally binding; • Conducting supervision of those serving conditional sentence, placed under supervision orders, or released on parole; • Investigating certain types of suspected crime as stipulated by law;
22
Ibid. Kejaksaan Republik Indonesia, History Pre Reformation Era (2009) . 30 Kejaksaan Republik Indonesia, Duties and Powers (2009) . 28 29
Improving the Competences of the State Attorney of Indonesia in International Dispute Settlements... - Satriyo Wibowo
191
• Completing certain types of case files, and for such purposes, to conduct additional investigations prior to the forwarding of such files to the court, which investigations in practice are to be carried out in condition with the investigators. b. Civil and Administrative Matters: The Attorney General based on special authority, may act both litigation and nonlitigation for and on behalf of the State or Government. c. Public Order and Security Matters: • Working to improve the public’s awareness of the law; • Upholding law enforcement policies; • Oversight in respect of the circulation of printed materials; • Oversight in respect of religious beliefs that could endanger society and the state; • Preventing the misuse and/or religious abuse; • Conducting legal research and development, and compiling crime statistics. The Attorney General discharges those duties and powers through six divisions (Development, Intelligence, General Crimes, Special Crimes, Civil and Administrative Affairs, and General Supervision) with the support of Education and Training Agency, Research and Development Center, Law Information Center, Criminal Statistic Data and Technology Information Center.31 It can be seen from the duties and powers in Civil and Administrative matters that State Attorney is responsible for dispute resolution including arbitration and litigation represents the State and Government. Moreover, the Regulation of Attorney General of the Republic of Indonesia Number: 040/A/ JA/12/2010 gives more description about the duties and powers of State Attorney in Civil and Administrative matters as follows:32 My translation: Kejaksaan Republik Indonesia, Struktur Organisasi (2009) . My translation: Persatuan Jaksa Indonesia, Tentang Jaksa selaku Jaksa
31
32
192 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
a. Legal Assistance Representing the state, government institution at the central and district authorities, state owned enterprises, regional owned enterprises based on special power of attorney either as plaintiff or defendant. b. Legal Opinions Giving legal opinions or assistance at the request of the government agency or institution at the central and district authorities based on written order of Deputy Attorney for Civil and Administrative Affairs. c. Legal services Providing information deals with civil and administrative matters at the request of the public. d. Law enforcement Filing a lawsuit with the court associated for civil law affairs as established by the laws and regulations in order to maintain law and order, protect the interests of state and government as well as public civil rights communities. Basically the duties and powers of law enforcement can be classified into two main areas, includes: 1) Ruled by Civil Code, for instance: • Pleading in the court that a father
or mother are discharged from parental authority. • Filing a lawsuit with the court for dismissing a guardianship for minor. • Pleading in the court to promote the successor heritage supervisor if the previous one passed away. 2) Ruled by Specific Law, for instance: • Dissolving a marriage performed
by unauthorized Civil Record. • Filing for bankruptcy of private legal entity in the court. e. Other legal measures
Having a role as mediator or facilitator based on the request of either a party or both Pengacara Negara .
parties which are government institution at the central and district authorities, state owned enterprises or regional owned enterprises.
international arbitration under UNCITRAL rules in Geneva Switzerland39. An award on 31 March 2009 held that the contract could not be terminated, but agreed that Indonesia had the power to pick the buyer, ordered PTNNT to sell the 17 percent stake within 180 days, and awarded costs to Indonesia.40
In international arbitration, the case that State Attorney of Indonesia represents the Government as claimant is Government of The Republic of Indonesia v. PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT). The Newmont Mining Corporation of the United States, as a foreign shareholder in PTNNT, together with Nusa Tenggara Mining Corporation, an affiliate of Sumitomo Corporation of Japan, is required under the Contract of Work with the Government of the Republic of Indonesia to sell down a portion of its interest in PTNNT33. Indonesia sought the power to terminate the $6 billion Batu Hijau gold and copper mining concession operated on the island of Sumbawa by PTNNT, unless Newmont divested 17 percent of its stake to a local buyer of the government’s choice34.
The other cases which represented by State Attorney as respondent for the Government of Indonesia are Hesham T. M. Al Warraq v. Republic of Indonesia and Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/11/13). Both Saudi Arabian national Al Warraq and British citizen Rizvi are having relationship deals with corruption case at Bank Century Indonesia. Bank Century was an Indonesian Bank which was declared by the Bank of Indonesia as a failed bank with systemic effect in 2008. The cases began with a series of illicit transactions at Bank Century investigated by the Indonesian Corruption Eradication Commission that have caused the bank’s collapse. The Government later took over the bank after intervening with a Rp 6.7 trillion ($723.6 million) bailout. The bank was later renamed Bank Mutiara.41
PTNNT and other foreign mining companies in Indonesia are required to divest up to 51 percent of their shares to local parties after five years of commercial production35. However, in this case PTNNT is allowed to only sell 31 percent of the mandatory divestment requirement because its local partner already holds 20 percent of its stake36. According to Newmont’s contract of works, a 3 percent stake should be divested in 2006, 7 percent in 2007 and another 7 percent per year in the next three years until 201037. Newmont offered the 3 percent stake for $106 million and the next 7 percent for $282 million.38
Meanwhile the assets include Rp 3.5 trillion ($392 million) that was moved to Hong Kong by Bank Century’s fugitive former co-owners Al Warraq and Rizvi before the government bailed out the bank in 2008. Al Warraq and Rizvi were convicted in absentia for corruption and money laundering, as required to bring the frozen assets back to Indonesia by the Central Jakarta District Court in relation to the bail-out of Bank Century 42 . However, Al Warraq, by UNCITRAL arbitral tribunal, claims his rights under the Organisation of Islamic Cooperation (OIC) Investment Agreement were breached when the government nationalised Bank Century in November 2008. His associate, Rizvi, was bringing a parallel compensation claim
Furthermore, the dispute over the pricing of the shares as well as the potential buyers appointed by the government to buy them, led both parties to finally agree that they would settle their differences through ad hoc Newmont, Press Release International Arbitration Decision Issued Regarding Divestiture of Batu Hijau in Indonesia, Contract of Work Remains in Effect (31 March 2009) . 34 Law.Com, Arbitration Scorecard: Contracts (1 July 2009) . 35 Article 24 (4) Contract of Work Between The Government of Republic of Indonesia and PT. Newmont Nusa Tenggara on 2 December 1986 states that after the end of fourth full calendar year of the Operating Period, PTNNT shall offer the number of shares to the Government or Indonesian nationals or Indonesian companies controlled by Indonesian nationals at least 51% by the end of the tenth year. 36 The Jakarta Post, Indonesia Wins Arbitration Verdict Against Newmont (1 April 2009) . 37 Article 24 (4), above n 35. 38 The Jakarta Post, above n 36. 33
Ibid. Indonesia Investment Coordinating Board, ‘UNCITRAL Arbitration Case The Government of The Republic of Indonesia vs PT Newmont Nusa Tenggara Final Award’ . 41 The Jakarta Globe, New Criminal Cases Announced as Bank Century Comes to Life (8 June 2012) . 42 Ibid. See also Narendra Adiyasa and Charles Ball, ‘Indonesia’ in Michael J. Moser and John Choong (eds) Asia Arbitration Handbook (Oxford University Press, 2011) 840. 39 40
Improving the Competences of the State Attorney of Indonesia in International Dispute Settlements... - Satriyo Wibowo
193
against Indonesia at the International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) under the UK-Indonesian Bilateral Investment Treaty.43
later issued a verdict in favor of the bank. The court also asked the Government of Indonesia to prove its allegations about the money’s origins48. The battle then entered a second round after Tommy won an appeal and in January 2009 the Guernsey court decided to lift the freeze on the funds because the State Prosecutor of Indonesia had failed to provide any evidence that Tommy was involved in corruption49. The Government of Indonesia then appealed to the Royal Court in London, hoping that body would see the case differently. However, the council supported the lower court’s verdict.50 Until FIS finally also filled for freezing to the Court of Appeal, but it refused51.
Both cases are still on progress until this moment. In the Al Warraq case, Indonesia argued that Article 17 of the OIC Agreement only provided for a state-to-state arbitration mechanism. The Tribunal rejected this interpretation, finding that it also permitted investor-state arbitration. Altough the Tribunal recognised that the OIC Agreement provides for the establishment of an organ for settlement of any investment disputes arising under this agreement, they observed that since no such organ had yet been established, ad hoc arbitration remained available in the interim. The Award enables Al Warraq to proceed with his claim, which stems from the nationalisation of his stake in an Indonesian Bank.44 Meanwhile, in the Rizvi case, the status of proceeding is the Tribunal holds a hearing on jurisdiction in Singapore in January 2013.45 The international litigation case involving State Attorney of Indonesia represent the State as plaintiff is Garnet Invs. Ltd. v. BNP Paribas (Suisse) S.A. and the Government of the Republic of Indonesia. Tommy Soeharto’s company, Garnet Investment Limited, was caught in a dispute with the Indonesian government at the Guernsey court over funds amount $50,467,600 (€37 million) that he allegedly collected through corrupt practices.46 The case began in 2002 when the Guernsey Financial Intelligence Service (FIS) froze Tommy’s account at Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas on Guernsey Island and the Government of Indonesia was informed and given opportunity to join the proceedings between the Bank and Garnet Investments47. Disappointed with the decision, Tommy took the case to the island’s district court, which Lawyer Monthly, Arbitration Tribunal Ruling Makes History (9 August 2012) . 44 Allen and Overy, Middle Eastern Investment Treaties May Provide Unrealised Protections for Investors (30 October 2012) . 45 Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/11/13). 46 Stolen Asset Recovery Initiatives, Tommy Suharto (also known as Hutomo Mandala Putra) (2013) . 47 Garnet Invs. Ltd. v. BNP Paribas (Suisse) S.A. and the Government of the Republic of Indonesia [2007-08] GLR 73, 78.
As can be seen from those cases, the roles of the State Attorney in order to represent the State or Government either as claimant in international arbitration or plaintiff in international litigation are to claim the State’s assets or recover the State’s assets that had been stolen from corruption cases. Meanwhile, the role of the State Attorney as respondent in international arbitration is challenging the parties who tend to get unfair treatment by the Government of Republic of Indonesia. 2. Singapore The Attorney General’s Chambers of Singapore is led by the Attorney General who works closely with the Solicitor General. As principal legal adviser to the Government, the Attorney General plays an important role in supporting the rule of law in Singapore, and contributes to build a democratic society based on the fundamental ideals of justice and equality. The Attorney General performs the following key functions:52 a. Legal adviser to the Government This duty is stated in Article 35(7) of the Constitution of Singapore that the Attorney General advises the Government upon such legal matters and performs such
43
194 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Garnet Invs. Ltd. v. BNP Paribas (Suisse) S.A. and the Government of the Republic of Indonesia [2007-08] GLR 442, 443. Garnet Invs. Ltd. v. BNP Paribas (Suisse) S.A. and the Government of the Republic of Indonesia [2009-10] GLR 1, 2. 50 The Jakarta Post, Tommy Soeharto Fails in Appeal Against Govt (25 August 2011) . 51 The Chief Officer, Customs & Excise, Immigration & Nationality Service v. Garnet Investments Limited (2011) 432 Judgment 1, 16. 52 Attorney-General’s Chamber, Who We Are Overview (13 March 2013) . 48
49
other duties of a legal character, as may from time to time be referred or assigned to him by the President or the Cabinet and to discharge the functions conferred on him under this Constitution or any written law.
adviser to the Government for legal matters. Moreover, due to point d of those functions, Attorney General of Singapore acts as Government’s Lawyer like State Attorney of Indonesia. However, Attorney General of Singapore has some special functions to be drafter of law and regulator of foreign lawyers, meanwhile Attorney General of Republic of Indonesia has particular characteristic in public order and security matters. A great distinction between them can be recognised that the Attorney General of Singapore is central authority for mutual legal assistance and extradition, whereas central authority in Indonesia is Minister of Law and Human Rights.
b. Public Prosecutor This duty is stated in Article 35(6) of the Constitution of Singapore that the Attorney General has the power to institute, conduct or discontinue proceedings for any offence. The Attorney General is independent in this role, and not subject to the control of the Government. c. Drafter of laws The Attorney General is responsible for drafting Singapore’s laws and producing revised editions of legislation.
The Attorney General discharges his responsibilities and duties through six legal divisions (Civil, Criminal Justice, State Prosecution, Economic Crimes and Governance, International Affairs, and Legislation and Law Reform), with the support of the Corporate Services Division and the Information Division (comprising the Computer Information Systems Department, and the Library and Knowledge Management Central).53
d. Singapore’s legal representative The Attorney General also represents Singapore, and advances and protects her interests, in the international arena and in international disputes. Therefore, all actions by or against the Government are made in the name of the Attorney General.
In terms of arbitration and litigation functions, Attorney General Chamber’s Singapore provides very wide scope for them and it can be seen in the Civil Division as well as the the International Affairs Division (IAD). The Civil Division is responsible for:54
e. Regulator of foreign lawyers The Attorney General is responsible for regulating foreign lawyers and foreign law practices in Singapore, thus playing a part in the development of the Singapore legal services sector.
a. Providing legal advice to the Ministries and Organs of State on a wide scope of issues such as constitutional and administrative law, public finance, disciplinary inquiries of public officers, land acquisition, protection of young persons, contract, tort, competition law, public-private partnerships, intellectual property law and appeals to Ministers under legislation like the Electricity Act, Broadcasting Act and Competition Act.
f. Protector of charities Under common law, the Attorney-General is the guardian of charities. g. Central authority for mutual legal assistance in criminal matters and extradition Officers of the Attorney General’s Chambers process and handle all formal requests for assistance in accordance with the provisions of the Mutual Assistance in Criminal Matters Act and any applicable Mutual Legal Assistance Treaty. According to those functions, it can be examined that the main similarity between the Attorney General of Republic of Indonesia and Attorney General of Singapore is being
b. Drafting and examining contracts and legal documents such as tender documents for the Government procurement of goods Attorney-General’s Chamber, Organisational Structure (1 February 2013) . 54 Attorney-General’s Chamber, Overview of Civil Division (22 June 2012) . 53
Improving the Competences of the State Attorney of Indonesia in International Dispute Settlements... - Satriyo Wibowo
195
and/or services, lease agreements and licenses, loan agreements, investment agreements, IT contracts and scholarship agreements.
e. Advising on the domestic implementation of Singapore’s international obligations. f. Handling and processing all formal requests for mutual legal assistance and extradition.
c. Representing the Government in international initiatives which have an impact on domestic law, such as the UNCITRAL Working Groups on Procurement and Transport Law and ASEAN Single Window Working Group Meetings.
From those responsibilities, unlike the duties and authorities Public Prosecution Service of Indonesia, it can be identified that Attorney General’s Chamber of Singapore provides very specific function in international disputes not only in the Civil Division (stated at point d) but also in the IAD (stated at the point b). Therefore, there is a synergy between one division to another deals with international dispute settlements. Meanwhile, Public Prosecution Service of Indonesia only mentions in general to perform litigation and non-litigation for and on behalf of the State or Government and managed by Deputy of Attorney General for Civil and Administrative Matters only. Furthermore, the IAD’s work covers a diverse range of matters including international dispute settlement, international trade law, international investment law, civil aviation law, international criminal law, diplomatic privileges and immunities, international human rights law, law of the sea, international environment law and law relating to the United Nations56.
d. Representing the Singapore Government in court proceedings instituted by or against the Government, and in negotiations and dispute resolution hearings relating to: • Public law litigation matters such as constitutional challenges, judicial review and exercise of regulatory powers. • Private law civil litigation matters such as tort, contract, land and recovery of public moneys. e. Representing the Singapore Government in disciplinary inquiries against public officers. f. Acting as the Protector of Charities. g. Reviewing applications for the admission of foreign advocates and solicitors to the Singapore Bar.
In practice, however, Attorney General’s Chamber of Singapore is not many involving to represent the Government in international dispute settlement. The only well known case is Malaysia v. Singapore at Permanent Court of Arbitration (PCA) where Attorney General of Singapore acted as respondent in order to represent the Government. The case concerned land reclamation by Singapore in and around the Straits of Johor and was instituted by Malaysia on 4 July 2003 pursuant to Article 287 of the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) and Article 1 of UNCLOS Annex VII. The parties signed a Settlement Agreement on 26 April 2005, and an Award on Agreed Terms was issued by the Tribunal on 1 September 200557. The main point award includes directs Singapore not to conduct its land reclamation in ways
Meanwhile, the IAD which is responsible for:55 a. Providing legal advice to all Government departments, Ministries and statutory boards on international law issues. b. Representing Singapore at bilateral and multilateral negotiations, and in international disputes, trade-related proceedings and at other international forums. c. Negotiating and drafting multilateral and bilateral legal instruments. d. Assisting in the translation of Singapore’s international obligations into domestic legislation. Attorney-General’s Chamber, Overview of International Affairs (2 September 2012) .
55
196 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Ibid. Permanent Court of Arbitration, Malaysia v. Singapore (2009) .
56 57
that might cause irreparable prejudice to the rights of Malaysia or serious harm to the marine environment and taking especially into account the reports of the group of independent experts58.
a work visa for those conducting arbitration activities that had been applied since 2008.61 d. The IAD’s role was expanded in 2009 to include the development of international law expertise for Singapore and the establishment of Singapore as an international law hub. To support this initiative, the Developing International Law Expertise in Singapore Secretariat (DILES) was set up within IAD to manage efforts in order to develop the international law expertise of Government officers who are involved in the practice of international law.62
C. Influences of the Attorney General’s Chamber of Singapore in International Dispute Settlement 1. Mechanism Of Attorney General Of Singapore Rules The International Dispute Settlements The initiatives of Attorney General’s Chamber to improve and encourage the growth of international dispute settlement by arbitration and its relevance to Singapore can be classifiend as follows:
It can be seen from those initiatives that Attorney General’s Chamber manages both internal and external efforts of the institution. Making some development in internal chamber through extending IAD’s role together with continuously updating the International Arbitration Act as part of internal initiatives. It is followed by opening Maxwell Chamber as external effort. Through liberalisation of legal services gives good impact for Singapore as at 1 October 2010, a total of 101 foreign law firms practice which nine out of ten of the world’s top law firms now have offices in this country and many of these firms have established international arbitration practices63.
a. Attorney General continuously review and update the International Arbitration Act To keep arbitration legislative framework up to date with international best practices. This Act was amended in 2009 and again most recently in 2012.59 b. Attorney General have managed to attract some of the top arbitral institutions in the world, including the American Arbitration Association (AAA), the Permanent Court of Arbitration, the International Chamber of Commerce’s International Court of Arbitration (ICC-ICA), the International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) and the World Intellectual Property Organisation’s Arbitration and Mediation Centre at the world’s first integrated dispute resolution centre, Maxwell Chambers, in 2009 to facilitate the conduct of international arbitration in Singapore and complement local institutions such as SIAC and the Singapore Chamber for Maritime Arbitration.60 c. Liberalisation of legal services, allowing foreign firms in Singapore to conduct international arbitration and exemption from the need to obtain Malaysia v. Singapore [2005] 1, 4. Chong Sc, above n 1. Ibid.
58 59 60
Meanwhile, international dispute settlement by litigation initiatives, Attorney General’s Chamber concerns on following matters:64 a. Developments in electronic or e-litigation b. Challenges facing cross-border litigation c. Latest developments in local jurisprudence by the Court of Appeal By focusing on those matters, it seems that Singapore will take the use of technology in litigation to a whole new level and observe the dispute parties Smith, above n 26, 109. Attorney-General’s Chamber, above n 56. 63 Smith, above n 26, 109. 64 Steven Chong Sc, ‘Singapore’s Litigation Landscape: A Changing Constant’, Litigation Conference 2013, 1 February 2013, Address. 61 62
Improving the Competences of the State Attorney of Indonesia in International Dispute Settlements... - Satriyo Wibowo
197
enforce their rights by cross-border litigation issues. Surely, those adjustments should be supported by development of jurisprudence as a legal basis. All efforts either arbitration or litigation initiatives have all helped Singapore to become a leading international arbitration centre in Asia. 2. How Can The State Attorney of Indonesia Adopt The Approaches of The Attorney General’s Chamber Of Singapore in Managing International Dispute Settlements Actually in national level the performance of the State Attorney of Indonesia has a significant increase. It can be seen from the number of cases handled by this authority. A total of 3,319 cases were litigated on behalf of the central government of local governments in 2011, compared with 1,791 cases in 201065. So, the State Attorney of Indonesia is well recognised to represent the state, government institution at the central and district authorities, state owned enterprises, regional owned enterprises in domestic selection forum. However, being well recognised in international forum may need more efforts for the State Attorney of Indonesia. Based on the previous discussion, there are some important points that can be highlighted in order to apply Attorney General’s Chamber of Singapore initiatives for improving the role of State Attorney of Indonesia in international arbitration and litigation. Those efforts should be selected and adjusted based on the actual working environment of State Attorney of Indonesia which mainly concern on human resources, facilities and budget. It also may be implemented as part of bureaucratic reform program of Public Prosecution Service of The Republic of Indonesia66. The initiatives can be classified into two types: Public Prosecution Service of The Republic of Indonesia, ‘Annual Report’ (2011) 48. 66 The bureaucratic reform program commenced in 2008 with four key components including accelerating and optimizing cases (general crimes and special crimes) and it was expanded to accelerating and optimizing the processing of cases involving Civil and Administrative Matters in 2010. See Public Prosecution Service of The Republic of Indonesia, above n 66, 21, 25 and 26. 65
198 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
a. Short term planning: • In terms of legal basis, as a
main priority, the Indonesian Public Prosecutor Service Law (2004) should be interpreted more widely particularly in Civil and Administrative matters by internal regulation which is the Regulation of Attorney General of the Republic of Indonesia Number: 040/A/JA/12/2010. Giving not only more specific but also expansive duties and powers in international dispute settlement representing the State and Government like Attorney General’s Chamber of Singapore did particularly for the IAD, it will great legal foundation to support the performance of State Attorney of Indonesia.
• Improving synergic cooperation
among divisions deals with international dispute settlements in Indonesian Public Prosecutor Service like Attorney General’s Chamber of Singapore that manages those issues in Civil Division and the IAD. It will be better if the duty and power of handling international dispute settlements do not impose only on Civil and Administrative Matter Division, because this issues may be more complicated involving trans border jurisdiction.
b. Long term planning: Appealed to the Government for all matters relating to international dispute resolution by arbitration and litigation are handled exclusively by the State Attorney, so that the Government does not need to hire a private attorney. This exclusive duty and power will make the prestige of the State Attorney as the one and only the State and Government’s representative in international dispute settlement matters like the Attorney General’s Chamber of Singapore.
Besides internal institution initiatives through giving more duties and power for the State Attorney of Indonesia, the Attorney General of Indonesia may also do external institution initiative to attract international parties choosing Indonesia as forum for international dispute settlements which can be learnt from Singapore. The issue deals with the court character in Indonesia in order to settle international dispute. Mr. Chong argues that the Singapore Courts are supportive of the arbitration process with a history of minimal judicial intervention and an emphasis on party autonomy67. The Courts have also consistently supported the finality of awards from arbitrations68. Besides those factors, the other Singapore court character is corruption-free court69. In contrast, the recognition and enforcement of international arbitral award in Indonesia especially against a local debtor is likely to be extremely difficult, largely because of the weakness of the local court systems70. Moreover, a significant problem with enforcement continues to be corruption which is still endemic within the Indonesian courts71. Even though the Attorney General of Indonesia does not have absolute authority to encourage the growth of international dispute settlement in the country like the Attorney General of Singapore, the Attorney General of Indonesia has power to fight corruption against corrupt courts including enforcement of international arbitral award. This power is ruled in Article 30(1) Indonesian Public Prosecutor Service Law (2004). As mentioned previously, this article states that the Indonesian Public Prosecutor Service has power in criminal matters to Chong Sc, above n 1. Ibid 69 Greenberg, above n 8, 36. 70 Michael McIlwrath and John Savage, International Arbitration and Mediation A Practical Guide (Kluwer Law International, 2010) 363. 71 Adiyasa, above n 42, 836. 67 68
investigate certain types of suspected crime as stipulated by law. The crime includes the corruption. Therefore, in associated with law enforcement of corruption, this institution has power not only to prosecute but also to investigate. Being supported by the corruption-free court condition, it will be expected that the predicate of Indonesia as an unfriendly country can turn into a friendly country for enforcing international arbitral award. Through internal and external institution initiatives by the Indonesian Public Prosecution Service for developing international dispute settlement matters, it can develop the competence of State Attorney of Indonesia in international arbitration and litigation forums. It can also encourage international party such us foreign investors to chose this country as forum selection to settle the dispute.
III. Conclusion There is a special characteristic can be notified about Attorney General Chamber’s of Singapore deals with international dispute settlement. Even though this country is relatively at ‘peace’ because not really involving in international dispute cases, the Attorney General’s Chamber can achieve the recognition of Singapore as the best place to resolve international dispute. By contrast, the State Attorney of Indonesia has more experience than the Government’s Lawyer of Singapore in term of representing the State or Government either as claimant in international arbitration or plaintiff in international litigation in order to claim or recover the State’s assets that had been stolen from corruption cases. The State Attorney of Indonesia also represents the State or Government as respondent in international arbitration to challenge the parties who tend to get unfair treatment by the Government. However, the role of Attorney General Office of Indonesia as the house of State Attorney is still less popular than the Attorney General’s Chamber of Singapore in term of promoting international dispute settlement. Nonetheless, it does not mean that the
Improving the Competences of the State Attorney of Indonesia in International Dispute Settlements... - Satriyo Wibowo
199
Attorney General Office of Indonesia does not recognize the achievements of Attorney General’s Chamber of Singapore, on the other hand, the Attorney General Office of Indonesia should learn from them through the implementation of their initiatives. By integrating the Attorney General’s Chamber of Singapore’s initiatives and the international dispute settlement practices, it can make the State Attorney of Indonesia achieves a good reputation in order to represent the State and Government’s interests or even they can become more qualified than the Government’s Lawyer of Singapore. Moreover, supported by the active role of Indonesian Public Prosecution Service to create corruption-free court for recognition and enforcement international arbitration award like Singapore court, it can attract international party to settle the dispute in Indonesia.
A. Articles/Books/Reports Adiyasa, Narendra and Charles Ball, ‘Indonesia’ in Michael J. Moser and John Choong (eds) Asia Arbitration Handbook (Oxford University Press, 2011). Adolf, Huala, ‘Improving the Encorcement of International Arbitral Awards in ASEAN Countries’, Indonesia Arbitration – BANI Arbitration Center Quaterly Newsletter (2009). Allen and Overy, Middle Eastern Investment Treaties May Provide Unrealised Protections for Investors (30 October 2012) . Attorney-General’s Chamber, Organisational Structure (1 February 2013) . Attorney-General’s Chamber, Overview of Civil Division (22 June 2012) . Chamber,
Overview
200 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Attorney-General’s Chamber, Who We Are Overview (13 March 2013) . Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary (Thomson West, 8th ed. 2004). Blackford, Jason C, ‘An Introduction To International Arbitration’ [1997] 43[4] Practical Lawyer . Boo, Lawrence, ‘Arbitration’ (2009) 10 Singapore Academy of Law Annual Review of Singapore Cases 53. Born, Gary B., International Arbitration Case and Materials (Wolters Kluwer, 2011). Bühring-Uhle, Christian, Arbitration and Mediation in International Business (Kluwer Law International, 2nd ed, 2006).
BIBLIOGRAPHY
Attorney-General’s
International Affairs (2 September 2012) .
of
Chartered Institute of Arbitrators, Arbitration (28 March 2009) . Chartered Institute of Arbitrators, Litigation (28 March 2009) . Greenberg, Simon, Christopher Kee and J. Romesh Weeramantry, International Commercial Arbitration An Asia-Pacific Perspective (Cambridge University Press, 2011). Indonesia Investment Coordinating Board, ‘UNCITRAL Arbitration Case The Government of The Republic of Indonesia vs PT Newmont Nusa Tenggara Final Award’ . Kejaksaan Republik Indonesia, Duties and Powers (2009) . Kejaksaan Republik Indonesia, History Pre Reformation Era (2009) .
Kejaksaan Republik Indonesia, Struktur Organisasi (2009) . Law.Com, Arbitration Scorecard: Contracts (1 July 2009) . Lawyer Monthly, Arbitration Tribunal Ruling Makes History (9 August 2012) . McIlwrath, Michael and John Savage, International Arbitration and Mediation A Practical Guide (Kluwer Law International, 2010). McKutchen, Robert, ‘Jakarta Retaliates in Karaha Bodas Case’ (2004) 5 Energy Compass 1. Merrills, J.G., International Dispute Settlement (Cambridge University Press, 4th ed, 2005). Newmont, Press Release International Arbitration Decision Issued Regarding Divestiture of Batu Hijau in Indonesia, Contract of Work Remains in Effect (31 March 2009) . Park, William W., ‘When the Borrower and the Banker are at Odds: The interaction of Judge and Arbitrator in Trans-Border Finance’, [1991] 65 Tul. L. Rev. 1323, 1324-1325 in Christian Bühring-Uhle, Arbitration and Mediation in International Business (Kluwer Law International, 2nd ed, 2006).
Business (Kluwer Law International, 2nd ed, 2006). Sc,
Steven Chong, ‘Singapore’s Litigation Landscape: A Changing Constant’, Litigation Conference 2013, 1 February 2013, Address.
Sc,
Steven Chong, ‘Welcome Ceremony’, Singapore International Arbitration Academy, Singapore, 26 November 2012, Address.
Smith, Gordon and Andrew Cook, ‘International Commercial Arbitration in Asia-Pasific: A Comparison of the Australian and Singapore Systems’ (2011) 77(1) Chartered Institute of Arbitrator 108. Sourdin, Tania, Alternative Dispute Resolution (Lawbook Co, 2nd ed, 2005). Stolen Asset Recovery Initiatives, Tommy Suharto (also known as Hutomo Mandala Putra) (2013) . Tempo Co., Pemerintah Didesak Upaya Pembekuan Aset Tommy Soeharto (11 March 2011) . The Jakarta Post, Indonesia Wins Arbitration Verdict Against Newmont (1 April 2009) .
Permanent Court of Arbitration, Malaysia v. Singapore (2009) .
Jakarta Globe, New Criminal Cases Announced as Bank Century Comes to Life (8 June 2012) .
Persatuan Jaksa Indonesia, Tentang Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara .
The Jakarta Post, Tommy Soeharto Fails in Appeal Against Govt (25 August 2011) .
Public Prosecution Service of The Republic of Indonesia, ‘Annual Report’ (2011). Sandrock, Otto, ‘Internationale Kredite und die Internationale Schiedsgerichtsbarkeit’, [1994] WM Zeitschrift für Wirtschafts und Bankrecht 405, 447 in Christian Bühring-Uhle, Arbitration and Mediation in International
The
B. Cases Garnet Invs. Ltd. v. BNP Paribas (Suisse) S.A. and the Government of the Republic of Indonesia Government of The Republic of Indonesia v. PT. Newmont Nusa Tenggara
Improving the Competences of the State Attorney of Indonesia in International Dispute Settlements... - Satriyo Wibowo
201
Hesham T. M. Al Warraq v. Republic of Indonesia Karaha Bodas Company v. Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Malaysia v. Singapore [2005] Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/11/13) C. Legislation Constitution of the Republic of Singapore Indonesian Public Prosecutor Service Law (2004) The Regulation of the President of the Republic of Indonesia Number 38 Year 2010 concerning Public Prosecutor Service Organization The Regulation of Attorney General of the Republic of Indonesia Number: 040/A/JA/12/2010
202 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
TINJAUAN HUKUM PENYITAAN BARANG BUKTI DILUAR KASUS SIMULATOR SIM POLRI TAHUN 2011 DAN KASUS KUOTA DAGING SAPI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) Legal Review Seizure the Evidence Outside the Case of Simulator SIM Police in 2011 and the Case Quote of Beef by Commission Eradication Corruption (CEC) Monang Siahaan Kejaksaan Agung R.I. Jl. Sultan Hasanudin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email : [email protected] (Diterima tgl 27 Mei 2013, direvisi tgl 13 Juni 2013, disetujui tgl 24 Juni 2013) Abstrak Dalam Kasus Simulator Sim tahun 2011 dan kasus kuota daging,dimana Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan penyitaan harta Kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo,Lutfhi Hasan Ishaq, dan tersangka Ahmad Fathanah yang diperoleh sebelum kasus tersebut terjadi.Harta Kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko Susuilo yang diperoleh sebelum tahun 2011 telah disita lebih dari 20 unit dan dijadikan barang bukti dalam kasus Simulator SIM, demikian juga harta kekayaan tersangka Lutfhi Hasan Ishaq,dan tersangka Ahmad Fathanah berupa mobil dan rumah. Dalam Penyitaan barang bukti tersebut dimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan pembuktian terbalik. Penerapan Pembuktian terbalik menimbulkan beberapa masalah, antara lain : 1. Bertentangan dengan Asas Praduga tidak bersalah yaitu seseorang dinyatakan bersalah setelah perbuatannya dihukum hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti,sedangkan Pembuktian terbalik menerapkan asas menyalahkan diri sendiri (non self incriminationm). 2. Bertentangan dengan sistim pembuktian wettelijk negatif stelsel yaitu minimal dua alat bukti dan hakim yakin,sedangkan pembuktian terbalik menganut pembuktian vrij stelsel yaitu hakim menjatuhkan hukum menguatkan keyakinan hakim ,dan hakim tidak terikat kepada alat bukti yang diakui negara,maka hakim semata-mata menjatuhkan hukuman hanya berdasarkan keyakinan hakim sendiri tanpa ada alat buktinya. 3. Bertentangan dengan pasal 66 KUHAP bahwa terdakwa tidak dibebani pembuktian,sedangkan pembuktian terbalik terdakwa membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah ,dan jika alasannya tidak dapat diterima hakim ,maka terdakwa dihukum. 4. Bertentangan dengan Undang-undang nomor 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana pencucian Uang,dimana dalam Kasus pencucian uang harus ada kasus pokoknya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) hurup a. Korupsi, sedangkan pembuktian terbalik tidak ada kasus pokoknya 5. Bertentangan dengan asas hukum pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan dalam arti hanya yang salah dihukum. Akibat penerapan pembuktian terbalik. Dalam menerapkan pembuktian terbalik terutama yang dilandasi pasal 37 dan penjelasannya Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 yang secara tegas menyebutkan tidak menerapkan sitim pembuktian wettelijk negatief stelsel tetapi menerapkan asas menyalahkan diri sendiri (non self incriminatioan) yang searah dengan asas hukum yaitu tiada pidana tanpa kesalaahan dalam arti hanya yang bersalah yaang dapat dihukum.Berdasarkan hal tersebut setiap pemilik mobil mewah atau rumah bagus yang tidak sesuai dengan penghasilannya dapat ditangkap penyidik Polisi,penyidik Kejaksaan,atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ,dan bila tidak bisa menjelaskan sumber uang untuk membeli mobil atau rumah atau barang lainnya,maka kasusnya dapat dilimpahkan ke Pengadilan untuk mendapat hukuman dari hakim,yang berakibat timbulnya rasa ketakutan bagi aparat Pemerintah maupun masyarakat yang memiliki harta kekayaan. Kata Kunci : penyitaan, barang bukti, komisi pemberantasan korupsi. Abstract In the case of driving license test simulator in 2011 and the case of beef import quota in 2013, the Corruption Eradication Commission (CEC) has confiscated the assets of suspect Irjen Pol. Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishaq, and Ahmad Fathanah which they got it before those cases happened. The CEC has confiscated more than 20 unit
Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Thn 2011 dan Kasus Koata Daging Sapi oleh KPK - Monang Siahaan
203
assets of suspect Irjen Pol Djoko Susilo, and the assets of Luthfi Hasan Ishaq and Ahmad Fathanah such as cars and houses, as evidence based on the reverse burden of proof principle. The application of this reverse burden of proof principle has raises some problems, such as : 1. Contrary to the presumption of innocence principle which someone will be declared as guilty by the judge decision in court, while the reverse burden of proof principle applies that someone should declared himself as not guilty (non self incrimination). 2. The reverse burden of proof principle implies vrij stelsel evidence that the judge in making dicision merely based on his faith without restricted by the legal evidence, contrary to the wettelijk negatif stelsel evidence system that has been applied in Indonesia for years with minimum two items of evidence and the faith of the judge. 3. According to the Article 66 Criminal Proceeding Act (KUHAP) the duty to proof the crime and its evidences rely on the prosecutor not the defendant, while in the reverse burden of proof principle the defendant must prove that he is not guilty, and if the reason is not receive by the judge, the defendant will be punished. 4. According to Law No. 8 of 2010, Article 2 paragraph (1) letter a, Corruption, about the Prevention and Eradication of Money Laundering Act, which in money laundering case there should have principal case before process it, while in the reverse burden of proof principle they do not need to have principal case before. 5. The reverse burden of proof principle contradict to the Geen Straaf Zonder Schuld (no punishment without conviction) that means only the one who is guilty can be punish. The impact of application the reverse burden of proof principle. The reverse burden of proof principle particularly based on Article 37 and the explanation of the Act No. 20 of 2001 which clearly stated not to apply the wettelijk negatief stelsel system but using the principle that someone must prove himself that he is not guilty (non self incrimination). Based on this regulation, every owner of a luxury car or a huge house which do not fit to the real income could be captured and the asset will be seized by the police investigator, investigator from the prosecution office, or investigator from the corruption eradication commission, and if he could not explain its sources the process will be continue to the court in order to get the judge’s decision. This situation can be resulted by the emergence sense of fear of the government official and the people who have assets. Keywords: confiscate/seizure, evidence, corruption eradication commission (CEC), prosecutor, prosecution office.
I. Pendahulun. Kasus Simulator SIM Koprs Lantas Polri dengan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo Dkk telah dilakukan penyitaan barang bukti berupa harta kekayaan Irjen Pol Djoko Susilo yang seluruhnya 23 barang bukti antara lain Rumah, Mobil, Pompa Bensin, Mobil Bus, tanah kosong yang seluruhnya hampir senilai Rp.70 milyar. Tindakan KPK tersebut mendapat penilaian dari Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson yuntho dan Akhiar Salmi bahwa kinerja KPK dalam perkara Djoko Susilo sebagai langkah maju bagi penuntasan kasus korupsi sekaligus upaya pemiskinan koruptor demikian juga Akhiar Salmi dari sisi pidana mencatat ,langkah penyidik yang progressif menginvestigasi modus korupsi bersamaan dengan aliran dana yang dicuci telah sesuai dengan harapan publik. Sebaliknya menurut Pakar Hukum Pidana pencucian uang, Yenti Garnasih mengatakan, KPK harus hati-hati dengan langkah penyitaan aset Djoko Susilo agar tidak dipersoalkan para pengacara yang bersangkutan. Karena itu, KPK juga harus mencari Tindak 204 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
pidana korupsi lain untuk harta yang diperoleh sebelum kasus Simulator SIM yang melibatkan Djoko Susilo itu terjadi. Penyitaan aset Djoko Susilo dipersoalkan, terutama untuk aset-aset yang diperoleh sebelum tahun 2011. Pasalnya, pengadaan simulator SIM terjadi pada tahun 2011 (Kompas, senin, 18 maret 2013, hal 3). Demikian juga kasus Luthfi Hasan Ishaaq dalam kasus kuota daging sapi senilai Rp. 1 milyar, dimana uang Rp.1 milyar yang tertangkap tangan lalu disita dan dijadikan barang bukti tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita juga mobil Toyota FJ Cruiser senilai Rp.1 milyar dan menyita juga jenis mobil yang sama milik Ahmad Fatanah suruhan Luthfi Hasan Ishaaq meminta uang Rp.1 milyar dari Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi pimpinan PT. Indoguna Utama. Menurut Adnan Pandu mengatakan, kemungkinan dugaan perkara korupsi lain diluar suap impor daging sapi yang masih didalami KPK, berkaitan dengan pengakuan Ahmad Fathanah tentang dugaan korupsi di Bank Jabar Banten (Kompas, rabu, 20 Maret 2013).
II. PEMBAHASAN A. Alat Bukti, Barang Bukti dan Pencucian Uang. 1. Alat Bukti. Berdasarkan pasal 184 ayat (1) KUHAP alat bukti yaitu a. Keterangan saksi, b. ketertangan ahli, c. Surat, d. petunjuk, e. keterangan terdakwa, dan f. Bukti elektronik. Bukti Elektronik dijadikan alat bukti berdasarkan Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam Pasal 5 a. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. b. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. c. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. d. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk : 1) surat yang menurut UndangUndang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan 2) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. 2. Sistim Pembuktian Indonesia. Sesuai ketentuan hukum, teori pembuktian yang dianut hukum Indonesia adalah wettelijk negatief stelsel yaitu minimal dua alat bukti dan hakim yakin. Dalam membuktikan kesalahan terdakwa
melakukan perbuatan korupsi, majelis hakim hanya mencari keterangan dari alat bukti tersebut, bila satu sama lain alat bukti tersebut ada hubungannya maka majelis hakim menyatakan perbuatan terdakwa terbukti melakukan perbuatan korupsi, tetapi bila tidak berhubungan satu sama lain dari alat bukti, maka majelis hakim membebaskan terdakwa dari perbuatan yang dituduhkan kepadanya.Dalam ketentuan hukum jika hakim ragu-ragu atas kesalahan yang dilakukan tersangka/ terdakwa lebih baik dibebaskan,dan jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah. 3. Barang Bukti. Barang bukti adalah suatu barang yang ada hubungannya dengan perbuatan kejahatan. Untuk menentukan ada tidaknya hubungan barang bukti dengan kejahatan diperoleh dari alat bukti yaitu keterangan saksi, Keterangan Ahli, surat, bukti Elektronik dan keterangan terdakwa, dari keterangan tersebut minimal dua alat bukti hakim menarik keyakinan ada tidaknya hubungan barang bukti dalam suatu perkara dengan perbuatan kejahatan tersebut, bila ada hubungannya satu sama lain antara keterangan saksi, Keterangan Ahli, surat, bukti elektronik, dan keterangan tersangka, maka hakim dengan yakin menyatakan barang bukti tersebut ada hubungannya dalam suatu perbuatan kejahatan, maka barang bukti tersebut memperkuat alat bukti, sebaliknya bila keterangan saksi, keterangan ahli, surat, bukti elektronik, dan keterangan tersangka tidak ada hubungannya dengan perbuatan kejahatan atau diragukan hubungannya satu dengan yang lainnya, maka majelis hakim dengan keyakinannya menyatakan barang bukti tidak ada hubungannya dengan perbuatan kejahatan, maka barang bukti tidak dapat memperkuat alat bukti. 4. Pencucian Uang. Pencucian uang diatur dalam Undangundang Nomor 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.Pasal yang mengatur pencucian uang antara lain :
Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Thn 2011 dan Kasus Koata Daging Sapi oleh KPK - Monang Siahaan
205
a. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1) Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsurunsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 3) Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. 5) Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: (a) Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; (b) Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; (c) Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau (d) Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. 4) Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak b. Pasal 2 (1) ; Dalam pasal 2 ayat (1) merupakan perkara pokok atau inti perkara yang seluruhnya ada 29 pokok perkara merupakan Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yaitu : 206 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
a. korupsi; b. penyuapan; c.narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana Untuk kasus ini terkait masalah korupsi disebut dalam pasal 2 ayat (1) huruf a. Korupsi.
c. Pasal 3. Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). d. Pasal 4. Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hakhak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah). e. Pasal 5 (1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berdasarkan pasal 1 hanya mengatur mengenai pencucian ,pengertian transaksi, dan terkait masalah harta kekayaan yang berwujut dan tidak berwujut dan transaksi keuangan yang mencurigakan.Untuk pasal 2 mengatur pokok perkara yang terdiri dari 29 pokok perkara,dalam hal ini diatur dalam pasal 2 ayat (1) terkait dengan perbuatan korupsi. Maka pokok perkaranya adalah masalah korupsi,sedangkan pasal 3,pasal 4,dan pasal 5 mengenai sanksi pidana bagi yang melanggar hukum terkait dengan pokok masalahnya.Penerapan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 3,pasal 4, pasal 5 ,dan pasal pidana lainnya harus ada pokok masalah atau pokok kasusnya. Tanpa ada kasus pokoknya tidak boleh menerapkan pasal 3,pasal 4,dan pasal 5 tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Undang-undang nomor 8 tahun 2010 bahwa Pencucian uang harus ada kasus/pidana pokoknya dalam hal ini kasus pokoknya perbuatan korupsi ,dimana uang yang diperoleh dari hasil korupsi , selanjutnya dilakukan pencucian uang tersebut yang digunakan membeli rumah, mobil, tanah, dan lainlain, maka barang yang dibeli tadi ada hubungannya dengan perbuatan korupsi yang dilakukan tersangka/terdakwa yang dapat disita sebagai barang bukti. Bila tidak ada hubungan antara perbuatan korupsi dengan kekayaan yang dimiliki tersangka/terdakwa tidak boleh disita sebagai barang bukti yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
5. Penyitaan Barang Bukti Simulator SIM Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa saksi, ahli, surat, bukti elektonik ,dan keterangan tersangka ,dan barang bukti yang terkait dalam kasus Simulator SIM yang terjadi pada tahun 2011.Dalam penyidikan/pemeriksaan atas kasus simulator SIM tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyita juga Harta Kekayaan Irjen Pol Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011 yang seluruhnya lebih dari 20 unit antara lain penyitaan rumah pribadi,mobil pribadi, Bus, pompa bensin, tanah kosong, salon kecantikan didaerah pasar minggu ,dan lain-lain. Dalam penyitaan barang bukti harus ada kaitannya dengan kasus simulator SIM bila diduga dari kasus simulator SIM ada korupsi uang sebesar Rp.100 milyar,kemudian dari uang Rp.100 milyar tersebut dilakukan pencucian uang yaitu disimpan dalam Bank Rp.50 milyar,beli mobil tiga (3) buah senilai 10 milyar,membeli rumah 3 buah senilai Rp.40 milyar seluruhnya 7 unit) ,maka yang dapat disita sebagai barang bukti terkait kasus simulator SIM hanya berupa uang di disimpan di Bank Rp.50 milyar,tiga (3) buah mobil senilai Rp.10 milyar,dan tiga buah rumah Rp.40 milyar seluruhnya 7 unit ,sedangkan harta kekayaan yang diperoleh Irjen Pol Djoko Susilo sebelum tahun 2011 seluruhnya 13 unit lagi tidak boleh disita untuk dijadikan barang bukti,hal ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,dan Hakim menyalahkan terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo semata-mata hanya berdasarkan keyakinan hakim tanpa ada satupun alat buktinya. 6. Penyitaan Barang bukti sebelum tahun 2011. a. Ada Kasus Korupsinya. Penyitaan barang bukti atas harta milik tersangka Irjen Pol Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011 dapat dilakukan ,tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mencari perbuatan kejahatan korupsi yang dilakukan sebelum tahun 2011
Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Thn 2011 dan Kasus Koata Daging Sapi oleh KPK - Monang Siahaan
207
sebagai perkara intinya,yang hasil korupsinya digunakan membeli mobil, rumah, tanah sebanyak 20 unit tadi, dan tiap kasusnya harus ada minimal dua alat bukti dan hakim yakin, yang nantinya tersangka/terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo dapat didakwakan melakukan beberapa perbuatan pidana korupsi yang melanggar pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,dan mendakwakan juga pasal 1 sampai pasal 5 undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, yang nantinya majelis hakim akan menjatuhkan hukuman badan berlandaskan pasal 65 KUHP yaitu beberapa perbuatan kejahatan menjatuhkan hukuman salah pasal yang ancaman hukumannya paling tinggi ditambah sepertiga ,tetapi tidak boleh melebihi dari 20 tahun,maka majelis hakim dapat menjatuhkan hukuman mati , hukuman seumur hidup,dan hukuman badan minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) untuk perbuatan yang terbukti pasal 2 UU No.31 tahun 1999 atau hukuman seumur hidup ,hukuman badan minimal 1 tahun dan maksimal dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00(satu milyar rupiah) untuk perbuatan yang terbukti pasal 3 UU No.31 tahun 1999.Dalam prakteknya pada umumnya majelis Hakim menjatuhkan hukuman terhadap pelaku korupsi berkisar antara dua (2) tahun sampai empat (4) tahun yang terbukti melanggar pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi,yang ancamannya maksimal hukuman pidana penjara seumur hidup atau hukuman badan minimal pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun . 208 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
b. Tidak Ada Kasus Korupsinya. Harta kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo sebanyak 20 unit yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelum tahun 2011 atau ada yang dibeli tahun 2000,2002,2005,2007,2009, dijadikan barang bukti dalam kasus simulator SIM yang terjadi dalam tahun 2011. Lalu timbul pertanyaan dari mana nanti majelis hakim mendapat keterangan bila barang bukti yang disita sebelum tahun 2011 ada kaitannya dalam kasus simulator SIM tahun 2011 yang sedang disidik /diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut ,karna keterangan saksi,keterangan ahli , surat,bukti elektronik hanya dapat memberikan keterangan terkait kasus simulator SIM tahun 2011 saja ,sedangkan barang bukti yang disita sebelum tahun 2011 tidak tau karna tidak ada alat bukti baik berupa keterangan saksi,keterangan ahli,surat, bukti elektronik dan juga tidak ada perbuatan pidananya sebagai kasus pokoknya,ditambah lagi pada saat tersangka/terdakwa tidak mau menjawab darimana memperoleh harta kekayaan yang dijadikan barang bukti yang diperoleh sebelum tahun 2011,dan hak diam (hak ingkar) tersebut merupakan hak terdakwa dan tidak bisa dipaksakan memberikan keterangan atas harta kekayaan yang diperoleh sebelum tahun 2011.Dengan demikian minimal dua (2) alat bukti tidak ada ,sehingga majelis Hakim sudah yakin penuh tidak ada hubungan harta kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011 yang disita Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 20 unit tersebut ,diduga majelis Hakim akan mengembalikan 20 unit barang bukti tersebut kepada Irjen Pol Djoko Susilo.Demikian juga beberapa mobil yang dijadikan barang bukti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kembalikan majelis hakim
kepada tersangka Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah,karna tidak ada hubungannya dengan kasus kuota daging sapi.Pada umumnya tersangka/ terdakwa dituduh melakukan korupsi selalu membantahnya atau diam yang merupakan hak tersangka/terdakwa (hak ingkar) ,beberapa yang dituding melakukan korupsi baik yang sudah ditetapkan sebagai tersangka maupun belum dinyatakan tersangka yang membantah tidak ada melakukan korupsi, dan selalu menyatakan mana buktinya.Para koruptur yang membantahnya antara lain a. Marzuki Ali Ketua DPR dimana Terdakwa Wa Ode Nurhayati mengatakan Marzuki sebagai Ketua DPR menerima jatah Rp. 300 milliar,lalu membantahnya (Berita Kota, Rabu tanggal 20 juni 2012), b.Anas Urbaningrum Ketua Partai Demokrat membantah tuduhan Muhammad Nazaruddin mengumpulkan uang sebesar 40 juta US dollar ,bila sampai ada menerima uang siap di gantung di Monas. c. Andi Mallarangeng mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga, d. Angelina Sondakh mantan Anggota Banggar DPR,dan e. Tersangka Irjen Pol Djoko Susilo.\ c. Untuk Mengganti Uang Negara. Berdasarkan keterangan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi dalam dialog Lawyers Club menyatakan penyitaan harta kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011 untuk megembalikan uang Negara setelah Majelis hakim menjatuhkan hukumannya atas kasus simulator SIM.Tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengembalikan uang negara yang di Korupsinya sesuai putusan Majelis Hakim tidak sesuai dengan aturan yang berlaku karna pada saat majelis Hakim menjatuhkan sejumlah uang sebagai hukuman denda (pidana denda ) dan menetapkan uang pengganti sebesar yang terbukti dimuka pengadilan selalu di subsiderkan (sebagai
penggantinya) hukuman kurungan/ penjara, umpamanya Majelis Hakim menjatuhkan hukuman kepada tersangka/terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo sebagai berikut : 1) Pidana denda. Pidana Denda sebesar Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) subsider pidana kurungan delapan (8) bulan kurungan.Atas putusan pidana denda tersebut terdakwa mengambil keputusan bila mampu membayar pidana dendanya sebesar Rp.100.000.000, maka pidana kurungannya selama delapan (8) bulan tidak dilaksanakan, sebaliknya jika terdakwa menyatakan tidak mampu membayar pidana dendanya sebesar Rp. 100.000.000 ,-,maka terdakwa menjalani hukuman selama delapan bulan dalam Lembaga Pemasyarakatan (penjara). 2) Uang Pengganti. Uang pengganti sebesar Rp.70 milyar subsider dua tahun penjara. Putusan uang pengganti sebesar Rp.70 milyar tersangka/ terdakwa mengambil keputusan bila tersangka /terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo membayar Rp.70 milyar,maka tersangka/terdakwa tidak perlu menjalani hukuman dua tahun penjara,sebaliknya jika tersangka/terdakwa menyatakan tidak mampu membayar uang pengganti sebesar Rp.70 milyar,maka tersangka/terdakwa menjalani hukuman penjara selama dua (2) tahun didalam Lembaga Pemasyarakatan (penjara).Perlu diketahui besarnya uang pengganti sebesar Rp.70 milyar sesuai hasil persidangan tersangka/terdakwa Irjen pol Djoko Susilo terbukti telah melakukan korupsi atas uang negara sebesar Rp.70 milyar dalam kasus Simulator SIM. 3) Keputusan di tangan tersangka/ terdakwa.
Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Thn 2011 dan Kasus Koata Daging Sapi oleh KPK - Monang Siahaan
209
Keputusan menerima atau tidak atas putusan majelis hakim terletak ditangan tersangka/terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo,bukan ditangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),maka tidak ada kaitannya penyitaan harta milik Irjen Pol Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011,selain melanggar hukum,dan tidak dapat digunakan untuk membayar pidana denda dan uang pengganti sesuai putusan Majelis hakim.Pidana denda sebesar Rp.100.000.000 dan Uang Pengganti sebesar Rp.70 milyar yang digantinya dengan melaksanakan hukuman selama delapan (8) bulan kurungan dan Hukuman penjara selama dua (2) tahun dalam Lembaga Pemasyarakatan (penjara), maksudnya bahwa pidana denda Rp.100.000.000 dan uang pengganti sebesar Rp.70 milyar dianggap sudah dibayar dengan dilaksanakannya subsider pidana denda selama delapan (8) bulan kurungan dan subsider dua (2) tahun penjara dalam Lembaga Pemasyarakatan (penjara). 4) Menerapkan Pembuktian Terbalik. Untuk merampas/mengambil harta kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo lewat putusan Pengadilan dengan menerapkan pembuktian terbalik yang didasarkan antara lain : a) ‘Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, dalam Pasal 37 ayat (3) terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami,anak,dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, ayat (4) dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, 210 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi’meminta kepada tersangka Irjen Pol Djoko Susilo dari mana sumber uangnya untuk mendapatkan harta kekayaannya yang tidak sesuai dengan penghasilannya. b. Penjelasan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, dalam Pasal 37 ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan kitab undang-undang hukum acara Pidana pasal 66 tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian” ,dan yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana,bukan terdakwa. menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi,sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas,karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya’. c. Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi ,dalam pasal 48 berbunyi “Untuk kepentingan penyidikan ,tersangka tindak pidana korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami,anak,dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka” d. Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi,dalam “pasal 38 B (1) setiaporang yang didakwakan melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ,pasal 3,pasal 4,pasal 13,pasal 14,pasal 15,dan pasal 16 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak Pidana korupsi dan pasal 5 sampai dengan pasal 12 undangundang ini,wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan ,tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi”. e. Penjelasan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,dalam penjelasan pasal 37 ayat (1) Pasal ini sebagai konsekwensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa.terdakwa tetap memerlukan perlindungan yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asa praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self – incrimination).
Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penyitaan harta kekayaan tersangka irjen Pol djoko susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011 yang dijadikan barang bukti terkait kasus simulator SIM ,mengingat gaji atau pendapatan resminya tidak seimbang dengan harta kekayaan yang dimilikinya.
5) Penerapan pembuktian menimbulkan beberapa antara lain :
terbalik masalah
(a) Bertentangan dengan asas, ajaran, teori Hukum. Dalam KUHP ada istilah pidana umum dan pidana khusus yang harus dibedakan .Dalam kontek KUHP bagian umum dikenal dengan buku I memuat aturan umum atau
ajaran-ajaran atau teori-teori umum hukum pidana yang disebut algemene leerstukken. Pembuat Undang-undang menyadari dan memperkirakan bahwa selain hukum pidana yang dapat dalam buku KUHP yang terkodifikasi yaitu peraturan-peraturan hukum tertulis yang menyangkut suatu bidang hukum tertentu dan dimuat dalam satu dalam satu buku secara sistimatis dan lengkap.Asas,sistem,ajaranajaran (algemene leerstukken) yang sudah diatur dalam buku I KUHP berlaku kepada Undang-Undang Pidana khusus kecuali belum diatur dalam buku I KUHP. Pengertian Asas menurut Kamus besar Bahasa Indonesia terbitan II Balai pustaka antara lain : - Asas yaitu dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat). - Dasar Cita-cita (perkumpulan atau organisasi). - Hukum Dasar. Asas merupakan dasar berpikiri terkait dengan hukum antara lain : - asas ini lebih tinggi dari perbuatan pidana yang dituangkan dalam pasal-pasal baik dalam tindak Pidana Umum maupun dalam tindak pidana khusus.Tindak Pidana atau peristiwa Pidana yaitu mengatur perbuatan yang dilarang dengan menetapkan sanksinya,antara lain perbuatan korupsi yang diatur dalam Undangundang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Thn 2011 dan Kasus Koata Daging Sapi oleh KPK - Monang Siahaan
211
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu : (b) Pasal 2 ayat (1) berbunyi “Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau erekonomian Negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- ( satu milyar rupiah).
Ayat (2) berbunyi “ Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
(c) Pasal 3 berbunyi “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima pulih juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Perbuatan pidana korupsi maupun tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang 212 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,pasal 5 Undangundang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,pasal 340 dan pasal 362 KUHP sudah diatur dua hal yaitu : - Perbuatan pidana yang dapat dihukum. - Sanksi / hukuman mengenai berat ringanya suatu perbuatan pidana. (d) Asas berlaku kepada semua perbuatan pidana Umum maupun pidana khusus sesuai dengan permasalahannya.
Asas terkait dengan perbuatan pidana antara lain 1. Asas Praduga tidak bersalah, 2. asas persamaan hak di hadapan hukum, 3. Setiap orang dianggap mengerti hukum, 4. Asas lewat waktu atau veryaring,dan lain-lain berlaku kepada semua perbuatan kejahatan pidana yang diatur dalam buku II dan buku III KUHP maupun perbuatan korupsi atau perbutan tindak pidana khusus lainnya.Contoh penerapan salah satu asas yaitu asas Praduga Tidak Bersalah yaitu Setiap orang yang diduga melakukan kejahatan korupsi ,pencurian maupun pembunuhan dianggap belum bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
(e) Maka dalam perbuatan yang diduga melakukan kejahatan korupsi maupun pembunuhan yang aktip membuktikan kesalahan tersangka adalah penyidik antara lain penyidik Kepolisian Penyidik Kejaksaan, dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan pasal 66 KUHAP”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian”. Dalam hal tersangka hanya diberikan kesempatan untuk memberikan pembelaan bahwa dirinya tidak bersalah dan semua tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak benar. (f) Asas tidak mengatur perbuatan maupun sanksinya. Beberapa asas hukum pidana yang tidak mengatur perbuatan maupun sanksinya antara lain : 1. asas praduga Tidak bersalah Asas praduga tidak bersalah yaitu setiap orang yang diperiksa penyidik dan dituntut serta di putus pengadilan dianggap belum bersalah selama putusan hakim belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti. 2. Asas Persamaan dihadapan hukum Asas Persamaan hak dihadapan hukum yaitu setiap orang yang melakukan kejahatan baik sebagai pejabat tinggi antara lain selaku Presiden ,orang kaya pemilik beberapa perusahaan besar ,rakyat miskin harus dihukum sesuai dengan perbuatannya . 3. Asas Setiap orang dianggap mengerti hukum. Asas setiap orang dianggap mengerti hukum yaitu setiap peraturan perundangundangan yang sudah dicatat dalam lembaran negara dan berita negara,maka setiap orang dianggap sudah mengetahui peraturan perundang-undangan tersebut,walaupun sebenarnya tidak mengetahuinya. 4. Asas Lewat Waktu. Asas lewat waktu atau veryaring yaitu suatu perbuatan yang sudah lewat waktunya tidak bisa dituntut lagi,yang diatur dalam pasal 78 KUHP antara lain suatu perbuatan yang ancaman hukumannya diatas tiga tahun maka lewat batas lewat waktu menuntutnya selama 12 tahun (pasal 78 ayat (3),suatu perbuatan yang ancaman hukumannya hukuman mati dan seumur hidup,lewat waktu menuntutnya selama 18 tahun (pasal 78 ayat 4) dalam arti bila perbuatan
kejahatan dilakukan sudah lewat 18 tahun sejak perbuatan tersebut dilakukan,maka yang melakukan kejahatan dimaksud tidak bisa dituntut lagi,dengan demikian ada kepastian hukum. 5. asas keadilan Asas keadilan yaitu hakim harus menjatuhkan hukuman kepada tersangka/ terdakwa sesuai dengan perbuatannya atau sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. 6. Asas Legalitas/kepastian hukum. Suatu perbuatan pidana baru dapat dituntut apa bila perbuatannya sudah diatur terlebih dahulu sebelum terjadinya perbuatan tersebut. 7. Asas Hukum pidana lain yang diatur dalam pasal 1 sampai dengan pasal 103 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 8. Dan lain-lain. 7. Sistim Pembuktian yang dianut Hukum Indonesia. Sistim pembuktian Hukum pidana yang dianut hukum Indonesia adalah wettelijk negatief stelsel yaitu minimal dua alat bukti dan hakim yakin.Maknanya suatu perbuatan korupsi yang dituduhkan kepada tersangka/terdakwa minimal harus ada dua alat bukti dan masing-masing alat bukti ada hubungan satu sama lain sehingga hakim yakin bahwa perbuatan korupsi tersebut dilakukan tersangka/terdakwa. Dikaitkan dengan penyitaan harta kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo dalam kasus simulator SIM tahun 2011.Persoalan inti terkait penyitaan harta kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011 tentu tidak ada saksi,surat apalagi tersangka Irjen Pol Djoko Susilo diam yang merupakan hak ingkar ,tidak mau menjawab pertanyaan penyidik,Jaksa Penuntut Umum ,dan Hakim,karna tersangka / terdakwa mempunyai hak diam atau hak ingkar ,maka alat buktinya tidak ada dengan demikian tidak ada dasar hakim mencari keterangan dari alat bukti untuk memperoleh keyakinan dalam menyalahkan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo terkait harta kekayaannya yang disita
Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Thn 2011 dan Kasus Koata Daging Sapi oleh KPK - Monang Siahaan
213
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dijadikan barang bukti dalam kasus simulator SIM,dan semata-mata hakim menyalahkan terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo hanya keyakinan hakim saja tanpa ada alat bukti. 8. Mencabut sistim pembuktian vrij stelsel. Untuk memberlakukan pembuktian terbalik sangat tegas mengatur dalam penjelasan pasal 37 undang-undang Nomor 20 tahun 2001 menyatakan tidak menganut sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk) dan menerapkan menyalahkan diri sendiri (non self – incrimination).menerapkan sistim pembuktian menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination).Berdasarkan penjelasan pasal 37 tersebut tidak memberlakukan negatief wettelijk berarti menerapkan sistim pembuktian vrij stelsel atau stelsel bebas yaitu menganut faham bahwa keyakinan hakim adalah merupakan dasar utama menyatakan kesalahan terdakwa,sedangkan alat bukti hanya merupakan sarana untuk memberi keyakinan hakim,dan hakim tidak terikat pada alat bukti yang sah yang ditentukan oleh undang-undang. Perlu diketahui sistim pembuktian ada tiga yaitu vrij stelsel ,kedua positief wettelijk stelsel yaitu sistim yang menganut paham bahwa terbukti tidaknya tersangka/terdakwa melakukan perbuatan kejahatannya didasarkan pada alat bukti yang sah menurut undang-undang dan tidak diperlukan keyakinan hakim,dan ketiga sistim negatief wettelijk stelsel yaitu suatu perbuatan pidana dinyatakan terbukti minimal ada dua alat bukti yang sah menurut undang-undang dan hakim yakin,walaupun ada dua alat bukti bahkan lebih tetapi hakim tidak yakin maka hakim dapat membebaskan perbuatan terdakwa ,sebaliknya walaupun hakim yakim terdakwa melakukan kejahatan tetapi tidak ada minimal dua alat bukti ,maka hakim akan membebaskan terdakwa dari kesalahannya. Sistim pembuktian dengan vrij stelsel ini dianut negara Amerika serikat yang mengikuti aliran anglo saxson sedangka negara indonesia menganut aliran continental sebagaimana yang berlaku di negara Belanda dan negara eropah lainnya.Perbedaan faham atau sistim Eropa continental dan Anglo Saxon yaitu Sistim Eropa kontinental yang dianut hukum Indonesia ciri utama adalah pembentukan hukum tertulis secara 214 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
kodifikasi bahwa suatu perbuatan terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan tersebut dilakukan yang disebut asas legalitas atau kepastian hukum yang disebut dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dengan demikian adanya kepastian hukum,sedangkan aliran anglo saxson yang dianut Amerika Serikat bahwa pengaturan suatu bidang hukum diserahkan pembentukannya melalui putusan pengadilan (judge made law) dengan mengutamakan hukum kebiasaan yang hidup dalam masyarakat (common law).Hakim selalu terikat kepada keputusan hakim terdahulu atas masalah yang sama atau hampir sama kasus posisinya (precedents),karena hakim terikat kepada asas “stare decision” atau asas “the binding force of precedents” atau keputusan yang mempunyai kekuatan mengingat untuk diteladani (Dr.R.O. Siahaan,SH,S. Sos,MH,Tindak Pidana Khusus,penerbit RAO Press , Cibubur 2009 , hal 88). Selanjutnya dalam penjelasan pasal 37 undang-undang Nomor 20 tahun 2001 pembuktian terbalik menerapkan menyalahkan diri sendiri (non self – incrimination),berarti dalam sitim pembuktian di Indonesia ada dua, pertama wettelijk negatief stelsel dan vrij stelsel yang akan merusak tatanan hukum pidana di indonesia,tidak baik dalam sistim pembuktian menganut dua sistim ,sama saja seperti negara Indonesia dipimpin dua presiden,dalam satu keluarga ada dua pemimpin,dalam organisasi dipimpin dua orang,demikian juga dalam negara Indonesia menganut dua sistim pembuktian akan menimbulkan kebingungan bagi masyarakat bahkan membawa ketakutan bagi rakyat Indonesia dan merusak tatanan hukum pidana secara mendasar.Tidak baik sesuatu yang baik di negara lain diadopsi di negara indonesia yang belum tentu sesuai dengan budaya indonesia seperti di Negara Amerika Serikat yang menganut faham anglo saxson antara lain kehidupan bermasyarakat menganut sifat indipidualistis yang tidak sesuai diterapkan di negara indonesia yang berbudaya kebersamaan,demikian juga Pembuktian terbalik cukup bagus diterapkan di Amerika Serikat,Inggris,dan Malaysia tetapi belum tentu baik diterapkan di indonesia yang menganut faham eropa continental yang bertentangan dengan asas –asas hukum antara lain sistim pembuktian wettelijk
negatif yaitu minimal dua alat bukti,praduga tidak bersalah,asas kesalahan hukum dimana hukum melindungi yang tidak bersalah dan menghukum yang bersalah ,asas legalitas. Sama juga seperti beragama ,seseorang yang menganut satu agama tertentu tidak boleh mengadopsi kebaikan agama lain kepada agama yang dianutnya atau diyakininya karna setiap agama memiliki kewajiban dan aturan-aturan yang berlaku pada setiap agama , seperti pemeluk agama Islam tidak boleh mengadopsi yang dinilainya baik dari agama lain diterapkan kepada agama islam yang dianutnya,demikian juga pemeluk agama kristen tidak boleh mengadopsi hal yang baik dari agama lain kepada agama yang dianut atau diyakininya,seperti pemeluk Agama Islam maka turunannya setiap hari jumat sholat kemesjid,sholat lima waktu dan lainlain,demikian juga Pemeluk Agama Kristen tiap hari minggu ke Gereja,merayakan hari natal setiap tanggal 25 desember dan seterusnya ,demikian juga Agama lainnya. Untuk itulah apa yang terbaik di Amerika Serikat dalam penerapan hukum yang berfaham anglo saxson jangan menerapkan ke negara Indonesia yang menganut faham eropa kontinental yang dapat mengacaukan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Menganut satu aliran akan membawa turunan asas hukum lainnya yang searah dengan sistim yang dianut,seperti Negara Indonesia menganut aliran eropa kontinental maka akan berpengaruh keasas hukum lain antara lain menganut asas legalitas ,asas praduga tidak bersalah,beberapa perbuatan pidana dijatuhkan satu pasal yang terberat hukumnya ditambah sepertiga sesuai pasal 65 KUHP,hukuman badan paling rendah satu hari dan paling lama 20 tahun,sedangkan Negara Amerika Serikat yang menganut aliran anglo saxson dimana turunan asas hukum yang dianut searah dengan aliran anglo saxson antara lain common law atau kebiasaan hukum yang terjadi dimasyarakat yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat,Vrij stelsel atau hakim dalam menjatuhkan hukuman hanya mendasarkan keyakinan hakim,hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa sifatnya penjumlahan,dan kita mendengar seorang melakukan beberapa perbuatan kejahatan dan semua terbukti
lalu hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa selama dua ratus (200) tahun penjara. Mengingat penerapan pembuktian terbalik bertentangan dengan sistem Pembuktian yang dianut hukum Indonesia,maka hakim tidak terikat atas penerapan pembuktian terbalik ,baik yang diatur dalam undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Pasal 37 dan penjelasannya yang diatur undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,dan undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini bisa terjadi seperti putusan Mahkamah agung tidak terikat kepada undang-undang yang mengatur sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan asas hukum seperti penerapan pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 dalam Putusan Mahkamah Agung RI dengan Majelis Hakim terdiri dari Agung Imron Anwari,Surachmin,dan MS Lumme menjatuhkan Pidana penjara kepada terdakwa Agus Siyadi selama dua bulan dengan masa percobaan empat (4) bulan yang terbukti melanggar pasal 3 dan Pasal 18 ayat (1),(3) UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .Selaku Sekretaris Desa dan penanggungjawab pengelolaan keuangan ADD,Desa Gili Ketapang,Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo telah mempergunakan dana alokasi Dana Desa (ADD) tidak sesuai peruntukannya serta tidak dapat mempertanggungjawabkan sesuai RAB yang telah ditentukan sebesar Rp.5.795 juta.Putusan Majelis Hakim Agung diatas disebut hukuman percobaan yaitu dimana hukuman penjara selama dua bulan tidak perlu dilaksanakan apa bila sampai batas waktu empat bulan tidak melakukan perbuatan kejahatan lagi ,maka terpidana sudah selesai menjalani hukuman tersebut,tetapi jika sebelum empat bulan terpidana melakukan kejahatan lagi maka hukuman penjara dua bulan tersebut dilaksanakan dipenjara sedangkan perbuatan baru yang dilakukan diproses lagi sesuai ketentuan hukum. Dalam Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ,sebenarny ada dua hal yang tidak boleh dilakukan yaitu :
Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Thn 2011 dan Kasus Koata Daging Sapi oleh KPK - Monang Siahaan
215
1. Minimal pidana penjara selama satu (1) tahun atau hukuman terdakwa Agus Siyadi seharusnya diatas satu tahun penjara. 2. Tidak bisa hukuman percobaan karna sudah disebut minimal satu tahun penjara berarti terdakwa Agus Siyadi harus masuk dalam Lembaga Pemasyarakatan (penjara) dengan kata lain terdakwa tidak bisa diluar tahanan /penjara. Ketentuan point a dan b diatas tidak diikuti putusan Mahkamah Agung yang menjatuhkan hukuman dua bulan penjara dengan masa percobaan selama empat bulan,karna dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi telah diatur hukuman penjara minimal 1 (satu) tahun,dan mahkamah Agung mendasarkan kepada asas hukum pidana bahwa hukuman badan minimal satu hari. 9. Dasar Hukum pidana. Suatu perbuatan yang melanggar hukum yang dapat dihukum dan dikenakan hukuman sesuai perbuatannya, bila seseorang tidak ada melakukan kesalahan/kejahatan tidak bisa dituntut termasuk harta kekayaan yang dimilikinya tidak boleh disita untuk dijadikan barang bukti. Harta kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diperoleh sebelum tahun 2011 ,dimana perbuatan kejahatan terkait penyitaan barang bukti yang diperoleh tersangka Irjen Pol Djoko Susilo sebelum tahun 2011 tidak ada sama sekali,dengan demikian penyitaan barang bukti tersebut tidak boleh dilakukan Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. 10. Bertentangan dengan Asas Praduga Tidak bersalah. Dengan menerapkan Pembuktian terbalik berarti tersangka/terdakwa sudah dianggap bersalah sehingga tersangka/terdakwa diwajibkan membuktikan dari mana harta kekayaan yang diperolehnya sebelum tahun 2011 yang bertentangan dengan asas Praduga tidak bersalah karna asas praduga tidak bersalah tersangka / terdakwa yang dituduh melakukan perbuatan korupsi atau pembunuhan dianggap tidak bersalah sebelum putusan majelis hakim 216 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
memiliki kekuatan hukum yang pasti,dan aktif membuktikan kesalahan tersangka/ terdakwa adalah penyidik antara lain penyidik Kepolisian , Kejaksaan ,dan penyidik/Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan pasal 66 KUHAP”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.Tersangka/ terdakwa hanya diberikan kesempatan untuk memberikan pembelaan bahwa dirinya tidak bersalah sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum . 11. KPK Lebih Spesialis minimal dua alat bukti. Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi merupakan Undang-undang yang lebih specialis berlaku bagi komisi pemberantasan korupsi,karna apa yang diatur dalam undangundang Nomor 30 tahun 2002 hanya berlaku bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dan tidak berlaku bagi penyidik Polri dan penyidik Kejaksaan seperti masalah penyadapan hanya bisa dilakukan Komisi Pemberantasan korupsi demikian juga memblokir reking Bank tersangka tanpa seijin Bank indonesia dan lain-lain,sedangkan penyidik Polri dan penyidik Kejaksaan tidak boleh melakukan penyadapan demikian juga bila memblokir rekening Bank tersangka harus seijin Bank Indonesia. Berdasarkan hal tersebut dalam suatu perbuatan korupsi menganut sistim pembuktian wettelijk negatief stelsel yaitu minimal dua alat bukti yang secara jelas diatur dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam “pasal 44 ayat (2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya (2) alat bukti,termsuk dan tidak terbatas pada formasi atau data yang diucapkan ,dikirim,diterima ,atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”,dengan demikian KPK wajib memenuhi dua alat bukti oleh karna itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak boleh mengggunakan/ menerapkan pembutian terbalik sebagaimana diatur dalam pasal 37 dan pasal 38 B termasuk penjelasannya dengan tegas menerapkan pembuktian terbalik dalam penjelasan pasal 37 ayat (2) dalam menerapkan pembuktian terbalik tidak menganut sistem pembuktian secara negatief menurut Undang-undang
(negatief wettelijk),dengan demikian hanya mendasarkan kebebasa hakim semata tanpa adanya minimal dua bukti sebagaimana sistim pembuktian vrij stelsel yang dianut Negara Amerika serikat yang merupakan bagian/ turunan faham anglo saxson.Berdasarkan hal tersebut komisi Pemberantasan Korupsi tidak boleh mernerapkan pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam pasal 37 ayat (2) dan pasal 38 B termasuk penjelasannya UU No.20 tahun 2001 karna secara lex pecialis (secara khusus) sudah tegas diatur dalam pasal 44 ayat (2) UU No.30 tahun 2002 bahwa bukti permulaan yang cukup ditemukan sekurangkurangnya 2 (dua) alat bukti.Tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menerapkan pembuktian terbalik dengan menyita harta kekayaan Irjen Pol Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011 telah melanggar pasal 44 ayat (2) Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 12. Akibat Penerapan Pembuktian terbalik. Penerapan pembuktian terbalik terutama pelaksanaan pasal 37 dan penjelasannya Undanmg-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi,dimana dalam penjelasan pasal 37 secara tegas disebutkan dalam pembuktian tidak menerapkan wettelijk negatief sistim ( minimal dua alat bukti dan hakim yakin ) tetapi menerapkan asas menyalahkan diri sendiri atau praduga bersalah (non self incrimination). Dengan menerapkan asas menyalahkan diri sendiri ( non self incrimination) berarti telah searah dengan asas hukum pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan artinya hanya yang bersalah yang dapat dipidana atau dihukum. Demikian juga searah dengan pendapat Prof.Moeljatno,SH. menyatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut ((Prof.Moeljatno,S.H,Asas-Asas Hukum Pidana,Penerbit, PT.Rineka Cipta ,Cetakan Ketujuh,September 2002,hal 5455). Menurut Wirjono Prodjodikoro hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana.
Menurut W.P.J.Pompe,hukum pidana adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan macam pidananya yang bersesuaian (Dr.R.O.Siahaan,SH,S. Sos,MH, Hukum Pidana I,Penerbit RAO Press,Cibubur 2009,Cetakan Keempat Mei 2009,hal3). Hukum Pidana menurut Jan Remmelink, mencakup hal-hal berikut: a. Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya oleh organorgan yang dinyatakan berwenang oleh UU dikaitkan (ancaman) pidana;normanorma yang harus ditaati oleh siapapun juga; b. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat didaya gunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu; hukum penitensier atau lebih luas,hukum tentang sanksi c. Aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan batas ruang lingkup kerja dari norma-norma (Dr.R.O.Siahaan,SH,S. Sos,MH,Hukum Pidana I,Penerbit RAO Press,Cibubur 2009,Cetakan Keempat Mei 2009,hal 6) Pendapat para pakar hukum pidana tersebut bahwa hanya yang bersalah yang dapat dijatuhkan pidana atau hukuman.Berdasarkan asas menyalahkan diri sendiri ( non self incrimination) dengan pendapat para pakar hukum pidana akibatnya akan berkembang nantinya bahwa aparat penyidik kasus korupsi baik penyidik Polri,penyidik Kejaksaan , dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dapat menghentikan ditengah jalan yang mengendarai mobil mewah sesuai ukuran Indonesia yang berharga diatas Rp.250 juta keatas,lalu menanyakan darimana sumber uangnya membeli mobil tersebut dan berapa penghasilannya satu bulan,dan bila tidak bisa menjelaskan secara wajar maka aparat penyidik meneruskan atau melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan ,kemudian menjatuhkan hukuman sesuai perbuatannya. Hal ini berlaku juga selain aparat negara juga kepada pengusaha dengan menanyakan
Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Thn 2011 dan Kasus Koata Daging Sapi oleh KPK - Monang Siahaan
217
sumber penghasilan dan berapa pajak selama satu tahun dan apa sudah dibayar pajaknya sesuai ketentuan,dan jika jawabannya kurang wajar atau tidak dapat diterima, kasusnya dilimpahkan ke pengadilan untuk dijatuhkan hukuman.Tindakan aparat penyidik jauh lebih muda , cukup menangkap pemilik mobil diatas harga Rp.250 juta ,bila jawabannya tidak rasional tinggal kasusnya dilimpahkan ke pengadilan.Penyidik tidak perlu membuat Berita Acara Pemeriksaan,karna yang dibebani pembuktiannya diberikan kepada terdakwa bukan kepada aparat penegak hukum baik sebagai penyidik Polri,Penyidik Kejaksaan,dan pengadilan hanya menilai jawaban atau pembelaan yang disampaikan terdakwa dan jika tidak rasional jawabannya hakim menjatuhkan hukuman sesuai perbuatannya.Tindakan aparat penegak hukum tidak dapat disalahkan justru sesuai dengan asas hukum pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan dengan kata lain hanya yang bersalah yang dapat dipidana atau dihukum. Lambat atau cepat tindakan penyidik kemungkinan besar akan mengarah ke penerapan pembuktian terbalik yang berakibat timbulnya rasa ketakutan bagi masyarakat baik sebagai aparat Pemerintah maupun para pengusaha baik tingkat menengah maupun tingkat atas. Khusus Tersangka Ahmad Fathanah. Dalam kasus kuota daging dimana Ahmad Fathanah sebagai tersangka yang disuruh Lutfhi Hasan Ishaq menerima uang Rp.1 milyar dari PT.Indoguna ,kemudian ditangkap bersama uang Rp.1 milyar,dengan demikian sebenarnya uang negara sudah dikuasai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),dengan demikian uang tersebut tidak ada digunakan untuk membeli barang lain yang berharga sebagai pencucian uang. Tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita beberapa mobil dan rumah milik Ahmad Fathanah yang tidak ada hubungannya dengan kasus kuota daging sapi.Berkembang lagi memberikan sejumlah uang kepada para artis antara lain Ayu Ashari sebagai uang muka untuk panggung menyayi dengan uang muka Rp.20.000.000, dan sama sekali tidak tau sumber uang Rp.20.000.000 hasil korupsi Ahmad Fathanah,demikian juga tiga artis lainnya ada yang diberikan 218 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
satu mobil Honda Freed dan gelang berharga yang juga tidak tau sumber uang tersebut,dan tidak umum menanyakan pemberian asal dari mana uang tersebut diperoleh,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta uang tersebut dikembalikan ,lalu Ayu Ashari mengembalikan uang Rp.20.000.000,demikian juga artis lain mengembalikan satu buah mobil dan gelang emas ,dan rencananya mengembalikan biaya opname anaknya yang dibayari Ahmad Fathanah,dengan tujuan mengembalikan uang negara dan memiskinkan tersangka.Tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sesuai dengan aturan hukum,karna Ahmad Fathanah memberikan uang tersebut yang merupakan uangnya sendiri,karna Ahmad Fathanah statusnya sebagai makelar atau bergerak dibidang swasta dan bukan penyelenggara negara atau pejabat negara,kepada siapapun diberikan uangnya tidak salah kecuali ada kasus pokok korupsinya selain kasus korupsi kuota daging sapi.Uang yang dibagi tersebut bukan uang negara tetapi uangnya sendiri yang diperoleh dari usahanya sendiri dan bukan uang negara dari hasil korupsi.Demikian juga Ayu Ashari dan tiga artis lainnya yang diberikan uang dan mobil pada saat menerimanya tidak mengetahui uang tersebut hasil korupsi,sebenarnya apa yang diterima ke empat artis tersebut dari Ahmad Fathanah tidak boleh disita atau dikembalikan ke Negara lewat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),yang sudah merupakan hak milik keempat artis tersebut,dan setiap pemberian ,jual beli dan lain-lain tidak pernah menanyakan dari mana sumber uang yang digunakan untuk membeli barang demikian juga penerima sumbangan tidak perlu menanyakan dari mana uang yang disumbangkan tersebut diperoleh penyumbang,hal ini bertentangan dengan etika bisnis dalam masyarakat,justru kalau ditanya dari mana sumber uangnya diperoleh akan menimbulkan kemarahan bagi sipembeli barang demikian juga akan menimbulkan kemarahan juga bagi penyumbang,malah yang terjadi sebaliknya kemungkinan sipembeli barang tidak jadi membeli barangnya demikian juga sipenyumbang menarik kembali sumbangannya.Tindakan komisi pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang ,mobil ,dan perhiasan dari empat artis tersebut telah melanggar asas perikatan
secara perdata yang menimbulkan masyarakat takut bertransaksi dengan orang baik sebagai peminjam uang dari Bank,memberi sumbangan kepada lembaga sosial atau tokoh agama untuk membangun tempat ibadah sesuai dengan agamanya,dilakukan untuk judi.Bila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menarik kembali hutang yang dibayar terdakwa ke Bank dengan alasan uang untuk membayar hutang tersebut hasil korupsi,demikian juga menarik sumbangan yang diberikan untuk membangun gedung ibadah,dan kasino tempat terdakwa berjudi menghabiskan uang korupsinya,akan bisa menimbulkan kemarahan karna mereka menerima sumbangan atas kerelaan si pemberi/tersangka,membayar hutang ke Bank tentu tidak tau dari mana sumber uang tersebut diperoleh,demikian juga tempat judi/kasino mereka datang berjudi atas keinginan tersangka. Atas tindakan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dimana kempat Artis antara lain Ayu Ashari telah rusak namanya dimana hampir setiap saat masalahnya ditayangkan lewat Televisi dan media surat kabar yang nada pemberitaannya sifatnya memalukan atau negatif yang berpengaruh kepada profesinya sebagai artis.Untuk itu kempat artis tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri yang menyita hartanya tanpa ada kesalahan ,sesuai ketentuan hukum tiada pidana tanpa kesalahan,demikian juga “menurut Simons strafbaar feit (perbuatan pidana) adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana ,yang bersifat melawan hukum ,Yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”(Prof. Moeljatno,S.H.,Asas-Asas Hukum Pidana,Penerbit PT.Rineka Cipta,Cetakan ketujuh,September 2002,hal 56),dalam arti suatu perbuatan tidak boleh dipidana kalau tidak ada kesalahan atau dengan kata lain hanya orang yang melakukan kesalahan yang dapat dikenakan hukuman pidana.Jika Pengadilan memenangkan gugatan keempat artis tersebut dapat digunakan sebagai dasar menuntut aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Polisi dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyitaan milik empat artis tersebut didasarkan dengan hukum ,maka
tindakan tersebut harus diselesaikan lewat hukum juga.Perlawanan lewat jalur hukum harus dilakukan untuk menjungjung Negara Indonesia sebagai negara hukum yaitu hukum adalah panglima,dan semua harus mentaati aturan hukum baik Aparat Negara maupun masyarakat umum.Jangan sampai Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) terlalu arogan menerapkan kewenangan yang dimiliki,dan tindakan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) perlu diuji di Pengadilan dan siapa yang dimenangkan dan atau disalahkan siap menerima putusan Pengadilan. Beberapa pandangan para pakar hukum menentang penerapan pembuktian terbalik, antara lain : 1. J.E. Sahetapy atas tulisan Problematika Beban Pembuktian Terbalik menyatakan lebih kurang tigapuluh tahun yang lalu ,problematik beban pembuktian terbalik sudah menjadi wacana didunia fakultas hukum;”omkering van de bewijslast” begitulah problematik pembahasan pada waktu itu.Dirasakan dan dipikirkan pada waktu itu bahwa beban pembuktian terbalik sangat tidak tepat dengan berbagai argumentasi yang tidak begitu jauh berbeda secara substansial dengan apa yang disuarakan dewasa ini.Dalam pada itu kritik-kritik terhadap beban pembuktian terbalik akhir-akhir ini sangat kental nuansanya dengan nada partisan dan politik,Dalam era reformasi,semua itu boleh-boleh saja atau sah-sah saja. 2. Prof. Indriyanto Senoadji (Guru Besar FH Universitas Kristen Dwipayana dan Pengajar PPs. FH UI) dalam tulisannya Asas Pembuktian terbalik,menyatakan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara-negara yang mengakui sistim hukum pidana pada negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental (Indonesia menganut Kontinental) .Kalau kita lihat di KUHP atau KUHAP di Negaranegara Kontinental atau dari doktrindoktrin Anglo Saxon khususnya untuk Korupsi ,sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali satu yaitu suap (Bribery).Didalam sistem
Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Thn 2011 dan Kasus Koata Daging Sapi oleh KPK - Monang Siahaan
219
UU Tipikor,yang dinamakan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik ,yaitu masalah suap (gratifikasi).Jadi UU Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.20 tahun 2001 (pasal 2, 3,5,6,7,8,9,1011,12,13,15),pembalikan beban pembuktian bukan untuk semua delik,hanya berlaku untuk Pasal 12 b dan 38 b yaitu yang berkaitan dengan delik suap. Menekankan apa yang dinamakan pembuktian terbalik dari terdakwa yang dikehendaki ,pembuktian terrbalik itu jauh lebih baik dilakukan di Peradilan, karena kesulitan untuk membuktikan secara terbalik oleh tersangka di proses penyidikan dan penuntutan,menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi,yang penting untuk apa yang dinamakan pembalikan beban pembuktian adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari penuntut umum untuk dibuktikan. 3. RM. Arobbi Rahmat Zoneidhi dalam tulisannya Pemberantasan Tindak pidana korupsi dengan sistem pembuktian terbalik yaitu Pembuktian terbalik (omkering van bewijslast atau shifting burden of proof),tersangka atau terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya.Dengan sistem pembuktian terbalik ternyata masih kurang efektif untuk upaya penanggulangan korupsi sebab masih ada kelemahan didalamnya yaitu pembuktian terbalik bertentangan dengan asas Praduga tidak bersalah (presumption of innocence) karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.Menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori hak untuk diakui sebagai pribadi didepan hukum ,dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,walaupun peraturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada,apabila penerapan asas ini tidak secara profesional hal tersebut dapat timbul. 4. Romli Atmasasmita (Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad & Ketua 220 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Forum 2004) atas tulisan Pembuktian terbalik Kasus Korupsi menyatakan Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian ”beyond reasonable doubt”,yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence),akan tetapi disisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi.Dalam pasal 31 UU Nomor 31 tahun 1999 dan pasal 37 UU Nomor 20 tahun 2001 telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof ) hanya masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis, melainkan hanya menempatkan ketentuan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangka/terdakwa berdasarkan UUD 1945. 5. Supriyadi Widodo Eddyono dengan tema Tulisan Pembebanan Pembuktian Terbalik dan Tantangannya (Verification Reversed Imposition and it,s Challenges). Terkait Dengan Pembuktian Terbalik. 1. Penerapan pembuktian terbalik secara murni terhadap perkara korupsi banyak mendapat tantangan baik dari segi teoritis maupun praktis dan salah satunya bertentangan dengan asas presumption of innocent atau praduga tidak bersalah. 2. Pekbuktian seimbang atau beban semi terbalik diartikan sebagai beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap objek pembuktian yang berbeda secara berlawanan. 3. Munculnya Norma beban pembuktian terbalik, awalnya dilatar belakangi dari problem penegakan hukum dalam kasus korupsi, karena korupsi kerap dilakukan secara sistimatis, terencana oleh oknum yang berpendidikan, birokrat dan pengusaha yang secara politis dan ekonomi amat kuat ,sehingga gampang mempengaruhi jalannya proses Peradilan. 4. Pembuktian terbalik yang dikenal dari
negara penganut rumpun Anglo saxon dan hanya terbatas pada “ certain case” atau pemberian yang berkolerasi dengan “bribery” (suap). Pembuktian terbalik di terapkan di beberapa negara antara lain United Kingdom of great Britain, Singapura, Hongkong, Pakistan, India, dan lain sebagainya. Tantangan. Tantangan pembuktian terbalik yaitu : 1. Beban pembuktian terbalik oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, akan berpotensi menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yakni ketentuan khusus tentang asas praduga tidak bersalah. Dalam pembuktian terbalik hakim berangkat dari praduga bahwa terdakwa telah bersalah, sehingga terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, dan jika tidak dapat membuktikan hal itu, maka dinyatakan bersalah tanpa perlu pembuktian lagi dari pihak penuntut umum, maka disamping hakim dapat menjatuhkan putusan pidana atas keyakinan hakim sendiri tanpa alat bukti, hal ini sama dengan sistym teori pembuktian conriction intime (pembuktian berdasar keyakinan hakim semata), sehingga tumbunya pergeseran dari praduga tidak bersalah menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) atas asas praduga korupsi (presumption of corruption). 2. Asas Tidak mempersalahkan diri sendiri (non – self incrimination). 3. Asas hak untuk diam (right to remain silent)
B. Menuntut KPK. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas harta kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011,yang dijadikan barang bukti dalam kasus SimulatorSIM dalam 2011,dimana barang bukti yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelum tahun 2011 tidak ada hubungannya dengan kasus SimulatorSIM tahun 2011.Dengan alasan tersebut tersangka Irjen Pol Djoko Susilo lewat pengacaranya Juniver Girsang menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke
Pengadilan Negeri terkait penyitaan barang bukti yang dilakukan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) sebelum tahun 2011 (TV One ,berita jam 05.00 wib ,selasa tanggal 19 Maret 2013).Bila Gugatan tersangka Irjen pol Djoko Susilo lewat pengacaranya dimenangkan Pengadilan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kesalahan atas penyitaan barang bukti milik Irjen Pol Djoko Susilo sebelum tahun 2011,maka berdasarkan keputusan Pengadilan ,tersangka Irjen Pol Djoko Susilo lewat pengacaranya Juniver Girsang dapat menggugat perdata kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Pengadilan Negeri.Tindakan Irjen Pol Djoko Susilo mengajukan gugatan Perdata kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) suatu langkah yang tepat sebagai negara hukum semua permasalahan hukum diselesaikan lewat Pengadilan.Tindakan komisi pemberantasan Korupsi (KPK) diterapkan juga dalam kasus Luthfi Hasan Ishaaq yang memerintahkan Ahmad Fathanah menerima uang Rp. 1 milyar dari Pengusaha Indoguna terkait kasus kuota daging sapi dalam tahun 2013,dimana uang Rp.1 milyar sudah disita dan dijadikan barang bukti ,Tetapi selain uang Rp.1 milyar yang sudah dijadikan barang bukti dimana beberapa mobil milik Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah disita juga sebagai barang bukti dalam kasus kuota daging sapi,yang dirasakan tidak ada hubungan penyitaan beberapa mobil dengan kasus kuota daging sapi,karna barang bukti uang Rp.1 milyar yang tertangkap tangan sudah disita sebagai barang bukti dalam kasus kuota Daging Sapi. M.Assegaf selaku pengacara Luthfi Hasan Ishaaq mengeluhkan/menyesalkan atas tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyitaan beberapa mobil milik tersangka Luthfi Hasan Ishaaq yang tidak ada kaitannya dengan kasus kuota daging Sapi.Adanya dugaan selain kasus kuota daging sapi masih ada kasus korupsi lain yang dilakukan tersangka Luthfi Hasan Iishaaq dan Ahmad Fathanah.Hal tersebut dapat dibenarkan mencari alat bukti kasus korupsi tersebut serta menyita barang bukti yang ada kaitannya dengan harta milik yang dimiliki kedua tersangka,yang nantinya dapat dibuat dalam satu berkas yang disidangkan secara bersamaan,kemudian Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim menjatuhkan hukumannnya dengan asas konkursus realis yang diatur dalam pasal 65 KUHP dimana beberapa perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa dijatuhkan salah satu pasal yang tertinggi hukumannya ditambah sepertiga.
Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Thn 2011 dan Kasus Koata Daging Sapi oleh KPK - Monang Siahaan
221
III. PENUTUP Berdasarkan informasi tersebut diatas,dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Irjen Pol Djoko Susilo Dkk sebagai tersangka kasus simulator SIM tahun 2011,dan Luthfi Hasan Ishaaq serta Ahmad Fathana sebagai tersangka dalam kasus kuota daging sapi pada tanggal 29 januari 2013.. 2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyita barang bukti milik tersangka Irjen Pol Djoko Susilo sebanyak 20 unit,demikian juga menyita harta kekayaan tersangka Luthfi Hasan Ishaaq serta Ahmad Fathana berupa mobil . 3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada menyita harta milik tersangka Irjen Pol Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011,dan juga menyita beberapa mobil milik tersangka Luthfi Hasan Ishaaq serta Ahmad Fathana yang diperoleh sebelum tahun 2013. 4. Penyitaan harta milik tersangka Irjen Pol Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011 yang dijadikan barang bukti tidak ada kaitannya dengan kasus Simulator SIM tahun 2011,demikian juga penyitaan mobil milik tersangka Luthfi Hasan Ishaaq serta Ahmad Fathana yang tidak ada hubungannya dengan kasus kuota daging sapi. 5. Keyakinan Majelis Hakim hanya dapat diperoleh dari alat bukti Keterangan saksi,Ahli,Surat ,bukti elektronik dan keterangan tersangka/ terdakwa untuk menyatakan kesalahan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo dalam kasus simulator SIM,demikian juga menyalahkan kesalahan tersangka Luthfi Hasan Ishaaq serta Ahmad Fathana terkait kasus kuota daging sapi. 6. Penyitaan harta kekayaan milik tersangka Irjen Pol Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011 yang dijadikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai barang bukti dalam kasus simulator SIM tahun 2011 tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 7. Penyitaan mobil milik tersangka Luthfi Hasan Ishaaq serta Ahmad Fathana yang diperoleh sebelum tahun 2013 yang dijadikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai 222 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
barang bukti terkait kasus kuota daging sapi tidak sesuai dengan ketentuan hukum . 8. Tersangka Irjen Pol Djoko Susilo lewat pengacaranya Juniver Girsang menggugat Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) sehubungan penyitaan harta kekayaan milik tersangka Irjen Pol Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011,pada hal kasus simulator SIM terjadi dalam tahun 2011. 9. Tersangka Luthfi Hasan Ishaaq serta Ahmad Fathana lewat pengacaranya M.Assegaf diduga akan menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyita mobil dijadikan barang bukti yang diperoleh sebelum tahun 2013 dalam kasus kuota daging sapi. 10. Tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyita harta kekayaan tersangka yang tidak ada hubungannya dengan kasus korupsi yang sedang ditangani baik kasus simulator SIM maupun kasus kuoata daging sapi sifatnya arogan dan melanggar hukum. 11. Penyitaan harta kekayaan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo,Luthfi Hasan Ishaaq ,dan Ahmad Fathanah yang dijadikan barang bukti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memiskinkan tersangka koruptor sesuai keinginan masyarakat tetapi melanggar hukum. 12. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan terganggu dalam menyelesaikan kasus korupsi yang sedang ditangani terkait gugatan yang diajukan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo lewat pengacaranya Juniver Girsang. 13. Berdasarkan penjelasan pasal 37 Undangundang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasana Tindak Pidana Korupsi bahwa sistim pembuktian ada dua yaitu wettelijk negatief stelsel dan vrij stelsel. 14. Penerapan pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah,sistim pembuktian wettelijk negatief stelsel,asas hukum. 15. Penerapan pembuktian terbalik menempatkan seseorang dalam kedudukan bersalah yang setiap saat dapat ditangkap dan ditahan aparat penegak hukum antara lain penyidik Polri,Kejaksaan,dan Komisi pemberantasan korupsi (KPK) adanya kecurigaan tidak seimbangnya penghasilannya dengan harta kekayaan yang dimiliki.
16. Penerapan pembuktian terbalik menimbulkan rasa ketakutan kepada masyarakat baik sebagai aparat Negara maupun para pengusaha.
sebelum terjadinya kasus kuota daging sapi tersebut yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
17. Penerapan pembuktian terbalik ditentang beberapa pakar hukum pidana terutama yang melanggar asas praduga tidak bersalah.
4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya tidak melakukan penyitaan harta kekayaan tersangka yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan korupsi yang sedang disidik/diperiksa ,selain bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku juga memakan waktu ,biaya dan tenaga yang sifatnya sia-sia dan memperlambat penyelesaian kasus, ditambah lagi jumlah penyidik Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) hanya berkisar 50 orang relatif sedikit dengan jumlah perkara yang ditangani.
18. Negara Indonesia menganut faham eropa kontinental diawali masuknya penjajah Belanda ke Indonesia. Bertalian dengan kesimpulan diatas,dapat disarankan sebagai berikut : 1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya harta milik Irjen Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011 tidak dijadikan barang bukti dalam kasus simulator SIM,karna tidak ada hubungan hukumnya. 2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat pujian cepat menyelesaikan kasus simulator SIM serta memiskinkan pelaku koruptor.Tindakan memiskinkan Koruptor sangat baik tetapi harus sesuai ketentuan hukum ,jangan sampai memuaskan hati masyarakat dengan jalan melanggar hukum. 3. Pengacara M.Assegaf selaku pengacara Luthfi Hasan Ishaaq jangan hanya mengeluhkan/ menyesalkan tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyitaan beberapa mobil milik tersangka Luthfi Hasan Ishaaq yang tidak ada kaitannya dengan kasus kuota daging Sapi,seharusnya tersangka Luthfi Hasan Ishaaq lewat pengacaranya M.Assegaf menggugat Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) ke Pengadilan Negeri sebagai perwujutan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum.Dalam kasus kuota daging sapi tidak dapat diterapkan Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ,karna uang hasil korupsi sebesar Rp.1 milyar langsung tertangkap tangan lalu disita dan dijadikan barang bukti,dengan demikian uang Rp.1 milyar tersebut belum sempat digunakan baik membeli mobil,rumah ,tanah,disimpan di Bank sebagai pencucian uang,demikian juga penyitaan beberapa mobil milik tersangka Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah tidak ada hubungannya dengan kasus kuota daging sapi yang terjadi dalam tahun 2013 sedangkan mobil yang disita sudah dimiliki sebelum tahun 2013 atau
5. Tersangka Irjen Pol Djoko Susilo yang harta miliknya banyak disita komisi Pemberantasan korupsi (KPK) yang dijadikan barang bukti dalam kasus Simulator SIM tahun 2011 yang diduga nilainya hampir mencapai Rp.70 milyar,pada hal sebagian besar harta milik tersebut diperoleh tersangka Irjen Pol Djoko Susilo sebelum tahun 2011.Besarnya nilai harta milik tersangka Irjen Pol Djoko Susilo hampir mencapai Rp.70 milyar dengan status Pegawai Negeri Sipil atau Aparat pemerintah ,secara umum tidak masuk akal bila dikaitkan dengan gaji seorang Perwira Tinggi Polri. Untuk itu ada dugaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa kekayaan yang dimiliki tersangka Irjen Pol Djoko Susilo diperoleh dari hasil korupsi.Seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selain menangani kasus Simulator SIM ,juga mencari beberapa perbuatan Korupsi yang dilakukan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo sebelum tahun 2011 selama bertugas di Kepolisian serta menyita barang bukti yang ada kaitannya dengan kasusnya.Bila komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat membuktikan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo melakukan beberapa perbuatan pidana korupsi, dimana hakim nanti dapat menjatuhkan hukuman tertinggi ditambah sepertiga sebagaimana diatur dalam pasal 65 KUHP ayat (1) Dalam gabungan dari beberapa perbuatan yang masingmasing harus dipandang sebagai perbuatan sendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang sejenis,maka satu hukuman saja dijatuhkan.ayat (2) Maksimum hukuman ini ialah jumlah hukuman2 yang
Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Thn 2011 dan Kasus Koata Daging Sapi oleh KPK - Monang Siahaan
223
tertinggi ,ditentukan untuk perbuatan itu ,akan tetapi tidak boleh dari hukuman maksimum yang paling berat ditambah dengan sepertiganya”. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta kemampuannya mengungkap beberapa perbuatan korupsi yang dilakukan tersangka Irjen pol Djoko susilo sebelum tahun 2011,jangan mencari gampangnya hanya menangani kasus Simulator SIM dengan menyita harta milik tersangka Irjen Pol Djoko Susilo sebelum tahun 2011 sebagai barang bukti ,guna memenuhi kepentingan publik untuk memiskinkan pelaku korupsi tersangka Irjen Pol Djoko Susilo walaupun tindakan penyitaan tersebut melanggar hukum.Memiskinkan pelaku korupsi akan dapat diterima tetapi harus dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. 6. Tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlalu arogan atas kekuasaan yang dimiliki,yang melakukan penyitaan harta kekayaan tersangka tanpa ada kaitannya dengan kasus korupsi yang ditanganinya. 7. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan sedikit terganggu dalam tugasnya menyelesaikan kasus korupsi,karna sibuk menghadapi gugatan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo lewat pengacaranya Juniver Girsang terkait penyitaan harta kekayaan tersangka Irjen pol Djoko Susilo yang diperoleh sebelum tahun 2011,pada hal kasus simulator SIM baru dilaksanakan tahun 2011 , dan diduga tersangka Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathana lewat pengacaranya M.Assegaf akan menggugat Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus kuota daging sapi ,mengingat uang korupsi sebesar Rp.1 milyar sudah di sita sebagai barang bukti,tetapi Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) masih menyita harta kekayaan tersangka Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathana berupa mobil yang tidak ada hubungannya dengan kasus kuota daging sapi,dimana kasus kuota daging sapi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanggal 29 Januari 2013 di Hotel Le Meridien , sedangkan mobil milik pribadi tersangka Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathana diperoleh sebelum tahun 2013.
224 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
8. Penerapan pembuktian terbalik yang menimbulkan dua sistim pembuktian yang berlaku dalam hukum pidana indonesia,yang akan menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaannya.Berdasarkan ketentuan hukum yang dianut hukum pidana indonesia adalah sistim pembuktian wettelijk negatief stelsel dimana dalam menentukan kesalahan tersangka/terpidana minimal dua alat bukti dan hakim yakin dan asas praduga tak bersalah bahwa seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti , sesuai dengan aliran continental yang dianut negara Indonesia. Aliran continental semua turunan aturan dan asas hukumnya searah,dan tidak bisa dalam kasus tertentu menerapkan wettelijk negatif stelsel sebaliknya dalam kasus lain diterapkan pembuktian vrij stelsel,akan merusak tatanan hukum indonesia.Sekali hukum indonesia menganut aliran continental maka semua turunannya harus searah dengannya.Melihat adanya faktor negatif menerapkan pembuktian terbalik agar pasal yang mengatur pembuktian terbalik serta penjelasan pasal 37 Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menerapkan pembuktian dengan asas pembuktian menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination) agar : 1. Agar Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencabut atau merepisi pasal 37 beserta penjelasannya Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,guna terciptanya ketenangan hidup masyarakat dalam memiliki harta kekayaan karna harta kekayaan yang dimiliki masyarakat pada umumnya diperoleh sesuai aturan hukum ,hanya sebagian kecil yang memiliki harta kekayaan banyak yang tidak sesuai dengan penghasilannya ,yang umumnya diperoleh dengan jalan korupsi ,karna jumlah Aparat Pemerintah yang berpotensi dapat melakukan perbuatan korupsi hanya sebagian kecil dimana jumlah aparat pemerintah dengan status sipil dan militer hanya berkisar 4 juta orang sedangkan jumlah anggota masyarakat mencapai 230 juta jiwa,jangan hanya jumlah
aparat Pemerintah sebesar 4 juta orang menimbulkan ketakutan terhadap 230 juta jiwa bagi pemilik harta kekayaan yang relatif banyak.jangan menyamaratakan semua pemilik harta yang banyak lalu dituduh dari hasil korupsi . 2. Agar Mahkamah Agung lewat Putusannya atas suatu kasus korupsi meluruskan ketentuan hukum yang diterapkan terhadap kasus korupsi tersebut sesuai dengan faham eropah kontinental karna hakim mempunyai kewenangan untuk menggali hukum sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang tetap berlandaskan asas-asas hukum dalam faham eropah kontinental.Dengan demikian hakim tidak terikat kepada pasal 37 dan penjelasannya undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bertentangan dengan sistim pembuktian wettelijk negatif stelsel yaitu minimal dua alat bukti dan hakim yakin yang merupakan turunan dari faham eropah kontinental yang dianut hukum Indonesia.Hal tersebut telah terbukti putusan Mahkamah Agung meluruskan asas hukum mengenai pelaksanaan hukuman minimal satu hari yang diatur dalam KUHP terhadap kasus an. Agus Siyadi melakukan korupsi yang dituntut bersalah melanggar pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ancaman hukumannya minimal 1 (satu) tahun ,dan majelis hakim menjatuhkan hukuman dua (2) bulan penjara dengan masa percobaan empat bulan ,Putusan Mahkamah Agung tersebut sudah merupakan jurisprudensi yang dapat dipedomani dalam menangani masalah yang sama yang terjadi ditempat lain dalam wilayah Negara indonesia. Putusan hakim Mahkamah Agung tersebut telah meluruskan atau tidak terikat kepada ancaman hukuman pidana minimal satu (1) tahun yang diatur dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi.
Amerika serikat,Inggris,dan Malaysia yang searah dengan sistim pembuktian vrij stelsel yang masuk faham anglo saxson yang dianut hukum di Amerika Serikat
DAFTAR PUSTAKA Hamzah, Andi, Hukum Pidana Ekonomi, edisi Kedua (Selaras Inpres No.4 Tahun 1985), Jakarta : Penerbit Erlangga; Harahap, Krisna, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Bandung, PT.Grafitri. Mahrus, Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, Yogyakarta : Penerbit UII Press. Muljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Rineka Cipta, Cetakan ke 7, 2002 Republik Indonesia Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undangundang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Siahaan, R.O, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cibubur : Penerbit RAO Press, 2009. Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, Cetakan Pertama, 2011.
Pasal 37 dan penjelasannya Undangundang Nomor 20 tahun 2001 terkait pembuktian terbalik hanya cocok di negara Penyitaan Barang Bukti di Luar Kasus Simulator SIM Polri Thn 2011 dan Kasus Koata Daging Sapi oleh KPK - Monang Siahaan
225
226 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
BAGAIMANA PERADILAN MENCIPTAKAN HUKUM DIANUTNYA SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Baringin Sianturi Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI Jl. Sultan Hasanudin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email : baringin.sianturi@ yahoo.com (Diterima tanggal 22 Mei 2013, direvisi tanggal 30 Mei 2013, disetujui tanggal 11 Juni 2013) Abstrak Hukum Positif dalam bentuk peraturan perundang-undangan tidak pernah mampu mengimbangi perkembangan kehidupan masyarakat, hal mana dipacu dengan perkembangan teknologi canggih dan ilmu pengetahuan yang sudah barang tentu semakin berkembangnya bentuk-bentuk kejahatan yang non konvensional. Sesuai dengan adagium yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dalam Pasal 10 ayat (1) nya mengatakan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dalam keadaan demikian maka peranan hakim sangat sentral untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) yang hidup di tengah-tengah masyarakat, sehingga hukum itu menjadi sarana pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering). Kata kunci : peradilan, menciptakan hukum, sifat melawan hukum materiil. Abstract Positive law in the form of legislation was never be able to keep pace with the development of society. The development of sophisticate technology and science, has influence the development of other forms of non-conventional crimes. Concordance to the adage adopted in Act No. 48 of 2009 Article 10 paragraph (1) concerning Judicial Power that stated: “The court was not allowed to refuse examining, hearing and deciding a case on the grounds that the law does not exist or is less obvious, but it was obliged to examine and to make judgement “. In such circumstances, the judge has central role to the discovery of the law (rechtsvinding) that lives in the society. So, the law to be a means of renewing society (law as a tool of social engineering). Keywords: court, creating the law, violence/breach the rechtmaterriel.
I. PENDAHULUAN Menganalisa permasalahan melawan hukum (wederechtelijkheid) adalah sangat penting dikuasai guna menentukan apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Apabila suatu perbuatan tidak melawan hukum, maka perbuatan tersebut tidak dapat dihukum, dan bila perbuatan tersebut terdapat melawan hukumnya selanjutnya perbuatan tersebut harus dihukum dan pelakunya harus dinyatakan bersalah. Banyak berbagai penafsiran dari para ahli tentang perlu tidaknya pembuktian unsur melawan
hukum ini, sehingga terdapat bentuk “melawan hukum formil” dan “melawan hukum materiel” dan juga terjadi pergeseran terhadap fungsi melawan hukum itu dari fungsi negatif menjadi fungsi positif. Demikian juga terhadap peranan Hakim dalam memberi suatu penafsiran menurut keyakinan hukumnya tentang pembuktian unsur melawan hukum tersebut dan sejauhmana “tidak terbuktinya” melawan hukum materiel dapat melepaskan terhadap dari tuntutan pidana, sehingga dalam hal ini Hakim perlu secara cermat, arif dan bijaksana dalam menerapkan fungsi negatif dan fungsi positif dari melawan hukum materiel.
Bagaimana Peradilan Menciptakan Hukum Dianutnya Sifat Melawan Hukum Material Dalam ........ - Baringin Sianturi
227
II. PEMBAHASAN
hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum kongkrit2. Penemuan hukum merupakan proses yang kongkrit dengan melakukan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan menghubungkannya dengan peristiwa kongkrit. Penemuan hukum atau pembentukan hukum oleh hukum dilakukan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, dan apabila putusan hukum itu secara berulang-ulang dipakai atau digunakan hukum lainnya dalam memutus perkara yang ditanganinya, maka putusan tersebut menjadi jurisprudensi. Di lain pihak bukan saja hukum yang menemukan hukum, namun penemuan hukum juga sering dilakukan oleh hakim disebut “hukum”, dan oleh ilmuwan disebut hukum atau doktrin”. Doktrin bukanlah hukum, akan tetapi merupakan salah satu sumber hukum, sehingga apabila hakim mengambil alih suatu “doktrin” dalam putusannya maka doktrin tersebut meluas fungsinya menjadi “hukum”.
A. Menciptakan Hukum Melalui Peradilan Dalam Perspektif Penemuan Hukum Oleh Hakim Di dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) pada Pasal 10 ayat (1), bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Tujuan pasal tersebut haruslah diartikan, bahwa Hakim sebagai organ pengadilan dianggap tahu hukum dalam arti memahami hukum, jadi apabila hakim tersebut tidak menemukannya dalam hukum tertulis, maka ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus perkara berdasarkan hukum. Dari hal tersebut timbul suatu permasalahan tentang dengan cara bagaimana Hakim dapat menggali dan menemukan hukum atau menemukan apa yang (dapat) menjadi hukum. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 mengisyaratkan bahwa Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Sehingga dengan demikian haruslah diartikan sebagai bagian hukum, halmana disebabkan Hakim merupakan perumus dan penggali atau pencari hukum yang sesuai dalam nilai-nilai hukum yang hidup dalam Aliran penemuan hukum oleh hakim lahir setelah aliran legisme tidak mampu lagi memecahkan permasalahan hukum yang muncul. Menurut Paul Scholten penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya menerapkan peraturanperaturan yang peristiwanya kadang-kadang dan bahkan sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rehtvervijning.1
Dalam rangka menghasilkan putusan hukum yang menjunjung tinggi rasa keadilan, maka upaya penemuan hukum sangatlah penting dilakukan hakim, karena dalam suatu peraturan sering tinggi rendah sanksi pidana tidak mencerminkan rasa keadilan, sehingga hakim harus mengenyampingkan pidana tersebut dan menerapkan sanksi pidana yang mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat. Sebagai contoh dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menganut sistem sanksi minimum yaitu pidana badan paling sedikit 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (Dua ratus juta rupiah). Sanksi seperti ini tentu tidak mencerminkan rasa keadilan, karena terhadap pelaku korupsi dari yang merugikan Negara sebesar Rp. 1 s/d tidak terhingga hukumannya sama (pidana badan + denda). Dalam mengisi kekosongan hukum seperti itulah maka hakim perlu merumuskan hakim agar tercipta rasa keadilan. Oleh karena Undang-Undang tidak lengkap atau tidak jelas, maka Hakim harus mencari hukum, harus menemukan hukumnya. Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum
Menurut Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian tentang penemuan hukum sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim ataupun petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan Prof. Dr. Ahmad ali, SH, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta, Chandra Pratama, 1996 hlm. 146.
1
228 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Prof.Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, SH,MH, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Tahun 1993 hlm. 12
2
dan tidak sekedar penerapan hukum.3
suatu ketentuan yang tidak jelas. Konstruksi Hukum adalah suatu bentuk penemuan hukum dengan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dengan ketentuan hukum tersebut.
Dalam penemuan hukum dikenal adanya aliran progresif dan aliran konservatif. Aliran progresif berpendapat bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahanperubahan sosial, sedangkan aliran konservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan hanyalah mencegah kemerosotan moralmoral dan nilai-nilai lain.4
Penghalusan Hukum adalah suatu bentuk penemuan hukum dengan tidak menerapkan atau menerapkan hukum secara lain daripada ketentuan hukum tertulis yang ada.5 Jenisjenis Interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum:6 1. Interpretasi menurut Bahasa (Gramatikal) 2. Interpretasi Telelogis atau Sosiologis. 3. Interpretasi Sistimatis. 4. Interpretasi Historis. 5. Interpretasi Komparatif. 6. Interpretasi Futuristis.
Ketidaksempurnaan Undang-Undang atau hukum dalam arti luas, membuat Hakim bukan lagi sebagai corong Undang-Undang, akan tetapi terjadi pergeseran terhadap peranan Hakim menjadi pembentuk UndangUndang dalam arti luas atas penemuan hukum yang dilakukannya, hal ini senantiasa bukan menempatkan Hakim dalam kelompok Legislatif (pembentuk Undang-Undang) namun dalam arti luas, Hakim berkewajiban mencari dan menemukan hukum, sehingga dalam putusannya terbentuk suatu ketentuan hukum atau hukum yang harus ditaati.
Penafsiran gramatikal yaitu menafsirkan Undang-Undang atau hukum menurut arti perkataan (istilah)7.
Terjadinya pergeseran tersebut, maka menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., sebagaimana dikutip dari buku Prof. Sudikno Mertokusumo, SH. Dikatakan bahwa dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengadilan atau Hakim itu merupakan unsur yang cukup penting tidak saja di dalam menemukan hukum tetapi juga dalam mengembangkan hukum.
Penafsiran Telelogis atau Sosiologis yaitu menafsirkan Undang-Undang menurut cara tertentu sehingga Undang-Undang itu dapat dijadikan sesuai denagn keadaan sekarang yang ada dalam masyarakat.8 Penafsiran Sistimatis yaitu menafsirkan suatu Undang-Undang menurut sistem yang ada dalam hukum.9
Apabila suatu ketentuan hukum itu tidak ada atau tidak jelas, sedangkan keharusan/ kewajiban bagi Hakim untuk memeriksa dan memutus perkara kepadanya (asas Non Liquef), maka dalam hal ini, Hakim dapat melakukan konstruksi hukum (Refinement of the Law).
Penafsiran Historis yaitu : menafsirkan suatu Undang-Undang menurut sejarah pembentukannya.10
Dalam mengemban tugas Hakim sebagai penemu hukum tentu ada berbagai bentuk dalam menemukan hukum, yaitu: 1. Penafsiran (Interpretasi) Hukum 2. Konstruksi Hukum 3. Penghalusan Hukum
Penafsiran Komparatif, yaitu dengan jalan memperbandingkan penjelasan berdasarkan perbandingan hukum.11
Penafsiran Hukum (Interpretasi) adalah suatu bentuk penemuan hukum dengan cara pemberian arti yang lebih jelas dan dapat dimengerti dengan gamblang terhadap 3 Prof. Dr. R. M. Sudikno Mertokusumo, SH.MH., Op.cit, hlm. 4. 4 Prof. Dr. R. M. Sudikno Mertokusumo, S.H., ibid, hlm. 5.
Setiap ketentuan perundang-undangan mempunyai sejarah pembuatnya, baik dari konsep pengajuan maupun pada saat pembahasannya di legislatif.
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Penerbit Alumni Bandung, Tahun 2000, hal. 98. Lihat juga buku Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia, disertasi Universitas Gajah Mada, 1970, Penerbit PT. Gunung Agung. Lihat juga buku: Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum oleh Prof. Dr. Soedikno Mertokoesoemo dan Prof. Mr. A. Pitlo, Penerbit Citra Aditya, Bandung, 1993. 6 Prof. Dr. Soedikno Mertokoesoemo, SH., Op.cit, hlm. 14 – 17. 7 Dr. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, SH.MH., Penafsiran Dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni Bandung, Tahun 2000, hlm. 9. 8 ibid, hlm. 11. 9 ibid., hlm. 10. 10 ibid. hlm. 10. 11 Prof. Dr. Sudikno Mertokoesoemo, SH., Loc.cit, hlm. 19. 5
Bagaimana Peradilan Menciptakan Hukum Dianutnya Sifat Melawan Hukum Material Dalam ........ - Baringin Sianturi
229
Penafsiran Futuristis, yaitu metode penemuan hukum yang bersifat antispasi adalah penjelasan ketentuan Undang-Undang dengan berpedoman pada Undang-Undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.12
hukumnya, dan rasa keadilan masyarakat, hal tersebut patut dilakukan, hal ini berhubungan atas pertanggungjawaban Hakim atas putusannya hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tugas Hakim adalah mengambil atau menjatuhkan keputusan atas suatu perkara yang akan mempunyai akibat hukum, sehingga seorang Hakim akan selalu berusaha membuat keputusan yang dapat diterima semua pihak, yaitu dengan cara membuat alasan dan pertimbangan hukum dalam putusannya, yang sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat, sehingga masyarakat menilai bahwa putusannya tersebut adalah benar dan tepat serta patut. Bahwa untuk memantapkan diri sebagai penemu, penggali hukum, maka Hakim harus senantiasa melengkapi diri atas kemajuan ilmu pengetahuan hukum dan ilmu pengetahuan lain, serta selalu memperhatikan perkembangan hukum masyarakat, sehingga Hakim harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk membuat suatu pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusannya yang dapat menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari Hakim, ada beberapa pembahasan mengenai kemerdekaan bagi Hakim untuk menafsirkan Undang-Undang itu, karena kalau tidak ada batasan, kemungkinan akan terjadi keleluasaan, penafsiran Hakim yang tidak bertujuan menjunjung tinggi rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Logeman, mengatakan bahwa Hakim harus tunduk pada kehendak pembuat UndangUndang. Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perundangan, Hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut.13 Bentuk penemuan hukum sebagaimana diuraikan di atas, adalah penemuan hukum dengan metode interpretasi dan argumentasi yang berpijak pada Undang-Undang. Dengan jalan interpretasi atau penjelasan dan berargumentasi, Hakim mempersiapkan ketentuan Undang-Undang untuk diterapkan terhadap peristiwanya.14
B. Heurmeneutika Sebagai Perluasan Penafsiran Hukum yang Progresif
Penafsiran yang dilakukan dalam rangka menemukan hukumnya suatu peristiwa merupakan upaya melengkapi aturan-aturan yang ada dalam satu perundang-undangan. Penemuan hukum oleh Hakim dalam menemukan atau mencari hukumnya bukanlah sekedar mencari Undang-Undang untuk dapat diterapkan terhadap suatu perbuatan, sehingga penemuan hukum oleh Hakim bukanlah suatu sistim yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan kegiatan yang berkesinambungan dalam kegiatan pembuktian, sehingga penemuan hukum itu sendiri merupakan sub sistim pembuktian. Bagaimana Hakim dalam melakukan cara-cara menemukan hukum (rechtsvinding) sebagaimana telah diuraikan di atas, tetap bersumber pada perundang-undangan, hukum tidak tertulis, yurisprudensi dan pendapat-pendapat ahli, dalam arti Hakim harus membanding-bandingkannya terhadap sumber yang ada, yang menurut keyakinan ibid, hlm. 19. Dr. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Op.cit, hlm. 8. Prof. Dr. Sudikno Mertokoesoemo, SH., Op.cit, hlm. 29.
12 13 14
230 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Dalam perkembangan penafsiran hukum, guna mendukung hukum yang progresif, dikenal suatu konsep penafsiran hukum. Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata kerja “hermeneia” yang artinya “interpretasi”. Dalam perkembangan selanjutnya hermeneutika diartikan sebagai suatu proses mengubah sesuatu atau sesuai ketidaktahuan menjadi mengerti.15 Perkatan hermeneutika adalah istilah Indonesia yang diambil dari bahasa Inggris “Hermeneutics”, kata aslinya dari bahasa Yunani yaitu dari kata kerja “Hermeneuo yang mempunyai tiga arti. Ketiga arti itu, pertama : berarti mengungkapkan pikiranpikiran seseorang dalam kata-kata, kedua berarti menterjemahkan dan ketiga : berarti bertindak sebagai penafsir. Ketiga pengertian itu sebenarnya untuk mengungkapkan bahwa hermeneutika merupakan usaha untul beralih Richard E. Palmer, “Hermmeneutics, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidiggir and Gadamer”, North Westhern University Press, Evanston, 1969, diterjemahkan oleh Masnur Hery & Damanhurri Muhammad, “Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Cetakan ke 2, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 14-15
15
dari sesuatu yang gelap ke suatu yang lebih tenang.16 Di dalam konsep hermeneutika, secara umum semua obyek itu netral, karena benda sebagai objek tidak bermakna dalam dirinya sendiri, yang artinya subjeklah yang memberi arti terhadap objek tersebut. Pengertian hermeneutika sebagai “penafsir” memberikan makna terhadap seseorang yang menafsirkan sesuatu, untuk melewati suatu ungkapan pikiran yang tidak atau kurang jelas menjadi lebih jelas, yang artinya dari bentuk pemikiran yang belum jelas dirubah jadi bentuk pikiran yang lebih jelas. Dalam melakukan suatu interpretasi, kita terlebih dahulu harus paham atau mengerti yang bersifat secara alamiah, akan makna yang terkandung dalam objek yang akan diinterpretasi/ditafsirkan, agar dapat melihat hakekat atau substansialnya. Dalam tindakan atau kegiatan melakukan penafsiran terhadap suatu ketentuan, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu tekstual, konteks dan kontekstualisasi. Orang yang menafsir suatu saturan perlu mengenal pesan atau kencondongan suatu teks, dan kita harus meresapi teks tersebut dengan dasar pengetahuan yang benar. Pada dasarnya hermeneutika merupakan ciri khas manusia, karena dalam setiap aktifitasnya selalu melakukan penafsiran untuk memberi makna terhadap sesuatu objek yang dilihatnya secara realitas. Hermeneutika hukum merupakan ajaran filsafat tentng hal untuk memahami sesuatu, dalam konteks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat hukum dalam kitab suci. Dalam melakukan penafsiran harus holistik (utuh/ keseluruhan) dan tidak terpotong-potong agar terlahir suatu pengertian yang jelas dan mencakup secara utuh. Setiap ketentuan hukum selalu ada yang tersurat dan ada yang tersirat atau bunyi hukum dan semangat hukum, dan hal itu menjadi perdebatan para ahli hukum. Proses menafsirkan (Hermeneutika) dipengaruhi oleh bahasa, sehingga peranan bahasa sangat penting dalam menghasilkan suatu penafsiran yang jelas. Ketepatan Dr. M. Syamduin, SH,MH, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm.57.
16
pemahaman dan ketepatan penjabaran terhadap teks suatu peraturan hukum adalah sangat relevan dan memegang peranan, sehingga hermeneutika dibutuhkan untuk menerangkan hukum baik dari segi bunyi, substansial dan semangatnya. Di pengadilan kegiatan interpretasi bukan hanya dilakukan atas teks yuridis saja, akan tetapi juga tentang kenyataan yang dapat menimbulkan masalah hukum tersebut. Bagi praktisi hukum (Jaksa, Hakim), terutama di pengadilan, hermeneutika ini memegang peranan yang sangat strategi dan penting terutama bagi hukum, dalam menemukan hukum, untuk mengisi kekosongan hukum, baik karena aturannya belum ada, atau aturannya sudah ada tetapi tidak menjunjung rasa keadilan. Proses penemuan hukum oleh hakim terdiri dari dua tahap yaitu sebelum pengambilan putusan dan setelah pengambilan putusan. Dalam tahap sebelum pengambilan keputusan merupakan proses mencari dan berpikir yang mendahului sikap pengambilan keputusan. Dalam proses tahap pertama, dilakukan suatu seleksi terhadap pro kontra terhadap putusan. Selanjutnya dipilah-pilah untuk menemukan yang paling tepat. Dalam proses tahap kedua yang dikenal dengan proses legitimasi, dengan cara memberikan suatu pertimbangan atau argumentasi secara hakaket substansialnya, dengan tehnik penyusunan suatu penalaran yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Ada beberapa prinsip-prinsip penerapan metode hermeneutika yang diterapkan yaitu metode memahami untuk menafsirkan dan metode menafsirkan unuk memahami. Kedua metode ini harus diperkaya dengan refleksi kefilsafatan guna mendapatkan suatu bentuk pemahaman yang secara rasional dapat diterima berbagai pihak. Dalam pembuatan putusan hakim, hermeneutika hukum mempunyai dua makna sekaligus yaitu sebagai metode interpretasi atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif; dan hal yang kedua menunjukkan bahwa ada relevansi antara hermeneutika hukum dengan penemuan hukum. Menurut dalil hermeneutika ditentukan bahwa orang harus mengkualifikasi fakta dalam cahaya
Bagaimana Peradilan Menciptakan Hukum Dianutnya Sifat Melawan Hukum Material Dalam ........ - Baringin Sianturi
231
kaidah dan menginterpretasi kadiah dalam cahaya fakta termasuk paradigma dari teori penemuan hukum modern. Disamping pentingnya hermeneutika hukum bagi hakim untuk membuat putusan, hermeneutika hukum juga penting bagi Jaksa dalam membuat dakwaan dan tuntutannya, begitu juga bagi advokat untuk membuat pledoinya, sehingga tugas penegak hukum tidak dapat dilepaskan dari melakukan penafsiran atas teks hukum atau pemeriksaan perudang-undangan yang dijadikan dasar pertimbangan atas peristiwa dan fakta hukumnya sendiri.
C. Perkembangan Sifat Melawan Hukum Materiel Cakupan pengertian hukum adalah lebih luas dari pengertian Undang-Undang maupun perundang-undangan. Berbagai perumusan untuk memberi penjelasan atau semacam batasan definisi mengenai hukum telah banyak dikemukakan, antara lain yang memberikan perumusan ialah mulai Socrates, Plato, Aristoteles, Cicero, Grotius, Hobbes, Von Jhering, Holmes, Mahadi, Iwa Kusuma Sumantri, Sudiman Kartohadiprojo dan ahliahli hukum yang lain.
Hermeneutika hukum juga merupakan sarana bagi hakim unuk menciptakan hukum, terutama dengan dianutnya sifat melawan hukum materiel dalam Undang-Undang Tindak pidana Korupsi. Sifat melawan hukum materiel tidak secara tersurat dalam UndangUndang Korupsi, akan tetapi ada tersirat dalam bentuk makna substansialnya, sehingga untuk menciptakan rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat, maka konsep melawa hukum materiel baik dari fungsi negatif maupun fungsi positifnya, karena memang hukum yang hidup di masyarakat lebih luas dari peraturan perundang-undangan.
Perumusan secara umum dapat disimpulkan bahwa Hukum adalah segala aturan baik tertulis dan tidak tertulis yang mengatur mengenai kehidupan, penghidupan dan hubungan manusia sesamanya beserta kepentingannya. Dapat dikatakan bahwa Undang-Undang adalah merupakan bagian hukum tertulis pada umumnya. Perbedaan pengertian antara UndangUndang dan hukum menimbulkan suatu akibat untuk membedakan tentang sifat melawan hukum dan sifat melawan Undang-Undang. Bersifat melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan apa yang diatur keharusan, hukum, sedangkan bersifat melawan Undang-Undang mempunyai pengertian tentang bertentangan dengan Undang-Undang atau tidak sesuai dengan larangan yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Untuk membuat suatu putusan hukum, terutama dalam putusan pidana bersifat kompleks, sehingga diperlukan suatu pelatihan, pengalaman, dan kebijakan. Sebagai figur sentral penegak hukum, seorang hakim memiliki kewajiban moral dan tanggung jawab profesional, karena memang jabatan hakim adalah profesi. Disamping kewajiban moral tersebut seorang hakim harus memiliki pengetahuan hukum yang memadai, keahlian kemampuan dalam tehnik hukum (legal technical), agar dapat memberi pertimbangan hukum (legal reasoning) yang tepat dan benar. Putusan hakim yang kurang alasan hukumnya, membuat putusan tersebut tidak logis, karena penegak hukum tidak merupakan budak kalimat yang dibuat pembentuk undangundang, akan tetapi sebagai sosok yang dapat mewujudkan keadilan berdasarkan norma hukum dan akal sehat. Putusan yang kaya alasan hukumnya (legal reasoning), adalah diperoleh dari langkah-langkah penalaran hukum yang tepat dalam proses memecahkan masalah hukum tersebut. 232 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Perkataan melawan hukum (Wederechtelijkheid) itu sendiri oleh berbagai penulis telah diberikan arti yang berbeda-beda sehingga Prof. Van Hamel telah membuat dua macam kelompok pendapat mengenai pengertian kata “Wederechtelijkheid” itu.17 Selanjutnya masih menurut Van Hamel, pembagian kelompok melawan hukum menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pertama adalah faham positif yang telah mengartikan “Wederechtelijkheid” sebagai “in strijd met het recht” atau “bertentangan dengan hukum” dan kelompok kedua adalah paham negatif, yang telah mengartikan “Wederechtelijkheid” sebagai “niet steunend op het recht” atau “tidak berdasarkan Drs. P. A. F. Lamintang, SH., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 347.
17
dipandang bersifat Wederechtelijkheid atau tidak, masalahnya bukan saja ditinjau sesuai ketentuan-ketentuan yang tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis.22
hukum”.18 Simon mengatakan, sebagai pengertian dari bersifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum pada umumnya.19 Namun dalam hubungan bersifat melawan hukum sebagai salah satu unsur delik, supaya berpegangan pada norma delik yang dirumuskan dalam suatu undang-undang hukum pidana, dan bila terjadi perselisihan mengenai ada tidaknya sifat melawan hukum dari suatu tindakan, hakim tetap harus terikat pada perumusan Undang-Undang.
Prof. Moeljatno memberikan suatu perbedaan antara pandangan atau paham materiel dengan pandangan formal sebagai berikut “Bagi pandangan materiel, sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan-perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan formil sifat melawan hukum tersebut tidak selalu menjadi unsur dari perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.”23 Dari kedua paham tentang Wederechtelijkheid tersebut yang perbedaannya sangat tajam, akan berkaitan dengan ada tidaknya pertanggungjawaban pidana, yang berarti ada tidaknya sifat melawan hukum (Wederechtelijkheid) dalam setiap pidana akan menentukan apakah sesorang yang melakukan suatu perbuatan dapat dihukum atau tidak.
Moeljatno, SH. dan Roeslan Saleh, SH. lebih cenderung pada pendapat bahwa bersifat melawan hukum harus diartikan dengan bertentangan dengan hukum.20 Adanya berbagai pengertian dari melawan hukum oleh para ahli tersebut, pada prinsipnya para ahli setuju bahwa pada intinya adalah adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) memberi perumusan tentang melawan hukum sebagai tanpa hak atau wewenangnya “Zonder eigen recht op zonder eiden bevoegd heid”.21 Yang mana perumusan dari Hoge Raad tersebut dapat menjadi pegangan dalam praktek peradilan. Rumusanrumusan dari Wederechtelijkheid tersebut akan menimbulkan suatu permasalahan tentang apakah melawan hukum (Wederechtelijkheid) tersebut dianggap sebagai unsur delik atau tidak.
Menurut paham atau yang berpandangan formil, sifat melawan hukum tidak bersifat absolut atau dalam arti sifatnya relatif, yang mana apabila sifat melawan hukum tidak disebutkan dalam rumusan delik, maka tidaklah diperlukan suatu pengkajian atau suatu analisa tentang ada tidaknya sifat melawan hukumnya, sedangkan menurut pandangan materiel berpendapat ada tidak unsur melawan hukum dalam rumusan delik, tetap harus diuji apakah ada sifat melawan hukumnya atau tidak, sehingga tidak cukup suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum formil saja, akan tetapi harus tetap diuji apakah dalam perbuatan itu ada sifat melawan hukum materiel atau tidak guna menentukan seseorang dikenakan pidana.
Dari adanya berbagai perumusan tentang pengertian melawan hukum di atas, maka ada dua paham mengenai melawan hukum, yaitu: a. Melawan hukum formil (Formele Wederechtelijkheid) b. Melawan hukum materiel (Materiel Wederechtelijkheid) Bahwa menurut paham Wederechtelijkheid dalam arti formal mengatakan bahwa perbuatan itu hanya dapat dipandang sebagai bersifat Wederechtelijkheid, yaitu apabila perbuatan tersebut memenuhi suatu unsur yang terdapat dalam rumusan dari suatu delik menurut Undang-Undang. Sedangkan menurut paham Wederechtelijkheid dalam arti materiel, apakah sesuatu perbuatan tersebut memenuhi atau ibid, hlm. 347. S. R. Sianturi, SH., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Stovia Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 143. 20 ibid, hlm. 143. 21 Prof. Satochid Kartanegara, SH. Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Satu, Balai Teknik Mahasiswa, hlm. 414.
Prof. Simons yang berpandangan formal, berpendapat bahwa untuk dapat dipidana, perbuatan harus sesuai dan cocok dengan rumusan delik dalam Undang-Undang.24 Lain halnya bagi yang berpandangan materiel (seperti Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro,
18 19
Drs. P. A. F. Lamintang, SH., 1997, Op.cit, hal. 356. DR. H. Indriyanto Seno Adji, SH.MH., Korupsi dan Perbuatan Melawan Hukum Materiel, CV. Rizkita, Jakarta, hlm. 40 – 41. 24 DR. H. Indriyanto Seno Adji, SH.MH., ibid, hlm. 41. 22 23
Bagaimana Peradilan Menciptakan Hukum Dianutnya Sifat Melawan Hukum Material Dalam ........ - Baringin Sianturi
233
Prof. Moeljatno, Prof. DR. Loebby Loqman, SH.MH., Prof. Oemar Seno Adji, Prof. Remmelink, dan lainnya), karena meskipun perbuatannya telah cocok atau sesuai dalam perumusan delik dalam Undang-Undang itu dapat saja perbuatannya bukan pidana oleh karena telah hilang sifat melawan hukumnya.25
Dalam kenyataan prakteknya, “melawan hukum” secara materiel, dikenal asas Materiele Wederechtelijkheid, dalam tindak pidana korupsi ini meliputi perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma dan kepatutan yang ada dan hidup dalam masyarakat.26 Sifat melawan hukum materiel dalam UU No. 3 Tahun 1971 maupun dalam UU No. 31 Tahun 1999 ini, dapat berfungsi negatif dalam pengertian sebagai “alasan pembenar” yang dapat menghapus tindak pidana, sehingga dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana, maka seseorang dapat dilepaskan dari tuntutan pidana, apabila perbuatannya secara materiel tidak melawan hukum, meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan formal delik yang didakwakan.
Pergeseran fungsi melawan hukum secara materiel menurut ahli yang berpandangan materiel, peranan hukum tidak tertulis sangat kuat, karena apabila perbuatannya tidak dianggap tercela oleh masyarakat, maka perbuatan itu adalah sah dan dibenarkan, maka seseorang tidak dapat dihukum (fungsi negatif), dan dalam fungsi positifnya sifat melawan hukum materiel ini yaitu dalam rangka mengatasi perbuatan-perbuatan yang mempunyai modus operandi dan tipologi baru dalam perkembangan perekonomian, di mana masyarakat menganggap perbuatan seseorang itu tercela dan merugikan masyaraat, namun pengaturannya tidak tercakup pada peraturan yang ada pidananya.
Fungsi melawan hukum materiel yang negatif, di dalam UU No. 3 Tahun 1971 ini sebagai alasan pembenar dapat disimpulkan dari ketentuan yang mengatur tentang keterangan pembuktian terdakwa pada Pasal 17ayat (2) UU No. 3 Tahun 1971 yang menyatakan:27
Dengan demikian fungsi positif dan fungsi negatif dari penerapan sifat melawan hukum materiel ini harus diterapkan hakim secara arif, bijaksana dan hati-hati, sesuai dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat.
“Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti yang dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperkenankan dalam hal: a. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan negara atau perekonomian negara, atau
D. Sifat Melawan Hukum Yang Dianut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sifat melawan hukum materiel (materiele wederechtelijkheid) yang dianut UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 maupun UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, adalah dalam rangka menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, sehingga perumusan perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan/ korporasi secara melawan hukum baik dalam pengertian formil dan materiel, untuk dapat mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. DR. H. Indriyanto Seno Adji, SH.MH., ibid, hlm. 41.
25
234 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
b. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.” Sementara dalam ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi, pengaturan tentang fungsi negatif dari melawan hukum materiel dapat dilihat dalam Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 dan Penjelasan umumnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, SH. yang menyatakan:28 R. H. Indriyanto Seno Adji, SH.MH., ibid, hlm. 13. ibid, hlm. 14. ibid, hlm. 32.
26 27 28
“Adanya hukum pidana dengan tindak pidana harus ada sifat melanggar hukum. Tetapi biasanya unsur “Wederechtelijkheid” ini tidak disebutkan dalam suatu pasal ketentuan hukum pidana, sedangkan seperti dikatakan di atas, pada setiap tindak pidana tentu ada unsur Wederechtelijkheid atau sifat melawan hukum”. “Oleh karena yang dihilangkan itu ialah sifat melawan hukum atau diperbolehkan atau “rechtmatig”, maka alasan menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) ini juga dikatakan alasan pembenar atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigingsgrond)” Selanjutnya Prof. DR. Loebby Loqman, SH.MH., menggariskan arti negatif dari perbuatan melawan hukum materiel, dengan menyatakan bahwa:29 “Melawan hukum secara materiel haruslah digunakan secara negatif, ini berarti bahwa apabila terdapat suatu perbuatan nyata-nyata merupakan hal yang melawan hukum secara formil, sedangkan di dalam masyarakat perbuatan tersebut tidak tercela, jadi secara materiel tidak melawan hukum, perbuatan tersebut seyogyanya tidak dijatuhi pidana”. Penerapan fungsi negatif dari sifat melawan hukum materiel juga haruslah memerlukan batasan yang jelas, tentang pandangan masyarakat terhadap suatu perbuatan korupsi yang dianggap tidak tercela oleh masyarakat, sehingga kalau dikaji secara mendalam sebenarnya akan timbul suatu pertanyaan, apakah ada perbuatan korupsi yang dianggap tidak tercela dalam kehidupan masyarakat, jadi sebenarnya kalau perbuatan seseorang itu tidak tercela berarti perbuatan itu tidak termasuk korupstif. Oleh karena pembuktian perbuatan tindak pidana korupsi adalah sangat sulit, maka fungsi positif dari melawan hukum materiel perlu diterapkan untuk menjangkau perbuatan yang dilakukan, secara formil bukan perbuatan korupsi, namun oleh masyarakat perbuatan itu merupakan perbuatan yang koruptif dan merupakan perbuatan tercela, sehingga peradilan pidana melalui putusan Hakim dapat menafsirkan keadaan melawan hukum ibid, hlm. 33.
29
materiel, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa yang diajukan ke persidangan termasuk “koruptif” atau tidak, sehingga dengan demikian dapat tercipta rasa keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat. Dalam menciptakan kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, penemuan hukum oleh hakim dengan dianutnya sifat melawan hukum secara materiel dalam fungsi positif adalah merupakan bentuk terobosan yang baik dalam menghadapi persoalan hukum, sehingga hakim haruslah mempunyai “problem thinking” yang dapat melihat permasalahan koruptif dan perbuatan tercela dalam kehidupan hukum masyarakat.
E. Sikap Kehati-hatian Hakim Untuk Penemuan Hukum Yang Didasarkan Pada Sifat Melawan Hukum Materiel Dengan adanya perbedaan pendapat dari para sarjana dan Ahli Hukum serta Mahkamah Agung (Hoge Raad), yang menimbulkan pandangan yang bersifat melawan hukum yang formal di satu pihak, dan di lain pihak ada penganut sifat melawan hukum yang materiel, maka peranan Hakim menjadi titik sentral dalam menentukan adanya kepastian hukum, sesuai kewenangannya untuk menemukan hukum (rechtsvinding), dengan melakukan penafsiran hukum sesuai ketentuan yang berlaku dan sesuai keyakinan hukumnya. Dengan segi pandangan penganut sifat melawan hukum formil cenderung mengkhawatirkan kewenangan hakim untuk menafsirkan suatu ketentuan rumusan delik, bila diberikan terlalu luas, karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum sebagai akibat dari kemungkinan pembentukan hukum dan atau penafsiran yang dilakukan secara sendiri-sendiri, walaupun diakui bahwa hakim akan selalu menilai sesuatu perkara seobyektif mungkin dari sisi yang obyektif, bukan suatu ketidakmungkinan subyektivitas para hakim memegang peranan, sehingga keadilan akan tersimpangi. Namun di sisi lain, pandangan penganut sifat melawan hukum materiel, banyak mengharapkan peranan hakim sebagai sumber hukum melalui putusan-putusannya, yang mana tentu sangat diharapkan bahwa hakim tersebut akan selalu mengadakan penilaian
Bagaimana Peradilan Menciptakan Hukum Dianutnya Sifat Melawan Hukum Material Dalam ........ - Baringin Sianturi
235
secara obyektif dari sisi yang obyektif pula. Dari sisi yang terakhir ini, hakim mengikuti perkembangan dan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) karena keadilan masyarakatlah yang harus diemban hakim, guna memperlihatkan bahwa putusanputusannya tidak menyinggung perasaan keadilan masyarakat. Pergeseran fungsi melawan hukum materiel baik ke arah fungsi yang negatif dan positif dalam penyelesaian perkara korupsi haruslah dibarengi sikap kehatihatian (prudential) dengan memperhatikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sehingga penciptaan hukum oleh peradilan melalui putusan hakim dalam konteks penemuan hukum dengan dianutnya sifat melawan hukum materiel dalam UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, betul-betul tercipta untuk kepastian dan keadilan hukum.
III. PENUTUP 1. Bahwa peradilan melalui putusan hakim dapat menciptakan hukum melalui penemuan hukum (rechtsvinding), apabila putusan hakim tersebut menjadi yurisprudensi tetap yang diikuti hakim yang lain dalam kasus yang sama. 2. Penafsiran sifat melawan hukum materiel, baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif haruslah tetap berada pada koridor hukum yang bertujuan menegakkan keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat. 3. Dengan dianutnya sifat melawan hukum materiel dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peradilan haruslah menemukan hukum untuk menentukan fungsi sifat melawan hukum materiel tersebut. 4. Bahwa posisi Hakim dalam penemuan hukum sebagai pelengkap terhadap kekosongan hukum dan ketidakjelasan serta ketidaklengkapan perundangundangan memegang posisi sentral sebagai pembentuk Undang-undang dalam arti dengan cara menemukan hukum. 5. Bahwa penemuan hukum yang dilakukan Hakim melalui interpretasi, Konstruksi Hukum dan penghalusan hukum harus 236 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
dilakukan untuk mencari kepastian hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. 6. Dalam rangka upaya penemuan hukum tersebut, Hakim harus memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan selalu meningkatkan profesionalismenya dalam mengemban tugas untuk melaksanakan peradilan.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta : Chandra Pratama, 1996. Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Perbuatan Melawan Hukum Materiel, Jakarta : CV. Rizkita. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung : Penerbit Alumni, 2000. R. M. Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti, 1993. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Satu, Bandung : Balai Teknik Mahasiswa. S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta : Penerbit Stovia Grafika, 2002. Richard E. Palmer, “Hermmeneutics, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidiggir and Gadamer”, Evanston : North Westhern University Press, , 1969, diterjemahkan oleh Masnur Hery & Damanhurri Muhammad, “Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan ke 2, 2005. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012. P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran Dan Konstruksi Hukum, Bandung : Penerbit Alumni, 2000.
Pentingnya Pemberantasan Illegal, Unreported and Regulated (IUU) Fishing Guna Mendukung Pembangunan Wilayah Laut Berkelanjutan (The Importance of Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing in Supporting the Sustainable Development of the Sea) Amelya Gustina Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI Jl. Sultan Hasanudin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email : [email protected] (Diterima tanggal 24 Mei 2013, direvisi tanggal 13 Juni 2013, disetujui tanggal 21 Juni 2013) Abstrak Besarnya potensi kelautan Indonesia menjadi penting untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin guna kesejahteraan seluruh masyarakat. Akan tetapi kekayaan tersebut tidak hanya dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan, media rekreasi, ataupun sumber bagi peningkatan pemasukan bagi negara, tetapi disatu sisi harus juga memperhatikan keberlanjutan dari potensi tersebut. Hal ini menyangkut kekayaan hayati dari kegiatan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Permasalahan IUU fishing di perairan Indonesia tidak hanya mencakup pencurian ikan (illegal fishing), tetapi juga masalah perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan perikanan yang tidak diatur (unregulated fishing). Tulisan ini memberikan perspektif dalam pemberantasan IUU fishing dan kendala nya. Pemberantasan IUU fishing mengalami kendala yang disebabkan oleh kurang memadainya instrumen hukum. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan tidak memuat pasal yang memberikan hak dalam proses pemeriksaan di laut kepada aparat penegak hukum. Kondisi ini semakin diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dan lambatnya penyelesaian kasus per kasus yang telah ditangani oleh Aparat Penegak Hukum mulai dari Penyidikan, Penuntutan dan Putusan Pengadilan. Dukungan sarana dan prasarana dalam melakukan pengawasan dan penegakkan hukum di laut juga sangat lemah, baik dari teknologinya maupun sumberdaya manusianya. Kompleksitanya permasalahan dan pemberantasan IUU fishing dapat diatasi dengan pendekatan hukum dan ekonomi. Kata Kunci: illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing, perlindungan kekayaan hayati. Abstract The vast Indonesian Marine potential is advantageous to use for the welfare of the whole community. However, these potentials are not only can be used as transportation means, recreational media, or as source to increase the country’s income, but should also consider the sustainability of these potentials that was endangered by Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing activities. This paper provides a perspective in eradicating Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing, and its barriers because of insufficient law relating with this matter. Act No. 31/2004 concerning Fisheries, does not give authority to the law enforcer to investigate and to examine suspect at sea (on shore). The condition is worsened by the lack of law enforcement and the slow case resolution of law enforcement agencies, in all procedural levels, from investigation, prosecution and court decisions. Furthermore, insufficient of Infrastructure in monitoring and enforcing the law at sea, both technological and human resources increasing the IUU problems. All of these problems can be resolved through legal and economic approaches. Keywords: illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing, protection of biodiversity.
Pentingnya Pemberantasan Illegal, Unreported and Regulated (IUU) Fishing Guna Mendukung ......... - Amelya Gustina
237
I. Pendahuluan Indonesia sebagai Negara Kepulauan memiliki potensi. Potensi tersebut dapat dilihat dari pendekatan pertama yaitu geografis.1 Indonesia adalah sebuah Negara yang terdiri atas matra wilayah datar, laut dan udara dengan perbandingan luas/Konfigurasi teritorial Indonesia sebagai Negara Kepulauan terdiri atas bagian-bagian wilayah yang sama-sama sudah kita ketahui. Wilayah laut seluas 5,8 juta kilometer yang terdiri laut teritorial sebesar 3,2 juta km² , wilayah ZEE 2,7 juta km² dengan garis pantai sepanjang 95181 kilo meter. Itu adalah potansi geografis yang bisa menjadi dasar menetapkan kebijakan untuk menjadikan Indonesia menjadi Negara Maritim, karena luas wilayah darat dibanding dengan luas wilayah laut dalam artian laut territorial + ZEE itu 2 (dua) berbanding 3 (tiga). Saat ini, dari 14 zona fishing ground dunia, tinggal dua zona yang masih potensial. Perairan Indonesia merupakan satu dari dua fishing ground yang masih potensial tersebut. Oleh karena itu, kondisi lingkungan laut yang kaya dengan sumber kekayaan alam hayati maupun non-hayati menjadikan perairan Indonesia kerap menjadi sasaran kegiatan illegal fishing. Permasalahan IUU (Illegal, Unreported and Unregulated) Fishing di laut Indonesia merupakan permasalahan klasik sektor perikanan dan kelautan yang sampai sekarang belum terselesaikan dengan baik. Sehingga dikhawatirkan, praktik IUU Fishing tersebut akan berpengaruh terhadap peningkatan kerawanan sosial di tingkat masyarakat dan kelestarian sumber daya ikan. Permasalahan IUU fishing di perairan Indonesia tidak hanya mencakup problem klasik pencurian ikan (illegal fishing), tetapi juga masalah perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan perikanan yang tidak diatur (unregulated fishing). Praktik pertama menyangkut kegiatan penangkapan ikan (walaupun legal) yang tidak dilaporkan (unreported), terdapat kesalahan dalam pelaporannya (misreported) dan pelaporan yang tidak semestinya (underreported). Sedangkan praktik kedua menyangkut kegiatan penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated) oleh negara yang bersangkutan. Argumen yang mendasari dilarangnya praktik kedua ini adalah bahwa cadangan ikan di suatu negara seharusnya diidentifikasi dan diatur pemanfaatannya sehingga tidak terjadi kerusakan global di masa depan yang Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni: Bandung, 1992, hal 47.
1
238 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
dapat terjadi apabila penangkapan ikan dilakukan dengan prinsip free for all fishing. Kompleksnya permasalahan IUU fishing di wilayah perairan Indonesia disebabkan sedikitnya oleh dua hal, diantaranya yaitu2: Pertama, tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang berujung pada ketidakjelasan institusi negara mana yang berwenang dalam mengurus permasalahan illegal fishing. Di samping menyebabkan konflik kepentingan antar institusi negara dalam mengurus kavlingnya masing-masing, ketidakjelasan tersebut juga menciptakan celah hukum bagi para pihak yang nakal untuk mempermainkan hukum. Kedua, sarana dan prasarana dalam melakukan pengawasan dan penegakkan hukum di laut sangat lemah, baik dari teknologinya maupun sumberdaya manusianya. Mengatasi praktik-praktik IUU fishing bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan, diantaranya yaitu hukum dan ekonomi. Untuk hukum, ada beberapa aturan-aturan internasional yang harus Indonesia perhatikan. Adapun beberapa aturan internasional yang terkait dengan pemberantsan IUU fishing, antara lain: (1) hukum yang sifatnya mengikat atau legal binding, yaitu Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, the Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (the UN Fish Stock Agreement 1995), Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas (FAO Compliance Agreement 1993); dan (2) hukum yang tidak mengikat atau not legally binding, yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) tahun 1995, dan International Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing sebagai panduan dalam menghadapi permasalahan IUU fishing.3 Untuk itu, negara-negara anggota FAO dihimbau untuk menuangkan IPOA IUU fishing ini kedalam suatu rencana aksi nasional atau National Plan of Action (NPOA). Dalam perspektif negara berkembang yang memiliki sumberdaya ikan melimpah seperti Indonesia, prinsip-prinsip pengelolaan perikanan Akhmad Solihin, Menyangsikan Pemberantasan Illegal Fishing, Suara Karya, 12 Agustus 2005. 3 Alan E.Boyle, Merine Pollution Under The Law of The Sea Convention. The Journal International Law, 1985, hal 12-14 2
yang termaktub dalam CCRF dapat dijadikan panduan penting bagi implementasi perikanan yang bertanggung jawab pada level lokal dan nasional. Upaya ini diperlukan dalam konteks bahwa Indonesia berkontribusi dalam upaya pencapaian tujuan pengelolaan perikanan global berkelanjutan, seperti halnya amanat Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Namun demikian, dalam adopsi CCRF tersebut perlu dilakukan modifikasi atau penyesuaian karena perikanan di negara berkembang adalah multi dan kompleks, tidak hanya melibatkan aspek teknologi, namun juga eksosistem sistem sosial ekonomi masyarakat perikanan4. Meskipun Indonesia telah mencoba mengakomodasi beberapa ketentuan hukum internasional yang berkaitan dengan pemberantasan IUU fishing, yang dituangkan oleh Indonesia dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nampaknya Pemerintah Indonesia harus tetap memperhatikan dua perjanjian internasional lagi yang belum diratifikasi, yaitu FAO Compliance Agreement 1993 dan UN Fish Stock Agreement 1995. Mengingat, kedua perjanjian internasional tersebut sifatnya mengikat, maka untuk meratifikasinya memerlukan kajian komprehensif lebih seksama mengenai pengaruhnya terhadap permbangunan perikanan Indonesia di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan, agar dikemudian hari pembangunan perikanan Indonesia tidak terjebak dalam ketidakmampuannya pada pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam kedua perjanjian internasional tersebut. Secara ekonomi, untuk mengatasi IUU fishing adalah penguatan armada tangkap nasional. Berdasarkan data statistik perikanan DKP tahun 2007, jumlah armada perikanan tangkap Indonesia adalah 788.848 unit, terdiri dari armada penangkapan di laut sebayak 590.314 unit dan armada penangkapan di perairan umum 198.534 unit. Lebih kurang 50,9 persen dari armada penangkapan ini merupakan perahu tanpa motor, hanya 28,3 persen merupakan motor tempel dan 20,7 persen adalah kapal motor. Lebih kurang 44,8 persen kapal penangkap ikan ini basisnya terkonsentrasi di Wilayah Indonesia Timur, yaitu dari Jawa Timur (8,7 persen), Maluku (7,5 persen), Luky Adrianto, Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam Perspektif Negara Berkembang, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Jakarta, Jurnal Hukum Internasional, Vol 2, No. 3, April 2005, hal 481.
Sulawesi Selatan (6,9 persen), Sulawesi Tengah (6 persen), Kalimantan Timur (5,5 persen), Sulawesi Tenggara (5 persen) dan Papua (5 persen).5 Dengan demikian, sekitar 79,2 persen armada tangkap nasional didominasi oleh armada tangkap skala kecil yang hanya beroperasi di sekitar pesisir pantai, yaitu perahu tanpa motor dan motor tempel. Dengan kata lain, daya jangkau armada tangkap nasional ke zona ekonomi eksklusif Indonesia (200 mil) sangat rendah, apalagi untuk memasuki perairan internasional atau laut lepas. Oleh karena itu sangat wajar, bila kapal ikan asing berkeliaran secara leluasa di perairan Indonesia. Untuk mengatasi “kekosongan” armada tangkap nasional di ZEEI, maka perlu dilakukan penguatan armada tangkap nasional. Dengan demikian, armada tangkap nasional tidak akan menjadi tamu di wilayah negaranya sendiri, sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Maraknya kasus penangkapan ikan IUU fishing di perairan Indonesia telah mengakibatkan kerugian negara (versi DKP) mencapai Rp. 30 triliun per tahun. Data Badan Koordinasi Keamanan Laut menunjukan, kerugian negara akibat pencurian ikan bahkan mencapai Rp. 150 triliun per tahun atau lebih tinggi dari hitungan Departemen Kelautan dan Perikanan. Oleh karena itu kajian akademik ini melihat bagaimana pentingnya pemberantasan IUU (Illegal, Unreported and Regulated) fishing dalam memberikan kontribusi terhadap perencanaan dan pembangunan wilayah laut berkelanjutan.
II. Pembahasan A. Teori Perlindungan Laut Perkembangan teori perlindungan lingkungan laut dapat ditelusuri dari pendapat Grotius, dikenal dengan teorinya mare liberum, yang memandang bahwa pemanfaatan lingkungan laut berdasarkan konsepsi the freedom of the sea. Pendapat ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan “pelayaran internasional” bagi perdagangan, atau sebagai jus communis. Mengenai perikanan, Grotius mempunyai pandangan yang sejalan dengan konsep kebebasan di laut lepas. Perikanan harus terbuka bagi semua orang, hal ini didasarkan pada pendapat bahwa laut merupakan sumber kekayaan yang
4
http://u.lipi.go.id/1238568785, Prakoso Bhairawa Putera, Paradigma Pemberantasan IUU Fishing, terakhir diakses pada 01 Mei 2013 pukul 22.34 WIB.
5
Pentingnya Pemberantasan Illegal, Unreported and Regulated (IUU) Fishing Guna Mendukung ......... - Amelya Gustina
239
tidak ada habisnya. Teori ini ditentang oleh Selden, dikenal dengan teori mare clausum, ia menyatakan bahwa argumentasi yang menyatakan laut merupakan sumber kekayaan yang tidak terhabiskan (inexhaustible) sama sekali tidak beralasan.6 Selanjutnya, Pontanus mengajukan teori yang merupakan kompromi antara teori mare liberum dan mare clausum dengan membagi laut dalam dua bagian, yakni laut yang berdekatan dengan pantai (adjacent sea) dapat jatuh di bawah pemilikan atau kedaulatan negara pantai,7 sedangkan di luar itu laut bersifat bebas. Teori tentang perlindungan lingkungan laut dalam kerangka hukum internasional (dalam hal ini Hukum Lingkungan Internasional), sebenarnya merupakan akumulasi dari The Principle of National Sovereignity and The Freedom of The High Sea. Umumnya, argumentasi yang dikemukakan di sini adalah “a right on the part of a state threatened with environmental injury from sources beyond its territorial jurisdiction, at least where those sources are located on the high seas, to take reasonable action to prevent or abate that injury.” 8 B. IUU (illegal, unreported and regulated) Fishing IUU (Illegal, Unreported and Regulated) Fishing berasal dari bahasa Inggris. Illegal fishing berarti penangkapan ikan secara illegal/ pencurian ikan. Unreported fishing adalah kegiatan yang menyangkut penangkapan ikan walaupun secara legal namun tidak dilaporkan. Dalam Unreported fishing terdapat juga dua hal yaitu: terdapat kesalahan dalam pelaporannya (misreported) dan pelaporan yang tidak semestinya (underreported) dan unregulated fishing adalah kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh Negara bersangkutan.9 Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia khususnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Hasjim Djalal, Penentuan Sea Lanes ALKI Melalui Perairan Nusantara Indonesia. Paper pada Penataran Hukum Laut Internasional. Univ Padjajaran, 1996, hal 14-15. 7 Mochtar Kusumaatmadja, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut di Lihat dari Sudut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional. Sinar Grafika dan Pusat Studi Wawasan Nusantara: Jakarta, 1981, hal 17-19. 8 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. PT Alumni: Bandung, 1992, hal 131-132. 9 Ibid, hal 69. 6
240 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
(sebagai induk peraturan tentang perikanan) tidak dijelaskan apa pengertian dari Illegal, Unreported and Regulated Fishing itu sendiri. Namun didalam Undang-undang itu sendiri hanya menjelaskan pengertian penangkapan ikan yaitu kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, medinginkan, menangani, mangelolah, dan/ atau mengawetkannya. Undang-undang (Illegal, Unregulated, Unreported) fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: a) llegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, tidak memiliki ijin dari negara pantai. b) Unregulated fishing adalah kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut. c) Unreported fishing adalah kegiatan peangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. C. Pemberantasan IUU (Illegal Unreported And Regulated) Fishing Indonesia sebagai salah satu negara kepualauan yang kaya dengan kekayaan lautnya baik kekayaan hayati maupun keindahan alamnya. Dalam dasar negara (Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah di amandemen) memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan, guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan Negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional. Selanjutnya, sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Consevention on The Law of the Sea 1982 menetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan zona ekonomi eksklisif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku. Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan prekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan karja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungn, kelestarian, dan ketersedian sumber daya ikan. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efesien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Maka di bentuklah Undangundang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna. 1. Instrumen dan Aparat Hukum yang Mendukung Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategi dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu,
adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan mencoba lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana dibidang perikanan, yang mencakup penyidik, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai tindak pidana di bidang perikanan. Penyidikan tindak pidana di bidang perikannan dilakukan oleh penyidik pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan pejabat polisi Negara Repulik Indonesia (pasal 73 ke-1). Para penyidik tersebut dapat melakukan dapat melakukan koordinasi. Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, disamping mengikuti hukum acara yang diatur dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang hukum acara pidana, juga dalam UndangUndang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum material dan hukum formil. Untuk menjamin kepastian hukum, baik ditingkat penyidikan, penuntutan, maupun di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas, sehingga dalam undang-undang ini dirumuskan mengenai hukum acara (formil) bersifat lebih cepat. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, maka dalam undang-undang ini di atur mengenai pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan pengadilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkunagan pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Namun demikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka pengadilan
Pentingnya Pemberantasan Illegal, Unreported and Regulated (IUU) Fishing Guna Mendukung ......... - Amelya Gustina
241
perikanan yang telah di bentuk tersebut baru melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku. Pengadilan perikanan tersebut bertugas dan berwenang memerikas, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc. 2. Pengawasan Perairan Penangkapan ikan ilegal telah menjadi momok yang meresahkan bagi Indonesia selama bertahun-tahun. Kegiatan itu bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menurunkan produktivitas dan hasil tangkapan secara signifikan. Kapal ikan ilegal yang ditangkap tahun lalu sebanyak 184 dari 2.207 kapal ikan yang diperiksa. Dari jumlah kapal yang ditangkap itu, 89 kapal di antaranya berbendera asing, sedangkan 95 kapal berbendera Indonesia. Kerugian negara yang dapat diselamatkan mencapai Rp 439,6 miliar. Penangkapan ikan ilegal itu tidak hanya merugikan perekonomian, melainkan juga mengancam kelestarian sumber daya perikanan dan kelautan. Selain itu, kapal ikan asing yang ilegal ikut memanfaatkan subsidi bahan bakar minyak dan membayar pungutan perikanan dengan tarif kapal Indonesia. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengasumsikan, volume penangkapan ikan ilegal mencapai seperempat dari jumlah total penangkapan ikan dunia. Sejak 2007, Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Australia untuk kegiatan pengawasan perairan. Operasi pengawasan dilakukan di Laut Arafura dengan menggunakan kapal Hiu Macan. Pemerintah sudah membentuk kelembagaan pengawasan, tetap berupaya meningkatkan pengawasan terpadu (DKP, TNI Angkatan Laut, POLRI), bahkan juga melibatkan kelompok masyarakat dengan SISWASMAS (system pengawasan masyarakat). Meski pemerintah telah mendorong peningkatan pengawasan perairan dan 242 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
penangkapan kapal ikan ilegal, hal itu tetap belum mampu mengimbangi maraknya laju pencurian ikan. Setiap tahun kapal yang diduga mencuri ikan mencapai 1.000 kapal, dengan asumsi kerugian mencapai Rp 30 triliun. Manajer Northern International Fisheries Department of Agriculture, Fisheries, and Forestry Australia, Peter Cassells, mengatakan, pencurian ikan lebih banyak dilakukan kapal-kapal besar ketimbang kapal nelayan tradisional. Karena itu, diperlukan pencegahan sejak proses perizinan, dan penegakan hukum secara optimal. Sekretaris Dirjen P2SDKP Purwanto menyebutkan, ada dua modus pelanggaran yang kerap digunakan kapal ikan asing ilegal di perairan Indonesia, yaitu menggunakan kapal berbendera asing dengan memalsukan dokumen perizinan. Cara lainnya, mengganti bendera asal negara dengan bendera Indonesia guna mengelabui petugas. Karena itu diperlukan kerja sama lintas negara dalam mengatasi persoalan penangkapan ikan ilegal. Sejumlah 11 negara ASEAN dan sekitarnya, meliputi Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Australia, Papua Niugini, Vietnam, dan Timor Leste, sebenarnya telah merintis konsep bersama (Regional Plan of Action/RPOA) untuk penangkapan ikan yang bertanggung jawab, termasuk memberantas pencurian ikan di tingkat regional. Dalam rumusan RPOA itu disepakati upaya kolektif untuk mengawasi perairan dan mencegah penangkapan ikan ilegal. Salah satu butir implementasi RPOA adalah peningkatan pengawasan perikanan atau monitoring control and surveillance (MSC). Kontribusi yang disepakati setiap negara dalam menerapkan MSC antara lain bertukar informasi tentang kapal-kapal ilegal, data, serta dukungan teknologi antarnegara. Selain itu, tindak lanjut pengawasan di tingkat regional melalui kerja sama bilateral dan subregional. Namun, belakangan muncul pesimisme terhadap
keberhasilan program tersebut. Dalam pertemuan keempat mengenai implementasi RPOA di Nusa Dua, Bali, beberapa negara menyatakan masih sulit untuk menerapkan MSC. Negara Kamboja misalnya, sulit dalam menyelenggarakan manajemen perikanan karena masih rendahnya kesadaran masyarakat. Negara tersebut juga kesulitan dalam melakukan pengawasan internal terhadap penangkapan ikan ilegal karena membutuhkan biaya tinggi. Selain itu, hambatan birokrasi. Tidak mungkin gagasan RPOA itu diterapkan sepenuhnya, apalagi masih sulit mengakses data dari negara lain. 3. Upaya Menanggulangi Praktek IUU Fishing oleh DKP Dalam upaya memerangi dan menanggulangi praktek-praktek illegal fishing dan tindak pidana lainnya di laut, Departemen Kelautan dan Perikanan telah merumuskan upaya-upaya10 sebagai berikut: a. Penguatan armada nasional, melalui peningkatan armada perikanan terutama yang dimiliiliki oleh nelayan skala kecil sehingga mampu beroperasi di wilayah off shore, baik untuk kepentingan ekonomi maupun fungsi sabuk pengaman atau security belt. Pada saat yang sama secara bertahap tapi pasti kita harus mengadakan optimalisasi intensitas penangkapan pada setiap wilayah perairan sesuai potensi wilayahnya; b. Penerbitan izin kapal ikan asing, yang saat ini telah diterbitkan Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.60/MEN/2001 tentang penataan terhadap status kapal asing atau eks asing melalui skema purchase on installment, joint venture, atau licensing, sepanjang masih terdapat surplus Jumlah Tangkapan yang Dibolehkan (JTD); a) Pengembangan teknologi pengawasan, melalui pelaksanaan VMS dan system informasi Departemen Kelautan dan Perikanan, Statistik Kelautan dan Perikanan tahun 2006.
10
terpadu (CDB) melalui jasa satelit serta patroli pengawasan dangan menggunakan Kapal Pengawas Perikanan pada perairan rawan terjadinya illegal fishing; b) Penegakan hukum dan pengendalian penangkapan tersangka tindak pidana Perikanan, melalui peranan PPNS Perikanan, mempercepat proses penanganan ABK, barang bukti, proses pemberkasan tindak pidana perikanan, dll; c) Membangun kelembagaan pengawasan, melalui pembentukan satuan pengawasan di pelabuhanpelabuhan perikanan, stasiun dan pos pengawas yang didukung dangan sarana Kapal Pengawas Hiu, Baracuda, Todak, Marlin dan Kapal Pengawas Hiu Macan, alat komunikasi serta Pusdal Departemen Kelautan dan Perikanan; d) Pengembangan system pengawasan berbasis masyarakat, melaui pembentukan Pokmaswas di berbagai daerah dengan melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat. Diantara berbagai upaya yang digariskan tersebut, upaya penegakan hukum merupakan upaya yang cukup strategis. Untuk itu, kiranya dari kegiatan peningkatan kapasitas teknis aparat penegak hukum dibidang perikanan ini dapat dihasilkan rumusan-rumusan konkrit yang dapat dilaksanakan dalam waktu singkat sebagai tindak lanjut dari hasil kegiatan peningkatan kapasitas teknis aparat penegak hukum dibidang perikanan ini. 4. Adanya Peta Perkiraan Penangkapan Ikan
Daerah
Indonesia dihadapkan pada dua persoalan mendasar. Wilayah perairan kita banyak dicuri sehingga produktivitas perikanan terus merosot. Namun, beberapa nelayan kita juga mencuri di perairan
Pentingnya Pemberantasan Illegal, Unreported and Regulated (IUU) Fishing Guna Mendukung ......... - Amelya Gustina
243
negara lain, seperti Australia. Kemudian muncullah suatu kebijakan baru dari DKP untuk membuat peta penangkapan ikan di perairan Indonesia.
rupiah). (dengan perincian : 355 kapal berlayar X 25 KL (2500 L) X Rp. 3000,- (Rp. 7.300 Rp.4.300) perbulan = Rp. 26.625.000.000 X 20 bulan = Rp. 532.500.000.000,-.
Peta tersebut menunjukkan lokasi ikan di suatu wilayah selama satu minggu. Dengan adanya peta itu diharapkan nelayan mempunyai petunjuk atau patokan ketika akan melaut. Zaman dahulu, dan mungkin sampai sekarang, nelayan kita itu tidak mempunyai patokan untuk pergi ke laut menangkap ikan. Dengan adanya peta ini, nelayan akan tahu laut mana yang sedang banyak ikannya dan tidak perlu mengambil ikan diluar batas territorial Negara Indonesia
Sementara itu, maraknya praktik illegal fishing di Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, menyebutkan bahwa kerugian ekonomi yang diderita Indonesia akibat praktik illegal fishing oleh kapal asing sebesar Rp 30 triliun per tahun, yang dihitung dari 25% potensi perikanan yang dicuri atau sekitar 1,6 juta ton, dengan harga jual ikan US$ 2 per kilogram12. Menurut Fredi Numberi, angka Rp 30 triliun tersebut sangat valid karena diperoleh dari hasil analisa Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO)13.
D. Dampak IUU Fishing
Dampak terhadap usaha perikanan di indonesia
Maraknya IUU fishing di perairan Indonesia akan berdampak terhadap meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal:
IUU fishing mendorong ke arah penurunan tenaga kerja di bidang penangkapan ikan nasional. Oleh sebab itu apabila hal ini tidak secepatnya diselesaikan maka hal itu akan mengurangi peluang generasi muda nelayan untuk mengambil bagian dalam penangkapan ikan. Misalnya saja, pertengahan Juni 2005, Ketua Umum Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APII) mendesak kepada pemerintah untuk tidak lagi mengizinkan pembangunan industri pengalengan ikan tuna yang baru di Pulau Jawa, Bali, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara. Alasannya kehadiran industri di keempat daerah tersebut sudah terlalu banyak, sedangkan suplai bahan baku sangat terbatas sehingga tidak sedikit industri pengalengan ikan yang tutup.
Dampak terhadap kerugian negara Maraknya kasus penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia dengan kerugian negara mencapai Rp 30 triliun per tahun harus disikapi dengan aturan khusus untuk mengatasi pencurian ikan. Data Badan Koordinasi Keamanan Laut menunjukkan, kerugian akibat pencurian ikan bahkan mencapai Rp 150 triliun per tahun atau jauh lebih tinggi dari perhitungan DKP, yaitu Rp 30 triliun per tahun. Pendapat lain mengenai kerugian Negara ini adalah mulai dari kerugian negara yaitu;11 dari hasil tangkapan ikan perbulan: 1457 kali kapal penangkapan X 250.000 kg X Rp.3.000 (harga limit) = Rp. 1.092.750.000.000, - (satu trilyun sembilan puluh dua milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Dan untuk hasil tangkapan satu tahun dikalikan 12 = Rp. 13.113.000.000.000, - (tiga belas trilyun seratus tiga belas milyar rupiah). Belum lagi kerugian Negara dari penyalahgunaan BBM bersubsidi yang telah berlangsung selama 20 bulan, yang diperkirakan telah merugikan negara sebesar Rp. 532.500.000.000, - (lima ratus tiga puluh dua milyar lima ratus juta Atje Misbach Muhjiddin.1993. Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing. PT Alumni: Bandung, 1993, hal 73.
11
244 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Menurut catatan APII, empat tahun lalu tersebar tujuh industri pengalengan ikan tuna di Jawa Timur. Tetapi, kini empat unit di antaranya tidak berproduksi lagi. Di Sulawesi Utara, yang semula memiliki empat industri yang sama, sekarang tinggal dua industri yang beroperasi. Itu pun setelah diambil alih investor dari Filipina. Sementara itu, di Bali juga tinggal satu unit, padahal sebelumnya ada dua industri pengalengan ikan tuna. Kurangnya suplai bahan baku ikan tuna tersebut diduga kuat disebabkan oleh Majalah Forum Hukum, Setiap Tahun Negara Dirugikan 30 Trilyun Rupiah Akibat Illegal Fishing, Volume 2 No. 2, 2005, hal 13. 13 Rakyat Merdeka, Kasus Ilegal Fishing Sulit Diberantas, 16 Juli 2005, hal 9. 12
maraknya illegal fishing di Indonesia. Karena, kalau kita lihat dari data potensi sumber daya ikan yang ada di wilayah perairan Indonesia, khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sangat memungkinkan untuk berkembangnya industri pengalengan ikan tuna di Indonesia. Misalnya, menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan (2003), potensi sumber daya ikan pelagis besar ekonomis di wilayah Samudera Hindia yang dominan adalah Albakora, yaitu sebesar 3.987.000 ton per tahun. Setelah itu disusul oleh jenis ikan Tuna Sirip Biru (84.000 ton), Cakalang (21.000 ton), Tuna Mata Besar (13.000 ton) dan Madidihiang (10.000 ton).
ikan dan pengolahan serta pemasaran hasil penangkapan ikan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa di beberapa daerah, istri-istri nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitas penangkapan ikan di pantai, dan pengolahan hasil tangkapan. Bahkan untuk urusan pemasaran hasil perikanan pun melibatkan pula istri-istri nelayan. Selain ketiga hal tersebut, IUU fishing berdampak negatif pada stok ikan dan ketersediaan ikan, suatu sumber protein penting pada beberapa negara-negara, termasuk Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan risiko kekurangan gizi dalam masyarakat. Selain itu juga rencana pemerintah untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan masyarakat Indonesia dikhawatirkan tidak akan berjalan dengan baik.
Besarnya potensi sumber daya ikan tersebut tersebar di seluruh wilayah Samudera Hindia. Bahkan menurut data FAO dari tahun 1990 sampai 2003 menunjukkan adanya peningkatan produksi ikan pelagis besar jenis tuna di wilayah perairan Samudera Hindia, khususnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Produksi ikan pelagis besar di Samudera Hindia setiap tahunnya rata rata untuk masing-masing jenis adalah 1408,64 ton Albacore, 37.769,93 ton Skipjack Tuna, 1077,14 ton Southern Bluefin Tuna, 24.613,07 ton Yellowfin Tuna dan 17.836,21 ton Bigeye Tuna.
Dampak negatif yang disebabkan oleh praktik-praktik IUU fishing, diantaranya adalah14: 1. IUU fishing melibatkan wilayah yang luas baik dalam konteks nasional dan internasional. Di bawah yurisdiksi nasional oleh nelayan skala kecil dan industri, dan di laut lepas oleh kapalkapal perikanan jarak jauh (distant water fisheries vessels). Pada akhirnya, praktikpraktik IUU fishing akan mengancam upaya pengelolaan masyarakat, baik nasional maupun internasional.
Dampak terhadap nelayan kecil IUU fishing di beberapa wilayah telah menimbulkan konflik dengan armada penangkapam lokal dan adanya gejala ”over eksploitasi” (kelebihan tangkap). Maraknya illegal fishing akan mengganggu keamanan nelayan Indonesia, khususnya nelayan-nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Hal ini disebabkan, nelayan asing selain melakukan penangkapan secara ilegal juga mereka tak jarang menembaki nelayannelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang sama. Selain itu aktivitas ilegal tersebut juga akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan oleh karena itu memperburuk kemiskinan. Sudah barang tentu IUU fishing tersebut akan berdampak pula pada distribusi pendapatan nelayan. IUU fishing akan berdampak negatif pada isu kesetaraan gender dalam penangkapan
2. IUU fishing seringkali menyebabkan menurunnya stok sumberdaya ikan serta hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi. Hal ini dikarenakan, praktik-praktik IUU fishing menyebabkan pencatatan statistik perikanan tidak akurat, serta ketidakpastian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dan pembuatan keputusan-keputusan pengelolaan. 3. IUU fishing dapat merusak hubungan antara negara-negara yang bertetangga. Hal ini dikarekan, pelakunya cenderung menggunakan batas-batas negara untuk menghindari pelacakan atau tertangkap dan untuk menghindari konsekuensi hukum. Guifang Xue, China and International Fisheries Law and Plocy. Martinus Nijhof Publisher, 2003, hal. 64-65.
14
Pentingnya Pemberantasan Illegal, Unreported and Regulated (IUU) Fishing Guna Mendukung ......... - Amelya Gustina
245
Kerugian ekologi yang diderita oleh Indonesia akibat dari praktek illegal fishing tersebut adalah terjadinya degradasi lingkungan dan penurunan jumlah ikan serta ukurannya. Misalnya yang terjadi di tiga WPP yang sering terjadi praktik illegal fishing, yaitu pada WPP 2 (Laut Cina Selatan) terjadi penurunan kepadatan stok dan ukuran jenis ikan demersal, pada WPP 8 (Laut Arafura) terjadi penurunan stok dan bobot udang, sedangkan pada WPP 9 (Samudera Hindia) terjadi penurunan jumlah tangkapan dan bobot ikan tuna15. Kerusakan ekosistem perairan laut, termasuk didalamnya sumberdaya ikan inilah yang menjadi perhatian dunia. Hal ini dikarenakan terganggunya kelestarian sumberdaya ikan di satu negara akan mempengaruhi kondisi perikanan global dan dapat menyebabkan stok ikan di negara lain juga ikut terganggu, khususnya jenis-jenis ikan yang bermigrasi jauh (higly migratory species) dan jenis-jenis ikan yang bermigrasi terbatas (straddling fish stock), sehingga akan menimbulkan masalah bersama (tragedy of the common). E. Pembangunan Wilayah Laut Berkelanjutan Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa IUU Fishing menjadi penghambat dan tidak optimal dalam perencanaan dan pembangunan berkelanjutan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Berdasarkan pemikiran tersebut maka diperlukan pembangunan berkelanjutan dalam perencanaan dan pengelolaan wilyah laut dan pesisir. Darajati menjelaskan keunggulan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara terpadu (PWPLT), yaitu:16 (1) PWPLT memberikan kesempatan (opportunity) kepada masyarakat pesisir atau para pengguna sumberdaya pesisir dan lautan (stakeholder) untuk membangun sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan, melalui pendekatan secara terpadu konflik pemanfaatan ruang (property rigth) yang sering terjadi di kawasan pesisir dapat di atasi; (2) PWPLT melibatkan masyarakat pesisir untuk memberikan aspirasi berupa Majalah Samudera, Stok Menurun, Nelayan Tak Kunjung Sejahtera, Edisi 10, tahun II, Januari, 2004, hal 29. 16 Wahyuningsih Darajati, “Makalah”, Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan, disampaikan dalam Sosialisasi Nasional MFCDP 22 September 2004 15
246 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
masukan terhadap perencanaan pengelolaan kawasan pesisir dan laut baik sekarang maupun masa depan. Dengan pendekatan ini stakeholder kunci (masyarakat pesisir) dapat memanfaakan, menjaga sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan; (3) PWPLT menyediakan framework yang dapat merespons segenap fluktuasi maupun ketidak-menentuan (uncertainties) yang merupakan ciri khas pesisir dan lautan; (4) PWPLT membantu pemerintah daerah maupun pusat dengan suatu proses yang dapat menumbuhkembangkan pembangunan ekonomi lokal berbasis sumberdaya lokal; (5) Meskipun PWPLT memerlukan pengumpulan data dan analisis data serta perencanaan yang lebih panjang daripada pendekatan sektoral, tetapi secara keseluruhan akhirnya PWPLT lebih murah ketimbang pendekatan sektoral. Karakteristik alamiah ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis saling terkait satu sama lain termasuk dengan ekosistem lahan atas, serta beraneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat dalam suatu hamparan ekosistem pesisir, mensyaratkan bahwa pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holostik. Apabila perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan tidak dilakukan secara terpadu, maka dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan rusak bahkan punah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang kesinambungan pembangunan nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju, adil dan makmur.
Sumber: Djais, 2012 Gambar 1. Pola Pikir Identifikasi Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur Pendukung dalam Pembangunan Laut dan Pesisir
Suatu kawasan pembangunan yang berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu17 : ekologis, sosial-ekonomi-budaya, sosial-politik, dan hukum serta kelembagaan. Dimensi ekologis menggambarkan daya dukung suatu wilayah pesisir dan lautan (supply capacity) dalam menopang setiap pembanguan dan kehidupan manusia, sedangkan untuk dimensi ekonomissosial dari pembangunan berkelanjutan mempresentasikan permintaan terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan dimana manfaat dari pembangunan wilayah pesisir seharusnya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal sekitar program terutama yang termasuk ekonomi lemah. Untuk dimensi sosial-politik, pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik demokratis dan transparan, tanpa kondisi politik semacam ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya. Penegakan dimensi Hukum dan kelembagaan, Sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan kuat akan mengendalikan setiap orang untuk tidak merusak lingkungan pesisir dan lautan.
III. Penutup IUU fishing di perairan Indonesia berdampak terhadap berkurangnya jumlah pendapat Negara, karena akibat kasus penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia kerugian negara mencapai Rp 30 triliun per tahun. IUU fishing juga mendorong ke arah penurunan tenaga kerja di bidang penangkapan ikan nasional. Di beberapa wilayah IUU fishing telah menimbulkan konflik dengan armada penangkapam lokal dan adanya gejala kelebihan tangkap. Kegiatan IUU fishing telah berdampak terhadap terjadinya degradasi lingkungan dan penurunan jumlah ikan serta ukurannya. Pengaruh IUU fishing yang melibatkan wilayah luas baik dalam konteks nasional dan internasional. Di bawah yurisdiksi nasional oleh nelayan skala kecil dan industri, dan di laut lepas oleh kapal-kapal perikanan jarak jauh (distant water fisheries vessels). Pada akhirnya, praktik-praktik IUU fishing akan mengancam upaya pengelolaan
masyarakat, baik nasional maupun internasional. Bukan hanya itu kegiatan ini merusak hubungan antara negara-negara yang bertetangga. Hal ini dikarekan, pelakunya cenderung menggunakan batas-batas negara untuk menghindari pelacakan atau tertangkap dan untuk menghindari konsekuensi hukum. Kendala dalam pemberantasan IUU fishing disebabkan oleh kurang memadainya instrumen hukum, karena Undang-Undang 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Tidak ada pasal yang memberikan hak dalam proses pemeriksaan di laut kepada aparat penegak hukum. Kondisi ini semakin diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dan lambatnya penyelesaian kasus per kasus yang telah ditangani oleh Aparat Penegak Hukum mulai dari Penyidikan, Penuntutan dan Putusan Pengadilan. Dukungan sarana dan prasarana dalam melakukan pengawasan dan penegakkan hukum di laut juga sangat lemah, baik dari teknologinya maupun sumberdaya manusianya. Kompleksitanya permasalahan dan pemberantasan IUU fishing dapat diatasi dengan pendekatan hukum dan ekonomi. Pada pendekatan hukum, hendaknya pemerintah Indonesia memberlakukan beberapa aturan-aturan internasional terkait dengan pemberantasan IUU fishing – baik itu hukum yang sifatnya mengikat maupun hukum yang sifatnya tidak mengikat. Pada pendekatan ekonomi, perlu dilakukan penguatan armada tangkap nasional karena armada yang ada selama ini masih didominasi armada tangkap skali kecil yang hanya beroperasi di sekitar pesisir pantai. Ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan dalam penguatan armada tangkap nasional, yaitu: modernisasi armada nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar pesisir pantai ditingkatkan menjadi armada tangkap nasional di ZEEI – dengan sendirinya menjadi pesaing dan bahkan menjadi informan bila terjadi praktik-praktik IUU fishing. Modernisasi armada tangkap nasional dapat dilakukan dengan cara pemberian kebijakan bantuan modal.
Ibid, hal 5
17
Pentingnya Pemberantasan Illegal, Unreported and Regulated (IUU) Fishing Guna Mendukung ......... - Amelya Gustina
247
DAFTAR PUSTAKA Adrianto Luky. Jurnal Hukum Internasional, Vol 2, No. 3 Tahun 2005. Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam Perspektif Negara Berkembang. Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, 2005. Darajati Wahyuningsih. Makalah Sosialisasi Nasional MFCDP, 22 September 2004, Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan, 2004. Departemen Kelautan dan Perikanan. Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun 2006. Djalal Hasjim. Penentuan Sea Lanes ALKI Melalui Perairan Nusantara Indonesia. Paper pada Penataran Hukum Laut Internasional. Bandung: Univ Padjajaran, 1996. E.Boyle Alan. Merine Pollution Under The Law of The Sea Convention. The Journal International Law, 1985. Kusumaatmadja Mochtar. Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut di Lihat dari Sudut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika dan Pusat Studi Wawasan Nusantara, 1981. Majalah Forum Hukum. Volume 2 No. 2 Tahun 2005. Setiap Tahun Negara Dirugikan 30 Trilyun Rupiah Akibat Illegal Fishing, 2005. Majalah Samudera, Edisi 10, tahun II, Januari 2004. Stok Menurun, Nelayan Tak Kunjung Sejahtera, 2004. Muhjiddin Atje Misbach. Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing. Bandung : PT Alumni, 1993. Rakyat Merdeka, Kasus Ilegal Fishing Sulit Diberantas, 16 Juli 2005. Romimohtarto Kasijan. Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati di Perairan Indonesia. Seminar Hukum IV. Jakarta, 1990. Silalahi Daud. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: PT Alumni, 1992. Solihin Akhmad, Menyangsikan Pemberantasan Illegal Fishing, Suara Karya, 12 Agustus 2005. 248 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Suhaidi. Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum. Univ. Sumatera Utara, 2006. Xue Guifang. China and International Fisheries Law and Plocy. Martinus Nijhof Publisher, 2003.
Hasil Penelitian :
EFEKTIVITAS RENCANA TUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM DAN TINDAK PIDANA KHUSUS DALAM PENEGAKAN HUKUM Result Research The Effective Prosecution Planning in General and Special Crime Cases for Law Enforcement Niniek Suparni Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI Jl. Hasanuddin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Email : [email protected] (Diterima tanggal 4 Juni 2013, direvisi tanggal 12 Juni 2013, disetujui tanggal 21 Juni 2013) Abstrak Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas penuntutan, Jaksa Penuntut Umum menuangkan tuntutannya dalam bentuk rencana tuntutan yang biasa disingkat “rentut.” Dasar pemikiran adanya rentut adalah dalam rangka pengendalian perkara agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok pada perkaraperkara yang jenis tindak pidananya sama. Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan jaman. Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan, efektivitas, serta sikap Jaksa Penuntut Umum terhadap keberadaan “rentut.” Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tipe penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik non probability sampling jenis purposive sampling dan responden yang digunakan sebagai sampel adalah Jaksa dari 6 (enam) wilayah hukum Kejaksaan Tinggi (Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, DI Yogyakarta, Bengkulu, Sulawesi Utara, dan Papua), sebanyak 242 responden, sedangkan data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian adalah bahwa (1) dalam mengajukan “rentut” harus senantiasa memperhatikan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, karena pada hakikatnya tujuan dari penegakan hukum adalah untuk mewujudkan atau terciptanya keadilan dan ketertiban ditengah-tengah masyarakat; (2) “rentut” akan efektif bila dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tugas penuntutan. Perbedaan pendapat yang mungkin timbul dengan pejabat struktural, adalah merupakan dan menjadi bagian dari reformasi birokrasi dan komunikasi Kejaksaan RI, dapat dituangkan dalam Berita Acara pendapat dengan dilandasi fakta persidangan dan analisis yuridis; (3) Sikap para Jaksa terhadap keberadaan lembaga “rentut,” bahwa “rentut” masih diperlukan dalam rangka memberikan masukan kepada pimpinan sebagai fungsi kontrol para Jaksa. Kata Kunci : efektivitas, “rentut,” penegakan hukum.
Efektivit
Abstract Act Number 16 Year 2004 regarding the Indonesian Prosecution Office, Article 2 paragraph (1), asserts that the Indonesian Prosecution Office is a government body implementing the state’s power in prosecution and other authority according to the law. In carrying out the duties of prosecution, public prosecutor plans the indictment and prosecution in the form of Indictment Planning (Rencana Penuntutan) commonly abbreviated as “rentut.” The basic rational for the “rentut” is in order to control the case in order to avoid huge disparity at the same cases. “Rentut” only applies to certain offenses or crimes established by the Attorney General Office that can be changed along with the changing times. The research was conducted to determine how the implementation and the effectiveness of “rentut”, and the Public Prosecutor’s attitudes towards the presence of “rentut”. This study is descriptive with the juridical normative and empirical type of research, sampling study using non-probability sampling technique of purposive sampling, and respondents used as samples are the Prosecutors from 6 (six) High/ Provincial Prosecution Offices at South Sumatra, Central Kalimantan, Yogyakarta, Bengkulu, North Sulawesi, and Papua, amount 242 respondents, while the data were analyzed qualitatively. The results are that (1) to propose that “rentut” is determines according to the sense of justice that live and thrive in society, as the essential purpose Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
249
of law enforcement is to achieve and promote justice and order in the society, (2) “rentut” will be effective when used as guidelines in the performance duties of prosecution. Disagreement that may arises with structural is a part of the bureaucracy reform and the communication within the Indonesian Prosecutors. The disagreement could be mentioned in the Minutes of Opinion based on facts and analysis of court proceedings, (3) The Prosecutor’s attitude toward the existence of “rentut” agency is “rentut” still needed in order to provide input to the leaders as the control functions of the Prosecutors. Keywords: effectiveness, “rentut”, law enforcement.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undangundang. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis) mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu perkara tindak pidana, baik pidana umum maupun pidana khusus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak, berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana. Dalam melaksanakan tugas penuntutan, Jaksa Penuntut Umum menuangkan tuntutannya dalam bentuk rencana tuntutan yang biasa disingkat “rentut”. Rentut telah mulai diberlakukan dan diterapkan oleh Kejaksaan sejak tahun 1985 yaitu berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor: SE009/JA/12/1985 tanggal 14 Desember 1985 dimana dalam surat edaran tersebut terdapat istilah resmi dari rentut yaitu Pedoman Tuntutan Pidana. Dasar pemikiran adanya rentut adalah dalam rangka pengendalian perkara agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok pada perkara-perkara yang jenis tindak pidananya sama. Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan jaman. Dalam perkembangannya untuk tindak pidana umum, kriteria perkara penting yang harus melalui rentut diatur dalam Instruksi Jaksa Agung RI Nomor: INS-004/J.A/3/1994 tentang Pengendalian Perkara Penting Tindak 250 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Pidana Umum antara lain adalah perkara yang melibatkan tokoh masyarakat atau tokoh publik lainnya, menggunakan modus atau sarana yang canggih, menimbulkan banyak korban, berkaitan dengan keamanan negara, perkara yang diduga penanganannya telah terjadi penyimpangan oleh aparat penegak hukum, serta perkara lain yang mendapat perhatian khusus pimpinan. Sedangkan rentut untuk tindak pidana khusus diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor: SE001/J.A/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana yang menetapkan tiga faktor dalam menentukan apakah suatu perkara tindak pidana khusus itu harus melalui rentut atau tidak, yaitu didasarkan pada kriteria: jenis perbuatan, keadaan diri pelaku dan dampak dari perbuatan tersebut. Selanjutnya SEJA ini juga mengatur tiga faktor kriteria untuk tindak pidana umum yang sama dengan tindak pidana khusus. Dalam Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-605/E/EJP/09/2005 tanggal 26 September 2005 yang mengatur tentang Kecermatan, Ketetapan dan Kecepatan Pembuatan dan Pengiriman Rencana Tuntutan Pidana, bahwa berdasarkan pengamatan dan penelitian terhadap Rencana Tuntutan Pidana, atas perkara-perkara penting yang diterima dari para Kejati, ternyata dalam pembuatannya masih ditemukan berbagai kelemahan antara lain: 1. Belum ada keseragaman dalam bentuk dan isinya. 2. Belum memuat seluruh materi dan fakta serta hal-hal lain yang seharusnya disampaikan, sehingga tidak tertutup kemungkinan petunjuk Pimpinan menjadi kurang tepat dan kurang akurat. 3. Keterlambatan dalam penyampaian rentut, sehingga menyebabkan sidang pengadilan menjadi tertunda-tunda dengan alasan
jawaban rentut belum diterima oleh Jaksa Penuntut Umum dari atasannya. Sedangkan berdasarkan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-410/E/Ejp/8/2003 tanggal 5 Agustus 2003 perihal Petunjuk Tentang Rencana Tuntutan (P-41), yang salah satu isinya menyatakan bahwa tidak diperkenankan Jaksa Penuntut Umum mengundur sidang dengan alasan rencana tuntutan belum turun. Oleh karena itu diperintahkan supaya Jaksa Penuntut Umum menyampaikan rentut dalam waktu yang wajar di setiap tingkat pengendalian serta dapat menggunakan sarana tercepat seperti telpon, fax, surat dan lain-lain.1 Berkaitan dengan tahap pengendalian dan pengawasan dalam penanganan perkara penting tindak pidana umum, pengaturannya mengacu kepada Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor: SE-003/A/JA/02/2009 tanggal 26 Pebruari 2009 yang bertujuan untuk pendelegasian kewenangan pengendalian rencana tuntutan pidana perkara penting berdasarkan kualitasnya kepada Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Jaksa Agung cq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. Perkara-perkara penting yang dimaksud adalah perkara narkotika, psikotropika, minyak dan gas bumi, kehutanan, dan hak kekayaan intelektual. Sedangkan perkara penting lainnya yang tidak diatur dalam SEJA dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri, namun bila dipandang perlu terhadap perkara tertentu yang menarik perhatian, pengendalian rentutnya dapat diambil alih Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum secara tertulis. Dalam pelaksanaan SEJA tersebut, Kejaksaan di daerah mempedomani pula Surat JAMPIDUM Nomor: B-2236/E/Ep.2/10/2010 tanggal 27 Oktober 2010 perihal Pengendalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum, yang intinya bahwa terhadap perkara yang tidak diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor: SE-003/A/ JA/02/2009 maka pengendalian rentutnya secara bertanggung jawab dilakukan oleh daerah dalam rangka percepatan penyelesaian penanganan perkara sebagai implementasi Kejaksaan Agung RI, Himpunan Tata Naskah Dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara Pidana Umum Kejaksaan Agung RI :V,VI,VII VIII, Jakarta: Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, 2004, hal., hal.1031.
1
dari reformasi birokrasi Kejaksaan RI. Pengendalian rentut tindak pidana korupsi yang masuk dalam ranah tindak pidana khusus mengacu kepada SEJA Nomor: SE-001/A/ JA/01/2010 tanggal 13 Januari 2010 tentang Pengendalian Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, isinya antara lain: - Perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan Negeri dengan nilai kerugian negara Rp 5 milyar kebawah, termasuk kebijakan penghentian penyidikan dan penuntutan pengendalian penanganan perkara dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri. - Perkara tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian keuangan/ perekonomian negara diatas Rp 5 milyar termasuk kebijakan penghentian penyidikan dan penuntutan, pengendalian penanganan perkara dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi. - Perkara tindak pidana korupsi yang menarik perhatian masyarakat dan berdampak nasional atau internasional atau karena hal tertentu yang mendapat atensi pimpinan, pengendalian penanganan perkara dilakukan oleh Kejaksaan Agung RI. Surat Edaran tersebut berhubungan dengan SEJA Nomor: SE-003/A/JA/03/2010 tanggal 25 Pebruari 2010 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi, berisi tentang tolok ukur tuntutan pidana untuk seluruh institusi Kejaksaan, maksud dikeluarkannya pedoman tuntutan ini agar tidak terjadi disparitas antar Kejaksaan Agung, Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia. Namun demikian, meskipun sudah ada pedoman atau petunjuk tentang pembuatan rentut dengan maksud adanya pengawasan dari atasan kepada bawahan, tetapi pada dasarnya dalam praktek masih saja terdapat permasalahan dalam rentut yang berjenjang tersebut. Hal ini terkait dengan masalah keputusan berat ringannya tuntutan yang diberikan oleh atasan Jaksa Penuntut Umum, sering tidak sesuai fakta yang terungkap di persidangan. Selanjutnya masih sering terjadi tindakan mengulur-ulur waktu pembacaan tuntutan di persidangan yang berpengaruh pada masa penahanan terdakwa.
Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
251
Dengan adanya pengajuan rentut dari Jaksa Penuntut Umum kepada atasannya, dapat saja menciptakan suatu celah tidak hanya bagi Jaksa pembuat rentut, namun juga bagi atasan Jaksa untuk membocorkannya kepada pencari keadilan atau untuk mendapatkan suatu keuntungan pribadi. Bahkan akhir-akhir ini ditemukan penyalahgunaan rentut dengan cara melakukan ’rentut ganda’ dimana terdapat dua rentut yang berbeda untuk satu perkara yang sedang dalam proses persidangan. B. Identifikasi Masalah Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pelaksanaan rentut dalam tugas penuntutan dapat meminimalisir disparitas tuntutan perkara tindak pidana? 2. Apakah rentut dapat dijadikan alat pengendalian penanganan perkara untuk mencegah adanya penyalahgunaan kewenangan aparat Kejaksaan? 3. Apakah pelaksanaan rentut masih relevan dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dikaitkan dengan independensi Jaksa dalam penanganan perkara? C. Metodologi 1. Sifat dan Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tipe penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif berarti penelitian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang permasalahan yang diteliti. Yuridis empiris berarti bagaimana ketentuan itu dilaksanakan di lapangan. 2. Jenis Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data a. Jenis Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu: data primer dan data sekunder. b. Sumber Data Data primer diperoleh dari penelitian lapangan (Field Research). Sementara itu data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research). 252 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
c. Teknik Pengumpulan Data Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran terhadap peraturan perundangundangan serta dokumen lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 3. Tata Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik non probability sampling jenis purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan penilaian subyektif peneliti, kemudian peneliti sendiri yang menentukan responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi. 4. Analisis Data Data primer dan data sekunder yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian kepustakaan dan hasil penelitian lapangan akan dianalisa secara kualitatif. 5. Lokasi dan Responden Penelitian a. Lokasi Penelitian Lokasi yang dijadikan sampel penelitian meliputi 6 (enam) wilayah hukum Kejaksaan Tinggi yaitu: 1) Kejati Sumatera Selatan: Kejari Palembang, Kejari Kayu Agung, Kejari Muara Enim, Kejari Prabumulih, dan Kejari Baturaja. 2) Kejati Kalimantan Tengah: Kejari Palangkaraya, Kejari Pulang Pisau, Kejari Kuala Kapuas, Kejari Sampit, dan Kejari Kasongan. 3) Kejati D.I. Yogyakarta: Kejari Yogyakarta, Kejari Bantul, Kejari Sleman, Kejari Wonosari, dan Kejari Wates. 4) Kejati Bengkulu: Kejari Bengkulu, Kejari Kepahiang, Kejari Manna, Kejari Curup, dan Kejari Tais. 5) Kejati Sulawesi Utara: Kejari Manado, Kejari Bitung, Kejari Tondano, Kejari Amurang, dan Kejari Tomohon.
6) Kejati Papua: Kejari Jayapura, dan Kejari Biak. b. Responden Dalam rangka memperoleh data yang akurat berkaitan dengan penelitian ini maka ditentukan sebanyak 242 responden, yang terdiri dari : 1) Dari unsur Kejaksaan Tinggi: Wakajati, Aspidsus dan staf, Aspidum dan staf, Aswas dan Staf serta Jaksa Fungsional. 2) Dari unsur Kejaksaan Negeri: Kajari, Kasi Pidsus dan staf, Kasi Pidum dan staf serta Jaksa Fungsional.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kejaksaan Sebagai Lembaga Penuntutan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kejaksaan menegaskan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.” Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping penyandang dominus litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban Kejaksaan harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) yang menyebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Undang-Undang Kejaksaan juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu: melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat, melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Pasal 13 KUHAP menyatakan bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Menurut Pasal 14 KUHAP, Penuntut Umum berwenang: 1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjukdalam rangka menyempurnakan penyidikan dan penyidik. 3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik. 4. Membuat surat dakwaan 5. Melimpahkan perkara kepengadilan 6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan 7. Melakukan penuntutan 8. Menutup hukum.
perkara
demi
kepentingan
Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
253
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut undang-undang 10. Melaksanakan penetapan hakim. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa, yang dimaksud dengan tindakan lain adalah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan. Menurut KUHAP, batasan penuntutan diatur di Pasal 1 butir 7 yaitu tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.2 Pasal 1 butir 6 KUHAP memberi pengertian Jaksa dan penuntut umum dengan batasan: 1. Jaksa adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan melakukan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. 2. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Tugas dan wewenang penuntut umum tercantum antara Pasal 1 butir 6b KUHAP dikaitkan dengan Pasal 1 butir 6a KUHAP, tugas Jaksa: 1. Sebagai Penuntut Umum. a. Melakukan penuntutan b. Melaksanakan penetapan pengadilan. 2. Melaksanakan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (eksekutor). Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “tindakan lain “ antara lain ialah meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hal. 157
2
254 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Sebelum ke Pengadilan, Jaksa menyiapkan Surat Dakwaan. Berlainan dengan surat tuntutan, fungsi surat dakwaan adalah dasar pemeriksaan di sidang Pengadilan, dasar pembuatan surat tuntutan (requisitoir), dasar pembuatan pembelaan oleh terdakwa/ pembelanya, dasar bagi hakim menjatuhkan putusan, dan dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya. Sebelum hakim menjatuhkan putusan, JPU harus mengajukan surat tuntutan terlebih dahulu. Namun di internal Kejaksaan, sebelum lahirnya tuntutan, ada istilah Rencana Tuntutan (rentut). Rentut ini bukanlah sebuah istilah yang baru dalam proses peradilan pidana. Rentut telah mulai dikenal dan diberlakukan serta diterapkan Kejaksaan sejak tahun 1985, berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 09/1985. Istilah resmi dari Rentut, berdasarkan Surat Edaran tersebut adalah Pedoman Tuntutan Pidana. Untuk tindak pidana umum, prosedur dan kriteria perkara penting yang harus melalui Rentut diatur dalam Instruksi Jaksa Agung Nomor INS-004/J.A/3/1994 yang telah diperbaharui dengan Perja Nomor: Per-036/A/ JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Tahapan pembuatan rentut pidana umum diatur dalam Pasal 37, antara lain dengan melibatkan tokoh masyarakat atau tokoh publik lainnya, menggunakan modus atau sarana yang canggih, menimbulkan banyak korban, berkaitan dengan keamanan negara, perkara yang diduga penanganannya telah terjadi penyimpangan oleh aparat penegak hukum, serta perkara lain yang mendapat perhatian khusus pimpinan. Sedangkan pada tindak pidana khusus, diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-001/J.A/4/1995 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana. Dalam SEJA keluaran tahun 1995 ini ditetapkan tiga faktor dalam menentukan apakah suatu perkara tindak pidana khusus itu harus melalui Rentut atau tidak yakni didasarkan pada kriteria: jenis perbuatan, keadaan diri pelaku dan dampak dari perbuatan tersebut. Saat ini untuk perkara tindak pidana khusus penanganan perkara tindak pidana korupsi di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Cabang Kejaksaan Negeri dan penanganan perkara pelanggaran HAM yang berat mengacu pada
Perja-39/A/JA/10/2010 tanggal 29 Oktober 2010 tentang Tata Kelola Adminstrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus yang Berlaku.
B. Proses Penuntutan dan Tuntutan Pidana Pasal 1 butir 7 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan. Sedangkan pengertian penuntutan menurut Seminar UNAFEI ke 59 di Tokyo Jepang tahun 1982 adalah: suatu seni, keterampilan yang tidak hanya memerlukan kecakapan, tetapi juga penguasaan teknis dan ilmu yang harus dibentuk dan diperhalus dalam tungku pengalaman.3 Sebagai penyelenggara dan pengendalian penuntutan dalam batas yurisdiksi negara, Kejaksaan senantiasa berupaya melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai ketentuan perundang-undangan, artinya dalam proses pidana, Jaksalah yang berwenang untuk menuntut atau tidak menuntut perkara. Selanjutnya dari rumusan Pasal 14 KUHAP, secara singkat proses penuntutan dan tuntutan pidana dapat diuraikan sebagai berikut:4 1. Pelimpahan perkara pidana yang disertai surat dakwaan kepada pengadilan yang berwenang. 2. Pemeriksaan di sidang pengadilan. 3. Tuntutan pidana. 4. Putusan hakim. Langkah-langkah untuk melakukan penuntutan secara lebih kongkrit dijabarkan sebagai berikut yang termasuk ke dalam tahapan prapenuntutan: 1. Kelengkapan berkas Dalam meneliti berkas acara perkara tindak pidana yang disusun oleh penyidik, jaksa perlu memperhatikan: Andi Hamzah, Reformasi Penegakan Hukum, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum, Jakarta: FH. Trisakti, 1998, hal. 8 4 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, ed.ke-1 cet.ke-1. Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hal. 68 3
a. Kelengkapan formal, termasuk di dalamnya: 1) Identitas tersangka 2) Surat izin ketua pengadilan setempat dalam hal dilakukan penggeledahan 3) Surat izin khusus ketua PN setempat apabila dilakukan pemeriksaan surat 5) Adanya pengaduan dari orang yang berhak melakukan pengaduan dalam tindak pidana aduan 6) Pembuatan berita acara pemeriksaan saksi, pemeriksaan tersangka, penangkapan, penggeledahan dan sebagainya. b. Kelengkapan material Apabila suatu berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan, yakni harus memenuhi alat bukti yang diatur dalam Pasal 183 dan 184 KUHAP sehingga dari hal-hal tersebut di atas bisa disusun surat dakwaan seperti yang diisyaratkan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Dalam hal penuntut umum melakukan prapenuntutan, yaitu setelah menerima hasil penyidikan berupa BAP dari penyidik yang segera dipelajari dan diteliti, dalam waktu 7 hari wajib memberitahukan penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Bila hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik sudah harus menyampaikan kembali berkas perkara kepada penuntut umum (Pasal 138 KUHAP). Setelah penuntut umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak diadakan penuntutan.
Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
255
2. Pembuatan Surat Dakwaan
dibacakan tuntutannya dalam suatu proses pengadilan pidana apabila pemeriksaan tersebut sudah selesai; artinya terdakwa, saksi-saksi serta alat-alat bukti lainnya yang berkaitan dengan perkara tersebut sudah didengar keterangannya dan diperiksa dan diteliti sebagaimana mestinya. Dalam tuntutan itu, apabila menurut penuntut umum telah terbukti perbuatan-perbuatan seperti yang dituntut terhadap terdakwa, penuntut umum menurut supaya dijatuhi hukuman pidana atau suatu tindakan, dengan menyebut peraturan peraturan hukum pidana yang telah dilanggar oleh terdakwa.5
Menurut Pasal 140 KUHAP, apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dari penyidik dapat dilakukan penuntutan, maka ia dalam waktu secepatnya membuat surat atau akte yang membuat perumusan dari tindak pidana yang didakwakan, yang sementara dapat disimpulkan dari hasil penyidikan dari penyidik yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan disidang pengadilan. Surat dakwaan sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana, sebab yang menjadi dasar membuat tuntutan (requisitoir) serta menentukan batasbatas bagi pemeriksaan hakim. Memang pemeriksaan itu tidak batal, jika batas tersebut dilampaui, tetapi putusan hakim hanya boleh mengenai fakta-fakta yang terletak dalam batas-batas itu dan tidak boleh kurang atau lebih.
Kebenaran bahwa surat dakwaan adalah dasar tuntutan pidana dapat terlihat dalam hal sebagai berikut: 6 1. Dalam surat tuntutan pidana, tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa diuraikan kembali sebelum diketengahkan hasil-hasil pemeriksaan sidang dalam tuntutan pidana tersebut.
Pada dasarnya tujuan utama surat dakwaan adalah untuk menetapkan secara kongkret atau nyata tentang orang tertentu yang telah melakukan tindak pidana pada waktu dan tempat tertentu. Pentingnya surat dakwaan bagi terdakwa adalah bahwa ia mengetahui setepat-tepatnya dan seteliti-telitinya tindak pidana yang didakwakan kepadanya untuk dapat mempersiapkan tanggapannya terhadap dakwaan tersebut. Perlu diketahui bahwa requisitor (surat tuntutan pidana) dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP berbeda dengan surat dakwaan dalam Pasal 143 ayat (1) KUHAP. Surat dakwaan berfungsi mengantarkan perkara pidana di muka pengadilan dengan permintaan agar diperiksa dan diadili, sedangkan surat tuntutan berfungsi sebagai surat tuntutan di muka pengadilan agar terdakwa diputuskan dengan pernyataan bersalah atau tidak. Surat dakwaan dibuat dalam tingkat tuntutan pada kejaksaan, didasarkan atas pemeriksaan penyidikan pihak kepolisian ataupun pihak kejaksaan sendiri, sedangkan surat tuntutan dibuat pada proses persidangan di muka pengadilan dengan dasar hal-hal yang terjadi pada pemeriksaan sidang. Jadi pengertian requisitor adalah tuntutan dari penuntut umum, yang 256 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
2. Fakta-fakta hasil pemeriksaan sidang, tidak lain daripada hasil pembuktian penuntut umum atas apa yang telah didakwakannya dalam surat dakwaan yang dibacakannya diawal persidangan. 3. Dalam pembahasan yuridis yang merupakan bagian inti daripada tuntutan pidana, penuntutan umum menguraikan segala fakta yang terungkap di persidangan dan kemudian mempertemukan faktafakta itu dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakannya dalam surat dakwaan. 4. Dari hasil pembahasan yuridis dengan penggunaan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, penuntut umum secara konkrit telah memperoleh gambaran selengkapnya tentang tindak pidana apa yang telah terbukti, kapan dan dimana tindak pidana dilakukan, bagaimana tindak pidana itu dilakukan beserta Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana: Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: Pradnya Paramita, 1988, hal. 106 6 Harun M.Husein, Surat Dakwaan, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal. 186187 5
akibat-akibatnya, barang bukti apa saja yang telah diajukan dalam persidangan dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana itu, maka penuntut umum menunjuk kembali kepada dakwaannnya dan menyatakan dakwaan yang mana yang terbukti dan yang mana tidak terbukti atau tidak perlu dibuktikan lagi. 5. Pada saat penuntutan umum meminta hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, sekali lagi penuntutan umum menunjukan kepada kualifikasi tindak pidana yang terbukti sesuai dengan dakwaannya. Selanjutnya dalam hubungan dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu yang disebut asas legalitas dan asas opportunitas. Menurut asas legalitas yang disebut dalam Pasal 137 KUHAP, penuntut umum wajib menuntut setiap orang yang melakukan tindak pidana tanpa kecuali. Asas legalitas dalam hukum acara pidana jangan dicampur adukan dengan pengertian asas legalitas dalam hukum pidana (materiil) yang biasa disebut nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Sedangkan menurut asas opportunitas yang disebut dalam Pasal 14 huruf h KUHAP, penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan umum bukan hukum. Jadi penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana, jika menurut pertimbangan akan merugikan kepentingan umum. Dengan kata lain, demi kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana tidak akan dituntut ke muka pengadilan. Dalam pengajuan tuntutan tersebut ada prosedur berupa rencana tuntutan (rentut) yang harus ditempuh oleh penuntut umum. Khusus untuk perkara tindak pidana khusus penanganan perkara tindak pidana korupsi di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Cabang Kejaksaan Negeri dan penanganan perkara pelanggaran HAM yang berat mengacu kepada Perja-39/A/ JA/10/2010 tanggal 29 Oktober 2010
tentang Tata Kelola Adminstrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus yang Berlaku. Sedangkan prosedur rentut untuk perkara pidum berdasarkan Perja Nomor: Per-036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Tahapan pembuatan rentut pidana umum diatur dalam Pasal 37 Perja ini yaitu: 1. Setelah pemeriksaan terdakwa, Penuntut Umum segera membuat Surat Tuntutan Pidana dan mengajukan rencana tuntutan pidana secara berjenjang sesuai hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara; 2. Penyampaian rencana tuntutan diajukan sebelum pelaksanaan sidang pembacaan tuntutan, paling lambat: a. 3 (tiga) hari dalam hal pengendalian perkara dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri; b. 4 (empat) hari dalam hal pengendalian perkara dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi; c. 5 (lima) hari dalam hal pengendalian perkara dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum atau Jaksa Agung; 3. Petunjuk Tuntutan harus sudah diberikan kepada pimpinan satuan kerja paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan sidang; 4. Dalam hal pengajuan tuntutan bebas, Penuntut Umum harus melakukan gelar perkara terlebih dahulu dihadapan pimpinan Kejaksaan sesuai hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara; 5. Dalam hal dipandang perlu, untuk perkara tertentu yang menarik perhatian publik, dengan memperhatikan perkembangan hukum, rasa keadilan, dan hati nurani sebelum mengajukan tuntutan Penuntut Umum melakukan gelar perkara sesuai dengan hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara; 6. Pengajuan rencana tuntutan dan petunjuk tuntutan dilaksanakan secara
Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
257
tertulis dan/atau secara elektronik dengan memperhatikan ketersediaan sarana teknologi informasi; 7. Petunjuk tuntutan harus dilaksanakan Penuntut Umum di persidangan; 8. Penuntut Umum bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pengajuan tuntutan;
c. Terdakwa telah menikmati hasil d. Terdakwa mangkir atas dakwaan jaksa, sehingga memperlambat jalannya sidang. 2. Faktor yang meringankan: a. Terdakwa masih muda b. Terdakwa belum pernah dihukum
9. Petugas Administrasi/Tata Usaha bertanggungjawab terhadap administratif pelaksanaan pengajuan tuntutan.
c. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya d. Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan
Pasal 38 ayat (1) Perja SOP Penanganan Perkara Pidum menyebutkan dalam pengajuan rencana tuntutan dan pemberian petunjuk tuntutan, harus mendasarkan pada peraturan perundang-undangan dan fakta hukum di persidangan, dengan memperhatikan:
e. Terdakwa menyesali perbuatannya. Tuntutan pidana ini diajukan oleh penuntut umum setelah pemeriksaan dinyatakan selesai. Selanjutnya terdakwa/ penasehat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak berkepentingan (Pasal 182 KUHAP).
1. Keadilan, kepastian dan kemanfaatan; 2. Tujuan pidana dan pemidanaan; 3. Hal-hal yang memberatkan;
meringankan
dan
4. Perkembangan hukum dan masyarakat serta kearifan lokal; 5. Kepentingan perlindungan korban, masyarakat dan terdakwa secara seimbang. Kemudian dalam Pasal 38 ayat (2) Perja ini disebutkan apabila dalam hal sudah disusun pedoman tuntutan pidana, pengajuan tuntutan dan pemberian petunjuk tuntutan berpedoman pada pedoman tuntutan pidana dengan tetap memperhatikan ketentuan ayat (1). Pada hakekatnya putusan pemidanaan diberikan atau dijatuhkan oleh badan negara yang mempunyai kekuasaan untuk itu dan dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan pidana. Oleh karena itu, penuntut umum dalam menyusun tuntutan pidana harus memperhatikan faktorfaktor yang memberatkan dan meringankan, antara lain:7 1. Faktor yang memberatkan:
III. HASIL PENELITIAN A. Pelaksanaan Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum Dan Tindak Pidana Khusus 1. Pengajuan Rentut Selalu Memperhatikan Rasa Keadilan Yang Hidup dalam 1 Masyarakat Tabel 1. Pengajuan Rentut dan Rasa Keadilan Tabel 1 di Masyarakat
No
1 2 3 4 5 6
a. Terdakwa sudah pernah dihukum b. Perbuatan terdakwa sangat tercela Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Jakarta: Bina Akasara, 1987, hal. 37
7
258 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Tab el 2N
Responden
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu Kejati D.I. Yogyakarta Jumlah........ Persentase
Pengajuan Rentut Selalu Memperhatikan Rasa Keadilan Yang Hidup dalam Masyarakat Setuju Tidak Setuju 22 44 44 44 44 44 242 100% -
22 44 44 44 44 44 242 100%
Berdasarkan Tabel 1 tentang pengajuan rentut selalu memperhatikan rasa keadilan Dalam Pengajuan Rentut Selalu yang hidup dalam masyarakat, seluruh Memperhatikan Responden
o
Rentut yang sama Sebagai Tolak Ukur Untuk Menghindari Disparitas. Setuju
1 2
Jumlah
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah
18 32
Tidak Setuju 4 12
Jumlah
22 44
responden 242 (100%) setuju bahwa dalam mengajukan rencana tuntutan harus senantiasa memperhatikan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, karena pada hakikatnya tujuan dari penegakan hukum adalah untuk mewujudkan atau terciptanya keadilan dan ketertiban ditengah-tengah masyarakat artinya bukan hanya bersifat penghukuman atau pemidanaan semata.
suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana8 Artinya, Jaksa merupakan pejabat yang berwenang untuk menentukan apakah suatu perkara itu, layak diajukan ke penuntutan atau harus dihentikan penuntutannya. Kewenangan Jaksa untuk menghentikan atau melanjutkan proses penuntutan, juga berarti Jaksa bebas menerapkan peraturan pidana mana yang akan didakwakan dan mana yang tidak, sesuai hati nurani dan profesionalitas Jaksa itu sendiri, dan senantiasa memperhatikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pendapat ini, sejalan dengan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, ketika membahas tentang apakah penuntut umum berwenang mengubah suatu pasal dengan pasal yang lebih sesuai, apabila penuntut umum setelah meneliti hasil pemeriksaan penyidik yang dipandang olehnya sudah cukup, tetapi penyidik tidak dapat mencantumkan pasal undang-undang pidana yang didakwakan, oleh karena, penuntut umum itu dominus litus dalam penuntutan, maka ia bebas untuk menetapkan peraturan pidana mana yang akan didakwakan dan mana yang tidak.9
Pendapat ini sejalan dengan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : SE-001/JA/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana yang menyatakan, berdasarkan laporan-laporan yang diterima dan hasil pengamatan kami berkenan semakin meningkatkan perkembangan penanganan perkaraperkara tindak pidana dimana permasalahan penegakan hukum dihadapkan pada penyelesaian yang sangat komplek, ternyata tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum selama ini masih belum memenuhi harapan maka pedoman tuntutan pidana sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-003/JA/8/1988 jo Nomor : SE003/JA/5/1990 tanggal 12 Mei 1990, perlu disesuaikan dan disempurnakan dengan maksud untuk mewujudkan tuntutan pidana:
Menurut RM.Surachman dibeberapa negara seperti Jepang, Belanda dan Perancis wewenang penuntutan adalah monopoli Jaksa. Dikatakan dalam bahasa Latin Jaksa adalah dominus litis (penguasa perkara). Artinya dalam proses pidana Jaksalah yang berwenang menghentikan suatu proses pidana konsekwensinya adalah tugas Jaksa memonitor langka-langka penyidikan. Itulah sebabnya Pasal 104 KUHAP mewajibkan penyidik maupun untuk memberitahu Jaksa begitu mulai melakukan penyidikan.10
1. Yang lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dan berkembang didalam masyarakat; 2. Membuat jera para pelaku tindak pidana, mampu menimbulkan dampak penegakan dan mempunyai daya tangkal bagi yang lainnya; 3. Menciptakan kesatuan kebijaksanaan penuntutan sejalan dengan asas bahwa kejaksaan adalah satu dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Dikaitkan dengan masalah pengajuan Rencana Tuntutan dengan selalu memperhatikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sangat tepat, karena memperhatikan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam mayarakat, merupakan faktor penting dalam proses penegakan hukum, meskipun rasa keadilan dalam masyarakat
4. Menghindarkan adanya disparitas tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis antara satu daerah dengan daerah lainnya, dengan memperhatikan faktor kasuistik pada setiap perkara pidana. Mengacu pada Surat Edaran di atas, pada dasarnya peran dan fungsi Jaksa sangat menentukan dalam proses peradilan pidana, dimana Jaksa selaku penuntut umum menjadi pengendali proses penanganan perkara atau dominus litis, karena Jaksa Penuntut Umumlah yang dapat menentukan apakah
Marwan Efendi, Kejaksaan RI Posisi dan fungsinya dari Persfektif Hukum, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal 105 9 Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia ,1985, hal.161 10 RM.Surachman; “Karakteristik Jaksa Indonesia,” dalam Mozaik Hukum I. Jakarta: Puslitbang Kejagung RI 1996, hal. 83 8
Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
259
1
Tabel 1
No
1 2 3 4 5 6
relatif bersifat subjektif dan abstrak, namun Pengajuan Rentut Jaksa dalam melaksanakan tugasnya selaku Selalu Memperhatikan Rasa negara penuntut umum disamping mewakili Keadilan Yang Responden Jumlah dalam melaksanakan tugas yang Hidup dalamdiatur oleh Masyarakat perundang-undangan, Setuju sekaligus Tidak mewakili masyarakat dalam menegakkanSetuju keadilan dan Kejati Papua 22 22 kebenaran yang hakiki. 44 Kejati Kalimantan Tengah 44 Kejati Sulawesi Utara
44
-
disparitas tuntutan pidana,” sedangkan dalam penanganan perkara tindak pidana umum diatur selanjutnya dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-003/A/JA/09/2007 tanggal 27 September tahun 2007 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum lainnya dan dilanjutkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-003/A/JA/02/2009 tentang Pengendalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum dan disusul dengan surat yang dikeluarkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-2236/E/ EP.2/10/2010 perihal Pengendalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum kepada Para Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di Seluruh Indonesia.
44
Kejati Sumatera Selatan 44 44 2. Pengajuan Rentut Selalu Memperhatikan Kejati Bengkulu 44 44 Kejati D.I.Yang Yogyakarta 44 44 Rentut Sama Sebagai Tolok Ukur Jumlah........ 242 242 Untuk Menghindari Disparitas Persentase 100% 100%
Tabel 2. Pengajuan Rentut dan Disperitas
Tab el 2N
Responden
o
Dalam Pengajuan Rentut Selalu Memperhatikan Rentut yang sama Sebagai Tolak Ukur Untuk Menghindari Disparitas. Setuju
1 2 3 4 5 6
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu Kejati D.I. Yogyakarta Jumlah..... Persentase
18 32 44 34 38 38 204 84,30%
Tidak Setuju 4 12 10 6 6 38 15,70%
Jumlah
Salah satu dasar pemikiran adanya Rencana Tuntutan (Rentut) adalah dalam rangka pengendalian perkara agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok pada perkara-perkara yang sejenis Tindak Pidananya. Rentut hanya berlaku untuk jenisjenis tindak pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat dan zaman. Sejalan dengan profesi aparat penegak hukum termasuk Jaksa Penuntut Umum dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya pada era globalisasi dan reformasi saat ini, adalah: 11
22 44 44 44 44 44 242 100%
Berdasarkan Tabel 2, dalam pengajuan rentut selalu memperhatikan Rentut yang sama sebagai tolak ukur untuk menghindari disparitas dari jumlah 242 responden, sebanyak 204 (84,30%) responden menyatakan setuju, dan 38 (15,70%) responden menyatakan tidak setuju. Mayoritas responden setuju bahwa dalam pengajuan rentut Jaksa Penuntut Umum selalu memperhatikan rentut yang sama sebagai tolak ukur untuk menghindari disparitas, hal ini sejalan dengan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : SE-001/JA/4/1995, untuk menghindarkan adanya disparitas tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis antara satu daerah dengan daerah lainnya, dengan memperhatikan faktor kasuistik pada setiap perkara pidana, yang selanjutnya ditindak lanjuti dalam penanganan perkara Tindak Pidana korupsi dengan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : SE-001/A/JA/01/2010 tentang pengendalian Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, tanggal 13 Januari 2010 dan kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Jaksa Agung, Nomor: SE003/A/JA/02/2010 tentang Pedoman tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi dengan tujuan untuk mencegah atau “meminimalkan 260 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
1. Tuntutan masyarakat terhadap pelaksanaan supremasi hukum, keadilan, kepastian hukum dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM); 2. Penegakan hukum yang efektif, efisien dan akuntabel; 3. Penuntasan penyelesaian perkara sesuai asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan; 4. Jenis kualitas dan kuantitas kejahatan semakin meningkat.
Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI. Spesialisasi dan Pemberdayaan Jaksa Fungsional; Jakarta: LIPIPress, 2009, hal 2-3
11
3. Pengajuan Rentut Selalu Memperhatikan Memperhatikan Perkara yang Sama di Wilayah Hukum yang Berbeda Namun Secara Geografis Berdekatan
atau pun perkara khusus berasal dari Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara dipersidangan artinya Jaksa yang mengikuti jalannya persidangan memahami seluruh fakta yang terungkap. Berdasarkan fakta itulah Jaksa Penuntut Umum merencanakan tuntutannya, kemudian Jaksa Penuntut Umum wajib mengajukan rencana tuntutan kepada atasan dengan memperhatikan adat istiadat serta budaya masyarakat setempat. Selanjutnya atasan Jaksa Penuntut Umum akan memberikan kebijakan final terhadap tuntutan yang akan dibacakan di persidangan. Kebijakan atas rentut tersebut dapat saja sama atau berbeda dengan pertimbangan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum meskipun pada dasarnya yang mengetahui fakta dan kenyataan dalam persidangan adalah Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara itu sendiri.
2
Tabel 3. Pengajuan Rentut dan Perkara serta Wilayah hukum
Tab el 3N
Responden
o
1 2 3 4 5 6
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Utara Kejati Bengkulu Kejati D.I Yokyakarta Jumlah......... Persentase
No
1 2 3 4 5 6
Dalam Pengajuan Rentut Selalu Memperhatikan Perkara Yang Sama di Wilayah Hukum Yang berbeda Namun Secara Geografis Berdekatan Tidak Setuju Setuju 10 12 26 18 25 19 25 19 20 24 25 19 131 111 (54,13%) (45,87)
Jumlah
22 44 44 44 44 44 242 (100)%
Berdasarkan Tabel 3, dalam hal pengajuan Tabel 4 Rentut apakah selalu memperhatikan Perkara Dalam Mengajukan yang sama di Wilayah hukum yang berbeda, Rentut Selalu Mempedomani namun secara geografisFakta-Fakta berdekatan, Hukumsebanyak Responden Jumlah Yang Terjadi Di 131 (54,13%) responden menyatakan Persidangan. setuju, sedangkan 111Setuju (45,87%) Tidakresponden setuju menyatakan tidak setuju. Kejati Papua 22 22 Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu Kejati D.I. Yogyakarta Jumlah........ Persentase
44
-
44
Alasan yang dikemukakan responden yang 44 44 44 44 setuju apabila dalam pengajuan Rentut selalu 44 44 43 1 di wilayah 44 memperhatikan perkara yang sama 241 1 242 hukum yang berbeda, (99,60%) namun secara geografis (0,40%) (100%) berbeda, dengan tujuan agar terciptanya keseimbangan dalam menentukan hukuman dalam penanganan perkara dimaksud meski di wilayah hukum berbeda, dengan demikian akan dapat tercipta pula kepastian hukum antara daerah yang satu dengan daerah lain. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan rencana tuntutan yaitu dengan maksud untuk mewujudkan tuntutan pidana yang lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, serta untuk menghindarkan adanya disparitas tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis antara satu daerah dengan daerah lainnya dengan memperhatikan faktor kasuistik pada setiap perkara pidana sebagaimana diatur dalam konsideran perkara pidana (SE-001/ JA/4/1995). Yang menyatakan tidak setuju, karena semua tergantung pada fakta persidangan, situasi dan kondisi dan adat istiadat setempat. Dasar pemikiran ini karena rencana tuntutan baik pada perkara tindak pidana umum,
Akibat pengajuan rentut dengan memperhatikan perkara yang sama di wilayah hukum yang berbeda, namun secara geografis sama, dikhawatirkan mempersulit dan 2 menghambat proses persidangan sehingga akan dapat merugikan kepentingan terdakwa, karena keputusan beratDalam ringannya Pengajuan tuntutan Rentut Selalu dari Jaksa Penuntut Umum sering tidak sesuai Memperhatikan Tab fakta yang terungkapPerkara Yang Sama dalam persidangan, di Wilayah Hukum el sehingga penanganan dan penyelesaian Responden Jumlah Yang berbeda Namun 3N Secara Geografis tersebut dapat o perkara pidana di Pengadilan menimbulkan rasa ketidakBerdekatan adilan, yang sering Tidak Setuju kali berakibat menimbulkan rasa tidak puas Setuju Kejati Papua 1 dan 12 22 keresahan di dalam10masyarakat pencari Kejati Kalimantan Tengah 2 26 18 44 keadilan. 3 Kejati Sulawesi Utara 25 19 44 4
Kejati Sumatera Utara
25
19
44
4. 5 Pengajuan Mempedomani Kejati Bengkulu Rentut Selalu 20 24 44 6 Fakta-Fakta Kejati D.I Yokyakarta 25 Hukum yang 19Terjadi44 di Jumlah......... 131 111 242 Persidangan Persentase (54,13%) (45,87) (100)% Tabel 4. Pengajuan Rentut dan Fakta-Fakta di Tabel 4 persidangan
No
1 2 3 4 5 6
Responden
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu Kejati D.I. Yogyakarta Jumlah........ Persentase
Dalam Mengajukan Rentut Selalu Mempedomani Fakta-Fakta Hukum Yang Terjadi Di Persidangan. Setuju Tidak setuju 22 44 44 44 44 43 1 241 1 (99,60%) (0,40%)
Jumlah
22 44 44 44 44 44 242 (100%)
Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
261
Berdasarkan Tabel 4, dalam mengajukan Rentut selalu mempedomani fakta-fakta hukum yang terjadi di persidangan, sebanyak 241 (99, 60%) responden menyatakan setuju dan hanya 1 (0,40%) responden menyatakan tidak setuju.
tindak pidana itu dilakukan beserta akibatakibatnya, barang bukti apa saja yang telah diajukan dalam persidangan dan siapa yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai pelaku tindak pidana itu, maka penuntut umum menunjuk kembali kepada dakwaannya dan menyatakan dakwaan mana yang terbukti atau tidak perlu dibuktikan lagi.
Mayoritas responden setuju, bahwa dalam mengajukan rentut selalu mempedomani fakta-fakta hukum yang terjadi di persidangan, bahwa requisitoir (surat tuntutan) yang diatur dalam Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP yang menyatakan setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana, berbeda dengan surat dakwaan yang diatur Pasal 143 ayat (1) KUHAP. Surat dakwaan berfungsi mengantarkan perkara pidana dimuka pengadilan dengan permintaan agar diperiksa dan diadili sedangkan surat tuntutan berfungsi sebagai surat tuntutan dimuka pengadilan agar terdakwa diputuskan dengan pernyataan bersalah atau tidak bersalah.
5. Pada saat penuntut umum meminta hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, sekali lagi penuntut umum menunjukkan kepada kualifikasi tindak pidana yang terbukti sesuai dengan dakwaannya. Berdasarkan uraian di atas dan melihat mayoritas jawaban responden, maka dalam mengajukan rentut baik dalam perkara tindak pidana umum maupun perkara tindak pidana khusus memang seharusnya mempedomani fakta-fakta hukum yang terjadi di dalam persidangan, sehingga penanganan dan penyelesaian perkara pidana di pengadilan tersebut dapat mencerminkan rasa keadilan didalam masyarakat dan pencari keadilan itu sendiri.
Oleh karena itu kebenaran bahwa surat dakwaan adalah dasar dari tuntutan pidana (requisitoir) dapat dilihat dalam hal sebagai berikut : 1. Dalam Surat Tuntutan Pidana, tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa diuraikan kembali sebelum diketengahkan hasil-hasil pemeriksaan sidang dalam tuntutan pidana. 2. Fakta-fakta hasil pemeriksaan sidang, tidak lain dari pada hasil pembuktian penuntut umum atas apa yang telah didakwakannya dalam surat dakwaan yang dibacakannya diawal persidangan. 3. Dalam pembahasan yuridis yang merupakan bagian inti dari pada tuntutan pidana, penuntut umum menguraikan segala fakta yang terungkap di persidangan dan kemudian mempertemukan fakta itu dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakannya dalam surat dakwaan. 4. Dari hasil pembahasan yuridis dengan penggunaan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, penuntut umum secara konkrit telah memperoleh gambaran selengkapnya tentang tindak pidana apa yang telah terbukti, kapan dan dimana tindak pidana dilakukan, bagaimana
5. Pembuatan Rentut Selalu Mempedomani Ketentuan-Ketentuan yang Relevan dengan Penanganan Perkara (SEJA Nomor: SE-003/A/JA/02/2009 dan SEJA 3 Nomor: SE-001/A/JA/01/2010) Tabel 5. Pedoman pembuatan Rentut Tabel 5
No
1 2 3 4 5 6
No
Responden
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu Kejati D.I.Yogyakarta Jumlah........ Persentase
Jumlah
22 44 44 44 44 44 242 (100%)
Tabel 6 Berdasarkan Tabel 5, sebanyak 240 Rentut (99,20%) responden Mekanisme menyatakan setuju, Akan Dapat bahwa dalam pembuatan tuntutan hukum Menghambat Responden
262 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013 1 2 3 4 5
Dalam Pembuatan Tuntutan Hukum Selalu Mempedomani Ketentuan-ketentuan yang Relevan Dengan Penanganan Perkara (SEJA Nomor: SE003/A/JA/02/2009 dan SEJA Nomor: SE001/A/JA/01/2010) Tidak Setuju Setuju 21 1 44 43 1 44 44 44 240 2 (99,20%) (0,80%)
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu
Percepatan Penanganan Perkara Tidak Setuju Sejutu 15 7 19 25 36 8 24 20 22 22
Jumlah
22 44 44 44 44
selalu mempedomani ketentuan-ketentuan yang relevan dengan penanganan perkara sebagaimana diatur didalam Surat Edaran Jaksa agung RI, Nomor: SE-003/A/JA/02/2009 tentang Pengendalian Rencana Tuntutan Pidana Perkara Penting Tindak Pidana Umum dan Surat Edaran Jaksa Agung RI, Nomor: SE-001/A/JA/01/2010 tentang Pengendalaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Sedangkan 2 (0,80%) responden menyatakan tidak setuju. Berdasarkan data, mayoritas responden menyatakan bahwa dalam pembuatan tuntutan hukum, selalu mempedomani ketentuan-ketentuan yang relevan dengan penanganan perkara sebagaimana diatur dalam SEJA Nomor: SE-003/A/JA/02/2009 tentang Pengendalian rencana tuntutan pidana perkara penting tindak pidana umum, yang artinya perlu adanya penyelesaian kewenangan pengendalian rencana tuntutan pidana perkara penting tindak pidana umum pidana umum. Sedangkan SEJA Nomor: SE001/A/JA/10/2010, tentang Pengendalian penanganan perkara tindak pidana korupsi dengan pertimbangan, sehubungan dengan meningkatnya penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan RI, maka untuk efisiensi dan efektivitas penanganan perkara serta peningkatan kemandirian Jaksa dalam pelaksanaan tugasnya. Mengingat peran dan fungsi Jaksa yang sangat besar dalam proses peradilan pidana, Jaksa menjadi pengendali proses penanganan perkara atau dominis litis terkait dengan itu dapat dilihat tentang tugas pokok dan fungsi Kejaksaan secara umum, di dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, yaitu: a. Di bidang Pidana - Melakukan penuntutan; - Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; - Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat; - Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang dan;
- Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Memperhatikan ketentuan Pasal diatas, berarti Jaksa berwenang untuk menentukan apakah suatu perkara itu layak diajukan ke penuntutan atau harus dihentikan penuntutannya, kewenangan Jaksa untuk menghentikan atau melanjutkan proses penuntutan, dan juga Jaksa bebas menerapkan peraturan pidana mana yang akan didakwakan dan mana yang tidak. Namun dalam menjalankan kewenangannya tersebut tentu perlu pengendalian terhadap kewenangan yang sangat besar dan menentukan oleh pimpinan, namun kontrol pengendalian tersebut tentu saja tidak akan mengurangi kemandirian Jaksa dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai Jaksa dalam tugas-tugas penuntutan dalam penanganan perkara pidana umum dan pidana khusus.
B. Efektivitas Rencana Tuntutan 1. Surat Edaran Yang Menjadi Acuan Tuntutan Yang Tidak Sesuai Hati Nurani JPU Apabila Surat Edaran yang dikeluarkan oleh pimpinan Kejaksaan RI untuk dijadikan acuan dalam pengajuan tuntutan, tidak sesuai dengan hati nurani Jaksa selaku penuntut umum, dalam melaksanakan tugas penuntutan, maka langkah-langkah yang diambil adalah sebagai berikut: - Surat Edaran tetap dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tugas penuntutan, ini dimaksudkan untuk menghindari adanya disparitas tuntutan dan sekaligus memudahkan kontrol, pengawasan dan pengendalian oleh pimpinan, namun pada kesempatan yang tepat, masalah kendala atau hambatan yang dihadapi tetap disampaikan kepada pimpinan misalnya pada forum komunikasi dan koordinasi, dengan harapan agar surat edaran dapat dilakukan koreksi dan disempurnakan dengan tujuan disesuaikan dengan kebutuhan Jaksa di lapangan, juga dengan memperhatikan adat istiadat, kebiasaan,
Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
263
dan budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia; - Tetap melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab sebagaimana mestinya, walaupun tidak sesuai dengan kenyataan (fakta lapangan) atau hati nurani, namun sebagai bagian dari insan Kejaksaan akan memberi saran secara tertulis dan objektif kepada pimpinan, dengan tujuan agar pelaksanaan tugas-tugas penuntutan dilapangan tidak mengalami hambatan. - Tidak ada salahnya untuk menyimpang dari surat edaran yang dikeluarkan oleh pimpinan, apabila tidak sesuai dengan hati nurani, asal ada dasar hukum yang kuat melandasinya, karena banyak aspek yang perlu diperhatikan dalam menjatuhkan tuntutan terhadap pelaku tindak pidana yaitu aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
ialah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara objektif dan bersifat tidak memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilainilai tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.13 2. Apabila Terjadi Perbedaan JPU Dengan Pejabat Struktural Terkait dengan rentut yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada pejabat struktural (atasan), apabila terjadi perbedaan pendapat mestinya yang menjadi acuan adalah fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan tidak mengenyampingkan pula petunjuk–petunjuk yang diberikan oleh pejabat struktural (pimpinan), sebagai sarana kontrol dan pengendalian agar Jaksa Penuntut Umum tidak terjebak dalam pelaksanaan tugas penuntutan yang keliru.
Mengacu pada alasan-alasan diatas, perlu disadari bahwa masalah pokok dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya yang berdampak positif atau negatif terletak pada isi faktor tersebut, faktor-faktor tersebut menurut Soejono Soekanto,12 adalah sebagai berikut:
Dengan kata lain keputusan berat ringannya tuntutan dari pejabat struktural (pimpinan) tidak bisa sepenuhnya dijadikan pedoman tuntutan (requistoir) oleh Jaksa Penuntut Umum, karena kalau kurang tepat, akan dapat mencederai rasa keadilan masyarakat dan rasa keadilan hukum itu sendiri. Sebab dalam kenyataan, Jaksa Penuntut Umum pembuat rentutlah yang lebih mengetahui fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, mulai dari penyidikan, penyusunan dakwaan hingga proses penuntutan, bukan atasan (pejabat struktural) yang diatasnya. Oleh karena itu untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan dalam proses penuntutan, terutama masalah rentut khususnya, maka peraturan yang mengatur tentang rentut baik dalam penanganan perkara tindak pidana umum dan pidana khusus harus semakin disempurnakan, sehingga perbedaan antara Jaksa Penuntut Umum dan pejabat struktural dalam proses pengendalian perkara dalam pengajuan rencana tuntutan (rentut) dapat dihindari.
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu undangundang; 2. Faktor penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. Faktor sarana fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku; 5. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya cinta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Dalam faktor-faktor diatas, faktor penegak hukum menempati titik sentral. Hal ini disebabkan oleh karena undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat. Untuk itu perlu disadari bahwa penegakan hukum yang baik Soejono Soekanto. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafinda Persada. Jakarta,1998, hal. 5
12
264 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Aziz Syamsuddin; “Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Sebagai Sarana Sinergitas Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Makalah pada Seminar Kejaksaan Agung RI, Pusat Litbang Kejaksaan RI, Jakarta 2001, hal. 38
13
Setuju 1 2 3 4 5 6
3.
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu Kejati D.I.Yogyakarta Jumlah........ Mekanisme Rentut Persentase
21 44 43 44 44 44 240 (99,20%)
Tidak Setuju 1 1 2 (0,80%)
22 44 44 44 44 44 242 (100%)
disebutkan: Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat sederhana dan biaya ringan serta bebas jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekwen dalam seluruh tingkat peradilan, penjelasan umum tersebut, kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal dalam KUHAP Pasal 24 (4); Pasal 25 ayat (4); Pasal 26 ayat (4); Pasal 27 ayat (4); Pasal 28 ayat (4): Pasal 50, Pasal 102 ayat (1), Pasal 106; Pasal 107 ayat (3), Pasal 110, Pasal 140 ayat (1).
Tabel 6. Mekanisme Rentut Tabel 6
No
Responden
1 2 3 4 5 6
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu Kejati D.I.Yogyakarta Jumlah....... Persentase
Mekanisme Rentut Akan Dapat Menghambat Percepatan Penanganan Perkara Tidak Setuju Sejutu 15 7 19 25 36 8 24 20 22 22 24 20 140 102 (57,90%) (42,10%)
Jumlah
22 44 44 44 44 44 242 (100%)
Beberapa ketentuan pasal dalam KUHAP tersebut, pada dasarnya merupakan penjabaran dan asas peradilan cepat, tepat dan biaya ringan antara lain tersangka atau terdakwa berhak: - Segera mendapat pemeriksaan dari penyidik;
Berdasarkan data Tabel 6, sebagian besar responden (57,90%) setuju bahwa mengenai mekanisme rentut akan dapat menghambat percepatan penanganan perkara. Pendapat tersebut apabila dikaitkan dengan tujuan Hukum Acara Pidana, sebagai mana tercantum dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP, memberi penjelasan tentang tujuan Hukum Acara Pidana sebagai berikut:
- Segera diajukan kepada Penuntut Umum oleh penyidik; - Segera diajukan ke Pengadilan oleh Penuntut Umum;
- Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana, dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.
- Berhak segera diadili di Pengadilan. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 2 ayat (4) menyebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas sederhana, Cepat dan biaya ringan adalah asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan pelayanan administrasi peradilan yang mengarah pada prinsip dan asas efektifdan efesien. Sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien {Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009}. Sederhana juga dapat dimaknai sebagai suatu proses yang tidak berbelit-belit, tidak rumit, jelas, lugas, non interprebable, mudah dipahami, mudah dilakukan, mudah diterapkan, sistematis, konkrit baik dalam sudut pandang penegak hukum yang mempunyai tingkat kualifikasi sangat beragam baik dalam bidang potensi pendidikan yang dimiliki, kondisi sosial ekonomi, budaya dan lain-lain.15
Menurut Andi Hamzah, tujuan Hukum Acara Pidana mencari dan menemukan kebenaran material itu hanya merupakan “tujuan antara” Artinya ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal ini mencapai suatu masyarakat yang tertib, tenteram, damai, adil dan sejahtera ( tata tenteram kerta raharja).14 Terkait permasalahan Tabel 6, dikaitkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan (contante justitie) yang dimuat dalam penjelasan umum KUHAP butir 3 e
Cepat harus dimaknai sebagai upaya strategis untuk menjadikan sistem peradilan Sunaryo Sidik; Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana Umum. Malang: Malang Press, 2005, hal. 46
15
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, op.cit., hal 19
14
Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
265
sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya atau tercapainya keadilan dalam penegakan hukum secara cepat oleh pencari keadilan.16 Bukan hanya asal cepat terselesaikan yang diterapkan tapi pertimbangan yuridis, ketelitian, kecermatan maupun pertimbangan sosiologis yang menjamin rasa keadilan masyarakat juga harus diperhatikan.
perhatian masyarakat, karena tidak ada tolak ukur yang jelas dan objektif. Kebijakan mekanisme rentut secara berjenjang, secara otomatis akan menambah panjangnya proses birokrasi yang harus dilalui oleh Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara pidana dimaksud. Konsekuensinya adalah akan berdampak pada terganggunya proses peradilan yang cepat, murah dan sederhana termasuk akan mengganggu proses persidangan di Pengadilan.
Biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat (Penjelasan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). Biaya ringan mengandung makna bahwa mencari keadilan melalui lembaga peradilan tidak sekedar orang yang mempunyai harapan akan jaminan keadilan didalamnya, tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan dan keadilan yang mandiri serta bebas dari nilai-nilai lain yang merusak nilai keadilan.17 Apabila asas sederhana, cepat, biaya ringan dapat dijadikan semangat para penegak hukum maka sistem peradilan pidana yang efektif dan efisien dapat diwujudkan. Pembenahan sistem pidana akhirnya tidak dapat hanya tergantung dalam pemahaman harfiah dari penegak hukum terhadap asas sederhana, cepat, biaya ringan saja namun dari itu semua adalah nurani penegak hukum, pencari keadilan, penguasa legeslatif dan sistem yang membingkai institusi peradilan juga menjadi faktor dominan. Semua faktor itu jika dapat dimaksimalkan bukan tidak mungkin sistem peradilan pidana akan lebih baik lagi dan akan menciptakan peradilan yang bersih dan jujur.18 Uraian diatas dikaitkan dengan mekanisme rentut akan dapat menghambat percepatan penanganan perkara, pada dasarnya sebelum membacakan tuntutan di Pengadilan, Jaksa Penuntut Umum biasanya melaporkan dulu rencana atas tuntutan itu kepada atasannya. Untuk perkara tertentu yang mendapat dan menjadi perhatian masyarakat, rentut harus dilaporkan secara berjenjang mulai dari Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung RI. Sulitnya adalah menentukan mana perkara yang menarik
Pasal 182 KUHAP, tidak mengatur dan tidak menyinggung adanya kewajiban, penyampaian rentut kepada atasan Jaksa Penuntut Umum (pejabat struktural/ pimpinan), dalam Pasal tersebut hanya disebutkan; “Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.” Dari bunyi redaksi Pasal 182 KUHAP, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya prosedur rentut merupakan kebijakan internal Kejaksaan, oleh karena itu ketentuanketentuan yang mengatur tentang Rentut yang dikeluarkan oleh pimpinan Kejaksaan RI, kiranya kedepan perlu memperhatikan hal-hal sebagaimana telah diuraikan diatas, baik berupa Surat Edaran, instruksi maupun keputusan yang mengatur tentang rencana tuntutan, sehingga tidak mengganggu dan menghambat mekanisme penyelenggaraan proses peradilan yang cepat, murah dan biaya ringan. 4. Penanganan Perkara Tertunda Karena 4 Rentut Tabel 7. Rentut dan penundaan penanganan perkara Tabel 7
No
Responden
1 2 3 4 5 6
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu Kejati D.I.Yogyakarta Jumlah....... Persentase
Jumlah
22 44 44 44 44 44 242 (100%)
Tabel 8 Berdasarkan
Tabel 7 tentang dalam hal Rentut Dapat Dijadikan penanganan perkara Sebagai tertunda dengan alasan Alat Kontrol
Ibid,. hal 47 Ibid., hal. 48 18 Ibid. 16 17
266 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
Dalam Hal Penanganan Perkara Tertunda Dengan Alasan Rentut Belum Turun Atau Belum Ada Persetujuan Dari Pejabat Struktural Yang Berwenang Setuju Tidak Setuju 19 3 38 6 36 8 34 10 28 16 33 11 188 54 (77,70%) (22,30%)
No
Responden
1 2
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah
Supaya Penanganan Perkara Tidak Menimpang Dari Peraturan PerundangUndangan Setuju Tidak Setuju 22 33 11
Jumlah
22 44
rentut belum turun atau belum ada persetujuan dari pejabat struktural yang berwenang di peroleh data, sebanyak 188 (77,70%) responden menyatakan setuju terhadap pernyataan diatas, sebanyak 54 (22,30%) responden menyatakan tidak setuju. Alasan-alasan yang diberikan responden, baik yang menyatakan setuju atau tidak setuju dalam penanganan perkara tertunda dengan alasan rentut belum turun atau belum ada persetujuan dari pejabat struktural yang berwenang, pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu bagaimana dapat terselenggaranya pelaksanaan tugas penanganan perkara berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku yaitu KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang terkait, serta tetap berpedoman pada SOP dan surat edaran yang dikeluarkan oleh pimpinan Kejaksaan RI (JAM Pidum, JAM Pidsus dan Jaksa Agung), utamanya yang mengatur pengendalian penanganan perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus, bertujuan untuk efisiensi dan efektivitas penanganan perkara serta upaya peningkatan kemandirian Jaksa dalam melaksanakan tugas dibidang penuntutan. Permasalahan akan timbul apabila waktu sidang untuk pembacaan surat tuntutan (requisitoir) sudah tiba, namun Jaksa Penuntut Umum tidak dapat melaksanakan tugasnya, dengan alasan surat tuntutan belum selesai disusun, atau rentut belum turun dari atasannya atau pejabat yang berwenang baik Kejati atau Kejagung, sehingga hal ini akan sangat menghambat proses jalannya persidangan, serta tidak sesuai dengan asas proses peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana telah dikemukakan diatas. Selanjutnya, apabila sidang selalu ditunda akibat belum turunnya petunjuk rencana tuntutan (rentut) dari Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Agung, maka berdasarkan hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung RI, dengan jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia di Palembang, tanggal 9 Oktober 2009, dengan tema “Meningkatkan kualitas Pengadilan dengan kesamaan persepsi dalam Penerapan
Hukum,” maka Ketua Pengadilan Negeri melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Negeri atau melapor kepada ketua Pengadilan Tinggi, yang selanjutnya melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Tinggi setempat. Dari hasil Rakernas itu, disarankan agar majelis Hakim meminta kepada Jaksa Penuntut Umum atau Kejaksaan Negeri agar menyerahkan “bukti tertulis (surat)” bahwa penuntut umum atau Kejaksaan Negeri sudah mengajukan rentut kepada Kejaksaan Negeri atau kepada Kejaksaan Tinggi atau Kejaksaan Agung. Apabila proses tersebut sudah dijalani dan ternyata rentut tidak juga turun maka perkara tersebut dinyatakan penuntutan tidak dapat diterima dalam bentuk penetapan. Perlu disadari bahwa keputusan berat ringannya tuntutan dari atasan atau pejabat struktural yang berwenang, memang tidak bisa dijadikan pedoman menjadi tuntutan jaksa selaku penuntut umum, karena hal ini dapat menciderai rasa keadilan masyarakat dan keadilan masyarakat dan keadilan hukum itu sendiri. Sebab yang lebih mengetahui fakta hukum yang terungkap di persidangan adalah Jaksa Penuntut Umum yang membuat rentut tersebut. Oleh karena itu sebaiknya keputusan dari pejabat struktural yang berwenang, hanya sebagai bahan pertimbangan bagi Jaksa Penuntut Umum pembuat rentut, setelah Jaksa Penuntut Umum tersebut memberikan laporannya. Hal diatas dikemukakan karena, tuntutan hukum yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum adalah suatu rahasia jabatan yang tidak boleh diketahui oleh siapapun dari pihak yang berperkara, terkecuali Jaksa Penuntut Umum itu sendiri yang mengetahuinya dan dibacakan didalam sidang oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan karena surat tuntutan (requisitoir) Jaksa Penuntut Umum sama halnya dengan putusan hakim yang hanya boleh diketahui ketika diucapkan atau dibacakan didepan persidangan yang terbuka untuk umum.
Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
267
1 2 3 4 5 6
5.
Yang Berwenang Setuju Tidak Setuju Kejati Papua 19 3 22 Kejati Kalimantan Tengah 38 6 44 Kejati Sulawesi Utara 36 8 44 Kejati Sumatera Selatan 34 10 44 Kejati Bengkulu 28 16 44 Kejati D.I.Yogyakarta 33 11 44 Rentut Dapat Dijadikan Sebagai Alat Jumlah....... 188 54 242 Kontrol Persentase (77,70%) (22,30%) (100%)
Tabel 8. Rentut dan alat kontrol
Tabel 8
No
Responden
1 2 3 4 5 6
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu Kejati D.I.Yogyakarta Jumlah..... Persentase
Rentut Dapat Dijadikan Sebagai Alat Kontrol Supaya Penanganan Perkara Tidak Menimpang Dari Peraturan PerundangUndangan Setuju Tidak Setuju 22 33 11 34 10 36 8 36 8 37 7 198 44 (81,80%) (18,20%)
Jumlah
22 44 44 44 44 44 242 (100%)
Berdasarkan Tabel 8 tentang rentut dapat dijadikan sebagai alat kontrol, supaya penanganan perkara tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, di peroleh data, sebanyak 198 (81,80%) responden menyatakan setuju, dan sebanyak 44 (18,20%) responden menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan diatas. Data diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden setuju bahwa rentut dijadikan sebagai alat kontrol supaya penanganan perkara tidak menyimpang dari peraturan perundang-udangan yang berlaku, mengingat bahwa dasar pemikiran adanya rentut adalah dalam rangka pengendalian perkara agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok pada perkara-perkara yang sejenis tindak pidananya sama. Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang di tetapkan oleh Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan jaman. Rentut dalam perkara tindak pidana umum maupun khusus pada dasarnya berasal dari Jaksa Penuntut Umum yang melakukan persidangan terhadap perkara tersebut, artinya Jaksa Penuntut Umum mengikuti jalannya persidangan memahami seluruh fakta yang terungkap di persidangan. Berdasar fakta itulah Jaksa Penuntut Umum merencanakan tuntutannya. Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum tersebut wajib mengajukan “rentut”nya kepada pejabat struktural yang berwenang, yang selanjutnya memberikan kebijakan final terhadap tuntutan yang akan dibacakan pada 268 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
persidangan. Kebijakan rentut tersebut dapat berbeda dengan pertimbangan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum meskipun pada dasarnya yang mengetahui fakta dan kenyataan dalam persidangan adalah Jaksa Penuntut Umum. Hal inilah justru mengakibatkan adanya disparitas putusan Hakin dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, sehingga penanganan dan penyelesaian perkara pidana di pengadilan tersebut dapat mencerminkan rasa ketidak adilan masyarakat yang seringkali menimbulkan rasa tidak puas dan keresahan. Keadaan yang disinyalir antara lain disebabkan karena tidak dipedomaninya dan dilaksanakan secara baik dan benar SEJA RI Nomor: SE-001/JA/4/1995 tentang pedoman tuntutan pidana oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum membacakan tuntutan pidana (requisitoir). Selain itu prosedur rentut sering mengakibatkan persidangan tertunda karena rentut belum turun dari atasan (pejabat struktural) yang berwenang, hal ini dapat merugikan kepentingan pihak yang berperkara di persidangan dan tidak adanya kepastian hukum serta berakibat dilanggarnya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Berkaitan dengan tahap pengendalian dan pengawasan dalam penanganan perkara penting tindak pidana umum berturut-turut dikeluarkan SEJA RI Nomor : SE-003/A/ JA/02/2009 tanggal 26 Februari 2009 yang bertujuan untuk pendelegasian kewenangan pengendalian rencana tuntutan pidana perkara penting berdasar kualitasnya kepada Kepala Kejari, Kejati dan Jaksa Agung cq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Nomor : B-2236/E/EP.2/10/2010 tanggal 27 Oktober 2010 perihal pengendalian rencana tuntutan pidana perkara penting tindak pidana umum yang intinya bahwa terhadap perkara yang tidak diatur dalam SEJA RI, Nomor : SE003/A/JA/02/2009 maka pengendalian rentut secara bertanggung jawab dilakukan oleh daerah dalam rangka percepatan penyelesaian penangaanan perkara sebagai implementasi dari reformasi birokrasi Kejaksaan Agung RI. Sedangkan pengendalian tindak pidana korupsi masuk dalam ranah tindak pidana
khusus yang berpedoman pada SEJA RI, Nomor : SE-001/A/JA/01/2010 tanggal 13 Januari 2010 tentang pengendalian penanganan perkara tindak pidana korupsi. Surat Edaran tersebut berhubungan dengan SEJA RI, Nomor : SE-003/A/JA/02/2010 tanggal 25 Februaru 2010 tentang pedoman tuntutan pidana perkara tindak pidana korupsi, berisi tentang tolak ukur tuntutan pidana untuk seluruh institusi Kejaksaan, adapun maksud dikeluarkannya pedoman tuntutan ini agar tidak terjadi disparitas antara Kejaksaan Agung, Kejaksan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia. Menyimak pada uraian diatas, pada dasarnya rentut dapat dijadikan sebagai alat kontrol supaya penanganan perkara tidak menyimpang dari peraturan perundangundangan karena sejak awal pimpinan mengeluarkan kebijakan rentut, dasar pemikirannya adalah dalam rangka pengendalian perkara agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok pada perkara-perkara yang jenis tindak pidananya sama.
C. Sikap JPU Terhadap Keberadaan Rencana Tuntutan 1. Rentut Membatasi Kemandirian JPU
5
Tabel 9. RentutTabel dan kemandirian JPU 9
No
1 2 3 4 5 6
No 1 2 3 4 5 6
Responden
Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu Kejati D.I. Yogyakarta Jumlah....... Persentase
Rentut Membatasi Kemandirian JPU dalam Pelaksanaan Tuntutan Tidak Setuju Setuju 15 7 24 20 32 12 20 24 22 22 30 14 143 99 (59,10%) (40,90%)
Jumlah
22 44 44 44 44 44 242 (100%)
10 Berdasarkan Tabel Tabel 9 bahwa rentut Rentut Umum membatasi kemandirianPelaksanaan Jaksa Penuntut Responden Jumlah Tidak Setuju dalam pelaksanaan tuntutan, sebanyak 143 Setuju Kejati Papua 18 4 22 (59,10%) responden menyatakan setuju, dan Kejati Kalimantan Tengah 37 7 44 disisi lain sebanyak 99 (40,90%) menyatakan Kejati Sulawesi Utara 37 7 44 tidak setuju.Selatan Kejati Sumatera 31 13 44 Kejati Bengkulu 32 12 44 Kejati D.I. Yogyakarta 44 Alasan bahwa 32rentut 12 membatasi Jumlah 187 55 242 kemandirian JPU, yaitu dengan adanya Persentase 77,30% 22,70% 100%
kebijakan rencana tuntutan, Jaksa Penuntut
Umum dalam mengajukan tuntutannya sering bertentangan dengan hati nurani dan rasa keadilan yang sebenarnya terjadi, karena tuntutan yang dibacakan dipersidangan tetap saja ditentukan oleh atasan (pejabat Struktural) yang berwenang menentukan tinggi rendahnya tuntutan. Sedangkan alasan responden yang tidak setuju apabila rencana penuntutan dianggap membatasi kemandirian Jaksa Penuntut Ummum dalam melaksanakan tuntutan, memberikan alasan bahwa dengan adanya rencana tuntutan, justru dapat menekan perbuatan indisipliner antara Jaksa Penuntut Umum dengan pihak terdakwa, sehingga reformasi moralitas dan reformasi birokrasi dapat benar-benar diwujudkan dalam pelaksanaan tugas-tugas penegakan hukum, khusus tugas penuntutan oleh Kejaksaan. Dimana rencana tuntutan merupakan sarana komunikasi antara Jaksa Penuntut Umum dengan atasan (pejabat Struktural) yang berwenang sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan kinerja dan menumbuh kembangkan kepercayaan masyarakat kepada institusi Kejaksaan. Dalam kaitan tugas yang diemban Jaksa sebagai Penuntut Umum, eksistensi surat tuntutan (requisitoir) merupakan bagian penting dalam proses hukum acara pidana. Surat tuntutan dibuat secara tertulis dan dibacakan di persidangan sebagaimana diatur Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP. Tuntutan, dari Jaksa Penuntut Umum menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Sebelum membacakan tuntutan di pengadilan, Jaksa Penuntut Umum diharuskan mengajukan rencana tuntutan kepada atasannya atau pejabat struktural khusus terhadap perkaraperkara tertentu baik pidana umum maupun pidana khusus sebagai sudah ditetapkan dalam Surat Edaran yang dikeluarkan pimpinan Kejaksaan, secara berjenjang mulai Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, sampai ke Kejaksaan Agung, sesuai bobot perkara yang ditangani atau perkara tersebut mendapat perhatian masyarakat. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa disatu sisi rencana tuntutan itu dapat digunakan sebagai alat kontrol dan pengendalian terhadap penanganan perkara di lapangan oleh Jaksa Penuntut Umum, sekaligus untuk menghindari
Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
269
1 2 3 4 5 6
terjadinya disparitas tuntutan pidana terhadap perkara yang sama, tapi kalau dilihat dari sisi lain dengan adanya kebijakan rentut, maka secara otomatis akan menambah panjangnya proses birokrasi yang harus di lalui oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menangani suatu perkara pidana. Konsekuensinya berdampak pada terganggunya proses peradilan cepat, murah dan sederhana, termasuk didalamnya akan mengganggu proses persidangan di pengadilan. Secara garis besar dapat dikemukakan beberapa alasan mengapa rentut berjenjang itu dianggap menghambat Jaksa Penuntut Umum dalam pelaksanaan tuntutan : - Jaksa menjadi tidak lagi merdeka atau mandiri dalam menjalankan tugas dan fungsinya, karena penentuan tuntutan bukan lagi ada ditangan Jaksa Penuntut Umum tapi sudah di intervensi oleh atasan atau pejabat struktural yang berwenang atas dasar Surat Edaran Jaksa Agung. - Jaksa menjadi kurang bertanggung jawab, karena kewenangan tuntutan pidanya bukan lagi dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara. - Tidak memberi kesempatan berkembangnya profesionalisme Jaksa.
Jadi dengan memperhatikan hal-hal diatas, maka langkah-langkah yang perlu diambil guna menghindari kesalah pahaman dalam menginterprestasi maksud dan tujuan rentut adalah mencoba mempelajari dan memahami dengan baik dan benar tentang maksud dan tujuan rentut, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran yang berkaitan dengan rentut itu sendiri. Aturan-aturan yang berkaitan pengaturan rentut harus senantiasa memperhatikan kepentingan hukum, kepentingan dan rasa keadilan masyarakat dan setiap Jaksa Penuntut Umum harus mulai berubah sikap untuk lebih profesional, berintegritas moral dan kepribadian yang tinggi dan baik, dan hal ini di buktikan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dilapangan, sehingga dengan demikian apa yang menjadi tujuan dan cita-cita, untuk tegaknya hukum dan keadilan dapat diwujudkan.
270 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
2.
Setuju Kejati Papua 15 7 Kejati Kalimantan Tengah 24 20 Kejati Sulawesi Utara 32 12 Kejati Sumatera Selatan 20 24 Kejati Bengkulu 22 22 Kejati D.I. Yogyakarta 30 14 Jumlah....... 143 99 PersentasePelaksanaan Rentut (59,10%) (40,90%) Perihal
22 44 44 44 44 44 242 (100%)
Tabel 10. Pelaksanaan Rentut Tabel 10 No 1 2 3 4 5 6
Responden Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu Kejati D.I. Yogyakarta Jumlah Persentase
Pelaksanaan Rentut Tidak Setuju Setuju 18 4 37 7 37 7 31 13 32 12 32 12 187 55 77,30% 22,70%
Jumlah 22 44 44 44 44 44 242 100%
Berdasarkan Tabel 10 tentang pendapat responden perihal pelaksanaan rentut, sebanyak 187 (77,30%) responden menyatakan setuju, sedangkan 55 (22,70%) responden menyatakan tidak setuju. Berdasarkan data diatas, mayoritas responden setuju adanya pelaksanaan rentut dengan berbagai alasan yang disampaikan, sedangkan sebagian menyatakan tidak setuju dengan pelaksanaan rentut sebagaimana yang telah digariskan oleh pimpinan Kejaksaan RI, melalui Surat Edaran Jaksa Agung RI, ketidak setujuan ini dituangkan dengan berbagai alasan, yaitu bahwa dengan adanya pengajuan rentut dari Jaksa Penuntut Umum kepada atasannya dapat saja menciptakan suatu celah tidak hanya bagi Jaksa Penuntut Umum yang membuat rentut, namun tidak menutup kemungkinan oleh atasan Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan, untuk membocorkannya kepada pihak pencari keadilan, atau untuk mendapatkan suatu keuntungan pribadi. Padahal rencana tuntutan pidana yang belum dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, harus dijaga kerahasiaannya sebagai halnya terhadap rahasia negara, karena apabila rencana tuntutan sudah diketahui oleh pihak luar akan dapat berdampak negatif terhadap penyelesaian perkara, institusi dan pimpinan. Untuk menghindari kelemahankelemahan sebagaimana diuraikan diatas, sudah selayaknya dan seharusnya dalam melaksanakan tugas tuntutan, termasuk dalam pelaksanaan rentut, baik Jaksa Penuntut Umum maupun pimpinan atau pejabat struktural yang berwenang, agar benar-benar mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan oleh pimpinan Kejaksaan Agung RI, melalui Surat Keputusan (KEPJA) maupun Surat Edaran (SEJA), atau kebijakan-kebijakan
teknis tentang rentut yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung Tindak Pidana Umum dan Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus, secara benar, konsisten dan yang paling penting tidak disimpangi atau disalahgunakan baik oleh Jaksa Penuntut Umum ataupun atasannya (pejabat struktural yang berwenang). Perlu disadari bahwa kebijakan rentut yang dikeluarkan oleh institusi Kejaksaan sama sekali tidak ada diatur dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP), maupun dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Selanjutnya sebagai wacana kedepan dan perlu mulai saat ini dipikirkan oleh pimpinan Kejaksaan RI, tentang tanggung jawab “penyusunan tuntutan” sebaiknya diberikan kepercayaan kepada Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara, tapi dengan tetap memperhatikan pengawasan melekat oleh pimpinan, terhadap Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara, sehingga kemandirian Jaksa sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang dapat diwujudkan, sebagaimana hakim dalam memutus perkara secara mandiri. Kemudian dalam menangani perkaraperkara besar atau perkara yang menarik perhatian masyarakat, sebaiknnya ditangani oleh tim yang terdiri dari 2 (dua), 3 (tiga) atau lebih Jaksa Penuntut Umum, agar tercipta penyusunan dakwaan tuntutan yang akurat, tepat dan profesional. 3. Perihal Keberadaan Lembaga Rentut
6
Tabel 11. Keberadaan Lembaga Rentut Tabel 11 No 1 2 3 4 5 6
Responden Kejati Papua Kejati Kalimantan Tengah Kejati Sulawesi Utara Kejati Sumatera Selatan Kejati Bengkulu Kejati D.I.Yogyakarta Jumlah....... Persentase
Dengan Adanya Lembaga Rentut Setuju Tidak Setuju 14 8 16 28 24 20 31 13 26 18 23 21 134 108 (55,40%) (44,60%)
Jumlah 22 44 44 44 44 44 242 (100%)
Berdasarkan Tabel 11 tentang perihal keberadaan lembaga rentut sebanyak 134 (55,60%) responden menyatakan setuju, sedangkan 108 (44,60%) responden menyatakan tidak setuju. Berdasarkan data diatas, terlihat ada
pendapat yang setuju dan yang tidak setuju, namun kalau disimak dan dipahami alasanalasan yang diberikan maka dapat dimaknai bahwa tujuan atau muara dari alasan yang diberikan, adalah terciptanya proses penuntutan yang profesional, jujur adil dan dapat memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan rasa keadilan dalam masyarakat. Perlu disadari bahwa fungsi penegakan hukum antara lain adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Apabila penegakan hukum mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat dan benar-benar dapat diterima masyarakat karena berdasarkan kepatutan dan kewajaran dan mampu membuat masyarakat merasa terayomi, maka akan dapat mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat yang lebih tinggi dalam mendukung proses penegakan hukum itu sendiri, dan secara bersamaan akan dapat pula meningkatkan citra dan kewibawaan institusi Kejaksaan dalam hal ini Jaksa selaku penuntut umum pada khususnya, dan aparat penegak hukum pada umumnya. Berdasarkan uraian diatas, Jaksa penuntut Umum akan lebih dihargai dan dianggap berhasil atau mampu melaksanakan tugasnya selaku penuntut umum apabila memberikan alasan-alasan atau argumentasi dalam menyampaikan tinggi rendahnya tuntutan benar-benar dapat diterima oleh masyarakat, dan sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya terjadi. Sebab tugas pokok/utama dan seorang Jaksa Penuntut Umum adalah menegakkan keadilan yang berdasarkan kepada kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka kepada setiap Jaksa selaku penuntut umum dituntut untuk : - Mampu menggali dan menyerap keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Mampu memberikan alasan-alasan sesuai dengan fakta-fakta hukum yang terjadi dan terungkap di persidangan dan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dalam menentukan tinggi rendahnya tuntutan pidana yang ditanganinya. - Mampu memahami dan menghayati mengenai adat istiadat atau kebudayaan setempat, sehingga dalam menentukan tinggi rendahnya tuntutan pidana benar-
Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
271
benar dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat, karena berdasarkan kepatutan dan kewajaran. - Pejabat Struktural yang berwenang atau pimpinan berdasarkan tingkatan kebutuhan rentut, harus benar-benar dapat menterjemahkan dan memahami secara benar, cermat dan jujur dalam memberikan petunjuk terutama dalam menentukan tinggi rendah tuntutan pidana yang harus dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan tidak keluar atau menimpang dari peraturan perundangundangan yang berlaku, dan sekaligus memberikan teladan serta yang baik kepada bawahannya. Lembaga Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum, yang mempunyai tugas pokok atau tugas utama dibidang penuntutan, maka tugas penuntutan adalah merupakan sebagai mahkota bagi lembaga Kejaksaan, karena keberhasilan Jaksa selaku Penuntut Umum dalam mengajukan tuntutan pidana, terhadap terdakwa, akan membawa pengaruh terhadap citra dan kewibawaan lembaga Kejaksaan itu sendiri. Oleh karena itu Jaksa selaku Penuntut Umum harus mampu menjaga dan meningkatkan profesionalitasnya dan sekaligus harus mampu mempertahankan dan meningkatkan integritas moral dan kepribadian. Peningkatan profesionalitas Jaksa selaku Penuntut Umum dapat diwujudkan dengan cara pengawasan terhadap materi peraturan perundang-undangan yang berlaku baik tertulis maupun tidak tertulis, sedangkan integritas moral dan kepribadian yang tinggi pada dasarnya adalah kemampuan seorang Jaksa Penuntut Umum dalam mengasah penampilan, sikap mental, perilaku terpuji yang mencerminkan seorang Jaksa yang elegan dan terpuji dalam melaksanakan tugas pokok dibidang penuntutan.
IV. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan Rencana Tuntutan (Rentut) adalah kebijakan dalam rangka pengendalian perkara agar tidak terjadi 272 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
disparitas tuntutan yang terlalu mencolok pada perkara-perkara yang sejenis Tindak Pidananya. Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat dan zaman.
Dalam mengajukan rencana tuntutan harus senantiasa memperhatikan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, karena pada hakikatnya tujuan dari penegakan hukum adalah untuk mewujudkan atau terciptanya keadilan dan ketertiban ditengah-tengah masyarakat artinya bukan hanya bersifat penghukuman atau pemidanaan semata, sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dilanggar atau disangkakan terhadap pelaku tindak pidana.
2. Rencana Tuntutan yang dituangkan dalam berbagai kebijakan pimpinan dalam bentuk Surat Edaran, akan efektif bila dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tugas penuntutan guna menghindari adanya disparitas tuntutan dan sekaligus memudahkan kontrol, pengawasan dan pengendalian oleh pimpinan.
Perbedaan pendapat yang mungkin timbul dengan pejabat struktural, adalah merupakan dan menjadi bagian dari reformasi birokrasi dan komunikasi Kejaksaan RI, dapat dituangkan dalam Berita Acara pendapat dengan dilandasi fakta persidangan dan analisis yuridis.
3. Sikap para Jaksa terhadap keberadaan lembaga rencana tuntutan, bahwa rencana tuntutan masih diperlukan dalam rangka memberikan masukan kepada pimpinan sebagai fungsi kontrol para Jaksa, dengan lebih memangkas prosedur administrasi maupun birokrasi yang berjenjang
Kebijakan rencana tuntutan dapat saja sama atau berbeda dengan pertimbangan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, meskipun pada dasarnya yang mengetahui fakta dan kenyataan dalam dan yang terungkap di persidangan serta menentukan berat ringannya tuntutan adalah Jaksa Penuntut Umum yang
menangani perkara itu sendiri dan bukan atasannya, terlebih bila perkara harus dilaksanakan secara berjenjang, yang pada akhirnya dapat merugikan kepentingan terdakwa. B. Saran 1. Perlunya ketegasan dan keseragaman Jaksa Penuntut Umum dan Pejabat Struktural (berwenang) dalam pembuatan atau pengajuan rencana tuntutan agar tidak terjadi disparitas terhadap perkara sejenis antara daerah satu dengan lainnya, sebagai peningkatan profesionalitas dan sekaligus harus mampu mempertahankan dan meningkatkan integritas moral dan kepribadian, jujur adil serta dapat memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan rasa keadilan dalam masyarakat 2. Agar rencana tuntutan efektif, mekanisme administrasi agar lebih dipangkas dengan memotong proses pengajuan yang terlalu berjenjang, sehingga asas peradilan yang cepat, sederhana dam biaya ringan dapat terpenuhi. 3. Masalah kendala atau hambatan yang dihadapi tetap disampaikan kepada pimpinan misalnya pada forum komunikasi dan koordinasi, dengan harapan agar surat edaran dapat dilakukan koreksi dan disempurnakan dengan tujuan disesuaikan dengan kebutuhan Jaksa di lapangan, juga dengan memperhatikan adat istiadat, kebiasaan, dan budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Syamsuddin. “Pembaharuan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Sebagai Sarana Sinergitas Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Makalah. Kumpulan laporan hasil seminar Kejaksaan Agung RI, Pusat Litbang Kejaksaan RI, Jakarta 2001. Bambang Waluyo. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta, Sinar Grafika, 2000. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. Mengenal lembaga Kejaksaan di Indonesia. Jakarta, Bina Akasara, 1987. Harun M.Husein. Surat Dakwaan. Jakarta, Rineka Cipta, 1994. Kejaksaan Agung RI, Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan, Jakarta, Kejaksaan Agung R.I.,1985. _________, Himpunan Tata Naskah Dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara Pidana Umum Kejaksaan Agung RI : V,VI,VII VIII. Jakarta, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, 2004. Martiman Prodjohamidjojo. Pembahasan Hukum Acara Pidana: Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta. Pradnya Paramita, 1988. Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI. Spesialisasi dan Pemberdayaan Jaksa Fungsional. Jakarta, LIPI Press, 2009. RM. Surachman dan Andi Hamzah. Jaksa di Berbagai Negara peranan dan Kedudukannya. Jakarta, PT. Sinar Grafika, 1996. RM.Surachman. Karakteristik Jaksa Indonesia, Dalam Mozaik Hukum I.. Jakarta, Puslitbang Kejagung RI 1996. Soejono Soekanto. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta, Raja Grafinda Persada, 1998. Sunaryo Sidik. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana Umum. Malang, Malang Press, 2005.
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika, 1996. ________Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984. ________ “Reformasi Penegakan Hukum.” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum. Jakarta, FH. Trisakti, 1998. Efektivitas Rencana Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Dalam Penegakan Hukum - Niniek Suparni
273
INDEX PENULIS
Abdul Gofar Amelya Gustina Bambang Waluyo Baringin Sianturi
i, iii, vi, x, 155 [3;2] i, iii, vi, x, 237 [3;3] i, iii, v, ix, 179, 255, 273 [3;3] iv, vii,47 [3;1] i, iii, vi, x, 227 [3;3] Burhanuddin i, iii, v, ix, 87 [3;2] Domu P Sihite i, iii, vi, x, 119 [3;2] Hendi Suhendi iii,vi,1 [3;1] Khunaifi Alhumami v, viii,57 [3;1] Monang Siahaan i, iii, v, ix, 105 [3;2] i, iii, v, ix 203 [3;3] Niniek Suparni iv, vii,35 [3;1] i, iii, vii, xi, 249, 249 [3;3] Satriyo Wibowo i, iii, v, ix, 187 [3;3] Sri Humana Lagustini v, viii, 73 [3;1] Wahyu Wiriadinata iii,vi,23 [3;1] Widyopramono i, iii, v, ix, 99 [3;2] Yoeniarti Sasongko i, iii, vi, x, 135 [3;2]
274 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013
INDEX KATA KUNCI adoption actualization advokasi hukum aktualisasi aparat penegak hukum
xi, 155 [3;2] ix, 179 [3;3] v, 87 [3;2] v, 179, 185 [3;3] i, v, vii, 99, 126, 135, 142, 143, 144, 152, 155, 158, 159, 161, 163, 171, 172, 173, 174, 177, 178 [3;2] attorney vi, viii, 1,2,23,57,73 [3;1] attorney bureaucratic reform x, 119 [3;2] barang bukti v, vi, 203, 204, 205, 207, 208, 211, 214, 216, 221, 222, 223, 224, 243, 254, 257, 262 [3;3] BUMN/D iii, vii, 135, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 174 [3;2] bureaucracy reform x, 119 [3;2] capital investment x, 135 [3;2] case management x, 119 [3;2] community vi,vii,viii,2,35,47,73 [3;1] confiscate/seizure x, 204 [3;3] corruption ix, x, xi, 99, 105, 155, 157, ix [3;2] corruption eradication commission x, 204 [3;3] court ix, x, xi, 179, 180, 188, 189, 190, 191, 192, 194, 196, 199, 200, 204, 227, 237, 250 [3;3] creating the law x, 227 [3;3] criminal settlement ix, 179 [3;3] diskresi iv, 35, 36, 37 [3;1] efektivitas iii, 8, 23, 27, 33, 34, 42, 74 [3;1] employee enhancement x, 119 [3;2] di luar pengadilan v, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185 [3;3] discreation vii [3;1] effectiveness vi, 23 [3;1] xi, 249, 250 [3;3] efektivitas vii, 249, 263, 267 [3;3] evidence ix, x, 191, 194, 204 [3;3] financial service vi, 23 [3;1] illegal vii, xi, 237, 238, 240, 243, 244, 245, 246 [3;3] implementation of policy vii, 35 [3;1] international dispute settlement ix, 187, 188, 196, 197, 198, 199, 200 [3;3] investigator vii, viii, 23, 57 [3;1] jaksa pengacara negara v, 87 [3;2] jasa keuangan iii, vi, 23, 24, 25, 26, 27, 30, 31, 32, 33, 34 [3;1] keuangan negara vii, 89, 102, 111, 112, 122, 123, 124, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 152,
159, 171, 177 [3;2] iii, v, viii, 1, 3, 4, 5, 6, 8, 12, 15, 18, 19, 20, 73, 75 [3;1] kinerja kejaksaan v, 1, 3, 4, 5, 6, 8, 12, 15, 18, 19, 20, 73, 75 [3;1] komisi pemberantasan korupsi vi, 203, 216 [3;3] konsepsi hukum iv, 47, 48, 49, 50, 51, 54, 55, 56 [3;1] law enforcement ix, x, xi, 179, 188, 191, 192, 199, 237, 250 [3;3] law enforcement officers ix, 99 [3;2] legal advocacy ix, 87 [3;2] implementasi kebijakan iv, 35, 43, 44 [3;1] indek kepuasan masyarakat v, 73, 74, 75, 76,77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 [3;1] melawan hukum materiil vi, 227 [3;3] menciptakan hukum vi, 227, 232, 236 [3;3] out of court ix, 179, 180 [3;3] overlap vi, 23 [3;1] owned enterprises ix, x, 135 [3;2] partai politik vi, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 112, 113, 114, 115, 116, 117 [3;2] participation x, 135 [3;2] pembalikan beban pembuktian vii, 155, 156, 157, 158, 159, 163, 164, 165, 166, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178 [3;2] pemeriksaan tambahan v, 57, 58, 61, 63, 64, 65, 66, 67, 69, 70 [3;1] pemerintahan yang baik vi, 102, 119, 121, 122, 132 [3;2] pemerintahan yang bersih vi, 119, 121, 133 [3;2] pencegahan v, vi, 99, 100, 101, 102, 105, 129, 139, 158, 173 [3;2] penegakan hukum i, v, vii, 179, 180, 183, 220, 237, 241, 242, 243, 247, 249, 250, 253, 259, 264, 266, 269, 271, 272 [3;3] kinerja
penegakan supremasi hukum iv, 47, 54, 55 [3;1] penerapan vii, 123, 124, 129, 131, 132, 138, 152, 155, 157, 158, 159, 164, 165, 166, 167, 168, 170, 171, 172, 173, 174, 176, 177, 178 [3;2] pengawasan v, 89, 94, 99, 100, 101, 102, 107, 116, 120, 121, 124, 125, 131, 132, 133, 141, 147, 150 [3;2] iii, v [3;3] penyelesaian perkara pidana v, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 261, 262, 268 [3;3] penyelesaian sengketa internasional v, 187 [3;3] penyertaan modal vii, 135, 136, 137, 138, 139, 140,
Pentingnya Pemberantasan Illegal, Unreported and Regulated (IUU) Fishing Guna Mendukung ......... - Amelya Gustina
275
142, 147, 149, 152 [3;2] penyitaan v, vi, 203, 204, 207, 209, 210, 211, 213, 216, 219, 221, 222, 223, 224 [3;3] penyidik iii, v, 4, 9, 23, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69 [3;1] penyidikan dan penuntutan v, 32, 33, 57, 60, 70 [3;1] peradilan vi, 179, 180, 183, 184, 227, 229, 233, 235, 236, 254, 259, 260, 263, 264, 265, 266, 267, 268, 270, 273 [3;3] peranan jaksa pengacara negara v, 187 [3;3] perlindungan kekayaan hayati vii [3;3] performance vi, viii, 1,2,8,73 [3;1] perspective of law vii, 35 [3;1] persepsi masyarakat iii, 1, 6, 8 [3;1] perspektif hukum iv, 35 [3;1] political parties ix, x, 105 [3;2] prevent x, 105 [3;2] profesional dan proporsional v, 87, 129, 131 [3;2] professional and proportional ix, 87 [3;2] protection of biodiversity xi, 237 [3;3] public finance x, 135 [3;2] rechtmaterriel x, 227 [3;3] reformasi birokrasi Kejaksaan vi, 125, 127, 132 [3;2] rentut i, vii, xi, 249, 250, 251, 252, 254, 257, 258, 260, 261, 262, 264, 265, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272 [3;3] role ix, x, 187, 188, 192, 194, 195, 197, 198, 199, 200, 227 [3;3] state attorney ix, 87 [3;2] ix, 187, 188 [3;3] state/Regional x [3;2] supervision ix, x, 99, 119 [3;2] the concept of law vii,47 [3;1] the enforcement of law supremacy vii,47 [3;1] tindak pidana korupsi i, v, vi, vii, 89, 92, 99, 102, 111, 122, 126, 132, 135, 137, 138, 140, 141, 142, 143, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177 [3;2] tumpang tindih iii, 23, 27, 30, 33 [3;1] unregulated fishing 23[3x7,;i],vi unreported vii, xi, 237, 238, 240 [3;3] violence/breach x, 227 [3;3]
276 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 3 No. 3 Juli 2013