HAMBATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN HIV DAN AIDS PADAPASANGAN ODHA SERODISKORDAN DI KOTA MAKASSAR BARRIERS OF PREVENTION BEHAVIOR OF HIV AND IADS IN SERODSICORDANT COUPLES IN MAKASSAR
Eka Sari Ridwan, Muhammad Syafar, Sudirman Natsir Bagian Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
Alamat Korenpondensi Eka Sari ridwan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
[email protected] 085255368138
1
ABSTRAK Permasalahan penting HIV dan AIDS adalah adanya pasangan ODHA serodiskorda n(jalinan hubungan dengan status salah satu pasangan terinfeksi HIV dan pasangan lainnya tidak) yang berimplikasi pada peningkatan kasus infeksi baru. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hal-hal yang menghambat perilaku pencegahan HIV dan AIDS dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan pada pasangan ODHA serodiskordan. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam pada pasangan positif, pasangan negatif, konselor VCT, dan pendamping ODHA. Hasil penelitian menunjukkan hambatan pasangan serodiskordan dalam melakukan pencegahan HIV dan AIDS yakni informan negatif lebih memilih untuk terinfeksi HIV dibanding harus memperoleh label sebagai pasangan mandul. Sikap pasrah pasangan negatif, keinginan untuk memiliki anak dan merasakan seks tanpa pembatas(kondom) serta ketidaknyamanan penggunaan kondom menjadi alasan pasangan tidak komitmen terhadap penggunaan kondom. Stigma masyarakat yang menganggap ODHA dan pasangan sebagai pendosa juga menjadi hambatan dalam mengakses layanan kesehatan. Disimpulkan bahwa budaya, stigma, dan persepsi terhadap ancaman penyakit menjadi hambatan perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada pasangan serodsikordan. Sehingga disarankan pentingnya intervensii pemberian informasi melalui konseling berpasangan terkhusus pada pasangan negatif ODHA Kata kunci: stigma, ancaman penyakit, budaya, hambatan, serodiskordan New problems in dealing HIV and AIDS is the presence of serodiscordant couples (building relationships of one partner is infected HIV and the other does not) which implies an increase in new infections. This study aims to analyze the things that hinder HIV and AIDS preventive behavior in people living with HIV serodiscordant couples. The data was collected through in-depth interviews with couples positive, negative partner, VCT counselor, and PLWHA Assistent. Results showed resistance serodiscordant couples in prevention of HIV and AIDS which is negative informant prefers to HIV infection than to obtain labeled as mandul couples. Surrender HIV negative partner, the desire to have children and feel the real sex without barrier (condom) as well as the inconvenience of the use of condoms is the reason couples are not committed to the use of condoms. Stigma of people living with HIV and people who think the couple as sinners also be a barrier to accessing health services. Concluded that culture, stigma, and perceptions of the threat of disease to be behavioral barriers of HIV and AIDS prevention in couples serodsikordan. So it is advisable particularly in view of the importance of counseling intervention paired in couples living with HIV negative. Key words : stigma, threat of disease, cultural , serodiscordant
2
PENDAHULUAN Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sel darah putih bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan segala penyakit. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) berarti kumpulan gejala dan tanda-tanda penyakit yang merupakan bentuk lanjut dari HIV (UNAIDS, 2012). Permasalahn baru yang ditemukan dalam mengatasi HIV dan AIDS adalah adanya pasangan ODHA serodiskordan yakni jalinan hubungan pasangan ODHA dengan status salah satu pasangan terinfeksi HIV (positif HIV) dan pasangan lainnya tidak terinfeksi HIV (negatif HIV). Menjadi pasangan ODHA berisiko terhadap penularan HIV yang berimplikasi pada peningkatan kasus infeksi baru (USAID, 2010). dan jelas menjadi penghambat pencapaian target UNAIDS 2011-2014 yakni Getting to Zero Infection (Gerai, 2012). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tsevat, (1999 dalam Arizza, 2011), ODHA juga memiliki keinginan yang besar untuk terus hidup, dan memiliki harapan bahwa kehidupan mereka lebih baik daripada kehidupan sebelumnya. Membina hubungan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV adalah salah satu tindakan yang dilakukan untuk memotivasi dirinya kembali menemukan kebahagiaan dan penyesuaian diri pada lingkungan (Arriza, dkk, 2011; Seligman, 2004). Salah satu penelitian yang dilakukan pada ODHA di Unit Layanan terpadu RSCM Jakarta tahun 2011, menunjukkan terdapat 60% ODHA yang tetap menginginkan hidup berkeluarga dan 74% diantaranya menginginkan menikah dengan orang yang tidak terinfeksi HIV, serta 50% tetap berkeinginan memiliki anak (Hastuti, 2011). Stigma terhadap HIV menjadi kunci utama penghambat perilaku pengobatan (ART) yang dilakukan ODHA dan pasangan. Orang yang terinfeksi HIV akan distigma sebagai akibat dari perilaku mereka yang melakukan seks bebas dan
narkoba (Rural Center for AIDS, 2005;
Population Council, 2006). Hambatan penggunaan ART juga diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan di Afrika pada 16 orang negatif HIV dan terikat dalam hubungan serodiskordan. Penelitian tersebut menunjukkan 2/3 informan tidak memiliki pemahaman tentang bagaimana profilaksis pasca pajanan bekerja dan bagaimana untuk mengaksesnya (Alcorn, 2012). Mengingat masih ditemukan beberapa hambatan dalam melakukan perilaku pencegahan dan pengobatan HIV dan AIDS sehingga diperlukan studi yang dapat memperlihatkan hambatan perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada pasangan serodiskordan.
3
BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian dan Desain penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar dengan jumlah kasus HIV dan AIDS tertinggi di Sulawesi Selatan. Desain penelitian adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini adalah pasangan ODHA serodiskordan terdiri atas informan yang terinfeksi HIV (positif HIV) sebanyak 5 orang dan informan yang tidak terinfeksi HIV (negatif HIV) sebanyak 3 orang. Petugas Kesehatan yang merupakan konselor VCT sebanyak 1 orang, dan LSM Pendamping ODHA sebanyak 1 orang. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan melibatkan informan kunci yang juga merupakan petugas lapangan pendamping ODHA dari LSM. Pengumpulan data diawali melalui Study Club yakni program rutin bulanan komunitas ODHA untuk berbagi informasi HIV dan AIDS. Dalam Study Club tersebut, peneliti diberikan sesi untuk mensosialisasikan tujuan penelitian, kriteria, dan informasi yang dibutuhkan peneliti, sehingga informan dalam penelitian ini adalah mereka yang secara sukarela bersedia berpartisipasi tanpa penunjukan dari LSM. Teknik Pengolahan data Pengolahan data dilakukan dengan tahapan : 1) Pengumpulan data melalui indepth interview; 2) Data hasil wawancara (emik) dibuat dalam bentuk narasi (transkrip) yang diklasifikasikan dalam matriks yang digunakan untuk penarikan kesimpulan; 3) Kesimpulan kemudian dikaji kembali menjadi konsep emik yang kemudian dibandingkan dengan teori yang sudah ada terkait dengan dimensi penelitian menurut pandangan peneliti (konsep etik). Analisis Data Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini melalui 3 tahapan, yaitu 1) Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang ditemukan dilapangan; 2) Menyajikan data yang telah dianalisis pada tahap pertama dan kemudian disajikan dalam bentuk uraian singkat (teks naratif); 3) Penarikan kesimpulan dan verifikasi.
4
HASIL PENELITIAN Karakteristik Informan Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang dengan status positif HIV 5 orang dan negatif HIV 3 orang. Di antara 8 orang terdapat 3 pasangan yang berhasil diwawancarai oleh peneliti, pasangan lainnya mengalami hambatan dalam kesediaan wawancara. Informan tidak hanya berasal dari pasangan serodiskordan tetapi juga terdapat informan yang merupakan konselor VCT dan selama ini menjadi konselor pasangan serodiskordan yang banyak menjadi tempat konseling oleh komunitas ODHA, yakni MW (40 thn) dengan latar belakang pendidikan seorang sarjana keperawatan yang telah menjadi konselor VCT sejak tahun 2006, dalam penelitian ini juga melibatkan LM (51 thn) seorang ODHA yang saat ini juga menjadi pendamping dan konselor sebaya di komunitas ODHA sejak tahun 2009, dapat dilihat pada Tabel Persepsi Tentang HIV dan AIDS Persepsi informan terhadap HIV dan AIDS lebih beragam, dan terdapat perbedaan pendalaman pemahaman antara pasangan yang terinfeksi HIV (pasangan positif) dan pasangan yang tidak terinfeksi (pasangan negatif). Informan negatif HIV memiliki pemahaman yang kuat jika seseorang terinfeksi HIV sama dengan penyakit infeksi lainnya, tetap memiliki obat penyembuh (ARV) sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari keputusannya memilih pasangan positif HIV. Bahkan diyakininya jika dibuat perbandingan antara penyakit kanker dan HIV, HIV dinilai lebih memiliki efek kesehatan fisik yang lebih baik saat ODHA mengonsumsi ARV secara teratur. Hal ini yang mendorong informan memilih pasangan ODHA, berikut kutipan wawancaranya : Karena saya pikir HIV itu tidak ada bedanya dengan penyakit lain. Tetap ada obatnya. Bahkan jika ODHA rutin minum obat pasti akan bertahan lama, badannya juga lebih bagus jika dibandingkan dengan orang yang kemoterapi kanker,.
( NN, 20 thn, 27 Februari 2013) Adanya miskonsepsi tentang HIV dan pemahaman yang kurang tentang pencegahan akan sangat berpengaruh dalam upaya pencegahan yang dilakukan pada pasangan serodiskordan, Keberadaan profilaksis sebagai alat pencegah penularan HIV dari pasangan positif ke pasangan negatif masih jarang digunakan bahkan tidak ada informan dalam penelitian ini
yang
menggunakan profilaksis pada pasangan negatif mereka. Profilaksis masih menjadi sesuatu yang baru mereka dengar, seperti yang diungkapkan oleh TF (-) dan SK (-). Yang saya tau obat pada ODHA itu cuma satu, cuma ARV, kalau profilaksis saya jujur saja tidak tau tentang itu. mendengarja saja saya tidak pernah
(TF, 34 thn, 1 Maret 2013 ) 5
Hal berbeda diungkapkan oleh SL(+), statusnya sebagai ODHA perempuan memiliki pemahaman peluang penularan HIV yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Penularan HIV dianggap memiliki peluang yang lebih besar terjadi jika yang terinfeksi HIV adalah pasangan laki-laki, sedangkan jika pasangan yang terinfeksi adalah perempuan, maka resikio penularan pada pasangannya lebih kecil dengan perbandingan 30:70 dengan ODHA laki-laki. Penularan HIV antara laki-laki positif dan perempuan positif HIV itu berbeda,perbandingannya 70 30. kalau perempuan positif maka penularannya itu sangat tipis berbeda dengan laki-laki sebab laki-laki positif mereka yang menyemburkan sperma,
(SL, 26 thn, 5 Maret 2013) Motivasi Pasangan ODHA Serodiskordan Motivasi pasangan ODHA serodiskordan yang menjadi hambatan perilaku pencegahan HIV dan AIDS yakni kesiapan pasangan negatif untuk menjadi ODHA. Sebagai pasangan serodiskordan, terutama pasangan negatif, mereka menyadari risiko terhadap penularan HIV. Bahkan beberapa informan telah memasuki tahapan penerimaan dan kesiapan menjadi ODHA. Seperti yang diungkapkan SK(-) 25 tahun, menurutnya sebagai pasangan ODHA maka ia harus bersiap dengan status yang mungkin akan diperolehnya nanti sebagai ODHA. SK(-) menambahkan sikap penerimannya terhadap risiko menjadi ODHA didasari oleh keyakinannya jika kematian itu telah ada yang mengaturnya. Sehingga menjadi ODHA ataupun tidak itu adalah takdir yang harus ia jalani. Saya siap terinfeksi HIV. saya serahkan sama Tuhan yang Maha Esa. Kalau memang saya tertular, berarti sudah takdir saya.
(SK, 25 thn, 1 Maret 2013) Perasaan suka dan cinta dianggap sebagai faktor yang sangat mempengaruhi, ketika seseorang mampu menerima kondisi pasangan apapun wujudnya dan bagaimanapun tekanan orang-orang disekitarnya maka itulah yang dinamakan cinta, dan itu juga yang menjadi alasan TF(-) menikah dengan NM(+). Namun, TF(-) juga mengungkapkan yang jadi masalah sebenarnya adalah karena ia “terlanjur cinta” sebab diawal mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, TF(-) tidak mengetahui status pasangannya sebagai ODHA. Selain adanya perasaan cinta, kepercayaan terhadap pasangan juga memberikan pengaruh terhadap keputusannya menjadi pasangan serodiskordan. Kepercayaan akan dilindungi oleh pasangan dari penularan HIV. Mungkin karena saya terlanjur cinta. Diawalnya kan saya tidak tau kalau dia positif(HIV), saat saya sudah 6 bulan pacaran, baru dia buka status.
(TF, 34 thn, 1 Maret 2013 )
6
Penilaian Terhadap Konsekuensi Perilaku Pencegahan Pasangan ODHA Serodiskordan Pada dasarnya informan memahami konsekuensi apabila tidak melakukan perilaku pencegahan pada pasangan serodiskordan, tetapi karena beberapa faktor beberapa informan negatif tidak lagi konsisten untuk menggunakan alat pencegah (kondom). Hal ini diungkapkan oleh TF(-) 34 tahun, diawal mereka memutuskan untuk menikah salah satu komitmen pencegahan penularan HIV adalah dengan tidak memiliki anak. Hal ini ternyata tidak bisa dipertahankannya karena tuntutan dari orang tua (TF) dan keluarganya yang terus mempertanyakan kehamilannya terlebih adanya label pasangan “mandul” atau tidak dapat memiliki keturunan sering diidentikkan dengan seseorang/individu yang tidak memiliki rezeki. …meskipun dia tidak mau, tapi saya tetap bersikeras, saya maksa karena keluarga juga kan mendesak ingin memiliki cucu. Apalagi dilingkungan sekitar saya di kampung kalau kita tidak punya anak dianggap tidak murah rezeki begitu, karena anak kan rezeki.
(TF, 34 thn, 1 Maret 2013 ) Hambatan penggunaan kondom karena permintaan pasangan juga diungkapkan oleh SL(+) yang memiliki pasangan negatif HIV. Ia mengungkapkan meskipun telah menjelaskan risiko penularan HIV, pasangan SL(+) tetap meminta untuk lepas kondom dengan alasan ketidaknyamanan berhubungan seks jika harus menggunakannya. SL(+) mengaku menuruti permintaan tersebut karena terbebani dengan penerimaan pasangannya terhadap statusnya sebagai ODHA. SL(+) mengungkapkan perasaan tidak enak untuk menolak keinginan tersebut juga karena kasihan dengan ketidaknyamanan yang dirasakan pasangannya. …tidak bisadipungkiri, pasangan kita kadang merasa tidak nyaman jika menggunakan kondom, jadi saya tidak pakai karena kasihan juga dengan dia, saya tidak boleh egois, sudah bagus dia mau menerima saya sebagai ODHA, apalagi dia sendiri yang meminta bukan saya.
(SL, 26 thn, 5 Maret 2013) Hal yang sama juga diungkapkan oleh SF(+), ia mengakui jika tuntutan menggunakan kondom lebih sering ia lakukan dibanding dengan pasangan negatifnya. Selama ini justru pasangan negatiflah yang selalu meminta untuk melepaskan kondom dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah keinginan untuk mencoba merasakan hubungan seks yang tidak menggunakan pelapis plastik (kondom). …selalu ada, hal itu selalu justru bukan saya yang minta tidak pake kondom, malah dia yang meminta karena perasaan ingin mencoba merasakan rasanya tidak terjanggal dengan plastik (kondom) itu.
(SF, 28 thn, 4 Maret 2013)
7
Persepsi Orang Lain Hambatan pasangan serodiskordan dalam melakukan pencegahan HIV pada pasangan juga dipengaruhi oleh persepsi masyarakat yang kadang memberikan stigma dan diskriminasi pada ODHA sehingga beberapa pasangan ODHA mengengungkapkan ketakutan untuk membuka status mereka dilingkungan keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh NN(-) ia menyadari bahwa menjadi pasangan ODHA serodiskordan tidaklah mudah sebab persepsi masyarakat yang menganggap bahwa istri ODHA pasti juga terinfeksi HIV. Adanya pemahaman demikian membuat NN(-) merasa tidak perlu memberitahukan keluarganya tentang status pasangannya (MB). Keluarga tidak tau status saya dan pasangan, untuk saya juga tidak penting mereka tahu karena nanti justru mereka stigma, jadi tidak usah mereka tahu ( NN, 20 thn,
27 Februari 2013) Akses Informasi Hambatan akses informasi HIV pada pasangan ODHA serodiskordan menurut MW juga dipengaruhi oleh masih minimnya layanan VCT yang menyediakan couple counseling pada ODHA dan pasangan. MW menambahkan hal ini menyebabkan ketidaksesuaian antara fasilitas dan kebutuhan yakni jumlah pasangan serodiskordan yang terus mengalami peningkatan. Pentingnya konseling berpasangan juga diungkapkan oleh LM, pendamping ODHA, menurutnya hambatan perilaku pencegahan selama ini juga dikarenakan kurangnya intervensi informasi pada pasangan negatif. Persoalannya adalah istri yang negatif HIV tidak terpapar informasi, jadi kadang saat istri meminta tidak menggunakan kondom, I menuruti begitu saja dengan alasan permintaan istri, padahal ini dikarenakan ketidaktahuan istri.
(LM, 31 thn, pendamping ODHA, 7 Maret 2013) Upaya Mengatasi Hambatan Berbagai upaya dilakukan oleh informan untuk mengatasi hambatan terhadap perilaku pencegahan yang mereka lakukan sebagai pasangan serodiskordan. Upaya untuk mengatasi hambatan ini lebih sering mereka istilahkan sebagai “Strategi jitu”. Seperti yang diungkapkan oleh IM(+) yang mengalami hambatan yakni keinginan istri yang tidak menginginkan menggunakan kondom. Untuk menyiasati hal ini, IM(+) selalu membawa kondom dimanapun dan dalam kondisi apapun. Sehingga penyimpanan kondomnya juga diletakkan ditempat yang fleksible mudah dibawa kemana-mana yakni dompet. Ketersediaan kondom menurutnya dapat
8
menjadi pengganti alarm yang dapat memberikan peringatan jika khilaf dan terpengaruh oleh permintaan istri. Saya selalu membawa kondom dimanapun. Walaupun dalam keadaan terjepit apapun saya harus selalu sedia kondom. Pokoknya harus ada di badan saya. Jadi, baik saya mau nginap dimana, saat saya mau melakukan, harus ada. Artinya, ada alat untuk tetap menegur saya seperti alarm pengingat supaya tidak tergoda dengan istri.
Hambatan
(IM, 32 thn, 3 Maret 2013) lain dalam penggunaan kondom saat melakukan hubungan seks adalah
ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pasangan sehingga terkadang meminta untuk melepaskan kondom.
Untuk
menjaganya
diperlukan
komunikasi
yang
baik
sebagai
upaya
mengalihkan”ketidaknyamanan” tersebut. Diungkapkan NM(+) selama ini yang tidak dipahami oleh pasangan lain adalah munculnya sikap egos dari tiap individu yang ingin mencapai klimaks saat berhubungan seks seorang diri, tanpa memperhatikan klimaks dari pasangan. Padahal jika hal ini dikomunikasikan dengan baik pada pasangan, mereka dapat mencapai klimaks secara bersamaan dan akhirnya dapat menimbulkan kepuasan meskipun berhubungan dengan menggunakan kondom.
PEMBAHASAN Berdasarkan
hasil
penelitian
yang
telah
dilakukan,
pada
dasarnya
informan
mempersepsikan HIV dan AIDS berdasarkan kepercayaan, pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Adanya pemahaman informan yang menganggap HIV dan AIDS bukanlah suatu penyakit yang gawat, apalagi didukung dengan penyembuhan melalui kepatuhan ARV menjadi salah satu faktor memilih ODHA sebagai pasangan hidup. Menurut Rosenstock (1982, dalam Notoatmodjo 2007) dalam teori Health Belief Model disebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan perilaku pencegahan karena adanya persepsi individu terhadap besarnya kegawatan suatu penyakit yang menyerangnya. Apabila seseorang menganggap bahwa penyakit tersebut bukan penyakit yang gawat maka mereka cenderung tidak melakukan perilaku pencegahan. Pemahaman lain yang diungkapkan oleh informan SL (26 thn) bahwa risiko penularan HIV dan AIDS lebih besar apabila yang terinfeksi HIV adalah pasangan laki – laki dibandingkan dengan pasangan perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada pasangan serodiskordan di Inggris oleh Pebody (2011), menunjukkan bahwa risiko penularan dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke suaminya adalah 8%. Namun, 9
ada penelitian lain yang berpendapat bahwa risiko penularan suami ke istri atau istri ke suami dianggap sama. Kemungkinan penularan tidak terganggu pada frekuensi hubungan seksual yang dilakukan suami istri. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di Afrika Baru oleh Odendal, dkk, 2007, yang menunjukkan bahwa risiko laki-laki HIV-positif menularkan virus kepada seorang perempuan negatif adalah sekitar dua kali risiko seorang perempuan HIV-positif menularkan ke seorang laki-laki HIV-negatif. Namun, perbedaan ini dapat dikaitkan dengan perbedaan “viral load” antara pria dan perempuan. Dan setelah dilakukan penyesuaian data “vira load” pada laki – laki dan perempuan menunjukkan bahwa tingkat penularan rata-rata dari lakilaki ke perempuan dan perempuan ke laki-laki adalah sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasangan serodiskordan negatif pada dasarnya sudah menyadari risiko tertular HIV akan tetapi mereka telah siap dengan konsekuensi yang akan diterimanya. Beberapa informan mengungkapkan bahwa alasan memilih pasangan hidup dengan ODHA karena mereka menganggap itu sudah takdir Tuhan dan karena perasaan cinta kepada pasangannya. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa sebagian besar informan yang menjadi pasangan ODHA, baru mengetahui status pasangannya setelah menjalin hubungan yang lama sehingga ikatan emosional yang mendalam telah terjalin diantara keduanya dan disitilahkan oleh informan “terlanjur cinta”. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa ODHA tidak terbuka mengenai statusnya pada pasangan sebelum menjalin hubungan yang serius.
Hal yang sama juga
ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Pebody (2011), pada 44 responden positif HIV dan 16 negatif di Afrika. Pasangan HIV positif umumnya ingin memberi tahu pasangan negatif mengenai status HIV mereka, namun sulit untuk mengembangkan kepercayaan dan komitmen. Di sisi lain, banyak responden dengan HIV yang telah mengungkapkan status mereka dan permasalahan yang ditemui adalah sering terjadi penolakan dari pasangan bahkan sering kehilangan kontak dengan anak mereka. Karena takut akan risiko tersebut, maka seperlima dari penderita HIV positif tidak memberi tahu pasangan seksual mereka mengenai status mereka sebelum menjalin hubungan karena ditakutkan hal ini akan berdampak negatif pada hubungan mereka. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh informasi beberapa pasangan yang melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom dengan berbagai alasan seperti adanya tuntutan pasangan negatif yang ingin memiliki anak. Sebuah penelitian yang dilakukan di Kisumu, Kenya 10
menemukan bahwa pasangan HIV serodiskordan tetap mencoba hamil walau mereka mengetahui statusnya. Pada penelitian kohort itu, pasangan yang mengalami kehamilan 80% lebih berisiko terhadap penularan HIV antarpasangan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perbandingan orang yang hamil dan pasangannya tertular HIV sebesar 10,8% dibandingkan pasangan yang tidak mengalami kehamilan hanya 5,9%. Adapun risiko relatif pasangan tertular HIV adalah 1,8 kali lebih tinggi pada pasangan serodiskordan yang mengalami kehamilan dibandingkan apabila tidak terjadi kehamilan. Keinginan memiliki anak yang dipengaruhi oleh tuntutan lingkungan karena adanya label “mandul” atau kurang rejeki juga diperoleh dari penelitian ini sebagai hambatan terhadap perilaku pencegahan pasangan serodiskordan. Meskipun mengetahui resiko penularan yang dapat terjadi, namun informan negatif lebih memilih menanggung konsekuensi terinfeksi HIV dibandingkan dengan label “mandul” yang akan mereka peroleh dari lingkungan. Sebagai masyarakat bugis yang sangat menjunjung tinggi norma-norma social dilingkungan sekitar, keberadaan seorang perempuan sangat menghindari 2 hal penting yakni lolo bangko atau perempuan usia tua yang tidak menikah dan mandul (tidak meiliki anak). Keberadaan label ini dianggap sebagai aib yang akan ditanggung oleh keluarga besar. Salah satu konsekuensi program anak yang dilakukan yakni melepaskan kondom, memberikan dampak pada keinginan pasangan terutama pasangan negatif perempuan yang kembali ingin merasakan the real seks saat berhubungan kembali tanpa kondom. Tidak hanya pada pasangan suami istri, keinginan untuk merasakan the real seks juga dialami pada pasangan yang belum menikah tetapi telah terlibat dalam hubungan seks, perbedaan sensasi kenyaman saat menggunakan kondom menjadi alasan pasangan negatif ODHA. Permasalahan ODHA yang masih sering ditemui adalah adanya stigma dan diskriminasi. Pada hasil penelitian ini sebagian besar informan mengungkapkan bahwa stigma dan diskriminasi masih dirasakan oleh ODHA. Hal ini yang menjadi hambatan bagi ODHA untuk mengungkapkan status mereka kepada pasangan dan keluarganya karena adanya ketakutan bagi ODHA akan penolakan dari pasangan dan keluarganya. Diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat merupakan hasil dari pemaknaan dan pemahaman mereka terhadap HIV sebagai sesuatuyang dapat ditularkan melalui kontak social biasa seperti hidup serumah, berjabat tangan, dan lain sebagainya.
11
Kemudahan dalam akses informasi merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan bagi ODHA. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian ODHA mengungkapkan bahwa informasi terkait dengan permasalahan HIV dan AIDS dapat mereka akses dari komunitas. Hasil penelitian yang dilakukan di Norris (2006) menunjukkan bahwa terdapat beberapa informan yang takut kerahasiaannya terungkap sehingga cenderung tidak kembali lagi ke layanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan. Banyak klien yang menerima hasil tes HIV, dan melarikan diri ke kampung-kampung dalam upaya menyembunyikan status mereka. Berbagai hambatan perilaku pencegahan penularan infeksi HIV yang diungkapkan oleh informan dalam penelitian ini diatasi dengan beberapa cara. Penolakan menggunakan kondom dari pasangan negatif disiasati oleh ODHA dengan selalu menyediakan kondom dimanapun ia berada. Ketersediaan terhadap alat pencegah juga menjadi salah satu factor pendukung terhadap perilaku yang akan dilakukan. Menurut Green (dalam Notoatmodjo, 2007), ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan seperti alat kontrasepsi merupakan enabling factors atau factor pendukung yang akan memperkuat terjadinya perilaku. Upaya lain yang juga dilakukan oleh informan untuk mengatasi hambatan penggunaan kondom disebutnya sebagai “strategi jitu” yakni kemampuan untuk menjalin komunikasi pada pasangan dengan membujuk dan meyakinkan pasangan terhadap konsekuensi jika tidak menggunakan kondom.
KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menunjukkan bahwa hambatan perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada pasangan ODHA serodiskordan meliputi hambatan kultural, stigma sosial dan ancaman penularan sehingga perlu adanya intervensi pendampingan informasi pada pasangan negatif ODHA melalui konseling berpasangan. Rekomendasi penggunaan profilaksis sebagai upaya pencegahan HIV pada pasangan negatif ODHA agar dapat lebih diperhatikan dan menjadi rekomendasi nasional dengan melihat kasus serodiskordan yang semakin banyak. DAFTAR PUSTAKA Alcorn, Keith. (2012). World Health Organization sets out route map for scale-up of treatment as prevention. http://spiritia.co.id. Diakses tanggal 10 Desember 2012 Arriza, Beta, Indah Kumala. 2011. Memahami rekonstruksi kebahagiaan pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). www.ejournal.undip.ac.id/. Diakses tanggal 10 Desember 2012 Gerai. (2012). HIV/AIDS : Therapy is The Best Prevention. http://www.AIDSmap.com. Diakses tanggal 12 Desember 2012
12
Hastuti. Evy. (2011). HIV dalam Keluarga, Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. http://www.pokdisusaids.com. Diakses tanggal 10 Desember 2012. Norris, F. H. 2006. Received and Perceived Social Support in Times of Stress : A Test of Social Support Deterioration Model. Journal of Personality and Social Psychology. 71. 495-511. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka Cipta Odendal, Lesley. (2009). Increased Risk of HIV Transmission in Serodiscordant Couples Wishing to Conceive. http://www.spiritia.or.id/ . Diakses tanggal 9 November 2012 Pebody, Roger. (2011). Serodiscordant Relationships For Africans In The UK Often Marked By Uncertainty And Disempowerment. http://www.AIDSmap.com. Diakses tanggal 10 Desember 2012 Population Council. (2006). Understanding Barriers to Community Participation in HIV and AIDS Services. Final Research Report. http://www.popcouncil.org/AP_BarriersFinalReport.pdf. Diakses tanggal 15 November 2012. Rural Center for AIDS/STD Prevention. (2005). Stigma as a Barrier to HIV Prevention in The Rural Deep South. http://www.indiana. edu/aids. Diakses tanggal 22 desember 2012. Seligman, M. (2004). Authentic Happiness. Bandung : Mizan Media Utama Silalahi, (2008). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada PSK di Kabupaten Bulukumba. repository.unhas.ac.id. Diakses tanggal 13 Februari 2013 Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) pada Kelompok Berisiko Tinggi di Indonesia, 2011 USAID. (2010). HIV Prevention For Serodiscordant Couples. http://www.aidstarone.com. Diakses tanggal 2 November 2012 UNAIDS. (2012). AIDS Epidemic Update. http//www.unaids.org. Diakses tanggal 26 Desember 2012.
13
Tabel 1 Karakteristik Informan Pasangan Serodiskordan NO
Positif
JK
Umur
negatif
JK
Umur
Status
1
SF(+)
LK
28
SK(-)
PR
25
Belum menikah
2
NM(+)
LK
32
TF(-)
PR
34
Menikah
3
MB(+)
LK
31
NN(-)
PR
20
Belum menikah
4
IM(+)
LK
32
-
-
-
Menikah
5
SL(+)
PR
26
-
-
-
Belum menikah
14