Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 1 – 5
HAMBATAN POLITIK, ECOLITERACY DAN KEPEMIMPINAN LINGKUNGAN Budi Widianarko*) “We may know what to do, but fail to do it for some reason, perhaps limited money, social constraint or political will” (Stephen Trudgill, 1990)
Abstract Environmental problems in Indonesia tend to be unsolved or, at most, partially solved. Thanks to the media, at present public discourse on environmental cases has been on the rise. It is not uncommon to find high profile environmental cases as media headlines. As Indonesia has been moving toward a more democratic governance, civil society involvements in environmental problems are often in the form of a more concrete action, such as protest and demonstration. Unfortunately, so far societal pressures have been ineffective in reducing the extend of environmental problems. Most likely, the polictical barrier for environmental protection is just too great to surpass. One of the possible explanation for this is the lack of environmental leadership among political leaders both in the government and civil society.This paper analyzes the existing barriers to environmental mitigation, and proposes the pivotal role of ecoliteracy to bolster the environmental leadership and governance in Indonesia. Keywords : ecoliteracy, environmental leadership, political barrier Prolog Catatan sejarah menunjukkan bahwa banyak peradaban kuno yang tumbang karena kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam. Beberapa peradaban kuno yang mengalami nasib serupa, antara lain Indian Maya di Amerika Tengah, Zimbabwe Raya di Afrika dan Angkor Wat di Kamboja. Dalam literatur lingkungan, fenomena eksploitasi dan perusakan lingkungan dikenal sebagai bunuh diri ekologis. Jika pada peradaban kuno hanya dikenal 8 (delapan) kategori bunuh diri ekologis, maka masa sekarang mengenal 12 (dua belas) kategori – yaitu (1). pembalakan hutan dan perusakan habitat, (2) kerusakan lahan (erosi, salinisasi, kehilangan kesuburan), (3) manajemen air, (4) perburuan yang berlebihan, (5) pengambilan ikan yang berlebihan, (6) dampak introduksi spesies baru, (7) pertumbuhan penduduk, (8) peningkatan dampak per kapita penduduk, (9) perubahan iklim, (10) pencemaran kimia, (11) kekurangan energi, dan (12) pemborosan kapasitas fotosintesis bumi (Diamond, 2007). Empat kategori terakhir (cetak miring) merupakan ancaman yang muncul dalam peradaban kita sekarang. Indonesia tentu saja tidak terkecualikan dari keduabelas (12) tantangan lingkungan itu. Di berbagai penjuru negeri ini, “borok-borok” lingkungan masih “menganga”, seperti (1) limbah dan pencemaran yang merusak mutu lingkungan (air, tanah dan udara), (2) kerusakan eksosistem (pantai, daerah aliran sungai, hutan dll), (3) ketidakseimbangan sumberdaya air (banjir dan kekeringan), (4) konversi dan degradasi lahan yang berakibat terhadap penurunan produksi pertanian, (5) penurunan keanekaragaman hayati, (6) eksploitasi
sumberdaya alam secara berlebihan. Persoalan lingkungan tersebut cenderung menjadi “klasik” karena penyelesaian kasus-kasus lingkungan cenderung “alot”, untuk tidak mengatakan terkatung-katung. Sudah begitu sering kasus-kasus lingkungan terangkat sebagai wacana publik (terimakasih pada media). Bisa dikatakan, akhirakhir ini kasus lingkungan sepertinya sudah menjadi “langganan” berita utama (headline) media cetak maupun elektronik. Tidak jarang, seiring dengan terbukanya “kran” demokrasi, keterlibatan masyarakat (stakeholder) tidak hanya sebatas ber”wacana”, tetapi juga terwujud dalam aksi-aksi yang lebih konkrit – seperti unjuk rasa, “pendudukan” lahan, penutupan saluran limbah dan sebagainya. Tetapi anehnya gelombang tekanan masyarakat seperti tidak mempan untuk memicu penyelesaian tuntas kasus-kasus itu. “Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Seolah ada “lengan-lengan” kekar- yang tak terlihat - yang mampu menahan penyelesaian kasus-kasus itu. Inilah “misteri” yang harus segera diungkap dan dipecahkan. Menurut pengalaman di negaranegara yang lebih berpengalaman menghadapi kasus-kasus lingkungan, seperti Amerika Serikat dan Jepang, faktor politik sering disebut-sebut sebagai yang bertanggungjawab atas “misteri” itu. Untuk memecahkan “misteri” itu, pemberdayaan lingkungan para tokoh politik – baik di daerah maupun pusat - tidak dapat ditawar lagi. Gerakan ecoliteracy (“melek lingkungan”) sudah mendesak untuk segera dipromosikan di kalangan politisi. Diharapkan dengan memiliki ecoliteracy yang cukup para politisi akan menjalankan kepemimpinan lingkungan (environmental leadership) yang dapat
*) Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP), UNIKA Soegijapranata (
[email protected])
Hambatan Politik, Ecoliteracy dan Kepemimpinan Lingkungan
(Budi Widianarko)
tercermin dari kebijakan-kebijakan “pembelaan” lingkungan yang mereka buat. Hambatan Politik Salah satu bencana lingkungan yang terkatung-katung tanpa penyelesaian yang jelas adalah bencana lumpur Lapindo. Bencana dahsyat itu telah berlangsung sejak 29 Mei 2006 yang lalu. Penyelesaian tuntas atas bencana itu masih jauh panggang dari api. Yang berlangsung di Porong saat ini adalah suatu pembiaran. Terlepas bahwa “bandul” pertanggungjawaban masih terus berayun, penguasa harus tampil sebagai penyelamat. Disengaja atau tidak, penanggulangan bencana Lapindo justru terhambat oleh perdebatan yang tidak dibutuhkan korban. Setali tiga wang dengan perdebatan seputar penyebab semburan lumpur, debat terkini soal penutupan lumpur Lapindo-pun masih berkutat dalam ranah teoretik ilmiah. Komentar bijak Herry Harjono, Deputi Ilmu Kebumian LIPI (KOMPAS, 23/2/2008) layak untuk diperhatikan: “perbedaan pandangan antara pihak yang terlibat Gerakan Menutup Lapindo dan pihak pelaksana pengeboran dapat dijembatani jika keduanya miliki itikad yang sama, yaitu menutup semburan lumpur untuk kepentingan masyarakat pada umumnya”. Memang itikad atau political will itulah kata kuncinya. Bencana Lumpur Lapindo hanyalah satu dari sekian banyak persoalan lingkungan di negeri ini yang tidak terselesaikan secara tuntas. Rupanya apa yang disebut oleh Stephen Trudgill (1990) sebagai “barriers to a better environment” memang terbukti di Indonesia. Penempatan hambatan politik (political barrier) sebagai pemuncak hirarki “generik” hambatan pemecahan masalah lingkungan tampaknya memang harus diakui kebenarannya (justified). Dalam skema A-K-T-E-S-P yang ditawarkannya, Trudgill (1990) menempatkan faktor politik sebagai hambatan terakhir setelah hambatanhambatan sosial, ekonomi, teknologi, pengetahuan dan kesepakatan (social, economic, technological, knowledge & agreement barriers) (lihat gambar berikut).
2
MASALAH KESEPAKATAN PENGETAHUAN TEKNOLOGI EKONOMI SOSIAL POLITIK SOLUSI
Gambar 1 Hirarki Hambatan Pemecahan Masalah Lingkungan Setelah sebuah kasus lingkungan teridentifikasi, maka hambatan pertama yang muncul adalah hambatan kesepakatan. Ketidaksepahaman bisa berkisar tentang apakah masalah tersebut benar-benar ada dan seberapa “penting”nya. Bahkan ketika kasus tersebut sudah disepakati sebagai masalah yang harus dipecahkan, konsensus tentang cakupan dan cara-cara mencapai penyelesaian serta tujuan akhir harus dicapai. Selanjutnya, jika hambatan kesepakatan sudah dilewati, maka hambatan pengetahuan memunculkan pertanyaan selanjutnya: apakah tersedia cukup bukti dan pengetahuan tentang penyebab, proses terjadinya, dan dampak masalah itu? (We may agree that something should be done about a problem, but we may not know what the cause of it is.) Setelah hambatan pengetahuan teratasi, maka pertanyaan yang muncul berikutnya adalah: apakah kita memiliki sarana untuk memecahkan masalah itu. (We may agree on the problem, know what its cause is, but not have the means to tackle it.) Inilah hambatan teknologi.
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 1 - 5 Pada puncaknya, setelah ketiga hambatan sebelumnya teratasi, maka hambatan sosial, ekonomi dan politik menghadang penyelesaian masalah lingkungan. (We may know what to do, but fail to do it for some reason, perhaps limited money, social constraint or political will.) Ketiga hambatan terakhir ini saling terkait dan merupakan faktor-faktor penentu (determining factors) dalam penyelesaian masalah lingkungan. Dalam banyak kasus, seringkali terjadi penekanan yang berlebihan terhadap faktor sosial, ekonomi dan politik sehingga kebenaran pengetahuan ilmiah “terpaksa” dikorbankan. Akibatnya sudah jelas kepentingan lingkungan dikalahkan oleh kepentingan sosial, ekonomi dan politik – yang notabene hasil “kreasi” manusia sepenuhnya. Kinerja pengelolaan lingkungan dalam suatu pemerintahan sangat ditentukan oleh ciri pluralism dan incrementalism dalam sistem demokratik. Pluralism dapat dimaknai sebagai suatu pengambilan kebijakan publik yang diambil terutama melalui tawar-menawar (bargaining), kompromi (compromise) dan negosiasi (negotiation) di antara kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) dalam masyarakat. Para politisi seharunya berperan sebagai penyeimbang di antara kelompok-kelompok kepentingan tersebut. Menurut Smith (1992) kepentingan utama dalam masyarakat secara umum dapat direpresentasikan oleh dua kelompok besar saja, yaitu kelompok kepentingan ekonomi (private economic interest group) dan kelompok kepentingan publik (public noneconomic interest group). Secara khas kelompok kepentingan ekonomi (swasta) cenderung mengejar keuntungan non-kolektif atau hanya untuk kelompoknya sendiri. Kelompok kepentingan publik adalah mereka yang memperjuangkan kepentingan kolektif, seperti keamanan, perlindungan hak asasi, kualitas lingkungan dan lain-lain. Organisasi-organisasi pembela lingkungan merupakan salah satu contoh kelompok kepentingan publik ini. Kedua kelompok kepentingan tersebut selalu berbenturan dalam seluruh daur kebijakan (policy cycle) lingkungan, sejak dari (1) penetapan agenda (agenda setting), (2) pembuatan kebijakan (policy making) dan (3) implementasi kebijakan (policy implementation) (Trudgill, 1990; Smith, 1992). Keberhasilan kelompok kepentingan tertentu dalam mempengaruhi kebijakan lingkungan sangat ditentukan oleh sumberdaya yang dimilikinya. Kelompok yang memiliki kekayaan sumberdaya akan dapat lebih berperan dalam panggung pengambilan keputusan. Sumberdaya tersebut terutama
mencakup kekuatan finansial dan akses lobi politik, di samping akses terhadap media. Kemampuan untuk menarik perhatian media merupakan langkah awal penting dalam proses pertarungan penetapan agenda dalam daur kebijakan lingkungan (Smith, 1992). Dalam rejim yang inkrementalis, kebijakan publik diambil hanya berdasarkan beberapa alternatif terbatas. Evaluasi seluruh alternatif yang tersedia tidak dilakukan dengan pertimbangan keterbatasan informasi dan waktu atau dorongan untuk mencapai konsensus (Smith, 1992). Alternatif yang dipertimbangkan dan opsi yang akhirnya dipilih tidak akan berbeda jauh dari kebijakan yang sudah ada. Konsekuensi dari masing-masing alternatif hanya dievaluasi secara terbatas. Masalah yang dievaluasi senantiasa ditinjau ulang dan disesuaikan sehingga menjadi masalah yang lebih mudah dikelola (manageable). Dengan keterbatasan kapasitas dan informasi, sangat masuk akal terjadi penyederhanaan pengambilan keputusan untuk mempermudah implementasinya. Karena politik pada dasarnya melibatkan imbal pengorbanan (trade-offs), tawar menawar (bargaining) dan kompromi (compromise) maka tidaklah mengherankan jika kebijakan yang diambil saat ini tidak berbeda jauh dari kebijakan sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri dalam masyarakat di negara manapun, terutama yang didominasi oleh kapitalisme, selalu terdapat bias ideologi yang lebih memihak pada pembangunan (Smith, 1992; Fujikura, 2002). Asumsi-asumsi normal dalam sistem kapitalis tentang produksi dan konsumsi seringkali berbenturan dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan (Smith, 1992). Bias yang sama tentu saja dapat dijumpai pula dalam masyarakat Indonesia. Ideologi pembangunan ekonomi sebagai mainstream – seperti tercermin dalam strategi pemulihan ekonomi pasca krisis yang sangat mengutamakan investasi dan cenderung mengabaikan aspek lingkungan. Hal ini berisiko untuk berbenturan dengan ideologi pembangunan berkelanjutan yang telah diadopsi oleh pemerintah Indonesia. Bias kepentingan jangka pendek sering dihadapi para politisi dalam mengambil sebuah kebijakan. Umumnya para politisi akan memilih alternatif kebijakan yang aman dalam jangka pendek (low short-term costs) meskipun berbiaya besar dalam jangka panjang (high long-term costs) dibanding sebaliknya (Smith, 1992). Dalam proses desentralisasi pengelolaan lingkungan, misalnya, perilaku politisi lokal merupakan faktor keberhasilan utama. Menurut Gibson & Lehoucq (2003) desentralisasi sering
3
Hambatan Politik, Ecoliteracy dan Kepemimpinan Lingkungan berangkat dari beberapa asumsi ideal pemerintah lokal seperti: (1) mengedepankan kesejahteraan masyarakat, (2) selalu menyambut baik setiap wewenang yang dialihkan dari tingkat pusat, dan (3) selalu berusaha sesuai dengan tujuan desentralisasi. Satu-satunya kekurangan pemerintah lokal yang diasumsikan adalah kelemahan kapasitas teknis dan finansial. Padahal seringkali asumsi-asumsi tersebut tidak tercermin dalam realitas. Dalam studinya Gibson & Lehoucq (2003) menyimpulkan bahwa kecenderungan politisi untuk mempertahankan kekuasaan adalah determinan utama terjadinya penyimpangan dari asumsi-asumsi tersebut. Studi di delapan kota di Bangladesh, India, Pantai Gading dan Ghana menunjukkan bahwa pelayanan publik terbaik dijumpai di kota-kota yang dipimpin oleh walikota yang dipilih secara demokratis, independen dari pemilihan dewan kota. Serupa dengan pengamatan di lima negara tersebut, studi di 16 kota Columbia mendapati bahwa kepuasan warga terhadap pemerintah kota merupakan fungsi dari (1) kompetisi dalam pemilihan, (2) keterlibatan komunitas dan (3) kepemimpinan yang inovatif. Ecoliteracy dan Kepemimpinan Lingkungan Kuatnya hambatan politik dalam setiap pemecahan masalah lingkungan perlu diatasi dengan “pemberdayaan” para penguasa politik. Meminjam istilah Fritjof Capra (2002), gerakan ecoliteracy (“melek lingkungan”) sudah mendesak untuk segera dipromosikan di kalangan politisi. Secara sederhana ecoliteracy bisa didefinisikan sebagai pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ekologi yang berguna dalam menyikapi persoalanpersoalan lingkungan. Ecoliteracy berbeda dengan ekologi, karena yang disebutkan pertama merupakan sebuah paket dari kognisi hingga afeksi. Manifestasi taraf ecoliteracy para politisi akan tercermin dari kebijakan-kebijakan “pembelaan” lingkungan yang diambil. Dalam kasus Lumpur Lapindo, misalnya, pembiaran bencana itu sedikit banyak juga menyangkut soal ecoliteracy. Para pemimpin politik negeri ini tentu saja sudah mengerti dan memahami bencana yang terjadi di sana, tetapi mereka gagal bersikap dan bertindak. Ada respon yang tertunda (delayed response). Ada kesenjangan antara kognisi dan afeksi. Untuk menghapus kesenjangan itu diperlukan sebuah proses. Dalam kaitan ini, kisah mendiang Profesor Gordon MacDonald ketika bertugas sebagai anggota Dewan Mutu Lingkungan di masa kepresidenan Richard Nixon, di Amerika
4
(Budi Widianarko) Serikat (MacDonald, 2003) mungkin layak dikaji sebagai bahan renungan. Dua minggu setelah pelantikan Richard Nixon (29/1/1969) terjadi bencana semburan minyak dan gas akibat pengeboran minyak di anjungan Union Oil Company pada kedalaman 3500 kaki, enam mil lepas pantai Santa Barbara, California. Setidaknya 200,000 galon minyak mentah tersebar di perairan seluas 800 mil persegi. Ketika mendapat laporan awal tentang bencana itu, Presiden Nixon tidak “tergerak”. Namun liputan media yang sangat gencar berhasil “menyeret” sang Presiden untuk terjun ke lapangan. Berikut ini adalah cuplikan kisah Gordon MacDonald ketika mengantar Richard Nixon ke lokasi. “...Untuk menunjukkan kepada publik bahwa semuanya baik-baik saja, Presiden akan berjalan menyusuri pantai, dan diliput langsung oleh juru kamera televisi. Saya berjalan di sisi kanan Nixon dan di sisi kirinya, Fred Hartley, pimpinan Union Oil Company. Di sepanjang perjalanan yang dirancang rapi itu, Hartley terusmenerus meyakinkan bahwa tidak ada kerusakan. Dia mengulang-ulang hal itu, “I don’t like to call it a disaster, because there has been no loss of human life. I am amazed at the publicity for the loss of a few birds.” Dia juga menegaskan tidak ada minyak sama sekali di pantai itu.” “Saking” gusarnya MacDonald terhadap pengingkaran Hartley itu, maka terjadilah sebuah drama kecil ..Impulsively, I kicked at the sand, sending an oily glob of sand onto a highly strategic area of the President’s trousers. Hartley apologized profusely for my action, and began brushing off the President's pants, much to the delight of the TV cameramen.” Peristiwa itu ternyata berhasil mengubah sikap skeptis Nixon, sehingga dalam jumpa pers setelah itu ia berungkap, “It is sad that it was necessary that Santa Barbara should be the example that had to be bring to the attention of the American people [sic]. What is involved is the use of our resources of the sea and of the land in a more effective way, and with more concern for preserving the beauty and the natural resources that are so important to any kind of society that we want for the future. The Santa Barbara incident has frankly touched the conscience of the American people.”. Belajar dari perubahan sikap Nixon di atas, jelas yang diperlukan adalah perubahan persepsi penguasa untuk nantinya menghasilkan sikap memihak pada korban. Secara kognitif
Riptek Vol.5 No.I Tahun 2011, Hal.: 1 - 5 sangat boleh jadi Richard Nixon telah memahami berbagai kenis kerusakan ekosistem. Namun, tanpa “percikan” noda minyak di celananya, mungkin masih dibutuhkan waktu lebih lama untuk menyadarkan Nixon. Dalam drama itu, kesadaran Nixon akan bencana sudah menyentuh ranah emosi. Ketika emosi sudah tersentuh maka bisa diharapkan lahir sebuah persepsi baru terhadap suatu bencana akan muncul. Perubahan persepsi ini pada gilirannya mampu mentransformasi kognisi lingkungan menjadi tindakan (afeksi) yang pro lingkungan. Salah satu sarana lain untuk terus meningkatkan taraf ecoliteracy para politisi adalah pemantauan terhadap kinerja “pembelaan” lingkungan mereka. Ceruk (niche) tugas ini dapat diemban oleh pihak ketiga yang independen. Dalam melaksanakan aktivitasnya, sebuah lembaga pemanatu mutlak bekerja sama dengan media. Dengan pengungkapan hasil pemantauan terhadap kebijakan lingkungan para politisi kepada masyarakat luas maka secara bertahap taraf ecoliteracy para politisi diharapkan akan “dipaksa” meningkat. Bahkan sebenarnya, pemantauan yang jujur dan kredibel justru akan menjadi stimulus bagi para politisi yang sadar bahwa kinerja “pembelaan” lingkungan yang baik akan memberikan political gain bagi mereka. Sosialisasi hasil pemantauan terhadap kinerja “pembelaan“ lingkungan para politisi dengan sendirinya akan membuka “mata” konstituen politik. Dengan begitu para politisi justru akan mendapatkan apa yang disebut oleh Trudgill (1990) sebagai “vote catching potential”. Electability (keterpilihan?) partai atau politisi justru akan meningkat karena kinerja “pembelaan” lingkungan yang dilakukannya. Taraf ecoliteracy yang memadai akan memungkinkan para politisi menjalankan kepemimpinan lingkungan (environmental leadership) yang dapat membuahkan kebijakankebijakan yang membela lingkungan. Dalam kaitan ini, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witolear (Kominfo-Newsroom, 23/01/08) pernah menyatakan bahwa salah satu faktor penting yang kurang mendapat perhatian dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan adalah lemahnya komitmen pejabat negara baik di pusat maupun di daerah. Komitmen lingkungan mensyaratkan taraf ecoliteracy tertentu. Tanpa memiliki ecoliteracy yang cukup seorang politisi tidak akan dapat berperan sebagai pemimpin lingkungan (environmental leader). Singkatnya, untuk menghasilkan sebuah kepemimpinan lingkungan diperlukan pemberdayaan ecoliteracy di kalangan para politisi.
Epilog Komitmen terhadap lingkungan adalah salah satu unsur terpenting dalam kepemimpinan lingkungan (environmental leadership), namun komitmen harus didukung oleh ecoliteracy dan dilengkapi dengan keteladanan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa perbaikan lingkungan bisa terjadi jika ada perubahan perilaku masyarakat. Pendekatan hukum dan teknis seringkali tidak mampu menghasilkan perubahan perilaku yang berarti. Lebih jauh, dalam iklim demokrasi, kepemimpinan lingkungan perlu dipadukan dengan ketataprajaan lingkungan (environmental governance). Pemerintah dituntut untuk bekerjasama dengan para stakeholders: dunia usaha, perguruan tinggi, kelompok-kelompok swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Keberhasilan pemerintah tidak sekedar ditentukan berdasarkan keberhasilan menjalankan kebijakannya sendiri, melainkan juga kemampuannya dalam mendorong usaha-usaha LSM, dunia usaha, dan kelompok masyarakat lain. DAFTAR PUSTAKA Capra, F. 2002. The Hidden Connections – A Science for Sustainable Living. London: Harper Collins Publishers. Diamond, J. 2006. Collapse. London: Penguin Books. Fujikara, R. “The Background to Successful Air Pollution Control in Japan”. Regional Workshop on Promoting Practical Environmental Compliance and Enforcement Approaches in East Asia, Manila, June 24-29, 2002. Gibson, C.C. & F.E. Lehoucq. 2003. “The Local Politics of Decentralized Environmental Policy in Guatemala”. Journal of Environment and Development 12(1): 2849 Kominfo-Newsroom,23 Januari 2008. Kompas,, 23 Februari 2008. MacDonald, G. J. 2003. “Environment: Evolution of A Concept”. The Journal of Environment and Development , 12 (2), 151-176. Smith, Z.A. 1992. The Environmental Policy Paradox. Englewoods Cliff, New Jersey: Prentice Hall. Trudgill, S.T. 1990. Barriers to a Better Environment. London: Belhaven Press.
5