,
358
HAK TERBANG PESAWAT UDARA ASING DI AT AS PERAIRAN KEPULAUAN
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Oleh: Usmawadi, S.H. _ _ _ _ _ _ _ _ _-'
PENDAHULUAN Salah satu unsur terpenting bagi suatu negara sebagai subjek hukum internasional adalah unsur wilayah,l) seperti yang dinyatakan oleh O'Connell;2) . . . without territory a legal person can not a state,• yaitu tanpa wilayah suatu pribadi hukum tidak dapat menjadi suatu negara. Juga Ian Brownlie, menyatakan: 3) The state territory and its appurtenances (airspace and territorial sea), together with the government and population within its frontier, comprise the physical and social manisfestation of the primary type of international legal person, the state.
Jadi wilayah negara dan perlengkap-
annya (ruang udara dan laut teritorial), bersama-sama dengan pemerintahan dan penduduk yang ada di dalam perbatasannya, merupakan penjelmaan fisik dan sosial dari tipe utama 1) Pasal 1 Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara tahun 1933, menentukan: The State as a person on international law should possess the following qualification: ... (b) a defined territory . .. . 2) O'Connell, International Law, Vol. I. (London: Stevens & Sons, 1965), hlm. 463 . 3) Ian Brownlie, Principles of Public Interrd national Law, 3 . Ed. (Oxford: Oxford University Press, 1979), him. 109.
pribadi hukum internasional, negara. Baik wilayah daratan dan lautan maupun wilayah udara, wilayah udara mempunyai arti penting baik dalam arti strategis maupun dalam rangka meningkatkan kemampuan di bidang penerbangan sipil dan militer, karen a di wilayah udara nasionalnya suatu negara mempunyai kedaulatan. Kedaulatan negara di ruang udara nasionalnya diatur dalam Konvensi Chicago 1944, di mana Pasal 1 menentukan: The contracting state recognize that every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory, yaitu negara-negara peserta mengakui bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif terhadap ruang udara di at as wilayahnya. Selanjutnya dengan diterimanya Konvensi Hukum Laut 1982, pada tanggal 10 Desember 1982 di Teluk Montego (Jamaica),4) telah membawa pengaruh tersendiri terhadap kedaulatan negara di ruang udaranya, terutama dengan diterimanya rezim baru negara kepulauan. Diterima rezim negara kepulauan menyebabkan terjadinya perubahan, di mana perairan yang sebelumnya merupakan bagian laut lepas, berubah menjadi perairan kepulauan dari suatu negara kepulauan. Diterima4) Kompas tanggal 9 Desember 1982.
359 nya rezim negara kepulauan, juga diikuti dengan diterimanya suatu kompromi (konpensasi), berupa pengaturan mengenai alur dan rute udara di at as perairan kepulauan yang bebas dilalui atau dilintasi oleh kapal dan pesawat udara asing, tanpa perlu izin terlebih dahulu dari negara kepulauan yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan permasalahan, yaitu apakah hak lintas Seperti ini dikenal dalam hukum udara (Konvensi Chicago 1944) dan bagimana pengaruhnya terhadap kedaulatan negara kolong (kepulauan) yang bersangkutan terhadap ruang udara nasionalnya. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan menggunakan cara penetapan lebar laut teritorial berdasarkan garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan elevasi-elevasi terluar telah memperoleh tambahan wilayah seluas lebih kurang 3~OOO.OOO kilo meter persegi, sehingga ruang udara yang sebelumnya merupakan · ruang udara di atas laut lepas menjadi perairankepulauan Indonesia. Pertambahan luas wilayah ini tentu saja harus diimbangi dengan kemampuanuntuk mengamankannya, baik kemampuan konsepsional, organisatoris, personalia, material dan lainlain. 5) Untuk mengamankan pertambahan luas wilayah udaranya, langkah apa yang kiranya perlu dilakukan oleh Indonesia? Dilatar-belakangi oleh permasalahan di atas, maka pembahasan dalam tulisan sederhana ini akan dibagi dalam beberapa pokok bahasan, yaitu: 1) 5) Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum LlIut, (BPHN), (Bandung: Binacipta, 197<), hIm. 180. ·
Kedaulatan Negara di Ruang Udara; 2) Hak terbang pesawat udara asing di atas perairan kepulauan, dan diakhiri dengan kesimpulan. Kedaulatan Negara eli Ruang Udara Sebagaimana disebutkan di atas, Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengakui adanya kedaulatan negara di ruang udara di at as wilayahnya, sedangkan apa yang dimaksud dengan wilayah lebih lanjut dalam Pasal 2 Konvensi ini menyebutkan: . .. the
territory of a state shall be deemed to be land areas and territorial waters adjacent thereto under the sovereignty . .. of such stCfte, yaitu wilayah suatu negaraharus dipertimbangkan terdiri dari wilayah daratan dan perairan teritorial yang berada di bawah kedaulatan negara itu. Dari ketentuan Pasal 2 ini, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan wilayah udara suatu negara adalah ruang udara yang terletak di at as wilayah daratan dan laut teritorial termasuk di atas perairan pedalaman. Konvensi Hukum Lau t 1982, juga mengakui kedaulatan negara pantai di ruang udara, seperti yang ditentukan oleh Pasal 2 ayat (I dan 2) : Kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu negara ke· pulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut teritorial .. . kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial . . ..
Sedangkan khusus mengenai kedaulatan negara kepulauan ditentukan dalam Pasal 49 ayat (I dan 2), sebagai berikut : Kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup ofeh garis Agustus 1987
.
360 pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai . . . kedau/atan ini meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan . . . .
Hultum dan Pemb"n6un"n
of the freedoms enjoyed by all states in the exclusive economic zone in accordance with article 58.
Jadi laut lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairMaka dari ketentuan Pasal 2 ayat an pedalaman dari suatu negara, atau (1 dan 2) yo Pasal 49 ayat (1 dan 2) kepulauan dari suatu negara kepulaudi atas, maka Konvensi Hukum Lau t an. Pasal ini tidak mengakibatkan pe1982 mengenal dua kategori wilayah ngurangan apa pun atas kebebasan udara yang berada di bawah kedaulatyang dinikmati oleh semua negara lain an, yaitu : di zona ekonomi ekSklusif sesuai de1. Bagi negara pantai, kedaulatannya ngan ketentuan Pasal 58. Oleh karena meliputi wilayah udara yang terleitu bagaimana status ruang udara di tak di atas wilayah daratan, perairatas Zona Ekonomi Eksklusif ini ? an pedalaman dan laut teritorial; Untuk menjawab pertanyaan ini, dan kita lihat ketentuan Pasal 58 ayat (1), 2. Bagi negara kepulauan, kedaulatanyang menentukan: "Di zona ekonomi nya meliputi ruang udara yang tereksklusif, semua negara, baik berpanletak di atas wilayah daratan, pertai atau tidak berpantai menikmati ... airan pedalaman, perairan kepulaukebebasan pelayaran dan penerbangan an dan lau t teritorial. yang ... disebut dalam Pasal 87 ... ". Kedua kategori di atas, bila dikaitkan Pasal 87 mengenai kebebasan di laut dengan pengertian wilayah udara dalepas, menentukan ; " . .. kebebasan lam konteks Pasal 2 Konvensi Chicago lau t lepas itu melipu ti, in ter alia, baik 1944 tidak ada perbedaan, sebab apa untuk negara pantai atau negara tidak yang dimaksud dengan perairan kepuberpantai: . ... (b) kebebasan penerlauan adalah perairan yang terletak bangan .. .. " di sebelah dalam garis pangkal dari Dilihat dari ketentuan Pasal 58 yo mana lebar laut teritorial mulai diukur. Pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982 Perlu juga dijelaskan di ' sini adalah di atas, maka walaupun Zona Ekonomi mengenai rezim Zona Ekonorni EkskluEksklusif tidak termasuk laut lepas, sif yang diterima dalam Konvensi begitu juga ruang udara di atasnya, Hukum Laut 1982, yaitu suatu zona udaradi atas Zona tetapi status ruang yang berdampingan dan di luar laut Ekonomi Eksklusif tidak tennasuk teritorial,6) tetapi menurut Pasal 86 laut lepas, begitu juga ruang udara tidak termasuk Ie pas. Pasal 86 menendi atasnya, tetapi status ruang udara di tukan bahwa laut lepas adalah : at as Zona Ekonomi Eksklusif bebas ... to all parts of the sea that are 7101 untuk dilintasi oleh pesawat udara included in the exclusive economic zone, semua negara, seperti di atas la~ in .the te"itorial sea or in the internal lepas, atau menurut Bouchez. L.J.: waters of a state, or in the archipelagic waters of an archipelagic state. This article does not entail any abridgement 6) Pasal55 Konvensi Hukum Laut 1982 .
7) Bouchez, 1.J., "The New Law of the Sea and the Right of Overflight", dalam The International Law of the Sea, edited
361 •
tapkan garis pangkal lurus di dalam " . . . hak penerbangan di atas zona .perairan kepulauan sesuai dengan ekonomi eksklusif tidak berada di bake ten tuan Pasal 50 Konvensi 1982, wah suatu hak negara pantai". Ini berdalam hal mulut sungai, teluk dan arti di zona ekonorni eksklusif suatu pelabuhan; negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat atas sumber kekayaan alam 2. Negara kepulauan dapat menetapkan rute udara di atas perairan keyang terdapat di kolom air dan peullupulauan untuk !intas (passage) pesakaannya saja tetapi tidak di ruang udawat udara yang terus-menerus dan ra di atasnya yang tetap bebas dilin· langsung di atas perairan kepulautasan oleh semua pesawat udara se· an dan laut teritorial yang berdammua negara. pingan; dan Dari uraian di atas, maka kedaulatan negara di ruang udara, baik negara . 3. Negara pantai tidak menetapkan rute udara di at as perairan kepulaupantai maupun negara kepulauan me !ian. puti ruang udara di at as wilayah daratDalam keadaan pertama, pesawat an, perairan pedalaman, perairan kepulauan (bagi negara kepulauan) dan laut udara asing tidak mempunyai hak teritorial, yaitu wilayah udara yang untuk terbang di atas perairan pedasarna dengan pengertian wilayah udara laman, tanpa persetujuan (izin) dari negara kepulauan. Perlunya izin (perdalam Konvensi Chicago 1944. setujuan) bagi pesawat udara asing Hak Terbang Pesawat Udara Asing di yang akan terbang di atas wilayah udara nasional suatu negara dapat Atas. Perairan Kepulauan kita lihat dari ketentuan Konvensi Di atas telah dinyatakan bahwa diChicago 1944. Pasal 6 Konvensi Chiterimanya rezim negara kepulauan dacago 1944 tentang penerbangan berlam Konvensi Hukum Laut 1982, tejadwal, menyatakan bahwa bagi penerlah menyebabkan perubahan status bangan internasional berjadwal tidak perairan yang sebelumnya merupakan dibolehkan keluar atau masuk ke wilalaut lepas menjadi perairan kepulauan yang berada di bawah kedaulatan nega- yah sua tu negara, kecua!i dengan izin hak lainnya dari negara khusus atau ra kepulauan yang bersangkutan, dengan demikian kebebasan penerbangan terse but. Juga Pasal 7 mengenai Cabotage, yaitu hak yang dapat diperdi atasnya menjadi hilang. janjikan oleh negara·negara peserta Dalam membicarakan hak penerberkenaan dengan hak untuk meng· bangan pesawat udara di atas perairan kepulauan ini, menurut Bouchez,8) angkut traffic dari suatu tempat ke tempat lain dalam wilayah suatu negaperlu dibedakan dalam tiga keadaan : ra,9) menyatakan bahwa setiap negara 1. Bagian perairan kepulauan yang dipeserta mempunyai hak untuk tidak anggap sebagai perairan pedalaman, yaitu bila negara kepulauan mene•
9) Mieke Komar Kantaatmadja, Berbagai by. E. Hey dan A.W. Koers, Netherlands• Institute of Transport, 1984, hIm. 54 . 8) Ibid., hIm. 56 .
Masalah Hukum
Udara dall AlIgkasa
(Bandung : CV. Remaja Karya, 1984), hIm. 5. . •
Agustus 1987
•
362
Hukum dan Pemban/lunan
mengizinkan pesawat udara negara lain untuk mengambil penumpang, pos dan barang di wilayahnya. Perjanjian dalam pengaturan masalah penerbangan ini biasanya syarat-syarat yang diajukan ialah syarat-syarat timbaI-balik (reciprocal) dan dicantumkan di dalam perjanjian bilateral di antara negaranegara yang berkepentingan.lO) Pentingnya izin (persetujuan) bagi pesawat udara asing yang akan memasuki wilayah udara nasional suatu negara, dikarenakan dalam hukum udara tidak mengenal hak lintas (damai) seperti yang dikenal dalam hukum laut, seperti dinyatakan oleh Imre Anthony Csabafi: 11)
Dalam keadaan kedua, di sini negara kepuIauan dapat menetapkan rute udara di atas perairan kepulauannya, hal iili seperti teIah dinyatakan di atas seakan merupakan hasil kompromi (kompensasi) di an tara negara-negara maritim besar yang tetap menghendaki kebebasan berJayar dan terbang di atas perairan yang sebelumnya merupakan Iaut lepas dengan negara-negara kepulauan . Konvensi Hukum Laut 1982, dalam PasaI 33 ayat (1, 2, 3 dan 4) mengatur hak negara kepulauan untuk menetapkan alur-aIur dan ru te udara di atas perairan kepuIauannya sebagai berikut :
"... the coastal state exercises exclusive jurisdiction in the territorial sea, vessels of third state have the right of innocent passage through the waters of the rnaritim belt but these is no right of innocent passage over flight for foreign aircraft".
1. Suatu negara kepulauan riapat menetapkan alur laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk Iilltas kapal dan pesawat udara asing yang teluS-mellerus dan larlg· sung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan denganny a; 2. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak Iintas alur laut kepulauan dalam alur laut dan rute penerbangan demikian; 3. Lintas alur laut kepulauan berarti pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, dalam cara normal semata·mata untuk melakukan transit yang telus-menelus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang di antara bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif laim/ya; 4. Allir laut dan rute udara demikian halus melintasi perairan kepliiallan dan laut teritorial yang berdampingan dan mencakup semua I1lle lintas normal yang digunakan sebagai 111 te
J adi negara pan tai meIaksanakan yurisdiksi eksklusif di lau t teritoriaI , kapal-kapal negara ketiga mempunyai hak lintas damai meIalui perairan maritim, tetapi hak lintas damai ini tidak ada bagi penerbangan pesawat udara asing. Oleh karena itu merupakan pelanggaran hukum intemasional yang serius bagi suatu negara yang pesawat udaranya meIanggar wiJayah udara nasionaI negara lain. 12) 10) Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan N egara di Ruang Udara (Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa, 1972), him. 9495. 11) Imre Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in In temational Space Law, Martinus Nijhoff, The Hague, 1971, him . 52. 12) Michael Akehurst, A Modern Introduction to International La w (London :
George Allen and Unwin, 1970), him . 236.
363
Hal< Terbang Pesawat .A./ng
atau alur untuk pelayaran internosional atau penerbangan melalui atau melintasi perairan kepulouan dan di dalam rute demikian. sepanjang mengenai kapal. semua alur navigasi normal dengan ketentuan bahwa duplikasi rute yang sama kemudahannya melalui tempat masuk dan keluar yang sama tidak perlu; 5. Alur laut dan rute penerbangan demikian harus ditentukan dengan rangkaian suatu garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute lintas hingga tempat keluar. Kapal dan pesawat udara yang melakukan lin tas melalui alur lou t kepulauan tidak boleh menyimpang lebih dari 25 mil laut kedua garis sumbu demikian. dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10% jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut tersebut. •
•
oleh karenanya menurut Konvensi Chi· cago 1944 setiap pesawat udara asing yang akan melintasi wilayah udara nasional suatu negara, terlebih dahulu harus mendapat izin dari negara yang bersangkutan. Dalam keadaan ketiga, di mana negara kepulauan tidak menetapkan rute udara di atas perairan kepulauannya. Ini memang dimungkinkan ' oleh Konvensi Hukum Laut 1982, yang menentukan: 13) "if an archipelagic state does not designate sea lanes or air routes, the right of archipelagic sea lanes passage may be exercise through the routes normally used for international navigation", y ai tu jika sua tu negara kepulauan tidak menetapkan aIur laut atau rute udara hak lintas alur kepulauan dapat dilaksanakan melaIui rute yang biasa digunakan untuk navigasi in ternasional. Dengan dimungkinkan tetap memberlakukan rute udara yang ada, maka bagi Indonesia menurut hemat penulis sebaiknya mengambil sikap ketiga ini, yaitu tetap memberlakukan rute udara yang lama, sebab lebih menguntungkan baik dari segi kedaulatan maupun segi finansial . Dari segi kedaulatan , maka setiap pesawat udara asing yang akan melintasi wilayah udara nasional Indonesia harus mendapat izin terlebih dahulu, dari segi finansial tidak perlu mengeluarkan biaya, sebab menetapkan rute udara baru pasti akan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apalagi rute udara yang ada di atas wilayah Indonesia telah memenuhi persyaratan-persyaratan: 14)
Dari ketentuan .Konvensi Hukum Laut 1982 di atas, maka bila suatu negara kepulauan menetapkan alur lau t dan rute udara di perairan kepulauannya, maka semua kapal dan pesawat udara asing menikmati hak lintas perairan kepulauan. Ini membawa pengaruh yang jauh bagi kedaulatan negara kepulauan, sebab semua pesawat udara asing be bas melalui wilayah udara nasionalnya yang merupakan alur atau rute udara di atas perairan kepulauannya. Maka apabila suatu negara kepulauan menetapkan rute udara berdasarkan right of archipelagic sea lanes passage, berarti negara tersebut secara sukarela mengurangi kedaulatan yang dimilikinya. Adanya right of archipelagic sea lanes passage dalam Konvensi Hukum 13) Pasa! 53 ayat (12) Konvensi Hukum Laut 1982 adalah sesuatu yang baru, Laut 1982. sebab di dalam Konvensi Chicago 1944 14) Djiwohadi, "Hak dan Kewajiban Indonesia sebagai Negara Pan tai". dalam Wawashak lin tas seperti ini tidak dikenal,
Agustus 198 7
, Hukum dan Pembangunan
364 1. Teknis operasional mudah untuk
2. 3. 4.
5.
penerbangan; Ekonom.is bagi penerbangan; Mengutamakan keselamatan dan kelancaran; Telah dilengkapi dengan alat-alat navigasi dan jaringan radio penerbangan; dan Terjaminnya traffic separation dan segi-segi SAR.
Selain itu penerbangan yang mengikuti rute penerbangan dalam alur perairan kepulauan di antara pulaupulau secara teknis tidak mungkin dilakukan oleh pesawat udara komersial, karen a bagi penerbangan sipil faktor kecepatan dan faktor ekonomi sangat penting. 15) Maka jika harus terbang mengikuti rute perairan kepulauan yang mungkin berliku-liku secara teknis sukar dilakukan dan akan menjadi tidak efisien dari segi biaya dan waktu. Memang dengan diakuinya rezim negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut 1982, maka perjuangan Indonesia mengenai Wawasan Nusantara telah berhasil, akan tetapi rasanya akan lebih lengkaplah hasil perjuangan yang panjang itu,16) apabila mengenai alur pelayaran di perairan kepulauan Indonesia diatur menurut Konvensi Hukum Laut 1982, dan mengenai rute udara di atas wilayahnya diatur menurut ketentuan Konvensi yang khusus untuk itu, jadi antara hukum laut dan hukum udara berjalan sendirian Nusantara (Jakarta: Surya Indah, 1982), hlm. 55. 15) Soewardi, Sari Kuliah Hukum Angkutan Udara, pada Fakultas Pascasarjana UNPAD, Bandung, tahun 1986/1987 . 16) Sejak Deklarasi Juanda 13 Desember 1957.
sendiri.
Kesimpulan Dari seluruh uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Diterimanya rezim negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Lau t 1982 tidak menimbulkan perbedaan pengertian tentang wilayah udara nasional seperti yang dimaksud dalam Konvensi Chicago 1944. Di mana kedaulatan negara di ruang udara meliputi wilayah udara di atas wilayah da· ratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan (bagi negara kepulauan) dan lau t teri torial. 2. Walau Zona Ekonorni Eksklusif tidak termasuk laut lepas dan juga laut teritorial, tapi status ruang udara di atasnya berbeda dengan status ruang udara di atas laut lepas, karena pesa· wat udara dari semua negara menik· mati kebebasan terbang di atasnya. 3. Diaturnya rute penerbangan di atas perairan kepulauan dalam Kon· vensi Hukum Laut 1982, ini merupakan sesuatu yang baru, sebab tidak di· kenai dalam Konvensi Chicago 1944. Berarti bila suatu negara kepulauan menetapkan rute udara di atas perairan kepulauannya, negara itu secara sukarela mengurangi kedaulatannya atas wilayah udara nasionalnya, sebab dengan adanya rute tersebut setiap pesawat udara asing akan bebas melintasi wilayah udara nasional (di atas perairan kepulauan), tanpa perlu ada izin dari negara kepulauan yang bersangkutan. 4. Indonesia sebagai negara kepulauan, sebaiknya tidak menetapkan rute udara baru berdasarkan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, tapi tetap memberlakukan rute udara yang •
365 lama (yang ada), sebab hal ini dimungkinkan oleh Konvensi Hukum Lau t 1982 itu sendiri. Sebab dengan tetap
memberlakukan rute lama, akan lebih menguntungkan baik dari segi kedaulatan maupun dari segi finansial.
DAFTAR PUSTAKA Bouchez, L.J., "The New Law of the Sea and Right of Overflight", dalam The International Law of the Sea", edited by : E. Hey dan A. V. Koers., Netherland Institute of Transport, 1984. Djiwohadi, "Hak dan Kewajiban Indonesia sebagai Negara Pantai", dalam Wawasan N usantara (Jakarta: Surya Indah, 198 2). Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut (BPHN), (Bandung: Binacipta, 1979). Ian Brownlie, Principles of Public International Law, 3rd . Ed. (Oxford: Oxford University Press, 1979). Imre Anthony Csabefi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law. Martinus Nijhoff The Hague, 1971 . Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law (London: George Allen and Unwin Ltd., 1970). Mieke Komar Kantaatmadja, Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa (Bandung : CV. Remaja Karya, 1984). O'Connell, International Law, Vol. I. (London: Stevens & Sons, 1965). Priyatna Abdurrasyid, Capita Selecta Hukum Angkasa (Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa,1971). ---- -------, Kedaulatan Negara di Ruang Udara (Jakarta: Penelitian Hukum Angkasa, 1972):. Soewardi, Sari Kuliah Hukum Angkutan Udara, pada Fakultas Pascasarjana Unpad, Bandung, 1986/1987. Kompas tanggal 9 Desember 1982. Dokumen-dokumen : - Konvensi Montevideo tahun 1933 . - Konvensi Chicago tahun 1944. - Konvensi Hukum Laut tahun 198 2.
•
•
•
I
•
Agustus 1987·
•