Edisi I /No. 3 /Tahun I /Februari 2014
Dok. KIE Lpg /2014
“ … Keberhasilan pengembangan kawasan wisata dapat berdampak sosial /ekonomi sangat positif ke warga sekitar ...” (Info Mandiri) ISSU PARIWISATA. Panorama keindahan alam pesisir pantai di Kecamatan Pesisir Utara, Kabupaten Pesisir Barat, sangat potensial dikembangkan menjadi kawasan wisata terpadu untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
HEAD LINE --------------------------- hal. 1 ANGLE -------------------------------- hal. 2 WACANA ----------------------------- hal. 3 PNPM MPd UPDATE -------------- hal. 4 SERBA-SERBI ------------------------ hal. 4 SUDUT DESA ------------------------ hal. 4 NEWS CLIP --------------------------- hal. 4 GOOD PRACTICES ------------------ hal. 5 REHAT -------------------------------- hal. 5 INFO PENGADUAN ---------------- hal. 6 TIPS JURNALISTIK ------------------ hal. 6 PESAN PEMBERDAYAAN --------- hal. 6 PROFIL PELAKU -------------------- hal. 6 KABAR KITA ------------------------- hal. 6 SHARING ----------------------------- hal. 7 LEGAL CLINIC ----------------------- hal. 8 INSPIRASI ---------------------------- hal. 8 REPORTASE -------------------------- hal. 9 SOSOK -------------------------------- hal. 11 SNAPSHOT -------------------------- hal. 12
PEP PNPM MPd:
PROSPEK BAGI KAWASAN WISATA
T
ak diragukan banyak lokasi di wilayah pesisir pantai di Lampung yang indah dan potensial dikembangkan menjadi tempat destinasi wisata. Sebagai penyuka travelling dan merujuk pengalaman mengujungi objek-objek di beberapa lokasi wisata (pantai) yang telah lebih dulu maju seperti di Pulau Jawa; kawasan pantai di Sumatera—khususnya Lampung—secara natural sesungguhnya memiliki keunggulan ekstra. Hal tsb menjadi nilai jual yang harusnya dapat ditangkap dan dikembangkan oleh masyarakat di daerah ini. Misal, menyangkut kualitas pasir pantainya (lebih bersih, lebih putih); kejernihan air lautnya; kehebatan gulungan ombaknya; kealamiahan lingkungannya; keunggulan objek-objek wisatanya; kekayaan potensi budaya dan karya seni lokalnya; dll-dll. Untuk menyebut beberapa wilayah yang paling mungkin dikembangkan potensi wisatanya adalah seperti di Kecamatan Kalianda dan sekitarnya di Kabupaten Lampung Selatan; dan beberapa kecamatan di Kabupaten Pesisir Barat. Di Kalianda dan sekitarnya, dimana terdapat desa-desa berlokasi di sepanjang pesisir pantai (Rajabasa); dengan letak geografis yang berdekatan dengan situs wisata internasional: Gunung Anak Krakatau, maka tentu prospek untuk pengembangan wilayah menjadi kawasan wisata di daerah itu menjanjikan. Selama ini pengelolaan potensi untuk pengembangan pariwisata lokal— yang menggerakkan seluruh pemangku kepentingan, utamanya masyarakat—belum maksimal. Meski, intensitas kunjungan tourist lokal dan mancanegara cukup tinggi. Demikian halnya di kawasan pantai di Pesisir Barat. Beda keunikan objeknya dibanding Kalianda; di sini kehebatan gulungan ombaknya menjadi buruan para penggila surfing (peselancar). Dan para surfer itu didominasi kalangan tourist asing. Selama ini warga lokal tanpa harus bersusah-payah berpromosi; para pengunjung telah berdatangan sendiri. Tapi, sama kasus dengan Kalianda, para pemangku kepentingan di daerah ini pun belum memaksimalkan potensi wisata tsb sebagai penggerak kemajuan ekonomi masyarakat dan wilayahnya. Fasilitator PNPM penting merespon issu ini. Karena keberhasilan pengembangan kawasan wisata dapat berdampak sosial /ekonomi sangat positif ke warga sekitar. (Ke hal. 2 | PEP)
E– Bulletin Info Mandiri: Edisi I /No. 3 /Tahun I /Februari 2014
(PEP |Dari hal. 1) Langkah Inisiasi di Lamsel Dok. KIE Lpg /2014
HAK DASAR FASILITATOR
M
emasuki awal pelaksanaan kegiatan PNPM MPd; persoalan yang kerap merundungi para fasilitator lagi-lagi adalah soal keterlambatan pembayaran gaji. Masalah ini menjadi kendala yang seringkali berulang. Dan setiap kali terjadi; jelas dan wajar mengundang keluh-kesah para fasilitator PNPM MPd di provinsi ini. Faktor teknis yang menjadi alasan, biasanya: DIPA yang masih ‘dibintang’; issu rolling pejabat; atau SK KPA yang belum ditandatangi. Perlu menjadi pemahaman kita, bahwa terkait DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) yang ‘dibintang’—didalamnya terdapat alokasi gaji fasilitator—merupakan sinyal bahwa terdapat persyaratan administrasi pengajuan pencairan ke Dirjen Perbendaharaan—atas nama Kemenkeu selaku Bendahara Umum Negara (BUN)—di Satker Kementrian Negara (Depdagri) yang masih harus dilengkapi. Dan manakala hingga waktu tertentu dinilai masih belum lengkap maka pencairan tsb tidak bisa diurus. Berikutnya, issu rolling pejabat dan SK KPA (Kuasa Pengguna Anggaran); keduanya merupakan hal yang inheren. Di Lampung, issu rolling pejabat berdampak pada rotasi pejabat setingkat Kepala Dinas /Kepala Badan dan di beberapa level lainnya. Efek rolling— hubungannya dengan gaji fasilitator—adalah bilamana pejabat yang terkena rolling terkhusus adalah Kepala Badan PMPD Provinsi selaku pemegang SK KPA, maka urusan gaji fasilitator biasanya akan ikut terdampak. Sementara penandatangan SK KPA dalam hal ini adalah Gubernur. Sehingga menunggu terbitnya SK KPA sepenuhnya merupakan kewenangan Kepala Daerah Tingkat Provinsi. Demikian itu—kurang /lebih—ilustrasi atas fenomena terkendalanya gaji yang menjadi hak dasar fasilitator. Hal tsb penting diketahui untuk tetap dicarikan pemecahannya. [] Red.
”Sinergi PEP PNPM dan dukungan Pemda percepat kemajuan di sektor wisata!” YANSEN MULIA
Catatan khusus untuk wilayah Kalianda dan sekitarnya di Kabupaten Lampung Selatan. Sejak dua tahun terakhir; telah dimulai langkah inisiasi untuk mendorong kawasan ini mencapai kemajuan di bidang pariwisata. Yang cukup menggembirakan; para inisiatornya adalah komunitas / pelaku-pelaku lokal yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan potensi wisata di daerahnya sendiri. Diantaranya—yang menonjol—
adalah: Komunitas Putera Krakatau (KPK). Samhudi, pelaku PNPM Kecamatan Rajabasa dan kebetulan Pelaksana Harian (Plh) KPK, menjelaskan, “KPK berdiri sejak 22 April 2012 lalu dan berbasis di Kalianda memfokuskan diri pada aktifitas promosi potensi wisata lokal melalui beragam kegiatan, seperti: kunjungan dan pendokumentasian ke objek /situs-situs wisata; mengelola web /blog dan media jejaring sosial untuk tujuan-tujuan promosi; melakukan kajian /diskusi issu-issu wisata lokal; dan menggalang dukungan stakeholder: pemerintah daerah, swasta, dll”. “Setelah berproses dari sejak berdirinya”, lanjut Samhudi, “Pada Mei-September 2013, KPK didukung Dinas Pariwisata Daerah—melalui kegiatan sosialisasi wisata— berhasil mendorong lahirnya Kelompok-kelompok Sadar Dok. KIE Lpg /2014 Wisata (Pokdarwis) di 11 desa di 5 Kecamatan: Rajabasa; Kalianda; Katibung; Bakauheni; dan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan”. Tak kalah menarik adalah fakta bahwa pelaku-pelaku Pokdarwis tsb kebanyakan berasal dari pelakupelaku PNPM MPd juga. Sementara, di lain kesempatan berdiskusi dengan Kadis Pariwisata Lampung Selatan, Yansen Mulia, tentang prospek pengembangan potensi wisata di daerah ini, ia mengatakan, “Kemunculan komunitas wisata dan Pokdarwis bisa menjadi mitra strategis bagi pemerintah dalam mempercepat kemajuan di sektor pariwisata!” PLH KPK: SAMHUDI Di samping itu, konsep Pengembangan Ekonomi Perdesaan (PEP) yang mendukung usulan pengembangan kawasan wisata di PNPM—mulai 2014—juga disambut baik; dimana dengan telah munculnya pelaku-pelaku wisata yang terorganisasi di tingkat lokal, menurut Yansen, kelak dapat disenergikan dengan peluang akses pendanaan melalui BLM PNPM dan program-program pemerintah yang ada di dinasnya. “Jika hal tsb bisa ketemu, kemajuannya akan cepat”, tegasnya. Nah, maka bagi fasilitator di Kabupaten Lampung Selatan dan di kecamatankecamatan yang tersebut di atas khususnya, langkah memfasilitasi kegiatan PEP PNPM MPd untuk issu kawasan wisata di daerah ini sesungguhnya telah dimudahkan dengan keberadaan faktor-faktor pendukung tsb; tinggal teknis mem-follow up. Lalu, bagi kabupaten lain—kaitannya dengan konsep PEP—dapat mencontoh Lamsel untuk potensi yang sama; atau mengagas kreasi lain dengan potensi berbeda. [] Red.
E– Bulletin Info Mandiri: Edisi I /No. 3 /Tahun I /Februari 2014
Dok. KIE Lpg /2014
‘HALOK GANGGU’, NILAI KEARIFAN LOKAL Oleh: Ali Rukman /Ketua IPPMI /Faskab Lampung Barat
DI SUATU KESEMPATAN berdiskusi dengan warga—di peristiwa (ruang dan waktu) yang serba kebetulan—penulis menangkap untaian kata yang sarat nilai kearifan lokal. Untaian kata tsb muncul di tengah perbincangan kami menunggu hujan di sebuah kubu lunik (gubuk kecil) di tengah areal perkebunan kol yang mempertemukan kami di daerah Balik Bukit, Liwa, Kabupaten Lampung Barat. Kata-kata itu adalah ‘halok ganggu’. Tentu istilah yang asing bagi kebanyakan kita. Namun, jika diresapi kedalaman maknanya dan diamalkan, nilai kearifan lokal tsb—sangat bisa diyakini—mampu menjadi faktor pendukung pelaksanaan pembangunan yang menghadirkan lingkungan sosial yang kondusif; beretika; dan harmonis. Dari apa yang dapat disarikan penulis perihal pemahaman halok ganggu yang terurai dari diskusi kami yang hangat waktu itu, muasal isitilahnya adalah dari kata muhalok = patut /sepatutnya; dan ganggu /muganggu = tidak pantas /tidak selaras /tidak serasi. Maka halok ganggu dapat diartikan menjadi sikap atau prilaku yang patut dan pantas. Lalu pertanyaannya bagaimana dengan pi’il pesenggiri? Istilah yang terakhir ini jauh lebih familiar di telinga
kita. Sebetulnya, keduanya merupakan nilai-nilai luhur /produk budaya yang dianut dan dijalankan dalam kehidupan masyarakat Lampung. Bedanya, pi’il pesenggiri sebagai sebuah prinsip terpatri dalam sanubari; sementara halok ganggu tercermin dalam prilaku. Lantas, apa pentingnya halok ganggu dalam kehidupan bermasyarakat? Jawabnya sederhana, dengan senantiasa mengedepankan nilai-nilai halok ganggu berarti menuntun hidup sesuai dengan etika dan moral yang ada di masyarakat. Demikian itu segi kearifan dari kandungan budaya lokal halok ganggu yang menjamin tata-krama dalam interaksi sosial. Bertolak dari hal tsb, terbetik di benak penulis banyak hal positif yang bisa munculkan andaikan nilai-nilai halok ganggu dijadikan tuntunan. Diantaranya sbb. Pertama, dalam hubungan sosial halok ganggu mencegah terucapnya kalimat janji yang tidak mungkin ditepati, karena hal tsb tidak patut dilakukan dan bertentangan dengan nilai agama. Kedua, dalam berprofesi halok ganggu akan memposisikan orang-orang untuk senantiasa taat azaz; beretika; berahlak; tidak manipulatif; dan tidak berprilaku KKN (Korupsi; Kolusi dan Nepotisme), jus-
tru sebaliknya mendukung kreativitas seseorang. Ketiga, dalam hal ketokohan halok ganggu yang dipegang teguh tokoh masyarakat /pemuda /agama, tidak akan mendorongnya berlaku atau bersikap picik dengan mengatasnamakan rakyat, yang hakikatnya justru menciderai hati umat. Keempat, dalam kepemimpinan halok ganggu menjadi prinsip dan nilai yang tidak semata berorientasi pada syahwat kekuasaan. Konflik tidak untuk dieksploitasi namun dicarikan solusi; bertindak kongkrit; dan modal kepemimpinan benar-benar dibaktikan untuk kepentingan orang banyak bukan demi tujuan-tujuan sesaat; yang bersifat pribadi; atau kelompok. Dari pemikiran itu, beberapa nilai tsb di atas bukan hal utopis yang tak mungkin diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat; berbangsa; dan bernegara— tak terkecuali di Kabupaten Lampung Barat. Sangat mungkin. Untuk itu perlu menjadi pemikiran dan upaya kita menghidupkan dan melestarikan halok ganggu sebagai nilai kearifan lokal agar tetap tumbuhberkembang dan menjadi energi pendukung pembangunan dan pendorong cita-cita kesejahteraan masyarakat. []
E– Bulletin Info Mandiri: Edisi I /No. 3 /Tahun I /Februari 2014
KUNJUNGAN SP2M DAN SP KIE KE BPKP Dok. KIE Lpg /2014
DALAM RANGKA mengkonfirmasi dan merekonsiliasi data temuan BPKP atas kegiatan PNPM MPd TA. 2012 di Provinsi Lampung (Kabupaten Tulang Bawang; Pringsewu; Tanggamus; Lampung Selatan; Lampung Tengah; Pesawaran; Lampung Timur; dan Lampung Utara), SP2M dan Spesialis KIE berkunjung ke Kantor BPKP Bandar Lampung pada Jumat, 17 Januari 2014, menemui Alam Tarigan—Auditor Madya BPKP Perwakilan Lampung. Hasil pertemuan tsb merekonsiliasi /mengkonfirmasi tanggapan rekomendasi temuan BPKP dari kabupaten berdasar berkas yang dibawa SP2M. Tapi, masih diperlukan surat tanggapan resmi dari tiap kabupaten. [] Red.
UPK PARDASUKA: KANTOR BARU, SEMANGAT BARU MENGAWALI 2014, UPK PNPM MPd Kecamatan Pardasuka pada 13 Januari 2014 pindah kantor; dari semula di Pekon Sidodadi, kini ke Pekon Wargomulyo. Kantor UPK yang baru disewa Rp 3 juta /1 tahun dari sumber dana Operasional UPK Kecamatan Pardasuka. Kantor kini sedang dilakukan beberapa perbaikan (pengecatan, perbaikan saluran air, dll). Menjadi harapan, kantor baru; melahirkan semangat baru. Menimbang tata ruang dan letak posisi kantor baru UPK yang strategis: lingkungan padat penduduk, areal dan ruangan kantor cukup luas, serta dekat ke fasilitas umum— harapan lainnya adalah kualitas layanan UPK ikut meningkat. Semoga peran UPK makin ideal. [] Juhanda /FK Pardasuka
LOMBA FOTO DAN BERCERITA PNPM MANDIRI SEBAGAI BAGIAN dari rangkaian kegiatan Temu Nasional 2014, Sekretariat Pokja Pengendali PNPM Mandiri Kemenko Bidang Kesejahteraan Rakyat menyelenggarakan kegiatan Lomba Foto dan Bercerita dengan tema “1001 Jejak PNPM Mandiri”. Selain Lomba Foto dan Bercerita, rangkaian kegiatan Temu Nasional 2014 juga akan terdiri dari pemilihan Duta PNPM Mandiri; pemberian penghargaan; serta pesta rakyat. Beberapa hal terkait ketentuan lomba: peserta boleh merupakan individu atau perwakilan kelompok; dan dibebaskan menerjemahkan tema “1001 Jejak PNPM Mandiri” kedalam karyanya. Info lengkap di: www.pnpm-mandiri.org [] Web Pokja PNPM Mandiri
E– Bulletin Info Mandiri: Edisi I /No. 3 /Tahun I /Februari 2014
P
PINDAHAN PASAR ALA ‘JOKOWI’ DESA TRI MEKAR JAYA
emandangan umum di setiap pasar tradisional yang ada di desa-desa cenderung akan sama. Riuh; ramai; dan seru! Demikian halnya dengan Pasar di Desa Tri Mekar Jaya, Kecamatan Bandar Negeri Suoh, Lampung Barat, yang buka pasaran 2 minggu sekali di hari Rabu dan Sabtu. Tapi soal keramaian pasar, sebetulnya tidak begitu menarik. Yang istimewa adalah kisah dibalik pembangunan pasar tsb. Pasar Desa Tri Mekar Jaya di lokasinya saat ini adalah lokasi pindahan terakhir—setelah sebelumnya 2 kali pindah. Lokasi pertama, kondisinya rawan banjir sehingga pindah ke lokasi kedua milik perorangan yang disewa warga pedagang. Setelah sekian waktu, lokasi kedua (luas areal ¼ Ha) ternyata hendak dijual pemiliknya dengan harga Rp 250 jt. Menimbang kepentingan perekonomian desa dan warga, pemerintah desa berinisiatif membelinya. Disayangkan, negosiasi menemui jalan buntu. Opsi lokasi kemudian ditentukan berupa areal sawah /rawa-rawa seluas 1,5 Ha tak seberapa jauh dari lokasi pasar yang saat itu ditempati—yang dibeli melalui dana desa plus sumbangan warga dengan harga lebih rendah. Tapi persoalannya adalah kondisi lahan ketika itu sama sekali tidak layak huni! Meski kebijakan sudah diputuskan. Pro /kontra di kalangan pedagang maupun warga terkait rencana pindahan pasar ke lokasi baru terus bergulir. Tidak sedikit yang menyangsikan bahwa rencana tsb akan gagal. “Tidak semua pihak senang atau setuju dengan keputusan itu. Sebagiannya ada yang ingin melihat upaya kita kandas di tengah jalan”, demikian tutur Muslih. Namun, sebagai pelaksana kebijakan, dirinya selaku Kades, tetap komitmen dan konsisten dengan rencana semula dan terus menggalang dukungan warga. “Untuk proses penimbunan dan pembuatan fondasi areal pasar baru itu saja memakan waktu sekitar satu tahun dan semuanya dikerjakan swadaya oleh warga”, ungkap Muslih. Ia pun menceritakan proses gotong-royong masyarakat melakukan penimbunan yang berlangsung siang /malam. Dan setelah penyiapan lahan dinilai tuntas, tahap berikutnya desa mengusulkan lokasi tsb untuk pembangunan pasar ke PNPM MPd, sela Muslih, “Alhamdulilah menjadi usulan prioritas; dan terdanai BLM 2012”. Yang tak kalah berkesan adalah proses pemindahan pasarnya. Acara pesta pindahan pasar dilakukan selama 3 hari 3 malam diisi berbagai hiburan, mulai kuda lumping; organ tunggal; hingga pementasan wayang kulit. Kemeriahan acara tentu menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat dan sebagai tanda syukur keberhasilan memindahkan dan membangun Pasar Tri Mekar Jaya—pasar yang kini juga dikenal sebagai ‘PASAR PNPM’. Menyimak kisah pasar desa tsb, mengingatkan kita pada keberhasilaan Pemerintahan Jokowi dalam memfasilitasi relokasi pedagang pasar di Kota Solo! [] Red.
SERASA PULANG KAMPUNG
T
Oleh: Yani Taryani FK Sekincau /Lampung Barat
idak pernah terbayangkan sebelumnya jika harus sampai ke sebuah kabupaten bernama Lampung Barat. PNPM Mandiri Perdesaan -lah yang mengantarkan saya ke sini. Sebuah kabupaten yang namanya saja baru didengar saat mengikuti Pelatihan Pra Tugas Fasilitator, November 2011. Saat kali pertama jalan ke Lampung Barat yang terpikir adalah, “Mau dibuang kemana saya ini? Apa yang akan saya lakukan disana? Apa yang akan didapat disana dan harus jauh dari keluarga?” Maklum saya orang Sunda yang merantau ke Lampung; segala macam fikiran jelek keluar karena hampir sebagian besar perjalanan yang dilewati adalah kebun; hutan; dan perkampungan yang jarang rumah. Enam jam perjalanan waktu yang cukup melelahkan. Setiba di lokasi kecamatan jam 2 pagi. Rencana yang dituju adalah Kantor Kecamatan, namun setelah menunggu sampai jam 4 pagi akhirnya saya memutuskan untuk menemui Pak Camat terlebih dahulu. Dini hari mengetuk rumah orang yang belum dikenal, membuat saya ingin meninggalkan semuanya dan kembali ke Bandar Dok. KIE Lpg /2014 lampung. Tapi tetap pintu diketuk; karena saya tak mau semuanya sia-sia tanpa mencoba. Seorang ibu membukakan pintu dan menyilahkan masuk; sejenak berlalu kedalam memanggil suaminya (Pak Camat). Nah, justru panggilan itulah yang mengagetkan saya. Singkat, hanya tiga kata: “BAPAK-AYA-TAMU”, sahutnya. Tapi saya senang mendengarnya karena itu adalah bahasa ibu saya; bahasa kecil saya, yang sejak 2006 merantau ke Bandar Lampung, jarang saya dengar. Saya: Yani Taryani, pertama kali bertugas sebagai FK, Mei 2012, di Kecamatan Kebun Tebu, Kabupaten Lampung Barat. Kebun Tebu secara tofografi mirip dengan kampung saya di Sumedang, Jawa Barat. Berupa daerah berbukit; berudara sejuk (rata-rata 23o C); dikelilingi persawahan, pertanian dan perkebunan. Sosial-budayanya beragam didominasi Suku Sunda. Bahasa mayoritas adalah Bahasa Sunda. Warganya ramah dan menganggap saya saudara; inilah yang membuat seolah tinggal di kampung halaman sendiri. Ternyata benar, seorang fasilitator harus mengenal budaya setempat; karena memudahkan proses fasilitasi dan kedekatan emosional. Meski di sini bukan tempat kelahiran dan saya hanya merantau; tapi saya cinta Kebun Tebu, cinta Lampung Barat. Kebun Tebu mengobati kangen saya pada kampung halaman. Segala pikiran jelek terobati sudah; dan tak hanya saya, anak-anak pun betah di Kebun Tebu, pada saat liburan saya ajak mereka ke sini; di sini mereka pun punya seorang ‘emak’ yang sudah seperti neneknya sendiri. []
E– Bulletin Info Mandiri: Edisi I /No. 3 /Tahun I /Februari 2014
INFO PENGADUAN
B
erikut merupakan informasi /kontak pengaduan terkait halhal yang berkenaan dengan kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan di Provinsi Lampung. Dan untuk dapat segera ditindaklanjuti, pengaduan yang disampaikan melalui telepon; sms; email maupun website disarankan menyertakan beberapa informasi yang relevan dan lengkap, seperti nama program; lokasi dan pelaku yang diadukan. INFO /KONTAK PENGADUAN Telp. /Faks. : (0721) 268782 /(0721) 267200 SMS : 0812-7911-154 /0811-111-4963 E-Mail :
[email protected] Website : www.iecpnpmlampung.wordpress.com Surat /Datang Langsung: Jl. Kemuning 34A Rawa Laut, Bandar Lampung –35127
“... Soal gaji merupakan hak dasar fasilitator yang pemenuhannya tidak boleh diabaikan. Sebab hal tsb erat kaitannya dengan beragam kebutuhan dasar (konsumsi; operasional kerja; biaya pendidikan /kesehatan keluarga; dll). Soal itu pun dipastikan berkorelasi dengan kinerja fasilitator dalam merealisasikan target-target RKTL kegiatan ...”
MEWAWANCARA Dalam teknik penulisan, sumber data atau referensi dapat berupa informasi tercetak (misal, buku; koran; jurnal; bulletin; dll) atau informasi yang didengar. Jika data tsb didapat langsung dari narasumber pertama; maka ia—dalam istilah jurnalistik maupun akademik—dinamai sebagai referensi primer. Menggali informasi untuk mendapatkan referensi primer dalam kegiatan tulis-menulis bisa dilakukan melalui teknik interview; atau mewawancara. Berikutnya, data-data yang tergali menjadi materi dasar konstruksi tulisan yang akan dibuat. Hal penting dalam perencanaan wawancara, yakni: penentuan topik (data /info apa yang akan dikejar) dan narasumber; menyiapkan daftar pertanyaan; menghubungi / mengatur pertemuan dengan narasumber. [] Red.
ELLY SAKILA, KPMD KELAWI ELLY SAKILA, lahir dan besar di Tanjung Karang, 30 Juni 1974. Tinggal di Kampung Sawah, Brebes, Bandar Lampung sejak SD hingga SMA. Pendidikan terakhir, SMA Dirgantara, Bandar Lampung, selesai tahun 1992/1993. Pada 1994 merantau ke Tangerang, Dok. KIE Lpg /2013 bekerja di pabrik sweater milik Korea di bagian Dok. KIE Lpg /2014 quality control selama setahun dilanjutkan ke pabrik pembuatan sepatu (Adidas, Fila, dll) dari 1995-1996. Pada 1996 menikah, berhenti kerja dan kembali ke Lampung. Di tahun 2001, hijrah mengikuti suami bekerja di Bakauheni, dan menetap di Desa Kelawi (medio 2002). Di Kelawi Elly mulai terlibat kegiatan ibu-ibu PKK dan menjadi Ketua Pokja 2 PKK Desa Kelawi yang membidangi pendidikan, keterampilan dan pengembangan kehidupan berkoperasi. Sebagai kader PKK— mewakili desa—Elly banyak mengikuti pelatihan-pelatihan, seperti: pelatihan Ekosob dan HAM; membaca anggaran (APBD) di Desa Kelawi; dll. Baru pada 2009, Elly berpartisipasi di PNPM sebagai KPMD Kelawi hingga sekarang. Dijelaskannya suka /duka sebagai KPMD, yakni: lebih bermasyarakat; bertambah pengetahuan; keterampilan dan wawasan. Dukanya: pernah dimarahi di tengah forum ketika berbeda pendapat. [] Red.
TALKSHOW RADAR TV LAMPUNG “OPTIMALISASI peran PNPM Mandiri Perdesaan, Sejauh Mana Manfaatnya di Provinsi Lampung” menjadi tema talkshow Radar TV Lampung di segmen Dialog Halo Lampung yang ditayangkan secara live selama satu jam pada 3 Dok. KIE Lpg /2014 Januari 2014 Pukul 16.30-17.30 WIB. Di kesempatan talkshow ini menjadi narasumber adalah Spesialis KIE PNPM MPd RMC-2 Lampung, Yudas Ermadi, SIP; PjO PNPM MPd Provinsi Lampung, Dra. Sulasih, MM; dan Ketua UPK Kecamatan Sidomulyo, Samadi, SIP. Acara dipandu langsung host Radar TV. Talkshow diantaranya mengulas tentang perjalanan PNPM di Provinsi Lampung yang didesain sebagai program penanggulangan kemiskinan dengan kecamatan sebagai lokasi kegiatan. Perihal peran Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) Provinsi Lampung dalam kegiatan PNPM dijelaskan Sulasih bahwa perannya selaku Penanggungjawab Operasional (PjO) kegiatan adalah dalam pengelolaan administrasi dan pencairan dana BLM PNPM. Yang pada 2013 alokasi BLM provinsi sebesar Rp 246,5 milyar dan 2014 Rp 253,2 milyar. Sementara Samadi menyampaikan dampak / manfaat PNPM Mandiri Perdesaan dalam perspektif peran Unit Pengelola Kegiatan (UPK) dan masyarakat. [] Red.
E– Bulletin Info Mandiri: Edisi I /No. 3 /Tahun I /Februari 2014
Dok. KIE Lpg /2014
MENEMPUH SERTIFIKASI Oleh: Ratna Juwita FK Labuhan Maringgai /Lampung Timur
“Gantunglah setinggi-tingginya mimpimu dilangit, dan Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu” (Andrea Hirata dalam Edensor, 2008)
MENGAPA SERTIFIKASI? Pertanyaan yang terus-menerus menyelinap dikepalaku, sejak kurang lebih setahun lalu. Selama ini, pemahamanku akan sertifikasi adalah sebatas tentang sertifikasi pendidik atau guru. Dimana didalamnya ada keterkaitan dengan renumerasi, atau kompensasi atas label ‘sertifikasi’. Sudah, itu saja. Tentang sertifikasi fasilitator, sungguh aku tidak tahu apa-apa. Penjelasan atas pertanyaan itu kudapat dari hasil menjelajah dunia maya; ngobrol dengan beberapa teman; menguping pembicaraan di grup-grup pemberdayaan; dan bertanya langsung kepada pihak yang berkompeten. Kesimpulan atas itu semua adalah: aku harus melewati proses sertifikasi ini. Sesegera yang aku bisa. Kalau bicara peraturan, sudahlah … Beberapa surat edaran dan sejenisnya telah dikeluarkan oleh pihak yang berkepentingan. Tak terbantahkan, sertifikasi ini wajib dilalui. Begitu pula jika menyimak tentang UU Desa yang baru saja di sahkan, atau dikaitkan dengan UU Aparatur Sipil Negara (ASN), tentu sahabat sudah lebih tahu. Tapi bagiku, ada yang lebih dari semua itu. So,mengapa sertifika-
si? Hmm … Ini tentang ‘jalan’ yang bertahun ini kujalani. Sudah pada track yang benarkah? Apa yang harus dibenahi? Dimana yang banyak kekurangan? Kelebihan apa yang aku miliki? Dengan mengikuti proses ini, setidaknya aku akan lebih tahu kondisi jalan yang sedang kutapaki. Aku yakin, ada banyak hal dalam proses sertifikasi yang akan membantuku menjadi lebih baik lagi menjalani pekerjaan ini. Setelah sejak September intens bertanya kepada beberapa orang; mengunduh form aplikasi; mempelajari dan bertanya sana-sini cara pengisian form; kemudian menghubungi beberapa Tempat Uji Kompetensi (TUK); kontak ke Lembaga Sertifikasi Profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (LSP FPM)— khususnya Mbak Chamy—yang dengan sukarela menyisihkan waktunya mengirimkan berbagai file sertifikasi, maka Desember aku daftar ke TUK Abhiseka Yogyakarta. Mengapa Abhiseka? Tentu bukan tanpa alasan. Pertama, karena di Lampung belum ada Tempat Uji Kompetensi (TUK). Alasan kedua, karena TUK Abhiseka yang memiliki jadwal ujian terdekat. Setelah berhitung dengan padatnya RKTL dan progress dilapangan, hanya sekira bulan Desember-Januari aku memiliki luang waktu. Setelah itu, aku akan disibukkan dengan pelaksanaan PNPM MPd 2014 dan MP3KI. Apalagi mengingat sudah enam bulan lebih aku solo karir, tanpa FT dan PL, maka harus cermat mengatur waktu. Pertimbangan lain mengapa kupilih TUK Abhiseka adalah, karena dari sekian TUK di Indonesia, Abhiseka sudah melakukan uji kompetensi paling banyak, yaitu lima kali. Aku akan menjadi bagian dari angkatan yang keenam. Bukan menganggap TUK lain kurang bagus, tapi pengalaman yang dimiliki Abhiseka, tentu akan memberikan hal berbeda. Terbukti, sejak kontak pertama sampai hari ujian, pengelola Abhiseka banyak sekali mem-
beri masukan via telpon; sms; serta e-mail. Perjalanan untuk sampai pada tahap sertifikasi, lumayan panjang buatku. Pertama, penyusunan form aplikasi: proses sertifikasi, dimulai dengan pengisian form APL1, APL2 serta lampiran bukti porthofolio. Yang diperlukan adalah melampirkan alat bukti yang kuat, dimana didalamnya memuat tiga syarat utama, yaitu valid, terkini, dan asli. Kedua, pendaftaran: setelah APL1, APL2, dan bukti porthofolio lengkap, kukirimkan ke LSP FPM dan pihak TUK via email, beserta uang pendaftaran Rp.100.000 dan biaya ujian Rp. 2.000.000, yang bisa diangsur 4 kali. Menurut pihak LSP, skema cicilan ini berlaku sampai bulan April saja. Lewat bulan itu, biaya sertifikasi harus dibayar dimuka. Ketiga, pelaksanaan ujian: setelah berkas diterima TUK, mereka menyampaikan jadwal ujian. Untuk itu aku mengurus rekomendasi ke IPPMI dan ijin dari Fasilitator Kabupaten, lalu ke Yogyakarta mengikuti uji kompetensi fasilitator. Pada prosesnya, uji kompetensi terbagi menjadi 5 tahap, yakni: tahap 1: pembekalan dari TUK; tahap 2: konsultasi porthofolio /pra assesment; tahap 3: tes tertulis; tahap 4: wawancara; dan terakhir: umpan balik dan evaluasi. Setelah melalui dua hari yang menyita pikiran, akhirnya kami, 22 orang fasilitator pemberdayaan yang menyemai harapan di Abhiseka Yogyakarta, dinyatakan semuanya kompeten sebagai fasilitator. Alhamdulillah. Begitulah, diantara padatnya RKTL dan berbagai masalah di lokasi, satu tahapan sudah kulewati. Aku bersyukur melalui ini dengan baik, walau banyak kendala menyertainya. Mengutip wejangan Mas Jarwo, “Kalau ingin berhasil menjadi seorang yang benarbenar disebut fasilitator, milikilah tiga hal, yaitu: rasional; seni; dan cita-cita”. Ah, … aku harus lebih banyak belajar. Harus terus meninggikan ‘antena’. Menyesap sebanyak-banyaknya ilmu yang bertebaran di setiap sudut bumi! []
E– Bulletin Info Mandiri: Edisi I /No. 3 /Tahun I /Februari 2014
NON LITIGASI DALAM PENANGANAN MASALAH
K
etika proses “Non Litigasi” menjadi pilihan penyelesaian masalah, maka para pihak harus sadar dan tunduk pada: 1) dasar kesepakatan para pihak; 2) keseimbangan posisi tawar para pihak; 3) pendokumentasian proses; 4) pelibatan pihak ketiga atas kesepakatan para pihak; 5) nilai lebihnya berupa kecepatan proses dan murah; dan 6) orientasinya pada win-win solution. Beberapa pilihan upaya Non Litigasi, yakni: 1) alternative despute resolution; 2) konsultasi; 3) negosiasi; 4) mediasi; 5) konsiliasi; 6) arbitrase; dan 7) hukum adat. Masing-masing dengan konsekuensi berbeda. Di PNPM MPd 2013, varian masalah; pelaku; dan modus operandi yang ditemui berupa: penyalahgunaan dana. Para pelakunya orang yang berkaitan langsung dengan fungsi manajerial program (tingkat desa /kecamatan) dengan modus sbb: a) setoran dari Kelompok ke UPK tidak disetorkan ke rekening SPP; b) setoran kelompok tidak diberi tanda terima /kuitansi; c) setoran macet Oleh: R. RAHMANU HENDARTA, SH di ke Ketua TPK; d) kelompok fiktif; dan e) kredit macet kelompok. Hampir seluruh kabupaten di Lampung SP2M RMC-2 LAMPUNG Dok. KIE Lpg /2014 memiliki masalah serupa, sehingga seolah hal yang wajar di mata masyarakat. Maka, timbul pertanyaannya: Jika sekian banyaknya masalah yang sama dengan modus operandi yang sama dan pelaku penyalahgunaan dana adalah orang yang berkaitan langsung dengan fungsi manajerial program (tingkat desa /kecamatan) dan tersistematis, apa ada yang salah dengan sistem? Dalam Sistem (baca: PTO dan SOP Penanganan Masalah) yang berprinsip: dari; untuk; dan oleh masyarakat, diasumsikan bahwa masalah pasti selalu ada, maka masalah sebagai bahan pembelajaran bagi masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Sebab itu PTO dan SOP Penanganan Masalah dibuat sebagai materi yang mendasari tindakan dan kegiatan dalam penyelesaian masalah yang didalamnya dikenal tahap Non Litigasi dan Litigasi. Di tahapan Non Litigasi dimungkinkan BKAD (mewakili masyarakat) melakukan investigasi; serta proses negosiasi dan mediasi didukung FK, Pengurus UPK dan BP-UPK. Dan hasil pekerjaannya dinyatakan selesai, jika dana telah kembali dan /atau pelaku dikenai sanksi /ditangani melalui jalur hukum. Persoalannya karakter Non Litigasi tidak menjelaskan dan tidak mengatur batas waktu penyelesaian masalah. Sehingga pemahaman SOP Penanganan Masalah terhadap proses Non Litigasi saat ini adalah: a) proses menjadi panjang apabila si pelaku melakukan “pencicilan” tanggung jawabnya; b) apapun progresnya “walaupun kecil atau lambat” yang jelas asal tidak dalam posisi stagnan. Maka, perlu dikaji lagi SOP Penanganan Masalah dan proses Non Litigasi. []
PENGELOLAAN MEDIA KIE MERBAU MATARAM
M
erbau Mataram merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan lokasi penerima bantuan PNPM Mandiri Perdesaan. Di kecamatan ini pada 2013 lalu—sebagai dampak dari kebijakan pembatasan akses BLM SPP terkait indikasi tunggakan dan dana mengendap di UPK—dilaksanakan kegiatan Peningkatan Kapasitas Masyarakat (PKM), diantaranya berupa Pelatihan Budidaya Jamur Tiram dan Home Industry Emping Melinjo. Perihal teknis pelaksanaan kegiatan PKM –nya adalah satu hal; lain dari itu, tak kalah menarik adalah soal kreatifitas FK di kecamatan, yakni: Mardiana Yulianingsih, yang menyempatkan diri—di sela kewajiban memenuhi RKTL program di kecamatan—menyusun buah karyanya berupa buku “Modul Emping Melinjo” dan buku “Panduan Budidaya Jamur Tiram”. Menulis buku adalah capaian yang penting diapresiasi sebagai suatu karya jurnalistik. Dalam Modul Emping Melinjo dituliskan bahwa karyanya itu merupakan hasil analisa dan wawancara langsung dengan para pelaku usaha emping melinjo. Di bagian lainnya di modul tsb, diulas tentang profil usaha dan pola pembiayaan; aspek teknik produksi; aspek pasar dan pemasaran; Dok. KIE Lpg /2014 aspek keuangan; aspek ekonomi, sosial dan dampak lingkungan; ditutup dengan kesimpulan dan saran. Sementara, dalam Panduan Budidaya Jamur Tiram—di Bagian Pendahuluan—dikatakan bahwa dilakukannya kegiatan PKM melalui budidaya tsb adalah untuk memberikan pengetahuan; keterampilan serta peluang usaha untuk rumah tangga miskin di perdesaan, dengan harapan mereka tidak lagi pada posisi sebagai pencari kerja; tetapi mampu menciptakan lapangan kerja baru demi peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Apa yang dilakukan ini membuka mata kita, bahwa fasilitator tidak hanya sekedar menjadi ‘robot’ program yang bertugas ‘memamah-biak’ dan menjadi pelaksana RKTL program saja; namun, mampu bertindak kreatif dan inovatif dalam memperkuat proses pemberdayaan masyarakat. Justru disinilah letak seni community driven development seorang fasilitator! Di Merbau Mataram, tidak hanya karya buku itu saja yang menjadi produk media Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang diciptakan; juga ada media KIE lain berupa bulletin UPK yang diterbitkan bulanan. Topik /berita yang dimuat didalamnya termasuk info good practices pelaksanaan kegiatan di kecamatan yang bernilai edukatif dan inspiratif. Mantap. OK, bravo PNPM MPd Kecamatan Merbau Mataram! [] Red.
E– Bulletin Info Mandiri: Edisi I /No. 3 /Tahun I /Februari 2014
Dok. KIE Lpg /2014
HEBATNYA PLTD PEKON TANJUNG JATI: MUJOR TEPOR! TANJUNG JATI merupakan salah satu desa; atau ‘Pekon’ dalam istilah pemerintahan di Kabupaten Pesisir Barat yang termasuk kedalam Kecamatan Lemong. Pekon ini adalah pekon terujung dan menjadi wilayah terakhir Kecamatan Lemong yang berada di lintasan jalan menuju ke Provinsi Bengkulu. Dan seperti umumnya karakter wilayah di Pesisir Barat; daerahnya berpantai; panoramanya indah; diselingi jalan berkelok— kadang dihiasi hamparan sawah / perkampungan di kanan-kiri—dan berdinding bukit. Pantai dengan ombak lautnya yang eksotis di sini belakangan mulai terkenal hingga ke manca negara. Turis-turis asing penggila selancar (surfer) di musim-musim tertentu telah hilir-mudik ke kawasan pantai di Pesisir Barat ini; dan konon katanya, kualitas ombak laut untuk berselancar disini—menurut penuturan mereka— adalah nomor 2 terbaik di dunia; wow! Harus diakui, dari pengamatan langsung meninjau kawasan ini; mata kita tak bisa dibohongi, bahwa tempat ini memang luar biasa indah. Dalam lingkungan eksotisme Pesisir Barat yang natural itulah Pekon Tanjung Jati, Lemong, berada. Pada pertengahan Januari 2014 lalu, kami: bersama Ibnu Walidin (Faskeu) ditemani FK (Imam Sya-
fei) dan dua personil UPK (Murando / Ketua dan Agus /Bendahara); melakukan kunjungan ke pekon tsb atas informasi bahwa di pekon ini terdapat hasil kegiatan PNPM MPd—berupa mesin pembangkit listrik—yang hingga kini bermanfaat dan terkelola baik. Lagi-lagi soal pemeliharaan aset hibah PNPM jelas menjadi hal menarik untuk ditelusuri. Jalanan ke Pekon Tanjung Jati dari tempat menginap kami di Kecamatan Pesisir Utara mengasyikkan; menyusuri jalanan sepanjang pantai diiringi deburan ombaknya yang indah penuh pesona di tepian laut. Kontur jalan yang dinamis (kadang naik-turun dan meliuk-liuk) mengantarkan kami melawati ruas-ruas jalan yang berbatas langsung ke pantai; atau menaiki bukit; atau melintasi barisan perkampungan dan persawahan hijau nan asri. Udara di sini terasa segar sekali. Setelah perjalanan lebih /kurang 1 jam, kami pun akhirnya tiba di Pekon Tanjung Jati. Mobil kami langsung mengarah ke tempat pertemuan di balai pekon tsb. Sejenak sebelum keluar dari kendaraan; nampak sekelompok warga telah berkumpul dengan rona wajahnya terlihat bosan menunggu—maklum, kami datang terlambat sebab sebelumnya lebih dulu melakukan supervisi kegiatan ke Kantor
UPK Lemong. Tapi, suasana menjadi cair segera setelah kami menemui mereka. Permohonan maaf kami atas keterlambatan menjadi kata pengantar yang membuka acara dialog bersama warga Pekon Tanjung Jati saat itu. Sementara, permakluman dan keramahan warga berikutnya mengubah suasana pertemuan menjadi diskusi yang interaktif dan hangat. Dikonfirmasi perihal aset hibah PNPM yang hingga saat ini terkelola dan dimanfaatkan warga, sontak mereka menjawab, “Jelas ada pak! Kami sampai hari ini punya PLTD bantuan PNPM sejak tahun 2010!” ujarnya. Respon yang diutarakan itu terdengar penuh antusiasme dan mantap. Peratin (Kades) Pekon Tanjung Jati, Satya Irawan, dalam diskusi yang berlangsung ikut menjelaskan, “Desa kami sebelumnya adalah desa yang selama berpuluh tahun tidak menikmati listrik; gelap gulita!” ujarnya, “Itulah keadaan kami sejak negara ini merdeka tahun 1945”. Maka, lanjut Satya, mendapatkan akses listrik menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh warga di sini. Selama ini kebutuhan penerangan dan listrik warga dipenuhi sendirisendiri melalui tenaga accu; jenset; atau minyak. “Yang repot kalau ada warga kami
E– Bulletin Info Mandiri: Edisi I /No. 3 /Tahun I /Februari 2014
yang hajatan”, tutur Satya, “Biaya sewa dan operasional mesin jenset-nya yang besar karena ditanggung sendiri menjadi sangat berat”. Atas kebutuhan tsb, ia bersama masyarakat Pekon Tanjung Jati—seiring masuknya program PNPM MPd ke Lemong pada tahun 2007—telah berupaya untuk selalu mengusulkan pengadaan mesin pembangkit listrik (diesel) ke PNPM; namun, selama itu pula usulan pekonnya kerap kali kandas. Akmar, Sekretaris Pekon, mengatakan, “Kami ini setengahnya sudah pesimis dan pasrah; karena desa kami mengajukan usulan mesin pembangkit listrik berkali-kali tidak lolos rangking terdanai PNPM”, kata-
nya, “Tapi, harapan baru menjadi kenyataan di tahun 2010; usulan kami masuk rangking dan terdanai BLM PNPM. Maka, sejak itu kami mendapatkan mesinnya (2 unit) dan desa kami mulai terangbenderang”, ungkap Akmar bangga. Dan justru penantian panjang masyarakat Pekon Tanjung Jati akan mesin tsb menorehkan kisah sejarah tersendiri. Itulah mengapa ketika usulan mereka akhirnya masuk rangking prioritas dan terdanai BLM PNPM MPd 2010; warga kemudian bersepakat menamai Unit Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) PNPM di pekonnya sebagai ‘PLTD MUJOR TEPOR’. Bagi warga, keunikan
Dok. KIE Lpg /2014
nama ‘mujor tepor’ bermakna khusus. “Mujor tepor itu dalam bahasa kami berarti ‘untung-untung dapat’. Nah, penamaan itu sengaja kami pilih agar kami selalu mengingat sejarah perjuangannya”, terang Perantin Satya, “Dari semula kecil hati dan pesimis menggantungkan harapan ke PNPM; tapi akhirnya kami dapat juga, alhamdulillah!”, tukasnya disambut tawa yang berderai-derai dari kami yang memadati balai pekon. Setelah mesin terealisasi; kehebatan PLTD Mujor Tepor justru terletak di teknis pengelolaannya. Sadar akan kebutuhan listrik jangka panjang; perantin bersama warganya berembuk tentang manajamen PLTD. Untuk itu dibentuklah tim khusus yang diserahi tugas mengelola / memelihara Unit PLTD Mujor Tepor, yang terdiri dari Petugas Pembukuan (Ahmad Darsan); Petugas Teknik (Fathurahman); Petugas Operator Mesin (Efendi); dan Petugas Eksekutor (Barnazi dan Edwin). Kesepakatan hasil rembuk warga kemudian diproses menjadi Peraturan Pekon Tanjung Jati; dan dinyatakan diundangkan per Tanggal 29 Juni 2013. Juga dikeluarkan Surat Perintah Peratin Tanjung Jati Nomor: P /Sprint /01 /V.12.10 /2013 yang memerintahkan dua orang warganya: Barnazi dan Edwin, selaku eksekutor yang bertugas memutus listrik warga penunggak dan melaporkan hasil pekerjaannya langsung ke peratin. Mantap! [] Red.
IMAM /IAN: KOMITMEN MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT
D
i sela-sela kegiatan supervisi ke Kecamatan Lemong, tentu menjadi penting menelisik motif dan suasana batin rekan-rekan fasilitator kita di lapangan. Dalam program, FK /FT merupakan elemen pokok yang menjadi motor penggerak kegiatan, alias para ‘jenderal lapangan’ penentu capaian-capaian program. Di Lemong, mereka adalah Imam Syafei (FK) dan Arief Ade Yandri (FT). Mengomentari pekerjaannya, Arief mengatakan, “Sangat menikmati profesi ini. Karena para dasarnya saya orang yang senang bergaul”, tuturnya, “Selain soal ketertarikan untuk selalu ingin tahu sifat masyarakat”. Perihal RKTL program yang padat dan diburu target, menurut Arief, adalah bagian dari resiko profesi. Ia pun betah bertugas di perdesaan dengan masyarakatnya yang guyub dan tidak egois. Lain halnya dengan Imam, Lemong merupakan lokasi tugas pertamanya sebagai FK sejak Juni 2013 lalu. Kesan pertama, “Takut dikasari masyarakat; takut kena tsunami karena tinggal di pesisir pantai; tapi nyatanya aman-aman saja”, kenang imam. Sekarang ia mulai menikmati pekerjaannya. Terpenting bagi Arief dan Imam; menjadi fasilitator bukan hanya sekedar bekerja, tapi juga soal komitmen memberdayakan masyarakat! [] Red.
Dok. KIE Lpg /2014
E– Bulletin Info Mandiri: Edisi I /No. 3 /Tahun I /Februari 2014
SPESIALIS INFRA: NASRULLAH Dok. KIE Lpg /2014
atau pengadaan yang tidak ketat diawasi fasilitator via checker. Meski paling banyak diusulkan onderlagh; usulan tsb secara umum banyak kelemahan terutama di bahu jalan dan parit saluran (tidak dibayar /swadaya); di perkerasannya masalah biasanya di batu pengunci gak cukup; hingga hasil akhirnya gak rapet. Bangunan gedung bagus; kendala justru dipemeliharaan, kecuali air bersih karena langsung diperlukan pemanfaat dan ada orang yang bertugas memelihara. Contoh pengelolaan air bersih yang berhasil seperti di Kecamatan Tanjungsari, Lamsel, dan Kecamatan Jabung, Lamtim, dengan pengelolaan berbasis meteran. Jenis-jenis pelatihan apa saja yang telah difasilitasi terkait pemeliharaan infrastruktur?
M
enyela kegiatan ditengah kesibukan rutin pekerjaan seharihari di kantor, kami sempatkan waktu mengobrol santai perihal peran / tupoksi Spesialis Infrastruktur, Nasrullah, di PNPM MPd RMC-2 Provinsi Lampung. Meski tengah menghadapi setumpuk kertas -kertas tugas yang memenuhi meja kerjanya, ia tetap semangat dan tangkas menjelaskan amanah profesinya. Bagaimana kualitas perencanaan; pelaksanaan; dan pemeliharaan infrastruktur yang telah dibangun PNPM MPd secara umum hingga saat ini? Perencanaan; pelaksanaan standar aja. Kalaupun yang agak lebih itu dipekerjaan gedung dan air bersih. Yang agak dibawah standar—meski tidak seluruhnya—itu pekerjaan onderlagh dan di beberapa titik lapen. Karena kalo pekerjaan lapen melibatkan tenaga kerja dengan keahlian khusus dan tidak banyak menyerap tenaga kerja. Masalah kualitas jalan onderlagh, biasanya saat pembentukan badan jalan yang dilakukan gotong-royong badan jalannya sudah lebih dulu hancur karena dilewati kendaraan yang tidak bisa distop;
Pelatihan tim pemelihara; In Service Training /IST TPK yang memuat topik tsb; dan pelatihan-pelatihan KPMD dengan muatan topik yang sama. Adakah contoh-contoh rancangan dan praktik-praktik yang baik dalam bidang perencanaan; pelaksanaan; dan manajemen infrastruktur? Contoh baik tadi seperti air bersih; gedung. Ada juga contoh jalan yang pemeliharaannya baik seperti di Kecamatan Tanjung Bintang sejak 2007, Desa Jatisari. Di desa-desa PNPM MPd telah tersedia sumberdaya kader teknik; seperti apa kualitas mereka? Secara pengamatan provinsi kualitas belum nampak. Tapi ada beberapa kabupaten /kecamatan /desa yang sudah cukup baik, misal di Lampung Tengah di Kecamatan Rumbia, Lampung Selatan di Kecamatan Tanjung Bintang dan Rajabasa, Pesawaran di Kecamatan Padang cermin. Kemampuannya menyusun desain dan RAB sederhana misalnya terutama untuk jalan dan gedung, bangunan pelengkap seperti TPT
dan gorong-gorong. Gedung pun belum seluruhnya, baru pada fondasi, dinding atau bangunan bawah. Tingkat kerumitannya bagi mereka adalah pada penghitungan matematik /geometri, seperti menghitung sudut, misal untuk kuda-kuda dan atap, itu masih agak sulit dikuasai. Yang umumnya sudah dikuasai mereka adalah bangunan jalan, dari ‘A’ sampai ‘Z’, seperti survei antar patok; mandays; menghitung volume dan HOK, mereka sudah bisa. Materi dan kebutuhan apa saja yang perlu dikembangkan dalam pelatihan teknis? Praktek lapangan. Misal praktek beton, soal komposisi adukan semen. Untuk memahami itu kader teknis desa akan lebih mudah. Nah, terkait itu akan coba dipraktekkan di Kecamatan Pulau Pisang, Pesisir Barat, pasir split disana akan diuji untuk mengukur mutu betonnya. [] Red.
E– Bulletin Info Mandiri: Edisi I /No. 3 /Tahun I /Februari 2014
Dok. KIE Lpg /2014 Dok. KIE Lpg /2014 Dok. KIE Lpg /2014
Dok. KIE Lpg /2014
Dok. KIE Lpg /2014
Dok. KIE Lpg /2014
Dok. KIE Lpg /2014
Dok. KIE Lpg /2014
Dok. KIE Lpg /2014
Dok. KIE Lpg /2014 Dok. KIE Lpg /2014
Dok. KIE Lpg /2014