HAK ATAS PELAYANAN DAN PERLINDUNGAN KESEHATAN IBU DAN ANAK (Implementasi Kebijakan Di Kabupaten Banyumas) Tedi Sudrajat dan Agus Mardianto Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto E-mail :
[email protected] Abstract Design of services and health protection for mothers and children in Banyumas directed by a strategic policy to reducing Maternal Mortality Rate (MMR) and Infant Mortality Rate (IMR). In its implementation, especially in Maternal Mortality, the policies were still exceeded the target of Millennium Development Goals (MDGs). In the term of legal protection, the policy not mention the sanction and it’s influence the implementation that not optimal. But if there are omissions or errors that indicated malpractice will be subject by criminal, civil, administrative and ethics sanctions. Key words: health service, legal protection, maternal and child health Abstrak Desain pelayanan dan perlindungan kesehatan bagi ibu dan anak di Kabupaten Banyumas diarahkan melalui kebijakan strategis dalam rangka menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Anak (AKA). Dalam realisasinya, kebijakan yang diterapkan, khususnya kematian ibu di Kabupaten Banyumas masih melampaui target capaian Millenium Development Goals (MDgs). Adapun dalam aspek perlindungan hukumnya, belum diatur dalam kebijakan sehingga berdampak pada pelaksanaan kebijakan yang belum optimal. Namun jika ada kelalaian atau kesalahan yang terindikasi malpraktik akan dapat dikenakan sanksi pidana, perdata, administrasi maupun etika. Kata kunci : pelayanan kesehatan, perlindungan hukum, kesehatan ibu dan anak
Pendahuluan Pembangunan di bidang kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional di arahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dalam perkembangannya, telah terjadi perubahan orientasi, baik tata nilai maupun pemikiran terutama mengenai upaya pemecahan masalah dibidang kesehatan. Perubahan orientasi tersebut kemudian mempengaruhi sistem kesehatan nasional melalui penerapan prinsip yang menyeluruh ”holistic”, terpadu ”unity”, merata ”evenly”, dapat di terima ”acceptable” dan terjangkau diterima ”acceptable” dan terjangkau ”achievable” oleh
masyarakat.1 Salah satu bentuk perubahan sistem di bidang kesehatan yang berkembang dewasa ini adalah mengenai sistem pelayanan dan perlindungan kesehatan bagi ibu dan anak. Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan bagi ibu dan anak di Indonesia merupakan hak dasar sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28 H UUD 1945 menyebutkan bahwa ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya, Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan ”Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
1
Artikel ini merupakan intisari hasil penelitian yang di danai oleh DIPA UNSOED Berdasarkan Surat Perjanjian Jasa Penelitian Tahun Anggaran 2011 Nomor: 1583/H23. 9/PN/2011 tanggal 31 Maret 2011
Rusmin Tumanggor, “Masalah-Masalah Sosial Budaya Dalam Pembangunan Kesehatan di Indonesia”, Jurnal Masyarakat dan Budaya Jakarta, Vol 12 No. 2 2010, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, hlm. 223
262 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 2 Mei 2012
yang layak”. Pencantuman hak terhadap pelayanan kesehatan tersebut, tidak lain bertujuan untuk menjamin hak-hak kesehatan yang fundamental seperti tertuang dalam Declaration of Human Right 1948, bahwa health is a fundamental human right. Selain itu, terdapat juga serangkaian Konvensi Internasional yang ditandatangani Pemerintah Indonesia, yaitu UndangUndang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, kesepakatan Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Mesir, tahun 1994, dan Konferensi Dunia keempat tentang Perempuan di Beijing tahun 1995. Adapun mengenai pembangunan kesehatan nasional diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Secara spesifik, pemerintah mengatur hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan bagi ibu dan anak di dalam Pasal 126 dan Pasal 131 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Adapun dalam desain pelaksanaannya, hak tersebut diarahkan melalui kebijakan strategi dan aktivitas untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Anak (AKA), antara lain melalui peningkatan program upaya kesehatan perorangan, program upaya kesehatan masyarakat, program pencegahan dan pemberantasan penyakit dan program promosi kesehatan. Mencermati hal di atas, pemantapan sistem kesehatan dimaksudkan untuk menjamin akses terhadap intervensi yang cost effective berdasarkan bukti ilmiah yang berkualitas, memberdayakan wanita, keluarga dan masyarakat melalui kegiatan yang mempromosikan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dan menjamin agar kesehatan maternal dan neonatal dipromosikan dan dilestarikan sebagai prioritas program pembangunan nasional. Hal ini bermakna bahwa dalam mempromosikan kesehatan diperlukan pemahaman dan analisis kebutuhan yang tepat sasaran, sehingga nantinya akan mempengaruhi kebijakan sosial dan ke-
bijakan kesehatan.2 Bentuk kebijakan inilah yang akan mengantar pada paradigma healthy public policy dalam format otonomi daerah. Permasalahan Ada dua permasalahan yang hendak dibahas dalam artikel/hasil penelitian ini. Pertama, mengenai implementasi kebijakan atas pelayanan kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Banyumas; dan kedua mengenai bentuk perlindungan hukum atas implementasi kebijakan pelayanan kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Banyumas. Metode Penelitian Tulisan ini didasarkan pada kajian medikolegal (medicolegal study) yaitu suatu kajian terhadap permasalahan berkaitan dengan ilmu kesehatan melalui hukum positif yang berlaku. Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis sosiologis (socio legal research) melalui pendekatan kualitatif dan dianalisis dengan model content analysis dan comparative analysis. Pencarian data primer dilakukan dengan wawancara yang ditujukan pada informan dengan menggunakan model in depth interview. Selain itu digunakan metode kepustakaan dan dokumenter dalam pencarian data sekunder. Keabsahan data diperoleh dengan menggunakan model triangulasi sumber. Secara teknis, informan sasaran ditentukan melalui purposive sampling yang meliputi Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan, Kepala Seksi Kesehatan Ibu dan Anak, Kepala Bidang Program Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas dan 2 (dua) orang petugas Puskesmas, khusus di bagian Kesehatan Ibu dan Anak. Pembahasan Implementasi Kebijakan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Banyumas Pembangunan kesehatan di tingkat daerah didasarkan pada kebijakan yang secara hierarkis mengacu pada peraturan perundang-un2
Oedojo Soedirham, “Promosi Kesehatan Sebagai Kebijakan Sosial”, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Vol 10 No. 3 Juli 2007, hlm. 273
Hak Atas Pelayanan dan Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan di Kabupaten Banyumas) 263
dangan dan diimplementasikan dalam bentuk program kerja. Di tingkat daerah, bidang kesehatan merupakan salah satu urusan wajib yang harus dilaksanakan. Penyelenggaraan urusan wajib merupakan perwujudan otonomi yang pada intinya adalah pengakuan/pemberian hak dan kewenangan.3 Kebijakan tersebut diperlukan dalam rangka memberikan wewenang yang luas guna menciptakan efektivitas Pemerintah Daerah dalam melayani kepentingan masyarakat setempat. Oleh karena itulah, Dinas Kesehatan sebagai bagian dari instansi daerah diharuskan untuk melakukan upaya untuk lebih meningkatkan dukungan eksekutif dan legislatif agar program kesehatan ibu dan anak menjadi program prioritas.4 Hubungannya dengan desentralisasi kesehatan, dalam lampiran Kepmenkes Nomor: 004/ MENKES/SK/I/2003 ditegaskan bahwa tujuan desentralisasi di bidang kesehatan adalah mewujudkan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang berlandaskan prakarsa dan aspirasi masyarakat dengan cara memberdayakan, menghimpun, dan mengoptimalkan potensi daerah untuk kepentingan daerah dan prioritas nasional dalam mencapai Indonesia Sehat. Salah satu kebijakan yang didesentralisasi adalah kebijakan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Tujuan program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah meningkatkan kemandirian keluarga dalam memelihara kesehatan ibu dan anak. Dalam keluarga, ibu dan anak merupakan kelompok yang paling rentan dan peka, terhadap berbagai masalah kesehatan, seperti kejadian kesakitan (morbiditas) dan gangguan gizi (malnutrisi), yang seringkali berakhir dengan kecacatan (disability) atau kematian (mortalitas).
3
4
Ratih Ariningrum, NK Aryastatmi, “Studi Kualitatif Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Setelah Penerapan KW-SPM Di Kabupaten Badung, Tanah Datar, Dan Kota Kupang”, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan Dan Pemberdayaan Masyarakat, Vol 11 No. 1 Januari 2008, hlm. 33 Suci Wulansari, Sugeng Rahanto dan Umi Muzakiroh, “Studi Pelaksanaan Kerja Sama Lintas Sektor Dalam Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak”, Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta, Vol 18 No. 2 2008, hlm. 95
Mendasarkan pada hal tersebut di atas, dan dihubungkan dengan masalah penelitian, maka terdapat 3 (tiga) indikator yang telah di rumuskan dalam kebijakan yang termaktub dalam bentuk program kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, yang meliputi Kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak; Kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak; dan Kebijakan peningkatan pemberian ASI eksklusif dan perbaikan gizi (ibu dan anak). Implementasi kebijakan mengenai penurunan angka kematian ibu dan anak disajikan dalam matriks di bawah ini. Matriks 1. Kebijakan penurunan angka kematian ibu dan anak. Rencana Kebijakan Pemda/ Dinkes Perencana an persalinan & penurunan angka kematian ibu
Menurunkan angka tempat bersalin di rumah bagi ibu hamil
Realisasi Kebijakan
Hasil Kebijakan
Memberikan pelayanan secara promotif, preventif dan kuratif. Dari aspek promotif dilakukan kegiatan be rupa penyuluhan kehamilan sehat, penyuluhan persalinan aman. Aspek preventif berupa pencegahan penyakit-penyakit menular, pemberian kap sul vit. A untuk mengatasi gangguan pada saat melahirkan anak, pemberian kapsul yodium guna mengantisipasi gangguan kekurangan gizi (seperti di Desa Kedung Banteng). Adapun untuk ibu hamil, khususnya untuk gangguan anemia diberikan tablet tambah darah, dan di lakukan secara intensif pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali selama kehamilan. Aspek kuratifnya berupa pertolongan persalinan dan penatalaksanaan komplikasi. Melakukan sosialisasi & perbandingan keuntungan dan kerugian persalinan di rumah dengan di sarana kesehatan serta mempromosikan kegiatan sayang ibu di tempat layanan tenaga kesehatan pemerintah ataupun swasta
Pada dasarnya, angka kematian dalam persalinan & kematian ibu yang ingin dicapai Kab. Banyumas adalah kurang dari 100 per 100.000 kelahiran hidup, bah kan target Jawa Tengah kurang dari 60/ 100.000 kelahiran hi dup. Namun di Kab. Banyumas terdapat 35 kasus kematian ibu yaitu 123,9/100. 000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu tersebut masih dikategorikan tinggi. Ter dapat faktor yang mempengaruhi yaitu 3T, keterlambatan mendatangkan pertolongan dari tenaga pelayan kesehatan, terlambat karena da erah geografis yang jauh (ex:dari daerah Lumbir dan Gumelar terlambat mencapai fasilitas kesehatan), terlambat mengambil keputusan. Tahun 2010, jumlah persalinan DT di Kab Banyumas 209 (0,72) dan jumlah persalinan DTT 12 (0,04). Walaupun demikian, kematian ibu masih tinggi dan persalinan oleh tenaga kesehatan masih belum me menuhi target 100%
264 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 2 Mei 2012
Pemeriksa an kesehatan ibu ha mil
Pelayanan kesehatan bagi bayi baru lahir
Pemeriksaan kehamilan dilakukan secara ru tin dan intensif serta melakukan sosialisasi akan perencanaan kelahiran dengan pertolongan bidan atau dok ter di fasilitas kesehatan
Cegah infeksi kuman pada bayi begitu bayi lahir, jaga kebersihan selama persalinan, pemberian vitamin & imunisasi pada bayi, pemberian ASI eksklusif
karena baru 98,17% (28.608). Faktornya karena kepercayaan dan kebiasaan terhadap tenaga non kesehatan, takut per salinan dengan biaya yang masih mahal. Karena itu masyarakat cenderung ber salin di dukun dan khawatir bersalin di rumah sakit atau pus kesmas. Program ini memberikan manfaat karena pemeriksaan Ibu hamil/keluarga dapat mengetahui kondisi kesehatan bagi ibu dan bayi sebelum proses kelahiran, penanganan dila kukan pihak yang profesional diharapkan mampu memberikan rasa nyaman pada ibu hamil/kelu arga Namun permasalahan terjadi tatkala masyarakat masih belum memahami arti penting dari tenaga kesehatan, ketika diperiksa dengan pelayan non medis, aspek keseha tannya belum tersen tuh secara detail & kemudian menimbul kan dampak kesehat an bagi ibu dan bayi nya. Tahun 2010, bayi lahir mati di Kab. Banyumas adalah 123 bayi dari 28.373 kelahiran. Angka Kema tian Bayi (AKB) sebesar 23/1000 Kelahiran Hidup (KH). Untuk target RPJMD Jawa Tengah 9,8/ 1000 KH. Sedangkan capaian kinerja Kab Banyumas sebesar 8, 07/1000 KH dimana capaian kinerja Nasi onal 23/1000 KH, Ja teng 10,37/1000 KH, sehingga Banyumas termasuk kategori Berhasil. Walaupun target angka yang di harapkan telah tercapai, namun hal ini masih dianggap rentan dalam pemberian pelayanan kesehatan dan perlu untuk dievaluasi.
Matriks 2. Kebijakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. Rencana Kebijakan Pemda/Dinkes Peningkatan pe layanan kesehat an ibu dan anak melalui pelayanan K-4.
Realisasi Kebijakan
Hasil Kebijakan
Ibu hamil lebih intensif mendapat pelayanan K-4, standar pelayanan minimal untuk cakupan kunjungan ibu hamil
Kegiatan-kegiatan dalam rangka pela yanan K-4 ibu hamil sudah dilaksanakan melalui Pus kesmas dan didistribusikan melalui polindes. Data terhimpun di Dinas Ke sehatan sebesar 100%. Hal ini diang gap berhasil. Pengembangan Polindes) menjadi Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) di desa-desa dan dilakukannya sosialisasi persalinan sehat dan aman. Dalam realisasinya, tenaga kesehatan masih belum mencapai target 100% karena baru 98,17% (28. 608). Program ini belum merata dilaksanakan di setiap desa, khususnya untuk daerah yang secara geografis su lit dijangkau (ex. Gumelar). Selain itu masih diperlu kan fasilitas kendaraan untuk rujukan ke Rumah Sakit karena banyak kasus kematian ibu dan anak dikarenakan terlambat merujuk karena terbatasnya fasilitas. Terjadi kenaikan Pasangan Usia Subur (PUS) dan peningkatan program peserta KB baru. Namun ini tidak berarti bahwa kebi jakan ini berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan paradigma lama “banyak anak banyak rejeki” tetap diper caya oleh masyarakat. Pada dasarnya, ter dapat peningkatan jumlah kunjungan baru pada Puskesmas, peningkatan kunjungan rawat ja
Pertolongan ibu hamil dan bayi oleh tenaga kesehatan (Nakes)
Dilakukannya upaya penurunan kom plikasi dan pertolo ngan dini pada ibu maternal dan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan
Kebijakan pelayanan Keluarga Berencana
Mengatur jumlah kelahiran/ menjarangkan kelahiran, suami/istri lebih diprioritaskan.
Peningkatan pelayanan kesehatan Puskesmas, Rumah Sakit sebagai rujukan
Meningkat jumlah kunjungan baru pa sien, target kunjungan rawat jalan dan rawat inap
Hak Atas Pelayanan dan Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan di Kabupaten Banyumas) 265
lan, pemanfaatan rawat inap di Kab. Banyumas. Namun hal ini belum terealisir dengan baik karena terkendala fasilitas yang kurang dan kondisi geografis.
Matriks 3. Kebijakan Peningkatan Pemberian ASI eksklusif dan perbaikan gizi (ibu dan anak) di Kabupaten Banyumas. Rencana Kebijakan Pemda/Dinkes Kebijakan pemberian ASI seba gai makanan un tuk bayi
Perencanaan program pengganti air susu ibu
Peningkatan peran tenaga kesehatan dalam pemberian ASI
Perbaikan gizi ibu dan anak
Realisasi Kebijakan
Hasil Kebijakan
Menetapkan pemberian ASI secara eksklusif bagi bayi se jak bayi lahir sampai dengan bayi berumur 6 bulan dianjurkan untuk dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun
Pemahaman ibu hamil tentang manfaat menyusui sejak bayi lahir, bahwa air susu ibu adalah makanan yang paling baik dan tepat untuk partumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi bayi dan anak. Namun hal ini terkendala dengan banyaknya ibu yang turut bekerja (mendapatkan penghasilan tambahan) dan menggantikannya dengan susu instan. Meingkatnya pemahaman ibu tentang makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) dari umur 6-23 bulan
Pengganti air susu ibu adalah produk makanan yang dipasarkan dan dinyatakan sebagai makanan untuk bayi, ma kanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi Peningkatan promosi pemberian ASI eksklusif melalui konsultasi dengan dokter, bi dan, perawat dan tenaga kesehatan lainnya yang berada di Rumah Sakit, Puskesmas dan Posyandu peningkatan pe layanan pembe rian gizi pada anak dan ibu hamil.
Advokasi dan sosialisasi secara luas memberikan manfaat akan pentingnya ASI, penyediaan anggaran im plementasi kegiatan ASI eksklusif melalui APBD, mengadakan pelatihan dan pendidikan formal di bidang advokasi, sosialisasi, dan promosi kesehatan Telah dilakukan pemantauan pemberian gizi pada anak dan ibu hamil, pelayanan gizi dengan pembe-
rian kapsul vitamin A, pemberian tablet besi (Fe) guna mengurangi dampak buruk kekurangan (Fe).
Mencermati tabel matrik di atas, dapat ditarik makna bahwa program yang termaktub dalam kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyumas guna peningkatan kesehatan ibu dan anak didasarkan pada perencanaan yang sebagiannya telah dilaksanakan, namun hasilnya belum sepenuhnya memenuhi target capaian. Jika didialogkan dengan teori Merilee S. Grindle, maka implementasi kebijakan tersebut dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).5 Isi Kebijakan (Content of Policy) Indikator yang digunakan dalam menentukan keberhasilan impelementasi kebijakan mencakup (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) apakah sebuah program sudah tepat, apakah letak program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebut implementornya secara rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai. Apabila didialogkan dengan tabel matrik 1, 2 dan 3, maka dapat ditarik makna bahwa: pertama, isi kebijakan telah mencantumkan kepentingan kelompok sasaran yaitu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, Permenkes RI No. 741/Menkes/ PER/VII/2008, Kepmenkes Nomor 004/MENKES/ SK/X/2003 dan Kepmenkes Nomor 1419/MENKES/SK/X/2003; kedua, isi kebijakan sebagian telah mengidentifikasi jenis manfaat yang di terima oleh ibu dan anak meliputi program penurunan angka kematian ibu dan anak, program peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak, peningkatan pemberian ASI eksklusif dan 5
A.G. Subarsono, 2006, Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori, dan Aplikasi), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 93
266 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 2 Mei 2012
perbaikan gizi. Namun terkait dengan program penurunan kematian ibu, kebijakan tersebut belum dapat terealisir dan belum teridentifikasi manfaatnya. Hal ini tergambarkan dengan terdapatnya 35 kasus kematian ibu yaitu 123,9/ 100.000 kelahiran hidup; dan ketiga, isi kebijakan telah menciptakan perubahan, namun belum sepenuhnya terealisir karena belum terpenuhinya capaian target dalam MDGs. Untuk pemberian ASI eksklusif dan perbaikan gizi serta peningkatan kesehatan anak telah meingkat dan telah mencapai target MDGs. Namun untuk kematian ibu belum memenuhi target MDGs. Hal ini terlihat secara jelas dengan fluktuatifnya jumlah kematian ibu di Kabupaten Banyumas dari tahun ke tahun. Pada 2009 terdapat 147,14/100.000 sedangkan pada 2010 terdapat 123,9/100.000, sedangkan target MDGs adalah 100/100.000 kelahiran hidup; Lingkungan Implementasi (Context of Implementation) Berdasarkan analisis dari isi kebijakan, jenis program yang dilakukan cenderung bermanfaat bagi target sasaran, namun letak program tersebut masih terkonsentrasi di daerah tertentu dan belum mengakomodiir kepentingan masyarakat yang berada di pinggiran dan secara geografis jauh dari Pemerintahan (ex. Gumelar dan Lumbir). Selain itu, program tersebut belum didukung oleh sumberdaya yang memadai. Hal ini dapat dimaknakan bahwa keberhasilan kebijakan atau program juga harus dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah dapat dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa dampak dan dirasionalisasikan dengan lingkungan, kebutuhan dan kemampuan dari pelaksana kebijakan. Bentuk Perlindungan Hukum Atas Implementasi Kebijakan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Banyumas
Secara garis besar, kebijakan dalam bentuk program kerja tahunan di Kabupaten Banyumas didasarkan oleh kewenangan yang didesentralisasikan ke daerah. Hal ini memberikan makna bahwa pembuat kebijakan di daerah adalah pihak eksekutif dengan maksud untuk mensejahterakan masyarakat di wilayahnya. Permasalahannya adalah, pembuat kebijakan tidak melakukan evaluasi pencapaian atas kegiatan yang direncanakan dan yang telah dilaksanakan sehingga cenderung belum memberikan perlindungan hukum secara optimal atas hak kesehatan masyarakat. Tentu saja aturan main seperti ini tidak menjadi fair karena masyarakat hanya dijadikan sebagai obyek pelayanan tanpa mempunyai peranan yang menentukan.6 Karena itulah, kebijakan yang dibentuk cenderung bersifat otonom dan tidak akuntabel, sebab bermuara pada kepentingan sepihak tanpa melibatkan kebutuhan riil dari penggunanya.7 Hakikatnya, pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis diarahkan pada aspek keserasian dan keseimbangan atas penanganan dan dampak yang ditimbulkan. Halhal ini merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan praktik medis untuk mencegah masalah hukum yang timbul dalam kegiatan tersebut. Namun perlu dicermati bahwa tidak selalu berarti bahwa seorang dokter yang gagal dalam suatu tindakan medis atau terapinya yang berakibat negatif (cedera/kematian) dapat dipertanggungjawabkan atau dipersalahkan karena malpraktik medis. Untuk dapat dipertanggungjawabkan sebagai malpraktik harus dibuktikan adanya unsur-unsur kesalahan yang meliputi kesengajaan (malpraktik murni) atau kelalaian dalam menjalankan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam standar protest/pelayanan medis dan Standar Prosedur Operasional.8 Hal ini berarti bahwa 6
7
8
Bambang Wicaksono Triyanto, “Citizen Charter dan Reformasi Birokrasi”, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Vol 8 No. 2 November 2004, Magister Administrasi Publik UGM Yogyakarta, hlm. 34 Lihat Ambar Widaningrum, “Pembangunan Kesehatan; Agenda Yang Tidak serius di Era Otonomi Daerah”, Jurnal Politik dan Manajemen Publik, Vol II (1) Maret 2007, FISIP UGM Yogyakarta, hlm. 243-260 Umi Rozah, “Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Malpraktik Medis”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum Vol 33 No. 3 2004, FH UNDIP, Semarang, hlm. 214-224
Hak Atas Pelayanan dan Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan di Kabupaten Banyumas) 267
perlindungan hukum kesehatan mengandung unsur yang sifatnya ekseptional, artinya dalam menjalankan tugas profesinya dihadapkan pada resiko medis yang tinggi. Oleh karena itu sebelum dinyakan adanya tindakan yang salah, perlu dilakukan pemeriksaaan awal (medical audit).9 Mencermati pernyataan di atas, setiap aktivitas tidak bisa lepas dari hak dan kewajiban yang melekat dalam setiap ketentuannya.10 Seperti halnya, penyelenggaraan kesehatan ibu dan anak, jika dalam praktiknya terdapat permasalahan maka hal tersebut akan menimbulkan perselisihan/konflik dan berimplikasi terhadap penerapan sanksi terhadap pelanggarnya, yang dapat dikaji dari berbagai perspektif, baik dari perspektif hukum pidana, hukum perdata, etika profesi, perlindungan konsumen maupun hukum kesehatan. Berikut penjelasan masingmasing perspektif tersebut. Perspektif Hukum Pidana Tanggung jawab di sini timbul bila dapat dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan dalam hal diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara pengobatan atau perawatan. Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab maka seseorang dapat dikatakan bersalah atau tidak, ditentukan oleh 3 (tiga) faktor yaitu keadaan batin orang yang melakukan hal tersebut, adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan dan tidak adanya alasan pemaaf. Berkaitan dengan kelalaian mencakup dua hal yaitu karena melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.11 Pasal-pasal dalam hukum pidana yang sangat relevan dalam tanggung jawab pidana seorang tenaga medis yang terkait dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak tercantum dalam Pasal 359 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan orang mati; Pasal 360 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan luka berat; 9
10
11
Boedi Santoso Irianto, “Suatu Tinjauan Malpraktik Dalam Hukum Kesehatan”, Jurnal Themis, Vol 2 No. 1 Oktober 2007, FH Universitas Pancasila Jakarta, hlm. 78 Alexandra Indriyanti Dewi, 2008, Etika dan Hukum -, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, hlm 135 Lihat Setya Wahyudi, “Tanggung Jawab Rumah sakit Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No. 3 September 2011, FH UNSOED, hlm. 489-492
Pasal 361 KUHP yaitu karena kesalahannya dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaannya hingga menyebabkan mati atau luka berat maka akan di hukum lebih berat; Pasal 322 KUHP tentang Pelanggaran Rahasia Dokter; dan Pasal 346, 347, 348 KUHP tentang Aborsi. Perspektif Hukum Perdata Tenaga medis dianggap bertanggung jawab jika melakukan hal-hal berupa, pertama, wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata), dalam hal ini pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh seorang tenaga medis adalah memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh pasien; kedua, perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata), dalam hal ini dimaksudkan bahwa perbuatan melawan hukum seorang tenaga medis adalah bertentangan atau tidak sesuai dengan standar profesi, dan pertanggungjawaban dokter ditentukan dari adanya perbuatan melawan hukum tersebut dengan kompensasi ganti kerugian kepada pasien; ketiga, kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (Pasal 1366 KUHPerdata), dalam hal ini tenaga medis dianggap melakukan kelalaian atau kurang hati -hati yang tidak sesuai dengan standar yang ditentukan oleh undang-undang, dan tenaga medis tersebut harus memberikan ganti kerugian kepada pasien apabila pasien mengalami kerugian akibat kelalaian tenaga medis tersebut; dan keempat, melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 1367 ayat 3 KUHPerdata), dalam hal ini dokter harus bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya baik oleh asisten yang bukan dokter, maupun dokter asisten atau perawat dan lain sebagainya berdasarkan tindakan medik tertentu, pertanggungjawaban apabila terjadi kerugian atas diri pasien dengan memberikan ganti rugi yang diberikan oleh dokter atau bawahannya. Berkaitan dengan hal di atas, kompensasi dalam pengertian viktimologi adalah berurusan dengan keseimbangan korban akibat dari perbuatan jahat yang merugikan korban, oleh karena itu dapat disebut kompensasi atas kerugian phisik, moril, harta benda yang diderita korban. Bentuk-bentuk pembayaran kepada korban pada dasarnya dibagi menjadi lima jenis berupa, pertama, ganti kerugian yang berkarakter
268 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 2 Mei 2012
perdata dan diputus dalam proses perdata. Bentuk ganti kerugian semacam ini dikaitkan dengan fakta penderitaan korban atau kerugian korban diakibatkan oleh kejahatan, karena kejahatan semata-mata dipandang sebagai serangan melawan negara bersifat pidana dan kerugian korban dianggap urusan perdata; kedua, ganti kerugian berkarakter perdata dicampur dengan karakter pidana dengan putusan dalam proses pidana sehingga ganti rugi ini dianggap berkarakter perdata; ketiga, denda yang bersifat restitusi sebagai kewajiban keuangan bagi pembuat atas kerugian korban dalam proses pidana disamping pidana lain yang diputus oleh peradilan pidana; keempat, kompensasi atas korban kejahatan akan tetapi korban bukan sebagai pihak penuntut tetapi hanya sebagai pemohon dan jika dikabulkan hanya merupakan bantuan dari negara kepada pemohon; dan kelima, kompensasi terhadap korban sebagai konsekuensi tanggungjawab negara terhadap warganya sehingga pembayaran wajib dari negara dalam hal terjadi kejahatan (the criminal compensation bill), atau pembayaran sebagai tanggungjawab negara, karena negara gagal mencegah kejahatan (the criminal injuries compensation). Perspektif Etik Profesi Berdasarkan Kode Etik, apabila terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh seorang tenaga medis, maka akan diselesaikan melalui lembaga Majelis Kode etik yang akan memutus adanya pelanggaran etik atau tidak dari seorang tenaga medis dengan penggolongan kasus menurut pelanggaran ringan, sedang dan berat. Perspektif Perlindungan Konsumen Tujuan diberlakukannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta kepastian hukum bagi keduanya. Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa hubungan tenaga medis dan pasien dikategorikan sebagai hubungan produsen dan konsumen. Pertanggungjawaban tenaga medis dalam UU No. 8 Tahun 1999 berupa kewajiban tenaga medis untuk memberikan ganti rugi be-
rupa pengembalian uang atau barang yang setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku apabila pasien mengalami kerugian atas tindakan medis yang dilakukan tenaga medis. Perspektif Hukum Kesehatan Pasal 58 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 menentukan bahwa: Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Kemudian Pasal 190, juga menentukan bahwa (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000. 000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Berdasarkan kelima perspektif di atas, perlindungan kepada masyarakat terutama diberikan kepada pihak pasien dan keluarga pasien yang mengalami kerugian, hal tersebut berkaitan dengan perbuatan melawan hukum berupa kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis. Berdasarkan hal tersebut terdapat doktrin yang berlaku dalam Hukum Kesehatan yaitu “Res Ipsa Liquitur” dimana syarat berlakunya doktrin tersebut apabila kejadian yang dialami oleh pasien dan tenaga medis tersebut tidak biasanya terjadi, kerugian
Hak Atas Pelayanan dan Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan di Kabupaten Banyumas) 269
tersebut tidak ditimbulkan oleh pihak ketiga, dan bukan kesalahan korban. Konsekuensi dari doktrin ini dalam Hukum Kesehatan yaitu ada pembebanan kepada tenaga medis mengenai proses pembuktian bagaimana terjadinya kelalaian tersebut sesuai standar yang digunakan didalam melakukan tindakan medis terhadap pasien. Berkaitan dengan hal tersebut, doktrin ini memiliki beban pertanggungjawaban mutlak terhadap tenaga medis yang dinyatakan bersalah.12 Penutup Simpulan Pada dasarnya, program pelayanan kesehatan di Kabupaten Banyumas telah ditetapkan menjadi program prioritas daerah, namun dalam implementasinya masih belum memenuhi sasaran. Faktor yang mempengaruhi berupa kurangnya sarana prasarana penunjang kesehatan, cara pandang masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, kurangnya koordinasi antarsektor kesehatan dan kendala geografis. Karena itu, perencana kebijakan di daerah harus dapat mempertimbangkan aspek kebutuhan saranaprasarana riil dari masyarakat. Saran Mendasarkan pada hal diatas, maka untuk dapat mengatur tata cara dan standar penerapan kebijakan di bidang kesehatan, khususnya di Kabupaten Banyumas maka seharusnya dibentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati yang mengatur pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Banyumas. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan yang diterapkan memiliki payung hukum sehingga tercipta fungsi pelayanan kesehatan yang terarah dan mendasarkan pada kepentingan serta kebutuhan masyarakat di Banyumas. Daftar Pustaka Ariningrum, Ratih, NK Aryastatmi. “Studi Kualitatif Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Setelah Penerapan KW-SPM Di Kabupaten Badung, Tanah Datar, Dan Kota Kupang”. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Pusat Humaniora Kebi-
12
Alexandra Indriyanti Dewi, op.cit, hlm 198-204
jakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Vol. 11 No. 1 Januari 2008; Dewi, Alexandra Indriyanti. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta:Pustaka Book Publisher; Irianto, Boedi Santoso. “Suatu Tinjauan Malpraktik Dalam Hukum Kesehatan”. Jurnal Themis, Vol 2 No. 1 Oktober 2007 Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jakarta; Rozah, Umi. “Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Malpraktik Medis”. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol 33 No. 3 2004. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang; Soedirham, Oedojo. “Promosi Kesehatan Sebagai Kebijakan Sosial”. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Vol 10 No. Juli 2007 Subarsono, AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik (Konsep. Teori. dan Aplikasi), Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Triyanto, Bambang Wicaksono. “Citizen Charter dan Reformasi Birokrasi”. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Vol 8 No. 2 November 2004. Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta; Tumanggor, Rusmin. “Masalah-Masalah Sosial Budaya Dalam Pembangunan Kesehatan di Indonesia”. Jurnal Masyarakat dan Budaya Vol 12 No. 2 2010. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Jakarta; Wahyudi, Setya. “Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya”. Jurnal Dinamika Hukum Vol 11 No. 3 September 2011. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; Wulansari, Suci; Sugeng Rahanto dan Umi Muzakiroh. “Studi Pelaksanaan Kerja Sama Lintas Sektor dalam Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak”, Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 18 No. 2 2008. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta.