HAK ASASI MANUSIA I. Pengertian HAM
Di negara-negara barat, seperti di kerajaan Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat, hak asasi manusia timbul sebagai akibat berlakunya absotutisme. Di Indonesia penjajahan yang.diatami juga ikut mempengaruhi perlunya jaminan terhadap HAM. Disamping itu, usaha untuk memperoleh jaminan pengakuan akan adanya HAM, juga muncul datam upaya mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang pihak yang berkuasa, baik dalam negara maupun dalam masyarakat. HAM yang berlandaskan Pancasila, mempunyai arti dan makna pada manusia sebagai person yang secara kodrati diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Pencipta dengan dikaruniai derajat, harkat dan martabat yang sama bagi siapapun, sedemikian rupa sehingga tanpa kecuali, manusia sebagai persona memiliki hak dan kewajiban yang sama. Menurut pandangan ontologik Pancasila, manusia adalah makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial, makhluk jasmani sekaligus makhluk rohani, yang oleh Prof. Notonagoro disebut sebagai manusia monopluralis. II. Karakteristik HAM
Baik hak dasar maupun hak yang timbul sebagai akibat perkerbangan kehidupan dalam masyarakat dapat dikelompokkan dalam: 1) Hak hidup, 2). Hak untuk hidup tanpa ada perasaan takut dilukai atau dibunuh oleh orang lain, 3) Hak kebebasan, 4) Hak untuk bebas, hak untuk memiliki agama/kepercayaan, hak untuk memperoleh informasi, hak menyatakan pendapat, hak berserikat dsb., 5) Hak pemilikan. Sedangkan menurut Deklarasi HAM PBB, hak-hak dasar manusia seperti hak untuk hidup, tidak menjadi budak, tidak disiksa dan tidak ditahan, dipersamakan dimuka hukum (equality before the law), mendapatkan praduga tidak bersalah, hak nasionalitas, pemilikan, pemikiran, agama, pendidikan, pekerjaan dan kehidupan berbudaya. III. Hubungan HAM dalam Hukum
Umumnya para pakar HAM berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti dengan Lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Berbarengan dengan peristiwa itu timbullah adagium yang intinya bahwa manusia sama di muka hukum (equity before the law). Adagium ini selanjutnya memperkuat dorongan timbulnya supremasi negara hukum dan demokrasi. Untuk mewujudkan asas persamaan itu maka lahirlah teori "kontrak sosial" J.J. Rosseau. Setelah itu kemudian disusul oleh Montesquieu dengan doktrin trias politiknya yang terkenal yang mengajarkan pemisahan kekuasaan untuk mencegah tirani. Selanjutnya John Locka di Inggris dan Tomas Jefferson di Amerika Serikat dengan gagasan tentang hak-hak dasar kebebasan dan persamaan. Sejak inilah di Amerika Serikat mulai
dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah masuk akal bila sesudah lahir ia harus dibelenggu. Pada tahun 1789 lahir the French Declaration, dimana kemudian menghasilkan dasar-dasar negara hukum atau The Rule of Law. Dalam dasar-dasar ini antara lain dinyatakan bahwa tidak boleh terjadi penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah atau ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Di dalamnya dinyatakan pula asas presumption of innocence, yaitu bahwa orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menyatakan ia bersalah. Selanjutnya dipertegas juga dengan asas freedom of expresion (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of relegion (kebebasan menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), The Right of Property (perlindungan hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Sejalan dengan pemikiran ini maka PBB memprakarsai berdirinya sebuah Komisi HAM untuk pertama kali yang diberi nama ‘Commision on Human Rights’ pada tahun 1946, komisi inilah yang kemudian menerapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial, di samping hak-hak politis yaitu: 1) hak hidup, kebebasan dan keamanan pribadi (Pasal 3) 2) larangan perbudakan (Pasal 4) 3) larangan penganiayakan (Pasal 5) 4) larangan penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang (Pasal 9) 5) hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur (Pasal 10) 6) hak atas kebebasan bergerak (Pasal 13) 7) hak atas harta dan benda (Pasal 17) 8) hak atas kebebasan berpikir, menyuarakan hati nurani dan beragama (Pasal 18) 9) hak atas mengemukakan pendapat dan mencurahkan pikiran (Pasal 19) 10) hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat (Pasal 20) 11) hak untuk turut serta dalam pemerintahan (Pasal 21) Deklarasi sedunia ini juga menyebutkan beberapa hak sosial dan ekonomi yang penting: 1) hak atas pekerjaan (Pasal 23) 2) hak atas taraf hidup yang layak, termasuk makanan, pakaian, perumahan dan kesehatan (Pasal 25) 3) hak atas pendidikan (Pasal 26) 4) hak kebudayaan meliputi hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, ambil bagian dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan hak atas perlindungan kepentingan moral dan material yang timbul dari hasil karya cipta seseorang dalam bidang ilmu, kesusasteraan dan seni (Pasal 27) Deklarasi hak asasi lahir pada tahun 1983 dipelopori oleh negara-negara di kawasan asia, deklarasi ini disebut "Declaration of The Basic Duties of Asia People and Government”. Dektarasi ini lahir dengan penekanan persoalan “kewajiban asasi" bukan lagi "hak asasi", alasannya bahwa kata kewajiban mengandung pengertian keharusan akan pemenuhan, sementara kata hak baru sebatas perjuangan dari pemenuhan hak.
Deklarasi ini secara positif mengukuhkan keharusan imperatif dari negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya. Artinya urusan hak asasi bukan lagi urusan orang perorang, tetapi justru merupakan tugas negara. IV. Penerapan HAM di Indonesia
a. Pengaturan HAM di Indonesia (Sumber: Prof. Dr. Sri Soemantri, SH, Orasi Ilmiah, Universitas Langlang Buana Bandung, 1996) Sejak bangsa Indonesia mendirikan negara telah berlaku beberapa Undang-Undang Dasar, seperti: 1. Undang-Undang Dasar 1945 I antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1949. 2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat antara tahun 1949 sampai dengan tahun 1950. 3. Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 sampai dengan tahun 1959. 4. Undang-Undang Dasar 1945 II antara tahun 1959 sampai sekarang. Menurut penelitian Dr. Rukmana Amanwinata, SH, M.Hum. khusus tentang pelaksanaan kemerdekaan berserikat dan berkumpul (KBB) terjadi pasang surut, dalam arti ada masa dimana KBB dapat berkembang secara leluasa dan ada masa terjadinya pembatasan pembatasan terhadap pelaksanaan KBB tsb. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya berbagai macam faktor yang timbul dan berkembang, seperti sistem politik yang berlaku. Pada waktu berlakunya UUD 1945 I dan berlakunya Konstitusi RIS serta UUDS 1950, HAM dapat berkembang leluasa, seolah-olah tidak ada pembatasan-pembatasan dalam pelaksanaan HAM di Indonesia. Sejak UUD 1945 II, dimunculkan sistem politik yang mengakibatkan terjadinya hambatan dalam pelaksanaan HAM. Dalam kurun waktu ini masih berlaku Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 34 UUD 1945 dengan demikian ada semacam kesenjangan antara ketentuan UUD dan praktek pelaksanaannya. Undang-Undang HAM yang dikeluarkan sampai sekarang dapat dikemukakan: a) Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers b) Undang-Undang tentang Partai Politik dan Golongan Karya c) Undang-Undang tentang Imigrasi d) Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman e) Undang-Undang tentang Pemitihan Umum f) Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Pokok Kepolisian Negara g) Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan h) Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia i) Undang-Undang tentang Perkawinan j) Undang-Undang tentang Hukum Pidana k) Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana l) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
m) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia n) Undang-Undang Nomor l tahun 2000 tentang Pengesahan ILO. Nomor 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak o) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segera Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita p) KEPPRES RI Nomor 129 tentang Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia q) KEPPRES RI Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia r) KEPPRES RI Nomor 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan s) Inpres Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan Perencanaan Program ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan b. HAM dan Supremasi Hukum di Indonesia (Sumber: Prof. Dr. Koento Wibisono
Siswomihardo, Guru Besar Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta) Membicarakan masalah "Supremasi hukum" yang sudah sering kita lakukan dalam berbagai forum atau diskusi memberi isyarat bahwa supremasi itu kini sedang mengalami proses kehancuran. Sudah sejak lama Prof. Sahettapy menyatakan bahwa hukum di negara kita sedang mengalami "pembusukan". Memang orde lama telah memanipulasi hukum untuk kepentingan politik sesaat sang "pemimpin besar revolusi", karena politik di era orde lama merupakan panglima. Orde Baru mengembangkan hukum untuk mendukung pembangunan ekonomi, sedemikian rupa sehingga hukum dimanipulasikan untuk mengembangkan pembangunan yang disana-sini hukum menjadi bersifat represif, melanggar hak-hak asasi masyarakat yang ujung-ujungnya untuk memberi legitimasi apa yang sekarang disebut sebagai KKN dan kroniisme. Hukum menjadi hukumnya penguasa, yaitu penguasa tunggal yang mengatasnamakan dirinya sebagai mandataris MPR dan menjadikan hukum telah kehilangan dimensi etisnya. Kini setelah pembangunan ekonomi mengalami stagnasi yang diawali dengan krisis moneter dan krisis politik, maka dengan ambruknya seluruh bangunan ekonomi yang semula dikatakan mempunyai fundamental yang kuat, menjadi ambruk pula seluruh bangunan politik yang diikuti oleh kondisi yang serba "semrawut". Krisis ekonomi dan krisis politik yang akar-akarnya tertanam di dalam krisis moral dan krisis budaya, menjadikan masyarakat kita kehilangan orientasi nilai, hancur dalam suasana batinnya. Arena kehidupan menjadi hambar, kejam, dan kasar, gersang dalam kemiskinan budaya dan kekeringan spiritual. Nilai-nilai luhur sebagaimana diajarkan oleh para budayawan ataupun oleh agama
diplesetkan menjadi suatu satire, ejekan dan sindiran, dalam suasana kehidupan yang penuh dengan hal-hal yang serba paradoks. Hukum bukan lagi dijadikan sarana untuk membela atau menegakkan kebenaran dan keadilan, melainkan hukum sudah dijadikan komoditi untuk dipertukarkan sebagai alat pembayaran guna membeli hal-hal yang justru untuk menentang kebenaran dan keadilan itu sendiri. Kini masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada lembaga-lembaga penegak hukum yang dianggap sudah kehilangan integritas dan kredibilitasnya sebagai tempat untuk memperoleh kebenaran dan keadilan, sehingga masyarakat secara emosional dan sentimental sering menghakimi sendiri kasus-kasus yang dirasakan sebagai pengganggu atas "rasa kebenaran dan keadilannya". Pembunuhan, pengrusakan, penjarahan, pembakaran, merupakan pelecehan terhadap supremasi hukum dan menggantikannya dengan supremasi massa yang rnenggejala menjadi terorisme sosial. c.
Kelembagaan HAM di Indonesia (Sumber: Prof. Dr. Sri Soemantri. SH, Orasi llmiah, Universitas Langlang Buana Bandung, 1998) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dengan KEPPRES Nomor 50 tahun 1993 bertujuan: a. membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, serta Deklarasi HAM b. Meningkatkan perlindungan HAM guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya Organisasi KOMNAS HAM tersusun sebagai berikut: 1. Komisi Paripurna 2. Sub Komisi yang terdiri dari: a. Sub komisi pendidikan dan penyuluhan masyarakat b. Sub komisi pengkajian instrumen HAM c. Sub Komisi pemantauan pelaksanaan HAM
d. Pelaksanaan HAM dalam Praktek dan Kasusnya
Sejak mulai bekerjanya Komnas HAM Desember 1993 hingga data tahun 1995, yang telah ditangani sebagai berikut: Rincian Pelanggaran HAM periode 1994: 1. Surat masuk/pengaduan 2. telah ditangani 3. Surat yang sedang ditelaah Jumlah
2360 453 1907 2360
Rincian Jenis Kasus: Kasus tanah Kasus perburuhan Kasus perbuatan tdk terpuji oleh oknum aparat negara/pelanggaran HAM Kasus perumahan Kasus di bidang Agama Lain-lain
101 77 65 26 7 67
Jumlah
343
Tahun 1995 Komnas HAM menerima surat 3321 buah dengan rincian: 1. Pelanggaran HAM 1816 2. Tembusan 1295 Jumlah
3321
Dari 1137 kasus yang ditangani terdapat 1096 kasus yang telah diselesaikan. Pelanggaran HAM di bidang pertanahan dan perburuhan tetap menjadi kasus yang dominan.
Bahan Bacaan: 1996. Sri Soemantri, M. Prof. Dr, J.H. Orasi Ilmiah pada Dies Natatis XIV dan Wisuda Sarjana Tahun 1996 di Universitas Langlangbuana, Bandung, Konsep Dasar, Pengaturan dan Aktualisasi Hak Asasi Manusia Menghadapi Abad 21. 2000. PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani. IAIN Jakarta Press.