HAK ASASI MANUSIA DALAM PELAKSANAAN & PELANGGARAN TERHADAP PANCASILA SILA KE-4
Disusun Oleh: Dwi Budi Cahyanto 09.11.3183 Kelompok C S1 TI
Dosen: Tahajuddin Sudibyo
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011
HAK ASASI MANUSIA DALAM PELAKSANAAN & PELANGGARAN TERHADAP PANCASILA SILA KE-4
Abstrak Setiap negara memiliki sistem pemerintahannya masing-masing, memiliki ideologi yang bisa dilaksanakan untuk mencapai tujuan bersama. Indonesia adalah negara penganut sistem demokrasi yang berlandaskan Pancasila. Di dalam Pancasila mengandung ideologi-ideologi bangsa Indonesia. Juga perlindungan terhadap bangsanya, khususnya perlindungan HAM. Pancasila pada sila ke-4 memiliki nilai yang berhubungan erat dengan HAM. Pelaksanaan dan pelanggaran pada sila ini akan berhubungan dengan hak orang lain. Sangat penting untuk melaksanakan nilai-nilai yang terkandung pada sila ini. Namun pelaksanaanya tidaklah mudah, banyak terjadi kecurangan-kecurangan dalam proses pelaksanaan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke-4.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi pancasila, dimana kedaulatan rakyat diakui, sehingga kekuatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dan pelaksanaannya haruslah sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Yang paling menonjol dalam sistem demokrasi adalah berjalannya keadilan dan dijaminnya hakhak asasi manusia. Pemerintah dan rakyat dituntut agar mampu melakasanakan demokrasi yang dilandasi nilai-nilai pancasila, terutama pemerintah yang harus memastikan kebebasan masyarakat dalam berpendapat, beragama, dan bernegara bisa berjalan dengan baik. Ini sesuai dengan nilai pancasila sila ke-4. Agar pelaksanaanya berjalan dengan baik, kita juga harus memiliki tanggung jawab terhadap pendapat yang kita keluarkan. Namun pemerintah sudah sering membungkam opini publik yang menyindir kebobrokan pemerintahan, disisi lain rakyat juga terlalu sering berpendapat tanpa disertai tanggung jawab. Untuk mewujudkan demokrasi yang ideal perlu adanya kerja sama antara pemerintah dan rakyatnya. Tidak bisa saling disalahkan karena masing-masing pihak memiliki perannya masing-masing yang harus dijalankan dan membutuhkan tanggung jawab.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan sila ke-4, yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu: 1. Bagaimana penerapan Pancasila sila ke-4 yang dilakukan dan diterapkan oleh pemerintah Indonesia? 2. Mengapa Pancasila sila ke-empat perlu diterapkan pada kehidupan sehari-hari? 3. sulitkah mengeluarkan pendapat yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku ketika kita mengeluarkan pendapat di muka umum?
C. Pendekatan Makalah ini menggunakan pendekatan sosiologis dimana HAM adalah hal yang sangat mendasar bagi manusia. Kondisi sosial budaya yang mendukung tidak mungkin bisa dikembangkan sebelum ada kesediaan masyarakat untuk menerima Pancasila. pendekatan yang berpandangan bahwa sosialisasi nilai akan berhasil bila didukung oleh lingkungan sosial budaya yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu perlu diciptakan lingkungan sosial budaya yang kondusif bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Dukungan yang ada di lingkungan tersebut amat berpengaruh bagi keberhasilan sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian sosialisasi Pancasila tidak semata-mata melalui pendidikan
tetapi juga harus
pembiasaan pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dari sisi politik, Pancasila merupakan kesepakatan politik yang menjadi titik temu dari berbagai kelompok masyarakat Indonesia sehingga bersedia bersatu untuk mencapai tujuan tertentu. Selain itu Pancasila juga sangat berpengaruh pada suatu pencapaian HAM, hak-hak mendasar manusia yang perlu dijaga agar timbul toleransi dan muncul persatuan diantara perbedaan. Selain pendekatan sosiologis, digunakan juga pendekatan yuridis, karena adanya Undang-Undang yang mengatur tentang hak-hak dasar warga negara seperti hak mendapat pekerjaan yang layak, hak menyampaikan pendapat, dan hak untuk memilih agama yang telah diakui oleh negara.
BAB II PEMBAHASAN
A. Nilai-Nilai dalam Pancasila 1. Nilai Keetuhanan Nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antarumat beragama. 2. Nilai Kemanusiaan Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya. 3. Nilai Persatuan Nilai persatuan indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa indonesia. 4. Nialai Kerakyatan Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan. 5. Nilai Keadilan Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah atauun batiniah. Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional dan eksplisit, perlu
dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental penyelenggaraan negara Indonesia.
B. Pelaksanaan Sila Ke-4 Pelaksanaan sila ke-4 dalam masyarakat pada hakekatnya didasari oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Persatuan Indonesia, dan mendasari serta menjiwai sila Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Hak demokrasi harus selalu diiringi dengan sebuah kesadaran bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan beragama masing-masing, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Pelaksanaan Sila Ke-Empat Dalam Masyarakat: 1. Sebagai warga negara dan masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. 2. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atau golongan. 3. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. 4. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain. 5. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran, dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
C. Pelanggaran Pada Sila Keempat Mustafa Kamal Pasha (2003, hal: 108) dalam bukunya mengatakan bahwa Negara indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum serta sebuah negara yang berdasarkan demokrasi pancasila. Namun dalam pelaksanaannya masih belum maksimal masih terdapat banyak pelanggaran yang dilakukan. 1. Masih terjadi tindak kekerasan oleh satu agama/aliran terhadap agama/aliran yang lain. Oleh karena itu Negara atau pemerintah tidak berhak melarang agama apapun (yang sudah diakui) kecuali agama tersebut mengganggu
ketertiban umum. Kasus pelarangan terhadap aliran agama yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah dan aliran keagamaan yang lain oleh pemerintah menunjukkan hal ini, demikian pula sekelompok umat yang melakukan tindak kekerasan dan pengerusakan tempat-tempat ibadah terhadap agama/aliran lain juga merupakan bukti adanya pelanggaran HAM tersebut. Rumadi mencatat 232 kasus pelanggaran HAM sepanjang Januari hingga November 2008. Kasus pertama dan tertinggi adalah, kekerasan berbasis agama sebanyak 55 kasus. Kedua, penyesatan agama sebanyak 50 kasus. Ketiga, hubungan antarumat beragama sebanyak 29 kasus. Sedangkan bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat 280 kasus. Kasus pertama dan tertinggi adalah, penyesatan agama sebanyak 43 kasus. Kedua, penyerangan fisik dan penganiayaan sebanyak 35 kasus. Ketiga, pembatasan kebebasan berekspresi sebanyak 27 kasus. 2. Kebebasan berpendapat masih sering dibungkam hanya karena dianggap mengancam pemerintahan. Undang-undang memberikan perlindungan kepada setiap warga negara berhak untuk mengemukakan pendapat seperti yang dirumuskan di dalam Pasal 28 UUD 1945, yang bunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”. Namun Kunarto (1999, hal: 113) mengatakan dengan adanya ketentuan tersebut menimbulkan asumsi atau persepsi masyarakat yang lebih luas. sehingga pada zaman reformasi akhirakhir ini terjadinya Unjuk Rasa di mana-mana di seluruh Nusantara, bahkan dalam melakukan aksi nya pun tanpa mengontrol diri, yang akhirnya menuju pada anarki yakni penjarahan, pembakaran, pembunuhan dan pemerkosaan yang akibatnya di rasakan oleh masyarakat itu sendiri. Menurut John Stuartmill, untuk melindungi kebebasan berpendapat sebagai hak dasar adalah ”Sangat Penting Untuk Menemukan Esensi Adanya Suatu Kebenaran”. 3. Kesetaraan martabat dan hak politik mengidentifikasi tentang kesamaan hak politik dari setiap warga negara. Kenyataannya masih banyak terdapat praktek kolusi di Indonesia. Presiden menyatakan kolusi atau campur aduk penguasa merupakan biang kehancuran bangsa dan negara. Pandangan ini serupa dengan dengan apa yang dikatakan Mancur Olson. 4. Banyaknya orang yang tidak menerima dan menghargai pendapat orang lain, seperti yang terjadi pada saat sidang panipurna 2 Maret 2010, banyak anggota
DPR yang tidak setuju dengan pernyataan dari anggota Fraksi Partai Golkar yang juga motor hak angket Century di DPR, Bambang Soesatyo. Ada juga yang seorang anggota DPR yang membanting botol minuman karena tidak setuju dengam keputusan Ketua DPR Marsuki Alie. Sehingga terjadi kericuhan serta baku hantam pada rapat tersebut. Kericuhan yang seperti ini sungguh sering terjadi dipemerintahan. Kericuhan seperti ini sama sekal tidak dapat menyelesaikan masalah karena sudah melanggar sila ke-4 dalam Pancasila. Suatu permasalahan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan musyawarah namun karena terpancing emosi dan mudah termakan provokasi akhirnya terjadi kericuhan. Ini akan memperburuk citra wakil rakyat dimata rakyat. Orang-orang yang dipercaya untuk menyelesaikan permasalahan suatu bangsa malah melanggar hukum yang mereka buat sendiri. Orang-orang cerdas yang duduk dipemerintahan jadi terlihat bodoh dimata rakyat. Ini mungkin berkaitan dengan tindakan kolusi, orang-orang yang tidak memiliki skill dalam berpolitik malah banyak duduk dipemerintahan hanya karena saudara mereka memiliki sedikit kekuasaan dipemerintahan. 5. Terdapat kecurangan dalam penarikan suara PEMILU, seperti lembar pemilu yang telah dicontreng, kotak pemilu yang tidak disegel, adanya penyuapan serta pemerasan pada saat penentuan suara. Kasus money politik merupakan kecurangan yang sering terjadi, mulai dari pembagian sembako yang mengatasnamakan salah satu calon sampai pembagian amplop yang berisi uang sekian rupiah. Kecurangan berpolitik sudah sangat sering terjadi, hanya karena menginginkan kekuasaan. Padahal calon tersebut belum tentu memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan tugasnya. Perlu diingat bahwa kekuasaan yang besar diperlukan tanggung jawab yang besar juga untuk mengimbanginya. Tetapi kebanyakan orang hanya memanfaatkan posisinya dan akhirnya melakukan korupsi. 6. Perlindungan HAM harus diberikan kepada semua warga negara, termasuk warga negara Indnesia yang tengah bekerja di luar negeri. Namun pemerintah sering lupa kepada nasib para TKI. Entah sudah berapa banyak TKI yang terbunuh di negara orang karena dituduh mencuri atau bahkan membunuh majikannya. Selain itu banyak juga kasus TKI yang disiksa majikannya hingga meninggal dunia, namun majikannya akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti bersalah atau karena kurangnya bukti. Misalnya saja kita ambil suatu
kasus yaitu pada saat kalangan pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) mempertanyakan tewasnya seorang TKI asal Cirebon yang diduga kuat dibunuh oleh majikannya di Kuwait. pada 25 April 2009, PT Bidar Timur (BT) mendapat informasi dari mitra kerjanya, Fadel Muhammad Abbas AlSharaf Manpower bahwa TKI bernama Royati binti Dakina Karsida, asal Cirebon, Jabar, telah meninggal dunia. PT BT mempertanyakan kebenaran berita tersebut ke KBRI di Kuwait melalui Atase Ketenagakerjaan, Wisantoro. Pada 4 Mei 2009, PT BT mendapat informasi melalui faksimili dari KBRI Kuwait yang ditujukan kepada Menteri Luar negeri u.p. Dir. Perlindungan WNI dan BHI dengan No.13B/03/KUWAIT/V/2009 yang isinya menyatakan bahwa betul TKI atas nama Royati telah dibunuh oleh majikannya sendiri. KBRI menyatakan pihaknya tidak diberitahu secara resmi oleh pemerintah Kuwait tentang pembunuhan tersebut dan proses pemakamannya. Keluarga TKI yang mengetahui peristiwa itu merasa sedih dan meminta agar jenazah Royati dipulangkan ke Indonesia. KBRI, menolak penggalian kembali mayat tersebut karena hal itu tabu di Kuwait. Yunus M Yamani menyayangkan lambannya kinerja KBRI Kuwait dan tidak adanya respon balik dari Deplu, Depnakertrans dan BNP2TKI atas kasus itu. Yunus juga menjelaskan bahwa pasal 73 ayat 2 UU No.39/2004 yang dikutip dalam surat dari KBRI Kuwait, seharusnya beban tersebut menjadi tanggung jawab majikan yang membunuh atau konsorsium asuransi perlindungan TKI. Dia juga mengoreksi, bahwa Pasal 39 UU No.39/2004 hanya memiliki satu ayat yang berbunyi segala biaya yang diperlukan dalam kegiatan perekrutan CTKI dibebankan dan menjadi tanggung jawab PPTKIS. “Tidak ada kata-kata bahwa tugas KBRI hanya melakukan pengawasan terhadap PPTKIS yang termaktub dalam ayat 2,” kata Yunus. Menurut dia, jika kata-kata itu tercantum maka akan bertentangan dengan UU Perlindungan WNI dan BHI karena Deplu dan KBRI wajib melindungi WNI selama berada di luar negeri.
D. Pentingnya Penerapan Sila ke-4 Pancasila adalah ideologi bangsa yang harus dijaga, karena dengan ideologi kita mampu mencapai tujuan bersama, mampu menjaga persatuan bangsa dan negara dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, serta menjaga toleransi beragama yang sudah terjalin. Dalam sila keempat memiliki nilai kerakyatan yaitu, suatu
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan. Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang menyatakan bahwa semua rakyatnya sama dimata hukum. Masyarakat memiliki hak yang sama didalam berpolitik, didalam menyampaikan pendapat di sebuah forum. Ini bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif. Sila keempat ini juga mampu menumbuhkan politik yang demokratis dengan rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, ketersediaan untuk menerima, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pancasila mengajarkan kepada kita agar kita memiliki etika dimanapun kita berada, mampu menempatkan diri sesuai tugasnya. Terutama para wakil rakyat yang telah diberi kepercayaan oleh rakyat untuk menjadi media perantara antara rakyat dan penguasa. Sebenarnya di Indonesia telah menganut sistem demokrasi pancasila yaitu siapapun yang menjadi presiden, dia haruslah adil kepada rakyat karena rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi. Itu adalah ciri demokrasi pancasila, cirri yang lainnya adalah selalu berdasarkan kekeluargaan, kebersamaan dan mengambil suatu keputusan dengan cara musyawarah, kepentingan rakyat selalu menjadi lebih penting. Dengan demikian rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi. Negara wajib Menjamin keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara, ini dibuktikan dengan adanya pemilu, pemilihan wakil rakyat. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan bantuan orang lain. Tidak terkecuali bagi para penguasa yang selalu merasa nyaman diposisinya, kita haruslah hidup bermasyarakat dan mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Menurut Koentjaraningrat (2003, hal: 9) masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinterakasi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Sedangkan Selo Sumardjan (2003, hal: 9) mengatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Lain lagi dengan pendapat J.L. Gillin dan J.P. Gillin (2003, hal: 9) berpendapat bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama.
E. Berpendapat di dalam Suatu Forum Kebebasan berpendapat sudah diatur didalam Undang-Undang. Yang dimaksud dengan kebebasan
mengemukakan pendapat menurut Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran, baik secara lisan, tulisan dan sebagainya. Penyampaian pikiran/ pendapat dilakukan secara : 1. Lisan seperti pidato, dialog dan diskusi 2. Tulisan seperti surat kabar, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran dan spanduk 3. Atau dengan cara lain seperti tutup mulut, demonstrasi atau mogok makan Walaupun masyarakat diberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat tetapi perlu diimbangi juga dengan tanggung jawab terhadap dampak yang diakibatkan oleh pendapat tersebut. Contohnya pada kasus Prita Mulyasari yang berakhir di penjara gara-gara sebuah email keluhan yang dikirimkan ke beberapa media online dan millis. Sebenarnya bukan Prita Mulyasari yang menyebarluaskan email keluhannya tentang RS OMNI, karena dia hanya mengirimkan emailnya kepada beberapa orang teman saja. Seharusnya Prita tidak dituntut hanya karena mengirimkan email keluhan kepada beberapa orang teman dalam lingkup pribadi. Pantaskah seorang ibu rumah tangga yang masih mengurus anak-anaknya dijebloskan ke penjara hanya karena dia mengeluh tentang pelayanan sebuah RS? Itupun dikirim hanya didalam lingkup pribadi. Kalau masalah pencemaran nama baik, mungkin bisa belajar dari jasa telekomunikasi atau bahkan media cetak yang hampir pasti selalu menerima keluhan dari konsumen setiap harinya. Kasus tersebut membuktikan bahwa kebebasan berpendapat belum sepenuhnya bisa dijalankan. Meski sudah ada hukum yang mengatur tentang kebebasan berpendapat, tetapi pihak-pihak yang berkuasa seperti tutup mata. Banyak hakim-hakim yang korup, memanfaatkan keadaaan, mencari celah dari suatu hukum untuk dipermainkan. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni Pasal 24 ayat (1) dan (2) dan Pasal 25. dan mengalami perubahan setelah Amandemen ke III UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001 oleh MPR. Menurut UUD 1945 kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan lain seperti pemerintah maupun badan lain selain pemerintah sehubungan dengan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, maka ada
beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan kehakiman dapat bebas dan tidak memihak yaitu : a. Landasan Yuridis tentang Mahkamah Agung b. Kualitas dan Integritas Para hakim. c. Tradisi kehidupan hukum dalam masyarakat
F. Akibat Pembatasan Kebebasan Mengemukakan Pendapat 1. Demokrasi tidak akan berkembang 2. Banyaknya aksi demonstrasi sebagai perwujudan atas ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah 3. Timbulnya kesewenang-wenangan pemerintah terhadap rakyatnya 4. Ketidakharmonisan hubungan pemerintah dengan rakyatnya.
G. Etika Menyampaikan Pendapat 1. Didasarkan pada akal sehat dan hati nurani yang luhur 2. Menyampaikan pendapat dengan kata yang sopan 3. Jangan suka memaksakan kehendak kepada orang lain 4. Tidak memotong pembicaraan orang lain yang sedang menyampaikan pendapatnya 5. Berani menanggung resiko bila ada sanggahan dari pihak lain 6. Dapat melaksanakan hasil keputusan bersama secara jujur dan bertanggung jawab 7. Mengutamakan kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Melaksanakan nilai-nilai luhur Pancasila tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaannya. Khususnya yang telah dibahas adalah tentang pelaksanaan dan pelanggaran terhadap sila ke-4. Sila ke-4 erat hubungannya dengan hak asasi manusia, hak-hak mendasar yang seharusnya dimiliki oleh seseorang, seperti hak untuk memilih agama yang telah diakui oleh negara, hak berpendapat dan hak untuk mendapat pekerjaan yang layak. Telah dibuat Undang-Undang yang mengatur tentang hak-hak yang mendasar itu, namun banyak elit politik yang justru memanfaatkan celah dari hukum itu sendiri. Sering terjadinya pelanggaran HAM itu disebabkan karena lemahnya Undang – Undang yang berfungsi sebagai pelindung Hak Asasi Manusia. Masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara dan juga pemerintah yang tidak sesuai dengan Pancasila sila ke-4. Seperti demonstrasi yang tidak sesuai dengan aturan, tidak menghargai dan menerima pendapat orang lain, kecurangan dalam PEMILU dan masih banyak lagi. Dan banyaknya pelanggaran yang terjadi diakibatkan kurangnya rasa soliditas dan persatuan hingga sikap gotong royong, sehingga sebagian kecil masyarakat terutama yang berada di perkotaan justru lebih mengutamakan kelompoknya, golongannya bahkan negara lain dibandingkan kepentingan negaranya.
B. Saran Setiap komponen masyarakat saling harus saling berinterospeksi diri untuk kemudian bersatu bahu membahu membawa bangsa ini dari keterpurukan dan krisis multidimensi. Selain itu juga diberikan arahan dan sanksi yang tegas kepada masyarakat yang melanggar, agar masyarakat tersebut dapat lebih menaati dan menghormati dasar negara dan ideologi bangsa kita.
DAFTAR PUSTAKA
Adji Seno, Oemar. (1990). Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga Kansil, C.S.T. (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Kalsum, Umi. (2009). Kasus TKI Pertahun. Kedutaan Besar Republik Indonesia. Malaysia M.M. Billah, "Pluralitas Agama di Indonesia: Memilih Kerangka Pemahaman atas Keberadaan Aliran Keagamaan dari Perspektif Teologi dan HAM". Malang Drs. Wartono, Tarsius, dkk.(2003). Sosiologi, Suatu Kajian Masyarakat. Bogor: Yudhistira Purbopranoto,Prof.Mr, Kutjono. (1976). ”Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila”. Jakarta:Pradnya Paramita Ismail, Faisal. 1999. Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama. Jakarta: Tiara Wacana