.
HAJI: KOMUNIKASI SPIRITUAL TRANSBUDAYA Nina Yuliana Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA Jl. Raya Jakarta KM. 4 Pakupatan Serang - Banten HP : 081219913501 , email :
[email protected] Abstrak Ibadah haji mempertemukan umat islam dari berbagai penjuru dunia dengan perbedaan budaya, karakter, bahasa dan warna kulit, dengan satu persamaan tujuan hakiki, yaitu untuk bertaubat, saling mengenal dan menolong. Perbedaan kultural, bukan sesuatu yang problematis pada dan dalam dirinya sendiri, permasalahan muncul ketika Kita berada pada latar belakang budaya masing-masing, dan mempersepsi, berpikir, dan menafsirkan sesuatu dengannya. Komunikasi transbudaya menuntut kita membangun makna berdasarkan konteks dan situasinya, tidak berdasarkan sudut budaya kita, agar mampu saling mengenal dan menolong. Melalui interaksi simbolik, dengan peneliti sebagai instrumen utama srbagai jemaah haji tahun 2012, melakukan observasi dan wawancara melalui pemilihan informan Convenience sampling. Peneliti mencari bagaimana haji sebagai komunikasi spiritualitas terhadap Tuhan, sesama jemaah haji, dari perspektif komunikasi trans budaya. Ada keragaman dalam detail ibadah ke sang Khalik, dalam Praktek Shalat, mulai dari gerakan shalat seperti bersidakep, atau terulur saja, dan sebagainya. Busana yang dipakai ada mukena, abaya, dan sebagainya. Tentu saja keragaman juga yang berhubungan dengan interaksi manusia. Terdapat pada perbedaan bahasa: Melayu, arab, Cina dan lain-lain, budaya, misalnya, orang Arab sangat gemar bersedekah di musim haji, terbiasa memegang kepala saat lewat melangkahi jemaah lain, orang Arab mudah mengatakan haram, berkenaan dengan hukum agama atau hubungan manusia (tidak boleh). Jika Pedagang Arab tidak menyukai pembeli, mereka akan mengusir pembeli dan mengambil secara kasar barang yang sedang dipegangnya. Kata kunci: Haji,komunikasi spiritual, Komunikasi Transbudaya
PENDAHULUAN Keadaan jemaah haji yang sangat majemuk dalam pendidikan, usia,dan tingkat pemahaman terhadap ibadah haji, yang datang dari berbagai penjuru dunia, yang berbeda-beda bahasa dan warna kulitnya, tetapi mereka memiliki satu tujuan yang dilandasi persamaan yang hakiki, yaitu untuk bertaubat kepada Allah SWT, dengan memperbanyak dzikir dan
mohon bimbingan Allah SWT. Bahkan, salah satu wajib haji, yaitu Wukuf di Arafah, Arafah sendiri berasal dari kata Ta’aruf. Yang artinya saling mengenal dan saling menolong. Banyak emik atau perbedaan kultural, bukan sesuatu yang problematis pada dan dalam dirinya sendiri. Permasalahan secara potensial akan muncul ketika kita mencoba menafsirkan 262
alasan yang mendasari atau yang menyebabkan adanya berbagai perbedaan itu. Kita berada pada latar belakang budaya masing-masing, dan mempersepsi, berpikir, dan menafsirkan sesuatu dengannya. Ini yang bisa menyebabkan masalah dan kesalahan dalam interaksi transbudaya. Oleh karenanya, sangat penting membangun makna berdasarkan konteks dan situasi, bukan berdasarkan sudut budaya kita, agar mampu saling mengenal dan menolong TINJAUAN TEORITIS Komunikasi Spiritual Spiritualitas tidak berhubungan dengan religiusitas, hanya sebatas pemaknaan Hidup dalam perspektif manusia yang bersangkutan. (http://sosiologidakwah.blogspot.com, pada 5 Desember 2012 pukul 13.03 WIB). Spiritual mengandung makna rohaniah atau batin. Selalu berkata jujur, tidak pernah bohong (Saefullah, 2007). Menurut Nina syam (2006) komunikasi spiritual adalah komunikasi yang terjadi antara manusia dan Tuhan atau berkenaan dengan agama, melalui amalan-amalan batin, seperti sholat, berdoa zikir dan lain-lain. Komunikasi spiritual melibatkan kecerdasan spiritual. yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. (Agustian, 2004:47). Tujuan Komunikasi Spiritual: 1. Peningkatan kualitas iman dan taqwa 2. peningkatan kualitas ibadah 3. peningkatan kualitas akhlak 4. tercapainya perdamaian hakiki keselamatan dunia akhirat Haji
Haji adalah berkunjung ke Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan beberapa amalan antara lain: Wukuf, Mabit, Thawaf, Sa’i dan amalan lainnya pada masa tertentu, demi memenuhi panggilan Allah SWT. Dan mengharapkan ridha-Nya. Ibadah haji diwajibkan sekali seumur hidup, berikutnya adalah sunat, kecuali jika nazar, maka hukumnya menjadi wajib. Ibadah haji dilaksanakan pada bulan haji (Dzulhijjah), yaitu pada saat jemaah haji Wukuf di Padang Arafah pada hari Arafah (9 Dzulhijjah), hari Nahar (10 Dzulhijjah) dan har-hari Tasyriq (11-13 dzulhijjah). Dalam haji, kita mengenal Haji Tamattu’, Ifradh, dan Qiran. Dalam haji, kita melakukan komunikasi antarbudaya, lintas budaya atau trans budaya, yaitu proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras, atau komunitaas bahasa (Mulyana, 2005: xi) Teori Interaksi simbolik Interaksi simbolik adalah lingkup teori komunikasi interpretasi. Menurut Sendjaja berarti ‘pemahaman’, berusaha untuk menjelaskan makna dari tindakan. Suatu tindakan dapat memiliki banyak arti, maka makna idak dapat dengan mudah diungkap begitu saja. Interpretasi, merupakan proses aktif dan inversi. Meskipun makna yang dimaksud oleh para pelakunya penting dalam berbagai bentuk interpretasi adalah suatu tindakan kreatif dalam mengungkap kemungkinankemungkinan makna (Bungin, 2006: 257). Teori komunikasi interpretatif yang penulis adopsi adalah teori interaksionisme simbolik. Simbol adalah “arbitrary labels” atau representasi untuk suatu fenomena. Bentuk simbol adalah inti dari interaksi simbolik. Interaksi simbolik fokus pada hubungan antara simbol dan interaksinya. Menurut Ralp La Rossa and Donald C. 263
Reitzes, interaksi simbolik adalah “sebuah kerangka berpikir untuk memahami bagaimana manusia ketika berinteraksi, menciptakan dunia simbol dan bagaimana pada saat yang sama, simbol tersebut membentuk perilaku manusia.” (West & Turner, 2007: 94) Asumsi dan isu sentral dalam teori interaksi simbolik menurut Ralp La Rossa & Donald C. Reitzes adalah sebagai berikut(West & Turner, 2007: 96 – 102): 1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia. Makna dibuat dalam proses komunikasi, karena makna tidak tercipta bersama sesuatu (simbol). Manusia menciptakan makna. Interaksi simbolik berbicara membuat dan berbagi makna. Asumsinya: a. Sikap seseorang kepada orang lain berdasarkan makna yang diberikan oleh orang lain tersebut. Ada makna dibalik perilaku. b. Makna tercipta dalam interaksi. Intersubjektif dasar dari pemaknaan. c. Makna berubah melalui proses interpretasi 1. Pentingnya konsep diri. Konsep diri adalah penilaian seseorang yang relatif stabil terhadap dirinya sendiri. Asumsinya: a. Individu membangun konsep diri melalui interaksi b. Konsep diri merupakan motif utama sebuah perilaku 2. Hubungan antara individu dan masyarakat Asumsinya:
a. Individu dan kelompok dipengaruhi budaya dan proses sosial b. Struktur sosial mempengaruhi interaksi sosial Metodologi Penelitian Peneliti sebagai salah satu pelaku haji tahun 2012, di mana penelitian ini berlangsung. Peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian. Pengalaman dan pengamatan peneliti dijadikan sebagai data utama, disamping wawancara terhadap banyak imforman yang di dapat denga teknik convenience sampling. Baik dari jemaah haji satu KBIH maupun jemaah haji lainnya, dari berbagai KBIH, Kabupaten, Provinsi, maupun negara. PEMBAHASAN Makna Prosesi Haji Ibadah haji sebagai rukun Islam kelima (Al-Mazyad & Asy-Syiddiy, 2012: 3), penutup dan penyempurna dari keislaman seseorang di hadapan Tuhannya. Haji dapat membebaskan seseorang dari dosa-dosa, sehingga kembali ke fitrah kesuciannya. Makna disunatkan mandi sebelum Ihram (niat) adalah bahwa seseorang yang dipanggil Allah SWT, datang dalam keadaan sempurna, bersih badannya, hatinya, lisannya, baik lahiriyah maupun bathiniyah. Makna disyariatkan melepaskan pakaian biasa, hanya memakai pakaian ihram, menggambarkan keadaan orang yang meninggal, harus melepaskan urusan dunia, hanya kain kafan. Orang berhaji, di mana ia datang d atas bumi yang suci dan bersih, harus melepaskan kebiasaan buruk untuk mengagungkan kebesaran Allah. Makna talbiyah, adalah jawaban atas panggilan Allah SWT. Makna Thawaf atau mengelilingi Ka’bah tujuh (7) putaran yaitu berputar pada poros 264
bumi yang paling awal dan paling dasar. Tujuh putaran artinya jumlah hari yang mengelilingi kita seminggu, area Ka’bah merupakan arena pertemuan dan bertamu kepada Allah. Tahawaf merupakan acuan dalam kehidupan sehari-hari yang dicetuskan dalam bentuk dzikir, do’a, tasbih dan sebagainya yang terus melilt dan mengtari kehidupan manusia setiap hari dan minggu, berulang terus, seperti putaran Thawaf, dengan Allah pada porosnya. Hikmah Sa’i artinya usaha. Sikap optimis dan usaha yang keras penuh kesabaran dan tawakkal kepada Allah SWT. Hikmah berjalan cepat saat sa’i adalah menunjkkkan kekuatan dan kebesaran kaum muslimin serta keluhuran agama Islam. Hikmah bercukur adalah agar berbagai penyakit yang berasal dari otak hilang, dan membuahkan pemikiran positif. Makna Wukuf adalah berhenti, diam. Berhentinya selurugh gerakan manusia. Kematian. Padang Arafah adalah lambang Padang Mahsyar. Melempar Jumrah dimaksudkan sebagai lambang lemparan terhadap Iblis yang dilaknat oleh Allah SWT. Hikmah penyembelihan Qurban, memperlihatkan ketaatan yang sempurna kepada Allah SWT dan menunaikan kewajiban Syukur. Thawaf wada, artinya tahwaf perpisahan dengan Masjidil Haram dan tanah haram Makkah, bersyukur kepada Allah, mengharap haji mabrur, memohon keselamatan sampai tanah air, dapat kembali lagi untuk berhaji. Ritme Prosesi Haji dan Komunikasi Trans Budaya Keberangkatan haji gelombang 1 (satu) atau 2 (dua) akan membawa jemaah haji datang pertama kali di kota Makkah atau Madinah. Baik di Makkah atau Madinah, yang dituju adalah shalat berjemaah di masjid. Jemaah gelombang pertama langsung tiba di Madinah Di
Madinah kita shalat di Masjid Nabawi, yaitu masjid yang dibangun sendiri dengan tangan dan harta nabi. Keutamaan shalat di masjid ini yaitu 1000 x (seribu kali) lipat pahalanya jika dibandingkan dengan shalat di masjid lainnya, kecuali Masjidil Haram di Makkah, yaitu 100.000 x (seratus ribu kali) lipat. Khusus untuk di tanah haram (Makkah), keutamaan pahala ini berlaku untuk semua masjid yang ada di tanah haram, baik itu shalat sunat atau pun shalat fardhu. Di Madinah, jemaah haji gelombang satu atau dua, bermukim selama delapan hari ditambah 12 jam guna memberi kesempatan melaksanakan Shalat ‘Arbain dan ziarah. Jemaah haji ditempatkan di hotel-hotel sekitar Mesjid Nabawi, penempatannya dilakukan oleh Majmu’ah (group), sesuai dengan pengesahan kapasitas dan kelayakan pemondokan yang ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi (Kementrian agama, 2012: 33). Di Madinah, para jemaah haji melaksanakan Shalat ‘Arba’in dan Shalat Sunnat, serta berziarah ke makam Rasulullah SAW dan dua sahabatnya. Shalat ‘Arbain yaitu jemaah haji selama di Madinah berjemaah fardhu selama 40 waktu di Masjid Nabawi. Artinya, delapan hari di Madinah, para jemaah haji disunatkan berjemaah di Mesjid Nabawi sehari lima waktu, termasuk jika hari Jum’at, para perempuan ikut berjemaah shalat Jum’at di Masjid Nabawi, agar genap Shalat ‘Arbainnya. Varian pencapaian Shalat ‘Arbain adalah sebagai berikut: Genap 40 waktu, lebih dari 40 waktu, dan ada yang kurang. Perempuan banyak yang tidak genap berjemaah 40 waktu, biasanya karena menstruasi. Halangan lainnya, yaitu sakit. Penyebab ini dapat dialami oleh laki-laki 265
dan perempuan. Kemungkinan terjadinya sakit oleh para jemaah haji sangat besar, mengingat perubahan kondisi seperti cuaca, makanan, dan waktu berjemaah yang banyak menguras tenaga jemaah haji dan menyebabkan kurang tidur. Apalagi untuk para jemaah haji gelombang pertama, ini adalah perubahan cuaca pertama dari negaranya. Berbeda untuk yang gelombang kedua, yang kedatangannya pertama kali di Kota Makkah, maka Madinah kemudian menjadi kota kedua yang dikunjungi. Jadi perubahan cuaca ekstrim dari negara asal untuk gelombang haji kedua adalah saat di Kota Makkah. Selain penyakit bawaan yang telah diderita sebelumnya, yang telah tercatat dalam buku kesehatan jemaah haji, sakit yang hampir diderita oleh seluruh jemaah haji adalah sakit flu dan batuk. Flu dan batuk ini disebabkan perubahaan cuaca dari negara asal ke cuaca di Madinah. Selain faktor cuaca, berikutnya adalah faktor ritme aktivitas mengejar Shalat ‘Arbain dan juga faktor perbedaan makanan dan masakan, yang membuat para jemaah haji Indonesia kurang atau tidak berselera. Shalat ‘Arbain, yaitu shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah selama 40 waktu. Hukumnya adalah sunat. Dan bukan merupakan rangkaian dari ibadah haji. Baik di rukunnya maupun wajibnya. Rukun ibadah haji sendiri ada enaam, yaitu Ihram (niat), Wukuf di Arafah, Thawaf Ifadah, Sai, Tahallul (cukur) dan Tertib. Sedangkan wajib haji ada lima (5), yaitu ihram, mabit di Mudzdalifah dan Mina, Lontar Jumrah, dan Thawaf Wada’. Tidak ada yang melelahkan dalam shalat Arbain di Masjid Nabawi, yang ada hanyalah kecintaan spiritual para hamba Allah untuk beribadah dan mengejar Afdhalnya. Salah satu yang dianggap afdhal oleh para
jemaah adalah shalat di dalam masjid. Hal ini terjadi baik di Mesjid Nabawi maupun Masjidil Haram. Untuk mendapatkan kesempatan tempat shalat di dalam masjid, para jemaah haji harus datang sejam sampai dua jam sebelumnya, bahkan banyak diantara waktu shalat yang tidak pulang lagi ke hotel. Ritme yang dialami peneliti dan satu rombongan ibadah haji, yang juga terjadi pada setiap rombongan atau individu, adalah sebagai berikut: Shalat shubuh: Jemaah haji mulai bangun pukul dua (2) dinihari. Ada yang bersiap-siap mandi, sekedar minum minuman hangat sebagai penghangat tubuh seperti sereal (Energen), dan sebagainya. Kira-kira pukul 2.30 atau pukul tiga (3) dinihari jemaah sudah meninggalkan hotel menuju Masjid Nabawi. Sesampainya di masjid, jemaah melakukan Shalat Tahiyatul Masjid dua rakaat. Tahiyatul Masjid yaitu shalat sunat yang dimaksudkan untuk menghormati masjid. Setelah Shalat Tahiyatul Mesjid, jemaah haji berdzikir, berdoa, dan dilanjutkan dengan shalat malam. Sebelum pada Shalat Tahajud, ada yang melakukan Shalat Sunah Hajat, Shalat Taubat, Shalat Sunnat Mutlak, atau shalat sunat lainnya. Rangkaian shalat sunat ini ditutup dengan Shalat Tahajud. Ada yang dua rakaat sampai dua belas rakaat. Adzan pertama pada pukul 04.05 menit. Adzan ini digunakan sebagi tanda waktunya Shalat Sunat Fajar dua rakaat. Selesai shalat sunat, digunakan untuk berdzikir, berdoa, dan membaca Al-Quran. Membaca AlQur’an adalah amalan utama yang dilakukan oleh lisan (www.Tafseer.info, 2012: 2) Jemaah haji merasakan kebanggaan dan kompetisi dengan diri sendiri, untuk menghatamkan Al-Quran minimal sekali 266
di Madinah, dan dan berkali-kali di Makkah. Shalat Shubuh, baru dilakukan setelah adzan kedua, yaitu pada pukul 05. 12 menit. Setelah shalat shubuh, iindividu atau rombongan dapat memiliki aktivitas berziarah ke Raudhah, Baqi, atau ke mesjid-mesjid sekitar Masjid Nabawi. Shalat Dzuhur dilakukan pada pukul 12. 12 menit, dengan kedatangan satu atau dua jam sebelumnya. Banyak jemaah haji yang memilih tetap tinggal di Masjid, menunggu waktu shalat, pada tiga waktu, yaitu Ashar, magrib dan Isya, karena alasan jarak waktu ketiganya berdekatan. Dan setelah Isya banyak digunakan untuk ke Rhaudah. Begitu seterusnya. Ritme ini hampr sama dengan di Makkah, hanya berbeda tempat yang dikunjungi. Perbedaan beribadah di Masjid Nadawi dan Masjidil Haram Praktek dan rutinitas shalat di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram memiliki beberapa perbedaan . Di Masjid Nabawi, surat-surat yang dibaca setiap waktu adalah surat panjang. Shalatnya juga lebih lambat, lebih lama. Sedangkan di Masjidil Haram, Surat yang di baca relatif pendek. Bukan berarti semuanya surat pendek, tetapi jikapun surat panjang, imam hanya membaca beberapa ayat diantaranya, tidak habis satu surat. Banyak di antara para jemaah yang mengangguk-angguk mengantuk. Tapi, mungkin ini tidak dialami oleh orang yang hafal Al-Quran atau yang minimal hafal surat yang sedang dibaca oleh imam. Seperti di samping peneliti, jemaah dari Pakistan, beliau khusyu mengikuti bacaan surat bersama imam. Setelah Shalat Shubuh, dilanjutkan dengan Shalat Jenazah, shalat empat takbir. Shalat Jenazah ini menjadi kebiasaan yang dilakukan setiap habis shalat fardhu di
Madinah atau di Makkah. Shalat Jenazah diperuntukkan bagi para jemaah haji yang meninggal, atau penduduk sekitar. Tentu saja, sebagai jemaah perempuan, penulis tidak pernah melihat langsung jenazahnya. Baik di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram, jemaah haji laki-laki dan perempuan dipisah secara ketat. Pemisahan di Masjid Nabawi lebih ketat daripada Masjidil Haram. Di Masjidil Haram, terdapat beberapa Area yang mengharuskan, jemaah haji laki-laki dan perempuan tidak boleh shalat bersama. Tidak boleh bagi laki-laki melakukan shalat di samping wanita atau dibelakangnya, baik di Masjid Haram atau di tempat lainnya dengan alasan apapun, selama ia masih bisa menghindarinya (Badan penerangan Haji, 2012: 10). Ada askar laki-laki maupun perempuan yang mengatur dan mengawasinya. Tapi pemisahan tidak dimulai dari pintu masuk (gerbang), seperti di Masjid Nabawi, maka terjadi banyak pencampuran. Kondisi di atas terjadi karena di Masjidil Haram, banyak aktivitas seperti Thawaf dan Sa’i yang memerlukan kebersamaan antara laki-laki dan perempuan. Diantara ribuan para jemaah yang melakukan aktifitas yang sama, desak-desakan adalah hal yang biasa terjadi. Apalagi jika Prime Time, yaitu Ashar, Maghrib dan Isya. Laki-laki diperlukan untuk melindung perempuan dari situasi desak-desakan yang ada, terutama dari karagaman perawakan tiap bangsa yang berbeda-beda, ada yang berperawakan tinggi besar, seperti India dan sebagainya, dan ada yang berperawakan kecil, seperti Indonesia dan sebagainya. Kedua aktifitas ini pun (Thawaf dan Sa’i) dilakukan di dalam Masjidil Haram. 267
Perbedaan kedua aktifitas beribadah yang dilakukan di dalam Masjid Nabawi dan Masjidil Haram adalah di Masjidil Haram, tidak terjadi Adzan dua kali seperti di Masjid Nabawi. Di Makkah, waktu adzan dan waktu shalat sama seperti di Indonesia, yaitu hanya sekali untuk setiap waktu. Setelah adzan hanya jeda beberapa menit untuk melakukan shalat Sunat Qobliyah. Setelah itu, langsung Shalat Fardhu. Adab memasuki masjid Nabawi dan Masjidil Haram Masjid Nabawi memiliki dua lapis pagar atau halaman. Pertama pintu gerbang terluar, berhubungan langsung dengan halaman pertama, tempat laki-laki dan perempuan boleh bersama. Pagar kedua membatasi halaman pertama dan kedua, di halaman kedua, langsung menyatu dengan bangunan mesjid utama, disini telah dipisah secara tegas, laki-laki dan perempuan. Begitu juga ruangan shalat di dalam masjid dan pintu gerbang masuknya. Masing-masing di jaga oleh Askar. Ruangan masjid wanita oleh askar perempuan, ruangan mesjid laki-laki oleh askar laki-laki. Askar yang berada di depan pintu utama bangunan mesjid, baik askar laki-laki maupun perempuan bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masjid dan jemaah haji. Setiap gerbang pintu masuk ke dalam ruangan masjid, dijaga oleh beberapa orang askar, minimal satu pintu gerbang dua askar, meskipun bisa sampai mencapai empat orang. Tugasnya adalah, memeriksa barang bawaan jemaah haji, yang disensor adalah bila ada barang-barang tajam seperti pisau, atau Handphone, dan barang- barang berlebih yang tidak diperlukan untuk beribadah, seperti barang belanjaan, tidak bisa masuk. Barang belanjaan di bawa oleh para jemaah karena seluruh lingkungan di
pintu gerbang terluar mesjid adalah hotelhotel yang di bawah atau di dalamnya adalah pertokoan. Atau pedagang kaki lima yang berada disepanjang jalan menuju mesjid dan di depan pintu gerbang terluar masjid. Jadi memungkinkan para jemaah haji yang ke masjidnya masih banyak watu sebelum waktu solat, sambil lewat atau sambil menunggu masuk waktu shalat berikutnya, yang tidak pulang lagi ke hotel, bisa belanja dulu. Pisau, handphone dan barang belanjaan ini jika ketahuan akan ditahan dulu, disimpan ditempat penyimpanan barang-barang sitaan para jemaah masjid, dan setelah selesai beribadah, mau pulang, boleh diambil lagi. Sedangkan makanan, minuman, dan barang-barang lainnya yang diperlukan untuk beribadah boleh masuk. Begitu pula di ruang dalam teras pertama atau pagar pertama yang menyatu secara langsung dengan masjid, masih terjadi pembatas yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Yang menjaga pembatas ini adalah askar laki-laki yang berjaga di luar pagar pertama, atau berada di teras kedua masjid. Askar ini bertugas agar para lakilaki tidak masuk teras dan dalam dan ruangan masjid yang diperuntukkan buat perempuan. Para jemaah laki-laki yang hendak memasuki teras perempuan biasanya adalah para suami yang menjemput istrinya untuk pulang bersama setelah selesai beribadah. Dan tentu saja hal ini tidak boleh. Laki-laki atau pun para suami hanya boleh bersama di teras terluar masjid. Teras kedua inilah dimana perempuan dan laki-laki bebas bersama. Teras kedua ini langsung menuju pintu gerbang terluar masjid menuju jalan raya dan hotel tempat tinggal jemaah haji. Di teras pintu gerbang inilah setiap jemah haji laki-laki dan perempuan untuk pertama kali datang, menuju pintu gerbang menuju 268
ruangan masing-masing di dalam masjid. Meskipun demikian, di teras pintu gerbang terluar, juga digunakan para jemaah haji untuk beribadah. Disinilah laki-laki dan perempuan bisa bersama. Kegiatan setelah shalat Shubuh, biasanya jemaah memiliki kesibukan individu atau kelompok. Ada yang mengelilingi masjid yang berada di sekitar Masjid Nabawai, yaitu diantaranya Masjid Sayyidina Ali, Masjid Abu Bakar, Masjid Qiblatain, Masjid Quba, Masjid Sab’ah dan Masjid Ghomamah. Keberadaan masjid ini bukan karena adanya persaingan dengan Masjid Nabawi, tetapi keberadaan masjid-masjid ini lebih pada keperluan aspek politis. Yaitu sebagai tameng atau pertahanan kepada Masjid Nabawi yang saat itu dijadikan pusat kegiatan umat islam, baik sebagai pusat ekonomi, politik, pemerintahan dan lain-lain. Atau jemaah haji lainnya berziarah ke Baqi, yaitu makam 10.000 sahabat nabi, putera dan puteri Nabi (mis. Siti Fatimah) dan Siti Aisyah (istri Nabi). Yang kini, makam Baqi ini dijadikan pemakaman umum di Kota Madinah. Untuk berziarah ke Baqi, perempuan tidak boleh masuk atau berada didekat pintu gerbangnya. Perempuan hanya boleh berdoa dari kejauhan, atau banyak yang berdiri diteras Masjid Nabawi saja. Hal ini dilakukan, karena letak Masjid Nabawi dan Baqi bersebrangan dan atau bersebelahan, tepatnya sebelah timur Masjid Nabawi. Kegiatan berikutnya yang bisa dilakukan adalah pergi ke Raudhah. Raudhah yaitu suatu tempa di dalam Masjid Nabawi yang letaknya ditandai tiang-tiang putih, berada di antara mimbar dan rumah Nabi/Siti Aisyah (sekarang makam Rasulullah SAW). Raudhah adalah tempat yang makbul untuk berdo’a. Di area Raudhah terdapat makam Nabi
Muhammad, makam Abu Bakar As-Siddiq RA dan makam Umar IbinUL Khattab RA. Untuk sampai ke Raudhah, ada beberapa tahap yang harus dilakukan oleh para jemaah haji. Untuk laki-laki, memiliki kebebasan waktu, bahkan bisa langsung melihat Raudhah. Sedangkan untuk perempuan, Raudhah hanya dibuka pada kesempatan dan waktu tertentu. Misalnya, sehabis shalat Subuh, dimulai sekitar pukul 07.00 – 10.00 dan pukul 13.30 – 15.00 waktu saudi Arabia. Jadi setelah shalat Shubuh, banyak perempuan yang berdziarah dan berdoa ke Raudhah. Raudhah ini berada di dalam Masjid Nabawi. Masjid Nabawi memiliki pintu gerbang masuk ke dalam mesjid. Selain digunakan untuk shalat laki-laki, diluar jadwal shalat, dibuka kesempatan bagi perempuan untuk ke Raudhah. Tahap pertama masuk ke Raudhah adalah masuk pintu gerbang mesjid sebagaimana layaknya perempuan masuk ke pintu gerbang yang diperuntukkan untuk shalat perempuan. Saat pertama masuk, jemaah haji diperiksa oleh askar. Pemeriksaan yang sama seperti masuk mesjid, yaitu benda-benda tajam, barang elektronik seperti handphone dan kamera, dan barang-barang yang tidak seharusnya di bawa lainnya. Barang-barang ini jika sampai ditahan oleh askar, maka akan disimpan di tempat penyimpanan yang telah disediakan, atau kebanyakan para jemaah haji menyimpannya ditempattempat terpencil di luar masjid, yang nanti pada saatnya pulang, diambil kembali, atau jika tidak ingat pintu gerbang berapa masuknya, akan ditinggalkan begitu saja. Lolos dari pemeriksaan pertama, para jemaah haji menunggu di tempat menunggu pertama. Sambil menunggu pintu gerbang kedua terbuka, jemaah haji langsung melaksanakan shalat Tahiyatul 269
Masjid, berdzikir, dan berdoa, di samping shalat-shalat sunnat yang disesuaikan dengan niat dan keinginan jemaah. Ada yang Shalat Dhuha, Shalat Sunat Mutlak, Shalat Hajat, dan sebagainya. Buka tutupnya pintu gerbang ini sebagai pengaturan ketertiban dan keamanan para jemaah haji agar tidak terlalu padat dan berdesakan yang bisa membahayakan keselamatan dan ketertiban beribadah. Di ruangan menunggu pertama ke Raudhah, jemaah haji dikelompokkan ke dalam kelompok etnis bangsa. Para askar memegang papan nama berisikan tulisan nama-nama etnis, seperti Melayu, untuk Indonesia, Malaysia, Philipina. Sampai pada pintu gerbang kedua dibuka, dan pada seterusnya, papan nama ini dijadikan petunjuk kelompok jemaah haji. Kelompok etnis berikutnya adalah Cina, Arab, dan lain-lain. Untuk Arab, berarti satu kelompok dengan India, Pakistan, dll. Bila ada penyusupan di salah satu kelompok, para askar akan mengeluarkan jemah tersebut, agar bergabung pada kelompok yang seharusnya. Pemisahan kelompok berdasarkan etnis dilakukan dengan alasan keamanan dan ketertiban. Dengan keanekaragaman luar biasa yang belum pernah penulis temukan sebelumnya, di mana pada satu tempat, pada waktu yang sama, orang memiliki keinginan yang sama, dari seluruh penjuru dunia. Dari perbedaan etnis ini menghasilkan perbedaan karakter manusia, terutama dari fisiknya. Bangsa-bangsa Arab, Pakistan, India, dll, memiliki postur tubuh yang sangat besar dan tinggi. Sedangkan, dari Melayu; Indonesia, Malaysia, dan Philipina, misalnya, memiliki postur kecil dan pendek. Hal ini dikhawatirkan menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan, bentrokan fisik dalam kepadatan yang dalam posisi tidak
seimbang yang dapat menyebabkan kematian. Memasuki pintu gerbang kedua menuju Raudhah. Dari pintu gerbang kedua, para jemaah haji dipersilahkan menunggu kembali sesuai dengan giliran yang telah diatur oleh para askar. Di dalam Raudhah atau Masjid Nabawi di larang mengambil foto atau gambar. Meskipun banyak terjadi pelanggaran oleh jemaah yang ingin memiliki foto-foto dari setiap tempat yang memiliki sejarah keislaman dan keutamaan. Atau banyak yang tidak sabar untuk mengantri sesuai dengan kelompok atau gilirannya, dengan menyelusup ke rombongan lain yang tiba gilirannya cepat. Tentu saja hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan para askar. Saat para jemaah haji tidak mau mendengarkan dan menaati aturan berziarah yang telah diinformaskan para askar, maka askar akan mengeluarkan kata ‘Haram’. Kata ‘haram’ di Madinah atau Makkah tidak seperti makna kata haram di Indonesia. Segala hal yang melanggar aturan, selalu disebut dengan kata haram. Misalnya jika ada yang tidak dikelompoknya, disebut haram, jika ada yang bawa kamera, disebut haram. Jika ada yang tidak mau mendengarkan bahwa di dalam sudah penuh, dan tetap ingin masuk, dikatakan haram. Jika ada yang menawar harga, dan tidak sesuai dengan keinginan penjual, dikatakan haram. Tidak boleh berarti haram. Apakah itu berkenaan dengan hukum agama atau berkenaan dengan tidak boleh keinginan manusia. Slesai melewati pintu gerbang kedua, sampailah pada pintu ketiga, yaitu pintu masuk langsung ke Raudhah. Pengelompokkan suku bangsa oleh askar telah berakhir ketika memasuki pintu gerbang ketiga. Hal pertama yang di 270
lakukan adalah mencari makam Nabi Muhammad, Abu Bakar As-Siddiq, dan Umar bin Khattab. Berikutnya jemaah haji fokus memperhatikan batas kaki. Apakah telah menginjak karpert hijau atau belum. Jika belum menginjak karpet hijau, maka belum dikatakan telah ke Raudhah. Di dalam Raudhah, jemaah haji dari berbagai dunia menyatu disini. Sebetulnya para askar teah berusaha memisahkan agar tidak terjadi bentrokan fisik yang tidak seimbang diantara para jemaah haji, dengan sistem buka tutup pintu gerbang dan pengawalan oleh askar dengan menggunakan papan nama berdasarkan pengelompokkan ras dan etnis. Hanya saja, saat di dalam Raudhah, para jemaah haji yang seharusnya sudah keluar, masih tetap ingin tinggal di dalam lebih lama, untuk berdoa, dan shalat. Sehingga para askar kesulitan menertibkan para jemaah. Setiap para jemaah haji berkeinginan kuat untuk melaksanakan Shalat Sunat Mutlak, Shalat Sunat Taubat dan Shalat Sunat Hajat, lalu keluar dari Raudhah. Jika penuh, ke Raudah bisa menghabiskan waktu sampai tiga jam. Jika jemaah haji ke Raudhah pukul tujuh (7) pagi dan menghabiskan waktu tiga (3) jam di Raudhah, maka pulang ke hotel pukul sepuluh (10). Biasanya digunakan untuk sarapan, istirahat sebentar atau mandi, jam 11 (sebelas) sudah ke Masjid Nabawi lagi, untuk siap-siap Shalat Dzuhur.
Interaksi spiritual dan transbudaya sesama jemaah haji Rutinitas yang sama dilakukan untuk setiap waktu shalat. Shalat Tahiyatul Masjid, disusul shalat-shalat sunat tergantung kebutuhan individu, berdzikir, berdoa dan mengaji. Di antara rutinitas
tersebut, tentu saja ada interaksi dengan sesama jemaah haji, tergantung keberadaan orang-orang yang berada di sekitar tempat duduk. Ada orang sesama Indonesia yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa timur, Jawa tengah, Cirebon, Bogor dan lain-lain. Terkadang bertemu orang Ghana, Afrika, Arab, Pakistan, Philipina, Malaysia, Cina, dan lain-lain. Yang menarik adalah, kita sangat ingin mengenal satu sama lain. Keinginan itu kadang begitu besar, sehingga jemaah haji melanggar batas-batas ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan lancar. Dalam berkomunikasi trans budaya ini, jemaah aji mengandalkan lebih dari 80 - 90 persen berdasarkan bahasa isyarat. Baik itu ekspresi muka, atau bahasa tubuh lainnya terutama tangan. Yang sepuluh persen adalah meraba-raba dari bahasa lisan. Terkadang hanya sebatas senyum dan anggukan, dan sisanya hanya tertawa kebingungan, bagaimana mengemukakan keinginanan untuk berinteraksi. Tentu saja kasus ini terjadi bila dengan individu antarbangsa yang berbeda. Jika Indonesia, Malaysia dan Filipina, para jemaah haji bisa saling mengerti dengan menggunakan bahasa Indonesia dan Melayu. Jika bangsa Arab, Pakistan, India, Afrika, dan sebagainya, mereka masih bisa berkomunikasi dengan baik dengan Bahasa Arab. luar biasanya, para askar banyak yang bisa mengucapkan dan mengerti Bahasa Indonesia dengan baik, tentu saja dengan logat yang khas mereka. Selain bahasa tubuh dan ekspresi wajah, hal yang universal sangat bisa membantu lancarnya komunikasi adalah Bahas Inggris. Tapi, tentu saja ini juga tidak setiap para jemaah haji bisa bahasa internasional ini. Kadangkadang, komunikasi hanya terjadi sebatas 271
menanyakan asal negara. “Indonesia?” atau kebalikannya, “Arab Saudi?” luarbiasanya, orang Indonesia sangat mudah dikenal oleh berbagai bangsa yang ada di Madinah atau pun di Makkah. Sebut saja oleh Afganistan, Pakistan, arab, China, Ghana, Afrika dan lain-lain. Meskipun, banyak jemaah haji yang mencantumkan asal negaranya di atribut yang dikenakan untuk para jemaah. Misalnya ada yang ditulis di mukena, ada yang ditulis asal negara dan nama rombongan di kerudung, Syal, tas dan lainlain. Jemaah haji Indonesia mengalami kesulitan ketika harus membedakan antara, misalnya orang Arab, Pakistan, Afganistan, Iran, Irak dan sebagainya. Sudah menjadi rahasia umum, di antaranya bahwa banyak negara di Arab yang menyukai orang Indonesia. Mereka bilang “cantik” dan ramah. Bahkan ada yang bilang hidung orang Indonesia “pesek” (tentu saja bahasa pesek adalah bahasa verbal yang penulis gunakan, orang Afganistan yang duduk bersebelahan dengan penulis saat di bis umum khusus mengangkut para jemaah haji dari berbagai negara, hanya bilang hidungnya “small and cute”. Berinteraksi dengan orang dari berbagi negara dapat dilakukan ketika duduk di masjid untuk shalat, saat di bis, atau saat membeli barang-barang. Banyak penjual yang berasal dari Arab, Pakistan, Turki, Ghana, Afrika, dan sebagainya. Salah satu kata yang sering diucapkan para pedagang ini adalah kata haram. Setiap kita menawar dan tidak boleh, maka jawabannya adalah haram. Perilaku yang sangat aneh yang seharusnya tidak dimiliki oleh penulis secara pribadi maupu yang dirasakan teman-teman jemaah Indonesia yang satu rombongan saat belanja adalah,
jika mereka, para pedagang dari berbagi negara tersebut banyak yang memiliki sifat cepat marah. Misalnya, saat melihat-lihat barang-barang yang dijual, pedagang sudah menyiapkan satu contoh dari tiap jenis barang yang dijualnya. Jika kita membuka bungkusan motif lainnya, maka ia akan bereaksi marah, dengan mengambil paksa secara kasar barang tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa pedagang jika kita menawar barang dagangannya, dan mereka tidak suka. Maka kita langsung diusirnya atau jika sedang memegang barang jualannya, barang itu diambil dengan kasar oleh pedagangnya, sambil mengibaskan tangan, mulut berbicara marah, ekspresi muka sangat tidak suka. Meskipun, banyak pula pedagang yang ramah dan sangat ramah. Banyak pedagang laki-laki Arab yang memiliki rasa humor yang tinggi. Mereka sangat senang berinteraksi dengan pembelinya. Bercanda sambil melakukan hal-hal yang menurut peneliti dan beberapa orang atau kebanyakan jemaah haji yang baru melihat pertama kali sangat aneh. Pedagang Arab, Turki, dan sebagainya, sangat suka dengan perempuan Indonesia. Mereka tersenyum ramah, dan bahkan terkesan genit (tentu saja tidak semua pedagang melakukan hal ini ke setiap perempuan). Terkadang kita bisa memanfaatkan keramahan dan kegenitan mereka untuk mendapatkan harga murah. Atau untuk mendapatkan bonus. Namun, ini tidak berlaku untuk semua rombongan. Pedagang itu bilang: “Halal untuk dia, haram untuk kamu”. Cara berinteraksi yang aneh adalah antara pedagang laki-laki dan pembeli laki-laki. Ketua rombongan ibadah haji penulis memiliki badan sangat besar dan tinggi, persis perawakan orang-orang Arab. 272
Melihat orang Indonesia memiliki postur tubuh dan ketampanan demikian, pedagang itu memeluk, mencium pipi, mencubit pantat, dan yang paling aneh adalah menggelitik janggut atau kalau tidak terlihat rambut janggutnya, maka yang digelitik adalah dagu. Perilaku non verbal ini, tentu saja diiringi dengan penuh canda dan tawa. Tapi hal ini tentu saja tidak berlaku untuk seluruh pedagang yang ada di Makkah atau Madinah. Kembali, tergantung karakter individu pedagang dan pembelinya. Tidak juga mesti pembeli yang tampan atau yang mirip perawakan Arab, Pakistan, Turki, dan sebagainya. Pulang Shalat Dzuhur, jemaah biasanya kembali ke hotel untuk makan siang, setelah makan siang, pukul dua (2) kembali ke masjid. Sebetulnya, untuk para jemaah haji yang tidak mengejar shalat di dalam masjid, banyak yang berangkat saat menjelang adzan (waktu shalat tiba). Banyak juga para jemaah haji yang berniat shalat di luar saja. Di teras pertama yang laki-laki dan perempuan bisa bersama, atau teras kedua (dalam) yang langsung menyatu dengan ruangan dalam masjid. Alasan yang ada diantaranya adalah karena jika shalat di dalam masjid, konsekuensinya jemaah haji harus datang minimal satu sampai dua jam sebelum waktu shalat. Kalau tidak, tidak akan kebagian tempat. Para askar perempuan tidak akan mengijinkan para jemaah haji untuk memasuki ruang dalam mesjid “Ibu, Full...Full. Ibu Penuh, ...Penuh.... Haram”. Jemaah haji dipersilahkan di teras dalam atau di teras paling luar. Luasnya ruangan dan teras masjid dalam, membuat jemaah haji di dalam masjid harus menahan kentut, kencing dan buang air besar, atau hal-hal lainnya yang membatalkan wudhu.
Jarak waktu tempuh bulak-balik dari dalam masjid untuk sampai ke toilet terdekat yang ada, dengan melewati para jemaah masjid membutuhkan waktu setengah jam lebih, dengan tingkat kesulitan tinggi, karena harus melewati para jemaah masjid yang sangat padat, dengan berbagai aktivitas dan posisi yang dilakukannya, mulai dari shalat, mengaji, berdzikir, berdoa, selonjoran, duduk sila, berbaring, sampai tertidur pulas. Bukan hal yang mudah untuk melewati satu barisan, apalagi melewati barisan ratusan bahkan ribuan jemaah masjid. Belum lagi jarak antara satu jemaah dan jemaah lainnya sangat padat, sulit untuk menapakkan kaki untuk melangkah. Maka banyak cara-cara ekstrim menurut beberapa orang, yang sangat memancing emosi banyak jemaah lainnya, terutama karena faktor perbedaan budaya. Yang paling tidak disukai para jemaah haji Indonesia dari mana pun asalnya, Banten, Cirebon, Pati, Pasuruan, Jogya dan lainnya adalah ketika orangorang Jazirah Arab dan satu etnisnya lewat diantara para jemaah lainnya dengan berpegangan pada kepala orang yang dilewatinya. Dengan postur tubuhnya yang tinggi besar, menjadi masalah tersendiri bagi banyak para jemaah haji. Pertama, karena mereka menyalip untuk melangkah diantara jarak dua orang jemaah yang sangat berdekatan, kedua postur tubuh mereka yang besar, memberi penekanan tertentu kepada jemaah haji yang dilewatinya untuk lebih meminggirkan tubuhnya, ketiga, tumpuan tangan dikepala orang yang dilewatinya memberi beban tersendiri kepada tubuh orang yang dilewatinya, keempat kepala bagi sebagian bangsa, terutama di Indonesia adalah bagian tubuh yang sangat berhubungan dengan masalah kehormatan, dan harga diri. Orang di pegang kepalanya, 273
merupakan penghinaan bagi orang tersebut. Artinya menginjak-injak, menghina harga diri dan kehormatan. Bahkan tidak sampai di situ, orang-orang dari Arab dan sekitarnya juga satu etnis dan satu rumpun, termasuk yang kami sebut orang “Negro”. Kelima, jika ada orang yang sedang dalam posisi tertidur sambil berbaring pun, maka orang-orang tersebut tetap lewat, dengan melangkahi orang yang sedang berbaring tadi. Etnosentrisme dan Stereotip budaya Berinteraksi dengan orang dari negara yang berbeda banyak menimbulkan prasangka atau persepsi negatif, dari banyak jemaah haji, terutama dari Indonesia. Kenapa dari Indonesia? karena setiap ada orang yang mengumpat, hanya yang menggunakan bahasa Indonesia lah yang peneliti mengerti. Bahkan salah satu jemaah dari Padang berkata bahwa “orang Arab menaruh otaknya di dengkul”. Berbeda budaya, berbeda pula cara praktik beribadah ke Allah, meskipun dengan maksud dan tujuan yang sama. Keanekaragaman Gerakan Shalat Menurut penulis, gerakan solat yang paling sempurna adalah gerakan solat yang dilakukan oleh orang Indonesia. Shalat diawali dengan Takbirotul Ihram dengan mengangkat kedua telapak tangan, membaca hamdalah dan seterusnya dengan sikap bersidakep. Tangan kanan di atas tangan kiri, bertumpu pada telapak tangan di atas pusar, dilanjutkan takbir, mengangkat tangan sambli mengucapkan Allahu Akbar kemudian rukuk, hal yang sama dilakukan ketika akan sujud, duduk di antara dua sujud, kedua kaki ditekuk lurus, telapak kaki kiri lurus ke bawah, sedangkan telapak kaki kanan dalam posisi berdiri. Sedangkan takhiyat awal dan akhir juga posisinya duduknya berbeda.
Takhiyat awal memiliki kesamaan dengan cara duduk di antara dua sujud, sedangkan takhiyat akhir kedua kaki yang ditekuk, tidak lurus ke bawah di duduki, tetapi lebih condong miring ke sebelah kanan, begitu pun posisi tubuh, condong ke sebelah kanan. Posisi pantat tidak menduduki kedua kaki seperti saat duduk di antara dua sujud dan takhiyat awal, tetapi duduk pada sajadah, karpet atau lantai. Sedangkan orang Nigeria, setelah takbiratul ihram di awal solat setelah niat, setelah membaca Allahu Akbar, tangannya tergantung begitu saja, tidak bersidakep. Bagi orang yang baru mengetahui hal ini, terlihat sangat aneh, karena tidak seperti sedang shalat. Tapi berdiri biasa. Cara bersujud Republik Uganda, juga menarik perhatian penulis, karena setiap posisi sujud, posisi tubuh tidak tegak bersujud seperti di Indonesia, ada jarak antara perut, tubuh, dengan lantai. Yang menempel hanya muka, telapak tangan, dan tekukan kaki. Sujud orang Uganda dan juga beberapa negara “Negro”, tubuhnya menempel di lantai dan kakinya dalam posisi menekuk condong ke samping kanan seperti posisi kaki tahiyatul akhir di Indonesia. Gerakan terindah menurut penulis adalah gerakan shalat yang dilakukan Republik Rakyat Cina. Setelah rukuk, mengangkat kedua belah tangan membaca kalimat “Samiallahu Liman Hamidah Robbana Lakal Hamdu”, maka bukan langsung sujud, tapi sebelumnya membuat gerakan seperti orang menghamba dengan gerakan gemulai menari. Mengangkat kedua tangan setinggi bahu, sambil tangan terus turun dan mengembang ke masing-masing arah sayap tangan, ketika sampai setinggi pinggul, kedua kaki ditekuk ke depan dan kedua telapak kaki jinjit. Cantik sekali, dengan kelembutan dan santun yang luar 274
biasa terhadap Sang Khalik. Hal yang sangat penulis kagumi yang terlihat sangat khusyu beribadah adalah gerakan orang Arab, Pakistan, Iran, Turki, yang setelah takbiratul ihram pertama, langsung mengangkat kedua telapak tangan setinggi muka seperti berdoa, sangat khusyu sekali. Keanekaragaman Pakaian dalam Shalat Pakaian yang paling tertib dan rapi menutup aurat adalah orang bangsa Melayu (Indonesia, Malasysia, Pilipina, dan sebagainya). Menggunakan mukena, sangat rapi dan cantik sekali. Yang di bawa ke mekkah adalah mukena-mukena yang terbagus yang dimiliki, dan sengaja dipersiapkan untuk haji. Untuk negaranegara Arab, Pakistan, Irak dan sebagainya, mereka cukup menggunakan ‘Abaya’ sebagai baju wajib jika bepergian ke luar rumah. Abaya adalah baju longdres berwarna hitam. Ada yang belah depan menggunakan kancing sepanjang tinggi baju, dan ada juga yang model baju kurung terusan mirip gaun, tentu saja tidak belah kancing depan, tetapi menggunakan resleting disebelah bahu kiri, miring ke bawah, sampai ketiak. Untuk Abaya yang menggunakan kancing belah sepanjang baju, maka sipemakainya harus menggunakan baju lengkap di dalamnya, karena baju abaya tersebut tidak mampu menutup rapi apa yang ada di baliknya. Jarak antar kancing terlalu jauh, dan posisi kancing terlalu dipinggir jahitan. Abaya yang bermodel gaun, cukup mengenakan celana strech di dalamnya. Sebagai penutup kepala, cukup digunakan kerudung hitam biasa. ketika berada di area perempuan, para perempuan Arab tidak menggunakan cadar. Kakinya cukup menggunakan kaos kaki. Banyak pula dari Afganistan atau Pakistan, atau Turki yang
tidak memakai mukena, cukup baju biasa, tangan panjang, celana panjang atau rok, memakai kaos kaki dan kerudung biasa. Sedangkan dari kelompok etnis Afrika (“Negro”), seperti Ghana, menggunakan baju atau kain khasnya yang dibentuk mukena, sarung, kain panjang, dengan warna-warna sangat cerah, ada yang dibentuk menjadi mukena seperti di Indonesia, kain ini mirip sekali dengan batik di Indonesia. Kainnya kain katun, mirip batik, tetapi coraknya berbeda. Bawah mukenanya adalah kain panjang yang dililit menjadi sarung, persis seperti cara pakai di Indonesia. Yang membuat berbeda adalah kaki dibiarkan terlihat. Tidak menggunakan kaos kaki atau apapun untuk menutup aurat kaki dan telapak kaki. Kebanyakan orang yang kami kelompokkan “Negro” menutupi telapak kakinya dengan pacar. Satu telapak kaki penuh. Caranya adalah membuat adonan pacar daun dalam sebuah wadah, kedua telapak kaki dicelupkan ke wadah tersebut, dan itu dilakukan berulang-ulang, untuk menjaga agar telapak kakinya terus menggunakan ‘pacar’ (heina). Sebuah tradisi yang fungsinya adalah sebagai obat dan untuk menutup aurat saat shalat. Meskipun dari beberapa “Negro” tertentu penulis melihat ada yang tidak memakai pacar di kakinya, saat shalat tetap tidak mengenakan penutup kaki, dibiarkan terbuka begitu saja. Orang Cina menggunakan baju biasa, cukup berkerudung, dan menggunakan kaos kaki. Tapi yang menarik adalah, mereka memiliki satu kerudung yang mirip topi para penjajah Jepang yang ada di Indonesia. Modelnya adalah kerudung langsung jadi, berwarna hitam, terbuat dari bahan beludru tipis yang bermotif, lebih mirip topi di banding kerudung, menutupi sampai bahu, menutupi kepala belakang 275
dan kedua telinga, tapi bagian depan, muka sampai leher dibiarkan terbuka. Mirip dengan topi penjajah jepang, bedanya, tidak ada moncong topi di depan atas kepala. Sebagian orang-orang dari Arab, Pakistan, Afganistan dan Turki, ada yang mengenakan kain panjang berwarna hitam atau bernuansa hitam, dipakai seperti selimut atau kerudung panjang (selendang), mulai dari kepala sampai ke mata kaki atau lebih. Kain ini tidak dibentuk sama sekali atau diberi peniti saat digunakannya, tapi terus dipegangi saat dipakai. Dari keterangan seorang warga Indonesia yang kini telah bermukim di Mekkah dengan berrsuamikan seorang guru madrasah asli Arab, orang yang mengenakan penutup seperti itu adalah orang Islam Syiah. Tentu saja, karena yang digunakannya adalah hanya sehelai kain panjang, maka orang yang mengenakannya, di dalamnya mengenakan baju panjang yang menutup aurat lengkap plus dengan kerudungnya. Kain hitam panjang ini dikenakan tidak saja pada waktu solat, tapi juga saat bepergian lainnya. Persis seperti fungsi Abaya. Cara yang juga banyak dilakukan adalah dengan shalat di atas kursi. Satu kursi atau dua kursi. Satu kursi, berarti jemaah yang shalat menggunakan bahasa isyarat saja shalatnya. Ini biasanya dilakukan untuk orang yang sudah berumur (tua, sepuh) yang tidak mampu melakukan gerakan shalat biasa. Yang menggunakan dua kursi, satu kursi digunakan untuk duduk, kursi lainnya untuk kepala saat melakukan sujud. Ada juga yang menggunakan kursi ini untuk gerakan shalat lainnya saja seperti sujud, rukuk, duduk, tapi saat berdiri, jemaah tersebut berdiri seperti biasa. Analisa penulis, sebenarnya umur sekian di Indonesia orang-orang masih mampu
melakukan shalat dengan gerakan biasa, karena tidak tua sekali. Yang membuat orang Arab, Pakistan, Turki, dan sebagainya banyak yang demikian adalah, pertama mungkin karena penyakit, kedua karena bobot tubuh mereka yang gemuk, bahkan kegemukan. Kebiasaan makan dengan banyak mengkonsumsi daging dan meminum soft drink atau sirup, dalam porsi yang besar, membuat orang perawakan Arab dan sebagainya sangat gemuk. Ini yang menyulitkan mereka dalam melakukan gerakan-gerakan ibadah. Jemaah banya yang memutuskan tidak kembali lagi ke hotel setelah Shalat Ashar sampai Isya, termasuk penulis dan teman satu rombongan, karena jarak waktu ketganya sangat berdekatan. Lagi-lagi masalah mendapatkan tempat. Meskipun, ada yang memutuskan tidak lagi kembali ke hotel karena lebih senang menggunakannya untuk berdoa, berdzikir, mengaji atau untuk berinteraksi dengan orang-orang sekitar tempat duduk, baik di belakang, depan atau samping. Saat inilah, waktu saling mengenal dan mengobrol sering dilakukan. Namun sekali lagi, bahasa selalu menjadi kendala. Tapi, bukan berarti interaksi tidak berjalan dengan baik, melalui bahasa nonverbal, senyum, ekspresi muka, masing-masing menebak-nebak apa maksud yang dikatakan satu dan yang lainnya. Dan banyak yang berhasil, meskipun yang satu menggunakan Bahasa Indonesia, yang satu menggunakan bahasa negaranya masingmasing. Ada kekuatan dalam interaksi, saat masing-masing individu memiliki keinginan besar untuk saling melakukan kontak dan berkomunikasi. Meskipun masing-masing menggunakan bahasa masing-masing, rasa yang besar untuk berinteraksi, mampu menghadirkan kemampuan untuk menangkap makna dari 276
setiap upaya komunikasi yang dilakukan. Ada interaksi yang paling lama dilakukan oleh orang Pakistan dengan jemaah haji Indonesia sampai mencapai satu jam lebih, dengan keterbatasan yang masing-masing miliki, tapi mereka mampu berkomunikasi dan berukar banyak informasi yang mampu masing-masig pahami, meskipun tak sedikit yang gagal. Ketika kami hanya bisa menganguk-mengangguk, tersenyum dan tertawa, setelah itu sudah, masingmasing pihak tak mampu lagi melanjutkan, karena sama sekali tidak mampu meraba makna komunikasi yang dipertukarkan. Pemaparan di atas, sama persis terjadi di Makkah, tidak hanya berlaku di Madinah. Disisni, peneliti memaparkan peristiwa di Madinah terlebih dahulu, karena peneliti saat menunaikan ibadah haji berangkat pada gelombang pertama, jadi kedatangan pertama kali langsung ke Madinah. KESIMPULAN Ibadah haji mempertemukan umat islam dari berbagai penjuru dunia dengan perbedaan budaya, karakter, bahasa dan warna kulit, dengan satu persamaan tujuan hakiki, yaitu untuk bertaubat, saling mengenal dan menolong. Kategorisasi atau yang disebut Mead “Significant Symbol” pada ekspresi wajah, senyum, dimiliki secara umum pada semua orang dari berbagai penjuru dunia. Bahasa san simbol menjadi berbeda ketika orang memiliki latar belakang kultural yang berbeda dan masing-masing, dan mempersepsi, berpikir, dan menafsirkan sesuatu dengannya. Komunikasi transbudaya menuntut kita membangun makna berdasarkan konteks dan situasinya, tidak berdasarkan sudut budaya kita, agar mampu saling mengenal dan menolong. Ada keragaman dalam detail ibadah ke sang Khalik, dalam Praktek Shalat, mulai
dari gerakan shalat seperti bersidakep, atau terulur saja, dan sebagainya. Busana yang dipakai ada mukena, abaya, dan sebagainya. Tentu saja keragaman juga yang berhubungan dengan interaksi manusia. Terdapat pada perbedaan bahasa: Melayu, arab, Cina dan lain-lain, budaya, misalnya, orang Arab sangat gemar bersedekah di musim haji, terbiasa memegang kepala saat lewat melangkahi jemaah lain, orang Arab mudah mengatakan haram, berkenaan dengan hukum agama atau hubungan manusia (tidak boleh). Jika Pedagang Arab tidak menyukai pembeli, mereka akan mengusir pembeli dan mengambil secara kasar barang yang sedang dipegangnya. Sumber Referensi Al-Mazyad, Ahmad & Asy-Syiddy, Adil. 2012. Inilah Islam: Rukun-rukun Islam. Madaar AlWathan. Arab Saudi Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif. Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Pustaka Jaya. Jakarta. Bungin, M. Bungin. 2006. Sosiologi Komunikasi:Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana – Prenada Media Group. Jakarta Badan Penerangan Haji. 2012. Petunjuk Jamaah haji dan Umrah serta Penziarahan Masjid Rasul SAW. Departemen Agama, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan Islam. Arab Saudi
277
Griffin,
EM. 2006. Afirst Look At Communication Theory. Sixth Edition. McGraw – Hill. Amerika
Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasin. Jakarta
Gudykunst, William B & Kim, Young Yun. 1997. Communicating With Strangers. An approach to Intercultural Communication. McGraw-Hill. Amerika
Ruben, Brent D & Stewart, Lea P. 2006. Communication and Human Behavior.Fifth Edition. Pearson. Amerika.
Agustian, Ary Ginanjar. 2004. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power. Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan. Arga. Jakarta. Kementrian Agama RI. 2012. Tuntunan Praktis Manasik Haji dan Umrah. Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Jakarta
Saefullah, Ujang. 2007. Kapita Selekta Komunikasi Pendekatan Budaya dan Agama. Simbiosa Rekatama. Bandung. Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Matsumato, David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
West, Richard & Turner, Lynn H. 2007. Introducing Communication Theory: Analysis and Application, Third Edition. McGraw-Hill. Amerika
Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif.Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
www. Tafseer. Info. 2012. Tafsir Al-‘Usyr Al-Akhir dari Al-Quran Al Karim Juz (28, 29, 30). Disertai HukumHukum Penting Bagi Seorang Muslim. Saudi Arabia
-------------------, 2005. Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintasbudaya. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Sumber lain: http://sosiologidakwah.blogspot.com/2008 /03/spiritual-dantranscendental.html, pada 5 Desember 2012 pukul 13.03 WIB)
278