Hadirkan Varian Baru, Mahasiswa UNAIR Produksi Meises Berbahan Buah Naga UNAIR NEWS – Seringkali Orangtua kehabisan akal dalam memilih makanan pelengkap yang bergizi untuk anak dengan harga relatif terjangkau. Salah satu makanan yang menjadi favorit anak-anak adalah meises (butiran coklat) karena rasanya manis dan bisa diolah dengan berbagai makanan seperti susu atau roti. Sejauh ini, belum ada inovasi dari varian meises. Hal inilah yang kemudian menginspirasi lima mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yaitu Riyantita Tunjung Sari (2014), Alfu Rahmawati (2014), Arnia Nurlitasari (2014), Pingkan Nasuke (2014), dan Citra Dewi Arum Pitaloka (2013) untuk menciptakan varian baru meises dengan bahan dasar buah naga. Mereka menggunakan buah naga sebagai bahan dasar karena memiliki kandungan vitamin yang banyak, antioksidan tinggi, dan vitamin C yang tiga kali lebih banyak dari buah jeruk. “Produk kami namanya Mera-mera. Diberi nama demikian karena warna meisesnya merah seperti buah naga,” jelas Riyantita, selaku ketua tim PKM. Komposisi dari meises ini terdiri dari buah naga sebagai bahan utama, gula sebagai pemanis, lesitin sebagai pengemulsi, perisa vanili, dan pengawet natrium benzoate. Untuk mendapatkan kandungan gizi dari buah naga, buah terlebih dahulu dimasukkan oven dengan tujuan untuk mengurangi kadar air tanpa mengurangi kandungan vitamin. Selain itu, proses oven ini mengakibatkan warna yang dihasilkan pada meises lebih mencolok. Untuk rasa yang dihasilkan, meises ini memadukan antara rasa manis khas meises dan rasa masam dari buah naga. Dalam proses pembuatan meises, beberapa hambatan seringkali muncul, salah satunya adalah bentuk meises yang menggumpal karena suhu saat proses oven yang tidak tepat.
Sejauh ini, target pemasaran “Mera-mera” adalah anak-anak. Untuk itu, tim PKM-K ini membuat kemasan yang unik untuk menarik perhatian anak-anak. Ruang lingkup pemasarannya sendiri tidak hanya di Surabaya, tapi sudah meluas ke Malang, Sidoarjo, Madura, bahkan sampai Thailand. “Kami berharap ide kami segera mendapatkan hak paten untuk kemudian bisa diproduksi dan dipasarkan lebih luas lagi,” imbuh Riyantita. (*) Penulis : Afifah Nurrosyidah Editor : Dilan Salsabila
Lima Mahasiswa Olah Buaya Jadi Brownies
Lidah
UNAIR NEWS – Melimpahnya tanaman lidah buaya (Aloe vera) di ujung selatan Jawa Timur, Trenggalek, berhasil dimanfaatkan oleh kelima mahasiswa Universitas Airlangga. Dengan mengandalkan partisipasi dari kelompok ibu rumah tangga, mereka telah berhasil mengolah tanaman lidah buaya menjadi brownies dan kerupuk. Kelima mahasiswa tersebut adalah Rica Naudita Krisna Setioningrum, Kartini, Novia Yudiasari, Zsafidda Afa Mahardika, dan Anak Agung Wantini. Mereka tergabung dalam tim proposal Program Kreativitas Mahasiswa–Pengabdian Masyarakat berjudul “K2P (Kreativitas Ketahanan Pangan) Pemanfaatan Aloevera untuk Melatih Masyarakat Trenggalek dalam Bidang Kewirausahaan”. Proposal tersebut berhasil lolos seleksi pendanaan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tahun
2017. Dalam implementasinya, mereka menyasar anggota kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di Desa Tumpuk, Kecamatan Tugu, Trenggalek. “Kami memberikan kuesioner kepada ibu-ibu rumah tangga tentang potensi lidah buaya untuk dijadikan produk makanan. Dari hasil kuesioner tersebut, ternyata banyak dari responden yang belum mengetahui tentang manfaat Aloe vera untuk dijadikan produk makanan, padahal potensi tanaman tersebut di Desa Tumpuk sangatlah melimpah,” tutur Rica. Setelah hasil kuesioner diketahui, mereka mengajak kelompok PKK setempat untuk mengikuti pelatihan kewirausahaan. Dari situlah, kelima mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat ini membentuk kader-kader yang berasal dari kelompok PKK tersebut untuk menjadi pengurus program kewirausahaan ini. Guna membentuk usaha yang berkelanjutan, anggota kelompok PKK diajak untuk melewati menerapkan tahapan program kreativitas dan ketahanan pangan. Yakni, go plant, go process product, dan go market. Pada tahapan go plant, anggota PKK diajari cara menanam dan merawat lidah buaya. Selanjutnya, tahapan go process product, anggota PKK diajari mengolah lidah buaya menjadi brownies dan kerupuk. Pada tahap pemasaran atau go market, kelompok sasaran diajari memasarkan produk melalui media sosial, termasuk offline. “Kami menerapkan program K2P selama tiga bulan, mulai dari menanam lidah buaya di lahan dekat balai desa juga mempraktikan demo masak brownies dan kerupuk lidah buaya. Kami juga memberikan resep-resep olahan lidah buaya untuk menambah kreativitas ibu-ibu PKK sekaligus mengajari cara memasak yang higienis,” imbuh Rica. Hasil olahan lidah buaya tersebut diberi merek Broalek
(Brownies Aloevera Trenggalek) dan KAT (Kerupuk Aloevera Trenggalek). Harapannya, Broalek dan KAT dapat dijadikan sebagai oleh-oleh kekinian dari Trenggalek, apalagi wilayah yang berbatasan dengan Samudera Hindia itu memiliki destinasi pariwisata yang menarik. Editor: Defrina Sukma S
Peneliti UNAIR Ciptakan Alat Dentolaser untuk Terapi Gigi dan Mulut UNAIR NEWS – Peneliti Universitas Airlangga mengembangkan alat bernama Dentolaser yang bisa digunakan oleh para dokter gigi sebagai alat terapi gigi dan mulut dengan menggunakan laser. Alat Dentolaser itu dikembangkan oleh peneliti dan dosen Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Dr. Suryani Dyah Astuti. Bersama dengan tim peneliti yakni Dr. Ernie Maduratna dan Deni Arifianto, Dyah mengembangkan dua jenis alat Dentolaser. Perbedaan alat tersebut terletak pada panjang gelombang yang bisa dijangkau oleh alat tersebut. Masing-masing memiliki panjang gelombang 405 nanometer dan 600 nanometer. Kegunaannya pun berbeda. Dentolaser dengan panjang gelombang 405 nm digunakan untuk membunuh bakteri, sedangkan alat yang bisa menghasilkan panjang gelombang 600 nm difungsikan untuk foto biomodulasi sel. “Yang pertama (Dentolaser 405 nm) untuk membunuh bakteri, sedangkan yang kedua (Dentolaser 600 nm) untuk foto
biomodulasi sel seperti terapi akupunktur, penyembuhan luka, dan rehabilitasi medik,” tutur Dyah. Penyakit gigi dan mulut yang bisa diatasi dengan Dentolaser antara lain karies pada gigi (gigi berlubang), penyakit periodontitis, orthodontis, luka, berdarah, atau inflamasi. Ia memilih menggunakan laser untuk terapi karena metode terapi dengan fotodinamik memanfaatkan cahaya, fotosensitizer, dan oksigen. Ketiga unsur itu menghasilkan radical oxygen species (ROS) yang akan menyebabkan kematian pada sel yang tidak dikehendaki seperti kanker, mikroba, bakteri, dan virus. “Tipe kematian selnya tidak seperti antibiotik yang menyebabkan perubahan pada DNA. Kalau ROS kematiannya adalah perusakan membran sel. Nah kalau membran sel rusak, air akan masuk dalam sel dan mengakibatkan lisis atau kematian pada sel. Tidak menyebabkan adanya resistensi pada mikroba tersebut,” tutur Dyah. Dengan
adanya
keunggulan
yang
dimiliki
oleh
terapi
fotodinamik, peneliti yang memulai riset terapi fotodinamik sejak tahun 2007 itu akhirnya memilih menggunakan laser di bidang kesehatan. Sinar yang dihasilkan laser bersifat monokromatik, koheren, dan dayanya lebih tinggi sehingga lama paparan akan lebih pendek. Untuk itulah, ia memanfaatkan laser yang bisa dimanfaatkan untuk mengobati penyakit gigi dan mulut, serta penyakit-penyakit lainnya. Produk Dentolaser mulai dikembangkan sejak tahun 2015. Saat itu, Dyah dan tim mengikutsertakan produk penelitiannya dalam program Calon Pengusaha Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT). Dari situlah, mereka berhasil membuat dua produk Dentolaser. Sebelum ada produk Dentolaser, biasanya para dokter gigi mengobati penyakit gigi dan mulut dengan menggunakan antibiotik. Karena sifat antibiotik yang bisa mengakibatkan resisten, maka produk Dentolaser ini memiliki keunggulan tersendiri. Yakni, tidak menimbulkan resistensi, dan bisa
menjangkau tempat-tempat sulit di rongga mulut. “Misalnya, di bawah akar gigi maka bisa menggunakan alat Dentolaser ini. Bisa ergonomis,” tuturnya. Alat tersebut merupakan perangkat yang mudah digenggam, mudah dibawa ke mana-mana, dan menggunakan baterai. Alat tersebut memiliki serat fiber yang menghantarkan sinar laser yang bisa meminimalisir rugi daya. Deni, salah satu tim Dentolaser, mengatakan bahwa alat tersebut bisa bekerja dengan tiga mode. Yaitu, sinar yang selalu menyala, sinar yang redup lalu menjadi terang, dan sinar yang berkedip (mati lalu nyala dan mati lagi). Laser ini bisa bertahan selama 40 detik untuk satu kali penyinaran. Sedangkan, untuk daya baterai, laser ini bisa bertahan hingga satu bulan. Pemakaiannya bergantung dokter yang bersangkutan. “Jadi, kalau sinarnya biru, intensitasnya tinggi dan akan terasa lebih panas. Agar tidak terus menerus, pakai mode blinking. Kalau dari rendah ke besar, pemakaian tergantung dokter supaya pasien tidak langsung kaget karena panas,” tutur Dyah menambahkan. “Misalnya, pada penyakit periodontitis atau gusi yang melorot. Gusi yang melorot itu disebabkan di pocket gigi terdapat banyak bakteri. Pada saat praktik, gusi diturunkan dan disinari di bagian pocket tersebut,” imbuh Dyah. Berdasarkan penelitian in vitro yang pernah ia lakukan, metode kombinasi dengan antibiotik Doxycycline dan sinar laser bisa mematikan bakteri hingga 86 persen. Namun, pengajar Departemen Fisika itu menerangkan, Dentolaser tak harus dikombinasikan dengan antibiotik. Hanya saja, memang uji klinik itu diterapkan pada gusi yang melorot. Uji klinik pada gigi dilakukan oleh rekan satu timnya yang juga dokter gigi yaitu Ernie.
“Nggak harus pakai antibiotik pun bisa. Kami padu dengan Doxycycline karena kalau gusinya melorot gigi akan cenderung rapuh. Sedangkan, Doxycycline cenderung merekatkan. Akhirnya, diberi sedikit Doxycycline agar dibersihkan dari bakteri baru kemudian disinari. Bakteri yang tidak bisa mati dengan antibiotik baru kita bunuh dengan laser ini,” terangnya. Namun, ia kembali menekankan penggunaan alat yang bisa bertahan hingga satu bulan ini tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk terapi kesehatan gigi, tapi juga dokter kulit untuk mengobati jerawat dan rehabilitasi medik. Industri perguruan tinggi Sejak tahun 2016 sampai sekarang, produk Dentolaser ini sudah dalam proses registrasi hak paten di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu, pada awal bulan Maret, tim peneliti Dentolaser berhasil mendapatkan hibah sebesar Rp 4 miliar dari Direktur Jenderal Penguatan Inovasi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI melalui judul riset “Inovasi Produksi Dentolaser Antimikroba dan Biomodulasi Sel untuk Akselerator Respon Penyembuhan Penyakit Gigi dan Mulut”. “Hibah itu kami gunakan untuk hilirisasi produk yang nanti dapat bermanfaat bagi masyarakat. Caranya adalah dengan membangun industri perguruan tinggi. Kami diberi hibah berupa alat-alat, pengurusan sertifikasi, dan sebagainya. Dengan adanya industri perguruan tinggi, mahasiswa-mahasiswa kita yang bekerja di bidang itu, bisa belajar di sana,” tutur Dyah. Targetnya, produksi massal Dentolaser akan dilakukan pada tahun 2018. Sedangkan, pada tahun 2017 pihaknya akan membangun industri perguruan tinggi dan improvisasi alat. Biaya produksi alat tersebut saat digunakan untuk penelitian memakan ongkos antara Rp 2,75 sampai 3 juta. Namun, ia berharap, dengan adanya produksi massal, harga tersebut bisa ditekan. “Saat ini alatnya kan masih skala prototipe dan kita membuatnya secara handmade. Kalau ingin masuk ke industri dan
diterima pasar, perlu kualitas yang baik. Selebihnya akan kita assembling (rakit), dan melewati quality control (uji kualitas). Kalau sudah sesuai maka akan diproduksi massal. Lalu, kita akan adakan tes pasar. Selain itu, ide dan desain itu semuanya dari kita (tim peneliti),” ujar Deni menambahkan. Penulis: Defrina Sukma S Editor : Binti Q. Masruroh
Mengubah Beternak Ayam Secara Tradisional Menjadi Semi Intensif UNAIR NEWS – Terinspirasi dari kondisi masyarakat Desa Tanjungsari, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur, khusunya ibu-ibu yang banyak menggemari memelihara ayam kampung. Sayangnya, sistem pemeliharaannya masih tradisional, padahal kebutuhan ayam kampung di pasaran semakin meningkat. Untuk itulah kelompok lima mahasiswa Universitas Airlangga berinisiatif memberdayakan masyarakat tersebut melalui ternak ayam kampung yang nantinya diharapkan dapat menjadi penopang kegiatan ekonomi produktif di Desa Tanjungsari, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung. Selain itu juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lebih baik. Setelah melihat kondisi masyarakat di desa tersebut, Tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian (PKMM) UNAIR ini terinspirasi dan melakukan pelatihan program MAMA TERAPUNG, kependekan dari “Manajerial Masyarakat Peternakan
Ayam Kampung”. Dibawah bimbingan dosennya, Sunaryo Hadi Warsito, drh., M.P., PKM MAMA TERAPUNG ini dituangkan ke dalam proposal. Setelah melalui penilaian Dikti, proposal bertajuk “MAMA TERAPUNG: Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat di Desa Tanjungsari, Boyolangu, Tulungagung dengan pelatihan manajerial beternak ayam kampung Menggunakan Metode P3E” ini lolos dan berhak memperoleh dana Program PKM dari Kemenristekdikti tahun 2017. Menurut Septiana Megasari, ketua Tim PKMM ini, pelatihan tersebut dilakukan melalui beberapa tahap dan metode, antara lain pendahuluan (survey), tahap pelaksaan yang meliputi penyuluhan dan praktek langsung, serta pendampingan dan yang terakhir evaluasi. Mitra dari program MAMA TERAPUNG ini, adalah peternak Pak Maripin dan istrinya. Kemudian pada saat penyuluhan dilakukan di Balai Desa Tanjungsari dengan mendatangkan pemateri dari Dinas Peternakan Kabupaten Tulungagung. Kemudian dilakukan praktek langsung atau pemberian contoh yang dilakukan di rumah mitra (peternak), yaitu tentang perubahan sistem kandang dari yang semula umbaran (dibiarkan liar) menjadi semi intensif, yaitu ayam yang biasanya dibiarkan mencari makan sendiri kini diubah dalam manajemen pakan yang terjadwal.
TIM PKMM Mahasiswa UNAIR. (Foto: Dok PKMM) ”Sebagai pedoman ibu-ibu PKK Desa Tanjungsari dalam beternak ayam kampung, juga kami buatkan modul beternak yang di dalamnya meliputi materi pembuatan kandang, pemeliharaan ayam kampung serta penyusunan pakan,” demikian Septiana, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR ini. Melalui progam MAMA TERAPUNG ini dapat menjadikan masyarakat, khususnya ibu-ibu PKK di Desa Tanjungsari menjadi terampil beternak ayam kampong, sehingga dapat meningkatkan perekonomian keluarga, bahkan dapat menciptakan desa tersebut sebagai pusat percontohan peternakan ayam kampung. Selain dipandegani oleh Septiana Megasari dari FKH sebagai ketua kelompok PKMM, juga terdapat empat orang mahasiswa lain sebagai anggota tim, yaitu Tiara Prastiana Putri dan Evania Haris Chandra (keduanya dari Fakultas Kedokteran Hewan), Arizqa Miftahurrohmah (Fakultas Ekonomi dan Bisnis), dan Intan Nurmahani (Fakultas Hukum). ”Kami berharap taraf hidup masyarakat di Desa Tanjungsari,
Kec. Boyolangu, Tulungagung ini juga meningkat, seiring berkembangnya peternakan mereka,” kata Septiana memungkasi. (*) Editor: Bambang Bes
Mahasiswa UNAIR Ciptakan Alat Deteksi Dini Penyakit ”Angin Duduk” UNAIR NEWS – Ada sebagian masyarakat menyebutnya “angin duduk”. Dalam bahasa kedokteran disebut sebagai Angina Pectoris, merupakan salah satu jenis penyakit jantung yang menyerang secara mendadak akibat kurangnya pasokan oksigen pada otot-otot jantung. Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute’s Atherosclerotic Risk in Communities (ARIC), kematian karena “angin duduk” ini mencapai 37% per tahun. Saat ini, deteksi terhadap gangguan kesehatan bernama “angina duduk” ini dapat dilakukan menggunakan Electro Cardio Graph (ECG). Sayangnya, ECG ini hanya dimiliki rumah sakit saja, sehingga pasien “angin duduk” sebagian besar tak tertolong, apalagi di daerah-daerah terpencil yang jauh dari rumah sakit. Berangkat dari kebutuhan yang penting itulah, lima orang mahasiswa Universitas Airlangga menciptakan alat yang bisa digunakan untuk mendeteksi secara dini penyakit “angin duduk” ini. Tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta (PKM-KC) Universitas Airlangga yang berkreasi ini diketuai Ahmad Nurianto, dengan anggota Aji Sapta, Rahardian, Difa
Fanani, dan Novi Dwi. Setelah melalui seleksi yang ketat pada Dirjen Dikti, proposal PKM-KC karya Ahmad Nurianto Dkk ini berhasil lolos seleksi, dan berhak mendapatkan dana pengembangan dari Kementerian Riret Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) program PKM tahun 2016-2017. Dijelaskan oleh Ahmad Nurianto, alat inovasinya itu diberi nama i-Humble, singkatan dari Innovation Heart Monitoring Portable Device. Alat ini dilengkapi dengan filter digital dan sistem pakar. Dengan menggunakan filter digital, dimaksudkan agar grafik sinyal jantung yang dihasilkan lebih mudah dibaca.
PERANGKAT I-Humble yang diciptakan PKM-KC UNAIR. (Foto: Istimewa) Selain itu, alat yang dihasilkan memiliki ukuran yang relatif kecil, dikarenakan komponen yang digunakan merupakan komponen digital. Dengan ukuran yang kecil itulah, alat ini mudah untuk dipindah-pindah dan dapat digunakan pada kondisi darurat. Pada alat ini juga ditambahkan sistem pakar yang dapat mendeteksi besar resiko pasien terserang penyakit “angin duduk”. Alat ini juga menggunakan tampilan layar sentuh, sehingga menambah nilai plus pada kemudahan pengoperasian alat
ini pada penggunanya. Menjawab news.unair.ac.id, dikatakan Ahmad, bahwa biaya yang dibutuhkan untuk membuat alat ini tidaklah besar. Pengoperasiannya pun mudah. “Dengan demikian kami berharap alat ini tenaga medis yang berada di pelosok-pelosok mengingat deteksi dini angin duduk dan lainnya penting untuk seluruh masyarakat Ahmad Nurianto. (*)
dapat menjangkau desa di Indonesia, penyakit jantung Indonesia,” kata
Editor : Bambang Bes
Bioreaktor Ketergantungan Baku Obat
Kurangi Impor Bahan
UNAIR NEWS – Berdasarkan riset yang dilakukan Prof. Dr. Yosephine Sri Wulan Manuhara, M.Si, 95-96 persen bahan baku obat-obatan di Indonesia didapat dari impor, terutama dari Tiongkok dan India. Walaupun Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya biodiversitas, namun pemenuhan bahan baku obat dari sumber tanaman asli masih mempunyai beberapa kelemahan. Di antaranya, kebutuhan lahan yang terbatas karena harus bersaing dengan tanaman budidaya untuk memenuhi kebutuhan pangan, seringkali senyawa yang dihasilkan tidak stabil karena dipengaruhi oleh iklim dan tanah tempat tumbuhnya, dan eksploitasi berlebihan terhadap tanaman tersebut akan menyebabkan kepunahan. Prof. Manuhara yang dikukuhkan sebagai profesor Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi mengembangkan teknik budidaya tanaman di dalam suatu bioreaktor. Ada beberapa keuntungan penggunaan bioreaktor. Pertama, planlet dalam jumlah besar dapat diproduksi dalam satu tahap. Kedua, mengurangi jumlah bejana (botol kultur) dan tempat inkubasi sehingga dapat mengurangi biaya produksi. Ketiga, seluruh permukaan eksplan selalu kontak dengan medium, sehingga nutrisi lebih mudah diserap oleh eksplan yang pada akhirnya meningkatkan kecepatan pertumbuhan. Selain itu, suplai oksigen berperan dalam meningkatkan kecepatan pertumbuhan dan biomasa. “Di Indonesia belum ada yang melakukan ini. Saya berharap ini sebagai pilot project,” ucap Prof Manuhara. Dua tanaman potensial yang digunakan Prof. Manuhara sebagai bahan baku obat yaitu ginseng Jawa dan sambung nyawa. Senyawa bioaktif tanaman ginseng Jawa adalah saponin yang banyak dijumpai di dalam organ akar. “Khasiatnya (ginseng Jawa) sebagai penambah vitalitas. Sedangkan, sambung nyawa bermanfaat sebagai antioksidan, antikanker, antiinflamasi, antihiperglikemik, antihiperlipidemik, dan anti mikroba,” tambah perempuan kelahiran Tulungagung, 3 Maret 1964 itu. Sejak tahun 2012 hingga saat ini, Prof. Manuhara telah melakukan penelitian untuk meningkatkan biomassa dan senyawa bioaktif kedua tanaman tersebut di atas menggunakan bioreaktor dalam skala laboratorium. Prof. Manuhara dan tim akan mengembangkan bioreaktor yang cukup besar dengan kapasitas 20 liter. Dalam waktu tiga tahun ke depan, Kemenristekdikti memberi dukungan pendanaan. “Saya berharap, produk ini bisa ditawarkan ke industri dan bisa menjawab kekurangan Indonesia akan produksi bahan baku obat,” terang Prof Manuhara. (*)
Penulis: Binti Q. Masruroh Editor: Defrina Sukma S
Atasi Kanker Mahasiswa UNAIR Terapi
Payudara, Buat Alat
UNAIR NEWS – Gabungan mahasiswa Universitas Airlangga berhasil terciptanya alat terapi Lymfipum (Lymphedema Fisiotherapeutic Pump) sebagai solusi atas penderita Limfedema akibat pasca operasi kanker payudara. Ditanya UNAIR News tentang yang melatari penelitian itu, Ketua Tim PKM-PE Lymfipum gabungan UNAIR ini, Dewa Ayu Githa Maharani Supartha menjelaskan bahwa di negara berkembang seperti Indonesia, dari tahun ke tahun pasien kanker terus meningkat. Sedangkan penyakit kanker yang terbanyak di Indonesia adalah kanker payudara. Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI 2015, pada tahun 2013 saja jumlah pasien kanker payudara mencapai 0,5% yaitu sekitar 61.682 pasien. Sekitar 20-53% kanker payudara merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya limfedema (National Cancer Institute, 2012). Seperti diketahui, limfedema adalah pembengkakan pada bagian ekstremitas atas maupun bawah yang disebabkan oleh terganggunya aliran limfa. Konon Limfedema tidak dapat disembuhkan (Greene, 2015), padahal limfedema bisa menyebabkan ketidaknyamanan, disfungsi ekstremitas, morbiditas, dan berakibat fatal pada kematian.
Selain itu, jumlah tenaga kerja fisioterapi pada tahun 2014 sekitar 6.813 pekerja. Jumlah tersebut belum memadai dengan kebutuhan secara ideal, yaitu seorang fisioterapis per 1000 penduduk (Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014). Dari keadaan itulah gabungan mahasiswa Universitas Airlangga yang diprakarsai Dewa Ayu Githa MS., Lucia Pangestika, Ataul Karim, Mokhammad Deny Basri, dan Mokhammad Dedy Bastomi, berhasil merancang alat terapi Lymfipum (Lymphedema Fisiotherapeutic Pump) sebagai solusi penderita Limfedema akibat pasca operasi kanker payudara. Mereka adalah gabungan dari mahasiswa S1 Teknobiomedik (Fakultas Sains dan Teknologi/FST), dan mahasiswa D3 Otomasi Sistem Instrumentasi (OSI) Fak. Vokasi. Atas bimbingan dosen Drs. Tri Anggono Prijo, mereka berhasil menyusun makalah bertajuk “Lymfipum – Lymphedema Fisiotherapeutic Pump – Solusi Praktis Patient Post Surgery Breast Cancer” dan berhasil memperoleh dana hibah dari Ditjen Dikti Kemenristek Dikti. Menurut Dewa Ayu Githa, Lymfipum yang dibuat ini memiliki variasi range tekanan dari 20 mmHg – 60 mmHg. Selain itu terdapat LCD yang akan menampilkan keluaran berupa tekanan yang diberikan. Cara kerja dari Lymfipum yaitu dengan memilih nilai tekanan yang diinginkan dengan menggunakan push button. Kemudian tekan tombol “oke” maka pompa udara akan mengeluarkan udara, sehingga udara akan masuk kedalam handcuff. Handcuff itu sendiri tediri dari tiga chamber yang akan mengembang dan mengempis secara bergantian seperti memijat. Mengembang dan mengempisnya chamber inilah yang akan mendesak keluar cairan limfa dari daerah yang mengalami pembengkakan (ekstremitas atas). “Sehingga dengan diciptakannya Lymfipum ini, diharapkan mampu mengurangi resiko kematian akibat terjadinya limfedema pada pasien pasca operasi kanker payudara,” kata Githa berharap mewakili rekan-rekannya. (*)
Penulis : Nuri Hermawan Editor : Bambang Edy Santosa
Mahasiswa FST Bentuk Kader Lingkungan di MAN Surabaya UNAIR NEWS – Suasana sekolah yang rindang dan nyaman tentunya dibutuhkan untuk mendukung sarana belajar-mengajar yang kondusif di sekolah. Letak sekolah yang berada dekat dengan area mangrove dengan pengaruh cuaca yang panas, dibutuhkan adanya penghijauan agar lahan yang gersang bisa berubah rindang. Permasalahan itulah yang melatarbelakangi mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UNAIR melakukan pengabdian masyarakat di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Surabaya, sekolah yang terletak di Jalan Wonorejo Timur No.14, Surabaya. Pengabdian masyarakat tersebut merupakan implementasi dari Program Kreatifitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) dengan judul “ENVISCHO (Environmental School) Pemanfaatan Lahan Kosong Sebagai Integrasi Kepedulian Lingkungan dan Pendidikan Karakter Siswa-siswi MAN Surabaya”. “Sekolah ini memiliki lahan baru yang masih gersang, sehingga membutuhkan penghijauan supaya menjadi sekolah yang rindang dan nyaman bagi siswa-siswinya. Sekolah ini berada di dekat area mangrove Wonorejo, sehingga tak heran bila cuacanya panas, terlebih didukung oleh minimnya penghijauan di sekolah ini,” ujar Muhammad Yufansyah Purnama selaku ketua tim PKM-M. Yufansyah tidak sendirian dalam menjalankan program tersebut. Ia bersama keempat rekannya yakni Pradika Annas Kuswanto, Triadna Febriani Abdiah, Aulia Sukma Hafidzah, dan Shifa
Fauziyah. Diantara mereka ada yang mengambil program studi Ilmu dan Teknologi Lingkungan (ITL) dan Biologi. Solusi minimnya lahan untuk penghijauan yang ditawarkan Yufansyah dan tim yaitu dengan menerapkan urban farming, pertanian khas perkotaan dengan memanfaatkan lahan sempit. Tanaman yang ditanam adalah tanaman lokal, seperti sayursayuran, obat-obatan, atau tanaman lain berbatang herba sehingga bisa dipanen dalam satu waktu. “Tanaman yang dapat ditanam dengan metode hidroponik ini antara lain bayam, selada, dan kangkung. Tanaman tersebut bernilai jual tinggi, karena merupakan sayuran yang sering dikonsumsi oleh masyarakat,” ujar Yufansyah.
Tim PKM dari kiri ke kanan M Yufansyah, Triadna Febriani, Shifa Fauziyah, Aulia Sukma, Pradika Annas. (Foto: Istimewa) Membentuk kader lingkungan yang berkomitmen dalam menjaga kelestarian lingkungan adalah misi besar tim PKM-M ini. Pembentukan kader tersebut tentunya terdiri atas berbagai tahap, terdiri dari brainstorming, pembekalan urban farming,
pembekalan manajemen organisasi, serta pembekalan cara memasarkan produk dari urban farming. Sehingga program ini bukan hanya mengajak siswa untuk peduli lingkungan, namun juga melatih jiwa kewirausahaan mereka. “Mereka juga diberi pembekalan cara memasarkan produk dari urban farming sehingga bernilai ekonomi. Tim Envischo memberikan pelatihan untuk memanfaatkan produk daun kaca piring. Pelatihan enterpreneurship ini diberikan dengan tujuan membentuk kader lingkungan yang mandiri dan pandai memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia,” lanjut Yufansyah. Meskipun pengkaderan dilakukan di hari Sabtu, namun antusiasme siswa MAN Surabaya untuk bergabung dengan program ini sangat tinggi. Terbukti dengan jumlah kehadiran mereka yang memenuhi ruang kelas saat pengkaderan. Hal ini juga karena sekolah dan para guru, utamanya guru mata pelajaran Biologi, mendukung penuh kegiatan ini. “Program ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan tentang lingkungan, tentang memanajemen organisasi, dan wawasan baru yang tidak kami dapat di kelas. Harapannya, program ini berlanjut hingga beberapa tahun ke depan, sehingga permasalahan lingkungan di sekolah bisa teratasi,” ujar Mawardi, siswa kelas XI MAN Surabaya yang menjadi anggota kader lingkungan dari Program Envischo. Yufansyah selaku ketua PKM berharap, kader lingkungan yang ia bentuk bersama tim bisa berkontribusi untuk masyarakat secara luas, tidak hanya di MAN Surabaya. Selain itu, ia juga berharap kader yang telah terbentuk bisa terus berjalan hingga tahun-tahun kedepan. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Nuri Hermawan
Dengan Interpretasi SEM, Madu Lebah Berkhasiat Sebagai Pencegah Osteoporosis UNAIR NEWS – Dalam penelitian dengan metode yang berbeda, yakni melalui interpretasi Scanning Electron Microscope (SEM), dihasilkan bahwa madu dari lebah Apis dorsata mengindikasikan dapat digunakan sebagai obat pencegahan osteoporosis. Demikian penelitian kelompok mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga yang diketuai Samsi Yordan (2015), dan beranggotakan Abdullah Hasib (2013), M. Huda Ramadhan (2015), Salsabilla Abani (2016), dan Siti Nur Rohmah (2015). Hasil yang menggembirakan ini kemudian dituangkan sebagai proposal Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Eksakta (PKM-PE). Dengan bimbingan dosennya, Dr. Ira Yudaniayanti, drh., M.P., proposal ini berhasil lolos seleksi dan berhak meraih dana penelitian dari Kemenristekdikti dalam program PKM tahun 2016-2017. Dijelaskan oleh Samsi Yordan, bahwa osteoporosis adalah kondisi saat kualitas kepadatan tulang itu menurun. Kondisi ini membuat tulang menjadi keropos dan rentan retak. Gangguan ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain jenis kelamin (gender), usia, ras/suku, serta keturunan. ”Faktor utama yang menyebabkan osteoporosis adalah penurunan hormon estrogen .Seorang perempuan atau hewan yang mengalami histerektomi akan mengalami gejala menopouse, karena hormon estrogen tidak diproduksi lagi. Sehingga pembentukan osteoblast terhambat dan osteoklast meningkat yang
mengakibatkan kerusakan tulang pembentukan tulang,” jelas Samsi.
lebih
cepat
dibandingkan
Sampai saat ini, pengobatan utama osteoporosis adalah hormone replacement therapy (HRT) dan bifosfonat. Namun risiko penggunaan HRT yang paling utama adalah dapat menimbulkan kanker payudara. Selain itu dapat digunakan kalsium dan vitamin D serta obat-obatan yang harus selalu dikonsumsi. ”Tetapi pengobatan tersebut juga menimbulkan banyak efek samping, seperti nyeri lambung, terutama apabila cara mengonsumsi obatnya tidak sesuai dengan anjuran dokter,” tambahnya. Sementara itu madu dipercaya kaya akan antioksidan, seperti flavonoid dan asam fenolat. Flavonols pada madu akan berinteraksi secara langsung dengan esterogen melalui reseptor ER-β dan ER-α, dan kandungan asam glukonat yang dapat meningkatkan absorbsi kalsium di dalam usus. Samsi dan kawan-kawan meneliti menggunakan hewan coba tikus putih yang diberi perlakuan Ovariohystercetomy atau pengambilan ovarium. Hewan coba itu diberi madu dengan dosis berbeda-beda selama bulan Maret hingga Juni 2017. Setelah minggu ke-12, tikus dinekropsi untuk pengambilan os femur yang selanjutnya akan dianalisa menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Dari penelitian itu diperoleh hasil bahwa tulang yang tidak diberi madu menunjukan penurunan mikroarsitektur, namun pada tulang yang diberi madu dengan dosis tertinggi menunjukan kepadatan tulang dalam keadaan normal dan tidak terjadi penurunan mikroarsitektur tulang. Hal ini mengindikasikan bahwa madu lebah Apis dorsata dapat digunakan sebagai obat pencegahan osteoporosis. ”Kami berharap dari penelitian ini agar masyarakat mengetahui dan lebih memilih memanfaatkan bahan pengobatan yang alami dibandingkan bahan kimia yang dapat memberi efek samping pada
tubuh,” kata Samsi Yordan. (*) Editor: Bambang Bes
Inovasi Mahasiswa UNAIR Temukan “Penghalang” Antiadhesi Intraperitoneal Pascabedah UNAIR NEWS – Adhesi intraperitoneal atau biasa disebut suatu “perlengketan” di rongga perut, merupakan salah satu kasus serius di kalangan para ahli bedah. Secara sederhana, adhesi intraperitoneal ini dapat dikatakan sebagai perlengketan antara permukaan organ-organ maupun dengan dinding perut pasca-kegiatan pembedahan. Dari serangkaian permasalahan kasus adhesi intraperitoneal serta uji coba-uji coba dalam usaha mengatasi, mahasiswa Universitas Airlangga melakukan penelitian menemukan bahwa hydrogel dengan serangkaian uji in vitro bisa menghambat anti adhesi intraperitoneal. Penilaian itu dilaksanakan oleh Wilda Kholida Annaqiyah, Ainia Rahmah Aisyah, Claudia Yolanda Savira, Yolanda Citra Ayu Priskawati , dan Titin Widya Anjar Sari. Ketika disusun dalam proposal Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Eksakta (PKMPE), dibawah bimbingan Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.Kes., S.Bio,CCD., proposal ini lolos untuk memperoleh dana penelitian dari Kemenristekdikti dalam program PKM 2016-2017. Diterangkan oleh Wilda Kholida Annaqiyah, ketua tim, menurut
etiologinya Adhesi intraperitoneal ini adalah pembentukan jaringan atau ikatan patologis yang biasanya terjadi antara omentum, usus, dan dinding abdomen yang merupakan bawaan atau di dapat sebagai reaksi post inflamasi atau pasca operasi. Ikatan ini dapat berupa lapisan jaringan ikat tipis, sambungan fibrous tebal yang berisi pembuluh darah dan saraf, atau perlengketan langsung antara kedua organ (Arung, 2011; Binda, 2004; Schoman, 2009). Adhesi atau perlengketan ini dapat terjadi pada seseorang yang pernah mengalami riwayat operasi, bahkan tak sedikit kasus ini terjadi saat kegiatan operasi bedah terbuka maupun laparoskopi. Adhesi ini dikatakan kasus yang cukup serius, sebab dampak yang ditimbulkan cukup banyak, antara lain obstruksi usus, infertilitas (kemandulan), nyeri perut kronis, komplikasi serius yang mengharuskan seseorang operasi lagi bahkan meninggal dunia. Prevalensi kejadian adhesi intraperitoneal sekitar 67-93% setelah operasi laparotomi bedah dan mencapai 97% pada operasi ginekologi. Adhesi antara luka dan omentum terjadi pada 80% pasien dan sekitar 50% melibatkan usus. Lebih dari 34% seseorang yang mengalami adhesi juga kembali dirawat di rumah sakit karena komplikasi yang terkait adhesi, dengan angka kematian 4,6-13% (Hellebrekers et al ,2011). Menurut Arlan dalam Prasetyo (2012), di Indonesia insiden obstruksi yang disebabkan oleh adhesi peritoneal berada di posisi kedua, atau ketiga setelah hernia inguinalis dan keganasan kolon. Adhesi intraperitoneal juga penyebab tersering ileus obstruktif. Di Indonesia tercatat 7.059 kasus obstruksi ileus paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang dirawat inap, dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004 (Bank Data Departemen Kesehatan Indonesia dalam Romadhan,2012). Obstruksi yang disebabkan adhesi berkembang sekitar 5% dari pasien yang mengalami operasi abdomen dalam hidupnya (Sabara dalam
Romadhan,2012). Guna mengatasi terjadinya adhesi intra peritoneal, banyak dilakukan percobaan terkait barrier (penghalang fisik) untuk mencegah terjadinya dhesi itu seperti obat-obatan/agen farmakologis, barier cair dan barier padat. Tetapi obat kimia seperti kortikosteroid, antikoagulan, antibiotik, bahan fibrinolitik dan hormon dinilai tidak adekuat dan belum efektif dalam menangani adhesi intraperitoneal. Sedangkan barier cair seperti NaCl ,ringer laktat serta larutan polimer N,O-carboxymethil chitosan (NOCC) dan carboxymethil cellulose (CMC) meski digunakan dalam jumlah besar namun dalam aplikasinya terlalu cepat diserap (Grainger et al,1991). Cairan yang paling umum digunakan adalah solusi hipertonik 32% dekstran 70, tetapi mulai ditinggalkan karena mempunyai komplikasi serius (Dizerega, 2000). Sedangkan untuk barier padat seperti membran dan film dalam penerapannya masih mengalami kesulitan praktis saat diaplikasikan dan hanya mampu menghalangi area tertentu saja bahkan beberapa diantaranya dapat secara agresif melekat pada sarung tangan dokter bedah selama pemasangan (Attard et al, 2007). Dalam rangka mengatasi kekurangan tersebut dalam menangani adhesi intraperitoneal maka dalam penelitian ini dibuatlah sebuah barier (penghalang fisik), yakni berbentuk hydrogel untuk mencegah terjadinya adhesi selama proses penyembuhan jaringan yang luka. Hydrogel ini memiliki keunggulan yakni mampu menutupi area luka dan seluruh permukaan organ dengan geometri secara kompleks ketika disuntikkan kedalam tubuh, sehingga mampu menjadi penghalang fisik atau kontak langsung antara dinding perut maupun antar permukaan organ selama proses penyembuhan jaringan (Balakrishnan et al , 2005). Hydrogel
ini
dibuat
dengan
bahan
polimer
berbasis
methylcellulose dan hyaluronic acid dengan penambahan nano silver (AgNPs). Methylcellulose dan hyaluronic acid dipilih karena sifatnya yang biokompatibel, biodegradabel dan nontoksik. Selain itu Hyaluronic acid diketahui dapat meningkatkan proliferasi pada sel mesothelial peritoneal (Reijnen et al, 2000). Sedangkan nano silver berfungsi sebagai agen anti-bakteri mengingat prevalensi infeksi oleh bakteri di rongga perut yang tidak steril cukup besar. Untuk melihat potensi hydrogel itu maka hydrogel akan melewati beberapa serangkaian uji in vitro, yakni uji swelling untuk melihat kemampuan mengembang dan penyerapan cairan tubuh. Uji degradasi untuk melihat seberapa lama sampel bertahan di dalam tubuh, uji sitotoksisitas untuk menguji sifat toksik sampel.Lalu uji antibakteri untuk melihat kemampuan antibakteri dari nano silver, dan uji Fourier Transform Infra Red (FTIR) untuk menggambarkan ikatan kimia pada bahan. ”Jadi hydrogel ini sudah melewati serangkaian uji in vitro dan memenuhi sebagai barier anti adhesi intraperitoneal. Harapan kami hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam bidang medis untuk aplikasi agen anti adhesi intraperitoneal dan dapat dilanjutkan dalam tahap uji in vivo dan uji klinis,” kata Wilda Kholida Annaqiyah. (*) Editor: Bambang Bes