Hadapi Hoax dengan Bijak, Jangan Reaktif 08 Januari 2017
JAKARTA – Etika di media sosial (medsos) harus diakui berada di titik nadir. Media yang semestinya menjadi sarana silaturahmi, berbagi informasi, dan kegiatan positif lain kini telah banyak dimanfaatkan sebagai sarana menyebar informasi hoax, fitnah, dan lain-lain.
Bentuknya pun beraneka ragam, sebagian besar berupa berita, foto maupun meme. Hampir semua kalangan sepakat bahwa masyarakat, terutama pengguna medsos, harus dilindungi sehingga mereka tidak terjebak informasi menyesatkan. Banyak yang setuju pemerintah menertibkan hoax. Hanya, penertiban dilakukan secara bijak, bukan reaktif.
Di sisi lain pemerintah juga perlu mengoreksi diri karena sering kali pemerintahlah yang memicu
munculnya hoax. Sebelumnya pemerintah telah memutuskan memilih pendekatan represif untuk menertibkan hoax di medsos. Hal ini ditegaskan Menko Polhukam Wiranto seusai sidang kabinet paripurna yang digelar di Istana Bogor (4/1).
Tindakan tegas tersebut menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah direvisi menjadi UU No 19 Tahun 2016 sebagai payung hukumnya. Mabes Polri pun akan memperkuat Subdirektorat Cyber Crime menjadi Direktorat Cyber Crime.
Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon mendukung agar hoax di medsos ditertibkan. Hanya dia tidak sepakat pemerintah sebagai regulator melakukan penertiban dengan cara yang terkesan reaktif. Dalam pandangannya, pemerintah lebih tepat menghadapi pengguna medsos yang dianggap kebablasan dengan cara yang bijak.
Dengan demikian, kebebasan publik untuk berkomunikasi di medsos tetap terjamin. “Coba menyikapi ini, jangan terlalu reaktif juga pemerintah karena kalau reaktif akan panik. Bahwa betul ada aturannya, tapi bukan mengatur,― ujar anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon saat menjadi pembicara diskusi Polemik Sindo Trijaya, “Medsos, Hoax dan Kita―, di Warung Daun, Cikini, Jakarta kemarin.
Politikus PDIP itu mengingatkan, ruang berkomunikasi di media sosial sifatnya sangat personal. Tidak tepat apabila negara justru hadir di tengah- tengahnya hingga mengatur terlalu dalam dan membatasi ruang gerak masyarakat. Negara lebih tepat hanya mengawasi dan memberikan rambu apa saja yang dapat membawa pengguna medsos dikenai sanksi apabila kebablasan. “Bahwa UU itu mengatur bukan orang harus apa, tapi ketika Anda begini ada konsekuensi apa,― kata Effendi.
Effendi juga mendukung langkah pemblokiran sejumlah situs. Hanya dia menggariskan langkah tersebut dilakukan dengan pemeriksaan mendalam, apakah situs yang ditutup benar-benar memuat paham menyimpang dan membahayakan kedaulatan bangsa. “Jadi kalau sudah blokir, no excuse, forever. Kalau sudah semprit ya semprit saja, tapi Anda harus zero mistake, tidak ada lagi celah digugat,― tambah Effendi.
Anggota Komisi I lainnya, Sukamta, meminta pemerintah mengoreksi diri atas munculnya fenomena medsos yang kebablasan. Menurut politisi PKS itu, banyak kasus berita simpang siur di medsos justru muncul dari opini pemerintah yang menimbulkan beragam persepsi di masyarakat. “Seperti pemerintah sekarang berbicara tentang pekerja asing, semua menteri bicara, tapi ada empat versi
angka yang berbeda.
Dari semua itu pasti ada yang bohong,― kata Sukamta. Dengan fakta demikian, menurut Sukamta, bisa dikatakan potensi produsen hoax berasal dari pemerintah sendiri. Karena itu dia berharap pemerintah mengambil sikap bijak ketimbang bersikap reaktif. Caranya pemerintah memosisikan diri sebagai pengumpan balik berita-berita hoax yang beredar di masyarakat, bukan melakukan represi.
“Kalau mau diberantas tentu pemerintah harus menjadi sumber tabiat baru. Sering menyampaikan informasi kepada masyarakat. Kalau pemerintah memperbaiki dirinya sendiri, bekerja benar, hoax akan hilang sendiri,― tambah Sukamta. Sekretaris Forum Jurnalis Muslim Shodiq Ramadhan meminta pemerintah berlaku objektif dalam menghadapi peredaran berita palsu alias hoax.
Dia menilai selama ini pemerintah selalu menyudutkan pengguna media sosial selaku penebar kontenkonten berita palsu. “Pemerintah harus adil. Hoax bukan hanya dimonopoli media sosial. Terkadang pemerintah sendiri juga memproduksi konten hoax,― tandas dia. Shodiq juga meminta pemerintah lebih teliti dan berhati- hati dalam menertibkan situs yang dianggap sebagai penyebar berita hoax.
Dalam hal ini dia meminta pemerintah jangan hanya terpaku pada legal formal, tapi lihat juga kontennya, termasuk apakah konten dakwah Islam juga harus diblokir? Mantan pengelola situs Suara Islam itu tidak menghendaki pemblokiran situs yang dianggap menyebarkan berita hoax dilakukan sembarangan sebagaimana dialami Suara Islam beberapa waktu lalu.
“Penilaian konten oleh Kemenkominfo saja tidak jalan. Apakah ini konten berbau SARA (suku agama, ras, dan antargolongan) atau ada ujaran kebencian,― imbuh Shodiq. Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo, Samuel A Pangerapan, tidak sepakat apabila pemerintah disebut terlalu mengatur ruang masyarakat berkomunikasi di dunia maya.
Dia berdalih sudah ada undang- undang sebagai payung hukum untuk menertibkan medsos. “Menurut saya bukan mengatur, tapi menjalankan UU yang ditetapkan,― ujar Samuel. Dalam pandangnya, pemerintah saat ini lebih mengedepankan sisi pembelajaran bagi pengguna medsos agar dapat menjalankan komunikasinya dengan benar.
Menurut dia, hal yang sama berlaku bagi penyedia informasi di medsos agar menaati aturan yang berlaku. Sebab dengan ketentuan yang terdapat dalam UU ITE yang baru, pemerintah berwenang untuk mencegah penyebarluasan informasi yang tidak benar dan merugikan masyarakat.
Dia kemudian membeberkan, hingga Desember 2016, sudah ada 800.000 website yang diblokir Kemenkominfo. Beberapa di antaranya memuat informasi yang tidak benar dan berpotensi menyesatkan masyarakat. “Memang aturannya seperti itu. Kalau kesalahannya sudah diperbaiki dibuka lagi,― tutur Samuel.
Racun yang Harus Dicegah
Dewan Pers memastikan tidak akan melindungi media yang kedapatan melanggar standar pemberitaan yang ditentukan UU 40/1999. Kemenkominfo sendiri dalam beberapa waktu lalu telah memblokir setidaknya 11 media yang dianggap menyebarkan paham menyimpang, radikal, dan menyesatkan masyarakat.
Anggota Dewan Pers Imam Wahyudi mengatakan bahwa lembaganya memilah media yang termasuk pers atau bukan berdasarkan konten yang disampaikan. “Kalau bentuknya mirip pers tapi isinya tidak mencerminkan pers ya dia bukan pers. Meskipun media tersebut berbadan hukum dan memiliki standar laiknya perusahaan pers, hal itu tidak menutup kemungkinan untuk mengesampingkan mereka dari lembaga pers.
Kami lihat kontennya, kemudian baru administrasinya,― lanjut Imam. Menurut Imam, sikap Dewan Pers atas fenomena medsos yang kebablasan adalah menganggap berita simpang siur (hoax) adalah racun yang harus dicegah penyebaranluasannya sehingga tidak dikonsumsi masyarakat. “Karena itu masyarakat harus terus-menerus diedukasi untuk membedakan mana berita hoax dan mana yang bukan,― tambahnya.
Pakar teknologi informasi dan kriptografi Pratama Pershada melihat persoalan hoax hanyalah sebagian kecil dari ancaman siber yang ditujukan kepada bangsa Indonesia di masa kini. Di masa yang akan datang pemerintah diminta untuk lebih sigap mengantisipasi ancaman yang lebih besar. “Katakan pencurian data pengguna internet, mobile banking, atau pencurian lain, itu yang harus dicegah,― ucap Pratama.
Menurut Chairman CISSReC tersebut, Indonesia yang menjadi salah satu pengguna internet terbesar di dunia tentunya menjadi pangsa yang empuk bagi penjahat siber untuk meraup untung sebesarbesarnya dari ketidaksiapan Indonesia memproteksi pengguna internet. Oleh sebab itu, Pratama mendukung dibentuknya Badan Siber Nasional.
dian ramdhani
(Koran Sindo, 8 Januari 2017)
Communication & Information System Security Research Center Jl. Moh. Kafi 1 No. 88D Jagakarsa Jakarta Selatan Email:
[email protected] Telp. +6221 78890340