Gunawan. Dkk
UJI COBA MODEL PEMBERDAYAAN SOSIAL KELUARGA PASCA BENCANA
GUNAWAN DKK
UJI COBA MODEL PEMBERDAYAAN SOSIAL KELUARGA PASCA BENCANA ALAM
Editor Drs. Abu Hanifah
BADAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DEPARTEMEN SOSIAL RI
i
Perpustakaan Nasional : katalog dalam terbitan (KDT) Gunawan dkk, Uji Coba Model Pemberdayaan Sosial Keluarga Paska Bencana Alam, cetakan pertama, Gunawan dkk.-- Jakarta:2008. viii + 155 hlm, 14.5 x 21 cm. ISBN : 978-602-8427-06-7 Editor Peneliti
Tata Letak Disain Sampul
: Drs. Abu Hanifah : 1. Gunawan 2. Haryati Roebyantho 3. Sugiyanto 4. Ruaida Murni : Choirul Umam : Gunawan
Cetakan Pertama : Tahun 2008 Penerbit
: Ciputat Press (Anggota IKAPI) Jl. Kertamukti Gang Haji Nipan RT. 001/08 No. 133 B Pisangan, Ciputat Website: www.ciputatpress.com E-mail:
[email protected]
Sanksi Pelanggaran Pasal 44 : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
ii
Kata Pengantar Dampak dari gerak alam yang begitu cepat bagi umat manusia (bencana alam) merupakan fenomena sosial yang telah menjadi kepedulian global yang bersifat kemanusiaan (humanity). Kondisi ini tercermin dari Deklarasi Hyogo dan Kerangka Aksi Hyogo (KAH) serta Aksi Beijing yang dijadikan tekad masyarakat sedunia untuk Mengurangi Resiko Bencana. Kesepakatan tentang KAH tersebut dilaksanakan selama satu dekade (2005 sampai dengan 2015). Tujuan yang hendak dicapai dari kesepakatan global tersebut adalah untuk merubah penanggulangan bencana dari reponsif ke penanggulangan bencana yang bersifat menyeluruh yang dapat memprevensi atau mitigasi dari bencana dan mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik kehidupan, asset-asset sosial, ekonomi maupun lingkungan. Tercapainya tujuan tersebut di atas, pada dasarnya merupakan tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat. Artinya setiap unsur yang ada dalam satu wilayah mempunyai peran. Unsur pelaksana dalam penanggulangan bencana alam dapat dikelompokkan dalam 3 besaran yakni pemerintah (privat sector), keluarga dan atau masyarakat (colective action sector) dan lembaga usaha (privat sector). Tugas ketiga unsur tersebut secara terintegrasi dalam tiga tahapan yang meliputi: (a) prabencana; (b) saat tanggap darurat; dan (c) pasca bencana. Ketiga tahapan dalam penanggulangan bencana alam pada dasarnya mempunyai bobot yang sama, dan program untuk ketiga tahapan tersebut harus memperoleh perhatian yang proporsional. Namun, jika dicermati dari berbagai kejadian bencana di beberapa daerah, pelayanan yang diberikan ketiga unsur tersebut masih lebih terkonsentrasi pelayanan pada tanggap darurat (emergensi respon). Setiap ada kejadian bencana alam, unsur yang paling rentan dan paling besar menanggung resiko adalah masyarakat khususnya keluarga. Padahal dalam penanggulangan bencana masyarakat unsur penting yang seharusnya mempunyai peran besar dalam
iiii
penanggulangannya. Sementara ini, pemerintah selalu menjadi tumpuan harapan masyarakat baik dalam kondisi darurat maupun recaveri. Bahkan ada kecenderungan masyarakat bersifat menunggu untuk memperoleh bantuan. Salah satu alternatif untuk pengurangan resiko bencana tersebut adalah peningkatan kesiapsiagaan masyarakat pada umumnya dan keluarga secara khusus. Asumsinya, semakin siap suatu masyarakat dalam penanggulangan bencana alam maka akan semakin kecil resiko yang diterima. Dalam kerangka pencapaian kondisi kesiapsiagaan dimaksud diperlukan model untuk peningkatan kondisi kesiapsiagaan masyarakat baik dalam kondisi pra bencana, darurat, maupun pasca bencana alam. Sebagai langkah antisipasi terhadap besarnya tuntutan peningkatan kualitas penanganan bencana alam, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial pada tahun anggaran 2007 telah melakukan Penggalian data dan informasi di tujuh propinsi untuk penyusunan sebuah model pemberdayaan sosial keluarga pasca bencana alam. substansi model terdiri dari 5 aspek, yakni membangun persamaan persepsi, (2) penyadaran untuk peduli lingkungan, (3) Peningkatan kemampuan dalam penanggulangan bencana alam (4) Pengorganisasian masyarakat (5) kemitraan. Model yang dilakukan dengan pendekatan partisipasi ini pada dasarnya untuk peningkatan keberdayaan masyarakat (khususnya keluarga) dalam bidang: (1) penguasaan aset dan akses informasi dalam penanggulangan bencana alam; (2) Peningkatan produktivitas dalam penanggulangan bencana alam; dan (3) peningkatan posisi tawar menawar dalam penanggulangan bencana alam. Hasil dari peningkatan keberdayaan tersebut dapat dilihat juga tercermin dari kemampuan keluarga untuk bersama-sama menganalisis masalah, merumuskan perencanaan program, serta evaluasi hasil kegiatan yang dilaksanakan.
ii iv
Konsep “Model Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam” yang telah tersusun pada tahun 2007 diujicobakan di dua lokasi penelitian yakni Belu – Nusa Tenggara Timur dan Bondowoso – Jawa Timur. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa kelima muatan dalam konsep dapat dijadikan salah satu alternatif tentang penanggulangan bencana alam. Namun untuk optimalisasi hasil dari model peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanganan Bencana alam perlu di ujicobakan di daerah lain sebagai uji pematapan model. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat sebagai masukan dalam penentuan kebijakan dan pengembangan program dari Unit Teknis Direktorat Penanganan Bencana Alam, dan Unit lain yang mempumnyai komitmen dalam pengembangan masyarakat (khususnya keluarga) di lingkungan Departemen Sosial
Jakarta, Desember 2008 Kepala Puslitbang Kesos,
Drs. Hadi Carito, M.Si NIP. 170014632
iii v
Abstrak Berbagai daerah di Indonesia adalah daerah yang dikategorikan rawan bencana alam. Fenomena alam berupa gempa, gunung meletus, angin topan, gelombang pasang dan kerusakan lingkungan tersebut baik secara parsial maupun gabungan yang beresiko besar pada manusia (bencana). Penelitian ujicoba model Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam merupakan penelitian kasus di dua lokasi penelitian yakni Belu NTT dan Bondowoso Jatim yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas model dan faktor yang berpengaruh dalam pengimplementasiannya. Penelitian ini menggunakan pola kelompok tunggal (one group pretest – postest). Informasi yang terhimpun diukur dengan teknik skoring skala Likert. Hasil dianalisis deskriptif dari penelitian ini dapat dikemukakan bahwa substansi perlakuan memberikan kontribusi terhadap perubahan perilaku kelompok eksperimen yang diukur dari peningkatan kemampuan dalam penguasaan aset dan akses informasi, produktifitas dalam penanggulangan bencana alam, dan peningkatan posisi tawar menawar dalam penanggulangan bencana alam. Secara numerik, hasil skoring dari peningkatan perubahan perilaku masih relatif kecil. Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan: komitmen pemerintah daerah cukup baik, eksistensi pendamping lapangan, stimulan untuk kelompok kerja, keterbatasan waktu penelitian, tokoh masyarakat turut memotivasi kelompok eksperimen. Model yang diujicobakan memperoleh respon yang positif dari masyarakat, tokoh masyarakat, dan instansi sektor. Model yang di ujicobakan masih berskala kecil yaitu di dua wilayah. Optimalisasi hasil dari model peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanganan Bencana alam perlu di ujicobakan di daerah lain sebagai uji pemantapan model. Dalam kerangka perluasan cakupan pelayanan akan mempunyai makna yang besar jika uji pemantapan model ini didukungan dengan program dari Unit Teknis Direktorat Penanganan Bencana Ala m, dan Unit la i n yang mempunyai komitmen dalam pengembangan masyarakat (khususnya keluarga) di lingkungan Departemen Sosial RI.
vi iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i ABSTRAK...................................................................................................... iv DAFTAR ISI.................................................................................................. v BAB I: PENDAHULUAN ...................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah..................................................... 1 B. Permasalahan ....................................................................... 6 C. Tujuan...................................................................................... 8 D. Konsep..................................................................................... 9 E. Metode..................................................................................... 26 F. Langka-Langkah Penelitian............................................. 34 G. Organisasi Penelitian......................................................... 36 BAB II: KONSEP MODEL PEMBERDAYAAN SOSIAL KELUARGA PASCA BENCANA ALAM ............................. A. Dasar Pemikiran.................................................................. B. Maksud.................................................................................... C. Tujuan ..................................................................................... D. Pengertian ............................................................................ E. Pelaksanaan ..........................................................................
37 37 41 41 41 42
BAB III: GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN................. 51 A. Provinsi Nusa Tenggara Timur....................................... 51 B. Provinsi Jawa Timur........................................................... 62 BAB IV:PENERAPAN MODEL PEMBERDAYAAN SOSIAL KELUARGA PASCA BENCANA ALAM............................. A. Membangun Persamaan Persepsi............................... B. Penyadaran Untuk Peduli Lingkungan.......................
71 71 76
vii v
C. Peningkatan Kemampuan Keluarga Dalam Penanggulangan Bencana............................................... D. Pengorganisasian Masyarakat ..................................... E. Kemitraan..............................................................................
76 78 94
BAB V : PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN ....................... 95 A. Perubahan Perilaku dari Kelompok Eksperimen ......................................................................... 96 B. Faktor yang Berpengaruh .............................................. 112 BAB VI: PENUTUP ................................................................................. 117 A. Kesimpulan ......................................................................... 117 B. Rekomendasi ...................................................................... 119 Daftar Pustaka .......................................................................................... Lampiran ................................................................................................... Daftar Istilah ............................................................................................. Biodata Penulis ........................................................................................ Index ............................................................................................................
viii vi
123 127 138 139 152
BAB I PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG MASALAH Berbagai daerah di Indonesia berada pada titik yang dikategorikan sebagai daerah rawan bencana alam. Beberapa faktor yang mengindikasikan sebagai daerah rawan bencana tersebut adalah: 1. Hasil pemetaan dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan, bahwa Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah, di mana hampir 70 di antaranya masih aktif. Zone kegempaan dan gunung api aktif Circum Pasifik amat terkenal, karena setiap gempa hebat atau Tsunami dahsyat di kawasan itu, dipastikan menelan korban jiwa manusia amat banyak. Di negara ini terdapat 28 wilayah yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami. Di antaranya NAD, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng dan DIY bagian Selatan, Jatim bagian Selatan, Bali, NTB dan NTT. Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan Kaltim. Menurut data Laporan Menteri Sosial Republik Indonesia yang disampaikan pada Sidang Kabinet Paripurna tanggal 5 Januari 2007, bahwa 440 kabupaten/kota di Indonesia yang tergolong rawan bencana alam sebanyak 383 kab/kota. 2. Sebagai daerah tropis yang terletak di garis katulistiwa mempunyai curah hujan tinggi pada bulan-bulan tertentu, pusaran angin (Puting Beliung). 3. Kondisi di atas telah diperparah dengan aktivitas manusia dalam pengelolaan alam berakibat pada kerusakan
1
lingkungan. Dalam pengertian ini kerusakan lingkungan akibat eksploitasi (penambangan, penebangan/penggundulan hutan, perkebunan, perumahan), pembakaran hutan dan perlakuan manusia dalam mengelola sampah. Fenomena alam berupa gempa, gunung meletus, angin topan, gelombang pasang dan kerusakan lingkungan tersebut baik secara parsial maupun gabungan telah berdampak pada kerugian manusia (bencana). Menurut catatan MPBI (Masyarakat Pananggulangan Bencana Indonesia) yang disiarkan pada tanggal 26 Juli menyebutkan, bahwa dalam kurun waktu 7 bulan (1 Januari sampai dengan 26 Juli 2006) tercatat sedikitnya 172 kali peristiwa alam. Peristiwa tersebut telah merenggut 7,028 nyawa, kerugian sebesar Rp.29,83 triliun, merusak ribuan rumah dan fasilitas umum, menghancurkan sumber kehidupan jutaan orang, dan menimbulkan trauma kepada masyarakat. Kerugian kolateral dari kejadian-kejadian bencana ini antara lain adalah hilangnya sumberdaya, kerusakan infrastruktur, terhenti dan terganggunya kegiatan ekonomi serta perikehidupan lainnya termasuk dampak stress dan krisis sosial-psikologis. Dari perspektif makro, dampak bencana dengan cepat menghancurkan hasil dan menganggu proses pembangunan (Lya Anggraini, Communication Officer MPBI: 021-3147321/
[email protected]) Berbagai bencana di atas mengisyaratkan perlunya kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana selama dalam kondisi normal; ketika terjadi bencana; dan masa pemulihannya. Namun dalam pelaksanaan penanggulangan dari beberapa kali kejadian bencana masih terkonsentrasi pada masa tanggap darurat dan pemulihannya, baik untuk penanganan korban yang meninggal, pelayanan pengungsi di penampungan maupun pembenahan fasilitas yang rusak. Pemerintah, aparat keamanan, dan dukungan partisipasi dari berbagai segmen masyarakat di berbagai
2
belahan bumi dalam berbagai bentuk telah diberikan. Dana yang besar, tenaga yang cukup banyak, dan berbagai peralatan yang ada masih belum mampu mengatasi masalah besar dan kompleks secara menyeluruh. Dalam penanganan darurat masih mengalami banyak kendala, baik karena sistem data dan informasi yang kurang memadai, koordinasi pelayanan yang kurang terpadu maupun alasan kurangnya akses untuk pemberian bantuan darurat. Pengalaman ini mengindikasikan bahwa kekurangsiapan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana terutama di daerah rawan bencana telah menjadi tuntutan global. Kondisi ini tercermin dari Dokumen Deklarasi Hyogo dan Kerangka Aksi Hyogo (KAH) serta Aksi Beijing yang menjadi tekad masyarakat sedunia untuk Mengurangi Resiko Bencana. Kesepakatan tersebut dilaksanakan selama satu dekade (2005 sampai dengan 2015). Tujuan yang hendak dicapai dari kesepakatan global tersebut adalah untuk merubah penanggulangan bencana dari reponsif ke penanggulangan bencana yang bersifat menyeluruh yang dapat memprevensi atau mitigasi dari bencana dan mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik kehidupan, asset-asset sosial, ekonomi maupun lingkungan. Substansi yang menjadi kesepakatan masyarakat internasional tersebut antara lain tentang: 1. Memadukan pengurangan risiko bencana dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan; 2. Mengembangkan dan menguatkan mekanisme dan kapasitas kelembagaan untuk membina ketahanan terhadap bahaya bencana; dan 3. Memadukan secara sistematik pendekatan-pendekatan pengurangan risiko bencana kedalam penerapan programprogram kesiapan, tanggap darurat, pemulihan dan rekonstruksi
3
Di Indonesia, KAH ini telah diadopsi sejak bulan Januari 2005. Secara moral kerangka aksi tersebut telah mengikat Indonesia dan berkewajiban untuk turut serta membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Dalam merespon kesepakatan tersebut, pada tanggal 26 April 2007 telah diundangkan Undang-Undang Tentang Penanggulangan Bencana. Dalam Undang-Undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam. Dalam kerangka penanggulangan bencana alam, setiap unsur yang ada dalam satu wilayah mempunyai peran. Unsur pelaksana dalam penanggulangan bencana alam dapat dikelompokkan dalam 3 besaran yakni pemerintah, masyarakat dan lembaga usaha. Pada pasal 16 disebutkan, bahwa unsur pelaksana penanggulangan bencana mempunyai tugas secara terintegrasi dalam tiga tahapam yang meliputi: (a) prabencana; (b) saat tanggap darurat; dan (c) pasca bencana. Secara implisit Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 mengisyaratkan, bahwa upaya penanggulangan bencana tidak hanya menjadi beban pemerintah semata, tetapi menjadi beban seluruh unsur masyarakat yang ada. Unsur-unsur dimaksud adalah, pemerintah, masyarakat, dan lembaga usaha. Sebagai ilustrasi klausul dalam Pasal 26 ay 1.e. disebutkan bahwa setiap orang berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya; pasal 27 memuat ketentuan tentang kewajiban masyarakat, dan pasal 28 tentang peran lembaga usaha dan lembaga internsional. Uraian di atas menunjukkan bahwa peran/partisipasi masyarakat merupakan dalam penanggulangan bencana alam faktor yang sangat penting. Dalam rangka optimalisasi partisipasi masyarakat tersebut, persoalan yang perlu dijawab adalah bagaimana menjamin efektifitas partisipasi itu sendiri. Kondisi ini mengisyaratkan, bahwa upaya peningkatan
4
kapasitas kesiapsiagaan masyarakat (yang secara lebih khusus adalah keberdayaan keluarga) menjadi semakin diperlukan. Dalam kerangka membangun kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapi bencana alam, salah satu langkah yang telah dilaksanakan Departemen Sosial (Direktorat Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial) adalah mempersiapkan beberapa tenaga seperti: Taruna Siaga Bencana (TAGANA); Petugas POSKO, Satgas Logistik dan Tim Reaksi Cepat (TRC). Hingga medio April 2008, telah terbentuk sejumlah 19.180 orang yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia. Dan hanya satu provinsi yang belum mempunyai TAGANA yaitu Provinsi Sulawesi Barat. Berkaitan dengan upaya dimaksud, tahun 2007 Pusat Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial telah melaksanakan penelitian tentang pemberdayaan sosial keluarga pasca bencana alam di 7 lokasi bencana (Sumatera Utara, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua). Beberapa hal penting yang berhasil dihimpun untuk pertimbangan dalam penanggulangan bencana alam adalah: 1. Keberdayaan masyarakat dalam menghadapi bencana (capacity) masih relatif kurang karena keterbatasan aset dan akses informasi yang berkaitan dengan bencana. 2. Keterlibatan masyarakat pada masa penyelamatan (tanggap darurat) secara spontanitas relatif besar dan merupakan potensi yang perlu dikembangkan. 3. Kesiapan masyarakat menghadapi bencana ternyata berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lainnya. 4. Pada masyarakat yang relatif lebih siap, penanganan masa tanggap darurat akan lebih terorganisasi dan masa pemulihan (recovery) akan lebih cepat dari masyarakat yang tidak siap. 5. Respon Pemerintah Daerah dan aparatnya dari instansi sektor dalam membangun kesiapsiagaan masyarakat cukup tinggi
5
6. Di Tingkat Provinsi sampai dengan Kabupaten telah mempunyai acuan (PROTAB) penanggulangan Bencana namun implementasinya belum sampai pada tingkat lokal (desa/kelurahan) 7. Dalam penanggulangan bencana, masyarakat menghendaki tenaga lokal (Desa/Kelurahan) yang terlatih, terorganisasi dan terkoordinasi dalam penanggulangan bencana. Dari hasil analisis penelitian ini juga telah tersusun sebuah Konsep Model Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam. Adapun substansi yang diajukan dalam model adalah: 1. Persamaan persepsi tentang bencana alam dan penanggulangannya 2. Penyadaran untuk peduli lingkungan 3. Peningkatan kemampuan dalam penanggulangan bencana (penguasaan aset dan akses informasi, produktifitas sosial, dan posisi tawar menawar) 4. Pengorganisasian masyarakat (kelompok tagana lokal) 5. Kemitraan kelompok tagana lokal dengan lembaga yang mempunyai komitmen dalam penanggulangan bencana alam. Dalam kerangka mendapatkan model yang aplikatif (dapat menjawab permasalahan tuntutan kebutuhan masyarakat), maka Konsep Model yang telah berhasil disusun tersebut perlu diujicobakan. Oleh karena itu yang menjadi persoalan dalam penelitian ini adalah bagaimana efektifitas model dalam membangun kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. B.
PERMASALAHAN Bencana alam dan berbagai dampak yang ditimbulkan telah dijadikan sebagai issue di berbagai even mulai lingkungan masyarakat lapis bawah, perguruan tinggi, pakar,
6
sampai dengan tingkat DPR dan Kepresidenan. Dana dan tenaga yang telah dialokasikan untuk penanganan terhadap korban bencana sangat basar. Namun, resiko bencana masih tergolong besar. Kondisi ini tercermin dari jumlah korban dan kerugian harta benda sangat besar. Korban yang masih berada di pengungsian masih relatif banyak jumlahnya dengan permasalahan yang sangat kompleks. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya permasalahan sosial ekonomi masyarakat dan lingkungan. Permasalahan menjadi lebih kompleks manakala kelembagaan baik instansi pemerintah maupun swasta di daerah tersebut belum dapat berjalan dengan baik. Besarnya resiko bencana ini terkait berbagai besarnya bencana alam yang terjadi di beberapa wilayah sejak Tsunami 24 Desember 2004 dengan kapasitas lembaga yang mempunyai komitmen dalam penanggulangan bencana alam (baik pemerintah maupun swasta) dan anggota masyarakat yang terlatih (baik secara individu maupun kelompok) yang masih relatif terbatas. Sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat korban lebih terkonsentrasi pada pelayanan yang beresifat darurat (emergency responce). Pada hal dalam proses penanggulangan bencana alam ada satu tahapan yang sangat penting untuk dilakukan, yakni mengurangi resiko bencana dengan membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Secara kuantitas, banyaknya jumlah penduduk (usia produktif) yang berada di daerah rawan bencana merupakan masalah dan potensi yang sangat besar untuk mengurangi resiko jika terjadi bencana alam. Dipandang sebagai masalah, karena untuk penyelamatan dan pemenuhan kebutuhannya di lokasi pengungsian membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya, sarana dan prasarana yang besar. Jumlah penduduk sebagai potensi, artinya mereka dapat berperan sebagai pelaksana penanggulangan bencana alam selama proses penyelamatan sampai dengan pemulihannya.
7
Dalam upaya peningkatan pelayanan korban bencana alam dan penanggulangannya, persoalannya adalah bagaimana memberdayakan potensi tersebut secara optimal. Pertanyaan ini didasari pemikiran bahwa penanggulangan bencana alam merupakan tangung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Sementara itu belum ditunjang kesiapsiagaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam penanggulangan bencana alam. Dalam kerangka mengurangi resiko bencana, Pusat Penelitian dan Pengambangan Kesejahteraan Sosial telah menyusun sebuah konsep model Pemberdayaan Sosial Keluarga Di Daerah Rawan Bencana di tingkat lokal. Konsep model ini disusun berdasar hasil penelitian yang dilaksanakan pada tahun anggaran 2007 di 7 lokasi penelitian. Persoalannya adalah model yang telah tersusun tersebut belum pernah diujicobakan di lokasi yang dalam kategori rawan bencana. Sehingga yang menjadi persoalan adalah apakah model tersebut mampu mengatasi permasalahan dalam penanggulangan bencana alam. Berdasar uraian tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana efektifitas model dalam peningkatan keberdayaan sosial keluarga di daerah bencana 2. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi (pendukung dan penghambat) dalam implementasi model yang dujicoabakan. C.
TUJUAN 1. Teridentifikasinya efektifitas model dalam peningkatan keberdayaan sosial keluarga di daerah bencana 2. Teridentifikasinya faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi model.
8
D.
KONSEP 1. Bencana Alam Secara harfiah, bencana dapat dipahami sebagai fenomena/gejala dalam suatu proses peristiwa yang berdampak buruk pada manusia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bencana diterjemahkan sebagai suatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan, kecelakaan, bahaya. Dari pengertian ini, Bencana dapat terjadi baik karena kesalahan manusia maupun oleh gerak alam yang terkadang tidak dapat dikendalikan dan bersifat merusak kehidupan manusia. Menurut Departemen Sosial (Dit BSKBA, 2003), Bencana Alam sebagai peristiwa atau ragkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan atau oleh keduanya yang mengakibatkan korban manusia, penderitaan, kerugian, kerusakan sarana dan prasarana lingkungan dan ekosistemnya serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Sementara menurut UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud dengan bencana: a. Bencana adalan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam maupun non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan dan kerugian harta benda dan dampak psikologis. b. Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, Tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. c.
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan
9
suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit. d. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas dan teror. Bencana yang disebabkan oleh gerak alam dapat datang dari gerak bumi yang menimbulkan gempa, gerak angin yang menimbulkan badai siklon raksasa, gerak magma yang menimbulkan letusan gunung berapi, gerak air laut yang menimbulkan gelombang pasang (Tsunami), gerak air sungai dan hujan yang menimbulkan banjir, gerak tanah yang menimbulkan kelongsoran, gerak cuaca yang menimbulkan panas dan kemarau panjang, serta gabungan dari beberapa komponen alam yang mampu membinasakan manusia dalam lingkup luas. Bencana juga dapat terjadi karena kerusakan lingkungan. Dalam pengertian ini kerusakan lingkungan akibat eksploitasi (penambangan, penebangan/penggundulan hutan, perkebunan, perumahan), dan perlakuan manusia dalam mengelola sampah. Berkaitan dengan uraian di atas ini, issue yang dijadikan bahasan dalam penelitian memfokuskan pada bencana alam. Menurut Wahyudin Munawir (2006) Bencana alam geologis, khususnya gempa bumi, adalah salah satu fenomena alam yang sulit untuk diprediksi kedatangannya sampai sekarang. Fenomena ini seakan-akan muncul secara mendadak dan tidak teratur kedatangannya. Teknologi modern dalam ilmu geologi dan geofisika (terutama yang terkait dengan kegempaan) memang telah mengalami kemajuan sehingga para pakar ilmu kegempaan mampu memprediksi secara statistik kapan gempa bumi akan muncul. Namun, lagi-lagi, prediksi tersebut sayangnya sering tidak tepat.
10
Seandainya tepat pun, masih tetap ada range time dan range space yang terkadang cukup panjang. Ketika usaha-usaha untuk memprediksi kedatangan gempa bumi masih belum menampakkan hasil yang akurat, maka usaha yang paling baik dalam mengantisipasi bencana alam (terutama gempa bumi) adalah dengan mitigasi, yaitu mengurangi kerugian yang akan ditimbulkan oleh bencana alam itu sendiri. Upaya mitigasi perlu dilakukan untuk meningkatkan ketahanan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam sehingga risiko bencana alam dapat dikurangi. Untuk menuju ke arah itu, pengenalan karakteristik setiap jenis bencana alam geologis dan mengantisipasi dampaknya menjadi suatu keharusan. Berangkat dari pengetahuan ini, mitigasi baik secara fisik (tata ruang dan kode bangunan) maupun non-fisik (pendidikan bencana alam) serta manajemen dan koordinasi bencana alam, perlu dilakukan secara baik dan terarah. Dalam kerangka mengantisipasi dampak (resiko) bencana UN/ISDR Geneva (2004) memberikan rumusan: Vulnerability X Hazard = Risk Capacity
• Vulnerability is defined as “The conditions determined by physicall,
•
social, ekonomi, en environmental factors or proceses, which increase the susceptibility of community to the impact of hazard” UN/ISDR Geneva 2004 Hazard is defined as “A potentially damaging physical event, phenomenon or human activity that may cause the loss of life or injury, property damage, socialand economic disruption or environmental degradation. Haazard can include latent condition that may represent future threats and can have different origins: natural (geological, hydrometeorological and biological hazard) or inducated by human processes (environmental degradation and tectological hazard)” UN/ISDR Geneva 2004
11
• Capacity refer to the capacity to deal with the hazard: e.g. level of
•
education , skills to build earthquake-proof houses, knoledge on how to survive if a flood occurs, ability of diversify income, conflict resolution skills, etc. Risk combines jointly, the expected impact caused by a particular phenomenon (a disaster) and the expected impact cause by social cultural, economic and pholitical context.
2. Keluarga Keluarga merupakan lembaga, unit sosial terkecil yang menjadi basic pertama dalam perkembangan anak. Menurut Undang-Undang Nomor: 10 Tahun 1992 dinyatakan, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami isteri, atau suami isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Gerungan (1988) keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Dalam pengertian ini, unsur yang harus ada dalam keluarga adalah minimal dua orang dan ada satu ikatan hukum dan atau biologis. Dalam konteks pekerjaan sosial, keluarga adalah sebagai sebuah jaringan sosial alamiah yang fungsional dan sebagai sistem interaksional berdimensi resiprokalitas. Sebagai sebuah jaringan sosial alamiah yang fungsional, mengasumsikan bahwa keluarga merupakan pusat jejaring yang di dalamnya mengandung potensi, kemampuan, dan kekuatan yang dapat digunakan sebagai sumber pemecahan masalah yang dihadapi. Pandangan ini juga menganggap, keluarga sebagai sumber ketidakberdayaan dan sumber kekuatan bagi anggotanya. Sedangkan sebagai sistem interaksional berdimensi
12
resiprokalitas memandang, bahwa keluarga terdiri dari berbagai subsistem berupa anggota keluarga, dan masingmasing anggota keluarga secara alamiah dan kultural telah diberikan fungsi dan peran masing-masing. Untuk menjalankan fungsi dan peran tersebut, setiap anggota keluarga harus saling berhubugan secara dinamis serta menata hubungan sosial dengan lingkungan eksternal. Masalah akan muncul, jika dalam anggota terjadi penyumbatan untuk menjalankan peran sebagai akibat kurang kuatnya hubungan resiprokalitas. Oleh karena itu, guna mencegah dan mengantisipasi munculnya masalah keluarga, diperlukan penguatan hubungan antara keluarga-lingkungan sosial, dan situasi yang dihadapi, yang disebutnya sebagai interaksi antara orang-masalah, dan situasi (Dit. PPK, 2002). Sebagai sebuah lembaga, keluarga mempunyai fungsi yang cukup luas terutama sebagai fungsi pelayanan pada setiap anggota. Secara instrumental, fungsi keluarga dapat dikaji dari beberapa ungkapan sebagai berikut: a. Horton dan Hunt (1987) keluarga mempunyai fungsi: (1) pengaturan seksual; (2) fungsi reproduksi; (3) sosialisasi; (4) afeksi; (5) penentuan status; (6) perlindungan; dan (7) fungsi ekonomi. b. Soekamto (1990) juga menyatakan, keluarga adalah (a) pelindung bagi pribadi-pribadi anggotanya, dimana ketenteraman dan ketertiban di peroleh dalam keluarga tersebut; (b) unit sosial ekonomi yang secara material memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya; (c) menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah pergaulan hidup; dan (d) merupakan wadah terjadinya proses sosialisasi awal bagi manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. c.
Dit. Keluarga, Ditjen Pemberdayaan Sosial, (2002)
13
disebutkan, keluarga mempunyai fungsi: (a) reproduksi untuk melanjutkan keturunan, (b) afeksi (menumbuhkan hubungan sosial, kasih sayang, dan ketenteraman), (c) perlindungan dari situasi yang dapat membahayakan, menghambat kelangsungan hidup, (d) pendidikan (meningkatkan kemampuan, sikap dan prilaku anggotanya), (e) keagamaan (hubungan dengan Tuhan Y.M.E.) (f) sosial budaya (melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya), (g) sosialisasi (menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial/kebersamaan bagi anggotanya), (h) pengembangan lingkungan (pemberdayaan dan peningkatan daya dukung lingkungan fisik, sosial), (i) ekonomi, yaitu mencari nafkah, (j) rekreatif (mengisi waktu senggang secara positif, dan kontrol sosial (menghindarkan anggota keluarga dari prilaku menyimpang). 3. Tinjauan tentang konsep-konsep Pemberdayaan Pemberdayaan (empowerment) merupakan salah satu wawasan pembangunan alternative yang telah berkembang seperti eco-development, people centered development, sustainable development yang menunjuk pada sebuah proses dari kondisi tertentu ke kondisi yang diharapkan. Secara harfiah, pemberdayaan diartikan sebagai penguatan daya (empowering), dari kondisi tidak berdaya (powerless) menjadi berdaya (powerfull). Konsep pemberdayaan ini lebih banyak diinisiasi atau diprakarsai oleh para ekonom terutama untuk mengatasi permasalahan kemiskinan. Untuk memahami dapat dilihat dari beberapa pandangan sebagai berikut: a. Chambers, 1995 menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni
14
bersifat “People-Centered, Participatory, Empowering and Sustainable”. b. Pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya mengandung makna peningkatan potensi, pemberian kepercayaan dan peluang, mendorong meningkatkan kemampuan memecahkan masalah sosial agar dapat menikmati hidup secara layak dan berperan dalam pembangunan sosial (Depsos, 1997). c.
Gunawan Sumodiningrat (1997) memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang ini tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
d. Pranarka (1998) yang menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah upaya merangsang, mendorong atau memotivasi individu agar memiliki kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidup. e. Mujiyadi B dan Gunawan (2000) pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Dalam konteks ini masyarakat miskin dipandang sebagai sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki. Penyandang kemiskinan dalam hal ini termasuk masyarakat korban bencana. Berdasar dari uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa pemberdayaan dapat dipandang dari 3(tiga) sudut pandang yakni sebagai suatu (1) Kondisi, (2) Proses, dan (3) Gerakan. Pemberdayaan sebagai suatu Kondisi adalah suatu keadaan yang hendak dicapai dan dapat diukur. Pemberdayaan sebagai Proses artinya upaya yang
15
terencana untuk merubah atau melakukan pembaharuan pada suatu komunitas atau masyarakat dari kondisi tertentu menjadi kondisi yang lebih baik (tidakberdaya menjadi berdaya). Pemberdayaan sebagai Gerakan berarti bentuk kegiatannya bersifat penyadaran (campyn) yang menitikberatkan pada partisipasi dan kemandirian. Dengan demikian mereka diharapkan mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam menentukan masa depannya. Menyimak uraian di atas, konsep pemberdayaan dapat diimplementasikan untuk mengatasi permasalahan lain, misalnya pemberdayaan masyarakat untuk menghadapi ancaman dari luar (asing), pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Dalam konteks penanggulangan, ketiga sudut pandang tersebut dapat dipahami: (1) Kondisi artinya keberdayaan masyarakat dalam menghadapi bencana; (2) Proses yakni upaya yang terencana untuk peningkatan keberdayaan dalam menghadapi bencana; dan (3) Gerakan yang ditujukan untuk membangun kesadaran dan tanggung jawab (partisipasi) masyarakat dalam penanggulangan bencana. 4. Tolok Ukur Keberdayaan keluarga. Pemberdayaan sebagai sebuah konsep pengembangan masyarakat, pada awalnya pendekatan ini dilakukan untuk mengungkap dan mengatasi permasalahan kemiskinan. Dalam rangka analisis dimaksud Chambers (1983) mengemukakan konsep perangkap deprivasi (concept of deprivation trap), yang menganalisis tentang penyebab kemiskinan sebagai hubungan sebab akibat yang saling berkaitan dari powerlessness (ketidakberdayaan), vulnerebality (kerentanan), phyisical weakness (kelemahan fisik), poverty (kemiskinan), dan isolation (keterisolasian).
16
Ketidakberdayaan membatasi akses terhadap sumber daya negara, memperumit keadilan hukum terhadap penyelewengan, hilangnya kekuatan tawar menawar, membuat rakyat semakin tidak mempunyai kemampuan terhadap permintaan mendadak untuk pembayaran pinjaman atau terhadap permintaan uang suap dalam suatu sengketa. Dalam proses pemberdayaan, salah satu ukuran yang relatif mudah dan seringkali digunakan untuk melihat keberdayaan keluarga adalah ekonomi. Cara berpikirnya sederhana yakni, keluarga yang telah mampu secara ekonomi mempunyai peluang lebih besar untuk mengakses beberapa kebutuhan keluarga. Sehingga beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian termasuk pengukurannya seringkali terabaikan. Untuk memahami aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian dalam proses pemberdayaan diungkapkan beberapa pandangan sebagai berikut: a. Menurut Melly G.Tan (1997), pemberdayaan bisa diberikan batasan luas sebagai penguasaan asset material, sumber-sumber intelektual, dan ideologi. Secara instrumental, indikasi dari ketiga aspek dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Aset material mencakup asset fisik, manusiawi atau financial, seperti tanah, air, hutan, tuhuh manusia dan pekerjaan, uang dan akses kepada uang . 2) Sumber intelektual mencakup pengetahuan, informasi dan gagasan. 3) Penguasaan ideologi berarti kemampuan untuk mengembangkan, menyebarkan, mempertahankan, dan mempranatakan perangkat tertentu dari kepercayaan, nilai, sikap dan perilaku sehingga dapat
17
menentukan bagaimana persepsi manusia dan berfungsinya manusia dalam lingkungan sosial, ekonomi dan politik tertentu. b. Friedmann dalam Pranarka & Moeljarto (1996), menempatkan rumah tangga sebagai basis utama pemberdayaan, yaitu sebagai kekuatan sosial, politik, dan psikologis. 1) Kekuatan sosial menyangkut kemampuan rumah tangga dalam mengakses dasar-dasar produksi, meliputi: informasi, pengetahuan, keterampilan, dan partisipasi dalam organisasi sosial dan sumber keuangan. 2) Kekuatan politik meliputi akses setiap anggota keluarga terhadap proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi masa depannya. 3) Kekuatan psikologis berupa potensi individu (individual sense of potency) yang menunjukkan prilaku percaya diri. Rasa potensi pribadi yang semakin tinggi akan memberikan pengaruh positif terhadap perjuangan rumah tangga yang secara terus menerus berusaha untuk meningkatkan kekuatan sosial politiknya. c. Ife (1995), dalam kondisi ketidakberdayaan terdapat empat bentuk ketidakberuntungan (disadvantages), yaitu dari sisi individual, institusional, structural, dan post structural. Individual perspective memandang, permasalahan ketidakberdayaan sebagai permasalahan individu yang bersumber dari kelemahan individu sendiri, yang meliputi masalah patologis, depresi, dan kecacatan. Selanjutnya, institutional perspective melihat, kondisi ketidakberdayaan sebagai masalah yang terkait dengan struktur kelembagaan dalam masyarakat. Misalnya tidak memadainya sistem hukum yang ada (pengadilan, polisi,
18
dan lainnya) dilihat sebagai faktor utama yang memberi kontribusi terhadap masalah kriminalitas, sedangkan masalah kemiskinan disebabkan oleh sistem jaminan sosial yang tidak memadai. Adapun structural perspective memandang permasalahan ketidakberdayaan sebagai akibat tekanan dan ketidakadilan dalam sistem dan struktur sosial yang ada. Perspektif ini memfokuskan pada isu-isu patriarki, kapitalisme, rasisme yang berujung pada ketimpangan distribusi pendapatan. Dan post structural perspective lebih memberikan perhatian pada wacana dan pemahaman baru yang secara akumulatif dapat menyebabkan timbulnya permasalahan yang mengarah pada ketidakberdayaan sekelompok orang atau masyarakat tetentu. Dalam keberdayaan termuat unsur kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya terkait dengan masalah-masalah politik, tetapi lebih dari itu, yaitu kekuasaan komunitas sasaran atas: 1) pilihan-pilihan personal dan kesempatankesempatan hidup, kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan tentang gaya hidup, tempat tinggal, dan pekerjaan; 2) pendefinisian kebutuhan, kemampuan menentukan kebutuhan sesuai aspirasi dan keinginannya; 3) gagasan, kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas tanpa tekanan; 4) Kelembagaan; kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat (lembaga kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan); 5) sumber-sumber, kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal, dan kemasyarakatan;
19
6) aktivitas ekonomi, kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, pertukaran barang-barang, dan jasa; serta 7) reproduksi, kemampuan dalam kaitan dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan, dan sosialisasi. Berdasar dari beberapa pandangan tentang tolok ukur keberdayaan di atas, secara implisit substansi keberdayaan keluarga dapat dikelompokkan ke dalam 3(tiga) aspek yakni (1) penguasaan aset dan akses informasi, (2) Kemampuan keluarga dalam berproduksi, dan (3) kemampuan keluarga dalam menempatkan posisi tawar menawar (bargaining position). Ketiga aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Secara eksplisit ketiga aspek tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi keluarga: (a) reproduksi untuk melanjutkan keturunan, (b) afeksi (menumbuhkan hubungan sosial, kasih sayang, dan ketenteraman), (c) perlindungan dari situasi yang dapat membahayakan, menghambat kelangsungan hidup, (d) pendidikan (meningkatkan kemampuan, sikap dan prilaku anggotanya), (e) keagamaan (hubungan dengan Tuhan Y.M.E.) (f ) sosial budaya (melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya), (g) sosialisasi (menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial/ kebersamaan bagi anggotanya), (h) pengembangan lingkungan (pemberdayaan dan peningkatan daya dukung lingkungan fisik, sosial), (i) ekonomi, yaitu mencari nafkah, (j) rekreatif (mengisi waktu senggang secara positif, dan kontrol sosial (menghindarkan anggota keluarga dari prilaku menyimpang). 5. Pijakan Perlakuan Dalam kerangka memahami penerapan pemberdayaan berikut ini akan dikemukakan beberapa
20
pandangan sebagai berikut: a. Ife (1995) memberikan batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas sumber, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas mereka. b. Dalam perspektif pemberdayaan, masyarakat diberi wewenang untuk mengelola sendiri dana pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak lain, di samping mereka harus aktif berpartisipasi dalam proses pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan. (Sutrisno, 2000). c.
Dubois dan Miley (1992) memberikan pedoman, yaitu (a) membangun relasi pertolongan yang merefleksikan respon empati, menghargai pilihan dan hak klien dalam menentukan nasibnya sendiri, menghargasi perbedaan dan keunikan individu, dan menekankan kerjasama klien; (b) membangun komunikasi yang menghormati martabat dan harga diri klien, mempertimbangkan keragaman individu, berfokus pada klien, dan menjaga kerahasiaan klien; (c) terlibat dalam pemecahan masalah yang memperkuat partisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah, menghargai hak-hak klien, merangkai tantangan-tantangan sebagai kesempatan belajar, dan melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi; (d) merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melalui ketaatan terhadap kode etik profesi, keterlibatan dalam pengembangan profesional, riset, dan perumusan kebijakan, penerjemahan kesulitan-kesulitan pribadi ke dalam isu-isu publik, dan penghapusan segala bentuk diskriminiasi dan ketidaksetaraan kesempatan.
21
d. Mujiyadi dan Gunawan (2000), dalam proses pemberdayaan pada hakekatnya terdapat dua hal mendasar yang dipertemukan, yaitu kebutuhan (needs) dan potensi dengan peluang yang diberikan oleh instansi maupun institusi. Berkaitan dengan hal tersebut, Sunyoto Usman (1998) mengemukakan, bahwa setidaknya ada dua macam perspektif yang relevan untuk mendekati pemberdayaan masyarakat, yaitu perspektif yang memfokuskan perhatiannya kepada alokasi sumber daya (resources alokation) dan perspektif yang memfokuskan perhatiannya kepada penampilan kelembagaan (institution performance) e. Oakley & Marsden (1984) dalam Pranarka & Moeljarto (1996), proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu (a) proses yang menekankan pada pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Dalam proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Proses tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan; (b) proses sekunder, dimana pemberdayaan menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi kepada masyarakat agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Lebih lanjut Pranarka & Moeljartro menambahkan, bahwa pengklasifikasian makna pemberdayaan kedalam kecenderungan primer dan sekunder bukan merupakan klasifikasi kaku, di antara kedua proses tersebut saling terkait. Agar kecenderungan primer dapat terwujud, seringkali harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.
22
f.
David C Korten, 1986 dan Robert Chombers, 1996, dalam strategi pemberdayaan terdapat beberapa prinsip pemberdayaan yang meliputi : 1) Pembangunan dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat, 2) Peranan orang luar (peneliti, pendamping) hanya sebagai fasilitator, 3) masyarakat sebagai pelaku utama (subyek), 4) Adanya prinsip belajar sosial, 5) Keterlibatan seluruh kelompok masyarakat, 6) santai dan tidak formal, orientasi praktis dan berkelanjutan. Melalui strategi pemberdayaan ini, masyarakat akan memperluas partisipasinya dalam pembangunan secara menyeluruh dan secara bertahap akan membangun. Jadi pemberdayaan disini bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nila-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, bertanggung jawab adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan. Demikian pula pembaharuan lembaga-lembaga sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembanguan serta peranan masyarakat di dalamnya. Apabila dicermati secara seksama beberapa konsep pemberdayaan di atas, maka apa yang terungkap di dalamnya mencerminkan bahwa terjadi pergeseran peran pemerintah yang selama ini dipandang sebagai pelaksana pelayanan sosial (Sosial Services Provider) menjadi fasilitator, mediator, pemungkin (enabler), coordinator, pendidik, mobilisator, sistem pendukung dan peran-peran lain yang lebih mengarah kepada pelayanan tidak langsung (Indirect Services). Sementara peran organisasi lokal dan LSM merupakan pelaksana pelayanan sosial bagi kelompok rentan, termarginalkan ataupun masyarakat pada umumnya. Dengan demikian maka permasalahan sosial ditangani oleh masyarakat dengan fasilitas pemerintah sebagaimana dilakukan dalam penelitian ini dimana fasilitas pemberdayaan dibiayai oleh pemerintah sementara pelaksanaan di lapangan dipercayakan kepada masyarakat di tingkat lokal.
23
Prinsip dasar dalam pemberdayaan adalah partisipatif artinya berhasil atau tidaknya suatu kegiatan sangat ditentukan oleh efektifitas partisipasi sosial masyarakat. Prinsip dasar ini telah menjadi salah satu misi Departemen Sosial dalam penanggulangan bencana alam pemberdayaan yang bertujuan untuk memperkuat tingkat partisipasi masyarakat. Menurut Komisi Brundland dalam Clark (1996) dikemukakan, bahwa salah satu prasyarat utama terjadinya pembangunan berkelanjutan adalah menjamin efektifitas partisipasi dalam pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan, bahwa partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya sekedar mengikuti kegiatan yang telah diprogramkan, tetapi lebih bersifat menyeluruh mulai dari penentuan/perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pemanfaatan hasil suatu kegiatan. Pentingnya partisipasi dimaksud juga menjadi salah satu dalam strategi pemberdayaan yang dikemukakan oleh David C Korten, 1986 dan Robert Chombers, 1996, sebagai berikut: 1) Pembangunan dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat, 2) Peranan orang luar (peneliti, pendamping) hanya sebagai fasilitator, 3) masyarakat sebagai pelaku utama (subyek), 4) Adanya prinsip belajar sosial, 5) Keterlibatan seluruh kelompok masyarakat, 6) santai dan tidak formal, orientasi praktis dan berkelanjutan. Melalui strategi pemberdayaan ini, masyarakat akan memperluas partisipasinya dalam pembangunan secara menyeluruh dan secara bertahap akan membangun. Jadi pemberdayaan disini bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nila-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, bertanggung jawab adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan. Demikian pula pembaharuan lembagalembaga sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembanguan serta peranan masyarakat di dalamnya.
24
Pengertian partisipasi dalam Davis Keith (1967) dikemukakan: participation is defined as mental and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him to contribute to group goals and share responcibility in them. Dalam pengertian ini terdapat tiga unsur yang dapat dijadikan untuk melihat partisipasi yakni: •
Keterlibatan mental dan emosi seseorang yang lebih dari pada sekedar keterlibatan fisik
•
Memotivasi orang-orang untuk mendukung situasi kelompoknya, dalam arti mereka menyumbangkan inisiatifnya untuk mencapai sasaran kelompok
•
Mendorong orang untuk merasa ikut serta bertanggung jawab atas aktivitas kelompok.
Berkaitan dengan pandangan di atas, Holil Soelaiman dalam Jusman Iskandar (1993 :74) mengemukakan, secara konseptual partispasi sosial merupakan alat dan tujuan pembangunan masyarakat. Sebagai alat dan sarana pembangunan, partisipasi berfungsi sebagai penggerak dan pengarah proses perubahan sosial; demokratisasi kehidupan sosial ekonomi dan politik yang berazaskan pemerataan keadilan sosial; pemerataan pelaksanaan serta hasil pembangunan; pemupukan harga diri dan kepercayaan kepada kemampuan masyarakat itu sendiri serta pemupukan rasa kesadaran dan solidaritas sosial. Sebagai tujuan, partisipasi sosial merupakan perwujudan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan. Secara instrumental Talizidu Ndraha (1990) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk partisipasi dapat dikelompokkan dalam 5 bentuk dukungan, yakni: 1) partisipasi buah pikiran, 2) partisipasi keterampilan. 3) partisipasi tenaga, 4) partisipasi harta benda, 5) partisipasi uang. Berkaitan dengan hal ini, Slamet (1992) mengemukakan, bahwa tujuan akhir dari partisipasi yang
25
fundamental adalah berwatak non material dan kualitatif yang tercermin dalam struktur sosial, ekonomi yang tidak diskriminatif. Berdasar uraian di atas secara implisit dapat dikemukakan bahwa, keberhasilan pemberdayaan pada penelitian ini dapat dilihat dari terjadinya perubahan sikap partisipatif keluarga dalam penanggulangan bencana alam. Sikap atau attitude pada dasarnya merupakan suatu respon (tanggapan) baik secara individual maupun kolektif (sosial) atas suatu objek, situasi dan kondisi tertentu disekitarnya. Menurut Isbandi (1994) sikap individual adalah sikap yang diyakini oleh individu tertentu, sedangkan sikap sosial (kolektif ) adalah sikap yang diyakini (dianut) oleh sekelompok orang terhadap suatu objek. Adapun manifestasi dari sikap (baik individual maupun kolektif) terdapat dua bentuk yakni berupa dukungan atau penolakan. Hal ini tercermin dari pengertian yang dikemukakan oleh Abu Ahmadi (1991) sikap adalah kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap objek atau situasi tertentu. Sedangkan menurut Mar’at (1981) sikap didasarkan pada konsep evaluasi berkenaan dengan objek tertentu, menggugah motif untuk bertingkah laku. Ini berarti bahwa sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi afektif yang tidak sama dengan motif. Dalam pengertian ini sikap negatif memunculkan kecenderungan untuk menjauhi, membenci, menghindari ataupun tidak menyukai keberadaan suatu objek. Sedangkan sikap positif memunculkan kecenderungan untuk menyenangi, mendekati, menerima, atau bahkan mengharapkan kehadiran objek tertentu. E.
METODE Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam merupakan penelitian kasus. Penelitian ini termasuk
26
penelitian kuasi eksperimental, untuk menguji efektifitas “Model Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam”. Pada dasarnya penelitian kuasi eksperimental untuk mengetahui efek, pengaruh atau akibat dari suatu perlakuan (treatment) atau intervensi sosial, dengan memanipulasi variabel bebas (independent variable) yang biasa juga disebut dengan variabel stimulus, variabel prediktor, variabel antecedent atau variabel yang berpengaruh terhadap dependent variable sebagai variabel output,variabel kriteria, variabel konsekuen, variabel terikat atau ubahan tak bebas (Usman,2006:9). 1. Pokok Bahasan Aspek-aspek yang dijadikan sebagai pokok bahasan dalam penelitian ini adalah: a. Perubahan perilaku Perubahan perilaku akan dilihat dari perkembangan kelompok eksperimen selama ujicoba model berlangsung. Tolok ukur dari perkembangan perilaku dimaksud adalah: a. Penguasaan aset dan akses informasi; b. Kemampuan keluarga dalam berproduksi, dan c.
Kemampuan menempatkan posisi tawar menawar (bargaining position).
b. Penerapan dari peningkatan potensi (daya) dari kelompok eksperimen Penelitian ini menggunakan metode pendekatan partisipatif. Menurut Effendi (1996) pendekatan partisipatif adalah metode pendekatan yang memungkinkan masyarakat untuk bersama-sama menganalisis masalah yang ada dalam kehidupan dalam rangka merumuskan perencanaan kebijakan secara nyata. Dalam konteks ini kelompok observasi (KO) dipandang sebagai subjek dan objek penelitian. Artinya KO
27
sebagai pelaku perubahan adalah kelompok yang terlibat secara langsung dalam proses pelaksanaan kegiatan (mulai dari penyusunan program, pelaksana kegiatan, dan pemanfaatan hasil kegiatan). sedangkan peran peneliti lebih bersifat sebagai fasilitator. Di sisi lain sasaran responden dipandang sebagai objek penelitian, artinya keterlibatan mereka selama proses ujicoba secara keseluruhan merupakan suatu fenomena yang diamati oleh peneliti. 2. Lokasi dan sampel Penelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive di Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur. Penunjukkan lokasi ini didasari atas pertimbangan, bahwa kedua lokasi ini mempunyai karakteristik yang berbeda, baik dari segi potensi alam, maupun potensi sosialnya. Penerapan uji coba model di lokasi dengan perbedaan karakteristik tersebut diharapkan dapat memperoleh muatan model yang bersifat universal. Hal ini merupakan suatu tahap yang harus dilalui sebagai tindak antisipasi untuk tahap selanjutnya, yaitu penerapan model di daerah lain dalam skala yang lebih besar. Sehingga dalam proses adaptasi di lapangan lebih fleksibel dan aplikatif. Sedangkan penentuan sasaran lokasi ujicoba didelegasikan kepada Instansi sosial setempat. Hal ini didasari atas pertimbangan: a. Dalam rangka otonomisasi daerah, instansi sosial setempat diberi kewenangan untuk berpartisipasi dalam penelitian. Hal ini dimaksudkan agar instansi setempat mempunyai sense of belonging yang tinggi. b. Instansi sosial daerah setempat dipandang lebih memahami kondisi di wilayahnya. Dari pertimbangan peneliti dan Pemerintah daerah yang dijadikan sasaran penelitian ini maka lokasi yang ditunjuk adalah Kabupaten Belu–Nusa Tenggara Timur dan Bondowoso – Jawa Timur.
28
Dalam kerangka ujicoba model, Penelitian ini menggunakan kelompok eksperimen yang beranggotakan 30 orang. Menurut Gay (1981) dalam Muhamat Idrus (Metode penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif ) memberi ancer-ancer sebagai berikut; bahwa ukuran sampel yang harus diambil tergantung pada jenis penelitian; jika deskriptif besar sampel 10% dari populasi; penelitian korelasi besar sampel minimum 30 subjek; kausal komparatif sebesar 30 subjek per kelompok dan penelitian eksperimental sebesar 15 subjek per kelompok. Meski begitu, Gay menyarankan sampel sedapat mungkin berjumlah besar. Sampel yang besar menurutnya lebih representatif, dan hasilnya lebih mendekati generalisasi populasi. Mengambil 20 orang untuk jumlah populasi sebesar 1.000 orang jelas tidak representatif (mewakili). Namun, mengambil segelas air dari sebuah danau dapat dinyatakan representatif. Berdasar pandangan ini, maka sampel yang diambil adalah sebanyak 30 orang sebagai sampel dalam penelitian ini. Pengambilan sampel dilakukan secara non systematic random sampling, yaitu satu teknik pengambilan sampel dengan jumlah terbatas tanpa memperhatikan ratio antara sampel dengan populasi. 3. Sumber data dan Informasi Data yang dikumpulkan dan dianalisis dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder yang digali melalui sumber data sebagai berikut : a. Data Primer Data primer dalam penelitian ini di gali dari responden yang menjadi subjek maupun objek penelitian dari dua kelompok eksperimen yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur. b. Data Sekunder Data sekunder bersumber dari pejabat pemerintah
29
(kabupaten,kecamatan dan desa) aparat sosial setempat, legislatif, tokoh masyarakat setempat, tagana setempat, dan pendamping lapangan. Disamping itu monografi dan dukumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ujicoba ini dikumpulkan sebagai bahan untuk melengkapi data sekunder. 4. Teknik Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, studi dokumentasi berupa pencatatan data sekunder yang relevan dengan permasalahan penelitian. a. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara untuk menggali data dan informasi yang berkaitan dengan : 1) Sikap partisipasi masyarakat, yakni : pandangan dan pemahaman masyarakat tentang Bencana Alam dan penanggulangannya. 2) Motivasi subjek ataupun objek penelitian dalam rangka pengembangan kesiapsiagaan terhadap bencana melalui pengumpulan data awal (pre-test) dan data akhir (post-test). Data yang dihimpun meliputi pengetahuan tentang upaya kesiapsiagaan, pengetahuan tentang tanda-tanda bencana alam, kemampuan dalam penerimaan informasi yang diberikan pada pelaksanaan perlakuan. 3) Permasalahan, potensi dan hambatan terhadap pelaksanaan tanggap darurat, pemulihan dan rekonstruksi yang telah dilakukan oleh lembaga dan atau instansi yang berkompeten dalam penanggulangan bencana alam. 4) Observasi. Observasi dilakukan untuk mengamati perubahan
30
sikap, perilaku, pengetahuan, pemahaman, kemampuan dan keberdayaan subjek penelitian. Teknik yang digunakan dalam observasi ini berupa check list (daftar pemeriksaan). b. Studi dokumentasi. Data dan informasi yang bersumber dari dokumendokumen dikutip dengan menggunakan kartu ikhtisar untuk mencatat intisari dokumen yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Mengingat lokasi penelitian relatif jauh dan peneliti tidak dapat memantau secara terus menerus selama proses ujicoba, maka untuk pencatatan perkembangan kelompok eksperimen ini peneliti dibantu oleh pendamping lapang di masing-masing lokasi penelitian. Pendamping lapang tersebut adalah orang yang ditunjuk oleh pemerintah daerah dan atau orang yang dipandang mampu untuk melakukan tugas penelitian. Syarat untuk jadi pendamping lapang adalah mempunyai pengalaman dalam bidang pemberdayaan masyarakat, kebencanaan, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan. 5. Pola Penelitian Dalam kerangka penggalian data dan informasi untuk kebutuhan analisis, penelitian ini di lakukan di dua lokasi dengan menggunakan dua model berbeda. Di Belu – NTT, yaitu pola kelompok tunggal atau hanya kelompok eksperimen (one group pretest – postest). Menurut Kartono (1996) pada tipe kelompok tunggal ini, peneliti memasukkan atau meniadakan variabel-variabel eksperimental pada satu kelompok eksperimen; lalu mengukur akibat dari pemasukan atau peniadaan variabel-variabel tersebut. Pretest dilakukan untuk memperoleh data dan informasi kondisi awal masyarakat
31
desa/kelurahan dalam kaitan dengan Managemen bencana alam. sebelum diberi perlakuan. Sedangkan data dan informasi yang diperoleh melalui post test dimaksudkan untuk mendiskripsikan kondisi masyarakat setelah diberi perlakuan. Di Bondowoso – Jawa Timur, digunakan pola kelompok eksperimen (KE) dan kelompok kontrol (KK). Penelitian terhadap kelompok eksperimen diadakan pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan (X) dilaksanakan, sedangkan terhadap kelompok kontrol hanya dilakukan pengukuran pretest – Posttest tanpa diberi perlakuan, maka desainnya dapat dikemukakan sebagai berikut (Agung,1992:92-94).
PERT
PERLAKU
Kelompok observasi O1 • Penguasaan aset dan akses informasi • Produktivitas • Tawar menawar
Membangun Persamaan Persepsi tentang bencana alam dan penanggulangannya. • Penyadaran untuk peduli lingkungan • Peningkatan kemampuan dalam penanggulangan Bencana • Pengorganisasian Masyarakat • Kemitraan
POST
Kelompok observasi O2 • Penguasaan aset dan akses informasi • Produktivitas • Tawar menawar
Berdasar desain di atas, maka pola penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Belu dan Kabupaten Bondowoso dapat disederhanakan sebagai berikut:
32
6. Analisis Data Kabupaten Belu KE
O1
X
O2
Kabupaten Bondowoso KE
O1
X
O2
KE
O1
--
O2
Data dan informasi yang terhimpun dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, ditampilkan dalam bentuk narasi dan perhitungan statistik. Perhitungan statistik dilakukan terhadap berbagai indikator yang mencerminkan perubahan kondisi variable tertentu sebelum (pretest) dan sesudah diberi perlakuan (posttest). Pengukuran terhadap tinggi rendahnya sikap subjek ataupun objek penelitian dalam kaitannya dengan Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam, dipergunakan teknik scoring (penilaian) dengan skala Likert. Skor jawaban diberi nilai 1 (terendah) sampai dengan nilai 5 (iertinggi). Sedangkan hasil skor kumulatif dari jawaban responden/subjek penelitian akan dimasukkan dalam tabel penggolongan hasil skor. Interval penggolongan rata-rata skor kumulatif digunakan ketentuan : “selisih skor tertinggi dengan skor terendah dibagi banyaknya bilangan”, konkritnya adalah (5-1):5 = 0,80. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jawaban yamg diperoleh dari responden dapat dimasukkan dalam kategori pada tabel berikut.
33
Tabel 1: Penggolongan Hasil Skor No 1. 2. 3. 4. 5.
Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi sekali
Rata-rata kumulatif 1.00 – 1,80 1,81 – 2,60 2,61 – 3,40 3,41 – 4,20 4,21 – 5,00
Interpretasi Tidak mendukung Kurang mendukung Cukup mendukung Relatif mendukung Sangat mendukung
Dari ketiga variabel yang digunakan dalam penelitian, yakni: (1) Penguasaan aset dan akses informasi; (2) Kemampuan keluarga dalam berproduksi, dan (3) Kemampuan menempatkan posisi tawar menawar (bargaining position), masing-masing akan dihitung reratanya. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perlakuan pada kelompok eksperimen dihitung dengan cara: jumlah rerata (mean) dari masing-masing variabel pada posttest dikurangi dengan jumlah rerata masing-masing variabel pada pretest. Hasil dari pengurangan tersebut menunjukkan adanya pengaruh perlakuan terhadap kelompok eksperimen. Untuk membandingkan dengan kelompok kontrol, hasil uji “beda” kelompok eksperimen dibandingkan dengan hasil uji “beda” kelompok kontrol. Apabila hasil uji “beda” kelompok eksperimen lebih besar dari hasil uji “beda” kelompok kontrol, berarti model atau pola Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam yang diujicobakan dapat dikatakan efektif. F.
LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN 1. Persiapan a. Studi literatur b. Penyusunan rancangan penelitian c.
34
Penyusunan instrument penelitian Pretest dan post test
d. Penyusunan modul dan pedoman operasional e. Seminar pembahasan rancangan dan instrument penelitian f.
Penyempurnaan rancangan dan instrument
g. Penyiapan lokasi Uji Coba dan perijinan. 2. Pengumpulan Data a. Observasi Awal (Pengumpulan data awal) 1) Koordinasi dengan Pemerintah Daerah (instansi terkait) 2) Seleksi Pendamping, instruktur, dan calon kelompok ujicoba 3) Sosialisasi materi pada pendamping (pelaksanaan ujicoba) instruktur 4) Pembentukan kelompok ujicoba 5) Pretest kelompok ujicoba 6) Diseminasi dan bantuan stimulan (koordinasi dengan instansi terkait). b. Observasi pertengahan Observasi yang dilakukan pada pertengahan perjalahan suatu kegiatan seringkali disebut dengan monitoring. 1) Diskusi perkembangan kegiatan dengan kelompok ujicoba 2) Diskusi perkembangan kegiatan kelompok dengan pendamping dan tokoh masyarakat. c.
Obervasi Akhir Observasi atau pengumpulan data yang dilakukan pada akhir dari suatu kegiatan yang sering disebut dengan evaluasi
35
1) Postest kelompok ujicoba 2) Diskusi hasil kegiatan dengan kelompok (evaluasi) 3) Diskusi hasil kegiatan kelompok dengan pendamping dan tokoh masyarakat. 3. Pelaporan Hasil Penelitian a. Pengolahan data b. Analisis data c.
Penyusunan laporan
4. Penyebarluasan Hasil Penelitian a. Diseminasi hasil penelitian b. Penggandaan hasil penelitian G.
Organisasi Penelitian Konsultan
: Drs Purnomo Sidik M.Si Dra. Latifah Nasseri Ketua : Drs. Gunawan Peneliti : 1. Drs Abu Hanifah 2. Dra Haryati Roebyantho 3. Sugiyanto S.Pd, M.Si 4. Ir. Hendriati M.Si 5. Ir. Ruaida Murni 6. Adi Karyono S.sos 7. Rusmiati. SE Sekretariat : Maria Yoshepa, S.Sos Albert Silalahi
36
BAB II KONSEP MODEL PEMBERDAYAAN SOSIAL KELUARGA PASCA BENCANA ALAM A.
Dasar Pemikiran Berbagai daerah di Indonesia merupakan titik rawan bencana, terutama bencana gempa bumi, tsunami, banjir dan letusan gunung berapi. Zone kegempaan dan gunung api aktif circum pasifik amat terkenal, karena setiap gempa hebat atau tsunami dahsyat di kawasan itu, dipastikan menelan korban jiwa manusia amat banyak. Di Negara ini terdapat 28 wilayah yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami. Diantaranya NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, DIY bagian selatan, Jawa Timur bagian selatan, Bali, NTB, NTT, Sualawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan PakPak di Papua serta Balik Papan Kalimantan Timur. Dari kondisi tersebut, berbagai bencana alam pernah terjadi di Indonesia, bahkan di wilayah ini sebetulnya dapat dijadikan Laboratorium Bencana karena Indonesia mempunyai jenis bencana dan paling lengkap di dunia. Berbagai jenis bencana yang pernah terjadi antara lain: •
• • •
Slow onset flood: Jambi, north coastal Java, west and south Kalimantan, DKI Jakarta; Nusa Tangara, Centra Java, Kalimantan Selatan. Forest / peat fire: Kalimantan, Sumatra; Sumatra Selatan. Landslide: mountainous areas of Java; Central Java, West Java, North Sulawesi. Drought: Nusa Tenggara Barat (Lampung), Java (Pantura); Maluku, Madura,
37
• •
Flash flood: West Timor; Earthquake: Papua; Central Sulawesi, Aceh, Sumatra Barat, C. Java; • Volcano: North Maluku, West Sumatra, Central Java, Nusa Tenggara • Tsunami: Sulawesi - West coast of Sumatra - Irian Jaya • Urban Fires: Jakarta, East Sumatra-Jambi, (all cities) Fenomena alam yang menimbulkan korban cukup besar tahun 2004-2007antara lain, (1) Banjir Bandang di Jember (Jawa Timur), 5 wilayah DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, 7 kabupaten/kota Propinsi NAD, Riau, Kab Madina dan Langkat di Sumatera Utara; (2) Tanah Longsor di Kab. Banjar Negara (Jawa Tengah), (3) Banjir dan Tanah Longsor di Sulawesi (Sulawesi Utasa dan Sulawesi selatan), Kab Sangihe Sulawesi Utara, Kab Belu dan Manggarai NTT. (4) Gempa bumi di DI. Yogyakarta dan Jawa Tengah, Gempa bumi di Sumatera Barat, (5) Gempa bumi dan Tsunami di NAD, SUMUT, Jawa Tengah dan Jawa Barat. (5) Banjir dan gempa bumi di Maluku, Bencana alam yang terjadi selalu menyisakan permasalahan sosial sementara itu permasalahan sosial yang ada masih sangat besar. Jumlah masyarakat (keluarga) yang mengalami kesulitan untuk kembali hidup normal cukup banyak. Selama tinggal di pengungsian mereka datang dengan pakaian, harta, dan makanan seadanya untuk mempertahankan hidup, status sosial ekonomi menjadi tidak berlaku lagi, mata pencaharian terhenti dan sangat sulit memenuhi kebutuhan. Sementara itu sumber, fasilitas dan pelayanan setempat yang tidak dirancang untuk diberi beban tambahan mengalami overload, akses juga terbatasi oleh perbedaan bahasa dan adat serta stigma yang melekat pada status pengungsi. Penanganan korban bencana yang bersifat darurat sudah banyak dilakukan, baik untuk penanganan korban yang
38
meninggal, pelayanan pengungsi dan penampungan maupun pembenahan fasilitas yang rusak. Pemerintah, aparat keamanan, dan dukungan partisipasi dari berbagai segmen masyarakat dari berbagai belahan bumi dalam berbagai bentuk telah diberikan. Namun dana yang besar, tenaga yang cukup banyak dan berbagai peralatan yang ada masih belum mampu mengatasi masalah besar dan komplek secara menyeluruh. Dalam penanganan darurat masih mengalami banyak kendala, baik karena system data dan informasi yang kurang memadai, koordinasi pelayanan yang kurang terpadu maupun alasan kurangnya akses untuk pemberian bantuan darurat. Pengalaman ini mengindikasikan, bahwa kekurang siapan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana. Berbagai bencana yang terjadi mengisyaratkan perlunya kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana selama dalam kondisi normal; ketika terjadi bencana; dan selama masa pemulihan. Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana terutama di daerah rawan bencana telah menjadi tuntutan global. Kondisi ini tercermin dari Kerangka Aksi Hyogo (KAH) Untuk Mengurangi Resiko Bencana baik kehidupan, asset-asset sosial, ekonomi maupun lingkungan disepakati oleh masyarakat internasional untuk dipakai dari Januari 2005 – 2015 dan berisi tentang : 1. Memadukan pengurangan resiko bencana dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan. 2. Mengembangkan dan menguatkan mekanisme dan kapasitas kelembagaan untuk membina ketahanan terhadap bahaya bencana. 3. Memadukan secara sistematik pendekatan-pendekatan pengurangan resiko bencana kedalam penerapan program-program kesiapan, tanggap darurat, pemulihan dan rekonstruksi.
39
Di Indonesia, KAH ini telah diadopsi sejak bulan Januari 2005. Secara moral kerangka aksi tersebut telah mengikat Indonesia dan berkewajiban untuk turut serta membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Dalam merespon kesepakatan dunia ini, pada tanggal 26 April 2007 telah diundangkan Undang-Undang Tentang Penanggulangan Bencana. Dalam pasal 16 disebutkan, bahwa unsur pelaksana penanggulangan bencana mempunyai tugas secara terintegrasi dalam tiga tahapam yang meliputi: (a) prabencana; (b) saat tanggap darurat; dan (c) pasca bencana. Pasal 26 ay 1.e. disebutkan bahwa setiap orang berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya. Beberapa temuan yang menarik dari hasil penelitian di 7 propinsi (Sumut, Sumbar, DI Yogyakarta, Jatim, NTB, NTT, dan Papua) untuk dijadikan sebagai bahan masukan dalam penanggulangan bencana alam: 1. masyarakat telah mengetahui beberapa titik lokasi rawan bencana dan titik lokasi yang aman dari bencana alam 2. setiap masyarakat telah mempelajari beberapa tandatanda akan terjadinya bencana alam khususnya banjir dan telah mempunyai strategi dalam penanggulangan bencana alam 3. partisipasi masyarakat yang cukup besar dapat dijadikan sebagai modal dalam penanggulangan bencana alam Beberapa aspek pelayanan dalam penanggulangan bencana merupakan satu kesatuan yang utuh. Setiap aspek pelayanan (penyiapan masyarakat, penyelamatan dan pemulihan) memerlukan sebuah model yang dapat diterapkan (implementatif). Mengingat besarnya cakupan dari ketiga aspek tersebut, maka harus lebih menekankan pada aspek pemulihan dan penguatan/pemberdayaan keluarga supaya mereka lebih siap dalam menghadapi
40
bencana, khususnya pemberdayaan sosial keluarga. Model ini untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul ketika terjadi bencana alam. B.
Maksud. Mengurangi resiko akibat terjadinya bencana alam. 1. Terciptanya persamaan persepsi masyarakat tentang keberadaan Keluarga 2. Tumbuhnya tanggung jawab sosial masyarakat dalam pembinaan dan pengembangan Keluarga 3. Terbinanya dukungan masyarakat dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat. 4. Terbinanya interaksi sosial antara warga dan pengurus warga. 5. Terbinanya kemampuan keluarga dalam membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana alam.
C.
Tujuan Membangun Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Alam.
Masyarakat
Dalam
1. Terbinanya kualitas sumber daya manusia (keluarga) sehingga dapat berfungsi efektif dalam mempersiapkan diri menghadapi bencana alam. 2. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (keluarga) sebagai warga masyarakat yang sering terkena bencana alam. 3. Terbinanya keberlanjutan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam. D.
Pengertian 1. Bencana Alam Bencana alam sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan atau oleh
41
keduanya yang menyebabkan korban manusia, penderitaan, kerugian, kerusakan sarana dan prasarana lingkungan dan ekosistemnya serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. 2. Pemberdayaan Sosial Peningkatan potensi, pemberian kepercayaan dan peluang, mendorong meningkatkan kemampuan memecahkan masalah sosial agar dapat menikmati hidup secara layak dan berperan dalam pembangunan sosial. 3. Keluarga Keluarga; keluarga merupakan lembaga, unit sosial terkecl dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. E.
Pelaksanaan 1. Membangun Perasamaan Persepsi. Membangun persamaan persepsi merupakan langkah awal untuk mengantisipasi timbulnya kekaburan peranan dan konflik kepentingan dikalangan masyarakat, keluarga, tokoh masyarakat dan pemerintah desa. Persamaan persepsi ini merupakan langkah awal untuk membangun kesepahaman dan kesepakatan (Consensus Building). Penyampaian materi informasi yang dipandang relatif baik adalah melalui dialog (diskusi terfokus), yakni dialog antara keluarga/masyarakat, tokoh masyarakat dan aparat desa dan , aparat terkait. Dalam proses dialog, setiap peserta mempunyai posisi dan peluang yang sama untuk mengemukakan, pertanyaan, pendapat, dan saran. Membangun persamaan persepsi atau proses consensus building mengacu: a. Fokus untuk kepentingan bersama.
42
b. Mendefinisikan masalah dan potensi c. Mengidentifikasi masalah dan potensi yang ada di lingkungan masyarakat d. Mengidentifikasi beberapa alternatif pemecahan masalah dan menentukan skala prioritasnya. e. Penentuan prinsip atau criteria untuk menentukan alternative. f. Penentuan prinsip atau criteria untuk mengevaluasi alternatif. g. Penciptaan komitmen untuk diimplementasikan oleh para partisan yang ikut dalam pengambilan keputusan. Persepsi yang diharapkan dapat terbangun adalah tentang: a. Tanggung Jawab Penanggulangan bencana alam merupakan tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat b. Lokasi Rawan Bencana, merupakan wilayah-wlayah yang sering terkena bencana alam, baik bencana yang disebakan oleh ulah manusia maupun bencana yang disebabkan oleh perubahan alam itu sendiri. c. Daerah aman, merupakan wilayah-wilayah yang dianggap aman untuk tempat berlindung sementara ketika terjadi bencana alam yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk bertemunya pengungsi (korban) dengan petugas pelayanan korban bencana alam. d. Kebutuhan pelayanan Kebutuhan pelayanan bagi masyarakat korban bencana alam, kebutuhan penangulangan bencana: 1) Kebutuhan jangka pendek mencakup makanan, obat-obatan, sandang, dan tempat berteduh sementara.
43
2) Kebutuhan jangka panjang mencakup tempat tinggal yang lebih aman dari bencana dan pekerjaan tetap, menambahkan perlunya mengembalikan rasa aman korban dari ancaman bencana, disamping pemenuhan keutuhan fisik dan sarana penopang kehidupan korban di kemudian hari. 2. Penyadaran untuk peduli lingkungan Terciptanya kesamaan persepsi tentang sikap peduli lingkungan bertujuan untuk meningkatkan: a. Kesadaran dan kepedulian sosial masyarakat dan lingkungan b. Komitmen dan kesediaan masyarakat untuk mengatasi permasalahan lingkungan. c. Komitmen terhadap penguatan potensi masyarakat (keluarga). d. Komitmen dan kesediaan masyarakat dalam menunjang kontinuitas pemeliharaan lingkungan. 3. Peningkatan kemampuan dalam penanggulangan Bencana/ Peningkatan Pengetahuan dan Motivasi Dalam pendekatan partisipasi, faktor yang paling dominan dalam pelaksanaan kegiatan adalah masyarakat. Di satu sisi, mereka adalah subjek yang paling mengetahui dan memahami kondisi Keluarga di lingkungannya. Disisi lain, frekuensi interaksi diantara mereka lebih intensif. Uraian ini mengisyaratkan, bahwa terselenggaranya kegiatan pemahaman dan motivasi keluarga berkaitan erat dengan keberhasilan model dalam membangun sikap partisipasi masyarakat. Materi informasi yang perlu disampaikan kepada keluarga dan pengurus masyarakat adalah: a. Pengertian tentang keberdayaan keluarga (kesiapsiagaan
44
masyarakat dalam menghadapi bencana), meliputi: (1) apa yang dimaksud dengan keberdayaan keluarga (2) tujuan ditingkatkannya keberdayaan keluarga (3) jenis kegiatan yang diselenggarakan, (4) tujuan penyelenggaraan kegiatan. b. Keberlangsungan keberdayaan keluarga, meliputi: (1) tanggung jawab sosial keluarga sebagai warga yang bertanggung jawab terhadap anggota keluarganya. dan (2) dukungan yang akan diberikan oleh masyarakat dalam pemberdayaan keluarga (peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam.) c. Pengelolaan organisasi, meliputi: (1) pengetahuan tentang manajemen, (2) permasalahan sosial di lingkungan masyarakat (3) potensi dan sumber yang dapat dimanfaatkan, (3) manfaat keberdayaan keluarga (kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam) bagi masyarakat itu sendiri dan pihak pengelola bencana alam., (4) siapa yang berperan penting dalam peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam dan yang bertanggung jawab dalam keberlangsungannya. d. Penyadaran masyarakat untuk peduli lingkungan, meliputi: pentingnya melestarikan lingkungan bagi kehidupan masyarakat, kerugian dan keuntungannya bagi masyarakat Penyampaian materi informasi yang dipandang relatif efektif adalah melalui dialog (diskusi terfokus), yakni dialog antara keluarga/masyarakat, tokoh masyarakat dan aparat terkait. Dalam proses dialog, setiap peserta mempunyai posisi dan peluang yang sama untuk mengemukakan, pertanyaan, pendapat, saran. Pada proses ini, setiap anggota akan memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengembangan Keluarga yang seluas-luasnya. Dalam psikologi sosial,
45
seseorang akan bersedia melakukan sesuatu tindakan (dukungan) manakala tindakan tersebut menyangkut kepentingan dan keuntungan bagi dirinya. Dalam kerangka ini, dukungan masyarakat sangat dipengaruhi oleh prospek organisasi bagi masyarakat. Dialog secara informal dapat juga dilakukan dengan saling berkunjung (silaturahmi), pembicaraan disela-sela berlangsungnya kegiatan kemasyarakatan, dan atau dijadikan sebagai salah satu bahasan pada waktu kumpulkumpul. Dalam dialog tersebut terbuka peluang dan kesempatan untuk tukar pendapat, sehingga informasi yang diperoleh lebih banyak dan lebih lengkap. 4. Pengorganisasian Masyarakat Pengorganisasian masyarakat merupakan salah satu bentuk penguatan potensi/kemampuan. Pengorganisasian merupakan upaya untuk membentuk kelompok kerja masyarakat dalam rangka memotori dan memfasilitasi rencana dan pelaksanaan kegiatan. Organisasi ini bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang dilaksanakan. Anggota organisasi dipilih dari keluarga korban bencana alam yang hadir dalam pertemuan dan unsur pengurus masyarakat, dan pemilihan sesuai dengan kesepakatan bersama dan disesuaikan dengan susunan organisasi yang berlaku dan juga disepakati bersama. Organisasi atau kelompok kerja ini terdiri dari unsur keluarga dan unsur pengurus masyarakat. Susunan anggota kelompok seperti ini diharapkan akan bermakna dalam pemberdayaan keluarga dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapai bencana alam. Tugas kelompok kerja adalah memanage informasi (yang diperoleh dari peningkatan pemahaman dan motivasi) kedalam pelaksanaan kegiatan Keluarga. Mereka dipercaya penuh untuk menyusun rencana kegiatan (planing),
46
memberikan penilaian kegiatan yang sedang dijalankan (monitoring), dan penilaian akhir terhadap hasil yang telah dicapai (evaluating). Dalam rangka memanage informasi langkah-langkah yang dilakukan adalah: a. Perencanaan program Kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi: 1) Identivikasi permasalahan dan potensi, 2) Penentuan jenis kegiatan 3) Penentuan Target 4) Penentuan Penanggung jawab b. Monitoring Kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi: 1) Identifikasi kegiatan yang telah dilaksanakan (persentase capaian target) 2) Penentuan tindakan lanjut untuk optimalisasi hasil c. Evaluating Kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi: 1) Identifikasi capaian hasil kegiatan 2) Identifikasi faktor yang berpengaruh Setiap tahapan dalam pelakasanaan kegiatan diagendakan sebagai tanggung jawab kelompok kerja kepada masyarakat, lembaga (Keluarga), Pembina (Kepala Desa/Lurah), dan instansi sektor. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat secara luas dapat (1) memberikan penilaian tentang manfaat dari kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Keluarga (2) penentuan sikap partisipasi dalam pembinaan Keluarga. Dalam rangka membangun kemampuan masyarakat dan pengurus dapat dilakukan dengan pelatihan dan workshop sehingga hasil yang dicapai pada saat pelatihan tersebut
47
secara langsung mempunyai nilai riil dalam pelaksanaan kegiatan. 5. Kemitraan Kemitraan merupakan salah satu alternatif jawaban untuk mengatasi keterbatasan Keluarga dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi organisasi. Dalam istilah ekonomi, kemitraan didefinisikan sebagai kerjasama usaha saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil dan masingmasing pihak yang bermitra berada pada posisi tawar menawar yang seimbang (Kompas, 11 Maret 1997). Uraian ini mengisyaratkan, bahwa prinsip dasar yang perlu ditekankan dalam membangun kemitraan adalah masing-masing pihak yang bermitra berada dalam proses take and give yang sepadan, dan menutup kesempatan berkembangnya pola patron-klien. Mengacu uraian di atas, maka kemitraan yang dimaksud dalam model lebih menekankan pada perluasan jaringan kerja Keluarga dengan pihak lain (baik secara individual maupun lembaga). Oleh karena itu, langkah awal yang dibutuhkan dalam kerangka membangun kemitraan adalah organisasi yang telah dibentuk perlu untuk secara tepat menentukan pola kemitraan sesuai dengan kebutuhan masing-masing yang bermitra. Penentuan pola ini dibuat dengan tetap mempertimbangkan kemampuan yang dapat ditawarkan oleh Keluarga dan peluang yang diberikan oleh mitra kerja dan/ atau sebaliknya. Keseimbangan semacam ini dapat berfungsi sebagai alat untuk menepis anggapan, bahwa kegiatan Keluarga identik dengan kegiatan yang bersifat insidental dan monoton (misalnya: arisan), sehingga kurang mempunyai prospek untuk investasi mitra kerja. Untuk mencapai keseimbangan tersebut, perlu ditentukan adanya perencanaan kegiatan yang jelas, teratur, terukur dan dapat dimonitor perkembangannya. Kejelasan semacam ini dibutuhkan, karena dalam proses kemitraan menuntut adanya target hasil yang akan dicapai.
48
ALUR MODEL Pubic Sector PEMERINTAH
4
2 3
1
KELUARGA
2 Privat Sector Dunia Usaha, Orsos/LSM
4
BENCANA ALAM
4
Keterangan: 1.
Persamaan persepsi: Public sector, Privat sector dan Collectif sector merupakan tiga serangkai (threepartide) dalam menghadapi berbagai permasalahan. Ketiga unsur tersebut harus mempunyai (1) kesamaan persepsi tentang kebencanaan dan penanggulangannya, (2) kesadaran dan kepeduliann terhadap lingkungannya.
2.
Penguatan Potensi kepada masyarakat (keluarga) agar lebih mampu dalam menghadapi bencana alam. Tujuannya adalah memperkuat tingkat partisipasi masyarakat.
3.
Pengorganisasian masyarakat dalam menghadapi bencana alam.
4.
Kemitraan dari ketiga unsur akan menjadi suatu kekuatan besar dalam penanggulangan bencana alam
49
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Dua daerah yang dijadikan lokasi penelitian pada dasarnya mempunyai karakteristik yang berbeda, baik ditinjau dari segi permasalahan sosial maupun potensi sosial yang dapat dikembangkan untuk kesejahteraan sosial masyarakatnya. Perbedaan karakteristik tersebut sangat berpengaruh pada penghidupan dan kehidupan masyarakat terutama dalam kaitannya dengan program pemberdayaan keluarga. Klarifikasi dari kondisi geografis lokasi penelitian dimaksud adalah sebagai berikut: A.
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 1. Diskripsi Wilayah Secara administrasi kabupaten Belu merupakan salah satu wilayah yang berada di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan langsung dengan kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan berbatasan langsung dengan District Covalina Negara Timor Leste. Belu mempunyai wilayah luas 2.445,57 km2 yang terbagi atas 17 (tujuh belas) kecamatan. Secara geografis terletak pada koordinat 1240 35’-1260 12’ Bujur Timur dan 80 57’ Lintang Selatan. Kabupaten Belu termasuk wilayah yang sangat rawan terhadap bencana alam seperti banjir, tanah longsor, angin puting beliung maupun gelombang pasang. Untuk bencana tanah longsor dan banjir hampir rutin tiap tahun terjadi, terutama dialami masyarakat di selatan Belu. Di Kabupaten Belu dilalui sungai besar yakni sungai Benanain yang panjangnya mencapai 128 km. Benanain merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Provinsi NTT. Sumber mata air Benanain berada di Kabupaten TTU melewati Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Benanain bermuara di Laut bagian Selatan Timor Kabupaten Belu. Sebagian dari panjang sungai Benanain merupakan pembatas
51
dari Negara RI dan Negara Timor Leste. Secara umum bentuk aliran sungai Benanain berupa aliran bercabang sering berpindah-pindah dan tebingnya mudah mengalami erosi karena alur sungainya belum dikelola secara baik. Tata guna lahan DAS Benanain, hampir 80% berupa gabungan antara hutan dan rerumputan dan sebagian kecil 20% berupa tegalan, tanah sawah, rawa, hutan mangrove dan daerah pemukiman. 2. Karakteristik bencana di Lokasi Penelitian Karakteristik Benanain yang dipahami oleh masyarakat adalah kering di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Pada musim kemarau aliran sungai Benanain sangat kecil dan debit airnya dan yang terlihat adalah hamparan pasir dan batu. Pada musim hujan, luapan air sungai mencapai ratusan meter
dari DAS. Kondisi perbedaan Benanain ketika musim kemarau dengan musim hujan dapat dilihat pada gambar berikut. Bencana yang terjadi dan frekuensinya cukup besar adalah bencana akibat banjir (luapan sungai Benanain). Setiap
52
kali terjadi hujan, arus sungai Benanain diperbesar oleh beberapa anak sungai yang berada di wilayah Belu, TTS dan TTU. Anak-anak sungai yang relatif besar mengalir ke sungai Benanain yaitu; sungai Noni, dan sungai Besi. Tipikal sungai Benanain mempunyai kesamaan dengan tipikal sungai yang ada di Propinsi Nusa Tenggara Timur termasuk jenis sungai musiman. Sungai akan mengering di musim kemarau dan meluap di musim hujan. Benanain mempunyai karakteristik puncak banjir dengan waktu genangan air yang relatif pendek. Arus sungai relatif cepat. Kapasitas alur sungai Benanain (bank full) sebesar 500 m 3/detik. Banjir kiriman dari hulu sungai Benanain dimulai pada tanggal 16 Maret 2007 melebihi debit dengan kala ulang 2 tahun (Q2 = 890 m3/detik). Selanjutnya selama 3 hari (16 s/d 18 Maret 2007) debit yang terjadi selama banjir lebih besar dari kapasitas alur sungainya sehingga aliran sungai Benanain meluap. Air kembali surut pada tanggal 19 dan 20 Maret 2007, tetapi meningkat lagi pada tanggal 21 Maret 2007 sehingga mengakibatkan genangan pada 15 desa, dengan ketinggian berkisar 0,7 - 1 m. Berdasarkan data Posko Banjir Kimpraswil, intensitas hujan yang terjadi selama kejadian banjir (tanggal 16 s/d 21 Maret 2007) di daerah Besikama tidak terlalu besar, tetapi debet sungai Benanain mengalami peningkatan. Naiknya debit sungai di Benanain yang merupakan bagian hilir sungai Benanain menunjukkan bahwa terjadi hujan di bagian hulu, sehingga di hilir aliran sungai mengalami kenaikan. Wilayah yang ditunjuk sebagai lokasi penelitian kasus ini adalah Desa Lasaen, Umatoos, dam Fafoe Kec Malaka Barat. Penunjukan Lokasi tersebut sebagai lokasi penelitian didasari pemikiran ketiga desa ini merupakan desa yang paling parah terkena banjir. Wilayahnya berada di pingiran muara sungai Benanain, dan berbatasan dengan laut. Ketiga wilayah desa tersebut merupakan daerah delta. Derasnya air yang mengalir
53
setiap kali terjadi banjir tidak hanya membawa lumpur dan pasir, tetapi termasuk kayu dan batu-batu besar yang berasal dari lereng gunung. Oleh karena itu setiap kali setelah banjir ketinggian tanah dataran dari permukaan air laut selalu meningkat antara 15cm sampai dengan 50cm. Berdasarkan informasi Dinas Kehutanan Kabupaten Belu, dampak banjir juga melanda lokasi kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Lokasi RHL dengan tingkat kerusakan sangat parah adalah Motaulun, Desa Fafoe dan Desa Besikama (Kecamatan Malaka Barat). Lokasi RHL dengan tingkat kerusakan menengah di Desa Naimana (Kecamatan Malaka Tengah). Lokasi RHL dengan kondisi kerusakan ringan di Desa Rabasahain dan Desa Sikun. Daerah lokasi penelitian ini selalu terjadi banjir tahunan. Dalam kurun waktu 70 tahun, minimal telah terjadi tiga kejadian bencana banjir berskala besar (1939, 1968 dan 2000). Disamping itu, banjir skala sedang terjadi pada tahun 1974, 1980, 1985, 1990 dan 1995. Selain frekuensi kejadian, skala dampak kerusakan akibat banjir di tiga kecamatan di Belu (Malaka Barat, Malaka Tengah dan Weliman) sangat tinggi. Banjir pada tahun 2000 misalnya mengakibatkan rusaknya areal pertanian di wilayah kecamatan Malaka Barat, Malaka Tengah dan Weliman seluas 3459,08 ha, korban meninggal 128 jiwa, merusak rumah penduduk (lebih dari 2000 unit). Banjir kembali melanda Kabupaten Belu pada tanggal 17 Maret 2007. Banjir kedua ini merupakan akibat meluapnya sungai Benanain yang terjadi sekitar pukul 03.00 WITA dengan ketinggian air sekitar 1 m yang menggenangi pemukiman seluas 4.502 Ha (Dinas PU, 2007). Kondisi ini disebabkan oleh hujan yang mengguyur wilayah selatan Kabupaten Belu dan banjir kiriman di bagian hulu Sungai Benanain di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Timor Tengah Selatan (TTS). Walaupun kejadian banjir tersebut masih dalam batas normal, tetapi kondisi ini hampir
54
melanda seluruh wilayah Kecamatan Malaka Barat (meliputi 13 desa yang tergenang dari 16 desa yang ada). Akibat curah hujan yang terus menerus sejak 18 Januari 2006 sampai dengan 8 Mei 2006, terjadi bencana banjir di Kabupaten Belu Provinsi NTT. Dalam rentang waktu tersebut sudah terjadi 18 kali banjir yang mengakibatkan sebagian penduduk di kecamatan Malaka Barat mengungsi ke wilayah Kecamatan Malaka Tengah karena air lumpur menggenangi rumah dan sekitarnya setinggi 40 senti meter. Dari pengalaman masyarakat menghadapi beberapa kali banjir, kejadian banjir tidak berakibat pada korban meninggal dan luka – luka, hanya terjadi pengungsian warga desa Lasaen dusun Kakeularan dan Umamota sebanyak 499 jiwa (115 KK) penduduk mengungsi ke Aula Susteran SSPS Betun. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengurangi resiko banjir tersebut adalah dengan membangun rumah panggung dan mengikuti program pemerintah kabupaten untuk penanaman pohon di pinggir sungai. Namun, besarnya air dan endapan lumpur cukup tebal setiap kali terjadi banjir, ketinggian rumah panggung perlahan-lahan semakin berkurang. Sedangkan upaya yang telah ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Belu untuk penanggulangan banjir adalah dengan membangun tanggul di sepanjang sungai benanain. Tanggul yang dibangun setinggi kurang lebih 3m dan lebar 5 meter dan penanaman pohon di sepanjang DAS Benanain yang mengalir di Kabupaten Belu. Untuk sementara upaya pemerintah membangun tanggul tersebut dapat mengatasi masalah luapan air sungai. Namun sampai kapan upaya ini mampu mengatasi masalah jika frekuensi banjir yang selalu membawa endapan lumpur tetap berjalan terus? Seolah upaya tersebut terkesan kurang berhasil dikarenakan Pengelolaan DAS Benanain, sebagai DAS yang melawati tiga kabupaten masih ditangani secara terpisah-pisah masing-masing kabupaten, dan belum ada
55
upaya maksimal untuk mengintegrasikan pengelolaan dengan pelibatan dan koordinasi antar Pemerintah Daerah. Bagi masyarakat yang berada di daerah tersebut (khususnya masyarakat yanmg bertempat yinggal di Lasaen, Fafoe, dan Umatoos), banjir dipandang sebagai bencana tetapi sekaligus sebagai berkah. Walaupun banjir seringkali merusak dan menghanyutkan harta benda yang dimiliki, namun sekecil apapun pasti ada nilai manfaatnya. Derasnya air yang mengalir, setiap kali terjadi banjir selalu membawa lumpur dan pasir dari pegunungan yang diyakini oleh masyarakat akan memberikan kontribusi besar terhadap kesuburan tanah. Menurut pandangan masyarakat yang dilegitimasi oleh tiga kepala desa, bahwa banjir selalu membawa lumpur dan menyuburkan tanah, sehingga penanaman jagung sebagai komoditas masyarakat di daerah ini tidak perlu didahului dengan pengolahan tanah. Masyarakat yang tinggal di daerah ini mempunyai kebanggaan bahwa di daerah bisa panen jagung tiga kali dalam setahun. Menurut Bernadus Nahak :”hanya di daerah ini kita bisa panen tiga kali”. 3. Karakteristik masyarakat Penduduk yang tinggal di desa Lasaen, Umatoos, dan Fafoe DI Kecamatan Malaka Barat merupakan masyarakat yang masih relatif homogen. Sebagian besar berasal dari suku Timor yang berbahasa Tetun. Pada kondisi normal (tidak bencana) umumnya mata pencaharian masyarakat Malaka Barat adalah di bidang pertanian dan perternakan. Produk pertanian meliputi tanaman berusia pendek sampai usia jangka panjang. Dari segi lahan pertanian yang di kelola masyarakat, ada dua sistem penanaman tanaman baik yang menjadi tanaman komoditas maupun untuk kebutuhan rumah tangga, yakni penanaman tanaman di tanah milik sendiri dan Mamar. Mamar adalah hutan yang ditanami tanaman komoditas untuk memenuhi
56
kebutuhan warga masyarakat. Untuk kepemilikannya mamar dibedakan menjadi dua milik adat dan milik pribadi warga. Tanaman komoditas dalam mamar antara lain: pisang, nangka, alpukat dan jeruk, mangga, durian dan kemiri. Tanaman komoditas menjadi andalan untuk mendapatkan uang tunai adalah kemiri. Masyarakat mengkhawatirkan hasil kemiri tahun ini akan menurun, karena pengaruh angin kencang. Hal ini terjadi karena lokasi Malaka Barat di pesisir selatan Pulau Timor. Masalah lain yang dari tahun ke tahun makin memprihatinkan untuk masyarakat di ketiga desa (Umatoos, Lasaen dan Fafoe) tersebut adalah rendahnya harga jual komoditi tersebut. Walaupun demikian, masyarakat masih berharap dapat mengandalkan hasil penjualan tanaman komoditas untuk mengatasi kekurangan pangan di pertengahan tahun. Hasil mamar lainnya yang berupa buah-buahan seperti pisang, nangka, alpukat dan jeruk kurang bisa diandalkan. Harga buah-buahan ini sangat murah, karena tidak ada cara pengawetan hasil yang mampu dilakukan oleh masyarakat. Karena itu ketika panen, masyarakat harus secepatnya menjual hasil (yang kebanyakan ke papalele yang masuk ke desa), dengan harga yang sangat rendah. Selain tanaman komoditas, dalam kebun mereka juga menanam berbagai tanaman umur pendek lainnya, yang sebagian besar lebih digunakan untuk konsumsi sendiri, untuk melengkapi hasil jagung. Ada terjadi penurunan produksi tanaman umur pendek seperti kacang, singkong dan ubi jalar karena keterlambatan musim hujan. Kepemilikan ternak, khususnya ternak besar seperti sapi juga menjadi ‘simpanan’ masyarakat, yang selain digunakan untuk kebutuhan sosial (pesta adat atau nikah), juga untuk mengantisipasi masa krisis pangan. Tetapi populasi ternak
57
besar akhir-akhir ini menurun. Kepemilikan ternak besar juga tidak merata, kebanyakan dimiliki oleh kelompok masyarakat dari kelas sosial-ekonomi ‘atas’ yang justru tidak terlalu terancam kekurangan pangan. Ternak sedang dan kecil seperti babi dan ayam sampai saat ini kepemilikannya masih cukup merata. Ternak kecil ini dijual bila ada kebutuhan uang cepat, yang tidak selalu berhubungan dengan pemenuhan pangan keluarga. Biasanya pada bulan Januari – Februari, bila menghadapi krisis pangan, masyarakat mulai masuk hutan untuk mengambil tanaman-tanaman hutan yang bisa dikonsumsi seperti ubi hutan. Fenomena ini sampai sekarang belum nampak di dua wilayah zona mamar ini. Persediaan makanan hasil panen tanaman pangan utama serta tambahan dari mata pencaharian lainnya masih mencukupi. 4. Karakteristik kelompok eksperimen Terkait langsung dalam uji coba model ini adalah: anggota kelompok eksperimen dan pendamping lapangan. Berdasarkan data yang terhimpun melalui penelitian ini dapat dikemukakan karakteristik anggota kelompok eksperimen dan pendamping, sebagai berikut : a. Karakteristik Anggota Kelompok eksperimen Jumlah anggota kelompok eksperimen dalam penelitian uji coba model ini ada 30 orang, yang terbagi dalam 3 kelompok kerja. Adapun aspek yang akan dilihat dalam kaitan ini adalah tentang : agama, usia, pendidikan dan pekerjaan. Berdasarkan data dan informasi yang terhimpun melalui penelitian ini dapat dikemukakan, sebagai berikut . Dalam aspek agama, seluruh anggota kelompok eksperimen (100%) beragama Katolik. Hal ini sangat terkait dengan kondisi masyarakat di lokasi ujicoba model
58
ini adalah beragama Katolik. Ditinjau dari aspek usia, anggota paling muda berusia 24 tahun sedang yang paling tua 57 tahun. Namun apabila secara rata-rata hampir sebagian besar berusia antara 20– 40 tahun. Usia-usia tersebut masih dalam kategori usia produktif, yang memungkinkan dapat diberdayakan. Rincian data tentang usia anggota kelompok eksperimen yang dapat dihimpun melalui penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 2 berikut: Tabel 2: Distribusi Kelompok Eksperimen Menurut Usia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Usia
Jumlah
20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 >50 Jumlah
1 8 11 5 3 2 30
% 3,33 26,67 36,67 16,67 10,00 6,66 100,00
Sumber : Data Primer 2008
Dari aspek pendidikan, tingkat pendidikan anggota kelompok eksperimen adalah menengah kebawah (yang tertinggi adalah tamat SLTA), bahkan ada seorang anggota yang tidak tamat belajar di tingkat Sekolah Dasar. Rincian distribusi tentang tingkat pendidikan anggota kelompok eksperimen yang dapat dihimpun dari penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3, sebagai berikut.
59
Tabel 3: Jumlah Anggota Kelompok eksperimen Menurut Pendidikan No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
%
1. 2. 3. 4.
Tidak Tamat SD SD SLTP SMU Jumlah
1 6 12 11 30
3,33 20,00 40,00 36,67 100,00
Sumber : Data Primer 2008
Dilihat dari aspek pekerjaan, anggota kelompok eksperimen sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Menurut kepala desa, dasar dari penentuan anggota kelompok adalah pertimbangan gender dan kesempatan untuk melakukan aktivitas dalam pengembangan masyarakat. Walaupun semua anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk menjadi anggota kelompok eksperimen namun waktu luang yang lebih banyak adalah ibu rumah tangga. Adapun rincian data tentang pekerjaan anggota kelompok eksperimen yang dapat dihimpun melalui penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4, sebagai berikut. Tabel 4: Distribusi Anggota Kelompok Eksperimen Menurut Jenis Pekerjaan No.
Jenis Pekerjaan
Jumlah
%
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sopir Membuka Kios Wiraswasta Tambal Ban Menjahit Petani Ibu Rumah tangga Jumlah
1 1 1 1 1 9 16 30
3,33 3,33 3,33 3,33 3,33 30,00 53,35 100,00
Sumber : Data Primer 2008
60
Sadar ataupun tidak, dalam pelaksanaan kegiatan oleh kelompok kerja yang mempunyai komposisi anggota bervariasi (baik dari aspek usia, pendidikan, maupun pekerjaan) akan terjadi proses pengkayaan informasi. Dalam kerangka ini adalah pemberdayaan kepada kelompok usia produktif, pendidikan rendah dan mungkin pekerjaannya hanya sebagai ibu rumah tangga atau petani. b. Pendamping Lapangan Pendamping adalah orang yang mempunyai komitmen terhadap pemberdayaan sosial keluarga maupun masyarakat. Pendamping dapat berasal dari instansi sektor (Dinas Sosial Provinsi atau Dinas Sosial Kabupaten), dan atau anggota masyarakat/Orsos/LSM. Dalam uji coba model ini pendamping yang ditunjuk ada 2 (dua) orang, yaitu; Emanuel Fahih, S.Sos staf Urusan Korban Bencana dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Hirinimus R.Y. Seran, SE berasal dari Perkumpulan Masyarakat Penanganan Bencana (PMPB) menjabat sebagai koordinator wilayah Betun. Penunjukan pendamping tersebut tentunya sudah melalui berbagai pertimbangan, bahwa orang tersebut karakteristiknya sesuai dengan kriteria yang diharapkan sebagai pendamping. Tentunya juga harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati, antara lain : memiliki pengetahuan; dipercaya oleh anggota masyarakat; dia harus memiliki hasrat dan waktu untuk melayani masyarakat secara sukarela; mampu untuk berkomunikasi secara lancar dengan penduduk setempat; menunjukkan kemapuan kepemimpinan serta mampu memotivasi dan membangun kepercayaan dan keterbukaan serta keakraban; dan mempunyai keterampilan dalam penanganan bencana. Ditinjau dari pendidikan, pengalaman kerja, dan pengalaman pendidikan dan pelatihan, mereka adalah
61
orang yang diharapkan mampu memberikan pendampingan dalam uji coba model pemberdayaan sosial keluarga pasca bencana alam ini. B.
PROVINSI JAWA TIMUR 1. Kondisi geografis Bondowoso merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di sebelah utara, Kabupaten Banyuwangi di sebelah timur, Kabupaten Jember di sebelah Selatan dan Kabupaten Probolinggo di sebelah barat. Bondowoso berada di persimpangan jalur dari kabupaten Besuki dan Situbondo menuju Jember. Terletak di Lintang Selatan : 70 50’10” s/d 70 56’41” dengan ketinggian sekitar 253 meter dari permukaan laut, tertinggi 475 meter, terendah sekitar 73 meter.
Kabupaten Bondowoso memiliki luas wilayah sekitar 1.560.10 km2 atau 44,4% dari total luas Provinsi Jawa Timur. Terbagi menjadi 20 kecamatan, 199 desa dan 10 kelurahan. Wilayah Bondowoso terbagi menjadi 3 yakni : Wilayah barat merupakan pegunungan ( kaki pegunungan Argopuro), bagian tengah berupa dataran tinggi dan bergelombang, sedang bagian timur berupa pegunungan (bagian dari dataran tinggi Dieng). Bondowoso merupakan satu-satunya kabupaten di daerah Tapal Kuda yang tidak
62
memiliki garis pantai. Terdapat beberapa sungai yang mengaliri kabupaten Bondowoso yaitu : Sungai Deluang (30 km), Sampeyan (61 Km), Mayang (56 Km), Bedadung (70 km) dan Merawan (32 Km). Lokasi Kabupaten Bondowoso, terletak di wilayah timur provinsi Jawa Timur berada di sekitar garis khatulistiwa, sehingga wilayah ini memiliki 2 iklim setiap tahunnya yaitu musim kemarau (Juni s/d Oktober) dan musim penghujan (November s/d Mei). Angin Tenggara bertiup dalam bulan April s/d Juni dan Juni s/d Agustus dan angin Barat Laut bertiup di bulan Oktober s/d November dan Januari s/d Februari. Kondisi ini secara geografis dan geologis merupakan wilayah sangat rawan bencana alam banjir, tanah longsor dan angin puting beliung. Secara demografis mayoritas penduduk Kabupaten Bondowoso adalah Suku Madura dan lainnya adalah Suku Jawa. Menurut Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bondowoso, Kecamatan Kota seluas 17.18 Km memiliki kemiringan tanah 0-20 ; dan wilayah sekitar 4.24 Km2 memiliki kemiringan 20 – 15 0 ; di ketinggian 0 s/d 25 m dan jenis tanah regolsol. Kabupaten Bondowoso memiliki stasiun penakar hujan di 35 lokasi, Stasiun penakar hujan otomatis ada di 3 lokasi dan stasiun pencatat duga muka air otomatis (AWLR) ada di tiga lokasi. Keadaan cuaca menurut catatan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Sungai Sampean Baru curah hujan tinggi di bulan Januari, November dan Desember dan curah hujan rendah di bulan Februari sampai September. ( Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bondowoso, 2005). Secara geografis Kecamatan Kota Bondowoso berbatasan dengan Kecamatan Tegal Ampel di sebelah utara, sebelah selatan kecamatan Grujugan, sebelah Barat kecamatan Curah Dami dan sebelah timur Kecamatan
63
Tenggarang dan Grujugan. Secara geografis memiliki 7 kelurahan, 4 desa, 17 dusun terdiri dari 72 RW dan 296 RT. ( Kabupaten Bondowoso dalam Angka, 2006). Hasil regristrasi penduduk akhir 2005 jumlah penduduk Bondowoso mencapai 705.659 jiwa terdiri dari 342.711 jiwa laki-laki dan 362.984 jiwa perempuan. Kepadatan penduduk dikabupaten Bondowoso dibandingkan tahun sebelumnya meningkat 0,89% , yaitu 452 jiwa/km2 . Diantara 20 Kecamatan di Kabupaten Bondowoso, Kecamatan Kota Bondowoso mempunyai jumlah penduduk paling banyak yakni sebesar 68.132 Jiwa dengan kepadatan penduduk 3,181 jiwa/km 2 (Bondowoso dalam gambar, 2006). Berdasarkan informasi dari Dinas Keluarga Berencana dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Bondowoso, penduduk Kecamatan Kota Bondowoso diklasifikasikan dalam 5 kelompok yakni termasuk kelompok Pra Sejahtera sebesar 5.399 jiwa, Keluarga sejahtera sebesar 13.689 jiwa. Rincian data kondisi kesejahteraan keluarga dari penduduk Kabupaten Bondowoso yang dijadikan lokasi uji coba digambarkan dalam tabel 5 berikut: Tabel 5: Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan No 1 2 3
Lokasi
Pra Sejahtera F %
Kab. Bondowoso 107028 44.5 Kec. Kota 5399 28.3 Bondowoso Kec. Prajekan 4431 36.8
KS I F
KS II %
%
F
%
KS III + F
%
55946 23.3 33360 13.8 33490
13.9 10920 4.5
2540 13.3 2011
10.5 5185
27.2 3953 20.7
1825 15.2 2022
16.9 2838
23.7
Sumber : Bondowoso dalam angka 2006
64
F
KS III
875 7.4
Komunitas masyarakat Kecamatan Kota Bondowoso dan Kecamatan Prajekan yang dikategorikan miskin sebesar 28,1% dari keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan kota Bondowoso (68.132 jiwa) dan 2,1% dari keseluruhan penduduk Kabupaten Bondowoso (705.659 jiwa). (sumber: Bondowoso dalam angka tahun 2006). Selain kondisi penduduk, hasil penelitian dari Tim Gabungan antara Fakultas Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dan Tim Stasiun Meteorologi dan Geofisika Tk I Surabaya pasca bencana akhir Februari tahun 2001", menjelaskan bahwa ada empat kriteria daerah yang terancam musibah jika curah hujan meninggi, yaitu daerah sangat rawan, rawan, cukup rawan dan aman dari ancaman longsor dan banjir bandang. Oleh karena itu beberapa daerah rawan banjir khususnya di sekitar Daerah Aliran Sungai dari Gunung Ijen, Raung dan sekitarnya harus tetap waspada dan siap-siap mengungsi, bila sewaktu-waktu bencana datang. Salah satu masyarakat yang harus tetap waspada terhadap tanah longsor adalah warga Kelurahan Blindungan, Kecamatan Kota dan Desa Cangkring, Kecamatan Prajekan yang berada di pinggiran sungai Sampean Baru dan diperkotaan. Pada tahun 2006 di kelurahan Blindungan terkena bencana angin puting Beliung dan tanah longsor karena banjir bandang. Sedang di Desa Cangkring hampir setiap tahun mengalami banjir akibat meluapnya sungai Sampean Baru. Kelurahan Blindungan dan Desa Cangkring merupakan daerah langganan Banjir. Hampir setiap tahun mengalami bencana banjir. Menurut catatan dalam kurun waktu lima tahun (2002 – 2008), banjir yang terjadi volumenya lebih besar dari tahun-tahun terdahulu. Banjir ini terjadi karena hujan deras yang terus menerus, hingga sungai Sampean Baru yang diharapkan dapat menampung air hujan, tidak mampu lagi membendung derasnya hujan. Akibatnya air meluap dan
65
menyapu perkampungan warga kelurahan Blindungan terutama yang berada disekitar bantaran sungai. Demikian pula luapan air yang mencapai ketinggian 1-2 m membuat rumah warga di sekitar bantaran sungai di desa Cangkring mengalami kerusakan parah. Sungai Sampean Baru merupakan muara dari tiga sungai, yaitu sungai Beloncon, sungai Blimbing dan sungai Pancor dari Desa Leprak. Sungai Pancor merupakan sungai yang lebih besar dari dua sungai terdahulu. Banjir kemudian diperparah ketika tahun 1990 di wilayah hulu sungai tersebut dibangun sebuah waduk/bendungan untuk keperluan irigasi di wilayah Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Situbondo (di Bondowoso terjadi dua musim yaitu musim kemarau dan musim peghujan, sehingga waduk ini dimanfaatkan untuk mengairi pertanian ketika musim kemarau tiba). Ketika beberapa hari turun hujan, maka waduk ini ikut berperan menambah deras dan besarnya banjir yang melanda kedua wilayah tersebut. Banjir terakhir terjadi pada bulan pebruari 2008, ikut membawa korban terutama korban harta benda, sedangkan korban jiwa hanya 1 orang. Korban harta benda yang terbanyak adalah kerusakan bangunan rumah maupun sarana umum, baik rusak berat maupun rusak ringan, serta pertanian dan ternak (sapi, kuda dan kambing). Sampai saat penelitian ini dilakukan masih terlihat adanya pelaksanaan perbaikan bangunan dan jalan. 2. Karakteristik Anggota Kelompok eksperimen dan Pendamping Lapangan Pada pelaksanaan ujicoba model di Kabupaten Bondowoso dibagi menjadi dua kelompok eksperimen, pertama Kelurahan Blindungan Kecamatan Kota Bondowoso kelompok yang diberi perlakuan, kedua di Desa
66
Cangkring Kecamatan Prajekan sebagai kelompok control atau kelompok yang tidak diberi perlakuan. Masing-masing kelompok eksperimen beranggotakan 30 orang. Hasil kesepakatan anggota kelompok eksperimen, kelompok Blindungan diberi nama kelompok kerja “Surya Megah Bumi Lestari” dan Cangkring diberi nama kelompok kerja “Mandiri”. Dilihat dari sisi usia, baik kelompok kerja Surya Megah Bumi Lestari maupun kelompok Mandiri, sangat bervariasi, mulai dari usia 19 tahun sampai 70 tahun, seperti terlihat pada tabel 6, sebagai berikut: Tabel 6: Responden Menurut Usia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Usia 19 - 24 25 - 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 ≥ 60 Jumlah
Surya Megah Bumi Lestari Jumlah % 1 3,33 3 10.00 1 3,33 5 16,67 4 13,33 5 16,67 1 3,33 3 10,00 7 23,33 30 100
Mandiri Jumlah 3 2 5 2 5 2 4 3 30
% 10 6,67 16,67 6,67 16,67 6,67 13,33 10,00 100
Sumber: hasil penelitian 2008
Pada tabel 6 tersebut dapat dilihat bahwa pada umumnya usia anggota kelompok kerja tersebut, baik kelompok kerja Mandiri maupun Surya Megah Bumi Lestari, masih dalam usia produktif. Pada usia ini diharapkan kelompok kerja ini memiliki potensi untuk melakukan perubahan, apalagi ketika mereka diberikan perlakuan yang disesuaikan dengan kemampuan mereka dalam melakukan perubahan tersebut. Disamping itu
67
dengan bervariasinya usia mereka diharapkan juga dapat saling mengisi kekurangan yang dimiliki, yang lebih tua yang sudah berpengalaman dalam melaksanakan kegiatan dapat memberikan atau menularkan pengalamannya kepada yang lebih muda yang belum berpengalaman. Demikian halnya dengan yang lebih muda yang diharapkan memiliki banyak ilmu pengetahuan yang didapat dari hasil membaca maupun dari media dan pergaulan dapat memberikan ilmunya kepada yang belum memilikinya. Kemudian dilihat dari tingkat pendidikan formal, pada kelompok Surya Megah Bumi Lestari lebih banyak pada tingkat SLTP dan SLTA masing-masing 26,67 %, walaupun ada yang tidak tamat SD dan hanya tamat SD, hal ini dapat diimbangi dengan anggota yang tingkat pendidikannya sudah cukup tinggi yaitu akademi/PT (10%). Sedangkan pada kelompok Mandiri tidak terdapat anggota kelompok yang berpendidikan Akademi/PT, sebagian besar ada pada tingkat pendidikan tamat SD, kemudian SLTP, SMU dan tidak tamat SD, seperti terlihat pada tabel 7, sebagai berikut: Tabel 7: Responden Menurut Tingkat Pendidikan No 1 2 3 4 5
Tingkat Pendidikan TT SD Tamat SD SLTP SMU Akademi/PT Jumlah
Surya Megah Bumi Lestari Jumlah % 5 16,67 6 20 8 26,67 8 26,67 3 10 30 100
Mandiri Jumlah 1 14 11 4 0 30
% 3,33 46,67 36,67 13,33 0 100
Sumber: hasil penelitian 2008
Melihat tingkat pendidikan anggota kelompok kerja tersebut, cukup mampu untuk melaksanakan perubahan menuju kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana alam,
68
namun demikian setiap pelaksanaan kegiatan tidak terlepas dari faktor penghambat maupun pendukung, sehingga tingkat pendidikan hanya merupakan salah satu dari faktor pendukung dalam pelaksanaan kegiatan. Memperhatikan pekerjaan utama yang ditekuni oleh kelompok kerja, sesuai dengan tingkat pendidikan yang diperoleh, pekerjaan yang bervariasi merupakan dampak dari tingkat pendidikan yang juga bervariasi. Rincian pekerjaan anggota kelompok dapat dilihat pada tabel 8, sebagai berikut: Tabel 8: Responden Menurut Pekerjaan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis pekerjaan Petani Wiraswasta Pedagang Tukang Becak Aparat Desa Buruh Tani Tukang Kayu Guru Ngaji PNS Ibu Rumah Tangga Jumlah
Surya Megah Bumi Lestari Jumlah % 2 6,67 5 16,67 2 6,67 7 23,33 2 6,67 3 10 1 3,33 3 10 30 100
Mandiri Jumlah 16 6 3 1 4 30
% 53,33 20 10 3,33 13,33 100
Sumber: hasil penelitian 2008
Dari tabel 8 jelas terlihat bahwa pada kelompok Surya Megah Bumi Lestari terdapat anggota yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil, ini adalah dari anggota yang berpendidikan akademi/PT, dan tersebar merata pada jenis pekejaan yang beragam (seperti pada table). Sedangkan pada kelompok Mandiri lebih banyak bekerja pada sector pertanian, kondisi ini seolah-olah menyesuaikan dengan tingkat pendidikannya.
69
c. Pendamping Lapangan Pendamping adalah orang yang mempunyai komitmen dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat dengan kriteria memiliki hasrat dan waktu untuk melayani masyarakat secara sukarela; mampu untuk berkomunikasi secara lancar dengan penduduk setempat; menunjukkan kemampuan kepemimpinan serta mampu memotivasi masyarakat dan mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan bencana alam. Dalam pelaksanaan ujicoba “MODEL PEMBERDAYAAN SOSIAL KELUARGA PASCA BENCANA ALAM”. Sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Ujicoba Model maka pendamping terdiri dari staf Kantor Dinas Sosial dan Kesejahteraan Kabupaten Bondowoso. Mereka terdiri dari kasi Bantuan ( Tjagar Lama. S.Sos.) dan Kasie penyaluran bantuan (Drs. Yudi. H). Adapun pendamping pelaksanaan Model dipilih untuk Kelurahan Blindungan adalah Pekerja sosial Kabupaten Bondowoso ( Ida. Y S.Sos) dan pendamping Desa Cangkring dipilih PSM Desa Cangkring (Endang.) Pemilihan pendamping merupakan hasil diskusi antara peneliti, Pejabat Kantor Dinas Sosial dan Kesejahteraan Kabupaten Bondowoso dan kepala desa/ Lurah lokasi terpilih.
70
BAB IV PENERAPAN MODEL PEMBERDAYAAN SOSIAL KELUARGA PASCA BENCANA ALAM Pada bab terdahulu telah diuraikan bahwa proses dari suatu model yang diujicobakan pada dasarnya terdiri dari 5 substansi, yakni: (1) membangun persaman persepsi; (2) Penyadaran untuk peduli lingkungan; (3) Peningkatan kemampuan keluarga dalam penanggulangan Bencana; (4) Pengorganisasian Masyarakat; dan (5) Kemitraan. Berdasar dari substansi ini maka rincian kegiatannya dikemukakan seagai berikut. A.
MEMBANGUN PERSAMAAN PERSEPSI Dalam kerangka mengurangi resiko bencana merupakan tanggung jawab seluruh unsur yang ada dalam satu wilayah. Unsur dimaksud dalam konteks ini dapat dikelompokkan dalam tiga besaran (tiga serangkai) yakni Public sector, Private sector, dan colective action sektor. Dalam kerangka penanggulangan bencana yang bersifat menyeluruh yang dapat memprevensi atau mitigasi dari bencana dan mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, ketiga unsur tersebut harus mempunyai persamaan persepsi. Masyarakat pada umumnya dan keluarga khususnya merupakan salah satu unsur yang paling riskan dan paling beresiko tinggi setiap kali terjadi bencana alam. Oleh karena itu Model Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam, pada dasarnya merupakan salah satu alternatif dalam rangka pengurangan resiko bencana alam yang lebih terfokus pada peningkatan kapasitas keluarga dalam penanggulangan bencana alam. Dalam rumusan UN/ISDR diungkapkan Capacity refer to the capacity to deal with the hazard: e.g. level of education , skills to build earthquake-proof houses, knowledge on how to survive if a flood occurs, ability of diversify income, conflict resolution skills, etc.
71
Dalam proses penerapan model, “keluarga” (sebagai sasaran penelitian) dipandang sebagai subjek dan objek penelitian. Sebagai subjek, mereka adalah pelaksana dari serangkaian kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pemanfaatan hasil kegiatan dan sekaligus berperan sebagai evaluator, baik sebagai evaluator selama proses kegiatan berjalan (monitoring) maupun capaian hasil yang diperoleh pada akhir kegiatan. Ungkapan di atas mengisyaratkan, bahwa pendekatan yang dipandang mempunyai relevansi dalam penerapan model dimaksud adalah pendekatan partisipatif. Artinya keterlibatan/peranserta keluarga dalam berbagai aspek kegiatan yang dilakukan atas dasar kesadaran tanpa adanya paksaan dan atau tekanan dari luar. Penerapan pendekatan didasari pemikiran bahwa mereka adalah pelaksana yang paling mengetahui kondisi lingkungan tempat tinggalnya (khususnya berkaitan dengan permasalahan, potensi kekuatan dan peluang), dan mereka adalah calon pemanfaat dari hasil kegiatan yang akan dilaksanakan. Penerapan pendekatan semacam ini diharapkan akan mempunyai nilai praktis, hasil riilnya mempunyai manfaat yang dapat diaplikasikan secara berkesinambungan. Dalam kerangka penerapan model, prosesnya dimulai dari sosialisasi di Tingkat Pusat, yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial sampai di lokasi penelitian. Sosialisasi model di tingkat pusat dilaksanakan dalam bentuk seminar maupun diskusi (pertemuan secara informal). Tujuannya adalah untuk memperoleh kesamaan persepsi tentang model yang diuji cobakan. Pelaksanaan sosialisasi ini dimaksudkan untuk membangun koordinasi (Puslitbang Kesos dengan Unit Teknis) dalam penentuan kebijakan alternatif yakni: (a) Kebijakan yang akan ditempuh dalam pemberdayaan keluarga; (b) Kebijakan yang akan ditempuh dalam pemberdayaan masyarakat.
72
Sosialisasi model di lokasi penelitian lebih menekankan pada pengenalan model kepada instansi yang mempunyai kompetensi terhadap aktualisasi terhadap keluarga khususnya dalam penanggulangan bencana alam. Kegiatan dimaksud untuk membangun kesamaan persepsi dan koordinasi antara peneliti dengan instansi sosial setempat (Dinas Sosial Propinsi dan Kabupaten/Kota), aparat kecamatan dan desa, serta organisasi sosial/LSM. Informasi yang disosialisasikan adalah: 1. Model yang akan diuji cobakan Substansi materi informasi tentang Model yang akan diuji cobakan meliputi: a. Tujuan Pelaksanaan Uji Coba Model. b. Metode yang digunakan yakni Participatory Action Research (PAR). c. Substansi yang berkaitan dengan model, d. Kelompok/kekluarga yang dijadikan sasaran eksperimen. e. Lokasi yang dijadikan sasaran eksperimen. 2. Penentuan lokasi uji coba. a. Menurut kaidah dalam metode peneltian, lokasi yang dijadikan sebagai sasaran ujicoba pada dasarnya adalah di tingkat desa (satu desa) dengan jumlah anggota kelompok eksperimen sebayak 30 orang. b. Secara administratif desa yang dijadikan sebagai lokasi penelitian adalah desa/kelurahan yang dikategorikan rawan bencana, dalam pengertian sering terjadi bencana alam. 3. Penentuan petugas pendamping lapangan. Mengingat alokasi waktu penelitian di lapangan relatif pendek dan peneliti tidak dapat melakukan pengamatan (observasi) terhadap perkembangan perilaku kelompok
73
eksperimen secara terus menerus, maka pelaksanaan observasi harus didukung oleh orang (petugas pendamping lapangan) yang mampu berperan sebagai pengganti peneliti. Petugas pendamping lapangan yang ditunjuk dapat berasal dari instansi sosial, instansi sektoral dan maupun LSM/Orsos. Dalam kerangka penggalian dan akurasi dari data yang dibutuhkan untuk anailis penelitian ini, maka ada beberapa kriteria/syarat yang dijadikan pertimbangan pendamping lapang. Kriteria dimaksud adalah Orang yang: a. Mempunyai komitmen dan kompetensi dalam penanggulangan bencana alam b. Memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penanggulangan Bencana alam. c. Memiliki kemampuan dan kemauan untuk melayani masyarakat secara sukarela d. Mampu berkomunikasi secara lancar dengan penduduk e. Menunjukkan kemampuan kepemimpinan, memiliki kemampuan memotivasi orang lain, serta mampu membangun kepercayaan, keterbukaan dan keakraban dengan masyarakat. f. Berpengalaman dalam pengembangan masyarakat terutama dalam bidang kebencanaan Petugas Pendamping penelitian yang ditunjuk di Belu berasal dari instansi sosial Belu dan Petugas dari Perkumpulan Masyarakat Peduli Bencana di wilayah. Bondowoso menunjuk pendamping yang berasal dari instansi sosial. 4. Penentuan jadual pertemuan dengan aparat desa/ kelurahan, tokoh masyarakat dan Ormas/LSM selama proses uji coba berlangsung
74
5. Penentuan kelompok observasi/eksperimen Penentuan anggota kelompok diserahkan sepenuhnya kepada pihak Pemeritah Desa dan Pemerintah Kelurahan. Pendelegasian wewenang ini didasari pemikiran bahwa mereka lebih mengetahui kondisi masyarakat setempat. Pemilihan kelompok eksperimen (30 orang anggota kelompok eksperimen) dilakukan dengan cara diskusi, yakni diskusi antara pemerintah lokal (Kepala desa dan Lurah) dengan sekretaris dan tokoh masyarakat setempat. Dasar pemilihan anggota kelomopok eksperimen adalah: a. Warga masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. b. Usia produktif c. Mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi dalam penanganan bencana di daerahnya d. Bersedia berpartisipasi dalam pelaksanaan penerapan model e. Bersedia bekerjasama dengan kelompok f. Memiliki ide dan kreatifitas dalam penanggulangan bencana alam 6. Konsultasi dengan Dinas Sosial untuk penentuan pemberian materi penyuluhan.: a. b. c. d. e.
Peningkatan pengetahuan tentang Kebencanaan. Aspek sosial dalam penanggulangan becana alam Aspek Kesehatan Pengetahuan tentang lingkungan hidup. Kewiraswastaan
7. Pertemuan dengan Kelompok Eksperimen Langkah awal yang perlu dilakukan dalam setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah membangun kepercayaan (trust) masyarakat khususnya kelompok
75
eksperimen, bahwa kegiatan yang dilaksanakan (terutama dalam kaitannya dengan penelitian ujicoba model) ini akan bermanfaat terutama dalam pengurangan resiko jika sewaktu-waktu terjadi bencana). 8. Penentuan jadual pertemuan dengan kelompok kerja untuk pelaksanaan pretest, perlakuan, dan posttest serta mengatur jadual untuk penyusunan rencana program, monitoring dan evaluasi kegiatan kelompok kerja. 9. Dalam kerangka pemantauan terhadap perkembangan dan atau perubahan perilaku kelompok eksperimen, dilakukan pengukuran awal sebelum diberi perlakuan yang disebut dengan Pretest. Tolok ukur yang dipergunakan untuk melihat perkembangan perilaku masyarakat terdiri dari 3 aspek yakni (1) pengasaan aset dan akses informasi; (2) Produktivitas dalam penanggulangan bencana alam (3) Posisi Tawar menawar dalam penanggulangan bencana alam. B.
PENYADARAN UNTUK PEDULI LINGKUNGAN Peyadaran untuk peduli lingkungan merupakan salah satu matarantai dalam penanggulangan bencana alam. Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah terciptanya Komitmen dan kesediaan masyarakat dalam menunjang kontinuitas pemeliharaan lingkungan. Dalam kerangka pelaksanaan kegiatan untuk Penyadaran untuk peduli lingkungan, Peneliti bekerjasama dengan Dinas Sosial dan Masyarakat Peduli Bencana Alam (MPBI).
C.
PENINGKATAN KEMAMPUAN KELUARGA DALAM PENANGGULANGAN BENCANA Dalam pendekatan partisipasi, faktor yang paling dominan dalam pelaksanaan kegiatan adalah masyarakat. Di satu sisi, mereka adalah subjek yang paling mengetahui dan memahami kondisi Keluarga di lingkungannya. Disisi lain, frekuensi interaksi diantara mereka lebih intensif. Uraian ini mengisyaratkan, bahwa terselenggaranya kegiatan pemahaman dan motivasi keluarga berkaitan erat dengan
76
keberhasilan model dalam membangun sikap partisipasi masyarakat. Materi informasi yang disampaikan kepada keklompok eksperimen adalah: 1. Pengertian tentang keberdayaan keluarga (kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana), meliputi: (1) apa yang dimaksud dengan keberdayaan keluarga (2) tujuan ditingkatkannya keberdayaan keluarga (3) jenis kegiatan yang diselenggarakan, (4) tujuan penyelenggaraan kegiatan. Penyampaian informasi ini digunakan teknik penyuluhan dan dialog yang ditunjang dengan buku saku istilah penting dalam kaitannya dengan kebencanaan. 2. Keberlangsungan keberdayaan keluarga, meliputi: (1) tanggung jawab sosial keluarga sebagai warga yang bertanggung jawab terhadap anggota keluarganya. dan (2) dukungan yang akan diberikan oleh masyarakat dalam pemberdayaan keluarga (peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam). 3. Penyadaran terhadap pentingnya kesehatan masyarakat: berbagai kemungkinan terjadinya penyakit yang selalu mewabah pada setiap kejadian bencana alam 4. Penyadaran masyarakat untuk peduli lingkungan, meliputi: pentingnya melestarikan lingkungan bagi kehidupan masyarakat, kerugian dan keuntungannya bagi masyarakat 5. Simulasi tentang proses penyelamatan sampai di tempat penampungan korban bencana alam. Penyampaian informasi dilakukan dengan metode dialogis. Dalam proses dialog, setiap peserta mempunyai posisi dan peluang yang sama untuk mengemukakan, pertanyaan, pendapat, saran. Pada proses ini, setiap anggota akan memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengembangan Keluarga yang seluas-luasnya. Dalam psikologi sosial, seseorang akan bersedia melakukan sesuatu tindakan (dukungan) manakala tindakan tersebut menyangkut kepentingan dan
77
keuntungan bagi dirinya. Dialog secara informal dapat juga dilakukan dengan saling berkunjung (silaturahmi), pembicaraan disela-sela berlangsungnya kegiatan kemasyarakatan, dan atau dijadikan sebagai salah satu bahasan pada waktu kumpulkumpul. Dalam dialog tersebut terbuka peluang dan kesempatan untuk tukar pendapat, sehingga informasi yang diperoleh lebih banyak dan lebih lengkap. Penyampaian materi dan simulasi tersebut disampaikan oleh Peneliti bekerja sama dengan beberapa lembaga yeng mempunyai komitmen dalam penanggulangan bencana alam. Di Belu, peneliti bekerja sama denngan Dinas Sosial Kabupaten, Mantri Kesehatan Puskesmas Kecamatan Malaka Barat, MPBI, Pemerhati Bencana Alam. Di Bondowoso Peneliti bekerja sama dengan Tagana Provinsi Jawa Timur, Dinas Lingkungan Hidup Kab. Bondowoso, Kodim Bondowoso. D.
PENGORGANISASIAN MASYARAKAT Kelompok eksperiman dalam penelitian ini terdiri dari 30 orang yang secara organisasi tidak mempunyai ikatan. Oleh karena itu untuk menunjang keberlangsungan kegiatan dari kelompok eksperimen dalam penanggulangan bencana alam anggota tersebut perlu diorganisasi. Pengorganisasian yang dimaksud dalam konteks ini adalah upaya untuk membentuk kelompok kerja masyarakat dalam rangka memotori dan memfasilitasi rencana dan pelaksanaan kegiatan. Kelompok eksperimen dibagi menjadi 3 kelompok kerja yang terdiri dari 10 orang anggota. Dalam kerangka peningkatan pengelolaan organisasi, peneliti, petugas pendamping dan kelompok eksperimen mendiskusikan materi informasi tentang manajemen dalam pengelolaan suatu kegiatan meliputi: (1) permasalahan sosial di lingkungan masyarakat; (2) potensi dan sumber yang dapat dimanfaatkan, (3) manfaat keberdayaan keluarga (kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam) bagi masyarakat itu sendiri dan pihak pengelola bencana alam, (4)
78
siapa yang berperan penting dalam peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam dan yang bertanggung jawab dalam keberlangsungannya. Organisasi atau kelompok kerja ini terdiri dari unsur keluarga. Susunan anggota kelompok seperti ini diharapkan akan bermakna dalam pemberdayaan keluarga dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapai bencana alam. Kelompok (organisasi) ini bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang dilaksanakan. Anggota dipilih dari keluarga korban bencana alam yang hadir dalam pertemuan, dan pemilihan sesuai dengan kesepakatan bersama dan disesuaikan dengan susunan organisasi yang berlaku dan juga disepakati bersama. Tugas kelompok kerja adalah memanage informasi (yang diperoleh dari peningkatan pemahaman dan motivasi) kedalam pelaksanaan kegiatan Keluarga. Mereka dipercaya penuh untuk menyusun rencana kegiatan (planing), memberikan penilaian kegiatan yang sedang dijalankan (monitoring), dan penilaian akhir terhadap hasil yang telah dicapai (evaluating). Dalam rangka memanage informasi langkah-langkah yang dilakukan adalah: 1. Perencanaan program Perencanaan merupakan salah satu fungsi managemen yang paling awal dalam suatu kegiatan yang akan diselenggarakan oleh kelompok observasi. Adapun pokok bahasan diskusi dalam tahapan pereencanaan program terdiri beberapa aspek meliputi : (1) Identifikasi permasalahan dan potensi, (2) Penentuan jenis kegiatan, (3) Penentuan Target, dan (4) Penentuan Penanggung jawab. Dalam tahapan ini menggunakan pendekatan Partisipatory Action Risert (PAR), peneliti mengajak kelompok observasi untuk mengidentifikasi permasalahan yang terjadi di daerah atau lingkungannya, dan potensi yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut. Hasil identifikasi dari kedua aspek tersebut
79
dimaksudkan sebagai upaya untuk memperoleh acuan dalam penentuan alternative kegiatan (penyusunan program) untuk mengatasi salah satu atau beberapa dari permasalahan dimaksud, serta target yang akan dicapai dari kegiatan tersebut. Perencanaan Kegiatan kelompok kerja di Belu – Nusa Tenggara Timur a. Identivikasi permasalahan Secara umum permasalahan yang diinventarisasi oleh ketiga kelompok kerja (Putra Bahari, Tafatik dan Karya Mandiri), relatif sama yaitu: kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Bencana banjir yang berkepanjangan seringkali berdampak pada gagal panen, dan menurunnya aktivitas perekonomian masyarakat. Cara paling cepat yang dilakukan masyarakat (korban banjir) untuk mengatasi kesulitan ekonomi adalah pijam (hutang) kepada masyarakat mampu. Kondisi kesulitan masyarakat tersebut seringkali dijadikan lahan eksploitasi oleh sebagian kelompok masyarakat yang mampu secara ekonomi dengan praktek ijon (rentenir). Sadar ataupun tidak, pola hubungan antara masyarakat dengan rentenir ini menjadi jeratan ekonomi dan memperpanjang penderitaan masyarakat, ibarat “sudah jatuh ketimpa tangga”. Adat dan berbagai kegiatannya (misalnya pesta adat, pembangunan rumah adat, pesta perkawinan, acara kematian dan lain-lain) masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Belu. Konsekuensi logis dari pelaksanaan adat tersebut adalah penyediaan persyaratan untuk ritual (misalnya: pada setiap ritual harus sembelih babi). Ketika masyarakat kesulitan keuangan, harga ternak babi sangat mahal terutama pasca banjir. Sementara itu, peternakan babi yang dilaksanakan oleh masyarakat Belu tidak dengan sistem kandang. Babi diliarkan dan hidup di sekitar rumah dan pekarangannya. Ketika banjir banyak babi yang mati dan hanyut.
80
Tipe DAS Benenain (type braided) yang mampu membawa material dalam frekuensi dan volume tinggi. Selain itu lokasi desa (lahan pertanian dan pemukiman) dengan topografis rata/datar sehingga mudah digenangi aiar/banjir. Banjir juga berdampak pada kerusakan lingkungan pesisir DAS Benenain. Banyak tanaman (baik tanaman usia pendek, misalnya jagung, maupun tanaman berusia panjang untuk penahan banjir) yang tumbang dan mati. Endapan lumpur setiap kali banjir telah berakibat pada pendangkalan sungai Benenain dan meningkatnya ketinggian tanah di permukiman penduduk. b. Identivikasi potensi Masyarakat umumnya berpenghidupan di sektor pertanian dan hasil produksi untuk dikonsumsi sendiri. Masyarakat memandang bahwa banjir sebagai bencana sekaligus berkah. Sebagai berkah, karena banjir telah memberikan kontribusi untuk kesuburan tanah pertanian terutama lokasi pertaniaan yang terletak di sepanjang DAS Benenain. Di daerah ini masyarakat dapat panen jagung 3 (tiga) kali dalam setahun. Proposi tenaga kerja produktif cukup tinggi, karena memiliki jumlah penduduk berusia produktif yang cukup seknifikan dibandingkan jumlah Kepala Keluarga (KK). Memiliki lahan subur dengan 3 (tiga) kali musim tanam setiap tahun (musim tanam pertama bulan Desember s/d Maret, musim tanam kedua bulan April s/d Juli dan musim tanam ketiga bulan Agustus s/d Oktober). Masih memiliki hubungan kekerabatan, memiliki kesamaan budaya/adat sehingga relasi sosial (saling membantu) masih merupakan kekuatan sosial utama bagi masyarakat setempat dalam menghadapi masa-masa sulit. Selain itu masyarakat masih memiliki strategi atau cara penyesuaian hidup bila menghadapi kondisi sulit pada berbagai tingkat masyarakat (keluarga, desa, komunitas), diantaranya
81
strategi penyesuaian ketika masyarakat menghadapi kondisi kurang pangan (sebagai akibat dari kerusakan/gagal panen akibat banjir), yakni: (1) masyarakat mengenal pangan yang terbuat dari sejenis pohon corypha utan Lamk atau dalam bahasa setempat disebut gawang sebagai bahan makanan pengganti jagung/beras ketika terjadi penurunan jumlah ketersediaan pangan keluaraga; (2) masyarakat biasanya mengubah pola makan dari 3 (tiga) kali sehari menjadi 2 (dua) kali atau 1 (satu) kali sehari untuk menyesuaikan pada saatsaat paceklik; dan (3) dalam kondisi “luar biasa”, masyarakat biasanya menjadikan bibit sebagai pangan. c. Penentuan jenis kegiatan, Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan dan potensi dari kelompok kerja, secara umum dapat dikemukakan bahwa kegiatan yang akan diselenggarakan dapat dibagi menjadi empat jenis kegiatan, yakni : kegiatan ekonomi produktif, kegiatan sosial dan kegiatan kesehatan serta kegiatan pelestarian lingkungan. Secara rinci jenis kegiatan yang akan diselenggarakan oleh ke 3 (tiga) kelompok kerja, dapat dilihat pada matrik berikut: Kelompok Kerja kerja “Putra Bahari” 1. Usaha Ekonomi Produktif - Simpan Pinjam 2. Kegiatan Sosial - Jumat Bersih 3. Kegiatan Kesehatan - P3K - MCK 4. Kegiatan Pelestarian Lingkungan Penanaman pohon di sepanjang pesisi DAS Benenaim
82
Kelompok Kerja “Tafatik” 1. Usaha Ekonomi Produktif - Ternak babi - Simpan Pinjam 2. Kegiatan Sosial - Jumat Bersih 3. Kegiatan Kesehatan - P3K - MCK 4. Kegiatan Pelestarian Lingkungan Penanaman pohon di sepanjang pesisi DAS Benenaim
Kelompok Kerja “Karya Mandiri” 1. Usaha Ekonomi Produktif - Ternak babi - Simpan Pinjam 2. Kegiatan Sosial - Jumat Bersih 3. Kegiatan Kesehatan - P3K - MCK 4. Kegiatan Pelestarian Lingkungan Penanaman pohon di sepanjang pesisi DAS Benenaim
d. Penentuan Target Penentuan target ini pada dasarnya akan dipergunakan sebagai alat Bantu dalam penilaian kegiatan yang dicapai pada saat monitoring maupun penilaian hasil akhir (evaluasi). Target kegiatan yang ditentukan oleh kelompok kerja jangka waktunya pendek (selama proses lapangan uji coba berlangsung), artinya target yang hendak dicapai dari pelaksanaan kegiatan hanya 4 (empat) bulan. Secara rinci target kegiatan masing-masing kelompok kerja dapat dilihat pada matrik berikut : Kelompok Kerja kerja “Putra Bahari” 1. Usaha Ekonomi Produktif Simpan Pinjam 1-6 bulan. setiap anggota kelompok dapat meminjam Rp.1.000.000, bunga 10%/bulan
Kelompok Kerja “Tafatik” 1. Usaha Ekonomi Produktif Ternak babi (20 ekor untuk 10 orang @ 2 kor . Harga @Rp.300.000,-
Kelompok Kerja “Karya Mandiri” 1. Usaha Ekonomi Produktif Ternak babi (40 ekor babi, setiap anggota mengelola 4 ekor babi dan wajib bangun kandang
Simpan Pinjam Meminjamkan ke semua @Rp.100.000,- Bunga 2%/bulan.
Simpan Pinjam 1-4 bulan tidak terbatas pada anggota anggota
BONDOWOSO-JAWA TIMUR Pemilihan lokasi sesuai dengan permintaan Pemerintah Daerah berdasar keterwakilan wilayah kota dan desa. penerapan “ Model Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana” di 2 lokasi yakni Kelurahan Blindungan dan Desa Cangkring. Kelompok Blindungan yang beronggotakan 30 orang merupakan kelompok ekperimen, dan kelompok Cangkring beranggotakan 30 orang merupakan kelompok kontrol. Adapun program kegiatan dua kelompok kerja tersebut tersusun sebagai berikut:
83
a. Kelompok Kerja Blindungan (Kelompok Kerja Surya Megah Bumi Lestari): (a) Program Pemetaan keluarga di daerah rawan bencana menurut Kepala keluarga, tingkat umur, jenis kelamin, mata pencaharian dan tingkat pendidikan; (b) Sosialisasi tentang Penghijauan; (c) Analisa Dampak Lingkungan; (d) Penciptaan Lapangan Kerja; (e) Keamanan dan Ketertiban. b. Kelompok Kerja Cangkring (Kelompok Kerja Mandiri) : (a) Melengkapi sarana sekretariat kelompok kerja; (b) Pembuatan papan nama; (c) Pengadaan sarana penanggu langan korban bencana alam; (d) Pelestarian lingkungan hidup. 2. Monitoring Kegiatan monitoring pada dasarnya merupakan aplikasi manajemen. Kegiatan tersebut merupakan salah satu sistem pengawasan, kegiatan yang dilakukan oleh kelompok kerja. Monitoring dapat didefinisikan sebagai sistem pengawasan yang dilaksanakan oleh penanggung jawab suatu kegiatan (program/proyek) untuk mengetahui atau memastikan apakah variasi kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakan tersebut sesuai dengan rencana (tujuan program) dan sumber daya yang ada telah dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Pelaksanaan monitoring kegiatan lebih bersifat partisipatif. Artinya kelompok kerja mempunyai kewenangan penuh untuk memanage pengumpulan informasi, penyampaian informasi serta pengukurannya (setiap anggota berperan sebagai subjek). Teknik yang dipandang cukup akurat untuk menggali data/informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan dimaksud adalah Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion) atau yang lebih dikenal dengan FGD. Untuk mengagendakan hasil FGD difasilitasi dengan formulir yang dapat berfungsi sebagai salah satu sarana pertanggung jawaban kegiatan kepada masyarakat.
84
Dalam rangka membangun kemampuan masyarakat dan pengurus, dapat dilakukan dengan pelatihan dan workshop, sehingga hasil dapat dicapai secara langsung pada saat pelatihan, sehingga mempunyai nilai riil dalam pelaksanaan kegiatan. Rincian hasil monitoring dari masing-masing kelompok kerja dapat dikemukakan sebagai berikut: Monitoring Kegiatan kelompok kerja di Belu – Nusa Tenggara Timur a. Kelompok Kerja “Putra Bahari” Hasil monitoring yang dilaksanakan pada kelompok kerja “Putra Bahari” ini menunjukkan bahwa pada umumnya kegiatan-kegiatan yang di rencanakan dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini terlihat dari realisasi kegiatan pada umumnya mencapai 80%, kecuali kegiatan kesehatan dan pelestarian lingkungan, belum dilakukan karena memprioritaskan kegiatan yang terkait dengan kebutuhan anggota kelompok kerja khususnya umumnya masyarakat sekitarnya, yaitu mengenai koperasi simpan pinjam. Agar anggota bisa pinjam dengan bunga yang rendah sehingga terhindar dari praktek renternir. Pada umumnya anggota kelompok kerja meminjam untuk modal atau menambah modal usaha. Jenis usaha yang ditekuni anggota kelompok ini adalah : bakul ikan (jualan ikan laut), membuka kios, membuat kopra, kerajinan tenun dan tambal ban. Sebetulnya mengenai kegiatan bidang kesehatan dan pelestarian lingkungan sudah dikerjakan oleh PMBP bekerja sama dengan OXFAM pada tahun 2006, yang terealisasi 6 buah sumur tahan banjir yang tersebar 6 dusun. Dengan terealisasi 6 buah sumur tahan banjir tersebut memungkinkan 710 jiwa perempuan usia produktif bisa lebih ringan beban kerjanya saat banjir. Selain itu menanam tanaman bakau yang dapat berpotensi untuk meredam banjir atau abrasi air laut.
85
b. Kelompok Kerja “Tafatik” Seperti kelompok kerja “Putra Bahari”, hasil monitoring yang di laksanakan pada kelompok kerja “Tafatik” ini menunjukkan bahwa pada umumnya kegiatan-kegiatan yang di rencanakan dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini terlihat dari realisasi kegiatan pada umumnya mencapai 80%. Sedangkan kegiatan kesehatan terutama kegiatan tentang Pos Yandu kelompok ini membuka jejaring kerja dengan POSKESDES. Sedangkan pelestarian lingkungan, kelompok kerja ini bersama-sama Desa akan menanam 1000 pohon di sepanjang pesisir DAS Benanain. Mengenai kegiatan bidang kesehatan sudah dikerjakan oleh PMPB berkerja sama dengan OXFAM pada tahun 2006, terutama mengenai air bersih yang terealisasi 4 buah sumur tahan banjir yang tersebar 4 dusun. Dengan realisasi 4 buah sumur tahan banjir tersebut memungkinkan 634 jiwa perempuan usia produktif bisa lebih ringan beban kerjanya saat banjir. c. Kelompok Kerja “Karya Mandiri” Seperti kelompok kerja lainnya, dari hasil monitoring yang dilaksanakan pada kelompok kerja “Karya Mandiri” ini menunjukkan bahwa pada umumnya kegiatan-kegiatan yang di rencanakan dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini terlihat dari realisasi kegiatan pada umumnya mencapai 80%, kecuali kegiatan kesehatan dan pelestarian lingkungan. Juga mengenai kegiatan bidang kesehatan khususnya mengenai kebutuhan akan air bersih sudah dikerjakan oleh PMBP bekerja sama dengan OXFAM GB pada tahun 2006, yang terealisasi 8 buah sumur tahan banjir yang tersebar 8 dusun. Dengan terealisasi 8 buah sumur tahan banjir
86
tersebut memungkinkan 626 jiwa perempuan usia produktif bisa lebih ringan beban kerjanya saat banjir. Setiap tahapan dalam pelakasanaan kegiatan diagendakan sebagai tanggung jawab kelompok kerja kepada masyarakat, lembaga (Keluarga), Pembina (Kepala Desa/ Lurah), dan instansi sektor. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat secara luas dapat (1) memberikan penilaian tentang manfaat dari kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Keluarga (2) penentuan sikap partisipasi dalam pembinaan Keluarga. Monitoring Kegiatan kelompok kerja di Bondowoso – Jawa Timur a. Kelompok Kerja Surya Megah Bumi Lestari Penghijauan dilakukan di sepanjang sungai di 7 Rt ( Rt 9, 20, 14, 15, 28, 29 dan 30) yang rawan terhadap longsor. Jenis bibit pohon yang ditanam sejumlah 1500 pohon tersebut terdiri dari jati, sengon dan pete. Pelaksanaan penghijauan dilakukan oleh seluruh anggota dan beberapa orang masyarakat yang ikut berpartisipasi. Karena bertepatan dengan musim kemarau maka setiap hari harus diadakan penyiraman, yang dilakukan oleh anggota dan warga yang tinggal disepanjang bantaran sungai secara bergantian. Untuk mengembangkan modal usaha, kelompok ini mencoba melakukan kegiatan Budi Daya Tanaman Jagung. Budi daya tanaman jagung jenis Pioneer dilakukan pada area seluas 0,75 ha di daerah Sekarputih yang disewa dari masyarakat. Pembuatan Pupuk Bokasih. Dalam pelaksanaan pembuatan pupuk bokasih ini, kelompok masih merasakan ada kesulitan dalam hal tempat, karena di khawatirkan akan mengganggu masyarakat bila lokasi pembuatannya dilingkungan masyarakat, karena baunya yang menyengat, karena bahan dasar pupuk ini adalah urin dan kotoran sapi.
87
Rencananya hasil dari pupuk ini selain dimanfaatkan oleh kelompok ini untuk budidaya tanaman jagung, tetapi juga dapat dipasarkan untuk masyarakat umum. b. Kelompok Kerja Mandiri Pembuatan kentongan sebanyak 153 buah, pembuatan kentongan dilakukan secara swadaya oleh anggota kelompok kerja dan masyarakat. Pembuatan kentongan dimanfaatkan untuk peringatan dini secara berantai ketika terjadi bencana alam. Kentongan ini telah dibagikan kepada seluruh anggota kelompok dan sebagian masyarakat. Pengadaan tenda/terpal sebanyak 4 buah, dipersiapkan untuk pengungsian sementara pada korban banjir, sehingga tidak harus menunggu bantuan tenda dari instansi. Pengadaan perlengkapan dapur umum (kompor, panci) akan dimanfaatkan untuk penyediaan konsumsi bagi pengungsi bila terjadi bencana. Pengadaan lampu petromak 2 buah, akan dimanfaatkan sebagai penerangan di tempat pengungsian bila lampu listrik mati pada saat bencana. Pelestarian lingkungan hidup, kegiatan yang dilaksanakan untuk pelestarian lingkungan hidup sebagai berikut: (1) Kegiatan gotong royong, kegiatan ini dilaksanakan bersama oleh seluruh anggota kelompok, masyarakat belum terlibat dalam kegiatan gotong royong, ketua kelompok terlebih dahulu mengaktifkan anggotanya untuk menarik perhatian masyarakat, sehingga pada kegiatan berikutnya diharapkan masyarakat dengan sukarela dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan gotong royong ini; (2) Penanaman pohon/penghijauan, sementara ini penghijauan yang direncanakan akan menanam pohon Gamelina/jati putih sebanyak 1000 pohon, belum dapat dilakukan karena terhambat dengan musim kemarau yang tidak
88
mendukung. Sementara ini pengghijauan dilakukan dengan menanam tanaman pagar, dengan tujuan untuk memperkecil arus banjir menerpa rumah mereka, sehingga dapat mengurangi kerusakan rumah. Penghijauan dengan menanam pohon gamelina akan dilaksanakan ketika musim hujan tiba. 3. Evaluasi Evaluasi pada dasarnya merupakan aplikasi manajemen. Dalam kerangka ini program sebagai penentu arah kegiatan, sedangkan evaluasi merupakan penilaian yang dilakukan untuk mengetahui capaian kegiatan yang telah, sedang dan hasil yang diperoleh. Evaluasi hasil kegiatan lebih bersifat partisipatif. Artinya kelompok kerja mempunyai kewenangan penuh untuk memanage pengumpulan informasi, penyampaian informasi serta pengukurannya (setiap anggota berperan sebagai subjek). Untuk itu evaluasi merupakan penilaian pada akhir kegiatan, bertujuan untuk memperoleh jawaban bagaimana realisasi kegiatan yang telah dicapai dan faktorfaktor apa yang turut mempengaruhi dalam proses pencapaian hasil tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka unsur dasar yang dijadikan patokan (arah) untuk melihat capaian hasil kegiatan adalah target yang hendak dicapai oleh kelompok kerja ujicoba dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Rincian dari hasil evaluasi terhadap masing-masing kegiatan kelompok kerja dapat dikemukakan sebagai berikut: Evaluasi Kegiatan kelompok kerja di Belu – Nusa Tenggara Timur a. Kelompok Kerja “Putra Bahari” Hasil evaluasi yang dilaksanakan pada kelompok kerja “Putra Bahari” ini menunjukkan bahwa pada umumnya kegiatan-kegiatan yang di rencanakan dapat
89
dilaksanakan dengan baik. Hal ini terlihat dari realisasi kegiatan pada umumnya mencapai 100%. Karena kelompok kerja ini lebih mengutamakan *kegiatan bidang Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Dengan jenis usaha Koperasi Simpan Pinjam. Dengan target sampai akhir kegiatan adalah dapat meminjami modal usaha kepada setiap anggota kelompok kerja. Setiap anggota kelompok kerja dapat pinjaman Rp.1.500.000,- dengan bunga sangat ringan. Pinjaman tersebut sebagai modal usaha, dengan jenis usaha seperti: buka kios, tambal ban, jualan ikan laut, membuat kopra dan membuat kain tenun. Sampai akhir kegiatan ini usaha tersebut sudah menunjukkan adanya perkembangan. Seperti pembuatan kain tenun khas NTT, setiap bulan berhasil menghasilkan uang Rp.600.000,- dengan menjual 4 lembar kain tenun. Karena kegiatan ini didukung adanya tenaga kerja yang cukup, namun kendalanya hanya dibidang pemasaran. Sedangkan kegiatan kebersihan lingkungan juga berjalan dengan baik. Kegiatan tersebut disesuikan dengan kegiatan yang telah berlangsung yaitu jum’at bersih. Setiap hari Jum’at anggota kelompok kerja membaur bersama-sama masyarakat untuk bahu-membahu atau gotongroyong membersihkan kampungnya. b. Kelompok Kerja “Tafatik” Seperti kelompok kerja “Putra Bahari”, hasil evaluasi yang di laksanakan pada kelompok kerja “Tafatik” ini menunjukkan bahwa pada umumnya kegiatan-kegiatan yang di rencanakan dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini terlihat dari realisasi kegiatan pada umumnya mencapai 100%. Seperti kegiatan penggemukan atau ternak babi (paronisasi ternak babi) cukup mengembirakan, sudah ada babi yang siap dijual dan ada yang sudah berkembang biak. Namun kendalanya adalah masalah penyakit dan
90
makanannya. Untuk kegiatan sosial setiap minggu sekali diadakan kerja bakti pembersihan lingkungan dengan mendapat dukungan dari pemerintah desa bersama LPM, BPD dan Linmas. Namun hambatannya adalah kehadiran masyarakat masih kurang dalam setiap kegiatan. Sedangkan kegiatan kesehatan sudah dibentuk jejaring di setiap dusun. Hal tersebut juga mendapat dukungan dari pemerintah desa, ormas, PKK, bidan desa, Puskesmas dan para kader kesehatan. Sedangkan dalam pelestarian lingkungan, kelompok kerja ini bersama-sama masyarakat dan pemerintah Desa sudah menanam 1000 pohon di sepanjang pesisir DAS Benanain yang berdekatan dengan desa Lasaen. c. Kelompok Kerja “Karya Mandiri” Dari hasil evaluasi yang dilaksanakan pada kelompok kerja “Karya Mandiri” ini menunjukkan bahwa pada umumnya kegiatan-kegiatan yang di rencanakan dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini terlihat dari realisasi kegiatan pada umumnya mencapai 100%. Seperti kegiatan paronisasi ternak babi cukup bagus, sudah ada babi yang siap dijual dan ada yang sudah berkembang biak. Kendalanya adalah setiap anggota kelompok kerja mempunyai kandang terlalu kecil sehingga tidak bisa menampung ternak babinya yang sudah berkembang, karena setiap induk bisa beranak 4 sampai 6 ekor. Sehingga ada kejadian ternaknya lepas dan tidak diketemukan lagi. Sedangkan kegiatan simpan pinjam sampai saat ini belum berjalan sebagaimana mestinya, karena belum ada anggota kelompok kerja yang meminjam, dengan alasan belum ada keperluan.
91
Monitoring Kegiatan kelompok kerja di Bondowoso – Jawa Timur a. Kelompok Kerja Surya Megah Bumi Lestari Semua kegiatan dapat dilakukan sesuai dengan perencanakan, walaupun belum mencapai target seperti yang diharapkan. Beberapa hambatan yang dirasakan oleh kelompok ini dalam melaksanakan kegiatannya adalah kegiatan anggota kelompok dalam mencari nafkah, tidak hanya pada siang hari tetapi juga pada malam hari sehingga ada kesulitan untuk bertemu membicarakan kegiatan kelompok, hal ini membuat ketua dan pengurus kelompok harus berkunjung dari rumah ke rumah anggota kelompok untuk memberi informasi berkaitan dengan kegiatan kelompok, dan mendengarkan secara langsung aspirasi anggota kelompoknya, saran maupun keluhannya, dan menyesuaikan waktu luang mereka untuk dapat berkumppul bersama. Hal ini juga berkaitan dengan kesulitan untuk membagi jadwal kerja setiap anggota kelompok, akibatnya beberapa anggota kelompok tidak aktif dan digantikan dengan anggota yang lain yang dapat melaksanakan kegiatan melebihi tugasnya. Kemudian dalam melaksanakan budi daya tanaman, sedikit terlambat karena kesulitan dalam mencari lahan sewa yang sesuai dengan kemampuan kelompok, dan tidak jauh dari lokasi tempat tinggal kelompok. Selain itu dalam pembuatan pupuk bogasih, kelompok kesulitan dalam menentukan lokasi pembuatan karena dikhawatirkan mengganggu masyarakat sekitar, karena baunya yang menyengat. Sementara ini pembuatan pupuk dilakukan di salah satu rumah pengurus kelompok, rencana yang akan datang akan mencari lokasi yang sesuai untuk pembuatan pupuk ini. Satu kemudahan bagi kelompok ini karena keterampilan membuat pupuk bogasih ini didapat dari salah satu anggota kelompok, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mencari instruktur keterampilan dari luar.
92
b. Kelompok Kerja Mandiri Hasil evaluasi kegiatan kelompok kerja Mandiri, pada dasarnya semua kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok kerja ini berjalan dengan lancar. Kecuali penghijauan, semua kegiatan telah dilaksanakan dan mencapai target (100 %). Penghijauan yang dilaksanakan baru sebatas penanaman tanaman pagar, karena untuk menanam pohon yang direncanakan adalah pohon Gamelina/jati putih sebanyak 1000 pohon, belum dapat dilaksanakan karena belum musim hujan. Namun demikian bibit gamelina siap tanam sudah dipersiapkan dalam polibag, sehingga ketika musim hujan datang pohon gamelina sudah siap untuk ditanam. Kemudian ada beberapa jenis pengadaan barang tidak sesuai dengan harga perencanaan, sehingga harus mengambil persiapan dana untuk pembelian bibit pohon gamelina dan jumlah pohon gamelina dikurangi dari jumlah semula yang direncanakan. Dinas Sosial dan Kesejahteraan menanggapi positif kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok ini, hal ini dituangkan dalam bentuk perhatiannya kepada kelompok kerja dengan akan memberi tambahan jumlah tenda yang telah dimiliki sesuai dengan perkiraan jumlah korban bencana. Demikian halnya dengan peralatan dapur juga akan dilengkapi oleh Dinas Sosial dan Kesejahteran Kabupaten Bondowoso. Keberadaan tokoh masyarakat dan tokoh agama di Desa Cangkring ini merupakan satu faktor yang dominan dalam memperlancar pelaksanaan kegiatannya. Ungkapan atau nasehat tokoh tersebut masih sangat didengar oleh masyarakat termasuk kelompok kerja ini. Dan kebersamaan anggota sangat terlihat, setiap pertemuan selalu dihadiri oleh anggota, sehingga semua permasalahan dan rencana kegiatan bisa dibicarakan dengan tuntas.
93
E.
KEMITRAAN. Kemitraan merupakan salah satu alternatif jawaban untuk mengatasi keterbatasan Keluarga dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi organisasi. Dalam istilah ekonomi, kemitraan didefinisikan sebagai kerjasama usaha saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil dan masingmasing pihak yang bermitra berada pada posisi tawar menawar yang seimbang (Kompas, 11 Maret 1997). Uraian ini mengisyaratkan, bahwa prinsip dasar yang perlu ditekankan dalam membangun kemitraan adalah masing-masing pihak yang bermitra berada dalam proses take and give yang sepadan, dan menutup kesempatan berkembangnya pola patron-klien. Mengacu uraian tersebut, maka kemitraan yang dimaksud dalam model lebih menekankan pada perluasan jaringan kerja Keluarga dengan pihak lain (baik secara individual maupun lembaga) terutama berkaitan dengan pengembangan kesiapsiagaan keluarga dalam menghadapi bencana. Hal tersebut sudah terwujut pada kegiatan yang dilakukan salah satu kelompok kerja di Belu dalam kegiatan kesehatan. Dalam kegiatan kesehatan tersebut sudah dibentuk jejaring di setiap dusun. Hal tersebut juga mendapat dukungan dari pemerintah desa, Ormas, PKK, bidan desa, Puskesmas dan para kader kesehatan. Langkah yang ditempuh adalah sosialisasi informasi baik kepada kelompok eksperimen maupun masyarakat luas. (1) Informasi yang diberikan kepada kelompok eksperimen antara lain tentang beberapa lembaga yang bisa diakses untuk penguatan dan pengembangan kegiatan penanggulangan bencana alam yang dijadikan program kelompok eksperimen. (2) informasi yang disampaikan kepada masyarakat luas, adalah informasi tentang eksistensi kelompok eksperimen, tujuannya adalah untuk menumbuhkan respon masyarakat luas terhadap pengembangan kesiapsiagaan keluarga dalam penanggulangan bencana alam.
94
BAB V PEYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN Konsep model yang diujicobakan bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan sosial keluarga dalam menghadapi bencana alam. Dalam konteks ini, data dan informasi yang dianalisis menekankan pada efektivitas model dalam peningkatan keberdayaan sosial keluarga di daerah bencana, dan faktor yang berpengaruh dalam ujicoba model. Asumsinya, jika model dimaksud mampu meningkatkan keberdayaan sosial keluarga dalam penanggulangan bencana alam, maka model tersebut dipandang efektif. Peningkatan keberdayaan sosial keluarga diamaksud akan dilihat dari data dan informasi tentang perubahan perilaku kelompok eksperimen yang terhimpun dari dua lokasi penelitian. Pokok bahasan tentang perubahan perilaku kelompok eksperimen pada dasarnya untuk mengetahui apakah informasi yang disampaikan mampu memberikan kontribusi untuk meningkatkan keberdayaan keluarga. Jika dalam keberdayaan keluarga terdapat tiga aspek keberdayaan (penguasaan aset dan akses informasi, produktivitas, dan posisi tawar menawar), maka ketiga aspek dimaksud yang akan dijadikan pokok bahasan aspek perubahan perilaku. a. Penguasaan Aset dan Akses Informasi dalam Penanggulangan Bencana Alam. Penguasaan aset dan akses informasi merupakan merupakan landasan yang sangat mendasar untuk berrtindak dan berperilaku bagi setiap orang. Dalam istilah psikologi yang mendasari terbentuknya sikap. Mengacu pengertian tentang sikap yang dikemukakan Gordon W. Allport (1935), dan definisi dari David Krech beserta Richard S. Crutchfiled (1948) yang dikutip oleh Isbandi Rukminto Adi (1994), menunjukkan adanya dua acuan terbentuknya suatu sikap. Dalam kaitan ini Allport lebih menekankan pada pentingnya pengalaman masa lalu, yakni sikap didefinisikan sebagai ”a mental and neural
95
state of readiness, organized through experience, exerting a directive or dynamic influence upon the individual’s response to all objects and situations with shich it it related”. Sedangkan Krech dan Crutchfield lebih menekankan pengalaman subjektif pada masa sekarang tanpa mengabaikan pengalaman masa lalu. Sikap dipandang sebagai “an enduring organization of motivational, emotional, perceptual and coqnitive processes with respect to some aspects of individual’s world”. Berpijak dari uraian di atas, maka sikap kelompok eksperimen (baik berupa dukungan atau penolakan) daalm pengembangan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan bencana alam sangat tergantung (dipengaruhi) oleh informasi yang dimiliki (baik yang didapat pada masa lalu maupun masa sekarang). Berkaitan dengan hal tersebut, Newcomb (1985) mengemukakan suatu prinsip umum, bahwa sikap terhadap suatu objek akan lebih mudah dirubah bersamaan dengan masuknya informasi yang berlawanan dengan sikap itu, apabila jumlah informasi yang disimpan mengenai objek tersebut lebih sedikit dari pada informasi yang baru masuk. Dari pandangan ini, pertanyaannya adalah apakah informasi yang disampaikan ini memberikan kontribusi untuk peningkatan ketiga substansi yang dipergunakan sebagai tolok ukur keberdayaan pada kelompok eksperimen. Perkembangan keberdayaan ini dapat dilihat dari perbandingan data hasil pretest (sebelum diberi perlakuan) dengan data posttest (setelah diberi perlakuan) pada kelompok eksperimen di dua lokasi sebagai berikut. A.
Perubahan perilaku dari kelompok eksperimen 1. Kelompok Eksperimen Belu a. Penguasaan Aset dan Akses Informasi Dalam kerangka memahami kondisi penguasaan aset dan akses informasi kelompok eksperimen dalam penanggulangan bencana alam, ada 9 instrumen (pernyataan) yang diajukan dalam penelitian ini. Secara umum rerata skor yang diperoleh
96
(baik pada saat pretest maupun posttest berada dalam kategori tinggi. Dari perbandingan hasil skoring terhadap tenggapan yang diberikan kelompok eksperimen dapat dikemukakan bahwa selama proses penelitian telah terjadi perubahan (ada perbendaan) skor rerata yang dicapai. Rerata skor yang dicapai dapat dilihat pada tabel 10 sebagai berikut. Tabel 10:Rerata Skor Penguasaan Aset dan Akses Informasi No 1 2 3 4 5 6 7
Indikator Pengertian Bencana alam Pandangan tentang penyebab terjadinya Bencana Alam Pandangan tentang Bencana Alam dengan Supranatural Optimalisasi Penggunan alat komunikasi untuk penanggulangan Bencana Alam Pandangan tentang Lokasi Pengungsian Pandangan tentang perlunya merencanakan kegiatan untuk menghadapi bencana alam jika sewaktu-waktu terjadi. Pandangan tentang perlunya informasi (penyuluhan) tentang Bencana Alam
Pandangan tentang peran masyarakat dalam distribusi bantuan Pandangan tentang perlunya program 9 penanggulangan bencana alam Rerata Skor Selisih rerata skor (posttest – pretest) 8
Pretest Posttest 3,57
4,23
2,90
3,97
3,63
3,53
4,13
4,27
2,60
3,73
3,10
3,10
4,10
4,77
2,37
3,03
4,40
4,40
3,42
3,83 0,41
Sumber: Data primer tahun 2008
Secara numerik, pada tabel 10 menunjukkan perubahan (peningkatan rerata skor) tentang penguasaan aset dan akses informasi tentang kebencanaan, yakni sebesar 0,41. selisih angka tersebut tersebut mencapai separuh lebih dari interval dalam ksetiap kategori yakni 0,80. Perbedaan rerata skor pada setiap indikstor paling rendah sebesar 0,00 (tidak ada
97
perbedaan) sampai dengan 0,67. Angka ini mengindikasikan bahwa informasi yang disampaikan mempunyai arti atau memberikan kontribusi kepada kelompok eksperimen. Secara prinsip, informasi yang disampaikan kepada masyarakat (kelompok eksperimen) lebih banyak bersifat menunjang dan atau melengkapi informasi yang dimiliki kelompok eksperimen. Berbeda halnya, jika perbedaan rerata skor yang didapat pada saat pretest dan posttest menunjukkan perbedaan yang sangat tajam (ekstrim) yang dapat dipahami, bahwa pada awalnya lebih bersifat pada penolakan (pretest) sampai saat posttest terjadi penerimaan. Seperti pandangan Newcomb (1985), tentang prinsip umum, bahwa sikap terhadap suatu objek akan lebih mudah dirubah bersamaan dengan masuknya informasi yang berlawanan dengan sikap itu, apabila jumlah informasi yang disimpan mengenai objek tersebut lebih sedikit dari pada informasi yang baru masuk. Jika dicermati dari masing-masing rerata skor indikator pada tabel 10 terdapat enam indikator yang mengalami peningkatan, dan tiga indikator yang tidak mengalami perubahan. Selisih rerata skor tentang penguasaan aset dan akses iformasi kelompok eksperimen tentang kebencanaan (posttest-pretest) tidak mengalami perubahan yang ekstrim, artinya perubahan (peningkatan) tersebut tidak sampai pada perubahan kategori. Penguasaan aset dan akses informasi ini masih dalam kategori tinggi ke tinggi sekali atau berada pada skor 3,41–4,20. Ada kemungkinan bahwa kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut:
98
•
Pemahaman atau pengetahuan kelompok eksperimen tentang ke bencana alam cukup baik. Hal tersebut dimungkinkan karena didapat dari pengalaman, atau dari pembinaan yang dilakukan sebelum uji coba ini dilaksakan.
•
Pertanyaan dalam instrumen penelitian yang diberikan pada saat pretest (pada bulan pertama proses lapang
ujicoba) masih dalam ingatan kelompok eksperimen sehingga jawaban yang diberikan pada saat postest (bulan ke empat) relatif sama. Informasi ini mengindikasikan intelektual kelompok eksperimen relatif baik. Pada indikator pengetahuan tentang bencana alam terjadi peningkatan hasil skoring yang relatif tinggi (angka pretest 3,57 dan dengan postets 4,27). Hasil skoring tersebut dapat diinterpretasikan bahwa kelompok eksperimen mempunyai persepsi tentang bencana alam yang relatif baik. Sebagai ilustrasi akan dikemukakan data dan informasi pada saat pretest dari 30 orang yang tergabung dalam kelompok eksperimen. Pada umumnya (90,0%), kelompok eksperimen telah memahami tentang bencana alam. Pemahaman kelompok eksperimen tentang bencana alam didapat dari pengalaman, atau dari pembinaan yang dilakukan sebelum uji coba ini dilaksakan. Pengetahuan kelompok eksperimen tentang Pandangan tentang penyebab terjadinya bencana alam menunjukan peningkatan (2,90 - 3,97), namun apabila dikaitkan dengan supranatural cenderung mengalami penurunan walaupun relatif kecil (3,63 – 3,53). Hal tersebut menunjukkan bahwa kelompok eksperimen lebih cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat nyata atau berdasarkan fakta. Nilai rerata yang diperoleh dari hasil skoring terhadap indikator tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan kelompok eksperimen tentang hal tersebut relatif baik. Angka pada saat pretest maupun posttest berada pada kategori tinggi (3,41 sampai dengan 4,20). Pemahaman tentang optimalisasi penggunan alat komunikasi untuk penanggulangan bencana alam yang relatif baik. Pada indikator ini telah terjadi peningkatan hasil skoring pada level Tinggi menuju Tinggi Sekali. Perubahan angka tersebut dapat diinterpretasikan bahwa kelompok eksperimen sudah memahami benar-benar manfaat alat komunikasi dalam penagulangan bencana, karena alat tersebut dapat digunakan sebagai peringatan dini dalam menghadapi bencana.
99
Peningkatan pemahaman kelompok eksperimen yang mengalami peningkatan adalah pemahaman tentang peran masyarakat dalam distribusi bantuan (relatif tinggi yakni antara 2,37-3,03). Namun yang relatif tinggi sekali peningkatannya adalah pemahaman kelompok eksperimen tentang perlunya informasi (penyuluhan) tentang bencana alam. Hal ini mengidentifikasikan bahwa kelompok eksperimen sudah menyadari akan pentingnya informasi (penyuluhan) untuk menambah wawasan dan pengetahuan, atau selama proses lapang uji coba telah terjadi peningkatan wawasan pada kelompok eksperimen. Satu hal perlu dicermati adalah skor pada indikator yang tidak mengalami perubahan adalah pemahaman kelompok eksperimen tentang (1) perlunya merencanakan kegiatan untuk menghadapi bencana alam jika sewaktu-waktu terjadi dan (2) pandangan tentang perlunya program penanggulangan bencana alam. Walaupun kedua indikator ini tidak berubah namun skor dari kedua indikator ini menunjukkan kategori cukup tinggi dan tinggi sekali. Kedua skor ini dapat diinterpretasikan, bahwa kegiatan dan program untuk penanggulangan bencana alam sangat diperlukan. Kondisi ini tercermin dari beberapa kegiatan yang dijadikan program dari kelompok kerja baik untuk mengurangi resiko terjadinya bencana alam (pencegahan) dan resiko pada pasca bencana alam. Secara umum, kegiatan yang dijadikan program kelompok kerja dapat dibagi menjadi empat jenis kegiatan, yakni: kegiatan ekonomi produktif, kegiatan sosial dan kegiatan kesehatan serta kegiatan pelestarian lingkungan. Kegiatan yang disusun dalam program kelompok kerja yang ditujukan untuk pencegahan terhadap terjadinya bencana alam adalah program Kebersihan Lingkungan dan Pelestarian Lingkungan. Kegiatan untuk kebersihan lingkungan diberi nama Jumat Bersih yang dilaksanakan setiap bulan satu kali pada hari Jumat pertama. Sedangkan kegiatan yang dilaksanakan untuk pelestarian lingkungan
100
adalah penanaman pohon di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Benanain yang berada diwilayahnya. Adapun untuk mengurangi resiko pada masa pasca bencana alam, ketiga kelompok kerja menyusun program Simpan-Pinjam. Program ini ditujukan untuk menanggulangi jeratan rentenir atau sistem Ijon (sistem pinjaman dibayar dengan hasil panen di kemudian hari) kepada masyarakat setiap kali terjadi banjir. Jeratan tersebut terjadi karena ada kebutuhan yang mendesak untuk dipenuhi namun masyarakat tidak mempunyai uang/biaya karena selama beberapa hari masyarakat tidak bekerja. Berdasarkan data dan informasi di atas dapat dikemukakan bahwa kelompok eksperimen mempunyai kemampuan tentang penguasaan aset dan akses dalam kategori tinggi. Asumsinya, penguasaan aset dan akses tentang kebencanaan yang relatif tinggi ada keterkaitannya dengan tingginya tingkat produktifitas dalam penanggulangan bencana alam. b. Produktivitas dalam Penanggulangan Bencana Alam Produktivitas dalam penanggulangan bencana alam dimaksud adalah kemampuan kelompok kerja dalam pelaksanakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan bencana alam. Dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada saat terjadi bencana dan pasca bencana (recovery). Produktivitas ini terutama berkaitan dengan bagaimana keluarga (kelompok eksperimen tersebut dalam membangun kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana alam). Produktivitas kelompok eksperimen ini akan dilihat dari pandangan kelompok eksperimen tentang tindakan yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan pengurangan resiko bencana alam, yakni sumbang pikiran, tenaga, dana dan keterampilan, aktivitas sosial dalam penanggulangan bencana alam. Kondisi peningkatan produktivitas kelompok eksperimen dalam penanggulangan bencana alam dimaksud
101
dapat dilihat dari tabel 11 berikut: Tabel 11: Rerata Skor Produktivitas kelompok eksperimen dalam Penanggulangan Bencana Alam No
Indikator
1
Sosialiasi daerah rawan bencana di lingkungan keluarga Sosialiasi tentang tindakan dan perilaku ketika terjadi bencana Sosialiasi tentang tempat yang aman untuk pengungsian Sosialiasi tentang tindakan dan perilaku di lokasi pengungsian Mempersiapkan diri jika terjadi bencana. Keterlibatan untuk membiayai penanggulangan bencana alam Partisipasi dalam penyelamatan (evakuasi) Gotong royong membersihkan dan memperbaiki lingkungan untuk pencegahan BA Partisipasi dalam kegiatan penghijauan Menginformasikan kepada tetanga untuk menjaga lingkungan Lingkungan yang rusak harus dilakukan secara gotong royong Tindakan untuk menenangkan orang yang ada didekatnya ketika terjadi bencana Rerata Skor Selisih rerata skor (posttest – pretest)
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pretest Posttest 3,93
4,40
4,03
4,33
4,30
4,37
3,97
4,37
4,07
4,13
3,77
4,17
4,07
4,37
3,93
4,07
4,40
4,67
4,23
4,47
4,37
4,70
4,10
4,23
4,09
4,36 0,27
Sumber: Data primer tahun 2008
Pada tabel 11 tersebut terlihat seluruh indikator untuk mengetahui tingkat produktivitas dalam penanggulangan bencana alam terjadi perubahan (peningkatan). Secara numerik, walaupun peningkatannya tidak terlalu besar, namun angka pada tabel tersebut mengindikasikan tingginya tingkat
102
produktivitas kelompok eksperimen. Jika dibandingkan rerata skor pretest dengan posttest dari seluruh indikator produktifitas dalam penangulangan bencana alam terlihat ada peningkatan yakni 4,09 pada saat pretest menjadi skor rerata 4,36 pada saat posttest atau ada peningkatan sebesar 0,27. Perbedaan rerata Skor tersebut bergerak dari kategori tinggi (3,41-4,20) ke kategori tinggi sekali (berada pada skor 4,21-5,00). Manifestasi dari peningkatan produktivitas kelompok eksperimen dalam penanggulangan bencana alam ini tercermin dari aktiavitas sosial (Jumat - Bersih) dan penanaman pohon di DAS Benananin. Kondisi peningkatan produktivitas tersebut juga tercermin dari hasil kegiatan usaha ekonomi baik simpan pinjam maupun perkembangan usaha peternakan (babi) yang dikelola oleh kelompok kerja. Terutama usaha peternakan babi hingga saat evaluasi (kegiatan selama 4 bulan berjalan) telah diperoleh keuntungan (babi berkembang/beranak), bahkan salah satu anggota kelompok sudah ada yang berusaha mengembangkan ternak babi tersebut dengan beternak sapi. c. Posisi Tawar Menawar dalam Penanggulangan Bencana Alam Setiap masyarakat pada dasarnya mempunyai suatu pranata sosial (yaitu sekumpulan nilai dan norma yang menjadi pedoman berperilaku bagi setiap masyarakatnya dalam penghidupan masyarakat dan kehidupan bermasyarakat). Pada kondisi tertentu (ketika terjadi bencana), Seperangkat nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat tersebut seringkali menjadi berantakan dan masyarakat yang terkena bencana berada dalam posisi yang lemah (tidak berdaya) menghadapi berbagai tuntutan dari luar.
103
Tabel 12: Rerata Skor Posisi Tawar Menawar dalam Penanggulangan Bencana Alam No
Indikator
1
Setiap media cetak dan elektronik harus memberikan informasi tentang kebencanaan 2 Masyarakat harus mengikuti penyuluhan tentang kebencanaan yang dilakukan pemerintah maupun swasta (Orsos/LSM) 3 Penanggulangan Bencana alam merupakan tanggungjawab pemerintah, masyarakat dan dunia usaha 4 Di desa/kelurahan perlu dibentuk tim penanggulangan bencana alam 5 Tim bertanggung jawab untuk pendataan, koordinator dalam penanggulangan bencana alam 6 Kesediaann untuk dipilih menjadi penanggungjawab (anggota tim) 7 Kerjasama dalam perbaikan lingkungan akibat bencana 8 Setiap masyarakat harus mengikuti kegiatan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana alam 9 Penolakan Orsos/LSM nasional dan internasional yang seringkali mempunyai muatan politis 10 Kesediaan untuk membantu masyarakat yang terkena bencana di daerah lain yang masih terjangkau Rerata Skor Selisih rerata skor (posttest – pretest)
Pretest
Posttest
3,90
4,40
4,30
4,53
4,40
4,63
4,27
4,50
4,07
4,50
4,13 4,27
4,37 4,60
4,27
4,47
2,57
2,97
4,17 4,07
4,53 4,31 0,24
Sumber: Data Primer 2008
Secara numerik, angka pada tabel 12 menunjukkan posisi tawar menawar kelompok kerja yang relatif tinggi. Jika rerata skor yang didapat pada saat dilakukan pretest dibandingkan dengan rerata skor posttest menunjukkan peningkatan posisi tawar menawar, yakni sebesar 0,24. Perubahan angka yang terjadi tidak terlalu besar dan melampaui range perubahan kategori yakni 0,80. Namun, jika rerata skor yang didapat ini dimasukkan dalam kategori untuk menentukan tinggi rendahnya hasil skoring, maka terlihat adanya peningkatan kategori rerata skor posisi tawar menawar kelompok eksperimen dalam penanggulangan bencana alam, yakni rerata skor pretest sebesar 4,07 (termasuk kategori tinggi atau berada pada range 3,41–4,20) meningkat menjadi 4,31
104
(termasuk kategori tinggi sekali atau berada pada range 4,21 – 5,00) pada saat posttest. Jika dicermati pada setiap indikator, dalam tabel 12 terlihat ada beberapa indikator yang mengalami kenaikan rerata skor tetapi masih dalam satu kategori, kenaikan rerata skor dan meningkat kategorinya. Tingginya posisi tawar menawar ini tercermin dari sikap kelompok eksperimen untuk menempatkan diri dalam penanggulangan bencana alam. Dalam konteks ini ditunjukkan dari pandangan masyarakat tentang (1) pentingnya peran masyarakat, pembentukan tim dalam Penanggulangan Bencana alam, dan Kesediaann untuk menjadi penanggungjawab (anggota tim) (2) adaptif terhadap masuknya informasi yang mempunyai nilai manfaat dalam penanggukangan bencana alam dan (3) menurunnya sikap ekompok eksperimen terhadap Orsos/LSM nasional dan internasional yang seringkali mempunyai muatan politis. 1. Kelompok Eksperimen di Bondowoso Dalam penerapan ujicoba model ini, ada dua kelompok yang dijadikan sebagai sasaran observasi. Kelompok pertama (Blindungan) merupakan kelompok yang diberi perlakuan, sedangkan kelompok kedua (Cangkring) adalah kelompok yang tidak diberi perlakuan. dalam penelitian ini, Kelompok kedua dimanipulasi sebagai kelompok kontrol. Untuk mengetahui perkembangan keberdayaan, masing-masing kelompok diberi pertanyaan yang sama (baik pada saat pretest maupun posttest). Perbedaannya, setelah dilakukan pretest kelompok yang pertama diberi perlakuan sedangkan kelompok kedua tidak diberi perlakuan. a. Penguasaan Aset dan Akses Informasi dalam Penanggulangan Bencana alam Data dan informasi tentang penguasaan aset dan akses informasi yang dimiliki masyarakat merupakan pemahaman, pengetahuan dan atau upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang kebencanaan yang berkaitan dengan penyebab, akibat, wilayah pengungsian dan
105
yang berkaitan dengan bantuan. Pada substansi ini, ada 9 pertanyaan yang diajukan kepada kelompok yang dijadikan sasaran observasi. Hasil skoring terhadap 9 jawaban kelompok eksperimen menunjukkan, bahwa penguasaan aset dan akses informasi dari kedua kelompok yang diobservasi relatif baik. Secara numerik, rerata skor kedua kelompok observasi berada dalam kategori tinggi (3,41 – 4,20). Walaupun rerata skor dari kedua kelompok tersebut ada perbedaan, namun selisih rerata skor kelompok Blindungan dengan kelompok Cangkring relatif kecil, yakni sebesar 0,13. Rerata skor yang dicapai dari masingmasing jawaban kelompok eksperimen dapat dilihat pada tabel 14 sebagai berikut. Tabel 14: Rerata Skor Penguasaan Aset dan Akses Informasi No
Indikator
1 2
Pengertian Bencana alam Pandangan tentang penyebab terjadinya Bencana Alam Pandangan tentang Bencana Alam dengan Supranatural Optimalisasi Penggunan alat komunikasi untuk penanggulangan Bencana Alam Pandangan tentang Lokasi Pengungsian Pandangan tentang perlunya merencanakan kegiatan untuk menghadapi bencana alam jika sewaktu-waktu terjadi. Pandangan tentang perlunya informasi (penyuluhan) tentang Bencana Alam Pandangan tentang peran masyarakat dalam distribusi bantuan Pandangan tentang perlunya program Rerata Skor Selisih rerata skor (posttest - pretest)
3 4 5 6 7 8 9
Sumber : Data Primer 2008 Keterangan: KBL : kelompok kerja Kel. Blindungan, KC : kelompok kerja Desa cangkring
106
Rerata Skor Pretest Posttest KBL KC KBL KC 3,63 4,13 4,43 4,37 3,97 4,23 3,90 3,83 4,13
4,20
4,23
4,23
4,17
4,77
4,40
4,40
3,17 3,20
3,17 2,67
2,70 3,47
2,70 3,47
4,07
4,67
4,10
4,10
3,77
3,33
3,90
3,90
4,37 4,33 3,83 3,94 0,11
4,40 4,40 3,95 3,93 -0,02
Dari tabel diatas dapat dilihat pada kelompok kerja Blindungan, bahwa secara umum skor rerata dari setiap item dalam indikator terjadi peningkatan, walaupun ada beberapa item yang mengalami penurunan, namun penurunan tersebut tidak membawa dampak perubahan yang sangat berarti pada penilaian kategori. Penurunan rerata skor terjadi pada dua item dari indikator tersebut, penurunan yang dimaksud terdapat pada item ”Pandangan tentang perlunya merencanakan kegiatan untuk menghadapi bencana alam jika sewaktu-waktu terjadi”, dari rerata skor 3,20 menjadi 2,67 atau berkurang sebesar 0,53. Penurunan rerata skor juga terjadi pada ”Pandangan tentang peran masyarakat dalam distribusi bantuan ”, dari rerata skor 3,77 menjadi 3,33 atau berkurang sebesar 0,44. Serta pada item ”Pandangan tentang perlunya program” atau berkurang 0,04. Namun demikian secara keseluruhan rerata skor mengalami kenaikan dari 3,83 menjadi 3,94. Perubahan tersebut tidak merubah kategori dari item indikator tersebut. Penurunan nilai skor pada item tertentu ini bukan merupakan kegagalan dari perlakuan yang diberikan kepada kelompok kerja, tetapi justru merupakan keberhasilan dari perlakukan yang diberikan, perlakuan yang diberikan mampu memberi perubahan perilaku responden terhadap item-item tertentu Demikian halnya pada kelompok kerja Desa Cangkring, terjadi penurunan skor pada dua item pada indikator tersebut. Perubahan yang terjadi pada item ”pengertian Bencana alam”dari skor rerata 4,43 menjadi 4,37 ata berukurang 0,06, dan pada item ”Pandangan tentang penyebab terjadinya Bencana Alam”dari rerata skor 3,90 menjadi 3,83 atau berkurang 0,07. Lebih banyak dari item tersebut tidak mengalami perubahan rerata skor, yang berarti bahwa perilaku masyarakat atau kelompok kerja tidak mengalami perubahan. Namun terlihat bahwa baik pada kelompok kerja Kelurahan Blindungan maupun Desa Cangkring pengetahuan kelompok kerja terhadap aset dan akses informasi cukup tinggi, hal ini
107
karena pengalaman mereka terkena bencana alam sudah sangat sering, dari pengalaman tersebutlah mereka belajar dan mengetahui tentang kebencanaan, selain itu juga informasiinformasi yang mereka peroleh dari media. b. Produktivitas Dalam Penanggulangan Bencana Alam Produktivitas dalam penanggulangan bencana alam dimaksud adalah bagaimana kemampuan orang tua ikut terlibat dan atau berpartisipasi dalam mempersiapkan keluarganya dan masyarakat sekitar dalam menghadapai bencana alam. Produktivitas masyarakat dalam penanggulangan bencana alam akan dilihat dari pandangan kelompok eksperimen tentang tindakan yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan pengurangan resiko bencana alam, yakni sumbang pikiran, tenaga, dana dan keterampilan, aktivitas sosial dalam penanggulangan bencana alam. Dari hasil skoring tanggapan kelompok eksperimen terhadap 12 pernyataan yang diajukan menunjukkan bahwa produktivitas kelompok eksperimen sangat baik. Rerata skor yang di dapat beraada pada kategori tinggi sekali (berkisar antara 4,20 – 5,00). Rerata skor produktivitas yang tinggi ini mengindikasikan bahwa tingginya partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana alam. Namun jika kelompok Blindungan (yang diberi perlakuan) dibandingkan dengan kelompok Cangkring ada perbedaan. Rerata skor (baik pretest maupun posttest) yang didapat kelompok Blindungan sedikit lebih tinggi dari kelompok Cangkring. Kelompok Blindungan mengalami peningkatan sebesar 0,28 sedangkan kelompok Cangkring sebagai kelompok kontrol tidak terjadi perubahan (konstan). Hasil rerata skor dari kedua kelompok tersebut menunjukkan, bahwa perlakuan yang diberikan mempunyai arti dalam peningkatan produktifitas kelompok. Kondisi peningkatan produktivitas kelompok eksperimen dalam
108
penanggulangan bencana alam dimaksud dapat dilihat dari tabel 15 berikut: Tabel 15:Produktivitas Dalam Penanggulangan Bencana Alam Rerata Skor Blindungan Cangkring Pre Post KBL KC
No
Indikator
1
Sosialiasi daerah rawan bencana di lingkungan keluarga Sosialiasi tentang tindakan dan perilaku ketika terjadi bencana Sosialiasi tentang tempat yang aman untuk pengungsian Sosialiasi tentang tindakan dan perilaku di lokasi pengungsian Mempersiapkan diri jika terjadi bencana.
4,47
4,33
4,23
4,23
4,47
4,50
4,40
4,40
4,43
4,57
4,40
4,40
4,40
4,43
4,37
4,37
4,53
4,40
4,40
4,40
Keterlibatan untuk membiayai penanggulangan bencana alam Partisipasi dalam penyelamatan (evakuasi)
4,50
4,50
4,07
4,07
4,53
4,63
4,10
4,10
Gotong royong kebersihan dan perbaikan lingkungan untuk pencegahan BA Partisipasi dalam kegiatan penghijauan
4,57
4,33
4,23
4,23
4,53
4,67
4,43
4,43
Menginformasikan kepada tetanga untuk menjaga lingkungan Lingkungan yang rusak harus dilakukan secara gotong royong Tindakan untuk menenangkan orang yang ada didekatnya ketika terjadi bencana Rerata skor
4,43
4,57
4,17
4,17
4,40
4,67
4,30
4,30
4,37
4,47
4,10
4,10
4,33
4,51
4,27
4,27
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Rerata selish skor (posttest – pretest)
0,18
0
Sumber : Data Primer 2008 Keterangan: KBL : kelompok kerja Kel. Blindungan, KC : kelompok kerja Desa cangkring
Secara numerik, tangapan masyarakat terhadap pernyataan yang diberikan umumnya berada dalam kategori tinggi.dan Tinggi Sekali. Walaupun kategori tinggi sekali ini tidak bermakna perubahan yang sangat tinggi, karena peningkatan yang terjadi tidak pada keseluruhan item, hanya
109
ada lima item ada peningkatan rerata skor dan tiga item tetap dan empat item terjadi penurunan rerata skor. Penurunan skor terjadi pada item ” Perlunya sosialiasi daerah rawan bencana di lingkungan keluarga”, ”Setiap anggota masyarakat harus mempersiapkan diri jika terjadi bencana” dan pada item ”Gotong royong untuk membersihkan dan memperbaiki lingkungan merupakan tindakan”. Adanya perubahan yang terjadi pada rerata skor tersebut mengindikasikan bahwa adanya perubahan perilaku atau pengetahuan masyarakat terhadap produktivitas dalam penanganan bencana alam setelah adanya perlakuan yang diberikan oleh peneliti. Kemudian pada kelompok kerja Mandiri Desa Cangkring, tidak terlihat adanya perubahan pada rerata skor yang diperoleh. Hal ini berarti tidak ada perubahan perilaku masyarakat terhadap produktivitas dalam penanggulangan bencana alam. c. Tawar Menawar Dalam Penanggulangan Bencana Alam Posisi tawar menawar dimaksud adalah kemampuan masyarakat memposisikan dirinya maupun orang lain untuk ikut terlibat dalam penanggulangan bencana alam. Setiap masyarakat pada dasarnya mempunyai suatu pranata sosial (yaitu sekumpulan nilai dan norma yang menjadi pedoman berperilaku bagi setiap masyarakatnya dalam penghidupan masyarakat dan kehidupan bermasyarakat). Pada kondisi tertentu (ketika terjadi bencana), Seperangkat nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat tersebut seringkali menjadi berantakan dan masyarakat yang terkena bencana berada dalam posisi yang lemah (tidak berdaya) menghadapi berbagai tuntutan dari luar. Secara umum, hasil rerata skor yang didapat menunjukkan posisi tawar menawar kelompok (baik Blindungan maupun Cangkring relatif tinggi). Kelompok Blindungan mengalami peningkatan sedangkan kelompok
110
Cangkring tidak. Kondisi ini dapat dilihat dari tabel 16 berikut: Tabel 16:Rerata Skor Tawar Menawar dalam Penanggulangan Bencana Alam No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Indikator Setiap media cetak dan elektronik harus memberikan informasi tentang kebencanaan Masyarakat harus mengikuti penyuluhan tentang kebencanaan yang dilakukan pemerintah maupun swasta (Orsos/LSM) Penanggulangan Bencana alam merupakan tanggungjawab pemerintah, masyarakat dan dunia usaha Di desa/kelurahan perlu dibentuk tim penanggulangan bencana alam Tim bertanggung jawab untuk pendataan, koordinator dalam penanggulangan bencana alam Kesediaann untuk dipilih menjadi penanggungjawab (anggota tim) Kerjasama dalam perbaikan lingkungan akibat bencana Setiap masyarakat harus mengikuti kegiatan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana alam Penolakan Orsos/LSM nasional dan internasional yanbg seringkali mempunyai muatan politis Kesediaan untuk membantu masyarakat yang terkena bencana di daerah lain yang masih terjangkau Rerata skor Selisih rerata skor
Rerata Skor Blindungan Cangkring Pre Post KBL KC 4,4
4,67
4,13
4,13
4,47
4,67
4,30
4,30
4,67
4,53
4,40
4,40
4,43
4,80
4,37
4,40
4,50
4,50
4,20
4,17
3,90
4,17
4,10
4,10
4,37
4,53
4,23
4,23
4,23
4,50
4,27
4,27
3,53
3,43
3,77
3,77
4,23
4,53
4,17
4,17
4,27
4,43
4,19
0,16
4,19 0
Sumber : Data Primer 2008 Keterangan: KBL : kelompok kerja Kel. Blindungan, KC : kelompok kerja Desa cangkring
Dari tabel diatas terlihat bahwa, pada kelompok kerja Kelurahan Blindungan (kelompok perlakuan) rerata skor pada indikator Tawar Menawar Dalam Penanggulangan Bencana Alam, sama halnya seperti terdahulu bahwa terjadi perubahan
111
rerata skor pada semua item pada indikator tersebut (menurun ataupun meningkat), ini berarti bahwa perlakuan yang diberikan kepada kelompok kerja membawa dampak perubahan perilaku masyarakat khususnya kelompok kerja terhadap posisi tawar menawar dalam penanggulangan bencana alam. Beberapa item yang terlihat rerata skornya menurun adalah pada item ”Penanggulangan Bencana alam merupakan tanggungjawab pemerintah, masyarakat dan dunia usaha” dan pada item ” Penerimaan Orsos/LSM nasional dan internasional yanbg seringkali mempunyai muatan politis”. Walaupun perubahan rerata skor tersebut tidak merubah kategori penilaian terhadap item dalam indikator tersebut, namun secara numerik terlihat ada perubahan yang nyata terhadap perilaku masyarakat setelah diberi perlakuan. Sedangkan pada kelompok kerja Desa Cangkring, tidak terlihat ada perubahan rerata skor pada setiap item pada indikator tawar menawar dalam penanggulangan bencana alam. Hal ini dapat dipahami bahwa kelompok kerja Desa Cangkring ini tidak diberi perlakuan, sehingga pemahaman tentang kebencanaan apa adanya yang dia ketahui dan dialami selama terkena bencana alam, dan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan apa yang ada pada dalam perencanaan mereka sendiri tanpa ada bimbingan atau interpensi dari peneliti maupun pendamping lapangan, sehingga tidak terjadi perubahan perilaku. Hal Pengetahuan mereka yang pada umumnya termasuk kategori tinggi sekali, bersumber dari pengalaman mereka yang sering mengalami bencana alam, sehingga pengalaman tersebut dapat menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi mereka untuk mengetahui tentang kebencanaan. B.
Faktor yang berpengaruh dalam ujicoba model Untuk memahami hasil ujicoba Model Pemberdayaan sosial keluarga pasca bencana alam secara obyektif, maka
112
dibutuhkan pemahaman terhadap informasi tentang kondisi lokasi penelitian dan kondisi masyarakat, serta aspek aspek lain sebagai berikut: 1. Lokasi ujicoba adalah desa/kelurahan yang dapat dikategorikan sebagai lokasi rawan bencana alam, bahkan di Belu khususnya merupakan lokasi pelanggan banjir yang setiap saat terjadi hujan lebat di hulu sungai (TTS dan TTU). Bahkan terjadinya banjir di wilayah ini tidak hanya sekedar siklus tahunan (setiap tahun satu kali). Ada kemungkinan banjir yang terjadi bisa berkali-kali dalam satu periode musim hujan. Secara alami, masyarakat yang berada di wilayah ini telah mempunyai coping strategi untuk penanggulangan bencana alam. 2. Terjadinya banjir yang frekuensinya cukup tinggi dan korban yang cukup besar, tentunya tidak menutup kemungkinan untuk menarik perhatian pemerintah dan masyarakat luas (baik secara individu maupun kelembagaan) untuk memberikan kontribusi dalam pelayanan terhadap korban bencana alam. Sehingga masyarakat di lokasi penelitian ini lebih permisif terhadap berbagai program yang masuk di lokasi ini. 3. Proses penentuan kelompok eksperimen dalam penelitian ini tidak diseleksi oleh peneliti (ansih), namun pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat (pendelegasian). Penentuan kelompok eksperimen ini didasari dengan pendekatan partisipatif, artinya masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang kondisi wilayah dan person, siapa yang person yang dapat mewakili kelompoknya (warga desa/kelurahan). Person yang dipercaya masyarakat, dan dipandang dapat menjalankan kegiatan dari awal sampai selesai. 4. Komitmen Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Propinsi dan Dinas Kabupaten yang memiliki pengetahuan tentang bencana alam dan pelayanan kesejahteraan social, serta
113
jajaran pemerintah Kecamatan dan Kelurahan cukup baik. Komitmen tersebut tidak hanya sebatas pada memfasilitasi kegiatan peneliti dalam pelaksanaan penelitian tetapi beberapa kali pejabat dimaksud juga memberikan support (turut memotivasi) dan memantau perkembangan kelompok eksperimen. Dukungan dari Dinas Sosial Kabupaten. Dukungan pemerintah daerah yang mengambil alih tanggung jawab pemberian materi dari berbagai instansi terkait di tingkat kabupaten karena tidak adanya dukungan dana untuk pemberian perlakuan terhadap kelompok eksperimen. 5. Eksistensi Pendamping lapang yang telah mempunyai pengalaman dalam pengembangan masyarakat di daerahnya. Dalam waktu yang relatif singkat mereka telah mampu beradaptasi dan menstimuli masyarakat (kelompok eksperimen). Di sisi lain pengalaman lapangan pendamping turut mempermudah pendamping dalam memahami konsep MODEL PEMBERDAYAAN SOSIAL KELUARGA PASCA BENCANA yang diujicobakan. 6. Penyusunan kegiatan kelompok eksperimen selama ujicoba model ini berlangsung memperoleh dana operasional (stimulant) sebesar Rp.45.000.000,- untuk menunjang kegiatan yang diprogramkan. 7. Model pelayanan yang diujicobakan ini sarat dengan elemen perubahan perilaku manusia dalam organisasi (kultur organisasi). Mengingat pembentukan perilaku sangat terkait dengan faktor sikap yang pembentukkannya memerlukan proses yang relatif lama, maka perubahan dari pelaksanaan ujicoba inipun tidak mungkin langsung memberikan hasil yang sangat signifikan untuk keberlanjutan program hanya dalam waktu sekitar lima dan enam bulan. 8. Kepercayan masyarakat yang dibangun pada tahap awal antara peneliti, tokoh masyarakat, pejabat Dinas sosial dan Pusat serta kelompok eksperimen merupakan modal besar
114
dalam pencapaian suatu tujuan. Walaupun keberadaan orang luar ditengah masyarakat dalam kurun waktu yang relatif singkat, namun sepanjang mampu membangun kepercayaan (trust) kepada masyarakat, maka keberadaan orang dari luar tersebut akan memberikan pengaruh atau efek percepatan kemajuan. Dalam konteks ini, kehadiran orang dari luar baik pada tahap persiapan penelitian di lapangan, tahap monitoring maupun tahap evaluasi telah berfungsi lebih dari sekedar proses kontrolling, melainkan lebih lanjut mampu menciptakan efek psikologis positif dalam memompa semangat untuk pendayagunaan seluruh potensi dan akses di lingkungan demi pencapaian hasil yang optimal. 9. Dukungan Tokoh Masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. khususnya charisma Tokoh masyarakat untruk turut serta dalam memotivasi kelompok eksperimen merupakan faktor penting dalam pelaksanaan ujicoba Model. 10. Alokasi waktu yang diberikan pada peneliti di lokasi penelitian sangat terbatas, sehingga data dan informasi perilaku masyarakat secara objektif di lapangan yang dapat dihimpun relatif terbatas. Sementara itu model yang diujicobakan ini sarat dengan elemen perubahan perilaku manusia. Mengingat pembentukan perilaku sangat terkait dengan faktor sikap yang pembentukkannya memerlukan proses relatif lama, maka perubahan perilaku selama pelaksanaan ujicoba inipun tidak akan secara langsung memberikan hasil yang sangat signifikan, terlebih hanya dalam waktu sekitar empat bulan. Sehingga hasil hitung dari rerata (pretest dan posttest) dari perubahan perilaku kelompok eksperimen masih relatif kecil. 11. Dalam pelaksanaan ujicoba model ada seperangkat informasi yang berkaitan dengan kebencanaan dan harus disampaikan oleh orang yang mempunyai profesi dibidangnya, seperti: informasi tentang kebencanaan, kesehatan, managemen, ekonomi dan lingkungan.
115
Dukungan dari tenaga profesi tersebut belum dimasukkan dalam budget penganggaran penelitian. Kondisi ini dapat berdampak pada pemberian informasi yang kurang proporsional dan relatif terbatas. 12. Masyarakat di wilayah yang dijadikan sebagai lokasi penelitian telah mengalami beberapa kali kejadian bencana. Kondisi ini telah mengundang masyarakat luas untuk turut serta dalam penanggulangannya. Beberapa jenis program penanggulangan bencana baik yang berasal dari pemerintah maupun swasta pernah dilaksanakan di daerah tersebut kondisi ini tentunya akan turut mewarnai coping strategis yang dimiliki masyarakat. Pengetahuan masyarakat tentang kebencanaan dan kemampuan dalam penanggulangan tidak hanya sebatas diperoleh dari pengalaman pribadi, tetapi mereka juga memperoleh tambahan informasi dari masyarakat di luar wilayahnya. 13. Dalam penelitian ini, ada beberapa persyaratan untuk menentukan anggota kelompok eksperimen. Sementara itu penentuannya didelegasikan kepada pemerintah lokal. Ada kemungkinan, bahwa persyaratan yang diajukan peneliti berpengaruh besar dalam proses diskusi antara Pemerintah lokal dengan tokoh masyarakat, sehingga orang yang dipilih adalah orang yang telah mempunyai pengetahuan (knolege) dan keterampilan (skill) dalam bidang kebencanaan dan dapat membawa nama baik wilayahnya. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan jika rerata skor yang deperoleh dari tanggapan kelompok eksperimen umumnya termasuk dalam kategori tinggi ke atas (baik rerata skor pada saat pretest maupun posttest).
116
BAB VI PENUTUP A.
KESIMPULAN Fenomena gerak alam berproses sangat cepat, seakanakan muncul secara mendadak, tidak teratur kedatangannya di luar dugaan manusia dan beresiko besar bagi umat manusia. Kondisi ini menuntut kesiap-siagaan, keberdayaan bagi setiap manusia untuk beradaptasi dalam proses gerak alam tersebut. Keberdayaan masyarakat dimaksud dapat dicapai melalui pengenalan karakteristik setiap jenis bencana alam geologis dan mengantisipasi dampaknya dan hal ini telah menjadi suatu keharusan. Berangkat dari pengetahuan ini, mitigasi baik secara fisik (tata ruang dan kode bangunan) maupun non-fisik (pendidikan bencana alam) serta manajemen dan koordinasi bencana alam, perlu dilakukan secara baik dan terarah. Berpijak dari konsep tentang pemberdayaan, maka dipahami bahwa setiap masyarakat (keluarga) pada dasarnya mempunyai kekuatan (daya). Keberdayaan keluarga dalam menghadapi bencana alam didapat dari pengalaman (proses belajar dari kejadian sebelumnya). Manusia mempelajari dan memahami gejala alam melalui berbagai konsep yang diperoleh selama berinteraksi dengan lingkungannya, (baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial). Hasil pemahaman tersebut tersosialisasi dari generasi ke generasi melalui lembaga sosialisasi (keluarga). Namun, nilai, norma dan pemahaman masyarakat tentang gejala alam seringkali kurang sejalan dengan lembaga formal yang mempunyai komitmen terhadap bencana alam. Keluarga tidak pasif dan bukan hanya sebagai orang yang tidak dapat berbuat apa-apa. Setiap keluarga pada umumnya telah mempunyai cara untuk penyampaian informasi jika terjadi bencana, masyarakat juga mempunyai kekuatan (daya) untuk membangun dirinya (pemulihan). Walaupun dalam
117
pemulihan tersebut tidak dapat secara serentak, kondisi ini tergantung dari kemampuan/kesiapan dari masing-masing keluarga. Pada masyarakat yang relatif lebih siap, penanganan masa tanggap darurat akan lebih terorganisasi dan masa pemulihan (recovery) akan lebih cepat dari masyarakat yang tidak siap. Implementasi dari pemahaman terhadap gejala alam dimaksud, setiap masyarakat telah mempelajari beberapa tanda-tanda akan terjadinya bencana alam khususnya banjir dan telah mempunyai strategi dalam penanggulangan bencana alam. Dari pengamatan selama hidup di daerah tersebut, masyarakat telah mengetahui beberapa titik lokasi rawan bencana dan titik lokasi yang aman dari bencana alam. Dalam kerangka peningkatan keberdayaan keluarga dalam menghadapi bencana alam memerlukan suatu proses yang membutuhkan waktu relatif lama. Namun tidak berarti bahwa, model yang diujicobakan dengan target waktu yang relatif pendek ini merupakan upaya yang tidak relaistis. Dari hasil analisis terhadap data dan informasi yang diperoleh dari ujicoba model di dua lokasi penelitian dapat dikemukakan beberapa aspek sebagai berikut: 1. Hasil skoring terhadap keberdayaan kelompok observasi pada masa sebelum perlakuan (pretest) dan sesudah perlakuan (postest) menunjukkan peningkatan keberdayaan. Walaupun perbedaan dari angka yang diperoleh tersebut tidak terlalu besar (0,34). Secara numerik rerata skor yang diperoleh berada pada kategori Tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa informasi dalam model yang disampaikan selama perlakuan memberikan kontribusi terhadap penguasaan aset dan akses informasi kelompok eksperimen dalam penanggulangan bencana alam. Uraian ini dapat diinterpretasikan bahwa model yang diujicobakan mempunyai nilai efektifitas dalam peningkatan keberdayaan keluarga dalam penanggulangan bencana alam.
118
2. Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku kelompok eksperimen adalah komitmen pemerintah daerah cukup baik, eksistensi pendamping lapangan, stimulan untuk kelompok kerja, keterbatasan waktu penelitian, tokoh masyarakat turut memotivasi kelompok eksperimen. B.
REKOMENDASI Bencama alam bukan sebagai kejadian yang bersifat insidental (langka) bahkan di beberapa daerah (khususnya) merupakan permasalahan rutin tahunan, maka dalam menanggapi kondisi ini ada beberapa aspek yang perlu medapat perhatian. Aspek-aspek dimaksud adalah: 1. Penanggulangan bencana alam, pada dasarnya merupakan tanggung jawab segenap bangsa dan negara. Dalam kontek ini unsur-unsur dalam penanggulangan bencana alam dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok besaran yakni: (1) Public sector; (2) Privat sector; dan (3) Collectif sector. Menyatunya ketiga sector (threepartide) dimaksud merupakan kekuatan besar dalam menghadapi berbagai permasalahan termasuk dalam penanggulangan bencana alam. Oleh karena itu ketiga unsur tersebut harus mempunyai (1) kesamaan persepsi tentang kebencanaan dan penanggulangannya, (2) kesadaran dan kepeduliann terhadap lingkungannya. Membangun persamaan persepsi merupakan langkah awal untuk mengantisipasi timbulnya kekaburan peranan dan konflik kepentingan dikalangan masyarakat, keluarga, tokoh masyarakat dan pemerintah desa. Persamaan persepsi ini merupakan langkah awal untuk membangun kesepahaman dan kesepakatan (Consensus Building). Hasil kesaman persepsi tersebut perlu disosialisasikan ke masyarakat. 2. Model yang diujicobakan ini sarat dengan elemen perubahan perilaku manusia, baik secara individual dalam
119
kehidupan seharti-hari maupun secara kelompok dalam kehidupan berorganisasi. Pembentukan sikap dan perilaku keluarga yang selalu siap siaga memerlukan informasi yang disampaikan secara terus menerus (continu) dan proses yang relatif lama. 3. Mengingat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam sudah dijadikan kesepakatan dan tuntutan internasional, maka setiap negara berkewajiban untuk menginformasikan dimaksud secara rutin baik melalui penyuluhan dan bimbingan maupun simulasi. Sebagai ilustrasi dapat kita ambil contoh Pramugari pesawat terbang yang selalu memperkenalkan beberapa instrumen penting untuk penyelamatan dan memperagakan simulasi langkah-langkah penyelamatan pada saat pesawat akan tinggal landas. Walaupun seluruh penumpang dalam pesawat tersebut sudah mengetahui, bahkan ada kemungkinan sebagian besar penumpang sudah puluhan kali mengikuti simulasi, tetapi penumpang tersebut berkewajiban untuk memperhatikan peragaan (simulasi) tersebut. Ilustrasi ini dapat dijadikan sebagai suatu model penyampaian informasi kepada masyarakat tentang kebencanaan dan penanggulangannya. Sasaran informasi tentunya seluruh masyarakat mulai dari anak-anak sampai kepada orang dewasa. Khususnya kepada anak dapat diberikan melalui sekolah (dijadikan sebagai muatan khusus). Sedangkan untuk penyuluhan dan bimbingan kepada masyarakat masyarakat dapat dilakukan melalui pengajian, sarasehan, sekolah minggu, pertemuan remaja, Karang Taruna dan berbagai event dalam masyarakat. 4. Kelompok observasi yang telah memperoleh informasi dan pelatihan tentang kebencanaan dan penanggulangannya dapat dijadikan mitra kerja pada realisasi program-program yang digulirkan di tingkat desa dan atau memperluas layanan dengan membentuk kelompok-kelompok baru.
120
5. Untuk mengurangi resiko kesalahan dalam menginterpretasikan judul Model yang diujicobakan maka judul Model perlu dirubah menjadi MODEL PEMBERDAYAAN SOSIAL KELUARGA DI DAERAH RAWAN BENCANA ALAM 6. Model pemberdayaan sosial baru diujicobakan dalam skala kecil di dua lokasi penelitian, sementara itu lokasi yang notabene termasuk kategori rawan dan sering terjadi bencana sangat luas. Oleh karena itu, untuk optimalisasi model tersebut perlu dilakukan penelitian untuk pemantapan mode l dalam skala yang lebih luas baik dari segi lokasi maupun sasaran kelompok eksperimen. Dalam kerangka pelaksanaan pemantapan ini Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial perlu menjalin kerjasama dengan unit teknis (Direktorat di tingkat Pusat) dan Instansi sektoral di tingkat Propinsi dan Kabupaten.
121
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Abu. 1991. Psikologi Sosial, Rineka Cipta Jakarta. Clark, John 1995., NGO dan Pembangunan Demokrasi, (Judul asli: Democratizing Development The Role Of Voluntary Organization: Godril Dibyo Yuono), Tiara Wacana, Yogyakarta. Chambers, R. 2001. Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa Secara Partisipatif, cetakan kedelapan, Kerjasama Kanisius dengan Yayasan Mitra Tani, Yogyakarta. Terjemahan Y Sukoco. Judul Asli Rural Appraisal: Rilex & Participatory, Robert Chambers, Institute of Development Studies, 1992. Davis, Keith, 1967. Human Realation at Work, The Dynamics of Organizational Behavior. Mc. Grow Hill Book Company. Departemen Sosial RI, Ditjen. Pemberdayaan Sosial, Dit. Pemberdayaan Peran Keluarga (2002). Undang-Undang RI Nomor: 10 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Tugas Dit. Pemberdayaan Peran Keluarga. ——————, (2003). Pedoman Umum Bantuan Sosial Bencana Alam, Jakarta : Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam- Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial. ——————, (2004). Rekapitulasi Data Kejadian Bencana Periode Bulan Januari Sampai Dengan Agustus 2004, Jakarta : Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana AlamDirektorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial. DuBois Brenda & Maley, Karla Krogsrud (1992). Social Work: An Empowering Profession. Boston: Allyn and Basco.
123
Effendy, Tajudin Noer, 1996, Pembangunan, Krisis, dan Arah Reformasi, Muhammdiyah University Press Surakarta. Ife, Jim (1995). Community Development: Creating Community Alternatives-vision, Analysis and Practice, Australia, Longman Pty Ltd. Iskandar, Jusman, 1993. Strategi Dasar Membangun Kekuatan Masyarakat. Bandung: Koperasi Mahsiswa STKS Kartono, Kartini, 1996., Pengantar Metodologi Riset Sosial, Mandar Maju, Bandung. Mar’at 19981. Sikap Manusia, Perubahan, Serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta Mujiyadi dan Gunawan (2000), Pemberdayaan Masyarakat Miskin (Suatu kajian terhadap masyarakat di sekitar Kawasan Industri, Informasi Kajian Permasalahan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial vol.5 No.1 Januari 2000. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Depsos R.I. Jakarta. Nawawi, Hadari (2000). Metode Penelitian Bidang Sosial. Jogyakarta, Gadjah Mada University Press Draha, Talizidu (1990) Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, Rineka Cipta, Jakarta. Pranarka A.M.W dan Moeljarto Vidhyandika, 1995. Pemberdayaan (Empowerment) dalam Prijono S. Onny dan Pranarka A.M.W (penyunting), Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan implementasinya. Centre For Strategic And International Studies, Jakarta. Rukminto, Adi, Isbandi. 1994. Psikologi Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Dasar-dasar Pemikiran. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
124
Slamet, Y. 1992, Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi, Sebelas Maret University Press, Surakarta. Soekanto, Soerjono, 1977, Sosiologi Suatu Pengantar, cetakan ke enam, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Sumodiningrat, Gunawan, 1997,, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, Bina Rena Pariwara, Jakarta. Cet.2 Soetrisno, Loekman (2000). Menuju Masyarakat Partipatif, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Tan, Melly G. (1997), Perempuan dan Pemberdayaan Masyarakat dalam SmitaSusanto & E. Kristi Poerwandari 1977. Perempuan dan pemberdayaan, Program Studi Kajian Wanita Program Pasca Sarjana UI bekerjasama dengan Harian Kompas dan Obor Jakarta. Usman Sunyoto, 1998, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, cet. I , Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
125
Lampiran PANDUAN PENYUSUNAN PROGRAM, MONITORING DAN EVALUASI KELOMPOK KERJA I. PENDAHULUAN Kegiatan penyusunan program kelompok kerja, monitoring dan evaluasi pada dasarnya merupakan aplikasi manajemen. Ketiga unsur tersebut merupakan serangkaian kegiatan yang saling berkaitan. Dalam kerangka ini program sebagai penentu arah kegiatan, sedangkan evaluasi merupakan penilaian yang dilakukan untuk mengetahui capaian kegiatan yang telah, sedang, dan hasil akhir yang diperoleh. Perencanaan merupakan salah satu fungsi dari manajemen. Menurut Hendra Asmara (1986) perencanaan merupakan refleksi dari keinginan untuk memperoleh hari depan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan masa lampau. Hal ini menunjukkan bahwa muatan dalam perencanaan adalah informasi tentang apa yang akan dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, seberapa besar target yang hendak dicapai. Monitoring dapat didefinisikan sebagai sistem pengawasan yang dilaksanakan oleh penanggung jawab suatu kegiatan (program/proyek) untuk mengetahui memastikan apakah variasi kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakan tersebut sesuai dengan rencana (tujuan program) dan sumber daya yang ada telah dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Sedangkan pengertian evaluasi menurut Sutrisno (1987) didefinisikan sebagai suatu upaya yang bertujuan untuk mengetahui apakah program/proyek pembangunan telah berhasil dengan baik atau cenderung merupakan suatu kegagalan.Uraian ini menunjukkan bahwa esensi tujuan monitoring dan evaluasi menekankan pada realisasi program
127
yang didasari oleh target yang hendak dicapai. Kecermatan dan kejelian pelaksana kedua kegiatan tersebut mempunyai nilai strategik dan besar pengaruhnya terhadap keberhasilan (tujuan yang hendak dicapai). Penyusunan rencana kerja (program), Pelaksanaan monitoring dan evaluasi hasil kegiatan lebih bersifat partisipatif. Artinya kelompok kerja mempunyai kewenangan penuh untuk memanage pengumpulan informasi, penyampaian informasi serta pengukurannya (setiap anggota berperan sebagai subjek). Teknik yang dipandang cukup akurat untuk menggali data/ informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan dimaksud adalah Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion) atau yang lebih dikenal dengan FGD. Untuk mengagendakan hasil FGD difasilitasi dengan formulir yang dapat berfungsi sebagai salah satu sarana pertanggungjawaban kegiatan kepada masyarakat. II. KETENTUAN PELAKSANAAN DISKUSI 1. Penentuan jadual kegiatan dan penyampaian undangan diskusi 2. Peserta diskusi terdiri dari 3 Kelompok kerja 3. Jumlah anggota dalam satu kelompok kerja terdiri dari 10 orang 4. Peserta mempunyai karakteristik yang relatif homogen 5. Untuk menghindari terjadinya kejenuhan, waktu yang dipergunakan dalam diskusi sekitar 2(dua) jam 6. Ciptakan iklim (situasi) yang kondusif agar peserta terdorong (termotivasi) untuk berpendapat (bebas dan terbuka) dan tidak ada rasa sungkan 7. Intervensi fasilitator (peneliti) terbatas sebagai pengarah/ pembuka selanjutnya kelompok dapat mendiskusikan secara rinci
128
8. Moderator harus bertindak netral (tidak memihak) serta bukan orang yang berada dalam hubungan hierarkhis dengan peserta diskusi 9. Jalannya diskusi direkam dengan tape recorder, statemen (pernyataan) yang penting dan relevan dijadikan sebagai data kualitatif 10. Hasil diskusi merupakan pemahaman dan gambaran atas program (rencana, pelaksanaan, dan hasil) 11. Pada saat mengemukakan pendapat sebaiknya nama peserta selalu disebut agar dapat terkafer dalam tape recorder. III. MATERI DISKUSI A. Diskusi Penyusunan Program 1. Identifikasi Permasalahan Identifikasi pada dasarnya merupakan salah satu bentuk kegiatan untuk mengetahui kondisi riil permasalahan di lingkungan kelompok kerja. Informasi yang didiskusikan meliputi permasalahan yang berkaitan dengan kondisi masyarakat pada umumnya, dan tingkat kerawanan bencana secara khusus. Hal ini didasari pemikiran bahwa kondisi permasalahan masyarakat pada umumnya mempunyai pengaruh yang relatif kuat dalam pembentukan kepribadian remaja. 2. Identifikasi Potensi Identivikasi potensi merupakan salah satu langkah awal dalam pendayagunaan potensi yang berada di lingkungan Kelompok kerja. Dalam kegiatan ini akan diidentifikasi potensi yang berkaitan dengan: Potensi Alam, Potensi Sosial, dan Sumber daya manusia.
129
3. Kegiatan Alternatif Informasi yang didapat dari identivikasi permasalahan dan potensi digunakan sebagai acuan dalam penyusunan program. Dalam kerangka ini untuk menentukan kegiatan yang lebih berakar pada kondisi riil lingkungan Kelompok kerja. 4. Penentuan Target Materi yang dijadikan bahan diskusi adalah target yang hendak dicapai dalam kurun waktu enam bulan. Penentuan target tersebut pada dasarnya merupakan pembelajaran kepada kelompok kerja untuk memprediksikan Target yang akan dicapai dalam kegiatan ini. 5. Penanggung Jawab Program Penanggung jawab program dimaksud adalah salah satu anggota kelompok yang ditunjuk oleh anggotanya sebagai ketua kelompok yang bertanggung jawab pada program yang telah disusun. Sedangkan ketua kelompok menunjuk anggota untuk bertanggung jawab terhadap masing-masing kegiatan yang akan dilaksanakan. IV. MATERI DISKUSI MONITORING A. Materi yang akan didiskusikan pada kegiatan monitoring adalah: 1. Penilaian terhadap realisasi kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakan oleh kelompok kerja.(baik secara kualitatif maupun kuantitatif). 2. Kemudahan dan hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan.
130
3. Informasi yang dihasilkan dipergunakan sebagai acuan untuk menentukan tindakan lanjut. Bagaimana prospek kegiatan yang telah dan sedang dilakukan, apakah kegiatan ini perlu dilanjutkan atau dihentikan. Jika dihentikan apakah ada kegiatan pengganti. A. Pelaksana penilaian terhadap capaian hasil Melihat sejauhmana capaian hasil kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh kelompok kerja sesuai dengan perencanaan. B. Tindak lanjut Dari capaian hasil kegiatan langkah-langkah apa yang akan dilaksanakan setelah mengetahui dari hasil yang dicapai. V.
MATERI DISKUSI EVALUASI A. Penilaian terhadap capaian hasil Melihat sejauhmana capaian hasil kegiatan yang telah dilaksanakan oleh kelompok kerja sesuai dengan perencanaan. B. Faktor berpengaruh Melihat faktor pendukung dan penghambat yang dirasakan oleh kelompok kerja untuk peningkatan perencanaan program selanjutnya.
131
Form 1: PERENCANAAN PROGRAM KELOMPOK KERJA No Permasalahan
Potensi
Kegiatan
Target
Pelaksana/ Penanggungjawab
Mengetahui Ketua Kelompok Kerja
(.....................................)
132
Kepala Desa
Ketua Kelompok
(.....................................)
(..............................)
Form 2: MONITORING PROGRAM KELOMPOK KERJA No
KEGIATAN
TARGET
REALISASI 1
2
3
TINDAK LANJUT
4 5∗)
Keterangan*): 1. Realisasi kurang dari 20% 2. Realisasi 25% sampai dengan 40% 3. Realisasi 40% sampai dengan 60% 4. Realisasi 60% sampai dengan 80% 5. Realisasi 80% lebih. Mengetahui Kepala Desa/Lurah
Ketua Kelompok
(.....................................)
(.....................................)
133
Form 3: EVALUASI PROGRAM KELOMPOK KERJA No KEGIATAN
REALISASI
TARGET 1
2
3
FAKTOR YANG BERPENGARUH
4 5∗) Penghambat
Pendukung
Keterangan ∗): 1. Realisasi kurang dari 20% 2. Realisasi 25% sampai dengan 40% 3. Realisasi 40% sampai dengan 60% 4. Realisasi 60% sampai dengan 80% 5. Realisasi 80% lebih. Mengetahui Kepala Desa/Lurah
(.....................................)
134
Ketua Kelompok
(.....................................)
Form 4: PERENCANAAN PROGRAM PARTISIPASI MASYARKAT No Permasalahan
Potensi
Kegiatan
Target
Pelaksana/ Penanggungjawab
Mengetahui Kepala Desa/Lurah
Ketua Kelompok
(.....................................)
(.....................................)
135
Form 5: MONITORING PROGRAM PARTISIPASI MASYARAKAT No KEGIATAN
TARGET
REALISASI 1
2
3
4
TINDAK LANJUT 5
Keterangan: 1. Realisasi kurang dari 20% 2. Realisasi 25% sampai dengan 40% 3. Realisasi 40% sampai dengan 60% 4. Realisasi 60% sampai dengan 80% 5. Realisasi 80% lebih. Mengetahui Kepala Desa/Lurah (.....................................)
136
Ketua Kelompok (.............................)
Form 6: EVALUASI PROGRAM PARTISIPASI MASYARAKAT No
KEGIATAN
REALISASI
TARGET 1
2
3
4
FAKTOR YANG BERPENGARUH 5 Penghambat
Pendukung
Keterangan: 1. Realisasi kurang dari 20% 2. Realisasi 25% sampai dengan 40% 3. Realisasi 40% sampai dengan 60% 4. Realisasi 60% sampai dengan 80% 5. Realisasi 80% lebih. Mengetahui Kepala Desa/Lurah (.....................................)
Ketua Kelompok (..........................)
137
DAFTAR ISTILAH
A Ancaman/Baha ya: adalah kejadian-kejadian, gejala atau kegiatan Ancaman/Bahay manusia yang berpotensi untuk menimbulkan kematian, lukaluka, kerusakan harta benda, gangguan sosial ekonomi atau kerusakan lingkungan. Bahaya dapat mencakup kondisikondisi laten yang bisa mewakili ancaman di masa depan dan dapat disebabkan oleh berbagai hal: alam atau yang diakibatkan oleh proses-proses yang dilakukan manusia (kerusakan lingkungan dan bahaya teknologi). Bahaya dapat berbentuk tunggal, berurutan atau gabungan antara asal dan dampak mereka. Setiap bahaya dicirikan oleh lokasi, frekuensi dan peluang. Anal isa Analisa isa:: adalah Menguraikan sebuah hal atau keadaan untuk menentukan penyebabnya atau mengambil kesimpulan dari hal tersebut. Ase aya): Segala sesuatu yang dimiliki, biasanya berupa Asett (Sumber d da barang; harta benda.
B BAK ORN AS PB ad al ah: Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan AKORN ORNA adal alah: Bencana - tingkat Nasional Bant uan d arur at Bantuan darur arurat at:: merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, tempat tinggal sementara, perlindungan, kesehatan, sanitasi dan air bersih. Bencana Bencana:: adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana al am: adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau alam:
138
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topandan btanah langsor. Bencana non-al am: adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa non-alam: atau rangkaianperistiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit. Bencana sosial sosial:: adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atauantar komunitas masyarakat dan teror. Bend a yyang ang ttid id ak st abil Benda idak stabil abil:: adalah Benda-benda yang tidak tertanam, terikat, menempel pada sesuatu yang stabil yang bisa terbawa oleh angin, air, gempa dll. Ber kelanjut an: adalah hal atau kegiatan yang bisa bertahan lama. Berk anjutan:
D Da ya ttahan/ber ahan/ber daya ttahan: ahan: adalah kapasitas sebuah sistem, Day ahan/berd komunitas atau masyarakat yang memiliki potensi terpapar pada bencana untuk beradaptasi, dengan cara bertahan atau berubah sedemikian rupa sehingga mencapai dan mempertahankan suatu tingkat fungsi dan struktur yang dapat diterima. Hal ini ditentukan oleh tingkat kemampuan sistem sosial dalam mengorganisir diri untuk meningkatkan kapasitasnya untuk belajar dari bencana di masa lalu untuk perlindungan yang lebih baik di masa mendatang dan untuk meningkatkan upaya-upaya pengurangan risiko. De si Dettek eksi si: adalah Kegiatan penelitian suatu keadaan, hal, unsur, tindakan yang tersembunyi. De si Dini: adalah Sebuah kegiatan untuk mengetahui Dett ek eksi kemungkinan bencana. Diskriminasi adalah Anggapan mengenai perbedaan jenis kelamin, wama kulit, suku bangsa, umur, kondisi seseorang dll. Dok ument asi: adalah Kegiatan mengumpulkan dan mencatat/ Dokument umentasi: merekam informasi tentang kejadian, kegiatan, hal, tempat atau
139
obyek dalam wujud tulisan, gambar dan suara ke dalam arsip. Donor: adalah Pemberi bantuan perorangan atau instansi yang menyumbang bantuan berupa uang, bahan-bahan, tenaga ahli, pelatihan dll. Dr ainase adalah prasarana yang berwujud saluran atau bangunan Drainase lainnya yang berfungsi mengatur pembuangan air dan atau kelebihan air sehingga memenuhi syarat teknis pengairan baik pertanian maupun pengendalian banjir, Drainase merupakan sarat mutlak yang harus tersedia dalam sistem pengairan
E Eval uasi: adalah Penilaian kembali suatu kejadian, keadaan, kegiatan. aluasi:
G Gangguan SSttres P asca T Pasca Trrauma (GSPT): Gangguan mental seseorang akibat sualu kejadian yang merugikan. GPS (Global Positioning System): adalah sebuah sistem navigasi yang memanfaatkan satelit. GPS dapat memberikan informasi posisi dan waktu dengan ketelitian sangat tinggi. GPS banyak juga digunakan sebagai alat navigasi.
H (Hand-- phone): Alat hubungan jarak jauh, telepon yang bisa HP (Hand digenggam. HT Hand yT alky (R ad io P anggil): Alat hubungan jarak terbatas yang Handy Talky (Rad adio Panggil): bisa digenggam.
I Inst al asi : Kegiatan pemasangan suatu sarana atau unsur sebuah Instal alasi sarana yang telah terpasang. Inst ansi : Sebuah lembaga atau organisasi. Instansi
J Jurnal Jurnal: Buku rangkuman dalam pembukuan.
140
K Kal ori: adalah satuan ukuran untuk energi yang didapatkan tubuh Kalori: dari makanan seperti dari karbohidrat, protein dan lemak. Kapasit as : Isi sesuatu rongga, ruang, tempat atau kemampuan Kapasitas seseorang. Ked arur at an : merupakan suatu keadaan kritis yang terjadi dengan edarur arurat atan cepat dimana kehidupan dan atau kesejahteraan suatu masyarakat terancam. Kemampuan emampuan:: adalah penguasaan sumber daya, cara dan kekuatan yang dimiliki masyarakat, sehingga memungkinkan untuk mengurangi tingkat risiko bencana dengan cara mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana. Kapasitas bisa mencakup cara-cara fisik, kelembagaan, sosial atau ekonomi serta karakteristik ketrampilan pribadi atau kolektif seperti misalnya kepemimpinan dan manajemen. Kapasitas juga bisa digambarkan sebagai kemampuan (capability). Kemampuan pen yesuaian: adalah cara orang-orang atau lembagapeny lembaga menggunakan sumber daya dan kemampuan yang ada untuk menghadapi akibat-akibat merugikan yang bisa mengarah kepada sualu bencana. Secara umum ini mencakup pengelolaan sumber daya baik di waktu-waktu normal, selama krisis atau kondisi merugikan. Penguatan kapasitas penyesuaian biasanya memperkuat ketahanan untuk menghadapi dampak-dampak bahaya alam dan bahaya yang diakibatkan aktivitas manusia. Ker ent anan: adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, erent entanan: hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan berkurangnya kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Untuk faktorfaktor positif yang meningkatkan kemampuan orang untuk
141
menghadapi bahaya, lihat definisi tentang kapasitas. Kesiapsiag aan: adalah upaya untuk memperkirakan kebutuhan dalam esiapsiagaan: rangka menghadapi situasi kedaruratan dan mengidentifikasi kebutuhan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini bertujuan agar masyarakat mempunyai persiapan yang lebih baik untuk menghadapi bencana. buk aan K e t er bukaan aan: Kejelasan sebuah kegiatan, tidak ada yang erbuk disembunyikan. Kl orin: Unsur kimia yang bisa digunakan untuk membasmi kuman Klorin: KMPB: Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana. Konfl ik: adalah pertentangan fisik antara dua pihak atau lebih yang onflik: menyebabkan hilangnya hak kelompok masyarakat, timbulnya rasa takut, terancamnya keamanan dan ketentraman, terganggunya keselamatan atau martabat, hilangnya aset dan terganggunya keseimbangan kehidupan masyarakat. asi: Pertikaian atau tatap muka. Konfr ont onfront ontasi: Kor ban bencana orban bencana:: adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia akibat bencana.
L Lembag a int ernasional Lembaga internasional ernasional:: adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan BangsaBangsa atau organisasi internasional lainnya dan lembaga asing nonpemerintah dari negara lain di luar Perserikatan BangsaBangsa. LINMA S: Perlindungan Masyarakat di tingkat Kelurahan. LINMAS: LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat nirlaba yang bergerak dalam berbagai aspek untuk membantu masyarakat.
M Med ia Massa Media Massa:: Fasilitas yang menyampaikan berita dari sumbernya kepada umum, seperti televisi, radio, koran, majalah dll.
142
M ed is edis is: Fasilitas atau hal yang menyangkut kesehatan atau pengobatan. Mit ig asi Mitig igasi asi: merupakan serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktural melalui pembuatan bangunan fisik, maupun nonstruktural melalui pendidikan, pelatihan dan lainnya. MPBI: (Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia) Badan yang menampung jaringan organisasi yang bergerak dalam bidang penanggulangan bencana di Indonesia.
O ORARI: Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia.
P Pal ang Mer ah Ind alang Merah Indonesia onesia (PMI): organisasi independen dan netral di Indonesia yang kegiatannya di bidang sosial kemanusiaan P ask a K onfl ik: Sebuah tahap sesudah perselisihan atau aska Konfl onflik: pertentangan. Pemerint ah Pusat : adalah Presiden Republik Indonesia yang emerintah memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerint ah Daer ah: adalah gubernur, bupati/walikota, atau emerintah Daerah: perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pemul ihan: adalah serangkaian usaha untuk mengembalikan emulihan: kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali sarana dan prasarana pada keadaan semula atau menjadi lebih baik dengan melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. enanggulang angan bencana:: adalah seluruh kegiatan yang meliputi Penanggul ang an bencana aspek perencanaan dan penanggulangan bencana sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan.
143
Penceg ahan: adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah encegahan: terjadinya bencana dan jika mungkin menghilangkan sama sekali atau mengurangi ancaman bencana dan cara-cara untuk meminimalkan bencana-bencana lingkungan, tcknologi dan biologi terkait. Tergantung pada kelayakan dari segi sosial dan teknis dan pertimbangan biaya/manfaat, melakukan investasi tindakan-tindakan pencegahan dibenarkan di kawasankawasan yang sering terkena dampak bencana. Dalam konteks peningkatan kesadaran dan pendidikan publik, merubah sikap dan perilaku yang terkait dengan pengurangan risiko bencana berperan dalam meningkatkan suatu “budaya pencegahan”. Pengungsian : Kegiatan memindahkan orang, hewan atau barang dari suatu tempat yangmengalami ancaman bahaya ke tempat yang aman. Pend ud uk tter er kena bencana/pengungsi: adalah orang atau kelompokendud uduk erk kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah atau tempat tinggal mereka sebelumnya sebagai akibat dari atau dampak buruk bencana. Pering at an d ini: adalah serangkaian upaya untuk mernberikan eringat atan dini: peringatan tentang kemungkinan akan hadirnya ancaman yang berpotensi bencana yang disampaikan secara resmi, menjangkau seluruh masyarakat dengan segera, tegas dan tidak membingungkan. Sistem peringatan dini terdiri dari satu rangkaian hal yaitu: memahami dan memetakan bahaya; memantau dan meramalkan peristiwa-peristiwa yang akan segera terjadi; memproses dan menyebarkan peringatan kepada pihak berwenang dan kepada masyarakat; dan melakukan tindakan yang semestinya dan tepat waktu terhadap peringatan. P eng k ajian/anal isis risik o : adalah suatu metodelogi untuk engk ajian/analisis risiko menentukan sifat dan cakupan risiko dengan melakukan analisis terhadap potensi bahaya dan mengevaluasi kondisi-kondisi kerentanan yang ada yang dapat menimbulkan suatu potensi ancaman atau kerugian bagi penduduk, harta benda, penghidupan dan lingkungan tempat mereka bergantung. Proses untuk melakukan suatu pengkajian risiko didasarkan pada suatu
144
tinjauan tentang ciri-ciri teknis bahaya seperti lokasi, dampak kerusakan, frekuensi dan kemungkinan, serta pada analisis tentang aspek fisik, sosial dan ekonomi dari kerentanan sekaligus memberi pertimbangan khusus pada kapasitas penyesuaian yang terkait dengan berbagai bentuk risiko. o bencana (disaster risk management) : adalah risiko engellol olaan aan risik Penge proses yang sistematis dalam menggunakan keputusankeputusan administratif, lembaga, ketrampilan operasional dan kapasitas untuk menerapkan kebijakan-kebijakan, strategistrategi dan kapasitas penyesuaian masyarakat dan komunitas untuk mengurangi dampak bahaya alam dan bencana bencana lingkungan dan teknologi terkait. Ini terdiri dari semua bentuk aktivitas, termasuk tindakan-tindakan struktural dan nonstruktural untuk menghindarkan (pencegahan) atau membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak merugikan yang ditimbulkan bahaya. Pengur ang an risik o bencana engurang angan risiko bencana:: adalah kerangka kerja konseptual yang terdiri dari elemen-elemen yang dipandang mempunyai kemungkinan untuk meminimalkan kerentanan dan risiko bencana di seluruh masyarakat, untuk menghidari (pencegahan) atau membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak merugikan yang ditimbulkan bahaya dalam konteks luas pembangunan berkelanjutan. Kerangka kerja pengurangan risiko bencana terdiri dan bidang aksi sebagai berikut: Kesadaran dan pengkajian risiko, termasuk analisis bahaya dan analisis kerentanan atau kapasitas pengembangan pengetahuan, termasuk pendidikan, pelatihan, penelitian dan informasi komitmen Publik dan kerangka kerja institusional, termasuk aksi kelembagaan, kebijakan, perundangan dan komunitas penerapan langkah-langkah, termasuk pengelolaan lingkungan, perencanaan penggunaan lahan dan tata kota, perlindungan fasilitas penting, penerapan sains dan teknologi, kemitraan, jejaring dan instrumen finansial. Sistem peringatan dini termasuk peramalan, penyebaran peringatan, tindakan-tindakan kesiapsiagaan dan kapasitas untuk memberikan reaksi,
145
Pospos bant uan: Beberapa pos yang bisa didirikan oleh masyarakat os-pos bantuan: sendiri atau sumber bantuan untuk membantu masyarakat yang sedang dilanda bencana. PPGD: (Penanganan Penderita Gawat Darurat) cara menangani orang yang sedang menderita akibat bencana atau kecelakaan dll. Pr asar ana ana:: Fasilitas penting yang dibutuhkan masyarakat seperti Prasar asarana listrik, telepon, gas, dll. Priorit as: Yang terpenting, hal terpenting atau apa saja yang paling Prioritas: penting.
R Rad io Ant ar P end ud uk Ind onesia (RAPT): Sebuah organisasi sosial adio Antar Pend endud uduk Indonesia nirlaba yang beranggotakan pengguna perangkat radio. Rawan Bencana Bencana:: adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. it asi: adalah serangkaian program kegiatan yang terencana, Rehabil itasi: ehabilit terpadu dan menyeluruh yang dilakukan setelah kejadian bencana guna membangun kembali masyarakat yang terkena bencana melalui pemulihan kesehatan, mental, spiritual, penguatan kesadaran masyarakat akan kerawanan bencana; pengurangan tingkat kerawanan bencana; pemulihan ekonomi; pemulihan hak-hak masyarakat; pemulihan administrasi pemerintahan; dan integrasi kegiatan pemulihan dampak bencana. Rek onst ruk si ekonst onstruk ruksi si:: adalah serangkaian program kegiatan yang terencana, terpadu dan menyeluruh yang dilaksanakan dalam jangka menengah dan jangka panjang untuk mencapai kondisi lebih baik seperti sebelum terjadinya bencana yang meliputi pembangunan kembali sarana dan prasarana dasar seperti pembangunan air bersih, jalan, listrik, puskesmas, pasar,
146
telekomunikasi, sarana sosial masyarakat dan lingkungan hidup. Resusit asi jant ungdio-Pul monary R esuscit at ion - CPR): esusitasi jantungung-paru (Card io-Pulmonary Resuscit esuscitat ation paru (Car merupakan cara pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada pasien atau korban yang mengalami henti jantung-paru agar korban tetap hidup serta kerusakan otak dapat dicegah. sambil menunggu datangnya pertolongan medis. ko bencana Risi Risik bencana:: adalah prakiraan/kemungkinan potensi kerugian yang ditimbulkan oleh bencana pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu seperti kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat. Secara konvensional risiko dinyatakan dalam persamaan Risiko = Bahaya x Kerentanan. Sejumlah disiplin ilmu juga mencakup konsep keterpaparan untuk secara khusus merujuk pada aspek kerentanan fisik. Lebih dari sekedar mengungkapkan kemungkinan adanya kerugian fisik, sangat penting untuk mengakui bahwa risiko-risiko dapat bersifat melekat atau dapat diciptakan atau ada dalam sistem-sistem sosial. Penting untuk mempertimbangkan konteks sosial dimana risiko terjadi dan oleh karenanya penduduk tidak mesti mempunyai persepsi yang sama tentang risiko dan akar-akar penyebabnya.
S Sanit asi: Kebersihan suatu sarana umum atau kebersihan pribadi. Sanitasi: SAR (Sear ch and R escue): Lembaga atau kegiatan untuk mencari (Search Rescue): dan menyelamatkan orang, hewan atau barang akibat bencana. Sar ana : Fasilitas atau bangunan untuk memudahkan suatu kegiatan. Sarana SATGAS PB : Satuan Tugas Penanggulangan Bencana di tingkat Kecamatan. drochl orit e: Unsur kimia yang biasanya digunakan untuk Sod ium Hy Hyd ochlorit orite: Sodium pemutih pakaian seperti Bayclin yang bisa digunakan sebagai disinfektan air. Syok: Kondisi tubuh yang bisa menyusul cedera parah. Kondisi ini
147
bisa membahayakan seseorang apabila tidak langsung dirawat.
T Tangg ap d arur at : adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan anggap darur arurat segera setelah kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan yang mencakup kegiatan penyelamatan masyarakat terkena bencana, harta benda, evakuasi, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsian, pemulihan sarana dan pelayanan kritis. si: Suatu kejadian dimana dua pihak atau lebih melakukan Transak ansaksi: persetujuan, pemberian atau penerimaan sesuatu. Trauma auma:: adalah cedera yang terjadi pada batin dan tubuh akibat suatu peristiwa tertentu. Triage : kegiatan pemilahan korban-korban menurut kondisinya dalam kelompok untuk mengutamakan perawatan bagi yang paling membutuhkan.
V Vekt or : adalah agen pembawa penyakit seperti lalat, nyamuk, kutu ektor dan tikus, dimana penyebab wabah penyakit dan kematian dalam banyak situasi bencana.
Y Yod ium : adalah salah satu unsur gizi yang penting bagi kesehatan odium orang.
Sumber : www.mpbi.org www.peduli-bencana.or.id Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
148
BIODATA PENULIS Drs. Gunawan, lahir di Yogyakarta 12 April 1956. Menamatkan program S1 di Fakultas Ilmu Sosial Politi Universitas Gajah Mada Yogyakarata pada tahun 1986. Jabatan peneliti: Peneliti Muda Bidang Kesejahteraan Sosial di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI. Penelitian yang pernah dilakukan meliputi topik-topik yang berkaitan dengan: permasalahan kemiskinan, Accesibility Problems to Panti’s and Vocational Rehabilitation Service Desentralization in Indonesia, Studi Pengembangan Panti Rehabilitasi Sosial Korban Napza, Studi Penataan Panti di DKI Jakarta, Profesionalisasi Organisasi Sosial, Anak Jalanan, Studi Tentang Kesiapan Daerah Dalam Pelaksanaan Strategi dan Pelayanan Sosial Bagi Anak Jalanan di Era Desentralisasi Pembinaan Kesejahteraan Anak, Penanganan Anak Terlantar Berbasis Kekerabatan, Pengembangan Model Pemberdayaan Remaja Melalui Karang Taruna, Dampak Sosial Pengembangan Kawasan Industri, Kemiskinan di Kawasan Industri, Tanggung Jawab Sosial Industri, Permasalahan Kesenjangan Sosial, Penanganan Masalah Perumahan dan Pemukiman Kumuh, dan Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam. Haryati Roebyantho, lahir 7 April 1956 di Tondano, Sulawesi Utara. Sarjana pada Program Studi Sosiatri Fisipol UGM lulus tahun 1984. Mengawali karirnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Sosial sejak tahun 1986. Jabatan peneliti: Peneliti Muda Bidang Kesejahteraan Sosial di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI. Kursus dan pendidikan yang pernah diikuti antara lain: Diklat Statistik yang diselenggarakan UNDP kerjasama dengan Departemen Sosial, Pelatian peneliti dengan LIPI,
149
Pelatian Peningkatan Kemampuan Tenaga Peneliti oleh FISIP UI. Penelitian yang pernah dilakukan: Tentang Pelayanan Kesejahteraan Anak, Kesejangan Anak, Permasalahan Anak dan Pengungsi Wanita, Management Organisasi Sosial di Lima Provinsi, Efektifitas Pelaksanaan KUBE Fakir Miskin, Karang Taruna, Peranan Wanita di Beberapa Provinsi, Permasalahan Kesos Pasca Penutupan Lokalisasi WTS di Beberapa Kota Besar di Indonesia, Penyediaan Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat di Lima Provinsi, Faktor Penghambat Perkembangan Potensi Sosial Masyarakat Lokal di Daerah Miskin, Studi Implementasi Kebijakan Aksesibilitas Penyandang Cacat, dan Penanganan Masalah Perumahan dan Pemukiman Kumuh, dan Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam. Sugiyanto, S.Pd.,M.Si., lahir di Tawangharjo 8 Januari 1961. Magister Sains Program Studi Ilmu Administrasi Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Publik, Kekhususan Pengembangan Masyarakat (S2), diperoleh dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (2005) dan S1 (Sarjana Pendidikan Moral Pancasila dan Kewargaan Negara) diperoleh dari Sekolah Tinggi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (STPIPS) YAPSI Jayapura (1994). Jabatan peneliti: Peneliti Muda Bidang Kesejahteraan Sosial di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI. Aktif mengikuti kegiatan penelitian bidang kesejahteraan sosial, dan berbagai seminar permasalahan sosial di Indonesia. Beberapa hasil penelitiannya telah diterbitkan, baik secara mandiri maupun kelompok, dan tulisanya pernah diterbitkan di JURNAL maupun INFORMASI. Ir. Ruaida Murni, menamatkan program S1 dari Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Saat ini menjabat sebagai Peneliti Muda Pada Puslitbang Kesejahteraan Sosial. Penelitian yang pernah dilakukan antara lain meliputi:
150
Peranan Pelayanan dan Bantuan Sosial Proyek Atma Brata CCF Terhadap Kesejahteraan Sosial Keluarga Miskin di Kecamatan Cilincing. Pengembangan Metode dan Teknih Penyuluhan dan Bimbingan Sosial Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan. Kebutuhan Pelayanan Kesejahteraan Sosial di Kawasan Industri. Metode dan Teknik Pelayanan Anak Pada Kelompok Bermain dan Taman Pemnitipan Anak. Permasalahan Sosial Migran Perkotaan di Propinsi Riau. Penelitian Kemandirian Penerima Pelayanan Panti Sosial Asuhan Anak dan Panti Sosial Bina Netra. Model Rehabilitasi Sosial Penyalahguna Nafza di Beberapa Institusi Swasta. Pengembangan Uji Coba Model Pemberdayaan Remaja Melalui Karang Taruna, Akreditasi Panti, Uji Coba Model Pengentasa Anak Terlantar Melalui Kekerabatan, Penelitian Pergeseran Pola Relasi Gender Ex TKW, Penanganan Masalah Perumahan dan Pemukiman Kumuh, dan Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam, dll.
151
Index A Angin puting beliung Afeksi Aktivitas Aktivitas Tektonik Aktivitas vulkanik Alfred L wegener Aset Awan Cumulusnimbus Avoid and Face Aksi Beijing Alternative Attitude
B Banjir Bencana Bargaining position Benanain Belu Bibit siklon Body magnetis
C Capacity Creeping disaster Circum Pasiftk Clothing Campyn Chambers Cycloop Continent Drift
152
D Daerah rawan bencana alam David C Korten Debit air Demo grafi Deprivasi Development Disaster Management Disadvantages Disaster Distribusi Diskriptif Drs. Achmad Zakir, AhMG Drough Dubois DAS Deklarasi Hyogo Degradasi Diprediksi
E Earthquake Eksploitasi Emergency Response Emergency Shelter Empowering Empati Enabler Energi Episenter Erosi Empowerment Eco-development
F Facing Disaster Fenomena Fenomena Flash Flood Firman AMG, Food Forest Forum Fridmann Fungsional
Informan Instrumental Intelektual Interaksional Interview Ijon Isolation Issu Individual perspective institutional perspective Indirect Services
G
J
Geologia Gerak alam Gempa bumi Guide Guru Kinayan Gunung Talang Geofisika Geneva Gerungan
Jalur perambatan Jejaring
H Hamilton Hazard Hidrologi Hormin Tumanggor Humanism Hyogo H Eddy Syofian
I Idiologi Ife
K Karakteristik Karakleristik Bencana Alam Karo Kabupaten X koto Keberdayaan sosial keluarga Kelembagaan Kekeringan Kerentanan Kerugian material Ketidakberdayaan Ketidakberuntungan Kisaran angin Kolektif Konteks Kondisi Geometris Kontribusi Kultur Kerangka Aksi Hyogo
153
L Landslide lorong kawah
M Maurice Arnold Medicine Material Mamar Mezak A Ratag Mellenium Developmen Goals (MDGs) Merefleksikan Metode Miley Mengurangi Resiko Bencana Mitigation
N Needs
O Oakley Observasi One group pretest
P Papalele Patahan Patahan Angkola Patahan Toru Patahan Renun Partisipatif Peat Fire Peta Seismik
154
Pergerakan magma Powerless, Powerfull Persepektif Pergeseran lempeng bumi Perlindungan Pranarka, Pre-test Preparation Poverty Proses tumbukan Prodiksi Protab Provesi Psychological Recovering Posko PoskoBanjir Post-test Post structural perspective
R rekahan resiko bencan Recovery Rekonstruksi Reconstruction Rehabilitation Relief Woker Renge Time Range Space Risk Reproduksi Resiprokalitas Rekreatif Rerata Repodoksi Robert J. Kodoatie
Roestam Sjarief Rudolf M Pardede Rumah panggung
S Sabuk bumi Saler Place Skala richter Skor Sesar sesar opak Sedimentasi Seismograf Segmen patahan Siklon Slow onset Flood Sistematik Siklus Sosialisasi Support Susteran Sustainable Subyek Subduksi Sungai Benanain Supermarket of Hazard Structural perspective Stimulant
Tsunami Tanggap Darurat Teknologi Terfokus Topografi Tektonik Tagana Treatment
U Ujicoba Urban Fires UNHCR US Geolocigal Survey
V Vegetasi Vocation Vulnerability Vulkanik Volcano vulnerebility
W William Nick Carter
Y Yogyakarta
T
Z
Tanah longsor Tapal Kuda Tataruang pemukiman Trust
Zone
155
M
odel Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam yang telah disusun Puslitbang Kesejahteraan Sosial pada tahun 2007 merupakan salahsatu upaya alternatif untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan bencana alam yang diujicobakan di dua lokasi (Bondowoso-Jwa Timur dan Belu-Nusa Tenggara Timur). Model yang diujicobakan memperoleh respon yang positif dari masyarakat, tokoh masyarakat, dan instansi sektor, namun ujicoba ini masih berskala kecil yaitu di dua wilayah. Optimalisasi hasil dari model peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanganan bencana alam perlu di ujicobakan di daerah lain sebagai uji pemantapan model. Dalam kerangka perluasan cakupan pelayanan akan mempunyai makna yang besar jika uji pemantapan model ini dipadukan dengan program dari Unit Teknis Direktorat Penanganan Bencana Alam, dan unit lain yang mempunyai komitmen dalam pengembangan masyarakat (khususnya keluarga) di lingkungan Departemen Sosial RI.
ISBN : 978-602-8427-06-7 DEPARTEMEN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL TAHUN 2OO8