Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN ETIKA BISNIS DALAM UPAYA PENINGKATAN DAYA SAING Rusdin *) ABSTRAK Terjadinya kredit macet dan rendahnya daya saing produk Indonesia di luar negeri serta rasa ketakutan pada pihak pemilik perusahaan akan datangnya produk asing ke pasar dalam negeri merupakan suatu indikasi bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia tidak siap bersaing di pasar global (Syakhroza, 2000). Untuk itu tampaknya diperlukan upaya yang terpadu untuk mengupayakan peningkatan daya saing nasional dimana dalam hal ini upaya tersebut melibatkan pemerintah dan pengusaha secara bersama. Upaya peningkatkan daya saing berdasarkan perspektif good governance (GG), good corporate governance (GCG), Balanced Scorecard (BSC) dan etika bisnis merupakan konsep yang dinilai relevan dalam dinamika pengukuran kinerja di Indonesia seiring dengan upaya pemerintah untuk memacu kinerja perusahaan baik perusahaan milik pemerintah (BUMN), perusahaan publik maupun perusahaan swasta nasional (BUMS). Dalam GG,GCG, BSC dan Etika bisnis seluruh sumber daya yang dimiliki menjadi tolok ukur penting dalam menilai kinerja organisasi dengan berlandaskan moral yang kuat yaitu diawali dengan keinginan untuk mengindahkan nilai etis dalam berbisnis. Kata kunci: good corporate governance, etika bisnis, daya saing
PENDAHULUAN Perdagangan dan investasi bebas di Asia Pasific
pada tahun 2020, era
globalisasi dan informasi di samping merupakan peluang bagi Indonesia untuk berperan aktif dalam bisnis internasional, juga merupakan tantangan bagi perekonomian nasional. Persepsi mengenai tantangan tersebut berangkat dari kondisi perekonomian nasional yang menunjukkan kemajuan berarti, akan tetapi belum cukup kuat menghadapi persaingan internasional (Firdausy, 1996). Indikasi mengenai lemahnya daya saing komoditas Indonesia sampai dengan tahun 1995 antara lain dapat dikaji dari perbandingan antara komoditas yang layak bersaing dengan yang tidak layak bersaing. Sampai dengan tahun 1995 komoditas yang layak bersaing di pasar Internasional hanya 18,73%. Dari sisi sumber daya manusia Indonesia menempati peringkat ke 105 dalam Human Development Index (HDI) sedangkan negara-negara ASEAN lain seperti Filiphina
Good Corporate…
64
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
urutan ke-77; Thailand ke-67; Malaysia ke-56; Brunai ke-25; Singapura ke- 22 (Tilaar, 2000). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa di tingkat regional tingkat pembangunan manusia Indonesia belum menggembirakan. Di sektor industri, selama ini kecenderungan industri di Indonesia
dalam
melakukan impor bahan baku (BB) dan bahan penolong (BP) memperlihatkan biaya impor yang dikeluarkan oleh industri makanan dan minuman utama untuk pengadaan BB dan BP antara 1991 -1997 berkisar $ US 598,90 - $ US 1.656,60 juta. Demikian pula yang terjadi pada industri utama, nilai impor bahan baku antara 1991 - 1997 berkisar $ US 1,482 - US $ 2.400 juta (BPS, 1998). Di samping BB dan BP, Barang Modal (BM) bagi industri di Indonesia juga masih impor, baik itu barang modal non alat angkut maupun alat angkut untuk industri dan mobil penumpang. Untuk alat angkut industri nilai impornya antara tahun 1991-1997 berkisar US $ 503-US $ 800 juta. Impor BM ini tentu saja memberikan pengaruh terhadap harga jual, kemampuan distribusi dan lain sebagainya (BPS, 1998). Tingginya nilai BB dan BP akibat impor akan menyebabkan perusahaan tidak dapat bersaing secara optimal, karena perusahaan sulit untuk menentukan harga jual yang rendah dan kompetitif. Jika dibandingkan dengan kemampuan ekspor industri dan impor BB serta BP antara tahun 1991-2000 terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Nilai Ekspor dan Impor Bahan Baku, Bahan Penolong serta Barang Modal ( US $ 1.000.000) Nilai Tahun Ekspor Impor Bahan Baku & Barang Modal Jumlah Penolong 1991 15.067,50 17.233,80 7.676,60 24.910,4 1992 19.613,10 18.700,00 7.366,80 26.066,8 1993 22.994,10 20.034,80 7.146,90 27.181,7 1994 25.702,10 23.133,60 7.419,70 30.553,3 1995 29.328,20 29.586,60 8.691,70 38.278,3 1996 32.124,80 30.469,70 9.652,90 40.122,6 1997 34.985,20 30.229,50 9.652,90 39.882,4 1998 48.847,60 19.611,80 5.807,40 25.419.20 1999 48.665,40 18.475,00 2000 62.124,00 26.018,70 Jumlah 339452,00 Sumber: BPS, Mei 2001 (diolah kembali)
*)
3.060,00 4.777,40
21.535.00 30.796.10 304.745.80
Dosen Tetap STIE INABA
Good Corporate…
65
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
Dari Tabel 1 tersebut dapat diketahui jika secara akumulatif nilai impor untuk BB, BP dan BM rata-rata 11% lebih besar dari nilai ekspor. Hal tersebut menggambarkan bahwa produksi dalam negeri masih tergantung pada BB dan BP yang harus diimpor. Aktivitas impor tersebut tentu memerlukan biaya yang besar, sehingga ini membebani harga dasar produk. Akibatnya harga produk tidak mampu bersaing, dengan kata lain daya saing produk menjadi rendah. Sejauh ini pemerintah “telah melakukan berbagai upaya” untuk meningkatkan kemampuan perusahaan. Usaha tersebut antara lain mendorong perusahaan terjun ke pasar modal dan menciptakan akuntabilitas serta transparansi pengelolaan perusahaan, agar dapat meningkatkan kinerjanya. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa meskipun perusahaan telah terjun ke pasar modal kinerjanya masih jauh dari harapan. Terjadinya kredit macet dan rendahnya daya saing produk Indonesia di luar negeri serta rasa ketakutan pada pihak pemilik perusahaan akan datangnya produk asing ke pasar dalam negeri merupakan suatu indikasi bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia tidak siap bersaing di pasar global (Syakhroza, 2000). Untuk itu tampaknya diperlukan upaya yang terpadu untuk mengupayakan peningkatan daya saing nasional dimana dalam hal ini upaya tersebut melibatkan pemerintah dan pengusaha secara bersama. Melalui makalah ini akan disajikan bagaimana meningkatkan daya saing berdasarkan perspektif good corporate governance (GCG) dan etika bisnis.
Konsep
tersebut dinilai penting dalam dinamika pengukuran kinerja di Indonesia seiring dengan upaya pemerintah untuk memacu kinerja perusahaan baik perusahaan milik pemerintah (BUMN), perusahaan publik maupun perusahaan swasta nasional (BUMS). GOOD GOVERNANCE (GG) MENUJU GOOD GOVERNMENT GOVERNANCE (GGG) Good Governance
pada hakekatnya merupakan proses keterlibatan
stakeholders pembangunan dalam pengambilan keputusan sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan agenda pembangunan, sehingga terjadi perubahan dari yang semula tidak peduli pada daerahnya dan sangat Good Corporate…
66
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
tergantung pada kewenangan pemerintah semata, berubah menjadi peduli dan memiliki sense of belonging, sense of responsibility serta sense of participation (Medi Botutihe, 2001). Konsep Good Governance pada hakekatnya menghendaki seluruh stakeholder harus baik yaitu: (1) Eksekutif harus baik, (3) Legislatif harus baik, (4) Yudikatif harus baik, dan (5) Masyarkat/publik harus baik. Seluruh stakeholder tersebut di atas merupakan satu kesatuan dimana apabila salah satu dari sub-sistemnya tidak baik/tidak berfungsi maka akan mengakibatkan keseluruhan sistem akan mengalami kegagalan dalam pencpaian tujuan. GG merupakan sebuah tata nilai baru, dimana proses perubahannya membutuhkan sosialisasi yang memerlukan waktu, karena menyangkut perubahan sikap dan perilaku dari semua pelaku pembangunan. Dengan demikian penerapan GG perlu peranan dan dukungan dari semua pihak. Penerapan GG bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja akan tetapi menjadi tanggung jawab seluruh stakeholder baik Eksekutif, Legislatif, Yudikatif maupun masyarakat/publik secara luas. Adapun prinsip-prinsip Good Governance adalah sebagai berikut: Partisipatif,
yang
bertujuan
agar
masyarakat
mempergunakan
haknya
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan (dari perumusan sampai dengan proses evaluasi) langsung atau tidak langsung. Dengan Indikator keberhasilan: Terbentuknya lembaga infokom/meningkatnya akurasi, isi, ketersediaan, ketepatan wktu informasi dan komunikasi. Meningkatnya jumlah masyarakat yang hadir dalam public hearing. Terbentuknya berbagai forum di tingkat Kota dan aktifitasnya. Meningkatnya kualitas dan kuantitas masukan (saran dan kritik ) untuk pembangunan kota. Terbentuknya berbagai kelompok masyarakat
Good Corporate…
67
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
Penegakan hukum yang bertujuan untuk mewujudkan adanya penegakan hukum dan kepastian hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pandang bulu dan menjunjung HAM dengan memperhtikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dengan indikator keberhasilan : Pelanggaran masyarakt berkurng. Kewenangan dan kemampuan PPNS meningkat. Proses penegakan hukum meningkat. Terbenahinya perangkat peraturan perundang-undangan. Berlakunya nilai/normal masyarakat. Tranparansi yang bertujuan meningkatkan keprcayaan masyarakat, pelanggaran pemerintahan, harus menyediakan informasi yang meadai kepada masyarakat dan harus memberikan kemudahan di dalam memperoleh informasi akurat setiap saat dibutuhkan. Dengan indikator keberhasilan: Bertambahnya wawasan/pengetahuan masyarakat. Semakin banyak masyarakat mangetahui program –program pemerintah. Semakin meningkat partisipasi masyarakat. Berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan/ perundang-undangan. Aspiratif bertujuan untuk meningkatkan daya tanggap penyelenggaraan pemerintah terhadp keluhan, persoalan dan aspirasi masyarakat tnpa kecuali. Dengan indikator keberhasilan: Meningkatnya prtisipasi. Jumlah komplain masyarakat berkurang. Tumbuhnya kesadaran masyarakat. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kesetaraan bertujuan untuk menciptakan kesetaraan terhadap peluang yang sama bagi semua warga masyarakat tanpa perkecualian dalam meningkatkan kesejahteraannya. Good Corporate…
68
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
Dengan Indikator keberhasilan: Kasus diskriminasi berkurang. Pengisian jabatan sesuai ketentuan. Rencana Strategis
bertujuan untuk pembangunan strategis kota agar warga
masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap masa depan dan kemajuan kota. Dengan Indikator keberhasilan : Adanya renstra yang di Perdakan. Frekwensi pertemuan stake holder meningkat. Masukan dari stake holder meningkat. Adanya kesesuaian konsistensi antara perencanaan dan penganggaran. Efektifitas dan efisiensi bertujuan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai kebutuhan dengan menggunakan segal daya secar optimal dan arif. Dengan Indikator keberhasilan: Meningkatnya nilai tambah. Pengeluaran/ pendapatan. Berkurangnya penyimpangan pembelanjaan. Berkurangnya biaya operasional pelayanan. Profesionalisme
bertujuan
meningkatkan,
keterampilan
dan
moral
penyelenggaraan pemerintah yang mempunyai rasa simpati untuk memberikan pelayanan yang mudah, cepat , tepat dengan biaya terjangkau. Denga indikator keberhasilan: Hasil-hasil evaluasi kinerja. Pelayanan meningkat (ISO Pelayanan) Komplain dan pengaduan berkurang PAD meningkat. Pemerintah yang transparan dan akuntabel.
Good Corporate…
69
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
Pertanggung gugatan (Akuntabilitas)
bertujuan meningkatkan pertanggung
gugatan (akuntabilitas) para pengambil keputusan di Pemerintahan, sector swasta dan organisasi masyarakat dalam segala bidang (politik, fiscal, anggaran) kepada masyarakat. Dengan indicator keberhasilan: Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadp pemerintah. Berkurangnya kasus-kasus KKN. Pengawasan bertujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggara pemerintahan dan kegiatan pembangunan dangan melibatkan masyarakat maupun organisasi kemasyarakatan. Dengan indicator keberhasilan: Penyimpangan (kebocoran, pemborosan penyalahgunaan wewenang dll.) berkurang Masukan masyarakat tentang penyimpangan meningkat. Jumlah temuan hasil pengawasan/pemeriksaan meningkat. Kesepuluh prinsip ini tidak hanya dialamatkan pada salah satu pihak namun seyogyanya kepada seluruh stakeholder. Pemerintah yang dapat menjadi pengambil kebijakan dapat menjalankan prinsip tersebut merupakan bentuk implementasi GGG, dimana seluruh perangkat pemerintah dapat menjalankan prinsip-prinsip tersebut secara bertanggung jawab. Merupakan suatu keharusan bahwa untuk menerapkan prinsip-prinsip GG perlu ada instrumen. Dalam mencari instrumen-instrumen yang cocok dan efektif perlu melihat instrumen untuk semua pihak dan bukan saja instrumen untuk pemerintah. Lepas dari semua kunci keberhasilan penyelenggaraan GG akan sangat tergantung pada kebersamaan, dukungan serta komitmen seluruh komponen masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berkualitas.
Good Corporate…
70
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) GCG merupakan proses pengelolaan perusahaan dalam suatu negara dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) serta penggunaan sumber daya dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Dua penyebab pentingnya isu good corporate governance, yaitu: (1) perubahan lingkungan yang sangat cepat yang berdampak pada peta kompetisi pasar global dan (2) semakin banyak dan kompleksnya pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan termasuk kompleksnya struktur kepemilikan perusahaan sehingga berimplikasi terhadap manajemen stakeholders (Berman et al, 1999; Clarkson, 1998; Harrison & Freeman, 1999 dalam Syakhroza, 2000). Kondisi tersebut akan menimbulkan turbulensi, stress, risiko dan ketidakpastian bagi perusahaan. Hal ini menuntut respon perusahaan terhadap ancaman dan peluang dalam merancang dan menggunakan strategi serta sistim pengendalian yang prima untuk mempertahankan sustainabilitity-nya. Good corporate governance akan tercipta jika terjadi keseimbangan kepentingan antara semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan (stakeholders) dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan. Untuk mengetahui apakah kesimbangan kepentingan telah tercipta maka sistem pengendalian harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi tercapainya tujuan bersama. Oleh karena itu dibutuhkan sistim pengukuran yang mampu menyerap semua dimensi strategis dan operasional perusahaan dan juga dibentuknya pusat informasi. Konsep BSC merupakan sistim pengukuran kinerja yang komprehensif dan pengukuran kinerja berdasarkan konsep GCG dapat dikatakan sebagai pengembangan konsep BSC karena konsep GCG mengakomodasi kepentingan internal perusahaan (pemilik perusahaan, CEO dan senior manajemen lainnya) serta pihak eksternal (pendana, pelanggan, pasar modal dan publik).
Good Corporate…
71
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
Tabel 2. Ukuran Kinerja Berdasarkan Konsep GCG No 1
Parameter Internal Operating Activities
2
Intelectual capital and Corporate learning Corporate capacity to innovate & responds to markets Product/service quality & market acceptance Customer relation Investors relation
3
4 5 6 7
8 9 10
Relationship with partners dan others stakeholders Public relation Environment, health & safety practices Keuangan
Contoh Efisiensi Operasi dan pelayanan, jumlah produk rusak, siklus waktu, tingkat pemakaian kapasitas, ketepatan pemakaian tenaga kerja dan bahan baku, jumlah persediaan yang dikembalikan, jumlah tagihan yang diragukan Proses pengembangan pegawai seperti pelatihan pegawai, proses pembelajaran pegawai, produktivitas dan pembelajaran pegawai Perubahan manajemen, fleksibilitas struktur organisasi, incubator produk-produk baru, R & D, ketepatan pemakaian teknologi
Ketepatan manajemen pemasaran dan brand, kualitas produk /jasa, ISO 9000, besaran pangsa pasar, ketepatan delivery Kepuasan pelanggan Harmonisasi hubungan dengan pemegang saham, bank dan pemasok dana lainnya, ketepatan penyampaian laporan keuangan Harmonisasi hubungan dengan pemasok, pemerintah seperti deperindag, dirjen, pajak, asosiasi-asosiasi bisnis. Harmonisasi hubungan dengan public service seperti PLN, TELKOM; kemitraan dengan media massa dan masyarakat sekitar operasional perusahaan Sistim manajemen internal seperti ISO 14000, tingkat pencemaran limbah, jumlah kecelakaan kerja
ROI, ROA, kualitas penjualan dan cash flow, perputaran persediaan dan piutang dagang, profit margin, pertumbuhan penjualan, laba dan asset Sumber: Syakhroza, 2000 dimodifikasi oleh penulis
Dengan kata lain konsep pengukuran GCG lazim dipergunakan oleh Dewan Komisaris yang berupaya menjaga kepentingan semua pihak. Pengukuran kinerja berdasarkan konsep GCG didasarkan pada lima prinsip, yaitu: (1) perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham, (2) persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham, (3) peranan stakeholders yang terkait dengan perusahaan, (4) keterbukaan dan transparansi dan (5) akuntabilitas dewan komisaris Good Corporate…
72
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
(Herwidayatmo, 2000; Rusdin, 2000). Implikasi prinsip tersebut diwujudkan dalam ukuran kinerja seperti pada Tabel 2. Dengan demikian pengukuran kinerja yang berorientasi pada good corporate governance dapat dianggap sebagai pengembangan dari pengukuran kinerja berdasarkan BSC, karena ada beberapa aspek yang belum dikembangkan dalam BSC dikembangkan melalui konsep GCG. ETIKA BISNIS Kegiatan bisnis sering diidentikkan dengan mencari untung yang sebesarbesarnya. Di Indonesia, para pelaku bisnis memegang prinsip ini, Akibatnya dalam dunia bisnis segala cara seolah dihalalkan asal mendapat untung. Para pelaku bisnis kadang kala tidak peduli apakah ada pihak lain yang dirugikan atau menderita karena praktek bisnis yang dilakukannya. Kecenderungan-kecenderungan tersebut tampak pula di dunia usaha kita dewasa ini. Etika dalam banyak hal tampak dikesampingkan, termasuk etika untuk mematuhi hukum dari aktivitas bisnis yang berhubungan dengan antara lain upah buruh, pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen, ganti rugi tanah, hubungan kreditur debitur, keterbukaan dalam pasar modal, persaingan dagang yang adil, perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan sebagainya. Kebangkitan kesadaran akan perlunya mengindahkan dan berpedoman pada nilai-nilai etika dalam menjalankan usaha muncul setelah berbagai perusahaan besar dilanda berbagai skandal dan korupsi. Berawal dari pengalaman tersebut berkembang berbagai diskusi dan seminar tentang permasalahan etika dalam berbisnis di banyak negara Eropa dan Amerika Serikat pada akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an (Sudimin, 1998). Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa berbagai kajian itu mendorong tumbuhnya aneka lembaga studi yang secara khusus mengembangkan dan menerbitkan
jurnal
Good Corporate…
bidang
etika
bisnis.
Kajian
etika
bisnis
memantapkan
73
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
perkembangannya menjadi satu bidang akademis sebagai mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa pada sekolah manajemen dan bisnis. Pengejawantahan dan penegakan etika bisnis ternyata harus berhadapan dengan suatu sikap pesimistis, karena realitas masyarakat kita mendorong munculnya sikap demikian. Kinerja bisnis nasional kita sangat jauh dari kaidah-kaidah moral. Penerapan bidang tersebut dalam bisnis nasional kita secara umum menimbulkan kesan tidak diperhatikannya nilai-nilai moral yang hidup dalam masyarakat. Banyak kendala untuk mewujudkan kinerja bisnis yang etis (bermoral). Sekurang-kurangnya terdapat tiga kendala: (1) Mentalitas para pelaku bisnis, terutama top manajer yang secara moral rendah, sehingga berdampak pada seluruh kinerja bisnis, (2) faktor budaya masyarakat yang cenderung memandang pekerjaan bisnis sebagai profesi yang penuh dengan tipu muslihat dan keserakahan serta bekerja mencari untung merupakan pekerjaan yang kotor. Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat kita memiliki persepsi yang teliti tentang profesi bisnis sebagaimana yang terjadi di negara-negara barat sebelum terjadinya revolusi. (3) adalah faktor sistem politik dan kekuasaan yang diterapkan oleh penguasa dimana menciptakan sistem ekonomi yang begitu jauh dengan nilai-nilai moral dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kehancuran perekonomian nasional kita juga antara lain disebabkan oleh tindakan-tindakan
pengelolaan
yang
menjauhi
prinsip-prinsip
moral.
Karena
bagaimanapun pelanggaran etika dalam bisnis adalah penghianatan terhadap hati nurani. Untuk menunjang bisnis yang etis diperlukan pemahaman tentang kode etik bisnis. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan sebelum merumuskan kode etik. Pertama, kode etik harus dirumuskan sendiri oleh para pelaku bisnis, karena merekalah yang paling berkepentingan untuk mengatur pelaksanaan profesinya. Kedua, adalah perlunya merumuskan kode etik untuk melaksanakan macam-macam lingkup bisnis. Maksudnya adalah perlu dirumuskan kode etik untuk kepentingan yang lebih luas, Good Corporate…
74
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
seperti nasional atau rumpun usaha, dan kode etik untuk masing-masing atau kelompok perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar semua nilai baik yang berlaku umum maupun yang berlaku khusus yang berkaitan dengan visi dan misi masing-masing perusahaan dapat terakomodasikan ke dalam kode etik. Asumsi dasar mengapa bisnis memerlukan kode etik adalah bahwa pekerjaan bisnis dapat dikategorikan ke dalam kelompok profesi dan bahkan sebagai profesi luhur (Keraf, 1991). Hal itu dapat didasarkan pada argumentasi bahwa berbisnis adalah bekerja untuk melayani masyarakat. Matsushita (1990) dengan sangat baik mengatakan bahwa melayani masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya adalah segala-galanya. Keuntunangan akan datang dengan sendirinya kalau bisnis melayani masyarakat dengan baik. Pada lampiran disajikan satu contoh prinsip-prinsip etika bisnis yang sudah dirumuskan ke dalam kode etik sederhana. Rumusan ini dikeluarkan oleh sekumpulan top manajer perusahaan dari Eropa, Amerika Serikat dan Jepang yang disebut dengan The Caux Round Table (CRT). Kelompok itu bertemu setiap tahun yang dimulai pada tahun 1986 di kota Caux Swiss untuk membicarakan persoalan-persoalan bisnis global. Selama 2 tahun memperoses, akhirnya Juli 1994 mereka mendeklarasikan sebuah Principles for Business. Prinsip-prinsip ini didasarkan pada dua konsep yang berasal dari timur dan barat, yaitu Kyosei (Jepang) dan Human Dignity (Amerika dan Eropa). “Kyosei” berarti hidup dan kerjasama untuk kebaikan bersama, sedangkan “Human Dignity” berarti martabat manusia. Di samping itu, principles for business juga didasarkan pada the Minnesota Principles dengan sedikit penambahan. Karena alasan-alasan di atas, dan karena bisnis dapat menjadi kekuatan perubahan sosial secara positif (a poweful agent of positive social change), etika bisnis dapat menjadi landasan moral yang menawarkan prinsip-prinsip sebagai suatu dasar untuk dialog dan bertindak oleh para pemimpin bisnis dalam mewujudkan tanggung jawab bisnisnya. Pada dasarnya nilai-nilai moral dalam pembuatan keputusan bisnis
Good Corporate…
75
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
tanpa nilai-nilai itu, adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk menciptakan hubungan bisnis yang stabil dan msyarakat dunia yang berkelanjutan. PENUTUP Dalam GCG seluruh sumber daya yang dimiliki menjadi tolok ukur penting dalam menilai kinerja organisasi. Di sisi lain organisasi yang ingin memiliki keunggulan bersaing akan selalu memperbaiki proses bisnisnya secara berkelanjutan. Perbaikan proses bisnis (business process improvement) yang efektif membutuhkan lanasan moral yang kuat yaitu diawali dengan keinginan untuk mengindahkan nilai etis dalam berbisnis. Sebagai gambaran adalah yang diuraikan pada model untuk inovasi produk dan proses yang mengemukakan tentang tiga tahap inovasi proses dan produk: Tahap pertama; inovasi dirangsang oleh kebutuhan pasar dan kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas produksi sehingga fokusnya adalah pada kinerja produk. Dengan demikian GGG harus menjadi bingkai yang memiliki semangat GG sehingga dapat berimbas pada organisasi baik organisasi profit oriented maupun organisasi yang non profit oriented. Masyarakat berharap bahwa GGG dan GCG pada gilirannya akan berada pada suatu koridor etika bisnis yang relevan dan menyentuh kebutuhan akan sebuah bangsa yang mampu berbicara banyak di kancah internasional. Perlu dicatat bahwa peran perguruan tinggi juga sangat penting dalam mengembangkan GG, baik di lingkungan perguruan tinggi maupun dalam pengembangan konsep akademik serta diseminasinya. Perguruan tinggi dalam hal ini bertanggung jawab untuk mendidik mahasiswa dan generasi baru tentang pentingnya GG. Lebih jauh perguruan tinggi diharapkan sanggup menjadi fasilitator dalam “public hearing” yang memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholder untuk menyampaikan pendapat.
Good Corporate…
76
Rusdin
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
RUJUKAN A Sonny Keraf, (1998). Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya Yogyakarta: Kanisius. ____, (1996). Pasar bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Telaah atas Etika Ekonomi Politik Adam Smith. Yogyakarta: Kanisius. Badan Pusat Statistik. Indikator Ekonomi. Buletin Statistik Bulanan Juli 2002. Jakarta: BPS. Davis, Mark A, Nancy Brown Johnson, and Douglas G. Ohmer, Issue-Contingenr Effect on Ethical Decision Making: A Cross-Cultural Comparison. Journal of Business Ethics. Netherland: Kluwer Academic Publisher. 1998: 17, 373-389. Firdausyi, Carunia Mulya, Perdagangan bebas dalam APEC 2020: Masalah dan hambatan bagi Indonesia. Kelola: Gajah Mada University Business Review No.11/VI/1996. pp.93-109 Hamel, Garry & C.K. Prahalad. (1994). Competing for the future. Boston: Harvard Business School Press. Hill, Terry (2000). The essence of operations management (terjemahan: Chandrawati dan Dwi Prabantini) First Edition. Yogyakarta: Andi and Simon and Schuster (Asia) Ltd. Horngren, Charles T., George Foster, Srikant M. Datar. (2000). Cost accounting: a managerial emphasis, 10th edition, englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall International Inc. Joseph W. Weiss, (1994). Business Ethics: A Managerial, Staeholders Approach. Belmont: Wadsworth Pub.Com. Kaplan, Robert S. & David P. Norton, (1996). Translating strategy into action the balanced scorecard. Boston: Harvard Business School. _____., The Startegy Focused Organization: How Balanced Scorecard Companies thrive in the new Business Environment. Boston, Masschusetts: Harvard Business School Press. Matsushita, Konosuke (1991). Etos Bisnis, Etika Manajemen. Jakarta: Mitra Utama. Manuel G. Velasquez, (1995). Business Ethics: Concepts and Cases Singapore:Prentice Hall. Mintzberg, Hendry., Bruce Ahlstrand, and Joseph Lampel, (1998). Strategy safari: A Guided Tour Trough the Wilds of Strateic Management. New York: The Free Press. Paul M. Minus (ed.) (1993). The Ethics of Business in A Global Economy Bston: Kluwer. Porter, Michael.E. (1992). Keunggulan bersaing: Menciptakan Keunggulan Bersaing. (terjemahan: Agus Dharma, Agus Maulana, E. Jasfi, dan Ujian Wahyu Suprapto). Jakarta:Erlangga. Ward, Keith, (1996). Strategic management accounting. British-Oxford: ButterworthHeinemann.
Good Corporate…
77
Rusdin
Good Corporate…
JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
78