GLOSARIUM
Appoggiatura, not hiasan yang ditambahkan sebelum not utama Appoyando, teknik memetik senar dengan menyandarkan jari di senar berikutnya Aransemen, tindakan kreatif menata dan memperkaya sebuah melodi, lagu atau komposisi. Arpeggio, konstruksi chord, not dimainkan satu persatu secara beruntun Arranger, orang yang melakukan aransemen Campanelas, bentuk chord yang dimainkan seperti bunyi gemerincing bel kecil Chord, kesatuan bunyi dalam musik yang mengandung tiga not atau lebih Diatonik, musik yang menggunakan not-not utama dari tangga nada mayor/minor Flamenco, musik tradisional Spanyol Frasering, penggalan gagasan musikal yang dapat dikenali yang mana bagian awal melodi dan akhir melodi. Genre, tipe, jenis Gitar Akustik, salah satu jenis gitar yang bunyinya tidak menggunakan media elektronik. Gitar Klasik, adalah jenis gitar akustik dengan senar berbahan nilon dan sutra yang dililit logam. Lehernya lebih lebar dari pada gitar jenis lainnya meski banyak digunakan sebgai instrumen pengiring namun gitar klasik lebih popular sebagai instrument music tunggal yang dapat memainkan beragam jenis music dengan bass, akor, dan melodi lengkap. Gitar Tunggal, merujuk kepada satu; satu-satunya bukan jamak, bukan dua gitar atau lebih, gitar solo. Glissando, teknik memainkan dua not yang berurutan pada satu senar dengan cara memetik not pertama saja lalu menggeser jari kiri dari not pertama ke not berikutnya Golpe, teknik memukul permukaan gitar dengan jari untuk member efek bunyi perkusif Grace not, not hias yang dibunyikan secepat mungkin
Universitas Sumatera Utara
Harmoni, keselarasan berbagai bunyi yang terkandung dalam sebuah musik Jazz, jenis aliran musik yang berasal dari Afro-Amerika. Manifestasi, perwujudan sebagai suatu pernyataan perasaan atau pendapat Melodi, rangkaian bunyi musikal dari berbagai frekuensi dengan panjang pendek beragam yang ditata secara logis sehingga memiliki arti yang bisa ditangkap oleh telinga Metode, cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dl ilmu pengetahuan dsb) Mordent, salah satu bentuk ornament, yang dimainkan secepat mungkin Motif, bagian terkecil dari frase dalam pembentukan sebuah komposisi Musik Daerah, musik yang dimiliki oleh satu lingkungan atau budaya setempat yang memiliki fungsi dan tujuan yang sama Musik Etnik, musik atau suara yang berasal dari berbagai daerah, dalam hal ini di Indonesia, musik ini menggunakan bahasa, gaya, dan tradisi khas daerah setempat. Musik Tradisional, suatu nyanyian yang di tuturkan secara lisan kepada generasi berikutnya. Pentatonik, tangga nada yang terdiri dari lima nada Pizzikato, imitasi suara senar biola yang dipetik; suara tidak berbunyi nyaring melainkan tertahan Portamento, sama seperti glissando namun diakhiri dengan memetik not tujuan Progressi Chord, perpindahan/pergeseran chord Rasgueado, teknik strumming yakni memukulkan senar dengan ke-empat jari kanan dimulai dari jari kelingking sampai jari telunjuk, biasa digunakan pada musik flamenco Reportoar, komposisi yang disajikan secara keseluruhan Ritem, pengaturan logis rangkaian bunyi berdasarkan lama singkatnya ia dibunyikan. Sistem, perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Slide, lihat glissando Slur, garis lengkung yang menghubungkan dua not berbeda dalam notasi standar
Universitas Sumatera Utara
Staccato, memainkan not pendek-pendek untuk memberikan efek bunyi yang “patah-patah” Tabalet, teknik memainkan senar lima dan enam dibalik berganti tempat sehingga menghasilkan efek bunyi tambur atau efek bunyi senar drum Tambora, teknik membunyikan chord dengan memukul menggunakan jari jempol kanan untuk menghasilkan efek bunyi tambur Timbre, warna suara (tone color). Perbedaan kualitas bunyi yang membantu kita mengenali berbagai bunyi yang dihasilkan oleh alat musik atau vocal yang berbeda-beda kendati dalam frekuensi dan intensitas yang sama. Tirando, teknik petikan bebas pada jari kanan Transkripsi, proses penotasian bunyi dan proses mereduksi bunyi kedalam symbol visual Tremolo, pengulangan not yang sama dengan tempo yang cepat Triad, pola bentuk tiga not sebagai pembentuk chord Vibrasi, perubahan naik turun not hingga menimbulkan efek bunyi bergelombang atau bergetar
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 1 DAFTAR TRANSKRIPSI ARANSEMEN JUBING
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 2 PROFIL GITARIS GITAR TUNGGAL INDONESIA 1. Andre Indrawan Halim
Lahir di Bandung. Belajar pada gitaris Belanda Jos Bredie, John Legoh, Iqbal Taher dan Iwan Irawan. Masuk Akademi Musik Indonesia (sekarang Jurusan Musik di Institut Seni Indonesia Yogyakarta) pada tahun 1981 lulus pada tahun 1986. Tahun 1994 menyelesaikan studi Master dalam bidang ilmu-ilmu Humaniora dengan minat kajian etnomusikologi di UGM dengan predikat CumLaude. Tahun 2000 mendapat gelar Master of Music di bidang teaching and performance dari The University of Melbourne Australia. Tahun 1997 Meraih kualifikasi performance tertinggi di bidang gitar klasik dari Yamaha Music Foundation dan diploma Licentiate in Music Australia (LMusA) dari AMEB. Prestasinya antara lain juara 1 kompetisi gitar klasik se-Jawa Barat (1976), Festival Gitar Indonesia di Jakarta (1977 dan 1995), Surabaya (1978) dan 2nd South East asian Guitar Festival di Bangkok Thailand (1978) Debutnya pertama dilakukan di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Ia merupakan gitaris Indonesia pertama yang menampilkan Concierto de Aranjuez bersama Nusantara Chamber Orchestra di Hotel Hilton Jakarta tahun 1991. Tahun 1999 pernah
Universitas Sumatera Utara
menampilkan recitalnya di Gryphon Gallery dan Melba Hall, The University of Melbourne. Tahun 1996 bersama Rahmat Raharjo membentuk Yogyakarta Guitar Duo. Menjadi dosen gitar di Institut Seni Indonesia dan pengajar di YMI.
2. Rahmat Raharjo
Lahir di Ambon tahun 1974. Belajar gitar klasik sejak usia 12 tahun di YMI Yogyakarta. Guru gitar pertamanya adalah M. Nasrun. Setamat SMA belajar pada Andre Indrawan di Institut Seni Indonesia dengan minat utama musikologi. Tahun 1999 memperoleh diploma Licentiate in Music Australia dari Australian Music Examination Boards (AMEB). Karena menang pada Spanish Guitar Awards tahun 2001 ia mendapat beasiswa untuk belajar gitar pada Josep Henriquez di Granollers Conservatory of Music, Barcelona, Spanyol. Beberapa kali menjadi solis dari ISI Symphony Orchestra. Bersama Anton Asmonodento, Dhany Soesanto dan Setyobudi R. Situmorang membentuk Jawadwipa Guitar Ensemble. Bersama Andre Indrawan membentuk Yogyakarta Guitar Duo. Prestasinya antara lain tiga kali Grand Prize (1992, 1996, 1999) pada Festival Gitar Indonesia dan empat kali juara 2 pada fesival yang sama (1990, 1994, 1995, dan 1997). Juara 1
Universitas Sumatera Utara
Spanish Guitar Awards tahun 2001 yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Spanyol di Jakarta. Menjadi dosen gitar di Institut Seni Indonesia dan pengajar di YMI.
3. Jubing Kristianto
Lahir di Semarang 9 April 1966. Belajar gitar pertama dari orang tuanya. Usia 15 tahun belajar pada Hartono Lukito. Menjadi juara Festival Gitar Yamaha Indonesia sebanyak 4 kali (1987, 1992, 1994, dan 1995). Meraih Distinguished Award Yamaha South East Asian Guitar Festival 1984 di Hongkong. Jubing adalah lulusan Jurusan Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Sebelum memutuskan menjadi gitaris profesional pada bulan Juli 2003, dia bekerja sebagai reporter dan editor Tabloid NOVA. Sebelumnya, tahun 2001 ia ikut mendirikan kelompok Gitaris Kantoran. Kini ia adalah pengajar dan penguji gitar di Yayasan Musik Indonesia. Sejak tahun 2004 menjadi penguji tamu bidang gitar di Yayasan Pendidikan Musik. Sebagai gitaris, Jubing bergabung dalam Kwartet Punakawan bersama pianis Jaya Suprana, bassis Heru Kusnadi dan perkusionis Junaedi Musliman. Ia juga terlibat dalam
Universitas Sumatera Utara
penggarapan album maupun pementasan musikalisasi puisi Sapardi Joko Damono oleh kelompok Dua Ibu bersama gitaris Umar Muslim. Komposisi dan aransemen gitar karya Jubing sebagian ditampilkan di www.oocities.com/jubing. Salah satunya, “Capuccino Rumba”, dimuat di majalah gitar Amerika Serikat "Soundboard" edisi XXVII No 1 Tahun 2000. Oktober 2005 kamus gitar yang ia susun diterbitkan PT Gramedia dengan judul “Gitarpedia”.
4. Gitaris Kantoran, Jubing Kristianto, Daniel Tjahja, Ervan Suryobuono, Iwan Susanto, Rudi Hamid
Julukan yang diberikan wartawan Kompas dalam tulisan tentang sekelompok pegawai kantor yang hobi main gitar dan kemudian mengorganisir sendiri konser mereka pada tahun 2001.
Universitas Sumatera Utara
5. Sudirman Leman
Sudirman Leman mulai belajar musik pada usia 10 tahun di Yayasan Pendidikan Musik. Pendidikan lanjutannya dilakukan di Universitas Musik dan Seni Drama, Graz, Austria, di bawah bimbingan Prof Dr Leo Witoszynskyj. Witoszynskyj sendiri pernah jadi murid gitaris legendaris Andres Segovia dan Luise Walker. Pada bulan Juni tahun 2000 ia menyelesaikan program Mastef of Arts-nya. David Russel dari Inggris, sempat mengatakan tentang Sudirman, "Ada musik yang mengalir dari jemarinya, satu seni yang halus..."
6. Iwan Tanzil
Lahir tahun 1963. Ia mulai bermain gitar pada umur 14 tahun. Guru-gurunya di Indonesia antara lain Johny Legoh dan Rainer Wildt. Selesai SMA tahun 1983, ia
Universitas Sumatera Utara
melanjutkan studi musik di Hochschule der Kuenste Berlin ( Sekolah Tinggi Seni Berlin) di bawah bimbingan Mariangeles Sanchez Benimeli (murid Andres Segovia dan Emilio Pujol), kemudian pada Prof. Martin Rennert. Selama belajar dia aktif mengikuti masterclass dari gitaris-gitaris top dunia antara lain Javier Hinojosa (spesialis musik Renaisans dan Barok), Vladimir Mikulka, Angelo Gilardino, Roberto Aussell, dan Manuel Barrueco. Tahun 1988 ia menyelesaikan studinya di bidang Concertguitar dan melanjutkannya ke jenjang "Kuenstlerische Reifeprüfung" (Ujian kematangan seorang artis/Concert Diploma) yg diselesaikan tahun 1991. Keduanya lulus dengan pujian (with Honour). Tahun 1989, dalam usia 26 tahun ia menjuarai kompetisi gitar international Concorso Internazionale La Conquista della Chitarra Classica di Milano, Italia. Sejak itu ia aktif konser berkeliling Jerman, Polandia, Italia, Spanyol, Korea Selatan, Jerman, dan juga Indonesia. Di konsernya ia juga memainkan musik Renaisans dan Barok dengan menggunakan instrumen aslinya seperti vihuela dan gitar Barok/Renaisans. Ia telah membuat 5 CD, di antaranya album karya komplet Heitor Villa-lobos. Pujian untuk konser dan rekamannya mengalir dari dari majalah Gitarre und Laute (Jerman dan edisi Jepang), Classical Guitar London (Inggris), Les Cahier de la Musigue (Perancis), Guitar Aktuel (Jerman), Seicorde (Italia), juga dari berbagai kritikus musik di surat-surat kabar di banyak negara Eropa, Afrika, dan Asia. Sebagai gitaris konser, Tanzil bekerja sama dengan banyak komposer terkenal seperti: Nikita Koshkin (Rusia), Bredemeyer , Von Schweinitz, Stahmer (Jerman), Carlo Domeniconi (Italia), Jaime M. Zenamon (Brazil), Il Ryun Chung (Korea), dan masih banyak lagi. Dari kerja sama ini lahir berbagai karya untuk gitar yang khusus ditulis (dedication) untuknya. Tanzil juga menjabat sebagai
Universitas Sumatera Utara
editor di perusahaan penerbitan musik terkemuka Edition Margaux /Verlag Neue Musik (Berlin), AMA Verlag (Brühl), dan Musik Verlag Vogt und Fritz (Schweinfurt).
7. Anton Asmono Dento
Lahir 9 juni 1974. Belajar gitar pada Setyobudi R. Situmorang, Rahmat Raharjo dan andre Indrawan. Lulusan Teknik Arsitektur dan Magister Management Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Tahun1999 menyelesaikan Guitar Performing Grade VIII dan Music Theory Grade V Australian Music Examination Boards. Finalis Spanish Guitar awards 2001 di Jakarta. Personel Jawadwipa Guitar Ensemble. Pengajar gitar di Wisma Musik Amabile Yogyakarta.
Universitas Sumatera Utara
8. Seno Haji Nugroho
Belajar gitar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta sejak 1995 pada Royke Bobby Koapaha. Finalis Singapore International Guitar Festival.
9. Ridwan B. Tjiptaharja
Belajar gitar pada John Korompis, Lukman dan Khrisnan Mohammad di Bandung. Juara Yamaha Festival Gitar Indonesia tahun 1997.
Universitas Sumatera Utara
10. Royke Bobby Koapaha
Belajar gitar usia 12 tahun pada Ance Pareira, Iwan Irawan lalu J.A.W Bredie. Juara Yamaha Festival Gitar Indonesia Senior tahun 1979. Juara Yamaha South East Asian Guitar Festival di Hongkong tahun 1979 dan tahun 1980 di Singapura. Ia merupakan komposer, illustrator musik film, arranger segala jenis musik, pemain gitar dan pengajar. Memainkan segala jenis musik serta juga memainkan gitar elektrik.
11. Michael Gan
Belajar di Hoch Schulle fur Musik und Darstellende Kunst, Hamburg, dibawah bimbingan Prof. Eike Funk.
Universitas Sumatera Utara
12. Ronny Irianto Pendiri Opus 98
13. Iqbal Thahir Pengajar gitar, berguru kepada Jean Piere Jumaez, menulis artikel music, menulis buku Metode Gitar Klasik
14. Arthur Sahelangi Kepala instruktur gitar Yayasan Musik Indonesia
15. Kaye A. Solapung
Lahir pada 26 Februari 1946 di Nataweru, Sikka-Flores. Belajar musik sejak kecil,. Hobinya adalah membuat seruling bambu ketika itu. Belajar musik Latin Gregorian dan Musik Klasik (dengan instrumen biola) di SMP dan SMA Seminari Mataloko Flores. Belajar angklung pada Daeng Soetigna ketika kuliah di fakultas sastra dan Seni IKIP Bandung Jurusan Sastra Jepang. Studi doktoral filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Filsafat. Merupakan peneliti musik, pendidik dan pengajar gitar yang
Universitas Sumatera Utara
menyusun metode gitar sendiri yang disesuaikan dengan masyarakat Indonesia masa itu (buku-buku metode gitar Kaye Solapung terbit sekitar tahun 80-an). Terlihat dari pemakaian istilah Indonesia misalnya lidi logam (fret), papan pencet (fingerboard), pasak tala (machine head), petik sandar (picado), tepak (tambora) dll. Buku pertamanya "Gitar Tunggal" telah ditetapkan Depdikbud sebagai pegangan guru musik di SD dengan Inpres Nomor 5 Tahun 1981. Juga menulis puisi, artikel kebahasaan dan filsafat.
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 3 BEBERAPA TULISAN JUBING
A. Rekaman Yuk...oleh Jubing Kristianto pada 21 Juli 2012 pukul 9:41 ·
Ada beberapa alasan kenapa kita perlu merekam permainan kita.
1. Mengevaluasi. Rekaman tidak pernah bohong. Jika kita bermain buruk, maka hasil itu pula yang terdengar saat kita memutar ulang. Lain bila kita meminta komentar orang, bisa saja dia sungkan mengkritik. 2. Sarana dokumentasi. Bila belum sempat menulis notasi, kita rekam dulu saja karya kita agar tak lupa. 3. Sarana aktualisasi diri (narsis). Misalnya dengan mengunggah karya Anda di internet, sehingga manusia dari berbagai belahan dunia bisa mendengar dan bahkan memainkan karya Anda. Dengan konsekuensi ada yg mengkritik. 4. Bisa jadi hadiah berkesan untuk kerabat, sahabat, atau kekasih. Bisa dalam bentuk CD atau kiriman m3 via ponsel. 5. Bagi yg serius hidup dari gitar, bisa jadi rekaman mendatangkan uang. Baik dari penjualan hasil rekaman, atau secara tak langsung jadi sarana promosi agar lebih banyak orang tahu kemampuan kita dan mau mengundang kita tampil (dengan bayaran).
Kita bsa membuat rekaman komersial dengan mengajukan demo rekaman ke perusahaan rekaman. Tapi jika punya dana, bisa saja kita produksi sendiri untuk dijual.
Universitas Sumatera Utara
Rekaman termudah bisa dilakukan sendiri di rumah dengan peralatan sederhana: mikrofon dan PC atau laptop. Teknologi memang memudahkan. Namun kualitas hasil rekam tidak selalu bisa dikendalikan. Pasalnya, segala macam suara di sekitar bisa ikut terekam. Suara dengung AC misalnya.
Untuk meminimalisir gangguan, usahakan memakai ruangan yang betulbetul bebas dari segala macam suara. Perhatikan jarak mikrofon. Jika terlalu dekat, suara bisa pecah. Jika terlalu jauh, volume terlalu lemah. Untuk mendapatkan hasil terbaik, mesti bereksperimen dengan berbagai jarak dan posisi.
Kualitas lebih bagus bisa diperoleh jika menggunakan gitar akustik-elektrik. Suara dari gitar langsung masuk ke alat perekam lewat kabel. Hasilnya lebih bersih. Dengan software editing suara, bisa dilakukan penyelarasan (equalizing) karakter suara maupun menambahkan efek. Misalnya dengan menambahkan efek reverb, echo, atau stereo. Data hasil rekaman di komputer bisa langsung disalin/digandakan ke keping CD.
Untuk mendapatkan hasil rekaman terbagus, tentu tidak lain harus dilakukan di studio rekaman dan ditangani operator profesional. Tidak harus studio besar. Studio rumahan yang bagus kini juga menjamur. Interior studio dirancang kedap suara. Bahan pelapis dan juga sudut-sudut pantul suara dihitung khusus untuk memaksimalkan hasil rekaman.
Piranti utama di studio adalah mixer yang utamanya berfungsi untuk mengolah suara yang masuk lewat mikrofon maupun kabel (jika memakai akustik-elektrik). Pelaksana perekaman kerap disebut sebagai operator. Kualitas
Universitas Sumatera Utara
operator tentu saja beragam. Dari yang otodidak hingga sarjana di bidang sound engineer.
Tentu perlu biaya sewa. Besarnya tergantung kualitas studio dan jumlah pemakaian shift (per enam jam). Di Jakarta, rentang harganya antara 250 ribu s/d 800 ribu per shift. Sebagai gambaran, untuk rekaman solo gitar se-album bisa menghabiskan 4 s/d 6 shift. Album lain yang menampilkan dua penyanyi, dua gitaris akustik, serta beberapa musisi tambahan di sebagian lagu menghabiskan belasan shift. Sebuah grup band rock pemula menghabiskan 40-an shift untuk album perdananya.
Grup memerlukan banyak shift karena proses rekaman tidak sekaligus, namun satu per satu secara terpisah. Semakin banyak peralatan dan penyanyi yang dipakai, semakin lama pula proses rekaman.
Karena besarnya biaya, rekaman di studio hanya dilakukan untuk situasi khusus di mana kita hendak memproduksi album rekaman komersial alias untuk dijual.
Main gitar di studio dengan di panggung sangatlah berbeda. Di pentas, ketika ada kesalahan atau selip jari, tidak bisa mundur. Harus tetap main sampai selesai. The show must go on. Jadi, durasinya sudah pasti. Di studio, Anda bisa berhenti saat melakukan kesalahan dan mengulanginya untuk diperbaiki. Konsekuensinya, tidak bisa dipastikan kapan persisnya durasi menuntaskan seluruh lagu. Malah, kita juga bisa merekam lagu yang sama lebih dari satu kali agar kemudian bisa dipilih mana yang terbaik.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi ini terkadang malah bikin musisi/penyanyi jadi stres jika ada bagian tertentu yang harus diulang berkali-kali. Jika berkonser paling lama 1 - 3 jam kelar, rekaman di studio menguras energi fisik dan mental dalam rentang waktu lebih lama.
Memang,
teknologi
rekaman
digital
kini
memungkinkan
kita
"menyambung" permainan. Artinya, jika ada kesalahan di satu bagian lagu, kita tidak perlu mengulanginya dari awal. Cukup "disambung" di bagian yang salah tadi. Namun hal ini memerlukan keterampilan operator maupun musisi agar "penyambungan" tadi di-eksekusi di lokasi dan waktu yang tepat. Sang musisi juga mesti menyelaraskan mood dan feeling agar tetap konsisten dengan bagian yang hendak "disambung".
Sumber ketegangan lain dalam studio adalah keterbatasan gerak kita. Bila dalam konser kita berada di tempat terbuka, ditonton banyak orang, dan bebas bergerak, maka keadaan di studio adalah kebalikannya. Kita berada di ruangan sempit, hanya memandang wajah operator (entah sampai berapa jam atau berapa shift lagi), dan mengulang lagu yang itu-itu saja.
Gerakan kita pun mesti dibatasi. Terutama jika rekaman dengan mikrofon. Sekecil apa pun gerakan, bisa menimbulkan suara-suara yang mengganggu (gesekan kulit lengan di gitar, kaki yang bergeser/bergoyang tanpa sadar, menggeser posisi pantat yang pegal, helaan nafas yang kelewat kuat). Benar-benar harus konsentrasi tanpa henti.
Universitas Sumatera Utara
Agar sewa studio tidak terlalu lama, sebaiknya betul-betul bersiap. Jika harus bermain mengiringi penyanyi, mintalah draft lagu atau sampel aransemen kasar yang sudah baku sebagai bahan berlatih. Kalau memungkinkan, berlatihlah dulu dengan sang penyanyi/grup.
Bila tampil solo, pastikan semua lagu sudah berhasil Anda mainkan dengan mulus dan lancar saat latihan. Bila belum lancar, jangan buru-buru rekaman. Hindari menggunakan studio rekaman sebagai studio latihan. Dengan demikian kita terhindar dari pengeluaran biaya yang percuma. Selamat rekaman.
(Tulisan ini pernah dimuat di majalah Staccato tahun 2007)
B. GITAR TUNGGAL : ANTARA KLASIK DAN FINGERSTYLE oleh Jubing Kristianto pada 14 September 2012 pukul 0:01 · Sejak instrumen musik petik (berdawai) mulai dikenal manusia, selalu ada dua cara utama memainkannya. Yakni, sebagai instrumen pendamping atau sebagai instrumen tunggal/solo.
Sebagai pendamping, ia melengkapi salah satu fungsi yang diperlukan dalam sebuah sajian musik Bisa sebagai pengiring (rhythm section) atau sebagai melodi/nyanyian. Sebagai instrumen tunggal, ia dimainkan tanpa ada musisi lain ataupun penyanyi. Jadi, dengan satu alat musik saja, sang musisi merangkap fungsi pengiring dan melodi sekaligus.
Ketika instrumen gitar modern lahir, teknik bermain untuk sajian tunggal sudah semakin kompleks. Bahkan desain gitar modern oleh Antonio Torres (Spanyol) jelas mementingkan kebutuhan para gitaris tunggal. Tiga senar bas dan tiga senar
Universitas Sumatera Utara
treble adalah kombinasi ideal untuk memainkan melodi dan iringan dengan harmoni paling paling efisien.
BEBERAPA PERBEDAAN
Gitar mulai dapat julukan "gitar klasik" gara-gara penemuan gitar elektrik. Sebelum itu tidak dikenal istilah "classical guitar". Istilah ini pun akhirnya lebih spesifik ditujukan pada pemain tunggal. Mereka adalah gitaris yang bisa menggelar pertunjukan/konser utuh hanya dengan memainkan satu gitar saja, tanpa musik atau musisi tambahan.
Beberapa dekade belakangan, lahir di Amerika istilah "finger-picking style". yang kemudian dikenal sebagai "fingerstyle". Istilah ini mengacu pada teknik memetik senar gitar langsung dengan jemari, bukan dengan flatpick atau plectrum. Bermula ketika sebagian gitaris musik rakyat Amerika (country) mulai memetik senar satu persatu dengan jari untuk membentuk arpegio sebagai pengiring. Instrumennya pun lebih menggunakan gitar dengan dawai dari logam. Bukan nilon seperti gitar klasik.
Dengan makin berkembangnya teknik dan perbendaharaan lagu, para gitaris fingerstyle mulai ada yang bermain tunggal. Sehingga mereka bisa membuat penampilan solo seperti halnya gitaris klasik. Bedanya, selain jenis senar, lagulagu sajian mereka bersumber pada lagu rakyat atau lagu-lagu populer. Sedangkan gitaris klasik umumnya mengandalkan sajian musik yang berakar dari musik literatur Eropa.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan lain yang masih mencolok adalah posisi saat memainkan gitar. Kebanyakan gitaris klasik menemukan kenyamanan dengan posisi tradisional -gitar ditumpukan di paha kiri yang dinaikkan ke atas footstool agar kepala gitar terangkat. Ini terkait dengan kestabilan gitar (tidak mudah goyang karena bertumpu pada tiga titik tubuh), kenyamanan gerak lengan dan jemari kiri, serta kualitas tone yang dihasilkan jemari kanan.
Adapun gitaris fingerstyle umumnya lebih senang menggunakan strap atau tali gitar. Ini juga terkait dengan tradisi, posisi ini digunakan gitaris-gitaris pendahulu mereka. Main bisa sambil duduk, namun banyak yang memilih berdiri saat di panggung. Bisa karena alasan estetika visual pertunjukan, bisa juga karena membuat mereka lebih bebas bergerak atau bergoyang untuk melepaskan ekspresi.
Karena umumnya menggunakan senar logam, tidak sedikit gitaris fingerstyle menggunakan kuku imitasi untuk memetik. Karena jika memakai kuku asli, akan terkikis oleh senar. Ada juga melapisi kukunya dengan bahan pengeras kuku. Gitaris klasik tak perlu semua itu karena senar nilon lebih bersahabat bagi kuku, tidak sekeras senar logam.
BATAS MAKIN KABUR
Saat ini, seiring main mudahnya kita mendapat dan bertukar informasi -terutama lewat internet- batas atara gitar klasik dan fingerstyle juga menipis. Gitaris fingerstyle terus menyerap teknik-teknik gitaris klasik. Misalnya variasi arpegio serta detail harmoni yang lebih kaya. Sebaliknya gitaris klasik juga mulai
Universitas Sumatera Utara
menyerap teknik-teknik yang sebelumnya lazim digunakan gitaris fingerstyle, semisal beragam efek perkusi pada senar maupun tubuh gitar hingga pola-pola ritmis yang lebih modern dan kompleks.
Dalam hal pilihan sajian musik pun demikian. Gitaris klasik masa kini bisa memasukkan ke dalam konsernya sajian lagu-lagu rakyat maupun genre-genre musik populer, dan sebaliknya.
Kondisi seperti sekarang ini terkadang memicu perdebatan: apakah fingerstyle itu cabang dari klasik, ataukah sebaliknya klasik itu bagian dari fingerstyle? Masing-masing kubu punya argumen sendiri.
Meski demikian, bagi saya perdebatan ini kelak tidak penting lagi. Kenapa? Karena batasan fingerstyle dan klasik akan samar. Sejumlah nama gitaris bisa jadi contoh betapa pada akhirnya kita tidak memerlukan lagi batasan-batasan itu.
Dari gitar klasik, misalnya ada nama Roland Dyens, Andrew York. dan Muriel Anderson. Kedua sama-sama tumbuh dari tradisi gitar klasik sehingga fasih memainkan Bach, Sor, Tarrega, hingga Villa-Lobos dan Brouwer. Namun mereka juga aktif membuat komposisi maupun aransemen gitar tunggal yang multi-genre. Dyens banyak dipengaruhi jazz, sementara York dan Anderson kerap memanfaatkan idiom country dan blues.
Dari golongan fingerstyle, bisa disebut Peter Finger dan Michael Chapdelaine. Karya komposisi maupun aransemen mereka memiliki kualitas estetika setara dengan komposer-komposer klasik. Untuk menambahkan, ada nama Martin Taylor dan Tuck Andess. Keduanya meski gitaris fingerstyle namun
Universitas Sumatera Utara
menggunakan gitar elektrik sebagai instrumennya. Ini memberi mereka keunikan tersendiri. Meski umumnya memainkan jazz, mereka juga piawai memainkan jenis-jenis musik lainnya.
Demikianlah, pada akhirnya yang terpenting bukan soal istilah atau nama, tapi kualitas seni dan/atau nilai estetika musik yang dihasilkan sang gitaris.
Universitas Sumatera Utara