DAFTAR ISI Materi inti 1. PEDOMAN PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA DI PUSKESMAS.................................................................................................................. 2 Materi inti 2. JEJARING KERJA SAMA DALAM PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA (PKPR).......................................................................................................... 23 Materi Inti 3 TUMBUH KEMBANG REMAJA ........... Error! Bookmark not defined. Materi Inti 4. KESEHATAN REPRODUKSI REMAJAError! Bookmark not defined. Materi Inti 5 PENGENALAN KONSEP GENDER ... Error! Bookmark not defined. Materi 6. INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DAN INFEKSI SALURAN REPRODUKSI (ISR).................................................... Error! Bookmark not defined.
Materi inti 1. PEDOMAN PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA DI PUSKESMAS Deskripsi Singkat Beberapa model pelayanan kesehatan remaja yang memenuhi kebutuhan dan “selera” remaja telah diperkenalkan dengan sebutan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja atau disingkat PKPR. Pelayanan meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Sesuai permasalahannya, aspek yang perlu ditangani lebih intensif adalah aspek promotif dan preventif, tetap dengan cara “peduli remaja “. Berbagai aspek dan komponen penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangannya dibahas dalam modul ini. Tujuan pembelajaran Tujuan pembelajaran umum Setelah mempelajari modul ini, peserta mampu menerapkan pedoman Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja di puskesmas Tujuan pembelajaran Khusus Setelah mempelajari modul ini, peserta mampu: 1) Menjelaskan Gambaran Umum, Permasalahan serta Situasi Pelayanan Kesehatan Remaja di Indonesia. 2) Mempraktikkan Pedoman PKPR di puskesmas a. Menjelaskan pengertian PKPR b. Menjelaskan tujuan PKPR di puskesmas c. Menjelaskan ciri khas atau karakteristik PKPR. d. Menjelaskan strategi pelaksanaan dan pengembangan PKPR di puskesmas. e. Mempraktikkan langkah-langkah pembentukan dan pelaksanaan PKPR di puskesmas. f. Mempraktikkan alur dan langkah Pelaksanaan PKPR pada Klien. g. Menjelaskan jenis kegiatan dalam PKPR. h. Melaksanakan monitoring dan evaluasi PKPR i. Membuat pencatatan dan pelaporan POKOK BAHASAN 1) Gambaran umum, permasalahan serta situasi pelayanan kesehatan remaja di Indonesia 2) Pedoman PKPR di puskesmas dengan sub pokok bahasan: a. Pengertian PKPR b. Tujuan PKPR di puskesmas c. Ciri khas atau karakteristik PKPR. d. Strategi pelaksanaan dan pengembangan PKPR di puskesmas e. Langkah-langkah pembentukan dan pelaksanaan PKPR di Puskesmas. f. Alur dan langkah pelaksanaan PKPR pada klien. g. Jenis kegiatan dalam PKPR h. monitoring dan evaluasi PKPR i. Pencatatan dan pelaporan PROSES PEMBELAJARAN 1) Penjajagan terhadap pengetahuan peserta mengenai masalah kesehatan remaja dan pemahaman peserta tentang PKPR secara utuh menggunakan pendekatan VIPP (Visualization in Participatory Program). 2) Berdasarkan hasil penjajagan dijelaskan secara sistematis apa yang tercakup dalam pokok bahasan, dengan menggunakan materi presentasi.
3) Evaluasi pemahaman peserta tentang materi yang disampaikan. 4) Rangkum hal-hal yang pokok dari materi yang telah disajikan.
URAIAN MATERI BAB I. GAMBARAN DAN SITUASI A. Gambaran umum dan permasalahan. Kelompok remaja, yaitu penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun, di Indonesia memiliki proporsi kurang lebih 1/5 dari jumlah seluruh penduduk. Ini sesuai dengan proporsi remaja di dunia dimana jumlah remaja diperkirakan 1,2 miliar atau sekitar 1/5 dari jumlah penduduk dunia (WHO, 2003). Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan pesat baik fisik, psikologis maupun intelektual. Pola karakteristik pesatnya tumbuh kembang ini menyebabkan remaja dimanapun ia menetap, mempunyai sifat khas yang sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang. Sifat tersebut dihadapkan pada ketersediaan sarana di sekitarnya yang dapat memenuhi keingintahuan tersebut. Keadaan ini sering kali mendatangkan konflik batin dalam diriya. Apabila keputusan yang diambil dalam menghadapi konflik tidak tepat, mereka akan jatuh ke dalam perilaku berisiko dan mungkin harus menanggung akibat lanjutnya dalam bentuk berbagai masalah kesehatan fisik dan psikososial, yang bahkan mungkin harus ditanggung seumur hidupnya. Pada awal dekade yang lalu penyalahgunaan NAPZA (Narkotik, Psikotropik dan Zat adiktif lainnya) pada remaja belum semarak seperti saat ini dan infeksi HIV/AIDS masih amat langka. Perilaku seksual berisiko di kalangan remaja belum terungkap dalam angka yang menghawatirkan. Kesehatan remaja pada masa itu belum menjadi prioritas. Keadaan tersebut berangsur berubah, terjadi kecenderungan peningkatan perilaku tidak sehat pada remaja. Berdasarkan survei yang dilakukan Depkes di Jawa Barat pada tahun 1996 terungkap bahwa sekitar 7,5% remaja perempuan di kota dan 1,3 % di desa telah merokok sementara di Bali berturut-turut 1,5% dan 0,6% (Kristanti &Depkes,1996). Survei lain pada 8084 remaja laki-laki dan perempuan 15-24 tahun di 20 kabupaten dan empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan bahwa 8% remaja perempuan dan 81,9% remaja lakilaki telah merokok, 1% remaja perempuan dan 2,7% remaja laki-laki pernah minum alkohol, serta sebesar 0,6% remaja perempuan dan 10,7 % remaja laki-laki pernah menggunakan obat terlarang (LDUI & BKKBN, 1999). Data tentang perilaku hubungan seks pranikah pada pelajar terutama di kota besar beberapa tahun terakhir ini cukup signifikan. Survei kecil yang dilakukan Yayasan Pelita Ilmu di Plaza dan Mall Jakarta menemukan bahwa 42% dari 117 remaja 13-20 tahun pernah berhubungan seks dan lebih dari separuh diantaranya masih aktif berhubungan seks dalam 1-3 bulan terakhir (Conrad,2000). Sebuah survei terhadap pelajar SMA di Manado mendapatkan persentase 20% pada remaja laki-laki melakukan seks pranikah dan 6% pada pada remaja perempuan (Utomo dkk, 1998). Tingginya infeksi HIV/AIDS di kalangan remaja dapat dilihat pada angka kejadian HIV/AIDS sampai dengan bulan September 2004 dilaporkan sebanyak 5701 kasus dimana persentase tertinggi kasus AIDS 51, 7 % diderita oleh sekelompok umur 20-29 tahun (laporan triwulan Subdit. AIDS dan PMS Depkes, Oktober 2004). Selain itu beberapa rumah sakit di Jakarta, misalnya RSKO mencatat tentang tingginya komplikasi berupa HIV AIDS selain Hepatitis B dan
C akibat penggunaan jarum suntik yang bergantian/tidak steril pada pencandu NAPZA di kalangan remaja. Sementara itu dari hasil beberapa survei dapat disimpulkan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi masih rendah. Salah satu contoh: 46,2% remaja masih menganggap bahwa perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks. Kesalahan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki (49,7%) dibandingkan dengan remaja putri (42,3%) (LDUI & BKKBN,1999) Dari survei yang sama juga terungkap bahwa hanya 19,2% remaja yang menyadari peningkatan risiko untuk tertular Infeksi Menular Seksual (IMS) bila memiliki pasangan lebih dari satu. 51% mengira bahwa mereka akan berisiko tertular HIV hanya bila berhubungan seks dengan pekerja seks komersial. Tingginya perilaku berisiko pada remaja yang ditunjukkan dalam data-data diatas merupakan resultante dari sifat khas remaja, pengetahuan remaja tentang kesehatan, nilai moral yang dianut serta ada tidaknya kondisi lingkungan yang kondusif. Faktor lingkungan yang menyebabkan perilaku berisiko pada remaja adalah kondisi lingkungan yang permisif terhadap perilaku berisiko (ketersediaan fasilitas/sarana yang mendukung perilaku berisiko, ketiadaan penegakan hukum terkait kesehatan) atau bahkan mendorong perilaku berisiko (melalui informasi yang salah, iklan). Secara rinci, terjadinya faktor lingkungan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Informasi yang merugikan mudah diakses. Hal ini terjadi seiring dengan pesatnya arus informasi melalui berbagai media cetak dan elektronik. Meskipun banyak informasi bersifat positif, namun sering kali pula informasi yang diberikan tidak dapat dipertanggungjawabkan misalnya karena tidak tepat, kurang lengkap, tidak benar dan bahkan menjerumuskan. 2. Substansi merugikan mudah didapat. Contoh substansi tersebut adalah NAPZA. Lemahnya penegakan hukum terhadap pengedar NAPZA, pengedar buku dan audio visual porno, mengakibatkan mudahnya remaja terpapar bahan-bahan yang merugikan tersebut. 3. Turunnya nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Globalisasi, menyebabkan budaya barat yang cenderung bebas, misalnya kebebasan dalam pergaulan laki-perempuan ditiru oleh sebagian remaja, sementara perlindungan terhadap akibat dari pergaulan bebas tersebut, tidak mudah didapatkan. Hal ini diperburuk dengan lemahnya pengawasan orang tua. 4. Kemiskinan. Kemiskinan dalam keluarga menyebabkan remaja tidak dapat melanjutkan sekolah dan terpaksa harus bekerja dalam suasana penuh persaingan hingga mudah terpapar berbagai tindak kekerasan, dan terjun ke dalam perilaku berisiko. Perilaku berisiko yang mereka lakukan dapat mengakibatkan terjadinya kehamilan tak diinginkan, terinfeksinya penyakit menular seksual, terpaparnya tindak kekerasan, serta timbulnya komplikasi akibat penyalahgunaan NAPZA. Semua keadaan yang disebutkan di atas menunjukkan besarnya masalah kesehatan pada remaja saat ini, dan mengisyaratkan perlunya penanganan dengan segera secara lebih bersungguh-sungguh. B. Situasi pelayanan kesehatan remaja di Indonesia
Program Kesehatan Remaja sudah mulai diperkenalkan di puskesmas sejak awal dekade yang lalu. Selama lebih sepuluh tahun, program ini lebih banyak bergerak dalam pemberian informasi, berupa ceramah, tanya jawab dengan remaja tentang masalah kesehatan melalui wadah Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), Karang Taruna, atau organisasi pemuda lainnya dan kader remaja lainnya yang dibentuk oleh Puskesmas. Staf puskesmas berperan sebagai fasilitator dan narasumber. Pemberian pelayanan khusus kepada remaja melalui perlakuan khusus yang disesuaikan dengan keinginan, selera dan kebutuhan remaja belum dilaksanakan. Dengan demikian, remaja, bila menjadi salah satu pengunjung puskesmas masih diperlakukan selayaknya pasien lain sesuai dengan keluhan atau penyakitnya. Melihat kebutuhan remaja dan memperhitungkan tugas puskesmas sebagai barisan terdepan pemberi layanan kesehatan kepada masyarakat, seharusnya Puskesmas memberikan pelayanan yang layak kepada remaja sebagai salah satu kelompok masyarakat yang dilayaninya. Pelayanan kesehatan remaja di puskesmas amat strategis dan dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien mengingat ketersediaan tenaga kesehatan dan kesanggupan jangkauan Puskesmas ke segenap penjuru Indonesia seperti halnya keberadaan remaja sendiri, dari daerah perkotaan hingga terpencil perdesaan. BAB II PEDOMAN PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA (PKPR) A. Pengertian PKPR Pelayanan kesehatan yang ditujukan dan dapat dijangkau oleh remaja, menyenangkan, menerima remaja dengan tangan terbuka, menghargai remaja, menjaga kerahasiaan, peka akan kebutuhan terkait dengan kesehatannya, serta efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan tersebut.Singkatnya, PKPR adalah pelayanan kesehatan kepada remaja yang mengakses semua golongan remaja, dapat diterima, sesuai, komprehensif, efektif dan efisien. B. Tujuan PKPR di Puskesmas Tujuan Umum: Optimalisasi pelayanan kesehatan remaja di Puskesmas. Tujuan Khusus: 1. Meningkatkan penyediaan pelayanan kesehatan remaja yang berkualitas. 2. Meningkatkan pemanfaatan Puskesmas oleh remaja untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. 3. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan remaja dalam pencegahan masalah kesehatan khusus pada remaja. 4. Meningkatkan keterlibatan remaja dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pelayanan kesehatan remaja. C. Ciri khas atau karakteristik PKPR Berikut ini karakteristik PKPR merujuk WHO (2003) yang menyebutkan agar Adolescent Friendly Health Services (AFHS) dapat terakses kepada semua golongan remaja, layak, dapat diterima, komprehensif, efektif dan efisien, memerlukan:
1. Kebijakan yang peduli remaja. Kebijakan peduli remaja ini bertujuan untuk: Memenuhi hak remaja sesuai kesepakatan internasional. Mengakomodasi segmen populasi remaja yang beragam, termasuk kelompok yang rapuh dan rawan. Tidak membatasi pelayanan karena kecacatan, etnik, rentang usia dan status. Memberikan perhatian pada keadilan dan kesetaraan gender dalam menyediakan pelayanan. Menjamin privasi dan kerahasiaan. Mempromosikan kemandirian remaja, tidak mensyaratkan persetujuan orang tua, dan memberikan kebebasan berkunjung. Menjamin biaya yang terjangkau/gratis. Perlu kebijakan pemerintah daerah misalnya pembebasan biaya untuk kunjungan remaja. 2. Prosedur pelayanan yang peduli remaja. Pendaftaran dan pengambilan kartu yang mudah dan dijamin kerahasiaannya. Waktu tunggu yang pendek. Dapat berkunjung sewaktu-waktu dengan atau tanpa perjanjian terlebih dahulu. Bila petugas PKPR masih merangkap tugas lain, berkunjung dengan perjanjian akan lebih baik, mencegah kekecewaan remaja yang datang tanpa bisa bertemu dengan petugas yang dikehendaki. 3. Petugas khusus yang peduli remaja. Mempunyai perhatian dan peduli, baik budi dan penuh pengertian, bersahabat, memiliki kompetensi teknis dalam memberikan pelayanan khusus kepada remaja, mempunyai keterampilan komunikasai interpersonal dan konseling. Termotivasi bekerja-sama dengan remaja. Tidak menghakimi, merendahkan, tidak bersikap dan berkomentar tidak menyenangkan. Dapat dipercaya, dapat menjaga kerahasiaan. Mampu dan mau mengorbankan waktu sesuai kebutuhan. Dapat ditemui pada kunjungan ulang. Menunjukkan sikap menghargai kepada semua remaja dan tidak membedakannya. Memberikan informasi dan dukungan cukup hingga remaja dapat memutuskan pilihan tepat untuk mengatasi masalahnya atau memenuhi kebutuhannya. 4. Petugas pendukung yang peduli remaja. Bagi petugas lain yang berhubungan pula dengan remaja, misalnya petugas loket, laboratorium dan unit pelayanan lain juga perlu menunjukkan sikap menghargai kepada semua remaja dan tidak membedakannya. Mempunyai kompetensi sesuai bidangnya masing-masing. Mempunyai motivasi untuk menolong dan memberikan dukungan pada remaja. 5. Fasilitas kesehatan yang peduli remaja. Lingkungan yang aman. Lingkungan aman disini berarti bebas dari ancaman dan tekanan dari orang lain terhadap kunjungannya sehingga menimbulkan rasa tenang dan membuat remaja tidak segan berkunjung kembali. Lokasi pelayanan yang nyaman dan mudah dicapai. Lokasi ruang konseling tersendiri, mudah dicapai tanpa perlu melalui ruang tunggu umum atau ruang-ruang lain sehingga
menghilangkan kekhawatiran akan bertemu seseorang yang mungkin beranggapan buruk tentang kunjungannya (stigma). Fasilitas yang baik, menjamin privasi dan kerahasiaan. Suasana semarak berselera muda dan bukan muram, dari depan gedung sampai ke lingkungan ruang pelayanan, merupakan daya tarik tersendiri bagi remaja agar berkunjung. Hal lain adalah adanya kebebasan pribadi (privasi) di ruang pemeriksaan, ruang konsultasi dan ruang tunggu, di pintu masuk dan keluar, serta jaminan kerahasiaan. Pintu dalam keadaan tertutup pada waktu pelayanan dan tidak ada orang lain bebas keluar masuk ruangan. Kerahasiaan dijamin pula melalui penyimpanan kartu status dan catatan konseling di lemari yang terkunci, ruangan yang kedap suara, pintu masuk keluar tersendiri, ruang tunggu tersendiri, petugas tidak berteriak memanggil namanya atau menanyakan identitas dengan suara keras. Jam kerja yang nyaman. Umumnya waktu pelayanan yang sama dengan jam sekolah menjadi salah satu faktor penghambat terhadap akses pelayanan. Jam pelayanan yang menyesuaikan waktu luang remaja menjadikan konseling dapat dilaksanakan dengan santai, tidak terburu-buru, dan konsentrasi terhadap pemecahan masalah dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tidak adanya stigma. Pemberian informasi kepada semua pihak akan meniadakan stigma misalnya tentang kedatangan remaja ke puskesmas yang semula dianggap pasti mempunyai masalah seksual atau penyalahgunaan NAPZA. Tersedia materi KIE. Materi KIE perlu disediakan baik di ruang tunggu maupun di ruang konseling. Perlu disediakan leaflet yang boleh dibawa pulang tentang berbagai tips atau informasi kesehatan remaja. Hal ini selain berguna untuk memberikan pengetahuan melalui bahan bacaan juga merupakan promosi tentang adanya PKPR kepada sebayanya yang ikut membaca brosur tersebut.
6. Partisipasi/keterlibatan remaja. Remaja mendapat informasi yang jelas tentang adanya pelayanan, cara mendapatkan pelayanan, kemudian memanfaatkan dan mendukung pelaksanaannya serta menyebar luaskan keberadaannya. Remaja perlu dilibatkan secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pelayanan. Ide dan tindak nyata mereka akan lebih mengena dalam perencanaan dan pelaksanaan pelayanan karena mereka mengerti kebutuhan mereka, mengerti “bahasa” mereka, serta mengerti bagaimana memotivasi sebaya mereka. Sebagai contoh ide tentang interior design dari ruang konseling yang sesuai dengan selera remaja, ide tentang cara penyampaian kegiatan pelayanan luar gedung hingga diminati remaja, atau cara rujukan praktis yang dikehendaki. 7. Keterlibatan masyarakat. Perlu dilakukan dialog dengan masyarakat tentang PKPR ini hingga masyarakat: Mengetahui tentang keberadaan pelayanan tersebut dan menghargai nilainya. Mendukung kegiatannya dan membantu meningkatkan mutu pelayanannya. 8. Berbasis masyarakat, menjangkau ke luar gedung, serta mengupayakan pelayanan sebaya. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan. Pelayanan sebaya adalah KIE untuk konseling remaja dan rujukannya oleh teman sebayanya yang terlatih menjadi pendidik sebaya (peer educator). atau konselor sebaya (peer counselor) 9. Pelayanan harus sesuai dan komprehensif.
Meliputi kebutuhan tumbuh kembang dan kesehatan fisik, psikologis dan sosial. Menyediakan paket komprehensif dan rujukan ke pelayanan terkait remaja lainnya. Harus dijamin kelancaran prosedur rujukan timbal balik. Kurang terinformasikannya keberadaan PKPR di puskesmas pada institusi yang ada di masyarakat mengakibatkan rujukan tidak efektif. Sebaliknya kemitraan yang kuat dengan pemberi layanan kesehatan dan sosial lainnya akan melancarkan proses rujukan timbal balik. Menyederhanakan proses pelayanan, meniadakan prosedur yang tidak penting.
10. Pelayanan yang efektif Dipandu oleh pedoman dan prosedur tetap penatalaksanaan yang sudah teruji. Memiliki sarana prasarana cukup untuk melaksanakan pelayanan esensial. Mempunyai sistem jaminan mutu bagi pelayanannya. 11. Pelayanan yang efisien Mempunyai SIM (Sistem Informasi Manajemen) termasuk informasi tentang biaya dan mempunyai sistem agar informasi tersebut dapat dimanfaatkan. D. Strategi pelaksanaan dan pengembangan PKPR di Puskesmas. Mempertimbangkan berbagai keterbatasan Puskesmas dalam menghadapi hambatan untuk dapat memenuhi elemen karakteristik tersebut diatas, maka perlu digunakan strategi demi keberhasilan dalam pengembangan PKPR di puskesmas, sebagai berikut: 1. Penggalangan kemitraan, dengan membangun kerjasama atau jejaring kerja. Meskipun keempat aspek upaya kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) menjadi tugas keseharian Puskesmas, namun melihat kompleks dan luasnya masalah kesehatan remaja, kemitraan merupakan suatu hal yang esensial khususnya untuk upaya promotif dan preventif. Penggalangan kemitraan didahului dengan advokasi kebijakan publik, sehingga adanya PKPR di puskesmas dapat pula dipromosikan oleh pihak lain, dan selanjutnya dikenal dan didukung oleh masyarakat. Selain itu, kegiatan di luar gedung, yang menjadi bagian dari kegiatan PKPR, amat memerlukan kemitraan dengan pihak di luar kesehatan. Kegiatan berupa KIE, serta Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat/PKHS (life Skills Education/LSE) seperti ceramah, diskusi, role play, seperti halnya konseling, dapat dilakukan oleh petugas terlatih di luar sektor kesehatan dan LSM. 2. Pemenuhan sarana dan prasarana dilaksanakan secara bertahap. Strategi penahapan ini penting, memperhatikan urgensi dilaksanakannya PKPR dan keterbatasan kemampuan pemerintah, hingga PKPR dapat segera dilaksanakan, sambil dilakukan penyempurnaan dalam memenuhi kelengkapan sarana dan prasarana. 3. Penyertaan remaja secara aktif. Dalam semua aspek pelayanan mulai perencanaan, pelaksanaan pelayanan dan evaluasi, remaja secara aktif diikut-sertakan. Dalam menyertakan remaja dianjurkan dipilih kelompok remaja laki-laki dan perempuan yang dapat “bersuara“ mewakili Puskesmas untuk informasi penyediaan pelayanan kepada sebayanya dan sebaliknya mewakili sebayanya meneruskan keinginan, kebutuhan, dan harapannya berkaitan dengan penyediaan pelayanan. Selain itu dengan keterlibatan remaja ini, informasi pelayanan dapat cepat meluas, menjangkau baik remaja laki-laki maupun perempuan, serta memperkenalkan lebih awal konsep keadilan dan kesetaraan gender. 4. Penentuan biaya pelayanan serendah mungkin. Pada awal pelaksanaan diupayakan biaya pelayanan serendah mungkin, bahkan kalau mungkin gratis. 5. Dilaksanakannya kegiatan minimal.
Pemberian KIE, pelaksanaan konseling serta pelayanan klinis medis termasuk laboratorium dan rujukan, harus lengkap dilaksanaan secara bersamaan dari sejak awal dilaksanakannya PKPR. Tanpa konseling, pelayanan tidak akan disebut PKPR, melainkan pelayanan kesehatan remaja seperti sebelum dikenalnya PKPR. 6. Ketepatan penentuan prioritas sasaran. Keberhasilan pelayanan ditentukan antara lain oleh ketepatan penetapan sasaran, sesuai dengan hasil kajian sederhana sebelum pelayanan dimulai. Sasaran ini misalnya remaja sekolah, anak jalanan, karang taruna, buruh pabrik, pekerja seks komersial remaja dan sebagainya. 7. Ketepatan pengembangan jenis kegiatan. Perluasan kegiatan minimal PKPR ditentukan sesuai dengan masalah dan kebutuhan setempat serta sesuai dengan kemampuan Puskesmas, misalnya pelaksanaan PKHS dengan pilihan kegiatan mengadakan FGD (Focus Group Discussion/diskusi kelompok terarah diantara remaja tentang seks pra-nikah didukung dengan penyebarluasan slogan dan keterampilan “bagaimana bilang tidak” untuk seks- pranikah. 8. Pelembagaan monitoring dan evaluasi internal. Monitoring dan evaluasi secara periodik yang dilakukan oleh tim Jaminan Mutu Puskesmas merupakan bagian dari upaya peningkatan akses dan kualitas PKPR. E. Langkah langkah pembentukan dan pelaksanaan PKPR di Puskesmas 1. Identifikasi masalah melalui kajian sederhana: a. Gambaran remaja di wilayah kerja : Jumlah remaja, pendidikan, pekerjaan. Perilaku berisiko: Seks pranikah, rokok, tawuran dan kekerasan lainnya. Masalah kesehatan: kehamilan remaja, gizi, HIV/AIDS, penyalah-gunaan NAPZA. b. Identifikasi sudut pandang remaja tentang sikap dan tata-nilai berhubungan dengan perilaku berisiko, masalah kesehatan yang ingin diketahui, dan pelayanan apa yang dikehendaki. c. Jenis upaya kesehatan remaja yang ada. d. Identifikasi kebutuhan sarana dan prasarana termasuk buku-buku pedoman tentang kesehatan remaja. Metoda kajian adalah dengan mengambil data sekunder dari berbagai sumber, pemerintah dan swasta, dan wawancara dengan sasaran langsung (remaja) atau tidak langsung (orang tua, guru, pengurus asrama remaja dan sebagainya). Hasil kajian ini diperlukan sebagai bahan perencanaan lanjutan untuk menentukan: a. Materi KIE yang digunakan untuk remaja sesuai dengan tingkat pendidikan dan permasalahan yang dihadapi. b. Penekanan materi dalam pelatihan petugas sesuai besaran masalah remaja di wilayah kerja.jenis pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan remaja di wilayahnya c. Kelompok sasaran prioritas yang akan diintervensi. d. Terobosan dan inovasi kegiatan. e. Strategi advokasi sebelum dilaksanakannya PKPR. f. Strategi menjalin kemitraan. g. Data dasar untuk menilai dampak keberhasilan PKPR di kemudian hari. 2. Advokasi Kebijakan Publik.
Kegiatan ini merupakan upaya untuk mempengaruhi kebijakan publik melaui berbagai bentuk komunikasi persuasif. Yang dimaksud kebijakan publik adalah pernyataan, kebijakan dari penguasa (praktek yang diberlakukan akibat dorongan/kesan yang ditimbulkan penguasa) dengan tujuan mengarahkan dan mengendalikan institusi, masyarakat, atau individu. Dengan advokasi ini diharapkan akan menghasilkan tim atau jejaring kerjasama di wilayah kerja untuk mendapatkan dukungan semua pihak hingga dapat mempercepat keberhasilan pembentukan dan pelaksanaan PKPR. Contoh praktis bentuk dukungan dimaksud misalnya: a. Dukungan dari pemerintah daerah setempat dan pengadaan dana untuk pelaksanaan PKPR (antara lain pengadakan poster, pengadaan ruang konseling, biaya rujukan, kegiatan di rumah singgah dan lain-lain) b. Penggalian potensi masyarakat dalam pendanaan misalnya untuk: Pengadaan ruangan konseling Biaya rujukan Pembebasan retribusi atau pelayanan gratis untuk remaja di Puskesmas. c. Pembentukan jaringan khusus melalui peran politis untuk memperkuat sistem rujukan, berupa: rujukan sosial, antara lain penyaluran pelatihan keterampilan remaja pasca rehabilitasi NAPZA, atau mempersiapkan remaja pranikah. rujukan medis, untuk kelanjutan bantuan medis bagi remaja yang memerlukannya. rujukan pranata hukum, diperlukan untuk kasus tindak kekerasan. 3. Persiapan pelaksanaan PKPR di Puskesmas. Kegiatan pada persiapan ini bertujuan untuk membentuk Puskesmas Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), berdasarkan urut berikut: a. Sosialisasi internal. Bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan semua staf Puskesmas untuk menyelenggarakan PKPR di Puskesmasnya. b. Penunjukan petugas peduli remaja. Syarat utama petugas PKPR harus mempunyai minat untuk membantu remaja, yang tentu diikuti dengan minat untuk mempelajari teknik berkomunikasi, teknik konseling dan materi penunjang lain dalam melaksanakan PKPR. Sedapat mungkin dipilih petugas yang masih akan bekerja di Puskesmas selama 3 tahun mendatang. c. Pembentukan Tim. Tim terdiri dari dokter Puskesmas, paramedis (bidan dan perawat), petugas UKS, petugas penyuluhan, petugas Gizi, dan petugas lain yang dibutuhkan. d. Pelatihan formal petugas PKPR. Agar dapat melaksanakan PKPR dengan baik perlu ditunjuk petugas tambahan yang bekerja dalam tim, atau sebagai petugas pengganti. Petugas ini dapat dilatih tersendiri oleh dokter Puskesmas terlatih, sebelum mendapat kesempatan diikutsertakan dalam pelatihan resmi. e. Penentuan jenis kegiatan dan pelayanan serta sasaran.
Selain ketiga kegiatan yang dipersyaratkan yaitu KIE, konseling dan pelayanan klinis medis termasuk laboratorium dan rujukannya. Puskesmas dapat memutuskan untuk memperluas jenis kegiatannya baik di dalam atau di luar gedung serta menentukan sasaran berdasarkan kondisi dan situasi wilayah serta kebutuhan remaja setempat. Kegiatan ini strategis untuk meningkatkan akses di kemudian hari. Beberapa contoh perluasan kegiatan, adalah: Penyediaan pelayanan hot-line di Puskesmas. Kegiatan ini selain menjawab kebutuhan remaja juga akan menjadi sarana promosi PKPR. Penyebaran informasi tentang adanya layanan hot-line tersebut dilakukan melalui media cetak dan elektronik atau juga dilakukan oleh klien yang puas atas layanan hot-line tersebut.
Penanganan anak jalanan di wilayah Puskesmas. Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan yang tinggi pada sasaran anak jalanan. Melalui kegiatan ini jejaring kerja terkait masalah remaja akan lebih terbina sehingga mengungkit dukungan dari institusi atau sektor lain seminat dan pada akhirnya mempermudah tercapainya peningkatkan kualitas dan akses PKPR.
Vitalisasi/revitalisasi pembinaan dan pelaksanaan UKS di Sekolah Lanjutan. Mendidik kader kesehatan sekolah (Pendidik/Konselor sebaya), serta pengenalan PKHS melalui UKS di sekolah yang belum terpapar PKHS. Kegiatan-kegiatan ini menyebabkan jangkauan pelayanan PKPR akan meningkat secara berantai dan berkesinambungan, sesuai sifat kelompok remaja, yaitu senang menyebarkan informasi berantai dan menggulirkan keahlian kepada adik kelasnya. Dengan demikian kegiatan yang dipilih masing-masing Puskesmas dapat amat bervariasi dan dapat menjadi terobosan untuk meningkatkan PKPR di kemudian hari.
f.
Pemenuhan sarana dan prasarana. Pemenuhan sarana dan prasarana ini selain memberikan kenyamanan, menjaga privasi serta menjamin kerahasiaan bagi klien, juga mempermudah bagi pemberi layanan. Melihat rata-rata kondisi dan kemampuan Puskesmas saat ini, pemenuhan sarana ini memerlukan upaya khusus. Privasi, kenyamanan, suasana yang menarik dan fasilitas yang baik saling terkait satu sama lain. Menunggu hal tersebut terealisasi, (misalnya untuk menjaga privasi dan kerahasiaan harus ada ruang konseling tersendiri yang nyaman, mempunyai pintu masuk dan keluar tersendiri), PKPR mulai dilaksanakan dengan fasilitas yang ada namun diusahakan dimanfaatkan semaksimal mungkin mendekati kriteria PKPR. Untuk Puskesmas dimana seringkali tidak lagi mempunyai ruang tersisa, upaya pengadaan ruang khusus ini dapat diusahakan bertahap. Ruang konseling dapat disiasati dengan memanfaatkan ruang dokter, ruang KIA atau ruang lain seusai jam kerja, atau membuat sekat tersendiri/merubah tata letak ruangan dan menyisihkan ruang untuk konsultasi dengan memilih lokasi yang kirakira diminati remaja: tidak mencolok, dan ada kesan privasi serta bernuansa remaja. Bila kerjasama forum yang dibina oleh Camat berjalan dengan baik, diharapkan
masyarakat dapat aktif berpartisipasi dan membantu pengadaan sarana dan prasarana PKPR ini. g.
Penentuan prosedur pelayanan. Termasuk di dalamnya penentuan biaya pelayanan, jam buka, penentuan desain, proses pemberian dan penyimpanan kartu, register dan catatan (status) medis/konseling, serta penentuan alur pelayanan. Pertimbangan kerahasiaan dan efisiensi juga merupakan bagian penting. Prosedur pelayanan menjadi bagian kritis dan menjadi salah satu penentu apakah remaja tersebut akan datang atau tertarik untuk kembali, serta mempromosikan PKPR kepada teman-temannya. Remaja yang puas terhadap pelayanan akan menjadi pelanggan yang puas dan dengan sukarela membantu mempromosikan keberadaan PKPR tersebut.
4. Sosialisasi eksternal. Sosialisasi eksternal dapat dilakukan di setiap kesempatan tempat dan waktu, baik dalam forum resmi ataupun tidak resmi. Pelibatan pers setempat dari media cetak ataupun elektronik dapat membantu mempercepat sosialisasi. Sosialisasi dapat pula dilakukan di tempat remaja berada antara lain di sekolah, komunitas/organisasi remaja: karang taruna, sanggar seni atau gelanggang remaja dalam bentuk pampangan poster, selebaran, leaflet atau informasi verbal di sela-sela ceramah / KIE berkaitan dengan masalah remaja. 5. Pelaksanaan PKPR. Perlu dipahami, penyelenggaraan PKPR di Puskesmas ini penting segera dilaksanakan, meskipun pemenuhan sarana dan prasarana belum sempurna. Penyempurnaan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Kegiatan KIE di dalam dan di luar gedung perlu ditingkatkan dengan tidak melupakan pelayanan medis dan konseling
F. Alur dan langkah pelaksanaan PKPR pada klien Dalam melayani remaja, pemberian pelayanan secara komprehensif hendaknya selalu melekat pada pemikiran dan tindakan dari petugas. Tahapan pelayanan pada klien digambarkan pada bagan di bawah ini: Klien datang ( kiriman, sendiri) Melalui loket umum / loket khusus / langsung diregister di ruang konseling
Anamnesa Identitas Apa yang sudah diketahui: Tentang KRR Perubahan fisik dan psikis Masalah yang mungkin timbul dan cara menghadapinya Tentang perilaku hidup sehat pada remaja o Pemeliharaan kesehatan (gizi, personal hygiene) o Hal-hal yang perlu dihindari (Napza, Seks bebas) o Pergaulan sehat antara laki-laki dan perempuan Tentang persiapan berkeluarga o Kehamilan, KB, IMS, HIV/AIDS Masalah yang dihadapi antara lain o Fisik, Psikis o Kekerasan, o Pergaulan antara laki-laki dan perempuan, Pemeriksaan Fisik o Tanda-tanda anemi, KEK o Tanda-tanda kekerasan terhadap perempuan/KtP Pelayanan Konseling
Tidak perlu pelayanan klinis medis pulang Konseling Lanjutan bila perlu
Perlu pelayanan klinis medis/lab Pemeriksaan Infeksi Saluran Reproduksi Kehamilan, perkosaan Pasca Keguguran, kontrasepsi Konseling lanjutan bila perlu
Berkaitan dengan alur pemikiran komprehensif yang telah disebutkan terdahulu, dalam memberikan pelayanan, petugas perlu selalu menganalisa tentang keterkaitan perilaku, gangguan fisik yang diakibatkannya, serta mengacu kepada standar penanganan masingmasing kasus. Contoh dibawah ini alur pemikiran akibat lanjut remaja seksual aktif dan penanganannya, menggambarkan pelayanan yang terintegratif dari paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) yang terdiri dari komponen KB, KIA, Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual serta Kesehatan Reproduksi Remaja, tetap terpelihara.
Remaja seksual aktif KTD Anamnesa Pemeriks. fisik Konseling untuk mempertahan kan kehamilan
Hamil dgn IMS. sembuh cacat mati infertil Konseling Penanganan klinis
Klien melakukan terminasi kehamilan: perdarahan infeksi, infertil, eklamsi Penanganan klinis Bila perlu rujuk (SOP) Konseling KIE Seks aman
Tidak hamil tidak IMS. Konseling KIE Seks aman
Tak hamil dengan IMS. Konseling Terapi KIE Seks aman
Kehamilan diteruskan Konseling KIE Seks aman Pre-natal Care Bila perlu rujuk(SOP)
Pertolongan persalinan Bila perlu rujuk (SOP)
Kemungkinan terjadi atau akibat lanjutan Penanganan
Ibu: Selamat/meninggal Persalinan macet Eklamsi Perdarahan
Bayi: Selamat BBLR Prematur Cacat
G. Jenis kegiatan dalam PKPR Kegiatan dalam PKPR sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, dilaksanakan di dalam gedung atau di luar gedung, untuk sasaran perorangan atau kelompok, dilaksanakan oleh petugas Puskesmas atau petugas lain di institusi atau masyarakat, berdasarkan kemitraan. Jenis kegiatan meliputi : 1. Pemberian Informasi dan edukasi. a. Dilaksanakan di dalam gedung atau di luar gedung, secara perorangan atau berkelompok. b. Dapat dilaksanakan oleh guru, pendidik sebaya yang terlatih dari sekolah atau dari lintas sektor terkait dengan menggunakan materi dari (atau sepengetahuan) Puskesmas.. c. Menggunakan metoda ceramah tanya jawab, FGD (Focus Group Discussion), diskusi interaktif, yang dilengkapi dengan alat bantu media cetak atau media elektronik (radio, email, dan telepon/hotline, SMS).
d. Menggunakan sarana KIE yang lengkap, dengan bahasa yang sesuai dengan bahasa sasaran (remaja, orang tua, guru ) dan mudah dimengerti. Khusus untuk remaja perlu diingat untuk bersikap tidak menggurui serta perlu bersikap santai. 2. Pelayanan klinis medis termasuk pemeriksaan penunjang dan rujukannya. Hal yang perlu diperhatikan dalam melayani remaja yang berkunjung ke Puskesmas adalah: a. Bagi klien yang menderita penyakit tertentu tetap dilayani dengan mengacu pada prosedur tetap penanganan penyakit tersebut. b. Petugas dari BP umum, BP Gigi, KIA dll dalam menghadapi klien remaja yang datang, diharapkan dapat menggali masalah psikososial atau yang berpotensi menjadi masalah khusus remaja, untuk kemudian bila ada, menyalurkannya ke ruang konseling bila diperlukan. c. Petugas yang menjaring remaja dari ruang lain tersebut dan juga petugas penunjang seperti loket dan laboratorium seperti halnya petugas khusus PKPS juga harus menjaga kerahasiaan klien remaja, dan memenuhi kriteria peduli remaja. d. Petugas PKPR harus menjaga kelangsungan pelayanan dan mencatat hasil rujukan kasus per kasus. 3. Konseling Konseling adalah hubungan yang saling membantu antara konselor dan klien hingga tercapai komunikasi yang baik, dan pada saatnya konselor dapat menawarkan dukungan, keahlian dan pengetahuan secara berkesinambungan hingga klien dapat mengerti dan mengenali dirinya sendiri serta permasalahan yang dihadapinya dengan lebih baik dan selanjutnya menolong dirinya sendiri dengan bantuan beberapa aspek dari kehidupannya. Tujuan konseling dalam PKPR adalah: a. Membantu klien untuk dapat mengenali masalahnya dan membantunya agar dapat mengambil keputusan dengan mantap tentang apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi masalah tersebut. b. Memberikan pengetahuan, keterampilan, penggalian potensi dan sumber daya secara berkesinambungan hingga dapat membantu klien dalam: Mengatasi kecemasan, depresi atau masalah kesehatan mental lain. Meningkatkan kewaspadaan terhadap isu masalah yang mungkin terjadi pada dirinya. Mempunyai motivasi untuk mancari bantuan bila menghadapi masalah. Konseling merupakan kegiatan yang dapat mewakili PKPR. Sebab itu langkah pelaksanaannya perlu dijadikan standar dalam menilai kualitas pelaksanaan PKPR. VCT (Voluntary Counseling and Testing for HIV/AIDS) adalah konseling khusus diikuti oleh pemeriksaan laboratoriun untuk HIV/AIDS atas dasar sukarela. VCT memerlukan keterampilan dan sarana khusus, dan hanya dilakukan oleh petugas terlatih khusus untuk penanggulangan HIV/AIDS. 4.
Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) Dalam menangani kesehatan remaja perlu tetap diingat dengan optimisme bahwa bila remaja dibekali dengan keterampilan hidup sehat maka remaja akan sanggup menangkal pengaruh yang merugikan bagi kesehatannya. PKHS merupakan adaptasi dari Life Skills Education(LSE). Life skilsl atau keterampilan hidup adalah kemampuan psikososial seseorang untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah dalam
kehidupan se-hari-hari secara efektif. Keterampilan ini mempunyai peran penting dalam promosi kesehatan dalam lingkup yang luas yaitu kesehatan fisik, mental dan sosial. Contoh yang jelas bahwa peningkatan keterampilan psikososial ini dapat memberi kontribusi yang berarti dalam kehidupan keseharian adalah keterampilan mengatasi masalah perilaku yang berkaitan dengan ketidak sanggupan mengatasi stres dan tekanan dalam hidup dengan baik. Keterampilan psikososial di bidang kesehatan dikenal dengan istilah PKHS. PKHS dapat diberikan secara berkelompok di mana saja, di sekolah, Puskesmas, sanggar, rumah singgah dan sebagainya. Kompetensi psikososial tersebut meliputi 10 aspek keterampilan, yaitu: a. Pengambilan keputusan Pada remaja keterampilan pengambilan keputusan ini berperan konstruktif dalam menyelesaikan masalah berkaitan dengan hidupnya. Keputusan yang salah tak jarang mengakibatkan masa depan menjadi suram. b. Pemecahan masalah Masalah yang tak terselesaikan yang terjadi karena kurangnya keterampilan pengambilan keputusan akan menyebabkan stres dan ketegangan fisik. c. Berpikir kreatif Membantu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Berpikir kreatif terealisasi karena adanya kesanggupan untuk menggali alternatif yang ada dan mempertimbangkan sisi baik dan buruk dari tindakan yang akan diambil. Meski tanpa ada keputusan, berpikir kreatif akan membantu cara merespons segala situasi dalam keseharian hidup secara fleksibel. d. Berpikir kritis Merupakan kesanggupan untuk menganalisa informasi dan pengalaman secara objektif, dengan demikian akan membantu mengenali dan menilai faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku misalnya tata-nilai, tekanan teman sebaya, dan media. e. Komunikasi efektif Membuat remaja dapat mengekspresikan dirinya baik secara verbal maupun nonverbal, sesuai dengan budaya dan situasi dalam cara menyampaikan keinginan, pendapat, kebutuhan dan kekhawatirannya. Hal ini akan mempermudah remaja untuk meminta nasihat atau pertolongan bilamana membutuhkan. f.
Hubungan interpersonal. Membantu berhubungan dengan cara positif dengan orang lain, sehingga dapat meciptakan persahabatan dan mempertahankan hubungan, hal yang penting untuk kesejahteraan mental. Dapat meningkatkan hubungan baik sesama anggota keluarga, untuk mendapatkan dukungan sosial. Keahlian ini diperlukan juga agar terampil dalam mengakhiri hubungan yang tidak sehat dengan cara yang positif.
g. Kesadaran diri Merupakan keterampilan pengenalan terhadap diri, sifat, kekuatan dan kelemahan, pengenalan akan hal yang disukai dan dibenci. Kesadaran diri akan mengembangkan kepekaan pengenalan dini akan adanya stres dan tekanan yang harus dihadapi. Kesadaran diri ini harus dipunyai untuk menciptakan komunikasi
yang efektif dan hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan empati terhadap orang lain. h. Empati Dengan empati, meskipun dalam situasi yang tidak di kenal dengan baik, remaja mampu membayangkan bagaimana kehidupan orang lain. Empati melatih remaja untuk mengerti dan menerima orang lain yang mungkin berbeda dengan dirinya, dan juga membantu menimbulkan perilaku positif terhadap sesama yang menderita. i.
Mengendalikan emosi Keterampilan mengenali emosi diri dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi dapat mempengaruhi perilaku, memudahkan menggali kemampuan merespons emosi dengan benar. Mengendalikan dan mengatasi emosi diperlukan karena luapan emosi kemarahan atau kesedihan dapat merugikan kesehatan bila tidak disikapi secara benar.
j.
Mengatasi stres Pengenalan stres dan mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap tubuh membantu mengontrol stres dan mengurangi sumber penyebabnya. Misalnya membuat perubahan di lingkungan sekitar atau merubah cara hidup (lifestyle). Disini diajarkan pula bagaimana bersikap santai sehingga tekanan yang terjadi oleh stres yang tak terhindarkan tidak berkembang menjadi masalah kesehatan yang serius.
PKHS dapat dilaksanakan dalam bentuk drama, main-peran (role play), diskusi dll. Contoh aplikasi keterampilan ini dalam kehidupan sehari-hari adalah cara menolak ajakan atau tekanan teman sebaya untuk melakukan perbuatan berisiko, dan menolak ajakan melakukan hubungan seksual di luar nikah. Dengan menerapkan ajaran PKHS, remaja dapat mengambil keputusan segera untuk menolak ajakan tersebut, merasa yakin akan kemampuannya menolak ajakan tersebut, berpikir kreatif untuk mencari cara penolakan agar tidak menyakiti hati temannya dan mengerahkan kemampuan berkomunikasi secara efektif dan mengendalikan emosi, sehingga penolakan akan berhasil dilaksanakan dengan mulus. Pelaksanaan PKHS di Puskesmas disamping meningkatkan pengetahuan dan keterampilan hidup sehat dapat juga menimbulkan rasa gembira bagi remaja sehingga dapat menjadi daya tarik untuk berkunjung kali berikut, serta mendorong melakukan promosi tentang adanya PKPR di Puskesmas kepada temannya dan menjadi sumber penular pengetahuan dan keterampilan hidup sehat kepada teman-temannya
5. Pelatihan pendidik sebaya dan konselor sebaya. Pelatihan ini merupakan salah satu upaya nyata mengikut sertakan remaja sebagai salah satu syarat keberhasilan PKPR. Dengan melatih remaja menjadi kader kesehatan remaja yang lazim disebut pendidik sebaya, beberapa keuntungan diperoleh yaitu pendidik sebaya ini akan berperan sebagai agen pengubah sebayanya untuk berperilaku sehat, sebagai agen promotor keberadaan PKPR, dan sebagai kelompok yang siap membantu dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi PKPR. Pendidik sebaya yang berminat, berbakat, dan sering menjadi tempat “curhat” bagi teman yang membutuhkannya dapat diberikan pelatihan tambahan untuk memperdalam keterampilan interpersonal relationship dan konseling, sehingga dapat berperan sebagai konselor remaja. 6. Pelayanan rujukan. Sesuai kebutuhan, Puskesmas sebagai bagian dari pelayanan klinis medis, melaksanakan rujukan kasus ke pelayanan medis yang lebih tinggi. Rujukan sosial juga diperlukan dalam PKPR, sebagai contoh penyaluran kepada lembaga keterampilan kerja untuk remaja pasca penyalah-guna napza, atau penyaluran kepada lembaga tertentu agar mendapatkan program pendampingan dalam upaya rehabilitasi mental korban perkosaan. Sedangkan rujukan pranata hukum kadang diperlukan untuk memberi kekuatan hukum bagi kasus tertentu atau dukungan dalam menindaklanjuti suatu kasus. Tentu saja kerjasama ini harus diawali dengan komitmen antar institusi terkait, yang dibangun pada tahap awal sebelum PKPR dimulai. H. Monitoring dan Evaluasi. Monitoring PKPR di puskesmas selain dilakukan oleh pihak lain di luar puskesmas perlu dilakukan oleh puskesmas sendiri. Melalui monitoring, petugas akan dibantu menemukan masalah secara dini hingga koreksi yang akan dilakukan tidak memerlukan biaya dan waktu yang banyak, dan mempercepat tecapainya PKPR yang berkualitas. Monitoring oleh tatanan administrasi yang lebih tinggi dilakukan melalui analisa laporan rutin yang dikirimkan oleh Puskesmas dikombinasikan dengan pengamatan langsung di lapangan. Sistem monitoring adalah proses pengumpulan dan analisa secara teratur dari seperangkat indikator. Sistem akan menyuguhkan data yang dapat digunakan untuk menilai: Apakah program berjalan dengan benar, dan bagaimana kemajuannya, adakah penyimpangan atau masalah. Apakah input dan proses yang dilakukan menghasilkan perbaikan ke arah target yang direncanakan. Apakah umpan balik tentang output dan proses dikaitkan dengan input. Adakah faktor lingkungan atau eksternal (masyarakat, geografis, kebijakan setempat, dll) dan faktor internal (provider, saran, dll) yang mempengaruhi pelaksanaan PKPR. Dengan demikian tahapan melakukan monitoring adalah: Memutuskan informasi apa yang akan dikumpulkan. Mengumpulkan data dan menganalisanya. Memberikan umpan balik hasil monitoring. Monitoring dibedakan dengan evaluasi dari rutinitas pengumpulan data dan lingkup fokus sasarannya. Evaluasi fokusnya luas namun waktunya terbatas. Monitoring dilakukan
berkesinambungan dengan demikian kesenjangan yang ditemukan pada suatu waktu dapat dibandingkan dengan hasil yang ditemukan pada kali berikut. Monitoring terhadap akses dan kualitas PKPR diawali dengan melihat kepatuhan terhadap standar PKPR yang diwakili oleh pelaksanaan konseling dan kelengkapan sarana, berlanjut dengan melihat jangkauan pelayanan dari jumlah kunjungan dan kasus yang ditangani baik di dalam maupun di luar gedung. Meskipun demikian kegiatan PKPR lainnya seperti PKHS dan pelatihan calon pendidik sebaya harus dicatat, untuk melihat sejauh mana lingkup kegiatan dilaksanakan. Berikut standar dan indikator terpilih yang diperlukan untuk mengevaluasi kualitas dan akses PKPR :
Kualitas: Kompetensi petugas: kesesuaian langkah-langkah pelaksanaan konseling dengan standar. Sarana institusi: pemenuhan kriteria sarana untuk menjamin kerahasiaan dan kenyamanan klien. Kepuasan klien: terhadap kualitas sarana dan kompetensi petugas. Kelengkapan jaringan pelayanan rujukan.
Akses: Jumlah pelaksanaan KIE dan konseling kasus lama dan kasus baru, jumlah kunjungan klien, klien lama dan baru, di dalam gedung dan di luar gedung. Frekuensi petugas Puskesmas berperan menjadi narasumber atau fasilitator kegiatan remaja. Jumlah kader (pendidik/konselor) sebaya yang dilatih oleh Puskesmas. Jumlah rujukan masuk dari masyarakat. Penentuan standar kinerja dari masing-masing komponen (input, proses, output), penentuan indikator (termasuk numerator dan denominatornya), pengembangan supervisi checklist (daftar tilik) dalam monitoring/evaluasi dikerjakan oleh propinsi atau kabupaten, beserta dengan pelaku pelayanan, menggunakan sistem QA yang berlaku di tempat masing-masing . Instrumen monitoring dapat dipelajari oleh pihak Puskesmas untuk mengingatkan kembali unsur yang harus diperhatikan dalam meningkatan akses dan kualitas PKPR. Wawancara pasca pelayanan (exit interview) pada klien yang akan meninggalkan Puskesmas dilakukan oleh petugas lain, menggambarkan tingkat kepuasan klien remaja tentang pelayanan yang didapat. Komentar yang lebih jujur, kritik, saran dapat diperoleh melalui kotak saran yang disediakan, karena diberikan secara anonimus. Dalam monitoring PKPR, pengumpulan data dilakukan berkaitan dengan input (struktur), proses (apakah pelayanan sesuai dengan standar) dan output (hasil pelayanan).
Input: Berupa sumber daya meliputi sarana, dana dan fasilitas lainnya yang dibutuhkan dan tersedia untuk melakukan PKPR Proses
I.
Berupa data kegiatan yang dilakukan agar tujuan PKPR dapat tercapai. Data yang dikumpulkan meliputi jenis kegiatan, bagaimana melakukannya, dilakukan oleh siapa, siapa sasarannya, kapan dan dimana kegiatan dilaksanakan Output Merupakan hasil kegiatan
Pencatatan dan Pelaporan. Meskipun kegiatan pencatatan dan pelaporan dalam PKPR ini tidak diwajibkan untuk dilaporkan ke tingkat Pusat, tetap perlu dilakukan untuk mencatat hal-hal mendasar. Manfaatnya adalah untuk mendapatkan data kesehatan remaja di wilayah Puskesmas. Selain itu data juga digunakan untuk kepentingan perencanaan dan menentukan langkahlangkah perbaikan. Register kunjungan sebaiknya dicatat dan disimpan khusus di ruang pelayanan remaja, demikian juga status kesehatan serta catatan konseling, untuk menjaga kerahasiaannya. Pada tahap awal pelaksanaan PKPR pendaftaran dapat dilakukan di tempat kunjungan umum namun catatan medis/catatan konseling tetap disimpan tersendiri. Contoh rekapitulasi catatan konseling terlampir. Buku catatan kegiatan dan kunjungan sebaiknya dibuat sedemikian rupa sehingga pada saat diperlukan dapat diketahui data kegiatan PKPR dengan segera. Format standar pencatatan kegiatan PKPR dan kewajiban untuk melaporkannya sebaiknya perlu disepakati dan disusun setempat secara bersama antara pihak Dinas Kesehatan Propinsi, dan Kabupaten/Kota serta perwakilan Puskesmas.
BAB III PENUTUP Remaja yang merupakan kelompok berusia 10-19 tahun amat penting kedudukannya karena mereka akan menjadi orang tua atau pendidik bagi generasi sesudahnya dan akan menjadi pemegang kendali pemeritahan di masa depan. Di tangan mereka tingkat kesejahteraan kita sebagai bangsa di kemudian hari dipertaruhkan. Dengan demikian amat penting untuk dapat menyediakan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan remaja, dan mengupayakan agar dimanfaatkan oleh mereka. Penyediaan dan pemanfaatan ini dapat tercapai bila pelayanannya berkualitas, memenuhi kebutuhan dan selera remaja sesuai dengan sifat khusus remaja, yaitu menginginkan privasi, diakui, diperlakukn secara dewasa dan dihargai. Kesehatan remaja di wilayah kerjanya, menjadi tanggung jawab Puskesmas. Untuk itu perlu penerapan PKPR sesuai dengan kebutuhan remaja setempat. Pemenuhan sarana dan prasarana dilaksanakan secara bertahap sesuai kemampuan dengan sumber daya setempat. Keberhasilan PKPR amat ditentukan oleh kualitas pelayanan dan ketepatan strategi dalam upaya meningkatkan akses kepada remaja dan pemanfaatan fasilitas pelayanan oleh remaja setempat.
DAFTAR PUSTAKA Anthony Yeo, Konseling, suatu pendekatan pemecahan masalah, 1995 Depkes RI dan Kesejahteraan Sosial, Direktorat Promosi kesehatan, Konseling Kesehatan dalam pemberdayaan Keluarga, Panduan Pelatihan Konseling bagi petugas Kabupaten/Kota, 2001 Depkes RI, Direktorat Kesga, Materi Pelatihan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja, 2003
Humris, W. Edith, SpKJ-RSCM, Konseling Kesehatan remaja Makalah untuk presentasi pada Orientasi PKPR bagi pengelola program, April 2004 Kelompok Studi KR-FKM UI & Depkes, Penilaian Situasi Kesehatan Anak Usia Sekolah termasuk Remaja di Indonesia, 2001 Laporan pelaksanaan PKPR oleh 10 Kepala Puskesmas di Kota Bandung dan Bogor, Disampaikan dalam Pertemuan Evaluasi PKPR di Bogor, Desember 2003 Population Council, Press Briefing Kit III: Kesehatan Reproduksi Remaja, 2000 Population Report: Meeting the need of Young Adults, 1995 Quality Assurance Project : Health Manager’s Guide: Monitoring the Quality of Primary Care, Bethesda, MD 20814, 2001 Quality Assurance Project : QA Monograph : A modern Paradigm for Improving Healthcare Quality, Bethesda, MD 20814, 2001 Sub-Bagian Psikiatri Anak dan Remaja FKUI, Program Kesehatan Mental Remaja, (terjemahan dari: Modul to improve Adolescent Mental Health, WHO SEARO, New Delhi-2002) 2003 WHO, Adolescent Friendly Health Service , An Agenda for Change, 2003 WHO, Life Skills Education, Program on Mental Health, 1994 Wiguna, Tjhin, SpKJ-RSCM, Konsep dasar konseling Makalah untuk presentasi pada Orientasi PKPR bagi pengelola program, April 2004
Materi inti 2. JEJARING KERJA SAMA DALAM PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA (PKPR) Deskripsi Singkat Program kesehatan yang dilaksanakan oleh sektor kesehatan seharusnya berkaitan dan memiliki sinergi dengan kegiatan lain terkait yang dikembangkan oleh sektor lain di luar sektor kesehatan. Dalam pembinaan kesehatan remaja, diketahui bahwa kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing sektor yang terkait dengan komponen remaja berjalan sendiri-sendiri dan tidak terkait satu dengan lainnya. Berdasar pengalaman beberapa daerah yang telah menerapkan PKPR dengan baik, keberhasilan ini didukung adanya jejaring kerja sama antar lintas sektor, LSM dan media massa. Tujuan pembelajaran Tujuan pembelajaran umum Setelah mempelajari modul ini, peserta mampu menerapkan jejaring kerja sama antar lintas sektor, LSM dan media massa Tujuan pembelajaran Khusus Setelah mempelajari modul ini, peserta mampu: 1) Menjelaskan peran lintas sektor termasuk LSM, serta jejaring antara institusi kesehatan dan non kesehatan dalam PKPR. 2) Menjelaskan pengertian dan manfaat jejaring. 3) Menjelaskan karakteristik jejaring dan mekanisme kerjanya. 4) Menjelaskan fungsi Prime Mover. 5) Menjelaskan dan melaksanakan cara membentuk dan memfungsikan jejaring. POKOK BAHASAN : 1) Peran lintas sektor termasuk LSM, serta jejaring antara institusi kesehatan dan non kesehatan dalam PKPR. 2) Pengertian dan manfaat jejaring. 3) Karakteristik jejaring dan mekanisme pengembangan kemitraan. 4) Fungsi Prime Mover 5) Proses pembentukan kemitraan dan memfungsikan jejaring. PROSES PEMBELAJARAN 1) Review tentang jejaring kerja sama antar lintas sektor, LSM dan media massa menggunakan metode curah pendapat dengan pendekatan VIPP (Visualization in Participatory Program). 2) Klarifikasi sesuai pokok bahasan menggunakan materi presentasi. 3) Tanya jawab tentang materi yang disampaikan. 4) Umpan balik dan apresiasi.
URAIAN MATERI
Kesehatan Remaja sebagai tanggungjawab multisektor: Pada umumnya masalah sosial dan kesejahteraan merupakan masalah yang kompleks yaitu penyebab masalah maupun penyelesaian masalah tidak dapat dilakukan hanya oleh satu sektor saja. Masalah kesehatan remaja selalu memerlukan pendekatan pemecahan masalah yang dilakukan secara multidisiplin artinya masalah tidak dapat diselesaikan dengan satu bidang keahlian. Masalah tersebut juga jarang dapat diselesaikan oleh salah satu sektor misalnya hanya oleh Departemen Kesehatan yang mengurusi masalah kesehatan, atau Departemen yang mengurus masalah pendidikan saja. Di lain pihak, masalah remaja tidak dapat diselesaikan hanya dengan penundaan usia menikah serta penyadaran kesehatan reproduksi oleh BKKBN saja dan sebagainya. Masalah kesehatan remaja pasti tidak dapat diselesaikan hanya oleh sektor Pemerintah. Keterlibatan dan kontribusi semua pemangku terkait seperti sektor swasta, organisasi nonpemerintahan serta LSM sangat penting. Bahkan keterlibatan dari para remaja sendiri sering sekali sangat menentukan keberhasilan serta kesinambungan program. Tiap-tiap stakeholder memiliki peran dan fungsi sendiri. Oleh karena itu, peran, fungsi dari berbagai sektor tersebut perlu diatur serta disepakati sehingga menjadi upaya sinergis yang saling menguatkan, dan bukan malah menjadi competitor satu dengan lainnya. Salah satu pendekatan yang dapat membantu pelaksanaan hal ini adalah dengan pendekatan kemitraan. Pendekatan Kemitraan dalam Kesehatan Remaja : Pengertian Kemitraan Kemitraan adalah hubungan kerjasama antara 2 (dua) pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama yang telah disepakati berdasarkan peran masing-masing (Sekjend Depkes, 2003). Disini jelas bahwa bentuk kerjasama, dilandasi oleh kedudukan setara antara pihak-pihak dalam suatu kemitraan didasarkan kepada kepemilikan sumberdaya sehingga bisa saling berbagi dan bekerjasama untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dari suatu kemitraan. Dari sisi lain, suatu kemitraan dibangun sebagai upaya untuk melibatkan berbagai sektor, kelompok masyarakat, lembaga pemerintahan, untuk bekerjasama dalam mencapai suatu tujuan bersama berdasarkan atas kesepakatan prinsip dan peranan masing-masing. Hubungan kemitraan jauh berbeda dan sangat berlawanan dengan hubungan struktural antara atasan dengan yang dibawahkan atau hubungan patron-klien (juragan-pegawai). Sebagai mahluk sosial, manusia memiliki naluri untuk berinteraksi dan bekerjasama antar sesamanya. Kesadaran antar pentingnya bekerjasama dilandasi bahwa setiap individu tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Terlebih lagi di era global dewasa ini, dimana semakin luas dan beragamnya dimensi kebutuhan manusia. Bahkan perkembangan sosial dewasa ini mengarah kepada kolaborasi antar berbagai institusi, organisasi dan kepentingan dengan pertimbangan penyelesaian urusan dan mencapai tujuan semakin efisien dan efektif. Beberapa pertimbangan individu untuk meningkatkan kerjasama antar sesama dalam berbagai bentuknya diantaranya adalah : a. Kesadaran akan keterbatasan manusia, sehingga tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan. b. Kesadaran bahwa dengan bekerjasama, kegiatan yang dilakukan bias lebih efisien dan efektif
c. Manfaat lebih besar yang akan diperoleh, termasuk efek ganda yang bisa ditimbulkan dari suatu mergerisasi atau kolaborasi d. Kesadaran terhadap berbagai sektor atau bidang kehidupan yang membutuhkan upaya percepatan dalam pencapaian tujuan. Kemitraan merupakan salah satu bentuk dari kerjasama. Sedangkan kerjasama merupakan satu dari empat bentuk interaksi utama antar manusia. Keempat interaksi utama antar manusia adalah : a. Kerjasama (cooperation). Kerjasama muncul ketika individu menyadari adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingankepentingan tersebut melalui kerjasama, kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna. Kerjasama muncul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya. b. Persaingan (competition). Suatu proses dimana orang perorangan atau kelompokkalompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada masa tertentu menjadi pusat perhatian public. c. Konflik (conflict) merupakan pertentangan dan pertikaian yang diawali karena adanya perbedaan yang tajam mengenai berbagai hal, seperti pendapat, kepentingan, serta terjadi pemaksaan terhadap perbedaan yang tajam tersebut. Konflik terjadi karena perebutan sumberdaya materi dan non materi yang terbatas. d. Akomodasi (accomodation), merupakan proses-proses untuk menurunkan ketegangan, pertentangan atau pertikaian yang terjadi untuk memperoleh titik temu. Kemitraan dalam kesehatan remaja sebagai bentuk kerjasama antar mitra bersifat dinamis, dan tidak terbebas dari kompetisi dan potensi konflik di dalamnya. Oleh karena itu, barbagai bentuk akomodasi berikut ini dapat dilakukan untuk mempertahankan keberhasilan dan keberlangsungan kemitraan dalam kesehatan remaja. e. Koersif, merupakan suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh adanya paksaan. Koersi merupakan bentuk akomodasi dimana salah satu pihak berada pada posisi lemah sekali dibanding pihak lainnya. f. Kompromi, adalah bentuk akomodasi dimana masing-masing pihak mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap penyelisihan yang ada. g. Arbitrasi, merupakan cara untuk mencapai kompromi apabila masing-masing pihak yang berhadapan tidak sanggup untuk mencapainya sendiri. Perselisihan diselesaikan oleh pihak ketiga. h. Mediasi hampir menyerupai artibrasi. Pada mediasi pihak ketiga yang netral diundang untuk menyelesaikan perselisihan. Namun pada mediasi, pihak ketiga hanya bertindak sebagai penasehat dan tidak sebagai pengambil keputusan. i. Konsiliasi adalah usaha untuk memkpertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih bagi tercapainya suatu persetujuan bersama. Konsiliasi sifatnya lebih lunak dari koersi, dan membuka peluang bagi fihak yang berselisih untuk mengadakan asimilasi. j. Toleransi merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil, kadangkadang muncul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan. Prinsip Dasar Kemitraan Ada tiga (3) prinsip dasr yang dibahas yaitu kesetaraan, keterbukaan dan manfaat. Masingmasing dibahas tersendiri (Blau dan Turner, 1978, 249 dalam Ndraha, Taliziduhu, 1990; SekJen DepKes, 2003).
1. Prinsip kesetaraan. Prinsip utama kemitraan adalah kesetaraan antara mitar yang berencana mengikat diri dan komitmen untuk membentuk suatu kemitraan. Kesetaraan yang dimaksud adalah kesamaan antar mitra dalam hal kesempatan yang sama untuk menyumbangkan ide dan pikiran, untuk melaksanakan kegiatan dan karya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Kesetaraan hendaknya tidak diukur dari status perorangan, melainkan kesetaraan mitra dengan sumberdaya yang dimilki, sumberdaya yang bias disumbangkan, serta kesetaraan untuk memikul tanggung jawab berpartisipasi dalam program kesehatan remaja. 2. Prinsip keterbukaan. Keterbukaan informasi dari segala hal yang berkaitan dengan programserta kegiatan kesehatan remaja merupakan landasan yang menentukan keberhasilan dan keberlangsungan kemitraan. Keterbukaan bermuara pada kejujuran. Azas ini akan efektif manakala diiringi suatu sikap dewasa, terhadap konsekuensi yang diakibatkan dari keterbukaan dan kejujuran. 3. Prinsip manfaat. Manfaat atau keuntungan yang akan diperoleh merupakan landasan motifasi mitra untuk menjalin kemitraan. Manfaat atau keuntungan tidak selalu dalam bentuk materi dan uang, namun juga yang bersifat non materi seperti penghargaan, rasa senang dan bahagia karena bisa berkarya, kenaikan status social dan prestise di masyarakat, dan manfaat-manfaat lainnya. Tingkat keterlibatan dan kemitraan pararel seiring manfaat yang diharapkan atau dirasakan dari kemitraan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan prinsip pertukaran dasar (basic exchange principles) dari teori pertukaran (exchange theory) yang menyatakan bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu, semakin kuat pihak itu akan terlibat dalam kegiatan itu. Proses Pembentukan Kemitraan Pembentukan kemitraan secara umum melalui 6 langkah (Sekjen Depkes, 2003) berikut : 1. Penjajakan dan kesepakatan awal Penjajakan kemitraan dimulai dari identifikasi sumberdaya yang dimiliki dan bisa disumbangkan dari pihak-pihak yang berniat bermitra. Hasil dari identifikasi tersebut diikuti oleh kesepakatan kemitraan. 2. Penyamaan persepsi. Suatu kemitraan hendaknya memiliki visi dan misi yang jelas, pada tingkat manapun kedalaman, keluasan dan jangka waktu pencapaian visi dan misi yang hendak dicapai. 3. Pengaturan peran dan tanggungjawab. Sesederhana apapun suatu bentuk kemitraan hendaknya diikuti dengan pengaturan peran dan tanggungjawab yang jelas. Hal tersebut akan mempermudah dalam pencapaian tujuan dan meminimalkan konflik yang potensial terjadi dalam suatu bentuk kerjasama sekalipun. 4. Komunikasi dan koordinasi. Komunikasi dan koordinasi dalam suatu kemitraan sangat menentukan keberhasilan kemitraan yang ditunjukkan dari pencapaian tujuan dari auatu kemitraan. 5. Pelaksanaan kegiatan merupakan inti dari kemitraan itu sendiri. Banyaknya kegiatan yang direncanakan, banyaknya kegiatan yang telaksana merupakan salah satu indikator keberhasilan dari suatu kemitraan. 6. Monitoring dan evaluasi senantiasa harus dilakukan agar bisa mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, menentukan upaya perbaikan yang diperlukan, serta mengukur pencapaian tujuan. Hasil monitoring merupakanumpan balik bagi upaya perbaikan terhadap program atau kegiatan yang sedang dilaksanakan, sementara hasil evaluasi merupakan input bagi perencanaan kegiatan kemitraan pada masa berikutnya. Dengan melaksanakan enam langkah proses pembentukan kemitraan kesehatan remaja diatas merupakan langkah umum yang perlu diikuti dalam proses kemitraan. Namun demikian,
pelaksanaan tiap-tiap langkah tidak harus berurutan yang penting bahwa proses tersebut dilaksanakan. Indikator Kemitraan Indikator keberhasilan kemitraan adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu tujuan kemitraan yang telah ditetapkan (SekJen DepKes, 2003). Indikator kemitraan ini bisa diukur dengan menggunakan pendekatan sistim yaitu : input kemitraan, proses kemitraan dan output kemitraan. Indikator input meliputi : 1. Jumlah mitra yang bersedia bergabung 2. Kapasitas mitra 3. Aspek legal kemitraan 4. Kejelasan Misi, Visi, tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) jejaring 5. Kejelasan fungsi dan peran antar mitra dalam jejaring Indikator proses meliputi : 1. Hubungan antar mitra : kesetaraan, keterbukaan, kerjasama 2. Tingkat saling berbagi antar mitra : informasi, SDM, sumberdaya financial 3. Koordinasi kegiatan 4. Pelaksanaan kegiatan kesehatan remaja Indikator output meliputi : 1. Pencapaian kegiatan yang direncanakan 2. Pencapaian target dari masing-masing kegiatan yang dilaksanakan 3. Kesiapan dan upaya agar jejaring berkelanjutan Jejaring Kesehatan Remaja Pengertian jejaring Jejaring kesehatan remaja adalah suatu jaringan kerjasama aktif antara berbagai pihak yang meliputi lintas program, lintas sektor, organisasi profesi, organisasi kemsyarakatan, institusi pendidikan, pihak swasta serta mitra potensial lain yang ditujukan untuk mengatasi masalah yang terkait dengan kesehatan remaja di suatu wilayah tertentu. Sosiometri dan Jejaring Komunikasi Pola interaksi dalam kelompok disebut sosiometri. Dengan sosiometri dapat dipetakan siapa berkomunikasi kepada siapa dan berapa frekuensinya (Northouse dan Northouse, 1985). Sosiometri (pola interaksi antar mitra) pada dasarnya bisa dikelompkkan menjadi tiga (3) yaitu pola interaksi yang setara, pola interaksi dua arah yang tidak seimbang, serta pola interaksi satu arah. Ketiga pola dasar interaksi tersebut terkait dengan kemampuan pihak yang satu dalam memimpin, mempengaruhi dan mengarahkan pihak lain. Individu yang berada dalam posisi memimpin dan mengarahkan disebut pemimpin. Kemampuan yang lebih tinggi dari individu atau pihak dalam mengarahkan, mempengaruhi maupun memimpin individu lain atau pihak lain berakibat yang bersangkutan berada pada status yang lebih tinggi dalam masyarakat tertentu. Gambaran sosiometri secara sederhana dapat dilihat pada gambar berikut.
A
B
A
B
: Pola interaksi yang sama tinggi : Pola interaksi searah, A mengarahkan dan memimpin B
A
B
A
B
: Kedudukan A subordinasi, diarahkan oleh B : Terdapat hubungan dua arah, namun kekuatan A mengarahkan B lebih besar dari kekuatan A diarahkan B
Contoh sosiogram (pola interaksi antara beberapa orang atau pihak dalam suatu jejaring) disajikan pada Gambar 1. pada gambar ini terlihat mitra A, B, dan C pada posisi yang setara, dan superior terhadap mitra D, E, dan F. Sementara itu sebaliknya bahwa mitra D, E, dan F menjadi subordinate dari mitra A, B, dan C. Gambar 1 : Sosiogram sesuatu jejaring
A
B
D
C
F H
Mekanisme Kerja Jejaring Agar jejaring dapat berfungsi dan mencapai tujuan yang diharapkan, maka perlu ditetapkan mekanisme koordinasi dalam jejaring. Dari pengalaman Jejaring Nasional tPencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (Pusat Promosi Kesehatan, DepKes, 2003) mekanisme koordinasi tersebut dapat dilakukan melalui : a. Pertemuan rutin antar anggota jejaring. Anggota jejaring secara bersama-sama atau bergantian harus mengupayakan mekanisme pertukaran informasi dan pengalaman misalnya melalui penyelenggaraan suatu lokakarya atau seminar nasional yang melibatkan seluruh anggota jejaring secara periodik. b. Komunikasi regular melalui sarana komunikasi. Perkembangan di bidang teknologi informasi sangat membantu kecepatan dan efisiensi kerja suatu organisasi. Jejaring sebaiknya mengoptimalkan penggunaan teknologi canggih (melalui telpon/fax/email/telekonferensi/internet, dll). Hal ini untuk memperlancar dan memfasilitasi komunikasi antar anggota jejaring. c. Adanya informasi dasar nasional tentang berbagai kegiatan yang terkait dengan upaya kesehatan remaja. Salah satu kunci sukses dalam upaya jejaring kesehatan remaja adalah terdokumentasikannya pengalaman dan keberhasilan penerapan berbagai modelmodel spesifik, dimana didasari hal tersebut masih cukup lemah di Indonesia. Karena itu jejaring harus mendorong dan memfasilitasi adanya data dasar nasional sebagai dokumentasi dan bukti atas upaya-upaya yang sudah dilaksanakan. d. Adanya website yang terkait dengan masalah remaja. Anggota jejaring dapat berkomunikasi secara efektif dan efisien melalui internet. Website yang dibuat oleh DepKes, BKKBN maupun LSM atau organisasi lain yang terkait dengan kesehatan remaja perlu diidentifikasi dan disebarkan informasinya. Selain itu, link dan web serupa di luar negeri juga sangat membantu anggota jejaring untuk mengetahui perkembangan terkini dengan kesehatan remaja.
e.
Memfasilitasi peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan infrastruktur sesama anggota jejaring. Jejaring menyiapkan informasi yang dapat diakses oleh setiap anggota jejaring untuk memperoleh bantuan teknis dan pendampingan dalam pengembangan dan pelaksanaan upaya terkait dengan kesehatan remaja.
Tingkat Interaksi Anggota Jejaring Tingkatan interaksi jejaring menunjukkan komitmen, keterlibatan dan tingkat ikatan yang hendak dibangun antar mitra jejaring. Paling tidak dapat dibagi empat (4) tingkatan interaksi jejaring berdasarkan komitmen dan kesediaan berbagi dalam berbagai hal diantara anggotanya. 1. Tingkatan interaksi jejaring dimana mitra didalamnya terbatas untuk hanya saling berbagi informasi kegiatan yang dilaksanakan dan didokumentasikan sebagai kegiatan jejaring. 2. Tingkatan interaksi jejaring dimana mitra di dalamnya saling berbagi sumber daya manusia. Anggota jejaring saling membantu dan mendukung kegiatan mitra lain, dengan menyumbangkan ide, waktu tenaga dan fikiran. 3. Tingkatan interaksi jejaring dimana antar mitra saling berbagi informasi sumber sumberdaya finansial untuk kegiatan kesehatan remaja. 4. Tingkatan interaksi jejaring dimana mitra saling berbagi sumberdaya financial yang dimiliki dan dimungkinkan, karena mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan kesehatan remaja.
Prime Mover Jejaring Prime mover adalah individu/ orang yang berfungsi sebagai penggerak/fasilitator/ motor dari suatu forum sehingga forum dapat mencapai tujuannya. Tugas dan fungsi prime mover adalah: a. Menggerakkan/ memfasilitasi pertemuan antara anggota forum. b. Memfasilitasi rencana kerja forum. c. Mengkoordinasi kesekretariatan forum (undangan, komunikasi, pengiriman notulen, monitoring pertemuan, dan tindak lanjut pertemuan, penentuan tempat, fasilitasi agenda acara). Untuk menjadi seorang anggota prime mover, ada sejumlah kriteria ideal yang perlu dipenuhi yaitu: a. Memiliki sifat kepemimpinan dan managerial. b. Senang berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, bersifat terbuka dan rendah hati. c. Dapat menggerakkan/ memotivasi orang lain. d. Memiliki jiwa Alturisme, mau dan berani berkorban untuk kepentingan orang lain. e. Mampu melihat relasi manusia sebagai investasi jangka panjang tanpa menuntut keuntungan material dalam jangka pendek. f. Tertarik dengan masalah remajadan permasalahannya. Keuntungan dan Kerugian Prime Mover oleh sektor Pemerintah Bila prime mover jejaring kesehatan remaja dipegang oleh sektor Pemerintah, keuntungannya adalah hal berikut : memiliki wewenang karena bagian dari birokrasi, memiliki kemungkinan sumber dana karena berhak mengajukan dana dan menggunakan uang pajak masyarakat, memiliki sifat kedinasan dan formal, sering birokrasi formal yang tinggi membantu memperoleh tanggapan/ kepatuhan dari birokrasi dibawahnya.
Sebaliknya kerugian atau kelemahan yang dihadapi adalah sistim komunikasi berjenjang sering keputusan yang dibuat harus menunggu ijin petugas yang lebih tinggi, jalur pembuatan keputusan lebih panjang, cenderung tidak akomodatif karena merasa punya hak legal dan eksistensi diakui oleh Pemerintah, kurang fleksibel dan cenderung kaku, kurang memiliki pemahaman atas cara kerja sektor Non Pemerintah, bentuk formal sering hanya berjalan pada saat awal atau kalau di tegor atasan (bila ingat), tidak ada dive kuat dari dalam.
Keuntungan dan Kerugian Prime Mover oleh sektor LSM Beberapa keuntungan sekiranya prime mover jejaring kesehatan remaja dipegang oleh LSM adalah sebagai berikut : lebih luwes, fleksibel dalam berhubungan dengan birokrasi, tidak terikat peraturan dan aturan protokoler buku, keputusan dapat lebih dibuat dengan cepat, lebih mungkin memiliki banyak inovasi, merangsang timbul pemikiran baru dan tidak banyak birokrasi, kritik lebih sering didengar oleh atasan terutama dalam alam Demokrasi. Namun, mekanisme ini juga memilki kerugian atau kelemahan yaitu sektor LSM dianggap tidak punya kekuasaan, tidak punya dasar hokum legal, tidak punya akses menggunakan dana atau pajak yang dibayar masyarakat. Penentuan prime mover pada suatu jejaring kesehatan remaja di wilayah sangat tergantung kepada jejaring itu sendiri. Yang penting semua anggota mengetahui keuntungan dan kerugian masing-masing serta yang penting bahwa forum kesehatan remaja harus tetap berjalan, Pihak Pemerintah dan LSM perlu saling mengingatkan Manfaat Jejaring Program kesehatan remaja memerlukan keterlibatan berbagai sektor baik Pemerintah, maupun non-pemerintah termasuk sector swasta LSM dan organisasi profesi. Pemerintah tidak mungkin menyelesiakan permasalahan kesehatan remaja dengan bekerja sendiri, bahkan keterlibatan kelompok remaja sendiri merupakan kunci keberhasilan program. Dengan membentuk suatu jejaring kesehatan remaja akan diperoleh manfaat berikut: a. Keterlibatan berbagai mitra memungkinkan daya jangkau kesehatan remaja semakin luas. b. Keterlibatan berbagai mitra (pemerintah, non-pemerintah dan swasta) membuat pelaksanaan dan pencapaian program kesehatan remaja semakin efektif dan efisien karena tidak terjadi tumpang tindih dan ada saling control pengguna dana. c. Koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan program kesehatan remaja antar berbagai mitra jejaring akan mempercepat pencapaian tujuan program kesehatan remaja. d. Identifikasi sumber daya yang dimilki antar mitramemungkinkan perencanaan program lebih terintegrasi dan komprehensif. e. Adanya efek sinergi dan simbiose mutualisme antar mitra jejaring kesehatan remaja sehingga dampak ganda (multiplier effect) positif dari lingkungan manajemen dan interaksi antar mitra lebih terjamin. f. Beban kerja pencapaian tujuan program kesehatan remaja menjadi lebih ringan. g. kegiatan mitra menjadi lebih terfokus dan professional serta adanya optimalisasi sumber daya mitra yang bergabung dalam jejaring kesehatan remaja. Monitoring dan Evaluasi Jejaring Dalam monitoring akan dinilai apakah rencana yang telah disusun dan disepakati telah dilakukan. Selain itu, dari monitoring juga dinilai apakah ada penyimpangan dari proses yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Pada evaluasi dilakukan penilaian apakah tujuan yang disepakati dalam pembentukan jejaring kesehatan remaja telah dicapai. Untuk melihat
beberpaa hal yang terjadi dalam proses dan kegiatan jejaring kesehatan remaja dapat digunakan formulir pemantauan dan evaluasi yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Contoh : Model Jejaring PKPR di Tingkat Kabupaten: Studi Kasus Kab. Trenggalek Sebagai contoh model jejaring di sini, diuraikan model jejaring PKPR di Kabupaten Trenggalek, dimana unsur-unsur yang terkait dengan kegiatan PKPR baik unsur yang telah ada maupun potensial telah dimasukkan. Dari rencana seminar pembentukan jejaring yang diundang 30 orang telah diperluas menjadi hampir 50 orang. Dari sektor kesehatan, terdapat RSUD dan 4 Puskesmas yang terlibat dalam KKR. Dari Dinas BKKB, selain tenaga Pendidikan Sebaya (PS) atau Konselor Sebaya (KS) yang diundang juga dari Pusat Informasi Remaja (PIR) TIKAR. Selain itu juga akan diundang wakil-wakil LSM dan LSOM seperti Pramuka, PKBI, GRANAT, NU, Aisyiyah dan PKK yang berkecimpung di dunia remaja. Ada beberapa kelompok profesi yang akan diundang yaitu dari IBI, PGRI dan PPNI yang dapat membantu sektor Pemerintah dalam mengembangkan PKPR ini. Sedangkan dari sektor pendidikan diundang SLTPN 1 dan SMUN 2 yang guru dan siswa telah dilatih KRR. Selain dari sumber daya yang telah ada, Kab. Trenggalek juga merencanakan untuk melibatkan sektor media massa dalam hal ini radio, yang diundang dan hadir dari Arena Duta Swara, Jwalita, Fatamorgana dan dari media massa diundang media Wedang Jahe.
Radio Arena Duta Suara
RSUD Trenggalek
SLTPN 1
Pramuka
PS PPR Gandusari
KS
PS
Kelompok Remaja
PPR Watulimo
KS PKBI
Kelompok Remaja
Radio Jwalita FM
Radio Suara Alam Persada FM PKK
Muslimat
Radio Kamajaya FM
IDI GRANAT PKPR Pusk Bodag
PPNI SMUN 2
IBI TIKAR Aisyiah Kelompok Remaja
POLRES
PGRI
PP NU
Bahan Pustaka : 1. Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat. Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Rineka Cipta. Jakarta. 2. Northouse, Peter Guy dan Northouse, Laurel Lindhout. 1985. Health Communication. A Handbook for Health Professionals. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. 3. Heriandi. 2004. Laporan Tugas Khusus Telaah Kemitraan Program Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Program Pasca Sarjana, Kesehatan Masyarakat, FKM UI. 4. Pratomo, Hadi. 2004. Laporan Akhir Pengembangan Jejaring Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan Rujukannya di Tingkat Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, Laporan Konsultan Proyek SMPFA), Depkes RI. 5. ---------, 2003. Jejaring Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM). Pusat Promosi Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. 6. -----------, 2003. Kemitraan Menuju Indonesia Sehat 2010. Sekretariat Jenderal, Departemen Kesehatan RI.
LAMPIRAN 1 INSTRUMEN MONITORING DAN EVALUASI No
Pertanyaan
1
Kesetaraan Berikan penilaian Anda, tingkat kesetaraan antar mitra dalam jejaring Manfaat dirasakan Berikan penilaian Anda, tingkat manfaat yang Anda rasakan dari keikutsertaan dalam jejaring Keterbukaan Berikan penilaian Anda, tingkat keterbukaan antar mitra dalam jejaring Sharing SDM Berikan penilaian Anda mengenai tingkat saling berbagi SDM antar mitra dalam kegiatan jejaring Sharing Informasi Berikan penilaian Anda mengenai tingkat saling berbagi informasi antar mitra dalam kegiatan jejaring Sharing Finansial Berikan penilaian Anda mengenai tingkat saling berbagi finansial kegiatan jejaring antar mitra Komitmen Berikan penilaian Anda, tingkat komitmen mitra jejaring secara umum Fungsi & Peran Mitra Berikan penilaian Anda tentang kejelasan fungsi dan peran mitra dalam jejaring kesehatan remaja Dorongan Berkarya Berikan penilaian Anda apakah lingkungan Jejaring memberikan dorongan agar anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan jejaring? Fasilitasi Kegiatan Berikan penilaian anda, sejauh mana jejaring memfasilitasi kegiatan yang anda rencanakan? Manajemen Berikan penilaian tingkat kepuasan anda terhadap manajemen (kepengurusan/koordinasi) jejaring? Contohnya kegesitas, respon terhadap keadaan atau tuntutan dsb) Keluasan & Keragaman Program Berikan penilaian anda, apakah jejaring membuata jangkauan program kesehatan remaja menjadi luas dan beragam Efektifitas Berikan penialaian anda, tingkat efektifitas pencapaian tujuan program kesehatan remaja melalui jejaring Efisiensi Berikan penilaian anda, tingkat efisiensi pencapaian tujuan program kesehatan remaja melalui jejaring Percepatan Berikan penilaian Anda, tingkat sumbangan jejaring terhadap percepatan upaya pencapaian tujuan program kesehatan remaja
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
1
Rendah - tinggi 2 3 4
5