Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
GLOBALISASI PERDAGANGAN INDONESIA DI MASA SATU DEKADE PASCA KRISIS FINANSIAL 1997-1998: URGENSI PENCIPTAAN EFFECTIVE INSTITUTIONS RAKHMAT SYARIP
Rakhmat Syarip adalah seorang mahasiswa dari Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Ia dilahirkan pada tanggal 4 Juni 1988 di Jakarta. Studinya di Universitas Indonesia dimulai dari tahun 200
37
Volume 1, Desember 2010
38
GLOBALISASI PERDAGANGAN INDONESIA DI MASA SATU DEKADE PASCA KRISIS FINANSIAL 1997-1998: URGENSI PENCIPTAAN EFFECTIVE INSTITUTIONS RAKHMAT SYARIP Abstract Trade globalization as a prominent feature of contemporary economy has profound consequences by providing both opportunities and challenges for countries throughout the world. Nevertheless, Indonesia’s trade performance after the Financial Crisis on 1997-1998 was left behind its counterpart in the East Asian region. This can be seen from the large share of primary products and labour-based manufacturing of Indonesia’s export while its neighbouring countries has boosted up their medium and high technology-based products. Indonesia also suffers sensitivity from its import composition due to its percentage share of energy and food products, which both has contributed to energy and food crisis at the second half of 2000s. All in all, I argue that Indonesia’s sluggish trade performance is caused by its lack of effective institutions in encountering global opportunities and challenges, as seen from its incompetence bureaucracy, lack of coordination between government agency, and its dramatic process of democratization.
Keywords: Pertunjukan perdagangan Indonesia (Indonesian trade performance); krisis energi dan makanan (energy and food crisis).
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
PENDAHULUAN Globalisasi merupakan fitur sosial yang sangat dominan di era sekarang ini. Globalisasi mengisi hampir semua ruang dalam kehidupan kita, baik ekonomi, politik, sosial, hingga budaya. Menurut Held, et.al, hampir setiap proses yang mengatur kehidupan manusia semakin luas jangkauannya (widening), semakin intens (deepening), semakin cepat (speeding up), dan makin terasa dampaknya dalam berbagai aspek kehidupan (David, 1999). Hampir di seluruh penjuru dunia, ekses-ekses globalisasi bisa terlihat dalam wujud pertemuan berbagai produk barang dan jasa. Tidak sulit untuk menemukan kasus dimana seorang warga negara Amerika Serikat (AS) bepergian ke Afrika Selatan dengan armada Singapore Airlines, dan menemukan makanan-makanan asli AS (seperti McDonalds dan Dunkin Donnuts), Italia (Pizza, spaghetti dan semacamnya), dan Amerika Latin (tortilla). Ia juga bisa menemukan berbagai mainan dan DVD murah buatan China, produk tekstil buatan Bangladesh dan Indonesia, serta produk-produk teknologi buatan Eropa. Perdagangan menjadi salah satu alasan mengapa hal tersebut terjadi. Sebagaimana semua aspek sosial yang lain, perdagangan pun mengalami proses globalisasi. Perdagangan dunia mencatatkan kenaikan yang cukup masif dari dekade ke dekade. Jika pada tahun 1980 volume perdagangan dunia tercatat sebesar US$ 4,1 triliun, maka volume ini mengalami peningkatan hingga 75 persennya di tahun 1990, yaitu sekitar US$ 7 triliun, dan meningkat lagi sebesar 85 persen satu dekade berikutnya dengan total nilai US$ 13,1 triliun. Volume ini
terus tumbuh hingga pada tahun 2007, perdagangan dunia telah mencapai level US$ 27,9 triliun (UNCTAD, 2009). Hampir semua kelompok ekonomi dunia berkontribusi pada peningkatan volume ini, baik negara berkembang, negara ekonomi transisi, maupun negara maju. Dalam konteks perdagangan, hampir tidak ada negara yang tidak melakukan aktivitas ekspor-impor dengan negara lain, sehingga aktivitas perdagangan ini bisa dikatakan kian mengglobal. Indonesia sendiri tidak terlepas dari proses globalisasi perdagangan ini. Secara geoekonomi, posisi Indonesia berada sangat strategis dalam lalu lintas utama perekonomian global. Indonesia berada di kawasan Asia Timur, dimana kawasan ini merupakan salah satu dari dua engine of growth dunia; satunya lagi berada di kawasan Trans-Atlantik. Situasi ini membuat Indonesia termasuk dalam kawasan paling dinamis di dunia, sehingga Indonesia menjadi salah satu negara terdepan dalam menyikapi peluang dan tantangan globalisasi perdagangan. TUJUAN PENULISAN Tulisan ini akan membahas pengalaman Indonesia dalam globalisasi perdagangan tersebut, khususnya pada kurun waktu satu dekade pasca krisis finansial 1997-1998. Uraian berikut ini akan menunjukkan apakah Indonesia berhasil memaksimalkan potensi-potensi yang ditawarkan oleh fenomena globalisasi dalam rangka memenuhi tujuannya dalam berbangsa dan bernegara, yaitu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
39
Volume 1, Desember 2010
40
METODE PENULISAN Tulisan ini akan dibagi dalam beberapa bagian. Setelah dibuka dengan bagian pendahuluan, bagian kedua akan diisi oleh kinerja ekspor-impor Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Timur. Uraian bagian ini menunjukkan kinerja ekspor Indonesia cukup tertinggal dibandingkan perkembangan di negara-negara lain, seperti bisa dilihat dari share produk berbasis sumber daya alam dan produk industri labour-intensive yang sangat besar. Bagian ketiga akan membahas tentang sensitivitas domestik akibat aktivitas perdagangan tersebut, dimana disini terlihat ada masalah besar dalam hal penyediaan energi dan pangan domestik. Bagian keempat, sementara itu, membahas tentang konteks ekonomipolitik domestik yang melingkupinya. Di sini akan ditunjukkan bahwa kelemahan Indonesia dalam menyikapi peluang dan tantangan globalisasi berasal dari tidak adanya bangun kelembagaan yang memadai sebagai hasil dari belum tuntasnya demokratisasi dan reformasi birokrasi. Bagian terakhir menjadi kesimpulan dari keseluruhan tulisan ini. PEMBAHASAN Kinerja Ekspor-Impor Indonesia Pasca Krisis Finansial 1997-1998 Seiring dengan masifnya perdagangan global, volume eksporimpor Indonesia terus mengalami peningkatan. Selama masa satu dekade pasca krisis finansial 19971998, volume perdagangan Indonesia mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Jika pada tahun 1980 volume perdagangan ini
hanya tercatat sebesar US$ 34,78 miliar, maka pada tahun 2004 angkanya telah mencapai US$ 122, 34 miliar, dan meningkat lagi pada tahun 2007 menjadi US$ 211,81 miliar (UNCTAD, 2009). Meski demikian, analisis lebih mendalam akan komposisi ekspor menunjukkan dinamika yang lain. Sebagaimana terlihat pada tabel 5.1, pertumbuhan ekspor Indonesia pasca krisis finansial 1997-1998 ternyata tidaklah sebaik di masa sebelum krisis. Jika di masa 1990-1996 ekspor Indonesia terlihat sangat dinamis dengan pertumbuhan 18,2 persen, selepas berakhirnya krisis, kinerja ini jauh menurun. Secara volume peningkatan memang terus terjadi, hanya saja appetite untuk melakukan ekspor jauh menurun karena pertumbuhannya hanya tercatat sebesar 6,8 persen (1997-2000) dan 3,9 persen (2001-2004). Secara komparatif pun, tingkat pertumbuhan berada di bawah rata-rata negara ASEAN-5.1 Indonesia jauh ketinggalan dibandingkan Thailand, Singapura, dan Malaysia yang pada kurun waktu 20012004 mencatatkan pertumbuhan 13,2 persen, 6,7 persen, dan 6,3 persen. (Lihat Tabel 3.4) Lebih jauh, sinyal belum pulihnya perdagangan Indonesia pasca krisis finansial 1997-1998 juga tampak dalam perbandingan perdagangan Indonesia dengan perdagangan dunia. Share perdagangan barang dan jasa dari Indonesia terhadap total perdagangan dunia masih belum mencapai level
1
ASEAN-5 merupakan kelompok negara-negara pendiri ASEAN, sekaligus kelompok negara dengan tingkat ekonomi paling tinggi di kawasan ini. ASEAN-5 terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
sebelum krisis. Untuk perdagangan barang, jika sebelum krisis Indonesia mencapai share 1.7 persen, maka di masa pasca krisis Indonesia baru mencapai 1.5 persen. Hal yang sama juga terjadi di perdagangan jasa, dengan perbandingan 1.5 lawan 1.2 (Margit & Molly, 2008:9). Situasi ini menunjukkan bahwa negara-negara lain di luar Indonesia giat meningkatkan aktivitas perdagangannya, sehingga walaupun secara volume perdagangan Indonesia meningkat drastis, tapi secara share terhadap perdagangan dunia, nilainya justru turun. Tabel 3.1 Perbandingan Struktur Ekspor Indonesia Terhadap Sejumlah Negara ASEAN Share in Total Exports (%) 89-90
99-00
41
Machinery & transport equipments
2.1
19.6
21.8
Of which parts and components
0.9
8.5
9.1
Miscellaneous manufacturing (mostly apparel & footwear)
17.2
22.1
18.1
Total
100.0
100.0
100.0
Primary Products
37.5
11.6
13.3
Manufactures
62.5
88.4
86.7
Chemicals & related products
2.1
3.9
6.2
Resourcebased manufactures
7.6
6.9
7.5
Machinery & transport equipments
41.6
68.7
63.4
24.8
40.7
36.3
MALAYSIA
03-04
INDONESIA Primary Products
41.5
25.1
31.1
Manufactures
58.5
74.9
68.9
Chemicals & related products
4.1
6.8
7.6
Resourcebased manufactures
35.1
26.4
21.5
Of which parts and components
Volume 1, Desember 2010
42
Miscellaneous manufacturing (mostly apparel & footwear)
11.2
8.9
9.6
Total
100.0
100.0
100.0
Primary Products
18.4
7.0
9.2
Manufactures
89.0
93.0
90.9
Chemicals & related products
2.8
0.9
1.2
Resourcebased manufactures
5.0
2.8
2.5
Machinery & transport equipments
35.0
78.0
75.8
Of which parts and components
47.2
58.2
59.6
Miscellaneous manufacturing (mostly apparel & footwear)
49.3
Total
100.0
The Philipines
Singapore
Primary Products
12.9
4.7
3.8
Manufactures
87.1
95.3
96.2
Chemicals & related products
7.9
8.2
13.4
Resourcebased m anufactures
7.3
3.4
3.3
Machinery & transport e quipments
61.0
74.5
70.1
Of which parts and c omponents
22.3
42.8
45.2
Miscellaneous manufacturing (mostly apparel & footwear)
11.0
9.2
9.4
Total
100.0
100.0
100.0
38.8
21.2
20.5
Manufactures
61.2
78.8
79.5
Chemicals & related products
1.9
5.9
7.5
Thailand 11.4
100.0
11.4
Primary Products
100.0
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
Resourcebased manufactures
13.0
11.8
11.8
Machinery & transport equipments
20.3
45.3
48.1
Of which parts and components
10.2
23.5
20.5
Miscellaneous manufacturing (mostly apparel & footwear)
25.9
15.9
12.6
Total
100.0
100.0
100.0
Sumber: Prema-Chandra Athukorala, “PostCrisis Export Performance: The Indonesian Experience in Regional Perspective”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 42, No. 2 (Agustus: 2006), hal. 186-187
Tabel 3.1 di atas menggambarkan struktur ekspor Indonesia dibandingkan dengan sejumlah negara di ASEAN. Terlihat bahwa Indonesia masih menggantungkan diri sangat besar pada ekspor produk-produk primer (meliputi produk pertanian dan pertambangan, baik dalam wujud mentah maupun hasil pemrosesan, seperti kelapa sawit, gas alam, produk-produk perikanan, dan lain-lain), yaitu dengan nilai sekitar 31,1 persen di tahun 2003-2004. Angka ini jauh di atas share sektor primer dalam struktur ekspor negara lain. Malaysia hanya memiliki 13,3 persen, sementara Filipina 9,2 persen, Singapura 3,8 persen, dan Thailand 20,5 persen
dengan kecenderungan yang terus menurun dari tahun ke tahun. Di sisi lain, negara-negara ini justru memiliki share sektor manufaktur yang besar terhadap struktur ekspor mereka. Singapura dan Filipina tercatat sebagai negara dengan tingkat manufaktur tertinggi di kawasan, dimana nilainya berkisar antara 80-90 persen dari total ekspor. Posisi Indonesia sendiri tercatat sebagai yang terendah diantara negara-negara ASEAN-5, meskipun disparitasnya tidak terlalu jauh, yaitu di kisaran 68,9 persen. Lebih jauh, tinjauan lanjutan terhadap struktur manufaktur Indonesia menunjukkan bahwa negara ini masih menggantungkan diri pada industri berbasiskan sumber daya alam (resource-based manufactures, 21,5 persen). Angka ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan jenis produk yang sama di Malaysia (7,5 persen), Filipina (2,5 persen), Singapura (3,3 persen), ataupun Thailand (11,8 persen). Industri di Indonesia juga ternyata masih banyak menggantungkan diri pada ekspor yang sifatnya labor-intensive dan lowtechnology, yang terlihat dari share miscellaneous products (produk-produk tekstil dan alas kaki), dengan share sebesar 18,1 persen di tahun 20032004. Untuk jenis produk ini, tingkat pertumbuhannya terus menurun di negara lain dan hanya mencatat satu digit dalam struktur ekspor secara keseluruhan. Hanya Filipina (11,4 persen) dan Thailand (11,3 persen) yang masih mencatat pertumbuhan dua digit. Apa yang tergambar dalam tabel 5.1 tersebut bisa dikatakan sangat disayangkan dalam konteks pembangunan Indonesia. Terlihat bahwa dalam waktu lebih dari 60 tahun
43
Volume 1, Desember 2010
44
Indonesia merdeka, Indonesia masih menggantungkan diri sangat besar pada produk-produk berbasis sumber daya alam. Ekspor industri pun masih sangat terkait dengan produk-produk ini, selain juga masih berfokus pada industri yang berbasis tenaga buruh murah. Dalam konteks studi pembangunan, kemajuan suatu negara bisa dilihat dari struktur ekonominya, dimana kemajuan akan terlihat dari transisi produk-produk ekspor yang dimulai dari dominasi sektor primer, kemudian bergeser ke industri berbasis buruh murah, kemudian industri ringan teknologi menengah, industri berat dan kimia, kemudian industri teknologi tinggi (aerospace, robotics, dan lain-lain) dan industri berbasis jasa (Stanley, 1998: 20–21). Indonesia sangat tertinggal dibandingkan dengan sejumlah negara lain di Asia Timur, seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand yang memiliki struktur value chain yang lebih tinggi dengan share produk-produk industri menengah yang lebih besar. Indonesia bahkan kalah jauh dibandingkan Korea Selatan (Korsel) yang merdeka dalam kurun waktu yang kurang lebih sama dengan Indonesia (Korsel merdeka tahun 1948), dimana sekarang ini Korsel tengah memfokuskan diri pada ekspor produk-produk high technology seperti biomedis, dan lain-lain. Share produkproduk high technology dari Indonesia tidak pernah mencapai lebih dari 15 persen, bandingkan dengan China yang mengalami lonjakan masif dari 10 persen menjadi 35 persen (1992-2006) atau Thailand (20-30 persen) (Molnar & Lesher, 2008: 35). Ada keuntungan yang dimiliki oleh negara yang memiliki ekspor high technology ini, diantaranya adalah
menjadi pemimpin pasar karena sangat sedikit yang memiliki teknologinya. Di sisi lain, produk-produk ini pun memiliki kecenderungan harga yang terus meningkat, karena itu sangat menguntungkan dari segi ekonomi. Bandingkan dengan produk-produk primer yang memiliki kecenderungan sangat fluktuatif terhadap harga pasaran dunia. Produk primer pun memiliki sifat elastisitas rendah (inelastis), sehingga menyebabkan ada limit dimana produk ini tidak akan terus menerus dikonsumsi walaupun penghasilan seseorang meningkat. Hal yang berbeda terjadi untuk produk-produk manufaktur dan high-tech yang dicirikan dengan elastisitas tinggi (disebut juga elastis), sehingga memungkinkan produk-produk ini untuk terus dikonsumsi seiring dengan penghasilan yang meningkat. Sebagai gambaran, peningkatan 1 persen penghasilan di negara maju akan meningkatkan impor bahan makanan hanya sebanyak 0,6 persen dan bahan mentah (seperti karet dan minyak nabati) sebesar 0,5 persen, sementara peningkatan impor produk manufaktur adalah sekitar 1,9 persen (Todaro, 2000: 463-465). Sensitivitas Domestik Terkait Aktivitas Perdagangan Indonesia Uraian di atas menunjukkan bahwa Indonesia banyak tertinggal dibandingkan negara-negara lain dalam menarik peluang-peluang dalam globalisasi. Meski demikian, ini tidak berarti Indonesia relatif imun dari perkembangan-perkembangan perdagangan global. Berdasarkan struktur ekspor-impor Indonesia, akan terlihat bahwa perekonomian Indonesia
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
cukup terpengaruh oleh perekonomian global. Dalam bahasa Keohane dan Nye, ada sensitivitas yang dimiliki oleh suatu perekonomian domestik, dimana perkembangan-perkembangan di tingkat global akan mempengaruhi dinamika yang terjadi di tingkat domestik (Robert & Joseph, 2001). Diagram 3.2 Struktur Impor Indonesia (2006)
Sumber: Margit Molnar dan Molly Lesher, “Recovery and Beyond: Enhancing Competitiveness to Realise Indonesia’s Trade Potential”, OECD Trade Policy Working Paper No. 82, 22 Desember 2008, hal. 34
Sensitivitas perekonomian Indonesia tampak dari impor energinya yang besar, dimana nilainya sekitar 37 persen sebagaimana terlihat pada diagram 11.2.1 Salah satu produk utama yang membentuk komponen ini adalah impor minyak, dimana produk ini menunjukan fluktuasi harga yang sangat besar selepas krisis 1997. Masalahnya adalah sepanjang dekade tahun 2000an harga minyak terus mengalami
1
Gabungan dari komponen pertama dan kedua terbesar dari diagram I
peningkatan hingga mencapai rekor US$ 147 per barel di tahun 2008. Di tingkat global perdagangan minyak sendiri merupakan isu yang sangat sensitif, dan selalu terkait dengan konteks politik dan ekonomi. Secara politik, minyak merupakan salah satu alat diplomasi strategis yang digunakan di kawasan Timur Tengah, dimana kawasan ini sendiri cenderung tidak stabil karena perbedaan kepentingan sangat besar dan beberapa kali mengarah pada konflik terbuka (konflik Israel-Palestina, Iran-Irak tahun 1988, dan Irak-Kuwait awal tahun 1990an, serangan AS ke Irak 2003, dan lain-lain). Sementara itu, secara ekonomi harga komoditas cenderung menjadi sasaran para spekulan. Sebagaimana yang terjadi sepanjang tahun 2008, peningkatan harga minyak bukanlah disebabkan oleh kekurangan pasokan minyak, tapi karena investor global melarikan dananya keluar dari AS akibat krisis subprime mortgage. Mereka pun masuk ke pasar komoditas karena pasar ini dinilai aman dan nilainya terus meningkat, sehingga pada akhirnya harga minyak melonjak drastis melampaui keseimbangan permintaan dan penawarannya (Mark, 2009). Dengan demikian, ketergantungan Indonesia yang tinggi pada sektor ini menyebabkan Indonesia menjadi bergantung pada komoditas yang sangat potensial untuk mengalami fluktuasi harga, sehingga bisa berpengaruh sangat besar di dalam negeri. Situasi ini dirasakan di Indonesia ketika pemerintah dua kali meningkatkan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk mengurangi beban subsidi BBM di APBN. Pada Maret 2005, pemerintah menaikkan harga jual BBM sebesar 29
45
Volume 1, Desember 2010
46
persen, diikuti peningkatan sebesar 114 persen pada Oktober 2005 dan sebesar 28,7 persen pada Juli 2008. Pemerintah sendiri memang tidak memiliki pilihan selain menaikkan harga jual ini. Semenjak tahun 2004 besaran subsidi energi dalam APBN terus meningkat, dari sekitar Rp 100 triliun pada 2005 menjadi Rp 200 triliun pada 2008 (Abimanyu, 2009: 136140). Lebih jauh, masalah pemotongan subsidi BBM ini memiliki dampak sangat besar di masyarakat. Segera setelah kebijakan pemotongan ini dilakukan, Indeks Harga Konsumen (IHK) dan inflasi segera meningkat drastis, dimana kedua indikator ini menunjukkan peningkatan harga di hampir semua komponen produk yang dinikmati masyarakat. Hal ini mudah dimengerti apabila kita mengingat peranan sentral energi bagi kehidupan masyarakat, sehingga tidak heran kenaikan harga di sektor yang sangat vital ini akan memicu kenaikan di hampir seluruh sektor lainnya. BI sendiri terpaksa harus menaikkan lagi tingkat suku bunga BI Rate untuk mengontrol inflasi; sebuah kebijakan yang pada akhirnya memicu makin kecilnya aliran kredit ke sektor riil. Sementara itu, berbagai kalangan industri juga banyak yang menyatakan gulung tikar karena tidak mampu menahan besarnya peningkatan harga ini. Secara politik, biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM ini pun sangat besar. Demonstrasi menentang kebijakan pemerintah marak terjadi di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Pasca kebijakan menaikkan BBM tahun 2005 bahkan berkembang isu impeachment terhadap pemerintahan SBY – JK (A. Nyarwi, unisosdem.org). Posisi Indonesia yang akhirnya
menjadi net importir minyak ini tidaklah terjadi karena cadangan minyak di Indonesia menipis. Kenyataannya di Indonesia ada sekitar 60 cekungan hidrokarbon yang tersebar di dalam bumi dengan perkiraan kandungan minyak bumi 86,9 miliar barel dan gas sekitar 384 triliun standar kaki kubik (TSCF) (Kenny, 2004). Meski demikian, kenyataannya Indonesia hanya mampu mencatat puncak produksi minyak sebesar 1,65 juta barel per hari, yaitu pada tahun 1995. Semenjak itu produksi minyak Indonesia terus merosot hingga di kisaran di bawah 1 juta barel sekarang ini. Yang terjadi adalah Indonesia sulit untuk meningkatkan produksi minyak, karena lebih dari 90 persen kilang minyak yang ada sudah tua berusia 100 tahun sehingga terjadi penurunan produksi 7-15 persen. Lebih jauh, investasi yang seharusnya digalang pemerintah untuk mempertahankan produksi minyak cenderung stagnan di masa pasca krisis finansial 1997-1998. Pemerintah Indonesia dikritik karena dinilai mempersulit proses investasi dengan menciptakan birokrasi yang berbelit-belit sehingga investor enggan datang (Wibowo & Dwijaya, 2009). Masalahnya berlanjut karena pemerintah sendiri tidak melakukan perbaikan signifikan dalam upaya mencukupi kebutuhan energi di dalam negeri. Indonesia lebih giat melakukan ekspor energi ke luar negeri, seperti misalnya ekspor gas alam Tangguh ke provinsi Fujian di China atau dari LNG Bontang ke Korsel dan Jepang. Situasi ini tentu saja mengabaikan kondisi di dalam negeri, dimana rakyat justru mengalami kesulitan pasokan energi. Tingkat elektrifikasi di Indonesia baru mencapai
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
54 persen, sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan bagi kesejahteraan rakyat dan tingkat kekompetitifan Indonesia secara keseluruhan.2 Sangat ironis melihat bahwa Indonesia mengekspor energi dalam jumlah besar tapi membiarkan rakyatnya sendiri tetap hidup dalam kegelapan. Dalam konteks ini, sangat disayangkan karena kebijakan diversifikasi seharusnya sudah bisa dilakukan sejak dulu, tapi baru dilakukan di tahun 2006 (lewat kebijakan konversi gas di masa SBY – JK). Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa masalah di Indonesia terletak pada berlarut-larutnya masalah tanpa penyelesaian menyeluruh. Seharusnya Indonesia tidak perlu mengalami masalah kesulitan energi jika persoalanpersoalan mendasar yang melingkupinya bisa diselesaikan lebih awal. Saat Indonesia menghadapi tantangan akibat perdagangan global, yang sangat disayangkan adalah respons yang sangat lamban dan tidak menyentuh masalah yang dikedepankan para stakeholders di Indonesia. Akibatnya, meskipun Indonesia memiliki potensi yang besar agar bisa lepas dari tantangan tersebut, Indonesia tidak kunjung mampu (atau mungkin tidak mau) untuk lepas dari tantangan-tantangan global itu. Sensitivitas lain yang juga dialami oleh perekonomian Indonesia adalah terkait ketahanan pangan di dalam negeri. Impor bahan pangan ini memang hanya 6 persen dari total impor Indonesia, tetapi produk pangan merupakan produk
2
Bandingkan dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei yang telah mencapai level 98-100 persen. Lihat pada ”SOS Infrastruktur Indonesia”, dalam harian Kompas tanggal 24 April 2009
yang memiliki nilai politis tinggi karena berhubungan dengan kebutuhan dasar masyarakat. Di sisi lain, sama seperti harga energi, harga komoditas pangan juga sangat terpengaruh oleh dinamika di tingkat global. Peningkatan harga minyak secara drastis telah membuat banyak negara menerapkan kebijakan konversi energi (biofuel), seperti terjadi di AS, Eropa, Brazil, China, dan India. Produk-produk pangan juga masuk dalam kategori pasar komoditas yang menjadi instrumen spekulasi selama krisis subprime mortgage di AS sehingga harganya terus meningkat. Lebih jauh, tidak seperti komoditas minyak, komoditas pangan sangat terpengaruh oleh perubahan iklim, sehingga menghadapi ancaman yang sangat nyata dari perubahan iklim dunia. Selama masa satu dekade pasca krisis finansial 1997-1998, situasi krisis pangan ini dirasakan Indonesia dalam wujud kenaikan harga kedelai di tahun 2007. Produksi domestik hanya mampu memenuhi 600 ribu ton, padahal total kebutuhan domestik mencapai 2 juta ton (tempointeraktif.com, 2008). Gap sebesar 1,4 juta ton akhirnya harus diimpor. Masalahnya, negara pemasok kedelai utama seperti AS justru sedang melakukan konversi energi, sehingga banyak lahan kedelai yang dikonversi menjadi lahan jagung (di AS, biofuel dihasilkan dari jagung).3 Kondisi ini
3
Di tahun 2007, luas lahan produksi kedelai di AS menurun hingga 5 juta hektare, sementara lahan produksi jagung meningkat drastis hingga 14 juta hektare. Lihat di Daud Dharsono, “Expecting Significant Growth in 2008 and Beyond”, dalam Indonesia Economic Almanac 2008 (Jakarta: Pustaka Bisnis Indonesia, 2008), hlm. 144
47
Volume 1, Desember 2010
48
membuat banyak pengusaha tahu tempe yang gulung tikar karena tidak mampu menahan kenaikan harga yang terlalu besar. Selain produk pangan, kenaikan harga secara masif juga terjadi untuk produk minyak goreng. Harga minyak goreng di bulan Juli 2007 melonjak dari Rp 5500 – Rp 6000 /kg menjadi Rp 9000/ kg (Kalyanamitra.or.id). Di Ambon dan Jayapura, harga minyak goreng bahkan mencapai Rp 11000/ kg (jurnalnasional. com). Kondisi di komoditas minyak goreng ini bisa dikatakan lebih menyedihkan lagi karena pada saat yang sama Indonesia merupakan negara eksportir minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO, bahan baku minyak goreng) terbesar di dunia. Sebagai gambaran pada tahun 2008, dari 20,55 juta ton CPO yang diproduksi di Indonesia, sekitar 15,8 juta ton (76 persen) diperuntukkan untuk kebutuhan ekspor (Daud, 2009: 93). Dengan demikian, sama seperti kasus gas alam, Indonesia justru memacu ekspor tapi melupakan kebutuhan domestik sehingga memicu kenaikan harga di dalam negeri. Yang menarik adalah sebagian besar ekspor CPO itu ditujukan ke China dan India, dimana di sana CPO merupakan bahan baku utama untuk konversi energi. Lebih ironis lagi, berbagai kebijakan pemerintah untuk mengurangi pasokan ekspor ini ternyata tidak efektif. Berbagai kebijakan seperti Domestic Market Obligation (DMO), kenaikan tarif pungutan ekspor, dan subsidi minyak ternyata tidak efektif menekan arus ekspor ini, dimana harga minyak goreng tetap berada di kisaran Rp 9.000-an. Tidak mengherankan jika, baik untuk kedelai maupun minyak goreng, banyak demonstrasi yang terjadi di jalan menentang kenaikan harga.
Hal ini tentunya sangat disayangkan. Sensitivitas domestik yang dialami Indonesia, baik dari krisis energi maupun krisis pangan, justru terjadi karena kesalahan kebijakan di dalam negeri. Indonesia memiliki pasokan sumber daya yang melimpah untuk mencukupi kebutuhan energi dan pangan domestik, hanya saja sebagian besar sumber daya ini justru diekspor ke luar negeri. Pada akhirnya, selama kebijakan konversi ini tidak dilakukan, Indonesia akan terus mengalami krisis energi dan krisis pangan setiap terjadi kenaikan harga komoditas. Hanya dengan melakukan realokasi komoditas ekspor untuk kebutuhan di dalam negeri, baru Indonesia akan terbebas dari tantangan-tantangan globalisasi perdagangan. Bangun Kelembagaan Indonesia dalam Menyikapi Peluang dan Tantangan Globalisasi Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam konteks perdagangan, Indonesia tampaknya belum bisa memaksimalkan peluang-peluang yang ada. Indonesia juga masih harus menghadapi sejumlah tantangan terkait sensitivitas impor energi dan bahan pangannya. Uraian di atas juga menyatakan bahwa Indonesia terlihat ketinggalan dibanding sejumlah negara-negara tetangganya dalam menyikapi potensi-potensi globalisasi. Kelemahan tersebut bukanlah tanpa sebab. Uraian berikut ini menjelaskan alasannya. Dalam konteks menyikapi globalisasi, yang paling penting adalah bagaimana upaya persiapan diri dalam rangka menghadapi aktor-aktor dari negara lain, sehingga stakeholders di Indonesia tidak akan menjadi penonton
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
saja dalam dinamika tersebut. Bantarto Bandoro memandang bahwa dalam dunia yang makin terglobalisasi, yang dibutuhkan adalah institusi kelembagaan yang kuat. Maksudnya adalah dibutuhkan institusi kelembagaan yang mampu merespons perubahan-perubahan yang sangat cepat di dunia internasional, dengan demikian upaya pencapaian kepentingan nasional juga tidak akan ‘tenggelam’ dan bisa mengikuti gerak langkah ekonomi global. Ini juga berarti masalah diplomasi ekonomi tidak lagi menjadi domain Kementerian Luar Negeri semata, tapi menjadi domain kementerian-kementerian lain yang terkait, dan diharapkan mereka mampu bekerja secara terkoordinasi dan sinergis untuk menjawab peluang dan tantangan global. Termasuk dalam kemitraan ini adalah kesamaan visi misi, koordinasi yang terjaga baik, dan efektivitas tindakan dari masing-masing pemangku kepentingan (Bantarto, 2008: 580591)). Faktor efektivitas ini juga disoroti oleh Faisal Basri, dimana menurutnya bangun kelembagaan yang mampu menjawab tantangan global harus memiliki institusi yang kuat dan mampu mengimplementasikan kebijakannya secara efektif (Basri, 2009: 244). Dengan demikian, globalisasi tidaklah bisa disikapi hanya dengan keterbukaan ekonomi semata. Liberalisasi perdagangan hanyalah menjadi satu instrumen dan seharusnya disikapi dalam konteks ini dan bukannya sebagai keharusan. Instrumen kelembagaan yang efektif memandang penting upaya penguatan kapasitas diri dalam rangka meningkatkan kemampuan kompetisi dalam ekonomi global, sehingga liberalisasi perdagangan seharusnya
49
dilakukan secara bertahap, terukur, dan berlandaskan pada kemampuan aktor-aktor ekonomi domestik. Dengan demikian, liberalisasi tidak bisa dilakukan secara sporadis atau untuk mengikuti tren perdagangan global.4 Konsep kelembagaan efektif ini pula yang dimiliki oleh negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan, Malaysia, dan China. Instrumen pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan dalam tubuh efektif di negara-negara tersebut bekerja secara sinergis dan saling mendukung. Tabel 3.3 Perbandingan Skor Kualitas Birokrasi Sejumlah Negara Negara Skor Birokrasi Singapura
1.30
Jepang
3.01
Hongkong Korea Taiwan Malaysia India China
3.13 5.44 5.91 6.13 6.76 7.58
Thailand 7.64 Filipina 7.80 Vietnam 7.91 Indonesia 8.16 Sumber: Faisal Basri, Catatan Satu Dekade Krisis: Transformasi, Masalah Struktural, dan Harapan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm. 244
4
Menteri Perdagangan Mari Pangestu sendiri mengakui komitmen Indonesia dalam perdagangan bebas lebih sebagai ekspresi fait accompli dari negara-negara lain yang lebih dulu melakukan perjanjian free trade, daripada ekspresi kebutuhan domestik Indonesia. Lihat pada Hadi Soesastro dan M. Chatib Basri, “The Political Economy of Trade Policy in Indonesia”, CSIS Working Paper Series, WPE 092 (Maret 2005), hal. 21-22
Volume 1, Desember 2010
50
Sekarang ini ada indikasi sangat kuat yang menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki instrumen kelembagaan yang memadai dalam menghadapi dinamika globalisasi. Sebagaimana tampak dalam tabel III, skor efektivitas birokrasi Indonesia tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain di kawasan. Singapura tercatat sebagai negara dengan skor birokrasi paling tinggi (1,30), sementara Indonesia berada di peringkat terakhir dengan skor 8,16. Situasi ini menjadi masalah sangat serius, karena birokrasi merupakan bangun kelembagaan utama yang memastikan efektifnya implementasi sebuah kebijakan. Birokrasi yang efektif dicirikan dengan efisiensi dan keefektifannya dalam mengeksekusi perintah atasan, tanpa harus disibukkan dengan masalah-masalah korupsi, struktur yang gemuk, kekurangan sumber daya manusia, dan lain-lain. Di sisi lain, ketiadaan instrumen kelembagaan yang memadai juga dicerminkan dari banyaknya kepentingan ego sektoral kementerian yang membuat diplomasi ekonomi seolah menjadi domain individualistik monopolistik yang meminggirkan peran instansi-instansi lain. Ini menyebabkan kemitraan kooperatif yang seharusnya muncul dalam koordinasi intensif antar instansi menjadi tenggelam (Bantarto, 2008). Sementara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan cenderung melaksanakan kebijakan ekonomi terbuka, sejumlah kementerian seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian justru menerapkan kebijakan yang proteksionis dan menghambat arus perdagangan internasional. Hampir sebagian besar
hambatan non tarif diterapkan oleh Kementerian Pertanian, terutama untuk produk-produk yang dianggap sensitif, seperti beras, gula, jagung, dan kedelai. Hambatan ini muncul terutama dalam bentuk lisensi impor, hak eksklusif impor (untuk beras dan gula), larangan impor untuk produk ayam, dan kuota restriktif untuk impor daging dan unggas (Molnar & Lesher, 2003: 257-261). Ketiadaan koordinasi antar kementerian ini juga terlihat dalam formulasi kebijakan perdagangan bebas Indonesia. Alexander Chandra menemukan bahwa dalam merumuskan kebijakan free trade seperti ASEANChina Free Trade Area (ACFTA) partisipasinya cenderung hanya terbatas pada departemen-departemen kunci, seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan dan Industri, serta Kementerian Koordinator Ekonomi. Di sisi lain, banyak dari instansi pemerintah sendiri yang tidak dilibatkan. Sebagaimana diungkapkan oleh pejabat di Departemen Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah (Depkop-UKM), suara mereka hampir tidak didengar oleh kementerian-kementerian kunci ini saat pemerintah merumuskan AFTA, padahal Depkop-UKM menyatakan tidak yakin mampu berkompetisi dengan negara-negara sesama Asia Tenggara. Kementerian ini juga menyatakan kurangnya koordinasi internal dan sedikitnya informasi yang disebar ke publik terkait rencana strategis pemerintah dalam kebijakan perdagangan bebas. Akhirnya banyak dari birokrat yang tidak tahu perkembangan isu ini. Sementara itu, kelemahan dari sisi pemerintah ini juga banyak dinyatakan oleh para pengusaha. Asosiasi Pengusaha
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
Indonesia (APINDO), Indonesian Small Business Exporters Consortium (ISBEC), dan Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (ASPILUKI) menyatakan bahwa walaupun mereka dilibatkan dalam perumusan kebijakan, tapi hasilnya jauh dari harapan karena lagi-lagi suara mereka tidak dikomodasi. Mereka juga memandang bahwa kebijakan pemerintah akhirnya malah memberatkan pengusaha selain juga menyatakan bahwa perbaikan dalam tubuh pemerintahan seperti praktik KKN dan penyelundupan ilegal sebagai hal yang urgen untuk dilakukan (Chandra, twinside.org). Situasi di Indonesia ini sangat kontras jika dibandingkan dengan sejumlah negara-negara lain. Dengan slogan Japan Incorporated, Pemerintah Jepang berkolaborasi sangat intensif dengan kelompok usahanya; dengan demikian menciptakan koalisi efektif yang berupaya untuk memaksimalkan peluang-peluang pasar di luar negeri. Hal ini tampak sangat nyata dari pemberian Official Development Assistance (ODA) Pemerintah Jepang yang hampir selalu diarahkan pada pembangunan infrastruktur untuk menunjang kelancaran investasi perusahaan-perusahaan Jepang di negara lain. Belakangan, pola yang sama juga mulai diadopsi China dalam bantuan luar negerinya di Asia Tenggara.5 Pemerintah Malaysia pun menerapkan pola kemitraan yang sama dengan mendirikan Malaysian SouthSouth Cooperation (MASSCORP), dimana lembaga ini berperan sebagai
5
Pembangunan Jembatan Suramadu dan keterlibatan investor China pada proyek listrik 10.000 MW merupakan indikasi pola ODA China di Indonesia
penghubung antara sektor swasta Malaysia dengan negara berkembang lain, terutama untuk memfasilitasi pembukaan pasar di negara lain bagi produk-produk perusahaan Malaysia dan aktivitas investasi perusahaan Malaysia di luar negeri. Lebih jauh, formulasi kebijakan perdagangan di Indonesia juga semakin kompleks karena perkembanganperkembangan politik pasca krisis finansial 1997-1998. Tantangan Indonesia tidak hanya muncul dalam bagaimana membenahi birokrasi dan koordinasi antar kementerian, tapi lebih jauh lagi dengan menguatkan bangun kelembagaan demokrasi agar dapat memainkan fungsinya secara maksimal untuk memaksimalkan kesejahteraan rakyat. Sistem demokrasi yang diadopsi Indonesia sejak era reformasi telah membuat formulasi kebijakan menjadi semakin kompleks dan melibatkan jauh lebih banyak pemangku kepentingan dibandingkan dengan masa Orde Baru. Bird, Hill, dan Cuthbertson mengatakan bahwa setidaknya ada 7 elemen ekonomi-politik yang mendasari pembuatan kebijakan di era reformasi. Yang pertama adalah lembaga eksekutif yang melemah, sebagai hasil dari upaya Reformasi yang menggulingkan rezim otoriter. Yang kedua, kesatuan kabinet yang lebih lemah dibandingkan masa sebelum krisis. Ketiga, parlemen yang sebelumnya hanya menjadi lembaga stempel semata telah berubah menjadi lembaga yang kuat, proaktif, legitimate, tapi sulit diprediksi. Ini disebabkan oleh tumbuhnya banyak partai politik pasca krisis, tapi dengan disiplin partai yang lemah, ketiadaan ideologi yang koheren, dan pemahaman yang rendah terhadap
51
Volume 1, Desember 2010
52
ekonomi. Banyak isu-isu nasional yang akhirnya hanya menjadi komoditas politik, tetapi tanpa keinginan untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh dalam rangka mencari simpati dan dukungan masyarakat banyak. Keempat, ada kebutuhan yang besar bagi partai politik terhadap sumber daya uang dalam rangka memenangkan pemilu, sehingga seringkali suatu kebijakan pemerintah menjadi objek aktivitas pencari rente. Skandal Bank Bali adalah salah satu hal yang menunjukkan hal ini, dimana lebih dari US$ 80 juta dalam dana-dana yang dialokasikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Bank Indonesia untuk rekapitalisasi telaga mengalir kepada dana kampanye pemilihan umum Partai Golkar tahun 1999. Pada Juli 2000, departemendepartemen dan BUMN-BUMN sendiri melaporkan keberadaan dana-dana ekstra-budgeter sekitar Rp 7,7 triliun, dimana orang kepercayaan Presiden Wahid sendiri, Suwondo, terlibat dalam penggunaan dana-dana ekstra budgeter sebesar Rp 35 miliar (Hadiz, 2005: 157). Kelima, kelompok masyarakat sipil yang sebelumnya ditekan, kini menjadi cukup berpengaruh dan lantang menyuarakan penolakan kebijakan, terutama kebijakan-kebijakan yang propasar. Keenam, terjadi perubahan besar pada pasar buruh sebelum dan sesudah era krisis. Di masa Suharto, serikat buruh ditekan tapi memiliki produktivitas tinggi dan gaji yang terus meningkat, sementara setelahnya serikat buruh menjadi bebas menyuarakan aspirasinya tapi kekompetitifan ekonomi menjadi berkurang dengan peningkatan gaji minimum dan kebijakan buruh yang restriktif. Terakhir, terkait upaya menjaga
kesatuan nasional, desentralisasi besarbesaran dilakukan pemerintah pusat dengan mentransfer power dan sumber daya ke daerah-daerah (Bird; Hill; & Cuthbertson, 2008: 5-6). Apa yang ingin dinyatakan oleh Bird, Hill, dan Cuthbertson di atas adalah bahwa pengambilan kebijakan di Indonesia pasca krisis finansial 1997-1998 menjadi semakin rumit dan sulit diprediksi. Situasi ini menjelaskan mengapa formulasi kebijakan di Indonesia begitu sulit untuk menjawab tantangan-tantangan globalisasi. Isu-isu seperti konversi energi dan ketahanan pangan merupakan imbas dari faktor ini, dimana kebijakan-kebijakan strategis harus selalu didiskusikan di tingkat Pemerintah Pusat, DPR, Pemerintah Daerah, hingga kelompok masyarakat sipil. Begitu banyak pihak yang mencoba untuk mengedepankan kepentingannya lebih dulu, baik dengan cara yang legal maupun ilegal, sementara mereka harus pula berbenturan dengan tindakan koruptif partai politik dan inkompetensi birokrasi, sehingga tidak mengherankan jika isu konversi energi dan ketahanan pangan selalu terpinggirkan. Situasi yang sama juga menimpa buruknya iklim investasi di Indonesia. Bagaimanapun membangun infrastruktur fisik yang memadai dengan ditunjang oleh sumber daya manusia membutuhkan kolaborasi aktif semua pihak baik dalam tingkat formulasi maupun implementasi kebijakannya. Masalah koordinasi ini juga tampak sangat nyata pada pembatalan sejumlah Peraturan Daerah (Perda) yang menghambat iklim investasi. Pada tahun 2010 saja sudah ada 1.843 dari 4.885 Perda bermasalah
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
yang dibatalkan.6 Otonomi Daerah yang diselenggarakan pasca krisis finansial 1997-1998 memang memberi wewenang lebih besar bagi daerah untuk mengatur wilayahnya. Hanya saja, hal ini seringkali disikapi dengan pemberlakukan berbagai Perda terkait retribusi untuk mengisi kaskas daerah sehingga akhirnya menjadi ekonomi biaya tinggi bagi investor asing. Padahal upaya promosi ekspor dan perdagangan sangat koheren dengan kebijakan menarik investasi asing sebagai pihak yang memiliki modal dan teknologi tinggi. KESIMPULAN Proses demokratisasi menyebabkan formulasi kebijakan, termasuk ekonomi, menjadi lebih rumit seiring dengan makin banyaknya aktor dan kepentingan yang terlibat di Indonesia pasca krisis finansial 1997-1998. Kondisi politik seperti ini sangat berbeda dengan di masa Suharto, dimana sektor ekonomi hampir seluruhnya menjadi domain para teknokrat dan mereka hanya cukup mempengaruhi Suharto untuk mengegolkan sebuah kebijakan. Kini, kebijakan ekonomi menjadi lebih rumit karena membutuhkan dukungan dari konstituen, partai politik, media, masyarakat sipil, dan lain-lain. Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah pasca krisis cenderung tidak konsisten karena demokrasi yang belum matang sehingga upaya pemulihan menjadi lambat dan berjalan sepotong-sepotong. Hal ini tampak sangat jelas dari tekanan proteksionisme dan liberalisme yang terus berbenturan, reformasi birokrasi yang tidak kunjung usai, hingga isu
6
“Perda Perburuk Iklim Investasi”, dalam harian Kompas, 14 Juli 2010
konversi energi serta ketahanan pangan yang tidak kunjung mendapat tempat. Konteks ekonomi-politik ini pula yang mampu menjelaskan mengapa performa perdagangan Indonesia tidaklah sebagus di masa pra-krisis. Upaya meningkatkan value chain dari ekspor Indonesia dengan proporsi sektor manufaktur dan high technology yang lebih besar harus berbenturan dengan rumitnya proses pembuatan kebijakan yang banyak melibatkan begitu banyak stakeholders, baik itu parlemen, kementerian, masyarakat sipil, hingga pemerintah daerah. Teknologi sebagai salah satu elemen penting dari upaya peningkatan value chain tersebut jauh lebih sulit didapat karena pengelolaan SDM di Indonesia harus berbenturan dengan domain kebijakan ini di Kementerian Pendidikan Nasional (sehingga dibutuhkan koordinasi intensif), pospos APBN yang masih sangat dibebani subsidi dan utang luar negeri (domain Kementerian Keuangan dan parlemen), hingga upaya pemberantasan KKN yang menjadi domain lembaga yudikatif. Peningkatan performa perdagangan ini juga sulit karena membutuhkan kualitas infrastruktur yang prima (domain Kementerian Perhubungan, Pemerintah Daerah, DPR, dan kontribusi sektor swasta) dan koherensi menyeluruh antara kebijakan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Tantangan yang sama juga harus dihadapi dalam rangka melakukan konversi energi dan meningkatkan ketahanan pangan, walaupun Indonesia memiliki sumber daya yang lebih dari cukup untuk melakukannya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Indonesia belum
53
Volume 1, Desember 2010
54
memiliki bangun kelembagaan yang efektif dalam menyikapi peluang dan tantangan globalisasi. Dalam konteks ini, adalah salah jika kita menyebut bangun demokrasi sebagai penyebab segala permasalahan di atas. Bagaimanapun, demokrasi yang diadopsi Indonesia pasca krisis finansial 1997-1998 telah membawa banyak hal baik, seperti penghargaan terhadap hak asasi manusia dan pemisahan institusi sipil dan militer. Di sisi lain, demokrasi memiliki logikanya sendiri dalam penciptaan kesejahteraan masyarakat. Demokrasi mungkin menciptakan
inefisiensi dalam hal pengambilan keputusan, tetapi institusi demokrasi juga memungkinkan semua kelompok masyarakat ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. . Di titik ini poin krusial yang harus dibenahi adalah koordinasi dan aturan main antar para pemangku kepentingan. Konsolidasi demokrasi, dengan demikian, menjadi proses yang harus dikelola secara benar di Indonesia, sehingga negara ini bisa memaksimalkan peluang dan meminimalisasi tantangan dari globalisasi, khususnya perdagangan.
Tabel 3.4 Pertumbuhan Ekspor Non-Migas Sejumlah Negara ASEAN (dalam persen)
Indonesia
Malaysia
Filipina
Singapura
Thailand
ASEAN-5
1990-1996
18.2
21.5
14.0
19.2
17.5
17.8
1997-2000
6.8
5.8
17.2
3.0
5.0
5.5
2001-2004
3.9
6.3
-0.3
6.7
13.2
6.7
Sumber: Prema-Chandra Athukorala, “Post-Crisis Export Performance: The Indonesian Experience in Regional Perspective”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 42, No. 2 (Agustus: 2006), hal. 183
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora
DAFTAR ACUAN Abimanyu, Anggito., Megantara, Andie. 2009. “Tantangan Kebijakan Fiskal 1998-2009: dari Krisis Asia ke Krisis Global. Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Jakarta: Kompas. Anonim. “Perda Perburuk Iklim Investasi”, dalam harian Kompas, pada tanggal 14 Juli 2010 Bandoro, Bantarto. 2008. “Kelembagaan Diplomasi Ekonomi Indonesia: Kemitraan Kooperatif atau Individualistik Monopolistik?”, Analisis CSIS, Vol. 37, No. 4 (Desember 2008). Basri, Faisal. 2009. Catatan Satu Dekade Krisis: Transformasi, Masalah Struktural, dan Harapan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Erlangga. Basri, M. Chatib., Hal Hill. 2009. “Indonesia’s Trade Policy Challenges”, dalam The Indonesian Quarterly, Vol. 37, No. 2. Bird, Kelly., Hal Hill., Sandy Cuthbertson. 2008. “Making Trade Policy in a New Democracy After a Deep Crisis: Indonesia”, Center for Contemporary Asian Studies (CCAS) Working Paper Doshisha University, No. 14. Dharsono, Daud. 2009. “Palm Oil Business Outlook: Profitable but Still Risky”, dalam Indonesia Economic Almanac 2009. Jakarta: Pustaka Bisnis Indonesia. Dharsono, Daud. 2008. “Expecting Significant Growth in 2008 and Beyond”, dalam Indonesia Economic Almanac 2008. Jakarta: Pustaka Bisnis Indonesia. Frieden, Jeffry A. 2006. Gobal Capitalism: Its Fall and Rise in the Twentieth Century. New York: W.W. Norton & Company. Held, David et. al. 1999. Global Transformations: Politics, Economics, and Culture. Cambridge: Polity Press. Kenny, Henry J. 2004. China and the Competition for Oil and Gas in Asia, Asia Pacific Review, Vol. 11, No. 2. Bird, Kelly., Hal Hill, dan Sandy Cuthbertson. “Making Trade Policy in a New Democracy After a Deep Crisis: Indonesia”, Center for Contemporary Asian Studies (CCAS) Working Paper Doshisha University. No. 14 (May 2008)
55
56
Volume 1, Desember 2010
Kiat, Stanley Ang Beng, et. al. 1998. ”The Geese Flying South”, dalam Tan Teck Meng, et. al. (eds.). 1998. Japan-ASEAN Relations: Implications for Business. Singapore: Prentice Hall. Molnar, Margit dan Molly Lesher. 2008. “Recovery and Beyond: Enhancing Competitiveness to Realise Indonesia’s Trade Potential”, OECD Trade Policy Working Paper No. 82. Robert O. Keohane & Joseph S. Nye. 2001. Power and Interdependence, 3rd Edition. New York: Longman. Salvatore, Dominick. 2004. International Economics, 8th Edition. New Jersey: John Wiley & Sons. Todaro, Michael P. 2000. Economic Development, 7th Edition. Essex: Pearson Education Ltd. Vedi R. Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Wibowo, I. dan Dwijaya Kusuma. 2009. “Melumasi Hubungan Indonesia-Cina: Kerjasama Minyak”, dalam I Wibowo dan Syamsul Hadi (eds.). Merangkul Cina: Hubungan Indonesia-Cina Pasca-Suharto. Jakarta: Gramedia. Zandi, Mark. 2009. Financial Shock: A 360° Look at the Subprime Mortgage Implosion, and How to Avoid the Next Financial Crisis New Jersey: FT Press. 2009. UNCTAD Handbook of Statistics 2008. New York and Geneva: UN. Anonim. “Harga Minyak Goreng Diperkirakan turun Bertahap”, http://jurnalnasional. com/?med=Web&sec=Breaking%20News&rbrk=Ekonomi&id=3360 (7 November 2007 pukul 22:12). Anonim. “Ketahanan Pangan Nasional Dicapai Lima Tahun Lagi. http://www. tempointeraktif.com/hg/bisnis/2008/12/18/brk,20081218-151744,id.html (26 April 2010 pukul 11:10). Anonim. “Memaksimalkan Produk CPO sebagai Produk Andalan”. http://www. kalyanamitra.or.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=98&itemid =2 (7 November 2007 pukul 22:52). Chandra, Alexander C. “Indonesia and Bilateral Trade Agreements (BTAs), http://www. twnside.org.sg/title2/FTAs/General/IGJ-Indonesia_and_Bilateral_Free_Trade_