Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah LedadkanBesar
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Penyunting dan Penyelenggara: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan
Mitra Pembangunan sebagai Sponsor: Asian Development Bank Australian Aid Decentralization Support Facility (DSF) / World Bank German Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ)
Pandangan yang dinyatakan dalam publikasi ini adalah pandangan penulis dan tidak harus mencerminkan pandangan dan kebijakan Pemerintah Indonesia dan Bank Pembangunan Asia, atau Pemerintah lain atau mitra pembangunan yang membantu penyusunan publikasi ini. Penyunting tidak menjamin akurasi data yang dicantumkan dalam publikasi ini, dan tidak bertanggung jawab atas akibat dari pemakaian data tersebut. Penyunting menganjurkan pencetakan dan penyalinan informasi hanya untuk kepentingan pribadi dan tanpa komitmen, dan harus menyebutkan sumber pada publikasi ini. Pengguna dilarang menjual kembali, menyebarkan atau membuat karya turunan untuk tujuan komersial, tanpa izin tertulis dari Penyunting: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. Untuk pertanyaan silahkan ditujukan ke: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Gedung Radius Prawiro Jalan Dr. Wahidin 1 Jakarta 10710 Republik Indonesia, Telp. +62 213505645
Prakata
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia pada bulan September 2011 mengadakan konferensi internasional tentang Desentralisasi Fiskal Di Indonesia Satu Dekade Setelah Ledakan Besar. Sebagai Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, saya sangat senang mengadakan konferensi dan sekarang menyajikan buku yang merupakan makalah dan hasil diskusi yang muncul dari konferensi. Kami berharap buku ini akan berfungsi sebagai tonggak penting dari kemajuan kita dalam dekade pertama setelah ledakan besar dan juga sebagai penunjuk arah untuk menghadapi tantangan yang terbentang di depan dalam dekade berikutnya. Publikasi ini didasarkan pada makalah-makalah yang disajikan dalam konferensi mengenai desentralisasi fiskal, yang diselenggarakan di Jakarta di bulan September 2011. Konferensi ini diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, dengan sponsor yang diberikan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia/Fasilitas Pendukung Desentralisasi (Decentralization Support Facility), Australian Aid (AusAid); dan German Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ). Konferensi tersebut diberi judul Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar, dan subjudulnya adalah Perspektif Indonesia dan Internasional untuk Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya pada Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial. Makalah ini disusun dengan tiga tema utama yang menyebar ke dalam desentralisasi fiskal di Indonesia dan di banyak bagian dunia lainnya saat ini. Pertama, tantangan dalam menata sosioekonomi desentralisasi dengan benar. Kedua, merancang dan melaksanakan sistem pembiayaan antar pemerintah yang efektif, dan yang terakhir, mengoptimalkan penyediaan iii
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
infrastruktur dan pelayanan publik di tingkat subnasional untuk mendukung pertumbuhan dan pembangunan yang lebih luas. Banyak orang memberikan kontribusinya pada konferensi internasional tersebut dan penyusunan publikasi ini, dan ucapan terima kasih disampaikan untuk mereka disini. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan di Kementerian Keuangan Republik Indonesia menyelenggarakan dan mengelola konferensi ini. Para anggota Panitia Penyelenggara adalah Dr. Marwanto Harjowiryono, Direktur Jenderal; Prof. Heru Subiyantoro, Sekretaris; Dr. Ahmad Yani, Kepala Bagian Perencanaan dan Organisasi; dan Erny Murniasih, Kepala Subbagian Perencanaan. Penulis makalah utama publikasi ini, juga profil mereka, disebutkan terpisah di halaman vi. Selain itu, nama berikut ini memberikan jasa mereka sebagai pembicara, panelis dan peserta diskusi kelompok selama konferensi. Mereka adalah Dr. Etisham Ahmad; Dr. Rabin Hattari; Dr. Agung Pambudhi; Dr. Eko Luky Wuryanto; Dr. Elan Satriawan; Dr. Machfud Sidik; Dr. Roy V. Salomo; Prof. Chandra Fajri Ananda; Prof. Heru Subiyantoro, Dr. H. E. Edi Siswadi; Prof. Abdul Halim; Dr. Max Pohan; Prof. Wihana Kirana Jaya; Dr. M. Najib; Prof. Dr. Adler Haymans Manurung; Dr. Nao Badu; Drs. Budi Sitepu M.A.; Dr. Budhi Santoso; Ir. Adijanto; Tim Auracher; dan Dr. Hefrizal Handra. Dari Mitra Pembangunan, bantuan penyelenggaraan dan pengelolaan untuk konferensi dan publikasi ini diberikan sebagai berikut. Untuk Bank Pembangunan Asia oleh: Rabin Hattari; James Lamont; Muhammad Handry Imansyah; dan Jessey Hutapea. Untuk Dukungan Fasilitas Desentralisasi (DSF) oleh: Daan Pattinasarany dan Rayi Renggani. Untuk German Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) oleh: Tim Auracher; Joerg-Werner Haas; dan Paulita Septarini Sedia. Untuk Aus Aid oleh: Petrarca Karetji; Leonardo Simanjuntak; dan Lila Sari. Kami berterima kasih khususnya kepada mereka peserta yang datang dari berbagai negara maupun dalam negeri, sehingga menambah dimensi internasional pada makalah-makalah utama dan diskusi. Para peserta menyatakan keinginan kuat untuk mempertahankan hubungan dan untuk mengadakan konferensi serupa di masa depan untuk melihat perkembangan penting di bidang desentralisasi fiskal. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan di Indonesia akan aktif iv
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dalam membuka dialog lebih lanjut dengan kalangan internasional dari waktu ke waktu sehingga dapat memastikan kebijakan Indonesia dan pendekatan desentralisasi fiskal tetap menerapkan praktek terbaik.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia
v
Mengenai Penulis di dalam Buku Ini
Agus Martowardojo, Menteri Keuangan Republik Indonesia. Prof. Armida Alisjahbana, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Republik Indonesia. Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. James Lamont, konsultan Bank Pembangunan Asia yang bekerja di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan di Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dr. Muhammad Handry Imansyah, konsultan Bank Pembangunan Asia yang bekerja di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan di Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Erny Murniasih, pejabat pemerintah yang bekerja di kantor Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan di Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Prof. Djohermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah di Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Luis Riffo Perez, periset di bidang pembangunan daerah dari Institut Amerika Latin dan Karibia untuk Pembangunan Sosial dan Ekonomi (ILPES) di Komisi Ekonomi Amerika Latin dan Karibia (CEPAL). Prof. Jorge Martinez Vazquez, Ketua Program Internasional di Sekolah Kebijakan Publik Andrew Young, dari Universitas Georgia State, Amerika Serikat.
vi
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Dr. Marwanto Harjowiryono, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan di Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Kenneth Brown, Deputi Direktur Jenderal Hubungan Fiskal AntarPemerintah di Perbendaharan Nasional Afrika Selatan. Prof. Roy Kelly, Profesor Kebijakan Publik dari Universitas Duke di Amerika Serikat. Ir. Joko Widodo, Wali Kota Surakarta di Jawa Tengah, Republik Indonesia. Prof. Hj. Winarni Monoarfa, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dari Provinsi Gorontalo di Sulawesi Utara, Republik Indonesia. Dr. Anwar Shah, Direktur Pusat Ekonomi Publik, Chengdu di Cina, yang juga bekerja sebagai konsultan Bank Pembangunan Asia di Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Direktur Program Tata Kelola dari Institut Bank Dunia. Dr. Blane D. Lewis, Profesor Keuangan Publik dari Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew School, Universitas Nasional Singapura. Prof. Paul Smoke, Profesor Keuangan dan Perencanaan Publik dan Direktur Kantor Program Internasional, Universitas New York, Amerika Serikat. Prof. Baoyun Qiao, Profesor Ekonomi dari Akademi Keuangan dan Kebijakan Publik Cina, Universitas Pusat Keuangan dan Ekonomi, Cina.
vii
Singkatan
ANC APBD APBN APL ASEAN BLAs BPGA BPHTB BPMKS BVPIs CAR CBDs CCSC CDD CG CPA DAU DAK DBH DDFs DID DORA DPOD DP DPR DPRD viii
Kongres Nasional Afrika Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Sistem Pengelompokan Produksi Association of South-East Asian Nations Otoritas Lokal Hitam Undang-Undang Kekuasan Peminjaman Pemerintah Provinsi Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Subsidi Pendidikan Indikator Kinerja Nilai Terbaik Korporasi Otonomi Daerah Kawasan Pusat Bisnis Dana Jaminan Sosial Kostarika Pembangunan Atas Inisiatif Masyarakat Pemerintah Pusat Analisis Kinerja Komprehensif Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Dana Bagi Hasil Dana Pembangunan Distrik Dana Insentif Daerah Undang-Undang Pembagian Pendapatan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Mitra Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
DR ECLAC FA FFC GDP GDS2 GR GRDP HDI IDR IGRFA ILPES KPP LDFs LGs LGA LGTA MDG MFMA MLG SPM MOHA MSS MTEF NGIP NHI NJOP NPOP OECD PAD PBF PBG PBB PBBP2 PFM
Direktorat Daerah Komisi Ekonomi PBB Untuk Amerika Latin Dan Karibia Alokasi Fiskal Komisi Fiskal Dan Keuangan Produk Domestik Bruto Survei Tata Kelola Dan Desentralisasi Kedua Peraturan Pemerintah Produk Domestik Regional Bruto Indeks Pembangunan Manusia Rupiah Indonesia Undang-Undang Hubungan Fiskal Antar Pemerintah Komisi Ekonomi PBB Untuk Amerika Latin Dan Karibia Kantor Pelayanan Pajak Dana Pembangunan Lokal Pemerintah Daerah Undang-Undang Pemerintah Daerah Undang-Undang Transisi Pemerintah Daerah Millenium Development Global Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Kota Kementerian Pemerintah Daerah Standar Pelayanan Minimum Kementerian Dalam Negeri Standar Pelayanan Minimal Kerangka Belanja Jangka Menengah Partisipasi Pendapatan Umum Nasional Skema Asuransi Kesehatan Nasional Nilai Jual Obyek Pajak Nilai Pasar Obyek Pajak Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Penerimaan Asli Daerah Pembiayaan Berbasis Kinerja Hibah Berbasis Kinerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Pajak Bumi Dan Bangunan Perkotaan Dan Perdesaan Manajemen Keuangan Publik
ix
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
PFMA PG PISA PKMS PMAS PMES PMIT PNPM RBF RDAs RG SALGA SARS SDO SEBRAE
Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Publik Pemerintah Provinsi Program Evaluasi Siswa Asing Subsidi Kesehatan Sistem Pengelolaan Kinerja Sistem Pengukuran Kinerja Model Dan Alat Peningkatan Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Pembiayaan Berbasis Hasil Instansi Pembangunan Daerah Pemerintah Daerah Asosiasi Pemerintah Daerah Afrika Selatan Lembaga Pendapatan Afrika Selatan Hibah Otonomi Daerah Lembaga Bantuan Brasil Untuk Usaha Menengah Dan Kecil SEDESOL Kementerian Pembangunan Sosial SFG Hibah Fasilitas Sekolah SGP Penyediaan Barang Dan Jasa SHCP Kementerian Keuangan Dan Kredit Masyarakat SISMIOP Sistem Manajemen Informasi Obyek Pajak SISTEP Sistem Tempat Pembayaran SNG Pemerintah Subnasional SOEs Perusahaan Milik Negara SWAps Pendekatan Skala Sektor TIMSS Studi Ilmu Pengetahuan Matematik Internasional Ketiga TSS Persetujuan Pembagian Pendapatan (Cina) UDICs Perusahaan Investasi Dan Pembangunan Perkotaan UNCDF Dana Pembangunan Modal Dari PBB UPE Hibah Pendidikan Dasar Universal VAT Pajak Nilai Tambah WLAs Otoritas Lokal Putih
x
Daftar Isi
Prakata .......................................................................................... iii Mengenai Penulis di dalam Buku ini ......................................... vi Singkatan ...................................................................................... viii Daftar Isi ....................................................................................... xi Daftar Tabel .................................................................................. xv Daftar Gambar ............................................................................. xvii Daftar Kotak ................................................................................ xviii BAGIAN A Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum ...................................................................... 1.1. Latar Belakang .............................................................. 1.2. Pidato Menteri ............................................................... 1.3. Tema 1 – Mendapatkan Hak Ekonomi Politik Desentralisasi .............................................................................. 1.4. Tema 2 – Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif ............................................................................ 1.5. Tema 3 – Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur dan Pelayanan ......................................................................
2. 3. 4.
BAGIAN B Pidato Menteri Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. ............... Satu Dekade ”Ledakan Besar” .......................................... Pidato Penutupan .................................................................
3 3 6 9 16 24
39 44 48
BAGIAN C Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi 5.
Tantangan Politik dan Keberhasilan di Indonesia ...........
53 xi
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
6.
7.
5.1. Pendahuluan ................................................................. 53 5.2. Desentralisasi untuk Demokrasi .................................. 54 5.3. Desentralisasi untuk Kesejahteraan ............................. 56 5.4. Fungsi Pemerintah........................................................ 56 5.5. Struktur Pemerintah ..................................................... 57 5.6. Keterlibatan Pegawai Negeri ....................................... 57 5.7. Administrasi Keuangan Daerah ................................... 58 5.8. Perwakilan Daerah ....................................................... 58 5.9. Sistem Penyediaan Pelayanan Publik .......................... 59 5.10. Sistem Pemantauan dan Pengawasan yang Efektif ..... 59 5.11. Masalah Pelaksanaan ................................................... 62 5.12. Kesimpulan dan Saran ................................................. 62 Fungsi Penugasan di Amerika Latin .................................. 64 6.1. Pendahuluan ................................................................. 64 6.2. Ringkasan Pendekatan Desentralisasi di Amerika Latin 65 6.3. Metodologi ................................................................... 66 6.4. Situasi Pelayanan Dasar di Negara-Negara yang Dianalisis ...................................................................... 69 6.5. Kesimpulan dan Rekomendasi ..................................... 86 Mengelola Tekanan Pemekaran .......................................... 96 7.1. Pendahuluan ................................................................. 96 7.2. Sumber Masalah .......................................................... 97 7.3. Determinan Pemekaran ................................................ 100 7.4. Antara Peraturan dan Praktek Nyata .......................... 106 7.5. Perspektif Internasional dan Jumlah Pemda yang Optimal .............................................................................. 109 7.6. Dampak Pemekaran pada Kinerja Pemda ................... 112 7.7. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan ................... 116 BAGIAN D Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
8.
xii
Pengembangan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah di Indonesia .......................................................................... 8.1. Latar Belakang ............................................................. 8.2. Kebijakan Transfer Fiskal Antar Pemerintah ..............
123 123 127
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
8.3. Praktek Terkini Terkait Hubungan Fiskal Antar Pemerintah ............................................................................ 8.4. Pendapatan Pemerintah Daerah ................................... 8.5. Pemekaran Pemerintah Daerah .................................... 8.6. Menemukan Solusi ....................................................... 8.7. Kesimpulan dan Rekomendasi ..................................... 9. Reformasi Sistem Pembiyaan Antar Pemerintah ............. 9.1. Pendahuluan ................................................................. 9.2. Dari Apartheid ke Negara Kesatuan ........................... 9.3. Pembagian Pendapatan yang Adil ............................... 9.4. Penugasan Pendapatan Provinsi .................................. 9.5. Menciptakan Pemerintah Daerah Bersatu dan Proses Pemisahan ..................................................................... 9.6. Pembentukan Pemerintah Daerah ................................ 9.7. Pelajaran yang Didapat ................................................ 9.8. Kesimpulan dan Rekomendasi ..................................... 10. Penguatan Sisi Pendapatan ................................................. 10.1. Pendahuluan ................................................................. 10.2. Teori dan Praktek Alokasi Pendapatan ....................... 10.3. Penugasan Pendapatan Pemerintah Daerah di Indonesia .............................................................................. 10.4. Devolusi Pajak Properti di Indonesia .......................... 10.5. Kesimpulan dan Rekomendasi ..................................... BAGIAN E Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan 11. Studi Kasus Penyediaan Pelayanan di Kota Surakarta, Indonesia ............................................................................... 11.1. Pendahuluan ................................................................. 11.2. Latar Belakang dan Hipotesis ..................................... 11.3. Sumber Pendapatan untuk Anggaran Kota Surakarta 11.4. Ringkasan Strategi Pembangunan Kota ...................... 12. Studi Kasus Penyediaan Pelayanan, Provinsi Gorontalo, Indonesia ............................................................................... 12.1. Pendahuluan .................................................................
128 134 137 141 145 147 147 150 155 159 160 162 164 179 181 181 185 195 199 210
217 217 218 221 222 224 224
xiii
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
12.2. Strategi Pembangunan Gorontalo ................................ 224 12.3. Kinerja Pembangunan .................................................. 228 12.4. Kesimpulan dan Rekomendasi ..................................... 231 13. Pilihan Pembiayaan Pemda di Indonesia .......................... 233 13.1. Latar Belakang ............................................................ 233 13.2. Gambaran Umum Keuangan Provinsi di Indonesia ... 235 13.3. Transfer Pemerintah Pusat di Indonesia: Tinjauan .... 240 13.4. Pajak dengan Pengaturan Bagi-Hasil Pajak di Indonesia............................................................................. 242 13.5. Hibah Umum Penutup Kesenjangan ........................... 244 13.6. Evaluasi Dana Alokasi Khusus (DAK) ...................... 256 13.7. Kesimpulan dan Rekomendasi .................................... 265 14. Insentif untuk Penyediaan Pelayanan Lebih Baik ............ 268 14.1. Pendahuluan ................................................................ 268 14.2. Insentif Kinerja untuk Pemerintah Daerah dalam Sistem Desentralisasi .............................................................. 269 14.3. Insentif Kinerja di Indonesia....................................... 270 14.4. Skema Insentif: Tujuan dan Desain ............................ 275 14.5. Insentif Kinerja untuk Pemda: Pengalaman Internasional ............................................................................... 287 14.6. Sistem Hibah Berbasis Kinerja yang Lebih Luas ...... 292 14.7. Sistem Evaluasi Kinerja yang Komprehensif ............. 296 14.8. Insentif Kinerja Pemerintah Daerah Baru di Indonesia 299 15. Pembiayaan Infrastruktur Daerah dan Pertumbuhan di Cina ..................................................................................... 303 15.1. Pendahuluan ................................................................. 303 15.2. Latar Belakang Teoretis............................................... 306 15.3. Tantangan Sistem Fiskal Cina ..................................... 315 15.4. Metode Riset ................................................................ 316 15.5. Kontribusi yang Diharapkan: Implikasi untuk Cina ... 320 15.6. Analisis Risiko Optimal ............................................... 330 15.7. Kesimpulan dan Rekomendasi ..................................... 332 BAGIAN F Referensi ......................................................................................
xiv
335
Daftar Tabel
Tabel 7.1. Tabel 7.2.
Tabel 7.3. Tabel 8.1. Tabel 8.2. Tabel 8.3. Tabel 8.4. Tabel 8.5.
Tabel 10.1. Tabel 10.2. Tabel 10.3. Tabel 10.4. Tabel 11.1.
Jumlah Pembentukan Pemda Baru............................ Jumlah Pemerintah Subnasional yang Dibentuk menurut Proses Pemerintah Reguler dan Proses DPR yang Dipercepat Selama 1999–2008........................ Determinan Jumlah Pemda dan Laju Pertumbuhan Jumlah ini Menurut Provinsi ‘Induk’ (sejak 1999)... Porsi Pemerintah Daerah dalam Total Pendapatan dan Belanja Nasional (%)....................................... Pendapatan Pemerintah Daerah 1999/2000 dan 2011 (miliar rupiah) ......................................................... Hasil Pemekaran Daerah ........................................ Peningkatan Penyerapan Anggaran DAU per Daerah Baru dan Daerah Induk Sisanya ............................. Perbandingan Peningkatan DAU antara Provinsi dengan Daerah Baru dan Provinsi tanpa Daerah Baru ..................................................................... Klasifikasi Pajak Daerah Menurut Bobot Kendali Pusat vs Daerah ..................................................... Pajak Provinsi dan Kota/Kabupaten Menurut UU No. 28 (2009) ........................................................ Perbandingan Struktur Pajak Provinsi dan Kota/ Kabupaten Seiring Waktu ....................................... Profil Pemda di Indonesia untuk Strategi Devolusi Pajak Properti ......................................................... Kontribusi Sektoral pada PBRB Kota Surakarta, 2005–2009 (%) ......................................................
99
100 105 126 135 138 140
143 186 197 200 207 219
xv
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Tabel 11.2. Pertumbuhan PDRB per Sektor (Harga Konstan 2000) di Kota Surakarta, 2005–2009 (%) .............. Tabel 13.1. Fungsi Wajib Pemerintah Subnasional Menurut UU 22/1999 dan 32/2004 ............................................. Tabel 13.2. Transfer Pusat-Provinsi/Lokal, 2010 ..................... Tabel 13.3. Indeks Williamson sebagai Standar Penyetaraan di Indonesia: 2005–2011 ........................................... Tabel 13.4. Bobot Indek Williamson untuk Kapasitas Fiskal dan Faktor Kebutuhan Belanja dalam Alokasi DAU (%) Tabel 13.5. Alokasi DAU yang Ada Menyebabkan Fragmentasi Yurisdiksi ................................................................. Tabel 13.6. Kompensasi Kebutuhan Fiskal DAU: Alternatif— Provinsi ................................................................. Tabel 13.7. Kompensasi Kebutuhan Fiskal DAU: Alternatif— Kota (c1..5) ........................................................... Tabel 13.8. Kompensasi Kebutuhan Fiskal DAU: Alternatif— Kabupaten (D1...D4) ............................................. Table 15.1. Kecenderungan Pendapatan Fiskal dan Belanja di Cina: 1990–2009 (unit miliar Rmb) ...................... Tabel 15.2. Belanja Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemda di Cina, 2009 (unit: miliar Rmb) ............................ Tabel 15.3. Sumber Pendapatan untuk Pemerintah Pusat dan Subnasional di Cina, 2009 (unit: miliar Rmb)........ Tabel 15.4. Kecenderungaan Disparitas Fiskal untuk Pemerintah Subnasional di Cina, 2009 (unit: miliar Rmb) ......... Tabel 15.5. Anggaran Belanja Modal di Cina: 1997–2009 (unit: miliar Rmb) ............................................................. Tabel 15.6. Pertumbuhan Ekonomi Cina dan Pendapatan Pemerintah Daerah ................................................. Tabel 15.7. Investasi Deposito, Pinjaman dan Portfolio di Lembaga Keuangan 97–09 ..................................... Tabel 15.8. Pengaruh Berbagai Faktor pada Equilibrium Peminjaman Subnasional ........................................
xvi
220 238 241 245 246 251 254 254 255 305 308 311 312 315 324 328 329
Daftar Gambar
Gambar 6.1. Dimensi Desentralisasi ........................................ Gambar 7.1. Pemekaran per Pulau (1999–2007) ....................... Gambar 8.1. Data Historis terkait Transfer Antar Pemerintah dari 1995/1996–2008 ...................................... Gambar 8.2. Rasio Belanja Gaji untuk Kabupaten/Kota ........... Gambar 10.1. Kemungkinan Tahapan Desentralisasi Pendapatan Daerah ................................................................. Gambar 12.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per Kapita Gambar 12.2. Persentase Angka Kemiskinan .............................. Gambar 12.3. Indeks Pembangunan Manusia .............................. Gambar 12.4. Pengangguran Terbuka ........................................ Gambar 12.5. Pencapaian MDGs ............................................. Gambar 13.1. Dengan Ledakan Besar, Indonesia telah Meloncat Menjadi Bangsa yang Terdesentralisasi (alokasi belanja daerah dari total belanja—2005) ............. Gambar 13.2. Belanja, Pekerjaan dan Porsi Pengumpulan Pendapatan Menurut Tingkat Pemerintah ............... Gambar 15.1. Proses Urbanisasi yang Cepat di Cina ................. Gambar 15.2. Perkembangan Ekuilibrium Utang ......................
66 99 133 144 191 228 229 229 230 230
231 237 325 330
xvii
Daftar Kotak Kotak 13.1. Bagi-Hasil Pendapatan Sumberdaya Alam: Apa yang Ideal Kadang Tidak Layak Secara Politik ................ 243
xviii
BAGIAN A Tinjauan Umum
1 Tinjauan Umum James Lamont, Muhammad Handry Imansyah dan Erny Murniasih
1.1. Latar Belakang Buku ini didasarkan pada makalah-makalah yang disajikan dalam konferensi internasional tentang desentralisasi fiskal, yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan September 2011. Konferensi ini diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan dengan sponsor yang diberikan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia/Fasilitas Pendukung Desentralisasi (DSF), Australian Aid (AusAid), dan German Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ). Konferensi ini diberi judul: Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar, dan subjudulnya adalah: Perspektif Indonesia dan Internasional tentang Praktek Terbaik Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya pada Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial. Bab-bab buku ini disusun dengan tiga tema utama yang menyebar ke dalam desentralisasi fiskal di Indonesia dan bagian-bagian lain dunia saat ini. Pertama, tantangan dalam mendapatkan hak ekonomi politik dari desentralisasi. Kedua, merancang dan melaksanakan sistem pembiayaan antar pemerintah yang efektif; dan yang terakhir, optimalisasi penyediaan pelayanan dan infrastruktur publik di tingkat subnasional dan mendukung pertumbuhan dan pembangunan yang lebih luas. Seperti terbukti dalam makalah dan diskusi konferensi, ketiga tema bersifat politik, sistem dan hasil akhir tersebut semuanya saling berkaitan secara erat satu sama lain. 3
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Sepuluh tahun telah berlalu sejak Indonesia mengikuti reformasi desentralisasi yang penting di awal milenium baru. Pemerintah saat ini, terutama melalui Kementerian Keuangan, berpendapat bahwa satu dekade merupakan saat yang tepat untuk mencatat perjalanan hingga kini, dan bahkan penting untuk mengkaji kecukupan tatanan kebijakan untuk periode yang menantang di depan. Ketiga tema inti buku ini semuanya memiliki relevansi yang erat dengan situasi Indonesia saat ini dan jalur pembangunannya ke depan. Reformasi desentralisasi Indonesia muncul bukan karena semacam revolusi politik. Banyak isu kebijakan besar dalam desentralisasi saat ini tetap mempertahankan dimensi politik. Ini termasuk pengungkapan aspirasi daerah secara terus-menerus, pengelolaan tuntutan untuk pemekaran daerah, penyesuaian dengan pengaruh partai-partai yang saling bersaing di tingkat pusat dan lokal, juga persaingan politik yang semakin ketat dalam berbagai tangan birokrasi pusat dan subnasional. Desain sistem keuangan antar pemerintah Indonesia satu dekade yang lalu, menyertakan debat politik dan teknik yang panas dan akhirnya kompromi. Tidak banyak orang yang terlibat dalam reformasi saat itu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Meskipun begitu, dengan beberapa perubahan relatif sederhana yang sedang dilakukan, sistem pembiayaan antar pemerintah yang dirancang telah diberlakukan. Seperti ditunjukkan oleh beberapa makalah dalam buku ini, debat awal mengenai desain masih terus berjalan dan bahkan semakin memanas hingga kini. Beberapa orang menginginkan reformasi sistem secara radikal, sedangkan beberapa lainnya, mungkin mayoritas, lebih menyukai penyempurnaan yang lebih sederhana di sisi pendekatan utama yang ada. Dengan tema utama ketiga, Indonesia seperti banyak negara lain semakin mempertimbangkan pertanyaan kritis mengenai bagaimana cara meningkatkan penyediaan pelayanan dan infrastruktur di tingkat subnasional, dan bagaimana pendekatan desentralisasi bisa mendukung pertumbuhan dan pembangunan yang lebih luas. Walau dekade desentralisasi telah sesuai dengan dekade pertumbuhan ekonomi yang kuat di Indonesia, termasuk menahan krisis internasional, Amerika dan Eropa secara lebih baik daripada negara lain, tapi hanya sedikit orang di tingkat manapun termasuk pemerintah subnasional (pemda) yang belum puas dengan kontribusi desentralisasi pada penyediaan 4
Tinjauan Umum
infrastruktur, pelayanan dan standar kehidupan yang lebih baik. Seperti dijelaskan dalam makalah konferensi, ada banyak isu yang harus ditangani jika ingin meningkatkan kinerja, paling tidak isu yang berkaitan dengan penugasan tanggung jawab dan akuntabilitas yang lebih jelas dan sumber pendapatan yang tepat untuk tiga tingkat pemerintah yang berbeda. Pandangan banyak orang di konferensi adalah bahwa dekade pertama desentralisasi Indonesia secara umum sukses, walau masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam dekade berikutnya. Tidak ada pertanyaan atau pembicaraan untuk mundur kembali. Desentralisasi harus tetap di sini dan tantangan ke depan adalah untuk membuatnya berfungsi secara lebih baik. Dalam merencanakan konferensi tersebut, Kementerian Keuangan ingin mengkaji kinerja selama satu dekade, dalam hubungannya dengan pembangunan dalam negeri dan pengalaman praktek dan akademis internasional yang lebih luas. Jadi konferensi dan makalah tersebut melibatkan gabungan pengalaman dari akademisi dan praktisi dari Indonesia dan seluruh dunia. Dari sudut perbandingan negara, beberapa makalah penting diberikan dari Afrika Selatan, Cina dan sejumlah negara di Amerika Latin. Makalah juga diberikan oleh lima akademisi yang terkenal di tingkat internasional, yang semuanya memiliki pengetahuan mendalam tentang pengalaman Indonesia selama dekade terakhir dan kapasitas untuk menempatkan Indonesia dalam konteks internasional. Yang terakhir, konferensi itu sendiri mendapatkan banyak keuntungan dari kehadiran dan kontribusi banyak peserta dari daerahdaerah terjauh dari Indonesia dan empat belas negara lain (Cina, Chili, Kamboja, Mongolia, Banglades, Papua Nugini, Australia, AS, Jerman, Afrika Selatan, Benin, Singapura dan Thailand). Sekitar tiga ratus orang ikut serta dalam konferensi yang berjalan selama dua hari ini. Mengenai susunan, bagian yang tersisa dari bab pendahuluan ini memberikan ringkasan singkat mengenai makalah-makalah utama yang disajikan, beserta gambaran umum mengenai isu-isu yang muncul dari diskusi pleno. Makalah-makalah utama tersebut disajikan satu per satu dengan tiga tema umum seperti tersebut di atas. Untuk mencerminkan peran penting Pemerintah dalam konferensi ini, pidato-pidato utama diberikan masing-masing oleh Menteri Keuangan, Menteri Negara 5
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dan Menteri Dalam Negeri. Pidato para menteri ini juga dicantumkan dalam bagian depan buku ini sebagai bentuk pendahuluan untuk makalah utama.
1.2. Pidato Menteri Jika disatukan, ketiga menteri senior Pemerintah Indonesia tersebut menyajikan paparan yang sangat serasi dan memberikan harapan. Pertama, desentralisasi tetap menjadi inti model reformasi Indonesia dan kebijakan penting bagi ekonomi dan pembangunan sosial. Kedua, kemajuan telah dicapai selama dekade terakhir —dengan mempertimbangkan penurunan kontribusi sektor minyak dan gas, pertumbuhan ekonomi yang cepat yang dialami selama satu dekade sekarang dengan basis yang luas secara sektoral dan spasial, dan memberikan kontribusi pada peningkatan standar kehidupan. Ketiga, kendala dan tantangan utama masih ada, dengan lingkup peningkatan lebih lanjut untuk dekade berikutnya. Yang terakhir, tidak ada rasa puas dalam diri para pejabat senior Indonesia, dengan kesediaan untuk melakukan reformasi desentralisasi lebih lanjut di periode ke depan, disertai dengan perubahan penting yang sekarang sedang berjalan. Menteri Keuangan Republik Indonesia, Agus Martowardojo memberikan pidato pembukaan dan selamat datang. Dia memfokuskan pada tema terkait cara terbaik untuk melaksanakan desentralisasi fiskal di Indonesia agar bisa memberikan kontribusi pada pertumbuhan dan standar kehidupan daerah. Beliau membahas pencapaian dan masalah terkini dan tantangan untuk masa depan. Pencapaian paling penting adalah meningkatnya keterlibatan masyarakat lokal dalam pembuatan keputusan politik dan ekonomi dalam masyarakat mereka, dengan peluang kerja yang semakin banyak dan tingkat kemiskinan yang menurun. Masyarakat lokal lebih mengetahui kebutuhan lokal dan bisa menyediakan infrastruktur dan pelayanan lokal secara lebih baik (pelayanan kesehatan dan pendidikan telah meningkat). Pencapaian penting lainnya meliputi: (i) penyelesaian rezim peraturan yang lebih jelas dan rinci; (ii) penyediaan pembiayaan yang memadai untuk pemerintah daerah, dengan banyak diskresi belanja yang diberikan kepada mereka (dengan memakai pendekatan uang mengikuti fungsi); (iii) revisi Undang-Undang Perpajakan dan Bea Subnasional 6
Tinjauan Umum
(termasuk devolusi bertahap pajak properti dan pajak transfer properti); dan (iv) kebijakan desentralisasi fiskal yang mendukung kebijakan makroekonomi, termasuk selama masa keuangan yang sulit dan menantang. Masalah dan tantangan yang sedang ditangani melalui reformasi kebijakan Pemerintah dalam konteks revisi UU 33 tahun 2004 dan Desain Besar Desentralisasi Fiskal meliputi: (i) peningkatan kejelasan penugasan fungsi antar daerah; (ii) penguatan penganggaran dan pengelolaan keuangan publik, termasuk peningkatan transparansi dan standar audit; (iii) peningkatan alokasi sumberdaya oleh pemerintah subnasional, terutama untuk mengurangi belanja administratif dan meningkatkan belanja modal dan pembangunan; (iv) pelepasan hubungan belanja gaji dari penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU) yang membuatnya menjadi pendekatan kesenjangan fiskal lengkap; (v) penyempurnaan variabel dan bobot dalam rumus DAU agar mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal secara lebih baik; (vi) penguatan kriteria pembentukan daerah baru dan penghapusan insentif DAU untuk pemekaran; (vii) pemakaian sanksi dan insentif pusat untuk meningkatkan alokasi sumberdaya oleh pemerintah subnasional; dan (viii) reformasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan fokus pada daerah miskin untuk sektor prioritas seperti kesehatan dan pendidikan. Disamping reformasi penting ini, Pemerintah dan Kementerian Keuangan masih terbuka untuk reformasi lebih lanjut untuk meningkatkan hasil akhir desentralisasi fiskal seiring waktu. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Armida S. Alisjahbana menunjukkan bahwa desentralisasi menjadi inti reformasi politik dan ekonomi, dan untuk mencapai pembangunan ekonomi dan sosial daerah secara menyeluruh. Satu dekade setelah reformasi besar adalah waktu yang tepat untuk merenungkan kemajuan. Memang riset lebih lanjut masih diperlukan terkait hasil akhir, tapi analisis terkini mengenai peningkatan peran pemerintah daerah secara umum menunjukkan hasil positif. Desentralisasi telah diiringi oleh dekade pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang kuat, termasuk kinerja ekonomi yang bagus di tengah kelesuan ekonomi global. Kesetaraan semakin baik antar provinsi. Perbedaan Produk Domestik Bruto (PDB) antar provinsi semakin 7
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
mengecil, begitu juga penyedian pelayanan di bidang-bidang seperti pendaftaran siswa sekolah dan fasilitas kesehatan. Namun kecenderungannya tampaknya masih belum jelas antara kabupaten dan kota, di mana ketidaksetaraan semakin melebar dalam beberapa hal. Tantangan dan isu penting ke depan meliputi: (i) peningkatan kapasitas staf dan sistem pemerintah daerah untuk perencanaan dan penganggaran; (ii) menyeimbangkan otonomi daerah dan keinginan untuk mancapai standar pelayanan minimum nasional dalam pelayanan-pelayanan utama; (iii) menentukan seberapa besar (atau kecil) ukuran Pemerintah Pusat; (iv) menyelaraskan alokasi dalam sistem pembiayaan antar pemerintah; (v) secara bijak memindahkan kekuasaan untuk memperoleh pendapatan ke daerah guna mendorong pembangunan lokal; dan (vi) mewujudkan hubungan antar daerah-daerah utama, sambil mengakui otonomi pemerintah daerah. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi memulai dengan menunjukkan pentingnya arti desentralisasi bagi reformasi politik, yang dimulai satu dekade lalu dan terfokus pada desentralisasi kekuasaan politik dan sumberdaya. Anggaran pemerintah daerah, yang sekarang menyertakan banyak diskresi, telah tumbuh dari tingkat minimum sebesar Rp 38 triliun di tahun 2000 menjadi Rp 477 triliun di tahun 2011, dalam proses memicu pertumbuhan ekonomi lokal. Sebagian besar pendanaan pemerintah daerah berasal dari transfer pusat, jadi perlu meningkatkan lebih lanjut kapasitas perolehan pendapatan lokal. Tantangan desentralisasi fiskal yang penting dan bidang-bidang kebijakan yang perlu ditangani di masa depan meliputi: (i) meningkatkan kualitas belanja pemerintah daerah, terutama melalui pengurangan belanja administratif dan pegawai, sebagian direkayasa melalui pemberlakuan insentif dan sanksi untuk perilaku pengelolaan keuangan yang baik dan buruk; (ii) peningkatan sistem pengelolaan keuangan publik (PFM) agar lebih berorientasi ke pengelolaan berbasis kinerja dan juga untuk memungkinkan akuntansi penumpukan (accrual) agar penentuan biaya dan pemantauan pelayanan menjadi lebih baik; (iii) menentukan penugasan fungsional secara lebih jelas, dengan sinkronisasi alokasi belanja pusat dan lokal; (iv) kebijakan jangka pendek saat ini difokuskan pada pembekuan pengangkatan pegawai negeri pemerintah daerah tapi dalam jangka panjang, kebijakan akan berusaha memperluas 8
Tinjauan Umum
pemakaian standar pelayanan minimum (SPM) untuk pengelolaan dan pemantauan fungsi prioritas nasional; dan (v) memperluas mandat penerimaan asli daerah untuk pemerintah daerah.
1.3. Tema 1—Mendapatkan Hak Ekonomi Politik Desentralisasi 1.3.1. Tantangan Ekonomi Politik dan Keberhasilan di Indonesia Makalah Profesor Djohermansyah Djohan membahas tantangan dan keberhasilan di Indonesia. Mengingat kemajemukan geografis dan budaya di Indonesia, isu pengelolaan secara terpusat versus dekonsentrasi dan/atau terdesentralisasi telah menjadi inti debat politik sejak kemerdekaan Indonesia. Kebijakan desentralisasi terkini disusun untuk mencapai dua tujuan, yakni: penerapan demokrasi lokal dan peningkatan kesejahteraan dan standar hidup masyarakat. Salah satu dimensi politik yang penting adalah gerakan menuju pemilu yang terbuka dan adil, termasuk pemilihan kepala daerah secara langsung sejak 2004/2005, yang menggantikan pemilihan secara tidak langsung oleh parlemen. Masyarakat telah menjalankan pemilu yang memberdayakan mereka, meningkatkan akuntabilitas dan mengembangkan tekanan untuk mendapatkan penyediaan pelayanan publik yang lebih baik. Walau begitu, masalah masih banyak terjadi dalam penyelenggaraan pemilu daerah, dan penyempurnaan instrumen hukum dan prosedur administratif sekarang dilakukan melalui pengembangan UU baru khusus hanya untuk pemilu di daerah. Secara lebih umum terkait ekonomi politik, strategi Pemerintah agar desentralisasi berjalan sukses, berisi tujuh komponen inti berikut ini: (i) membuat penugasan fungsi menjadi lebih jelas berdasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi; (ii) fasilitas (tidak harus seragam) untuk struktur pemerintah daerah yang tepat; (iii) memastikan keluwesan pengaturan pengelolaan pelayanan publik; (iv) sistem manajemen dan pengendalian keuangan yang efektif; (v) perwakilan lokal yang berimbang (antara kepala daerah terpilih dan parlemen lokal); (vi) fasilitas untuk meningkatkan penyediaan pelayanan publik dan pengurangan kemiskinan sebagai tujuan akhir; dan (vii) menjalankan sistem pengendalian dan pemantauan yang efektif. Isu dan hambatan ekonomi politik yang penting meliputi: (i) pem9
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
bahasan mengenai peran gubernur provinsi untuk tujuan memperkuat peran mereka sebagai bagian dari reformasi UU 32 tahun 2004; (ii) munculnya hambatan hierarki yang berlebihan; (iii) berkumpulnya manfaat di sejumlah kecil pemerintah daerah yang kuat; (iv) sistem PFM yang buruk dan pemakaian dana yang tidak efektif; (v) sinergi otonomi daerah tidak berjalan, yang menunjukkan perlunya kerja sama antar tingkat pemerintah secara lebih baik; (vi) konflik antar daerah, terutama menyangkut tanah, kehutanan dan pertambangan, jadi memerlukan sinkronisasi sistem hukum lokal; (vii) perlu membuang hambatan dalam mengembangkan iklim investasi dan usaha yang baik, termasuk deregulasi yang tepat; (viii) pemilu yang berbiaya tinggi dan kadang penuh cacat; (ix) pemekaran pemerintah daerah yang berlebihan; dan (x) perlunya meningkatkan kapasitas pemerintah daerah yang lemah, termasuk penguatan kelembagaan. Masalah-masalah yang dibahas meliputi: (i) pemerintah pusat tidak boleh terlalu paternalistik—pemerintah daerah (termasuk yang miskin) harus berdiri di atas kaki sendiri dengan penekanan pada akuntabilitas terhadap masyarakat; (ii) berbagai macam pandangan dipegang terkait pendekatan asimetris untuk Indonesia—beberapa orang mendukung ini, tapi orang lainnya menganggap ini bisa menjadi bencana yang membuat daerah menjadi terisolasi atau bahkan memberontak; (iii) korupsi masih ada tapi ini bukan disebabkan oleh desentralisasi—reformasi lebih luas perlu untuk menangani korupsi; (iv) jumlah pegawai negeri sipil terlalu banyak dan sulit untuk merampingkan mereka—UU Pelayanan Publik tidak dilaksanakan dan peraturan pelaksanaan belum ada; (v) fragmentasi kelembagaan dan politik birokratis masih menjadi masalah. Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Bappenas memerlukan usaha koordinasi lebih baik, dan DPOD tidak berjalan; dan (vi) politik uang dan korupsi menjadi masalah besar terutama dalam pemilu lokal. 1.3.2. Penugasan Fungsi Antar Tingkat Pemerintah di Amerika Latin Luis Riffo Perez menjelaskan hasil studi oleh Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin dan Karibia (ILPES) mengenai penugasan fungsional di Amerika Latin, yang mencakup Brasil, Chili, Kolombia, Kosta Rika dan Meksiko dalam aspek: (i) pelayanan kesehatan primer; (ii) pendidikan prasekolah / dasar / sekunder; (iii) pembuangan limbah; 10
Tinjauan Umum
(iv) keamanan sipil; dan (v) penumbuhkembangan pembangunan ekonomi. Berbagai macam penugasan tanggung jawab dilakukan di berbagai sektor dan negara, walau dalam banyak hal masih dalam kerangka kebijakan, peraturan dan kepemimpinan dari pemerintah pusat. Banyak peran ditemukan untuk pemerintah tingkat menengah dan lokal di sebagian besar negara yang menjadi subyek studi, terutama untuk pendidikan, kesehatan primer dan pembuangan sampah. Fungsi keamanan sipil dan pembangunan ekonomi tidak berjalan di atas jalur yang sama menuju desentralisasi, walau beberapa inisiatif telah menunjukkan keberhasilan. Riset tersebut menyatukan delapan kesimpulan umum seperti diringkas di bawah ini. Pertama, proses desentralisasi berbeda-beda antar negara. Ada variabel kesediaan (tapi umumnya keengganan) untuk menugaskan fungsi dan sumberdaya ke tingkat subnasional. Kedua, desentralisasi telah menunjukkan kemajuan, paling tidak sebagian, selama satu dekade. Faktor penting yang mendukung kemajuan adalah: (i) pengembangan partai dan pimpinan lokal; (ii) dukungan kepemimpinan pusat; (iii) pentingnya pemilu lokal; (iv) semakin besarnya suara masyarakat lokal; (v) pertumbuhan kota; dan (vi) penumbuhkembangan desentralisasi oleh lembaga utama dan para ahli. Ketiga, kerangka kerja umum untuk penugasan belum muncul karena: (i) situasi dan kapasitas yang sangat berbeda-beda; (ii) beberapa pelayanan didesentralisasi terlalu cepat; (iii) pengelola beberapa kota telah menunjukkan beberapa keberhasilan; (iv) ada manfaat dari pendekatan asimetris; (v) disepakati bahwa tingkat nasional harus memfokuskan pada kebijakan, tingkat menengah untuk pengelolaan kebijakan dan program yang bersifat teritorial, dan tingkat lokal untuk pengelolaan penyediaan pelayanan secara langsung; dan (vi) jaringan nasional-menengah yang tersinkronisasi dengan baik dalam perencanaan dan pembiayaan, belum muncul. Keempat, contoh praktek yang bagus telah muncul dan dapat dicontoh. Faktor yang mempengaruhi praktek bagus ini meliputi: (i) kepemimpinan, keterampilan dan dukungan politik lokal; (ii) dukungan masyarakat untuk kegiatan jangka menengah; (iii) ketersediaan pembiayaan jangka panjang yang memadai; dan (iv) keterkaitan perjanjian lintas-kota terkait kegiatan yang menjadi prioritas kebijakan nasional. Tiruan praktek bagus memerlukan riset dan perencanaan yang 11
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
bagus. Praktek bagus harus didorong dari tingkat lokal. Kelima, mewujudkan mutu yang konsisten tetap menjadi masalah untuk pelayanan pendidikan dasar dan kesehatan dasar. Hambatannya meliputi: (i) rendahnya akses ke keuangan lokal; (ii) kapasitas lokal yang berbeda-beda; (iii) kepemilikan dan kepemimpinan lokal oleh para manajer dan profesional penting artinya tapi masih sering kurang; (iv) kurang jelasnya tanggung jawab dan sumberdaya lokal; dan (v) kurangnya pemantauan dan evaluasi. Tingkat menengah bisa penting artinya dalam memfasilitasi pelatihan personel utama. Keenam, pengumpulan dan pembuangan limbah padat menghadapi tantangan cakupan dan mutu. Sebagian besar negara tersebut telah menetapkan kebijakan nasional dan melokalisasi penyediaan pelayanan. Sistem regional sekarang diterapkan bersama dengan teknologi baru. Pembiayaan masih menjadi hambatan utama, dan sistem manajemen dengan koordinasi yang baik dan menyertakan isu kesehatan masyarakat akan sangat berguna. Program kesadaran masyarakat untuk memupuk budaya bersih bisa sangat berguna juga. Ketujuh, kejahatan adalah masalah utama di semua negara tersebut, dan keterlibatan masyarakat lokal terbukti lebih berhasil daripada pendekatan militer nasional. Riset yang lebih baik diperlukan di tingkat lokal. Satu bentuk angkatan kepolisian di bawah satu komando ternyata lebih unggul daripada angkatan nasional, menengah dan lokal. Perlu mengaitkan reformasi polisi dengan pelayanan yang erat kaitannya (pengadilan, penjara dll.). Organisasi tingkat RW yang dipadukan dengan angkatan kepolisian terkait bisa penting artinya bagi keberhasilan. Pembangunan ekonomi regional penting bagi desentralisasi. Sering kali kebijakan pendukung pembangunan sektor swasta tidak ditetapkan dengan baik dan dilaksanakan secara buruk di semua daerah. Agen pendukung biasanya sangat penting dengan hanya sedikit kehadiran di daerah dan sedikit keterlibatan pemerintah subnasional. Kemitraan pemerintah—swasta menunjukkan beberapa keberhasilan, meski biasa dilaksanakan melalui pengelompokan kota atau di tingkat menengah. Kegiatan yang direncanakan oleh kelompok kota tampak menjanjikan. Inisiatif riset dan teknologi terapan mungkin akan penting artinya. Pengembangan kewirausahaan penting artinya bagi banyak pemerintah dan lembaga yang lebih sukses.
12
Tinjauan Umum
Pembahasannya menyiratkan beberapa kesamaan yang ada dalam devolusi fungsi di Indonesia dan di negara lain di Asia dan Amerika Latin yang menjadi subyek studi. Dirasakan bahwa pendekatan studi lintas-negara sangat berguna, dan ini mungkin bisa ditiru di sejumlah negara Asia, mungkin di bawah kepemimpinan ASEAN. Riset berkala penting bagi antar negara dan juga dalam negara seiring waktu, dan kejelasan penugasan belanja juga penting tapi tidak boleh dianggap sebagai permanen tapi dikenai perubahan, tergantung perubahan teknologi dan situasi. 1.3.3. Mengelola Tekanan Pemekaran di Indonesia dan Internasional Jorge Martinez-Vazquez memberikan makalah mengenai pemekaran pemerintah subnasional di Indonesia, dengan mengajukan pertanyaan mendasar apakah kepedulian tentang pemekaran diperlukan? Kepedulian terhadap masalah pemekaran umum terjadi di tingkat internasional, dan menjadi subyek utama dalam debat kebijakan, dan pembekuan pemekaran daerah baru dijalankan selama beberapa waktu hingga kebijakan baru diberlakukan. Di bawah Soeharto, hanya ada sedikit sekali pertumbuhan unit pemerintah subnasional baru di bawah pemerintahan yang tersentralisasi. Situasi ini berubah dengan cepat dari awal tahun 2000, dan makin banyak tuntutan disuarakan untuk pembentukan daerah baru. Jumlah pemerintah daerah dengan demikian membesar dari 304 menjadi 510, dan jumlah provinsi meningkat dari 27 menjadi 33. Pertumbuhan ini terfokus di tingkat daerah, dan yang paling besar terjadi di Papua, Maluku dan Sumatra, dan lebih sedikit di Sulawesi dan Kalimantan, dan lebih sedikit lagi di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Determinan pemekaran rumit sifatnya. Sifat spesifik geografis dari pemekaran menyiratkan bahwa insentif fiskal yang buruk atau penghapusan ongkos sewa lokal oleh para elite juga tidak dapat menjelaskan kecenderungan ini. Studi sebelumnya (2005) menunjukkan (hal lain dianggap konstan) pentingnya: (i) daerah dengan penduduk yang kecil dan terpencar-pencar, (ii) luas tanah yang besar, (iii) penduduk yang besar dan (iv) penduduk yang lebih heterogen. Beberapa pengaruh juga dianggap bersumber dari insentif fiskal dan motivasi politik. Studi terkini dari penulis (2010) menemukan bahwa determinan utama adalah: (i) penduduk dan luas tanah yang besar, dan (ii) insentif 13
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
fiskal, terutama melalui transfer DAU dan DAK dan bagi hasil nonsumberdaya. Yang tidak begitu penting adalah PDBR per kapita, kemiskinan relatif, separatisme di Aceh dan Papua, dan daerah konflik etnik. Peraturan pemerintah tahun 2000 dan kemudian tahun 2007 menetapkan persyaratan pemrosesan pemekaran yang rumit (menurut instrumen tahun 2007 tersebut, 11 faktor dan 35 indikator harus dilaporkan dan dinilai). Dalam banyak kasus, prosedur yang rumit disetujui dengan jalur langsung ke parlemen nasional (DPR) yang secara independen menyusun undang-undang yang memerlukan persetujuan presiden—dengan sering mengabaikan pengolahan berbagai kriteria oleh beberapa pejabat. Konsep ukuran yang optimal untuk desentralisasi pemerintah memiliki dua dimensi: (i) kepekaan terhadap masyarakat (efisiensi alokatif), yang biasanya menyiratkan manfaat dari ukuran kecil; dan (ii) minimalisasi biaya (skala ekonomis). Bukti skala ekonomis menyiratkan bahwa banyak pelayanan bisa dihasilkan secara lebih efektif di tingkat penduduk yang kecil (misalnya, polisi, pendidikan umum) walau skala ekonomis mungkin penting untuk beberapa pelayanan (misalnya, air bersih dan angkutan umum). Di Indonesia, rata-rata ukuran penduduk pemda masih sangat besar yaitu 488.000 untuk semua pemda dan 214 untuk pemda pemekaran baru. Jadi rata-rata pemda di Indonesia cukup besar untuk biaya yang efisien (beberapa bahkan terlalu besar hingga menyebabkan skala dis-ekonomis). Meski begitu, beberapa pemda lebih kecil dari rata-rata (misalnya, di bawah 20.000 jiwa) dan efisiensi menjadi masalah di sini. Selain itu pemda di Indonesia diberi sebagian besar penugasan tanggung jawab fungsional, yang beberapa di antaranya lebih baik jika ditugaskan ke tingkat provinsi, terutama penugasan dengan eksternalitas yang besar. Kapasitas administratif yang rendah di banyak pemda dan lingkup pengaruh elite lokal juga menjadi masalah. Dampak pemekaran pada kinerja pemda sulit diukur, dan studi hingga kini menunjukkan hasil yang positif dan negatif, tanpa kesimpulan yang jelas. Beberapa studi telah mencatat beberapa manfaat positif dalam daerah bentukan baru, terkait: tingkat kematian balita, pendidikan dasar, air bersih dan sistem penyehatan lingkungan (sanitasi). 14
Tinjauan Umum
Beberapa komentator mungkin terlihat terlalu negatif terhadap pemekaran, menganggap semua pemekaran buruk. Meski begitu, pendekatan pemrosesan lewat jalan belakang melalui DPR perlu dihentikan. DPR sendiri perlu merumuskan UU mengenai persyaratan pemrosesan yang sebagian besar menghilangkan proses persetujuan. Mencoba untuk menetapkan jumlah pemda yang optimal agak sulit untuk dilakukan dan mungkin tidak perlu dilakukan. Peraturan yang tepat mungkin diperlukan untuk pemrosesan permohonan baru, dan ini harus dipatuhi sepenuhnya. Insentif negatif dalam mekanisme transfer dan bagi-hasil pendapatan perlu dihapus. Walau beberapa pemda terlalu besar untuk menjadi efisien, tapi sejumlah kecil pemda terlalu kecil dan ini perlu diawasi dengan ketat. Pengaturan pemrosesan perlu dipersingkat dan disederhanakan menjadi empat kriteria dasar: (i) jumlah penduduk minimum, (ii) perwakilan dan akuntabilitas, (iii) kapasitas fiskal dan keuangan serta keberlanjutan, (iv) kapasitas administratif. Kriteria sekunder lain bisa dipertimbangkan seperti isu kontinuitas teritorial, keamanan dan perbatasan. Selain itu, mungkin diperlukan penerapan berikut: (i) insentif untuk penggabungan, (ii) penugasan tanggung jawab lintas-kabupaten/kota ke provinsi, (iii) peningkatan kerja sama antar pemda, (iv) pemakaian kabupaten pelayanan khusus (misalnya, untuk air bersih dan angkutan), dan (v) pelaksanaan privatisasi beberapa pelayanan. Diskusi dalam makalah ini menyiratkan bahwa pandangan berimbang yang disajikan telah menjadi arus-utama jika dibandingkan dua tahun yang lalu, ketika persepsi umum melihat bahwa hampir semua bentuk pemekaran didorong oleh faktor politik dan sudah jelek. Demokrasi memang memakan biaya, tapi manfaat pemerintah lokal jauh lebih besar daripada biaya ini. Indonesia di bawah Soeharto bukan tempat yang lebih baik hanya karena biaya demokrasi dan administrasi lokal kecil. Memberdayakan masyarakat di bidang-bidang yang penting bagi kehidupan mereka sehari-hari (misalnya, pengumpulan sampah, pelayanan perawatan balita dll.), bisa menimbulkan perubahan penting. Makalah oleh pejabat Pemerintah (termasuk Menteri Keuangan) di bagian lain dalam publikasi ini mengakui perlunya menjalankan serangkaian peraturan untuk memproses permohonan pembentukan daerah baru.
15
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
1.4. Tema 2—Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif 1.4.1. Pengalaman dan Pelajaran dari Indonesia Marwanto Harjowiryono menyajikan makalah mengenai pengalaman dan pelajaran dari Indonesia. Sebelum reformasi, pemerintahan di Indonesia sangat tersentralisasi dengan kendali politik dan keamanan berada di tangan Menteri Dalam Negeri dan gubernur provinsi yang ditunjuk. Setelah reformasi, bupati dan wali kota mendapatkan kekuasaan yang lebih besar, dengan peran provinsi berkurang yang hanya mengoordinasi tanpa kekuasaan dalam hierarki. Sekitar sepertiga dari total sumberdaya pemda berada di tangan pemerintah subnasional, dua kali lebih banyak daripada sebelumnya. Angka ini merupakan peningkatan sebesar 40%, yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat terdesentralisasi. Namun pendapatan pemerintah subnasional dari sumber sendiri masih tetap rendah (sekitar 7% hingga 8% dari total pendapatan pemerintah subnasional). Sebagian besar reformasi dilakukan di sisi belanja. Kebijakan transfer fiskal antar pemerintah ditujukan untuk mengikuti prinsip ‘uang mengikuti fungsi,’ yang membawa tantangan dalam penerjemahan fungsi dan desain pengaturan pembiayaan yang tepat. Transfer dirancang untuk mewujudkan keseimbangan vertikal dan horizontal dan menangani situasi limpahan antar yurisdiksi. Sebelum tahun 1999, sebagian besar transfer bersifat bersyarat (Inpres), tapi sekarang sebagian besar tidak bersyarat melalui DAU dan bagi-hasil pendapatan. Dana alokasi Umum (DAU) memakai pendekatan kesenjangan fiskal, yang merupakan perbedaan antara kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan seiring waktu agar ketidaksetaraan semakin mengecil. Namun menyetarakan semua susunan bisa menyurutkan usaha memperoleh pendapatan lokal dan bertentangan dengan hambatan belanja lokal. Dana Alokasi Khusus (DAK) difokuskan pada investasi modal fisik di beberapa pemda terpilih dan untuk sektor yang penting secara nasional. Kontribusi sebesar 10% diminta dari pemda. Kriteria umum, khusus, dan teknis berlaku. Beberapa Dana Bagi Hasil (DBH) ditugaskan berdasarkan sumber dan lainnya menurut rumus. Pilihan belanja menjadi diskresi pemda. Tambahan 2% dari kumpulan dana DAU diberikan ke 16
Tinjauan Umum
tiga provinsi otonomi khusus. Pendapatan asli pemerintah subnasional hingga kini masih agak terbatas, yang tumbuh sedikit dari 17,3% di tahun 1999/2000 ke 18,9% di tahun 2011. UU baru yaitu UU No. 18 tahun 2009 mengenai pajak dan bea daerah mencantumkan perubahan penting, termasuk gerakan dari pendekatan terbuka ke pendekatan daftar tertutup (sebagian untuk menangani masalah terkait semakin banyaknya pajak lokal yang mengganggu), dan pelaksanaan pemindahan pajak transfer properti (di tahun 2011) dan pajak properti perkotaan dan perdesaan (bertahap hingga 2014). Indikasi awal menunjukkan bahwa sebagian besar pemda telah memulai menagih pajak transfer tersebut di tahun 2011, dan pertumbuhan yang kuat dalam penagihan pajak ini mulai tampak. Salah satu kota (Surabaya) telah memulai pengumpulan pajaknya sendiri ini di tahun 2011, dan 23 kota lain telah menunjukkan niatnya untuk memulai di tahun 2012. Sembilan pemda akan diberi bantuan khusus oleh pemerintah pusat untuk menagih pajak yang dipindahkan tersebut, dengan harapan mereka bisa dijadikan model untuk dipelajari oleh pemda lain. Setelah satu dekade reformasi, penyempurnaan masih diperlukan. Reformasi kebijakan lebih lanjut yang sedang dipertimbangkan meliputi: (i) alokasi dasar DAU (untuk pegawai) tidak memberikan kontribusi pada keseimbangan horizontal dan malah memicu penempatan staf yang berlebihan, karena itu akan dihapus; (ii) pemakaian pendapatan lokal aktual dalam rumus DAU (bukan pendapatan yang mungkin diperoleh)—yang menyurutkan usaha memperoleh pendapatan sendiri —masalah ini akan diperbaiki; (iii) bagi-hasil pendapatan kadang tertunda karena menunggu penghitungan data pendapatan—ini akan ditangani; (iv) DAK menjamin peningkatan nilai agar prioritas nasional bisa diwujudkan—selain menentukan sasaran kebutuhan yang akan ditingkatkan, sebagian melalui penerapan SPM (Standar Pelayanan Minimum); (v) pemekaran pemda perlu ditangani, termasuk penghapusan insentif buruk yang tercantum dalam sistem transfer dan memperketat persyaratan pembentukan daerah baru; (vi) di sisi pendapatan, pelaksanaan UU 28/2009 menjadi fokus terdekat, terutama pendekatan daftar tertutup dan pemindahan (devolusi) pajak properti (PBB) dan pajak transfer properti (BPHTB); (vii) kebijakan ditujukan untuk meningkatkan mutu belanja lokal, terutama karena belanja gaji 17
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dan administrasi yang berlebihan—respons jangka pendeknya adalah pembekuan rekrutmen pegawai negeri di pusat dan daerah—opsi lainnya sedang dipertimbangkan, termasuk menentukan batasan (yang harus dicapai seiring waktu) pada rasio pegawai terhadap total atau menetapkan rasio modal minimum yang diharuskan. Pembahasan dalam makalah ini menyiratkan bahwa banyak orang menyetujui inisiatif kebijakan yang sedang dipertimbangkan, walau sejumlah kecil orang lebih mendukung reformasi yang lebih dramatis hingga mencapai komponen inti transfer. Beberapa lainnya menyarankan sebuah kasus untuk mempertimbangkan penerapan DAU berbasis provinsi (mirip dengan pendekatan Cina), yang memberi provinsi peran lebih besar dalam alokasi sumberdaya. Salah satu komentator menyarankan kerangka untuk mempertimbangkan reformasi ke depan berdasarkan pada tiga pertanyaan mendasar yang perlu dijawab, yakni: (i) diskresi lokal versus petunjuk pusat—jika lebih banyak petunjuk diperlukan, maka terapkan transfer tujuan khusus dan transfer berbasis kinerja—walau ini mengurangi akuntabilitas ke bawah; (ii) pendekatan simetris versus pendekatan asimetris—sampai seberapa jauh pendekatan dan hasil akhir yang berbeda bisa diterima; dan (iii) penyediaan pelayanan versus pembangunan dan pertumbuhan ekonomii—ini adalah pertanyaan mengenai peningkatan infrastruktur lintas-kabupaten tapi mungkin dengan mengorbankan pelayanan sosial. Sejumlah penyaji di konferensi memiliki pandangan alternatif terkait reformasi sistem pembiayaan antar pemerintah, yang dibahas secara lebih rinci dalam bab-bab di sini. 1.4.2. Reformasi Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah di Afrika Selatan Kenneth Brown memulai dengan menyajikan sejarah rinci reformasi pembiayaan antar pemerintah dalam konteks transisi, dari sistem apartheid yang sangat tersentralisasi ke demokrasi dengan desentralisasi. Langkah bersejarah yang penting meliputi: (i) konstitusi sementara dan final tahun 1993 dan 1996 yang keduanya menyertakan kompromi politik; (ii) reformasi antar pemerintah yang besar terjadi mulai 1997/ 1998 dengan transfer utang provinsi ke pemerintah pusat dan penerapan hibah jumlah bulat yang adil untuk kota dan provinsi; (iii) provinsi diberi kekuasaan memperoleh pendapatan secara terbatas (saat ini sekitar 18
Tinjauan Umum
4% dari total pendapatan mereka); (iv) di bawah Dewan Demarkasi Kota, jumlah kota dipotong secara dramatis dari 843 di tahun 1995/ 1996 menjadi 284 di tahun 2000 (6 metropolitan, 232 lokal dan 46 distrik); (v) dasar hukum yang kuat untuk pengelolaan keuangan dan demokrasi di pemerintah subnasional, dijalankan mulai 1998 dan tahuntahun selanjutnya; (vi) hibah infrastruktur khusus diberikan, terutama untuk daerah yang sebelumnya terpinggirkan; dan (vii) kapasitas pengelolaan masih menjadi tantangan besar, terutama di kota perdesaan yang lebih lemah. Menurut Brown pada akhirnya, proses pembentukan sistem antar pemerintah lebih bersifat politik daripada ekonomi karena banyak elemen sistem baru ini didasarkan pada kompromi politik. Sistem yang muncul memberikan sebagian besar kekuasaan memperoleh pendapatan ke pemerintah pusat, dengan pendapatan yang terbatas untuk tingkat provinsi. Nilai total belanja untuk tingkat pemerintah tertentu ditentukan secara politis (berdasarkan saran Komisi Fiskal dan Keuangan) dalam konteks anggaran tahunan, dan juga menyertakan perkiraan MTEF ke depan. Pembagian horizontal ke tingkat subnasional ditentukan dengan rumus (secara terpisah untuk provinsi/kota dan untuk pemerintah lokal). Setiap rumus memiliki komponen dan bobot yang berbeda, umumnya menyertakan penduduk, PDB, akses ke pelayanan dasar dan biaya operasional lembaga. Rumus, bobot dan data diterbitkan setiap tahun. Provinsi menerima jatah umum yang adil dan beberapa hibah operasional bersyarat sektor khusus. Rata-rata kota mengumpulkan 75% pendapatan mereka sendiri (perkotaan juga memperoleh bagian dari pajak bahan bakar), walau sangat bervariasi (75% kota termiskin memperoleh 75% sumberdaya melalui transfer nasional). Transfer untuk kota di struktur sama dengan untuk provinsi, tapi hibah bersyarat difokuskan pada kekurangan infrastruktur dan kebutuhan infrastruktur yang muncul. Sebelas pelajaran penting dari pengalaman Afrika Selatan dijabarkan sebagai berikut: Pertama, pendekatan konstitusional/legislatif yang kuat untuk fungsi dan keuangan memiliki kelebihan dan kelemahan. Legalisme mencegah populisme politis jangka pendek, tapi perubahan bisa berjalan lambat. Kedua, kesederhanaan penting artinya bagi sistem transfer yang efisien, yang memungkinkan pemerintah subnasional untuk merencanakan dan mengelola anggaran dengan pasti, walau ada 19
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
kekurangan berupa rendahnya akuntabilitas. Ketiga, pengelolaan keuangan yang bagus perlu dikembangkan melalui peraturan perundang-undangan. UU Pengelolaan Keuangan Publik (PFMA) didukung oleh kontrol yang kuat dari perbendaharaan nasional. Namun persyaratan yang baru tidak selalu dipenuhi dengan baik, jadi peningkatan kapasitas adalah penting. Keempat, peningkatan pendapatan yang cepat di bawah kepemimpinan Pelayanan Pendapatan Afrika Selatan telah membantu pembiayaan reformasi, termasuk infrastruktur dan jumlah personel pemerintah subnasional yang semakin banyak. Kelima, kegamangan tanggung jawab yang diberikan memungkinkan fleksibilitas tapi juga menimbulkan kebingungan. Rumus jatah yang adil tidak dikaitkan dengan baik dengan kinerja. Pelaksanaan program bersama dengan pemerintah subnasional sering kali lemah (misalnya, kesehatan, pendidikan dan perumahan). Keenam, hambatan anggaran yang sulit adalah penting tapi tidak harus berupa peraturan fiskal. Sistem baru dari tahun 1998 mensyaratkan pemerintah subnasional harus memenuhi kebutuhannya sendiri, walau ini adalah kebijakan anggaran dan bukan ditentukan oleh aturan. Ketujuh, hambatan anggaran yang sulit diperlukan untuk masalah tawar-menawar gaji dengan pusat. Gaji ditentukan oleh pusat, tapi provinsi diberi kebebasan dalam mengelola sumberdaya personel mereka. Kedelapan, sepenuhnya mengendalikan pinjaman subnasional atau membuang kemungkinan bahaya moral. Pinjaman provinsi hanya layak jika diberi oleh pemerintah pusat. Pinjaman kota lebih fleksibel dengan akses ke pasar modal, walau kota tidak banyak memakai pinjaman. Kesembilan, melembagakan patokan dasar (benchmarking) untuk meningkatkan kepatuhan, pengawasan dan saling berbagi pengetahuan. Perbendaharaan nasional menerapkan patokan dasar yang dipakai untuk mengkaji draf anggaran provinsi dan kota/lokal (hibah bersyarat, inisiatif kebijakan baru). Hasilnya dibagikan ke semua pemerintah subnasional dan bisa menjadi alat yang penting untuk meningkatkan mutu anggaran subnasional. Kesepuluh, memakai pengelompokan fungsional untuk tujuan penganggaran. Departemen Nasional dikelompokkan menurut fungsi untuk menentukan efisiensi anggaran dan penghematan di berbagai kelompok departemen. 20
Tinjauan Umum
Kesebelas, pelajaran terpenting adalah menentukan urutan peningkatan kapasitas dengan benar. Semula, kapasitas untuk melaksanakan reformasi belum ada. Membangun kapasitas ini sulit dan rumit, terutama karena situasi yang berbeda-beda antar pemerintah subnasional. Mengembangkan dasar kompetensi administratif sebelum memaksakan terlalu banyak reformasi, mungkin bisa bermanfaat. Perbendaharaan Nasional sekarang melakukan banyak usaha peningkatan kapasitas. Awal yang lebih dini mungkin akan membantu. Kesimpulan utamanya adalah bahwa reformasi pada dasarnya berkaitan dengan politik. Untuk menangani pilihan lokal memerlukan kepemimpinan yang kuat, kebijakan dan kapasitas administratif dan keuangan yang kuat. Ini tidak muncul karena insentif fiskal yang melekat dalam penugasan pendapatan atau fungsi. Semuanya sengaja diciptakan melalui kontinuitas, komitmen dan kepemimpinan yang mampu dan kuat. Ini adalah pelajaran paling penting dari Afrika Selatan. Diskusi terfokus terutama pada peserta yang memperoleh pemahaman lebih baik mengenai sistem Afrika Selatan, dan beberapa komentator menyarankan bahwa Indonesia dan Asia masih harus belajar banyak, terutama yang berkaitan dengan strukturisasi sistem transfer dan pengalaman dalam usaha peningkatan kapasitas. 1.4.3. Pendekatan untuk Memperkuat Sisi Pendapatan Roy Kelly memulai dengan menunjukkan, bahwa prasyarat utama agar desentralisasi berhasil adalah kecukupan pendapatan yang ditugaskan untuk mendanai tanggung jawab pemda. Walau transfer antar pemerintah dan bagi-hasil pajak umumnya mendominasi, tapi pendapatan asli daerah juga mempunyai peran penting dalam memperkuat otonomi daerah, tata kelola, akuntabilitas, kepemilikan dan tanggung jawab. Meningkatkan perolehan pendapatan daerah penting, walau kadang menjadi tujuan kebijakan yang menantang dari segi politik. Di tingkat lokal, keterkaitan antara peningkatan pengumpulan pendapatan dan peningkatan pelayanan yang diberikan ke masyarakat perlu ditekankan. Teori dan praktek menunjukkan bahwa sebagian besar pokok pajak lebih baik dikenakan dan dikelola oleh pusat. Pemda harus terfokus pada pokok pajak dengan mobilitas yang rendah dan di mana ada manfaat yang jelas dari mengaitkannya ke pelayanan lokal. Pendapatan 21
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
lokal bisa dibagi menurut tingkat otonomi daerah. Otonomi daerah yang kecil menganggap bahwa pemerintah pusat mengendalikan kebijakan dan administrasi. Otonomi yang terbatas mungkin menyertakan pembagian kebijakan dan administrasi. Otonomi daerah lengkap umumnya berlaku bagi kebijakan dan administrasi. Pendapatan diskresi harus mencukupi agar pemda bisa memengaruhi efisiensi dan akuntabilitas pilihan pengeluaran. Tujuan desentralisasi menyiratkan manfaat untuk memajukan bentuk perolehan pendapatan yang lebih berotonomi. Gerakan maju ini bisa terjadi melalui reformasi yang dramatis dan menggeser kebijakan dan administrasi sekaligus, atau melalui campuran berurutan secara asimetris antar pemda atau bertahap seiring waktu untuk semua. Banyak negara (termasuk Indonesia) bergerak dari sistem terbuka ke sistem pajak daftar tertutup. Ini bisa meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi pajak lokal yang mengganggu. Menetapkan daftar ini sangat penting, jika kapasitas pendapatan yang memadai akan diberikan. Di Indonesia, UU 28/2009 menetapkan pergantian ke sistem daftar tertutup. Pajak provinsi sekarang berhubungan dengan pendaftaran kendaraan bermotor, transfer kepemilikan kendaraan bermotor, bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, dan pajak rokok. Pajak lokal berkaitan dengan hotel, restoran, hiburan, iklan, penerangan jalan, parkir, pertambangan kategori C, sarang burung, tanah dan bangunan kota dan desa, dan transfer kepemilikan tanah dan bangunan. Pajak yang diserahkan tersebut memang memiliki bias perkotaan, tapi sulit untuk menghindari ini di Indonesia. Secara umum daftar tertutup dirumuskan dengan baik. UU 28/2009 melakukan langkah berani karena menetapkan devolusi pajak properti (pengembangan sistem administrasi dan pengumpulan dilakukan di pusat sejak 1985). Kabupaten dan kota sekarang bisa menentukan (dalam batasan) tingkat pajak properti, pembebasan penilaian dan langkah pengurangan pajak, dan keduanya bertanggung jawab atas administrasi. Pajak transfer properti akan dipindahkan di tahun 2011, dan pajak properti dialihkan secara bertahap hingga 2014. Walau sebagian besar isu reformasi tampaknya sudah terselesaikan, tapi isu masih ada terkait cara meningkatkan kapasitas pemda untuk mendukung reformasi. Karena sistem pengumpulan pajak properti sudah terbentuk di Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan, tapi bagian tantangan 22
Tinjauan Umum
pengembangan kapasitas berkaitan dengan cara membuat sistem yang ada dan bisa beroperasi dan efektif dalam pengaturan devolusi baru ini. Indikasi awalnya adalah bahwa devolusi pajak transfer properti mulai 2011 dilaksanakan dengan sukses. Ini adalah rencana sederhana jika dibandingkan dengan devolusi pajak properti perkotaan dan perdesaan, yang jelas lebih rumit. Potensi pendapatan dan kapasitas administratif berbeda-beda di antara 490 pemda di Indonesia. Tiga kelompok pemda telah diidentifikasi: (i) sangat terurbanisasi (30 pemda); (ii) terurbanisasi menengah (100 pemda); dan (iii) kurang terurbanisasi (360 pemda). Pemda kelompok tiga akan menghadapi tantangan paling berat. Pendekatan asimetris diusulkan untuk ketiga kelompok pemda ini. Pemda kelompok satu dan dua kemungkinan besar bisa melaksanakan model administrasi lokal secara penuh, sementara kelompok tiga kemungkinan besar bisa melaksanakan model administrasi bersama (pusat dan daerah). Sistem pemeliharaan dan peningkatan catatan properti merupakan pertimbangan tidak langsung yang sangat penting untuk dokumentasi hak atas tanah (hak girik). Pemindahan fungsi administratif lain, komputerisasi sistem pengumpulan dan lainlain akan menjadi tantangan utama untuk beberapa pemda kelompok dua dan sebagian besar pemda kelompok tiga, jadi diperlukan program peningkatan kapasitas komprehensif dalam model administrasi bersama. Pendekatan tertutup yang baru, terutama devolusi pajak properti dan transfer properti, akan memungkinkan pertumbuhan cepat dalam penerimaan asli daerah seiring waktu. Menguasai tantangan administratif dan pengumpulan akan penting artinya, jadi memerlukan pendekatan asimetris yang dirancang dengan baik. Dukungan penuh politik, administratif dan teknis perlu diberikan ke pemda, terutama pemda yang sangat membutuhkan. Secara umum diskusi mendukung reformasi terkini menuju pendekatan daftar tertutup, termasuk devolusi pajak properti dan transfer properti. Beberapa orang merasa kerangka insentif yang lebih baik perlu dibuat untuk mendorong daerah agar meningkatkan pendapatan asli mereka, termasuk perhatian pada kemungkinan insentif buruk dalam DAU yang menyurutkan usaha pengumpulan pendapatan, dengan saran bahwa ini bisa ditangani dengan jalan kembali ke pendekatan 23
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
penghitungan potensi pendapatan, bukan pendapatan aktual dalam rumus DAU. Ada kesepakatan umum bahwa devolusi akan menjadi tantangan bagi kapasitas banyak pemda dan bahwa bantuan jangka panjang akan diperlukan.
1.5. Tema 3—Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur dan Pelayanan 1.5.1. Studi Kasus Pertama—Kota Surakarta, Indonesia Wali Kota Surakarta memberikan studi kasus mengenai kota, dengan fokus pada kebijakan lokal untuk meningkatkan infrastruktur dan pelayanan. Beliau memulai dengan mencatat bahwa euforia politik karena kedatangan demokrasi telah berkurang karena krisis dalam kehidupan sehari-hari dan situasi kehidupan masyarakat. Prioritas penting kota adalah untuk memenuhi kebutuhan warga miskin, terutama di bidang kesehatan, pendidikan dan pengembangan usaha, serta meningkatkan ruang dan infrastruktur lokal. Pertumbuhan kuat dalam pendapatan lokal telah dipupuk melalui penguatan bea pengguna dan disiplin dalam mengumpulkan pendapatan, juga telah didukung oleh pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional yang kuat. Sembilan inisiatif telah dilaksanakan sebagai berikut: Pertama, pengembangan visi dan misi kota yang kuat. Visi dipusatkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan identitas kultural kota ini. Bidang-bidang penting dalam misinya meliputi: (i) ekonomi lokal yang kuat, (ii) nilai etika dan budaya yang kuat, (iii) karakter kota yang kuat dan nama merek yang diakui, (iv) kota menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang bagus, (v) pengembangan kesempatan kerja, (vi) lingkungan yang kondusif untuk investasi, dan (vii) peningkatan pemeliharaan infrastruktur kota. Kedua, pengembangan kebijakan untuk pedagang kaki lima, termasuk revitalisasi pasar. Sebelumnya, sekitar 6.000 pedagang kaki lima menyebabkan kemacetan lalu-lintas, polusi dan berkembangnya daerah kumuh. Setelah konsultasi, proyek percontohan yang melibatkan 1.000 pedagang dilaksanakan melalui perencanaan ruang terbuka baru untuk pedagang kaki lima. Eksperimen ini kemudian diperluas ke daerah
24
Tinjauan Umum
dan pedagang kaki lima yang lain. Ketiga, peremajaan daerah kumuh dan perumahan murah, termasuk renovasi dan relokasi, serta penghijauan daerah perkotaan. Keempat, berkaitan erat dengan peningkatan sanitasi masyarakat, termasuk renovasi dan perluasan sarana MCK umum. Kelima, fokus baru diberikan pada peningkatan dan pengembangan jaringan transportasi—udara, darat dan kereta api—yang dihubungkan untuk menumbuhkan perdagangan, komersial, pendidikan, pelayanan kesehatan dan pariwisata. Keenam, Surakarta sering dipromosikan sebagai kota budaya untuk wisatawan domestik dan asing, untuk mengembangkan rasa bangga masyarakatnya. Warisan budaya kota ini telah membantu memupuk identitas kultural dan meningkatkan iklim investasi dan pengembangan usaha. Inisiatif meliputi pembukaan taman dan ruang kota, serta hari bebas kendaraan di jalan-jalan utama. Ketujuh, subsidi kesehatan dan pendidikan diberikan untuk warga miskin melalui kartu subsidi perak, emas dan platina (subsidi terbesar diberikan ke keluarga yang sangat miskin). Kota ini dikembangkan menjadi pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan. Kedelapan, pengembangan usaha dan perdagangan dikembangkan dengan kuat. Ini menyertakan juga bantuan untuk sekolah kejuruan, taman teknologi, perizinan satu pintu dan fasilitas lain, serta penekanan kuat pada pembangunan lingkungan untuk pengembangan usaha. Kesembilan, fokus kuat diberikan pada pengembangan sosial. Pemantauan ketat dilakukan untuk kecenderungan dalam Indeks Pembangunan Manusia yang akhir-akhir ini membaik. 1.5.2. Studi Kasus Kedua—Provinsi Gorontalo, Indonesia Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi ini memulai dengan menunjukkan bahwa Gorontalo merupakan pecahan dari Provinsi Sulawesi Utara, yang dibentuk pada tahun 2001. Gorontalo adalah provinsi yang relatif kecil dengan enam kabupaten/kota. Provinsi ini telah mengembangkan strategi pembangunan yang inovatif dan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial (material dan spiritual), terutama untuk mewujudkan pengurangan kemiskinan melalui pemanfaatan semua sumberdaya secara efektif dalam konteks pembangunan global. 25
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Visi provinsi ini adalah bahwa Gorontalo menjadi provinsi inovatif yang ditujukan untuk mewujudkan masyarakat yang mandiri, produktif dan agamis. Visinya diwujudkan melalui empat agenda pembangunan, yakni: (i) pendekatan berorientasi bisnis untuk pemerintahan, dengan fokus pada kinerja berbasis hasil untuk meningkatkan rasa percaya diri; (ii) pengembangan sumberdaya manusia untuk membuat personel lebih berorientasi bisnis dan religius; (iii) mengembangkan ekonomi rakyat berbasis desa, berdasarkan pada sektor unggulan lokal; dan (iv) pengembangan teknologi yang efisien. Tiga program prioritas dilaksanakan, yakni: (i) pengembangan sumberdaya manusia, terutama kewirausahaan; (ii) pembangunan pertanian (terutama jagung); dan (iii) pembangunan perikanan. Reformasi birokrasi dilaksanakan berdasarkan pada kepemimpinan politik dan birokrasi yang kuat serta orientasi kinerja. Ini meliputi reformasi pengelolaan keuangan dan reformasi pegawai. Jejaring dan kerja sama pembangunan dilakukan di tingkat regional, nasional dan internasional. Ini meliputi kerja sama dengan perguruan tinggi dan provinsi serta kabupaten di seluruh Indonesia, dan luar negeri (lima negara). Provinsi ini juga berkerja sama dengan tujuh Mitra Pembangunan Internasional. Strategi lainnya meliputi: (i) pengurangan rasio belanja pegawai hingga di bawah 40%; (ii) skema stabilisasi harga untuk jagung dan perikanan; (iii) fokus pada kecamatan dengan HDI yang rendah; (iv) kajian analisis belanja; (v) target MDG dalam strategi anggaran; dan (vi) pengembangan rencana induk infrastruktur 2010. Kinerja pembangunan provinsi ini bagus: (i) pertumbuhan tahunan dari 2002 hingga 2010 berkisar antara 6,5% dan 7,6% (di atas ratarata nasional); tingkat kemiskinan banyak berkurang dari 32,1% di tahun 2001 menjadi 18,8% di tahun 2011; (iii) peningkatan ajeg dalam HDI dari 64,1% di tahun 2002 menjadi 69,8% di tahun 2009; (iv) pengangguran terbuka berkurang dari 9,3% di tahun 2002 menjadi 5,2% di tahun 2010—sejak 2009, Gorontalo menduduki peringkat ke 13 dari 34 provinsi; (v) kondisi infrastruktur membaik—di tahun 2010 akses ke sanitasi yang memadai meningkat hingga 45,7% (target MDG adalah 75%)—air bersih perkotaan menjangkau 67,5% penduduk (target MDG adalah 85%)—lebih dari 164 km jalan lokal dan 5.000 rumah murah telah dibangun. 26
Tinjauan Umum
Ketua Badan Perencanaan Provinsi ini mengakhiri dengan memberikan beberapa saran kebijakan reformasi untuk skema Dana Alokasi Khusus (DAK), sebagai berikut: (i) jangan beri penghargaan buruk (lebih banyak DAK) ke pemda dengan rasio belanja pegawai yang tinggi. Akses Gorontalo ke DAK kecil karena kebijakan rasio belanja pegawai yang rendah; (ii) peningkatan alokasi dana DAK dengan jalan memotong belanja dekonsentrasi; (iii) memberikan DAK tambahan ke provinsi dengan angka kemiskinan yang tinggi dan HDI yang rendah; (iv) berikan penghargaan bagi daerah yang mengalokasikan banyak sumberdaya untuk belanja pembangunan, dengan sedikit penekanan pada misalnya, administrasi dan laporan audit yang bagus; dan (v) rencana infrastruktur harus menjadi pedoman belanja pembangunan infrastruktur di daerah. 1.5.3. Pembiayaan Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah di Indonesia Anwar Shah memulai dengan memberikan uraian rinci mengenai komponen utama sistem pembiayaan belanja pemda oleh pemerintah pusat di Indonesia. Dia kemudian mengkaji dua komponen sistem ini secara lebih rinci, yakni Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Delapan isu diangkat terkait perumusan DAU saat ini, sebagai berikut: (i) yurisdiksi desa dan kota yang berbeda ukuran dan karakteristik semuanya diperlakukan sama; (ii) pemakaian koefisien pendekatan variasi (Indeks Williamson) untuk menentukan standar karena penyetaraan rumit dan bisa dimanipulasi dan hasilnya tidak beraturan, dalam kaitannya dengan standar yang disukai oleh Shah yang berbunyi sebagai berikut: ”tingkat pelayanan publik yang sebanding dan memadai dengan tingkat beban pajak yang sebanding di semua yurisdiksi;” (iii) pendekatan yang kurang bagus untuk kapasitas fiskal dan berbagai pendapatan diberi bobot secara acak, sedangkan transfer DAK tidak dicantumkan; (iv) usaha pajak lokal mengendur karena pemakaian pendapatan aktual, bukannya pendapatan potensial (yang mungkin diperoleh); (v) perjanjian dengan daerah otonomi khusus semakin melemah karena jatah sewa sumberdaya tambahan diimbangi oleh alokasi DAU yang semakin kecil; (vi) ada insentif buruk ke arah penugasan personel secara berlebihan, dengan fleksibilitas pengelolaan personel yang rendah akibat komponen alokasi dasar (gaji); (vii) 27
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
beberapa indikator kebutuhan fiskal tidak tepat, terutama PDBR; indeks harga produsen, dan HDI; dan (vii) ada insentif buruk yang mendorong pemekaran daerah. Daripada menyelaraskan pendekatan kesenjangan fiskal dalam DAU, Shah mengusulkan sistem yang agak berbeda. Kriteria untuk desain baru adalah: (i) pengelompokan pemda yang berukuran/berkelas sama; (ii) rumus dan bobot pasti lima tahunan; (iii) plafon dan lantai untuk memberikan kestabilan; (iv) rata-rata nasional menurut ukuran dan kelas sebagai standar penyetaraan untuk menggantikan Indeks Williamson; (v) penutupan kesenjangan menurut ukuran dan kelas pemda; (vi) kapasitas fiskal didasarkan pada pendapatan potensial plus 100% bagi-hasil pajak dan pendapatan lain serta 50% bagi-hasil sumberdaya; dan (vii) ukuran kebutuhan fiskal harus lepas dari pemakaian alokasi dasar (gaji) dan kriteria lain, daripada memakai pengukuran kebutuhan yang didasarkan pada ukuran indikator untuk setiap kategori pelayanan. Tiga alternatif pendekatan untuk perumusanulang DAU diusulkan sebagai berikut: Alternatif satu menyertakan penutupan kesenjangan berdasarkan pada 10 kelompok: (i) satu kelompok untuk semua provinsi; (ii) 5 tipe kota berdasarkan pada jumlah penduduk; dan (iii) 4 tipe kabupaten berdasarkan pada luas wilayah. Dalam pendekatan ini, kapasitas fiskal didasarkan pada pendapatan potensial (dengan memakai PDRB nonsumberdaya yang disesuaikan untuk tingkat pajak efektif rata-rata nasional sebagai proxy). Semua bagi-hasil pajak dan transfer pusat lainnya akan dihitung, tapi hanya 50% pendapatan sumberdaya potensial yang dihitung. Kebutuhan fiskal akan didasarkan pada sekitar 10 fungsi (seperti yang ditetapkan COFOG) seperti administrasi, kesehatan, pendidikan dll., yang merupakan sebagian besar belanja pemda dalam periode lima tahun sebelumnya. Sekitar 12 indikator kebutuhan ditentukan secara acak untuk setiap fungsi, yang meliputi (untuk semua fungsi yang diusulkan): penduduk, luas wilayah, jumlah sekolah, jumlah pengangguran, jumlah rumah rakyat, jumlah penyewa di rumah rakyat, kilometer jalan, luas pertanian, luas hutan, nilai properti, angka kemiskinan, dan jumlah warga yang dilayani oleh air ledeng dan saluran limbah. Alternatif kedua menyertakan gerakan dari penutupan kesenjangan ke pendekatan alternatif penyetaraan fiskal. Penghitungan kapasitas 28
Tinjauan Umum
dan kebutuhan fiskal masih dilakukan menurut pendekatan alternatif di atas. Namun, surplus atau defisit kapasitas dan kebutuhan fiskal per kapita akan dihitung dengan mengacu ke standar penyetaraan. Pemda yang dalam situasi defisit neto akan menerima pembayaran penyetaraan dari pusat. Standar penyetaraan yang jelas adalah menentukan kumpulan dana dan distribusinya. Alternatif 3 menyertakan pendekatan yang diusulkan untuk penyetaraan fiskal dalam alternatif dua, dilengkapi dengan hibah operasional berbasis hasil-akhir untuk pelayanan prioritas dan hibah / pinjaman modal untuk mengatasi kekurangan infrastruktur. Disini kompensasi kebutuhan belanja diberikan melalui transfer operasional berbasis hasil-akhir untuk pelayanan prioritas, di mana alokasi didasarkan pada jatah jumlah pelayanan tanpa persyaratan mengenai belanja tapi mengenai kinerja pelayanan (SPM). Jika SPM tidak dipenuhi, maka akses tidak akan diberikan. Dalam pandangan Shah, ini akan menyederhanakan penentuan kumpulan dan alokasi dana hibah, serta memperkuat akuntabilitas terhadap warga lokal. Shah juga mengkaji dana alokasi khusus, DAK, dengan berpendapat bahwa hibah modal akan efektif hanya jika hibah ini mengandung pandangan perencanaan dari pusat, jadi perlu memetakan seluruh negeri untuk menentukan kekurangan regional dalam kaitannya dengan standar minimum nasional dalam infrastruktur dasar untuk pelayanan prioritas. Ada kekurangan dalam rumus DAK saat ini, misalnya indikator kapasitas fiskal yang buruk dan lebih berpihak pada yurisdiksi kecil dan kurangnya prioritas sektor. Kontribusi pendamping yang disyaratkan sudah tepat tapi harus ditentukan nilainya menurut kriteria yang jelas, dan pemda kaya harus didorong untuk masuk ke dalam pasar modal. Pendekatan pembiayaan saat ini, yang bersifat otomatis bukan berbasis permohonan, sudah tepat karena menjauhkan politik dan mencegah manipulasi, tapi pendekatan ini memerlukan pandangan perencanaan dari pusat, bukan kriteria acak yang rumit. Pandangan perencanaan akan memberikan prioritas infrastruktur yang diperlukan dalam konteks SPM, dan akan dijabarkan dalam rencana nasional lima tahunan. Untuk ringkasnya, penulis lebih suka dalam posisi yang mendukung: (i) lebih banyak bagi-hasil pajak dan devolusi pajak; (ii) hibah operasional per kapita berbasis hasil-akhir, yang berdasarkan pada SPM untuk pelayanan utama dengan memakai kriteria alokasi 29
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
berdasarkan pada wilayah jumlah pelayanan; (iii) hibah penyetaraan kapasitas fiskal, agar semua daerah bisa memberikan pelayanan publik pada tingkat yang cukup sebanding dengan beban pajak; (iv) hibah modal yang direncanakan dengan baik untuk pemda yang lemah fiskalnya agar mereka bisa menangani kekurangan infrastruktur untuk mewujudkan SPM di sektor prioritas; dan (v) bantuan akses ke pasar modal untuk pemda yang lebih kaya. Pembahasannya menyiratkan bahwa banyak orang mendukung reformasi DAU, walau belum banyak orang mempertimbangkan reformasi radikal dengan sifat seperti yang diusulkan. Aspek agenda reformasi saat ini, seperti yang ditunjukkan dalam makalah dari Kementerian Keuangan dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dari Kemenkeu (misalnya, kembali ke potensi pendapatan dalam rumus kebutuhan, menghapus alokasi dasar atau gaji dalam rumus kebutuhan, dan penyelarasan kriteria kebutuhan lain), sudah sesuai dengan yang diusulkan oleh Shah. Beberapa orang bertanya apakah Indeks Williamson begitu rumit atau tidak tepat, dan apakah gerakan dari rumus tunggal dengan lima variabel ke sepuluh atau lebih fungsi dengan selusin variabel atau lebih, akan sesuai dengan kesederhanaan yang diusulkan. Kelemahan teknis dalam data fungsional COFOG dari pemda, sebagai dasar untuk menentukan skema baru, dipertanyakan begitu juga manfaat dari mendasarkan bobot pada belanja fungsional selama lima tahun sebelumnya, mengingat masalah pola komposisi belanja masa lalu yang tidak tepat, dan mengingat bahwa reformasi PFM didasarkan pada perubahan kebijakan bukan pada pola penahapan. Usulan Shah untuk reformasi DAU lebih luas dipahami dan diterima dan sesuai dengan reformasi DAK yang saat ini sedang dipertimbangkan, walau beberapa orang mempertanyakan kapasitas perencana pusat untuk memberikan kontribusi pada pembuatan keputusan mengenai apa yang akan menjadi tanggung jawab fungsional lokal, dan beberapa lainnya meragukan apakah akan ada kemajuan yang cepat dalam pengembangan dan pelaksanaan SPM, mengingat kemajuan yang terbatas di dekade yang lalu. 1.5.4. Insentif untuk Penyediaan Pelayanan Lokal yang Lebih Baik Blane Lewis dan Paul Smoke menyajikan makalah mengenai penyediaan pelayanan lokal yang lebih baik, dengan mengkaji 30
Tinjauan Umum
pengalaman internasional dan potensi relevansinya bagi Indonesia. Mereka memulai dengan mempertanyakan peran insentif nasional dalam sistem desentralisasi dan apakah keterlibatan pusat di luar desain sistem nasional sudah tepat. Perilaku pemda seharusnya didorong oleh pemilu lokal. Namun, banyak orang melihat perlunya menetapkan tujuan nasional dan otonomi daerah secara bertahap. Kebanyakan pemerintah pusat berusaha untuk memengaruhi perilaku pemda. Kapasitas dan akuntabilitas lokal perlu ditangani. Reformasi bersifat jangka panjang dengan perubahan sistemik dan perilaku seiring waktu, dan beberapa di antaranya memerlukan keterlibatan pusat, termasuk pemakaian insentif untuk pemda untuk membantu mereka mencapai tujuan nasional. Saat ini ada beberapa insentif di Indonesia, beberapa diinginkan dan beberapa lainnya tidak. Beberapa positif dan lainnya negatif. Pendekatan bersifat ad hoc dan tidak merata karena desain birokratis, pelaksanaan dan pemantauan kinerja yang buruk. Insentif pendapatan meliputi: 3,5% pajak properti yang dikumpulkan oleh pusat dikirim ke pemda yang target anggarannya lebih besar; dan (ii) rumus kapasitas fiskal DAU menetapkan penerimaan asli daerah harus dihitung dengan dasar pendapatan potensial (bukan aktual), jadi tujuannya adalah untuk mendorong usaha pajak oleh pemda—praktek ini telah dihentikan tapi mungkin tidak akan menimbulkan banyak pengaruh. Insentif belanja meliputi: (i) penyisihan 0,5% pendapatan minyak dan gas untuk belanja pendidikan (tidak diberlakukan dan dipantau dengan baik); (ii) alokasi dasar yang mencapai 50% DAU sebagai disinsentif untuk rasionalisasi pegawai negeri; (iii) hibah bersyarat DAK mungkin bisa mendesak ke luar belanja modal dari sumber sendiri, dan penentuan sasaran DAK untuk daerah dan sektor tambahan semakin melemah; dan (iv) pengalaman dalam menahan transfer DAU (untuk pemda yang tidak memenuhi pedoman penyusunan anggaran) tampaknya menimbulkan pengaruh positif pada kepatuhan pemda. Ada tiga pendekatan umum untuk merancang insentif pemda: (i) sistem pengukuran kinerja, dengan membandingkannya seiring waktu dengan norma; (ii) sistem pengelolaan kinerja, yang ditujukan untuk meningkatkan pengelolaan melalui insentif kinerja, termasuk hibah berbasis kinerja (HBK); dan (iii) model dan alat peningkatan kinerja, dengan memahami langkah dan proses yang dipakai untuk merancang penyediaan pelayanan yang lebih baik. 31
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Lima kerangka bagian untuk mempertimbangkan insentif pemda diusulkan sebagai berikut: (i) tujuan umum target insentif, misalnya reformasi sistem; (ii) kemungkinan tujuan khusus, misalnya masukan, keluaran atau hasil-akhir; (iii) beberapa isu utama desain yang harus diketahui; (iv) gambaran umum isu dalam pengukuran kinerja, misalnya ukuran dan data; dan (v) menetapkan tanggung jawab kelembagaan atas sistem insentif kinerja. Pengalaman internasional terpilih kemudian diberikan. Menjalankan pendekatan sistem, pemantauan dan kepatuhan terbukti sangat sulit bagi sebagian besar negara. Tiga pendekatan utama telah dipakai secara internasional, sebagai berikut: Pertama, hibah bersyarat sektoral dan sistem kinerja—misalnya target khusus fasilitas sekolah di Uganda dan fasilitas pembiayaan kesehatan di Rwanda. Di beberapa percontohan, kuantitas pelayanan meningkat tapi kualitas tidak. Beberapa skema diarahkan ke kuantitas dan kualitas—ini bisa sangat rumit, misalnya, di sektor kesehatan, tapi jika berhasil, ini akan memberikan hasil yang bagus. Mungkin ada ketidakadilan dalam memilih penerima insentif, yang mungkin besar dan bisa membahayakan unit yang lebih lemah. Kedua, sistem HBK yang lebih luas (hibah berbasis kinerja) dengan sasaran peningkatan proses, misalnya, dalam PFM, perencanaan dll., harus memenuhi persyaratan eligibilitas minimum dan kemudian bonus berbasis kinerja bisa diberikan, yang biasanya menjadi diskresi pemda untuk membelanjakannya walau ditujukan untuk infrastruktur tertentu. Dalam beberapa kasus, target pelayanan sektoral dicantumkan (biasanya kuantitas bukan kualitas). Mengiklankan secara luas skema dan budaya persaingan antar pemda bisa membantu. Nilai insentif harus cukup besar agar bisa mendorong masyarakat. Setelah proses dasar sudah terbentuk, melanjutkan insentif mungkin tidak akan relevan dan gerakan selanjutnya perlu diarahkan ke lebih banyak insentif untuk penyediaan pelayanan sektor yang spesifik. Ketiga, sistem penilaian kinerja yang menyeluruh (dan biasanya rumit) mencakup berbagai ragam proses dan hasil-akhir, dengan insentif untuk peningkatan berbagai macam bidang. Penilaian Kinerja Komprehensif Inggris (CPA) adalah kasus yang paling terkenal. Penilaian ini menilai semua pemerintah daerah pada enam pelayanan— pendidikan, perumahan, perawatan sosial, lingkungan, perpustakaan dan waktu luang, dan pemakaian sumberdaya dan keuangan. Penilaian 32
Tinjauan Umum
ini menggabungkan penentuan peringkat dan skema insentif, dengan penekanan berat pada mutu pelayanan, mengukur efisiensi (sumberdaya/ keuangan) dan proses yang berdasarkan pada indikator kesehatan kelembagaan. Yang terakhir, kemungkinan insentif untuk Indonesia dipelajari. Skema yang rumit seperti CPA Inggris tampaknya tidak akan layak. Tampaknya sudah terlambat dalam proses desentralisasi untuk mewujudkan proses yang berorientasi ke skema PBG, karena beberapa pemda belum menguasai proses yang diperlukan dan karena itu mereka bisa dijadikan sasaran PBG. Ada masalah terkait mutu pelayanan. Kemungkinan tahap selanjutnya untuk reformasi Indonesia adalah insentif kinerja sektoral melalui pemakaian transfer bersyarat. Di sini instrumen yang paling memungkinkan adalah DAK. Selain itu, satu kasus bisa dibuat untuk mendorong pengelolaan fiskal yang lebih baik di sejumlah bidang, termasuk: (i) akumulasi dana cadangan; (ii) pembiayaan utang; (ii) keseimbangan antara belanja modal dan belanja berulang; (iv) peningkatan penerimaan asli daerah; dan (v) pengembangan usaha dan pertumbuhan lokal. Aspek mekanisme rumus DAU juga perlu debat lebih luas dan kajian, untuk menghilangkan insentif negatif dan mungkin mengaitkannya dengan insentif yang lebih positif. Koordinasi skema insentif secara lebih baik di semua birokrasi akan penting artinya di Indonesia. Yang terakhir, banyak pemda tidak beroperasi secara efisien, jadi ada risiko memberi penghargaan pada perilaku yang tidak efisien, karena sulit untuk mengidentifikasi inefisiensi dengan jelas dan mengenakan sanksi pada mereka. Dengan memandang tantangan ke depan, riset dan percobaan lebih lanjut masih diperlukan. Diskusi dalam makalah ini menyiratkan masalah yang bersifat umum terkait kinerja pemda di Indonesia (dan negara lain), jadi penting untuk menjelajahi skema berbasis insentif. Satu pertanyaannya adalah apakah perlu merancang ulang seluruh sistem yang ada (yang berisi insentif dalam jumlah terbatas) atau hanya menyesuaikan tepiannya? Beberapa orang menunjukkan perlunya menetapkan kinerja pemda, yang merupakan prasyarat utama untuk merancang insentif. Selain itu, sulit untuk merancang insentif jika fungsi penugasan tidak jelas dan tidak tepat. Suara masyarakat yang ‘lebih keras’ juga diperlukan untuk menuntut akuntabilitas dan kinerja, jadi masyarakat perlu menjadi fokus insentif /sanksi. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah tujuannya adalah 33
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
untuk memberi hadiah ke daerah yang berkinerja bagus tanpa memandang kesetaraan—mungkin pertukaran bisa terjadi antara pertumbuhan dan kesetaraan. Yang terakhir, salah satu komentator mengatakan bahwa makalah ini tidak menangani skema insentif untuk daerah baru (DID), dan inisiatif ini layak dikaji secara ketat seiring waktu. 1.5.5. Pembiayaan Infrastruktur Regional dan Pertumbuhan di Cina Baoyun Qiao memberikan makalah mengenai pendekatan Cina untuk memicu pembangunan dan pertumbuhan infrastruktur regional, dari sudut pandang pembiayaan utang untuk belanja modal. Kerangka analisis yang dipakai mengasumsikan bahwa risiko dari pinjaman pemda dipengaruhi oleh kekuatan fiskal negara, seperti yang ditentukan oleh pengaturan pembiayaan antar pemerintah dan hambatan pasar uang yang ditentukan oleh status terkini pasar uang. Tanggung jawab belanja menurut UU Anggaran sangat terdesentralisasi, tapi pendapatan yang dikumpulkan pemda jauh lebih kecil daripada belanja yang dilakukan. Walau ada banyak mekanisme transfer tujuan khusus dan tujuan umum, tapi nilai yang ditransfer tidak banyak, jadi membuat pembiayaan utang menjadi instrumen utama untuk membiayai kekurangan pemda di Cina. Pejabat diberi insentif untuk memaksimalkan pertumbuhan di daerah, termasuk pertumbuhan infrastruktur, jadi pembiayaan pertumbuhan menjadi tantangan penting. Utang pemda telah membantu menggerakkan pertumbuhan dan pembangunan, tapi juga membawa risiko keuangan. Tingkat risiko perlu ditampung bukan dibuang. Ada biaya (misalnya, untuk pertumbuhan yang ditentukan sebelumnya) dari mencoba keuntungan dengan pendekatan yang negatif. Risiko tergantung pada kekerasan hambatan anggaran dan hambatan pasar uang. Membuat hambatan anggaran menjadi sulit memerlukan penguatan keseluruhan sistem pembiayaan antar pemerintah, bukan hanya pengendalian utang. Demikian juga, pasar uang memerlukan penguatan luas, bukan hanya dalam kaitannya dengan utang pemda. Inti dari pendekatan risiko optimal adalah meminimalisasi risiko dalam pinjaman pemda pada tingkat biaya (korban) tertentu, terutama hilangnya pertumbuhan ekonomi. Solusinya bersifat dinamis karena biaya, manfaat dan sistem yang dipakai berubah seiring waktu. Untuk sebagian besar negara berkembang, hambatan 34
Tinjauan Umum
anggaran dan hambatan pasar keduanya lemah dan memerlukan banyak penguatan untuk mengendalikan risiko. Di sisi permintaan (hambatan anggaran yang lunak/mudah), faktor yang membuat lemah meliputi: (i) hubungan perusahaan pemerintah yang tidak jelas, termasuk jaminan dari pemda untuk perusahaan negara; (ii) sistem pembiayan antar pemerintah yang dirancang dengan tidak baik (ketidakseimbangan antara penugasan belanja dan pendapatan dan mekanisme transfer yang tidak dirancang dengan baik), yang menimbulkan utang berlebihan karena mengharapkan pemerintah pusat akan menutup utang jika ada krisis—semuanya bersaing untuk menunjukkan pertumbuhan sesuai dengan arahan dan insentif pusat, dan memperkirakan bahwa pusat pada akhirnya akan membiayai semua; (iii) pengelolaan anggaran yang longgar—kurangnya transparansi berarti pengendalian dan pemantauan yang kurang—belanja pegawai dan administrasi yang berlebihan umum terjadi; (iv) tidak banyak pemungutan suara karena pejabat pemda ditunjuk oleh dan bertanggung jawab pada pejabat yang lebih tinggi, jadi masyarakat tidak memiliki kebebasan gerak antar lokasi; (v) harapan yang terlalu tinggi pada pertumbuhan, dan pandangan bahwa pertumbuhan ke depan akan terus memberikan pendapatan untuk mendanai utang terkini; (vi) urbanisasi yang cepat menimbulkan tuntutan pembangunan infrastruktur baru; (vii) pengaruh kemakmuran—tanah adalah 100% milik negara dan banyak dipakai oleh pemda sebagai jaminan pinjaman, terutama dari bank negara; dan (viii) kebijakan fiskal yang agresif sejak 2008, dengan pemerintah pusat dan daerah berbagi tanggung jawab atas perluasan pembangunan infrastruktur. Di sisi pasokan (hambatan pasar), faktor yang memperlemah adalah: (i) tata kelola keuangan yang lemah umum terjadi, termasuk informasi yang kurang mengenai kapasitas peminjam. Insentif untuk bank adalah bank harus tumbuh bukan bersikap bijak. Toleransi risiko tinggi dari pemda karena mereka mengharapkan penghapusan utang jika dirasa perlu. Pengaruh pemda sangat kuat pada personel dan pembuatan keputusan oleh bank milik negara. Yang terakhir, pengendalian suku bunga tidak memperhatikan risiko dari berbagai macam kredit; dan (ii) tingkat tabungan yang tinggi dan likuiditas berlebihan di pasar uang—dengan perbedaan yang semakin besar antara tingkat tabungan dan pinjaman—yang berarti persaingan mem35
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
perebutkan peminjam dan pemda dianggap sebagai peminjam yang baik. Penguatan hambatan anggaran dan hambatan pasar akan banyak mengurangi risiko pinjaman pemda. Di sisi permintaan, pengaturan berbasis aturan dan pengaturan administratif bisa menjadi pilihan. Pengendalian administratif bagus untuk jangka pendek (kepatuhan lebih besar, lebih mudah untuk membeda-bedakan situasi pemda yang beragam) tapi untuk jangka panjang, pendekatan berbasis aturan yang kuat akan lebih tepat. Di sisi pasokan, pendekatan berbasis aturan lebih disukai (misalnya, pembobotan risiko modal dari pinjaman untuk pemda bisa dikaitkan dengan peringkat internasional untuk kelayakan kredit pemda) karena biaya yang besar dari pengelolaan lembaga keuangan secara mikro melalui pengendalian administratif. Pembahasan dalam makalah ini menunjukkan minat yang besar di Indonesia pada keberhasilan Cina (walau dengan risiko) dalam memicu pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi melalui pemakaian pemda sebagai agen utama untuk investasi publik. Pendekatan yang menolak risiko tinggi untuk pembiayaan utang pemda, seperti yang terjadi di Indonesia, dibarengi oleh lambatnya pembangunan infrastruktur. Pertukaran antara risiko dan pertumbuhan yang tercantum dalam makalah ini memberikan makanan pikiran yang menarik bagi Indonesia dan negara lain, di mana pilihan seperti ini ada.
36
Pidato Menteri
dan di saat yang sama memberikan insentif untuk semua tingkat pemerintah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi? • Apakah kami bisa memperkuat insentif untuk meningkatkan pembangunan ekonomi lokal dan meningkatkan pendapatan di tingkat lokal, melalui desentralisasi lebih banyak kekuasaan perpajakan? Apakah ini bisa diwujudkan tanpa merusak prioritas nasional dan distribusi penghasilan di seluruh daerah? • Apa pendekatan terbaik yang harus diambil untuk meningkatkan kapasitas perencanaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota? Apa yang kami bisa lakukan untuk mewujudkan konsistensi lebih baik dalam rencana-rencana yang dibuat oleh berbagai tingkat pemerintah? • Karena kami mulai melaksanakan strategi yang ambisius untuk meningkatkan keterhubungan antar daerah-daerah di Indonesia, bagaimana cara kami memastikan bahwa semua tingkat pemerintah akan mempermudah pelaksanaan tanpa melanggar otonomi mereka? Saya tahu bahwa banyak negara mencoba menemukan keseimbangan yang tepat dari semua masalah ini, dan memang tidak mudah untuk melakukan ini. Pada konferensi ini, saya berharap semoga ada penilaian yang jujur terkait desentralisasi di Indonesia, dan semoga kami bisa mendapatkan beberapa pengetahuan yang berharga dari pengalaman negara lain, yang bisa membantu kami dalam menghadapi tantangan pembangunan. Kami tahu bahwa masih banyak ruang untuk peningkatan. Di konferensi internasional ini, kami berharap semoga kami bisa mengkaji kembali pencapaian dan kegagalan kami selama ini terkait desentralisasi di Indonesia. Konferensi ini adalah peluang yang sangat berharga bagi kami untuk belajar dari pengalaman negara lain.
47
4 Pidato Penutupan Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri
Kami merayakan 10 tahun desentralisasi fiskal di Indonesia. Konferensi ini telah menghimpun para ahli di dunia tentang desentralisasi untuk menawarkan pandangan dan pengalaman dari berbagai negara, sehingga memberikan kesempatan unik kepada peserta untuk mendapatkan gambaran yang sebenarnya dari kebijakan desentralisasi secara lengkap dan yang telah diterapkan untuk Indonesia. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Mahakuasa atas rahmat dan rida-Nya kita dapat bertemu dalam keadaan sehat walafiat. Sungguh sangat berbahagia, pada hari ini saya berkesempatan menghadiri Final Plenary Session Konferensi Internasional yang mengambil tema Sepuluh Tahun Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Materi yang telah dibahas dalam konferensi ini diambilkan dari berbagai pandangan beberapa ahli maupun pengalaman dari beberapa negara dan daerah di Indonesia, sehingga peserta telah mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai kebijakan desentralisasi fiskal dan praktek penerapannya di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia terjadi tidak berdiri sendiri, ia menjadi bagian dari agenda reformasi politik yang bergulir sejak 13 tahun yang lalu. Agenda politik kala itu ditandai dengan perubahan penyelenggaraan pemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi, melalui pemberian kewenangan yang semakin 48
Pidato Menteri
luas kepada daerah. Hal ini juga membawa konsekuensi pergeseran pengaturan fiskal yang terdesentralisasi. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada daerah telah diikuti dukungan anggaran yang lebih memadai. Bentuk dukungan anggaran berupa peningkatan jumlah transfer dana ke daerah dan kebijakan pemberian diskresi yang lebih luas kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatannya. Data statistik menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir setelah diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal, anggaran yang dikelola oleh Pemerintah Daerah meningkat secara signifikan. Apabila pada tahun 2000 total pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seluruh Indonesia hanya berkisar pada angka Rp 38 triliun, pada tahun 2011 angka tersebut meningkat tajam menjadi Rp 477 triliun. Besarnya peningkatan pendapatan daerah dimaksud juga dibarengi dengan diskresi yang luas bagi daerah untuk membelanjakannya sesuai kebutuhan dan prioritas daerah. Kita semua berharap agar komponen belanja pemerintah daerah ini dapat menjadi stimulus fiskal bagi perekonomian di daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini adalah salah satu esensi dari otonomi daerah. Peningkatan pendapatan daerah tidak terlepas dari besarnya alokasi transfer dana dari kas negara ke kas daerah melalui dana perimbangan. Transfer pemerintah rata-rata per tahun mencapai lebih 73% dari pendapatan daerah, sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berkontribusi kurang dari 21%, bahkan pada tahun-tahun tertentu hanya mencapai sekitar 13%, dan sisanya diperoleh dari lain-lain pendapatan daerah yang sah. Tingginya transfer dana pusat ke daerah seharusnya juga diikuti adanya keseimbangan fiskal melalui penguatan pajak daerah dan retribusi daerah guna menjaga local taxing power dalam pemenuhan fungsi akuntabilitas daerah. Sekali lagi upaya memperkuat fiskal daerah ini harus pula diorientasikan kepada belanja pembangunan di daerah yang berkelanjutan. Salah satu indikator terukur dan relatif obyektif yang dapat diterapkan dalam perancangan belanja daerah adalah Standar Pelayanan Minimum (SPM) sebagai pemenuhan pemberian pelayanan publik yang menjadi hak dasar masyarakat. Untuk itu saya menyambut baik dalam konferensi ini yang telah menampilkan keberhasilan dari beberapa negara dan daerah di Indonesia dalam mengelola fiskal daerah sebagai satu kesatuan analisis baik dari sisi pendapatan maupun belanja 49
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
daerah, sehingga dapat dijadikan masukan bagi semua pihak dalam perumusan kebijakan desentralisasi ke depan dan implementasinya. Apabila pengaturan dari sisi pendapatan, terutama aspek transfer dan local taxing power relatif sudah cukup memadai, belum demikian halnya pada sisi belanja APBD yang implementasinya sangat variatif pada tingkat daerah. Secara keseluruhan komposisi belanja APBD tahun 2000–2010 terdiri dari belanja pegawai yang rata-rata berkisar antara 35–45%, belanja program/kegiatan yang mencakup belanja barang dan modal berkisar antara 35–56%, dan selebihnya untuk belanja tidak langsung lainnya seperti hibah, dan bantuan sosial. Untuk belanja pegawai misalnya, apabila dilihat angka daerah per daerah, terdapat 294 kabupaten dan kota pada tahun 2011 menganggarkan lebih 50% dari total belanja daerah, bahkan ada daerah yang mengalokasikan belanja pegawai mencapai 75% dari total belanja. Dari komposisi belanja daerah yang kecenderungannya lebih pada alokasi belanja pegawai, pemerintah mengambil langkah-langkah koreksi antara lain melalui moratorium penerimaan pegawai selama 14 bulan ke depan. Langkah ini sejalan dengan agenda reformasi birokrasi secara menyeluruh di daerah untuk menghasilkan postur PNSD yang ideal, sehingga belanja daerah akan lebih dapat diarahkan untuk penyediaan sejumlah pelayanan dasar yang tercantum dalam SPM. Selain itu belanja program dan kegiatan pun perlu mendapat sentuhan penajaman prioritasnya baik pada tingkat daerah maupun sinergitasnya dengan agenda pembangunan nasional melalui harmonisasi belanja pusat dan daerah. Pada saat ini pemerintah sedang menyiapkan revisi undang-undang terkait dengan otonomi daerah. Perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah akan membawa konsekuensi kepada upaya-upaya penyempurnaan pengelolaan keuangan daerah. Regulasi di bidang keuangan daerah terus-menerus dilakukan pengkajian, seperti peraturan terkait sisi belanja daerah yaitu bantuan sosial dan hibah, Standar Pelayanan Minimum (SPM), perluasan pemberian reward and punishment dalam pengelolaan keuangan daerah, penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang berbasis acrual, serta peningkatan akuntabilitas atas pelaksanaan kegiatan termasuk peningkatan kualitas opini atas laporan keuangan masing-masing daerah oleh instansi pemeriksa. Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat mampu mendorong perbaikan pengelolaan keuangan daerah ke depan secara menyeluruh. 50
BAGIAN C Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
5 Tantangan Politik dan Keberhasilan di Indonesia Djohermansyah Djohan
5.1. Pendahuluan Bapak pendiri bangsa Indonesia telah membuat keputusan tegas untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, sebagai cara untuk mengelola kemajemukan dalam Republik Indonesia (NKRI). Dengan jumlah 17.500 pulau dengan berbagai macam suku, adat dan agama, maka tidak mungkin untuk mengelola negara seperti Indonesia dengan sistem yang tersentralisasi. Dasar hukum kebijakan desentralisasi Indonesia sudah dibentuk sejak Proklamasi Kemerdekaan di tahun 1945, dan dalam Pasal 18 UUD, yang memberikan dasar bagi peraturan lebih luas melalui UU Pemerintah Daerah. Berbagai undangundang (UU) tentang pemerintah daerah telah memberikan kontribusi ke proses desentralisasi seiring waktu, seperti: UU No. 1 (1945) mengenai Status Komisi Nasional dari Daerah, UU No. 22 (1948) tentang Dasar-Dasar Pemerintah Daerah, UU No. 1 (1957) tentang Prinsip Pemerintah Daerah, UU No. 18 (1965) tentang Dasar-Dasar Pemerintah Daerah, UU No. 5 (1974) tentang Prinsip Administrasi Daerah, dan yang terakhir UU No. 22 (1999) tentang Administrasi Pemerintahan Daerah—yang diperkuat lagi dengan pemberlakukan UU No. 32 (2004). UU Pemerintah Daerah merupakan tonggak kebijakan otonomi daerah di Indonesia, yang terus dimutakhirkan sesuai kebutuhan pembangunan bangsa Indonesia. Dalam berbagai UU mengenai 53
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
pemerintah daerah, definisi otonomi daerah pada dasarnya sudah benar, yakni: daerah otonomi diberi hak, wewenang dan kewajiban yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan urusan mereka sendiri sesuai kepentingan masyarakat dan peraturan setempat. Jadi, pada prinsipnya otonomi daerah merupakan pemberian otonomi kepada masyarakat daerah untuk memerintah diri mereka sendiri. Ada dua tujuan utama dari desentralisasi, yakni: pengembangan demokrasi dan kesejahteraan. Demokrasi pemerintah daerah ditempatkan sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal. Diharapkan ini memberikan kontribusi juga untuk pendidikan politik di tingkat nasional, dan bisa mempercepat usaha masyarakat madani. Kesejahteraan yang diberikan di tingkat pemerintah daerah ditujukan untuk menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk masyarakat setempat. Ini dicontohkan dalam penjelasan UU No. 32 (2004) tentang Administrasi Pemerintah Daerah, yang menyebutkan tujuan desentralisasi sebagai dorongan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah. Di tahun 1999, Indonesia menerapkan sistem desentralisasi secara nasional, yang banyak mengubah hubungan antara masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sistem ini memindahkan tanggung jawab ke pemerintah daerah atas: akuntabilitas, transparansi, pembuatan keputusan, pengelolaan keuangan dan penyediaan pelayanan. Kebijakan desentralisasi Indonesia telah secara mendasar mengubah sistem pemerintahan di Indonesia, melalui pelaksanaan UU seperti: UU No. 22 (1999) tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 (1999) tentang Keseimbangan Fiskal antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Sejak itu, kedua UU ini digantikan oleh UU No. 32 (2004) dan 33 (2004) yang memberikan ketetapan yang lebih jelas dan rinci untuk pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. UU ini menegaskan komitmen terus-menerus di Indonesia untuk mengembangkan otonomi daerah sebagai suatu cara untuk meningkatkan penyediaan pelayanan, kesejahteraan masyarakat dan menjamin stabilitas politis, ekonomi dan sosial bangsa. Pemerintah telah melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk memfasilitasi kelancaran pelaksanaan UU ini.
5.2. Desentralisasi untuk Demokrasi Salah satu terobosan besar yang diwujudkan melalui penerapan 54
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
UU No. 32 (2004) adalah pemilihan kepala daerah secara langsung. Ini dianggap sebagai langkah awal yang penting untuk konsolidasi sistem demokrasi negeri, walau pemerintah mengakui perlunya pelaksanaan yang lebih baik untuk pemilihan di masa depan. Sesuai dengan semangat desentralisasi, pemilihan kepala daerah secara langsung diselenggarakan sejak 2005. Pemilihan lokal ini memperbaiki kesalahan dari sistem sebelumnya, yang bergantung pada demokrasi tidak langsung (perwakilan). Dalam sistem sebelumnya, kepala daerah dipilih oleh parlemen. Walau pendekatan ini masih mewakili pilihan para pemilik suara, yang memilih sendiri pemerintahnya, tapi sekarang pemilik suara di tingkat masyarakat berhak memilih secara langsung tanpa perantara sesuai nurani mereka, saat mereka memilih kepala daerah mereka. Keputusan untuk menyelenggarakan pemilihan merupakan suatu langkah strategis, yang ditujukan untuk memperluas, memperdalam dan meningkatkan mutu demokrasi di Indonesia. Ini sesuai dengan tujuan desentralisasi untuk mengembangkan otonomi, yakni untuk memungkinkan masyarakat lokal untuk menentukan nasib mereka sendiri dan mengakui aspirasi dan inisiatif yang terdapat di tingkat ini. Jika dilihat dalam kerangka desentralisasi sebagai alat demokratisasi, peran penting pemilihan umum tidak bisa dianggap remeh. Selain argumentasi di atas, pemilihan kepala daerah menumbuhkan rasa bertanggung jawab, juga kebutuhan menyediakan pelayanan yang bermutu. Pemilihan menciptakan stabilitas politik dan pemerintah yang efektif. Selain itu, pemilihan terbuka memberi peluang baru untuk meningkatkan mutu kepemimpinan nasional, karena calon-calon pemimpin bangsa lahir dari tingkat daerah. Ini sesuai dengan keseluruhan tujuan desentralisasi dan otonomi daerah, ditambah usaha mengembangkan peluang pelatihan dan kepemimpinan nasional. Peluang memilih kepala daerah disambut dengan hangat oleh masyarakat. Sambutan seperti ini menunjukkan harapan yang berkembang di masyarakat, bahwa pemilihan umum akan terus diselenggarakan dengan cara yang demokratis, aman dan tertib. Melalui pengalaman yang diperoleh dari pelaksanaan pemilihan di seluruh negeri, disadari bahwa pengaturan pemilihan seperti yang ditetapkan dalam UU No. 32 (2004) masih terbatas, dari segi sistem dan aturan teknis yang ada. Melalui perenungan terkait keterbatasan undang-undang ini, pemerintah memperkuat komitmennya untuk meningkatkan pemilihan 55
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dan akan berusaha memperbaiki berbagai aspek penyelenggaraan pemilihan di masa depan. Untuk melaksanakan ini, perlu membuat UU terpisah, selain UU No. 32 (2004), untuk mengatur lebih lanjut pemilihan. Ini akan meningkatkan akurasi hasil pemilihan dan membuat masyarakat semakin terlibat dalam demokrasi yang bermutu tinggi. Penyusunan draf UU tentang Pemilihan Kepala Daerah telah menjadi salah satu tonggak program legislasi nasional pemerintah untuk 2011, jadi kami berharap untuk melihat pemilihan umum berikutnya diselenggarakan sesuai peraturan perundang-undangan baru yang semakin baik.
5.3. Desentralisasi untuk Kesejahteraan Pemerintah telah menyusun draf strategi besar untuk pelaksanaan desentralisasi, sebagai cara untuk mengonsolidasikan sistem Indonesia yang menantang. Strategi ini menangani tujuh bidang utama, yakni: fungsi pemerintah, pengelolaan pegawai negeri, administrasi keuangan daerah, perwakilan daerah, sistem penyediaan pelayanan publik, pelaksanaan sistem pengendalian, dan pemantauan yang efektif. Dikembangkan dari strategi besar ini, rencana aksi yang lebih rinci masih akan disusun bekerja sama dengan para pemangku kepentingan utama. Tapi untuk saat ini, saya akan berusaha memperkirakan fungsifungsi dalam rencana besar tersebut.
5.4. Fungsi Pemerintah Untuk mewujudkan otonomi daerah perlu dilaksanakan pembagian urusan pemerintah ke tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota (lokal). Penetapan pembagian urusan pemerintah didasarkan pada pemikiran bahwa beberapa fungsi pemerintah harus tetap berada dalam wewenang pemerintah pusat, untuk menjamin kelangsungan kehidupan berbangsa secara keseluruhan. Fungsi-fungsi ini meliputi: kebijakan luar negeri, pertahanan, keamanan, keputusan moneter, peradilan dan masalah agama. Demikian juga, ada beberapa fungsi yang dianggap harus berada dalam wewenang pemerintah daerah. Fungsi-fungsi ini memiliki dua kategori, yakni: fungsi pemerintah wajib dan fungsi yang dianggap dipakai oleh pemerintah daerah sebagai reaksi terhadap ciri-ciri khusus 56
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
kebutuhan dan kemampuan masyarakat mereka. Fungsi pemerintah wajib meliputi: penyediaan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, penghidupan minimum dan infrastruktur lingkungan dasar. Inisiatif pemerintah daerah lainnya dianggap sebagai pilihan mereka sendiri, tapi ditujukan untuk meningkatkan aset nyata daerah tertentu. Di beberapa daerah, ada urusan pemerintah yang harus ditangani bersama dengan pemerintah pusat dan setempat. Untuk urusan yang harus ditangani bersama ini, pemerintah pusat tetap memegang wewenang tapi beberapa fungsi tertentu dilimpahkan ke tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Porsi pengaruh yang dipegang oleh beberapa lapisan pemerintahan ini, jika bekerja sama, harus dipertimbangkan dengan cermat. Rencana besar mencantumkan draf kriteria yang perlu dipertimbangkan untuk situasi seperti ini, yang menekankan perlunya eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi, sambil mengembangkan hubungan yang harmonis antar berbagai tingkat pemerintah.
5.5. Struktur Pemerintah Dalam pemerintah daerah, kepala daerah dibantu oleh aparat administrasi daerah, yang umumnya terdiri dari anggota staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi. Kepala daerah juga dibantu dalam tugas menyusun dan melaksanakan kebijakan spesifik daerah, oleh instansi teknis yang berisi para eksekutif urusan daerah di kantor instansi. Sifat fungsi pemerintah yang perlu ditangani memerlukan badanbadan daerah yang di struktur sebagai organisasi. Namun ini tidak berarti bahwa organisasi terpisah harus dibentuk untuk pengelolaan urusan pemerintah. Skala organisasi daerah harus mempertimbangkan paling tidak: kapasitas keuangan daerah, kebutuhan daerah, lingkup tugas yang diperlukan untuk memenuhi target yang ditentukan, ruang yang tersedia untuk kerja, dan faktor geografis dan penduduk yang bersifat spesifik daerah. Dengan cara ini, bisa dilihat bahwa organisasi daerah tidak seragam tapi disusun sesuai kebutuhan masing-masing daerah. 5.6. Keterlibatan Pegawai Negeri Pegawai negeri memegang posisi penting dalam sistem nasional, 57
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
yang berfungsi untuk menyatukan bangsa. Sesuai dengan kebijakan pemerintahan desentralisasi, ada lingkup bagi para pamong praja lokal untuk memainkan peran lebih besar dalam pekerjaan staf. Sistem dan prosedur untuk penugasan personel daerah sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dan menyertakan pedomanpedoman yang tepat untuk: perencanaan, penunjukan, penempatan, pendidikan dan pelatihan, penggajian, pemecatan, pensiun, hak dan kewajiban yang diminta dari mereka yang bekerja sebagai pamong praja nasional.
5.7. Administrasi Keuangan Daerah Agar pemerintah daerah bisa secara efektif melaksanakan pelayanan pemerintah, diperlukan sumber pendapatan yang mencukupi. UU No. 33 (2004) menangani isu ini, dengan menunjukkan bahwa kebutuhan keuangan pemerintah pusat dan daerah harus seimbang sesuai tingkat wewenang dan kendali yang dipegang oleh beberapa lapisan pemerintah. Setiap bidang kendali yang diberikan ke pemerintah daerah akan dilengkapi dengan sumberdaya keuangan, yang melekat dan memberi sumber keuangan lokal. Daerah juga diberi hak untuk memperoleh sumberdaya keuangan melalui pengumpulan dan pemanfaatan pajak dan bea, dana yang dikumpulkan dari sumberdaya nasional lokal, pengelolaan dana dari keuangan regional secara efektif, dan melalui sumber pendapatan dan pembiayaan lain yang sah. Pengaturan seperti ini merupakan contoh dari pemerintah yang menerapkan prinsip ”uang mengikuti fungsi.”
5.8. Perwakilan Daerah Pemerintah dan parlemen daerah bekerja bersama sebagai mitra terkait masalah ini, dan keduanya memiliki wewenang yang setara. Sifat hubungan ini tercerminkan dalam kebijakan mengenai peraturan daerah. Hubungan ini dianggap perlu sebagai bagian dari gerakan menuju otonomi daerah, untuk mendorong hubungan kerja yang kuat antar kedua lembaga ini, dengan mempertimbangkan perbedaan dalam fungsi masing-masing sambil bekerja dengan cara yang mendukung satu sama lain.
58
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
5.9. Sistem Penyediaan Pelayanan Publik Tujuan akhir untuk pemerintah daerah adalah mewujudkan penyediaan pelayanan dan barang yang tersebar luas dan diperlukan oleh masyarakat. Pemerintah daerah harus menyediakan barang untuk kemanfaatan lokal seperti: jalan, jembatan, sarana irigasi, bangunan sekolah, pasar dan rumah sakit. Pemerintah daerah harus menyediakan juga pelayanan yang membantu pengaturan ketertiban umum, misalnya penerbitan akta kelahiran, kartu tanda penduduk, izin bangunan, dan izin lain untuk mempermudah kedamaian dan ketertiban umum. Poin penting yang harus dipertimbangkan adalah cara menyediakan pelayanan publik dengan cara yang bisa membantu masyarakat daerah mencapai kemakmuran. Prinsip standar pelayanan minimum, penyediaan yang baik (yang memberikan pelayanan dengan lebih baik dan lebih murah dan cepat) dan akuntabilitas, semuanya akan menjadi isu utama terkait pelayanan publik di masa depan.
5.10. Sistem Pemantauan dan Pengawasan yang Efektif Pengawasan dilaksanakan oleh pemerintah, dalam kaitannya dengan cara yang tepat untuk menyelenggarakan urusan pemerintah dan sesuai dengan peraturan dan ketetapan daerah. Ada bermacam-macam proses dan kegiatan yang diperlukan, yang ditujukan untuk memastikan bahwa pemerintah daerah bertindak sesuai rencana untuk bangsa secara keseluruhan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait. Pemerintah menyadari keluhan yang telah diajukan oleh kalangan bisnis dalam negeri dan asing, bahwa peraturan pemerintah daerah telah menempatkan beban yang tidak adil ke mereka, yang membatasi kegiatan ekonomi lokal. Beberapa peraturan ini, terutama pajak dan bea daerah, membawa dampak serius pada iklim usaha dan investasi di daerah. Pemerintah pusat akan terus memantau masalah ini, karena menyadari bahwa ini menimbulkan risiko bagi pembangunan ekonomi di tingkat nasional dan regional. Cara memberikan pedoman yang efektif dan mengawasi pemerintah daerah tanpa membatasi wewenang pemerintah daerah, akan menjadi tantangan yang terus ada dalam sistem desentralisasi. UU No. 75 (2005) tentang pengawasan pemerintah daerah memberikan pedoman 59
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
untuk peraturan dan prosedur yang terkait dengan pemantauan semacam ini. Aspek paling penting dalam UU ini adalah mekanisme yang dijalankan untuk mengawasi sistem peraturan daerah, untuk memastikan bahwa peraturan ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Usaha berjalan sedang dilakukan untuk memastikan bahwa mekanisme tersebut dilaksanakan secara konsisten. Ini termasuk juga pengembangan pedoman yang jelas untuk menangani peraturan daerah yang tidak tepat. Peraturan daerah yang tidak tepat didefinisikan sebagai peraturan yang bisa menimbulkan dampak negatif pada pembangunan ekonomi daerah, atau iklim investasi di Indonesia, dan yang membahayakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan, atau yang mengancam stabilitas sosial dan politik. Untuk memberikan pedoman dan pengawasan pemerintah daerah yang lebih efektif, kami bermaksud memperkuat peran gubernur di daerah, agar mereka bisa bertindak sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam kerangka pedoman dan sistem pemantauan seperti ini, pemerintah tetap memiliki wewenang untuk membatalkan peraturan daerah, jika peraturan ini dianggap berlawanan dengan kepentingan masyarakat atau peraturan yang lebih tinggi. Sejak pelaksanaan UU No. 22 (1999), sekitar 205 peraturan pemerintah daerah baru telah dibuat (yang mencakup 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota). Saat ini ada 524 wilayah pemerintah daerah, yang berada di 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota. Pembentukan begitu banyak wilayah pemerintah daerah dianggap diperlukan untuk memenuhi tuntutan masyarakat, bahwa pemerintah harus bekerja di tingkat yang lebih dekat dengan masyarakat. Namun di saat yang sama, pendekatan skala besar untuk pembangunan daerah ekonomi ini tidak selalu menghasilkan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien. Untuk mengendalikan niat membentuk daerah baru di masa depan, pemerintah telah melaksanakan desain besar penataan daerah (Desartada), yang memberi perkiraan terkait jumlah ideal daerah otonomi yang dapat dicapai di tingkat provinsi dan kabupaten hingga 2025. Desain besar untuk pembentukan daerah dikembangkan dengan tujuan mempercepat kepaduan (integrasi) nasional dan pembangunan ekonomi, dan meningkatkan mutu pelayanan publik yang disediakan 60
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
bagi masyarakat di seluruh Indonesia. Untuk tujuan ini, desain yang cocok bisa dikembangkan dengan kerangka yang mempertimbangkan tiga dimensi, yakni: (i) daerah geografis, (ii) demografi dan (iii) sistem (misalnya, pertahanan dan keamanan, sosial dan politik, keuangan, administrasi publik dan pengelolaan pemerintah). Berdasarkan kerangka seperti ini, desain pengaturan ruang daerah terdiri dari empat elemen kebijakan utama. Yang pertama, persiapan pembentukan daerah otonomi baru. Yang kedua, pencantuman dan penyempurnaan daerah otonomi. Ketiga, pembentukan daerah otonomi yang memiliki karakteristik khusus tertentu. Yang terakhir, penetapan perkiraan jumlah maksimum provinsi, kabupaten dan kota otonomi hingga 2025. Agenda pemerintah memprioritaskan pengurangan kemiskinan dan mengarahkan usaha-usaha ke proyek dan program yang mendukung fokus ini. Pemerintah menyadari bahwa desentralisasi secara mendasar telah mengubah sistem pemerintahan di Indonesia dan menempatkan lebih banyak tanggung jawab ke provinsi dan kabupaten atas penyediaan pelayanan publik. Karena itu, pengurangan kemiskinan memerlukan komitmen kuat para pembuat keputusan di tingkat lokal, dan usaha untuk melibatkan para pemangku kepentingan lokal dalam perumusan dan pelaksanaan program pengurangan kemiskinan. Mandat dalam fungsi wajib pemerintah daerah dan standar pelayanan minimum, akan terus memberikan kontribusi untuk usaha pengurangan kemiskinan. Daerah akan diberi pedoman yang diperlukan untuk membuat pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan dan infrastruktur menjadi lebih bisa diakses dan lebih terjangkau oleh masyarakat. Perencanaan dan anggaran daerah akan disusun dengan mencerminkan tujuan pengurangan kemiskinan dan standar pelayanan minimum, juga tujuan pembangunan milenium. Penerapan standar pelayanan minimum diharapkan bisa meningkatkan transparansi dan standar perencanaan dan membantu memperjelas peran berbagai lapisan pemerintahan. Dengan cara ini, diharapkan penerapan standar pelayanan minimum bisa membantu menjaga hak masyarakat untuk memperoleh akses ke pelayanan dasar. Dalam praktek, langkah-langkah penyediaan pelayanan harus bisa menjamin akses masyarakat ke pelayanan dasar, sesuai ketentuan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Karena itu, perencanaan pelayanan harus menyertakan serangkaian prinsip yang sederhana, konkret, bisa diukur 61
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dan bisa dipertanggungjawabkan (akuntabel) yang harus dipertimbangkan ketika mengembangkan rencana dan anggaran lokal.
5.11. Masalah Pelaksanaan Usaha yang dilakukan untuk mewujudkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah bukannya tanpa cacat. Beberapa masalah yang masih ditemui dalam pelaksanaannya adalah sebagai berikut: 1. Hubungan hierarki yang tidak diharapkan telah berkembang (yang menunjukkan bahwa sistem tidak bekerja dengan baik); 2. Gerakan desentralisasi terus dipusatkan pada bidang-bidang dengan kapasitas pemerintah daerah dalam kadar yang tinggi; 3. Dana anggaran tidak dikelola dengan cara yang efisien dan tidak bisa dipertanggungjawabkan; 4. Dukungan untuk memakai kemungkinan sinergi otonomi daerah tidak optimal; 5. Konflik hukum terus terjadi antar beberapa daerah, terkait perbedaan dalam peraturan perundang-undangan tentang kehutanan, pertambangan dan tanah; 6. Hambatan masih terus ada dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Isu birokratis, ekonomi biaya tinggi dan peraturan daerah terus menimbulkan masalah; 7. Di beberapa daerah, pemilihan dilaksanakan dengan biaya yang terlalu tinggi; dan 8. Telah terjadi ledakan dalam jumlah usulan pembentukan daerah otonomi baru. Di tahun 2010, 181 usulan diterima untuk pembentukan daerah otonomi baru.
5.12. Kesimpulan dan Saran Ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah pelaksanaan di atas: 1. Melakukan sinkronisasi sistem hukum di tingkat lokal; 2. Meningkatkan kerja sama antara tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota; 3. Meningkatkan kapasitas di tingkat pemerintah daerah; 4. Mengembangkan perluasan daerah dengan jalan meningkatkan desain rencana strukturisasi daerah untuk 2010–2025; 62
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
5.
6.
Melaksanakan reformasi administrasi untuk memperbaiki birokrasi. Ini akan membantu menciptakan iklim investasi yang positif dan menghilangkan masalah ekonomi biaya tinggi; dan Melakukan revitalisasi tujuh elemen dasar pemerintahan daerah, yakni: fungsi pemerintah, struktur pemerintah, pengelolaan pamong praja, administrasi keuangan daerah, perwakilan daerah, sistem penyediaan pelayanan publik, dan pelaksanaan pengelolaan dan sistem pemantauan yang efektif.
63
6 Fungsi Penugasan di Amerika Latin Luis Riffo Perez
6.1. Pendahuluan Artikel ini merupakan ringkasan dari dokumen proyek berjudul ”Desentralisasi pelayanan dasar: kasus Brasil, Chili, Kolombia, Kosta Rika dan Meksiko dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, pembuangan sampah, keamanan dan pengembangan (promotion),” sebagai riset komparatif terkait desentralisasi pelayanan di lima negara, yang dilaksanakan oleh Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin dan Karibia (ILPES) dalam kerangka perjanjian GIZ tentang desentralisasi dan tata kelola (good governance). Hipotesis untuk riset ini menetapkan bahwa pasokan, cakupan dan mutu pelayanan publik dasar bisa ditingkatkan melalui cara desentralisasi, dan riset ini mengusulkan studi kasus selama satu dekade. Mengenai metodologi, dokumen ini secara singkat memberikan konsep-konsep yang berguna untuk menganalisis proses desentralisasi pelayanan dasar di Brasil, Chili, Kolombia, Kosta Rika dan Meksiko. Sampel yang dipilih mewakili beragam situasi subnasional di daerah dan perbedaan-perbedaan dalam sistem kelembagaan federal dan kesatuan; praktek desentralisasi yang berbeda; berbagai masalah ekonomi, politik dan sosial; dimensi wilayah dan realitas lokal; serta banyak praktek administrasi publik untuk pelayanan dasar. Delapan 64
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
hipotesis diberikan untuk menjelaskan karakteristik spesifik dalam proses desentralisasi dan untuk memberikan rekomendasi bagi masyarakat dan pemerintah lokal, regional dan nasional. Penting untuk diperhatikan bahwa hasil riset ini didasarkan pada analisis pustaka yang menyeluruh, 52 wawancara dengan narasumber dan 207 survei online ke para ahli di Amerika Latin terkait subyek bahasan. Di dalam dokumen yang asli, ini diberikan dalam lima bab negara, satu bab untuk hasil survei dan satu bab lagi tentang indikator desentralisasi fiskal untuk kesehatan dan pendidikan di Chili.1
6.2. Ringkasan Pendekatan Desentralisasi di Amerika Latin Desentralisasi di Amerika Latin dipadukan melalui satu set proses yang sangat rumit, yang mempertimbangkan susunan skema federasi sentralistik, negara kesatuan dan berbagai pendekatan tingkat menengah (intermediate) yang menjadi ciri daerah. Adalah untuk alasan ini jika selalu ada ketidakpercayaan dalam kadar tertentu terhadap tindakantindakan desentralisasi. Rasa tidak percaya ini dipertebal oleh krisis eksternal, kesulitan sumberdaya, dan masalah dalam penyediaan pelayanan sosial yang bermutu. Ada beragam skala kelembagaan desentralisasi. Kami amati ada tingkat nasional yang diikuti oleh lembaga negara bagian, regional, provinsi, departemen, kotamadya dan lingkungan (neighborhood). Untuk setiap tingkat, peran kelembagaan yang dibagi atau yang spesifik bisa dinyatakan; pengembangan kelembagaan yang spesifik bisa diamati; kepaduan sosial dan proses pembangunan dianjurkan dan berbagai bentuk partisipasi dan peran aktif masyarakat dijalankan. Sistem pemilihan otoritas publik menggambarkan ‘otonomi relatif’ dari setiap satuan dan, di semua hal, ada struktur kelembagaan wilayah yang berbeda. Hampir setiap negara di Amerika Latin dan Karibia memiliki ciri-ciri tersendiri, dengan evolusi sejarah yang berbeda. Masalah identitas wilayah ini kadang memainkan peran yang vital. Proses desentralisasi harus dianalisis dalam empat dimensi: kelembagaan, pembangunan, kesetaraan dan partisipasi. Pendekatan yang saling melengkapi ini ditunjukkan di diagram berikut, yang 1
The Econbomic Commission for Latin America. http://www.eclac.org/ilpes/
65
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
mencoba menjelaskan proses yang sangat rumit ini, sambil menggambarkan berbagai dinamika dan pengaruh yang bisa diramalkan dari berbagai pendekatan yang dilakukan di setiap negara. Gambar 6.1. Dimensi Desentralisasi Desentralisasi (Dimensi pembangunan)
Desentralisasi (Dimensi kelembagaan) dan
Pembangunan (pertumbuhan /kesetaraan / keberlanjutan di tingkat subnasional)
Pemerintah regional dan lokal / administrasi
Pertumbuhan dan spesialisasi produksi wilayah-wilayah
Pengalihan (transfer) sumberdaya subnasional fungsi ke tingkat sub-nasional Kontrak nasional /regional /lokal Desentralisasi baru
administrasi
publik
yang
Desentralisasi fiskal Modernisasi administrasi publik
Desentralisasi (Dimensi kesetaraan dan integrasi sosial) Masyarakat umum di wilayah Perluasan hak sipil dan akses yang adil dan universal ke pelayanan Mekanisme keterpaduan sosial di daerah Program dan aksi untuk keterpaduan kota
DESENTRALISASI
Kelompok (cluster) Keberlanjutan lingkungan dan ekosistemsistem tem sistemwilayah-wilayah wilayah-wilayah Wilayah yang mengatasi kemiskinan
Desentralisasi (Dimensi partisipasi dan administrasi warga) Pembangunan ‘modal sosial’ Masyarakat madani terstruktur Partisipasi, opini dan administrasi warga Konsultasi publik dan kekuasaan lokal Entitas warga lokal
6.3. Metodologi Dengan mempertimbangkan dimensi desentralisasi dan berbagai pelayanan dasar yang bisa diberikan di tingkat regional dan lokal, tampaknya cukup jika yang dikaji hanya sampel yang terbatas tapi representatif. Pemilihan pelayanan didasarkan pada pertimbangan metodologi berikut ini: Bahwa sampel cukup beragam agar bisa mempertimbangkan pelayanan dengan berbagai tingkat desentralisasi yang efektif. Bahwa sampel menggambarkan skala wilayah yang berbeda-beda, dalam kaitannya dengan kebijakan, administrasi langsung dan hubungan dengan pengguna dan warga (masyarakat). Bahwa sampel memungkinkan studi untuk memberikan penjelasan mengenai berbagai bentuk koordinasi inter wilayah dalam setiap kasus yang dikaji, mengingat bahwa mutu koordinasi ini menjadi inti dari optimalisasi pasokan pelayanan untuk masyarakat. 66
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
Bahwa sampel cukup luas untuk menyatakan berbagai skema administrasi sumberdaya untuk memasok pelayanan, sambil mengakui dimensi ini sebagai kunci untuk menetapkan kebijakan publik dan berbagai tingkatan desentralisasi fiskal. Berdasarkan pada pertimbangan di atas, lima pelayanan dasar ditentukan, yang memungkinkan untuk memahami masalah yang dihadapi di berbagai negara dan pilihan skema desentralisasi mereka. 6.3.1. Pelayanan Kesehatan Primer Secara umum, pelayanan kesehatan primer meliputi pelayanan perawatan kesehatan, pencegahan dan mekanisme pengendalian kesehatan. Pelayanan-pelayanan ini ditempatkan di pusat-pusat medis dan kondisi darurat dan berbagai lembaga yang tersebar di daerah perkotaan dan perdesaan. Pelayanan-pelayanan ini bersifat sangat lokal. Ditempatkan di dekat pusat penduduk, pelayanan-pelayanan ini melibatkan sejumlah staf spesialis dan pendukung serta peralatan dan infrastruktur. 6.3.2. Pelayanan Pendidikan di Tingkat Pradasar, Dasar dan Sekunder Penyediaan pelayanan pendidikan di tingkat pradasar, dasar dan sekunder merupakan pelayanan pendidikan dasar yang biasanya dijamin oleh pemerintah. Pendidikan dicakup oleh berbagai kelompok penyediaan. Negara telah dan terus berusaha untuk meningkatkan cakupan dan mulai memperbaiki mutu pendidikan. Penyediaan pelayanan pendidikan dilakukan di tingkat lokal dan regional, secara tradisional oleh lembaga publik yang dikelola dan dijalankan oleh pemerintah pusat. Selama dekade terakhir, karena karakteristik wilayah dari pelayanan pendidikan dan kebutuhan menyesuaikan dengan realitas lokal, maka pelaksanaan dan pengawasan ditekankan di tingkat lokal dan regional. 6.3.3. Pelayanan Pengumpulan dan Pembuangan Limbah Rumah Tangga Pelayanan ini merupakan kebutuhan lingkungan dan kebersihan yang sangat penting. Karena keragaman limbah dan realitas teknologi 67
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dan kelembagaan di negara-negara tersebut, maka fase pengumpulan, pembuangan dan pengolahan dikelola dan dilaksanakan di tingkat daerah. Kota-kota di Amerika Latin mengungkapkan berbagai realitas yang berbeda, tapi sebagian besar di sana mutu pelayanan masih rendah dan masih ada kekurangan struktural dan anggaran kecil untuk operasi di tingkat lokal dari pemerintah kota dan satuan lokal. Pelayanan ini merupakan pelayanan penting untuk menjaga kebersihan lingkungan di masyarakat, terutama untuk masyarakat miskin. 6.3.4. Pelayanan Keamanan Sipil Pelayanan keamanan sipil di masyarakat Amerika Latin merupakan kebutuhan mendesak. Hanya ada sedikit pelayanan yang semakin dituntut oleh masyarakat. Menurut studi terakhir, kejahatan menjadi perhatian utama masyarakat, bahkan sebelum pekerjaan. Penyediaan pelayanan pengawasan, pencegahan dan pengendalian kejahatan serta masalah terkait sebagian besar ada di tangan polisi khusus. Walau operasinya sebagian besar bersifat lokal dan diberikan langsung ke masyarakat, pengelolaan wilayahnya berbeda-beda di negara kesatuan atau federal. Ini adalah pelayanan yang sangat rumit dan dikenai pengawasan masyarakat, transparansi dan pencegahan korupsi. Efektivitas pelayanan polisi berkaitan dengan jaringan pelayanan yang ikut ambil bagian dalam pengendalian kejahatan (yang terdiri dari sistem peradilan, penyelenggaraan pencegahan, pusat penahanan, pusat rehabilitasi dll.). 6.3.5. Pelayanan Pengembangan Produksi Lokal dan Regional Pelayanan yang ditujukan untuk memperkuat sistem produksi lokal dan regional penting artinya untuk mencapai tujuan desentralisasi dimensi kedua, untuk mempermudah pertumbuhan, kesetaraan, keberlanjutan dan peningkatan di masyarakat daerah. Ada berbagai pelayanan yang biasanya disebarkan ke lembagalembaga publik dan penyediaan pengembangan produksi, bantuan teknis dan akses ke kredit dan pelatihan sumberdaya manusia. Pelayananpelayanan ini, yang memerlukan adaptasi wilayah jika tidak ditetapkan di tempat, merupakan sumber kerja sama pemerintah—swasta dan harus menunjukkan konfigurasi yang lebih akurat di tingkat subnasional 68
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
karena bersifat strategis untuk pengembangan produksi dan penguatan usaha serta jaringan produksi antar sektor.
6.4. Situasi Pelayanan Dasar di Negara-Negara yang Dianalisis 6.4.1. Brasil Selama dekade terakhir, Brasil secara tetap meningkatkan investasi publik hingga di atas rata-rata peningkatan anggaran tahunan untuk infrastruktur sosial, pendidikan, kesehatan, pembuangan sampah, pensiun dan pengembangan produksi. Ini merupakan prioritas nasional yang diberikan oleh pemerintah pusat, negara bagian dan lokal. Dengan cara ini, masyarakat berkembang berdasarkan pada hak yang dijamin dengan akses universal ke pelayanan sosial dan tanggung jawab pemerintah atas pelayanan ini. Ini tergantung pada jaminan hukum dan konstitusi, juga pada tindakan masyarakat untuk keberlanjutannya. • Kesehatan primer Sejak 1993, pemerintah negara bagian bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengawasan pelayanan kesehatan, dengan melimpahkan semua atau sebagian tanggung jawab ke pemerintah kota. Pemerintah kota memperoleh peran yang semakin besar sejak akhir 1990-an, walau cakupan, tangung jawab lokal dan mutu masih beragam. Sejak 2002, dengan diciptakannya ”daerah sejahtera secara kesehatan,” tindakan bersama antar pemerintah kota dianjurkan untuk dilakukan, dengan hasil yang bagus dalam efektivitas dan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia. Interaksi ini memungkinkan pembelian masukan, obat-obatan dan pelayanan khusus, dengan mempergunakan sebaik-baiknya sekitar 60% anggaran kesehatan nasional yang dialihkan ke pemerintahpemerintah negara bagian dan kota. Sejak tahun 2006 pertemuan instrumen penataan program dan perencanaan telah menetapkan tujuan dan kerja sama kesehatan masyarakat yang menjadi aksi dan tanggung jawab nasional. • Pendidikan dasar dan sekunder Pelayanan ini diselenggarakan melalui skema desentralisasi dengan tanggung jawab utama dilimpahkan ke negara bagian (antara 70% dan 69
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
90% penerimaan pendidikan dasar dan sekunder). Pemerintah kota mengambil tanggung jawab sekunder, sebagian besar atas pendidikan pradasar (dengan asumsi hingga dua per tiga penerimaan). Meski begitu, perbedaan besar dalam mutu dan cakupan masih terlihat antar wilayah, dengan masalah yang lebih besar tercatat di daerah timur laut Brasil. Mengenai perencanaan pendidikan, Serikat Pendidikan menetapkan Rencana Pendidikan untuk 2000–2010, yang menunjukkan cara untuk mengembangkan rencana sepuluh tahunan di tingkat federal, negara bagian dan kota. Di setiap negara bagian, dana untuk guru dan staf pendidikan dibentuk dan, jika ada defisit, maka Serikat Pendidikan memberikan sumbangan untuk menutup defisit ini. • Pengumpulan dan pengolahan limbah rumah tangga Selama dekade terakhir, banyak kemajuan telah dibuat dalam pengumpulan, klasifikasi dan daur-ulang limbah rumah tangga, terkait dengan teknologi, pemulihan materi, biaya, iuran dan pembayaran, dan dalam mutu pelayanan di berbagai negara bagian dan lingkungan lokal. Beberapa pencapaian kelembagaan utama meliputi: pelaksanaan UU 11445 (2007) yang menetapkan modifikasi penting dalam undangundang, peraturan dan prosedur; dan pengembangan Kebijakan Nasional 2010 untuk Limbah Padat (PNRS) yang memberikan informasi rinci mengenai manfaat lingkungan dan ekonomi dari daur ulang untuk pembangunan, dan yang mengatur tujuan akhir limbah, membatasi daerah pembuangan dan pembakaran limbah, serta menumbuhkembangkan daur ulang dan pemakaian tempat pembuangan (landfill) secara berkelanjutan. • Keamanan masyarakat Kejahatan terorganisasi, perdagangan narkoba dan kejahatan umum menjadi masalah regional dan nasional, yang menimbulkan hambatan besar pada stabilitas, pertumbuhan dan pemberantasan kemiskinan. Salah satu tindakan untuk memperkuat keamanan sipil adalah Rencana Nasional Keamanan Publik. Dilaksanakan di masa kepresidenan Fernando Cardoso, rencana ini bertumpu pada kementerian keadilan. Para ahli menilai awal program pencegahan, desain program sosial pelengkap dari negara bagian dan kemajuan kerja sama antar lembaga. 70
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
• Pengembangan produksi Brasil telah membentuk sistem pengelompokan produksi (APL), yang ditujukan untuk menghasilkan lebih banyak kerja sama antar agen dari setiap pengelompokan dan untuk mewujudkan keuntungan kompetitif berdasarkan pada pembelajaran dan inovasi. Usaha ini dilaksanakan oleh Kementerian Pengembangan Industri dan Badan Pendukung Usaha Kecil dan Menengah Brasil (SEBRAE). ECLAC selanjutnya bekerja sama dalam proyek-proyek tertentu, memberikan pelatihan dan bertindak sebagai pengamat untuk usaha mikro dan kecil, juga kegiatan-kegiatan lain. Hasil awalnya masih kecil, menurut para ahli, karena pengaruh negatif dan perilaku umum dari ekonomi pada umumnya, krisis internasional dan kesulitan dalam perluasan investasi ekonomi di bidang infrastruktur. Adalah negara bagian, daerah dan wilayah yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi dan kekurangan sumberdaya, serta kekurangan sarana yang memadai untuk menghasilkan manfaat sosial, kapasitas usaha dan pekerjaan. 6.4.2. Chili Dalam dekade terakhir, usaha sistematis telah dilakukan untuk mewujudkan pembangunan secara adil, yang telah membawa ke pembentukan kelompok ‘hak terjamin.’ Dalam dekade perluasan investasi publik, pertumbuhan pelayanan dasar meningkatkan rata-rata pertumbuhan global—ini telah diwujudkan melalui berbagai program seperti: pendukung pensiun dasar, perluasan pendidikan pradasar, perhatian lebih besar pada balita dan bayi yang baru dilahirkan (seperti di Chili, Crece dan Contigo), dan program Chile Solidario. Dalam konteks ini, dimensi wilayah dari program dinyatakan dalam kerja sama pengelolaan utama oleh pemerintah regional dan pemerintah kota. Selama lebih dari 20 tahun, program dan proyek sosial telah diserahkan untuk kualifikasi manfaat sosial yang diberikan oleh Sistem Investasi Nasional dari Kementerian Perencanaan. Secara keseluruhan, program dan proyek tersebut dievaluasi menurut fakta dari Departemen Perbendaharaan (Direktorat Anggaran). Setelah itu, penyesuaian dilakukan pada program, sedangkan kapasitas penyesuaian biasanya mengakui moda pengelolaan yang lebih disukai dalam desentralisasi. 71
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
• Kesehatan primer Alih kompetensi dilakukan untuk pemerintah kota di tahun 1980an, dengan memakai logika yang sama seperti yang dipakai untuk pendidikan dasar dan sekunder. Setelah mengalihkan kesehatan primer menjadi tanggung jawab pemerintah kota (municipalization) di tahun 1990-an, modelnya ditegaskan lagi. Model ini menganjurkan lebih banyak tanggung jawab lokal dan kerja sama dengan pelayanan kesehatan tingkat menengah (intermediate). Pengalaman lokal tidak sama dari segi keuangan, profesional dan sumberdaya manusia, juga kapasitas kepemimpinan kota. Ini menyiratkan bahwa model umum alih kompetensi ke tingkat lokal tidak disarankan, karena kelemahan dalam pengelolaan, pembiayaan dan pengolahan; rendahnya tingkat koordinasi dengan lembaga kesehatan; dan kebutuhan berjalan untuk meningkatkan sumberdaya manusia. Manfaat yang diketahui dari desentralisasi pelayanan kesehatan adalah dampak positif yang ditimbulkannya pada pencegahan penyakit. • Pendidikan Desentralisasi pelayanan pendidikan sebagian besar terdiri dari pemberian peran pengelolaan pelayanan ke pemerintah kota, melalui pelimpahan wewenang dari kementerian. Sebagian besar ahli yang diajak konsultasi sepakat bahwa proses ini telah memberikan pengalaman buruk (traumatic) kepada guru dan pemerintah kota. Desentralisasi membawa ke pemindahan ‘masalah’ bukan solusi, dan semakin memperlemah kendali Kementerian Pendidikan atas masalah peraturan. Pemerintah kota menekankan perbedaan-perbedaan di antara bidangbidang, kapasitas, infrastruktur dan guru. Kemajuan terpenting telah dicapai dalam perluasan cakupan, untuk menjamin pendidikan 12 tahun dan akses lebih besar ke sekolah tingkat pradasar. Masih terus ada masalah yang belum terpecahkan terkait mutu, penguatan tingkat menengah dan keterpaduan sosial—masalah yang banyak didebatkan dan membawa ke amandemen berbagai undangundang, termasuk UU Pendidikan Organik, UU Mutu Pendidikan dan UU Kesetaraan, dan usulan rencana reformasi pendidikan yang akan dijalankan hingga 2020.
72
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
• Pengumpulan dan pengolahan limbah rumah tangga Pelayanan ini menjadi tanggung jawab pemerintah kota, tapi dialihkerjakan (outsourced) ke perusahaan swasta. Mutu lingkungan dari proyek tempat pembuangan dan pembuangan akhir limbah merupakan tanggung jawab di tingkat menengah (dalam beberapa kasus antar pemerintah kota), tapi tingkat pusat tetap mengendalikan peraturan, di mana Kementerian Kesehatan dan Kementerian Lingkungan berperan dalam pembuatan keputusan. Berkaitan dengan hasil pengelolaan, selama dekade terakhir kemajuan teknologi telah dibuat dalam pengumpulan dan pengolahan limbah padat. Beberapa contohnya meliputi: pemakaian kontainer untuk pengumpulan, optimalisasi jalur pengumpulan, perluasan persaingan perlelangan antar para subkontraktor untuk menumbuhkan kesempurnaan. Kesulitan telah dideteksi dalam mekanisme iuran dan bea, dengan persentase pengguna bebas pajak yang tinggi.2 Inilah alasan mengapa saat ini terjadi defisit struktural untuk pengumpulan limbah di masyarakat miskin. • Keamanan masyarakat Keamanan sipil menjadi prioritas utama selama sepuluh tahun terakhir. Ini telah menimbulkan berbagai rencana untuk aksi pemerintah terkait keamanan, laporan, prosedur kerja polisi—lembaga peradilan dan penguatan program seperti Comuna Segura dan Barrio Seguro. Setelah pengalaman yang terlihat dalam pengawasan oleh pemerintah kota, pemikiran untuk memperkuat Polisi Kelembagaan diterapkan, yang membawa ke mobilisasi Carabineros de Chile dan Policía de Investigaciones. Aksi ini didukung oleh peserta sipil yang dilibatkan dalam inisiatif ini, seperti Plan Cuadrante, dan oleh kepolisian kota yang diberi semakin banyak informasi, logistik pendukung, pencahayaan dan peralatan yang semakin baik. Perhatian difokuskan pada isu kejahatan dan perdagangan narkoba (di mana usaha telah dilipatduakan), dan hanya kemajuan kecil yang telah dibuat terkait masalah simbolis lainnya seperti kekerasan dalam rumah tangga.
2
Pelayanan ini dikaitkan dengan pajak wilayah-wilayah negara riil dan sekitar 75% tanah adalah bebas pajak dan, akibatnya, banyak orang tidak membayar pelayanan ini.
73
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
• Pengembangan produksi Pelayanan ini dikaitkan dengan kegiatan masyarakat dan organisasiorganisasi yang menumbuhkembangkan penguatan produksi— Korporasi Pengembangan Produksi (PPC), Badan Kerja Sama Teknis (TCS) dan organisasi bertema seperti Institut Pengembangan Pertanian dan Peternakan (INDAP), Perusahaan Tambang Nasional dan Badan Pariwisata Nasional (SERNATUR), yang merupakan lembaga-lembaga yang paling relevan. Selama dekade terakhir, langkah-langkah pengembangan, usaha swasta, bantuan teknis, akses ke kredit dan jaminan negara telah diperkuat. Badan Pembangunan Regional (RDA) dibentuk untuk menjalankan agenda pemerintah dan swasta, tapi fokus utamanya tetap pada tindakan kebijakan sektoral. Para ahli yang diajak konsultasi sepakat bahwa pembangunan ekonomi regional dan lokal tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan untuk desentralisasi pengembangan produksi, sumberdaya produksi regional dan kerja sama subnasional. 6.4.3. Kolombia Sejak tahun 80-an, semakin banyak kompetensi dan dana yang dilimpahkan ke bawah di Kolombia, digabungkan dengan reformasi hukum untuk meningkatkan pengelolaan. Reformasi peraturan perundang-undangan penting menyertakan pelaksanaan UU 715 (2001) yang menetapkan sistem partisipasi umum, UU 01 (2001), UU 04 (2007) yang mengubah sistem transfer. Bonet menyimpulkan bahwa desentralisasi di Kolombia menekankan perbedaan antar departemen, dan tidak menghasilkan efisiensi yang lebih besar dalam penyediaan barang publik di tingkat subnasional.3 Dia menganggap hasil ini berasal dari kegagalan desain kelembagaan dalam sistem transfer, kurangnya insentif untuk menarik pajak di tingkat lokal, dan kurangnya kapasitas kelembagaan di tingkat lokal. • Kesehatan primer Pelaksanaan UU 10 (1990) melimpahkan tanggung jawab menyediakan pelayanan kesehatan ke departemen dan pemerintah kota. Sejak 3
Bonet, Juan. 2006. Desentralisasi fiskal dan disparitas pendapatan daerah: bukti dari pengalaman Kolombia, Annals of Regional Science. Vol 46 (3). 451-481.
74
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
reformasi 1993, departemen menjadi lembaga yang mengarahkan Sistem Kesehatan Bersekat (perhatian tingkat kedua dan ketiga), dengan memakai sumberdaya pemerintah pusat (alokasi fiskal) dan sumberdaya mereka sendiri. Dari sudut transfer, UU 60 memberi departemen, distrik dan kota personal dan sarana pelayanan kesehatan. Namun pengalihan tanggung jawab ini ke departemen dan pemerintah kota memerlukan organisasi yang baik dan kapasitas teknis yang tinggi. Berbagai kesulitan menunda pelaksanaan perubahan yang direncanakan dan mencegah pencapaian tujuan yang ditetapkan di tahun 1993, yakni cakupan seluruhnya dalam 7 tahun. Kesulitan yang paling menonjol meliputi: penundaan peraturan mengenai paket kesehatan minimum, penyebaran informasi masyarakat yang lambat terkait mutu rumah sakit—yang baru dimulai di tahun 2006, krisis ekonomi di akhir tahun 90-an, rendahnya kapasitas kelembagaan di pemerintah kota dan satuan pengembangan kesehatan,4 kekakuan staf pelayanan kesehatan, dan kesulitan yang berkaitan dengan transfer sumberdaya ke pemerintah kota yang tidak terakreditasi. Ini diperparah oleh kenyataan bahwa sistem terus membiayai pekerja yang tidak diasuransikan menurut kriteria historis dari reformasi sebelumnya, yang memperkenalkan elemen eksternal kedalam niat yang semula dianggap bersifat subsidi. • Pendidikan UU 60 (1993) menunjukkan bahwa pengelolaan sistem pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dari departemen, pemerintah kota dan distrik yang telah mendapatkan sertifikasi. Lembaga-lembaga ini harus mengelola pelayanan, melaksanakan investasi dan menilai lembaga-lembaga pendidikan. Dari segi keuangan, Alokasi Fiskal (FA) dan Partisipasi Pendapatan Umum Nasional (NGIP) menetapkan mekanisme transfer sumberdaya yang konkret untuk pendidikan, walau pemerintah kota dan departemen boleh menyediakan biaya pendamping untuk pelayanan di wilayah mereka. 4
Entitas pengembangan kesehatan adalah semacam pengguna asuransi, yang membeli pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Lembaga ini menerima kontribusi dari sumber keuangan (kontribusi dari pekerja formal) dan kontribusi per kapita untuk setiap warga miskin dari pemerintah kota (atau departemen) berdasarkan pada transfer pemerintah pusat. Pengguna bisa memilih penyedia pelayanan kesehatan yang akan disetujui oleh entitas promosi kesehatan.
75
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Salah satu reformasi utama adalah pelaksanaan UU 715 tentang sertifikasi pemerintah kota, yang memberi sertifikasi secara otomatis ke pemerintah kota dengan penduduk lebih dari 100.000 jiwa (4% penduduk negara) untuk mengelola pendidikan. Akreditasi pemerintah kota baru ada di tangan departemen, yang harus menilai: keberadaan Rencana Pembangunan Kota menurut Rencana Pendidikan Nasional, staf permanen menurut standar tingkat pusat, organisasi pusat pendidikan menurut undang-undang, dan kapasitas kelembagaan untuk pengelolaan lembaga mereka. Pemerintah kota yang tidak terakreditasi memainkan peran kecil dalam pendidikan, yang meliputi alokasi sumberdaya Penyediaan Barang Pelayanan (SGP), pemindahan staf antar lembaga dan penyusunan informasi yang diperlukan oleh pemerintah dan departemen di tingkat pusat. Saat ini, hanya ada 48 pemerintah kota yang telah mendapatkan sertifikasi, dan 12 pemerintah kota dalam proses akreditasi. • Pengumpulan dan pembuangan limbah rumah tangga Pengelolaan lingkungan di Kolombia didesentralisasi ke Korporasi Otonomi Daerah (CAR) dan Dana Lingkungan Nasional (FONAM) yang mengendalikan pengelolaan dan perlindungan lingkungan. Satuansatuan ini dibentuk oleh Kementerian Pembangunan Lingkungan, Perumahan dan Wilayah. CAR adalah otoritas lingkungan yang memiliki independensi finansial, manajemen dan politis dari kementerian dan otoritas departemen dan lokal. Distrik dengan penduduk lebih dari 1000 jiwa memiliki Korporasi Lingkungan Perkotaan, dengan ciri yang sama seperti CAR. Kompetensi nasional menyertakan penetapan kebijakan sektoral, yang meliputi kebijakan nasional untuk pengelolaan limbah padat, penetapan insentif untuk mewujudkan rencana nasional, dan pelaksanaan pelatihan dan bantuan teknis. Di tingkat lokal, Keputusan No. 1.713 tahun 2002 memberikan tanggung jawab pengelolaan ke pemerintah kota dan distrik, serta kewajiban merumuskan dan melaksanakan rencana pengelolaan terpadu limbah padat. Aspek spesifik lainnya dari lembaga lingkungan adalah pembentukan Departemen Pelayanan Perumahan Masyarakat, sebagai organisasi teknis yang independen dari Kementerian Pembangunan Ekonomi. Departemen ini melaksanakan fungsi-fungsi yang berkaitan 76
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
dengan pengendalian pelayanan, pemeriksaan dan pemantauan. • Keamanan masyarakat Menurut konstitusi, kepolisian nasional menjaga keamanan dalam negeri dan memakai departemen dan pos polisi, tapi ada tumpangtindih antara peran kepolisian nasional dan angkatan bersenjata. Ini diakibatkan oleh berbagai masalah keamanan yang dikaitkan dengan perang gerilya yang melibatkan kekuatan militer (Vargas, 2008). Fungsionalitas kelembagaan yang tidak ditetapkan ini ada karena desakan dari manajemen Andrés Pastrana (1998– 002) dan manajemen Alvaro Uribe (2002–2010), yang mempunyai ide untuk memperkuat pasukan keamanan publik dengan jalan meningkatkan jumlah staf mereka, profesionalisasi pasukan dan peningkatan organisasi internal. Selain itu, ketergantungan fungsional dari kepolisian pada Kementerian Pertahanan semakin menambah tumpang-tindih ini. Melihat hasil kebijakan dari kedua manajemen tersebut, para ahli mengakui kemajuan dalam pengelolaan, tapi lebih banyak usaha diperlukan terkait desentralisasi dan pembentukan hubungan kepercayaan dengan masyarakat. • Pengembangan produksi Menurut UU 715, departemen adalah promotor pembangunan ekonomi dan sosial di wilayah mereka, yang berkoordinasi dengan pemerintah kota terkait kebijakan usaha industri dan pengembangan, masalah perencanaan, pembiayaan proyek nasional, dan pengembangan kegiatan swasta. Mandat ini dinyatakan dalam rencana pembangunan untuk setiap tingkat subnasional. UU 1.014 (2006) menetapkan jaringan nasional untuk usaha, yang terdiri dari berbagai organisasi swasta dan pemerintah yang terkait. Jaringan ini diketuai oleh Kementerian Industri Perdagangan dan Pariwisata, dengan pernyataan wilayah tentang Jaringan Usaha Regional. Kementerian ini mengatur pedoman umum di bidang pengembangan dan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga seperti antara lain, Dana Nasional untuk Penjaminan, SENA, Colciencias, Proexport, Bancoldex dan Finagro, dan sistem integral pendukung untuk usaha mikro, kecil dan menengah. Ada aspek menarik dari lembaga di Kolombia dan budaya 77
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
usahanya, di mana aksi pengembangan diterapkan di tingkat sekolah untuk mendorong anak muda agar menciptakan inisiatif bisnis. Sumberdaya untuk kegiatan berasal dari tingkat pusat, departemen, distrik atau kota. 6.4.4. Kosta Rika Kosta Rika adalah negara tersentralisasi yang telah mendekonsentrasikan fungsi-fungsinya ke tingkat provinsi. Selama dekade terakhir, tingkat kota telah mendapatkan kebebasan dalam tingkat tertentu, yang didukung dengan transfer dari tingkat pusat berdasarkan pada kriteria geografis dan kemiskinan. Tonggak penting adalah pelaksanaan UU Umum tentang Transfer dari Kekuasaan Eksekutif ke Kota (2010), yang memberi mandat bahwa tingkat pusat mentransfer 10% pendapatan republik ke pemerintah kota, dan bahwa semua fungsi pemerintah yang tidak dengan jelas dialokasikan ke pemerintah pusat harus didesentralisasi—kecuali kesehatan dan pendidikan. UU ini menetapkan periode 7 tahun untuk melimpahkan kompetensi dan sumberdaya hingga mencapai 10%. • Kesehatan primer Kebijakan, peraturan dan perencanaan kesehatan primer nasional ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Masyarakat. Ada tujuh lembaga yang dilibatkan dalam sektor ini, dari tingkat pusat dan nonpusat, walau beberapa fungsi bisa dilimpahkan ke lembaga lain. Ketujuh lembaga ini adalah: Kementerian Kesehatan, Institut Saluran Limbah (ICAA). Dari Kementerian Perencanaan (MIDEPLAN) ada Institut Penyelidikan Kesehatan (INISA), Institut Ketergantungan Alkohol dan Narkoba (IAFA), Biro Penyelidikan Kosta Rika, dan Institut Pelatihan Kesehatan dan Nutrisi (INCIENCIA). Dari segi keuangan, Dana Keamanan Sosial Kosta Rika (CCSC) menjalankan dan mengelola sistem keamanan sosial, yang secara independen membiayai kesehatan masyarakat, dengan mengambil sumberdayanya dari para pekerja, majikan dan negara. Tugas sejajar, yang difokuskan pada kecelakaan kerja dan penyakit, dilaksanakan oleh Institut Asuransi Nasional (INS). Menurut peraturan tentang dana CCSC, perhatian harus difokuskan pada pengelolaan anggaran kesehatan 78
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
dan penyediaan pelayanan kesehatan primer bagi masyarakat. Dengan semua organisasi regional ini, pemerintah kota tidak perlu mengendalikan tugas-tugas ini. • Pendidikan Pendidikan dasar dan sekunder di Kosta Rika dikelola oleh pusat, oleh Kementerian Pendidikan Masyarakat dan oleh Dewan Pendidikan Tinggi, yang diketuai oleh menteri pendidikan masyarakat. Kementerian ini memiliki 27 Direktorat Regional (DR) di beberapa provinsi dan zona. DR menjalankan departemen teknis dan pengelolaan dan, di saat yang sama, dibagi lagi menjadi unit wilayah kecil yang disebut ‘sirkuit sekolah’—kelompok pendidikan yang bergantung pada kementerian. Setiap sirkuit diketuai oleh penasehat penyelia yang merupakan kepala pelayanan kesehatan di wilayah kerja mereka. Kekuasaan pemerintah kota, yang berkaitan dengan masalah pendidikan, secara bertahap melemah sejak akhir abad 19, karena UU Pendidikan Umum (1886) memberikan peran pengawasan sekolah ke Dewan Pendidikan Kota—yang ada satu di setiap distrik pendidikan. Akhirnya, penting untuk dicatat bahwa Pasal 2 UU Kota memberi pemerintah kota peran menumbuhkembangkan pendidikan di tingkat lokal, mengelola beasiswa dan mengalokasikan sumberdaya (jika ada) ke sekolah negeri. • Pengumpulan dan pembuangan limbah rumah tangga Dua lembaga dilibatkan dalam pengelolaan limbah padat: Kementerian Kesehatan dan pemerintah kota. Perselisihan yang sudah lama antara Kementerian Kesehatan dan Lingkungan dengan Kementerian Energi dan Telekomunikasi baru-baru ini diselesaikan oleh Dewan Legislatif Nasional, yang menyetujui UU tentang Pengelolaan Terpadu Limbah Padat (UU 8.839). Lembaga-lembaga yang ikut mendukung pengelolaan limbah padat meliputi: Kamar Industri Kosta Rika yang mendukung pembentukan usaha daur ulang, dan Institut Pengembangan Perkotaan yang menurut UU bertanggung jawab menyediakan bantuan teknis untuk pemerintah kota. Lembaga terakhir ini juga membiayai insentif investasi untuk peralatan pengumpulan limbah.
79
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
• Keamanan masyarakat Susunan organisasi polisi saat ini ditetapkan dalam Pasal 12 Konstitusi, yang menghapuskan peran tentara. Sejak itu, satu-satunya lembaga negara yang bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan nasional adalah angkatan publik dengan beberapa cabang yang bergantung pada berbagai kementerian. Cabang utama kepolisian difokuskan pada pencegahan, yang terdiri dari angkatan publik yang tidak bergantung pada kementerian, dibagi menjadi 10 direktorat regional, bekerja secara dekonsentrasi dan beroperasi di berbagai divisi.5 Migrasi dan kepolisian asing bergantung pada Kementerian Keamanan Masyarakat. Kepolisian tetap bergantung pada sistem peradilan melalui Organisasi Penyelidikan Polisi, dan Kementerian Peradilan, Pekerjaan Umum dan Perbendaharaan memiliki kepolisian khusus mereka sendiri. Yang juga dilibatkan dalam keamanan kota adalah polisi kota yang melaksanakan fungsi terbatas di masyarakat, seperti menjaga keamanan taman, melindungi bangunan, mengendalikan perdagangan di jalan dan memantau perjudian dan penjualan minuman keras. Ada 14 korps yang bertugas di seluruh bagian negeri. Namun, kota mendapatkan peran untuk mengembangkan partisipasi masyarakat untuk melengkapi kegiatan tingkat pusat. Ini menimbulkan pelaksanaan program seperti Keselamatan Masyarakat dan Polisi Terdekat. Program yang pertama mencoba melibatkan masyarakat lokal dalam pembentukan Komisi Keselamatan Warga, dan program kedua umumnya bersifat lebih terdekonsentrasi karena mengoordinasikan tindakan untuk mencegah—dan bukan hanya menekan—kejahatan di tingkat lokal. • Pengembangan produksi MIDEPLAN mengawasi rencana jangka panjang untuk mengembangkan produktivitas nasional, walau kenyataannya tidak ada sistem investasi nasional. Pembentukan enam daerah perencanaan pembangunan di tahun 1970—yang masih ditambah dua lagi—ditujukan untuk memberi ruang agar kebutuhan lokal bisa dibahas di Dewan Pembangunan Nasional. 5
Divisi-divisi ini adalah polisi perbatasan, penjaga pantai, keamanan masyarakat dan perdagangan, pengendalian narkoba, pendukung hukum, unit khusus, bandara dan analisis dan pengolahan informasi.
80
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
Walau kenyataannya usaha pembahasan ini ditekan di awal 90-an, tapi Komisi Teknis Sektor bisa bertahan sebentar dan sekarang hanya ada Komisi Teknis Pertanian. Walau kementerian sektoral memiliki tanggung jawab regional, tapi sebagian besar keputusan dibuat di tingkat pusat. Mengenai pembiayaan pembangunan, UU 8.634 (2008) menciptakan ”Bank untuk Pembangunan” untuk tujuan membiayai proyek yang bisa mengembangkan ”mobilitas sosial untuk kelompok yang ditentukan oleh UU.” Untuk meningkatkan kinerja di sektor produksi, ada juga Institut Nasional untuk Pembelajaran—suatu lembaga berotonomi untuk melatih masyarakat di 12 bidang tertentu yang dirancang untuk memperkuat tenaga kerja produksi. Yang terakhir, MIDEPLAN saat ini berada dalam fase pemulihan terkait sistem nasional untuk investasi publik. Namun masih sedikit indikasi mengenai sistem persetujuan tertentu yang akan dipakai oleh MIDEPLAN untuk proyek investasi, atau bagaimana dimensi regional bisa dipulihkan sebagai ruang untuk perencanaan koordinasi dan dekonsentrasi. 6.4.5. Meksiko Selama dekade terakhir di Meksiko, ada kelompok fenomena sosioekonomi, yang sebagian dikaitkan dengan krisis internasional dan kesulitan ekonomi lainnya, yang banyak mengorbankan pertumbuhan produksi dan yang menimbulkan peningkatan pengangguran dan semakin banyak tenaga kerja di sektor informal. Ini membuat kemampuan program sosial menjadi terbatas dalam mempertahankan dan meningkatkan mutu, karena peningkatan jumlah tenaga kerja, penghasilan dasar dan program kesejahteraan pekerja. Selain itu, beberapa peran tradisional Kementerian Pembangunan Sosial (SEDESOL) telah berkurang dari segi sifat penting dan cakupannya—walau program OPORTUNIDADES masih beroperasi untuk memberantas kemiskinan secara langsung. Di saat yang bersamaan, dilakukan penguatan perwakilan kemajemukan dan demokrasi politik di masyarakat Meksiko, yang dinyatakan dalam pembangunan sistem multipartai dan peralihan dalam dinamika politik nasional yang lebih menekankan otoritas terpilih lokal dan negara. Terkait investasi sosial, pendapatan negara telah berlipat 81
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
tiga selama sepuluh tahun terakhir dan mengurangi diskresi dalam penugasan transfer.6 Jadi ada keseimbangan yang lebih baik, yang didasarkan pada peningkatan kekuatan politik di tingkat subnasional untuk memberikan dukungan ke pengelolaan negara—walau ada pembatasan anggaran dari pusat. • Kesehatan masyarakat Kementerian Kesehatan telah melaksanakan aksi desentralisasi sejak 1983 di 14 negara bagian Union, dengan memberlakukan peraturan dan kendali anggaran yang ketat. Di tahun 1996, Perjanjian Nasional untuk Desentralisasi Pelayanan Kesehatan ditandatangani oleh semua negara bagian, yang menetapkan pengalihan tanggung jawab ke negara bagian atas penyediaan pelayanan kesehatan primer dan pengobatan pencegahan bagi seluruh masyarakat, yang memberikan pelayanan universal, dan yang secara bertahap mengalihkan pengelolaan kebersihan ke pemerintah kota. Pemerintah pusat tetap mempertahankan kendali satu-satunya atas ranah peraturan perundang-undangan, juga pembiayaan kegiatan melalui transfer. Mengenai operasinya, selama beberapa tahun, lembaga kesehatan federal (di tingkat kementerian) telah berdampingan dengan lembagalembaga yang telah diberi transfer untuk operasinya. Ini menambah kerumitan sistem yang sudah dikenai tantangan untuk meningkatkan cakupan dan mutu. Fragmentasi ini membuat keberadaan dan pelaksanaan bersama menjadi sulit, dan lebih mendukung efisiensi manfaat secara keseluruhan. Untuk alasan ini, menyelesaikan perbedaan mutu manfaat menjadi suatu tantangan—suatu masalah yang semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat investasi di bidang kesehatan.7 • Pendidikan UU Pendidikan Umum (1993)—terakhir diamandemen tahun 2006 —menetapkan dengan jelas bahwa pelayanan pendidikan di sekolah tingkat taman kanak-kanak, primer dan sekunder harus disediakan 6
Negara-negara bagian di Meksiko sebagian besar bergantung pada transfer federal (sekitar 82%), dan negara bagian menentukan sendiri tujuan akhir belanjanya dalam angka perkiraan sekitar kurang dari 40%. 7 Antara 1997 dan 2007, rata-rata negara bagian mengarahkan 88% anggarannya untuk belanja terkini dan hanya 12% untuk investasi, walau ada banyak variasi di antara negara-negara bagian.
82
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
dengan basis federal, bekerja sama dengan beberapa lembaga yang ditentukan di Konstitusi (ini termasuk: otoritas pendidikan federasi, satuan federal dan pemerintah kota, melalui Kementerian Pendidikan Masyarakat, eksekutif di setiap negara bagian dan otoritas pendidikan dan setiap pemerintah kota). Ada definisi yang menjelaskan lingkup kompetensi eksklusif untuk setiap tingkat dan kompetensi pendamping. Selain itu, ada mekanisme untuk perjanjian kerja sama antar satuan untuk mengoordinasikan kegiatan pendidikan tersatukan. Juga, melalui reformasi di bulan Januari 2005, ditetapkan bahwa jumlah umum yang ditetapkan oleh Union, satuan federal dan kota untuk belanja pendidikan masyarakat dan pelayanan pendidikan tidak boleh kurang dari 8% PDB (Produk Domestik Bruto), termasuk 1% untuk riset ilmiah dan teknologi. Modalitas desentralisasi tertentu telah maju di Meksiko. Pembagian fungsi ke pemerintah pusat dan negara bagian dirancang dengan kerangka federalisme baru, yang mensentralisasi kekuasaan (yang sebelumnya difokuskan pada rencana, peraturan dan norma) dan mendesentralisasi pengelolaan (negara bagian mengelola sistem). Dari segi operasi, federalisasi pendidikan menunjukkan hasil yang sangat beragam. Studi di enam negara bagian Meksiko (Chihuahua, Estado de México, Durango, Veracruz, Puebla dan Oaxaca) menunjukkan bahwa kemajuan desentralisasi cukup beragam dan selalu terbatas pada perintah pusat, dengan pengaruh besar pada serikat guru dan hasil buruk untuk efisiensi dan mutu pendidikan. Partisipasi sosial, walau melalui dasar hukum, masih sedikit dinyatakan. • Pengumpulan dan pembuangan limbah Menurut konstitusi, pemerintah kota bertanggung jawab atas pengumpulan dan pembuangan limbah. Dalam praktek, pengumpulan limbah dilakukan oleh perusahaan pemerintah kota atau (seperti biasanya) oleh perusahaan swasta yang dikontrak—ini berhubungan dengan perusahaan yang dikontrak untuk memasok mesin, transportasi dan tempat, dengan berbagai macam waralaba (franchise). Situasi yang berbeda terjadi untuk pengolahan dan pembuangan akhir limbah, yang biasanya dilakukan di tempat pembuangan yang dirancang khusus untuk tujuan ini, di mana beberapa teknik utama telah dikembangkan untuk penumpukan. Sering kali, karena skala 83
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
produksi yang kecil, tempat pembuangan ini menerima limbah dari beberapa kota dalam suatu wilayah tertentu, yang menyiratkan bahwa tempat ini dikenai kompetensi antarkota. Operasi regional juga boleh dilakukan jika proyek pengolahan dan pembuangan memakai landfill; dan dalam konteks kebutuhan tinggi dan terus-menerus. Situasi seperti ini menjadi dasar pembenaran bahwa skala regional boleh lebih besar daripada skala kota, dengan menyertakan tanggung jawab langsung dan tidak langsung dari pemerintah negara bagian. Riset rinci yang dilakukan oleh Flamand dan Rodríguez dari el Colegio de México, mengidentifikasi praktek-praktek terbaik yang berkaitan dengan pelayanan, dan menyimpulkan bahwa praktek terbaik di arena yang rumit ini berkaitan dengan instrumen hukum yang bertalian secara logis dan dilaksanakan, sumberdaya manusia spesialis dan berpengalaman, sumberdaya keuangan dari program federal dan partisipasi sipil yang aktif dan efektif. • Keamanan masyarakat Salah satu masalah masyarakat Meksiko adalah keamanan, karena ulah kartel narkoba, organisasi kriminal dan kekerasan lembaga yang memengaruhi banyak otoritas federal, termasuk wali kota, anggota kepolisian dan masyarakat umum. Komisi Pembangunan Kota dari Senat baru-baru ini melaporkan fakta bahwa bandar narkoba mengendalikan 195 wali kota dan sangat memengaruhi 1.536 lainnya —ini sama dengan 71% dari total jumlah pemerintah kota di Meksiko (2.439). Lemahnya UU Pengendalian Senjata, peningkatan dalam sistem keamanan swasta, sistem peradilan yang lambat dan sangat rumit, serta lambatnya program pengurungan dan rehabilitasi melengkapi keadaan yang sulit ini. Konteks kekerasan, kurangnya tindakan polisi dan pengadilan dan ketidakpercayaan masyarakat membuat isu ini menjadi masalah negara, yang mengancam lembaga dan memengaruhi masyarakat dan ekonomi. Meski begitu, indikator yang sangat sedikit menunjukkan adanya peningkatan dalam pengaduan kekerasan dan dalam situasi yang membantu penanaman kepercayaan antara masyarakat dan polisi. Pendokumentasian praktek ini akan menjadi sumber pedagogi sosial kelas satu. Namun desentralisasi pelayanan polisi lebih diarahkan untuk meningkatkan keselamatan masyarakat, meng84
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
hadapi beberapa tantangan seperti cara menetapkan parameter polisi negara bagian terkait keselamatan masyarakat, dan penyatuan komando polisi. • Pengembangan produksi Tindakan pemerintah terkait pengembangan produksi, secara tradisional, difokuskan pada penyediaan kredit dan bantuan teknologi untuk usaha kecil dan menengah, mendukung pengelompokan produksi terkait, pembangunan sosial yang menyeluruh, perluasan infrastruktur publik—energi, jalan dan komunikasi secara terorganisasi dan pengembangan orientasi strategis, yang menyertakan juga dimensi wilayah sebagai isu utama. Di bidang-bidang pengembangan seperti di atas, para aktor yang memainkan peran penting adalah: Kementerian Keuangan dan Kredit Masyarakat (SHCP) yang mengelola kebijakan produksi wilayah; SEDESOL yang mengendalikan pengembangan modalitas pengembangan produksi lokal dan koordinasi daerah-mikro secara umum.8 Kementerian Ekonomi untuk pelatihan, inovasi teknologi, pengembangan usaha dengan tekanan pada usaha kecil dan menengah; Kementerian Lingkungan dan Sumberdaya Alam untuk perencanaan lingkungan untuk pengembangan produksi lokal; dan Kementerian Komunikasi dan Transportasi, melalui dukungannya untuk program infrastruktur, yang membantu kajian wilayah secara rinci. Semua lembaga tersebut di atas memiliki kajian wilayah yang efektif, walau koordinasi antar lembaga atau antar kementerian sulit dilaksanakan. Sebagai pengimbang, pemulihan satuan wilayah tertentu telah diusahakan, kadang melalui pengalaman asosiasi pemerintah kota di wilayah yang ditentukan dan yang menunjukkan hasil yang menjanjikan. Di tingkat negara bagian, untuk daerah di dalamnya dan jumlah ”wilayah khusus,” harus diberi penekanan untuk mengoptimalkan instrumen yang ada.
8
Di mana ada zona-zona terpadu, pemerintah kota dan masyarakat dari berbagai negara bagian, yang bercirikan tingkat produksi yang tinggi dan keterbelakangan sosial. Dalam kasus seperti ini, dibentuk program intervensi pemerintah secara terpadu, dan sinergi sektor swasta semakin meningkat.
85
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
6.5. Kesimpulan dan Rekomendasi 6.5.1. Keistimewaan Proses Desentralisasi Riset terkini menegaskan bahwa proses desentralisasi memiliki beberapa keistimewaan di setiap negara, jadi sulit untuk mendapatkan kesimpulan umum untuk setiap negara yang dikaji. Keistimewaan ini menyoroti kondisi-kondisi yang menjelaskan kemajuan paling penting dalam pembangunan lokal, kelembagaan, pengelolaan fiskal dan pemberdayaan sosial. Di antara berbagai penjelasan yang bagus, berikut ini adalah yang paling menonjol: • Keberadaan mekanisme kelembagaan yang berfungsi untuk desentralisasi, yang mendukung pelimpahan kompetensi dan kepercayaan pada satuan subnasional. Ini akan semakin baik jika fungsi-fungsi tersebut bukan hanya dilimpahkan tapi juga diperoleh melalui akreditasi dan sumberdaya. Risiko terkait adalah bahwa proses ini, dalam beberapa hal, bisa dikaitkan dengan kepentingan sesaat atau kelompok, atau dengan oportunisme politik; • Jika ada jejak sejarah desentralisasi yang dalam beberapa hal, bisa menunjukkan keberhasilan yang penting. Contoh dari sini merupakan pelajaran terbaik untuk memperdalam desentralisasi; • Dalam situasi yang menunjukkan kekuatan sosial regional atau lokal, modal sosial merupakan kunci untuk proses yang rumit ini. Kekuatan ini bisa bersifat kelembagaan, kultural, berdiri sendiri dan mendidik; • Selama dekade terakhir, dengan terjadinya desakan atau ekspansif siklus ekonomi, dinamika investasi yang tidak berulang (anti-cyclical) dan kebijakan pemerintah lebih mendukung diversifikasi wilayah pertumbuhan atau penyesuaian; • Peristiwa pemilihan politik semakin menghargai perwakilan regional dan kota. Ini memang benar dalam kasus di mana pemilihan telah menghasilkan banyak debat dan mengesahkan kepemimpinan lokal dan regional yang mendapatkan dimensi nasional; dan • Dalam pengembangan program nasional yang penting untuk mengurangi kemiskinan, melibatkan masyarakat dan mendukung 86
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
usaha kecil dan menengah. Program-program prokesetaraan ini menghasilkan dampak desentralisasi yang penting. 6.5.2. Desentralisasi Telah Mengalami Kemajuan Untuk bermacam alasan, mungkin bisa menyatakan bahwa proses desentralisasi telah menunjukkan tingkat kemajuan yang tidak lengkap. Ini adalah pendapat dari sebagian besar ahli yang diajak konsultasi. Di antara faktor-faktor yang menjelaskan kemajuan relatif, kami menemukan berikut ini: • Munculnya dinamika politik lokal atau regional yang relevan, melalui pengembangan partai politik yang mendapatkan ruang yang diakui oleh masyarakat; • Komitmen presiden yang kuat—yang ketokohannya cukup relevan di daerah—yang dinyatakan melalui berbagai program, kebijakan dan tindakan yang berbeda-beda di tingkat subnasional; • Pentingnya pemilihan lokal dan regional dalam kalender politik, yang bisa menjadi semacam pemilihan primer untuk pemilihan nasional; • Tuntutan masyarakat yang semakin kuat dan sistematis untuk solusi lokal. Ini lebih jelas dalam kondisi bencana alam atau krisis jangka panjang di wilayah tertentu; • Munculnya gerakan kota yang penting, walau dalam kondisi sangat tersentralisasi, yang mengakui dan mengesahkan kepemimpinan lokal; dan • Pengaruh desentralisasi yang terus-menerus dari organisasi internasional, pengalaman internasional, masyarakat ahli dan beberapa gerakan dengan kepemimpinan lokal dan regional serta kaum profesional. 6.5.3. Pengelolaan Pelayanan Penting Memiliki Skala Beragam Sebagian besar ahli yang diajak konsultasi tidak menyetujui ‘kerangka umum’ untuk desentralisasi pelayanan dasar. Kerangka umum ini harus bergerak menuju situasi tertentu secara bertahap, untuk memastikan pengalaman keberhasilan yang bisa memberi umpan-balik dalam jangka panjang. Pendapat ini didasarkan pada aspek-aspek berikut: 87
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
• Rendahnya efektivitas kerangka yang ‘menyeluruh dan khusus (unique).’ Umumnya kondisi regional dan lokal begitu beragam sehingga pendekatan yang digeneralisasi tidak akan memadai; • Dalam beberapa hal, desentralisasi dilaksanakan terlalu cepat, tanpa perdebatan terkait yang bisa membawa ke kemajuan bertahap atau modalitas alternatif. Selain itu, kadang analisis tidak dilakukan terkait persyaratan sebelumnya yang penting, tanpa pertimbangan tertentu mengenai dampaknya pada pembangunan negara secara umum dan keseimbangan fiskal; • Semakin banyak keyakinan terkait skala antar kota sebagai skala yang lebih memadai untuk mengelola pelayanan dasar. Ada pertanyaan bukan hanya mengenai ukuran pasar, tapi juga mengenai sistem pengelolaan yang efisien untuk sumberdaya manusia spesialis, dan kemungkinan menghasilkan sinergi sistem wilayah. Skala ini memerlukan perjanjian jangka panjang yang kuat antar otoritas, yang bisa memberi stabilitas pada desentralisasi; • Ide untuk desentralisasi yang terkondisikan semakin banyak dipertimbangkan. Ini menyiratkan bahwa persyaratan sebelumnya sudah dipenuhi, bahwa setiap satuan subnasional harus mendapatkan kompetensi terkait yang akan dialihkan; dan dievaluasi oleh lembaga nasional/sektoral yang bertanggung jawab. Selain itu harus ada rezim kebalikannya untuk pelayanan yang dialihkan. Semua ini harus membantu menjamin mutu pelayanan dan konsolidasi sistem transfer yang diatur; • Walau kasus yang dianalisis bersifat spesifik dan memiliki ciri tersendiri tapi, dalam semua hal, tingkat nasional harus menjadi tingkat yang menerbitkan pedoman kebijakan pusat; tingkat menengah adalah tingkat yang dipusatkan pada disagregasi kebijakan dan program wilayah dan yang akhirnya bertanggung jawab langsung atas pengelolaan pelayanan, jika dirasa perlu; dan tingkat lokal tetap melaksanakan pengelolaan langsung dengan orientasi pengelolaan antar kota seperti yang disebutkan sebelumnya; dan • Daya guna desentralisasi didasarkan pada keberadaan jaringan nasional-regional-lokal, atau sistem dengan peran pelengkap dalam perencanaan, program, pengelolaan langsung dan evaluasi 88
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
penyediaan pelayanan secara ex-post. Kekuatan desentralisasi bertumpu bukan hanya pada pelaksanaan pelayanan, tapi juga pada pembiayaannya, sumberdaya manusia yang profesional, pasar pasokan, mutu yang dicapai dan sinergi dengan pelayanan pelengkap di masing-masing wilayah. 6.5.4. Contoh Praktek Terbaik Keberadaan praktek desentralisasi yang bagus bisa dilihat di semua negara yang dipelajari—terkait biaya komparatif, mutu pelayanan, partisipasi masyarakat yang terorganisasi dengan baik, atau peningkatan yang efektif dalam mutu kehidupan pengguna. Di antara faktor-faktor terkait, walau lebih bersifat pengecualian daripada norma, adalah: • Mutu petunjuk dan tim profesional yang menangani pengelolaan pelayanan, dari sudut: kepemimpinan, profesionalisme, komitmen untuk masyarakat, keberlanjutan tindakan dan dukungan politis dari otoritas—yang menyiratkan otonomi dalam kadar yang memadai untuk pengelolaan; • Partisipasi masyarakat secara terorganisasi merupakan persyaratan keberhasilan jika bersifat permanen, di arahkan untuk tujuan pelayanan jangka menengah dan panjang, dan jika partisipasi bergerak menjauh dari kegiatan yang hanya bersifat defensif; • Jika pembiayaan penyediaan pelayanan sudah memadai, tepat waktu dan aman; jika penyediaan pelayanan bisa menutup biaya langsung dan tidak langsung; dan jika pembiayaan tersedia untuk peningkatan infrastruktur dan investasi ke depan. Selain itu, jika pembiayaan investasi ditransfer berdasarkan pada persyaratan daya saing yang ditentukan oleh pengelolaan yang efisien; • Jika perjanjian kelembagaan antar kota atau pelayanan publik yang disertakan dikaitkan dengan baik ke kebijakan dan keuangan tingkat nasional. Ini akan mendorong efisiensi dalam penyediaan pelayanan dan membantu sinkronisasi dan pengakuan nasional; • Kadang, contoh-contoh ini bisa ditiru walau tidak mudah, karena memerlukan beberapa situasi dan kondisi tertentu yang mendukung keberhasilan. Kajian rinci perlu dilakukan mengenai 89
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
berbagai pengalaman terkait untuk menentukan bagian mana yang bisa ditiru dan mana yang tidak; dan • Sangat mendasar sifatnya jika praktek bagus bisa berdiri sendiri, bukan merupakan hasil dari intervensi dari luar—seperti bantuan LSM atau bantuan khusus dari pemerintah pusat (seperti bantuan politis dan keuangan)—atau hasil dari situasi tersendiri. Pengalaman bagus memerlukan stabilitas dan normalitas. 6.5.5. Optimalisasi Kualitas untuk Pendidikan dan Kesehatan Pelayanan-pelayanan dasar yang dianalisis menunjukkan kinerja yang bagus dalam cakupan, walau masih ada kelompok masyarakat yang hidup dalam kemiskinan dan masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dengan beberapa kekurangan. Situasi seperti ini mulai berlawanan dengan masalah yang ditunjukkan terkait mutu penyediaan pelayanan, terutama pelayanan kesehatan primer serta pendidikan dasar dan menengah. Di antara isu-isu yang terjadi berulang dan yang bisa menjelaskan kerumitan ini, kami menemukannya sebagai berikut: • Ada tuntutan yang semakin besar untuk mutu pelayanan yang lebih bagus. Ini memang demikian adanya di daerah geografis dan sosial di mana standar pendidikan yang agak berbeda dipakai. Aspirasi masyarakat yang sah juga menyebutkan mutu dan akses. Saat ini, mutu telah meningkat dalam penyediaan pelayanan kesehatan, yang dikaitkan dengan teknologi baru dan perhatian khusus, tapi ini telah terjadi dengan akses yang tidak setara; • Masalah pembiayaan telah diselesaikan secara terbatas, dan satuan subnasional yang menyediakan pelayanan masih menghadapi keterbatasan akibat defisit anggaran yang bersifat struktural. Transfer biasanya berisi hanya biaya minimum untuk gaji dan administrasi operasi berkala. Inisiatif untuk berbagi biaya dengan keluarga pengguna mempertajam perbedaan antara pelayanan dengan atau tanpa kontribusi swasta. Tantangan dalam desentralisasi berkaitan dengan kebutuhan meningkatkan mekanisme keuangan; • Program khusus yang dirancang untuk meningkatkan mutu dan produktivitas, infrastruktur dan peralatan pendukung, atau 90
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
pemberian insentif untuk guru dan dokter masih belum mencukupi. Kadang, keseragaman sistem kelembagaan membuat pemakaian insentif mutu sulit diterapkan. Di sisi lain, memanfaatkan teknologi informasi secara efektif memerlukan konteks umum minimum yang tidak ada; • Beberapa kasus peningkatan mutu yang penting dikaitkan dengan direktur yang relatif stabil, tim profesional yang menjalankan tugasnya dengan baik, pekerjaan kolektif dan komitmen yang kuat untuk tanggung jawab profesi. Otonomi sekolah dan klinik yang lebih besar mungkin diperlukan untuk menciptakan kondisi yang mendukung difusi pengalamanpengalaman seperti ini, ditambah dengan dukungan kelembagaan dan pembiayaan yang mencukupi; • Banyak kemunduran dalam pelayanan-pelayanan ini berkaitan dengan tidak adanya sistem yang terstruktur, yang menjadi sandaran manfaat lokal. Sistem seperti ini harus termasuk spesifikasi kompetensi yang lebih baik menurut tingkat, sistem derivasi yang tepat, dan mekanisme kontrol dan pemantauan untuk memastikan mutu; dan • Penting dipastikan bahwa akses istimewa ke program khusus perlu disediakan untuk direktur dan profesional yang bekerja untuk satuan lokal. Jika pelatihan khusus ditawarkan di tingkat lokal, maka akan ada insentif yang lebih efisien. Program ini berhasil jika dilaksanakan dengan pembiayaan dan pengawasan regional. 6.5.6. Optimalisasi Kualitas dan Cakupan Limbah Padat Dari sudut pandang teoretis, pengumpulan dan pembuangan limbah padat adalah kelompok pelayanan dengan hierarki wilayah yang jelas. Dalam praktek, pelayanan ini masih menghadapi masalah besar terkait cakupan dan operasi informal yang bekerja diluar aturan dasar tentang kebersihan dan lingkungan. Di antara isu yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: • Pelayanan dasar pengumpulan dan pembuangan limbah sangat diperlukan. Dampak tidak adanya pelayanan ini jelas terlihat dalam kondisi kesehatan dan mutu kehidupan masyarakat. Sebagian besar negara yang dianalisis telah menetapkan 91
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
•
•
•
•
•
kebijakan nasional yang diusahakan untuk membuat kegiatan ini menjadi resmi dan untuk mencari hierarki wilayah untuk operasinya; Usaha yang konsisten sedang dilakukan untuk meningkatkan mutu dan merancang program jangka panjang dan menengah, yang menyertakan teknologi baru untuk meningkatkan desain sistem terpadu regional untuk pembuangan limbah rumah tangga; Pengalaman internasional dan dari negara-negara yang dianalisis, menunjukkan peningkatan penting dalam klasifikasi, daur ulang dan pemulihan limbah—bahkan dalam cara yang dipakai pengumpul dan praktek-praktek lain yang menarik. Walau begitu, kondisi operasi dasar harus sudah ada sebelum memulai inovasi; Pembiayaan menjadi penghambat penting, khususnya untuk pembentukan sistem regional. Keinginan keluarga untuk membayar pelayanan ini menjadi rendah ketika penyediaan pelayanan tidak bisa diandalkan, dan ketika pemerintah kota harus mengurusi ini. Jadi kebijakan pemerintah yang tetap diperlukan dengan inovasi dan pembiayaan yang mencukupi, serta metodologi pengenaan biaya yang bisa membuat orang terdorong untuk membayar pelayanan; Pertimbangan lingkungan dan kesehatan yang melekat dalam kegiatan yang rumit ini, berarti bahwa pembahasan perlu menyertakan isu-isu lain seperti limbah industri dan berbahaya, saluran air, zona risiko ekologi, pembuangan limbah secara ilegal, dan pengolahan air limbah. Sistem pengelolaan yang terkoordinasi bisa menghasilan sinergi yang bagus; dan Mungkin partisipasi masyarakat bisa disertakan dalam beberapa kegiatan. Program pendidikan telah menunjukkan keberhasilan, khususnya ketika tujuannya adalah untuk menanamkan budaya bersih. Selain itu, mungkin juga dilakukan pemulihan budaya terkait di antara para pengumpul lokal, yang memberikan manfaat lingkungan dan penghasilan.
6.5.7. Tindakan Mendesak untuk Keamanan Diperlukan Untuk negara-negara yang disertakan dalam studi ini, ada hubungan 92
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
yang jelas antara rasa ketidakamanan dan isu global seperti perdagangan gelap narkoba, korupsi dan kejahatan terorganisasi. Ketidakamanan masyarakat mengotori kehidupan bersama masyarakat, dan pengalaman pencegahan dan konfrontasi sebagian besar bersifat pengecualian lokal. Namun mungkin perlu menyebutkan beberapa isu: • Keamanan nasional berbeda, walau berkaitan dengan keamanan masyarakat. Perbedaan ini penting karena, untuk masyarakat lokal, keamanan harian penting untuk organisasi masyarakat dan rasa percaya mereka pada polisi. Militerisasi polisi harus digantikan dengan pendekatan kemasyarakatan dalam kerangka keamanan masyarakat yang baru; • Perlu menyimpan informasi yang akurat dan melakukan riset mengenai operasi kejahatan, untuk menelusuri cara kejahatan berevolusi. Ada beberapa situasi di mana pelaku kejahatan lebih sering mengganti taktiknya daripada polisi, atau ketika ada kecurigaan terkait korupsi di kepolisian dan persahabatan dengan pelaku kejahatan. Meningkatnya rasa percaya pada polisi berkaitan dengan lebih banyak informasi tepat waktu yang bersifat ilmiah; • Para spesialis, yang diajak konsultasi, menyepakati perlunya menyatukan polisi dalam lembaga tersendiri atau paling tidak dalam komando tersendiri, dengan kebijakan yang jelas dan rasa kebangsaan. Keberadaan jaringan polisi nasional, regional, kota dan khusus sering membawa kerumitan dan persaingan yang tidak mendukung keamanan masyarakat; • Pengelolaan pelayanan polisi di tingkat kota, antar kota atau regional tergantung pada beberapa faktor. Debat tentang kepolisian kota dilakukan secara terbuka, dengan banyak ahli melihat lebih banyak risiko daripada kegunaannya untuk desentralisasi (tergantung pada otoritas masyarakat kota). Para ahli sepakat bahwa desentralisasi memerlukan lebih banyak sifat dekonsentrasi, dengan pengelolaan lokal bergantung pada satuan kepolisian yang menyatu; • Perlu mengaitkan isu keamanan publik dengan kegiatan lembaga yang terkait langsung, seperti lembaga peradilan, pertahanan masyarakat, penghukuman, dan sistem penjara—yang diakui masih sangat terbatas kapasitasnya untuk mendukung reintegrasi 93
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
—sistem pendidikan dan program pencegahan—terutama yang berkaitan dengan perdagangan gelap narkoba dan kejahatan lain dengan dampak sosial yang besar; dan • Ketika organisasi lingkungan (neighborhood) kuat dan dihormati serta didukung oleh angkatan kepolisian yang jujur dan efisien, maka akan ada kemungkinan keberhasilan. Akan sangat berguna jika pengalaman ini dibuat menjadi sistematis. 6.5.8. Perlunya Pembangunan Ekonomi Daerah Para spesialis setuju bahwa pembangunan ekonomi daerah harus dilakukan, yang mampu menopang proses desentralisasi jangka panjang —termasuk pengelolaan pelayanan dasar. Peningkatan penting telah dibuat, terutama jika usaha telah dilakukan untuk kelompok produksi, sebagai landasan dinamika yang tumbuh di dalam pembangunan berkelanjutan. Memang kesulitan masih harus dihadapi untuk mendorong investasi dan kerja sama pemerintah—swasta yang lebih besar, dan meningkatkan daya saing. Di antara beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: • Usaha pembangunan ekonomi regional atau lokal memerlukan kelompok kebijakan publik yang efisien dan terencana dengan baik, sumberdaya jangka panjang yang berkelanjutan untuk pelatihan, kredit dan jaminan, inovasi dan riset terapan, serta dukungan untuk kegiatan usaha terkait. Semua aspek di atas ini memerlukan pedoman yang kuat yang memungkinkan tindakan bersama yang efisien dengan sektor swasta; • Walau skala wilayah pembangunan bisa tampak jelas dari sudut potensi dan sumberdaya, lembaga regional dan lokal untuk pengembangan produksi dan inovasi biasanya menghadapi masalah serius. Lembaga tersebut sangat tersentralisasi, umumnya didasarkan pada agen wilayah, dan komitmen satuan pemerintah lokal dan regional masih rendah akibat kurangnya pemberdayaan; • Pengalaman kerja sama pemerintah—swasta beragam di negaranegara yang dianalisis. Pencapaian penting telah dibuat di bidang jalan dan infrastruktur, tapi kerja sama untuk pembangunan lokal masih belum memadai. Beberapa kasus regional—tampak 94
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
menonjol karena pembentukan korporasi pembangunan atau satuan yang setara; • Asosiasi produksi—kelompok atau bukan—merupakan peningkatan di negara-negara yang lebih besar dan yang berbentuk federasi. Asosiasi ini selalu menghadapi risiko, tapi jika asosiasi dibentuk melalui perjanjian dengan sektor swasta, maka asosiasi bisa memberikan hasil yang bagus. Pembangunan lokal dan regional semakin bertumpu pada kegiatan produksi yang berkaitan dengan sumberdaya alam; • Riset dan teknologi terapan dibentuk sebagai persyaratan dasar untuk keberlanjutan usaha pembangunan lokal. Pusat riset dan asosiasi produsen swasta adalah penting, guna memobilisasi usaha yang umumnya menghadapi kesulitan karena lemahnya kerangka kelembagaan riset; dan • Harus ada kerangka pengelolaan usaha yang sederhana, agar semangat kewirausahaan tidak dibatasi oleh kerangka kelembagaan yang kaku dengan sedikit inovasi. Sikap yang mendukung semangat kewirausahaan merupakan inti keberhasilan yang diperoleh dari pembangunan lokal dalam beberapa kasus di negara-negara sampel.
95
7 Mengelola Tekanan Pemekaran Jorge Martinez-Vazquez
7.1. Pendahuluan Banyak negara yang sudah terdesentralisasi dan yang sedang mengalami desentralisasi di seluruh dunia, menghadapi tantangan yang tampak seperti fragmentasi berlebihan dari pemerintah daerah—dengan terlalu banyak unit yang terlalu kecil untuk penyediaan pelayanan secara efisien. Efisiensi produksi yang rendah dihubungkan dengan hilangnya skala ekonomi.9 Sebaliknya, umumnya diakui bahwa ada beberapa keuntungan bagi pemerintah daerah yang lebih kecil, dari sudut pandang efisiensi alokasi. Pemerintah daerah yang lebih kecil mungkin lebih responsif (peka) dan akuntabel terhadap warganya. Sejak Ledakan Besar reformasi desentralisasi di tahun 2001, Indonesia mengalami banyak peningkatan dalam jumlah pemerintah daerah, terutama di tingkat lokal. Karena desentralisasi merupakan fenomena yang masih baru di Indonesia, dan karena proses pembentukan pemerintah daerah (kabupaten dan kota) dan provinsi baru berlangsung cukup cepat selama beberapa tahun, maka timbul kebingungan mengenai proses ini. Banyak pertanyaan diajukan terkait sifat (sebab dan motivasi), akibat dan pengaruh, dan karena itu sifat yang diinginkan dari proses ini. 9
Skala ekonomi ada jika biaya unit pelayanan yang disediakan menurun sesuai ukuran pemerintah subnasional atau, yakni, sesuai tingkat pelayanan yang dihasilkan.
96
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
Perhatian terus muncul di Indonesia, terkait cara ‘proses’ terjadinya pemekaran. Walau peraturan sudah ada, tapi perasaan yang muncul di kalangan masyarakat umum menunjukkan bahwa peraturan perundangundangan di masa lalu dan kini masih kekurangan ‘strategi besar.’ Perlu dipertimbangkan lebih lanjut sampai sejauh mana pemekaran pemerintah daerah bisa berfungsi optimal bagi Indonesia. Yang jelas, peraturan yang ada tidak selalu dipatuhi. Selain itu, perhatian terus muncul terkait ‘insentif’ yang membuat pemekaran semakin banyak, termasuk cara sistem transfer dan formula bagi hasil pendapatan. Karena kecurigaan dan kebingungan yang terjadi terkait proses pemekaran, pembekuan pemekaran pemda telah diberlakukan selama beberapa tahun. Tujuan utama makalah ini adalah untuk menyoroti isu ini dengan jalan mempelajari bukti-bukti di Indonesia, lalu membandingkannya dengan praktek-pratek di negara lain di seluruh dunia, untuk memberikan beberapa saran cara yang tepat untuk reformasi.
7.2. Sumber Masalah Sejak proses desentralisasi dimulai di awal abad baru ini, telah terjadi banyak peningkatan dalam jumlah pemda. Perubahan akhirakhir ini jauh berlawanan dengan apa yang telah terjadi secara historis. Di bawah rezim Soeharto, pembentukan pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dilakukan secara sangat selektif agar cocok untuk rezim yang tersentralisasi secara politis, administratif dan fiskal.10 Kejatuhan rezim Soeharto dan munculnya pemerintah pusat yang relatif lebih lemah di tahun 1998, membuat gerakan separatis menjadi lebih kuat di beberapa provinsi. Gerakan ini sangat kuat di daerah yang kaya sumberdaya alam, seperti Aceh, Papua dan Riau. Respons pemerintah baru terhadap situasi yang sulit ini, adalah desentralisasi dan pemberian lebih banyak otonomi untuk daerah dalam menjalankan urusan mereka sendiri. Kebijakan baru ini dibentuk melalui UU No. 22 (1999) tentang Pemerintah Daerah dan Otonomi Daerah, dan UU No. 25 (1999) tentang Desentralisasi Fiskal. Isi kedua UU ini memberikan banyak otonomi dan kekuasaan bagi pemda (kabupaten/kota) dan beberapa provinsi, dalam kadar tertentu UU baru ini memutuskan 10
Keinginan untuk mempertahankan status quo tampak dalam kenyataan bahwa UU No. 5/1974 yang diberlakukan untuk mengatur pemerintah daerah, tidak pernah diikuti dengan peraturan pemerintah. Lihat Utomo (2000) untuk contohnya.
97
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
hubungan hierarki antara provinsi dan pemda. Ini dianggap sebagai manuver strategis untuk memperlemah niat separatisme di seluruh Indonesia; dan untuk mempermudah pemda yang lebih kuat dan provinsi yang jauh lebih lemah. Hanya di akhir 2002, ketika keadaan sudah sedikit tenang, provinsi-provinsi yang bergolak seperti Aceh dan Papua mendapatkan UU khusus yang mengakui status khusus mereka dan menetapkan ukuran-ukuran yang asimetris untuk bagi hasil pendapatan dari sumberdaya alam dan bidang lain. Setelah UU 22 (1999) dan 25 (1999) berlaku, maka otoritas pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 29 (2000) untuk menangani pembentukan, penggabungan dan pembubaran pemda baru. Dalam konteks ini, beberapa poin penting dijalankan: i) Di tahun 1999 struktur pemerintahan daerah di Indonesia bersifat vertikal, yang sudah terbentuk sejak pemerintahan penjajah dan kemudian pemerintahan diktator yang sangat tersentralisasi, jadi tampaknya tidak ada anggapan bahwa struktur warisan ini cocok untuk sistem pemerintahan yang sangat terdesentralisasi; ii) Dengan munculnya sistem hukum desentralisasi, terjadi desakan untuk membentuk pemda baru dan beberapa provinsi baru; dan iii) Proses dan motif yang dipakai dalam pembentukan pemda baru sebagian mencurigakan, seperti dibahas lebih lanjut di bawah ini. Isu yang pertama, adalah bahwa pemeriksaan yang jelas tidak dilakukan sejauh yang kami ketahui, mengenai apakah jumlah kota/ kabupaten yang ada sudah tepat, atau apakah sebaran unit pemerintah ini di seluruh negeri sudah seperti yang diinginkan. Namun, karena banyaknya kritik terkait proses pemekaran, tampaknya asumsinya adalah bahwa jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang ada di tahun 1999 mungkin jauh dari jumlah yang tepat. Namun asumsi ini tidak didasarkan pada analisis ilmiah yang obyektif. Isu yang kedua, adalah bahwa jumlah ini tidak dapat dinafikan yaitu peningkatan telah terjadi dalam jumlah pemerintah daerah sejak tahun 1999. Saat ini, total jumlah kabupaten/kota lebih dari 510. Jumlah kabupaten/kota sebelum tahun 1999 adalah 304, jadi peningkatan sebesar 67% telah terjadi dalam jumlah pemda. Saat ini jumlah provinsi adalah 33 dari jumlah semula sebanyak 27—peningkatan sebesar 18%. Ciri penting dari pertumbuhan jumlah pemda adalah bahwa jumlah ini 98
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
tidak tersebar secara merata di seluruh Indonesia. Gambar 7.1 menunjukkan sifat penting relatif dari proses pemekaran pemda per pulau. Peningkatan besar dalam jumlah pemda terjadi di Papua, Maluku dan Sumatra. Sebaliknya, praktis hampir tidak ada perubahan di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Pulau Sulawesi dan Kalimantan berada di tengah-tengahnya. Pola yang sangat tidak merata dalam peningkatan jumlah pemda menyiratkan perlunya memeriksa keberadaan sebab spesifik daerah yang mengalami pemekaran, jika dihadapkan dengan atau jika ditambah, sebab atau penjelasan dari pemekaran yang mungkin berlaku secara umum bagi semua pulau atau daerah di Indonesia. Tabel 7.1. Jumlah Pembentukan Pemda Baru
Sumber: Imansyah and Martinez-Vezquez (2010)
Gambar 7.1. Pemekaran per Pulau (1999–2007) 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Sumatera
Java
Bali & Nusa Kalimantan Tenggara Sebelum Desentralisasi
Sulawesi
Maluku
Papua
Baru
Sumber: MOHA, 2009
99
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Isu yang ketiga, proses dan motif pembentukan daerah baru memang mencurigakan. Walau persyaratan yang ditetapkan untuk pembentukan pemda baru dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 (2000) dianggap terlalu lunak oleh banyak orang, tapi proses yang sering diikuti untuk pemekaran merupakan jalur politik yang berada di luar PP 129 (2000) karena melibatkan persetujuan DPR. Jalur pintas ini sering dipakai oleh para elite lokal yang menginginkan pemekaran, untuk mendesak DPR agar menerbitkan UU yang mengesahkan pembentukan pemerintah daerah baru. Jalur politik ini sering mengabaikan proses dan persyaratan teknis dan administratif dalam PP 129, dan terlalu cepat memberikan hasil. Seperti terlihat di Tabel 7.2, proses politik yang dipercepat melalui DPR mendominasi pembentukan pemerintah subnasional yang baru, terutama setelah beberapa tahun pertama dari reformasi desentralisasi di tahun 2001 dan 2002, dan khususnya di tahun 2007 dan 2008. Tabel 7.2. Jumlah Pemerintah Subnasional yang Dibentuk Menurut Proses Pemerintah Reguler dan Proses DPR yang Dipercepat Selama 1999–2008
Sumber: MOHA (Kemendagri), 2009
7.3. Determinan Pemekaran Tujuan utama pembentukan pemda baru seharusnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, dengan jalan membuat pemda lebih dekat
100
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
ke masyarakat dan meningkatkan akuntabilitas dalam penyediaan pelayanan publik. Namun kecurigaan tetap ada, bahwa alasan sebenarnya dari pemekaran mungkin adalah sesuatu yang lain, termasuk sesuatu seperti untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dari transfer fiskal (seperti insentif yang diberikan oleh hibah DAU atau DAK) atau ongkos sewa politis untuk elite lokal yang menjalankan pemerintah daerah mereka sendiri. Analisis statistik terkait proses pemekaran bisa sangat berguna untuk menentukan sebab-sebab yang lebih sahih dan kurang sahih. Namun kita perlu menyadari sejak awal bahwa, walau beberapa kemungkinan sebab pemekaran bisa dikuantifikasi dengan mudah seperti perbedaan jumlah penduduk atau wilayah geografis, tapi beberapa kemungkinan sebab lainnya jauh lebih sulit atau bahkan tidak mungkin untuk dikuantifikasi seperti motivasi politis dan ongkos sewa yang dicari oleh pejabat lokal. Seperti kita lihat di atas, fakta penting di sini adalah pemekaran kabupaten/kota terjadi hanya di beberapa wilayah geografis (pulau) di Indonesia. Ini penting artinya karena jika pemekaran adalah fenomena untuk menanggapi insentif (yang berakibat buruk), seperti untuk memanfaatkan transfer DAU atau kesempatan untuk mendapatkan ongkos sewa politis lokal, karena insentif ini tersebar secara merata ke seluruh daerah di Indonesia, maka kita seharusnya mengharapkan dampak pemekaran bisa tersebar secara cukup merata ke seluruh Indonesia. Ini membawa kita ke lebih banyak pertimbangan terkait faktor atau sebab lain. Contohnya, sebagian Sumatra seperti Aceh, plus Papua dan Maluku mengalami lebih banyak sejarah penindasan politis dan intervensi militer di bawah rezim Soeharto. Juga keberadaan sumberdaya alam, terutama minyak dan gas, tidak tersebar secara merata di pulau-pulau di Indonesia. Ada beberapa faktor lain yang secara tradisional dianggap dalam literatur keuangan publik sebagai determinan penting dari jumlah pemda—seperti penduduk dan wilayah daratan—yang mungkin sangat berbeda-beda antar provinsi dan pulau, dengan demikian, menjadi penjelasan dari perbedaan dalam proses pemekaran yang kami amati sejak tahun 1999. Tapi yang paling memungkinkan adalah bahwa sebab dan alasan dibalik fenomena pemekaran tidak bersifat sederhana, tapi agak beragam dan rumit. Memilah-milah dan menentukan pentingnya sebab sulit dilakukan, karena banyak faktor mungkin saling berkaitan satu sama 101
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
lain. Tujuan kami adalah untuk melaporkan hasil analisis regresi dalam Imansyah dan Martinez-Vazquez (2010),11 yang dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi peran-peran tersendiri dari berbagai faktor. Beberapa studi sebelumnya, terutama oleh Fitrani, Hofman, dan Kaiser (2005)12 dan Qibthiyyah (2008) juga menyelidiki pertanyaan tentang determinan pemekaran yang bisa meningkatkan kemungkinan bahwa pemerintah daerah tertentu akan mengalami pemekaran.13 Kedua, studi ini cenderung menyepakati beberapa determinan utama dari proses pemekaran. Pertama, daerah yang berpenduduk kecil—juga wilayah tanah yang luas dan penduduk yang besar—serta daerah dengan penduduk yang lebih heterogen kemungkinan besar akan mengalami pemekaran. Ini adalah temuan dengan asumsi bahwa ”yang lainnya bersifat konstan.” Ini adalah temuan penting yang menyatakan bahwa proses pembentukan pemda baru di Indonesia, tampaknya dilakukan untuk merespons beberapa fundamental ekonomi yang sama seperti yang diramalkan oleh teori keuangan publik, yang juga teramati di negara-negara lain di seluruh dunia. Kedua, studi ini juga mengidentifikasi peranan, yang mungkin lemah dari segi statistik, insentif fiskal seperti yang diberikan melalui transfer. Ketiga, dorongan politik dibalik pemekaran mungkin ada, tapi tidak terlalu terlihat jelas seperti fundamental ekonomi yaitu wilayah berupa luas tanah dan jumlah penduduk atau bahkan limpahan atau insentif fiskal. Dalam Imansyah dan Martinez-Vazquez (2010), analisis mereka berbeda dengan studi-studi sebelumnya dalam hal: (i) analisis mereka terfokus pada periode yang diperpanjang hingga 2006, jadi menambahkan tiga tahun observasi ke dalam studi sebelumnya; dan (ii) analisis mereka memakai pendekatan metodologi yang berbeda dengan pendekatan yang dipakai dalam studi-studi sebelumnya. Memang kedua studi sebelumnya ini mempelajari determinan kemungkinan bahwa pemekaran terjadi di yurisdiksi tertentu, tapi Imansyah dan MartinezVazquez (2010) berusaha menjelaskan peningkatan jumlah pemda di 11
Imansyah, M.H. dan Martinez-Vazquez, J. Understanding Sub-National Government Proliferation and Options for Reform. Bank Pembangunan Asia, Jakarta. 2010. 12 Fitrani, F. Hofman, B. and Kaiser, K. Unity in Diversity? The Creation of New Local Governments in a Decentralizing Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol. 41, No. 1 13 Qibthiyyah, R.M. 2008. Essays on political and fiscal decentralization. http:// www.dsfindonesia.org/apps/dsfv2/cgi-bin/dw.cgi.Kami perlu juga menyebutkan di sini karya Percik (2007) dan Pratikno (2008) tentang kemungkinan sebab pemekaran.
102
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
provinsi induk dan laju pertumbuhan jumlah ini. Analisis mereka difokuskan pada 25 provinsi induk (jumlah provinsi sebelum desentralisasi, tidak termasuk Jakarta) selama tahun 1999–2006; pendekatan ini diperlukan untuk mendapatkan unit observasi yang seragam untuk analisis statistik. Untuk determinan atau variabel penjelas yang harus dipertimbangkan, Imansyah dan Martinez-Vazquez (2010) memakai—dengan beberapa perubahan—variabel yang sama seperti yang dipakai dalam studi sebelumnya dan memperkenalkan juga beberapa variabel penjelas tambahan. Seperti dalam hipotesis untuk ‘penyebaran administratif’ yang dipakai oleh Fitriani, et al. dan Qibthiyyah, diharapkan bahwa penduduk yang lebih besar atau luas wilayah daratan yang lebih luas dari yurisdiksi lokal akan memberi pengaruh positif pada proses pemekaran.14 Pendapatan per kapita (PDRB per kapita) juga dipakai untuk membatasi dampak perbedaan pendapatan pada tuntutan perwakilan politik, dan bagian penduduk yang hidup dalam kemiskinan untuk membatasi keinginan pemekaran berdasarkan pada redistribusi fiskal. Seperti dalam dua studi sebelumnya, Imansyah dan MartinezVasquez juga memperkenalkan beberapa ukuran dampak heterogenitas etnik dan agama, dan mengukurnya dengan variabel boneka (dummy variable) yang menangkap keberadaan ‘konflik etnik atau agama.’ Kami juga memperkenalkan beberapa ukuran insentif fiskal untuk pemekaran, termasuk: nilai DAU dan DAK per kapita; bagi hasil pendapatan sumberdaya alam per kapita; bagi hasil pendapatan dari sumber lain per kapita; dan yang terakhir, belanja upah per kapita sebagai ukuran kemungkinan dukungan dari tokoh (patronage) dan ongkos sewa politis. Variabel-variabel ini mengendalikan insentif fiskal umum dalam sistem keuangan antar pemerintah. Bisa diperdebatkan bahwa daerah-daerah yang memiliki sejarah gerakan separatis yang keras mungkin memiliki tuntutan yang terpendam untuk representasi dan otonomi yang lebih besar dan, karena itu, memiliki kecenderungan lebih besar untuk terlibat dalam pemekaran. Jadi, Imansyah dan Martinez-Vazquez membuat variabel boneka (dummy variable) untuk perjuangan separatis sebelumnya, yang memiliki nilai 14 Fitrani, F. Hofman, B. Kaiser, K. 2005. Unity in Diversity? The Creation of New Local Governments in a Decentralized Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol 41 (1). Hal. 57-59.
103
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
satu untuk Aceh dan Papua dan nol untuk lainnya; catat bahwa daerahdaerah di mana aspirasi separatis ada atau sudah ada di tingkat politis/administratif, seperti Riau, diberi nilai 0. Yang terakhir, karena jumlah provinsi juga meningkat selama periode desentralisasi, maka penting untuk dipahami bahwa peningkatan jumlah pemda mungkin tidak disebabkan hanya oleh kenyataan bahwa beberapa provinsi sekarang berisi lebih banyak pemda, tapi juga oleh kenyataan bahwa sekarang ada lebih banyak provinsi dengan perpecahan provinsi semula atau provinsi induk, dan bahwa provinsi baru ini mungkin mendukung pembentukan pemda baru. Hasil dalam Imansyah dan Martinez-Vazquez (2010) ditulis ulang dalam Tabel 7.3. Ini adalah temuan-temuan utama. Seperti halnya dalam studi sebelumnya yang difokuskan pada kemungkinan pemekaran, yang mencakup periode waktu yang lebih pendek (hingga 2003, kebalikan dari 2006 dalam data kami), kami juga menemukan bahwa, seperti yang diharapkan, ‘penyebaran administratif,’ seperti yang diukur dengan penduduk yang lebih besar atau wilayah tanah yang lebih luas, memainkan peran penting dalam jumlah pemda yang dibentuk.15 Temuan ini, bersama dengan temuan dari studi sebelumnya, tampaknya cukup kuat. Seperti diramalkan oleh prinsip teori keuangan publik sederhana, jumlah keseimbangan (equilibrium) pemda dipengaruhi oleh fundamental kepadatan dan ukuran. Tapi kami juga menemukan bukti bahwa insentif fiskal memainkan suatu peran. Yang menarik, besaran transfer antar pemerintah dengan komponen jumlah bulat (lump sum) (terutama DAU juga DAK) tampaknya mendorong pemekaran. Logikanya adalah bahwa DAU dan DAK memberikan insentif karena kota/kabupaten baru akan menerima transfer jumlah bulat (tanpa biaya untuk kota lain).16 Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa banyak kejadian upah transfer jumlah bulat tidak dilaksanakan dalam periode studi. 15
Kita harus ingat bahwa interpretasi setiap koefisien perkiraan menganggap bahwa ”sesuatu lainnya bersifat konstan.” Jadi contohnya, Jawa dengan penduduk yang besar tidak mengalami kejadian pemekaran yang tinggi; tapi, seperti yang kami jelaskan di atas, ada faktor pengaruh imbangan (counterbalancing) di luar penduduk, yang membantu menjelaskan mengapa Jawa secara keseluruhan mengalami kejadian pemekaran yang rendah. 16 Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa banyak kejadian upah transfer jumlah bulat tidak dilaksanakan dalam periode studi.
104
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
Sebaliknya, bagi hasil yang lebih besar dari sumberdaya alam di provinsi tidak membuat jumlah Pemda menjadi lebih banyak. Mungkin, seperti disimpulkan oleh Fitrani, et al. (2005), pemekaran apa pun yang terjadi untuk mendapatkan bagi hasil sumberdaya alam yang lebih besar sudah terjadi sebelum proses desentralisasi besar di tahun 1999; memang banyak daerah kaya sumberdaya alam sudah mengalami pemekaran sebelum desentralisasi dijalankan (misalnya, kepulauan Riau adalah pecahan dari Provinsi Riau, dan Bangka Belitung dari Provinsi Sumatra Selatan). Tabel 7.3. Determinan Jumlah Pemda dan Laju Pertumbuhan Jumlah ini Menurut Provinsi ‘Induk’ (sejak 1999) Variabel
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
pertumbuhan
pertumbuhan
pertumbuhan
1,157
1,067
1,726
-0,0578
0,00913
-0,0396
(0,556)
(0,501)
(0,864)
(-0,610)
(0,105)
(-0,414)
-2,432**
-2,654***
-2,587***
-0,1
-0,0546
-0,0655
(-2,463)
(-2,636)
(-2,631)
(-0,869)
(-0,474)
(-0,566)
7,124***
7,991***
9,913***
0,232***
0,226***
0,218**
(4,387)
(4,275)
(6,152)
(4,709)
(2,682)
(2,454)
Observasi
175
175
175
175
175
175
Jumlah provinsi
25
25
25
25
25
25
Dummy (boneka) separatisme
Dummy (boneka)Konf lik etnis
Konstanta
Sumber: Perhitungan penulis Catatan: t- statistik berada dalam kurung; *** penting pada 99%, ** penting pada 95%, * penting pada 90%. (+) ini adalah spesifikasi yang berbeda, yang menjelaskan variabel tergantung (dependent) yang sama, jumlah pemda. (++) ini adalah spesifikasi yang berbeda, yang menjelaskan variabel tergantung (dependent) yang sama, laju pertumbuhan jumlah pemda.
Variabel lain tampaknya juga memicu pemekaran selama periode tersebut. Ini termasuk bagi hasil pendapatan dalam pajak-pajak lain per kapita dan belanja upah per kapita yang lebih besar. 105
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Sebaliknya, tidak ada tuntutan pembentukan pemda baru, yang disebabkan oleh PDRB per kapita; dan keberadaan kemiskinan relatif juga tidak memiliki pengaruh yang penting secara statistik. Mengendalikan variabel-variabel lain, secara mengejutkan dari perspektif data mentah, variabel boneka untuk separatisme (Aceh dan Papua) tidak penting dari segi statistik. Yang terakhir, kami temukan bahwa variabel boneka untuk konflik etnik memberikan tanda negatif yang penting dari segi statistik, yang berlawanan dengan temuan dari studi sebelumnya.
7.4. Antara Peraturan dan Praktek Nyata Semakin banyaknya jumlah pemerintah regional, termasuk provinsi dan kabupaten/kota, bisa ditelusuri hingga ke pemberlakuan UU 22 (1999) dan PP 129 (2000) yang melonggarkan persyaratan pembentukan pemda baru. Perubahan dalam rezim peraturan ini dipicu oleh aspirasi dari banyak masyarakat daerah agar mereka bisa membentuk pemda mereka sendiri. Perasaan ini didorong oleh kondisi geografi dan sejarah. Daerah yang jauh dari pusat kegiatan peemerintah sering merasa tertinggal dari segi pembangunan ekonomi dan segi-segi lain. Namun, semakin banyaknya jumlah pemda baru yang muncul selanjutnya, memicu masalah serius dan kemudian di tahun 2004 pemerintah dan DPR mengesahkan UU untuk Administrasi Pemerintah Daerah, UU 32 (2004). Pengaruh UU baru ini adalah untuk menghentikan proses pemekaran, paling tidak hingga PP baru diterbitkan berdasarkan UU 32. Dalam PP 129 (2000), untuk membentuk provinsi disyaratkan harus memiliki minimum tiga kabupaten/kota. Sementara itu, untuk membentuk kabupaten/kota disyaratkan harus memiliki hanya tiga kecamatan (unit administratif di bawahnya). Peraturan yang longgar ini membuat pemda makin bertambah banyak jumlahnya dari 1999– 2004. Persyaratan dalam PP 78 yang baru (2007) agak lebih ketat untuk pembentukan pemda baru. Contohnya, untuk membentuk provinsi, provinsi disyaratkan harus memiliki paling tidak lima kabupaten/kota. Sementara itu untuk membentuk kabupaten/kota baru, kabupaten disyaratkan harus memiliki paling tidak lima kecamatan dan kota empat kecamatan. Selain itu, persyaratan lainnya adalah bahwa daerah otonomi baru boleh dimekarkan/dipecah hanya setelah 10 tahun untuk provinsi dan 7 tahun untuk kabupaten/kota. 106
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
Tentu saja, dengan persyaratan yang lebih berat berdasarkan pada UU 32 (2004) dan PP 78 (2007), diharapkan pembentukan pemda baru menjadi lebih selektif daripada di masa lalu. Kebalikan dari ‘persyaratan minimum,’ prosedur yang ditunjukkan dalam UU 22 (1999) dengan PP 129 (2000) dan prosedur yang ditetapkan dalam UU 32 (2004) dengan PP 78 (2007) untuk pembentukan provinsi dan kabupaten/kota baru, tidak terlalu banyak berbeda satu sama lain. Di akhir 2007, Pemerintah menerbitkan PP 78 (2007) menurut UU 32 (2004) sebagai usaha untuk mengelola pembentukan, penggabungan dan penghapusan pemda. Secara keseluruhan, PP ini lebih komprehensif dan lebih rinci daripada PP 129 (2000). Kriteria evaluasi untuk pembentukan pemda baru, yang berdasarkan pada PP 129 (2000) dan PP 78 (2007), memiliki sifat yang berbeda. Dalam PP 78 (2007), kriteria dibagi menjadi tiga set persyaratan yang mencakup persyaratan administratif, teknis dan fisik. Persyaratan administratif meliputi: surat persetujuan dari masyarakat akar-rumput, persetujuan dari bupati dan wali kota, persetujuan gubernur, dan penyerahan ke pemerintah pusat. Persyaratan teknis terdiri dari: isu kapasitas ekonomi, potensi daerah, isu sosial dan budaya, total luas daerah, isu pertahanan nasional, keamanan, kapasitas keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan lingkup kendali administrasi pemda. Persyaratan fisik meliputi: lingkup daerah (jumlah minimum unit di tingkat yang lebih rendah), lokasi ibu kota yang diusulkan, sarana dan prasarana pemerintahan. Semua persyaratan di atas berjumlah 11 faktor. Faktor-faktor ini adalah penduduk, kapasitas ekonomi, potensi daerah, kapasitas keuangan, budaya sosial, sosial politik, total luas, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan lingkup kendali. Selanjutnya 11 faktor ini dibagi lagi menjadi 35 indikator—jumlah yang sedikit lebih kecil daripada yang ada dalam PP 129 (2000). Namun pelaksanaan sebenarnya dari PP 78 (2007) masih jadi pertanyaan, karena jumlah indikator tampaknya terlalu banyak dan sistem penghitungan/penilaian masih jadi persoalan. Selain itu, PP 78 (2007) relatif masih baru, jadi masih terlalu dini untuk melakukan evaluasi kinerjanya. Dalam kenyataannya, proses persetujuan pemekaran mengikuti jalur yang berbeda dengan jalur yang ditentukan oleh norma hukum. Pertama, kabupaten yang terbentuk baru-baru ini diproses tanpa memakai PP 78 107
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
(2007). Tampaknya alasan utamanya adalah bahwa proses sudah dimulai sebelum pemberlakuan PP 78 (2007), lalu dilanjutkan penyelesaiannya di DPR menurut ketentuan PP 129 (2000). Kedua, yang jauh lebih penting, sejumlah pemda baru telah dibentuk berdasarkan pada inisiatif DPR sendiri tanpa mengikuti prosedur seperti yang ditetapkan dalam PP tersebut untuk tujuan ini. Alasan utama dari jalur tambahan untuk pembentukan pemda baru ini, adalah bahwa pembentukan pemda baru di akhir hari memerlukan hukum dari DPR dan kekuasaan legislatif DPR memberi DPR hak untuk berinisiatif membuat UU seperti yang ditetapkan oleh UU 22 (2003). Umumnya prosedur yang diikuti untuk pembentukan pemda baru di DPR adalah sebagai berikut: pengaju aspirasi akar rumput yang ingin membentuk pemda baru menemui DPR secara langsung; setelah itu, sekehendak hati mereka, DPR menyerahkan usulan ke Presiden. Namun semua dokumentasi yang disyaratkan (seperti dalam proses menurut peraturan perundang-undangan) perlu dicantumkan dalam usulan yang diserahkan ke Presiden. Jika presiden tidak memberikan jawaban ke DPR dalam 60 hari, maka hukum yang diusulkan tentang pemekaran daerah akan menjadi UU dan dengan demikian berlaku tanpa ditandatangani oleh Presiden. UU 22 (2003) membuat jalur alternatif untuk pemekaran ini mungkin untuk dilakukan, seperti telah disebutkan di atas. UU 22/ 2003 menangani struktur dan fungsi Lembaga Tinggi Negara, dan secara khusus menetapkan bahwa DPR dan DPD memiliki hak untuk mengusulkan pemekaran. Khususnya, Pasal 42 dan 48 menyatakan bahwa DPD boleh mengusulkan pemekaran daerah, tapi DPD harus mengajukan inisiatif ini ke DPR sebagai legislator terakhir. Catat juga bahwa DPD harus disertakan dalam diskusi tentang pemekaran daerah apa pun, tanpa memandang usulan diajukan oleh pemerintah atau DPR. Tapi, perlu dicatat bahwa kriteria dan persyaratan untuk membentuk pemda baru (provinsi/kabupaten/kota) melalui inisiatif DPD atau DPR sama seperti kriteria dan persyaratan dalam proses melalui pemerintah (Kemendagri). Semua dokumen yang disyaratkan seperti yang disebutkan dalam PP 78/2007 harus dicantumkan ketika DPR atau DPD menerima usulan. Masalah utama tampaknya bersifat politis. Akhir-akhir ini, pemerintah tidak memiliki suara mayoritas di parlemen, yang diperlukan untuk menolak inisiatif DPR 108
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
jika persyaratan teknis tidak dipenuhi pada batasan minimumnya.
7.5. Perspektif Internasional dan Jumlah Pemda yang Optimal Pertanyaan tentang berapa ukuran dan jumlah administrasi lokal yang optimal muncul dalam sistem sentralisasi (sekalipun dengan dekonsentrasi) dan desentralisasi. Namun isitilah ‘ukuran optimal’ mengandung arti yang sangat berbeda dalam kedua sistem tersebut.17 Dalam kasus pemerintah yang tersentralisasi dengan unit dekonsentrasi (administrasi lokal) untuk penyediaan pelayanan publik lokal, satu-satunya fokus harus pada minimalisasi biaya produksi dan pemanfaatan skala ekonomi yang ada, jika bisa diterapkan, serta penghindaran disekonomi akibat skala yang terlalu besar. Dalam kasus seperti ini, arti ‘ukuran optimal’ bisa secara logis dikaitkan dengan konsep produksi atau efisiensi biaya seperti yang dihadapi oleh, misalnya, para pengelola pabrik dalam pembuatan barang industri swasta. Kebalikan dari kasus dekonsentrasi administrasi lokal, pemda terdesentralisasi memiliki otonomi melalui pejabat perwakilan terpilih untuk memutuskan tingkat dan komposisi pelayanan publik lokal, dan mungkin juga otonomi untuk memperoleh pendapatan (penerimaan) asli mereka. Walau keputusan dekonsentrasi administrasi lokal dibuat di tempat lain tapi, bagi pemerintah terdesentralisasi, penting artinya jika pejabat lokal membuat keputusan yang benar terkait tingkat dan campuran pelayanan publik lokal. Keputusan ini harus memuaskan tuntutan konstituen untuk barang publik, yang lebih disukai jika bisa diproduksi dengan biaya sekecil mungkin. Jadi konsep ‘ukuran optimal’ untuk pemerintah yang terdesentralisasi memiliki dua dimensi: (i) kepekaan terhadap kebutuhan dan pilihan warga lokal—yang disebut dalam teori keuangan publik sebagai ‘efisiensi alokatif’; dan (ii) minimalisasi biaya—atau efisiensi ‘produksi’—dalam penyediaan pelayanan publik. Tapi saat efisiensi produksi secara umum cenderung meningkat dalam ukuran atau skalanya, efisiensi alokatif dan produksi malah cenderung menurun dalam ukuran atau skalanya. Setiap orang mungkin merasa lebih didengar dan diwakili dalam kelompok yang kecil, daripada 17 Dua pertanyaan tentang ukuran dan jumlah pemda yang optimal adalah satu dan sama untuk tingkat penduduk tertentu. Karena itu, fokus pada ukuran optimal berarti menangani juga pertanyaan tentang jumlah optimal.
109
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dalam kelompok yang sangat besar. Esensi dari pertukaran antara efisiensi lebih besar dari pemerintah yang kecil dan lebih cocok dengan pilihan dan keinginan warga lokal terkait alokasi belanja, dan skala ekonomi dalam produksi dengan biaya yang lebih rendah yang berhubungan dengan pemerintah yang lebih besar, dinyatakan pertama kali dalam karya Wallace Oates (1972). Di mana teori yang ada meninggalkan kita terkait penentuan ukuran pemda yang optimal? Walau kerangka teoretis sederhana memungkinkan kita untuk membuat visualisasi arti ”ukuran pemda yang optimal,’ tapi dalam kenyataan sulit untuk menentukannya dalam kasus negara yang terdesentralisasi. Jika teori keuangan publik yang ada tidak bisa membantu kita dalam menetapkan ukuran pemda yang optimal, maka pertanyaannya adalah apakah kita bisa meminta bantuan dari pengalaman internasional untuk memberikan pedoman kebijakan terkait masalah ini. Pengalaman internasional menunjukkan banyak variasi ukuran pemda di seluruh dunia. Ciri yang menonjol dari pengalaman ini adalah tingginya tingkat fragmentasi atau ukuran penduduk rata-rata pemda yang kecil di banyak negara. Contohnya, ukuran penduduk rata-rata Pemda di negara seperti Australia, Perancis, Jerman, Hongaria, Itali, Rusia Spanyol, Swiss, Thailand dan Ukraina adalah di bawah 10.000 jiwa. Jadi masalah terkait tingginya tingkat fragmentasi tampaknya umum terjadi di negara maju—yang kebanyakan sangat terdesentralisasi —di Eropa Barat dan Tengah. Dengan pengalaman internasional yang beragam ini, pertanyaan pentingnya adalah kerugian apa yang timbul terkait efisiensi yang hilang, yang negara dengan tingkat fragmentasi pemda yang tinggi harus dihadapi? Cara alami untuk menjawab pertanyaan ini adalah menentukan keberadaan skala ekonomi dalam produksi dan penyediaan pelayanan dasar, dan dengan jalan menguantifikasi ukuran penduduk minimum agar skala ekonomi ini bisa membantu. Literatur empiris mengenai keberadaan dan besaran skala ekonomi dalam produksi dan penyediaan pelayanan publik, cukup banyak. Walau studi-studi berbeda-beda dari segi metodologi yang dipakai dan periode waktu yang dipelajari, dengan hasil yang umumnya campuran, tapi dua pola yang jelas tampak muncul dari temuan empiris yang dikaji. Pertama, pelayanan publik lokal banyak macamnya (pelayanan polisi, 110
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
pemadam kebakaran, perumahan rakyat, pelayanan sosial, pendidikan umum, dll.), yang tidak memberikan bukti ekonominya atau hanya ada bukti lemah dalam skala operasi yang agak kecil, seperti diukur dengan ukuran penduduk yurisdiksi. Kedua, ada sejumlah pelayanan lokal (air bersih, fasilitas pembuangan atau lahan kosong, beberapa bentuk transportasi publik) yang memerlukan pembangunan infrastruktur yang cukup banyak, yang memberikan bukti kuat dari keberadaan skala ekonomi, setelah beberapa ukuran yurisdiksi pelayanan yang cukup besar tercapai. Di mana bukti empiris yang ada meninggalkan kita? Apakah ukuran yang kecil di pemda menjadi masalah? Tergantung penugasan tanggung jawab belanja, keberadaan pemda yang relatif kecil—katakanlah dengan warga sebanyak 10.000 atau bahkan 5.000 jiwa —mungkin tidak akan menimbulkan biaya tambahan dalam menyediakan pelayanan. Tapi untuk beberapa pelayanan lain (air bersih, transportasi dan lahan kosong) ada skala ekonomi. Salah satu cara untuk mengatasi skala ekonomi ini adalah mensyaratkan, bahwa semua pemda harus memiliki ukuran minimum yang cukup besar sehingga skala ekonomi bisa dimanfaatkan. Namun jelas, mengingat informasi yang kita miliki, bahwa solusi lain juga layak dan secara politis mungkin lebih cocok. Salah satu solusi seperti ini adalah menugaskan tanggung jawab belanja untuk pelayanan publik tersebut, yang menunjukkan skala ekonomi hingga tingkat menengah pemerintahan seperti provinsi atau daerah yang mungkin memiliki ukuran minimum ini. Kemungkinan lain meliputi privatisasi beberapa pelayanan atau pembentukan asosiasi pemda. Di mana semua ini meninggalkan kita, terkait pemekaran di Indonesia? Apa yang penting dalam kasus Indonesia adalah bahwa, walau ada beberapa fragmentasi pemda melalui proses pemekaran, tapi rata-rata ukuran penduduk dari semua pemda di Indonesia adalah 488.000 jiwa di tahun 2004, dan rata-rata penduduk untuk pemda yang baru dibentuk melalui pemekaran adalah 214.000 jiwa di tahun yang sama. Dengan ukuran rata-rata ini, sebagian besar pemda di Indonesia tampaknya memiliki skala yang cukup besar untuk memanfaatkan skala ekonomi yang telah diidentifikasi dalam literatur empiris. Sebenarnya, sangkalannya mungkin adalah bahwa, karena besar, kita bisa memperkirakan beberapa skala disekonomi yang berjalan untuk beberapa pelayanan, di mana ini telah diamati di negara lain. 111
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Menurut kami ini adalah temuan penting. Dari sudut pengalaman internasional dan apa yang diketahui dari riset ilmiah yang paling serius, proses pemekaran tidak akan menimbulkan ancaman serius pada keseluruhan efisiensi sistem desentralisasi pemerintahan di Indonesia. Namun ini tidak berarti bahwa proses pemekaran tidak membawa ancaman, dalam kasus beberapa kabupaten/kota saat ini dan di masa depan, pada efektivitas dan efisiensi sistem desentralisasi pemerintahan di Indonesia. Pertama, beberapa pemda di Indonesia relatif kecil walau bukan pada skala, misalnya, seperti yang teramati di banyak negara Eropa. Contohnya, beberapa kabupaten di Papua dan Irian Jaya Barat memiliki penduduk di bawah 20.000 jiwa. Kedua, penugasan tanggung jawab belanja ke pemda di Indonesia bersifat jauh lebih ekstensif daripada yang ada di negara-negara lain, karena UU desentralisasi hingga kini menugaskan sangat sedikit tanggung jawab yang secara khusus bersifat independen ke pemerintah provinsi—terutama tanggungjawab dengan eksternalitas yang besar dan mungkin dikenai skala ekonomi. Jika penugasan tanggung jawab belanja di Indonesia diperbarui untuk memberi pemerintah provinsi lebih banyak kompetensi yang bermakna, maka skala ukuran penduduk yang lebih disukai untuk kabupaten/kota harus banyak dikurangi. Ketiga, ada ancaman serius yang bersifat permanen dan tak terukur, yang muncul dari kurangnya kapasitas administratif dan kemungkinan pengukungan politis oleh elite lokal. Sayangnya, saat ini tidak ada cukup informasi untuk menentukan apakah pertimbangan ini perlu dipikirkan di Indonesia, tapi ada asumsi bahwa kedua isu ini, kurangnya kapasitas administratif dan pengukungan politis oleh elite lokal, lebih mungkin terjadi di pemda berukuran kecil.
7.6. Dampak Pemekaran pada Kinerja Pemda Reformasi desentralisasi dan peningkatan jumlah pemda di Indonesia, dalam kadar tertentu, diharapkan bisa mempercepat pembangunan regional di banyak daerah yang ditinggalkan oleh kebijakan ekonomi dan regional dari rezim Soeharto—ini memang benar untuk daerah yang letaknya terpencil. Aspirasi untuk reformasi desentralisasi—yang juga dirasakan oleh penganjur dan pembela pemekaran—adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan publik, dengan jalan membawa pemerintah lebih dekat ke masyarakat. Jadi pertanyaan 112
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
pentingnya adalah apakah janji dan harapan ini terwujud melalui proses pemekaran, atau apakah proses telah membuat peluang pemda serta mutu dan akses ke pelayanan publik menjadi semakin buruk. Ini adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab karena melibatkan banyak isu pengukuran yang rumit (di Indonesia juga di tempat lain, termasuk ekonomi desentralisasi yang sudah maju); karena hingga kini jumlah tahun yang ada masih relatif terbatas untuk evaluasi kinerja; dan karena datanya tidak bermutu bagus dan dilaporkan dengan banyak kekurangan. Proses pemekaran telah melahirkan banyak studi mengenai dampaknya (positif atau negatif) pada mutu penyediaan pelayanan dan jumlah indikator kinerja. Cara mudah untuk membagi temuan adalah membaginya agar kita bisa klasifikasikan sebagai ‘negatif’ atau ‘positif.’ Studi dengan hasil akhir negatif adalah Survei Kedua Desentralisasi dan Pemerintahan (GDS2) tahun 2006, yang berisi data satu kali kumpul tentang pendapat warga terkait mutu pelayanan di yurisdiksi mereka. Mengenai pelayanan yang diberikan oleh puskesmas, baik pemda induk maupun pemda baru menunjukkan kinerja yang kurang bagus dibandingkan dengan pemda lain dalam sampel GDS2. Juga ada beberapa riset mengenai dampak otonomi daerah dan desentralisasi pada iklim usaha. Riset ini dilakukan melalui kerja sama antara SMERU, Kemitraan untuk Pertumbuhan Ekonomi dan USAID, dan dipublikasikan dalam Usman, et al.18 Secara umum ditemukan bahwa pemda mencoba menambahkan peraturan baru untuk menciptakan pendapatan daerah, tapi ini tidak lebih buruk di pemda yang mengalami pemekaran. Hasil yang sama dilaporkan oleh Lewis.19 Dalam makalah yang lebih baru, Kuncoro berpendapat bahwa proses desentralisasi di Indonesia juga membawa banyak dampak buruk pada tingkat korupsi.20 Dalam studi kasus oleh Bappenas/UNDP (2007/2008), secara umum ditemukan bahwa kinerja ‘keuangan regional’ dari pemda baru lebih rendah daripada kinerja pemda induk. Juga dalam studi 18 S. Usman, et al. 2001. Regional Autonomy and the Business Climate: Three Kabupaten Case Studies from North SumatraSMERU Field Report. http://www.smeru.org. 19 B. Lewis, 2003. Tax and Charge Creation by Regional Governments Under Fiscal Decentralization: Estimates and Explanations. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol 39(2). Hal. 172-192. 20 A. Kuncoro, 2006. Corruption and Business Uncertainty in Indonesia. ASEAN Bulletin. Vol 23(1). Hal. 11-30.
113
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
simulasi, Oosterman menyimpulkan bahwa kerugian dalam investasi publik di tingkat subnasional, yang timbul akibat pemekaran, bisa cukup besar.21 Untuk sisi positif, Survei Kedua Desentralisasi dan Pemerintahan (GDS2) menemukan bahwa kabupaten baru yang dibentuk melalui pemekaran menyediakan lebih banyak informasi bagi warganya tentang program desa jika dibandingkan dengan pemda lain dalam sampel. Di bidang pelayanan pendidikan primer, GDS2 menemukan pemda yang mengalami pemekaran memiliki sekolah yang kondisinya lebih bagus dengan rasio guru—siswa yang lebih rendah. Seperti yang dilaporkan juga oleh Oosterman (2007), dengan memakai data SUSENAS dari 2001 hingga 2005, jumlah warga yang memiliki akses ke air ledeng meningkat dua kali lebih banyak di pemda yang mengalami pemekaran, jika dibandingkan dengan pemda lainnya. Jumlah warga dengan akses ke sarana sanitasi meningkat empat kali lebih cepat di yurisdikasi yang mengalami pemekaran, jika dibandingkan dengan pemda lainnya, walau angka ini masih kecil (masing-masing 8% dan 2%). Peningkatan dalam belanja pembangunan antara tahun 2001 dan 2005 juga lebih cepat di kabupaten pemekaran (139%) daripada di kabupaten lainnya (103%). Juga, seperti dilaporkan oleh Oosterman, kabupaten pemekaran tampaknya memakai belanja pembangunan mereka selama periode 2001–2005 secara jauh lebih produktif jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Dengan menutip Oosterman (halaman 59), ”…peningkatan belanja pembangunan sebesar Rp 1 miliar menghasilkan peningkatan sebesar 70.000 jiwa dengan akses ke sarana air ledeng dan sanitasi yang lebih baik. Sebaliknya, peningkatan sebesar Rp 1 miliar dalam belanja pembangunan kabupaten lain hanya memberikan tambahan sebanyak 52.000 jiwa yang memiliki akses ke air ledeng, dan sekitar 24.000 jiwa dengan akses ke sarana sanitasi yang lebih baik.”22 Studi kasus oleh Bappenas/UNDP juga menemukan bahwa, di sektor pendidikan, pertumbuhan jumlah guru sekolah dasar lebih tinggi untuk pemda yang baru dibentuk, daripada di daerah pemda induk atau di kelompok pengendali. Yang terakhir, studi terbaru tentang pemekaran dari lembaga Riset Kemendagri (Jaweng, 2007) menemukan 21 A. Oosterman. 2007. Costs and Benefits of New Region Creation in Indonesia, Final Report. http://www.dsfindonesia.org/apps/dsfv2/cgi-bin/dw.cgi 22 Lihat catatan kaki 21.
114
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
banyak pemda baru berhasil mengembangkan lembaga lokal secara efektif, walau kapasitas pengelolaan sumberdaya alam lokal masih rendah dan sengketa aset antara pemda baru dan pemda induk masih terjadi.23 Mungkin analisis paling cermat hingga kini mengenai dampak pemekaran pada kinerja penyediaan pelayanan publik, adalah studi yang dilakukan oleh Qibthiyyah.24 Dengan memakai teknis perkiraan panel data dinamis, dia menemukan hasil negatif dan positif dari pemekaran. Yang utama, tingkat kematian balita jauh lebih rendah untuk pemda yang mengalami pemekaran, dengan pengaruh yang lebih besar untuk pemda yang baru dibentuk. Untuk hasil akhir pendidikan, hasilnya menunjukkan bahwa pemekaran mengurangi tingkat putussekolah (dropout) di kabupaten baru, tapi kabupaten induk mengalami tingkat putus sekolah yang lebih tinggi. Untuk nilai dan tingkat kelulusan, kabupaten baru dan kabupaten induk cenderung menunjukkan hasil akhir yang buruk. Studi Qibthiyyah diperpanjang oleh Imansyah dan Martinez-Vazquez (2010) hingga tahun belakangan, yang menemukan hasil yang sama. Tingkat kematian balita ditemukan banyak lebih rendah untuk kabupaten baru untuk semua tahun setelah pemekaran. Hasilnya juga menunjukkan bahwa tingkat putus sekolah lebih rendah untuk kabupaten yang baru dibentuk di luar tahun kedua setelah pemekaran. Namun pemekaran tidak menimbulkan dampak positif pada nilai ujian dan tingkat kelulusan. Secara keseluruhan hasil dalam Imansyah dan Martinez-Vazquez, adalah bahwa pemekaran menimbulkan pengaruh campuran pada indikator kinerja untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Secara umum, kami mengamati bahwa pemekaran menimbulkan dampak negatif pada hasil akhir kesehatan, tapi dampak yang cukup positif pada hasil akhir pendidikan. Di mana posisi kita berdiri? Dengan mempertimbangkan semua keterbatasan metodologi, data yang tersedia dan periode waktu yang cukup panjang, bukti empiris dari masa lalu dicampur terkait dampak pemekaran pada kinerja pemda untuk penyediaan pelayanan publik. Walau beberapa aspek negatif dan masalah masih ada, tapi ada beberapa 23
Lihat catatan kaki 21. R.E. Jaweng. 2007. Menimbang Regulasi Baru PemekaranDaerah, hhtp://www.sinarharapan. co.id/ berita/0802/27/opi01.html. 24
115
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
faktor positif seperti respons cepat dari kabupaten pemekaran untuk meningkatkan beberapa pelayanan publik dan infrastruktur dasar, yang memberi kami kesempatan untuk menarik kesimpulan. Memang, bukti masih berkembang dan jelas masih perlu kajian lebih lanjut untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Namun bukti yang tersedia hingga kini memberikan dasar untuk membuat catatan yang cermat mengenai kecepatan dan cakupan pemekaran lebih lanjut. Kami perlu mengatakan juga bahwa evaluasi lain terkait pemekaran di media pers nasional dan oleh komentator kurang ilmiah sifatnya dan harus diabaikan. Contohnya, pemekaran sering dianggap gagal karena tidak menghilangkan kemiskinan di tempat-tempat seperti Maluku Utara, atau karena pemda terus bergantung pada transfer pemerintah pusat. Ini adalah penilaian yang tidak adil atau salah tempat karena ada alasan a priori yang mengharapkan bahwa berbagai bentuk struktur pemerintah vertikal seharusnya menimbulkan dampak pada masalah ekonomi yang terus ada seperti tingkat kemiskinan dan kurangnya pembangunan ekonomi.
7.7. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Dalam makalah ini, kami telah berusaha memahami banyak kerumitan proses pemekaran, manfaat dan akibat buruknya, tanpa mengambil sikap a priori terhadap masalah ini. Apa yang kami baca terkait sebagian besar studi dan evaluasi pemekaran menunjukkan bahwa studi-studi tersebut terlalu difokuskan pada sisi negatif atau akibat buruk dari pemekaran, dengan mungkin mengabaikan kemungkinan manfaat pentingnya. Mungkin karena pandangan ini dan juga karena melihat proses yang tidak bisa dikendalikan—persetujuan melalui jalur DPR—sikap Pemerintah Indonesia selama beberapa tahun terakhir menjadi sangat negatif terhadap pemekaran. Ironisnya, moratorium pemekaran selama beberapa tahun terakhir mungkin telah mendorong masyarakat yang memiliki alasan sah untuk pemekaran untuk mencari solusi yang dipercepat, dengan jalan meminta ke DPR. Tapi, di saat yang sama, jalur yang terbuka lebar untuk keputusan pemekaran ini melalui DPR bisa memberi peluang ke mereka yang tidak memiliki alasan yang sah, seperti elite lokal, untuk memaksa melalui tawarmenawar politis—dan bahkan suap—untuk pemekaran yang seharusnya tidak terjadi. 116
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
Usaha Pemerintah Indonesia untuk menjalankan kebijakan pemekaran yang tepat, mungkin terhambat di masa lalu oleh pendekatan yang terlalu difokuskan pada temuan terkait solusi optimal yang tepat —kepercayaan bahwa solusi untuk isu pemekaran berada dalam penentuan ‘ukuran optimal’ dan ‘jumlah optimal’ pemerintah daerah untuk seluruh Indonesia. Namun, seperti kami berusaha jelaskan dalam makalah ini, menentukan jumlah optimal yurisdiksi merupakan target yang sulit untuk dipahami dan mungkin menyesatkan. Hipotesis kerja yang tak terbukti dari sisi pemerintah, dan dalam beberapa laporan teknis sebelumnya terkait isu ini, adalah bahwa jumlah optimal pemerintah daerah ini lebih kecil daripada jumlah aktual pemerintah daerah saat ini di Indonesia dan karena itu, semua atau sebagian besar pemekaran saat ini akan menimbulkan dampak negatif dan harus dihentikan. Pesan penting dari buku ini adalah bahwa, kecuali kita mau menyudahi dengan satu kriteria tunggal untuk keputusan pemekaran, seperti ukuran penduduk, maka jumlah mati ideal tidak akan menjadi kebijakan yang tepat untuk diikuti. Contohnya, jika kita menerima bukti empiris internasional bahwa sebagian besar skala ekonomi tercapai pada penduduk sebesar 100.000 jiwa, dan mengingat rata-rata ukuran penduduk kabupaten/kota di Indonesia adalah 500.000, maka jumlah ‘ideal’ ini adalah sekitar 2.500 kabupaten/kota di Indonesia, atau lima kali jumlah yang ada saat ini. Tapi tentu saja, kami tidak percaya bahwa ini akan menjadi pendekatan yang benar. Sebagai alternatif, kebijakan pemerintah terkait pemekaran seharusnya didasarkan pada pemikiran bahwa proses yang benar, seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, diikuti dan bahwa kriteria inti seperti yang ditetapkan juga dalam undang-undang dipenuhi dalam setiap kasus. Pendekatan yang diikuti dalam makalah ini adalah untuk memberikan pandangan baru terkait isu pemekaran, dengan jalan mengkaji dan memberikan bukti baru mengenai sebab dan dampak proses pada penyediaan pelayanan publik, lalu menghasilkan rekomendasi kebijakan tanpa sikap a priori sebelumnya. Hasil akhir berupa kesimpulan dan rekomendasi, bagi banyak orang di Indonesia, mungkin terlihat seperti mengada-ada, tapi kami percaya bahwa kesimpulan dan rekomendasi tersebut didukung dengan baik oleh analisis yang dilaporkan dalam makalah ini. Makalah ini mempelajari sifat 117
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dasar proses pemekaran, kemungkinan sebab dan determinan (faktor penentu), serta dampaknya pada hasil akhir penyediaan pelayanan publik lokal. Analisis ini membuat kami bisa memahami lebih baik sifat dan hasil akhir pemekaran. Walau sebab pemekaran bermacam-macam, tapi ada bukti kuat bahwa proses ini di Indonesia merespons determinan dasar yang sama seperti yang terjadi di tempat-tempat lain, yang diramalkan dalam teori dasar keuangan publik: pemekaran lebih mungkin terjadi dimana, dengan menganggap lainnya setara, ada penduduk yang besar dan wilayah tanah yang luas. Ini meyakinkan kembali bahwa, rata-rata, tampaknya ada alasan positif yang bagus dibalik pemekaran di Indonesia. Namun kami juga menemukan bahwa pemekaran telah cukup responsif terhadap insentif negatif yang buruk yang diakibatkan oleh struktur sistem transfer (DAU dan DAK) dan bagi hasil pendapatan sumberdaya alam. Isu-isu ini perlu ditangani dan, utamanya, pemerintah perlu mengubah DAU dan DAK untuk menghilangkan sisa-sisa insentif yang bisa mendorong fragmentasi unit pemda. Mengenai dampak pemekaran, makalah ini melaporkan bukti yang ada mengenai apakah pemda yang telah mengalami pemekaran menderita penurunan kinerja pelayanan publik, jika dibandingkan dengan pemda induk. Kami temukan bahwa bukti beragam; dalam beberapa kasus, kinerja meningkat (seperti di bidang pendidikan) tapi menurun di bidang lain (seperti di bidang kesehatan). Dalam mengajukan pertanyaan mengenai kebijakan apa yang tepat untuk Indonesia terkait pemekaran, makalah ini mempelajari apa yang ditawarkan oleh teori keuangan publik dan praktek internasional terkait penentuan ukuran dan jumlah pemda berdasarkan pada, di antaranya, data empiris yang ada untuk skala ekonomi dalam penyediaan pelayanan publik lokal. Apa yang kami temukan adalah bahwa tingkat fragmentasi pemerintah subnasional di Indonesia lebih kecil daripada di banyak negara lain tapi, yang lebih penting, ukuran rata-rata kabupaten/kota di Indonesia cukup besar untuk memanfaatkan kemungkinan skala ekonomi yang ditemukan dalam literatur mengenai keuangan publik. Ini tidak berarti tidak ada masalah di Indonesia, masalah masih ada karena beberapa pemda mungkin terlalu kecil dan karena proses fragmentasi tidak bisa tetap kuat dan marak seperti sebelumnya. Rekomendasi utama untuk menciptakan dasar ‘strategi besar’ untuk reformasi proses pemekaran di Indonesia, bisa diringkas dengan dua 118
Mendapatkan Hak Ekonomi Politik dari Desentralisasi
usulan. Pertama, DPR perlu mengikuti prosedur reguler untuk pemekaran. Untuk mencapai tujuan ini perlu mencantumkan proses dan persyaratan yang disetujui ke dalam UU yang disetujui oleh DPR, kebalikan dari pencantumannya ke dalam peraturan pemerintah seperti yang terjadi saat ini. Walau ini sulit untuk diwujudkan, tapi ini adalah solusi yang paling realistis; jika tidak, tidak mungkin untuk menghapuskan peran DPR sebagai legislator proses pemekaran. Menetapkan proses dan persyaratan tersebut dalam UU akan membantu menjamin bahwa persyaratan untuk aspek teknis dan administrasi dari pemekaran diterapkan secara konsisten, dan bahwa tidak ada jalan pintas yang dipakai untuk proses ini. Namun kita tidak boleh mengabaikan kenyataan bahwa banyak UU dalam kenyataannya diabaikan, dan bahwa tidak UU yang berlaku kecuali ada peraturan pemerintah yang berkaitan dengan UU ini. Kedua, kriteria pemekaran yang sekarang ada di PP 78 (2007) perlu dirampingkan dan disederhanakan dengan jalan mencantumkan kriteria dasar untuk: (i) ukuran penduduk minimum; (ii) representasi dan akuntabilitas; (iii) kapasitas keuangan dan fiskal serta keberlanjutan; dan (iv) kapasitas administratif. Kriteria lain bisa ditambahkan, seperti kelanjutan dan keamanan teritorial serta pertimbangan perbatasan, tapi penambahan ini harus minimal. Perumusan ‘strategi besar’ pemekaran harus mempertimbangkan juga pengembangan instrumen lain, yang terbukti berhasil dalam pengalaman internasional untuk menangani masalah fragmentasi di tingkat subnasional, termasuk penerapan insentif untuk mendorong penggabungan pemda secara sukarela; desain ulang penugasan belanja dengan jalan mengembangkan peran pemerintah provinsi untuk pelayanan yang memiliki eksternalitas dan skala ekonomi yang besar di semua pemda; pengembangan berbagai bentuk kerja sama antar pemda dalam penyediaan pelayanan publik lokal; pembentukan kabupaten pelayanan khusus (misalnya, untuk air bersih atau transportasi); dan privatisasi beberapa pelayanan.
119
BAGIAN D Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
8 Pengembangan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah di Indonesia Marwanto Harjowiryono
8.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan di Asia Tenggara, yang terdiri dari 17.508 pulau dengan penduduk terbesar keempat di dunia—sekitar 238 juta jiwa. Sebagai bangsa, Indonesia terdiri dari lebih dari 300 kelompok etnis dengan bahasa dan budaya daerah mereka masingmasing. Keberagaman ini sangat memengaruhi sistem pemerintahan di Indonesia, yang telah berevolusi menjadi negara kesatuan dengan 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota. Indonesia memiliki perekonomian terbesar di Asia Tenggara dengan PDB yang diperkirakan sekitar US$ 850 miliar di tahun 2011. Perekonomian Indonesia dari awal 1970-an hingga 1990-an menunjukkan kinerja yang relatif bagus, dengan pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus tinggi sebesar rata-rata 6% (PDB) per tahun. Namun krisis keuangan Asia di tahun 1997 mengganggu pertumbuhan ekonomi ini dan PDB Indonesia menunjukkan penurunan besar yang mencapai 13,1% di tahun 1998. Krisis ini secara drastis meningkatkan jumlah orang miskin dan pengangguran.25 Situasi ini menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di masyarakat. Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, dipaksa untuk turun di bulan Mei 1998 dan digantikan oleh Wakil Presiden Habibie. Selama masa Presiden Habibie yang 25 World Bank. 2003. Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure Review Overview Report.
123
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
singkat dari Mei 1998 hingga Juli 1999, dia menerapkan perubahan besar dalam sistem administrasi Indonesia untuk mengembangkan demokratisasi dan desentralisasi.26 Demokratisasi dan desentralisasi menjadi isu paling penting di waktu itu, karena banyak provinsi selama bertahun-tahun mengungkapkan ketidakpuasaan mereka terhadap sentralisasi politis, sosial dan ekonomi. Dalam kasus yang ekstrem, beberapa provinsi yang memiliki sejarah panjang konflik bersenjata dan akses ke sumberdaya alam yang kaya, seperti Aceh, Papua dan Timor Timur, menuntut kemederkaan27 (Bank Dunia 2003). Di bawah Presiden Habibie, dua UU diberlakukan di tahun 1999, sebagai dasar hukum desentralisasi. Kedua UU ini dilaksanakan di tahun 2001 di bawah Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid. Kedua UU ini adalah UU No. 22 (1999) tentang Administrasi Daerah dan UU No. 25 (1999) tentang Hubungan Keuangan antara pemerintah pusat dan Daerah. Dalam UU No. 22, banyak tanggung jawab dan wewenang pemerintah pusat dipindahkan ke pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota.28 Sesuai dengan UU ini, UU No. 25 (1999) dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan proses ini, dengan jalan memberi pemerintah daerah lebih banyak sumberdaya keuangan melalui transfer fiskal antar pemerintah, yakni bagi hasil pendapatan dengan pemerintah pusat serta dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Kedua UU ini diubah di tahun 2004; UU No.22 digantikan oleh UU No. 32 (2004) dan UU No. 25 oleh UU No. 33 (2004). Semua UU ini menggantikan UU No. 5 (1974) tentang Administrasi Daerah—yang diberlakukan selama era Soeharto—yang sangat sentralistik. UU tahun 1999 mengubah hubungan antar pemerintah antara pemerintah pusat dan daerah dan memperkuat kompetensi, terutama pemerintah kabupaten/kota. Sebelum perubahan di tahun 2001, pemerintah daerah berada sepenuhnya di bawah pemerintah pusat. Kementerian Dalam Negeri memiliki kekuasaan untuk mengendalikan sebagian besar kegiatan pemerintah daerah. Selain itu, gubernur provinsi dianggap sebagai atasan bupati/wali kota. Sebagai satu-satunya kepala 26 R. Seymour, S. Turner, 2002. Otonomi Daerah: Indonesia’s Decentralization Experiment. New Zealand Journal of Asian Studies. Vol 4 (2). Hal. 33-51. 27 Lihat catatan kaki 25. 28 B. Brodjonegoro, S. Asunama, 2000. Regional Autonomy and Fiscal Decentralization in Democratic Indonesia. Hitosubashi Journal of Economics. Vol 41 (2). Hal. 111-122.
124
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
eksekutif di daerah, gubernur memiliki wewenang untuk mengendalikan, mengelola, memimpin dan mengawasi, serta mengoordinasi bawahannya di daerahnya.29 Setelah tahun 2001, gubernur kehilangan kompetensi ini dan hanya menjadi koordinator bupati/wali kota di daerahnya. Salah satu perubahan yang paling menonjol adalah pemindahan banyak kekuasaan administratif dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah sekarang bertanggung jawab atas beberapa fungsi penting seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, lingkungan, investasi, pertanian, kehutanan dll. Kompetensi pemerintah pusat dibatasi pada urusan luar negeri, pertahanan dan keamanan, fiskal dan keuangan, pengadilan, dan urusan agama—yang merupakan kompetensi minimum yang harus tetap ada di tingkat nasional untuk menjalankan suatu negara. Salah satu perubahan yang paling mengesankan setelah 2001 dapat ditemukan dalam perubahan yang penting dari hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sidik, et al. (2002) menjelaskan bahwa sepertiga pendapatan nasional neto dialihkan ke pemerintah daerah, dan dengan demikian bagian mereka menjadi hampir dua kali lipat dalam keseluruhan belanja pemerintah. Sangat menarik jika desentralisasi fiskal di Indonesia dibandingkan dengan desentralisasi di negara maju dan negara berkembang lainnya. Tabel 8.1 menunjukkan bagian pendapatan dan belanja pemerintah daerah dalam total pendapatan dan belanja nasional. Sebelum 2001, porsi pendapatan daerah terhadap total pendapatan nasional (rata-rata sekitar 5,4%) sangat kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Walau setelah pelaksanaan desentralisasi, porsi ini ditingkatkan menjadi rata-rata 7,08%, tapi tingkat ini masih di bawah negara berkembang lainnya, dan jauh di bawah negara transisi dan negara OECD. Walau pemerintah daerah dapat menghasilkan pendapatan asli daerah, tapi porsi mereka masih juga kecil. Karena itu, mereka menjadi sangat tergantung pada transfer pendapatan dari pemerintah pusat. Di sisi belanja, porsi pemerintah daerah banyak berubah setelah desentralisasi. Di tahun 2000, porsi belanja pemerintah daerah adalah 16,19%, tapi porsi ini meningkat tajam hingga 27,31% di tahun 2001. 29
M. Sidik, et al. 2002. General Allocation Grant (DAU): Concept, Constraint and Propsect in the Era of Autonomy. Penerbit Kompas, Jakarta.
125
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Di tahun-tahun berikutnya, porsi ini secara terus-menerus meningkat hingga mencapai sekitar 40% di tahun 2007–2011, tapi menurun di tahun 2005 dan 2006 akibat peningkatan harga minyak di seluruh dunia, yang membuat pemerintah pusat terpaksa menambah subsidi minyak. Rata-rata porsi belanja pemerintah daerah setelah desentralisasi adalah 36,24%—sedikit lebih tinggi daripada negara OECD dan lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan negara berkembang. Singkatnya, Indonesia telah terdesentralisasi, terutama di sisi belanja, tapi tetap tersentralisasi dari sisi pendapatan. Tabel 8.1. Porsi Pemerintah Daerah dalam Total Pendapatan dan Belanja Nasional (%) Negara / Tahun
Porsi PAD Pemda terhadap Pendapatan Nasional
Porsi Belanja Pemda terhadap Belanja Nasional
Negara Berkembang 1990an Negara Transisi1990an
9,3 16,6
13,8 26,1
Negara OECD 1990an Indonesia: 1989/90 1998/99 1999/2000 2000 2001 2002
19,1
34,4
4,7 5,0 6,7 4,6 5,0 7,5
16,6 15,8 16,6 16,2 27,3 36,3
2003 2004 2005
7,6 7,9 7,7
39,2 35,2 31,6
2006 2007 2008
6,0 7,4 6,6
33,0 40,9 36,2
2009 2010 2011
7,2 7,2 7,7
40,8 39,4 39,0
Sumber: Bank Dunia (2003) dan dihitung dari data Kementerian Keuangan.
Makalah ini akan menjelaskan desentralisasi fiskal di Indonesia dan disusun sebagai berikut: bab satu mengenai kebijakan transfer fiskal antar pemerintah, yang diikuti oleh bab mengenai pendapatan pemerintah daerah; bab berikutnya membahas pemekaran pemerintah daerah, yang dilanjutkan dengan bab mengenai pengalaman desentralisasi fiskal dan kemungkinan solusinya; dan yang terakhir adalah kesimpulan. 126
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
8.2. Kebijakan Transfer Fiskal Antar Pemerintah Indonesia mengalami apa yang disebut sebagai desentralisasi ‘ledakan besar’ di awal tahun 2000, setelah pemberlakuan UU No. 22 dan 25 yang selanjutnya direvisi dengan UU No. 32 dan 33 tahun 2004. Semua UU ini secara jelas menetapkan pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah, dan memberikan garis besar kebijakan terkait cara pemerintah pusat membiayai tanggung jawab yang dipindahkan ke pemerintah daerah ini. Semua UU baru tersebut menyatakan bahwa desentralisasi fiskal meliputi tiga prinsip: devolusi (pemindahan), dekonsentrasi dan administrasi pendamping. Konsep yang diperkenalkan oleh UU baru tersebut adalah devolusi, yang membuat pemerintah daerah bisa menjalankan otonomi fiskal untuk satu set fungsi yang dilimpahkan ke mereka. Sebaliknya, pemerintah pusat menciptakan transfer fiskal sebagai biaya pendamping untuk fungsi-fungsi yang dilimpahkan tersebut—ini dikenal sebagai ‘keuangan mengikuti fungsi’ (Bahl, 1999). Kebijakan devolusi peran dan tanggung jawab ke pemda (pemerintah daerah) menjadi dasar dari apa yang disebut sebagai desentralisasi ‘ledakan besar’ di Indonesia. Desentralisasi diharapkan bisa meningkatkan tanggung jawab atas penyediaan pelayanan publik dan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium oleh pemerintah daerah. Namun, memindahkan tanggung jawab atas penyediaan pelayanan ke pemerintah di tingkat yang lebih rendah bisa menjadi tidak produktif, jika tidak diikuti oleh desentralisasi keuangan untuk menopang tanggung jawab ini, yang biasanya disebut sebagai prinsip ‘keuangan mengikuti fungsi.’ Ini merupakan tantangan bagi suatu negara untuk merancang bukan hanya struktur desentralisasi yang efektif, tapi juga pembagian sumberdaya dan kekuasaan secara efektif ke berbagai tingkat pemerintah daerah. Selain itu, penting untuk dipastikan bahwa jumlah uang yang diberikan bisa menimbulkan pengaruh besar pada kinerja pemda (pemerintah daerah) dalam meraih tujuan desentralisasi. Desentralisasi tanggung jawab dana penyediaan pelayanan ke pemerintah daerah bisa menjadi tidak produktif jika tidak ada penataanulang keuangan untuk mendanai fungsi-fungsi ini (Alam, 2008). Literatur keuangan publik menganjurkan prinsip ‘keuangan mengikuti fungsi’ 127
Bagian D : Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
untuk menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal terjadi di sistem yang terpindahkan. ”Desentralisasi fiskal memerlukan pemindahan (devolusi) kekuasaan membuat keputusan agar menjadi bermakna, sedangkan pemindahan kekuasaan membuat keputusan memerlukan desentralisasi fiskal agar menjadi bermakna” (Devas, 2008). Inti dari prinsip ‘keuangan mengikuti fungsi’ adalah penugasan satu set fungsi yang dilengkapi dengan penugasan pendapatan asli (dari sumber sendiri) dan transfer. Desentralisasi fiskal terdiri dari beberapa elemen kunci. Salah satunya adalah keberadaan sistem transfer fiskal antar pemerintah yang dirancang dengan baik. Transfer diperlukan jika ketidakseimbangan vertikal dan horizontal terus ada, dan jika ada masalah karena pengaruh limpahan antar yurisdiksi, atau eksternalitas. Transfer bisa berupa hibah bersyarat dan/atau tak-bersyarat, tergantung tujuannya. Prinsipnya adalah bahwa transfer harus mencukupi untuk memastikan bahwa pemerintah daerah bisa melaksanakan fungsi yang dialihkan ke mereka; dan bahwa transfer harus membawa ke pengurangan ketidakseimbangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah.
8.3. Praktek Terkini Terkait Hubungan Fiskal Antar Pemerintah Tipe transfer fiskal antar pemerintah, menurut UU No. 33 (2204), terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Bagi Hasil Pendapatan Pajak dan Sumberdaya Alam. 8.3.1. Dana Alokasi Umum (DAU) Di negara berkembang dan negara transisional, ada kesenjangan yang besar antar kapasitas fiskal pemerintah daerah. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menciptakan rumus untuk menghitung kapasitas fiskal setiap pemerintah daerah. Kapasitas fiskal ini lalu dibandingkan dengan kebutuhan fiskal pemerintah daerah. Kemudian transfer fiskal dihitung untuk menutup atau mengurangi kesenjangan fiskal. Dalam hal ini, kesenjangan fiskal merupakan konsep utama karena setiap daerah memiliki kebutuhan fiskal yang berbedabeda. Kesenjangan fiskal dihitung untuk mendapatkan gambaran yang bisa menunjukkan seberapa besar kesenjangan antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal dari setiap pemerintah daerah. Karena itu, memperbaiki ketidakseimbangan horizontal tidak dilakukan untuk tujuan 128
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
meratakan pembagian transfer fiskal ke daerah, tapi untuk meratakan kapasitas fiskal agar setiap daerah bisa memenuhi kebutuhannya. Namun meratakan belanja aktual akan menurunkan usaha memperoleh pendapatan asli daerah dan membatasi belanja daerah karena, menurut sistem ini, daerah dengan belanja terbesar dan pajak terkecil mendapatkan transfer terbesar. DAU adalah dana alokasi umum yang diberikan dari anggaran pemerintah pusat (APBN) ke semua anggaran pemerintah daerah (APBD). Dana ini juga juga dipakai sebagai hibah penyetara untuk mengurangi ketidakseimbangan horizontal. Alokasi didasarkan satu set rumus. Rumus dasar terdiri dari unsur-unsur berikut: ‘alokasi dasar’ —yang merupakan nilai gaji karyawan pemda—dan penghitungan kesenjangan fiskal. Kesenjangan fiskal itu sendiri dihitung dengan jalan mengurangi kapasitas fiskal dengan kebutuhan fiskal. Penghitungan kebutuhan fiskal didasarkan pada komponen berikut ini: penduduk, wilayah permukaan, indek biaya harga, indek pembangunan manusia dan indek per kapita produk domestik regional bruto (PDRB). Sementara itu, kapasitas fiskal pemda terdiri dari pendapatan asli daerah dan bagi hasil. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemda adalah bahwa mereka harus menyerahkan APBDnya dalam batas waktu tertentu. Jika persyaratan ini tidak dipenuhi, maka transfer DAU akan ditunda. Persyaratan ini dimaksudkan untuk mendorong pemerintah daerah untuk menentukan anggarannya sebelum awal tahun anggaran berikutnya, agar waktu yang dipakai untuk menyerap dana menjadi lebih optimal. Persyaratan ini ditujukan untuk meningkatkan tingkat realisasi anggaran daerah, berdasarkan pada analisis bahwa salah satu alasan realisasi anggaran yang rendah adalah waktu yang tidak mencukupi untuk melaksanakan proyek atau kegiatan. 8.3.2. Dana Alokasi Khusus (DAK) Skema DAK adalah hibah tujuan khusus yang dialokasikan dari APBN ke pemerintah daerah tertentu dan program sektor tertentu. Tujuan utamanya adalah untuk membiayai investasi modal fisik dan pembiayaan periode terbatas untuk kebutuhan pemeliharaan dan operasional, sesuai dengan prioritas nasional. Pemerintah daerah juga diharuskan menyediakan dana pendamping senilai 10% dari total DAK yang 129
Bagian D : Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dialokasikan ke setiap sektor. Kriteria untuk DAK dibagi menjadi kriteria umum, khusus dan teknis. Kriteria umum mempertimbangkan kapasitas finansial pemerintah daerah, dan kriteria khusus menekankan karakteristik khusus wilayah daerah. Kriteria teknis lebih bersifat spesifik dengan pedoman pelaksanaan yang ditetapkan oleh kementerian utama. Karena pemerintah nasional menetapkan persyaratan yang jelas untuk pelaksanaan DAK, maka lingkup pemerintah daerah menjadi terbatas dalam memakai dana ini.30 Namun prinsip bottom-up berlaku selama proses alokasi DAK. Dalam proses ini, pemerintah daerah boleh mengusulkan program dan kegiatan yang sesuai dengan prioritas nasional. 8.3.3. Dana Bagi Hasil (DBH) Bagi hasil pendapatan merupakan sistem di mana beberapa sumber pendapatan nasional dibagi bersama pemerintah daerah, untuk tujuan mengurangi ketidakseimbangan vertikal. Tujuan ini adalah untuk menangani kesenjangan yang ada antara kekuasaan untuk memperoleh penerimaan (pendapatan) asli daerah dan tanggung jawab belanja yang diberikan ke pemerintah daerah. Tanggung jawab yang semakin besar dari pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi tertentu, menimbulkan kewajiban mereka untuk menyediakan anggaran yang memadai. Pemerintah pusat bisa memecahkan masalah ini melalui kekuasaan yang lebih besar untuk memperoleh penerimaan asli daerah atau pemberian transfer fiskal, termasuk transfer dari bagi hasil pendapatan. Transfer bagi hasil pendapatan dialokasikan berdasarkan pada perkiraan pendapatan tahun berikutnya, tapi transfer didasarkan pada pendapatan aktual yang diterima. DBH memakai campuran dua pendekatan untuk penghitungannya, yakni ‘menurut asal’ dan ‘menurut rumus.’ Sebagian besar bagi hasil pendapatan di Indonesia ditransfer sebagai block grant (hibah kelurahan/desa), yang memungkinkan pemerintah daerah untuk memakai diskresi mereka sendiri dalam memanfaatkan dana ini. 30 B. Brodjonegoro, J. Martinez, 2002. Analysis of Indonesia’s Fiscal Transfer System: Recent Performance and Future Prospects. Andrew Young School of Policy Studies. Disajikan dalam Konferensi: Can Decentralization Help Rebuild Indonesia? Georgia State University.
130
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
8.3.4. Bagi Hasil Pendapatan Pajak Beberapa pajak utama di Indonesia, seperti pajak pendapatan (perorangan dan perusahaan), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak properti (PBB) serta cukai, masih ditagih dan dikelola oleh pusat. Sebelumnya, hanya pajak pendapatan perorangan, pajak transfer hak atas properti (BPHTB) dan pajak properti dibagi bersama pemda. Sejak 2009, skema bagi hasil pendapatan cukai yang baru disertakan. Selain itu, pajak transfer hak atas properti dan pajak properti perkotaan dan perdesaan dialihkan ke pemda di tahun 2010; pajak properti akan dialihkan secara bertahap hingga 2014. Porsi untuk setiap tipe pajak ada bersama berbagai persentase untuk bagi hasil pendapatan. Bagi hasil terbesar dari satu sumber pendapatan untuk pemerintah daerah adalah dari pajak properti. Pemerintah daerah memperoleh 90% dari pendapatan aktualnya. Nilai 90% ini dibagi menjadi 16,2% untuk provinsi, 64,8% untuk daerah asal, dan 9% untuk biaya penagihan oleh kantor pusat dan daerah. Sisanya sebesar 10% semula diduga akan tetap di tingkat pusat, namun pusat mengalokasikan nilai ini ke pemerintah daerah: 6,5% dialokasikan secara merata ke semua pemerintah daerah dan 3,5% dipakai sebagai insentif untuk pemerintah daerah yang perolehan pajak properti aktualnya lebih besar daripada nilai yang dianggarkan. Sebelum tahun 2011, nilai terbesar kedua dari segi persentase adalah dari pajak transfer hak atas tanah (BPHTB) yang memberi pemerintah daerah 80%; dari persentase ini, 16% untuk provinsi dan 64% untuk kabupaten/kota, berdasarkan pada asal pendapatan. Namun pajak transfer hak atas properti seluruhnya dipindahkan ke kabupaten/kota menurut UU No. 28. Jadi, nilai terbesar kedua sekarang adalah dari pajak pendapatan perorangan yang 20%nya untuk pemerintah daerah asal pajak; dari persentase ini provinsi memperoleh 8%—kabupaten/ kota asal pendapatan mendapatkan 8,4% dan sisanya sebesar 3,6% dibagikan secara merata ke semua kabupaten/kota lainnya di provinsi yang sama. 8.3.5. Bagi Hasil Pendapatan Sumberdaya Alam Bagi hasil pendapatan sumberdaya alam diambil dari kehutanan, perikanan, pertambangan umum, serta minyak dan gas. Bagi hasil 131
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
pendapatan energi panas bumi baru-baru ini ditambahkan. Skema transfer dalam bagi-hasil seperti ini di Indonesia, memiliki sifat unik karena pemerintah pusat menetapkan dana yang disisihkan dalam transfer. Dana yang disisihkan ini adalah dana reboisasi —yang bernilai 40% dari pendapatan reboisasi untuk pemerintah daerah asal—dan tambahan sebesar 0,5% dari pendapatan minyak dan bumi, yang disisihkan untuk membiayai pendidikan dasar di pemerintah daerah. Selain itu, porsi bagi hasil pendapatan kehutanan dan pertambangan umum adalah 80% untuk pemda. Jika ini pendapatan produksi, maka 80% ini dibagi sebagai berikut: 16% untuk provinsi, 32% untuk kabupaten/kota asal dan 32% sisanya dibagikan secara merata ke kabupaten/kota lain di provinsi yang sama. Namun jika ini hanya ongkos izin eksploitasi, maka 80% tersebut dibagi sebagai berikut: 16% untuk provinsi dan 64% untuk kabupaten/kota asal. Mengenai minyak dan gas, pemda memperoleh persentase bagi hasil pendapatan yang lebih kecil. Bagi hasil pendapatan minyak yang diberikan ke pemda adalah 15% (3% untuk provinsi, 6% untuk kabupaten asal dan 6% dibagikan secara merata ke kabupaten/kota lain di provinsi yang sama); sedangkan dari gas, persentasenya adalah 30% (6% untuk provinsi, 12% untuk kabupaten/kota asal dan 12% dibagikan secara merata ke kabupaten/ kota lain di provinsi yang sama). Persentase ini tidak termasuk dana tambahan yang disisihkan seperti tersebut di atas. Walau persentasenya kecil, tapi jika dibandingkan dengan seluruh nilai uang yang diterima oleh pemerintah daerah, maka nilai bagi hasil pendapatan minyak dan gas adalah nilai terbesar di antara semua bagi hasil pendapatan dari sumberdaya alam. Selain itu, bagi hasil pendapatan minyak dan gas didasarkan pada pengaturan khusus. Pemerintah daerah di provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat diberi persentase bagi hasil tambahan sebesar 55% untuk minyak dan 40% untuk gas. Persentase tambahan ini diberikan karena status otonomi khusus mereka. 8.3.6. Dana Otonomi Khusus dan Transfer Lainnya Dana Otonomi Khusus diberikan ke hanya tiga provinsi, yakni Aceh, Papua dan Papua Barat. Dana ini diberikan menurut UU No. 11 (2006) dan UU No. 21 (2001), yang kemudian direvisi oleh UU No. 35 (2008). Kedua UU ini menyatakan bahwa 2% dari plafon DAU nasional 132
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
harus diberikan ke provinsi dengan status otonomi khusus. Dana ini sebagian besar untuk mendukung pendanaan infrastruktur tambahan di provinsi-provinsi tersebut. Selain itu, tipe transfer lain untuk semua pemerintah daerah kadang ada, tergantung kebijakan anggaran nasional yang berbeda-beda setiap tahun. Data historis terkait transfer antar pemerintah (bagi hasil pendapatan, DAU dan DAK) di Indonesia, dari 1995/1996 hingga 2008, bisa dilihat di Gambar 8.1. Data sebelum 2001 untuk DAU menyertakan subsidi dari Subsidi Daerah Otonom (SDO), dan DAK menyertakan subsidi untuk pembangunan daerah melalui Hibah Instruksi Presiden (Hibah Inpres). Gambar 8.1. Data Historis Terkait Transfer Antar Pemerintah dari 1995/1996 –2008* (miliar Rupiah)
Sumber: dihitung dari data Kementerian Keuangan.
*
Sebelum tahun 2000, siklus anggaran di Indonesia dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Di tahun 2000, siklus anggaran ini hanya berumur 9 bulan, dari 1 April hingga 31 Desember. Sejak tahun 2001, siklus anggaran dimulai dari 1 Januari hingga 31 Desember.
133
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Berdasarkan pada angka-angka tersebut, transfer antar pemerintah di Indonesia banyak meningkat setiap tahunnya, terutama setelah tahun 2001 ketika desentralisasi fiskal dilaksanakan. Porsi terbesar berasal dari DAU, dan DAK adalah porsi terendah dan tidak besar jika dibandingkan dengan lainnya. Bagi hasil pendapatan banyak meningkat selama era desentralisasi fiskal, karena provinsi yang kaya sumberdaya alam mendapatkan porsi pendapatan yang lebih besar dari sumberdaya alam, seperti minyak dan gas. Selain itu, sebagian besar provinsi di Jawa memperoleh pendapatan lebih besar dari bagi hasil pajak karena kegiatan ekonomi terkonsentrasi di Jawa. Sebelum desentralisasi fiskal, porsi terbesar transfer antar pemerintah dari DAK berasal dari ‘Inpres’ pendahulu DAK. Namun DAK adalah hibah bersyarat, jadi transfer ini disisihkan untuk tujuan tertentu. Sebaliknya, setelah desentralisasi fiskal di tahun 2001, porsi DAK banyak menyusut dan porsi yang berasal dari hibah DAU tak bersyarat menggantikan porsi dari DAK sebagai transfer antar pemerintah terbesar di Indonesia.
8.4. Pendapatan Pemerintah Daerah Pendapatan Pemerintah Daerah (pemda) dan sebagian besar terdiri dari transfer antar pemerintah (dana perimbangan) dan pendapatan asli daerah (PAD). Pemerintah daerah memiliki pendapatan dari sumber mereka sendiri dari pajak lokal, bea lokal, pendapatan dari aset daerah dan pendapatan lainnya. Jika perlu, mereka bisa juga menerbitkan obligasi. Komponen pajak lokal untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berbeda; pemerintah provinsi berwenang mengumpulkan pajak lokal yang menguntungkan, seperti pajak bahan bakar, pajak registrasi kendaraan, pajak transfer kepemilikan kendaraan, dan pajak air tanah. Sebaliknya, pemerintah kabupaten/kota hanya bisa mengenakan tujuh macam pajak lokal yang tidak menguntungkan: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak iklan, pajak penerangan jalan, pajak parkir dan pajak galian sirtu (pasir dan batu). Tabel berikut menunjukkan komponen pendapatan pemda sebelum dan sesudah desentralisasi. Kami temukan bahwa lebih dari 70% pendapatan mereka berasal dari transfer pemerintah pusat, jadi peran pendapatan asli daerah belum begitu besar. Walau hibah SDO dan Inpres—yang menjadi bagian terbesar dari transfer sebelum 134
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
desentralisasi—merupakan hibah bersyarat, tapi DAU—bagian terbesar dari transfer setelah desentralisasi—adalah hibah tak bersyarat. Sebaliknya, hibah bersyarat sejak desentralisasi, DAK, hanya menduduki porsi yang kecil. Selain itu, pendapatan lain di tahun 2011 meningkat, yang berasal dari dana otonomi khusus dan dana penyesuaian. Tabel 8.2. Pendapatan Pemerintah Daerah 1999/2000 dan 2011 (miliar Rupiah) Item Total Pendapatan
1999/2000
2011
40.912
100,0%
479. 098
100,0%
7.069
17,3%
90.393
18,9%
Pajak Daerah
5.044
12,3%
63.640
13,3%
Retribusi
1.215
3,0%
7.935
1,7%
176
0,4%
435
0,9%
633
1,5%
14.465
3,0%
31.113
76,0%
327.361
68,3%
PAD Pemda
Pendapatan Aset Yang Dipisahkan Pendapatan Daerah Lainnya Dana Perimbangan DBH SDO/DAU Inpres/DAK Pendapatan Lainnya
5.437
13,3%
76.358
15,9%
16.525
40,4%
225.717
47,1%
8.945
21,9%
25.287
5,3%
206
0,5%
61.344
12,8%
Sumber: dihitung dari data Kementerian Keuangan.
Kapasitas pendapatan berbeda antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Dibandingkan dengan pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi memperoleh lebih banyak pendapatan dari sumber mereka sendiri; mereka bisa mengumpulkan pajak-pajak lokal yang menguntungkan. Hingga kini, banyak pajak seperti pajak pertambahan nilai, pajak pendapatan dan pajak properti, dulunya dikendalikan oleh pemerintah pusat. Namun pajak properti akan dipindahkan ke pemda hingga 2014. Pemerintah pusat menentukan tingkat pajak maksimum dan pokok pajak lokal dan, akibatnya, pemda tidak banyak memiliki ruang untuk meningkatkan pendapatan pajak mereka. Tanpa memandang perubahan baru-baru ini terkait pajak properti, bisa dikatakan bahwa desentralisasi fiskal di sisi pendapatan belum semaju seperti yang terjadi di sisi belanja. Jika desentralisasi fiskal harus menjadi kenyataan, maka pemda harus mengendalikan pendapatan asli mereka ‘sendiri’ agar bisa membiayai belanja mereka secara memadai. Pemda yang kekurangan 135
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
sumber pendapatan yang independen tidak akan pernah bisa menikmati otonomi fiskal. Kemungkinan besar, pemda akan menjadi tergantung pada transfer antar pemerintah dari pemerintah pusat. Maka pertanyaannya adalah sumber pendapatan yang mana yang bisa dan harus ditugaskan ke pemerintah di tingkat daerah, dan bagaimana penugasan ini diberlakukan? Di tahun 2001, pendapatan asli pemda memberikan kontribusi hanya 5% ke total anggaran lokal, yang kemudian menjadi 7% di tahun 2009. Sejak 2009, Indonesia memakai sistem daftar tertutup, dan setiap tingkat pemerintah memiliki pajak yang ditentukan, agar pajak yang sama tidak dikenakan dua kali. Untuk memberdayakan pajak lokal, pemerintah pusat bisa memperluas obyek pajak lokal dan bea pengguna, meningkatkan tingkat maksimum, dan memberi pemerintah daerah diskresi untuk menentukan tingkat pajak. Mekanisme pengendalian preventif dan korektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sebagai fungsi peraturan perundang-undangan untuk memastikan bahwa pajak lokal sesuai dengan peraturan lebih tinggi yang ada. Di tahun 2009, pemerintah pusat memberlakukan UU mengenai pajak dan bea daerah, yang dikenal sebagai UU No. 28 yang menandai perubahan mendasar yang sangat strategis dalam desentralisasi fiskal. UU ini memiliki tujuan berikut: untuk memberi pemerintah daerah otonomi maksimum, untuk memberi lebih banyak wewenang atas perpajakan, untuk meningkatkan akuntabilitas penyediaan pelayanan dan administrasi pemda, dan untuk meningkatkan kepastian usaha. Perubahan mendasar menurut UU ini adalah peralihan dari sistem daftar terbuka (UU No. 34/2000) ke sistem daftar tertutup pajak dan bea, serta devolusi pajak properti (PBB dan BPHTB) ke kabupaten/ kota. Di bawah sistem daftar terbuka, pemda memiliki wewenang untuk menciptakan pajak baru. Banyak pajak lokal yang menimbulkan dampak buruk pada iklim usaha. Berdasarkan pada pengalaman internasional, sebagian besar negara berkembang melimpahkan urusan pajak properti ke pemerintah daerah. Pajak properti merupakan sumber pendapatan yang paling umum bagi pemda. Pajak ini ideal untuk pemda, karena properti tidak bisa berpindah tempat (tanah jelas tidak bisa berpindah-pindah). Pajak properti bisa menjadi sumber pendapatan yang stabil, pajak yang efisien dan bisa meningkatkan akuntabilitas dan transparansi lokal antar 136
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
pemerintah dan warganya. Kebijakan devolusi ini merupakan perubahan besar, mengingat Indonesia adalah negara yang besar dengan beragam kepadatan penduduk, wilayah geografis dan kondisi ekonomi di daerahdaerahnya. Berdasarkan pada UU ini, mulai 1 Januari 2011, pajak transfer hak atas tanah (BPHTB) menjadi pajak kabupaten/kota, dan pajak properti perkotaan dan perdesaan (PBB2) juga akan menjadi pajak kabupaten/kota pada tanggal 1 Januari 2014. Pada saat pemindahan PBB/BPHTB menjadi pajak kabupaten/kota, diharapkan pemerintah kabupaten/kota bisa mengoptimalkan pengumpulan pendapatan ini, dan memakainya sepenuhnya demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat mereka. Untuk melaksanakan pajak ini, pemerintah kabupaten/kota harus menyusun peraturan daerah, prosedur operasi standar (SOP) dan sistem basis data, yang bisa membantu dalam pelatihan sumberdaya manusia dan lembaga yang terlibat dalam pajak properti. Di bulan Agustus 2011 sebagai tahun pertama pelaksanaan BPHTB, 410 kabupaten/kota siap untuk menagih BPHTB mereka (83,3%) dan 79 kabupaten/kota menyusun peraturan daerah mereka (16,1%), sedangkan tiga kabupaten/kota belum menyusun peraturan daerah mereka. Beberapa pemda juga melaporkan bahwa mereka sudah melampaui target BPHTB mereka untuk tahun ini. Walau PBB akan menjadi pajak lokal pada tanggal 1 Januari 2014, tapi Surabaya telah mulai menagih PBB tahun ini, sedangkan 23 kabupaten/kota menegaskan bahwa mereka akan menagih PBB di tahun 2012. Ada 9 kabupaten/kota yang akan menjadi daerah percontohan devolusi PBB, agar kabupaten/kota lain bisa belajar dari pengalaman mereka. Namun, mungkin akan ada beberapa tantangan dalam pelaksanaan devolusi PBB dan BPHTB ke beberapa pemda, terutama pemda yang belum siap. Daerah yang relatif miskin akan kehilangan pendapatan mereka, karena mereka tidak akan memiliki akses ke bagi hasil pendapatan dari BPHTB dan PBB.
8.5. Pemekaran Pemerintah Daerah Euforia yang ditimbulkan oleh otonomi daerah di Indonesia membawa berbagai dampak pada masyarakat dan pemerintah. Salah 137
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
satunya adalah tuntutan yang semakin banyak diajukan untuk pembentukan pemerintah daerah baru, melalui pemisahan (pemekaran) dari pemerintah daerah yang ada. Salah satu tujuan desentralisasi adalah untuk membawa pelayanan publik lebih dekat ke masyarakat, terutama masyarakat di daerah terpencil, dan dengan demikian meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Proses pemisahan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 (2007). Menurut peraturan ini, tuntutan pemisahan daerah harus dimulai dengan keinginan masyarakat. Sejak tahun pertama otonomi daerah (2001) hingga 2010, 158 pemerintah daerah baru telah dibentuk melalui pemisahan dari pemerintah daerah yang lama (Tabel 8.3). Tabel 8.3. Hasil Pemekaran Daerah Pemda Baru
Tahun Provinsi
Kabupaten/Kota
Total
2001
-
12
12
2002
-
37
37
2003
1
49
50
2004
1
-
1
2005
1
-
1
2006
-
-
-
2007
-
25
25
2008
-
30
30
2009
-
2
2
2010
-
-
-
Total
3
155
158
Sumber: Kementerian Keuangan, diolah kembali.
Pemisahan ini bisa memberikan lebih banyak manfaat bagi daerah baru,31 seperti: (i) meningkatkan pelayanan untuk masyarakat; (ii) mendorong pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan; (iii) meningkatkan partisipasi dan kepemilikan masyarakat; (iv) meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya alam; (v) meningkatkan pemeliharaan keberlanjutan lingkungan; (vi) meningkatkan produktivitas regional, nilai tambah dan daya saing; dan 31 Tim Asisten Menteri Keuangan untuk Desentralisasi Fiskal, 2008, Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia, Jakarta.
138
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
(vii) meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak yang diinginkan dari pemisahan (pemekaran) ini berlawanan dengan kesimpulan yang diberikan oleh beberapa studi tentang masalah ini. Kegiatan ekonomi di daerah baru tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, bahkan dalam waktu lima tahun setelah pemisahan.32 Melihat ini, Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, mengungkapkan masalah ini dalam Rapat Pleno Khusus Dewan Perwakilan Daerah pada tanggal 23 Agustus 2006. Dia mengatakan bahwa pemerintahnya harus menata kembali konsep pemisahan pemerintah daerah. Kerangka peraturan perundang-undangan terkini memberi keuntungan keuangan (hibah) ke pemerintah daerah yang baru dibentuk, dari pemerintah daerah induknya dan pemerintah provinsi (dalam kasus kabupaten/kota terpisah menjadi dua atau lebih) di mana daerah baru berada. Dampaknya adalah bahwa pemerintah daerah baru menjadi sangat bergantung pada subsidi eksternal sejak awalnya. Ini juga melanggar Pasal 4 dan 5 PP No, 129 (2000) dan Pasal 6 ayat 1 PP No. 78 (2007), yang menetapkan bahwa kemampuan ekonomi, potensi daerah dan kapasitas fiskal merupakan persyaratan teknis yang harus dipenuhi untuk pemekaran. Jika persyaratan ini dipenuhi, maka daerah baru akan mampu menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan melaksanakan program pembangunan tanpa bergantung sepenuhnya pada subsidi dari luar. Selain itu, daerah yang baru dibentuk menerima hibah dari pemerintah pusat, sejak tahun pertama berdirinya dan tahun-tahun selanjutnya, seperti dana perimbangan. UU No. 32 (2004) memperbolehkan daerah baru untuk menerbitkan semacam ‘anggaran kecil’ karena, dalam tahun pertamanya, daerah baru belum memiliki pimpinan eksekutif atau dewan legislatif. Namun pilihan ini tidak memberikan hasil yang memadai. Hanya di tahun kedua setelah pemekaran, pemerintah daerah baru bisa sepenuhnya terbentuk. Meski begitu, umumnya dokumen perencanaan belum disusun di tahun kedua dan hibah yang diterima dikelola secara ad-hoc. Pemekaran juga memengaruhi porsi alokasi DAU untuk pemerintah32
Bappenas and BRIDGE-UNDP, 2008, Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 20012007, Jakarta.
139
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
pemerintah daerah. DAU, sebagai bagian mekanisme dana perimbangan, merupakan dana yang paling diandalkan oleh pemerintah daerah. Keberadaan daerah baru, dan daerah induk yang tersisa, memengaruhi alokasi DAU. Daerah baru menyerap lebih banyak dana dari alokasi DAU, jika dibandingkan dengan pemerintah daerah lain dalam tahun kedua setelah pemekaran, seperti terlihat pada Tabel 8.4. di halaman berikut. Tabel 8.4. Peningkatan Penyerapan Anggaran DAU per Daerah Baru dan Daerah Induk Sisanya Tahun
2003 2004 2005 2006 2009 2010 2011
DAU untuk
Peningkatan
Kabupaten/Kota
Anggaran
Total
Penyerapan
69.280,2 73.917,9 79.889,0 131.097,8 167.772,7 173.241,3 202.979,5
7.077,5 4.637,6 5.971,2 51.208,7 6.216,3 5.468,6 33.042,5
556,4 1.168,9 985,7 5.829,4 2.570,2 4.533,3 3.608,9
Persentase
7,9% 25,2% 16,5% 11,4% 41,4% 82,9% 10,9%
Sumber: Kementerian Keuangan, diolah kembali.
Di luar DAU, pemekaran juga membawa dampak pada DAK, instansi pemerintah yang didekonsentrasi, pelayanan publik dan pemindahan pegawai negeri. Karena nilai DAK, terutama untuk infrastruktur pemerintahan, meningkat setiap tahun, maka beban finansial dari anggaran pusat menjadi ikut meningkat. Masalah lainnya adalah pemindahan pegawai negeri sipil ke daerah baru. Dalam banyak kasus, pegawai ini tidak mau dipindahkan karena berbagai alasan. Ini mengakibatkan rekrutmen pegawai negeri sipil baru di daerah baru, jadi meningkatkan jumlah pegawai negeri sipil dan berlawanan dengan kebijakan pemerintah pusat. Selain itu, perlu secara efektif memantau kemajuan di daerah baru, untuk membuktikan apakah tujuan pemekaran, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat, telah tercapai atau tidak. Pemantauan ini ditujukan utamanya untuk mengungkap semua informasi mengenai ketepatan pemekaran. Jika evaluasi data pemantauan menunjukkan bahwa, dalam jangka waktu tertentu, tujuan yang ditetapkan tidak tercapai, yakni kemakmuran tidak meningkat, atau kriteria lain tidak 140
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
dipenuhi, maka pemerintah pusat boleh memutuskan untuk menggabungkan pemerintah daerah terkait kembali ke statusnya semula. PP No. 129 (2000) seperti yang telah diubah oleh PP No. 78 (2007) memperbolehkan tindakan ini, seperti halnya untuk beberapa pemerintah daerah di AS.33
8.6. Menemukan Solusi Tahun ini menandai ulang tahun kesepuluh dari pelaksanaan apa yang disebut sebagai desentralisasi ‘Ledakan Besar’ di Indonesia. Walau banyak pencapaian telah terwujud, tapi masih ada banyak masalah yang bisa memberikan pelajaran. Kebijakan telah meningkat jika dibandingkan dengan era pradesentralisasi—seperti tumpang-tindih beberapa peraturan spesifik sektor dalam kerangka peraturan perundangundangan untuk otonomi daerah. Terkait perihal ini, ‘Desain Besar’ desentralisasi fiskal, yang disusun oleh Kementerian Keuangan, mengidentifikasi aspek kekurangan dari beberapa kebijakan yang dijalankan serta sejumlah kebijakan yang efektif. 8.6.1. Reformasi Sistem Transfer Keuangan Antar Pemerintah Perlu dilakukan reformasi pada sistem transfer antar pemerintah yang ada saat ini, untuk memastikan bahwa ketidakseimbangan vertikal dan horizontal bisa banyak dikurangi. Salah satu hal yang harus dipertimbangkan adalah peran DAU dalam mengurangi ketidakseimbangan fiskal antar pemerintah-pemerintah daerah. DAU perlu disempurnakan dengan jalan merancang ulang rumusnya. Rumus DAU saat ini terdiri dari dua komponen: alokasi fiskal dan kesenjangan fiskal. Komponen yang disebutkan terlebih dahulu (alokasi fiskal) tidak menimbulkan dampak pada penyetaraan horizontal. Selain itu, komponen ini mengundang insentif untuk mempekerjakan pegawai negeri dalam jumlah yang berlebihan di tingkat daerah, jadi mengurangi mutu belanja lokal—seperti terlihat dalam belanja pegawai yang sangat tinggi—di banyak Pemda. Jika rumus DAU disusun ulang sebagai dasar bagi komponen yang disebut terakhir (kesenjangan fiskal), maka komponen ini bisa membantu meningkatkan penyetaraan horizontal. 33
George W. Hammond, and Mehmet S. Tosun, 2009, The Impact of Local Decentralization on Economic Growth: Evidence from U.S. Counties, Discussion Paper No. 4574, November 2009.
141
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Selain itu, perlu menanggapi disinsentif yang ada saat ini dalam rumus DAU, terkait dengan usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli mereka. Dalam menghitung kesenjangan fiskal, rumus ini memakai pendapatan asli daerah sebagai komponen kapasitas fiskal. Karena itu, pendapatan asli daerah yang meningkat mengurangi kesenjangan fiskal dan akhirnya mengakibatkan penurunan dalam alokasi DAU untuk pemerintah daerah. Ini bisa diwujudkan dengan jalan menyempurnakan sistem berbasis insentif dalam sistem transfer fiskal. Komponen bagi hasil pendapatan, sebagai alat untuk memperbaiki ketidakseimbangan vertikal, perlu beberapa penyempurnaan, khususnya yang berkaitan dengan penentuan waktu dan penyaluran. Beberapa kesulitan muncul dari sistem bagi-hasil pendapatan saat ini, yang dihitung berdasarkan pada pendapatan aktual, terutama di akhir tahun. Kadang ini mengakibatkan bagi-hasil pendapatan yang ditransfer setelah tahun anggaran terkait berakhir. Untuk masalah ini, pemerintah pusat akan merevisi sistem terkini, agar pemda bisa menerima pendapatan mereka secara tepat waktu. Mengenai DAK, perannya adalah untuk mendanai belanja proyek yang mendukung prioritas nasional di tingkat daerah. Walau memiliki peran ini, tipe transfer antar-pemerintah ini, yang pertama kali diperkenalkan di tahun 2003, relatif kecil porsinya dalam total transfer antar pemerintah. Untuk mendukung pengembangan sektor tertentu, maka perlu meningkatkan porsi DAK. Karena DAK adalah hibah yang disisihkan, maka dana ini paling cocok untuk mendukung pencapaian standar minimum dalam pelayanan publik tertentu di tingkat daerah, seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur (jalan, irigasi, saluran, air bersih). Alasan lain untuk revisi sistem transfer antar pemerintah adalah bahwa sistem ini telah menimbulkan dorongan untuk pemekaran daerah, karena daerah yang baru dibentuk akan memperoleh dana perimbangan di tahun pertama keberadaannya. Kebijakan yang layak adalah mengalokasikan dana perimbangan beberapa tahun setelah pembentukan daerah baru, atau memperketat kriteria pembentukan pemda baru. Seperti disebutkan sebelumnya, jumlah daerah baru yang dibentuk setelah pemberlakuan UU mengenai desentralisasi, adalah 158 daerah baru, termasuk tiga provinsi baru. Studi telah dilakukan untuk mengetahui 142
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
dampak pemekaran ini, melalui pengkajian peningkatan DAU antara provinsi dengan daerah baru dan provinsi tanpa daerah baru. Temuannya adalah bahwa provinsi dengan daerah baru memperoleh banyak peningkatan DAU selama 10 tahun terakhir, sedangkan provinsi tanpa daerah baru hanya menunjukkan peningkatan kecil selama dekade terakhir. Contohnya, Provinsi Bengkulu, dengan 6 daerah baru, menunjukkan banyak peningkatan dalam total DAU yang dialokasikan, yang mencapai 477%. Sebagai perbandingan, Provinsi Yogyakarta yang tidak memiliki daerah baru menunjukkan peningkatan yang hanya sebesar 216% dalam DAU yang dialokasikan ke semua pemda di dalamnya. Sistem transfer antar pemerintah harus membuang dorongan seperti ini. Tabel 8.5. Perbandingan Peningkatan DAU antara Provinsi dengan Daerah Baru dan Provinsi Tanpa Daerah Baru 2001 Provinsi
Total DAU Kab/Kota (miliar Rp)
2011
Jumlah Kab/Kota
Total DAU Kab/Kota (miliar Rp)
Jumlah Kab/Kota
Peningkatan DAU selama 10 tahun terakhir (%)
Bengkulu
527,15
4
3.044,16
10
477%
Kalimantan Tengah
881,09
6
5.536,94
14
528%
7.216,48
35
20.286,07
35
181%
857,32
5
2.710,42
5
216%
Jawah Tengah Yogyakarta
Sumber: Kemenkeu
8.6.2. Pengembangan Sistem Pendapatan Daerah yang Efisien dan Efektif Reformasi sistem juga menyertakan pengembangan pendapatan daerah yang efisien dan efektif, untuk membantu pemda dalam melaksanakan penugasan belanja mereka. Sistem pendapatan daerah yang baru, seperti yang ditetapkan oleh UU 28 (2009), banyak mengurangi pajak dan bea yang dikenakan oleh pemda. Menurut UU sebelumnya, ada ribuan pajak dan bea baru yang diciptakan oleh pemda. Situasi ini menyebabkan biaya administrasi yang tinggi untuk investasi dan menimbulkan dampak negatif pada pembangunan ekonomi lokal dan nasional. Berkaitan dengan penguatan sistem pendapatan daerah, 143
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
pemerintah pusat akan secara ketat memantau dan mengevaluasi proses devolusi pajak properti, walau masih ada waktu dua tahun bagi pemda untuk menyiapkan penagihan pajak baru yang dipindahkan ini. 8.6.3. Optimalisasi Kualitas Belanja Kualitas belanja daerah sangat mengkhawatirkan. Belanja jasa dan barang publik ditempatkan lebih rendah daripada belanja pegawai. Porsi belanja gaji yang berlebihan bisa dilihat dalam agregat anggaran daerah tahun 2011. Belanja gaji dan uang saku mencapai 44,5% dari anggaran tahunan pemerintah daerah, termasuk provinsi. Rata-rata belanja gaji dan uang saku untuk semua kabupaten/kota mencapai 51%. Belanja gaji di beberapa daerah bahkan mencapai 70%. Gambar 8.2 menunjukkan 20 pemda dengan belanja gaji terendah dan tertinggi. 10 Pemda dengan porsi belanja gaji dan uang saku tertinggi sebagian besar berada di Jawa. 10 pemda dengan porsi belanja gaji dan uang saku terendah sebagian besar adalah pemda yang baru dibentuk. Ini bisa dijelaskan oleh kenyataan bahwa daerah yang baru dibentuk sebagian besar tidak berbagi karyawan dengan daerah induk, karena karyawan umumnya tidak mau pindah ke ibu kota daerah baru. Jadi, daerah baru perlu merekrut karyawan sejak awal, sedangkan daerah induk memiliki pegawai negeri yang tertinggal dalam jumlah banyak yang tidak proporsional. Gambar 8.2. Rasio Belanja Gaji untuk Kabupaten/Kota
Sumber: Kemenkeu.
144
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
Peningkatan porsi belanja pegawai, seiring waktu, menyebabkan penurunan porsi belanja pembangunan dan penyediaan pelayanan. Walau pemerintah pusat memutuskan untuk memberlakukan moratorium rekrutmen pegawai negeri di tingkat pusat dan daerah, tapi ini hanya solusi jangka pendek. Jadi, solusi jangka panjang perlu ditemukan. Salah satu cara untuk memecahkan masalah ini adalah menetapkan porsi maksimum belanja pegawai, yang dibandingkan dengan total belanja. Namun solusi ini memerlukan waktu agar bisa terjadi karena beberapa pemerintah daerah, yang memiliki rasio belanja pegawai yang lebih besar daripada rasio yang diperbolehkan, perlu membuat beberapa penyesuaian, misalnya, penerapan laju pertumbuhan negatif/nol untuk total jumlah pegawai, atau pendekatan ‘jabat tangan emas’ (golden handshake) untuk mengurangi jumlah pegawai. Salah satu cara lain untuk menangani isu ini adalah menetapkan persyaratan minimum untuk belanja modal. Ini akan menjamin bahwa pemda memenuhi, walau hanya sebagian, kebutuhan mereka untuk belanja pembangunan, juga secara tidak langsung membatasi belanja mereka untuk gaji dan uang saku. Namun kebijakan ini perlu dikembangkan secara bijaksana dan rinci, karena belanja modal berbedabeda antar pemda untuk alasan yang berasal dari dalam atau dari luar.
8.7. Kesimpulan dan Rekomendasi Desentralisasi fiskal di Indonesia telah berjalan selama sepuluh tahun dan beberapa pencapaian telah terwujud, tapi masih ada ruang untuk menyempurnakan kebijakan desentralisasi Indonesia. Penyempurnaan ini harus sesuai dengan ‘Desain Besar’ Desentralisasi Fiskal yang disusun oleh Kementerian Keuangan. Untuk memastikan bahwa ketidakseimbangan vertikal dan horizontal bisa banyak dikurangi, maka sistem transfer antar pemerintah perlu direvisi. Penggantian rumus DAU penting artinya untuk menghapuskan alokasi dasar yang mendorong rekrutmen pegawai negeri dalam jumlah yang berlebihan di tingkat daerah. Komponen bagi-hasil pendapatan, sebagai alat untuk memperbaiki ketidakseimbangan fiskal, memerlukan beberapa penyempurnaan, terutama yang berkaitan dengan ketepatan waktu penyaluran dana. Yang terakhir, untuk mendukung pengembangan standar pelayanan 145
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
publik dasar di tingkat daerah, maka perlu meningkatkan porsi hibah DAK. Reformasi juga perlu menyertakan pengembangan sistem pendapatan lokal yang lebih efisien dan efektif, untuk mendukung pemda dalam melaksanakan penugasan belanja mereka. Kualitas belanja lokal telah menjadi masalah karena belanja yang berlebihan untuk gaji dan uang saku pegawai, jika dibandingkan dengan belanja untuk barang dan jasa publik. Solusi yang memungkinkan untuk masalah ini adalah menetapkan porsi maksimum belanja pegawai, atau porsi minimum belanja modal jika dibandingkan dengan total belanja.
146
9 Reformasi Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah Kenneth Brown
9.1. Pendahuluan Setelah transisi dari pemerintahan apartheid—di mana hanya masyarakat minoritas kulit putih yang bisa menjalankan hak demokrasinya—ke pemerintah demokratis sepenuhnya, Afrika Selatan mengalami proses desentralisasi fiskal untuk membentuk pengaturan kesatuan seperti saat ini, dengan banyak desentralisasi belanja. Namun proses desentralisasi di Afrika Selatan tidak seperti di sebagian besar negara lain. Negara demokratis yang baru ini harus secara bersamaan menggabungkan pemerintahan yang terpecah-pecah yang diciptakan oleh sistem apartheid, dan melakukan devolusi beberapa fungsi. Sistem antar pemerintah saat ini di Afrika Selatan berasal dari proses perundingan yang membawa ke Konstitusi Afrika Selatan yang bersifat sementara (interim). Tokoh politik utama dari Kongres Nasional Afrika (ANC), yang tidak lagi dilarang, dan Partai Nasional memulai perundingan resmi mengenai konstitusi di bulan Desember 1991. Proses ini kemudian harus dihentikan dan dimulai lagi berulang-kali ini, karena meningkatnya kekerasan dan ancaman kelompok separatis. Kekerasan dan keinginan tokoh politik utama untuk menghindari kekerasan, mendorong partai-partai politik untuk melakukan kompromi dan mencapai kesepakatan untuk memastikan bahwa proses ini bisa terus maju. Partai Nasional mengusulkan proses reformasi dua-tahap, yang semula ditentang oleh ANC tapi karena meningkatnya kekerasan, ANC 147
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
akhirnya menyetujui proses reformasi dua-tahap ini. Dalam situasi seperti ini, Konstitusi sementara disusun drafnya dan dengan demikian, benih sistem antar pemerintah saat ini mulai ditanam. Afrika Selatan 2011 adalah negara demokrasi konstitusional, dan persyaratannya disebutkan dalam Konstitusi 1996. Pemerintah Afrika selatan terdiri dari tiga tingkat pemerintah: pemerintah nasional, sembilan provinsi dan 278 kota. Parlemen Afrika Selatan terdiri dari Majelis Nasional dan Dewan Nasional Provinsi. Yang disebut pertama mewakili masyarakat negara ini dan yang kedua mewakili provinsi. Provinsi bertanggung jawab atas pelaksanaan peraturan perundangundangan nasional, dan setiap provinsi memiliki parlemen provinsi terpilih. Ada tiga kategori kota, dan wewenang legislatif dan eksekutif diberikan ke dewan kota. Sebagian besar pendapatan provinsi berasal dari transfer nasional, sedangkan sebagian besar pendapatan pemerintah daerah (pemda) berasal dari pendapatan sendiri dari bea pengguna dan pajak properti. Di bawah pemerintah apartheid, pemerintah Afrika Selatan mengakui empat negara bagian yang independen dan enam negara bagian yang memerintah diri sendiri. Niat pemerintah kulit putih adalah untuk mengasingkan warga kulit hitam ke tempat-asalnya. Tempat asal (homeland) ini mengenakan beberapa pajak penjualan umum dan pajak pendapatan, dan pemerintah Afrika Selatan mengenakan juga pajak yang sama di wilayah ini atas nama dan ditransfer ke tempat asal ini. Tempat asal bisa juga meminjam, dengan dukungan dari Bank Pembangunan Afrika Selatan yang dijamin oleh negara. Pengaturan ini menjamin bahwa tempat asal ini menjadi bergantung pada pemerintah Afrika Selatan. Kebanyakan warga kulit putih tinggal di Otoritas Lokal Putih (WLA) di salah satu dari empat provinsi. Provinsi mengenakan beberapa bea pelayanan tapi tetap bergantung pada pemerintah nasional untuk 80% lebih anggarannya. Pemerintah nasional memperoleh pendapatannya dari pajak pendapatan perorangan, pajak penjualan, tarif perdagangan dan cukai. WLA mengenakan pajak properti dan bea pelayanan. Warga hitam, yang tinggal di dekat dengan tempat kerja di pusat perkotaan, tinggal di Otoritas Lokal kulit Hitam (BLA) yang boleh mengenakan pajak dan bea pelayanan, tapi warga tidak mau membayar pajak. Dewan Layanan Regional mengenakan pajak pelayanan regional pada pengusaha, yang dipakai untuk investasi di BLA. 148
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
Transisi ke sistem antar pemerintah saat ini memerlukan penyatuan struktur tempat asal, provinsi dan otoritas lokal yang terpecah-pecah ini ke dalam sistem antar pemerintah gabungan, yang terdiri dari pemerintah nasional, sembilan provinsi dan pemerintah daerah, seperti yang diakui dalam Konstitusi Sementara 1993. Sumber pendapatan tempat asal diambil-alih oleh pemerintah nasional, dan perubahan kecil dibuat pada penugasan pendapatan provinsi. Pemda mengalami periode transisi dan kemudian proses redemarkasi (pemisahan ulang), yang diselesaikan dengan pemilu pemda di bulan Desember 2000 dan melahirkan sistem pemda seperti saat ini. Dalam anggaran 1998/99, pemerintah melaksanakan satu rangkaian mekanisme transfer antar pemerintah yang baru, yang strukturnya sebagian besar tidak berubah. Provinsi menerima jatah provinsi yang adil dan beberapa hibah bersyarat. Jatah yang adil ini adalah hibah tak-bersyarat, dan setiap jatah provinsi dihitung dengan rumus yang obyektif. Hibah bersyarat menyediakan dana untuk prioritas nasional, dan saat ini dipakai untuk prioritas sebagian besar sektor untuk infrastruktur dan tujuan operasional. Rata-rata provinsi menerima 96% pendapatannya dari transfer nasional. Transfer untuk kota distruktur dengan cara yang sama, walau pendanaan hibah bersyaratnya lebih cenderung dipakai untuk menangani kekurangan infrastruktur dan kebutuhan yang muncul akan infrastruktur kota. Secara keseluruhan, kota mengumpulkan sendiri 75% pendapatannya, tapi angka ini menyembunyikan banyak variasi karena 70% kota yang miskin memperoleh 75% anggarannya dari transfer nasional. Transisi yang dijelaskan di atas juga menyertakan penggabungan satu rangkaian lembaga yang terpecah-pecah ke dalam satu sistem antar pemerintah, penugasan fungsi dan penugasan pendapatan umum menurut Konstitusi, dan kemudian perancangan mekanisme transfer fiskal untuk menangani ketidakseimbangan fiskal. Tidak banyak devolusi penugasan pendapatan yang dilakukan, tapi berbagai macam instrumen fiskal diciptakan untuk menangani ketidakseimbangan fiskal. Makalah ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menjelaskan sistem antar pemerintah yang dipakai selama pemerintah apartheid dan transisi ke demokrasi, serta evolusi sistem fiskal antar pemerintah selama masa-masa ini. Banyak perhatian diberikan ke perundingan konstitusional dan rincian dua konstitusi, karena kerangka 149
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
fiskal antar pemerintah dicantumkan dalam Konstitusi Final 1996. Bagian kedua makalah ini memberikan lebih banyak rincian mengenai beberapa pelajaran utama yang bisa ditarik dari pengalaman Afrika Selatan. Kesimpulan singkat diberikan, yang mencakup juga prinsipprinsip utama yang menjadi dasar sistem.
9.2. Dari Apartheid ke Negara Kesatuan 9.2.1. Perpecahan dalam Sistem Apartheid Sebelum pemilihan demokrasi 1994, sistem fiskal Afrika Selatan ditentukan oleh pemisahan ras. Orang kulit putih menguasai 87% tanah Afrika Selatan yang penduduknya kurang dari 15%. Sebagian besar orang kulit putih tinggal di daerah perkotaan, di salah satu dari empat provinsi dan dalam masyarakat yang dikelola secara seolah-olah demokratis, yang diperintah oleh WLA. Provinsi bergantung pada transfer pusat dan bertindak sebagai pelaksana administrasi atas nama eksekutif nasional. WLA menyediakan berbagai macam pelayanan publik, yang sebanding dengan pelayanan publik di negara maju. WLA diberi penugasan pendapatan yang umum untuk pemda, dan pelayanan di daerah ini didanai sebagian besar oleh bea pengguna dan pajak properti. WLA bisa mendapatkan dana modal secara langsung dari pasar modal, dan jaminan dari pusat untuk pinjaman mereka. Secara resmi, warga kulit hitam diasingkan ke salah satu dari sepuluh ‘tempat asal,’ di daerah dengan potensi produksi yang terbatas dan jauh dari kota orang kulit putih. Sistem ini dijalankan melalui pemberlakuan ‘undang-undang izin masuk.’ Namun dalam kenyataannya, penduduk orang kulit hitam dalam jumlah yang besar selalu ada di daerah perkotaan. Tempat asal diberi beberapa tingkat otonomi politik dan ekonomi, tapi karena daerah ini adalah daerah buatan, maka daerah ini tidak menikmati otonomi ini. Ada empat negara bagian yang ‘independen’ dan enam daerah yang ‘memerintah dirinya sendiri.’ Walau daerah ini mengumpulkan pajak pendapatan dan pajak penjualan mereka sendiri, tapi mereka secara finansial bergantung pada transfer fiskal dari pemerintah pusat. Akses ke pasar modal memerlukan jaminan pusat, melalui Bank Pembangunan Afrika Selatan (DBSA). Karena kegiatan ekonomi dan bisnis terpusat di kota, maka permukiman orang kulit putih dibangun di pusat kota. Kotapraja ini 150
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
dibentuk dengan jarak yang jauh dari pinggiran kota orang kulit putih. Karena kepemilikan tanah dan hak usaha tidak diakui, maka kotapraja ini hanya memiliki sedikit potensi untuk memperoleh pendapatan. Dewan Layanan Regional mengumpulkan pendapatan dari kegiatan usaha dan mengalokasikan pendapatan ini ke daerah orang kulit hitam. BLA yang terpisah dibangun di daerah perkotaan, dan dijalankan dengan cara yang seolah-olah demokratis dan struktur yang murni rasialis. BLA sepenuhnya tergantung pada pemerintah nasional untuk pendapatan. Walau BLA memiliki wewenang untuk mengenakan pajak dan bea, tapi warga kulit hitam diberi hak yang terbatas atas properti dan bisnis dan tidak bisa memperoleh pendapatan yang memadai. Perlawanan banyak dilakukan dalam bentuk boikot terorganisasi, penolakan pembayaran pelayanan dan gerakan umum yang mengakibatkan pencabutan larangan untuk ANC. Pada saat transisi di tahun 1994, ada banyak sistem pemerintahan dan administrasi: (i) tiga administrasi terpisah yang meliputi orang kulit putih, orang India dan orang kulit berwarna lain; (ii) empat administrasi provinsi; (iii) empat ‘negara bagian yang independen’; dan enam teritori ‘yang memerintah diri sendiri.’ Provinsi merupakan lengan administratif dari Dewan Perwakilan, sedang sistem-sistem lain memiliki, paling tidak di atas kertas, eksekutif politik, administrasi pegawai negeri dan dewan legislatif masing-masing. Selain itu, ada otoritas lokal orang kulit hitam dan kulit putih serta Dewan Layanan Regional. Struktur hubungan antar pemerintah yang sangat tersentralisasi ini penting artinya untuk mempertahankan dan mengendalikan sistem apartheid. 9.2.2. Kompromi Politik dan Perundingan Konstitusional Sistem antar pemerintah Afrika Selatan yang ada dibentuk dalam Konstitusi Sementara 1993, termasuk pernyataan hak-hak manusia dan pembagian Afrika Selatan menjadi sembilan provinsi. Konstitusi ini juga menetapkan struktur pemerintah tingkat provinsi, nasional dan daerah (lokal), dan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan antartingkat. Pendekatan dua-langkah (Konstitusi Sementara dan kemudian Konstitusi Final) merupakan salah satu kompromi yang dibuat selama perundingan di awal 1990-an. Konstitusi ini tetap berlaku hingga 4 151
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Februari 1997, ketika Konstitusi Afrika Selatan 1996 seperti saat ini diberlakukan. Perundingan Konstitusi Sementara merupakan proses kompromi politik, dan secara bertahap menyeimbangkan keinginan ANC akan pemerintah pusat yang kuat dan keinginan masyarakat minoritas akan pemerintah subnasional yang kuat. Dari banyak segi, perundingan ini lebih penting daripada penyusunan Konstitusi Final. Pengadilan yang independen diberi tugas memastikan bahwa konstitusi yang baru memenuhi 34 prinsip. Ini adalah sesuatu yang sebagian masyarakat minoritas pergunakan untuk kepentingan mereka. Ironinya adalah bahwa Partai Nasional (yang memerintah selama masa apartheid) bersikeras menginginkan federalisme, sedangkan, selama era pemerintahan mereka, mereka melakukan segala yang mereka mampu untuk mempertahankan pemerintah pusat yang kuat. 9.2.3. Transisi dari Terpecah ke Sistem yang Menyatu Di bawah pemerintah apartheid, sumber-sumber utama pendapatan ditugaskan ke pemerintah pusat dan dikumpulkan secara nasional. Pendapatan ini meliputi pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai (PPN), bea impor, cukai, pajak bahan bakar dan pajak-pajak kecil lain. Pajak penghasilan dan PPN menyertakan penagihan atas nama negara bagian TBVC dan teritori yang memerintah diri sendiri. Pendapatan juga dialihkan ke negara bagian TBVC dari tagihan yang dilakukan oleh Bea dan Cukai menurut Perjanjian Serikat Pabean. Alokasi juga diberikan ke daerah-daerah ini, dari pajak bahan bakar dan penagihan pajak biasa. Dulu teritori di atas juga mengumpulkan pajak pendapatan mereka sendiri, PPN dan pendapatan yang tidak tercerminkan dalam anggaran nasional. Administrasi Urusan Sendiri dan Administrasi Provinsi mengumpulkan pendapatan sendiri dari bea dan ongkos pengguna. Di tahun 1990/91, pemerintah pusat bertanggung jawab atas 71% belanja pemerintah dan mengumpulkan lebih dari 80% pendapatan pajak. Departemen pemerintah yang terdiri dari hanya satu departemen nasional (misalnya, Departemen Urusan Luar Negeri) menyerahkan anggaran ke Departemen Belanja Negara untuk persetujuan. Dalam kasus departemen yang memiliki pendamping provinsi (misalnya, departemen kesehatan, pendidikan dan pembangunan sosial), komisi 152
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
fungsi mengoordinasi usulan anggaran dan membagi alokasi fungsi ke teritori nasional dan yang memerintah diri sendiri, negara bagian TBVC, Administrasi Urusan Sendiri dan Administrasi Provinsi. Pembayaran transfer juga dilakukan ke tingkat pemerintah lain, seperti otoritas lokal dan lembaga anggaran ekstra dan dana. Karena tidak adanya peraturan mengenai pembiayaan provinsi, maka proses anggaran yang berlaku untuk pemerintah nasional diperluas dengan menyertakan komisi fungsi, Komisi Anggaran Departemen Belanja Negara (yang sekarang bernama Komisi Perbendaharaan), Komisi Teknis Keuangan, Dewan Anggaran dan ‘forum antar pemerintah’ untuk menentukan transfer ke provinsi dalam anggaran 1996/97. Menurut Kajian Anggaran 1996, rekomendasi yang dibuat oleh komisi fungsi terkait pembagian jumlah dasar ke provinsi-provinsi utama untuk pertanian, pendidikan, kesehatan, pelestarian alam, jalan dan kesejahteraan, merupakan masukan yang penting dalam proses anggaran. Komisi fungsi umumnya berusaha menyeimbangkan tujuan distribusi sumberdaya secara adil ke provinsi-provinsi, dengan kebutuhan mempertahankan kelanjutan pelayanan. Penyesuaian harus dilakukan secara bertahap selama kurun waktu yang realistis. Dalam anggaran 1997/98 (anggaran pertama menurut Konstitusi 1996), untuk meratakan lapangan permainan di provinsi, biaya utang pembiayaan provinsi ditanggung oleh pemerintah nasional. Tahun ini merupakan tahun pertama provinsi menerima jatah mereka yang adil dalam jumlah bulat (lump sum), dan provinsi bisa memilih alokasi untuk program provinsi, dengan demikian memungkinkan mereka untuk menetapkan prioritas mereka sendiri dan membuat komisi fungsi tidak lagi berguna. Departemen provinsi tidak lagi bersaing memperebutkan dana dalam fungsi di provinsi-provinsi, tapi antar fungsi dalam provinsi. Perbendaharaan provinsi sekarang diwajibkan melaksanakan koordinasi provinsi, pemantauan dan fungsi pengendalian belanja. Transfer ke provinsi ditentukan oleh pemerintah berdasarkan pada rekomendasi yang dibuat oleh Dewan Anggaran (Kementerian keuangan dan dinas sejenis di provinsi), setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Komisi Keuangan dan Fiskal (FFC)—suatu organisasi independen yang dibentuk menurut kedua konstitusi di atas dan yang diwajibkan membuat rekomendasi yang adil untuk pemerintah mengenai masalah fiskal. Provinsi terus mendapatkan hibah yang disisihkan untuk pemda, 153
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
termasuk dukungan untuk 293 kota (yang dulu bernama teritori TBVC dan teritori yang memerintah diri sendiri). Di tahun 1998/99, jatah provinsi yang adil diberikan ke provinsi dengan memakai rumus pembagian adil untuk pertama kali. Pemerintah mengandalkan rekomendasi yang diberikan oleh FFC dalam menyelesaikan rumus ini. Mengingat ketidakadilan distribusi belanja ke provinsi, karena berbagai tingkat pelayanan yang diberikan ke berbagai macam ras, rumus tersebut membagikan sumberdaya dalam proporsi yang berbeda dari cara pembagian sumberdaya sebelumnya. Disepakati bahwa jatah yang diberikan dengan rumus ini akan diberikan secara bertahap selama lima tahun. Di bulan Juni 1998, jatah Pemda yang adil juga diberikan ke kotapraja secara langsung untuk pertama kalinya, dengan memakai rumus ini. Ini adalah pembagian pendapatan secara vertikal yang pertama seperti yang kami ketahui sekarang. Diperlukan waktu 18 bulan untuk menyelesaikan, bandingkan dengan 10 bulan yang sekarang diperlukan menurut UU (undang-undang) Hubungan Fiskal Antar Pemerintah. UU Hubungan Fiskal Antar Pemerintah (IGRFA), UU No. 97 (1997), menetapkan proses untuk mempertimbangkan isu anggaran antar pemerintah. UU ini menetapkan bahwa proses anggaran dimulai dengan pembuatan rekomendasi oleh FFC tentang pembagian pendapatan, 10 bulan sebelum dimulainya tahun anggaran. Menteri Keuangan kemudian diwajibkan berkonsultasi dengan provinsi, pemda dan FFC, terkait dengan usulan ini. UU ini menetapkan bahwa Dewan Anggaran dan Forum Anggaran (anggota forum anggaran plus pemda) memfasilitasi konsultasi masing-masing dengan provinsi dan pemda. Dewan Anggaran bertemu beberapa kali per tahun dan Forum Anggaran bertemu setiap tahun. Forum-forum ini membahas berbagai masalah anggaran, legislatif dan keuangan. Menteri diminta menyusun tabel Jadwal Pembagian Pendapatan pada saat penyusunan anggaran, yang menjelaskan alokasi ke setiap tingkat pemerintah dan persyaratan yang mungkin berlaku untuk alokasi ini. Selain itu, Jadwal Pembagian Pendapatan harus disertai dengan memo yang menjelaskan asumsi dan rumus yang dipakai untuk menentukan alokasi, juga bagaimana asumsi dan rumus ini menyertakan persyaratan konstitusional dan rekomendasi FFC. Dalam waktu enam tahun, sistem yang terpecah-pecah tersebut 154
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
berhasil disatukan menjadi sistem fiskal yang saling berkaitan dan tidak berubah banyak sejak itu.
9.3. Pembagian Pendapatan yang Adil Pasal 13 Konstitusi 1996 menangani transfer dari pemerintah nasional ke provinsi dan kota. Konstitusi ini mewajibkan bahwa UU Parlemen menetapkan pembagian pendapatan secara adil ke pemerintah tingkat nasional, provinsi dan lokal (kota). UU Pembagian Pendapatan (DORA) harus menetapkan juga jatah setiap provinsi yang adil dari pendapatan yang dikumpulkan secara nasional. Konstitusi menyebutkan daftar faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan pembagian pendapatan, yakni: • Kepentingan nasional; • Ketentuan tentang kewajiban pelayanan utang nasional dan kewajiban lain; • Kebutuhan dan kepentingan pemerintah nasional, yang ditentukan dengan kriteria yang obyektif; • Memastikan bahwa provinsi dan kota bisa menyediakan pelayanan dasar dan melaksanakan fungsi yang dialokasikan ke mereka; • Kapasitas fiskal dan efisiensi provinsi dan kota; • Kebutuhan pembangunan dan lainnya dari provinsi, pemda dan kota; • Perbedaan (disparitas) ekonomi di dalam dan antar provinsi; • Kewajiban provinsi dan kota menurut peraturan perundangundangan nasional; • Sifat diinginkan dan bisa diramalkan dari alokasi jatah pendapatan; dan • Kebutuhan keluwesan dalam menanggapi keadaan darurat atau kebutuhan sementara lain, serta faktor lain berdasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Faktor-faktor ini dinyatakan secara netral, yang memungkinkan pemerintah untuk mengartikannya sebagai penghargaan atau pengembangan. Contohnya, kapasitas fiskal dan efisiensi ekonomi provinsi dan kota bisa diartikan bahwa kapasitas fiskal dan efisiensi harus diberi penghargaan, atau bahwa sumberdaya tambahan harus mengalir ke 155
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
daerah dimana inefisiensi dan/atau kekurangan kapasitas fiskal terjadi. Konstitusi mengembangkan ”hak asasi manusia yang mendasar dan diterima secara universal.” Konstitusi sementara memakai susunan kata seperti ”setiap orang memiliki hak atas pendidikan dasar,” dan tidak menyebutkan sumberdaya yang tersedia; sementara itu, Konstitusi 1996 menetapkan bahwa negara secara bertahap harus mewujudkan hak-hak agar setiap orang memiliki ”hak untuk memperoleh,” hak dengan sumberdaya yang tersedia secara memadai. Ini membuat pemerintah meningkatkan akses ke pelayanan dengan sumberdaya yang ada. Konstitusi juga menyebutkan jumlah yang diinginkan untuk sumberdaya fiskal yang diterima oleh setiap tingkat pemerintah, selama pembagian pendapatan secara vertikal, yang harus dipertimbangkan dari sudut politik, dan susunan kata yang berarti bahwa pertimbangan ini tidak bisa ditentang. Jatah provinsi dan kota yang adil harus membuat mereka bisa mewujudkan hak-hak secara bertahap. Namun pemerintah nasional tidak diwajibkan memastikan bahwa jatah yang adil ini ‘cukup’ untuk menutup biaya pelayanan yang disediakan oleh provinsi dan kota. Ini adalah ciri penting dari pembagian pendapatan secara vertikal. Namun, ini tidak sama dengan pembagian horizontal. Sejak rumus jatah provinsi yang adil dipakai pertama kali di tahun 1998/99, pembagian yang adil dijelaskan secara rinci dalam memo penjelasan Jadwal Pembagian Pendapatan, yang disertai dengan anggaran nasional. Rumus jatah pemda yang adil dijelaskan dalam memo penjelasan sejak 1999/2000. Kedua rumus ini didasarkan pada kriteria obyektif dan memakai statistik resmi, survei umum rumah-tangga, perkiraan penduduk tengahtahun dan perkiraan PDB regional. Rumus jatah provinsi yang adil dimutakhirkan bersamaan dengan pendaftaran siswa sekolah umum setiap tahun. Rumus pemda memakai data dari sensus 2001 yang berkaitan dengan jumlah penduduk dan akses ke pelayanan dasar. Rumus ini memiliki beberapa komponen, dan dua di antaranya merupakan komponen pelayanan dasar dan komponen kelembagaan, dan tujuannya adalah untuk membantu kota dalam menyediakan pelayanan dasar dan menutup biaya administrasi. Kota yang miskin menerima jatah tambahan yang adil, jika dibandingkan dengan masyarakat yang tidak miskin. Selain itu, kota 156
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
ini mendapatkan berbagai hibah bersyarat. Tak lama setelah transisi, pemerintah nasional memutuskan untuk membantu belanja modal yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan dasar, dengan mensyaratkan bahwa kota harus menutup sebagian besar belanja pegawai mereka dengan pendapatan dari sumber mereka sendiri. Bagian pemda yang adil ditujukan untuk membantu kota dalam menutup belanja operasional pelayanan untuk warga miskin. Di sinilah letak pelajaran berharga untuk negara lain. Tidak satu pun dari kedua rumus di atas sempurna, tapi keduanya mencapai tujuannya sebagai instrumen bersifat langsung yang menghitung hibah tak bersyarat yang provinsi dan kota bisa tentukan sendiri prioritasnya. Dengan menerbitkan rumus dan sumber data setiap tahun, rumus dan alokasi yang dihasilkan tidak bisa dimanipulasi. Walau jumlah jatah yang adil, yang diberikan ke provinsi dan pemda, mungkin mengandung pertimbangan politik, tapi alokasi individual ke setiap provinsi dan kota merupakan proses teknik yang ditetapkan dan dilindungi oleh rumus. 9.3.1. Perubahan Konstitusi: Dampak pada Provinsi Mungkin kompromi terpenting dalam struktur sistem antar pemerintah menurut Konstitusi 1997, adalah pembentukan sembilan provinsi. ANC mungkin lebih suka kekuasaan yang tersentralisasi tanpa keberadaan provinsi, tapi ini adalah alat tawar-menawar kelompok oposisi, karena provinsi memberikan kemungkinan mengendalikan beberapa daerah di negara ini. Setelah pemilihan demokratis pertama di tahun 1994, tujuh dari sembilan provinsi dikendalikan oleh ANC. Perubahan ke kekuasaan provinsi dalam konstitusi sementara dan final menggambarkan cara bagaimana kekuasaan provinsi dibatasi, dan menunjukkan cara bagaimana politik kompromi terus memengaruhi strukturisasi kekuasaan. Konstitusi sementara memperbolehkan provinsi untuk membuat peraturan mereka sendiri. Konstitusi 1996 memperbolehkan kepala daerah provinsi untuk menjalankan wewenang eksekutif dengan jalan antara lain, melaksanakan semua peraturan perundang-undangan nasional di bidang-bidang fungsional yang menjadi tanggung jawab dan ditugaskan ke provinsi. Provinsi bisa juga melaksanakan peraturan mereka sendiri, tapi kompetensi provinsi 157
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
berpindah dari membuat peraturan sendiri ke melaksanakan peraturan nasional. Selain itu, Konstitusi 1996 memberi provinsi wewenang eksekutif hanya dalam kadar yang masih ”dalam batas kapasitas administratif yang dimiliki oleh provinsi untuk melaksanakan tanggung jawab secara efektif.” Dalam praktek, kapasitas administratif telah tercapai, tapi ayat ini banyak mengurangi kekuasaan provinsi. Jadwal 6 dari Konstitusi sementara memuat daftar ”kompetensi legislatif.” Dalam Konstitusi 1996, fungsi-fungsi ini dibuat menjadi ”kompetensi legislatif bersama provinsi dan nasional” dalam Jadwal 4, tapi dengan beberapa ”kompetensi eksklusif provinsi” dalam Jadwal 5. Fungsi-fungsi baru dicantumkan dalam Jadwal 5, dan beberapa dari fungsi ini jelas ditambahkan sebagai bagian pertukaran untuk mencegah tentangan terhadap konstitusi baru ini. Namun, hanya fungsi dengan makna politik yang kecil dicantumkan dalam Jadwal 5, seperti perpustakaan masyarakat, pejagalan dan izin minuman keras. Kedua konstitusi tersebut mencantumkan satu set faktor mengenai kapan peraturan perundang-undangan nasional bisa berlaku pada peraturan provinsi. Dalam konstitusi sementara, faktor ini berlaku pada semua fungsi provinsi. Dalam konstitusi final, satu set faktor yang berbeda berlaku untuk fungsi bersama, berbeda dari fungsi yang provinsi bisa kenakan kompetensi legislatif atasnya. Bagi pemerintah nasional, relatif mudah untuk campur-tangan dalam urusan provinsi jika provinsi tidak melaksanakan fungsi bersama secara efektif, tapi jauh lebih sulit jika provinsi tidak melaksanakan fungsi yang provinsi bisa kenakan kompetensi legislatif eksklusif atasnya. Dalam kasus kompetensi eksklusif, pemerintah nasional hanya bisa campur-tangan jika dirasa perlu untuk menjaga keamanan nasional, kesatuan nasional dan norma serta standar penting, dan untuk mencegah tindakan provinsi yang bisa membawa akibat buruk bagi provinsi lain atau negara secara keseluruhan. Konstitusi sementara memberi provinsi hak atas jatah pendapatan yang adil, yang dikumpulkan secara nasional—yang terdiri dari persentase pajak pendapatan, PPN atau pajak penjualan lain, dan pajak bahan bakar—yang masing-masing ditentukan oleh UU Parlemen. Jatah yang adil juga terdiri dari pajak transfer properti yang dikumpulkan secara nasional dan alokasi bersyarat dan tak bersyarat lain dari pendapatan nasional. Dalam kedua konstitusi tersebut, provinsi bisa 158
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
memperoleh sumber pendapatan lain sesuai peraturan perundangundangan nasional. Namun, walau konstitusi sementara menetapkan jatah provinsi yang adil sebagai jatah mati dari pendapatan tertentu, tapi Konstitusi 1996 tidak memberikan mekanisme yang sama. Perubahan ini berarti provinsi tidak bisa menuntut jumlah tertentu dari pendapatan nasional. Konstitusi 1996 menetapkan bahwa jatah setiap provinsi dari jatah provinsi yang adil harus ditentukan dalam UU parlemen, dan bahwa setiap provinsi menerima jatah yang adil dari jatah provinsi.
9.4. Penugasan Pendapatan Provinsi Konstitusi sementara memberi provinsi kompetensi legislatif eksklusif untuk mengenakan pajak atas kasino, perjudian, taruhan, lotre dan permainan, dan memperbolehkan provinsi untuk memperoleh sumber pendapatan lain. Kajian Anggaran 1999 meringkas rekomendasi utama dari komisi khusus pendapatan (Komisi Katz), terkait penugasan kekuasaan provinsi untuk memperoleh pendapatan – hal terpenting dari penugasan ini adalah ”perbedaan ekonomi antar provinsi bisa dikurangi dengan jalan memperluas kekuasaan untuk memperoleh pendapatan.” Bagi provinsi ada pertukaran antara pendapatan tambahan yang diperoleh dari bea tambahan, dan hilangnya pendapatan dari jatah provinsi yang adil tapi lebih kecil. Mengingat rumusnya bersifat redistributif, maka provinsi miskin mungkin akan tidak-diuntungkan. Sebagian besar belanja yang dilakukan oleh provinsi adalah untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Mengingat sifat dan manfaat yang baik dari belanja ini, maka ada alasan yang logis untuk pendanaannya, melalui mekanisme pendanaan redistributif. Alasan ini masih relevan di tahun 2011. Di tahun 2011/12, provinsi memperoleh pendapatan mereka sendiri melalui bea izin mobil dan pajak kasino, dan pajak kasino ditugaskan dalam konstitusi sementara. Tidak ada provinsi yang belum memperoleh sumber pendapatan lain dan pendapatan mereka sendiri, yang mencapai 4% dari total pendapatan provinsi di tahun 2011. Selama transisi, hanya perubahan kecil dibuat dalam penugasan pendapatan. Jika daerah TBVC dan teritori yang memerintah diri sendiri bisa dianggap sebagai tingkat menengah dalam pemerintah apartheid, maka tingkat menengah 159
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
kehilangan penugasan pendapatan selama masa transisi, karena sistem administrasi yang terpecah-pecah menurut ras dipadukan ke dalam satu sistem pemerintah tunggal yang nonrasial. Dari sudut pandang ekonomi politik, kurangnya penugasan pendapatan membatasi kekuasaan provinsi dan membuat pemerintah nasional bisa memastikan bahwa dana tersedia untuk kebijakan yang disepakati di tingkat pusat.
9.5. Menciptakan Pemerintah Daerah Bersatu dan Proses Pemisahan Seperti tingkat pemerintah lain, pemerintah kota di Afrika Selatan bekerja dengan cara yang berbeda-beda untuk beberapa macam kelompok ras selama masa apartheid. UU Transisi Pemerintah daerah, LGTA, 209 (1993) diberlakukan untuk menetapkan fase prasementara (1993 hingga 1995/96), dan selama masa ini dewan temporer ditunjuk untuk memerintah hingga Pemilu dan langkah-langkah sementara dijalankan selama restrukturisasi pemda (setelah Pemilu 1995/96). LGTA menetapkan sembilan dewan pemisahan yang dibentuk untuk menentukan batas-batas pemilu pemda di tahun 1995/96. Kota orang kulit putih diperluas dengan menyertakan daerah orang kulit hitam, dan kota diperintah oleh anggota dewan terpilih dan para wakil yang tidak dipilih. Pemilu 1995/96 menghasilkan pembentukan 843 kota, dan struktur berikut ini: (i) dewan transisional metropolitan dengan substruktur di daerah metropolitan; (ii) dewan transisional lokal untuk daerah perkotaan; dan (iii) dewan distrik untuk daerah perdesaan, yang dilengkapi dengan jaringan dewan perwakilan transisional dan dewan perdesaan lokal. Konstitusi 1996 menetapkan bahwa peraturan perundang-undangan harus menentukan kriteria dan prosedur untuk pemisahan batas-batas kota. Ini dijelaskan dalam UU Pemisahan Kota No. 27 (1998), yang menyebutkan pembentukan Dewan Pemisahan Kota dan menetapkan bahwa dewan ini harus menentukan atau menentukan kembali batasbatas kota, serta faktor yang harus dipertimbangkan selama pemisahan. UU Pemisahan Kota disepakati pada tanggal 24 Juni 1998, dan Dewan Pemisahan diberi tugas menyelesaikan proses pemisahan-ulang sebelum pemilu pemda, yang diselenggarakan pada tanggal 5 Desember 2000. Dewan ini menerbitkan dan menyempurnakan kerangka umum yang 160
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
menjelaskan faktor-faktor yang menentukan titik temu dan batas untuk Kategori A (metropolitan) dan C (distrik), dan secara terpisah untuk kota Kategori C (lokal). Dewan ini juga menerbitkan batas-batas kota dan melakukan konsultasi beberapa kali terkait batas-batas ini. Dewan menekankan bahwa kecermatan harus dipakai sebanyak mungkin agar setiap kota sesuai dengan prinsip-prinsip berikut: • Ada keterkaitan geografis (setiap kota harus menjadi satu kesatuan tunggal dengan kapasitas, identitas dan tujuan masyarakatnya); • Ada lingkup yang besar untuk pengembangan kapasitas (lingkup untuk pengembangan kapasitas administratif mereka sendiri); • Ada saling-berbagi sumberdaya (daerah yang lemah harus berpasangan dengan daerah yang kuat); • Kota harus bisa dikelola dari segi ukuran; dan • Ada fungsionalitas keuangan, administratif dan sosial yang lebih besar (pola perjalanan, pola interaksi sosial dan kesalingtergantungan ekonomi harus dipertimbangkan—dalam kasus kota metropolitan, karakter ekonomi metropolitan dan kepaduan ruang perkotaan juga harus dipertimbangkan). Selama proses pemisahan ulang, Dewan Pemisahan harus menangani sejumlah keberatan terhadap batas yang diusulkan, dan masih harus melakukan pengelolaan untuk mengurangi jumlah kota dari 843 menjadi 284 (6 Kategori A, 232 Kategori B dan 46 Kategori C) dalam waktu hanya satu setengah tahun. Beberapa rasio penyederhana, seperti jumlah orang per kota, harus dipakai untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip di atas diterapkan secara konsisten, dan proses konsultasi memastikan bahwa berbagai faktor dipertimbangkan, tapi tidak ada ketentuan yang jelas untuk kepaduan sosial dan politik yang harus dipertimbangkan. Pemilu kota pada tanggal 5 Desember 2000 mengakhiri pengaturan pemda sementara dan sistem pemda yang demokratis mulai dijalankan, yang merupakan sistem pemda yang benar-benar baru. Dewan Pemisahan memberikan beberapa pengamatan berikut: ”Dengan cara apa pun batas dibuat-ulang, karena kebanyakan bagian negeri ini tidak pernah memiliki pemerintah daerah dalam bentuk apa pun, maka hasil akhir proses pemisahan akan memberikan banyak kota tanpa akses ke sumberdaya manusia dan perkotaan lain.” Jadi 161
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
pemisahan ini menimbulkan sejumlah tantangan transisional. Kota harus mengeluarkan biaya perpindahan yang berkaitan dengan penggabungan, integrasi, perampingan staf dan mobilisasi-ulang, penyesuaian aset dan kewajiban; dan penyesuaian perjanjian, kontrak, rekening bank, investasi, asuransi dan integrasi sistem teknologi informasi. Untuk membantu kota dalam melalui transisi ini, pemerintah memberikan beberapa hibah pemda untuk menghadapi tantangan ini. Pemisahan kota yang baru untuk pertama kalinya memperkenalkan kotapraja dinding-ke-dinding, agar setiap rumah tangga di negeri ini menjadi bagian kotapraja dan, paling tidak dalam teori, berhak untuk memperoleh pelayanan kota yang sama. Ini adalah perubahan besar untuk rumah tangga di luar kota kecil dan kota besar, dan terutama untuk rumah tangga perdesaan di daerah yang dulu disebut tempatasal karena daerah ini tidak terhubungkan dengan pelayanan kota selama masa apartheid. Umumnya batas kotapraja berakhir di tepi kota kecil dan, sekarang di bagian termiskin dalam batas kotapraja, batas diperluas dengan menyertakan ratusan ribu rumah tangga yang tidak memiliki sambungan ke sarana air bersih, listrik atau jalan. Selain itu, sebagian besar rumah tangga ini masih tinggal di tanah yang diperintah dengan sistem kotapraja tradisional, yang telah dilembagakan oleh rezim kolonial di akhir 1800-an sebagai kotapraja tetap dengan pemimpin tradisional. Ini membuat kota seperti ini sulit untuk mengenakan pajak properti, dan membatasi kemampuan mereka dalam mengoptimalkan sumber pendapatannya. Umumnya rumah tangga terlalu miskin untuk membayar pelayanan, bahkan jika pelayanan diperluas ke mereka. Jadi, sistem yang baru menciptakan banyak sekali kewajiban penyediaan pelayanan untuk kota yang lemah, dengan membiarkan mereka menjadi sangat tergantung pada transfer pusat.
9.6. Pembentukan Pemerintah Daerah Buku Putih 1998 tentang pemerintah daerah mengawali proses perubahan yang intensif, untuk meningkatkan akuntabilitas kota, meningkatkan dampak pembangunan, merampingkan sistem, dan meningkatkan penyediaan pelayanan. Buku Putih ini menetapkan proses untuk menyusun kerangka legislatif yang menyeluruh untuk pemda. UU Struktur Kotapraja No. 117 (1998) menetapkan pembentukan kota, termasuk antara lain kategori dan tipe kota, kriteria untuk menentukan 162
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
kategori kota, pembagian fungsi dan kekuasaan ke kategori-kategori kota. UU Sistem Kotapraja No. 32 (2000) menetapkan ”prinsip, mekanisme dan proses inti yang diperlukan untuk membuat kota bisa meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi dari masyarakat lokal.” UU Pengelolaan Keuangan Kota (MFMA) No. 56 (2003) menetapkan ”pengelolaan urusan keuangan kotapraja dan lembaga lain secara aman, memadai dan berkelanjutan di tingkat pemerintah lokal, untuk menjalankan norma dan standar perbendaharaan untuk pemerintah tingkat lokal, dan untuk menetapkan masalah-masalah yang terkait.” UU Pajak Properti Kota No. 6 (2004) mengatur kekuasaan kota dalam mengenakan pajak. Peraturan perundangan-undangan terakhir yang spesifik untuk pemda adalah UU Fungsi dan Kekuasaan Fiskal Kota No. 12 (2007), yang mengatur cara kota mengenakan bea tambahan dan menetapkan otorisasi pajak dan bea yang boleh dikenakan oleh kota. Konstitusi memperbolehkan kota untuk mengenakan pajak atas properti dan bea tambahan atas pelayanan yang diberikan untuk atau atas nama kota, tapi konstitusi tidak memperbolehkan kota untuk mengenakan pajak pendapatan, PPN, pajak penjualan umum atau bea cukai. Peraturan perundang-undangan di atas memberikan kerangka yang komprehensif untuk pemerintahan kota. UU Sistem, UU Struktur dan UU Pajak Properti merupakan tanggung jawab menteri yang bertanggung jawab atas pemda, dengan Menteri Keuangan bertanggung jawab atas peraturan perundang-undangan lain yang tersisa. Dalam kerangka yang komprehensif ini, tidak ada duplikasi nyata, tapi ada banyak kesalingterkaitan. Contohnya, UU Sistem mengatur kebijakan pengendalian kredit dan isu yang berkaitan dengan sistem penagihan di kota. Sedangkan MFMA mengatur cara melaporkan pendapatan yang dikumpulkan sebagai akibat dari kebijakan ini dan melalui sistem penagihan. Karena itu, kebijakan dari kedua kementerian di atas perlu disesuaikan untuk memastikan bahwa praktek pengendalian kredit dan sistem penagihan bisa membawa ke pengelolaan keuangan yang berkelanjutan, yang memerlukan juga koordinasi antar dua kementerian yang kadang menyebabkan keterlambatan dalam pembuatan keputusan. Di lapangan, infrastruktur kota jauh lebih bagus di lingkungan orang kulit putih, daripada di daerah lain. Karena itu, suatu proses 163
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dimulai untuk meningkatkan belanja modal untuk infrastruktur air bersih, sanitasi dan listrik bagi masyarakat yang terpinggirkan. Kota menerima hibah infrastruktur agar kota bisa menangani kekurangan yang sifatnya sangat penting, dan jatah pemda yang adil ditujukan untuk menutup biaya operasional jika penduduknya terlalu miskin untuk membayar pelayanan ini. Pemda di tahun 2011 menghadapi banyak tantangan. Urbanisasi masih terjadi di kota-kota besar, yang menjadi pusat ekonomi negeri ini dan membentuk bagian terbesar dari PDB dan penduduk negeri ini. Namun ada juga konsentrasi masyarakat miskin yang besar di kotakota, yang tinggal di permukiman tak-resmi dengan tingkat akses yang berbeda-beda ke pelayanan dasar dan pelayanan lain. Walau menghadapi tantangan seperti ini, kota-kota ini secara umum layak dari segi keuangan; tapi kapasitas pengelolaan di kota banyak berbeda-beda. Di sisi lain ada kotapraja perdesaan yang miskin dengan pilihan terbatas untuk memperoleh pendapatan. Banyak kota seperti ini dikelola dengan buruk dan tidak bisa memenuhi kebutuhan warganya. Secara bertahap pemerintah menerapkan berbagai pendekatan untuk pendanaan pemda, yang mengakui bahwa kota harus dibantu sebagai mesin pertumbuhan ekonomi dan bahwa fokus yang diberikan ke kota miskin harus berkaitan dengan lembaga fungsional, bukan lembaga yang layak dari segi keuangan. Ada banyak ragam pelajaran penting yang bisa ditarik dari pemda di Afrika Selatan, tapi mungkin yang paling penting adalah bahwa sistem yang efektif dan lembaga yang kuat adalah landasan penting, dan di atas landasan penting ini sistem transfer yang dirancang dengan baik mungkin bisa mencapai tujuan kebijakan (perlu tapi tidak harus memadai). Namun mekanisme transfer yang dirancang dengan baik tidak mungkin membuat lembaga yang kuat muncul. Jika tidak ada lembaga yang kuat, maka penguasaan oleh kelompok elite akan mudah terjadi.
9.7. Pelajaran yang Didapat 9.7.1. Fungsi dan Proses Fiskal dalam Perundangan-undangan: Pro dan Kontra Melekatkan proses fungsional dan fiskal ke dalam peraturan 164
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
perundang-undangan memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan struktur dan proses penting dilekatkan ke dalam konstitusi dan mendukung peraturan perundang-undangan sampai tingkat tertentu, yang mungkin tidak biasa menurut standar internasional. Ini memiliki sisi positif dan negatif. Di sisi positif, tindakan ini memastikan bahwa perubahan tidak dilakukan secara sembarangan atau karena tekanan masyarakat. Jatah yang adil juga terlindungi dari campur-tangan politik, dan tidak menyertakan kebutuhan akan pembuatan keputusan politik terkait jatah yang harus diterima oleh setiap provinsi atau kota dari transfer nasional. Dengan demikian, proses alokasi menjadi transparan dan efisien. Di sisi negatif, legalitas memperlambat evolusi sistem secara alami, karena perubahan memerlukan pergantian legislatif. Peraturan perundang-undangan tidak menghentikan evolusi sistem, tapi hanya memperlambatnya: provinsi bisa memperoleh sumber pendapatan lain jika disetujui oleh peraturan perundang-undangan nasional, dan fungsi bisa dipindahkan ke kota jika disetujui oleh peraturan perundangundangan nasional, dan seterusnya. Namun, agar setiap proses ini bisa berjalan, maka proses yang cukup memakan banyak tenaga harus diikuti, yang mensyaratkan kapasitas administratif dan sektoral, dan usaha untuk menerapkan perubahan substantif akan sering menghadapi tantangan. Saat ini ada kesepakatan yang menyebar luas bahwa fungsi perumahan harus didesentralisasi ke kota dengan kapasitas untuk melaksanakan fungsi perumahan. Dalam konstitusi, perumahan ditugaskan ke provinsi tapi peraturan perundang-undangan perumahan menetapkan bahwa seluruh fungsi ini harus dipindahkan ke kota. Walau pemerintah nasional telah melakukan banyak usaha untuk membuat provinsi mau memindahkan fungsi ini, tapi provinsi tidak melakukan ini karena akan menyebabkan mereka harus menyerahkan beberapa kekuasaan mereka. Dalam anggaran 2011, untuk mempercepat proses ini, pemerintah nasional memberikan hibah perumahan langsung ke kota metropolitan, bukan provinsi walau provinsi tetap membandel. Di tahun 2011 debat seru terjadi mengenai cara mendanai kota praja perkotaan dan perdesaan. Tidak ada satu pun kesepakatan tercapai mengenai definisi ‘perkotaan’ dan ‘perdesaan’ atau kriteria yang bisa diterapkan. Pemerintah mengakui bahwa pendekatan yang berbeda 165
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
diperlukan untuk kotapraja perkotaan dan perdesaan; namun pendekatan ini bersifat ad-hoc dan kekurangan kerangka yang jelas. Pencantuman beberapa hak ke dalam konstitusi berarti bahwa rumus jatah pemda yang adil hanya bisa memakai pertimbangan yang dianggap tepat dan tidak menimbulkan tantangan. Contohnya, rumus jatah provinsi yang adil memiliki komponen ‘kelembagaan’ yang dibagi secara adil ke semua provinsi dan menangani biaya unit yang di atas rata-rata, yang mungkin harus dikeluarkan di daerah perdesaan. Jatah ini juga memiliki komponen bagi-hasil pendapatan untuk memberi provinsi penggantian biaya karena memiliki ekonomi yang besar. Karena itu, dengan tidak adanya definisi ‘perkotaan’ dan ‘perdesaan’ yang disepakati, maka pemerintah menangani berbagai kebutuhan dengan cara yang tidaklangsung. 9.7.2. Kesederhanaan Menciptakan Efisiensi Provinsi memperoleh transfer tak-bersyarat melalui jatah provinsi yang adil dan berbagai tipe hibah bersyarat. Struktur ini tercerminkan di kota, kecuali bahwa kota metropolitan memperoleh jatah pajak bahan bakar, ditambah jatah mereka sendiri dan hibah bersyarat. Kantor Perbendaharaan Nasional harus berkonsultasi dengan departemen nasional dan provinsi ketika menyelesaikan jadwal pembayaran transfer ini, yang disepakati sekali setiap tahun. Karena itu, provinsi mengetahui arus kas yang masuk untuk 95% anggaran mereka di awal tahun dan, dengan demikian, bisa merencanakan belanja mereka. Kesederhanaan transfer, didukung dengan sifat dasar sistem pembayaran, melahirkan sistem yang sangat efisien. Provinsi bisa merencanakan dan mengalokasikan anggaran dengan kepastian dan fleksibilitas. Jadi ada kelebihan dari menyederhanakan sistem transfer sebanyak mungkin, tapi ini memerlukan pelaksana kebijakan yang paling tidak harus menerapkan pendekatan sistem untuk keseluruhan perencanaan mereka. Sayangnya, sebagian besar provinsi dan departemen nasional belum melakukan pergeseran dari sudut pandang sistem ke paradigma pengelolaan sumberdaya yang baru ini, agar bisa mewujudkan dampak seperti yang diperkirakan dalam kerangka peraturan perundangundangan. Malah tampaknya, provinsi seperti macet di tengah jalan dan menginginkan diskresi untuk mengalokasikan, serta meminta pemerintah nasional untuk memberikan dan menyisihkan sumberdaya 166
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
yang memadai untuk fungsi-fungsi tertentu. Sistem transfer melahirkan mekanisme akuntabilitas yang lemah di tingkat provinsi, dan ini memungkinkan tokoh politik untuk memakai diskresi untuk mengalokasikan sumberdaya ke proyek yang dia sukai tapi bukan fungsi inti provinsi, juga membiarkan para administrator melakukan penunjukan personel yang tidak perlu secara berlebihan, lalu menyatakan bahwa alasan kenapa tumpukan pekerjaan tidak ditangani adalah karena dananya tidak mencukupi. 9.7.3. Peraturan Memperkuat Pengelolaan Keuangan UU Pengelolaan Keuangan Publik (PFMA) diberlakukan pada tanggal 1 April 2000. UU ini mengatur pengelolaan keuangan dan persyaratan pelaporan pemerintah, serta banyak memperbarui penganggaran dan pengelolaan keuangan. Tujuan utama UU ini bisa diringkas sebagai berikut: (i) modernisasi sistem pengelolaan keuangan di sektor publik; (ii) memberdayakan pengelola sektor publik dan, di saat yang sama, membuat mereka menjadi lebih akuntabel; (iii) memastikan penyediaan informasi mutu yang tepat waktu; dan (iv) memberantas pemborosan dan korupsi dalam penggunaan aset publik. Sesuai dengan konstitusi, PFMA memberikan kekuasaan dan tanggungjawab substantif ke kantor Perbendaharaan Nasional yang baru, serta transparansi dan pengendalian belanja di semua tingkat pemerintah dan keharusan untuk patuh pada langkah-langkah ini. PFMA menetapkan pembentukan perbendaharaan provinsi dan mewajibkan lembaga ini untuk melaksanakan UU ini di provinsi mereka. PFMA memperinci persyaratan pelaporan anggaran provinsi, dan membuat kantor perbendaharaan nasional bisa menentukan format anggaran dan pelaporan dengan pembukuan standar yang sesuai dengan standar GFS, IMF. PMFA membuat kantor Perbendaharaan Nasional bisa menganalisis dan menyelidiki anggaran/pengelolaan keuangan dan, dalam persyaratan pelaporan tahunan, memberikan peringatan dini untuk belanja yang berlebihan. Seandainya PFMA dilaksanakan di tahun 1996, maka krisis belanja 1997/98 kemungkinan besar tidak akan terjadi. PFMA dan UU Pengelolaan Keuangan Kota (MFMA) memberlakukan persyaratan pelaporan di semua tingkat pemerintah, yang penting artinya untuk informasi anggaran yang bisa dipakai untuk pemantauan 167
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dan evaluasi belanja. Pimpinan politik di banyak provinsi berubah setelah Pemilu nasional dan provinsi di tahun 2009, dan kurangnya pelembagaan PFMA terungkap karena masalah keuangan yang terus terjadi di banyak provinsi. Awalnya, ini tampak pada belanja yang berlebihan untuk sebagian besar pos belanja di sebagian besar departemen. Dalam informasi belanja terkini untuk tahun anggaran 2010/11, masalah ini tampak pada belanja yang berlebihan untuk gaji dan belanja yang minim untuk apa pun yang diperlukan agar bisa menyediakan pelayanan. Pemerintah yang sedang mengalami proses desentralisasi bisa meningkatkan kemungkinan keberhasilan desentralisasi, dengan jalan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang menetapkan banyak persyaratan dasar dari PFMA dan MFMA, terutama dalam kaitannya dengan penyusunan anggaran dan pelaporan belanja. Namun pelajaran utama yang muncul adalah tentang pentingnya membangun kapasitas organisasi yang memadai untuk melaksanakan undang-undang. Adalah kemampuan orang yang memakai sistem ini dan sejauh mana sistem dilekatkan pada proses organisasi, yang menentukan mutu dan kegunaan informasi yang dihasilkan. Pelembagaan sistem bisa juga menjamin kelanjutan proses setelah pergantian pimpinan. 9.7.4. Perlunya Meningkatkan Pendapatan Pajak Selama transisi, komisi fungsi sibuk mengurusi tugas mengalokasikan dana secara adil dengan berbagai cara, tapi umumnya dengan pertimbangan untuk menyeimbangkan antara tujuan distribusi sumberdaya secara adil ke semua provinsi dan kebutuhan mempertahankan kelanjutan pelayanan serta menahapkan penyesuaian dalam batas waktu yang realistis. Kemampuan Afrika Selatan untuk meningkatkan pendapatan pajak, setelah transisi ke era demokrasi, sama mengejutkan dan menakjubkan seperti transisi politiknya. Ada dua ciri utama dari reformasi sistem pajak, yang berharga untuk dicatat. Pertama, pemerintah membentuk komisi Katz yang, selama tahun 90-an, menyusun sejumlah rekomendasi dan usulan terkait penugasan pajak dan pendapatan yang baru. Kedua, kantor Pelayanan Pendapatan Afrika Selatan (SARS) dibentuk dengan peraturan perundang-undangan untuk mengumpulkan pendapatan dan memastikan kepatuhan pada UU perpajakan. Ini adalah lembaga negara yang 168
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
memiliki otonomi administratif. Rezim pajak Afrika Selatan disusun secara kolektif oleh kantor Perbendaharaan Nasional dan SARS. Kajian anggaran 1997 melaporkan pengumpulan pendapatan senilai R145,8 miliar, atau sekitar 24% PDB. Di tahun 2005/06 pengumpulan pendapatan meningkat menjadi R495 miliar dan, dalam kajian anggaran terkini, pengumpulan pendapatan untuk 2010/11 mencapai R755 miliar. Ruang napas fiskal yang diciptakan oleh pertumbuhan pendapatan yang cepat, penting artinya untuk menutup kesenjangan yang muncul selama transisi dan untuk memastikan bahwa sistem yang terpecahpecah bisa digabungkan menjadi sistem kesatuan. Kenaikan dalam beberapa pengeluaran, seperti untuk utang provinsi dan biaya personel, bisa menyebabkan sistem keluar dari jalurnya. Peningkatan pendapatan berarti bahwa pemerintah dapat terus menyediakan pelayanan dan menangani isu perbaikan yang penting dari segi politik. Menteri Keuangan yang sama bekerja dari 1996 hingga 2009, dan komisaris SARS yang sama menduduki jabatan ini dari 1999 hingga 2009. Kedua orang ini diakui sebagai pemimpin yang hebat, dan stabilitas dan keberlanjutan yang mereka bawa ke dalam Kementerian Keuangan memberikan banyak kontribusi ke keberhasilan yang telah dicapai. Kantor Perbendaharaan Nasional dan SARS diakui oleh media lokal dan internasional sebagai organisasi yang efektif dan dikelola dengan bagus. 9.7.5. Keraguan: Menumbuhkan Kecepatan atau Menciptakan Kebingungan? Rumus jatah provinsi yang adil dikaitkan secara longgar dengan kinerja provinsi. Kombinasi komponen dan pertimbangan yang ada dalam rumus ini dikaitkan dengan fungsi provinsi. Namun hanya kinerja yang benar-benar diberi penghargaan, atau diganjar hukuman, secara finansial jika ada perpindahan ke dalam atau ke luar provinsi. Pemerintah nasional menyediakan sumberdaya bagi provinsi untuk dipakai menangani prioritas tertentu di sektor tertentu. Jika sumberdaya disediakan melalui hibah bersyarat, maka persyaratan yang berhubungan dengan pemakaian uang harus jelas. Jika penambahan dilakukan pada jatah provinsi, yang sering untuk fungsi bersama, maka setiap provinsi diberi informasi mengenai berapa banyak provinsi akan menerima untuk prioritas tertentu, dan provinsi diharapkan mengalokasikan dana ini 169
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dalam anggaran mereka, walau mereka jelas memiliki diskresi terkait cara pengalokasian dana ini. Konstitusi menciptakan kerangka komprehensif untuk peran dan tanggung jawab atas fungsi bersama. Kerangka yang komprehensif ini memungkinkan setiap sektor untuk mengembangkan dan menjalankan peraturan perundang-undangan serta mekanisme pendukung, yang berhubungan dengan kebutuhan tertentu dari sektor mereka. Sektor bisa memilih cara untuk menggabungkan belanja dan norma masukan lainnya dengan standar kinerja, sesuai dengan sifat dasar kebijakan dan fungsi mereka. Sektor dengan departemen nasional yang kuat bisa memakai konstitusi, dan peraturan mereka sendiri, untuk memastikan kesesuaian antara kebijakan nasional dengan program provinsi, dengan jalan menetapkan dan memberlakukan norma-norma yang relevan. Sektor yang tidak membuat peraturan sendiri dan/atau tidak mengembangkan kapasitas untuk membantu dan mengawasi provinsi, menimbulkan kegamangan dan kebingungan mengenai peran dan tanggung jawab dalam fungsi mereka. Dalam kasus seperti ini, provinsi bisa memainkan permainan anggaran dan mengembalikan tanggung jawab ke departemen nasional, dengan menyatakan bahwa dananya kurang, mandatnya tidak jelas dan pendapatan sendiri kurang. Bahkan jika departemen nasional memberikan penawaran anggaran dan menjamin bahwa sumberdaya tambahan akan ditambahkan ke jatah provinsi, tapi hanya sedikit yang bisa dilakukan oleh departemen nasional untuk membuat provinsi mau bertanggung jawab, jika mereka tidak memiliki kerangka kebijakan mereka sendiri dengan norma dan standar yang jelas. Ini menimbulkan ketegangan antar tingkat-tingkat pemerintah, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. Banyak peran pemerintah bermain, di semua tingkat pemerintah, menganggap fungsi bersama sebagai sebab masalah penyediaan pelayanan. Selain itu, ketegangan terjadi antara departemen nasional dan provinsi, terkait tingkat pendanaan untuk prioritas yang ditentukan di tingkat nasional dan fungsi bersama, dan konstitusi sering kali disalahkan. Masalah ini bukan diciptakan oleh sistem, tapi oleh penerapan aturannya. Narasi konstitusi juga tidak mempertimbangkan bahwa: (i) Bab 125 Konstitusi memberi provinsi wewenang eksekutif sejauh provinsi 170
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
memiliki kapasitas untuk melaksanakan tanggung jawab secara efektif; dan (ii) Bab 156 Konstitusi mewajibkan pemerintah nasional untuk menugaskan fungsi, yang saat ini ditugaskan ke provinsi, ke kota jika fungsi ini bisa dijalankan secara paling efektif di tingkat lokal, dan kota memiliki kapasitas untuk menjalankan fungsi ini. Karena itu, konstitusi menetapkan bahwa prinsip percabangan tambahan (subsidiarity) harus diterapkan, tanpa memandang fungsi ditugaskan ke siapa dalam konstitusi. Namun beberapa fungsi— perumahan misalnya—telah ditugaskan secara tidak tepat ke provinsi, dan pemerintah nasional sedang melaksanakan langkah-langkah untuk menugaskan fungsi ini ke kota yang memiliki kapasitas untuk menjalankan fungsi ini. Untuk menanggapi ketegangan tersebut di atas, pemerintah nasional cenderung mensentralisasi fungsi. Di tahun 2005, fungsi bantuan sosial dipindahkan dari provinsi ke pemerintah nasional. Provinsi menyediakan produk yang sama sekali berbeda, dan belanja mulai mendesak ke luar anggaran provinsi. Untungnya pada waktu itu, pengumpulan pendapatan meningkat dan karena itu pemerintah memiliki ruang fiskal untuk mengalihkan fungsi ini antar tingkat-tingkat pemerintah, tanpa menjadi terlalu kacau. Di tahun 2011, Departemen Kesehatan Nasional mengeluarkan buku hijau (dokumen pembahasan resmi pertama mengenai suatu kebijakan) tentang Skema Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) yang diusulkan. Buku hijau ini mengusulkan bahwa provinsi harus melakukan akreditasi rumah sakitnya dan bersaing memperebutkan dana NHI dengan rumah sakit lain yang sudah terakreditasi. Jika skema ini dilaksanakan dalam bentuk ini, maka provinsi harus menarik kembali, dalam agregat, 28% dari total anggarannya dan mendapatkan kembali dana ini melalui persaingan. Jika provinsi tidak meningkatkan kondisi buruk sistem kesehatan masyarakat saat ini dan pesaing sektor swasta mulai masuk ke pasar, maka provinsi tidak akan bisa mendapatkan kembali sebagian besar uang ini. Debat mengenai NHI baru saja dimulai, tapi NHI jelas menghapus kendali provinsi atas fungsi ini. Dalam anggaran 2011, pemerintah memperkenalkan hibah bersyarat pertama dalam bentuk infrastruktur untuk pendidikan. Diperkirakan pemerintah akan menyediakan sebagian kumpulan infrastruktur untuk pendidikan di provinsi, atas nama provinsi. Di pertengahan anggaran 171
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
2011, Departemen Kesehatan Nasional ingin memperkenalkan pengaturan yang sama dalam anggaran 2012. Kecenderungan dalam contoh di atas adalah resentralisasi fungsi provinsi untuk menanggapi kelemahan kapasitas. Langkah-langkah ini, serta desentralisasi perumahan ke otoritas lokal, akan mengikis kekuasaan provinsi karena setiap perubahan seperti dibahas di atas akan menyebabkan pengurangan transfer ke provinsi dan—jika provinsi tidak memiliki sumber pendapatan sendiri—pengurangan pengaruh provinsi secara proporsional. Setelah NHI dilaksanakan dan fungsi perumahan dipindahkan, satusatunya fungsi utama provinsi yang tersisa adalah pendidikan, pelayanan kesejahteraan sosial, pertanian, dan jalan provinsi. Ini adalah kumpulan fungsi campuran yang tidak cocok untuk disatukan dengan cara yang membuat provinsi bisa menangani prioritas sosio-ekonomi secara sistematis dan yang mungkin bisa membuat relevansi tingkat pemerintah ini semakin jelas. 9.7.6. Kendala Anggaran Tidak Memiliki Aturan Fiskal Perubahan penting yang terjadi setelah transisi adalah keputusan pemerintah nasional (Kementerian Keuangan) untuk mengakhiri hambatan anggaran yang mudah dan mulai memberlakukan hambatan anggaran yang sulit. Selama masa apartheid, provinsi dan tempat asal tidak memiliki hambatan anggaran yang sebenarnya. Utang provinsi dijamin oleh pemerintah pusat. Subsidi dan transfer ke BLA, tempatasal dan struktur subnasional lain ditentukan di akhir tahun secara adhoc dan berdasarkan pada belanja historis. Jika mereka membelanjakan secara berlebihan, maka kekurangan belanja akan didanai melalui hibah defisit. Jika belanja provinsi melebihi batas, maka provinsi bisa meminjam. Ini mendorong pemborosan dan membuat tempat asal, BLA dan provinsi menjadi tergantung pada pusat, dan membuat pemerintah bisa mempertahankan struktur apartheid. Namun ini juga membuat anggaran pusat mengalami defisit hingga 8% PDB di tahun 1992. Awalnya, provinsi memang tidak disiapkan untuk sistem desentralisasi. Selain itu, ada banyak ketidakpastian yang muncul dari pelaksanaan konstitusi baru, peralihan fungsi antar tingkat pemerintah dan evolusi sistem keuangan antar pemerintah secara umum. Di tahun 1997/98, pemerintah pusat harus campur-tangan di dua provinsi dan 172
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
memberikan hibah bersyarat yang provinsi diwajibkan melunasi. Kajian Anggaran 1998 melaporkan bahwa provinsi mengharapkan pengambilalihan utang karena pengalaman sebelumnya tapi kemudian ”sifat sistem antar pemerintah berubah dan mengharuskan setiap provinsi untuk mencukup-cukupkan anggarannya.”34 Provinsi dipaksa untuk melakukan restrukturisasi keuangan yang sulit agar bisa mengendalikan belanjanya. Di tahun 1998/99, setahun kemudian, provinsi memperoleh surplus gabungan senilai R500 juta, yang merupakan kebalikan yang luar biasa. Kejadian ini menandai perubahan besar dalam hubungan fiskal antar pemerintah. Keputusan untuk memberlakukan hambatan anggaran yang sulit, sebagian, merupakan reaksi terhadap ketakutan yang disebabkan oleh krisis tahun 1997/98. Pemberlakuan hambatan anggaran merupakan keputusan pemerintah nasional. Hambatan ini didukung dengan pengendalian belanja dan penekanan pada disiplin fiskal. Tapi ini bukan ciri alami dari desentralisasi fiskal dan, di Afrika Selatan, tidak ada undang-undang yang mewajibkan hambatan anggaran yang sulit, ini hanyalah prinsip yang diberlakuan secara ketat oleh pemerintah nasional. Hambatan anggaran yang sama juga dikenakan pada kota, yang harus mengembalikan hibah bersyarat yang tidak dibelanjakan ke pemerintah nasional dan harus menutup kelebihan belanja dengan pendapatan sendiri atau pinjaman. 9.7.7. Kendala Anggaran untuk Mengatasi Belanja Pegawai Tingginya belanja pegawai menjadi isu yang penting bagi provinsi, dengan upah semua karyawan yang harus diberikan secara adil, karena itu, mendesak keluar belanja untuk penyediaan pelayanan serta dalam beberapa hal menggerogoti mutu pelayanan yang ditawarkan, terutama di sektor pendidikan. Kesepakatan upah di sektor publik telah menjadi salah satu kejadian anggaran yang sangat mengganggu dalam kalender tahunan. Saat ini, setiap tahun pemerintah harus berunding dengan serikat buruh untuk mencapai kesepakatan upah. Provinsi tidak ikutserta dalam proses tawar-menawar, tetapi setelah kesepakatan tercapai, provinsi wajib membayar peningkatan gaji seperti yang disepakati oleh dewan tawar-menawar. Jika penyelesaian upah menghasilkan tingkat 34
Situs Kantor Perbendaharaan Nasional. http//www.treasury.gov.za
173
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
upah yang lebih tinggi dari yang dianggarkan (inflasi), maka pemerintah nasional akan memberikan sumberdaya tambahan untuk menutup biaya ini. Penambahan selama kerangka belanja jangka menengah dibagikan melalui rumus jatah provinsi yang adil, yang tidak didasarkan pada jumlah personel di provinsi. Akibat pengaturan ini, biaya kesepakatan upah mungkin tidak bisa tertutup seluruhnya dan di provinsi dengan kuota staf yang lebih besar dari rata-rata, kekurangan biaya ini mungkin besar nilainya. Provinsi dapat memilih cara mengelola kuota stafnya, dan harus melakukan ini sesuai dengan kebutuhan dan sumberdaya mereka yang ada. Karena itu, mereka harus mengendalikan skala pos belanja penting ini dalam jangka panjang; namun dalam jangka pendek, tidak mungkin mengeluarkan staf hanya karena tekanan anggaran. Mereka juga tidak bisa meningkatkan pengumpulan pendapatan untuk menutup biaya ini. Provinsi bisa dan memang memakai biaya kesepakatan upah sebagai alasan dibalik kurangnya pendanaan untuk prioritas pemerintah dan penyediaan pelayanan. Ketegangan ekonomi politik yang sama juga terjadi di pemda. Serikat buruh melakukan tawar-menawar dengan Asosiasi Pemerintah Daerah Afrika Selatan (SALGA) terkait gaji kotapraja. Namun karena kota diharapkan meningkatkan pendapatan mereka sendiri, maka mereka lebih mampu menutup biaya gaji tambahan dengan jalan menyesuaikan pajak dan bea. Untungnya bagi pemerintah, rumus jatah pemda yang adil tidak memiliki komponen yang menangani biaya gaji dan, seandainya rumus ini memiliki, maka kota akan memakainya untuk membantah bahwa pemerintah nasional harus membantu kota dalam menangani peningkatan biaya gaji. Selama sebagian besar tahun 2000-an hingga krisis di tahun 2008, penambahan pada dasar anggaran menyebabkan pertumbuhan riil dalam anggaran provinsi, dan ini menimbulkan inefisiensi dan memungkinkan mereka untuk membelanjakan untuk berbagai pos non inti dan program non-inti. Sejak 2008/2009, kesepakatan upah sektor publik menyebabkan inflasi di atas rata-rata, dan pemerintah nasional belum menutup biaya untuk semua peningkatan gaji ini karena tidak terjangkau. Provinsi harus menata kembali prioritas anggarannya dan memotong belanja non inti untuk memastikan bahwa pelayanan inti dan peningkatan gaji bisa didanai. 174
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
9.7.8. Kekuasaan Pemerintah Daerah untuk Meminjam Di bawah rezim apartheid, pinjaman provinsi, kota dan tempat asal dijamin oleh pemerintah pusat, dan pemerintah pusat mengambilalih utang provinsi dan tempat asal di tahun 1996. Pengaturan ini berarti ketergantungan pada pemerintah pusat. UU Kekuasaan Pinjaman Pemerintah Provinsi (BPPGA) No. 48 (1996) mengatur pinjaman lokal. Bab 66 PFMA tidak memperbolehkan provinsi untuk melakukan pinjaman, kecuali disetujui oleh BPPGA. Provinsi boleh mendapatkan keuangan antara (bridging finance) sepanjang provinsi melunasinya dalam tahun anggaran, dan UU ini mengatur cara menyetujui pinjaman provinsi lainnya. Karena provinsi tidak memiliki pendapatan sendiri yang mencukupi untuk melunasi pinjaman, maka pemerintah nasional dan provinsi membuat kesepakatan bahwa provinsi tidak akan mencari pinjaman di pasar modal tapi mendekati pemerintah nasional untuk kebutuhan pinjaman. Pemerintah nasional tidak memiliki kewajiban menjamin utang provinsi, tapi bisa jika disetujui oleh Dewan Koordinasi Pinjaman menurut BPPGA. Utang kota sekarang diatur dengan UU Pengelolaan Keuangan Kota yang diberlakukan di tahun 2004. Satu-satunya batasan riil yang dikenakan ke kota adalah bahwa semua utang harus dalam mata uang Rand dan kota tidak boleh menjaminkan aset yang dianggap penting bagi penyediaan pelayanan dasar. Di samping batasan ini, kota bisa masuk ke pasar modal dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh perusahaan swasta. Untuk mendapatkan modal, kota harus layakkredit dan sektor swasta akan menilai utangnya secara proporsional. Ini bisa membantu akuntabilitas keuangan di kota. Dalam kenyataan, kota tidak sepenuhnya memanfaatkan pasar utang. 9.7.9. Pelajaran Praktek dalam Melembagakan Batasan Setelah krisis keuangan provinsi di tahun 1997/1998, kantor Perbendaharaan Nasional menerapkan ‘Batasan Provinsi.’ Provinsi wajib memiliki draf anggaran yang dikaji oleh kantor Perbendaharaan Nasional dalam konteks batasan, dan harus menjalani interogasi yang dilakukan oleh tim analisis anggaran. Setiap provinsi menerima laporan mengenai kegiatan batasan ini, dan salinan laporan ini diserahkan langsung Menteri Keuangan Provinsi. Pelajaran utama dari batasan ini dibagi ke 175
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
semua provinsi dalam tahun pertama Komisi Teknis Keuangan. Batasan ini juga memungkinkan kantor Perbendaharaan Nasional untuk memastikan bahwa penambahan, yang disisihkan untuk prioritas kebijakan tertentu, masuk ke dalam anggaran provinsi yang benar. Proses ini ditiru di tingkat pemda sejak 2010. Kajian telah membuka mata para pejabat Perbendaharaan Nasional, terhadap praktek kota dan perbedaan antara penafsiran kota terkait alokasi anggaran serta tujuan hibah bersyarat dan penafsiran yang diinginkan oleh pemerintah. Respons yang ditunjukkan oleh kota positif dan kota bersedia melaksanakan saran yang diberikan ke mereka, tapi dampak pelajaran mungkin memerlukan satu atau dua siklus anggaran agar nampak di mata. Kegiatan ini memperkuat proses anggaran provinsi dan kota dan kredibilitas anggaran mereka, juga memberi Perbendaharaan Nasional wawasan yang bisa dipakai untuk memastikan efektivitas pengawasan dan meningkatkan proses pembuatan kebijakan. 9.7.10. Pelajaran Praktek dalam Penganggaran Fungsional Pemerintah menjalankan proses penganggaran dalam Kerangka Belanja Jangka Menengah (MTEF) di akhir 1990-an. Proses ini menyertakan kesepakatan anggaran untuk tahun anggaran berikutnya, dan alokasi anggaran sementara selama dua tahun berikutnya. Alokasi sementara dikenal sebagai garis dasar. Setelah garis dasar MTEF ditentukan, proses anggaran tahunan difokuskan pada cara mengalokasikan tambahan ke garis dasar ini di dalam anggaran. Ini bisa dilakukan karena pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pengumpulan pajak. Hingga 2008/2009, ketika krisis ekonomi menghantam, satu-satunya diskusi nyata selama penyusunan anggaran adalah tentang tambahan apa yang diperlukan pada garis dasar. Garis dasar ini sendiri tidak benar-benar diteliti dengan cermat. Krisis ekonomi 2008 dan kesepakatan gaji di atas rata-rata memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pendekatan ini, dan sekarang perhatian ditujukan ke garis dasar. Dalam menyusun anggaran 2011, pemerintah nasional menerapkan pendekatan baru untuk menyusun anggaran. Bukannya menyajikan penawaran anggaran dari departemen ke Komisi Belanja Jangka Menengah (MTEC), departemen malah dikelompokkan menjadi kelompok fungsional bersama dengan departemen yang serupa. Setiap 176
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
garis dasar departemen diteliti dengan cermat dan kemungkinan penghematan ditentukan, yang bisa ditentukan kembali prioritasnya oleh kelompok fungsional dan dimasukkan ke dalam prioritas fungsi. ‘Tambahan’ dilakukan hanya dalam tahap akhir proses anggaran. Banyak pembelajaran yang diperlukan sebelum pendekatan baru bisa sepenuhnya efektif, dan sulit membuat departemen mau secara secara sukarela melakukan penghematan yang akan diberikan ke departemen lain dalam kelompok fungsional mereka. Sulit juga menyatukan kelompok-kelompok fungsional ini, karena kebutuhan yang berbeda-beda dari provinsi dan kota dan diskresi subnasional dalam menentukan prioritas anggaran. Tapi pendekatan ini memaksakan pemikiran kembali terkait cara pemerintah mengurusi usahanya. Pendekatan ini juga memaksa pejabat yang terlibat dalam proses anggaran untuk lebih memperhatikan prioritas pemerintah nasional. 9.7.11. Pelajaran Praktek dalam Urutan Melembagakan Peningkatan Kapasitas Pendapat yang mendukung desentralisasi menganggap bahwa kapasitas administratif subnasional bisa efisien dan responsif (peka). Pendapat ini juga menganggap bahwa pemimpin politik dan administratif yang baik hati akan mengikuti proses standar dalam membuat keputusan, dengan dukungan informasi yang andal dan patut dipercaya. Teori ini tidak mempertimbangkan bahwa fungsi pemerintah subnasional ditugaskan ke unit politik, bukan klub ekonomi. Tidak semua pemimpin terpilih dan birokrat yang diangkat baik hati. Kapasitas untuk menghasilkan dan memakai informasi tidak bisa dijadikan asumsi. Kinerja adalah fungsi yang mengandung berbagai macam faktor kultural. Pemerintah subnasional bisa menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan lokal dan mengalokasikan sumberdaya secara lebih efisien daripada pendampingnya di pusat, hanya jika mereka diberi tanggung jawab membuat keputusan yang diperlukan. Namun, ketika proses desentralisasi dimulai, kapasitas administratif dan organisasi belum ada untuk melakukan ini secara efektif. Perlu waktu untuk memahami lingkungan lokal, kebijakan nasional, dan cara menyesuaikan kebijakan ini dengan kebutuhan lokal. Karena itu, di awal proses desentralisasi, pemerintah terjebak dalam dilema antara devolusi fungsi untuk 177
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
mendapatkan manfaat dan risiko pelaksanaan yang buruk serta pemborosan terkait hingga kapasitas terbentuk. Peningkatan kapasitas kelembagaan merupakan proses yang rumit, dan dikenai pengaruh berbagai macam faktor yang tidak mungkin bisa dikuantifikasi secara efektif. Ukuran efisiensi dan efektivitas organisasi di sektor swasta tidak begitu rumit, tapi di sektor publik, ukuran efisiensi membawa risiko terciptanya dorongan negatif karena ukuran ini memicu fokus jangka pendek ke dalam yang bisa membahayakan tujuan jangka panjang pemerintah. Di tahun 2011, Afrika Selatan tidak memiliki indikator kapasitas administratif yang bisa dengan andal menunjukkan efektivitas departemen pemerintah. Dalam pengalaman Afrika Selatan, provinsi dibentuk dengan jalan menggabungkan beberapa administrasi daerah yang terpecah-pecah dan berbeda satu sama lain; proses pemisahan ulang pemda menyatukan kota-kota dengan berbagai tipe dan memerlukan penggabungan berbagai administrasi daerah yang memakai sistem keuangan yang bermacammacam. Beban yang ditimbulkan oleh transisi pada administrasi daerah berbeda-beda di seluruh negeri. Di daerah yang dulu merupakan daerah orang kulit putih, sebagian besar ada administrasi daerah tapi pergantian paradigma tetap saja perlu waktu untuk terwujud. Di tempat asal yang tidak memiliki administrasi daerah, tidak ada landasan kelembagaan untuk mengembangkan administrasi ini. Di tahun 2011, distribusi kapasitas administratif yang tidak simetris ini masih jelas terlihat. Di tingkat provinsi, paradigma yang sama sekali baru diterapkan dalam perencanaan dan penganggaran, yang sekarang menyesuaikan anggaran dengan prioritas pemerintah dan rencana strategis departemen. Proses pembuatan keputusan yang juga sama sekali baru diperlukan. Paradigma peralihan ke proses PFM yang baru diperumit oleh kewajiban administrasi daerah, baik provinsi maupun lokal, untuk menyediakan pelayanan di daerah miskin dan mewujudkan prioritas pembangunan yang baru di atas target perbaikan yang berat. Jadi, selain proses baru, unit pemerintah harus menangani tatanan kebijakan yang baru. Pada saat transisi, tekanan politik untuk kebijakan dan proses yang baru tidak bisa dihindari namun, jika direnungkan kembali, pemerintah akan memperoleh manfaat dari periode stabilisasi yang difokuskan pada peningkatan kapasitas administratif dan pelembagaan sistem yang diperlukan, dengan cara yang entah bagaimana bisa kebal 178
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
terhadap campur tangan politik. Kenyataan politiknya adalah bahwa ini tidak mungkin dilakukan. Walau ada beberapa kota dan provinsi yang berfungsi relatif bagus, tapi di tahun 2011 masih ada banyak kelemahan kelembagaan di Afrika Selatan. Perbendaharaan nasional menanggapi dengan mendorong proses peningkatan kapasitas di departemen nasional dan provinsi. Perbendaharaan nasional juga bekerjasama dengan perbendaharaan provinsi untuk mendukung peningkatan kapasitas ini, dan sekarang keduanya berada dalam tahap awal pelaksanaan proses substantif dan komprehensif untuk meningkatkan penganggaran, pengelolaan keuangan dan kapasitas pengelolaan pendapatan di kota-kota. Kapasitas yang akan meningkat karena lebih banyak investasi untuk pelembagaan sistem dan peningkatan kapasitas perbendaharaan provinsi di awal tahun 2000-an, akan disebar ke departemen provinsi dan kota-kota lain dan banyak, atau bahkan semua, kegagalan penyediaan pelayanan telah teratasi. Pelajaran untuk negara yang setingkat adalah memastikan bahwa setelah desentralisasi, peningkatan kapasitas administratif dan pelembagaan sistem administratif di tingkat subnasional harus menjadi prioritas nomor satu.
9.8. Kesimpulan dan Rekomendasi Makalah ini tidak dimaksudkan untuk menjadi artikel akademik, tapi ditulis dengan tujuan berbagi pelajaran yang berguna untuk menanggapi pertanyaan berikut ini: (i) apa dasar pemikiran ekonomi politik dibalik desentralisasi suatu negara?; dan (ii) apa yang mendorong suatu negara untuk melakukan desentralisasi (atau membentuk negara serikat)? Dalam konteks Afrika Selatan, jawaban untuk dua pertanyaan ini adalah bahwa struktur desentralisasi Afrika Selatan dalam hubungan antar pemerintah merupakan politik kompromi. Ini adalah pelajaran utama bagi para penganjur desentralisasi: desentralisasi merupakan proses politik, bukan proses ekonomi. Di Afrika Selatan, manfaat teoretis dari desentralisasi telah terwujudkan di mana ada kemauan politik untuk meraih manfaat ini. Manfaat ada di tingkat provinsi dimana ada pemimpin yang kuat dan visioner dan yang mampu memberlakukan kemauannya pada 179
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
administrasi provinsi yang mereka pimpin. Di tingkat pemda, manfaat desentralisasi telah diraih dimana ada kapasitas administratif dan kemauan politik untuk memakai kapasitas ini untuk mengumpulkan pendapatan dan menyediakan pelayanan. Tata kelola pemerintahan yang bagus bisa dijelaskan sebagai pelaksanaan kebijakan nasional secara efektif dan dengan cara yang sesuai dengan keinginan lokal. Paling tidak diperlukan pengelolaan keuangan dan administratif yang kuat serta kapasitas yang bagus dalam memahami kebijakan. Ini semua tidak akan muncul sebagai respons terhadap insentif fiskal dan finansial yang mungkin melekat pada penugasan pendapatan dan fungsi. Ini semua sengaja diciptakan dengan keberlanjutan, komitmen dan kepemimpinan yang kuat dan mampu. Inilah pelajaran paling penting yang bisa ditarik dari Afrika Selatan.
180
10 Penguatan Sisi Pendapatan Roy Kelly
10.1. Pendahuluan Negara di mana-mana melaksanakan reformasi unuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial. Reformasi ini ditujukan untuk mempermudah pertumbuhan ekonomi dan peluang kerja melalui sektor swasta, yang dilengkapi dengan reformasi di sektor publik untuk meningkatkan pemerintahan (tata kelola) dan penyediaan pelayanan publik. Reformasi pengelolaan berbagai sektor publik difokuskan pada rekayasa teknis ulang, privatisasi dan desentralisasi pemerintah sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas penyediaan pelayanan publik. Reformasi desentralisasi yang sedang berjalan difokuskan pada: peningkatan efisiensi dan akuntabilitas penyediaan pelayanan publik, pengembangan distribusi pelayanan dan sumberdaya yang adil ke seluruh bagian dari setiap negeri, dan peningkatan tata kelola yang lebih responsif dan akuntabel. Dengan membawa keputusan belanja publik utama lebih dekat ke masyarakat, pemerintah berusaha memberdayakan masyarakat agar mereka bisa berpartisipasi lebih aktif dalam penentuan prioritas, pelaksanaan dan pemantauan belanja pemerintah untuk mendorong pengelolaan sumberdaya publik yang lebih efisien, akuntabel dan transparan terkait desain dan penyediaan pelayanan publik. Berbagai reformasi desentralisasi mempergunakan kombinasi komponen politik, administratif dan fiskal. Mekanisme akuntabilitas politik, serta kapasitas kelembagaan administratif dan tanggung jawab 181
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
fiskal dan sumberdaya yang ditetapkan dengan jelas, sangat penting artinya bagi keberhasilan. Dari sisi politik, pemerintah daerah (Pemda) harus memiliki mekanisme untuk bersikap responsif terhadap masyarakat lokal.35 Dari sisi administratif, Pemda harus memiliki kapasitas untuk membuat perencanaan, anggaran, penyediaan dan akun untuk pelayanan pemerintahan. Dari sisi fiskal, pemda harus memiliki tanggung jawab belanja yang jelas dan pilihan pendapatan, termasuk pendapatan asli daerah yang tepat, akses ke transfer antar pemerintah dan kejelasan pilihan peminjaman subnasional. Komponen politis, administratif dan fiskal ini perlu dirancang, dilaksanakan dan dipadukan untuk menghasilkan kerangka pelaksanaan reformasi desentralisasi yang sukses dan berkelanjutan.36 Keberhasilan desentralisasi fiskal bergantung pada pemaduan empat pilar desentralisasi fiskal secara efektif, yakni: alokasi fungsi ke beberapa tingkat pemerintah, alokasi tanggung jawab pendapatan, desain sistem transfer antar pemerintah, dan kebijakan sistem pinjaman subnasional yang tepat. Di antara para ahli desentralisasi ada kesepakatan bahwa, idealnya, ”keuangan harus mengikuti fungsi,” yang menyiratkan bahwa pemerintah harus menentukan dengan jelas tanggung jawab belanja untuk setiap tingkat pemerintah sebelum menetapkan struktur pembiayaan dan campuran pendapatan dan hibah antar pemerintah dan kemampuan untuk meminjam.37 Selain itu, beberapa komponen reformasi harus ditentukan urutannya dan dirancang dengan tepat sesuai konteks spesifik negeri untuk memaksimalkan peluang keberhasilan pencapaian tujuan reformasi.38 Persyaratan dasar bagi keberhasilan desentralisasi adalah kecukupan sumber pendapatan untuk mendanai tanggung jawab belanja yang dialokasikan ke pemda. Umumnya sumber pendapatan ini berasal 35 Pemerintah daerah berarti semua tingkat pemerintah subnasional, seperti provinsi, negara bagian, kabupaten, kota, kecamatan, lingkungan dan desa. Sesuai keperluan, bab ini akan menyebutkan tingkat pemerintah daerah tertentu dari segi tanggung jawab pendapatan atas kebijakan dan administrasi. 36 J. Boex, S. Yilmaz, 2010. Kerangka Analitik untuk Analisis Desentralisasi Pemerintahan Lokal dan Sektor Publik Lokal. Kertas Kerja IDG No. 2010-06. 37 Bank Dunia. 1994. Reformasi Hubungan Fiskal dalam Mengembangkan dan Memunculkan Ekonomi Pasar. AS; Bahl, R. 1999. Pelaksanaan Aturan Desentralisasi Fiskal. Andrew Young School of Policy Studies, Seri Kertas Kerja 99-01; Oates, W. 2005. Menuju Teori Generasi Kedua dari Federalisme Fiskal. International Tax and Public Finance, Vol.12. hal. 349-373. 38 R. Bahl, dan J. Martinez-Vazquez, 2006. Menentukan Urutan Desentralisasi Fiskal, Kertas Kerja Bank Dunia.
182
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
dari bea pengguna, pajak lokal, pajak bagi hasil dan transfer antar pemerintah. Campuran struktur pembiayaan dan jumlah yang tepat berbeda-beda di setiap negara dan waktu, tergantung sifat dan cakupan tanggung jawab belanja yang diberikan ke setiap tingkat pemerintah.39 Di sebagian besar negara, keuangan desentralisasi didominasi oleh transfer antar pemerintah dan pajak bagi hasil. Pemda di sebagian besar negara berkembang cenderung bergantung pada 60–80% transfer pendapatan dari pemerintah pusat, sedangkan pendapatan asli daerah (PAD)—yang bisa meliputi bea pengguna dan pajak lokal—cenderung kecil.40 Menemukan keseimbangan dan struktur transfer pusat dan pendapatan lokal yang tepat, merupakan tantangan utama dalam reformasi desentralisasi. Transfer antar pemerintah/pajak bagi hasil dan pendapatan asli daerah, masing-masing memainkan peran penting, peran yang lain sama sekali dalam desentralisasi. Transfer antar pemerintah/pajak bagi hasil distruktur untuk menangani ketidakseimbangan fiskal secara vertikal dan horizontal dalam negara. Selain tujuan politik yang kuat, transfer antar pemerintah/pajak bagi hasil bisa dirancang untuk membantu menyeimbangkan kebutuhan pendanaan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, mewujudkan kesetaraan horizontal antar berbagai pemda dengan kebutuhan belanja dan kapasitas fiskal yang berbeda-beda, meningkatkan penyediaan barang-barang bernilai prioritas nasional, dan mengimbangi limpahan antar yurisdiksi.41 Pendapatan asli daerah, walau sering kali kecil, juga sama pentingnya untuk mendukung reformasi desentralisasi melalui peningkatan otonomi daerah, akuntabilitas pemerintahan, kepemilikan dan tanggung jawab, sambil menyediakan sumber penting dana tambahan (sedikit) untuk anggaran lokal. 40
R. Bahl, dan R. Bird, 2008. Pajak Subnasional di Negara Berkembang: Jalan ke depan. Public Budgeting & Finance, Winter 2008; Bird, R. 2011. Perpajakan Subnasional di Negara Berkembang: Kajian Literatur. Journal of International Commerce, Economics and Policy. 2:1, hal. 139-161. 41 L. Schroeder, dan P. Smoke, P. 2003. Intergovernmental Fiscal Transfers in Asia: Current Practice and Challenges for the Future, Transfer Fiskal Antar Pemerintah. Smoke, P. Kim, Y.H. (Eds.) Bank Pembangunan Asia, Manila; R. Bahl, dan R. Bird, 2008. Pajak Subnasional di Negara Berkembang: Jalan ke depan. Public Budgeting & Finance. Winter 2008; Bank Dunia. 2005. Subnational OwnSource Revenue: Getting Policy and Administration Right. Washington DC. 42 R. Broadway, dan A. Shah, 2009. Fiscal Federalism: Principles and Practice of Multiorder Governance. Cambridge: Cambridge University Press.
183
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Yang terakhir, adalah kombinasi pendapatan pemerintah pusat dan pendapatan daerah yang memberikan paket sumberdaya yang diperlukan untuk mendanai pelayanan pemda. Walau transfer pemerintah pusat dan pajak bagi hasil di mana-mana mengakui pentingya pendapatan asli daerah untuk memastikan pencapaian tujuan desentralisasi, tata kelola, otonomi dan akuntabilitas. Karena itu pemerintah mencari pilihanpilihan untuk melaksanakan kebijakan pendapatan daerah dan reformasi administratif untuk meningkatkan mobilisasi pendapatan daerah. Banyak hambatan dalam memobilisasi lebih banyak pendapatan daerah. Hambatan ini timbul karena masalah politik, kelembagaan dan administratif dari pemerintah pusat dan daerah. Karena itu, langkahlangkah reformasi perlu mencantumkan pendekatan yang komprehensif, yang menangani lingkungan politik dan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah. Langkah reformasi harus memastikan bahwa pemerintah pusat memberikan instrumen pendapatan daerah yang mencukupi dan produktif ke pemda, disertai hambatan akuntabilitas untuk memengaruhi kebijakan pajak dan administrasi pendapatan (sedikit). Reformasi harus distruktur untuk mengurangi campur tangan langsung dan tidak langsung yang berlebihan dari pemerintah pusat. Reformasi juga harus distruktur untuk mengatasi sikap apatis pemerintah pusat terhadap pembentukan keseimbangan yang tepat antara campur tangan dan dukungan pemerintah pusat bagi pemda, yang diperlukan untuk mendorong mobilisasi pendapatan daerah. Contohnya, transfer antar pemerintah dan pajak bagi hasil harus disusun untuk meminimalkan disinsentif dalam mobilisasi pendapatan daerah, dan pemerintah pusat harus dihambat untuk melakukan intervensi melalui perubahan kebijakan secara ad hoc dan atau peraturan administrasi yang bisa memperlemah mobilisasi pendapatan pemda. Langkah reformasi harus dilaksanakan juga, untuk menciptakan lingkungan yang mendorong dan memberdayakan pemda untuk secara efektif meningkatkan tata kelola lokal dan penyediaan pelayanan publik. Penguatan legitimasi dan kredibilitas politik lokal akan membuat pemda semakin mampu bekerja sama dengan warganya untuk mobilisasi pendapatan daerah tambahan, yang diperlukan untuk prioritas belanja lokal yang ditetapkan. Selain itu, berbagai reformasi politik dan kelembagaan harus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas admi184
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
nistratif lokal dan memobilisasi kemauan politik lokal yang diperlukan untuk pengenaan retribusi, mengumpulkan dan menindak ketidakpatuhan. Kombinasi berbagai reformasi tingkat pusat dan daerah ini akan memberikan kerangka untuk meningkatkan mobilisasi pendapatan daerah. Bab ini difokuskan pada pendapatan asli daerah, dengan perhatian khusus pada pajak properti sebagai sumber utama pendapatan pemda yang potensial dan berkelanjutan. Bab ini dibagi menjadi lima bagian. Setelah pendahuluan, bagian 2 meringkas teori dan praktek alokasi pendapatan di seluruh tingkat pemerintah, dan memeriksa berbagai cara strukturisasi pendapatan untuk mendukung otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Bagian 3 difokuskan pada pengalaman reformasi Indonesia dalam melakukan strukturisasi sistem pendapatan asli daerah. Bagian 4 mengkaji proses devolusi pajak properti menurut UU No. 28 (2009), dan bagian 5 mengakhiri dengan rekomendasi untuk jalan ke depan.
10.2. Teori dan Praktek Alokasi Pendapatan Teori dan praktek internasional berpendapat bahwa sebagian besar pokok pajak lebih baik dikenakan dan dikelola di tingkat pemerintah pusat.42 Secara umum, pemerintah di tingkat lebih rendah harus memperoleh pendapatan dari basis-basis pendapatan dengan mobilitas lebih rendah, dan basis pendapatan dengan keterkaitan manfaat yang jelas dengan pelayanan lokal. Namun, sebagian besar pajak lain harus dialokasikan ke pemerintah pusat. Karena itu, negara mengalokasikan pajak perdagangan internasional, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan perusahaan dan perorangan, dan pajak sumberdaya alam ke pemerintah pusat. Pemda di tingkat provinsi atau negara bagian biasanya mendapatkan alokasi pajak seperti pajak kendaraan bermotor dan, kadang, pajak penjualan ritel serta pajak penghasilan perorangan, sedangkan pemda di tingkat lebih rendah mendapatkan alokasi pajak properti dan pokok pajak lain yang tidak berpindah-pindah.43 Cukai 42 P. Musgrave, dan R.A. Musgrave, 1989. Public Finance in Theory and Practice. New York: McGraw Hill; World Bank. 2001. Masalah Penugasan Pajak: Konsep dan Administrasi dalam Mewujudkan Otonomi Fiskal Subnasional. Washington DC, hal. 1-21. 43 Pengalaman internasional memang sangat beragam – dengan negara federal sering memberikan pajak penghasilan korporasi dan perorangan ke provinsi / negara bagian (misalnya di AS dan Kanada).
185
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
sering kali diberikan ke semua tingkat pemerintah, dan ke pemda untuk pokok pajak yang mobilitasnya relatif rendah dan kemampuannya kecil untuk dialihkan (misalnya, kamar hotel, hiburan, restoran dll.). Selain itu, teori dan praktek mendorong semua tingkat pemerintah untuk mengenakan bea pengguna secara tepat. Pajak bisa distrukturisasi untuk memberikan dan/atau mengendalikan beberapa tingkat otonomi, tergantung tingkat pemerintah yang mana yang diberi wewenang untuk menentukan dan memilih pokok dan tingkat pajak dan untuk mengelola pajak. Seperti ditunjukkan di Tabel 10.1, pendapatan daerah bisa dibagi menjadi beberapa yang tidak memberi otonomi daerah, yang memberi otonomi terbatas, dan yang memberi otonomi daerah. Tabel 10.1. Klasifikasi Pajak Daerah Menurut Bobot Kendali Pusat vs Daerah j Tingkat Otonomi Tidak ada otonomi Otonomi terbatas
Otonomi
Kebijakan Pajak / Karakteristik Administrasi Bagi hasil pajak / bagi hasil pendapatan, dengan administrasi pusat Bagi hasil pajak, dengan administrasi bersama Pemerintah pusat menetapkan tingkat pajak dari ‘pendapatan daerah,’ tapi dengan beberapa tanggung-jawab administrasi tingkat lokal. Pajak/pendapatan daerah dimana Pemda menetapkan tingkat pajak, tapi sering kali dalam kisaran yang diperbolehkan oleh pusat. Pajak/pendapatan daerah dimana Pemda menentukan pokok pajak. Pemda bertanggung-jawab atas administrasi pendapatan dengan / tanpa administrasi bersama. Pajak bea tambahan dengan / tanpa administrasi bersama
Sumber: Penulis. Di AS, beberapa pemerintah daerah juga mengenakan pajak penghasilan perorangan (sering berupa pajak gaji) (misalnya, New York, Philadelphia). Negara-negara Skandinavia memperbolehkan pemerintah daerah untuk mengenakan pajak penghasilan perorangan. Sebagian besar negara berkembang tetap memegang pajak penghasilan di tingkat pusat, tapi memperbolehkan bea pendukung (pengenaan bea tambahan). Pemda yang memiliki akses ke pajak penghasilan cenderung mengenakan pajak hanya pada gaji, bukan pada semua pendapatan yang termasuk bunga, dividen dan sewa. Secara universal, pajak properti dianggap sebagai pajak daerah yang bagus karena tanah dan bangunan adalah dasar pajak yang tidak berpindah-pindah, dan karena ada hubungan yang jelas antara nilai properti pada pelayanan lokal dan peningkatan modal. Lihat Musgrave (1989) dan McLure (2001) untuk rincian lebih lanjut.
186
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
Mari kita pertimbangkan tiga tingkat otonomi/kendali lokal ini, karena hubungannya dengan alokasi dan struktur pendapatan: 10.2.1. Tidak Ada Otonomi Ini bisa terjadi jika pemerintah pusat mengendalikan kebijakan dan administrasi pendapatan, tanpa diskresi kebijakan dan peran administrasi yang diberikan ke pemda. Ini terjadi dalam sistem pajak bagi hasil atau bagi hasil pendapatan umum, di mana pemerintah pusat akan mengalokasikan sebagian pajak tingkat pusat ke pemda, atau dalam sistem bagi hasil pendapatan umum di mana pemerintah pusat mengalokasikan sebagian pendapatan tingkat pusat ke pemda. Pajak bagi hasil adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah pusat, yang juga mengendalikan kebijakan (pokok dan tingkat) serta administrasi. Pemda diberi bagian pendapatan pajak, yang kadang mencapai hingga 100%. Dalam sistem pajak bagi hasil, pemda tidak memiliki pengaruh/kendali langsung dan/atau akuntabilitas atas pendapatan yang diperoleh, pokok pajak, tingkat pajak dan/atau administrasi.44 Pajak properti di Chili merupakan contoh di mana pemerintah pusat menetapkan tingkat dan pokok pajak dan mengelola pajak sebagai pajak bagi hasil, dengan pendapatan diberikan ke pemda sebagian berdasarkan pada turunan dan sebagian pada rumus tertentu. Pemda tidak ikut serta dalam penentuan kebijakan atau administrasi, tapi hanya menerima pendapatan. 10.2.2. Otonomi Terbatas Ini bisa terjadi jika pemerintah pusat melimpahkan beberapa fungsi administratif ke pemda. Jadi, melalui keikutsertaan dalam administrasi, pemda bisa mendapatkan otonomi/kendali yang memadai, walau sering kali terbatas, untuk memengaruhi tingkat pendapatan daerah yang diterima menurut sistem pajak bagi hasil. Otonomi terbatas juga terjadi jika pemerintah pusat menetapkan tingkat pajak untuk ‘pendapatan daerah,’ jadi mengambil diskresi pemda dalam memengaruhi tingkat pajak tapi memberi pemda kekuasaan untuk mengelola pajak. 44
Sistem ‘pajak bagi hasil’ kadang disebut sebagai ‘desentralisasi finansial,’ sistem yang mendesentralisasikan pendapatan, yang berlawanan dengan sistem ‘desentralisasi fiskal’ yang mendesentralisasikan tanggung jawab dan wewenang ke pemerintah daerah untuk mengenakan pajak berdasarkan pada basis yang ditetapkan sendiri atau bersama dengan pemerintah pusat.
187
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Dalam kedua kasus ini, pemda diberi beberapa otonomi terbatas dengan jalan diberdayakan dengan kemampuan untuk memengaruhi tingkat pendapatan, melalui partisipasi aktif atau tidak aktif dalam beberapa fungsi administratif utama. Pajak properti di Indonesia, sebelum pemberlakukan UU No. 28 (2009), adalah contoh di mana pemerintah pusat menetapkan tingkat dan pokok pajak dan bergantung pada sistem administrasi bersama secara terbatas, dengan pendapatan diberikan ke pemda berdasarkan pada turunan dan rumus. Pemda memang ikut serta, walau secara sangat terbatas, dalam administrasi pajak properti, jadi bisa memengaruhi pendapatan yang dihasilkan (secara terbatas). Pemda di Indonesia diberi tanggung jawab sebagian atas penyediaan tagihan pajak, pelayanan pajak dan informasi tentang pembayaran pajak. Pemda juga dilibatkan dalam proses pemutakhiran kadaster data fiskal dan data lapangan. 10.2.3. Otonomi Daerah Ini bisa terjadi jika pemda diberi kemampuan dan diskresi untuk secara langsung memengaruhi jumlah pendapatan yang dikumpulkan, melalui beberapa kendali diskresi atas tingkat pajak dan/atau pokok pajak dan/atau administrasi pendapatan. Memiliki kendali atas kebijakan dan administrasi pajak berarti meningkatkan otonomi daerah dan akuntabilitas pemerintah daerah atas pajak yang dikenakan ke warga. Namun ini memungkinkan pemda untuk mendapatkan otonomi lebih besar, walau pokok pajak tetap ditentukan oleh pusat dan sebagian atau semua administrasi pajak dialihkerjakan (outsourcing).45 Isu penting di sini adalah bahwa pendapatan pajak bertambah di pemda, dan bahwa pemda bisa sedikit banyak memengaruhi jumlah pendapatan pajak dengan jalan mengubah tingkat pajak. Pemda harus bisa mempertanggungjawabkan secara resmi ‘pengenaan’ pajak dan memengaruhi jumlah pajak yang dikenakan dan dikumpulkan, bukan hanya untuk ‘memperoleh’ pendapatan dari pajak.46 45 J. Mikesell, 2007. Mengembangkan Pilihan Administrasi Pajak Daerah: Kajian Internasional, Public Budgeting & Finance. 27:1, hal. 41-68. 46 Menurut definisi ini, pajak daerah meliputi pajak ‘pendukung’ di mana pemda diperbolehkan mengenakan bea tambahan pada pokok pajak nasional. Walau pemerintah pusat menetapkan pokok pajak dan tingkat pajak mereka sendiri pada pokok pajak dan mengelola/mengumpulkan pajak, tapi pemda memiliki diskresi untuk mengenakan bea tambahan (tingkat pajak) pada pokok
188
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
Banyak pajak properti beroperasi sebagai pajak daerah, di mana pemda memegang beberapa kendali atas tingkat pajak (sering dalam batas tertentu) dan pokok pajak (sering dengan pilihan untuk menyediakan pembebasan terbatas), serta tanggung jawab paling tidak atas fungsi administrasi (misalnya, di Amerika Utara, Asia Selatan, Filipina, Indonesia setelah UU 28/2009). Pajak properti lain beroperasi sebagai pajak daerah dengan tingkat pajak yang ditentukan oleh hukum nasional, tapi dengan administrasi dikelola oleh pemerintah daerah (misalnya, di Amerika Latin dan banyak negara transisi).47 Mengingat pentingnya otonomi daerah, diskresi dan akuntabilitas untuk mewujudkan tujuan desentralisasi, pilihan perlu dipertimbangkan terkait cara suatu negara bisa secara strategis bergeser dari stuktur pendapatan yang dikendalikan oleh pusat ke struktur pendapatan yang dikendalikan oleh daerah. Pilihan strategis apa bagi negara untuk memindahkan kekuasaan pendapatan, agar bisa mengembangkan dan mendukung otonomi daerah yang lebih besar dan desentralisasi fiskal? Mari kita jelajahi pilihan ini. Ada kesepakatan umum bahwa desentralisasi fiskal memerlukan penugasan instrumen pendapatan yang tepat ke pemda; campurannya yang tepat berbeda-beda di setiap negara tapi umumnya menyertakan kombinasi bea pengguna, pajak properti dan pajak yang terkait dengan manfaat lokasi spesifik, pajak yang terkait dengan manfaat, juga cukai tertentu, pajak penghasilan pribadi, pajak gaji, pajak penjualan umum dan pajak usaha.48 Pendapatan ini harus mencukupi, dengan diskresi dan otonomi memadai diberikan ke pemda untuk memengaruhi jumlah pajak yang dikumpulkan sebagai pendamping.49 Kesepakatan mengenai pajak yang sama ini, lalu pemerintah pusat mengumpulkan pajak tambahan dan memberikan pajak yang terkumpul ini ke pemda. Pajak pendukung ini memberi pemda diskresi, akuntabilitas dan pendapatan, juga mengurangi keseluruhan biaya administratif dan kepatuhan. 47 R. Bird, dan E. Slack, 2004. International Handbook of Land and Property Taxation. Northhampton, MA: Edwar Elgar. 48 World Bank. 2003. User Charges in Local Government Finance. Washington, DC; World Bank. 2003. Local and Regional Revenues: Realities and Prospects. Washington, DC. 49 Pendapatan asli daerah ini diperlukan tapi tidak berada dalam kondisi yang mendukung keberhasilan desentralisasi. Hal yang mendasar di sini adalah bahwa pemerintah daerah harus bisa mengendalikan mobilisasi pendapatan daerah ini ”sebagai pendamping.” Yakni, pemerintah daerah harus bisa memobilisasi uang diskresi agar memiliki kekuasaan untuk memengaruhi jumlah pajak yang terkumpul, dan agar bisa mencapai tujuan akuntabilitas dan efisiensi dari desentralisasi. Pemerintah daerah harus diberi diskresi untuk memperoleh pendapatan tambahan, tapi harus bertanggung jawab sepenuhnya pada masyarakat daerah atas pengenaan pajak daerah ini, cara pendapatan ini dimobilisasi, dan cara pendapatan ini dan sumberdaya lain dipakai.
189
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
definisi kecukupan dan tingkat diskresi yang diperlukan mungkin tidak jelas dalam literatur, tapi cukup jika dikatakan bahwa pendapatan diskresi harus memadai untuk memungkinkan fleksibilitas pendamping bagi pemda untuk memengaruhi efisiensi dan akuntabilitas pilihan belanja. Tanpa memandang besaran yang diperlukan, ini menyiratkan perlunya pergeseran dari pendapatan tanpa otonomi daerah ke pendapatan dengan lebih banyak otonomi dan kendali daerah. Alokasi pendapatan bisa dilakukan secara bertahap, dengan struktur pendapatan yang semakin mampu mendukung desentralisasi, jika suatu negara bergerak dari sistem dengan kendali pusat seluruhnya ke sistem dengan kendali daerah yang semakin besar. Peningkatan otonomi dan diskresi daerah, dengan akuntabilitas, bisa timbul jika negara bergeser dari pajak murni pusat—di mana semua kebijakan dan administrasi pajak dikendalikan oleh pemerintah pusat—ke variasi bagi hasil pajak dengan administrasi bersama, bea tambahan lokal dan/atau pendapatan asli daerah. Seperti ditunjukkan di Gambar 10.1, negara bisa bergerak untuk mengurangi kendali pemerintah pusat dan meningkatkan otonomi dan kendali pemda. Setiap gerakan bertahap memberi pemda tanggungjawab dan diskresi yang semakin banyak, tapi dalam batasan yang ditetapkan secara nasional, untuk memengaruhi jumlah pendapatan yang dikumpulkan. Namun beberapa tahapan ini tidak harus berurutan, yang berarti bahwa suatu negara bisa bergerak langsung untuk memindahkan pajak pusat yang ada untuk menjadi pendapatan daerah, tanpa perlu pelaksanaan bertahap, seperti pertama ke pajak bagi hasil, lalu ke tahap bea tambahan lokal dan akhirnya ke pendapatan asli daerah. Dalam kasus lain, jika perpindahan dari rezim bagi hasil pajak ke rezim pendapatan daerah dianggap terlalu radikal, maka negara bisa memilih gerakan ke rezim bagi hasil pajak dengan administrasi bersama atau pilihan bea tambahan lokal dengan administrasi bersama, jika dianggap tepat.
190
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
Gambar 10.1. Kemungkinan Tahapan Desentralisasi Pendapatan Daerah
Sumber: Penulis
Dalam hal pajak properti di Indonesia menurut UU No. 28 (2009), pemerintah memilih pilihan memindahkan pajak properti perkotaan dan perdesaan dari pajak bagi hasil dengan administrasi bersama, langsung ke pajak asli daerah dengan administrasi sepenuhnya oleh pemda, tapi tetap mempertahankan pajak properti perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebagai pajak bagi hasil pusat. UU tersebut memindahkan pajak properti secara seragam ke semua pemda, dengan distrukturisasi sebagai pendapatan asli daerah dengan tanggung jawab administrasi, di mana pemda diberi pilihan untuk melimpahkan/mengalih kerjakan sebagian besar fungsi administratif ke pihak ketiga, jika dianggap tepat. Di beberapa negara, pajak properti dibuat agak berbeda, bahkan dalam kasus di mana pajak properti dipindahkan ke pemda sebagai pajak lokal. Dalam kasus seperti ini, pemda diberi diskresi tingkat pajak (mungkin dalam batasan) dan sering diskresi untuk memberikan pembebasan pokok pajak, tapi administrasinya dibuat sebagai model administrasi bersama. Model administrasi bersama ini melimpahkan, 191
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
menurut undang-undang dan peraturan pemerintah, beberapa fungsi administratif tertentu ke beberapa tingkat pemerintah agar bisa memanfaatkan, antara lain, skala ekonomi, kapasitas dan kesetaraan. Teori dan praktek internasional menyarankan bahwa administrasi pajak properti tidak harus diserahkan seluruhnya ke pemerintah pusat atau daerah tapi, seperti untuk semua fungsi sektor publik, fungsi administratif perlu ’diurai’ dengan menentukan fungsi subadministratif tertentu yang bisa diserahkan dan distruktur berdasarkan pada prinsip seperti skala ekonomi, lingkup ekonomi, kedekatan wajib pajak, akuntabilitas dan kepekaan pemerintah, dan preferensi pemerintah. Penugasan fungsi administratif ini harus didasarkan pada analisis yang cermat mengenai biaya dan manfaat, sambil mempertimbangkan pilihan di semua tingkat pemerintah dan/atau alternatif dari sektor swasta dan pemerintah, dengan perhatian terus-menerus pada kriteria efisiensi dan kesetaraan. Di Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Jamaika, contohnya, banyak fungsi penilaian properti diberikan ke pemerintah pusat atau negara bagian, sedangkan semua fungsi administrasi pajak properti lainnya diberikan ke pemda. Dalam kenyataannya, sebagian besar negara memakai administrasi bersama dalam kadar tertentu untuk fungsi kadaster fiskal, sambil bergantung pada administrasi lokal untuk fungsi perbendaharaan.50 Di beberapa negara, pendekatan asimetris mungkin diperlukan, agar beberapa pemda bisa mengelola pajak properti menurut model administrasi lokal dan beberapa pemda lain bisa mengelola pajak properti menurut model administrasi bersama. Ini bisa menjadi pilihan untuk Indonesia agar Pemda bisa memanfaatkan skala ekonomi dan hambatan kapasitas, terutama di daerah yang kurang terurbanisasi, pemda perdesaan, yang memiliki lebih sedikit potensi pendapatan dan kapasitas lokal untuk mengelola pajak properti seluruhnya. Pilihan akan dibahas lebih lanjut dalam bagian 10.4 dari bab ini. Umumnya negara memberi pemda akses ke pendapatan asli daerah mereka sendiri, melalui sistem ‘daftar terbuka’ atau ‘daftar tertutup.’ Dalam sistem daftar terbuka, pemda diperbolehkan mengenakan pendapatan yang tidak secara khusus disediakan untuk tingkat 50 J. Martinez, dan M. Rider, The Assignment of the Property Tax: Should Developing Countries follow the Conventional Wisdom. GSU Working Paper 08-21.
192
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
pemerintah lain, dengan batasan dan patokan umum. Seperti yang diinginkan, pendekatan daftar terbuka ini memberi diskresi luas ke pemda, dengan demikian memungkinkan pemda untuk menerapkan struktur pajak daerah yang baru dan secara bebas mengumpulkan pendapatan mereka sendiri dengan sedikit pembatasan. Dalam sistem daftar tertutup, pemda hanya diperbolehkan mengenakan pajak dan bea pada pokok-pokok pajak yang ditentukan untuk diserahkan ke pemda, dengan demikian membatasi pemda agar tidak mengenakan pajak dan bea pada basis pendapatan lain. Dalam sistem daftar terbuka dan tertutup, negara bisa memberikan beberapa fleksibilitas terbatas untuk mengusulkan pajak dan bea alternatif, yang harus disetujui oleh pemerintah pusat dengan dasar pengecualian. Sayangnya, pendekatan daftar ’terbuka’, dalam memberikan banyak diskresi lokal, sering kali dilakukan tanpa akuntabilitas dan kontrol yang memadai, akibatnya mendorong munculnya penerapan pajak yang mengganggu dan/atau pajak yang menyimpang yang berdampak buruk pada kesetaraan dan pertumbuhan ekonomi.51 Untuk menghindari situasi seperti ini, banyak negara memakai ‘daftar tertutup’ pendapatan daerah yang diperbolehkan, dan pemda bisa memilih dari daftar ini. Contohnya, di tahun 2003, Tanzania menerapkan amandemen UU Keuangan Pemerintah Daerah tahun 1982 untuk berpindah ke pendekatan daftar tertutup, sedangkan Indonesia di tahun 2009 menggantikan UU No. 34 (2000) dengan UU No. 28 (2009) untuk menerapkan kembali pendekatan daftar tertutup. Untuk memastikan keberhasilan pencapaian tujuan desentralisasi dengan pendekatan daftar ‘tertutup,’ maka negara harus memastikan pencantuman instrumen pendapatan yang memadai ke dalam daftar ‘tertutup’ terbatas dengan diskresi pemda yang mencukupi, yang berpotensi untuk menghasilkan pendapatan daerah yang stabil dan mempunyai daya apung (misalnya, perpajakan properti, cukai lokal dan pajak usaha).52 Ini dilakukan di Indonesia yang menerapkan kembali pendekatan daftar ‘tertutup’ sesuai UU No. 28 (2009), kali ini dengan mencantumkan akses lokal ke pajak properti perkotaan dan perdesaan 51 Roy, Bahl, et al. 2005. Development of a Strategic Framework for the Financing of Local Governments in Tanzania: Final Report. http://www.tzonline.org/pdf/developmentofastrategicframeworkfor thefinancing.pdf 52 World Bank. 2005. East Asia Decentralizes: Making Local Government Work. Washington DC.
193
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dan ke pajak transfer properti. Secara tradisional, Indonesia mengikuti pendekatan daftar ‘tertutup,’ termasuk UU No. 18 (1997) yang disahkan persis sebelum Reformasi Desentralisasi 2001. Namun, UU No. 18 ini tidak mencantumkan pajak properti sebagai pilihan pendapatan pemda. Setelah Ledakan Besar reformasi desentralisasi, Pemerintah memberlakukan UU No. 34 (2000) yang berpindah dari pendekatan ‘daftar tertutup’ ke ‘daftar terbuka’ untuk memberikan lebih banyak diskresi ke pemda, yang mendukung desentralisasi. Namun dalam pendekatan daftar terbuka ini, pemda masih belum diberi akses ke pajak properti karena pajak ini sudah ada sebagai pajak bagi hasil pemerintah pusat. Seperti akan dijelaskan dalam bagian 10.3, pendekatan daftar ‘terbuka’ akan menimbulkan semakin banyak pajak yang mengganggu dan menyimpang—karena pemda secara kreatif mencari jalan untuk memperbanyak pendapatan daerah. Untuk menangani masalah yang muncul karena UU No. 34 (2000), maka pemerintah berpindah kembali ke pendekatan daftar ‘tertutup’ tapi kali ini dengan devolusi pajak properti perkotaan dan perdesaan (Pajak Bumi Bangunan/PBB) dan pajak transfer properti (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan/BPHTB), dengan demikian pemda untuk pertama kalinya diberi akses ke potensi pendapatan dari perpajakan properti. Setelah ditentukan, menurut pendekatan daftar ‘terbuka’ atau ‘tertutup,’ instrumen pendapatan daerah yang disediakan dan/atau dipakai harus dirancang dan dilaksanakan untuk memobilisasi pendapatan secara efisien dan adil, sambil memperhatikan kelayakan administratif dan akseptabilitas (kemampuan untuk diterima secara) politis.53 Walau teori desain pajak dan pelaksanaan pajak bisa diterapkan di semua negara, tapi seni reformasi berada di pengetahuan mengenai cara menyesuaikan teori secara kreatif dengan situasi lokal untuk memastikan bahwa desain dan strategi sudah tepat untuk mempermudah penyesuaian, pelaksanaan dan keberlanjutan proses reformasi pendapatan. Ini adalah esensi dan tantangan untuk keberhasilan semua reformasi besar. Dalam konteks teori ini dan praktek penugasan pendapatan, mari kita sekarang mengkaji secara lebih rinci dan mencoba belajar dari pengalaman Indonesia selama 15 tahun terakhir dalam alokasi 53 R. Bahl, dan R. Bird, 2008. Subnational Taxes in Developing Countries: The Way Forward. Public Budgeting & Finance. Winter Edition.
194
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
pendapatan ke tingkat pemda, dengan tekanan pada UU No. 28 (2009) yang menetapkan sistem ‘tertutup’ untuk penugasan pendapatan, untuk pertama kalinya, yang memberi pemda akses ke pajak properti perkotaan dan perdesaan dan pajak transfer properti.
10.3. Penugasan Pendapatan Pemerintah Daerah di Indonesia Pemerintah Indonesia sudah lama mengakui pentingnya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) untuk memperkuat otonomi dan akuntabilitas daerah. Sebelum reformasi desentralisasi di tahun 2001, pemerintah telah memberlakukan UU No. 18 (1997) untuk memperkuat/ merampingkan struktur pendapatan pemda. Segera setelah ’ledakan besar’ reformasi desentralisasi, pemerintah memberlakukan UU No. 34 (2000) untuk menangani beberapa keterbatasan yang melekat dalam UU No. 18 (1997), dan untuk memberi pemda diskresi lebih besar. Dan yang terkini, pemerintah memberlakukan UU No. 28 (2009) tentang Pajak dan Retribusi Daerah. UU No. 28 (2009) menggantikan UU No. 34 (2000) tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang telah memberikan pendekatan ‘daftar terbuka’ untuk penugasan pendapatan asli daerah, suatu pendekatan yang memperbolehkan pemda untuk mengenakan pajak/bea baru melalui peraturan daerah, jika sesuai dengan prinsip-prinsip yang disebutkan dalam UU tersebut dan tidak menolak proses kajian terpisah oleh pemerintah pusat. Walau niatnya baik untuk mendukung proses desentralisasi, sistem daftar terbuka di bawah UU No. 34 (2000) ini melahirkan semakin banyak pajak lokal yang menambah kerumitan struktur pajak pemda, menimbulkan distorsi ekonomi yang tidak diinginkan pada investasi, keputusan lokasi dan konsumsi, dan pajak yang menggangu karena biaya administrasi menjadi lebih besar daripada pendapatan yang dihasilkan.54
54
Bert Hofman, dan K. Kaiser, ”The Making of the Big Bang and its Aftermath: A Political Economy Perspective” Paper presented at the Conference on Can Decentralization Help Rebuild Indonesia, Georgia State University, May 1-3 2002, Atlanta, Georgia; Lewis, B. 2003. Tax and Charge Creation by Regional Governments Under Fiscal Decentralization: Fiscal Outcomes. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 42:2; Lewis, B. Suhamoko, B. 2006. Local Tax Effects on the Business Climate. Investment Climate in Indonesia. McCulloch, N. (Ed.) Institute for South East Asian Studies.
195
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Untuk memperbaiki masalah ini, pemerintah memberlakukan UU No. 28 (2009) dengan tujuan yang ditetapkan untuk lebih lanjut mendukung reformasi desentralisasi di Indonesia, dengan jalan: • Memberdayakan pemerintah subnasional dengan jalan memberi otonomi daerah serta diskresi dengan akuntabilitas. Batas tingkat (rate) pajak dinaikkan, dan pemda diberi diskresi untuk memilih pokok pajak lokal, dengan demikian memperbanyak otonomi daerah dan akuntabilitas ke bawah pada wajib pajak lokal; • Meningkatkan potensi otonomi daerah dengan jalan menyediakan akses ke bea dan pajak lokal yang produktif (termasuk pajak properti), menaikkan batas tingkat pajak, memberi kebijakan diskresi tingkat pajak, dan memindahkan administrasi ke provinsi dan kota/kabupaten; dan • Meningkatkan efisiensi administrasi pajak subnasional dengan jalan menetapkan pendekatan ‘daftar tertutup’ untuk sistem pajak dan bea daerah. UU No. 28 (2009) menyederhanakan perpajakan daerah dan membatasi provinsi dan kota/kabupaten hanya pada 16 pajak dan 30 bea, dengan demikian memungkinkan pemda untuk memfokuskan sumberdaya administratif mereka sendiri pada pendapatan daerah utama yang produktif, termasuk perpajakan properti.55 UU ini menetapkan penyediaan sistem insentif pengumpulan yang ditentukan oleh peraturan nasional. UU No. 28 (2009), dengan mencantumkan pajak properti, merupakan perubahan kebijakan besar untuk mendukung desentralisasi karena memberi pemda akses lengkap ke beragam pendapatan, yang menurut teori dan praktek internasional terbaik harus diserahkan ke pemda. Seperti ditunjukkan di Tabel 10.2, UU No. 28 (2009) memberi pemerintah provinsi akses ke-5 pajak, dan kota/kabupaten ke-11 pajak. Yang sangat penting di sini adalah pencantuman pajak transfer properti (BPHTB) dan pajak bumi dan bangunan perkotaan dan perdesaan (PBB) untuk pemda, karena kedua pajak secara historis dilaksanakan sebagai pajak bagi hasil pemerintah pusat.56 55
UU No. 28 (2009) membatasi jumlah pajak daerah, tapi Pasal 100 memperbolehkan pemda untuk mengenakan bea pengguna tambahan dengan melalui proses persetujuan/kajian oleh MOF (Kemenkeu). 56 Ada dua pajak properti (PBB dan BPHTB) yang sebelumnya dirancang dan dilaksanakan sebagai
196
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
Analisis terkait tiga UU pendapatan tersebut mengungkapkan beberapa kecenderungan dalam pajak provinsi dan kota/kabupaten, saat proses desentralisasi dilaksanakan. Seperti ditunjukkan di Tabel 3.2, tipe dan jumlah pajak provinsi tidak banyak berubah-ubah. Provinsi mengenakan pajak dan terus mengenakan kombinasi pajak yang terkait dengan properti pada kendaraan (misalnya, pajak kendaraan bermotor tahunan dan pajak transfer kepemilikan kendaraan bermotor), dan pajak penjualan pada bahan bakar (BBM) kendaraan bermotor dan air permukaan. Di tahun 2009, provinsi diberi akses ke pajak rokok.57 Saat ini ada lima pajak provinsi, dua pajak berkaitan dengan properti dan tiga pajak berkaitan dengan penjualan/konsumsi yang menyertakan juga pajak air permukaan (sumberdaya alam). Tabel 10.2. Pajak Provinsi dan Kota/Kabupaten Menurut UU No. 28 (2009) Pajak Tingkat Provinsi 1. 2. 3. 4. 5.
Pajak kendaraan bermotor Pajak Transfer (Balik Nama) Kendaraan Bermotor Pajak BBM kendaraan bermotor Pajak air permukaan Pajak rokok
Pajak Tingkat Kota / Kabupaten 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Pajak hotel Pajak restoran Pajak hiburan Pajak iklan Pajak penerangan jalan Pajak parkir Pajak galian Kategori C Pajak air Pajak sarang burung PBB (perkotaan dan perdesaan) BPHTB
Sumber: UU No. 28 (2009)
Sebaliknya, banyak pajak baru dikenakan oleh kota/kabupaten. Selain tujuh pajak penjualan yang sudah ada di tingkat lokal (yakni, pajak restoran, hotel, hiburan, iklan, penerangan jalan, parkir dan galian nonlogam dan batu—sebelumnya disebut sebagai galian kategori C, pajak ‘bagi hasil’ pusat. Pemerintah pusat bertanggung jawab atas kebijakan pajak (pokok dan tingkat) dan administrasi pajak. Pendapatan dari pajak properti lalu dibagikan ke pemerintah pusat, provinsi dan kota/kabupaten. Walau pendapatan properti perkotaan dan perdesaan dipindahkan ke pemda, tapi pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan tetap dilaksanakan sebagai pajak bagi hasil pemerintah pusat. 57 Saat ini, cukai rokok merupakan pajak bagi hasil pemerintah pusat, dengan 2% pendapatan cukai pusat diberikan ke pemerintah daerah. Dari persentase ini, 0,6% ke provinsi berdasarkan jumlah penduduk, 0,8% ke provinsi tempat asal pendapatan cukai, dan 0,6% ke kota/kabupaten dalam provinsi ini. Hingga 2014, pemerintah provinsi akan diberi pajak rokok, yang akan dikenakan dengan persentase yang seragam, 10% dari pendapatan cukai rokok yang ada dan yang harus dialokasikan ke masyarakat.
197
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
UU No. 28 (2009) memberi pemda empat pajak baru, termasuk pajak properti (PBB dan BPHTB) dan dua pajak penjualan baru—satu pada air tanah yang merupakan pindahan dari provinsi dan satu lagi pada sarang burung. Jadi total, kota/kabupaten memiliki akses ke-11 pajak daerah. Pajak provinsi dan kota/kabupaten sekarang diatur kembali dengan sistem ‘daftar tertutup,’ yang memberi pemda menu pajak tetap yang bisa dikenakan sebagai pajak provinsi/kota/kabupaten dan, tidak seperti sistem daftar terbuka sebelumnya, pemda dilarang mengenakan pajak baru lain. Sebagai gantinya, mereka didorong untuk mengoptimalkan efektivitas pajak tertentu dengan jalan meningkatkan akuntabilitas, administrasi dan prosedur, serta secara administratif memperluas pokok pajak tertentu. Pajak yang ada dan dicantumkan dalam ‘daftar tertutup’ memiliki bias perkotaan, yakni, sebagian besar pajak yang dikenakan cenderung berada di daerah perkotaan—seperti hotel, restoran, fasilitas hiburan dan iklan. 58 Pajak properti juga cenderung mendukung pemda terurbanisasi, karena properti perkotaan cenderung memiliki nilai lebih tinggi dan memberikan lebih banyak pendapatan daripada properti perdesaan. Tiga pengecualian, yang kurang memiliki bias perkotaan, adalah pajak air tanah, pajak galian nonlogam dan batu, dan pajak sarang burung walet. Akan tetapi potensi dari tiga pajak terakhir ini mungkin kecil. Seiring waktu, ada beberapa pajak daerah yang dibagi menjadi dua dengan harapan bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi. Contohnya, pajak air permukaan dan air tanah dipisahkan, dengan pajak air permukaan tetap di provinsi dan pajak air tanah dipindahkan ke kota/kabupaten. Di tingkat kota/kabupaten, pajak hotel dan restoran dipisahkan menjadi pajak tersendiri untuk hotel dan pajak tersendiri untuk restoran. Yang terakhir, ada beberapa pajak baru yang diberikan ke provinsi dan kota/kabupaten. Pajak rokok yang sebelumnya dibuat sebagai pendapatan bagi hasil, diberikan ke provinsi. Di saat yang sama, dua pajak properti (PBB dan BPHTB) diberikan dari pusat ke kota/kabupaten, dan kota/kabupaten diberi pajak baru atas sarang burung walet. 58 Mahi (2002) berpendapat bahwa semua pajak daerah cenderung menguntungkan daerah perkotaan daripada daerah perdesaaan, karena sifat pokok pajak daerah.
198
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
Di tingkat provinsi, pajak dibuat sebagai pajak bagi hasil provinsi, di mana pendapatan pajak dibagi bersama oleh provinsi dan kota/ kabupaten. Contohnya, pajak kendaraan bermotor dibagi (30%) dengan kota/kabupaten, berdasarkan prinsip keadilan. Hasil dari pajak rokok provinsi dibagi (70%) dengan kota/kabupaten, dengan ketentuan bahwa pendapatan rokok ini harus digunakan paling tidak (50%) untuk pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh pihak berwenang terkait. Sebelum pemberlakukan UU No. 28 (2009), alokasi dasar pendapatan ke provinsi dan kota/kabupaten hanya sedikit berubah. Namun dengan berlakunya UU No. 28 (2009), Pemerintah Indonesia membuat dua perubahan besar: pertama, penerapan kembali pendekatan daftar tertutup; dan kedua, keputusan tegas untuk memindahkan pajak properti perkotaan dan perdesaan dan pajak transfer properti menjadi pendapatan—pendapatan dari pemerintah kota/kabupaten. Penerapan kembali pendekatan daftar tertutup membantu mengurangi dampak merusak dari semakin banyaknya pajak yang menyimpang dan mengganggu ekonomi. Pemindahan pajak properti ke kota/kabupaten memberi mereka sumber pendapatan daerah yang potensial untuk mendukung otonomi daerah dan akuntabilitas. Mari kita sekarang beralih untuk memahami lebih baik pengalaman devolusi (pemindahan) pajak properti ini, tantangan dan prospeknya.
10.4. Devolusi Pajak Properti di Indonesia Dengan berlakunya UU No 28 (2009), Pemerintah Indonesia telah membuat keputusan tegas untuk memindahkan pajak properti dari pajak bagi hasil pusat ke pendapatan asli pemerintah daerah. Sesuai dengan teori dan praktek internasional, perpindahan ini memberi pemda basis yang lebih luas untuk pendapatan yang stabil dan berdaya apung, yang bisa mendukung tujuan desentralisasi. Melalui devolusi pajak properti ini, UU No. 28 (2009) memberi pemerintah kota/kabupaten tanggung jawab dan diskresi untuk menentukan tingkat pajak properti, pembebasan penilaian dan langkah pengurangan pajak, dan tanggung jawab penuh atas administrasi pajak properti. Ini memberdayakan mereka dengan potensi untuk memobilisasi banyak pendapatan asli daerah dalam kerangka meningkatkan pelayanan publik dan menjamin otonomi daerah. 199
200
*
Helikopter dan kapal udara tidak dikenai pajak, karena tidak dikategorikan sebagai angkutan.
Sumber: Kelly dan Gyat, 2011
Tabel 10.3. Perbandingan Struktur Pajak Provinsi dan Kota/Kabupaten Seiring Waktu Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
UU No. 28 (2009) menetapkan periode transisi satu tahun untuk BPHTB dan empat tahun untuk PBB, dengan demikian memberi pemda waktu yang cukup untuk mengambil tanggung jawab atas pajak properti ini. Jadi, BPHTB dipindahkan ke pemda di tahun 2011 dan PBB di tahun 2014. UU ini menetapkan bahwa pemerintah pusat tidak lagi bisa mengambil pendapatan pajak properti ini setelah tenggat waktu di atas, sedangkan pemda diberi pilihan untuk mengenakan pajak properti ini atau tidak, tergantung hasil pendapatan dan kebijakan pemerintah daerah. Penting memahami konteks sejarah dari reformasi pajak properti, yang memungkinkan untuk melakukan reformasi devolusi pajak properti secara lebih mudah. Reformasi devolusi pajak properti saat ini mengikuti reformasi kebijakan dan administratif mendasar terkait pajak properti, yang dimulai di tahun 1986 melalui pemberlakuan PBB [UU No. 12 (1985)].59 UU PBB menggabungkan tujuh pajak properti yang berbeda, mengganti pokok pajak dari nilai sewa ke sistem nilai modal, menyederhanakan struktur tingkat pajak, dan menerapkan dasar pengembangan sistem terpadu pengelolaan administrasi pajak properti.60 Pajak properti juga terus dibuat sebagai pajak bagi hasil pemerintah pusat, dengan alokasi 90% pendapatan terkumpul ke pemda. Pemberlakuan UU PBB menandai awal dari serangkaian reformasi, yang akan meletakkan landasan lebih kuat untuk devolusi pajak properti saat ini. Setelah pemberlakuan UU PBB, pemerintah menerapkan strategi reformasi pajak properti ‘berbasis pengumpulan,’ yang memperkenalkan Sistem Tempat Pembayaran (SISTEP). Sistem SISTEP mulai diimplementasikan secara penuh di seluruh Indonesia pada tahun 1992, mengaktifkan sektor perbankan untuk menerima dan mencatat pendapatan pajak dengan efisien. Sistem SISTEP banyak menyederhanakan pengumpulan pajak, meningkatkan akuntabilitas, mengurangi biaya kepatuhan dan administrasi, dan memberikan daftar pelanggaran untuk tujuan penindakan. Ini memungkinkan pemerintah untuk menindak ketidak59
Lihat Kelly (1993, 2004), McDermott dan Gyat (2009) dan Lewis (2003a) untuk rincian historis terkait reformasi pajak properti ‘berbasis pengumpulan’ 1985–1994 di Indonesia, tantangan dan peluang yang muncul. 60 PBB distruktur sebagai pajak bagi hasil yang dialokasikan sebagai berikut: 10% ke pusat, 9% untuk biaya pengumpulan, 18,2% ke provinsi, dan 62,8% ke kota/kabupaten. Di tahun 1994, 10% ke pemerintah pusat ini ditata ulang untuk diberikan ke pemda.
201
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
patuhan untuk pertama kalinya di tahun 1991 dengan penyitaan properti bersejarah—penyitaan properti yang pertama karena pelanggaran pajak sejak kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Efisiensi pengumpulan pajak meningkat dari rata-rata 65% menjadi 79% dari perkiraan, setelah pelaksanaan tahun pertama SISTEP. Banyak kemajuan dibuat di tahuntahun awal reformasi administrasi, melalui pengumpulan informasi, peningkatan penilaian properti dan perampingan sistem pengumpulan pendapatan.61 Untuk melengkapi keberhasilan reformasi pengumpulan ini, pemerintah menerapkan Sistem Manajemen Informasi Obyek Pajak (SISMIOP) yang merupakan prosedur administrasi terpadu yang ramping dan baru dikembangkan, merasionalisasikan prosedur administrasi dengan teknologi pengolahan informasi untuk secara komprehensif mengelola semua aspek kadaster fiskal, penilaian, penyusunan tagihan, penerimaan, penagihan dan pelayanan wajib pajak. Ini menyertakan Nomor Obyek Pajak (NOP) yang tersendiri, serta berbagai prosedur operasional standar (SOP) untuk administrasi pajak properti yang berkaitan dengan pendataan, penilaian, penetapan, penerimaan, penagihan, banding dan penyelesaian sengketa, serta pelayanan wajib pajak. SOP dikaitkan melalui komputer SISMIOP untuk sistem administrasi pajak properti yang dimulai di seluruh negeri pada tahun 1994.62 Di akhir tahun 1994, struktur dan administrasi pajak properti PBB dimodernisasi menjadi sistem terpadu administrasi pajak properti. Sistem dan prosedur SISMIOP ini sekarang dipakai di seluruh negeri oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk mengelola pajak properti, dengan serangkaian fungsionalitas yang diperlukan untuk administrasi pajak properti. Sistem dan prosedur administrasi pajak berbasis SISMIOP ini telah beroperasi lebih dari 15 tahun untuk mengelola berbagai fungsi administrasi pajak properti. Tantangannya sekarang adalah menentukan pilihan untuk menyesuaikan sistem dan prosedur administrasi pajak properti yang ada dengan lingkungan pemerintah daerah, dengan demikian mengubah beberapa proses usaha dan prosedur operasional standar dan sistem IT (teknologi informasi) SISMIOP jika dirasa perlu. 61 R. Kelly, 1993. Property Tax Reform in Indonesia: Applying a Collection-Led Strategy. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 29:1, hal. 1-21. 62 R. Kelly, 1996. The Evolution of a Property Tax Reform in Indonesia, Information Technology and Innovation in Tax Administration. Jenkins, G. (Ed.) Kluwer, Cambridge, MA.
202
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
Pada tahun 1994, pemerintah memperkenalkan tiga penyesuaian kebijakan. Pertama, 10% alokasi pemerintah pusat dialihkan ke pemda, dengan 35% dialokasikan secara seragam ke semua pemerintah daerah sebagai komponen ‘kesetaraan’ dan 65% sebagai pembayaran insentif untuk pemda agar mereka mencapai target pendapatan yang dimandatkan. Walau pajak properti tetap menjadi pajak bagi hasil pusat, tapi rasio bagi hasil pendapatan memberikan 100% pendapatan untuk pemda. Kedua, pengurangan penilaian meningkat dari Rp 7 juta menjadi Rp 8 juta, dan berpindah dari pengurangan penilaian yang berdasarkan hanya pada nilai bangunan ke pengurangan penilaian yang berdasarkan pada total penilaian tanah dan bangunan, dan ke pengurangan penilaian yang diberlakukan hanya sekali untuk setiap wajib pajak.63 Ketiga, rasio penaksiran secara seragam diganti dengan rasio yang dibedabedakan menurut nilai properti dan sektor. Properti perkotaan bernilai tinggi di atas Rp 1 miliar mulai memakai rasio penaksiran 40%, yang secara efektif menggandakan tingkat pajak menurut peraturan perundangundangan. Selanjutnya di tahun 2000, rasio penaksiran 40% juga diterapkan pada semua properti perdesaan yang bernilai di atas Rp 1 miliar dan pada semua properti perkebunan dan kehutanan. Pada tahun 1997, Pemerintah memberlakukan UU No. 21 (1997) tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang selanjutnya disebut sebagai pajak transfer properti. BPHTB juga distruktur sebagai pajak bagi hasil, dengan 80% alokasi ke pemerintah daerah. Selama ’Ledakan Besar’ reformasi desentralisasi di awal tahun 2000-an, terjadi perdebatan seru mengenai cara melakukan restrukturisasi pajak properti untuk mendukung proses desentralisasi. Tantangan pertama adalah cara melibatkan pemda dalam kebijakan dan administrasi, dan meningkatkan kapasitas administratif lokal untuk pelaksanaan pajak properti secara efisien dan adil. Tantangan kedua adalah cara mengatasi kekuatan politik dan kelemahan kelembagaan 63
Pengurangan penilaian semula hanya pada bangunan, karena para pembuat kebijakan di tahun 1985 merasa bahwa setiap orang yang memiliki tanah harus ‘berpartisipasi dalam pembangunan’ dengan jalan membayar paling tidak sejumlah bukti melalui pajak properti. Mengingat ketidakpastian status tanah, masyarakat lebih memilih membayar pajak properti agar mendapatkan bukti pembayaran pajak properti yang menjadi bukti ‘kepemilikan indikatif,’ terutama untuk properti bernilai rendah dalam kepemilikan adat (hak girik). Perubahan kebijakan di tahun 1994, untuk pertama kalinya, membebaskan tanah bernilai rendah dari pajak properti.
203
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
pajak properti sebagai pajak bagi hasil pemerintah pusat, yang secara administratif dikendalikan oleh administrasi pajak properti secara terpusat di bawah direktur jenderal perpajakan, Kementerian Keuangan. Akhirnya, tidak dicapai kesepakatan di antara berbagai pemangku kepentingan, jadi pajak properti tetap menjadi pajak bagi hasil pemerintah pusat, dengan hanya perubahan kecil dalam kebijakan pajak di tahun 2001, yakni pemda diberi diskresi untuk menentukan batasan pengurangan penilaian hingga maksimum Rp 12 juta.64 Berhadapan dengan warisan sejarah yang panjang ini dan untuk mengatasi perlawanan politik dan kelembagaan terhadap perubahan, pemerintah melalui UU No. 28 (1999) mengambil keputusan kebijakan yang sangat tegas untuk mengubah pajak properti dari pendapatan bagi hasil pusat menjadi pendapatan asli daerah, dengan demikian menegaskan komitmen serius pemerintah untuk mendukung desentralisasi fiskal yang berkelanjutan. Keputusan untuk memindahkan pajak properti dari pusat ke daerah tidak boleh dianggap sebagai awal reformasi pajak properti yang baru itu sendiri, tapi sebagai awal reformasi desentralisasi yang memberdayakan dan menyertakan pemindahan pajak properti terpadu yang sebelumnya sudah direformasi dan sistem administrasinya, dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Fokus reformasi sekarang bukan pada ‘penciptaan kembali’ sistem administrasi pajak properti, karena reformasi sistem yang mendasar sudah selesai di tahun 1988–1994. Fokus reformasi terkini adalah pada cara memindahkan sistem dan prosedur yang terpadu dan komprehensif ini dari pemerintah pusat ke pemda, dengan demikian memerlukan penyesuaian dan modifikasi yang tepat. Reformasi devolusi pajak properti ini sekarang difokuskan pada pemberdayaan pemda agar mereka bisa membuat pilihan kebijakan, dengan jalan menyesuaikan sistem dan prosedur administrasi pajak properti sesuai keperluan dengan lingkungan pemda, meningkatkan kapasitas lokal yang diperlukan untuk pengelolaan pajak properti, dan menjalankan serangkaian insentif yang benar untuk mendorong Pemda 64 Memberi pemda kekuasaan untuk menentukan pengurangan penilaian merupakan bukti yang mendukung proses desentralisasi, keputusan kebijakan yang bisa mengurangi pendapatan pajak properti bukan meningkatkannya. Diskresi kebijakan riil seharusnya bisa diberikan ke pemda untuk menentukan rasio penaksiran secara berbeda tapi dalam batas yang bisa meningkatkan otonomi riil pemda dan mengendalikan pajak properti, jadi mengubah pajak bagi hasil pusat menjadi semacam sistem bea tambahan (surcharge) lokal. (Kelly, 2004).
204
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
agar bisa memanfaatkan sepenuhnya potensi pajak properti untuk menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan. Dengan UU No. 28 (2009), struktur hukum dan kebijakan untuk memindahkan pajak properti sekarang sudah ada. Reformasi pemerintah sekarang difokuskan pada aspek pelaksanaan praktis—untuk memberikan pedoman reformasi secara umum, bantuan teknis, dan peningkatan kapasitas, mengembangkan kerangka hukum dan peraturan daerah, memantau penerapan peraturan daerah, dan memfasilitasi pelaksanaan dan pemantauan hasil di tingkat daerah. Tim pendukung reformasi di bawah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, sudah beroperasi. Seminar sosialisasi telah diselenggarakan, juga pertemuan konsultasi berjalan dengan para pemangku kepentingan di tingkat kebijakan, teknis, dan kelembagaan. Pedoman pendukung dari pemerintah pusat juga telah diterbitkan untuk mengarahkan pemda dalam proses melaksanakan tanggung jawab atas PBB dan BPHTB.65 Pedoman pemerintah pusat juga diterbitkan untuk mendukung pelaksanaan PBB dan BPHTB.66 Dan berbagai langkah sementara telah dijalankan untuk mengoordinasi perpindahan sistem operasi dan teknis, informasi dan kapasitas dari Direktorat Jenderal Perpajakan ke pemda selama periode transisi. Mulai Januari 2011, BPHTB tidak lagi menjadi pajak bagi hasil pemerintah pusat, dan seluruh tanggung jawab diserahkan ke pemda. Seperti yang diharapkan, transisi berjalan menghadapi berbagai pengalaman, tantangan dan keberhasilan, saat peraturan pemda yang diperlukan sedang diselesaikan dan dipakai untuk mensahkan penyerahan tanggung jawab kebijakan dan administratif. Walau pengalaman berbedabeda di setiap pemda, beberapa informasi pendahuluan dari beberapa Pemda di Jawa Barat tampaknya menunjukkan bahwa pengumpulan pendapatan BPHTB melampaui target yang direncanakan, juga melebihi 65
Pemerintah Indonesia, 2010 (SKB No. 213 tahun 2010) dan Permendagri No. 56/2010 Pedoman Teknis untuk Struktur Kelembagaan. 66 ”Pedoman Tata Cara Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)” (Government of Indonesia, MOF, 2010) yang mencantumkan draft peraturan daerah (Perda), peraturan kepala daerah (Perbup/Perwal), dan spesifikasi teknis untuk komputer yang diperlukan untuk menjalankan perangkat pengambilan NJOP untuk verifikasi nilai transaksi BPHTB. Pedoman BPHTB diterbitkan untuk membantu Pemda dalam menyusun peraturan daerah mereka dan sistem administrasi yang tepat. Selanjutnya, pedoman yang sama disusun untuk diterbitkan bagi PBB, sekali lagi untuk mendukung Pemda dalam melaksanakan tanggung jawab atas kebijakan dan administrasi PBB.
205
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
pengumpulan aktual dari tahun sebelumnya. Memang pengumpulan pendapatan PBB di 26 pemda telah meningkat beberapa kali lebih tinggi dari jumlah pendapatan yang dikumpulkan selama periode yang sama dari tahun sebelumnya.67 Walau analisis lebih lanjut masih diperlukan untuk mengidentifikasi kecenderungan dan pelajaran dari penerapan BPHTB, tampaknya perpindahan BPHTB menjadi pendapatan asli daerah sedang memberikan hasil yang diharapkan. Walau beberapa tantangan di awal transisi sudah diperkirakan, tapi ada konsensus umum bahwa BPHTB akan relatif mudah untuk diserap oleh pemda dalam struktur administrasi mereka saat ini, karena BPHTB dikelola dengan basis ‘penaksiran sendiri.’ Wajib pajak diminta menyatakan Nilai Pasar Obyek Pajak (NPOP) sebagai dasar, dan menaksir sendiri kewajiban pajak yang terutang pada Pemerintah. UU memperbolehkan Pemda untuk memakai Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sebagai basis minimum untuk menghitung kewajiban BPHTB, untuk mengaudit Nilai Pasar Obyek Pajak yang dinyatakan oleh wajib pajak, dan untuk menyesuaikan nilai pasar dengan denda karena pelaporan yang salah. Secara umum prosedur administrasi BPHTB sama dengan prosedur administrasi yang dipakai untuk pajak daerah seperti pajak hotel, pajak hiburan dan pajak restoran. Pengalaman awal dalam devolusi BPHTB tampaknya bergerak ke arah yang benar. Pemerintah tentu saja memfokuskan pada dukungan untuk BPHTB, karena pajak ini perlu dipindahkan ke pemda di bulan Januari 2011. Namun UU No. 28 (2009) memberikan waktu transisi yang lebih lama hingga Januari 2014 untuk perpindahan pajak properti perkotaan dan perdesaan, dengan mengakui bahwa devolusi PBB akan lebih rumit. Ada banyak fungsi administratif yang berkaitan dengan proses PBB dan pelayanan wajib pajak, yang saat ini tidak ada di tingkat lokal. Sistem yang terkait PBB ini, prosedur dan peningkatan kapasitas yang berhubungan dengan pengumpulan data properti, penilaian properti, penetapan pajak dan pembagian tagihan pajak, pengumpulan pendapatan, 67
Informasi dari Kementerian Keuangan (2011) hanya bersifat indikatif dan mungkin tidak representatif, karena berasal dari sampel kecil 26 pemda di Jawa Barat dan berdasarkan hanya pada pendapatan yang dikumpulkan dari Januari hingga Maret 2010 dan Januari hingga Maret 2011. Data ini menunjukkan peningkatan rata-rata sekitar 5 kali lebih tinggi dalam pengumpulan pendapatan BPHTB. Analisis lebih lanjut harus dilakukan untuk mengidentifikasi kecenderungan dan pelajaran dari seluruh negeri, untuk mengendalikan faktor-faktor seperti lokasi Pemda, ukuran dan tipe Pemda (kota atau kabupaten).
206
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
penagihan, banding, dan pengelolaan tunggakan harus dialihkan dan diterapkan oleh pemerintah daerah. Karena perbedaan yang besar dalam potensi PBB serta kapasitas administratif di antara 490 pemda di Indonesia, maka pemerintah perlu mengelompokkan pemda menjadi beberapa kelompok agar bisa merancang strategi pelaksanaan yang tepat untuk devolusi PBB ke pemerintah daerah. 68 Variasi pendapatan dan kelembagaan ini menyiratkan perlunya pendekatan dan strategi asimetris untuk menjamin kelancaran pelaksanaan proses devolusi PBB. Seperti disebutkan dalam bagian 10.2 dari bab ini, kombinasi administrasi bersama dan model administrasi lokal akan mempermudah keberhasilan devolusi pajak properti di Indonesia, seperti dijabarkan lebih rinci di bawah ini. Seperti apa kelompok Pemda ini? Seperti ditunjukkan di Tabel 10.4, kelompok pertama adalah kelompok pemda yang sangat Tabel 10.4. Profil Pemda di Indonesia untuk Strategi Devolusi Pajak Properti Kelompok Pemda
Jumlah Pemda
% Pemda
% Pendapatan PBB
Kelompok 1. Pemda yang Sangat Terurbanisir Pemda yang besar ini memiliki basis pendapatan PBB yang kuat dan kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia dan sistem yang lebih kuat. Pemda ini diharapkan memakai PBB mulai 2012 ke depan.
30
6%
70%
Kelompok 2. Pemda Terurbanisir Menengah Pemda ini memiliki potensi kecil tapi kuat untuk pertumbuhan perkotaan lebih lanjut (pusat urban sekunder). Pemda ini memiliki potensi besar untuk pertumbuhan pendapatan pajak properti, tapi memiliki variasi yang luas dalam kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia dan sistem. Pemda ini diharapkan memakai PBB mulai 2012/2013 ke depan.
100
20%
20%
Kelompok 3. Pemda yang Kurang Terurbanisir Pemda ini secara historis memiliki pengumpulan pendapatan PBB yang rendah dan potensi kecil untuk pertumbuhan PBB. PBB di Pemda ini sekarang dikelola administrasinya oleh KPP bersamasama dengan Pemda lain untuk alasan skala ekonomi dan isu kapasitas Pemda. Pemda ini diharapkan memakai PBB (jika mereka memilih untuk memakainya) mulai 2014.
360
74%
10%
Total
490
100%
100%
Sumber: Kelly, et al., 2011, hal. 25. 68
Budi, Sitepu, ”Fiscal Decentralization in Indonesia: The Important Role of Local Revenues” Presentation to 2nd Conference on Local Government Financing in San Fernando, La Union, Philippines, November 8–10, 2010. http://www.decentralization.org.ph/index.php?option=com_ content&view=article&id=28&Itemid=33#
207
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
terurbanisasi, yang cenderung memiliki lebih banyak properti bernilai tinggi milik perorangan berpenghasilan tinggi dengan kemampuan membayar pajak properti yang lebih tinggi. 30 pemda yang sangat terurbanisasi ini membentuk 70% pendapatan PBB. Kelompok kedua adalah 100 pemda terurbanisasi-menengah, yang diharapkan memiliki potensi tinggi untuk lebih banyak pendapatan pajak properti. 100 Pemda ini membentuk 20% pendapatan PBB. Kelompok ketiga adalah 360 pemda yang kurang terurbanisasi/perdesaan yang membentuk hanya 10% pendapatan PBB. Pemda kelompok ketiga ini cenderung memiliki banyak properti bernilai rendah dan warga yang berpenghasilan lebih kecil, jadi kemampuan bayar yang lebih rendah. Walau semua pemda harus bisa meningkatkan akuntabilitas ke bawah melalui pelaksanaan pajak properti, diharapkan bahwa hanya pemda yang sangat terurbanisasi dan yang terurbanisasi-menengah bisa mencapai banyak peningkatan dalam pendapatan pajak properti, yang bisa mendukung peningkatan otonomi daerah. Pemda sisanya yang kurang terurbanisasi diperkirakan akan menghadapi tantangan dalam memobilisasi pendapatan dari pajak properti. Namun diperkirakan juga bahwa banyak pemda seperti ini masih bisa meningkatkan pengumpulan pendapatan mereka, karena mereka memiliki dan bertanggung jawab atas mobilisasi pendapatan asli daerah mereka sendiri untuk pembangunan. Dalam merancang strategi pendukung devolusi pajak properti, penting untuk memperhatikan ketiga kelompok pemda ini, dan mengakui tujuan yang bisa dicapai, pentingnya merancang sistem dan prosedur administrasi yang efektif-biaya, dan tipe dukungan kelembagaan dan teknis tertentu yang diperlukan. Strategi untuk pemda yang lebih terurbanisasi (kelompok 1 dan 2) harus secara logis difokuskan untuk meningkatkan otonomi pendapatan daerah, sambil meningkatkan akuntabilitas ke bawah, sedangkan strategi untuk pemda yang tidak terurbanisir (Kelompok 3) harus secara logis difokuskan untuk meningkatkan akuntabilitas ke bawah, sambil mencoba memaksimalkan pendapatan pajak properti netto dengan jalan memperkecil biaya administrasi pajak properti. Tiga kelompok pemda yang berbeda ini dengan karakteristik tersendiri masing-masing memerlukan pemakaian pendekatan asimetris untuk mendukung devolusi pajak properti yang memungkinkan penerapan model administrasi lokal untuk pemda 208
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
Kelompok 1 dan 2 dan model administrasi bersama untuk pemda Kelompok 3, seperti dijelaskan sebelumnya dalam bagian 10.2. Walau tidak menjadi isu fiskal langsung, ketiga kelompok pemda tersebut harus mempertahankan catatan pajak properti agar bisa mendukung hak pakai (tenure) tanah dan perencanaan tata guna lahan. Catatan pajak properti (termasuk informasi dari SPOP dan Buku C) sangat penting untuk melestarikan hak tanah adat (hak girik) dan sebagai dokumentasi pendukung untuk penerbitan status hukum tanah. Dalam kaitan ini, sangat penting bagi semua pemda untuk memakai pajak properti sebagai cara untuk memastikan bahwa informasi properti dipertahankan demi alasan sosial lainnya ini. Untuk mendorong keberhasilan penerapan PBB oleh semua pemda, pemerintah pusat perlu bersikap strategis dalam menentukan kerangka dan rangkaian insentif agar pemda bisa menerapkan dan melaksanakan PBB secara efektif-biaya dan efisien. Pendekatan yang berbeda-beda akan diperlukan untuk mendukung setiap kelompok pemda ini, dengan karakteristik dan persyaratan tersendiri untuk memastikan keberhasilan devolusi pajak properti, dari segi dukungan pemerintah pusat yang diperlukan, dukungan daerah, dukungan teknologi informasi dan kebutuhan kelembagaan dan pengembangan kapasitas di setiap kelompok pemda. Tidak semua kelompok bisa melaksanakan administrasi PBB secara bersamaan, terutama Kelompok 3 dan beberapa dari Kelompok 2. Karena perpindahan fungsi administrasi ini mungkin perlu dilakukan secara bertahap, dengan bertumpu pada model administrasi bersama. Untuk Kelompok 1 dan beberapa dari Kelompok 2, pemda harus bisa menjalankan fungsi administrasi devolusi secara bersamaan, dengan jalan melaksanakan pajak properti menurut model administrasi lokal. Namun, untuk Kelompok 3 dan beberapa dari Kelompok 2, lebih bijaksana jika pilihan model administrasi bersama dijalankan dengan memindahkan hanya fungsi administratif yang tepat, tapi beberapa fungsi administratif lain tetap dipertahankan di pemerintah pusat untuk memanfaatkan skala ekonomi daan mengatasi hambatan kapasitas pemda. Di bulan Januari 2011, kota Surabaya menjadi kota pertama di Indonesia, yang melaksanakan tanggung jawab PBB sebagai pendapatan asli daerah. Seperti diharapkan, sebagai pemda Kelompok 1, Surabaya 209
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
memakai model administrasi lokal. Penting untuk memantau pengalaman pelaksanaan di Surabaya untuk mengidentifikasi tantangan, peluang dan pelajaran bagi pelaksanaan PBB di pemda lain, sambil terus mempelajari pilihan untuk mempermudah model administrasi bersama untuk pemda yang kurang terurbanisasi atau yang lebih bersifat perdesaan. Di bulan Januari 2011, BPHTB dipindahkan ke pemerintah daerah, dan perpindahan PBB sekarang masih berjalan hingga 2014. Dengan devolusi pajak properti yang sekarang sedang berjalan di Indonesia, maka sekarang kita akhiri dengan menjelajahi peluang untuk lebih memperkuat pendapatan daerah melalui pajak properti di Indonesia.
10.5. Kesimpulan dan Rekomendasi Reformasi pendapatan pemerintah daerah di Indonesia telah merampingkan taksonomi pendapatan, yang bergeser ke sistem daftar ‘tertutup’ dengan pencantuman pajak properti untuk pemda, dan terfokus pada reformasi administrasi dan kebijakan. Landasan yang telah diletakkan harus bisa membuat pemda mampu banyak meningkatkan mobilisasi pendapatan asli mereka, dengan demikian meningkatkan otonomi dan akuntabilitas daerah. Reformasi terkini memperkenalkan UU No. 28 (2009) sebagai jalan agar pemda bisa meningkatkan pendapatan dari sumber mereka sendiri. Pemerintah provinsi dan kota/kabupaten sekarang memiliki akses ke kombinasi pajak yang terkait dengan properti (pajak properti dan pajak transfer properti yang terus ada), pajak penjualan secara selektif pada konsumsi barang dan jasa dan berbagai bea. Sebelumnya, tidak dicantumkannya pajak properti sebagai pajak daerah merupakan anomali besar dalam taksonomi pendapatan daerah di Indonesia. Dengan pemberlakuan UU No. 28 (2009), sistem perpajakan lokal di Indonesia sekarang dibuat sesuai dengan teori dan praktek internasional terkait penugasan pendapatan. Dengan kerangka administrasi dan kebijakan umum yang sekarang dijalankan untuk meningkatkan mobilisasi pendapatan asli daerah, semua Pemda sekarang harus terfokus pada dasar-dasar administrasi pendapatan seperti identifikasi pokok pajak, pengumpulan informasi 210
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
pokok pajak terkait, pencatatan register pajak, penilaian properti, pengenaan pajak, penerbitan dan pengiriman tagihan pajak, pengumpulan dan pertanggungjawaban pengumpulan pajak, audit penilaian sendiri yang diserahkan, penindakan ketidakpatuhan, penanganan banding dan penyelesaian sengketa, dan penyediaan pelayanan wajib pajak. Prioritas sekarang harus diletakkan pada peningkatan pelaksanaan melalui mobilisasi kemauan politik lokal yang kuat, peningkatan kapasitas teknis dan operasional, peningkatan pelayanan wajib pajak/pendidikan, dan peningkatan keseluruhan administrasi pendapatan. Teori menyarankan bahwa, jika memungkinkan, fungsi administrasi pajak harus dibuat untuk memperkecil biaya, memanfaatkan skala ekonomi dan mengatasi hambatan kapasitas lokal. Pengalaman internasional mengidentifikasi dua model umum untuk pengelolaan mobilisasi pendapatan daerah, yakni: model administrasi lokal atau model administrasi bersama. Dalam model administrasi lokal, pemda bertanggung jawab atas semua fungsi administratif tetapi boleh mengalih-daya (outsource) fungsi ini ke pihak ketiga jika dianggap tepat. Sebaliknya dalam model administrasi bersama, pemda bertanggung-jawab atas fungsi tertentu dengan pilihan untuk mengalihdaya, sedangkan fungsi administratif lain diserahkan ke pemerintah yang lebih tinggi dan/atau pihak ketiga, sesuai peraturan pemerintah. Contohnya, seperti disebutkan dalam bagian 10.2, fungsi penilaian properti di Jamaika, Australia, Selandia Baru dan Malaysia diserahkan ke Departemen Penilaian Umum di tingkat pusat atau negara bagian karena alasan skala ekonomi dan keadilan. Seperti disebutkan di Indonesia, ada tiga kelompok pemda yang berbeda-beda, yang mungkin memerlukan pilihan kelembagaan yang berbeda agar bisa berhasil dalam melaksanakan pajak properti. Beberapa pemda (misalnya, Pemda Kelompok 1 dan beberapa dari Kelompok 2) bisa mengemban tanggung jawab dan melaksanakan semua fungsi administrasi PBB dengan model administrasi lokal. Namun, karena masalah kapasitas dan efektivitas biaya, banyak pemda (misalnya dari Kelompok 3 dan beberapa dari Kelompok 2) mungkin memerlukan fungsi administratif tertentu untuk PBB, yang dikelola dengan bantuan pihak ketiga.
211
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Kelompok pemda yang terakhir ini akan memerlukan model administrasi bersama untuk mengurangi lonjakan biaya dan mengatasi hambatan kapasitas. Untuk awalnya, pemda ini akan memerlukan dukungan dalam pelaksanaan fungsi penilaian dan data properti, pencetakan masal dan dukungan sistem. Seiring dengan meningkatnya kapasitas, beberapa pemda ini bisa semakin terlibat dalam operasi lapangan kadaster fiskal (data dan penilaian). Tapi pemda seperti ini mungkin memerlukan model administrasi bersama, yang menyediakan bantuan penilaian dalam beberapa tahun mendatang. Paling tidak untuk pemda Kelompok 3, model administrasi bersama penting untuk keberhasilan pengalihan PBB ke pemerintah daerah, karena bisa mengurangi biaya administrasi yang berkaitan dengan perawatan sistem kadaster fiskal, pencetakan masal dan dukungan sistem secara umum. Bahkan saat ini di pemda Kelompok 3, salah satu kantor administrasi pajak pemerintah pusat (KPP) mengelola pajak properti untuk beberapa yurisdiksi pemerintah daerah karena alasan skala ekonomi. Kebutuhan model administrasi bersama akan terus ada bahkan setelah PBB dipindahkan menjadi pendapatan asli pemda, kecuali ada perubahan mendasar dalam struktur pendapatan dan biaya serta kapasitas pemerintah daerah. Tampaknya ada pengakuan umum bahwa model administrasi bersama diperlukan, tapi belum ada kesepakatan terkait cara menyusun, mengatur dan membiayai struktur model administrasi bersama ini agar bisa memaksimalkan dukungan untuk pemda dalam pelaksanaan PBB dengan cara paling efisien dan biaya paling efektif. Penentuan urutan reformasi juga penting untuk memastikan kesejajaran dukungan politis, pengembangan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kapasitas sistem, mobilisasi dana untuk pelaksanaan, sosialisasi ke wajib pajak, dan pemantauan oleh pemerintah pusat dan daerah. Penentuan waktu kegiatan selama periode transisi juga penting untuk menjamin kemajuan yang sangat kasat mata, kepemilikan lokal yang kuat, dan pengumpulan pendapatan yang efisien dan adil. Keberhasilan proses devolusi pajak properti tidak bisa diukur hanya dari pendapatan yang meningkat, tapi juga dari indikator yang mengukur tingkat kepekaan pemda dan tata kelola yang akuntabel menurut pandangan warga masyarakat.
212
Bagian D : Memberikan Sistem Pembiayaan Antar Pemerintah yang Efektif
Peningkatan kapasitas penting bagi pemerintah pusat dan daerah. Kapasitas tingkat pusat harus ditingkatkan agar pemerintah pusat bisa memberikan pengawasan, bimbingan dan bantuan yang diperlukan untuk menjamin keberhasilan devolusi, penerapan dan pelaksanaan BPHTB dan PBB sebagai pendapatan asli daerah yang efektif dan layak. Ini menyiratkan pergeseran dari pelaksana langsung menjadi pemberdaya dan fasilitator, dan kapasitas tingkat lokal harus ditingkatkan juga untuk mengemban tanggung jawab administrasi dan kebijakan ekstra, memobilisasi kemauan politis lokal dan meningkatkan kapasitas teknis/operasional untuk pelaksanaan pajak properti secara efisien dan adil. Indonesia perlu menemukan cara-cara yang kreatif untuk mengatasi hambatan kapasitas tingkat lokal melalui berbagai kombinasi, seperti realokasi sumberdaya manusia yang ada di pemerintah pusat dan daerah, rekrutmen spesialis dengan keterampilan yang diperlukan, dan/atau peningkatan kapasitas untuk personel pemerintah daerah yang ada. Reformasi devolusi pajak properti merupakan proses yang dinamis, yang memerlukan pemantauan, analisis dan penyesuaian secara cermat seiring waktu untuk menjamin keberhasilan. Memang fase persiapan di tahun 2009–2010 telah meletakkan dasar hukum untuk proses reformasi, tapi fase transisi dalam waktu dekat ini (2011–2014) merupakan tahap pelaksanaan terpenting untuk proses reformasi BPHTB dan PBB. Pelaksanaan reformasi di lapangan dimulai di bulan Januari 2011, dengan semua pemda menerapkan BPHTB dan Kota Surabaya mengemban tanggung jawab atas PBB. Tahap transisi yang sekarang sedang berjalan memerlukan dukungan politis yang kuat, bantuan teknis berjalan, dan pelaksanaan secara efektif untuk mewujudkan sepenuhnya manfaat devolusi pajak properti ke pemerintah daerah. Pemberlakuan UU No. 28 (2009) menunjukkan komitmen politis yang kuat untuk memberdayakan dan memperkuat pemerintah daerah melalui peningkatan otonomi fiskal, pendapatan asli daerah yang lebih banyak, dan akuntabilitas semakin besar pada masyarakat. Landasan hukum telah diletakkan dan pelaksanaan sedang berjalan. Lingkungan reformasi yang mendukung dan memicu kerjasama akan diperlukan untuk memastikan bahwa pemda memperoleh dukungan secara berkelanjutan, yang diperlukan agar pelaksanaan pajak properti berjalan sukses. Kemauan politis yang berkelanjutan di tingkat pusat untuk 213
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
mendukung reformasi devolusi, sangat penting artinya bagi keberhasilan reformasi. Pelaksanaan devolusi pajak properti, yang sukses di Indonesia, akan membantu pencapaian tujuan desentralisasi untuk meningkatkan akuntabilitas tata kelola dan pelayanan publik untuk masyarakat daerah.
214
BAGIAN E Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
11 Studi Kasus Penyediaan Pelayanan di Kota Surakarta, Indonesia Joko Widodo, Wali Kota Surakarta
11.1. Pendahuluan Selama periode 2005–2010, Wali Kota Surakarta merasakan euforia reformasi politik di negeri ini. Dalam suasana seperti ini, aspirasi demokrasi marak diajukan, tapi terkait kehidupan sehari-hari masyarakat, masih ada krisis yang terasa. Pengembangan stabilitas politik masih dalam titik pentingnya, yang memerlukan usaha berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat. Situasi seperti ini bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan pada pemerintah dan kegagalan agenda reformasi dalam mewujudkan otonomi daerah. Saat ini, tujuan utama reformasi adalah untuk menyediakan kebutuhan dasar masyarakat miskin, terkait kesehatan dan pendidikan; untuk membangun dan mengembangkan usaha kecil dan kegiatan ekonomi untuk masyarakat berpenghasilan kecil; untuk meremajakan ruang publik milik negara melalui infrastruktur dan fasilitas perkotaan yang lebih baik; dan untuk menciptakan suasana kota yang lebih baik agar Surakarta terkesan sebagai kota yang ramah untuk tinggal dan bekerja. Di tahun 2006, keputusan strategis dibuat bahwa pemerintah kota pertama-tama akan menangani masalah pedagang kaki lima. Pada waktu itu ada 5.817 pedagang kaki lima yang berjualan di lima kecamatan dan menempati ruang publik, saluran air, dan jalan-jalan utama di kota Surakarta. Ini menyebabkan masalah lalu-lintas dan polusi, munculnya 217
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
daerah kumuh dan pelanggaran beberapa peraturan daerah. Secara berkala, Walikota menerima hingga 60 pesan setiap hari dari warga yang menginginkan situasi ini ditangani. Dari 5.817 pedagang kaki lima ini, 989 pedagang yang berjualan di Monumen 45, Banjarsari, dipilih untuk menjadi subyek studi kasus mengenai peralihan historis dalam perencanaan ruang terbuka perkotaan yang dikembangkan melalui proses konsultasi intensif dengan instansiinstansi terkait Pemda, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), SOMPIS dan Pusat Daerah Usaha (CBD) lokal. Sifat dasar proses ini yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan menyiratkan bahwa ada risiko nyata berupa konflik sosial yang muncul. Walikota memutuskan untuk mengambil peran sebagai pemimpin, sejak awal hingga penyelesaiannya. Pelajaran yang ditarik dari proyek percontohan ini dipakai untuk mengembangkan rencana-rencana lain untuk mengembangkan dan meningkatkan ruang publik, seperti Taman Balekambang, Ngarsopuro, daerah di sekitar Benteng Vastenburg, Stadion Manahan dan pasar tradisional. Bersamaan dengan pembangunan infrastruktur ini, bidangbidang lain penting juga untuk ditingkatkan di bawah kendali pemerintah kota, seperti subsidi kesehatan (PKMS), pendidikan (BPMKS) dan kegiatan kebudayaan. Sejak 2010, kota Surakarta bisa mempertahankan dan mengembangkan keberhasilan yang diperoleh dari tahap awal ini, dan menyempurnakan visinya untuk maju menjadi kota eco-cultural. Ini berarti pengembangan ide kota Surakarta sebagai kota budaya, sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kota tersebut. Misinya adalah untuk memberdayakan dan meningkatkan ekonomi masyarakat, untuk mengembangkan cita-rasa seni dan nilai kebudayaan; untuk memperkuat karakter kota, untuk meningkatkan dan memperluas ketersediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan, untuk meningkatkan kesempatan kerja, untuk meningkatkan iklim investasi, untuk meningkatkan prasarana dan sarana kota, dan untuk mempromosikan citra kota.
11.2. Latar Belakang dan Hipotesis Lokasi Surakarta memberikan keuntungan strategis, dengan akses ke sistem transportasi metropolitan Jawa. Pencantuman pemerintahannya ke dalam Kerajaan Islam Mataram—yang menyertakan juga Yogya218
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
karta—berarti wilayah yang menampung masyarakat dan fasilitas perkotaan. Kota ini sebagian besar berisi bangunan (80%) tanpa manfaat sumberdaya alam. Semua kabupaten yang mengelilingi daerah terbangun kota, berada di tepian batas kota. Sumberdaya kota yang paling potensial adalah warisan budayanya. Nilai lebih ini diwujudkan melalui pengelolaan tiga hal yaitu: produk— penyediaan fasilitas dan pelayanan perkotaan; pelanggan—wisatawan, investor, pedagang, pameran dan kegiatan; dan citra—kota dengan lingkungan sosial yang ramah dan budaya yang unik. 11.2.1. Kehidupan Ekonomi Kota Surakarta Seperti terlihat di Tabel 11.1 dan 11.2, struktur ekonomi kota didominasi oleh perdagangan dan industri pengolahan, serta industri perhotelan. Dua sektor ini memberikan kontribusi sebesar 50% pada PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Di tahun 2005–2006, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar, tapi mulai tahun 2007, perdagangan dan perhotelan mengambil-alih. Di tahun 2009, sektor perhotelan memberikan kontribusi terbesar, yang mencapai 25,3% PDRB jika dibandingkan dengan sektor-sektor lain yang memberikan kontribusi sebesar 11,1%. Kontribusi terkecil berasal dari sektor pertambangan yaitu hanya 0,03%. Tabel 11.1. Kontribusi Sektoral pada PBRB Kota Surakarta, 2005–2009 (%) Sektor Ekonomi
2005
2006
2007
2008
2009
Pertanian
0,06
0,06
0,06
0,06
0,06
Pertambangan
0,04
0,04
0,04
0,04
0,03
Sektor Primer
0,10
0,10
0,10
0,10
0,09
Industri Pengolahan
26,42
25,11
24,34
23,27
22,17
2,59
2,69
2,69
2,57
2,63
Konstruksi
Listrik, Gas dan Air
12,89
13,07
13,38
14,44
14,93
Sektor Sekunder
41,90
40,87
41,80
40,28
39,73
Perdagangan, Hotel dan Restoran
23,82
24,35
24,78
25,12
25,26
Transportasi dan Komunikasi
11,52
11,78
11,61
11,20
11,58
Keuangan, Kredit dan Usaha
11,43
11,26
11,06
10,93
10,88
11,23
11,64
12,04
12,38
12,46
Sektor Tersier
58,00
59,03
59,49
59,63
60,18
TOTAL PDRB
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Jasa
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Surakarta (2010).
219
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Tabel 11.2. Pertumbuhan PDRB per Sektor (Harga Konstan 2000) 2005–2009 (%) p di Kota Surakarta, g Sektor Penyumbang
2005
2006
2007
2008
2009
Pertanian
0,88
1,20
1,54
-1,14
1,19
Pertambangan
3,34
-0,21
2,31
4,22
-2,24
Industri Pengolahan
1,47
2,55
3,46
2,32
2,94
Listrik, Gas, dan Air
4,45
9,25
5,56
6,35
11,25
Konstruksi
8,24
5,85
9,64
10,27
7,30
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
7,58
6,93
6,36
7,52
6,35
Transportasi dan Komunikasi
5,48
5,96
6,00
4,92
7,75
Keuangan, Kredit, dan Usaha
6,74
6,20
5,93
5,73
6,40
Jasa
4,79
6,97
6,20
5,22
7,05
5,15
5,43
5,82
5,69
5,90
Total PDRB
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Surakarta (2010).
Berbagai tempat wisata dan hotel di kota Surakarta lebih menarik bagi para wisatawan, daripada yang ada di kabupaten/kota sekitarnya. Rasio pendapatan dari keseluruhan PAD tertinggi di antara kabupaten/ kota lain, yang mungkin akan terus tumbuh di tahun-tahun mendatang. Peremajaan pasar tradisional telah memberi peluang untuk meningkatkan ekonomi masyarakat berpenghasilan kecil, jadi memberikan kontribusi lagi pada PAD. Semangat kewirausahaan dari masyarakat Surakarta telah mendorong mereka untuk membantu diri mereka sendiri dan mendapatkan pekerjaan di sektor informal—suatu bidang yang tahan terhadap krisis ekonomi. Pemaduan moda transportasi—yang menghubungkan Bandara Adisumarmo, Trans-Kereta Api Batik Solo dan Bandara Adisucipto telah memperlancar mobilitas penumpang dan barang dari daerah lain, dengan demikian mendorong pertumbuhan ekonomi global. 11.2.2. Kehidupan Politik Kota Surakarta Kota Surakarta terdiri dari lima kecamatan, 51 kelurahan, 601 Rukun Warga (RW) dan 2.708 Rukun Tetangga (RT). Di dalam daerah 220
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
metropolis yang lebih besar, Surakarta dianggap sebagai pusat untuk beberapa kabupaten/kota lain di pedalaman, yakni Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Di wilayah ini, kerja sama dilakukan antar beberapa kabupaten/kota. Selain itu, ada juga kerja sama antar pusat-pusat metropolis Jawa Tengah dan Provinsi Yogyakarta—yang disebut sebagai Yogya-Solo-Semarang (JOGLO SEMAR). Hubungan kerja sama ini melengkapi tujuan masing-masing daerah untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik dan lebih murah bagi masyarakatnya. 11.2.3. Kehidupan Sosial • Indeks pembangunan manusia yang lebih bagus bisa memberikan sumberdaya untuk mempercepat pembangunan kota; • Fasilitas pendidikan tinggi tersedia, yang memberi lebih banyak peluang jika dibandingkan dengan daerah lain—terutama Solo Raya; • Pelayanan kesehatan sudah memenuhi kualifikasi ISO 9001:2000; ada sembilan Puskesmas dan empat Puskesmas yang memberikan pelayanan rawat-inap; dan • Surakarta adalah titik pusat penyediaan jasa—perdagangan, keuangan, pendidikan dan kesehatan—bagi daerah sekitarnya. Ini memungkinkan kota ini untuk tumbuh lebih cepat dan menjadi tujuan orang yang ingin meningkatkan mutu hidupnya.
11.3. Sumber Pendapatan untuk Anggaran Kota Surakarta Sumber pendapatan kota terdiri dari: • Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meliputi: (a) pajak kota, (b) bea dan retribusi kota, dan (c) pendapatan daerah lain yang sah; • Transfer dana perimbangan yang terdiri dari: (a) Dana Bagi Hasil Pajak, (b) Dana Alokasi Umum (DAU), dan (c) Dana Alokasi Khusus (DAK); dan • Sumber pendapatan daerah lain yang sah. Anggaran kota Surakarta tahun 2011 didasarkan pada asumsi yang diambil dari data yang tersedia tentang sumber pendapatan, seperti Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan pendapatan daerah 221
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
lain yang sah. Anggaran ini bernilai Rp 1.003.623.509.000 yang meningkat sebanyak Rp 133.404.450.185—peningkatan sebesar 15,4% —dari angka tahun 2010 yang sebesar Rp 870.219.058.815. Pendapatan daerah di tahun 2011 terdiri dari dana perimbangan dari pemerintah pusat—senilai Rp 642,1 miliar atau 64,0% dari anggaran pendapatan daerah; pendapatan asli daerah (PAD)—senilai Rp 159,2 miliar atau 15,9%; dan dana pendapatan lain—senilai Rp 202,3 miliar atau 20,2%. Pemerintah kota telah memberlakukan beberapa kebijakan pendapatan untuk mempertahankan pertumbuhan pendapatan daerah. Kebijakan ini meliputi: • Mendorong swadaya dalam anggaran daerah, melalui peningkatan pengumpulan pendapatan asli daerah; • Meningkatkan akses dan fasilitas untuk wajib pajak; • Meningkatkan pemberlakuan ketetapan pajak dan non-pajak; dan • Melaksanakan insentif dan disinsentif untuk meningkatkan pengelolaan dan pengumpulan pendapatan.
11.4. Ringkasan Strategi Pembangunan Kota Secara ringkas, prioritas penting kota adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin, terutama di bidang kesehatan, pendidikan dan pengembangan usaha, dan untuk meningkatkan ruang dan infrastruktur daerah. Pertumbuhan kuat dalam pendapatan daerah telah didorong melalui penguatan bea pengguna dan pendekatan penagihan yang disiplin, juga dukungan kuat dari pertumbuhan ekonomi nasional yang kuat. Delapan inisiatif yang telah diambil saat ini adalah sebagai berikut: Pertama, pengembangan visi dan misi kota yang kuat. Visi dipusatkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan identitas kultural kota. Bidang-bidang penting dalam misi meliputi: (i) ekonomi daerah yang kuat, (ii) nilai etika dan budaya yang kuat, (iii) karakter kota yang kuat dan citra kota yang diakui secara luas, (iv) kota yang menyediakan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang bagus, (v) penumbuhkembangan kesempatan kerja; (vi) lingkungan yang kondusif untuk investasi, dan (vii) peningkatan dan pemeliharaan infrastruktur kota. 222
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Kedua, pengembangan kebijakan untuk pedagang kaki lima, termasuk peremajaan pasar. Sebelumnya, sekitar 6.000 pedagang kaki lima menyebabkan kemacetan lalu lintas, polusi dan berkembangnya daerah kumuh. Setelah konsultasi, proyek percontohan yang melibatkan sekitar 1.000 pedagang kaki lima diperkenalkan melalui perencanaan ruang terbuka untuk pedagang kaki lima. Eksperimen ini kemudian diperluas ke daerah dan pedagang lain. Ketiga, perbaikan lingkungan kumuh dan perumahan murah, termasuk renovasi dan relokasi, dan penghijauan daerah perkotaan. Keempat dan berhubungan erat adalah peningkatan sanitasi masyarakat, termasuk perbaikan dan perluasan sarana MCK (mandi, cuci, kakus) untuk umum. Kelima, fokus baru diberikan pada peningkatan dan pengembangan sentra transportasi—udara, darat dan kereta api—yang dikaitkan dengan pertumbuhan: perdagangan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pariwisata. Keenam, Surakarta sudah banyak dipromosikan sebagai kota budaya untuk wisatawan asing dan domestik, juga rasa kebanggaan yang dikembangkan bagi masyarakatnya. Warisan budaya kota ini banyak membantu tumbuhnya identitas kebudayaan yang kuat dan meningkatkan iklim investasi dan pengembangan usaha. Inisiatif-inisiatif yang telah dilakukan meliputi pembukaan taman dan ruang kota, serta hari bebas mobil di jalan-jalan utama. Ketujuh, subsidi kesehatan dan pendidikan diterapkan untuk warga miskin, melalui pemakaian kartu subsidi perak, emas, dan platina (subsidi terbanyak diberikan ke keluarga yang sangat miskin). Kota ini dipromosikan sebagai pusat pelayanan kesehatan dan pendidikan. Kedelapan, pengembangan usaha dan perdagangan juga dilakukan. Ini meliputi bantuan untuk sekolah kejuruan, taman teknologi, pemberian izin di satu tempat dan fasilitas lain, serta tekanan yang kuat pada pembangunan lingkungan untuk pengembangan usaha. Kesembilan, fokus yang kuat telah dilakukan untuk menumbuhkembangkan peningkatan sosial. Pemantauan ketat juga dilakukan pada kecenderungan perkembangan indeks pembangunan manusia yang saat ini meningkat.
223
12 Studi Kasus Penyediaan Pelayanan, Provinsi Gorontalo, Indonesia Winarni Monarfa, Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo
12.1. Pendahuluan Provinsi Gorontalo merupakan provinsi ke-32 di Indonesia yang dibentuk pada tanggal 16 Februari tahun 2001 sesuai UU No. 38 tahun 2000 hasil pemekaran dari Provinsi induk Sulawesi Utara dengan luas wilayah 12.215,44 km2 atau hanya 0,64% dari luas wilayah Republik Indonesia. Wilayah administrasi Provinsi Gorontalo hingga tahun 2010 terdiri dari 6 kabupaten/kota, 70 kecamatan dan 698 desa/ kelurahan yang dihuni oleh 1.038.585 jiwa penduduk. Gorontalo menyadari berbagai kekurangan dan keterbatasan sumberdaya alam yang dimiliki dalam membangun daya saing, di antaranya jumlah penduduk miskin yang sangat tinggi (34,23%), infrastruktur dasar yang sangat terbatas, serta hanya diintervensi dengan Rp 75,62 miliar (APBD), dan Rp 73,38 miliar (APBN).
12.2. Strategi Pembangunan Gorontalo Untuk mengejar berbagai ketertinggalan dengan keterbatasan yang dimiliki, berbagai terobosan dan inovasi terus dilakukan, dengan strategi pembangunan yang dilakukan yaitu: 12.2.1. Menentukan Visi Pada hakikatnya pembangunan merupakan suatu rangkaian upaya yang dilakukan secara terus-menerus untuk mencapai tingkat 224
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
kesejahteraan masyarakat. Upaya dimaksud dilakukan melalui pemanfaatan potensi sumberdaya yang dimiliki baik sumberdaya manusia, daya dukung alam, kemampuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhitungkan tantangan perkembangan global. Perspektif ini sekaligus menjadi alasan rasional kebijakan pembangunan di daerah adalah usaha untuk menanggulangi kemiskinan dan aspek-aspek yang melatarbelakanginya, sehingga rumusan tujuan pembangunan daerah tidak lain adalah untuk membangun manusia di daerah secara lahir-batin. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut di atas, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2007–2012 Pemerintah Provinsi Gorontalo menetapkan Visi: ”Gorontalo Provinsi Inovatif dengan Misi: Mewujudkan Masyarakat Gorontalo yang Mandiri, Produktif dan Religius.” Untuk tercapainya visi dan misi tersebut maka 4 (empat) agenda pokok pembangunan yang akan dijalankan yaitu: • Inovasi kepemerintahan wirausaha yang dititikberatkan pada prestasi aksi dan prestasi hasil yang mampu menumbuhkan kepercayaan rakyat; • Inovasi pengembangan SDM yang berorientasi wirausaha, mandiri dan religius; • Inovasi dalam mengembangkan ekonomi rakyat berbasis desa yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja sektor unggulan daerah yang menunjang produktivitas daerah yang bertumpu pada ekonomi desa; dan • Inovasi teknologi tepat guna untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah Provinsi Gorontalo menetapkan 3 program unggulan sebagai motor penggerak pembangunan di Provinsi Gorontalo: • Pertama, Pengembangan Sumberdaya Manusia. Mempercepat Pengembangan SDM yang berbudaya kewirausahaan sebagai motor penggerak percepatan pembangunan melalui model pendidikan berbasis kawasan; • Kedua, Pengembangan Pertanian dengan dasar Jagung. Memacu Pembangunan Pertanian melalui Program Agropolitan berbasis Jagung dengan penerapan sembilan (9) pilar agropolitan; dan • Ketiga, Pengembangan Perikanan. Pembangunan sektor 225
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
perikanan dan pengembangan wilayah pesisir melalui 11 Model Pengembangan Etalase Perikanan dan Model Taxi Mina Bahari serta minapolitan. 12.2.2. Reformasi Birokrasi Reformasi birokrasi dilakukan sebagai kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang lebih kompleks dan heterogen menuntut pemerintah daerah meningkatkan efisiensi dengan memangkas biaya publik, serta peningkatan dan efektivitas kinerja birokrasi/pemerintahan. Kunci sukses reformasi birokrasi yaitu adanya political will antar pimpinan dan bawahan, efisiensi waktu, fleksibilitas sumber-sumber keuangan, dukungan stakeholders, teknologi informasi dan dukungan semua sektor di masyarakat. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Provinsi Gorontalo yaitu: • Reformasi di Bidang Keuangan meliputi; Aspek Hukum, Aspek Ketatalaksanaan, Tunjangan Kinerja Daerah, Sistem dan Prosedur, Aspek SDM, dan Aspek Kelembagaan; dan • Reformasi SDM Aparatur meliputi; Penataan Manajemen SDM Aparatur, Diklat Pengembangan SDM, Job Tender, Kontrak Kinerja. 12.2.3. Membangun Jaringan dan Kerja Sama Dalam rangka percepatan dan memacu pembangunan di daerah, pemerintah Provinsi Gorontalo terus menggalang berbagai kerja sama pembangunan baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Hingga tahun 2010 pemerintah Provinsi Gorontalo telah melakukan kerja sama di berbagai bidang, tercatat ada 11 universitas di Indonesia, 13 Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota se Indonesia serta 5 negara dan 7 lembaga donor internasional. Selain keempat strategi yang dilakukan, berbagai kebijakan dan pendekatan juga terus dilakukan dalam konteks percepatan peningkatan pembangunan daerah di antaranya: • Kebijakan Alokasi Anggaran APBD dengan memperbesar alokasi belanja langsung (publik) dibanding belanja tidak langsung (aparatur), dimana dari tahun 2001 hingga tahun 2010 perbandingan alokasi belanja langsung dan tidak langsung kisaran 60 : 40 persen; 226
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
• Intervensi terbatas pemerintah dalam mendukung program unggulan khususnya sektor pertanian (jagung) dan sektor perikanan. Pemerintah mengambil kebijakan dengan melakukan intervensi terbatas terhadap harga dasar jagung serta harga dasar ikan dan rumput laut. Di mana jika harga jagung dan ikan berada di bawah harga dasar yang telah ditetapkan, pemerintah melalui BUMD wajib membeli sesuai harga dasar yang ditetapkan sehingga petani dan nelayan tidak merasa dirugikan dan memiliki kemauan untuk terus mengembangkan pertanian dan perikanan; • Penyusunan Laporan Indeks Pembangunan Manusia (UNDPBappenas, 2009). Sejak tahun 2009 UNDP bekerja sama dengan Bappenas RI telah menetapkan 15 kecamatan yang memiliki IPM di bawah rata-rata IPM provinsi sehingga dari hasil tersebut Pemerintah Provinsi Gorontalo Mengembangkan model perencanaan berbasis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sehingga fokus dan lokus program-program pembangunan pada 15 kecamatan yang memiliki IPM di bawah rata-rata IPM provinsi tersebut; • Penyusunan Dokumen Expenditure Analysis (PEA) bekerja sama dengan World Bank (2007) untuk mengkaji alokasi belanja publik APBD di Provinsi Gorontalo; • Penyusunan RAD MDGs (2011). MDGs merupakan komitmen internasional yang harus dicapai pada tahun 2015, dan telah ditindaklanjuti melalui Inpres No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. Dalam rangka percepatan pencapaian MDGs, Pemerintah Provinsi Gorontalo telah menyusun Rencana Anggaran Dasar (RAD) Pencapaian MDGs 2015; dan • Penyusunan Masterplan Infrastruktur (2010) untuk memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah dalam kebijakan perencanaan pembangunan infrastruktur ke depan. Arahan diberikan dalam hal mengidentifikasi kriteria lokasi strategis infrastruktur; pemetaan titik startegis untuk setiap ibu kota kecamatan; dan perencanaan prioritas infrastruktur.
227
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
12.3. Kinerja Pembangunan Strategi pembangunan yang dilakukan pemerintah Provinsi Gorontalo pada selang dasawarsa menunjukkan hasil yang sangat positif, dan telah membawa Gorontalo pada tingkat kemajuan sangat berarti khususnya pada ekonomi makro Provinsi Gorontalo seperti yang tergambar sebagai berikut: 12.3.1. Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Per Kapita Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo menunjukan trend yang meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2002 pertumbuhan ekonomi sebesar 6,45% dan terus meningkat menjadi 7,63% pada tahun 2010 dan berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,1%. Pertumbuhan ekonomi ini juga dibarengi dengan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat Gorontalo, di mana pada tahun 2010 sudah mencapai Rp 7.720.000. Gambar 12.1. Pertumbuhan Ekonomi Nasional dan Pertumbuhan Provinsi Gorontalo, 2002–2010 (%)
Pertumbuhan Nasional
Pertumbuhan Gorontalo
Pertumbuhan Gorontalo Per Kapita
Sumber: Provinsi Gorontalo
12.3.2. Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia Angka kemiskinan di Provinsi Gorontalo mengalami penurunan yang cukup signifikan dimana pada tahun 2002 mencapai 32,13% terus mengalami penurunan hingga menjadi 23,19% di tahun 2010, dan pada tahun 2011 penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 4,44 % dari 228
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
tahun 2010 menjadi 18,75% (Gambar 12.2). Penurunan tersebut merupakan penurunan terbesar ke-3 secara nasional. Namun persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo masih berada di bawah rata-rata angka kemiskinan nasional sehingga masih diperlukan upaya yang lebih keras dalam mengurangi angka kemiskinan. IPM sebagai tolok ukur keberhasilan suatu pemerintah, dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2009 terus menunjukkan peningkatan yang positif, dari 64,13 poin di tahun 2002 menjadi 69,79 poin di tahun 2009 (Gambar 12.3). Gambar 12.2. Persentase Angka Kemiskinan
Nasional
Gorontalo
Sumber: Provinsi Gorontalo
12.3.3. Pengangguran Terbuka Angka pengangguran terbuka juga memperlihatkan penurunan, tahun 2002 berada pada 9, 26% menurun menjadi 5,16% pada tahun 2010 (Gambar 12.3).
229
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Gambar 12.3. Pengangguran Terbuka
Sumber: Provinsi Gorontalo
12.3.4. Pencapaian MDGs Pencapaian MDGs Provinsi Gorontalo sesuai data BPS Tahun 2009 berada pada peringkat 13 secara nasional (Gambar 12.4).
Gambar 12.4. Pencapaian MDGs
230
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
12.3.5. Perbaikan Kondisi Infrastruktur Berbagai infrastruktur terus dibangun oleh pemerintah daerah seperti penyediaan sarana dan prasarana sanitasi dan air bersih di mana pada tahun 2010 akses sanitasi layak sudah mencapai 45,65% dari target MDGs 2015 sebesar 75%, dan air layak minum perkotaan mencapai 67,5% dari target MDGs 2015 sebesar 85%; pembangunan jalan akses yang menghubungkan sentra-sentra produksi pertanian dan produksi perikanan, hingga tahun 2010 jalan akses yang sudah terbangun sepanjang 164 km yang dibiayai melalui dana APBD; pembangunan rumah layak huni yang diperuntukkan masyarakat miskin hingga tahun 2010 sudah terbangun sebanyak + 5000 unit; pengembangan bandara Djalaludin Gorontalo, pembangunan jalan by pass, pembangunan kanal dalam menanggulangi permasalahan banjir, serta pembangunan infrastruktur dan prasarana dasar lainnya dalam rangka menunjang perekonomian masyarakat dan penurunan angka kemiskinan.
12.4. Kesimpulan dan Rekomendasi Pada Konferensi Internasional Desentralisasi Fiskal ini, ada beberapa saran dan rekomendasi sebagai masukan dan pertimbangan dalam pengalokasian Dana Alokasi Khusus di daerah, yaitu sebagai berikut: • Menyesuaikan kriteria pengalokasian DAK (dalam Kriteria Umum, disebutkan daerah penerima DAK dilihat dari besaran jumlah alokasi belanja pegawai, dimana semakin besar alokasi belanja pegawai semakin besar peluang mendapat alokasi DAK); • Kondisi Gorontalo pada posisi yang tidak sejalan dengan prinsip alokasi DAK tersebut. Dalam penerapannya, Pemda Gorontalo selalu mengalokasikan belanja langsung lebih besar dari belanja tidak langsung. Implikasi Pemerintah Provinsi Gorontalo sampai dengan 10 tahun terakhir hanya mendapat DAK pada 1 (satu) sektor saja (PU); • Memperbesar alokasi DAK (memperkecil dana dekonsentrasi). Ini berarti akan lebih besar alokasi belanja untuk kegiatan fisik (karena DAK lebih ke kegiatan fisik sedangkan dekonsentrasi lebih pada kegiatan nonfisik); • Sudah waktunya memperhatikan kondisi IPM dalam peng231
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
alokasian anggaran ke daerah, artinya, pemda dengan IPM dan kapasitas fiskal rendah seharusnya mendapat alokasi anggaran yang lebih besar; • Indikator alokasi DAK tidak saja melihat jumlah penduduk, luas wilayah, dll., namun perlu juga diperhatikan daerah-daerah yang berpegang pada prinsip alokasi belanja yang lebih memperbesar belanja langsung daripada belanja tidak langsung sebagai reward atas kebijakan anggaran yang propublik. Hal ini juga menjadi kontraproduktif atas kebijakan pemerintah pusat yang memberikan reward kepada pemda hanya dari sisi administratif (misalnya reward bagi pemda yang mendapat opini WTP), tetapi juga reward atas kebijakan anggaran pro publik perlu dilakukan; dan • Penerapan pembangunan kewilayahan (Dalam buku III RPJMN) dan terakhir melalui Masterplan KEI perlu diikuti dengan kebijakan yang lebih teknis untuk penyediaan/membangun infrastruktur di daerah.
232
13 Pilihan Pembiayaan Pemda di Indonesia Anwar Shah
13.1. Latar Belakang Reformasi pemerintah Provinsi dan lokal (kabupaten/kota) terus mendominasi agenda politik saat ini di Indonesia, walau sudah banyak rangkaian perubahan legislatif dan administratif dibuat sejak 1999 untuk memengaruhi penyelenggaran, fungsi dan keuangan pemerintah subnasional. Selama dekade terakhir, Indonesia telah bergerak maju menjauh dari sistem tersentralisasinya semula dan sekarang menduduki peringkat sebagai negara paling terdesentralisasi di antara negara-negara berkembang (lihat Gambar 13.1). Secara cukup menakjubkan, Indonesia meraih status ini tanpa mengalami gangguan dalam penyediaan pelayanan, bahkan dalam tahap awal dari transformasi yang cepat. Saat ini pemerintah Indonesia mengkaji semua aspek pemerintahan lokal untuk membuat penyesuaian hukum dan kelembagaan yang tepat, berdasarkan pada pelajaran yang diperoleh selama dekade terakhir. Suatu bidang yang sudah matang untuk pemeriksaan kembali ini dan kemungkinan reformasi, adalah pembiayaan pusat untuk belanja subnasional. Sistem keuangan antar pemerintah yang banyak dipakai hari ini merupakan salah satu sistem paling rumit yang pernah dilaksanakan oleh pemerintah manapun di dunia. Sistem ini sebagian besar memakai pendekatan penutupan-kesenjangan untuk keuangan provinsi-lokal secara obyektif, untuk memastikan kecukupan pendapatan dan otonomi daerah, 233
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
tapi tanpa akuntabilitas terhadap warga lokal atas kinerja penyediaan pelayanan. Sistem ini mengandalkan prosedur yang ketat dari segi akademis dan sangat rumit untuk memberikan keadilan yang tepat dan menjauhkan politik. Gambar 13.1. Dengan Ledakan Besar, Indonesia telah Meloncat Menjadi Bangsa yang Terdesentralisasi (alokasi belanja daerahj dari total belanja–2005) j
7 0
6 0
5 0
4 0
3 0
2 0
1 0
0
S
b K t i K d i d E k dt d Sh h (2007) Sumber: Kementerian KeuanganI Indonesia dan Eckardt dan Shah (2007)
Apakah program yang rumit ini cocok dengan tujuan yang ditetapkan dengan jelas? Makalah ini melihat secara lebih dalam ke beberapa program transfer pusat terpilih, yang diberikan untuk membiayai belanja provinsi-lokal di Indonesia. Makalah ini menyimpulkan bahwa kerumitan yang sangat tinggi menimbulkan kurangnya transparansi, ketidakadilan dan ketidakpastian alokasi. Alternatif yang lebih sederhana tersedia, yang berpotensi bisa menangani tujuan keadilan sambil meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas berbasis masyarakat. Alternatif seperti ini akan menjadi gerakan menjauh dari pendekatan alokasi khusus dan penutup kesenjangan yang rumit, menuju transfer 234
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
berbasis hasil-akhir yang sederhana untuk pembiayaan belanja operasional. Alternatif ini akan dilengkapi dengan hibah modal yang dirancang untuk menangani kekurangan infrastruktur dan membantu pelaksanaan penyetaraan kapasitas fiskal sebagai program sisa. Program penyetaraan kapasitas fiskal akan memakai standar yang jelas, untuk memastikan bahwa semua yuridiksi lokal memiliki sarana yang memadai untuk menyediakan pelayanan publik dengan tingkat yang sebanding dan tingkat beban pajak yang juga sebanding di seluruh negeri. Buku ini berpendapat bahwa sistem keuangan antar pemerintah alternatif seperti ini akan menjaga otonomi dan meningkatkan kesetaraan, kesederhanaan, obyektivitas, transparansi, dan akuntabilitas.
13.2. Gambaran Umum Keuangan Provinsi di Indonesia Sistem politik dan administrasi Indonesia terdiri dari tiga tingkat pemerintah resmi: (i) pusat, (ii) provinsi, dan (iii) kabupaten/kota. Selain itu, ada tingkat desa yang tidak tercantumkan di daerah perkotaan dan perdesaan. Saat ini ada 33 provinsi, 405 kabupaten, 97 kota, 6.543 kecamatan dan 75.244 desa (dari jumlah ini, 12.000 adalah desa perkotaan atau kelurahan). Kecamatan dan desa tidak memiliki pemerintah resmi. Rata-rata penduduk provinsi adalah sekitar 7 juta jiwa—mulai dari yang kurang dari 1 juta di Maluku Utara hingga lebih dari 38 juta di Jawa Barat. Rata-rata penduduk dalam pemda di Indonesia (termasuk desa dan kelurahan) adalah sekitar 500.000 jiwa— jumlah yang cukup besar menurut standar internasional. Ukuran penduduk provinsi sangat beragam, mulai dari yang kurang dari 25.000 jiwa di daerah yang jarang penduduknya seperti Sabang hingga hampir 4 juta di daerah metropolitan seperti Bandung. Beberapa dari yurisdiksi ini mungkin terlalu besar penduduknya, sedangkan yurisdiksi lain memiliki penduduk yang terlalu kecil untuk penyediaan pelayanan yang efisien. Karakteristik geografis dan sosioekonomi pemerintah-pemerintah daerah sangat berbeda-beda satu sama lain. Pendapatan per kapita di 20% kabupaten terkaya tiga kali lebih tinggi daripada di 20% kabupaten termiskin. Distribusi kegiatan ekonomi yang tidak merata ini tercerminkan dalam perbedaan yang besar dalam kondisi kehidupan. Tingkat kemiskinan berkisar mulai 7% di kabupaten industri di Bekasi di pinggiran Jakarta, hingga 40% di kabupaten Sumba Barat di bagian timur Indonesia. Tingkat melek-huruf di kabupaten Sampang di Jawa 235
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Timur masih lebih tinggi dari 40%, walau tingkat ini telah menurun menjadi 12% di Indonesia secara keseluruhan. Dan walau 98% masyarakat di Tanjung Jabung Barat di Provinsi Jambi memiliki akses ke pelayanan kesehatan primer, tapi hanya 22% masyarakat yang memiliki akses ini di Sintang di Kalimantan Barat. Keragaman ini berpotensi meningkatkan manfaat desentralisasi, tapi juga memberi banyak tekanan pada sistem fiskal untuk memastikan bahwa standar minimum dipenuhi terkait kuantitas, kualitas dan akses ke pelayanan publik, agar kondisi kehidupan menjadi setara di daerah-daerah pemda di seluruh Indonesia.69 Indonesia mempertahankan struktur pemerintah kesatuan yang tersentralisasi hingga tahun 1999. Di bulan Mei 1999, Presiden B.J. Habibie mendukung pemberlakuan undang-undang yang menetapkan bahwa pembagian kekuasaan yang baru dijalankan antar beberapa tingkat pemerintah yang berbeda. Melalui pemberlakukan UU (undangundang) No. 22 (1999) tentang pemerintahan daerah, tanggung jawab atas banyak belanja pemerintah didesentralisasi—lebih banyak ke pemerintah lokal (kabupaten/kota) daripada ke pemerintah provinsi. UU 25 (1999) tentang keseimbangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, menyalurkan aliran anggaran ke tingkat kabupaten/kota. Selanjutnya di bulan September 2004, parlemen menyetujui UU 32 (2004) tentang pemerintahan subnasional dan UU 33 (2004) tentang desentralisasi fiskal, yang dengan demikian memperkuat usaha Indonesia dalam menjalankan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Pasal 18 UUD 45 menetapkan pembentukan dan pemeliharaan pemda melalui pemberlakuan UU pemda. UU desentralisasi tahun 1999 dan 2004, dan peraturan terkait, merupakan dasar sistem pemda saat ini di Indonesia. UU Amandemen Konstitusi Kedua (2000) telah mencantumkan bagian-bagian reformasi desentralisasi—contohnya, pemilihan walikota dan gubernur secara demokratis—ke dalam konstitusi untuk memastikan stabilitas jangka panjang dari sistem ini dan memberikan perlindungan politik terhadap pembalikan yang sewenangwenang. 69 Sebastian Eckardt, dan Shah Anwar. 2007. Local Government Organization and Finance: Indonesia. Dalam Anwar Shah, ed. Local Governance in Developing Countries. Bab 7:233-274. Washington, DC: Bank Dunia.
236
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Sumberdaya yang bisa dipakai oleh pemda ditingkatkan melalui pemberlakuan Pasal 7 UU 25 (1999), yang mewajibkan pemerintah pusat untuk mentransfer paling tidak 25% pendapatan domestik netto (total pendapatan domestik dikurangi bagi-hasil pendapatan) ke pemerintah subnasional. Mulai tahun 2008, UU 33 (2004) memperbanyak bagian subnasional ini menjadi minimum 26% dari pendapatan domestik neto. 10% dari nilai ini untuk pemerintah provinsi, dan 90% ke pemda yang melaksanakan sebagian besar tanggung jawab belanja. Secara keseluruhan, di tahun 2008 pemerintah bertanggung jawab mengumpulkan 95% pendapatan dan melakukan 67% belanja langsung. Provinsi dan pemda bertanggung jawab mengumpulkan 5% pendapatan dan melaksanakan 33% belanja. Pemerintah provinsi menjadi tidak begitu penting daripada pemda, dan menguasai hanya 8% belanja nasional. Jatah belanja pemda (25%) di Indonesia sebanding dengan porsi belanja di negara berkembang dan industri (lihat Gambar 13.2). Gambar 13.2. Belanja, Pekerjaan dan Porsi Pengumpulan Pendapatan Menurut Tingkat Pemerintah
Sumber: Kementerian Keuangan Indonesia, Eckardt dan Shah (2007)
13.2.1. Tanggung Jawab Belanja Pemerintah Daerah Kebijakan desentralisasi Indonesia memindahkan tanggung jawab atas semua fungsi ke pemerintah daerah, kecuali lima fungsi nasional khusus. Menurut UU 22 (1999) dan 32 (2004), pemerintah nasional tetap memegang kekuasaan atas lima fungsi yang memengaruhi bangsa, 237
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
yakni hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan dan pemberlakuan hukum, keuangan dan makroekonomi, dan urusan keagamaan. Pemerintah subnasional bertanggung jawab atas fungsi sisanya. Selain itu, UU 22 (1999) menjabarkan 11 fungsi wajib untuk pemda (lihat Tabel 13.1). UU 23 (2004) yang telah direvisi menghapus kumpulan penugasan fungsi sisanya ke pemerintah daerah, dan menetapkan hanya 15 fungsi wajib dan sejumlah fungsi dengan diskresi. Tabel 13.1. Fungsi Wajib Pemerintah Subnasional menurut UU 22/1999 dan 32/2004 g j Fungsi menurut UU 22/1999
Fungsi menurut UU 32/2004
Infrastruktur (pekerjaan umum) Kesehatan Pendidikan Pertanian Komunikasi Industri dan perdagangan Koperasi Administrasi tanah dan penentuan zona Investasi modal Lingkungan Pengembangan pekerjaan
Pengembangan perencanaan dan pengendalian Perencanaan, pemanfaatn dan pengawasan penentuan zona Ketertiban umum Penyediaan infrastruktur dan fasilitas publik Penanganan sektor kesehatan Pendidikan Urusan sosial Pengembangan pekerjaan Fasilitasi pengembangan koperasi serta usaha kecil dan menengah Lingkungan Pertanian Kependudukan dan pencatatan penduduk Urusan administrasi Investasi modal Urusan wajib lain seperti yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan
Sumber: Eckardt dan Shah (2007)
Kebijakan desentralisasi memberikan tekanan utamanya pada tingkat pemerintah ketiga, karena provinsi dianggap sebagai pendorong disintegrasi politik yang potensial. Dibandingkan dengan pemda, provinsi mengemban tanggung jawab yang jauh lebih terbatas, kenyataan yang tercerminkan dalam jatah pendapatan mereka yang lebih kecil. Tingkat provinsi memiliki peran ganda sebagai pemerintah regional yang berotonomi dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Provinsi bertanggung jawab utamanya atas fungsi pengawasan dan diharuskan campur-tangan dalam masalah yang memerlukan kerja sama lintasyurisdiksi. UU 32 (2004) secara jelas memperkuat peran koordinasi dari pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat, suatu langkah 238
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
yang didasarkan pada anggapan bahwa pengawasan dan pengendalian oleh pusat yang lebih dekat diperlukan agar desentralisasi bisa berfungsi secara efektif. Dalam praktek, pembagian tanggung jawab tertentu diatur oleh sejumlah UU, peraturan menteri dan keputusan menteri sektoral. Untuk sebagian besar sektor, tanggung jawab ditanggung bersama oleh beberapa tingkat pemerintah—dengan pemerintah nasional terlibat juga dalam sektor-sektor yang sudah resmi didesentralisasi. Peran nasional dalam sebagian besar sektor yang ditetapkan mungkin berguna, asalkan peran ini tidak mengembalikan kontrol birokrasi pusat dan fokus tetap diletakkan pada penyediaan dukungan finansial dan teknis serta pengawasan penyediaan pelayanan. Contohnya, masalah kesetaraan mungkin memerlukan peran nasional yang kuat dalam standar pembiayaan dan pengaturan pelayanan publik dasar, seperti pendidikan dan kesehatan. Saat ini, belanja pembangunan (modal) nasional mencapai lebih dari 60% dari total pengeluaran pembangunan, termasuk biaya untuk sektor-sektor yang didesentralisasi seperti kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Kecenderungan ini menyiratkan bahwa pelaksanaan desentralisasi masih ketinggalan di beberapa sektor. Eckardt dan Shah (2007) melaporkan bahwa pemda bertanggungjawab atas sekitar separuh dari total belanja gaji. Dengan desentralisasi, biaya gaji meningkat besar akibat pemindahan pegawai negeri ke yurisdiksi pemerintah subnasional. Biaya yang bertambah ini menimbulkan beban besar pada anggaran pemda. Memang, dalam agregat, sisi belanja dari anggaran pemda didominasi oleh biaya gaji yang mencapai sekitar separuh dari anggaran pemda. Ada banyak variasi di antara pemda-pemda, dengan biaya gaji berkisar mulai 10% hingga 90% tergantung kabupaten/kota. Anggaran lokal di sebagian besar kabupaten/ kota lebih condong ke belanja operasional, dan menyisakan hanya sedikit dana untuk belanja modal yang sangat diperlukan. Sebagian besar pelayanan publik memerlukan banyak tenaga kerja, dan banyak jatah gaji dialokasikan untuk menutup biaya pegawai yang menangani penyediaan pelayanan—termasuk gaji guru, dokter, dan perawat kesehatan. Namun, infrastruktur dasar yang mulai memburuk (misalnya, bangunan sekolah dasar dan peralatan medis) menyiratkan bahwa belanja modal yang lebih besar mungkin diperlukan untuk menyediakan pelayanan yang bermutu tinggi. Yang terakhir, kurangnya investasi 239
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
infrastruktur pasti akan membawa ke penurunan mutu dan hilangnya efisiensi dalam penyediaan pelayanan publik. 13.2.2. Kemampuan Pajak Pemda Provinsi-provinsi diberi hak atas pajak pendaftaran dan balik-nama kendaraan bermotor, serta pajak bahan bakar dan air. Mereka membiayai 43,8% belanjanya dari sumber-sumber ini. Selain itu, mereka memperoleh bagi-hasil tertentu dari pajak pendapatan perorangan, pajak minyak dan gas, serta royalti pertambangan dan kehutanan. Bagi-hasil pajak perorangan dan sumberdaya memberikan tambahan pendapatan senilai 24,5%, dan pendapatan lain sekitar 10%, dan kesenjangan fiskal yang tersisa ditutup oleh hibah DAU senilai 21,1% dan hibah DAK senilai 1,8%. Di tahun 2008, 50% belanja provinsi dibiayai dengan transfer pusat. Kabupaten/kota memperoleh pajak hotel, restoran, hiburan, iklan, penerangan jalan, pertambangan batu kelas C, parkir dan bea pengguna. Sumber-sumber ini membiayai hanya 6,5% belanja kabupaten/kota. Mereka juga akan segera memperoleh hak atas pajak properti sebagai pendapatan dari sumber sendiri. Selain pajak-pajak ini, mereka menerima 17% dari bagi-hasil pajak dari sumber-pendapatan yang sama seperti untuk provinsi, 10% pendapatan serba-aneka, dan 61% dari hibah tujuan umum dan 8% dari hibah tujuan khusus. Di tahun 2008, 90% belanja kabupaten/kota dibiayai dengan transfer dari pusat.
13.3. Transfer Pemerintah Pusat di Indonesia: Tinjauan 13.3.1. Ringkasan Transfer Pemerintah Pusat Transfer pusat merupakan sumber paling penting untuk pemerintah subnasional di Indonesia. Di tahun 2010, transfer pusat membiayai 90% belanja pemerintah subnasional, 54% belanja provinsi, 86% belanja kota dan 93% belanja kabupaten. Transfer utama (hibah keseimbangan) untuk membiayai belanja provinsi dan lokal disebutkan di Tabel 13.2.
240
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Tabel 13.2. Transfer Pusat-Provinsi/Lokal, 2010 Transfer
Jatah Total Transfer di 2010
Jatah Total Transfer di 2010
Bagi Hasil Pajak
25%
20%
Penutup Kesenjangan (DAU) Hibah Alokasi Khusus (DAK)
56% 6%
46% 5%
Hibah Tujuan Khusus Lain
13%
10%
Semua Kementerian Keuangan Indonesia 100% Sumber:
90% (Provinsi: 54%; Kota: 86% dan Kabupaten: 93%)
Sumber: Kementerian Keuangan Indonesia
Pajak dengan Bagi-Hasil Pajak Pemerintah pusat mengumpulkan pajak atas pendapatan perorangan, properti dan sumberdaya terbarukan dan non-terbarukan, dan mengembalikan sesuai asalnya jatah pendapatan yang ditentukan ke yurisdiksi penghasil pendapatan. Transfer ini mencapai 25% dari total transfer pusat di tahun 2010 dan dipakai untuk membiayai 20% belanja subnasional. Kesenjangan Fiskal Vertikal dan Horizontal Pemerintah pusat memberikan alokasi dasar untuk upah dan gaji, serta transfer kesenjangan fiskal (DAU) jika pendapatan suatu yurisdiksi lebih rendah daripada kebutuhan belanja yang dihitung dengan indikator makro. Transfer ini mencapai 56% transfer pusat dan membiayai 46% belanja subnasional. Hibah Tujuan Khusus Hibah ini meliputi Dana Alokasi/Khusus (DAK), hibah otonomi khusus untuk Aceh, Papua dan Papua Barat, penggantian (kompensasi) dana penyesuaian, Dana Insentif Daerah (DID), dan hibah lainnya. DAK ditujukan untuk memengaruhi belanja pemda untuk bidang-bidang yang menjadi prioritas nasional. Hibah ini mencapai 6% transfer pusat dan membiayai 5% belanja subnasional. Penggantian Dana Penyesuaian memberikan bantuan bersifat khusus—untuk operasional sekolah, tunjangan guru bersertifikat dll. Hibah Otonomi Khusus ditujukan untuk memberikan bantuan khusus pilihan bagi Aceh dan Papua. DID adalah 241
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
program hibah kecil yang mencapai kurang dari 1% dari total transfer hibah (dan diberikan ke provinsi dan kota yang menunjukkan kinerja bagus terkait pengelolaan keuangan publik, perpajakan, HDI yang lebih tinggi dan relatif terhadap kapasitas fiskal, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pengurangan yang tinggi dalam angka kemiskinan, pengangguran, dan inflasi. Transfer hibah sebagian besar dibiayai dengan bantuan eksternal, dan dimaksudkan untuk membiayai belanja infrastruktur subnasional dan pembangunan sosial. Transfer tujuan khusus mencapai total 19% dari transfer pusat di tahun 2010, dan membiayai 15% belanja subnasional (lihat Qibthiyah, 2011).70
13.4. Pajak dengan Pengaturan Bagi-Hasil Pajak di Indonesia Indonesia menjalankan sistem bagi-hasil pajak per pajak yang rumit sebagai sumber pendapatan utama, kecuali bea pabean dan pajak penghasilan korporasi (perusahaan). Bagi hasil pajak (kecuali pajak penghasilan perorangan, serta minyak dan gas) menyertakan pengembalian sebagian besar pendapatan ke provinsi dan kabupaten/ kota asal pendapatan, dengan memakai jatah yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Untuk pendapatan kehutanan dan pertambangan, pemerintah pusat mendapatkan 20% dan 80% sisanya dibagikan ke provinsi dan pemda —dengan daerah (pemerintah) asal mendapatkan jatah terbesar. Untuk perikanan, 80% sisa pendapatan royalti dibagikan ke semua pemda. Sekitar 91% pendapatan pajak properti dibagi bersama dengan memakai kriteria campuran. Pemerintah pusat memperoleh hanya 9% pendapatan pajak properti sebagai biaya penagihan pajak. Hanya 20% pajak penghasilan perorangan dibagi bersama dengan memakai tempat kerja sebagai kriteria. Selain bagi-hasil pendapatan dari pendapatan pusat, Pemda juga menerima berbagai macam jatah pendapatan dari pajak yang dikumpulkan di tingkat provinsi—pajak kendaraan bermotor, pajak balik-nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar dan pajak penyedotan, dan pemanfaatan air tanah.
70 Riatu Qibthiyyah. 2011. Review of Incentives and Sanctions Linked Intergovernmental Transfers. Working paper ADB-INO.TA 7184-Local Government Finance and Governance Reform, Jakarta, Indonesia.
242
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Sistem bagi-hasil pajak yang dipakai di Indonesia cukup transparan dan membuat Pemerintah Indonesia bisa mempertahankan sistem pajak yang harmonis dengan biaya administrasi yang rendah. Meski begitu, sistem ini memiliki beberapa keterbatasan. Untuk sebagian besar pajak yang dibagi, bagi-hasil pokok pajak—dengan provinsi dan pemda yang memilih untuk mengenakan tingkat pajak tambahan—mungkin bisa menjadi alternatif yang lebih bagus untuk pengaturan saat ini. Bagihasil pokok sangat potensial untuk penerapan akuntabiltas lebih besar dalam sistem ini, karena pemda harus memberikan dasar pembenaran ke parlemen lokal terkait pengenaan tingkat pajak. Jika bagi-hasil pokok pajak tidak dipakai sebagai opsi, maka lebih baik mempertimbangkan pemakaian tempat tinggal wajib pajak sebagai kriteria alokasi pendapatan dari pajak penghasilan perorangan. Kriteria seperti ini akan membawa ke kesetaraan antar-yurisdiksi yang lebih baik, karena memungkinkan masyarakat pembayar pajak untuk mendapatkan kembali pendapatan ini melalui pelayanan publik yang diberikan. Pajak properti riil saat ini sedang dipindahkan ke pemda, menjadi pajak murni lokal—pajak dengan obyek yang tak berpindah-pindah, yang pemda lebih mengetahui dan yang bermanfaat untuk pelayanan lokal. Namun, disarankan untuk memindahkan pajak ini sepenuhnya ke hanya pemda perkotaan. Untuk menyelaraskan pokok pajak dan mempertimbangkan hambatan pemda perdesaan, keputusan mengenai pokok pajak dan penagihan (pengumpulan) pajak tetap dipertahankan di pusat, tapi tanggung jawab menentukan tingkat pajak dipindahkan ke pemda. Kotak 13.1. Bagi-Hasil Pendapatan Sumberdaya Alam: Apa yang Ideal Kadang Tidak Layak Secara Politik.
Ideal: Semua pendapatan minyak dan gas disimpan dalam dana perwalian warisan (gaya Norwegia) yang dimiliki oleh semua warga negara, tanpa memandang tempat tinggalnya. Aset dari dana ini disimpan untuk selamanya dan tidak bisa diambil, tapi penghasilan modal tersedia untuk pemakaian terkini. Semua warga negara memiliki bagian yang sama dalam dana perwalian ini, dan mereka menerima dividen tahunan dari penghasilan ini, dan sebagian penghasilan dibagikan ke pemerintah-pemerintah.
Solusi terbaik kedua: Sentralisasi pajak sewa sumberdaya yang dibagikan kembali melalui program penyetaraan fiskal oleh pusat. Atau sebagai alternatif, desentralisasi pajak sewa sumberdaya yang disertai dengan program penyetaraan neto antar provinsi, di mana provinsi kaya memberikan kontribusi ke kumpulan dana dan Provinsi miskin mendapatkan pembayaran dari kumpulan dana ini.
S b Boadway B d ddanSh h (2009) h d dan ShShah h (2011) Sumber: Shah (2009) sertaBiBishop (2011)
243
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Bagi-hasil pendapatan sumberdaya merupakan tantangan yang sulit dalam sistem pemerintahan berbagai tingkat, baik kesatuan maupun serikat. Pertimbangan kepaduan politik dan perlindungan lingkungan memerlukan akses khusus ke pendapatan sumberdaya untuk daerah penghasil. Kesatuan ekonomi dan sosial memerlukan kepemilikan nasional dan bagi-hasil kekayaan sumberdaya. Rezim pajak sewa sumberdaya yang didesentralisasi menimbulkan inefisiensi dan ketidaksetaraan fiskal. Inefisiensi fiskal ditimbulkan oleh mobilitas tenaga kerja dan modal untuk mendapatkan sewa sumberdaya yang mengumpul di yurisdiksi kaya sumberdaya, dan ketidaksetaraan fiskal muncul akibat masyarakat diperlakukan secara berbeda-beda tergantung tempat tinggalnya. Tentu saja pajak royalti, bea, pembagian, produksi, hasil akhir dan properti, yang berkaitan dengan bea sumberdaya dan lingkungan, bisa dipindahkan ke negara dan pemerintah daerah agar mereka bisa menyediakan pelayanan untuk eksploitasi sumberdaya dan pelestarian lingkungan. Sumberdaya alam di Indonesia, menurut Pasal 18 dan 33 UUD 45, harus menjadi milik bangsa secara keseluruhan. Namun Pasal 18 A (2) memberi Pemerintah Indonesia beberapa keluwesan dalam menjalankan pengaturan bagi-hasil pendapatan. Mengakui ini, bagi-hasil pendapatan sumberdaya alam, khususnya pendapatan minyak dan gas, menyebabkan yurisdiksi kaya sumberdaya mengeluh karena mereka harus menanggung biaya eksploitasi, sedangkan manfaatnya mengumpul di pemerintah pusat. Pengaturan bagi-hasil pajak saat ini mencoba untuk mencari jalan tengah dalam menangani keluhan provinsi penghasil dan tujuan kesetaraan nasional. Namun DAU, sebagai hibah penutup kesenjangan, mengabaikan sebagian besar (95% di tahun 2001) jatah provinsi penghasil dan menghapus ini sebagian (63%) untuk kabupaten penghasil sebagai haknya, karena transfer penutup kesenjangan dari pusat berkurang akibat pencantuman persentase pendapatan yang ditentukan sebagai bagian kapasitas fiskal.
13.5. Hibah Umum Penutup Kesenjangan 13.5.1. Gambaran Umum DAU Menurut UU 34 (2004), DAU ditujukan untuk menyeimbangkan pendapatan dan kebutuhan belanja pemerintah subnasional, agar bisa 244
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
mewujudkan pembiayaan oleh pusat yang proporsional, demokratis, adil dan transparan melalui pertimbangan potensi lokal (kapasitas fiskal) serta kondisi dan kebutuhan lokal. Total kumpulan dana untuk transfer ini ditentukan secara acak pada 26% dari pendapatan pusat netto dari transfer bagi-hasil pajak di tahun 2011. Sepuluh persen (10%) dari total kumpulan dana ini dialokasikan ke provinsi dan 90% sisanya ke semua kabupaten dan kota. DAU memberikan alokasi dasar untuk membayar gaji di provinsi, kota dan kabupaten. Sisa dana dialokasikan dengan rumus yang menentukan kesenjangan fiskal, berdasarkan pada selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Faktor rumus untuk provinsi dan kota sama, tapi dikenai bobot yang berbeda (diferensial) akibat sifat khusus alokasi DAU yang memiliki bobot koefisien variasi —yang disebut Indeks Williamson (lihat Tabel 13.3 dan 13.4). DAU merupakan sumber pendapatan paling besar untuk provinsi dan pemda. Kapasitas fiskal provinsi ditentukan dengan jalan menambahkan bersama-sama 50% pendapatan (penerimaan) asli daerah, 80% bagihasil pendapatan non-sumberdaya, dan 95% bagi-hasil pendapatan pajak sumberdaya dan pertambangan. Kapasitas fiskal pemerintah kota atau kabupaten, sebaliknya, didasarkan pada 93% pendapatan asli daerah, 100% bagi-hasil pendapatan pajak non-sumberdaya dan 63% bagihasil pendapatan pajak sumberdaya dan pertambangan. Pertimbangan yang dipakai pada sumber pendapatan individual untuk menentukan kapasitas fiskal, berbeda-beda dari tahun ke tahun karena bobot ditingkatkan untuk mencapai nilai angka tertentu dalam Indeks Williamson. Tabel 13.3 memberikan pilihan untuk nilai angka indeks selama beberapa tahun terakhir. Tabel 13.3. Indeks Williamson sebagai Standar Penyetaraan di Indonesia: 2005–2011 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Provinsi
0,941
0,769
0,975
0,793
0,802
0,836
0,801
Kota/Kabupaten
0,630
0,678
0,699
0,710
0,690
0,718
0,694
Sumber: Kementerian Keuangan, Pemerintah Indonesia
Kebutuhan fiskal provinsi dan kabupaten/kota ditentukan terpisah untuk setiap kelompok ini, dengan jalan mengembangkan indeks 245
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
gabungan berdasarkan pada penduduk relatif, daerah relatif, indeks harga konstruksi relatif, kebalikan HDI dan kebalikan PDB per kapita nominal relatif. Bobot untuk faktor-faktor tersebut di atas berbedabeda antar provinsi dan kabupaten/kota dan seiring waktu untuk setiap kelompok, berdasarkan pada nilai tertentu yang harus dicapai untuk Indeks Williamson (lihat Tabel 13.4). Indeks yang dihasilkan dikalikan dengan pengeluaran agregat per kapita selama tahun lalu untuk mendapatkan nilai numerik dari komponen kebutuhan belanja. Alokasi DAU untuk setiap yurisdiksi lalu ditentukan sebagai berikut: [DAU= Alokasi Dasar + Kesenjangan Fiskal (Kebutuhan Fiskal minus Kapasitas Fiskal)]. Tabel 13.4. Bobot Indeks Williamson untuk Kapasitas Fiskal dan Faktor Kebutuhan Belanja dalam Alokasi DAU (%)
Sumber: Kementerian Keuangan, Pemerintah Indonesia
13.5.2. Evaluasi – DAU Indonesia memakai sistem pajak yang sangat tersentralisasi, di mana pemerintah pusat bertanggung jawab atas pengumpulan 95% pendapatan. Ini dilakukan untuk harmonisasi pajak, membatasi 246
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
perbedaan dalam kapasitas fiskal subnasional dan mengurangi biaya administrasi. Ini menimbulkan kesenjangan fiskal vertikal yang besar (hampir 90%), yang ditutup oleh bagi-hasil pendapatan dan transfer. Bagi-hasil menurut asalnya—walau mengurangi kesenjangan fiskal vertikal—memperburuk ketidaksetaraan fiskal horizontal. DAU adalah program transfer berbasis rumus yang obyektif. Dana ini memberi penggantian sebagian untuk gaji pegawai negeri, dan mencoba membatasi sebagian perbedaan kapasitas fiskal antar yurisdiksi, melalui fokus pada pengurangan variasi dalam alokasi transfer daerah seperti yang dihitung dengan bobot koefisien variasi. Ini menghasilkan pengurangan dalam keseluruhan tingkat ketidaksetaraan, dan menimbulkan pembagian-ulang (redistribusi) beberapa pendapatan ke provinsi, kota dan kabupaten. Namun program terkini memiliki beberapa keterbatasan penting. Pendekatan Umum Menimbulkan Ketidakmerataan Fiskal Masalah terpenting adalah bahwa program tersebut menyetarakan yurisdiksi-yurisdiksi yang memiliki tanggung jawab dan karakteristik yang berbeda-beda. Ini memang benar jika anda mengelompokkan daerah metropolitan, kota dengan berbagai ukuran penduduk, dan kota perdesaan atau kabupaten dengan wilayah geografis yang berbeda-beda, seperti yang dilakukan dalam program saat ini. Ini melanggar aksioma transfer yang mendasar bahwa ‘satu ukuran tidak cocok untuk semua.’ Mahkamah Konstitusi Indonesia, dalam kasus Sulawesi Selatan yang terjadi sebelumnya, memutuskan bahwa ”perlakuan yang seragam untuk berbagai macam entitas menyebabkan ketidakadilan.” Memang ini adalah parodi keadilan jika kota kecil dengan penduduk kecil, seperti Puncha, dianggap memiliki kebutuhan dan kapasitas fiskal yang sama dengan kota besar seperti Bandung. Atau untuk masalah ini, daerah kabupaten yang secara geografis kecil di Tangaron memiliki pendapatan dan kebutuhan belanja yang sama, jika dibandingkan dengan daerah kabupaten yang besar di Tangaron. Program yang ada mengabaikan kapasitas fiskal atau kebutuhan fiskal dari kota-kota dengan ukuran dan kelas yang berbeda; program ini menganggap bahwa mereka semua memiliki kebutuhan per kapita yang sama dan sumber pendapatan tambahan di luar faktor yang jelas dipertimbangkan dalam rumus. Jika kita melihat keuangan lokal di 247
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
negara-negara lain, maka ada variasi besar yang bisa dibenarkan dalam pendapatan per kapita dan pengeluaran dari daerah-daerah dengan berbagai ukuran dan antara daerah perkotaan dan perdesaan, mengingat keragaman kebutuhan, pilihan dan tanggung jawab. Menyetarakan apa yang tidak setara menimbulkan ketidakadilan bagi semua. Kita tidak mungkin memiliki standar, tingkat akses dan keragaman pelayanan yang sama di kabupaten yang kecil, jika dibandingkan dengan kota besar. Pendekatan Rumit Untuk Pemerataan Masalah penting kedua berhubungan dengan pilihan indeks Williamson sebagai standar penyetara. Sebagian besar negara industri memakai standar yang sederhana, transparan dan jelas untuk mencapai konsensus politik dan sosial umum mengenai keseluruhan nilai pembayaran penyetaraan. Ini penting karena program penyetaraan bisa menimbulkan pertukaran efisiensi dan kesetaraan. Standar penyetaraan yang berlebihan bisa menimbulkan dampak buruk pada pertumbuhan, demikian juga penyetaraan yang terlalu kecil bisa menimbulkan potensi penggantian. Memang standar penyetaraan berbeda-beda dari segi penekanan relatif pada penyetaraan kapasitas fiskal versus kebutuhan fiskal, tapi semua memainkan beberapa peran dalam memastikan bahwa tingkat penyediaan pelayanan yang cukup sebanding diberikan dengan tingkat beban pajak yang juga sebanding di semua yurisdiksi, untuk menjamin kesatuan politik dan ekonomi. Pusat fokus program penyetaraan adalah untuk membantu yurisdiksi yang tidak diuntungkan memperoleh standar pelayanan publik yang sebanding, agar mereka bisa terpadu dengan ekonomi yang lebih luas. Indonesia unik dalam memilih kriteria statistik yang rumit—koefisien variasi yang dipertimbangkan atau Indeks Williamson—sebagai standar penyetaraan. Pilihan ini tidak menguntungkan karena membawa kerumitan dan memperkeruh transparansi alokasi kriteria. Selain itu, Indeks Williamson relatif lebih peka terhadap pengaruh dari luar. Contohnya, pembagian-ulang (redistribusi) pendapatan bisa dilakukan antar dua quintile teratas, dan mendapatkan nilai terendah Indeks Williamson walau mungkin tidak ada redistribusi penting ke quintile termiskin. Penggunaannya untuk menentukan bobot faktor sangat mengkhawatirkan, karena berbagai distribusi bobot komponen bisa 248
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
menghasilkan indeks yang sama. Pemakaian indeks ini untuk menentukan bobot faktor membawa ketidakpastian dan ketidaksetaraan dalam alokasi karena tanpa perubahan material dalam kebutuhan dan faktor kapasitas, perubahan dalam bobot, pemakaian ini bisa mengubah alokasi transfer ke semua yurisdiksi. Dalam konteks negara berkembang, kerumitan kadang disebut sebagai cara untuk menjauhkan politik, karena pembuat kebijakan mungkin tidak sepenuhnya memahami keterbatasan desain yang rumit dan mungkin menahan api. Program Indonesia tidak bisa dibenarkan dengan dasar ini. Seperti ditunjukkan di Tabel 13.3, walau pembuat kebijakan mungkin tidak mengerti cara kerja indeks seperti ini, tapi mereka tidak berhenti memaksakan pilihan variasi lebih tinggi dalam ketidaksetaraan di tahun berikutnya, jika alokasi yang dihasilkan membawa ke hasil yang lebih memuaskan untuk yurisdiksi yang menjadi perhatian mereka. Kesalahan Pandangan Kapasitas Fiskal Masalah ketiga berkaitan dengan cara kapasitas fiskal diukur. Berbagai sumber pendapatan diberi bobot yang acak dan berbeda-beda untuk provinsi dan kabupaten/kota, dan pendapatan dari DAK tidak dicantumkan. Ini memberikan pandangan yang salah tentang kapasitas fiskal berbagai yurisdiksi. Mengendurkan Upaya Pajak Lokal Pemakaian pendapatan aktual, kebalikan dari pendapatan yang mungkin diperoleh, menimbulkan dampak yang mengendurkan usaha pajak. Setiap peningkatan dalam usaha pajak sendiri selalu diikuti dengan penurunan dalam hak atas DAK. Merusak Perjanjian dengan Daerah Otonomi Khusus Pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian khusus dengan Aceh, Papua, dan Papua Barat, dan memberi mereka jatah pendapatan sumberdaya yang lebih besar melalui sistem bagi-hasil pajak. DAU memberikan sebagian besar pendapatan ini dengan jalan mencantumkan 95% pendapatan sebagai peningkatan dalam kapasitas fiskal untuk provinsi dan 63% untuk kabupaten dan kota.
249
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Biaya Pegawai Negeri Alokasi dasar membiayai gaji sektor publik. Ini mendorong peningkatan jumlah daftar gaji. Perilaku yang buruk ini dicegah oleh pusat melalui pengendalian rekrutmen dan penempatan staf, tapi ini bisa mengikis otonomi daerah untuk mempekerjakan, memecat dan menentukan persyaratan kerja untuk pegawai daerah. Ini juga mengikat pemda pada kebijakan pemerintah pusat, dan menghilangkan dorongan yang mereka miliki untuk mencoba paradigma pengelolaan publik yang baru melalui pengaturan kontrak atau kemitraan di dalam dan di luar lembaga pemerintah. Ringkasnya, penggantian gaji menimbulkan rezim insentif dan akuntabilitas yang bertentangan dengan pemerintahan (tatakelola) lokal yang bagus. Indikator Kebutuhan Fiskal yang Tidak Tepat Di luar alokasi dasar, penentuan kebutuhan belanja berbasis rumus, seperti yang dilakukan di Indonesia, memiliki beberapa keterbatasan. Pendapatan per kapita regional dipakai dua kali sebagai faktor kebutuhan —PDB per kapita riil yang disesuaikan untuk kesamaan daya beli dalam pembentukkan HDI—dan PDB per kapita nominal secara lebih langsung. Penghasilan per kapita regional adalah ukuran kapasitas fiskal yang tidak sempurna, tapi bukan ukuran kebutuhan fiskal yang sangat berguna. Pencantuman PDB berbasis sumberdaya dan pertambangan ke dalam kedua konsep penghasilan tersebut memperbesar kapasitas fiskal yurisdiksi lokal yang kaya sumberdaya, walau banyak bagian penghasilan ini mungkin mengumpul di orang asing atau orang yang tidak tinggal di yurisdiksi tersebut. Pencantuman ini juga merusak perjanjian otonomi khusus yang dibuat dengan provinsi-provinsi yang kaya sumberdaya. Selain itu, yurisdiksi lokal mungkin memiliki akses yang terbatas untuk mengenakan pokok-pokok pajak ini, seperti yang terjadi di Indonesia. Penentuan kebutuhan belanja memakai faktor kapasitas fiskal dan faktor kebutuhan fiskal, yang bekerja untuk tujuan yang saling-silang. Bukannya penduduk dan daerah, indikator yang dipakai tidak atau hanya memiliki sedikit hubungan dengan kebutuhan pelayanan. Juga ada berbagai hierarki kerancuan dalam menentukan bobot faktor relatif. Indeks HDI memakai bobot acak untuk harapan hidup, tingkat melekhuruf dan rata-rata tahun bersekolah serta PDB per kapita. Indeks 250
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Williamson terbukti acak karena berbagai distribusi bobot relatif bisa membawa ke nilai indeks yang sama. Pemakaian indeks Williamson untuk menentukan bobot faktor rumus juga menimbulkan kerumitan, nontransparansi, ketidakpastian dan ketidakadilan dalam alokasi individual. Hak setiap yurisdiksi bisa berubah-ubah dari tahun ke tahun dan relatif terhadap lainnya tanpa dasar pembenaran yang jelas. Keputusan Penggabungan Rumus komponen penentuan kebutuhan belanja juga bersifat nonnetral terkait penggabungan dan keputusan pencantuman. Penggabungan yurisdiksi yang ada membuat transfer pusat menjadi lebih kecil untuk yurisdiksi yang bergabung dan menimbulkan terpecah-pecahnya jatah yurisdiksi yang ada (dipandang dari segi transfer pusat per kapita yang lebih tinggi) (lihat Tabel 13.5). Tidak mengherankan, tiga provinsi baru dibentuk dan jumlah kabupaten/kota menjamur dari 336 di tahun 2001 menjadi 502 di tahun 2010. Tabel 13.5. Alokasi DAU yang Ada Menyebabkan Fragmentasi Yurisdiksi Provinsi
Jumlah Kab/Kota 2001
Jumlah Kab/Kota -2011
Total DAU Kab/kota -2001 (miliar Rp)
Total DAU Kab/kota 2011 (miliar Rp)
% Perubahan dalam DAU: 2001-2011
Kalteng
6
14
0,9
5,5
528%
Yogyakarta
5
5
0,9
2,7
216%
Sumber: Marwanto Harjowiryono (2011)
Alokasi yang Tidak Adil, dan Rumit Ringkasnya, pendekatan penutupan kesenjangan tidak seharusnya rumit, tidak transparan, dan memakai pendekatan makro yang tidak memiliki landasan yang bagus dalam realita lokal untuk memastikan kesetaraan antar yurisdiksi. Pendekatan ini juga menimbulkan struktur insentif dan akuntabilitas yang tidak kondusif untuk pemerintahan lokal yang bertanggung jawab, peka, adil dan akuntabel. Alternatif lebih sederhana seperti yang dijelaskan di paragraf berikut bisa meningkatkan efisien dan kesetaraan mekanisme transfer ini.
251
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
13.5.3. Alternatif Penyederhanaan DAU Berikut ini diberikan tiga pilihan alternatif untuk reformasi DAU. Unsur-unsur bersama dari ketiga alternatif ini adalah: • Satu ukuran tidak cocok untuk semua. Pemda harus dikelompokkan, atau digabungkan, menurut ukuran penduduk, wilayah dan kelas pemerintah daerah; • Rumus yang dipakai harus berlaku untuk waktu lima tahun, dan perubahan sementara tidak diperbolehkan; • Rumus harus memiliki batas atas dan batas bawah agar hak tahunan tetap stabil dan bisa diramalkan; • Indek Williamson harus digantikan dengan rata-rata nasional (menurut ukuran dan kelas) untuk penutupan kesenjangan atau standar penyetaraan. Kumpulan dana (pool) bisa disesuaikan dengan keterjangkauan (affordability) dan alokasi yang ditentukan oleh standar; dan • Penutupan kesenjangan atau penyetaraan harus ditentukan oleh ukuran dan kelas Pemda, dan mungkin hibah per kapita yang adil untuk desa. Pengukuran kapasitas fiskal harus didasarkan pada pendapatan yang mungkin diperoleh plus jatah pajak dan transfer lain serta 50% pendapatan sumberdaya; dan pengukuran kebutuhan fiskal harus membuang penggantian gaji (alokasi dasar), pemakaian indeks HDI (Human Development Index), Indeks Williamson dan indeks-indeks lain. Sebagai gantinya, pertimbangkan pengukuran kebutuhan berdasarkan pada penduduk pelayanan/penerima untuk setiap kategori pelayanan. 13.5.4. Alternatif 1: Mengembangkan Sistem Sederhana Untuk menyederhanakan DAU dan meletakkannya dalam konteks komparatif lokal, kita perlu mengelompokkan pemda. Salah satu alternatif untuk ini adalah mengelompokkan menurut kelas atau kumpulan berikut ini: • Provinsi—satu kelompok: P1, tidak termasuk Jakarta; • Kota—5 kelompok: C1 dengan penduduk di atas 1 juta; C2 dengan penduduk antar 500 ribu hingga 1 juta; C3 dengan penduduk antara 100 dan 500 ribu; C4 dengan penduduk 50– 100 ribu; dan C5 dengan penduduk di bawah 50 ribu; dan 252
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
• Kabupaten—4 kelompok: D1 dengan wilayah yang sangat luas —seperempat pertama; D2 dengan wilayah yang luas— seperempat kedua; D3 dengan wilayah yang sedang—seperempat ketiga; dan D4 dengan wilayah yang kecil —seperempat terkecil; dan sebagai catatan: kabupaten perkotaan, yang menjadi bagian kota metropolitan besar, harus diperlakukan layaknya kota dan dikelompokkan dengan kota. Kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal dihitung dengan cara berikut ini. Kapasitas fiskal ditetapkan sebagai menyertakan pendapatan potensial (yang mungkin diperoleh) dari sumber sendiri (PAD), ratarata usaha pajak kelompok yurisdiksi untuk pokok pajak sendiri plus jatah dan transfer pajak (DBH Pajak); plus pendapatan potensial dari sumberdaya alam (DBH SD) plus hibah-hibah lain. Cara mudah untuk menghitung pendapatan asli daerah yang potensial adalah dengan memakai (mengenakan) rata-rata nasional tingkat pajak efektif pada PDB lokal non-sumberdaya. Pendapatan sumberdaya yang potensial dihitung dengan cara yang sama, dengan jalan memakai rata-rata tingkat pajak sumberdaya efektif pada hanya PDB yang berbasis sumberdaya lokal. Karena ketidakstabilan pendapatan sumberdaya, kebutuhan belanja publik yang lebih tinggi dan berkaitan dengan eksploitasi sumberdaya dan sifat beberapa sumberdaya yang bisa habis, maka hanya 50% pendapatan sumberdaya yang harus dihitung terhadap kapasitas pendapatan daerah yang kaya sumberdaya. Pendapatan dari hibah tujuan khusus juga harus dicantumkan seluruhnya. Hibah modal dan pinjaman yang disisihkan untuk proyek tertentu atau untuk membiayai kekurangan infrastruktur yang ditentukan oleh pusat, tidak disertakan dalam penghitungan ini. Kebutuhan fiskal dihitung untuk sistem belanja representatif dari sekitar 10 fungsi atau kurang, yang mencakup sebagian besar belanja operasional lokal. Sistem belanja ini dibeda-bedakan menurut ukuran dan kelas pemda dan memiliki indikator penduduk-pelayanan sebagai penentu (determinan). Pertimbangan didasarkan pada agregat belanja pemda untuk fungsi tertentu, berdasarkan pada 3 atau 5 tahun rata-rata bergerak kelompok. Tabel 13.6–13.8 memberikan contoh fungsi belanja, indikator pelayanan dan bobot yang berdasarkan hanya pada belanja 2008. 253
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Tabel 13.6. Kompensasi Kebutuhan Fiskal DAU: Alternatif–Provinsi
Sumber: Penulis
Tabel 13.7. Kompensasi Kebutuhan Fiskal DAU: Alternatif–Kota (c1..5)
Sumber: Penulis
254
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Tabel 13.8. Kompensasi Kebutuhan Fiskal DAU: Alternatif – Kabupaten (D1...D4)
Sumber: Penulis
Penyempurnaan yang disarankan untuk sistem DAU yang ada menawarkan banyak peningkatan untuk program ini. Saran-saran tersebut akan membawa ke penerapan indikator yang lebih sederhana, bermakna dan mudah dipahami. Penentuan alokasi menurut kelompok akan memberikan perlakuan yang adil. Bobot faktor akan bersifat obyektif dan stabil karena ditentukan dengan jalan mengambil rata-rata bergerak dari agregat pengeluaran per kelompok secara keseluruhan. Penyetaraan kebutuhan akan menjadi lebih jelas dan transparan. Kumpulan dana (pool) dan alokasi akan ditentukan oleh rumus. Namun, total kumpulan dana bisa terhambat oleh keterjangkauan (affordability). Meskipun begitu, desain yang ditawarkan masih memiliki satu kekurangan—penggantian kesenjangan fiskal tak-bersyarat memperkuat otonomi tapi tidak memiliki akuntabilitas terhadap warga lokal. Alternatif kedua juga memiliki kekurangan ini, tapi mengubah program ini dari program seperti saat ini menjadi program penyetaraan. 13.5.5. Alternatif 2: Mengembangkan Pendekatan Keseimbangan Fiskal yang Komprehensif Penghitungan kapasitas fiskal dan belanja perlu mengikuti pendekatan yang sama seperti dalam pendekatan penutupan kesenjangan yang dijelaskan di atas. Namun kelebihan atau kekurangan dalam 255
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
kapasitas fiskal per kapita dan kebutuhan belanja per kapita, dihitung dengan mengacu ke standar penyetaraan umumnya atau lainnya. Yurisdiksi dalam posisi kekurangan netto akan menerima pembayaran penyetaraan dari pusat, yang sebanding dengan kekurangan neto yang dihitung setelah mempertimbangkan posisi neto terkait kapasitas dan kebutuhan. Alternatif ini memiliki kelebihan yang jelas karena menyertakan standar penyetaraan yang jelas untuk menentukan total kumpulan dana dan distribusinya. Kekurangan alternatif ini ada dalam determinan yang rumit dan kontroversial untuk penyetaraan kebutuhan belanja, seperti yang dilakukan di Australia.71 13.5.6. Alternatif 3: Pendekatan Hampir Ideal Dalam opsi ini, penyetaraan kapasitas fiskal mengikuti pendekatan yang sama seperti dalam alternatif nomor dua. Namun penggantian belanja dilakukan melalui transfer operasional berbasis hasil-akhir untuk pelayanan publik yang bermutu, dimana alokasi didasarkan pada jatah penduduk-pelayanan tanpa kebersyaratan (conditionality) dalam belanja. Sebagai gantinya, persyaratan yang dibuat khusus dikenakan ke kinerja penyediaan pelayanan, terkait akses dan mutu pelayanan, untuk satu yurisdikasi dan penyedia demi kelanjutan program hibah. Desain untuk transfer seperti ini dijabarkan dalam bagian sebelumnya. Selain transfer operasional ini, perlu memiliki hibah modal dan program akses pasar modal untuk menangani kekurangan infrastruktur, seperti dibahas dalam bagian berikut. Alternatif ini akan menyederhanakan penentuan kumpulan dan alokasi dana hibah. Tapi kelebihan penting dari alternatif ini adalah bahwa alternatif ini akan menjaga otonomi lokal, sambil meningkatkan akuntabilitas terhadap warga pemda.
13.6. Evaluasi Dana Alokasi Khusus (DAK) 13.6.1. DAK: Tinjauan Umum Menurut UU 33 (2004), tujuan utama hibah ini adalah untuk membiayai, di daerah terpilih, kebutuhan infrastruktur untuk pelayanan 71 A. Shah, 2004. ”The Australian Horizontal Fiscal Equalization Program in the International Context.” Presentation at the Heads of the Australian Treasuries (HOTS) Forum, Canberra, September 22, and the Commonwealth Grants Commission, Canberra, September 23.
256
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
publik dasar yang menjadi prioritas nasional, tapi hibah ini tetap dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah daerah. Tujuan lain yang ditetapkan adalah untuk memberikan bantuan khusus ke daerah tertentu untuk mempercepat pembangunan daerah dan mewujudkan prioritas nasional. Pemda dengan kapasitas fiskal di bawah rata-rata diharapkan mendapatkan prioritas lebih tinggi untuk membiayai kekurangan infrastruktur mereka. Dana DAK disisihkan untuk membiayai hanya pengeluaran modal, dan biaya operasional dianggap tidak memenuhi syarat untuk memperoleh pembiayaan hibah. DAK adalah program hibah pendamping dengan ujung tertutup, yang mensyaratkan bahwa minimum 10% dari total biaya proyek harus disediakan dengan sumberdaya penerima sendiri. Dana pendamping dianggap perlu untuk menjamin kepemilikan lokal terhadap proyek. Di tahun 2011, pemerintah pusat menetapkan 19 bidang prioritas nasional untuk bantuan DAK. Ini meliputi: pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan, infrastruktur air bersih, infrastruktur sanitasi, infrastruktur pemerintahan, urusan kelautan dan perikanan, pertanian, lingkungan, keluarga berencana, kehutanan, infrastruktur di daerah tertinggal, fasilitas perdagangan, listrik masuk desa, perumahan dan permukiman, keamanan angkutan darat, angkutan perkotaan, dan infrastruktur daerah perbatasan. Alokasi bantuan DAK didasarkan pada tiga set kriteria: kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis. Kriteria umum yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan menentukan posisi fiskal kabupaten tertentu— relatif terhadap rata-rata neto nasional (neto gaji dan uang saku sektor publik). Semua kabupaten dengan posisi fiskal neto di bawah rata-rata memenuhi syarat untuk menerima bantuan DAK. Kriteria khusus ditujukan untuk memberikan akses pilihan ke pemda di Papua dan Papua Barat, daerah pantai dan pulau, daerah yang berbatasan dengan negara lain, daerah khusus keamanan pangan atau pariwisata, daerah rawan bencana, dan daerah tertinggal. Kementerian utama terkait menetapkan kriteria khusus ini. Peraturan tidak memberikan pedoman tertentu terkait berapa proporsi dana DAK yang harus disediakan untuk memenuhi kriteria khusus ini. Kriteria teknis ditentukan oleh instansi utama, melalui konsultasi dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Bappenas. Kriteria ini berisi sekumpulan indikator makro, terkait pelayanan, administratif dan kebutuhan. Contohnya, untuk pendidikan, 257
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
indikator ini meliputi untuk sekolah dasar: total jumlah kelas, dan jumlah kelas yang rusak sedang atau parah. Untuk sekolah menengah pertama: jumlah kelas, peringkat kebutuhan rehabilitasi fisik dari rendah, sedang dan tinggi, kebutuhan perpustakaan, kebutuhan peralatan laboratorium, mata pelajaran yang diberikan, serta alat dan buku bahasa. Untuk pelayanan kesehatan, indikator dicantumkan untuk menutup pelayanan dasar, kebutuhan obat generik, fasilitas farmasi, dan pelayanan rujukan. Indikator pelayanan dasar meliputi: indeks pembangunan kesehatan masyarakat (10%), indeks wilayah (10%), indeks penduduk (5%), indeks rasio kesehatan kecamatan (10%), indeks rasio poskesdes (20%), indeks puskesmas (35%) dan indeks peningkatan pusat kesehatan (15%). Untuk jalan, indikatornya meliputi: panjang jalan, kondisi jalan, wilayah, penduduk, jatah belanja modal dari total anggaran, belanja jalan dan ketepatan waktu pelaporan. Untuk menentukan kondisi memenuhi syarat bagi alokasi DAK, persyaratan pertamanya adalah memiliki indeks fiskal yang kurang dari satu. Persyaratan kedua adalah bahwa indeks gabungan kriteria khusus dan fiskal, yang memakai bobot yang setara, harus lebih besar dari satu. Ketiga, indeks gabungan kriteria fiskal, khusus dan teknis harus lebih besar dari satu, dimana dua indeks pertama menerima separuh dan kriteria teknis menerima setengah dari total bobot. Ternyata hampir semua kabupaten memenuhi syarat untuk akses DAK dengan memakai proses ini. Di tahap kedua, indeks gabungan baru dikembangkan yang menempatkan bobot 20% pada indeks gabungan kriteria khusus dan fiskal, dan 80% pada indeks kriteria teknis. Jadi, walau total kumpulan DAK dan alokasi ke berbagai sektor bersifat acak, tapi alokasi ke kabupaten dan provinsi ditentukan oleh rumus. 13.6.2. DAK: Evaluasi Hibah modal DAK dimaksudkan untuk memberikan bantuan untuk dua bidang umum: untuk menangani infrastruktur, termasuk kekurangan struktur administratif dalam kaitannya dengan standar pelayanan minimum yang tidak ditentukan untuk pelayanan publik prioritas dan pengelolaan bencana; dan untuk memberikan bantuan modal ke daerah tertentu. Kedua tujuan ini layak dipuji dan berujung tertutup. 258
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Menyesuaikan hibal modal adalah alat yang tepat untuk tujuan ini, asalkan dana tersedia untuk pemeliharaan fasilitas nantinya. Dengan jalan menangani kekurangan infrastruktur di yurisdiksi yang miskin, hibah-hibah ini memperkuat kesatuan ekonomi karena menciptakan arena bermain yang adil bagi daerah miskin untuk bersaing memperebutkan tenaga kerja dan modal, sambil menyatu dengan ekonomi yang lebih luas. Hibah ini memungkinkan yurisdiksi dengan atau tanpa akses ke keuangan pasar modal untuk membangun aset berumur panjang dan, dengan demikian, membangun kapasitas ekonominya agar tidak terlalu tergantung pada hibah. Berkaitan dengan argumentasi infrastruktur, hibah ini mungkin penting untuk meningkatkan kapasitas pemda dalam menyediakan pelayanan publik. Penyediaan pelayanan publik pada tingkat yang bisa diterima memerlukan aset fisik dan manusia. Yang disebut terakhir meliputi perolehan keterampilan tertentu dan pengembangan keahlian manajemen dan administrasi. Beberapa dari ini datang bersama pelatihan dan beberapa lainnya dengan pengalaman. Dalam kasus manapun, belanja sekali-habis yang besar akan diperlukan untuk mengembangkan kapasitas pembuatan keputusan pemda, jika kapasitasnya masih terbatas. Setelah kekurangan modal manusia dan fisik ditangani, maka kapasitas pemda dalam menyediakan pelayanan publik akan dijalankan dengan landasan yang berkelanjutan. Agar hibah modal efektif, hibah ini harus mencantumkan perspektif perencanaan. Perencanaan pusat dan kementerian utama harus memetakan seluruh negeri untuk menentukan kekurangan di daerah, yang berkaitan dengan standar minimum nasional dalam infrastruktur dasar untuk pelayanan yang lebih bagus. Jika perspektif ini tidak ada, maka hibah modal yang ditentukan secara ad hoc dan proyek per proyek akan menjadi sumber politik jual janji. Indonesia di masa lalu (pra-2000), di bawah transfer Inpres, mencantumkan perspektif perencanaan ini ke dalam hibah saat menentukan standar minimum nasional untuk akses ke sekolah dasar (yang disyaratkan harus berada dalam jarak yang bisa ditempuh dengan jalan kaki oleh masyarakat penerima) di seluruh negeri. Pemerintah membantu pembangunan sekolah, dan pemda menyediakan lahan untuk sekolah. Program ini sangat efektif untuk menangani kekurangan infrastruktur. Afrika Selatan bereksperimen dengan hibah modal berbasis rumus untuk menangani 259
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
kekurangan infrastruktur, sambil menyertakan perspektif perencanaan dengan keberhasilan yang terbatas. Rumus Hibah Infrastruktur Kota menyertakan pembagian vertikal dan horizontal. Pembagian vertikal mengalokasikan sumberdaya ke sektor atau bidang prioritas lain; pembagian horizontal ditentukan berdasarkan pada rumus yang mempertimbangkan kemiskinan, kekurangan, dan kekuasaan serta fungsi kota. Rumus ini memiliki lima komponen: • Infrastruktur hunian dasar, termasuk infrastruktur baru dan rehabilitasi infrastruktur yang ada (75%). Alokasi yang proporsional diberikan untuk air bersih dan sanitasi, listrik, jalan, dan ‘lainnya’ (penerangan jalan dan pembuangan sampah); • Infrastruktur pelayanan publik kota, termasuk pembangunan infrastruktur baru dan rehabilitasi infrastruktur yang ada (15%); • Lembaga sosial dan infrastruktur usaha kecil (5%); • Kota pusat (5%); dan • Penyesuaian akhir: penyesuaian ke arah bawah atau atas dilakukan berdasarkan pada kinerja yang lalu dari setiap kota, relatif terhadap persyaratan hibah. Di sebagian besar negara, termasuk India, AS dan program DAK saat ini di Indonesia, perspektif perencanaan tidak ada, sehingga membahayakan pencapaian tujuan. Pengalaman dengan hibah modal yang ditentukan dengan rumus atau ad-hoc menunjukkan bahwa hibah ini sering dipakai untuk membangun fasilitas, yang kemudian tidak dirawat oleh pemerintah subnasional yang masih belum yakin akan kegunaannya atau mungkin kekurangan sarana untuk perawatan berkala. Hibah modal seperti ini banyak dipakai di negara berkembang dan ekonomi transisional. Sebagian besar negara memiliki proses yang rumit untuk mengawali dan menyetujui penyerahan pembiayaan proyek penting. Proses ini sangat rentan terhadap pengaruh melalui lobby, tekanan politik dan manipulasi penyaluran hibah (grantsmanship), dan proses ini lebih menyukai proyek yang memberikan kejelasan yang lebih besar bagi pemerintah pusat. Umumnya proyek kekurangan partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan, dan sering gagal karena kurangnya kepemilikan, minat dan pengawasan lokal. Melihat kesulitan seperti ini, mungkin cara paling baik adalah membatasi 260
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
pemakaian hibah modal, dengan jalan mensyaratkan dana pendamping dari penerima (yang berbanding terbalik dengan kapasitas fiskal unit penerima) dan menumbuhkembangkan partisipasi sektor swasta melalui jaminan politik dan risiko kebijakan sesuai keperluan. Untuk mempermudah partisipasi sektor swasta, manajer publik harus melakukan telaah teknis untuk memastikan bahwa sektor swasta tidak lari saat proyek sedang dilaksanakan. DAK menjauhkan politik dengan jalan mengembangkan proses yang obyektif dan ketat untuk pemenuhan syarat dan alokasi dana DAK tapi, saat dilaksanakan, kompromi sering dibuat terkait tujuan program hibah seperti dibahas di bawah ini. Tujuan DAK dan Ketentuan Pemenuhan Persyaratan Tujuan DAK memerlukan perspektif perencanaan yang rinci dari pusat, untuk menentukan kondisi memenuhi-syarat (eligibilitas) berdasarkan pada standar minimum nasional. Karena itu, indikator kapasitas fiskal yang dipakai saat ini mungkin tidak tepat. Dalam setiap kasus, indikator fiskal yang dipakai sangat tidak akurat, karena indikator ini adalah rasio pendapatan yurisdiksi terhadap rata-rata pendapatan nasional tanpa penyesuaian dengan penduduk, ukuran atau kelas pemda. Jadi yurisdiksi yang lebih kecil menjadi memenuhi syarat dan yurisdiksi yang lebih besar tidak, tanpa memandang kemampuan untuk membiayai proyek dari sumber sendiri atau akses ke pasar modal. Sebaliknya, kriteria khusus sudah tepat mengingat kebutuhan hukum. Namun bidang ini lebih baik ditangani melalui program hibah terpisah. Kriteria teknis DAK merupakan campuran indikator yang berguna dan tidak, yang ditentukan secara ad hoc. Kriteria teknis seharusnya berpedoman pada prioritas nasional yang ditentukan oleh pusat. Sesuai bidang, kriteria ini dimaksudkan untuk menjalankan standar nasional. Kepemilikan lokal Cara DAK menetapkan persyaratan dana pendamping sudah benar, untuk memupuk rasa kepemilikan lokal terhadap fasilitas yang dibangun dengan dana hibah. Namun penerapan hibah ini tidak menunjukkan kejelasan terkait tingkat dana pendamping. Akan sangat berguna jika kriteria yang jelas dijalankan terkait apa bentuk dana pendamping yang 261
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
seharusnya—yang saat ini bervariasi antara 10% hingga 90% tergantung kapasitas fiskal relatif (pendapatan potensial) dari yurisdiksi dalam ukurannya sendiri. Sebagai bagian dari strategi ini, yurisdiksi yang lebih besar dan kaya harus diberi bantuan untuk mengakses pasar modal, bukan keuangan hibah. Perencanaan Jangka Panjang Program DAK telah tumbuh menjadi pendekatan pohon natal, yang memberikan hadiah pembiayaan tahunan yang menyedihkan ke semua yurisdiksi untuk 19 pelayanan. Seharusnya program ini memberikan perspektif perencanaan jangka panjang dan ketersediaan dana untuk jangka menengah, bukan setiap tahun. Perspektif jangka panjang yang menjadi prioritas harus realistis dan terjangkau oleh anggaran pemerintah pusat yang ada. Pelaksanaan Proyek dan Pembiayaan Otomatis Pendekatan DAK melalui pemakaian pembiayaan otomotasi bukan berbasis pelaksanaan, sudah tepat karena ini menjauhkan politik serta mencegah manipulasi penyaluran hibah. Tapi pembiayaan otomatis harus didasarkan pada perspektif perencanaan dari pusat, bukan kriteria yang acak dan rumit seperti yang dijalankan saat ini. Pembiayaan Berbasis Persaingan Kedua pendekatan ini memberikan pembiayaan berdasarkan pada hasil yang dicapai, ke beberapa pemenang terpilih. Mengingat kurangnya akses ke keuangan modal atau cadangan pendapatan di yurisdiksi miskin, maka pendekatan ini tidak mungkin bisa mencapai tujuan yang diinginkan. 13.6.3. Pilihan Reformasi DAK Seperti dibahas di atas, pendekatan DAK yang sederhana dan lebih terfokus akan menjauhkan politik dari proses penentuan alokasi, juga membantu menjaga kesatuan ekonomi bersama melalui penerapan standar minimum nasional untuk pelayanan yang bermutu. Ini memerlukan pencantuman perspektif perencanaan untuk kekurangan infrastruktur, bidang pelayanan prioritas dan standar pelayanan. Persyaratan kekurangan dan pembiayaan yang ditentukan untuk seluruh 262
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
negeri, harus dijabarkan dalam rencana lima-tahunan nasional. Diharapkan perspektif perencanaan ini juga membawa banyak bagian belanja dekonsentrasi ke kumpulan dana ini, dengan demikian memperbesar pembiayaan yang tersedia untuk menjalankan standar nasional. Untuk melaksanakan perspektif perencanaan ini, Kementerian Keuangan, Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri bersama dengan kementerian utama lain perlu: mengembangkan daftar proyek; memberikan rincian pembiayaan jangka menengah yang tersedia untuk penyelesaian proyek ini; dan menetapkan persyaratan dana pendamping (dengan tingkat yang berbeda-beda dan berbanding terbalik dengan kapasitas pendapatan potensial per kapita) untuk yurisdiksi yang memenuhi syarat. Kementerian utama lalu bekerjasama dengan pemda yang memenuhi syarat untuk menyusun rincian proyek, jadwal penyelesaian dan kebutuhan pemantauan dan evaluasi. Tentu saja, seperti dibahas terkait DAU, penting untuk melengkapi hibah modal DAK dengan hibah berbasis hasil-akhir dan rumus yang sederhana (yang setara dengan per kapita berdasarkan pada penduduk-pelayanan sebagai kriteria utama) untuk mempertahankan standar minimum nasional untuk pelayanan yang bermutu. DAK untuk bidang yang ditentukan oleh peraturan perundangundangan lebih baik dilaksanakan melalui program terpisah, bukannya mencantumkan bidang ini sebagai bagian dari DAK untuk standar pelayanan minimum untuk pelayanan yang menjadi prioritas nasional. Apakah Indonesia Memerlukan Komisi Hibah? Untuk menentukan sistem hibah, kita bisa temukan empat tipe model yang dipakai dalam praktek.72 Yang pertama dan paling banyak dipakai adalah pemerintah federal/pusat sendiri bertanggung jawab membuat keputusan. Ini memang memiliki kelemahan yang jelas karena membuat hasil sistem cenderung ke arah sentralisasi, padahal hibah dimaksudkan untuk mempermudah desentralisasi pembuatan keputusan. Di India, hanya pemerintah federal yang bertanggung jawab atas transfer Komisi Perencanaan dan skema yang disponsori oleh pusat. Transfer ini mengenakan kebersyaratan hasil yang kuat, yang bisa merusak otonomi negara bagian dan lokal. Konstitusi Brasil 1998 memberikan 72
A. Shah. 2005. A Framework for Evaluating Alternate Institutional Arrangements for Fiscal Equalization Transfers. World Bank Policy Research Working Paper No. 3785, Washington, DC.
263
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
perlindungan yang kuat terhadap campur-tangan negara bagian, dengan jalan mempertahankan faktor rumus dalam konstitusi. Perlindungan ini adalah langkah ekstrem karena bisa merusak fleksibilitas pengaturan fiskal terhadap kondisi ekonomi yang berubah. Pendekatan kedua yang dipakai dalam praktek adalah membentuk badan semi-independen seperti komisi hibah, yang tujuannya adalah untuk merancang dan memperbarui sistem. Komisi ini bisa bersifat permanen seperti di Afrika Selatan dan Australia, atau badan ini bisa dibentuk secara periodik untuk menyusun rekomendasi untuk lima tahun ke depan, seperti yang dilakukan di India. Komisi ini terbukti tidak efektif di beberapa negara, sebagian besar karena banyak rekomendasinya diabaikan oleh pemerintah dan tidak dilaksanakan, seperti di Afrika Selatan. Dalam kasus lain, walau pemerintah telah menerima dan melaksanakan rekomendasi, tapi mereka tidak efektif dalam melakukan reformasi sistem karena hambatan yang mereka buat sendiri, seperti yang dianggap terjadi di India. Dalam beberapa kasus, komisi menjadi terlalu akademis dalam pendekatan mereka dan karena itu menyebabkan munculnya sistem transfer antar pemerintah yang sangat rumit, seperti yang terjadi pada Komisi Hibah Persemakmuran di Australia (Shah, 2007).73 Pendekatan ketiga yang ditemukan dalam praktek adalah memakai federalisme eksekutif, komisi pusat-provinsi-lokal atau forum perundingan ketentuan sistem. Sistem seperti ini dipakai di Kanada dan Jerman. Di Jerman, sistem ini diperkuat melalui perwakilan pemerintah pusat di Bunderstat, dewan perwakilan tingkat atas. Sistem ini memungkinkan masukan politik yang jelas dari yurisdiksi yang terlibat, dan usaha untuk mengembangkan konsensus bersama. Pendekatan keempat adalah variasi pendekatan ketiga dan memakai komisi antar pemerintah—legislatif—masyarakat madani, dengan perwakilan yang sama dari semua unit konstituen tapi diketuai oleh pemerintah federal/pusat, untuk merundingkan perubahan dalam pengaturan yang ada. Komisi yang disebut Komisi Keuangan di Pakistan 73 A. Shah. 2007. A. Practitioner’s Guide to Intergovernmental FiscalTransfers in R. Broadway and A. Shah, eds. Intergovernmental Fiscal Transfers: Principles and Practice, Washington, DC: World Bank.
264
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
dan Dewan Perwakilan Otonomi Daerah (DPOD) di Indonesia, mewakili model ini. Pendekatan ini memberikan kelebihan bahwa semua pemangku kepentingan—donor, penerima, masyarakat madani dan para ahli— terwakili dalam komisi. Pendekatan ini membuat sistem tetap transparan. Penting bahwa, dalam forum seperti ini, hanya donor dan penerima yang diberi hak suara, dan anggota masyarakat madani dan para ahli hanya sebagai pengamat yang memberikan umpan-balik dan bantuan teknis. Kekurangan sistem ini adalah jika aturan kebulatan suara dipakai, maka badan ini bisa macet selamanya, seperti yang terjadi di Pakistan di tahun 1990. DPOD di Indonesia merupakan forum penting untuk keputusan tentang penentuan hibah. Peran DPOD dalam penentuan hibah bisa diperkuat melalui persyaratan bahwa hanya menteri kabinet, gubernur dan walikota/bupati boleh memberikan suaranya terkait masalah transfer fiskal, dan bahwa keputusan mewajibkan suara mayoritas tiga-perempat dari anggota DPOD. Sebagai kesimpulan, tampaknya tidak ada keuntungan yang jelas dari pembentukkan komisi hibah yang independen di Indonesia. Peran penentuan hibah lebih baik dijalankan oleh forum antar pemerintah seperti DPOD, dengan dukungan sekretariat teknis di Kementerian Keuangan.
13.7. Kesimpulan dan Rekomendasi Selama dekade terakhir, Indonesia telah melakukan transformasi yang menakjubkan, dari pemerintahan yang sangat tersentralisasi ke pemerintahan yang demokratis dan terdesentralisasi. Transformasi ini bisa dipertahankan jika keuangan antar pemerintah memberikan dorongan dan akuntabilitas yang benar menuju pemerintahan lokal yang responsif dan akuntabel. Sebelum reformasi tahun 2000, Indonesia memiliki sistem hibah keuangan antar pemerintah yang disebut Inpres (Instruksi Presiden), yang sederhana, transparan dan terfokus pada akuntabilitas berbasis hasil. Buku ini mengimbau Indonesia untuk kembali ke akarnya dan melaksanakan opsi reformasi yang mewakili pendekatan ‘kembali ke masa depan’—pendekatan yang diambil dari pengalaman Indonesia yang kaya dan terbukti sukses, yang sering disebut dalam literatur
265
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
keuangan publik sebagai praktek terbaik dalam transfer pusat.74 Dalam rekapitulasi untuk memperkuat pemerintahan lokal yang bertanggung jawab, Indonesia perlu mempertimbangkan pilihan reformasi berikut: • Desentralisasi pajak dan bagi-hasil pokok pajak Bagi-hasil pokok pajak layak untuk pajak penghasilan perorangan dengan prinsip tempat-tinggal. Desentralisasi pajak mungkin layak untuk pajak royalti, bea, uang pesangon, produksi, hasil-akhir dan properti, pajak maksiat (judi, minuman keras, panti pijat) dan pajak dan bea lingkungan lokal; • Hibah operasional per kapita yang berbasis hasil-akhir untuk menjalankan standar minimum nasional untuk pelayanan yang bermutu, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hibah ini harus mencantumkan kriteria alokasi yang sederhana untuk pemda, berdasarkan pada jumlah pelayanan, misalnya hibah operasional sekolah yang didasarkan pada penduduk usia sekolah. Pemda akan membayarkan hibah ini ke semua penyedia jasa—pemerintah dan non-pemerintah—seperti yang dilakukan di Kanada, Brasil, Chili, Finlandia dan Thailand. Kelanjutan pembiayaan bisa dipastikan dengan jalan mempertahankan atau meningkatkan standar akses dan mutu pelayanan yang ada. Transfer ini akan menjaga otonomi lokal dan memperkuat kesederhanaan, transparansi, dan akuntabilitas berbasis masyarakat untuk kinerja penyediaan pelayanan. Dulu, Indonesia telah terbukti sukses dalam melaksanakan program hibah (hibah Inpres), yang mencantumkan paling tidak beberapa dari ciri ini. • Hibah penyetaraan kapasitas fiskal Untuk membuat semua yurisdiksi bisa memberikan pelayanan publik pada tingkat yang sebanding dengan tingkat beban pajak; 74
A. Shah, and Zia Qureshi, et al. 1994a. Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia. Issues and Reform Options. World Bank Discussion Paper Series. No. 239. Washington, DC: World Bank; Shah, A.1998. ”Indonesia and Pakistan: Fiscal Decentralization—An Elusive Goal?” In Fiscal Decentralization in Developing Countries, ed. Richard Bird and François Vaillancourt, 115–51. Cambridge: Cambridge University Press.
266
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
• Hibah modal (pendamping) untuk yurisdiksi yang lemah kapasitas fiskalnya Ini diperlukan untuk menangani kekurangan infrastruktur dan menjalankan standar minimum nasional. Hibah ini harus didasarkan pada perspektif perencanaan untuk kekurangan infrastruktur yang ditetapkan, dan harus mensyaratkan dana pendamping yang berbanding terbalik dengan kapasitas fiskal. Hibah ini digabungkan dengan hibah operasional berbasis hasilakhir, akan memberikan arena bermain yang adil, dan membuat yurisdiksi miskin bisa bergabung dengan ekonomi nasional yang lebih luas dan membantu mengurangi kesenjangan fiskal dan pendapatan regional; • Bantuan akses ke pasar modal untuk yurisdiksi kaya. Reformasi yang disebutkan di atas akan menghasilkan sistem keuangan antar pemerintah yang lebih transparan, obyektif, bisa diramalkan dan sederhana, dengan fokus lebih tajam pada tujuan. Reformasi tersebut bisa dianggap sebagai elemen integral dari usaha apa pun untuk menyelaraskan sistem fiskal yang ada di Indonesia dengan sistem pemerintahan multi tingkat. Sebagai penutup, reformasi itu abadi dan kita mungkin tidak sepenuhnya berhasil pada awalnya tapi kita harus tetap mencoba.
267
14
Insentif untuk Penyediaan Pelayanan Lebih Baik Blane D. Lewis dan Paul Smoke
14.1. Pendahuluan Tumbuhnya minat semakin besar pada pemakaian insentif nasional untuk mengembangkan reformasi pemerintah daerah dan meningkatkan kinerja di banyak negara berkembang di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Banyak literatur terkini tentang desentralisasi melihat insentif sebagai ciri yang melekat pada sistem pemerintahan (tata-kelola) yang bagus—jika struktur dan prosedur sistem ini dirancang dengan baik, maka para pelaku dalam sistem ini akan mendapatkan manfaat dari penerapan perilaku yang tepat dan/atau akan dikenai hukuman jika tidak melakukan ini.75 Insentif bisa juga dipakai secara bertahap saat desentralisasi sedang dilaksanakan, untuk mendorong para pelaku memakai cara-cara baru tertentu dalam melaksanakan fungsinya atau memberi penghargaan/hadiah untuk output atau hasil akhir. Di Indonesia, pemakaian insentif kinerja semakin dilihat oleh pemerintah dan lembaga donor sebagai cara yang sangat berguna untuk mendukung proses 75 Federalisme fiskal memberikan kerangka konseptual arus-utama untuk desentralisasi. Ini diperkenalkan dalam Oates (1972), ditinjau-ulang dalam Oates (1999) dan dipelajari secara menyeluruh dalam kaitannya dengan negara berkembang dalam literatur yang luas dan beragam, termasuk: Bahl dan Linn (1992), Shah (1994), Ter-Minassian (1997), Litvack, Ahmad dan Bird (1998), Bird dan Vaillancourt (1998), Smoke (2001), Tanzi (2001), Ahmad dan Tanzi (2002), Bardhan dan Mookherjee (2006). Literatur terkini tentang federalisme fiskal ‘generasi kedua,’ meliputi Oates (2005) dan Weingast (2009).
268
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
desentralisasi yang berevolusi secara tidak merata dan tidak menentu, yang sekarang sudah berjalan lebih dari satu dekade. Banyak negara memakai berbagai macam insentif kinerja dengan cara dan pengaruh yang berbeda-beda. Dalam makalah ini kami secara singkat mempertimbangkan dasar pemikiran untuk pemakaian insentif kinerja pemerintah daerah secara umum dan di Indonesia, dan kami mengkaji pengalaman insentif Indonesia yang sampai kini masih terbatas. Kami kemudian menyajikan kerangka konseptual, desain dan isu-isu pelaksanaan yang relevan untuk mempertimbangkan bagaimana pendekatan insentif kinerja dan ringkasan pengalaman internasional yang dipilih. Kami mengakhiri dengan beberapa komentar mengenai relevansi pengalaman negara lain untuk Indonesia dan beberapa pemikiran untuk gerakan ke depan. 14.2. Insentif Kinerja untuk Pemerintah Daerah dalam Sistem Desentralisasi Kebutuhan insentif kinerja nasional dalam sistem desentralisasi mungkin tidak nampak jelas. Desentralisasi bermodel arus-utama pada dasarnya menggambarkan otonomi pemerintah daerah sebagai hak mutlak yang diabadikan dalam pasal-pasal konstitusi, undang-undang atau peraturan pendukung lainnya. Dalam pandangan seperti ini, peran pusat adalah sebagian besar untuk mengembangkan struktur, sistem dan prosedur antarpemerintah yang tepat. Jika kerangka dibuat dengan benar, misalnya dengan pemindahan fungsi pendapatan dan belanja yang tepat, penerapan hambatan anggaran yang ketat, ketentuan mengenai penyeimbangan disparitas (perbedaan) fiskal antar yurisdiksi, dll., maka perilaku pemerintah daerah seharusnya didorong di tingkat lokal oleh pemilu subnasional. Pandangan yang tidak begitu statis mengenai desentralisasi membingkai desentralisasi sebagai proses yang rumit dan berevolusi, yang memerlukan pembentukan keseimbangan yang tepat antara tujuan nasional dan otonomi daerah.76 Di sebagian besar negara, pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah banyak mengatur atau berusaha memengaruhi perilaku fiskal pemerintah daerah agar bisa mendukung 76
Literatur terkait mengenai topik ini meliputi: Tendler (1997), Shah dan Thompson (2004), Falleti (2005), Smoke, Gomez dan Peterson (2006), Smoke (2007), dan Connerley, Eaton dan Smoke (2010).
269
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
pencapaian prioritas nasional yang ditentukan. Selain itu, jelas manfaat teoretis dari desentralisasi bisa diwujudkan hanya jika pemerintah daerah memiliki sistem, kapasitas, dan insentif yang memadai untuk berperilaku secara bertanggung jawab dan menunjukkan akuntabilitas pada konstituennya. Kapasitas dan akuntabilitas tidak terbentuk secara cepat dan mudah, dan pemilu lokal masih tumpul dan belum menjadi instrumen yang memadai untuk memicu akuntabilitas lokal, terutama dalam lingkungan dimana masyarakat madani masih lemah dan pembuatan keputusan secara kolektif dan menyeluruh kurang dipahami dan tidak terbentuk dengan baik. Dalam pandangan yang lebih luas dan lebih dinamis ini, desentralisasi memerlukan pusat yang mampu dan bisa mengembangkan serta memberlakukan mekanisme antar pemerintah yang tepat, mendukung peningkatan kapasitas lokal dan membantu mengembangkan iklim untuk pemerintahan lokal yang akuntabel. Reformasi harus dilihat sebagai proses berkepanjangan yang memerlukan banyak perubahan sistemik, juga modifikasi dalam perilaku semua pelaku—pejabat pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat madani.77 Dalam situasi seperti ini, insentif pusat untuk kinerja pemerintah daerah bisa memainkan peran penting dalam memperluas prioritas nasional, mengembangkan penerapan reformasi desentralisasi dan memicu perubahan perilaku yang ditujukan untuk mendukung tujuan utama desentralisasi. Tentu saja, apa yang harus diingat di sini adalah bahwa dinamika politik nasional harus sedemikian rupa agar pemerintah pusat menciptakan insentif untuk perilaku yang diinginkan, bukan perilaku yang tidak diinginkan.78
14.3. Insentif Kinerja di Indonesia Berbagai insentif, beberapa diharapkan dan beberapa lainnya tidak, beberapa yang produktif dan beberapa lainnya tidak, saat ini sedang berjalan dalam sistem fiskal antar pemerintah Indonesia. Baik sisi pendapatan maupun sisi belanja telah distruktur dalam sistem transfer: bagi-hasil pendapatan, DAU (dana alokasi umum) dan DAK (dana alokasi khusus). 77
S. Yilmaz. 2010. Linking Local Government Discretion and Accountability in Decentralization. Development Policy Review. 28 (3). Pp. 259-293. 78 E. Kent, et al. 2011. The political economy of decentralization reform: Implications for aid effectiveness. Washington, D.C.: World Bank.
270
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
14.3.1. Insentif Pendapatan Pajak properti adalah pajak pusat, walau pemerintah daerah membantu penagihannya. (Menurut UU terkini, pajak properti akan dipindahkan seluruhnya ke pemerintah daerah hingga 2013). Pusat mengembalikan 64,8 persen dan 16,2 persen dari yang total yang diterima masing-masing ke pemerintah provinsi dan daerah (kota/kabupaten) asal pendapatan ini. Pusat pada awalnya mendapatkan 10 persen dan mengenakan 9 persen untuk administrasi, tapi bagiannya yang 10 persen ini diberikan ke pemerintah daerah; 6,5 persen dalam jumlah bulat (lump sum) ke semua tempat dan 3,5 persen ke pemda (pemerintah daerah) yang memenuhi target pendapatan pajak properti tahun sebelumnya. Ini paling banter memberikan pengaruh insentif yang kecil, mengingat bahwa 3,5 persen pendapatan pajak properti di tahun 2008 berjumlah hanya sekitar 0,30 persen dari total pendapatan subnasional (sekitar 0,02 persen dari PDB). Insentif lain yang melekat pada sistem alokasi DAU berkaitan dengan pengolahan penerimaan asli daerah dalam rumus penyeimbangan. Rumus ini didasarkan pada selisih antara kebutuhan belanja yang diperkiraan dan kapasitas fiskal. Kebutuhan belanja diambil dari satu set patokan (penduduk, wilayah, indek biaya dll.), dan kapasitas fiskal didasarkan pada pendapatan pemerintah daerah dari sumber lain (yakni, di samping dari DAK). Pendapatan asli yang bersifat kemungkinan bukan yang aktual dipakai dalam memperkirakan kapasitas fiskal, sedangkan pendapatan aktual dipakai untuk semua sumber lain. Pendapatan asli yang bersifat kemungkinan (potential) ditentukan melalui model regresi sederhana yang menetapkan pendapatan sebagai fungsi produk domestik bruto daerah (patokan untuk pokok pajak lokal); penerimaan asli yang berpotensi menjadi milik pemerintah daerah adalah penerimaan asli yang diramalkan dari model perkiraan. Tujuannya adalah untuk mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan asli daerahnya, dalam konteks dominasi transfer. Diharapkan pemerintah daerah akan berusaha untuk berada di atas garis pendapatan yang bersifat kemungkinan (potential) agar mereka bisa ”mempertahankan” beberapa bagian penerimaan asli mereka di samping alokasi DAU. Argumentasinya adalah bahwa insentif akan membantu menjaga agar usaha pajak dan pendapatan lokal tidak menurun karena transfer antarpemerintah yang besar dan/atau meningkat. 271
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Saat dijalankan, Lewis (2005) menunjukkan bahwa peningkatan transfer, dalam kenyataannya, dihubungkan dengan pendapatan asli daerah yang meningkat.79 Namun diragukan apakah peningkatan pendapatan merupakan hasil dari insentif DAU karena ini tidak pernah dipahami dengan baik oleh pejabat pemerintah daerah ketika ini dijalankan dan, dalam setiap kasus, telah dihapuskan. Penjelasan yang paling memungkinkan adalah bahwa transfer yang diperbesar menimbulkan dana cadangan yang semakin besar, yang selanjutnya membawa ke pendapatan bunga yang meningkat. Analisis terkini (Lewis dan Suharnoko, 2009) menyarankan bahwa pendapatan bunga yang meningkat dari saldo yang tak-terbelanjakan mungkin membentuk hingga separuh peningkatan dalam penerimaan asli daerah selama periode pascadesentralisasi.80 Studi lain (Lewis 2006) menunjukkan transfer yang meningkat berkaitan dengan efisiensi biaya yang berkurang dalam administrasi pajak lokal.81 14.3.2. Insentif Belanja Kementerian Keuangan berusaha mendorong daerah-daerah yang kaya dengan sumberdaya alam untuk membelanjakan lebih banyak sumberdaya untuk pendidikan. Mulai tahun 2009, pemerintah subnasional diberi hadiah bagian tambahan sebesar 0,5 persen dari pendapatan minyak dan gas untuk belanja pendidikan. Karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang menyebutkan cara bagaimana dana ini akan dipantau dan diberlakukan, maka insentif ini mungkin tidak akan menimbulkan dampak nyata. Insentif telah memainkan beberapa peran dalam alokasi DAU, yang membentuk sekitar satu setengah anggaran provinsi dan hampir duapertiga anggaran lokal (pemda). Kelompok dana untuk DAU berasal dari 26 persen pendapatan domestik netto (yang direncanakan). Di tahun 2008, DAU mencapai hampir Rp 179 triliun (4,8 persen PDB). Satu porsi besar dari total kelompok dana (kini sekitar 50 persen) dialokasikan untuk membayar tagihan upah subnasional. Sisanya (kecuali 79
B. Lewis. 2005. Indonesian local government spending, taxing and saving: an explanation of preand post-decentralization fiscal outcomes. Asian Economic Journal.19 (3). pp. 291-317. 80 B. Lewis and B. Suharnoko. 2008. Local tax effects on the business climate. In N McCulloch, ed. Investment climate in Indonesia. Institute of South East Asian Studies. 81 B. Lewis. 2006. Local government: an analysis of administrative cost inefficiency. Bulletin of Indonesian Economic Studies 42 (2). pp. 213-233.
272
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
suatu jumlah bulat kecil) dibagikan menurut rumus penyeimbangan fiskal. Dasar pemikiran yang dinyatakan (dalam UU 32/2004) untuk menutup pembayaran gaji dari DAU adalah untuk mengurangi beban perencanaan fiskal lokal yang berkaitan dengan pemindahan staf antara pemerintah pusat dan subnasional dan antar pemerintah subnasional. Namun sebagian besar analis berpendapat bahwa pasal ini menjadi disinsentif untuk perampingan pegawai negeri subnasional. DAK adalah hibah penyesuai bersyarat yang dirancang oleh UU (undang-undang) untuk mendorong belanja modal di daerah miskin (atau yang ditentukan secara khusus). Komponen penyesuai ditentukan sebagai 10 persen dari kontribusi pusat, yang dalam praktek tidak pernah dilebihkan. DAK mencapai kurang dari Rp 1 triliun di tahun 2001 dan 2002. Hingga tahun anggaran 2008, DAK tumbuh menjadi Rp 21,2 triliun, atau sekitar 7% dari total pendapatan daerah. Walau masih relatif kecil, tapi DAK menjadi semakin penting artinya meski ada banyak persaingan visi terkait cara bagaimana DAK dijalankan. Sampai sejauh mana DAK bisa mendorong peningkatan belanja modal, telah menjadi isu utama. Walau sebagian besar pemda tampak membelanjakan sebagian besar DAK yang dialokasikan ke mereka, tapi ini tidak berarti pembagian DAK memang memicu belanja modal secara keseluruhan, mengingat fungibility (kemampuan untuk bisa digantikan macamnya) dana. Riset terkini menyebutkan bahwa peningkatan DAU senilai satu rupiah hanya menimbulkan peningkatan sekitar 0,78% dalam belanja modal. Temuan ini menyiratkan bahwa belanja modal dengan dana DAK mendesak keluar belanja modal dari sumber lain. Riset ini juga menyebutkan bahwa ini adalah masalah khusus untuk investasi infrastruktur lokal (Lewis, 2011).82 Masalah kebijakan utama adalah bahwa DAK menjadi terfragmentasi di semua sektor dan pemanfaatan (seperti yang terjadi pada hibah pradesentralisasi). Cakupan DAK di tahun awal operasinya terbatas pada pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi dan gedung kantor (untuk pemda baru). Hingga 2008, cakupan meluas ke-11 sektor yaitu sektor semula plus air bersih, perikanan, pertanian, lingkungan, penduduk dan kehutanan. Hingga 2011, cakupan DAK meliputi total 17 sektor. 82
B. Lewis. 2011. Local government capital spending, intergovernmental fiscal transfers, and economic growth in Indonesia. Mimeo.
273
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Selain itu, walau DAK pada awalnya difokuskan pada sejumlah kecil pemda, tapi hingga 2008 semua pemda menerima paling tidak beberapa DAK. Alasan utama dibalik peningkatan jumlah sektor dan fragmentasi geografis ini adalah bahwa prosedur alokasi tampaknya telah ditanggapi secara serius oleh DPR. Di tahun 2010, Bank Dunia menyetujui pinjaman senilai $220 juta untuk pemda dan proyek desentralisasi, yang ditujukan untuk meningkatkan akuntabilitas dan pelaporan DAK. Dengan percontohan di empat subsektor infrastruktur—irigasi, jalan, penyehatan lingkungan (sanitasi) dan air bersih—inisiatif ini akan memakai pendekatan berbasis hasil akhir (output) untuk alokasi DAK.83 Mitra pembangunan internasional lain, termasuk USAID dan AusAID, juga terlibat dalam pendekatan berbasis kinerja untuk meningkatkan penyediaan pelayanan lokal. 14.3.3. Isu Berjangkauan Luas Pembahasan di atas menyiratkan bahwa pengalaman Indonesia terkait insentif kinerja dalam sistem fiskal antar pemerintah lebih bersifat ad-hoc (khusus) dan tidak merata. Kurangnya pendekatan sistematis bukan tidak diharapkan di Indonesia, mengingat beragamnya instansi pusat yang terlibat, beberapa tingkat fragmentasi kebijakan di instansi individual, dan kurangnya koordinasi yang menyeluruh. Selain pemasalahan terkait pemakaian insentif yang terbatas dan terfragmentasi, pelaksanaan insentif yang ada, yang bersifat parsial atau longgar, tampaknya dijadikan aturan. Pemakaian insentif pajak properti dan penerimaan asli daerah, misalnya, dijalankan secara tidak beraturan dan tidak konsisten. Yang sama penting artinya, pengaruh insentif tidak dipantau dengan baik. Jika informasi tersedia, dampaknya terlihat masih terbatas dan tidak diinginkan atau malah buruk, dalam beberapa kasus. Di saat yang sama, kemungkinan kekuatan insentif digambarkan oleh penangguhan transfer DAU oleh Kemenkeu untuk pemda yang tidak mematuhi persyaratan pelaporan anggaran. Kemudian, pemerintah yang tidak mematuhi persyaratan ini segera memenuhi kewajiban mereka, yang menyiratkan dampak positif yang mungkin ditimbulkan oleh insentif jika dirancang dan diberlakukan dengan benar. 83
P. Ellis, et al. Performance Incentives for Global Elath: Potencial and Pitfalls. Washington, DC: Center for Global Development.
274
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
14.4. Skema Insentif: Tujuan dan Desain Mengingat permasalahan serius terkait kinerja pemda di Indonesia, seperti yang diungkap di atas, dan pemakaian insentif yang tidak merata untuk memperbaiki situasi, mungkin akan ada peluang bagi pemerintah untuk mengembangkan dan menerapkan mekanisme insentif secara lebih luas, lebih kreatif dan lebih efektif. Insentif seperti ini bisa memainkan peran bukan hanya dalam mengembangkan penerapan reformasi dan pemberlakuan mandat, tapi juga dalam menciptakan perilaku fiskal yang lebih efisien dan lebih peka terhadap masyarakat. Pemakaian insentif berbasis kinerja untuk pemerintah daerah di negara berkembang, masih relatif terbatas jadi tidak banyak pengalaman sistematis yang bisa diambil, tapi ada beberapa literatur umum mengenai pemantauan kinerja dan insentif, yang beberapa di antaranya bersifat spesifik pemerintah daerah.84 Ada tiga tipe umum sistem/pendekatan yang terkait dengan pengembangan insentif kinerja.85 Yang pertama dalah sistem ukuran kinerja (PMES) yang memerlukan usaha keras dan sistem untuk mengukur, mencatat, menganalisis dan membandingkan data kinerja dengan hasil sebelumnya atau norma yang ditetapkan. Pada dasarnya ini merupakan kegiatan teknis, tapi tentu saja apa yang diukur dan apa tujuannya harus jelas jika ingin menimbulkan dampak nyata. Ada banyak literatur mengenai ”mengapa” dan ”bagaimana” terkait topik ini, dan beberapa bentuk pengukuran kinerja banyak dipakai untuk berbagai tujuan di banyak negara di seluruh dunia. Pendekatan/sistem kedua adalah sistem pengelolaan kinerja (PMAS), yang memakai informasi yang dihasilkan oleh sistem pengukuran kinerja dan model serta alat lain, untuk meningkatkan pengelolaan dan menciptakan insentif agar pelaku tertentu memenuhi atau melebihi standar kinerja yang ditetapkan. Hibah berbasis kinerja, seperti yang dibahas di bawah, telah menjadi hal yang umum di negaranegara berkembang, dan pengaturan pembiayaan berbasis hasil (RBF) 84
Kajian bagus dari literatur konseptual tentang insentif kinerja dan penerapan mekanisme terkait di negara berkembang, termasuk di ranah pemerintah daerah, diberikan dalam Zinnes (2009). Steffensen (2010) memberikan kajian rinci mengenai hibah berbasis kinerja. Literatur mengenai negara berkembang dikaji dalam Dumas dan Kaiser (2010). Literatur terkait lainnya meliputi: Hatry (2006), Hildebrand (2007), Ammons (2008) dan AGA (2009). 85 V. Dumas and K. Kaiser. 2010. Subnational performance monitoring: Issues and options for higher levels of government. Draft Paper. Washington, DC: World Bank.
275
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
lainnya akan masuk ke dalam payung PMAS. Pendekatan terakhir masuk ke dalam payung model dan alat peningkatan kinerja (PMIT). Model dan alat ini dipakai untuk memahami lebih rinci langkah dan proses tertentu yang dipakai dalam proses pengelolaan dan penyediaan pelayanan, dengan tujuan menghasilkan jalur operasional spesifik ke peningkatan kinerja. Model dan alat ini bisa difokuskan secara relatif sempit pada aspek kinerja tertentu atau pelayanan tertentu, atau dalam beberapa hal alat dan model ini bisa bersifat sangat komprehensif. Alat dan model ini mungkin bisa memberikan dasar untuk mengembangkan satu set insentif yang lebih canggih untuk peningkatan kinerja, seperti pengembangan kontrak berbasis kinerja multisegi antara pemerintah pusat dan pemda. Di negara berkembang, sebagian besar usaha yang terkait dengan kinerja pemda nampaknya mempergunakan pembangunan sistem pengukuran dan beberapa pengembangan sistem dan alat pengelolaan kinerja secara terbatas. Negara-negara yang lebih maju, dengan tingkat kapasitas dan data yang lebih baik, dalam kadar tertentu memakai alat yang lebih canggih dan terpadu, sekalipun dengan cara yang berbedabeda tergantung tantangannya dan dengan dampak yang beragam.86 Sebelum mengkaji pengalaman internasional secara lebih sistematis, kami membuat kerangka sederhana untuk memikirkan kemungkinan peran-peran, desain dan pelaksanaan insentif kinerja pemda yang dibuat secara lebih cermat daripada yang ada saat ini di Indonesia. Pertama, kami mengkaji kemungkinan maksud target umum dari insentif. Kedua, kami mempertimbangkan kemungkinan tujuan tertentu yang mungkin diwujudkan dalam set maksud yang lebih umum ini. Ketiga, kami membuat gambaran umum mengenai suatu kisaran isu-isu utama yang umumnya harus dipertimbangkan dalam merancang insentif. Keempat, kami menyediakan tinjauan isu utama dan tantangan yang terlibat dalam pengukuran kinerja. Terakhir, kami mencatat berbagai tipe tanggung jawab kelembagaan yang harus ditetapkan atas perancangan dan pelaksanaan sistem insentif kinerja.
86 Untuk contoh, lihat Heinrich (2002), Behn (2003), Dehn, Reinikka dan Svenson (2003), Hatry (2006), Gauthier dan Reinikka (2007), Hildebrdan (2007), Ammons (2008), Bank Dunia (2008), AGA (2009), dan Bouvbjer dan Hatry (2010).
276
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
14.4.1. Tujuan Target Umum Ada banyak maksud yang pemerintah pusat bisa lekatkan pada insentif pemda, mulai dari tujuan yang lebih terbatas untuk mempermudah pemakaian dan kinerja sistem tertentu dan program reformasi prosedural hingga tujuan yang lebih umum untuk mengembangkan pembangunan yang lebih luas dan tujuan kebijakan. Reformasi Sistem Sasaran usaha insentif kinerja dasar kadang diarahkan ke penerapan reformasi sederhana, dan kebanyakan fokusnya diletakkan pada pengembangan beberapa aspek tertentu dari fiskal antar pemerintah, sistem hukum dan administratif serta prosedur operasional dasar. Reformasi teknis seperti ini umumnya dilihat sebagai kontribusi untuk meningkatkan pemerintahan (tata-kelola) dan akuntabilitas melalui perilaku sektor publik yang lebih transparan dan efisien. Beberapa reformasi akuntabilitas mungkin melebihi unsur dasar dari sistem karena mencoba mempermudah keterlibatan yang lebih langsung ke dalam masyarakat, misalnya melalui penerapan pendekatan partisipatif atau konsultasi masyarakat lainnya dan mekanisme umpan-balik. Target Fiskal, Ekonomi dan Kinerja Sosial Di luar penerapan sistem pemerintah dasar dan reformasi proses, insentif bisa dipakai untuk memicu peningkatan perilaku fiskal/kinerja anggaran, penyediaan pelayanan lokal yang lebih baik/banyak, dan peningkatan pendapatan lokal. Target-target ini bisa dicapai melalui berbagai cara seperti dijelaskan di bawah. Insentif juga bisa mempermudah perilaku yang ditujukan untuk mendukung sasaran dan kebijakan sektor publik prioritas lainnya. Ini bisa bersifat umum dan multisegi seperti pertumbuhan ekonomi dan/atau pengurangan kemiskinan, atau bersifat lebih terbatas seperti pengendalian polusi dan perilaku prolingkungan lainnya. Inovasi Pemerintah pusat bisa memakai insentif kinerja untuk mendorong pemda agar mencoba cara baru dalam menjalankan usaha. Contohnya meliputi pemakaian sistem baru teknologi peningkat efisiensi, pemakaian kemitraan pemerintah-swasta dalam penyediaan pelayanan pemda, 277
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
inisiatif penyediaan pelayanan bersama dengan pemda lain (kerja sama antar yurisdiksi), atau usaha yang menciptakan hubungan dengan kegiatan pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat (CDD). Inisiatif bertipe seperti ini akan tepat jika ada manfaat yang terbukti dari pelaksanaannya, atau jika pemerintah nasional ingin menciptakan lingkungan yang kondusif untuk percobaan dengan mekanisme alternatif untuk mengetahui apakah manfaat ini bisa terwujudkan. 14.4.2. Tujuan Utama Di dalam set maksud target umum seperti yang dijelaskan di atas, tujuan-tujuan utama tertentu dari sistem insentif pemda bisa berupa penerapan berbagai tipe reformasi desentralisasi yang sederhana hingga peningkatan hasil pembangunan. Insentif bisa diberikan untuk tujuan yang kompleks atau beragam sejak dari awal, atau penahapan evolusi insentif bisa dilakukan seiring waktu mulai dari yang sangat dasar hingga yang lebih sulit. Sertifikasi Reformasi Sederhana Dalam kasus yang paling sederhana, program insentif bisa mengakui bahwa pemda tertentu telah mulai memakai sistem dan prosedur yang diperlukan menurut kerangka antar pemerintah yang telah direvisi. Ini sebenarnya merupakan sertifikasi (pengakuan resmi) bahwa langkahlangkah tertentu telah dilaksanakan, tanpa menyebutkan seberapa bagus langkah ini dilaksanakan. Sertifikasi bisa terjadi untuk reformasi teknis seperti sistem pencatatan yang baru, prosedur penganggaran dan perencanaan baru, pengelolaan keuangan dan persyaratan pelaporan, dll.; untuk reformasi legislatif seperti pemberlakuan peraturan baru oleh DPRD untuk pengenaan pendapatan atau kemitraan pemerintahswasta; atau untuk pemakaian reformasi pemerintahan yang bertipe lebih ”lunak” seperti penerapan mekanisme konsultasi masyarakat atau pembukaan kantor keluhan masyarakat. Kinerja Penerapan Reformasi Suatu langkah di luar pemberian insentif untuk penerapan reformasi teknis atau proses pemerintahan sederhana, adalah memberi pemerintah subnasional penghargaan/hadiah terkait cakupan dan mutu teknis reformasi ini. Pengukuran kinerja dengan cara ini bisa difokuskan, 278
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
misalnya, pada apakah anggaran dan laporan keuangan disusun secara tepat waktu atau tidak, seberapa bagus pendapatan dan belanja aktual berkaitan dengan perkiraan anggaran daerah, apakah prioritas yang ditetapkan dalam rencana pembangunan daerah benar-benar didanai atau tidak, apakah dan seberapa sering peraturan baru benar-benar dijalankan, seberapa sering konsultasi masyarakat diselenggarakan dan tingkat partisipasi masyarakat, dll. Langkah-langkah ini memang tidak mengatakan sesuatu mengenai dampak perilaku baru, tapi bisa menunjukkan beberapa gerakan di luar penerapan reformasi secara proforma. Kinerja Fiskal Spesifik atau Agregat Pemerintah pusat mungkin ingin juga memberikan insentif agar pemda mengganti perilaku anggaran/fiskal atau tingkat dan/atau komposisi belanja dan pendapatan mereka yang bersifat agregat. Misalnya, pemda boleh mengelola defisit yang besar, mengelola surplus yang besar dan menyimpan saldo nganggur yang besar, atau memiliki tingkat utang yang tidak berkelanjutan. Dari sisi belanja, mereka boleh membelanjakan suatu porsi besar dari anggaran mereka untuk biaya administratif atau pelayanan utang, atau membelanjakan suatu porsi kecil dari anggaran mereka untuk pelayanan sosial yang menjadi sasaran strategi kemiskinan nasional atau untuk investasi modal di daerahdaerah dimana tingkat infrastruktur tercatat sebagai tidak memadai untuk mencapai tujuan sosial atau ekonomi yang penting. Mungkin ada mandat belanja sah tertentu yang, berkaitan dengan mandat ini, pemerintah ingin ciptakan insentif untuk kepatuhan pemda. Dalam kaitannya dengan pendapatan, mungkin ada permasalahan bahwa pemda tidak mendapatkan dana sebanyak yang mereka bisa dari sumber pendapatan lokal tertentu. Insentif bisa dirancang untuk membantu memicu perubahan dalam pola perilaku anggaran atau pengelolaan fiskal ini atau lainnya. Masukan, Output atau Hasil Akhir Mengenai penyediaan pelayanan, Pemda mungkin secara berlebihan atau secara tidak memadai memakai masukan (input) utama, atau secara banyak kurang atau terlalu banyak melakukan belanja tergantung masukan atau standar biaya di sektor pelayanan tertentu. Contohnya, 279
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
rasio siswa-guru atau ukuran kelas mungkin sangat tinggi atau sangat rendah, pengeluaran per kilometer jalan mungkin jauh di bawah atau jauh di atas rata-rata provinsi atau nasional. Dalam kasus seperti ini, insentif bisa dipakai untuk mencoba mendorong pemda agar menyesuaikan masukan yang mereka pakai atau mengubah biaya yang mereka keluarkan untuk unit masukan tertentu. Tentu saja, kadang ada alasan bagus untuk perilaku yang tidak umum, seperti kebutuhan spesifik lokal akan teknologi khusus atau variasi biaya ruang yang tidak bisa dihindari, dan ini harus dipertimbangkan dalam menentukan tingkat yang akan diberi insentif. Daripada untuk memotivasi pemda agar membelanjakan lebih banyak atau lebih sedikit untuk pelayanan tertentu, atau untuk memperbanyak atau mengurangi masukan tertentu, atau mengurangi biaya unit untuk penyediaan pelayanan, pemerintah pusat mungkin ingin memberikan insentif untuk tingkat keluaran tertentu yang ditetapkan, contohnya, oleh kementerian sektoral terkait untuk strategi pembangunan nasional atau pengurangan kemiskinan. Contohnya meliputi: penetapan sasaran dalam rasio pendaftaran siswa sekolah, jumlah liter air yang diproduksi per warga pemda, jumlah kilometer jalan, dll. Dalam banyak hal, memungkinkan dan diinginkan jika ukuran mutu ditetapkan seperti air atau jalan yang memenuhi standar tertentu. Seiring waktu bahkan memungkinkan untuk menentukan sasaran insentif untuk peningkatan dalam hasil akhir, yang mengukur sesuatu di luar penyediaan pelayanan publik secara langsung, seperti dalam tingkat melek huruf, pengurangan tingkat kecacatan dan kematian, dll. Walau setiap tujuan utama tersebut bisa diwujudkan melalu program insentif pemda, jelas bahwa tujuan-tujuan tersebut secara bertahap menjadi semakin sulit untuk dicapai dan/atau diukur, karena mereka bergerak dari langkah reformasi sederhana menjadi hasil akhir yang lebih baik. Memberikan pengakuan untuk penerapan prosedur penganggaran yang baru, misalnya, bisa dilakukan lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan tingkat melek huruf, dan pemakaian mekanisme konsultasi masyarakat yang baru secara proforma lebih mudah untuk didokumentasikan daripada pengaruhnya pada interaksi pemda dengan konstituennya dan dampak akhirnya.
280
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
14.4.3. Isu Utama Desain Insentif Di luar keputusan dasar mengenai tujuan utama program insentif pemda, beberapa keputusan desain utama umumnya perlu dibuat. Isuisu utama meliputi tingkat fleksibilitas dalam program; apakah memakai standar kinerja relatif atau absolut; apakah insentif harus bersifat positif, negatif atau keduanya; apakah hadiah/hukuman harus bersifat finansial, nonfinansial atau keduanya; lama periode kinerja yang tepat; apakah harus mendukung peningkatan kapasitas; cara memastikan transparansi; dan apakah perlu melakukan percontohan insentif sebelum penerapan secara umum. Keluwesan dalam Target Tingkat keluwesan program memiliki implikasi pada sifat target dan insentif serta cara target ditentukan. Di satu ekstrem, suatu program insentif bisa menetapkan pengharapan umum yang pasti, sedemikian rupa sehingga setiap pemda akan diberi hadiah untuk kinerjanya dalam menerapkan reformasi teknis tertentu, meningkatkan pengumpulan pendapatan tertentu, meningkatkan suatu aspek penyediaan pelayanan tertentu yang jelas ditetapkan, dll. Desain yang tidak begitu ketat akan memperbolehkan pemda untuk memilih dari menu kemungkinan reformasi atau peningkatan di dalam atau seluruh bidang reformasi dan/atau sumber pendapatan dan/atau sektor pelayanan. Tipe desain yang paling fleksibel akan memiliki ujung terbuka dan memperbolehkan pemda untuk memainkan peran yang dominan dalam memilih reformasi tertentu atau satu set reformasi. Jelas, spektrum opsi ini memerlukan beragam tingkat arahan pemerintah pusat dan diskresi pemda. Standar Absolut versus Relatif Ciri desain yang penting lainnya adalah sifat standar yang menjadi patokan evaluasi kinerja. Opsi yang paling ketat adalah persyaratan standar absolut, sedemikian rupa sehingga pemda yang ikut serta harus memenuhi persyaratan yang persis sama untuk perilaku tertentu yang sedang dikembangkan—apakah penerapan reformasi penganggaran tertentu atau pencapaian tingkat tertentu perolehan pendapatan atau penyediaan pelayanan. Mengingat keberagaman pemda di banyak negara, standar absolut mungkin tidak praktis dan tidak diinginkan, kecuali 281
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
mungkin untuk reformasi sederhana terkait kepatuhan seperti pemakaian format pelaporan baru atau pemenuhan tenggat waktu pelaporan. Namun ada standar absolut untuk beberapa kelompok pemda yang berbedabeda, dimana klasifikasi tergantung pada ketetapan pemerintah pusat terkait satu set karakteristik yang diharapkan untuk menentukan kebutuhan dan kemampuan pemda dalam memenuhi standar tertentu. Mungkin juga jika pemda diberi kesempatan untuk mengungkapkan pandangannya dalam menentukan suatu set reformasi tertentu atau indikator kinerja sasaran yang mereka percaya bisa penuhi selama periode kinerja tertentu, yang sebenarnya membawa ke individualisasi target selama periode waktu tertentu, meskipun persyaratan akhir dibuat standar (distandardisasikan). Insentif Negatif versus Positif Satu set keputusan desain lainnya harus berkaitan dengan sifat insentif, yang bisa positif dan/atau negatif. Insentif positif akan memberi hadiah untuk kepatuhan atau kinerja pemda terkait perilaku atau reformasi sasaran tertentu. Kegagalan dalam memenuhi atau melaksanakan standar bisa mengakibatkan hilangnya hadiah, atau mungkin hukuman disipliner bisa dipakai. Finansial atau Non-finansial Hukuman dan hadiah bisa berwujud nyata atau finansial seperti bantuan teknis atau pendanaan, atau non-finansial seperti publisitas yang bagus atau yang buruk. Konsekuensi kinerja harus berupa sesuatu yang sangat diperhatikan oleh pemda. Jika mereka tidak memerlukan sumberdaya lagi atau mempedulikan sanksi secara terbuka, maka insentif tidak akan menimbulkan pengaruh yang diinginkan. Hukuman dan hadiah bisa ditentukan pasti, seperti 20 persen peningkatan/pengurangan untuk pemenuhan/kegagalan memenuhi standar kinerja atau kepatuhan, atau hukuman dan hadiah bisa diatur agar berhubungan dengan tingkat di mana kinerja melebihi atau berada di bawah tingkat sasaran yang ditentukan. Jika hukuman dan hadiah berwujud finansial, maka sumber, tingkat dan keberaturan (sekali, selama periode tertentu, atau berulang kali) pendanaan harus ditentukan. Sumber dana, misalnya, bisa dari anggaran pemerintah pusat, bagian dari pendapatan pemerintah subnasional, atau hibah dari donor eksternal atau pinjaman. 282
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Mekanisme Baru atau yang Sudah Ada Sumberdaya keuangan bisa dialokasikan melalui program-program yang ada, seperti program transfer bersyarat atau tak-bersyarat, atau dana khusus bisa dibentuk dengan atau tanpa pengaturan yang terpisah dari prosedur pemerintah yang ada. Jika dana disalurkan melalui pengaturan yang ada, maka dana ini bisa ditentukan sebagai porsi dari sumberdaya yang dialokasikan saat ini (yang akan dikenai persyaratan kinerja baru menurut program) atau dana bisa menjadi tambahan pada tingkat pendanaan saat ini. Periode Kinerja Isu desain mendasar, yang relevan untuk sistem insentif kinerja pemda, berkaitan dengan penentuan periode kinerja. Pembuatan keputusan ini memerlukan penentuan terkait seberapa sering pengukuran kinerja diperlukan agar bisa memicu kinerja pemda yang lebih baik. Beberapa aspek sederhana dari kepatuhan atau kinerja mungkin berubah selama satu siklus anggaran tahunan, walau aspek lainnya diperkirakan memerlukan waktu lebih lama untuk mewujudkan atau mengukur pengaruhnya (tergantung pada aspek kinerja apa yang sedang diukur). Jika proses evaluasi paling tidak pada kadar tertentu didasarkan pada data sekunder (lihat bawah), maka periode kinerja menjadi tergantung pada seberapa sering data ini dikumpulkan dan seberapa cepat data ini tersedia setelah dikumpulkan. Peningkatan Kapasitas dan Bantuan Teknis Masalah yang umum dalam program insentif kinerja di lingkungan negara berkembang, berhubungan dengan apakah dan cara bagaimana peningkatan kapasitas dan bantuan teknis dicantumkan. Di satu ekstrem, pelatihan umum dan bantuan teknis yang ditentukan oleh pusat bisa diwajibkan pada pemda berdasarkan pada penaksiran kapasitas praprogram, dan pemda harus menerima ini sebagai persyaratan untuk ikut serta dalam program insentif. Di satu ekstrem lainnya, peningkatan kapasitas atau bantuan teknis yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan program insentif sepenuhnya menjadi tanggung-jawab Pemda. Di antara dua ekstrem ini ada beragam opsi. Peningkatan kapasitas dan bantuan teknis bisa diberikan dengan cara yang bersasaran, berdasarkan pada apa yang diperkirakan 283
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
diperlukan agar pemda bisa memenuhi indikator kinerja tertentu dalam titik waktu tertentu. Atau, pemerintah pusat bisa menyediakan sumberdaya untuk pemda yang memenuhi syarat, agar pemda ini berusaha memenuhi kebutuhan peningkatan kapasitas dan bantuan teknis dengan cara apapun yang pemda ini anggap cocok. Dalam kasus terakhir ini, akan ada penaksiran (analisis) secara ex-post terkait cara bagaimana sumberdaya ini dipakai, terutama jika pemda tidak memenuhi target kinerjanya. Transparansi Desain program insentif kinerja pemda, yang distruktur dengan cara apapun, perlu memenuhi persyaratan transparansi dasar. Ini berarti bahwa kejelasan harus ada terkait aturan dan proses yang harus diikuti dalam melaksanakan program ini, dan informasi harus langsung tersedia untuk pemda. Hasil evaluasi kepatuhan/kinerja juga harus terbuka, dan pemda harus memiliki hak untuk mengajukan keberatan jika mereka percaya, misalnya, bahwa informasi yang dipakai dalam evaluasi tidak akurat atau jika prosedur evaluasi seperti yang ditetapkan tidak dijalankan dengan benar. Jika tujuan umum program insentif adalah untuk meningkatkan akuntabilitas, maka hasil proses evaluasi harus menjadi informasi publik agar warga pemda bisa secara lebih baik menilai kinerja para pejabat mereka dan membandingkannya dengan pemda lain. Percontohan atau Arus Utama Yang terakhir, perlu memutuskan apakah program insentif perlu dicontohkan atau apakah program ini bisa langsung diarus-utamakan dalam sistem antar pemerintah. Dalam teori, semakin rumit dan inovatif mekanisme yang dipakai, semakin besar kemungkinan pengujian dan penyesuaian program ini sebelum ditingkatkan untuk dipakai secara umum. Namun hambatan terkait perihal ini adalah bahwa secara politis mungkin akan sulit untuk mempercontohkan secara selektif apa yang akhirnya nanti akan menjadi program nasional. Isu terkait berhubungan dengan apakah dan cara bagaimana membuat program menjadi berkelanjutan, yang tergantung pada maksud program, sumber dan keandalan pendanaan, dan pengaturan kelembagaan yang diperlukan untuk membuat program terus berjalan. 284
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
14.4.4. Mengukur Kepatuhan dan Kinerja Sejumlah keputusan perlu dibuat terkait pengukuran kepatuhan atau kinerja untuk suatu program insentif. Ini termasuk apakah ukuran yang dipakai harus bersifat subyektif, obyektif atau campuran; cara memilih indikator yang secara akurat mengukur dimensi kinerja yang tepat; dan cara mendapatkan data yang diperlukan, sambil mengakui kemungkinan kelebihan dan kekurangan dari berbagai kemungkinan sumber data.87 Indikator Subyektif, Obyektif atau Campuran Salah satu tantangan terbesar dalam merancang program insentif kinerja berkaitan dengan cara mengukur kinerja. Keputusan awal yang penting adalah menentukan apakah indikator kinerja yang dipakai dalam proses akan bersifat obyektif, subyektif atau kombinasi keduanya. Secara umum, ukuran obyektif lebih disukai karena kemungkinan besar akan lebih mudah untuk diukur, diverifikasi dan diartikan, serta lebih cocok untuk proses yang berulang. Namun data yang diperlukan untuk membuat indikator obyektif mungkin tidak ada atau tidak andal. Selain itu, beberapa aspek kinerja sulit diukur secara obyektif. Contohnya, kinerja mekanisme pemerintahan partisipatif kadang diukur dari segi jumlah orang atau persentase penduduk yang memenuhi syarat, yang benar-benar berpartisipasi. Dalam kasus seperti ini, ukuran yang lebih subyektif mungkin perlu dipakai, contohnya, peringkat pemda bisa dibuat secara komparatif atau relatif dalam sebuah skala, misalnya dari kinerja terkuat (peningkatan besar) ke kinerja terlemah (tidak ada peningkatan) oleh suatu panel orang dengan pengetahuan yang tepat. Peringkat ini tentu saja tidak harus sepenuhnya bersifat subyektif —harus ada pedoman yang jelas tentang arti peringkat yang berbeda dan proses yang ditentukan dengan baik untuk penyusunan peringkat, untuk meminimalisasi prasangka atau peluang manipulasi oleh orangorang yang membuat peringkat atau pejabat lokal. Dalam beberapa kasus, mungkin akan berguna jika indeks gabungan (composite) dikembangkan berdasarkan pada berbagai indikator, contohnya, sampai 87
Beberapa literatur yang berguna untuk pengukuran kinerja, beberapa di antaranya spesifik untuk pemda, meliputi berikut ini: Behn (2003), Hatry (2006), Hildebrand (2007), Ammons (2008) dan AGA (2009).
285
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
sejauh mana reformasi yang baru dipakai (ukuran obyektif) dan tingkat pengaruh reformasi ini pada cara pembuatan keputusan pemda (ukuran subyektif). Memilih Ukuran yang Tepat Sering ada banyak tantangan yang muncul dalam mengukur kinerja, walau ukuran obyektif dipakai. Masalah penting di sini adalah bahwa suatu indikator harus secara akurat menggambarkan hasil kinerja pemda yang diinginkan. Dalam beberapa kasus, ini relatif jelas, tapi di lain kasus tidak. Peningkatan hasil pendapatan dari sumber tertentu, misalnya, bisa dianggap mewakili peningkatan dalam kinerja pendapatan daerah (walau belum tentu sumber peningkatan dan perilaku pemda yang disengaja menjadi penyebab peningkatan ini, karena ini mungkin tidak nampak jelas dari ukuran ini). Peningkatan belanja daerah untuk pelayanan tertentu, sebaliknya, tidak harus berarti bahwa pelayanan ini telah meningkat; pada kenyataannya, peningkatan belanja ini mungkin terbukti sebagai pemborosan. Sumber Data Sumber data yang dipakai untuk mengukur kinerja jelas penting artinya. Jika sumber data yang ada dianggap tepat dan andal, maka jelas lebih disukai untuk memakainya daripada melakukan usaha pengumpulan data baru, tapi ini tidak selalu layak. Dan kadang sumber data yang ada tidak bisa diakses oleh instansi yang memerlukannya, atau data mungkin tidak dikumpulkan dan dimutakhirkan secara berkala. Mungkin juga ada perubahan cara menentukan dan mengumpulkan item data dalam waktu tertentu, yang membuat rumit pemakaiannya untuk proses evaluasi periodik. Selain itu, kadang data yang diinginkan mencakup berbagai unit analisis, misalnya, data biaya atau belanja mungkin bersifat spesifik pemda, sedangkan beberapa tipe data hasil akhir tersedia hanya di tingkat provinsi, atau dua set data mungkin mencakup periode-periode waktu yang berbeda. Perbedaan seperti ini harus dipahami dan ditangani sebaik mungkin dalam menyusun indikator kinerja. 14.4.5. Tanggung Jawab Kelembagaan Menjalankan usaha insentif kinerja pemda memerlukan sejumlah 286
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
keputusan terkait penugasan tanggung jawab kelembagaan atas berbagai tugas yang dilaksanakan—desain sistem dan instrumen dan indikator insentif tertentu; pengumpulan dan verifikasi data yang yang diperlukan untuk menyusun indikator; pembuatan indikator dan penyusunan laporan evaluasi berdasarkan pada indikator ini; pelaksanaan dan pemberlakuan insentif berdasarkan indikator; dan kajian, evaluasi dan revisi sistem dan proses insentif (sesuai keperluan). Walau keseluruhan proses akan memerlukan arahan dan pengawasan dari instansi pemimpin, tapi beberapa aspek bisa dilimpahkan ke instansi lain atau dikontrakkan ke pelaku nonpemerintah. Dalam tahap awal, pekerjaan bisa dilaksanakan oleh suatu entitas terpisah dengan dana dari lembaga internasional, tapi ini harus dilakukan hanya jika ada kejelasan mengenai cara dan di entitas pemerintah yang mana proses akan dilembagakan.
14.5. Insentif Kinerja untuk Pemda: Pengalaman Internasional Banyak atau mungkin sebagian besar negara memakai berbagai macam norma dan standar penyediaan pelayanan, tapi norma dan standar ini akan berfungsi (a) jika ada cara untuk memantau kinerja (termasuk memiliki data yang diperlukan untuk melakukan pemantauan), dan (b) jika ada insentif (finansial dan lainnya) dan sanksi yang diberlakukan untuk mendorong kepatuhan. Menjalankan sistem informasi, insentif dan pemantauan terbukti menjadi tantangan di banyak negara (mengingat pertimbangan yang rumit dan beragam seperti dibahas di atas), dan bukti empiris masih terbatas jumlahnya terkait daya-guna insentif (dengan lebih banyak pekerjaan di sektor-sektor tertentu dan di negara yang lebih terindustrialisasi). Selain itu, hanya ada sedikit karya yang mempelajari pengaruh insentif di sektor-sektor di luar sektor yang menjadi sasaran insentif, yakni, apakah insentif kinerja kesehatan menimbulkan lebih banyak perhatian pada kesehatan dan hasil akhir kesehatan yang lebih baik, tapi dengan mengorbankan perhatian dan hasil lebih buruk untuk sektor-sektor lain? Tiga tipe umum sistem insentif kinerja pemda telah dipakai di seluruh dunia. Yang pertama adalah insentif kinerja sektoral yang menargetkan pelayanan tertentu. Umumnya tipe ini memakai beberapa tipe transfer bersyarat (berdasarkan pada pemenuhan standar 287
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
tertentu).88 Transfer sektoral bersyarat bisa menyertakan persyaratan penyesuaian, sedemikian rupa sehingga pemda harus memberikan kontribusi untuk biaya pelayanan sasaran, walau ini tidak umum di negara berkembang. Transfer bersyarat banyak dipakai walau transfer ini tidak harus menyertakan insentif, dan transfer seperti ini sering dipakai di negara berkembang untuk membiayai sektor melalui Pendekatan Skala Sektor (SWAps). Dalam beberapa kasus, pendekatan sektoral bergerak melebihi transfer dan menyertakan sistem manajemen kinerja yang lebih luas. Beberapa contoh tipe ini untuk pendekatan sektoral dijelaskan di bawah. Tipe kedua insentif kinerja menyertakan tipe hibah berbasis kinerja (PBG) yang lebih luas (multisektoral, sering secara relatif tak bersyarat), yang banyak muncul di banyak negara berkembang akhir-akhir ini. PBG ini telah dipakai di negara yang tidak begitu maju dengan kapasitas yang lemah dan sedang dalam proses mengembangkan sistem pemerintah daerah yang baru atau ditata-ulang. Tidak mengejutkan, mereka menargetkan aksi-aksi dasar seperti kepatuhan pemda pada penerapan sistem dan prosedur baru dan kesesuaian dengan rencana dan anggaran resmi. PBG hingga kini umumnya tidak didasarkan pada keluaran (output), karena tantangan data dan sistem dasar yang harus dibangun di lingkungan ini sebelum ada pengharapan yang tinggi terkait penyediaan pelayanan. Sejumlah sistem PBG dibahas di bawah. Tipe insentif kinerja yang ketiga, yang relatif tidak umum, menyertakan sistem analisis kinerja komprehensif yang difokuskan pada berbagai aspek terpadu dari kinerja, termasuk struktur, proses dan perilaku yang mendukung tingkat dan mutu hasil akhir penyediaan pelayanan. Sistem komprehensif ini memerlukan banyak data dan keterampilan, dan mungkin di luar jangkauan banyak negara berkembang. Lebih banyak informasi dan satu contoh dari negara industri diberikan di bawah untuk tujuan menjelaskan. 14.5.1. Sistem Transfer Berdasarkan Kinerja yang Luas Banyak negara industri memakai transfer bersyarat untuk penyediaan pelayanan di sektor tertentu, yang memerlukan norma dan 88 Kajian umum terkait berbagai bentuk transfer antar pemerintah, termasuk yang bersyarat, diberikan misalnya oleh Bahl (2000), Bird dan Smart (2002), Schroeder dan Smoke (2003), dan Boadway dan Shah (2007).
288
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
standar tertentu yang harus dipenuhi, tapi pendekatan ini tidak umum di negara berkembang. Munculnya SWAps di negara berkembang89 dan tekanan dari Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) 90 telah menimbulkan beberapa usaha untuk memakai pendekatan sektoral berbasis kinerja secara lebih luas, terutama di sektor kesehatan dan pendidikan.91 Uganda telah melaksanakan hibah pendidikan spesifik sektor, yang banyak dipelajari dan menjadi contoh dari pendekatan dasar. Dua hibah pendidikan dikelola di bawah Dana Aksi Kemiskinan, termasuk Hibah Fasilitas Sekolah (SFG) dan hibah pajak Pendidikan Primer Universal (UPE).92 SFG adalah hibah bersyarat dan dananya harus dipakai untuk maksud tertentu, termasuk pembangunan jamban, pembelian bangku dan pemutakhiran kelas. Target program ini adalah untuk mewujudkan rasio kelas-murid sebesar 1:55, rasio bangku-murid sebesar 1:3, dan ratio jamban-murid sebesar 1:40. Hibah pajak UPE membayar hibah sekolah berdasarkan pendaftaran, yang pada dasarnya membuat pendidikan dasar/primer menjadi gratis. Hibah ini juga memberi hadiah untuk sekolah yang bisa meningkatkan jumlah pendaftaran. Hasil hibah-hibah ini campuran. Ditemukan bahwa hibah SFG bersyarat berfungsi cukup baik, walau masih ada kebingungan terkait pelimpahan tanggung jawab, dan hibah UPE mengalami penundaan dan masalah dengan nonkepatuhan pada pedoman administratif.93 Namun tidak diragukan lagi bahwa reformasi ini, terutama UPE, telah meningkatkan pendaftaran siswa sekolah secara drastis. Di saat yang sama, mutu pendidikan tidak ikut meningkat; pada kenyataannya, peningkatan jumlah kehadiran di sekolah kadang malah membahayakan mutu pendidikan. Pelajaran yang sama juga diperoleh dari keseluruhan 89
Lihat Boesen dan Dietworst (2007) untuk kajian mengenai evolusi SWAps. United Nations. 2011. Millennium Development Goals Report. New York: United Nations, Millennium Development Goals. 91 Some sector specific treatments of performance based incentives and financing include: McMahon (2003), Canavan, Toonen and Elovainio (2008), Eichner and Levine (2009), and Morgan (2010). 92 Uganda National Education Support Center. 2009. School grants. Kampala: Uganda National Education Support Center, Ministry of Education and Sports. http://www.unesc.go.ug/index.php?option=com_content&task=view&id=238&Itemid=83 93 United States Agency for International Development. 2000. Support to Uganda primary education reform: Final report. Washington, DC: Human Capacity Development Center, US Agency for International Development. 90
289
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
PBG (lihat bawah), dimana penyediaan pelayanan ditemukan meningkat tapi tidak demikian dengan mutunya. Sektor kesehatan di Rwanda telah mengembangkan sistem pembiayaan berbasis kinerja (PBF) yang lebih canggih selama dekade terakhir, tapi penting untuk dicatat bahwa sasarannya adalah pada fasilitas di daerah bukan pemerintah daerah.94 Sistem ini dimulai dengan tiga skema percontohan di beberapa daerah yang berbeda selama 2002– 2005. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kuantitas pelayanan kesehatan yang dipakai (volume). Skema ini berfungsi melalui berbagai langkah yang membayar rumah-sakit dan klinik untuk kasus yang diterima, membayar bonus untuk staf kesehatan dan memberikan uang untuk investasi fasilitas medis. Skema ini mencakup berbagai pelayanan kesehatan yang dianggap ‘dasar’ di daerah, termasuk pembayaran untuk penunjukan medis; kasus TB, malaria dan HIV/AIDS; dan perawatan kehamilan dan pencegahan penyakit. Mutu perawatan juga menjadi bagian skema ini, walau ditangani secara berbeda di tiga percontohan. Di Butare, mutu perawatan tidak dicantumkan karena dianggap terlalu rumit untuk ditetapkan dan diukur. Di Cyangugu, rumah sakit distrik menjalankan fungsi pengaturan mutu dan diberi bonus berdasarkan pada hasil. Skema di Kigali dan Kabgayi mengembangkan satu set indikator patokan (proxy) untuk mutu perawatan. Di pusat kesehatan, mutu diukur dari segi kepatuhan pada prosedur. Di tingkat rumah-sakit, mutu dinilai dengan indikator proses (seperti batas waktu laporan dan kekerapan kunjungan pengawas). Hasil dari ketiga proyek percontohan ini positif. Provinsi yang menerima PBF menunjukkan banyak kunjungan pencegahan dan pengobatan, serta tingginya angka kelahiran di klinik/rumah sakit. Cakupan vaksinasi juga meningkat—dalam kasus campak, meningkat sebanyak sebelas persen. Pemberian insentif ke staf medis untuk mendapatkan akses dan mengikuti indikator proses, terbukti telah menimbulkan pengaruh positif. Karena keberhasilan ketiga skema PBF ini, Rwanda menerapkan PBF sebagai bagian dari Rencana Strategis Kesehatan Nasional untuk 2005–2009. Dalam skema PBF nasional, pusat kesehatan mendapatkan penggantian uang untuk kuantitas pelayanan yang diberikan, menurut 94 L. Rusa, et al. 2009. Rwanda Performance-based Financing in the public sector. Washington, DC: Center for Global Development.
290
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
struktur upah standar untuk 14 pelayanan dan nilai mutu gabungan. Pusat kesehatan bisa memperoleh pendapatan dengan jalan meningkatkan jumlah pelayanan yang disediakan dan memperbaiki mutu. Mutu dinilai setiap kuartal dan dilaksanakan oleh tim kajian rekan kerja (peer review) di rumah sakit distrik terdekat, dengan memakai daftar periksa pengawasan. Daftar ini mengukur 13 pelayanan dan 185 variabel. Rumah sakit/klinik yang mendapatkan nilai 100 akan menerima pembayaran penuh; setahun setelah PBF, sebagian besar pusat kesehatan rata-rata mendapatkan nilai sekitar 80 persen. Kasus HIV/AIDS dinilai secara terpisah (karena tidak semua pusat kesehatan menyediakan perawatan HIV/AIDS), dan memperbolehkan pusat kesehatan yang berpartisipasi untuk menerima pendapatan tambahan. Panel kementerian nasional mengkaji analisis kualitas dan kuantitas, dan Kementerian Keuangan dan Kesehatan mengelola kerjasama terkait PBF. Secara umum, hasil skema PBF nasional positif, dan pendekatan umum ini semakin banyak dipakai di sektor kesehatan dan lainnya. Sejumlah negara berpenghasilan menengah dan negara industri baru juga bergerak maju dengan memakai hibah berbasis kinerja sektoral. Komisi Keuangan India ke-13 menyarankan sejumlah insentif penyediaan pelayanan baru, dan Brasil memakai hibah berbasis kinerja di beberapa sektor, termasuk kesehatan. Beberapa negara Amerika Latin lainnya semakin banyak memakai hibah berbasis kinerja untuk sektor-sektor tertentu, temasuk Chili (pendidikan primer dan sekunder), Kolombia (pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi), dan Peru (beberapa fungsi lokal plus kontribusi lokal untuk kebijakan nasional prioritas, seperti nutrisi).95 Pengamatan Insentif berbasis kinerja sektoral bisa sangat berguna jika data yang tepat bisa dikumpulkan, dianalisis, dan dipakai secara berkala. Sistem yang lebih sederhana, seperti program sektor pendidikan di Uganda, bisa berguna tapi memiliki beberapa batasan. Sistem yang lebih rumit, seperti program sektor kesehatan di Rwanda, lebih sulit untuk dijalankan tapi secara umum bisa lebih efektif. Masing-masing bisa ditargetkan langsung ke pemda atau fasilitas lokal. Dalam kasus 95 F. Rojas. 2011. Results-conditioned transfers in Latin America: Trends and analysis. Washington, DC: World Bank.
291
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
yang disebut terakhir, penyediaan pelayanan bisa meningkat tapi sistem tidak bisa berbuat banyak untuk memperkuat pemda. Seperti terlihat di sektor pendidikan di Uganda, hanya memberikan insentif untuk kuantitas (volume) pelayanan mungkin tidak akan cukup. Sistem PBF di Rwanda memerlukan pemeriksaan mutu di pusat kesehatan, rumah sakit dan klinik, jadi mereka diminta mempertahankan dan meningkatkan proses diagnosis dan perawatan, di saat yang sama juga meningkatkan kasus yang mereka tangani. Tanpa pemeriksaan ini, mutu akan menjadi korban karena pusat kesehatan hanya terfokus pada peningkatan jumlah kasus yang mereka tangani. Fleksibilitas dalam penggunaan dana (setelah diberikan penghargaan untuk kuantitas dan kualitas pelayanan perawatan mereka), mendorong para penyedia pelayanan fasilitas kesehatan di Rwanda dalam mencari cara untuk meningkatkan kasus. Banyak rumah sakit dan klinik yang membuat insentif yang kreatif untuk mendapatkan masyarakat datang ke pusat kesehatan, seperti membayar para bidan untuk membawa pasien mereka yang akan melahirkan ke rumah sakit. Sistem evaluasi yang terlaksana dengan baik, dimana rumus dan data divalidasi oleh instansi nasional, membuat Rwanda bisa mencapai keberhasilan. Kajian oleh rekan kerja (peer review) membantu mempertahankan biaya tetap rendah selama putaran pertama evaluasi, dan kajian putaran kedua oleh lembaga eksternal membuat akuntabilitas semakin baik. Kombinasi akuntabilitas vertikal dan horizontal membuat struktur evaluasi menjadi kuat. Masalah yang mungkin muncul dari tipe pendekatan yang dipakai di Rwanda (dan sistem berbasis kinerja sektoral umumnya), adalah bahwa sistem ini mungkin menambah ketidaksetaraan karena memberikan manfaat ke fasilitas yang sudah berfungsi dengan baik. Karena fokusnya pada kuantitas kasus, maka pusat-pusat kesehatan di daerah yang sama akan bersaing memperebutkan pasien. Mungkin akan lebih baik jika pusat-pusat kesehatan dikelompokkan menjadi entitas yang lebih besar dan lebih menguntungkan. Tapi jika dilakukan terlalu jauh, pusat kesehatan bisa menjadi kurang bisa diakses oleh orang di tempat terpencil atau yang keuangannya terbatas. Untuk mengurangi risiko ini, salah satu percontohan menyertakan bonus isolasi (keterpencilan). Akan sangat disarankan jika penanganan risiko-risiko ini dipertimbangkan secara lebih luas. 292
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
14.6. Sistem Hibah Berbasis Kinerja yang Lebih Luas Banyak negara berkembang, yang menjalankan reformasi pemda, memakai sistem hibah berbasis kinerja (PBG) fungsional yang bercakupan luas.96 Sebagian besar difokuskan pada reformasi berorientasi proses di Pemda, umumnya di bidang-bidang fungsional seperti pengelolaan keuangan, perencanaan, transparansi dan pengelolaan sumberdaya manusia. Pemda diperbolehkan untuk ikut serta hanya setelah memenuhi persyaratan minimum. Di luar persyaratan minimum, mereka ditawari bonus (atau dikenai hukuman) jika mencapai (tidak mencapai) target kinerja tertentu. Namun target ini kemungkinan besar didasarkan pada persyaratan proses, bukan pada hasil akhir penyediaan pelayanan. Jika hasil akhir dinilai, sering kali hasil ini dinilai dari segi volume (misalnya, jumlah kasus yang diterima di klinik, peningkatan jumlah pendaftaran siswa sekolah, dll). Beberapa mencantumkan ukuran mutu pelayanan dalam evaluasi PBG, tapi biasanya bersifat spesifik sektor, seperti dalam kasus sektor kesehatan Rwanda seperti dibahas di atas. Uganda adalah salah satu negara pertama yang mendapatkan banyak publikasi, karena memakai sistem hibah berbasis kinerja yang sistematis untuk alokasi Pemda. Dengan Dukungan Dana Pembangunan Modal PBB (UNCDF), Uganda meluncurkan sistem PBG di pertengahan 1990an di empat distrik. Hingga 2003, sistem ini ditingkatkan pada skala nasional (dengan banyak dana dari Bank Dunia) untuk mencakup semua pemda di negara ini. PBG Uganda dijalankan dari Kementerian Pemerintah Daerah (MLG) dan menangani utamanya target kinerja pemda yang berorientasi proses, untuk mewujudkan persyaratan minimum dan sasaran kinerja tahunan. Persyaratan minimum ditetapkan dari peraturan daerah dan kerangka hukum. Ukuran kinerja meliputi kepatuhan dan mutu rencana pembangunan, penganggaran, pengelolaan dan akuntabilitas keuangan, efektivitas pengadaan dan sistem kontrak, serta pemantauan dan evaluasi.97 Setelah evaluasi, alokasi Dana Pembangunan Lokal diberikan ke distrik dan subdistrik. Dana ini bersifat dikresioner, dan pemda biasanya mempergunakannya untuk investasi infrastruktur lokal. 96 J. Steffensen. 2010. Performance based grant systems: Concept and international experience. New York, NY: United Nations Capital Development Fund. 97 M. Onyach-Olaa. 2003. Lessons from Experience in Decentralizing Infrastructure and Service Delivery to Rural Areas. http://www.uncdf.org/english/local_development/uploads/thematic/africities/UNCDF_Uganda.pdf
293
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Aspek yang patut dicatat dari kasus Uganda dan yang diharapkan bisa membantu masyarakat dalam mengawasi akuntabilitas pemda, adalah usaha MLG untuk mempublikasikan sistem PBG. Rincian skema ini disebarluaskan, termasuk jumlah dana pembangunan yang tersedia bagi dewan berdasarkan hasil evaluasi kinerja mereka di bidang-bidang proses. Transfer diumumkan sebelumnya melalui radio, koran dan pemberitahuan publik di gereja dan papan pengumuman. Walau tidak ada target penyediaan pelayanan langsung dalam skema ini, tapi pemda mendapatkan tekanan dari konstituennya yang menginginkan dana pembangunan untuk masyarakat mereka. Selain itu, anggota dewan diberi insentif agar mereka menuntut kinerja yang bagus dari para staf pemda, yang umumnya bertanggung jawab atas administrasi bidang proses/fungsional yang dikenai evaluasi. Hasil keseluruhan PBG di Uganda pada awalnya sangat membesarkan hati. Kajian paruh-proyek (mid-term review) tekait sistem ini selama 2000–2005 sangat positif hasilnya. Kajian paruh proyek 2005, yang memakai analisis penerima manfaat dan audit nilai-untukuang, menyatakan bahwa evaluasi dan sistem insentif telah banyak membantu peningkatan penyediaan pelayanan (walau mutu tidak ikut meningkat).98 Tantangan untuk sistem PBS Uganda adalah bahwa sistem ini tidak pernah melangkah maju melebihi pengukuran kepatuhan proses, dan perannya dalam mendorong kinerja pemda mulai memburuk, karena sifat penting relatifnya dalam skema yang lebih besar menurun dan hibah sektoral individual bersyarat (seperti hibah pendidikan tersebut di atas) semakin menonjol. Baik Ghana maupun Tanzania memiliki program yang lebih baru tapi sama seperti di Uganda. Keduanya menekankan pendanaan pembangunan diskresi untuk pemda, yang dikaitkan dengan kinerja. Sama seperti Uganda, Ghana dan Tanzania memberi hadiah untuk kinerja pemda di bidang-bidang fungsional seperti pengelolaan, sumberdaya manusia, perencanaan dan penganggaran. Dalam Program Pemerintahan dan Penyediaan Layanan Lokal di Ghana (2009–2013), target berorientasi proses menjadi dasar alokasi hibah Dana Pembangunan Distrik, dan bonus kinerja diberikan untuk kinerja yang lebih baik.99 Di 98 J. Steffensen. 2010. Performance based grant systems: Concept and international experience. New York, NY: United Nations Capital Development Fund. 99 Government of Ghana. 2002. Local service delivery and governance program. Accra.
294
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Tanzania, kinerja di bidang fungsional yang diberi nilai secara individual dipakai untuk menentukan nilai minimum untuk mendapatkan hibah dasar dan bonus kinerja di luar itu. Bidang-bidang fungsional yang dinilai bersifat agak sedikit ambisius jika dibandingkan dengan program sebelumnya, yang meliputi: pengelolaan keuangan, kapasitas fiskal, perencanaan dan penganggaran, tranparansi dan akuntabilitas, interaksi antar pemda, pengembangan sumberdaya manusia, pengadaan, proses fungsional dewan, dan pelaksanaan proyek.100 Tanzania juga menawarkan hibah spesifik sektor secara terbatas untuk pertanian, pengelolaan lingkungan dan air bersih/sanitasi perdesaan. Banyak negara lainnya telah memakai skema hibah berbasis kinerja/ pembangunan lokal. Di Afrika, Kenya, Sierra Leone dan Mali telah melaksanakan skema yang agak sebanding sejak 2008, walau tidak semua negara mendasarkan alokasi pada kinerja secara sama banyaknya seperti negara lain. Di Asia, Timor Timur, Kepulauan Solomon, Nepal dan Banglades telah memakai skema yang mirip, dan kinerja juga dipertimbangkan dalam skema baru atau skema proses di Filipina, Bhutan dan Pakistan. Mengenai rumus alokasi hibah, sebagian besar negara memakai struktur yang sama: rumus dasar berdasarkan pada penduduk, indikator kemiskinan dan geografi plus penyesuaian untuk kinerja pemda. Seperti di Ghana, Sierra Leone memiliki hibah kinerja selain hibah pemda dasar. Pengamatan Sistem hibah kinerja berbasis luas semakin umum dipakai di negaranegara berkembang, dan sistem ini sebagian besar mengikuti variasi dari model yang sama (yang banyak berbasis kepatuhan). Jika tipe pendekatan ini diikuti di negara yang melaksanakan sistem pemda baru, maka pendekatan ini bisa membantu pelaksanaan sistem dan prosedur dasar yang diperlukan untuk membuat pemda bisa menjalankan penyediaan pelayanan yang efisien dan akuntabel. Sistem ini juga memberikan informasi yang bisa dipakai oleh masyarakat untuk menilai dewan pemerintahan daerah yang mereka pilih, namun mengumpulkan, menganalisis dan menyebarkan informasi ini memerlukan usaha yang 100
Lihat Republik of Tanzania. 2006. Local Government Capital Development Grant System, Manual for the assessment of councils against minimum conditions and performance measurement criteria. Dar es Salaam.
295
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dikoordinasikan dengan baik, tingkat kapasitas yang memadai dan dalam beberapa hal dukungan teknis dari luar. Tantangan sering muncul terkait akurasi, konsistensi dan keadilan evaluasi, terutama saat sistem ini berevolusi dengan ukuran yang lebih rumit. Sejumlah negara yang menerapkan sistem berbasis luas ini juga memiliki hibah berbasis kinerja spesifik sektor, di atas dan di luar program umumnya. Jika negara yang memulai dengan memakai sistem PBG umum berjalan ke arah ini, maka negara ini bisa bergerak melebihi landasan berbasis kepatuhan dari prinsip PBG arus-utama, menuju peningkatan dalam keluaran (output) penyediaan pelayanan dan pencapaian target lain yang mungkin menjadi target sah dari transfer antar pemerintah. Memang pembayaran kepatuhan bisa menjadi insentif yang sempurna agar Pemda mengembangkan sistemnya dan menerapkan struktur dan proses sistem, tapi tidak logis jika pemda harus terus dibayar untuk memenuhi kewajiban dasar mereka yang dimandatkan dalam peraturan perundang-undangan.
14.7. Sistem Evaluasi Kinerja yang Komprehensif Istilah evaluasi kinerja yang “komprehensif” bisa memiliki arti yang berbeda dan, dalam kenyataannya, beberapa pendekatan yang dibahas di atas—di luar masukan atau keluaran dasar untuk transfer bersyarat—bisa dianggap komprehensif dari segi tententu. Beberapa inisiatif sektoral berbasis kinerja seperti dibahas di atas cukup komprehensif dalam kaitannya dengan usaha untuk memicu kinerja yang lebih baik di berbagai aspek sektor individual, dan sistem PBG berbasis luas bahkan bisa dianggap komprehensif dari sudut pemberian insentif untuk menjalankan elemen dasar sistem Pemda yang baru atau yang diperbarui. Namun, seperti dipakai di sini, komprehensif berarti pendekatan yang mencakup berbagai ragam proses dan hasil akhir (outcome) dan yang secara jelas memberikan insentif untuk peningkatan kinerja di banyak bidang. Walau beberapa negara berkembang mengembangkan evaluasi kinerja pemda dan skema insentif yang lebih komprehensif, tapi ini lebih banyak dipakai (dengan berbagai tingkatan) di negara industri. Sejumlah organisasi di AS mengembangkan pendekatan komprehensif seperti ini. Contohnya, Asosiasi Pengelolaan Kota Internasional dan 296
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Institut Perkotaan mengembangkan pendekatan komprehensif untuk evaluasi dan pengelolaan kinerja pemda.101 Asosiasi Akuntan Pemerintah memberikan saran tentang pemakaian sistem kinerja oleh pemerintah subnasional untuk meningkatkan penyediaan pelayanan.102 Beberapa organisasi lokal, seperti the New York State Association of Counties, memberikan informasi mengenai pengelolaan kinerja untuk meningkatkan penyediaan pelayanan bagi konstituen pemda.103 Ada banyak contoh lain dengan sifat seperti ini. Mungkin sistem insentif/kinerja pemda yang paling terkenal, banyak didokumentasikan dan komprehensif adalah England Comprehensive Performance Assessment (CPA), yang diperkenalkan di tahun 2001 untuk semua pemerintah daerah di negara ini. Sistem ini memberikan peringkat pemda, terkait mutu pelayanan di enam bidang yang berbeda: pendidikan, perumahan, lingkungan, perpustakaan, dan waktu senggang, dan pemakaian sumberdaya/keuangan.104 Sistem ini adalah kombinasi sistem peringkat dan sistem insentif untuk pemda, dan menyertakan banyak penekanan pada mutu pelayanan serta ukuran efisiensi (pemakaian sumberdaya) dan indikator kesehatan kelembagaan (difokuskan pada bidang fungsional/proses dari pengelolaan pemda). Di luar sistem peringkat, CPA memberikan insentif formal dan informal untuk pemda yang menunjukkan kinerja bagus. Dewan pemerintah daerah yang mendapatkan peringkat tinggi tidak harus mematuhi rezim pemeriksaan dan audit yang sama seperti untuk dewan pemerintah daerah lainnya (penghematan biaya upah terkait), dan mereka menikmati fleksibilitas yang lebih besar dari pemerintah pusat terkait bidang-bidang lain, termasuk kebebasan meminjam. Dewan yang menunjukkan kinerja buruk, sebaliknya, diminta untuk mematuhi pemeriksaan dan pemantauan yang semakin banyak. Sebelum penerapan CPA di tahun 2001, Inggris memperkenalkan kerangka Nilai Terbaik di tahun 1999. Kerangka ini memakai ukuran yang disebut Indikator Kinerja Nilai Terbaik (BVPI), yang merupakan nilai numerik untuk dewan terkait mutu pelayanan. CPA dikembangkan 101
Lihat Hatry (2006) dan Ammons (2008). Lihat AGA (2009). 103 Lihat NYSAC (2006). 104 Informasi ini diperinci dalam Lockwood dan Porcelli (2011). \102
297
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
dari BVPI dengan jalan menilai enam bidang pelayanan tersebut di atas, dan memakai (jika memungkinkan) inspektur dan lembaga yang sudah ada (misalnya, Kantor Standar Pendidikan). CPA juga menggabungkan dan sengaja mempertimbangkan nilai numerik sebagai berikut: pendidikan dan pelayanan sosial dihitung 4 kali, perumahan dan lingkungan 2 kali, dan perpustakaan/waktu senggang dan pemakaian sumberdaya masing-masing sekali. Dengan cara ini, pelayanan yang dianggap paling krusial bagi pemda (pendidikan dan pelayanan sosial) ditekankan dalam keseluruhan peringkat kinerja akhir. Satu-satunya ukuran tambahan yang dimasukkan ke keseluruhan peringkat kinerja, adalah nilai ”kemampuan meningkatkan” dari dewan lokal. Di tahun 2005, evaluasi kinerja disesuaikan dengan variasi dalam sistem pembobotan dan pendekatan yang lebih lama (rencana 3 tahun) untuk ukuran ”kemampuan meningkatkan.” CPA mengukur mutu pelayanan, tapi menggabungkannya dengan ukuran efisiensi keuangan (pemakaian sumberdaya) serta ukuran kesehatan kelembagaan (kemampuan meningkatkan) yang lebih luas dan ambisius. Kombinasi ketiga ukuran ini dalam satu sistem peringkat merupakan aspek yang unik dari CPA, yang juga memberi lebih banyak tekanan pada mutu pelayanan daripada fungsionalitas. Yang terakhir, CPA dikaitkan dengan kinerja dewan terpilih. Partai politik dan calon peserta pemilu sangat memperhatikan peringkat CPA mereka, karena para pemilih bisa memakainya untuk menilai mereka. Menurut perbandingan terkini antara Inggris dan Wales, yang tidak ikut serta dalam CPA, hasil CPA bersifat campuran.105 Ada beberapa hasil positif yang kuat. Pertama, CPA memang menimbulkan pengaruh positif penting pada indeks mutu pelayanan. Hasil menunjukkan peningkatan keseluruhan mutu pelayanan di Inggris jika dibandingkan dengan Wales, juga hasil positif tertentu di bidang pendidikan (dimana skema insentif spesifik sektor [tabel liga sekolah] diperkenalkan selama gelombang kedua CPA). Namun hasil positif dalam mutu pelayanan ini tidak meluas ke ukuran efisiensi. Studi menemukan bahwa tidak ada korelasi antara CPA dengan pemakaian sumberdaya dewan secara lebih efisien. Kedua, pemilih lebih menyukai anggota dewan yang memperoleh peringkat CPA yang tinggi. Studi terkini menemukan korelasi antara 105
Lihat Revelli (2008) untuk informasi lebih lanjut.
298
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
peringkat CPA dengan kemungkinan terpilihnya kembali partai yang sedang memegang jabatan (incumbent), yang meningkatkannya sebanyak tujuh persen. Jadi, kesadaran masyarakat akan ukuran kinerja telah menjadi alat yang efektif untuk mekanisme penghargaan/hukuman. Ini mungkin menimbulkan dampak jangka panjang dalam meningkatkan pelayanan melalui akuntabilitas masyarakat. Secara keseluruhan, CPA yang berbasis luas di Inggris merupakan pendekatan yang berharga. Pendekatan ini memberikan informasi dan penilaian terkait berbagai aspek perilaku pemda. Walau hasilnya bersifat campuran, informasi yang tersedia umumnya menunjukkan bahwa CPA telah menimbulkan dampak positif pada beragam aspek kinerja pemda dan telah meningkatkan kesadaran masyarakat akan kinerja pemda. Sebaliknya, sistem CPA ini rumit dan banyak persyaratannya. Inggris adalah negara dengan kapasitas yang sudah sangat maju untuk pengumpulan, pemantauan dan evaluasi data kinerja. Instansi yang dibentuk dengan baik dan dengan staf yang bagus melaksanakan sebagian besar penilaian. Tekanan pada mutu pelayanan menjadi lebih mudah dalam lingkungan di mana sebagian besar pemda telah memiliki kapasitas fungsional dan finansial yang sudah mapan. Faktor ini membuat Inggris bisa menjalankan, mempertahankan dan terus mengembangkan sistem penilaian yang canggih seperti CPA. Mungkin ini akan lebih sulit di negara berkembang, dan mungkin ini juga akan bergantung pada penyediaan sumberdaya eksternal dan bantuan teknis dari luar.
14.8. Insentif Kinerja Pemerintah Daerah Baru di Indonesia Jika Indonesia ingin menerapkan penilaian kinerja pemda/sistem insentif yang kuat, maka sejumlah opsi perlu dipertimbangkan. Pertama, tampaknya tidak mungkin bagi tipe sistem komprehensif seperti dibahas di atas untuk menjadi layak. Tipe ini sangat rumit dan banyak persyaratannya, dan tampaknya tipe ini tidak akan menjadi pendekatan yang tepat untuk kelanjutan reformasi di Indonesia. Juga ada permasalahan terkait pemakaian sistem PBG berbasis luas di bidang-bidang seperti tersebut di atas. Untuk memulai, mungkin akan dianggap terlambat dalam proses desentralisasi jika insentif mulai dipakai untuk kepatuhan pada sistem pemerintah daerah dan prosedur 299
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
yang dimandatkan oleh inisiatif desentralisasi yang sudah berusia satu dekade lebih. Sebaliknya, banyak pemda tidak sepenuhnya menerapkan sistem dan prosedur dasar yang seharusnya mereka pakai atau tidak memakainya dengan baik, jadi beberapa orang mungkin melihat suatu nilai dalam pendekatan ini, paling tidak untuk diterapkan pada pemda dengan catatan kinerja dan kapasitas yang lemah. Namun seandainya pendekatan ini jadi diterapkan, maka akan ada alasan untuk menganggap bahwa pendekatan itu sendiri tidak memadai. Yang pertama dan yang paling utama, reformasi bertipe ini tidak secara langsung menangani permasalahan yang dominan terkait kinerja pemda —ketidakcukupan pelayanan yang terus ada selama sepuluh tahun reformasi yang menimbulkan pengharapan tinggi. Jadi insentif untuk penerapan reformasi sederhana tampaknya tidak mungkin menjadi sesuatu yang dipaksakan ke pemerintah pusat dan masyarakat. Selain itu, insentif seperti ini mungkin harus bersifat penting dan berusia panjang untuk membuat pemda mau secara berkelanjutan mengubah perilaku yang mereka telah terapkan sejak desentralisasi dimulai. Jadi, mungkin langkah berikutnya yang paling layak bagi Indonesia akan memerlukan insentif kinerja sektoral. Salah satu cara yang logis untuk menargetkan kinerja sektoral adalah memakai transfer bersyarat. Seperti disebutkan di atas, transfer ini sering dipakai untuk melaksanakan fungsi lokal yang berkaitan dengan tujuan kebijakan nasional utama. Setelah dimulai dengan lambat, DAK Indonesia yang menjanjikan tumbuh dengan cepat dan tampaknya akan terus bergerak ke arah atas. Seperti disebutkan sebelumnya, beberapa proyek donor terkini telah mengembangkan pencantuman insentif ke dalam DAK. Walau tidak bersifat spesifik penyediaan pelayanan, suatu kasus bisa juga dibuat untuk menyediakan insentif bagi kinerja yang lebih baik di beberapa aspek perilaku fiskal pemda secara kolektif —akumulasi cadangan, pembiayaan utang, saldo antara belanja berulang dan belanja modal, pentingnya arti penerimaan asli daerah, pertumbuhan ekonomi, dll. Beberapa aspek ini, seperti disebutkan di atas, sudah terpengaruh secara sengaja atau tidak oleh peraturan dan aksi pusat, seperti struktur pajak pemda dan alokasi DAU. Secara lebih umum, pembahasan DAU di atas menyoroti insentif bermasalah yang diciptakan oleh berbagai aspek rumus dan oleh cara menetapkan variabel yang dipakai dalam penghitungan. Walau secara 300
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
politis sensitif, studi yang lebih sistematis mengenai pengaruh DAU akan memberikan dasar untuk opsi reformasi yang ditujukan untuk meningkatkan insentif kinerja sub-nasional. Mungkin debat publik yang lebih mengakar tentang pengaruh sistem saat ini, akan meningkatkan kelayakan politis dari perubahan seiring waktu. Mungkin ada juga insentif yang berguna, yang difokuskan pada aspek bermasalah tertentu dalam perilaku fiskal lokal. Contohnya, pemerintah pusat bisa menciptakan insentif untuk pemda dengan kinerja pengumpulan pendapatan yang buruk untuk meningkatkan hasil, atau memberi pemda hukuman karena tunggakan utang yang semakin besar. Namun setiap opsi ini akan menemui hambatan ekonomi politis dan fiskal. Contohnya, kami sebutkan di atas bahwa fragmentasi kelembagaan telah terjadi di lembaga-lembaga pusat, yang memiliki peran dalam desentralisasi dan pengembangan Pemda. Jika bermacammacam lembaga (instansi) mengembangkan berbagai insentif yang bersifat ad-hoc, maka beberapa mungkin berjalan untuk tujuan salingsilang, beberapa lainnya mungkin bergantung pada penerapan lainnya yang belum terwujud, dan insentif-insentif ini mungkin malah membingungkan pemerintah subnasional, terkait prioritas reformasi, dan terlalu banyak serta di luar kemampuan mereka untuk memberikan respons. Yang terakhir, isu yang paling sulit berkaitan dengan kemungkinan bahaya moral dari pemberian lebih banyak transfer ke pemerintah yang tidak beroperasi secara efektif. Secara umum, pemerintah subnasional di Indonesia memakai dana yang mereka belanjakan untuk penyediaan pelayanan (bukannya secara hemat) secara tidak efisien (Lewis dan Pattinasarany, 2008).106 Mungkin lebih aman untuk disimpulkan bahwa semua pemerintah subnasional bisa beroperasi paling tidak sedikit lebih efisien. Dalam kondisi seperti ini, maka memberikan dana tambahan ke pemda sebagai insentif untuk mencapai hasil akhir yang diinginkan (yakni, bahwa pertama-tama mereka harus bisa mewujudkan hasil ini secara lebih efisien dalam memakai sumberdaya), karena perilaku tidak efisien membawa risiko, tidak diragukan lagi. Dalam teori, beberapa pemda mungkin beroperasi ”secara cukup efisien” dan karena itu lebih patut untuk menerima insentif. Tapi menentukan secara memadai pemda mana yang cukup efisien tidak mudah untuk dilakukan, walau dengan 106
B. Lewis and D. Pattinasarany. 2009. The cost of public primary education in Indonesia: the significance of actual service quality and governance conditions,Growth and Change. 40(1).
301
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
cara sangat keras dan cermat. Ini membuat sulit untuk menghindari pengiriman sinyal-sinyal campuran dalam berusaha menjalankan insentif kinerja. Walau berbagai tantangan dan permasalahan ini nyata sifatnya, tapi yang pasti masih ada cara untuk lebih maju dalam menciptakan insentif kinerja yang lebih kuat untuk pemda di Indonesia. Tapi walau insentif disepakati, berbagai masalah akan muncul tanpa bisa dihindari terkait desain, pengumpulan dan pengolahan data, serta penerapan sistem secara konsisten. Tanpa memandang tantangan yang mungkin muncul, potensi manfaat yang mungkin terwujud menyiratkan nilai eksperimentasi dan riset kebijakan lebih lanjut.
302
15 Pembiayaan Infrastruktur Daerah dan Pertumbuhan di Cina Baoyun Qiao
15.1. Pendahuluan Selama dekade terakhir, desentralisasi fiskal menjadi kecenderungan umum di seluruh dunia. Pemerintah subnasional memperoleh semakin banyak pendapatan, belanja, dan otonomi peminjaman. Pemberian otonomi peminjaman ke pemerintah subnasional memungkinkan mereka untuk masuk ke pasar modal, jadi bisa melakukan investasi infrastruktur dan berharap bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, pinjaman subnasional membawa risiko yang tidak bisa diabaikan. Singh dan Plekhanov (2005) berpendapat bahwa pemerintah subnasional cenderung membelanjakan secara berlebihan, kurang melakukan usaha pajak dan meminjam jauh lebih besar daripada pemerintah nasional, akibat masalah kumpulan dana bersama, hambatan anggaran yang terlalu lunak, persaingan antar daerah, mandat pusat yang tidak didanai, atau siklus Pemilu yang singkat, dll.107 Pengalaman internasional menunjukkan bahwa pemberian otonomi peminjaman ke pemerintah subnasional, tanpa pengelolaan kewajiban secara tepat, akan menimbulkan peminjaman yang ceroboh dan krisis fiskal—seperti terlihat di negara Brasil, Meksiko, Hongaria, dan Rusia. Krisis utang subnasional bukan hanya mengganggu kemampuan pemerintah subnasional untuk 107
R. Singh, and A. Plekhanov. 2005. ”How Should Subnational Government Borrowing Be Regulated? Some Cross-Country Empirical Evidence,” IMF Working Paper. No. 05/54.
303
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
memberikan pelayanan tertentu, tapi juga membahayakan stabilitas keuangan dan makroekonomi negara secara keseluruhan. Proses industrialisasi dan urbanisasi yang cepat di Cina telah meningkatkan kebutuhan membangun infrastruktur regional. Dalam sistem fiskal terdesentralisasi—terutama dengan desentralisasi penugasan belanja—pemerintah subnasional mengemban hampir semua tanggung jawab atas belanja infrastruktur di Cina. Pembiayaan subnasional untuk pembangunan infrastruktur, terutama melalui utang subnasional, telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Namun, risiko masih ada karena ekonomi Cina menghadapi tantangan berupa peningkatan kewajiban subnasional. Menurut Ter-Minassian dan Craig (1997), literatur terkini mengenai pengelolaan kewajiban subnasional mengategorikan berbagai pendekatan pengelolaan menjadi tiga kelompok: disiplin pasar, kontrol administrasi, dan pengaturan kerja sama berbasis peraturan.108 Namun beberapa pertanyaan penting belum terjawab dalam literatur terkini: mengapa berbagai negara memilih berbagai macam pendekatan pengelolaan? Apa pendekatan pengelolaan kewajiban subnasional yang paling optimal untuk negara tertentu? Jawaban pertanyaan ini penting bagi para pembuat kebijakan, terutama di negara yang masih dalam tahap awal desentralisasi fiskal, untuk memilih pendekatan pengelolaan kewajiban subnasional yang tepat. Makalah ini ingin menyumbang ke literatur tersebut, dengan jalan menjawab pertanyaan di atas melalui kerangka analisis dari kontrol risiko yang optimal. Kerangka analisis mengasumsikan bahwa risiko yang terkait dengan peminjaman subnasional dipengaruhi oleh kekuatan hambatan anggaran fiskal negara di mana kekuatan ini diukur melalui kombinasi berbagai faktor termasuk: status hubungan fiskal antar pemerintah saat ini, hambatan pasar uang, dan status pasar uang saat ini. Karena kenyataan bahwa beberapa negara memulai desentralisasi fiskal dan peminjaman subnasional dengan hambatan anggaran dan pasar yang tidak sebanding, maka manfaat dan biaya penguatan kedua hambatan ini berbeda-beda. Karena itu, pilihan optimal (yang tergantung 108 Teresa, Ter-Minassian, (eds.). 1997. Fiscal Federalism in Theory and Practice, Washington: International Monetary Fund.
304
Sumber: China Statistical Yearbook, 2010
Tabel 15.1. Kecenderungan Pendapatan Fiskal dan Belanja di Cina: 1990–2009 (unit: miliar Rmb)
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
305
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
pada status quo hambatan anggaran dan pasar yang berbeda) menjelaskan perbedaan pendekatan pengelolaan kewajiban subnasional yang dilaksanakan di berbagai negara. Aplikasi pendekatan risiko optimal, dalam kasus Cina, menunjukkan bahwa kontrol administrasi bisa menjadi pendekatan yang optimal untuk menampung kewajiban subnasional jangka pendek, sedangkan pendekatan berbasis aturan bisa berfungsi dengan bagus untuk jangka panjang. Makalah ini disusun sebagai berikut: bagian 2 memberikan latar belakang teoretis; bagian 3 menjelaskan model teoretis untuk kontrol risiko yang optimal, yang berfungsi sebagai kerangka untuk menganalisis keoptimalan pendekatan pengelolaan kewajiban subnasional; dalam bagian 4, kami menerapkan pendekatan risiko optimal untuk menjelajahi pendekatan pengelolaan kewajiban subnasional di Cina; dan, yang terakhir, di bagian lima kami menawarkan beberapa pendapat penutup.
15.2. Latar Belakang Teoretis 15.2.1. Hubungan Fiskal Antar Pemerintah di Cina Reformasi fiskal di Cina dimulai di tahun 1994, dengan tujuan yang jelas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Melalui reformasi ini, kerangka sistem fiskal Cina saat ini dibentuk. Penekanan diletakkan pada penemuan solusi untuk masalah belanja saat ini, di tingkat pusat dan subnasional, dengan jalan meningkatkan rasio pendapatan fiskal dalam PDB total dan jatah pusat dalam pendapatan fiskal total. Tabel 15.1 menunjukkan kecenderungan rasio pendapatan fiskal dalam PDB total dan jatah pusat dalam pendapatan fiskal total. Dalam kerangka ini, tanggung jawab belanja di Cina sangat terdesentralisasi. UU Anggaran memberikan banyak otonomi ke setiap tingkat pemerintah subnasional, dan tanggung jawab belanja yang luas. Reformasi desentralisasi fiskal memberi pemda banyak otonomi lokal untuk berbagai macam aspek, seperti menentukan sendiri prioritas belanja dan kebijakan untuk aspek anggaran lokal yang terkait. Namun penugasan belanja jauh dari transparansi dan kejelasan, sebagian besar karena adanya tanggung jawab belanja bersama yang banyak di antara berbagai tingkat pemerintah. Secara khusus, reformasi fiskal 1994 menyatakan kembali penugasan belanja prareformasi dan memberikan hanya pedoman dasar untuk menentukan tanggung jawab belanja ke 306
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
pemerintah pusat dan lokal. Pedoman ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan daerah mengemban tanggung jawab belanja yang besar, dan bahwa tanggung jawab banyak saling tumpang-tindih dan tidak jelas. Pada dasarnya, hanya ada sedikit tanggung jawab khusus tingkat pusat dan tingkat subnasional; pemerintah pusat cenderung bertanggung jawab atas isu pertahanan nasional, sedangkan pemda menyediakan semua pelayanan publik dasar di tingkat lokal, seperti pemeliharaan kota dan pengeluaran kontruksi. Penugasan belanja untuk pemerintah subprovinsi menjadi diskresi pemerintah provinsi. Walau pemerintah subnasional di beberapa tingkat mungkin memiliki tanggung jawab belanja yang saling tumpang tindih, tapi dalam praktek tanggung jawab utama atas pelayanan publik dasar, seperti pendidikan dan perawatan kesehatan, tetap terkumpul di tingkat pusat dan pemerintah yang lebih rendah. Pelayanan publik lain, seperti keamanan sosial, terkumpul di provinsi dan pemerintah tingkat prefektur. Penting untuk dicatat, walau ada disparitas (kesenjangan) sumberdaya fiskal yang besar antardaerah, tapi cenderung ada kesamaan yang jelas dalam struktur belanja di semua pemerintah subnasional. Contohnya, dalam kasus kota kecil, belanja administrasi pemerintah memiliki persentase terbesar dalam total belanja. Belanja personel administrasi mencapai 50–70% dari total belanja di beberapa kota kecil, sedangkan belanja pelayanan dasar umumnya rendah. Ciri yang tidak konsisten lainnya adalah sifat penting pada hubungan masyarakat, terutama belanja tamu, di kota kecil yang kaya dan miskin. Tabel 15.2 menunjukkan pola belanja fiskal di tahun 2009. Reformasi desentralisasi fiskal selama dua dekade terakhir telah banyak meningkatkan otonomi lokal. Sekarang setiap pemerintah subnasional memiliki anggarannya sendiri, walau masukan dari warga lokal terkait belanja lokal masih terbatas jumlahnya. Belanja lokal dan pengelolaan anggaran dilaksanakan melalui hierarki birokrasi. Sistem hukum yang membingkai proses desentralisasi Cina memberi pemerintah provinsi diskresi untuk menentukan pengelolaan anggaran untuk semua pemerintah subprovinsi. Pemerintah pusat juga telah memberikan semakin banyak pedoman untuk pengelolaan belanja lokal, tapi otonomi yang diberikan oleh desentralisasi berarti bahwa para pejabat pemerintah subnasional harus mempraktekkan ‘otonomi administratif’ dan ke luar dari batasan dan hambatan yang disebabkan oleh anggaran lokal dan 307
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Tabel 15.2. Belanja Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemda di Cina, 2009 (unit: miliar Rmb)
Sumber: China Statistical Yearbook, 2010.
peraturan terkait. Kasus yang umum terjadi adalah ‘keuangan tanah’ yang banyak dipraktekkan. Sebaliknya, penugasan pendapatan di Cina relatif lebih bagus strukturnya daripada sisi belanja. Kekuasan perpajakan menurut peraturan perundang-undangan di Cina disentralisasi. Pada dasarnya, sistem saat ini tidak memberikan pemerintah subnasional otonomi untuk menentukan pokok pajak atau tingkat pajak bagi semua pajak. Meskipun demikian, pemerintah telah menetapkan daftar pajak yang harus dikumpulkan oleh kantor pajak subnasional, yang dianggap sebagai pajak subnasional.109 Secara umum, pajak subnasional memiliki pokok 109 Daftar ini mencantumkan pajak perawatan kota dan konstruksi, pajak pembelian kendaraan, pajak pertanian dan peternakan, pajak produk pertanian khusus, pajak kontrak, pajak properti perumahan, bea tambahan pendidikan, pajak perangko, biaya polusi, pajak penggunaan tanah di kota dan kota kecil, pajak tanah pertanian, pajak sumberdaya, pajak apresiasi tanah, pajak pemanfaatan kendaraan dan kapal, pajak investasi aset tetap, pajak rumah jagal, pajak perjamuan, dan lain-lain.
308
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
pajak yang lebih sempit dan hasil pendapatan yang kurang stabil, daripada pajak pusat dan pajak yang dibagi. Bagi-hasil pajak merupakan sumber pendapatan terbesar untuk tingkat subnasional. Saat ini, bagihasil pajak meliputi: pajak usaha, PPN, pajak penghasilan perusahaan, pajak penghasilan perorangan, dan pajak perangko untuk transaksi keamanan. Bagian sisanya dari pendapatan anggaran subnasional berasal dari transfer. Selain pendapatan anggaran, pendapatan subnasional menyertakan juga pendapatan nonpajak (seperti keuntungan neto dari Badan Usaha Milik Negara [SOEs]), bea administrasi, penghasilan denda dan cukai, pendapatan dari pemanfaatan sumberdaya laut, pengeboran dan lain-lain.110 Sistem saat ini untuk penugasan pajak dan bagi-hasil pendapatan berasal dari reformasi TSS di tahun 1994. Reformasi TSS membuat penugasan pendapatan yang relatif stabil dan jelas antara pemerintah pusat dan provinsi; lebih tepatnya, pemerintah pusat menetapkan apa yang menjadi pendapatan khusus pusat, pajak yang dibagi dengan pemerintah subnasional, dan desentralisasi beberapa wewenang ke pemerintah provinsi. Pengaturan ini meningkatkan transparansi penugasan pendapatan, dan memiliki sifat bisa diramalkannya pendapatan untuk pemerintah provinsi. Sementara itu, pemerintah pusat mendorong pemerintah provinsi untuk meneruskan proses desentralisasi ini ke pemerintah di tingkat lebih rendah. Di saat yang sama, kenyataan bahwa biasanya definisi tanggung jawab belanja tidak jelas antar tingkattingkat pemerintah—bahkan antara pemerintah pusat dan provinsi— kadang membuat sulit untuk menentukan tingkat pemerintah yang mana yang bertanggung jawab memberikan pelayanan publik apa, yang karena itu membuat sulit untuk mendapatkan sumber pendapatan yang sesuai. Pendekatan yang jelas untuk menetapkan penugasan pendapatan ke pemerintah pusat, telah banyak meningkatkan kinerja pendapatannya. Dalam kenyataan, pendapatan anggaran pemerintah pusat terus meningkat sejak reformasi TSS. Khususnya, resentralisasi atau bagi hasil pendapatan pajak penghasilan di tahun 2002 dan 2003 menghindari jatah yang secara ajeg menurun untuk pemerintah pusat. Di tingkat 110
Ini adalah neto yang dilaporkan dari subsidi yang direncanakan untuk SOE yang mengalami kerugian.
309
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
subnasional, tren sentralisasi yang halus bisa dideteksi, di mana tingkat provinsi memperoleh sedikit kenaikan jatah dengan mengorbankan jatah yang lebih kecil untuk kabupaten dan kecamatan. Walaupun reformasi TSS 1994 tidak memberikan banyak otonomi pajak ke pemerintah subnasional, tapi dalam kenyataannya pemerintah subnasional memperoleh otonomi pendapatan melalui sumber lain, seperti keuntungan SOE, bea administratif, penghasilan denda dan sita, serta bea pengeboran dll. Pemerintah pusat juga memakai pendapatan di luar anggaran sebagai cara untuk menerapkan otonomi pendapatan lokal. Kenyataannya, pendapatan di luar anggaran merupakan salah satu sumber penting untuk pemda. Saat ini, pendapatan di luar anggaran berasal dari kantor dan unit administrasi, dana pemerintah, dana yang digalang sendiri oleh pemerintah kota, pendapatan dari BUMD dan departemen administrasinya, dll. Secara umum, semua pajak untuk pemerintah pusat dan daerah masih lemah, terutama di yurisdiksi yang miskin, dan sangat berbedabeda. Selain itu, hasil pajak lokal tidak stabil dan biaya penagihannya tinggi. Pemerintah kota dan kecamatan di yurisdiksi miskin sangat tergantung pada banyak macam bea dalam pajak petani dan pertanian. Otonomi pendapatan pemerintah kota dan kecamatan ini banyak dikurangi akhir-akhir ini, karena reformasi pajak-untuk-bea yang dimulai dari tingkat pusat yang ditujukan untuk mengurangi beban pajak pada petani. Di tahun 1994, gerakan melalui reformasi TSS untuk memisahkan pajak administrasi ke Kantor Pajak Negara (di tingkat pusat) dan ke kantor administrasi pajak provinsi, ditujukan untuk mengurangi pengaruh dan dampak wewenang pemda pada kinerja administrasi pajak yang berkaitan dengan pajak pusat dan pajak terbagi. Di saat yang sama, ini juga ditujukan untuk memberi pemerintah subnasional otonomi dalam memakai beberapa instrumen, seperti pembebasan pajak dan pelaksanaan otonomi pendapatan mereka sendiri. Sistem transfer di Cina masih berevolusi, Reformasi TSS 1994 mencoba membentuk kerangka untuk sistem transfer antarpemerintah di Cina, tapi hanya berhasil sebagian. Aspek positif dari reformasi ini adalah bahwa reformasi ini berusaha memberikan, untuk pertama kalinya di Cina, mekanisme transfer yang berbasis peraturan yang menjauh dari sistem transfer yang bersifat ad-hoc dan bisa dirundingkan dari 310
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
masa lalu. Tujuan lain reformasi ini adalah untuk meningkatkan jatah pemerintah pusat dalam total pendapatan, untuk meningkatkan kapasitasnya dalam membagikan kembali sumberdaya fiskal ke semua yurisdiksi. Di sisi negatifnya, reformasi TSS 1994 menambahkan potongan pajak ke dalam sistem transfer, yang membawa pengaruh tak-menyetarakan. Dalam praktek, potongan pajak diperkenalkan untuk memperlemah perlawanan terhadap reformasi TSS dari pemerintah subnasional yang kaya, dan dibenarkan sebagai cara untuk memberi pemda insentif untuk mengembangkan ekonomi lokal dan memperoleh pendapatan. Tujuan umum transfer penyetaraan (yang disebut sebagai ‘transfer penyetaraan transisional’) yang diperkenalkan di tahun 1995, mewakili hanya sebagian kecil dari semua transfer antar pemerintah, karena itu tidak efektif untuk menangani disparitas (kesenjangan) fiskal horizontal. Tabel 15.3. Sumber Pendapatan untuk Pemerintah Pusat dan Subnasional di Cina, 2009 (unit: miliar Rmb)
Sumber: China Statistical Yearbook, 2010
311
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Walau transfer antar pemerintah membiayai sebagian besar belanja lokal, tapi kerangka transfer antar pemerintah antara pemerintah pusat dan provinsi belum dikembangkan dengan baik. Selain itu, belum banyak yang telah dilakukan untuk mengembangkan kerangka transfer di tingkat subprovinsi. Tabel 15.4 menunjukkan disparitas fiskal untuk pemerintah subnasional. Tabel 15.4. Kecenderungan Disparitas Fiskal untuk Pemerintah Subnasional di Cina, 2009 (unit: miliar Rmb) Pendapatan
Defisit
% dari Belanja Pemda
1990
194,5
207,9
13,49
6,5
1991
221,1
229,6
8,5
3,7
1992
250,4
257,2
6,8
2,6
1993
339,1
333,0
-6,1
-1,8
1994
231,2
403,8
172,6
42,8
1995
298,6
482,8
184,3
38,2
1996
374,7
578,6
203,9
35,2
1997
442,4
670,1
227,7
34,0
1998
498,4
767,3
268,9
35,0
1999
559,5
903,5
344,0
38,1
2000
640,6
1.036,7
396,1
38,2
2001
780,3
1.313,5
533,1
40,6
2002
851,5
1.528,1
676,6
44,3
2003
985,0
1.723,0
738,0
42,8
2004
1.189,3
2.059,3
869,9
42,3
2005
1.510,1
2.515,4
1.005,4
40,0
2006
1.830,4
3.043,1
1.212,8
39,9
2007
2.357,3
3.833,9
1.476,7
38,5
2008
2.865,0
4.924,8
2.059,9
41,8
2009
3.260,3
6.104,4
2.844,2
46,6
Chi China S i Statistical i l Y bYearbook, k 20102010. Sumber:
312
Belanja
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Walau saat ini ada ratusan program transfer di Cina, tapi semuanya bisa dikelompokkan menjadi dua tipe utama. 15.2.2. Hibah Tujuan Umum Hibah ini meliputi transfer umum dan potongan pajak. Transfer penyetaraan dirancang untuk membantu menyetarakan disparitas antar provinsi. Pembagiannya didasarkan pada rumus yang menyertakan ukuran obyektif untuk kapasitas fiskal dan kebutuhan belanja provinsi, atau nilai aktual yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pada kesenjangan antara belanja standar terkini dan kebutuhan standar terkini (yang disesuaikan untuk koefisien yang mempertimbangkan besaran kesenjangan). Pemotongan pajak diterapkan sebagai ketentuan ‘tidak mau menanggung akibat’ yang mengacu ke sistem fiskal yang berlaku sebelum reformasi TSS. Nilai pemotongan pajak untuk VAT dan pajak konsumsi dihitung sesuai rumus.111 Pajak penghasilan perusahaan, pajak penghasilan perorangan dan potongan pajak ekspor didasarkan pada nilai pokok —yang ditentukan berdasarkan pada pengumpulan nominal di tahun dasar.112 Peran penting relatifnya menurun dengan cepat seiring waktu. 15.2.3. Hibah Tujuan Khusus Hibah ini meliputi transfer penutup kesenjangan dan transfer tersisihkan. Transfer penutup kesenjangan dirancang utamanya untuk menangani berbagai wujud ketidakseimbangan vertikal di tingkat subnasional, dengan jalan menutup kesenjangan fiskal untuk pemerintah lokal. Ada beberapa kategori untuk transfer ini, dan tipe utamanya meliputi: pendapatan yang dikembalikan,113 transfer untuk daerah 111
Rumusnya adalah: Rt = (St + 75%Vt – St-1 + 75%Vt-1) * 0.3 Dimana Rt adalah kompensasi pusat di tahun t; S adalah pendapatan dari pajak konsumsi; V adalah pendapatan dari VAT. 112 Di tahun 2001, pajak penghasilan menjadi pajak terbagi, berlawanan dengan penugasan 100% ke pemerintah lokal; rasio bagi-hasil untuk pemerintah pusat adalah 50 persen, dan menjadi 60% di awal 2002. Rumusnya adalah Rt = Max{ It*0.6, I2001} 113 Kecuali Provinsi Shandong yang menerima subsidi dan memberikan pendapatan ke pemerintah pusat, 16 pemerintah provinsi berada di sisi penerima yang menyertakan juga delapan provinsi tempat suku minoritas (Tibet, Xinjiang, Mongolia Dalam, Ningxia, Guangxi, Qinghai, Yunnan, dan Guizhou) dan provinsi miskin lain seperti Sichuan dan Jiangxi. 14 provinsi lain berada di sisi pemberi pendapatan.
313
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
minoritas, transfer untuk meningkatkan belanja gaji pegawai negari, transfer untuk reformasi bea-ke-pajak perdesaan, dan transfer untuk meninggalkan transfer pertanian dan transfer lain. Transfer tersisihkan meliputi ratusan hibah tujuan khusus yang berkaitan dengan berbagai macam program tingkat pusat, yang kebanyakan dikembangkan secara terburu-buru. Saat masalah dan tantangan baru muncul, maka terjadi kecenderungan untuk membuat transfer tersisihkan baru untuk menangani masalah ini. Hibah tujuan khusus juga menyertakan subsidi untuk memperbanyak penerbitan obligasi negara. Sama seperti penugasan tanggung jawab, transfer antar pemerintah subprovinsi menjadi diskresi pemerintah provinsi. Saat ini, kerangka dasar untuk transfer subprovinsi sama dengan yang untuk pemerintah pusat, walau ada banyak keberagaman struktur antar provinsi karena perbedaan dalam ketersediaan sumberdaya fiskal dan karena pemerintah provinsi memakai diskresinya untuk melimpahkan jatah dana yang lebih kecil atau lebih besar yang diterima dari pemerintah pusat. Walau tujuan program transfer antar pemerintah ini bermacammacam, tujuan utama dari banyak transfer antar pemerintah tersebut adalah untuk menutup kesenjangan anggaran. Contoh umumnya meliputi: transfer untuk meningkatkan belanja pegawai negeri, transfer reformasi bea-ke-pajak perdesaan, transfer untuk meninggalkan pajak pertanian, transfer rekening akhir dll. ‘Transfer umum’ adalah satusatunya yang memiliki tujuan penyetaraan yang jelas—melalui kumpulan dana yang dibagikan walau relatif kecil. Alasan utama dari orientasi ke penutupan kesenjangan ini adalah, bahwa sebagian besar pemerintah subnasional menghadapi banyak ketidakseimbangan vertikal seperti dijelaskan di atas, karena ciri utama dari sistem desentralisasi fiskal di Cina adalah walau belanja sudah banyak didesentralisasi, pendapatan pajak masih tetap sangat tersentralisasi. Ketergantungan pada transfer antar pemerintah berbeda-beda di berbagai tingkat pemerintah subnasional. Selama tahun-tahun terakhir, pertumbuhan cepat dari sumberdaya fiskal pemerintah pusat memberi peluang untuk memperkenalkan beberapa program transfer antar pemerintah. Namun sistem transfer antar pemerintah masih tampak kurang stabil dan kurang bisa diramalkan. Menurut desainnya, sistem ini tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah pusat, tapi juga oleh provinsi dan prefektur agar bisa menutup kesenjangan di tingkat 314
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
pemerintah yang lebih rendah. Selain variasi tingkat ketergantungan pada transfer, di beberapa tingkat pemerintah, juga ada variasi besar antar yurisdiksi.
15.3. Tantangan Sistem Fiskal Cina Reformasi fiskal 1994 mengatasi banyak masalah hubungan fiskal antar pemerintah, yang berkaitan dengan belanja terkini. Laju industrialisasi dan urbanisasi yang cepat meningkatkan kebutuhan membangun infrastruktur. Pembangunan infrastruktur regional, kemudian, memberikan banyak manfaat bagi pemerintah subnasional dari segi pendapatan fiskal, juga membuat pemerintahan subnasional menjadi penting untuk persaingan politik melalui tuntutan ke pejabat pemerintah subnasional untuk mempermudah pertumbuhan ekonomi. Walau reformasi fiskal mendorong pemerintah subnasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi reformasi ini tidak memberikan sumberdaya langsung untuk belanja modal. Akibatnya, pembiayaan utang untuk belanja modal menjadi pendekatan yang penting. Tabel 15.5. Anggaran Belanja Modal di Cina, 1997–2009 (unit: miliar Rmb) Year
Anggaran Belanja Modal (1)
Total Anggaran Belanja (2)
(1) sebagai % dari (2)
Total Belanja Modal (3)
(1) sebagai % dari (3)
1997
69,7
923,4
7,5
2.526,0
2,8
1998
119,7
1.079,8
11,1
2.871,7
4,2
1999
185,2
1.318,8
14,0
2.975,5
6,2
2000
210,9
1.588,6
13,3
3.311,0
6,4
2001
254,6
1.890,3
13,5
3.798,7
6,7
2002
316,1
2.205,3
14,3
4.504,7
7,0
2003
268,8
2.465,0
10,9
5.861,6
4,6
2004
325,5
2.848,7
11,4
7.456,5
4,4
2005
415,4
3.393,0
12,2
9.459,1
4,4
2006
467,2
4.042,3
11,6
11.895,7
4,0
2007
585,7
4.978,1
11,8
15.080,4
3,9
2008
795,5
6.259,3
12,7
18.291,5
4,4
2009
1.268,6
7.630,0
16,6
25.023,0
5,1
Sumber: China Statistical Yearbook, 2010.
315
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Pembiayaan utang untuk belanja modal menjadi populer sejak 1996. Cara ini telah banyak meningkatkan kinerja ekonomi dan memicu pertumbuhan ekonomi. Sejak 2010, pemerintah subnasional telah menginvestasikan RMB 5.947 miliar untuk transportasi, infrastruktur kota dan pembangunan energi (dengan pembiayaan utang mencapai 62% total utang subnasional). Selanjutnya, RMB 1.021 miliar dibelanjakan untuk pembelian tanah (yang mencapai 11% total utang subnasional). Semua investasi ini mempercepat pembangunan jalan tol, jalan lokal, perkeretaapian, bandara dan infrastruktur lain, dan menjadi aset yang bermutu tinggi untuk pemerintah subnasional. Pertumbuhan infrastruktur bukan hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dana kesejahteraan sosial, tapi juga memberikan potensi besar untuk pertumbuhan ekonomi ke depan. Sementara itu, pemerintah subnasional juga memakai pembiayaan utang untuk mendukung proyek pembangunan sosial di bidang pendidikan, perawatan kesehatan, perumahan dll. Ada juga investasi utang senilai RMB 1.375 miliar untuk promosi pengurangan polusi dan pembangunan ekologi, dan RMB 402 miliar untuk investasi pembaruan industri. Ini semua memberikan potensi untuk pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan di masa depan. Namun, ada risiko besar dari semakin banyaknya kewajiban subnasional. Sejak 2010, total utang subnasional adalah RMB 10.717 miliar. Dalam kenyataannya, utang subnasional yang besar ini menjadi tantangan utama terbesar untuk Cina, yang mengancam pemerintah sebagai instrumen keuangan. Saat ini, risiko yang terkait dengan kewajiban subnasional berasal sisi kebutuhan (peminjam) dan sisi pasokan (pemberi pinjaman). Cara mengendalikan risiko akibat kewajiban subnasional yang semakin banyak ini, menjadi tugas penting untuk ekonomi Cina.
15.4. Metode Riset Webb (2004), Singh dan Plekhanov (2005) serta Liu dan Waibel (2008) semuanya telah menunjukkan bahwa pemerintah subnasional cenderung meminjam secara berlebihan karena hambatan anggaran yang lunak, sedangkan Freire dan Petersen (2003) serta Liu dan Waibel (2008) menekankan risiko yang muncul dari hambatan pasar
316
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
keuangan yang lemah.114 Literatur sebelumnya tidak mengakui bahwa jika pembuat kebijakan mencari pendekatan terbaik untuk mengelola kewajiban subnasional, maka tujuan pembuat kebijakan bukan untuk menghapus semua risiko tapi menampung risiko dengan biaya sedikit mungkin—yang merupakan inti dari pendekatan risiko yang optimal. Karena tingkat risiko yang timbul tergantung pada tingkat sulitnya hambatan anggaran dan keuangan, maka pendekatan pengelolaan kewajiban subnasional harus memperkuat hambatan anggaran, hambatan pasar, atau keduanya. Untuk mengatasi masalah pengendalian risiko yang optimal, para pembuat kebijakan harus memahami manfaat dan biaya setiap calon dan hambatan anggaran yang dihadapi. Salah satu isu utama yang harus ditekankan adalah bahwa sebagian besar langkah untuk mengendalikan kewajiban subnasional, seperti yang dibahas dalam literatur, harus bersifat spesifik utang. Pertama, tidak mungkin menggantungkan diri pada langkah ini saja untuk memperbaiki seluruh sistem hubungan antar pemerintah dan mengembangkan pasar uang yang sepenuhnya matang. Langkah yang diambil untuk menampung risiko peminjaman subnasional, benar-benar membantu meningkatkan hambatan anggaran dan/atau hambatan pasar dalam kadar tertentu. Namun, memperkuat hambatan anggaran memerlukan serangkaian reformasi dalam hubungan antarpemerintah, bukan kontrol yang bersifat spesifik utang dan hal seperti ini juga terjadi dalam memperkuat hambatan pasar. Mengendalikan risiko utang subnasional itu sendiri bukan kondisi yang memadai, sebagai pembenaran untuk reformasi hubungan fiskal antar pemerintah dan reformasi pasar uang secara menyeluruh. Reformasi menyeluruh seperti ini mengakibatkan dampak yang bisa menyebar ke seluruh negeri, dan memakan biaya yang lebih mahal daripada apa yang diperoleh dari pengendalian risiko utang subnasional. Untuk mengawali reformasi ini diperlukan pertimbangan cermat 114
S.B. Webb. 2004, ”Fiscal Responsibility Laws for Subnational Discipline: The Latin American Experience,” World Bank Policy Research Working Paper 3309; R. Singh and A. Plekhanov. 2005, ”How Should Subnational Government Borrowing Be Regulated? Some Cross-Coutry Empirical Evidence,” IMF Working Paper No. 05/54; Lili Liu, and Michael Waibel, 2008, ”Subnational borrowing, Insolvency, and Regulation.” In A. Shah (eds.), Macro Federalism and Local Finance, Washington, D.C: World Bank.
317
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
mengenai manfaat dan biaya terkait. Karena itu, pendekatan pengelolaan kewajiban subnasional yang diamati hanya mengubah hubungan fiskal antar pemerintah saat ini, status pasar uang, atau keduanya, dalam usaha memperbaiki lubang yang bisa menyebabkan risiko. Layak juga untuk dicatat bahwa manfaat dan biaya dari penerapan kontrol spesifik utang, berhubungan dengan status quo hambatan anggaran dan hambatan pasar. Contohnya, jika status quo hambatan anggaran sudah kuat, maka memperkuatnya lagi bisa menimbulkan biaya yang relatif tinggi. Implikasi adalah bahwa pilihan optimal untuk pengelolaan kewajiban subnasional bisa berubah bersama evolusi dalam hambatan anggaran dan hambatan pasar. Untuk ringkasnya, semua pendekatan pengelolaan utang bisa dikategorikan menjadi dua kelompok: pendekatan spesifik utang untuk memperkuat hambatan anggaran (sisi kebutuhan), dan pendekatan spesifik utang untuk memperkuat hambatan pasar (sisi pasokan). Tujuan pendekatan risiko yang optimal adalah untuk memperkecil risiko yang ada dalam pinjaman subnasional dengan tingkat kerugian tertentu terutama hilangnya pertumbuhan ekonomi. Solusi untuk pendekatan risiko yang optimal ini bersifat dinamis manfaat dan kerugian dari pelaksanaan pendekatan pengelolaan kewajiban yang berbeda, mungkin berubah seiring perubahan status quo. Model risiko optimal bisa menjelaskan dengan baik pendekatan pengelolaan kewajiban yang diamati dan dipakai di berbagai negara dengan kondisi hambatan pasar dan anggaran yang berbeda. Negara seperti AS bergantung pada disiplin pasar untuk menampung kewajiban subnasional, yang bisa dijelaskan oleh kenyataan bahwa hambatan pasar dan anggaran sudah cukup kuat, jadi biaya marjinal untuk memperkuat lagi hambatan pasar dan anggaran bisa lebih besar daripada manfaat marginalnya. Karena itu, tidak ada usaha ekstra yang diperlukan untuk memperkuat lebih lanjut kedua hambatan ini. Disiplin pasar sendiri cukup untuk menampung peminjaman subnasional yang ceroboh. Negara seperti Jerman, Inggris dan Jepang, melakukan banyak usaha untuk memperkuat hambatan anggaran, melalui kontrol administrasi atau kontrol berbasis peraturan dari sisi kebutuhan. Di sini manfaat marginal dari memperkuat lebih lanjut hambatan pasar lebih kecil daripada biaya marginal, walau manfaat marginal dari 318
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
penguatan hambatan anggaran masih lebih besar daripada kerugian marginal terkait. Contohnya, pasar uang di Jerman sudah matang, yang berarti lembaga keuangan dan investor di pasar sudah dilengkapi dengan kemampuan untuk menentukan harga keuntungan dan risiko yang menyertai pemberian pinjaman. Jadi, manfaat marginal dari penguatan lebih lanjut hambatan pasar melalui peraturan spesifik utang dan tentang pasar uang mungkin terlalu kecil untuk membenarkan kerugian yang ditimbulkan, seperti hilangnya efisiensi pasar uang. Sebaliknya, hambatan anggaran di Jerman tidak cukup kuat karena sejarah penghapusan utang penghapusan utang (bailout) oleh pemerintah federal dan besarnya transfer horizontal dan vertikal antar pemerintah. Karena itu, manfaat marginal dari memperkuat lebih lanjut hambatan anggaran bisa lebih besar daripada biaya marginal terkait. Untuk sebagian besar negara berkembang, situasinya adalah bahwa hambatan anggaran dan hambatan pasar masih lemah. Manfaat marginal dari memperkuat lebih lanjut kedua hambatan ini lebih besar daripada biaya marginal terkait. Ini menjelaskan mengapa negara seperti Brasil dan Meksiko memakai kontrol berbasis peraturan untuk sisi kebutuhan dan pasokan. Contohnya, peminjaman oleh pemerintah subnasional bergantung pada bank milik negara yang tidak memiliki insentif yang kuat untuk menentukan harga keuntungan dan risiko dengan benar. Brasil pernah mengalami tiga krisis utang subnasional yang besar sejak restorasi demokrasi subnasional. Seperti ditunjukkan dalam Webb (2004), perjanjian untuk menyelesaikan krisis ini memperkuat anggapan bahwa Pemerintah Federal siap untuk memberikan penghapusan utang ke negara bagian yang meminta. Hambatan pasar dan anggaran yang lemah menyebabkan defisit subnasional yang berlebihan dan mengulang kembali krisis utang. Untuk mengurangi peminjaman subnasional yang ceroboh, Brasil menerapkan langkah-langkah untuk peminjam dan pemberi pinjaman. Di sisi kebutuhan, Keputusan Senat yang baru (SR 78) menetapkan batas-batas peminjaman negara bagian dan memberi Senat kuasa untuk melarang beberapa tipe peminjaman; UU 9696 menetapkan target pengurangan utang, rasio defisit, belanja pegawai, dan pertumbuhan pendapatan sendiri. Di sisi pasokan, Dewan Moneter Nasional memerintah Bank Sentral untuk membatasi total pinjaman yang diberikan oleh setiap bank ke sektor publik dan melarang bank untuk 319
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
meminjamkan ke negara bagian yang melanggar plafon utang dan batas defisit. Langkah lain di sisi pasokan adalah privatisasi bank milik negara agar pemerintah subnasional tidak bisa lagi bergantung pada pembiayaan istimewa ini.
15.5. Kontribusi yang Diharapkan: Implikasi untuk Cina Dalam bagian ini, kami pertama-tama meringkas faktor-faktor yang menimbulkan peminjaman subnasional yang ceroboh di Cina, lalu pendekatan risiko yang optimal seperti yang jelaskan dalam bagian sebelumnya dilakukan untuk menemukan pendekatan pengelolaan kewajiban subnasional yang tepat untuk Cina. 15.5.1. Analisis Sisi Permintaan Di antara faktor sisi permintaan, kami menekankan peran yang dimainkan oleh hambatan anggaran yang lunak dan akuntabilitas lokal yang lemah. Faktor lain di sisi kebutuhan, yang memengaruhi pemerintah nasional, meliputi: pengharapan pertumbuhan, urbanisasi, dan kebijakan fiskal aktif di 2008–2009. Lemahnya Akuntabilitas Lokal Beberapa faktor yang menyumbang ke hambatan anggaran yang lunak dan akuntabilitas lokal yang lunak dari pemerintah subnasional di Cina: Kaburnya Hubungan antara Perusahaan Pemerintah Pemerintah cenderung membentuk perusahaan milik negara/daerah di sektor yang kompetitif, yang mengaburkan perbedaan antara sektor publik dan swasta. Masuknya sektor publik ke dalam pasar swasta mengakibatkan hilangnya efisiensi dan kewajiban bersyarat (contingent liabilities) yang penuh risiko bagi pemerintah subnasional, karena pinjaman perusahaan milik negara dijamin secara langsung atau tidak langsung oleh pemerintah subnasional. Kaburnya Hubungan Antar Pemerintah Isu fiskal utama yang harus ditangani oleh Cina adalah meningkatnya disparitas antara tanggung jawab belanja pemerintah subnasional dan pendapatan yang tersedia. Walau pemerintah subnasional 320
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
semakin banyak menanggung beban tanggung jawab belanja yang didesentralisasi, tapi jatah pendapatan mereka dari berbagai sumber tidak pernah lebih dari 50% selama 10 tahun terakhir—ini sangat berlawanan dengan situasi sebelum reformasi bagi hasil pajak. Seperti ditunjukkan dalam Martinez-Vazquez dan Qiao (2010), ketidakseimbangan antara belanja dan pendapatan sebagian besar merupakan akibat dari kekurangan kelembagaan dalam desain hubungan fiskal antar pemerintah. Pemerintah subnasional menanggung banyak sekali beban belanja, seperti ditunjukkan di Tabel 15.2. Pemerintah subnasional bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan dasar, termasuk pendidikan dasar, perawatan kesehatan dan kesejahteraan sosial. Terkait tanggung jawab menyediakan pelayanan publik yang didesentralisasi, sistem fiskal terkini menugaskan beberapa sumber pendapatan primer yang stabil ke pemerintah subnasional. Sejak 1994, sistem bagi-hasil pajak secara bertahap mensentralisasi penugasan pendapatan, termasuk pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan perorangan dan perusahaan serta pajak konsumsi, dengan meninggalkan hanya pajak usaha untuk pemerintah subnasional. Selain itu, sistem pajak properti, yang dalam contoh internasional berfungsi sebagai sumber pendapatan utama untuk pemerintah subnasional, sekarang masih dalam bentuk embrio. Selain itu, pemerintah di tingkat atas di Cina cenderung menugaskan mandat tanpa memberikan dana atau memberikan dana yang tidak mencukupi, yang membuat beban belanja pemerintah subnasional menjadi semakin banyak. Desain hubungan fiskal antar pemerintah yang tidak tepat di Cina, menimbulkan tekanan fiskal yang berat pada pemerintah subnasional. Kesenjangan fiskal subnasional yang besar memicu pembiayaan utang lokal, terutama pelayanan utang untuk belanja operasional. Kurangnya pendapatan dari sumber sendiri membuat pemerintah subnasional menjadi sangat tergantung pada transfer dari pusat. Apa yang membuat masalah menjadi semakin rumit adalah kurangnya transparansi dalam proses penentuan transfer, terutama dalam menentukan transfer tujuan khusus atau ad hoc. Hubungan antar pemerintah yang tidak benar juga menimbulkan dua masalah yang lebih mendasar: masalah kumpulan dana bersama dan hambatan anggaran yang lunak. Dengan menganggap transfer fiskal sebagai kumpulan dana bersama, maka pemerintah sub321
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
nasional akan membelanjakan secara berlebihan dan menumpuk utang yang tidak berkelanjutan untuk menyaingi transfer. Masalah hambatan anggaran yang lunak membuat pemerintah subnasional sengaja mengurangi usaha fiskal, membelanjakan secara berlebihan, dan mengabaikan ancaman kebangkrutan, karena mereka mengharapkan pusat menutup kesenjangan dan menghapus utang mereka. Satu wujud masalah kumpulan dana bersama adalah persaingan antar yurisdiksi yang tidak sehat. Kriteria saat ini untuk evaluasi pemerintahan lokal menempatkan bobot yang relatif besar pada pertumbuhan PDB, jadi pemerintah subnasional cenderung membelanjakan untuk investasi publik dan mengurangi usaha mengumpulkan pajak untuk menarik investasi swasta—dengan harapan bahwa pusat akan menutup kesenjangan fiskal. Cai dan Treisman (2004) memberikan contoh spesifik dari persaingan ini, yang mengorbankan pengumpulan pajak lokal dan menimbulkan lebih banyak pembiayaan utang subnasional.115 Buruknya Pengelolaan Anggaran Pengelolaan anggaran yang longgar memungkinkan pemerintah subnasional untuk hidup melampaui batas kapasitas fiskalnya dan membuat kewajiban yang tidak berkelanjutan. Masalah utama dalam pengelolaan anggaran adalah kurangnya transparansi. Tanpa transparansi fiskal, sulit bagi pemerintah pusat untuk memberlakukan disiplin fiskal, karena mudah untuk membelokkan tanggung jawab untuk keputusan keuangan yang ceroboh. Salah satu wujud masalah ini adalah bahwa tidak ada mekanisme ex ante dan ex post untuk mengatur pinjaman subnasional yang membumbung tinggi. Kurangnya transparansi ini juga membuat disiplin pasar tidak berfungsi, jadi membuat peminjam lambat dalam menanggapi sinyal pasar. Selain itu, pengelolaan anggaran yang longgar mengakibatkan apa yang disebut sebagai ‘keuangan pemasok (feeding finance)’ yang mengacu ke belanja pemda untuk bidang-bidang dengan biaya administrasi yang dipusatkan dan biaya personal khususnya. ‘Keuangan pemasok’ disebabkan sebagian oleh ketidakseimbangan fiskal vertikal, tapi yang lebih penting, oleh pengelolaan anggaran yang lemah dan 115
Cai, Hongbin and Daniel Treisman, 2004, ”State Corroding Federalism,” Journal of Public Economics, Vol.88 (March), pp.819-43.
322
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
tidak mampu mengekang ukuran pemerintah dan belanja operasional. ‘Keuangan pemasok’ juga menyebabkan peningkatan kebutuhan utang, karena sebagian besar sumberdaya fiskal telah habis dipakai dan hanya sedikit yang tersisa untuk investasi infrastruktur. Pejabat lokal, yang menghadapi dilema antara sumberdaya yang terbatas untuk investasi modal dan keinginan tak-tertahankan untuk meningkatkan PDB, cenderung memakai utang untuk membiayai proyek publik untuk meningkatkan ekonomi lokal. Karena kurangnya transparansi fiskal dan pengelolaan anggaran yang efisien, keputusan keuangan yang ceroboh dari pejabat lokal sulit untuk dideteksi dan dihukum. Apa yang membuat situasi menjadi lebih buruk adalah bahwa beberapa pejabat lokal, di daerah yang kurang berkembang, bahkan membiayai belanja operasional melalui utang yang dipercaya oleh banyak periset sebagai tidak berkelanjutan. Kurangnya Pemanfaatan ‘Memberi Suara dengan Tangan’ dan ‘Memberi Suara dengan Kaki’ Untuk memperkuat akuntabilitas lokal, dua tipe utama mekanisme yang bisa dirancang dan dilaksanakan dalam praktek adalah sistem ‘memberi suara dengan tangan’ dan ‘memberi suara dengan kaki.’ Namun kelebihan kedua sistem ini belum sepenuhnya dimanfaatkan di Cina. Mekanisme ‘memberi suara dengan tangan’ belum berfungsi dengan baik karena sebagian besar pejabat subnasional ditunjuk oleh pemerintah di tingkat atas. Ini mendorong pejabat lokal untuk bertanggung jawab pada otoritas di tingkat yang lebih tinggi, bukan pada masyarakat lokal. Mekanisme ‘memberi suara dengan kaki’ memerlukan mobilitas faktor yang bebas, tapi beberapa ciri kelembagaan di Cina menghambat pembentukan pasar bersama. Contohnya, aturan pendaftaran warga membatasi mobilitas warga pedesaan ke daerah perkotaan. Faktor lain di sisi permintaan: • Harapan Pertumbuhan Seperti ditunjukkan dalam Tabel 15.6, Cina telah mengalami dekade pertumbuhan ekonomi yang cepat. Akibatnya, pendapatan pemerintah subnasional di Cina menunjukkan kecenderungan pertumbuhan yang 323
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
kuat. Para pejabat lokal sangat percaya bahwa pertumbuhan ini akan berlanjut selama kurun waktu yang relatif lama dan memberikan pendapatan di masa depan. Jadi, para pejabat lokal cenderung meminjam secara berlebihan, karena mereka percaya bahwa utang bisa dengan mudah dilunasi dengan pendapatan di masa depan. Tabel 15.6. Pertumbuhan Ekonomi Cina dan Pendapatan Pemerintah Daerahp PDB Nominal (Miliar RMB)
Laju Pertumbuhan PDB Riil (%)
Laju Pertumbuhan PDB Nominal (%)
-
-
Pendapatan Pemerintah Daerah (Miliar RMB) 194,47
Laju Pertumbuhan Pendapatan Pemerintah Daerah (%)
1990
1.866,78
1991
2.178,15
9,2
15,7
221,12
13,7
1992
2.692,35
14,2
22,6
250,39
13,2
1993
3.533,39
14,0
30,2
339,14
35,4
1994
4.819,79
13,1
35,4
231,16
-31,8
1995
6.079,37
10,9
25,1
298,56
29,2
1996
7.117,66
10,0
16,1
374,69
25,5
1997
7.897,30
9,3
10,0
442,42
18,1
1998
8.440,23
7,8
5,9
498,40
12,7
1999
8.967,71
7,6
5,2
559,49
12,3
2000
9.921,46
8,4
9,6
640,61
14,5
2001
10.965,52
8,3
9,5
780,33
21,8
2002
12.033,27
9,1
8,7
851,50
9,1
2003
13.582,28
10,0
11,9
985,00
15,7
2004
15.987,83
10,1
16,7
1.189,34
20,7
2005
18.493,74
11,3
14,7
1.510,08
27,0
2006
21.631,44
12,7
16,0
1.830,36
21,2
2007
26.581,03
14,2
21,9
2.357,26
28,8
2008
31.404,54
9,6
17,1
2.864,98
21,5
2009
34.050,69
9,1
7,4
3.258,07
13,7
Sumber: China Statistical Yearbook, 2010.
• Urbanisasi Gambar 15.1 menunjukkan proses urbanisasi cepat yang dialami oleh Cina selama beberapa tahun terakhir. Kecenderungan ini memberikan tantangan besar bagi pemerintah subnasional, dari segi penyediaan pelayanan publik. Banyak proyek publik merupakan belanja modal, jadi pembiayaan infrastruktur melalui pinjaman meningkatkan kesetaraan 324
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
antar generasi. Proses urbanisasi menggeser kurva kebutuhan peminjaman subnasional ke kanan dan mengakibatkan munculnya kuantitas utang yang seimbang. Dalam kondisi dimana hambatan anggaran dan hambatan pasar kuat, peningkatan utang subnasional bisa benar-benar memperbaiki efisiensi dan kesetaraan tanpa membawa terlalu banyak risiko. Namun, jika kedua hambatan ini lemah, seperti di Cina, maka keinginan pemerintah subnasional untuk meminjam secara berlebihan, yang dipicu oleh urbanisasi, tidak akan bisa ditampung dengan baik. Gambar 15.1. Proses Urbanisasi yang Cepat di Cina
Sumber: China Statistical Yearbook, 2010
• Efek Kekayaan Menurut UU Cina, pemerintah memegang hak atas tanah dan bisa membiayai infrastruktur melalui bea transfer tanah dan pinjaman bank dengan jaminan tanah.116 Sejak 2005, pendapatan dari sewa tanah tumbuh dengan cepat (seperti ditunjukkan di Tabel 15.3) dan menjadi salah satu sumber pembiayaan di luar anggaran terbesar bagi pemerintah subnasional. Liu (2008) memperkirakan bahwa porsi dari sewa tanah dan pinjaman bank mencapai sekitar 80–90% pembiayaan infrastruktur oleh pemerintah subnasional.117 116
Pengguna tanah membayar ‘bea transfer tanah’ secara tepat waktu ke pemerintah untuk pemakaian tanah selama 50–70 tahun. 117 Lili Liu. 2008, ”Creating a Regulatory Framework for Managing Subnational Borrowing,” in Lou, Jiwei and Shuilin Wang (eds.), Public Finance in China: Reform and Growth for a Harmonious Society, 171–190, World Bank.
325
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Peningkatan yang cepat dalam harga properti akhir-akhir ini memberikan peningkatan dalam kesejahteraan pemerintah subnasional yang terlihat. Peningkatan dalam kesejahteraan yang terlihat mendorong belanja secara berlebihan oleh pemerintah subnasional. Jadi, pemerintah subnasional cenderung meminjam secara berlebihan, termasuk membiaya investasi publik secara tidak rasional melalui utang. Situasi ini diperburuk oleh kurangnya transparansi fiskal dan disiplin pasar. Pertama, transaksi dan pendapatan tanah bersifat di luar anggaran. Dalam kasus ini, pemerintah subnasional bisa membiayai belanja operasional melalui pembiayaan tanah. Kedua, untuk menghindari UU yang melarang peminjaman subnasional, pemerintah subnasional mengatur plafon pembiayaan lokal milik negara dan meminjam banyak dana dari bank milik negara (dengan memakai tanah sebagai jaminan). Selanjutnya, bank mengharapkan penghapusan utang (bailout) dari pemerintah subnasional jika kebangkrutan terjadi. Ini menimbulkan kewajiban bersyarat yang besar bagi pemerintah subnasional. • Kebijakan Fiskal Sejak 2008 Untuk mengimbangi kejutan makro-ekonomi yang negatif dari krisis keuangan global 2008, pemerintah pusat Cina menerapkan paket stimulus 4 triliun rmb untuk menstabilkan ekonomi. Kebijakan ini dirancang agar pemerintah pusat dan subnasional bisa saling berbagi tanggung jawab membiayai proyek investasi yang masuk dalam paket stimulus. Sebenarnya pemerintah subnasional menganggap dana ini sebagai dana pendamping, yang mengakibatkan masalah kumpulan dana bersama. Untuk bersaing memperebutkan lebih banyak dana dari kumpulan dana, maka pemerintah subnasional meminjam dari pasar modal melalui perusahaan investasi dan pembangunan perkotaan (UDIC) yang menjadi afiliasinya, dan melakukan investasi yang melampaui kapasitas fiskalnya. Menurut perkiraan Komisi Peraturan Perbankan Cina, pinjaman bank komersial untuk UDIC mencapai nilai Rmb 7,38 triliun (sekitar US$ 1,10 triliun) di akhir 2009. 15.5.2. Analisis Sisi Pasokan Ada dua faktor primer di sisi pasokan, yang menimbulkan penumpukan kewajiban subnasional di Cina yakni hambatan pasar yang lemah dan likuiditas yang berlebih dalam pasar uang. 326
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Kendala Lemahnya Pasar Disiplin pasar memainkan peran penting dalam menampung pinjaman subnasional yang ceroboh. Namun tata kelola keuangan yang tidak efisien, terutama tata kelola perbankan di Cina, membuat pasar uang tidak bisa mengoreksi pinjaman subnasional dan kewajiban subnasional menjadi makin bertumpuk. Penyebab tata kelola perbankan yang tidak efisien bisa diringkas sebagai berikut: • Kurangnya transparansi fiskal dan penilaian kelayakan-kredit yang bisa diandalkan oleh lembaga pemeringkat kredit independen, berarti bank harus membuat keputusan berdasarkan pada informasi kapasitas fiskal yang tidak lengkap dari peminjam subnasional; • Struktur insentif yang tidak tepat dalam industri bank membuat kekuatan kontrol risiko menjadi korban. Penilaian kinerja biasanya memberikan banyak bobot ke target kuantitas, seperti jatah dan keuntungan pasar. Menghadapi persaingan keras dari saingannya, bank—termotivasi oleh keuntungan—mungkin mengabaikan sinyal kebangkrutan; dan • Bank memperlakukan pinjaman subnasional dengan cara yang berbeda dengan perlakuan untuk investasi swasta. Bank mungkin mentoleransi risiko kebangkrutan subnasional, karena masalah hambatan anggaran lunak memperparah ketergantungan mereka pada bailout. Selain itu, keinginan pejabat bank untuk memberikan pinjaman ke pemerintah subnasional mungkin disebabkan oleh aturan tak-tertulis: pejabat di bank milik negara bisa dengan mudah meloloskan diri dari hukuman, bahkan walau bank mengalami kerugian karena pinjaman subnasional yang tak terlunasi. Campur-tangan pejabat lokal mengganggu proses pembuatan keputusan oleh bank. Pejabat di Cina memiliki berbagai macam saluran untuk memengaruhi keputusan pinjaman bank. Sebagian besar usaha keuangan di Cina adalah milik negara dan perlu dukungan dari pemerintah subnasional untuk menjamin kelancaran operasi. Khususnya, pejabat pemerintah subnasional memainkan peran penting dalam mempromosikan para eksekutif dari lembaga keuangan milik negara lokal. Kebijakan pengendalian suku bunga membuat biaya pembiayaan tidak peka terhadap risiko pinjaman. Suku bunga masih ditentukan oleh 327
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
bank pusat. Jadi, pasar uang tidak bisa menghargai risiko dan keuntungan dengan benar. Dalam kasus seperti ini, suku bunga tidak sepenuh nya mencerminkan kelayakan kredit peminjam serta kapasitas fiskalnya, jadi kehilangan fungsinya sebagai pengendali pinjaman yang ceroboh. Tabungan Tinggi dan Kelebihan Likuiditas di Pasar Uang Sudah diketahui umum bahwa salah satu daya pendorong ekonomi Cina adalah suku bunga tabungan yang tinggi. Tabel 15.7 menunjukkan bahwa perbedan antara deposito dan pinjaman dalam sistem perbankan semakin melebar selama dekade terakhir. Semakin banyak deposito yang menumpuk di bank, dan bank terus ditekan agar mempercepat pemberian pinjaman. Kebijakan moneter memainkan peran besar dalam memperbesar likuiditas di pasar uang. Cina mendapatkan surplus perdagangan yang besar setiap tahun. Untuk menstabilkan nilai tukar, bank pusat harus campur tangan di pasar dengan jalan membeli mata uang asing. Proses ini menyebabkan laju pasokan uang tumbuh cepat dan likuiditas menjadi berlebihan di pasar uang. Tabel 15.7. Investasi Deposito, Pinjaman dan Portfolio di Lembaga Keuangan 1997–2009 Tahun
Deposito (triliun RMB)
Perbedaan DepositoPinjaman
1997
8,24
7,49
0,75
1998
9,57
8,65
0,92
1999
10,88
9,37
1,51
2000
12,38
9,94
2,44
2001
14,36
11,23
3,13
2002
17,09
13,13
3,96
2003
20,81
15,90
4,91
2004
24,05
17,74
6,32
2005
28,72
19,47
9,25
2006
33,54
22,53
11,01
2007
38,94
26,17
12,77
2008
46,62
30,34
16,28
2009
59,77
39,97
19,80
16,47%
13,75%
Laju pertumbuhan tahunan
Sumber: China Statistical Yearbook
328
Pinjaman (triliun RMB)
28,63%
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
Dalam kondisi likuiditas berlebihan di pasar modal dan perbedaan suku bunga yang semakin besar antara deposito dan pinjaman, persaingan antar bank menjadi semakin keras untuk memperebutkan peminjam pemerintah subnasional. Bank menjadi kurang pilih-pilih dan mentoleransi risiko yang dibawa oleh beberapa proyek, hingga kadar yang besar. Likuiditas yang berlebihan dan suku bunga tabungan yang tinggi menggeser kurva pinjaman ke kanan dan kurva pasokan pinjaman menjadi datar, yaitu menjadi kurang peka terhadap risiko. Jelas terlihat dalam kerangka kebutuhan pasokan, bagaimana cepatnya kewajiban pemerintah subnasional tumbuh membesar di Cina. Tabel 15.8 meringkas berbagai faktor, yang semuanya memberikan kontribusi pada peningkatan pinjaman subnasional pada titik ekuilibrium. Pengaruh semua faktor bisa terlihat lebih jelas dalam gambar yang menunjukkan pergeseran kurva kebutuhan dan pasokan. Seperti digambarkan dalam Gambar 15.2, garis S (sebagai pasokan utang awal) dan garis D (sebagai kebutuhan utang awal) secara bersama menentukan ekuilibrium awal (E 0). Faktor sisi kebutuhan yang dicantumkan dalam Tabel 15.8 mengubah E0 dengan jalan menggeser kurva ke kanan, yang ditunjukkan oleh kurva kebutuhan baru, D’. Tabel 15.8. Pengaruh Berbagai Faktor pada Ekuilibrium Peminjaman Subnasional
329
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Faktor sisi pasokan memiliki dua dampak pada kurva pasokan. Faktor ini menggeser kurva ke kanan saat mereka meningkatkan utang yang dipasok untuk tingkat suku bunga tertentu. Selain itu, faktor ini mencegah pasar untuk menentukan harga dan keuntungan secara benar, jadi membuat kurva pasokan menjadi lebih datar. Dua pengaruh ini menekan kurva pasokan baru, S’. Kurva kebutuhan baru dan kurva pasokan menentukan ekuilibrium baru, E1. Ekuilibrium baru ini berada jauh di kanan ekuilibrium awal, yang menunjukkan peningkatan besar dalam utang. Gambar 15.2. Perkembangan Ekuilibrium Utang
Harga / Suku Bunga D’ S
D D
Pasokan
E3
Kebutuhan
E0E
E1
S’
EE2 O
Pinjaman berlebihan
Kuantitas Kuantitas Hutang Utang
Sumber: Penulis
15.6. Analisis Risiko Optimal Analisis sebelumnya menunjukkan bahwa hambatan anggaran dan hambatan pasar keduanya lemah di Cina, jadi bergantung pada hanya disiplin pasar tidak akan layak untuk mengendalikan pinjaman subnasional. Semakin memperkuat hambatan anggaran dan pasar akan banyak mengurangi risiko yang dibawa oleh pinjaman subnasional. Di sisi kebutuhan (permintaan), kontrol administratif dan kontrol berbasis peraturan menjadi cara paling potensial untuk memperkuat hambatan anggaran. Namun, untuk jangka pendek, kontrol administratif 330
Optimalisasi Penyediaan Infrastruktur Publik dan Pelayanan
bisa berfungsi lebih efektif daripada kontrol berbasis peraturan. Walaupun ekonomi Cina berada dalam jalur transisional dari ekonomi terpusat dan terencanakan ke ekonomi pasar selama 30 tahun, tapi pemerintah masih sering mencampuri pasar melalui kontrol administratif. Sudah biasa di Cina jika pemerintah subnasional menghindari peraturan perundang-undangan. Dalam kasus seperti ini, pemantauan yang diperlukan untuk pendekatan berbasis peraturan mungkin memerlukan banyak biaya untuk pelaksanaannya. Pengalaman Argentina menunjukkan bahwa peraturan ex ante, tanpa pemberlakuan yang ketat, tidak bisa mengurangi utang subnasional yang ceroboh. Tambahan pula, salah satu karakteristik kontrol berbasis peraturan adalah keseragaman: peraturan yang sama dikenakan ke semua daerah dan semua kondisi dengan hanya sedikit pengecualian. Mempertimbangkan keragaman daerah yang besar di Cina, mungkin sulit untuk menentukan target yang sesuai dengan semua kondisi daerah. Jika peraturan yang seragam diberlakukan, ini mungkin akan mengakibatkan kerugian besar karena hilangnya efisiensi dari melayani kebutuhan yang beragam. Pengalaman Argentina dan Brasil menunjukkan bahwa perlu waktu untuk menjalankan peraturan yang matang dan bisa berfungsi efektif. Untuk ringkasnya, dalam jangka pendek, kontrol administratif mungkin lebih disukai daripada kontrol berbasis peraturan, dalam hal manfaat marginal dari kontrol administratif lebih besar dan biaya marginal yang ditimbulkan akan kecil jika dibandingkan dengan kontrol berbasis peraturan. Namun pemakaian pendekatan kontrol administratif tidak harus mengesampingkan peraturan perundang-undangan. Pekerjaan persiapan bisa dilakukan untuk memupuk kondisi yang mendukung agar kontrol berbasis peraturan bisa berfungsi, ini meliputi pembentukan beberapa aturan sederhana (seperti ‘kaidah kencana’) dan menumbuhkan budaya menghormati peraturan perundang-undangan. Pekerjaan persiapan seperti ini meningkatkan manfaat marginal dari penerapan kontrol berbasis peraturan dan mengurangi biaya marginal terkait. Untuk jangka panjang, keseimbangan akhirnya akan muncul dalam kontrol berbasis peraturan setelah budaya menghormati peraturan sudah terbentuk dan kesenjangan daerah berkurang bersama pertumbuhan ekonomi. Di sisi pasokan, kontrol berbasis peraturan mungkin lebih disukai daripada kontrol administratif, dalam hal biaya pengelolaan lembaga keuangan mikro bisa sangat besar. Sejak akhir 90-an, industri perbankan 331
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
di Cina mengalami perubahan drastis. Banyak bank yang dulunya milik negara telah diubah menjadi perusahaan yang masuk dalam pasar saham untuk meningkatkan tata kelola korporasi. Walau pemerintah masih tetap menjadi pemangku kepentingan terbesar yang terlibat, namun pemerintah berusaha menghindari campur-tangan langsung ke dalam bank. Penerapan kontrol administratif pada bank untuk mengelola pinjaman subnasional, akan membalikkan reformasi dalam industri perbankan ini dan menyebabkan hilangnya banyak efisiensi. Sebaliknya, kontrol berbasis peraturan, yang meniru disiplin pasar, bisa menampung pinjaman subnasional dengan biaya yang relatif kecil. Beberapa pengalaman bagus bisa diambil dari praktek di Meksiko, dimana bobot risiko modal dari bank terhadap pinjaman untuk pemerintah subnasional dikaitkan dengan peringkat kelayakan-kredit internasional—yang dengan demikian memberi bank komersial insentif untuk meminjamkan uang ke pemerintah subnasional yang memiliki peringkat kredit yang tinggi.
15.7. Kesimpulan dan Rekomendasi Makalah ini memberikan kerangka kontrol risiko yang optimal untuk memilih pendekatan pengelolaan kewajiban subnasional yang tepat. Pendekatan risiko yang optimal berarti para pembuat kebijakan bisa memilih pendekatan pengelolaan yang tepat untuk mengurangi risiko, dengan jalan memperkuat hambatan pasar atau hambatan anggaran atau keduanya—sambil mempertimbangkan biaya/kerugian akibat pemakaian berbagai pendekatan pengelolaan. Karena beberapa negara memiliki hambatan anggaran dan pasar dengan kekuatan yang berbeda-beda, maka manfaat marginal dan biaya marginal dari penguatan kedua hambatan ini juga banyak berbeda-beda. Karena itu pilihan optimal, yang tergantung pada status quo hambatan pasar dan anggaran, menjelaskan perbedaan berbagai macam pendekatan pengelolaan kewajiban subnasional yang dilaksanakan di berbagai negara. Kami telah menemukan bahwa hambatan pasar dan anggaran yang lemah menyebabkan pinjaman subnasional yang ceroboh di Cina. Penerapan pendekatan risiko optimal kami dalam kasus Cina, menunjukkan bahwa kontrol administratif bisa menjadi pendekatan yang optimal untuk menampung kewajiban subnasional dalam jangka pendek, sedangkan pendekatan berbasis peraturan akan berfungsi dengan baik untuk jangka panjang. 332
BAGIAN F Referensi
Referensi
AGA Corporate Partner Research Advisory Group. 2009. State and Local Governments’ use of Performance Measures to Improve Service Delivery. Alexandria, VA: Association of Government Accountants. D. Ammons. 2008. Leading Performance Management in Local Government. Washington, DC: International City Management Association Press. R. Bahl. 1999. Implementation Rules for Fiscal Decentralization.Andrew Young School of Policy Studies Working Paper Series. No. 99-01 R. Bahl, et al. 2005. Development of a Strategic Framework for the Financing of Local Governments in Tanzania: Final Report. http:// w w w.tzonline.org/pdf/developmentofastrategicframework forthefinancing.pdf R. Bahl and R. Bird. 2008. Subnational Taxes in Developing Countries: The Way Forward. Public Budgeting & Finance, Winter 2008. R. Bahl and J. Martinez-Vazquez. 2006. Sequencing Fiscal Decentralization. World Bank Working Paper. Bappenas and BRIDGE-UNDP. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. Jakarta. R. Bird. 2011. Subnational Taxation in Developing Countries: A Review of the Literature. Journal of International Commerce, Economics and Policy. 2 (1), pp. 139-161. R. Bird and E. Slack. 2004. International Handbook of Land and 335
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
Property Taxation. Northhampton, MA: Edwar Elgar. N. Boesen and D. Dietvorst. 2007. SWAps in Motion: Sector Wide Approaches: From an Aid Delivery to a Sector Development Perspective. Brussels: EuropeAid. J. Boex and S. Yilmaz. 2010. An Analytical Framework for Assessing Decentralized Local Governance and the Local Public Sector. IDG Working Paper. No. 2010-06. J.A. Bonet. 2006. Fiscal Decentralization and Regional Income Disparities: Evidence from the Colombian Experience. Annals of Regional Science. Vol 46 (3). 451-481. R. Broadway and A. Shah. 2009. Fiscal Federalism: Principles and Practice of Multiorder Governance. Cambridge: Cambridge University Press. B. Brodjonegoro and S. Asunama. 2000. Regional Autonomy and Fiscal Decentralization in Democratic Indonesia. Hitosubashi Journal of Economics. Vol 41 (2). pp. 111-122. B. Brodjonegoro and J.Martinez. 2002. Analysis of Indonesia’s Fiscal Transfer System: Recent Performance and Future Prospects. Andrew Young School of Policy Studies. Presented at the Can Decentralization Help Rebuild Indonesia conference, Georgia State University. V. Dumas and K. Kaiser. 2010. Subnational Performance Monitoring: Issues and Options for Higher Levels of Government. Draft Paper. Washington, DC: World Bank. S. Eckardt and A. Shah. 2007. Local Government Organization and Finance: Indonesia, in A. Shah (ed.). Local Governance in Developing Countries. Washington, DC: World Bank Economic Commission for Latin America. http://www.eclac.org/ilpes/ P. Ellis, et al. 2011. Performance Incentives for Global Wealth: Potential and Pitfalls. Washington, DC: Center for Global Development. Finance Minister’s Assistance Team On Fiscal Decentralization. 2008, Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia. Jakarta. 336
Bagian F: Referensi
F. Fitrani, B. Hofman and K. Kaiser. 2005. Unity in Diversity? The Creation of New Local Governments in a Decentralized Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol 41 (1). pp. 57-59. Government of Ghana. 2002. Local Service Delivery and Governance Program. Accra. G.W. Hammondand M.S. Tosun. 2009. The Impact of Local Decentralization on Economic Growth: Evidence from U.S. Counties, Discussion Paper No. 4574, November 2009. H. Hatry. 2006. Performance Measurement: Getting Results. Washington, DC: Urban Institute Press. B. Hofman and K. Kaiser. 2002. The Making of the Big Bang and its Aftermath: A Political Economy Perspective. Paper presented at the Conference on Can Decentralization Help Rebuild Indonesia, Georgia State University, May 1-3 2002. C. Hongbin and D.Treisman. 2004. State Corroding Federalism. Journal of Public Economics. 88. pp.819-43. M.H. Imansyah and J. Martinez-Vazquez,. 2010. Understanding SubNational Government Proliferation and Options for Reform. Asian Development Bank, Jakarta. R.E. Jaweng. 2007. Menimbang Regulasi Baru Pemekaran Daerah. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/27/opi01.html. R. Kelly. 1993. Property Tax Reform in Indonesia: Applying a Collection-Led Strategy. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 29 (1). pp 1-21. R. Kelly. 1996. The Evolution of a Property Tax Reform in Indonesia, Information Technology and Innovation in Tax Administration. Jenkins, G. (Ed.) Kluwer, Cambridge, MA. E. Kent, et al. 2011. The Political Economy of Decentralization Reform: Implications for Aid Effectiveness. Washington, DC.: World Bank. A. Kuncoro. 2006. Corruption and Business Uncertainty in Indonesia. ASEAN Bulletin. Vol 23(1). Pp 11-30. 337
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
B. Lewis. 2003. Tax and Charge Creation by Regional Governments Under Fiscal Decentralization: Estimates and Explanations. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol 39(2). pp. 172-192. B. Lewis. 2003. Property Tax in Indonesia: Measuring and Explaining Administrative (Under) Performance. Public Administration and Governance Reform. March 2011. B. Lewis. 2005. Indonesian Local Government Spending, Taxing and Saving: an Explanation of Pre- and Post Decentralization Fiscal Outcomes. Asian Economic Journal.19 (3). pp. 291-317. B. Lewis. 2006. Local Government: an Analysis of Administrative Cost Inefficiency. Bulletin of Indonesian Economic Studies 42 (2). pp. 213233. B. Lewis. 2011. Local Government Capital Spending, Intergovernmental Fiscal Transfers, and Economic Growth in Indonesia. Mimeo. B. Lewis and D. Pattinasarany. 2009. The cost of Public Primary Education in Indonesia: the Significance of Actual Service Quality and Governance Conditions, Growth and Change. 40(1). B. Lewis and B. Suharnoko. 2008. Local tax effects on the business climate. In N McCulloch, ed. Investment climate in Indonesia. Institute of South East Asian Studies. B. Lockwood and F. Porcelli. 2011. Incentive Schemes for Local Government: Theory and Evidence from Comprehensive Performance Assessment in England. Warwick Economic Research Papers. Warwick: University of Warwick. L. Liu. 2008. Creating a Regulatory Framework for Managing Subnational Borrowing. In J. Jiwei and S. Wang, eds. Public Finance in China: Reform and Growth for a Harmonious Society. World Bank. L. Liu and M. Waibel, 2008. Subnational Borrowing, Insolvency, and Regulation. In A. Shah, eds.Macro Federalism and Local Finance. Washington, DC: World Bank.
338
Bagian F: Referensi
J. Martinez and M. Rider. 2008. The Assignment of the Property Tax: Should Developing Countries follow the Conventional Wisdom. GSU Working Paper. 08-21. J. Mikesell. 2007. Developing Options for the Administration of Local Taxes: An International Review. Public Budgeting & Finance. 27 (1), pp. 41-68. P. Musgrave and R.A. Musgrave. 1989. Public Finance in Theory and Practice. New York: McGraw Hill. National Treasury. http:/www.trerasury.gov.za. NYSAC. 2006. The Shared Municipal Service Incentive Program: A Policy Primer. Albany, NY: New York State Association of Counties. W. Oates. 2005. Toward a Second-Generation Theory of Fiscal Federalism. International Tax and Public Finance, 12. pp 349-373. M. Onyach-Olaa. 2003. Lessons from Experience in Decentralizing Infrastructure and Service Delivery to Rural Areas. http://www.uncdf.org/english/local_development/uploads/thematic/ africities/UNCDF_Uganda.pdf A.Oosterman. 2007. Costs and Benefits of New Region Creation in Indonesia, Final Report. http://www.dsfindonesia.org/apps/dsfv2/cgibin/dw.cgi R.M. Qibthiyyah.2008. “Essays on Political and Fiscal Decentralization”. Economics Dissertations. Paper 55. http://digitalarchive.gsu.edu/econ_diss/55Masterdoc4.docx R. Qibthiyyah. 2011. Review of Incentives and Sanctions Linked Intergovernmental Transfers. Working paper ADB-INO. No. 7184. Jakarta, Indonesia. Republic of Tanzania. 2006. Local Government Capital Development Grant System, Manual for the Assessment of Councils against Minimum Conditions and Performance Measurement Criteria. Dar es Salaam. F. Revelli. 2008. Performance Competition in Local Media Markets. Journal of Public Economics, 92. pp.1585-1594. 339
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
F. Rojas. 2011. Results-Conditioned Transfers in Latin America: Trends and Analysis. Washington, DC: World Bank. L. Rusa et al. 2009. Rwanda Performance-based Financing in the Public Sector. Washington, DC: Center for Global Development. R. Seymour and S.Turner. 2002. Otonomi Daerah: Indonesia’s Decentralization Experiment. New Zealand Journal of Asian Studies. Vol 4 (2). pp.33-51. L. Schroeder and P. Smoke. 2003. Intergovernmental Fiscal Transfers in Asia: Current Practice and Challenges for the Futurein P. Smoke, and Y.H. Kim, eds. Intergovernmental Fiscal Transfers: Concepts, International Practice and Policy Issues. Manila: Asian Development Bank. A. Shah. 1998. Indonesia and Pakistan: Fiscal Decentralization—An Elusive Goal?.In R. Bird, F. Vaillancourt, eds.Fiscal Decentralization in Developing Countries, eds. Cambridge: Cambridge University Press. A. Shah. 2004. The Australian Horizontal Fiscal Equalization Program in the International Context. Presentation at the Heads of the Australian Treasuries (HOTS) Forum. Canberra. 22 September, and the Commonwealth Grants Commission, Canberra. 23 September. A. Shah. 2005. A Framework for Evaluating Alternate Institutional Arrangements for Fiscal Equalization Transfers. World Bank Policy Research Working Paper. No. 3785. Washington, DC. A. Shah. 2007. A Practitioner’s Guide to Intergovernmental Fiscal Transfers in R. Broadway and A Shah, (eds). Intergovernmental Fiscal Transfers: Principles and Practice, Washington, DC: World Bank. A. Shah. and Z. Qureshi, et al. 1994. Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia. Issues and Reform Options. World Bank Discussion Paper Series. No. 239. Washington, DC: World Bank M.Sidik, et al. 2002. General Allocation Grant (DAU): Concept, Constraint and Propsect in the Era of Autonomy. Penerbit Kompas, Jakarta.
340
Bagian F: Referensi
R. Singh and A Plekhanov. 2005. How Should Subnational Government Borrowing Be Regulated? Some Cross-Country Empirical Evidence. IMF Working Paper. No. 05/54. B. Sitepu. 2010. Fiscal Decentralization in Indonesia: The Important Role of Local Revenues. Presentation to 2nd Conference on Local Government Financing in San Fernando, La Union. Philippines, 8 – 10 November. J. Steffensen. 2010. Performance Based Grant Systems: Concept and International Experience. New York, NY: United Nations Capital Development Fund. T. Ter-Minassian, ed. 1997. Fiscal Federalism in Theory and Practice. Washington: International Monetary Fund. Uganda National Education Support Center. 2009. School Grants. Kampala: Uganda National Education Support Center, Ministry of Education and Sports. http://www.unesc.go.ug/index.php?option=com_content& task=view&id=238&Itemid=83 United Nations. 2011. Millennium Development Goals Report. New York: United Nations, Millennium Development Goals. United States Agency for International Development. 2000. Support to Uganda Primary Education Reform: Final Report. Washington, DC: Human Capacity Development Center, US Agency for International Development. S. Usman et al. 2001. Regional Autonomy and the Business Climate: Three Kabupaten Case Studies—From North SumatraSMERU Field Report. http://www.smeru.org S. B. Webb. 2004, Fiscal Responsibility Laws for Subnational Discipline: The Latin American Experience. World Bank Policy Research Working Paper. No. 3309. World Bank. 1994. The Reform of Intergovernmental Fiscal Relations in Developing and Emerging Market Economies. USA.
341
Desentralisasi Fiskal di Indonesia Satu Dekade setelah Ledakan Besar
World Bank. 2001. The Tax Assignment Problem: Conceptual and Administration in Achieving Subnational Fiscal Autonomy. Washington DC, pp 1-21. World Bank. 2003. Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure Review Overview Report. World Bank. 2003. User Charges in Local Government Finance. Washington, DC; World Bank. 2003. Local and Regional Revenues: Realities and Prospects. Washington, DC. World Bank. 2005. East Asia Decentralizes: Making Local Government Work. Washington DC. World Bank. 2005. Subnational Own-Source Revenue: Getting Policy and Administration Right. Washington DC. S. Yilmaz. 2010. Linking Local Government Discretion and Accountability in Decentralization. Development Policy Review. 28 (3). Pp. 259-293.
342