Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)1
Bab I Pendahuluan Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai dengan kerusakan saraf optik, biasanya dikarenakan tekanan intraocular (intraocular pressure, IOP) yang terlalu tinggi (1). Penyakit ini disoroti karena merupakan penyebab kebutaan nomor dua terbanyak di seluruh dunia. (4) Glaukoma dapat menyerang berbagai kalangan usia; dari anak hingga lansia. Pasien sering kali tidak merasakan gejala yang nyata. Gejala hanya akan terasa pada saat sudah terjadi gangguan lapang pandang. Oleh karena itu, glaukoma sering kali didapati pada saat pasien sudah menderita kerusakan saraf optik yang tidak dapat diterapi, namun hanya dapat dikendalikan progresivitasnya. Pemahaman yang memadai diperlukan untuk dapat memberikan terapi yang sesuai pada pasien dengan glaukoma, terutama penatalaksanaan medikamentosa yang harus dilakukan dalam jangka waktu lama. Dan terlebih dari menangani, pemahaman akan penyakit glaukoma ini diharapkan agar kita dapat mengidentifikasi mereka dengan risiko tinggi glaukoma, sehingga dapat dilakukan deteksi dini terjadinya kecenderungan yang mengarah kepada neuropati saraf optik glaukomatus.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)2
Bab II Glaukoma A. Definisi Kamus Kedokteran Gale mendefinisikan glaukoma sebagai sekelompok penyakit mata yang ditandai dengan kerusakan saraf optik, biasanya dikarenakan tekanan intraocular (intraocular pressure, IOP) yang terlalu tinggi. Peningkatan tekanan dalam mata ini jika tidak diterapi dapat menyebabkan kerusakan saraf optik yang menyebabkan kehilangan penglihatan yang progresif dan permanen, dimulai dengan titik buta yang tidak disadari pada ujung-ujung lapang pandang, berkembang menjadi tunnel vision, dan kemudian menjadi kebutaan. (1) Mosby memberikan definisi glaukoma sebagai suatu kondisi abnormal peningkatan tekanan pada satu mata yang terjadi ketika produksi aqueous humor (AH) melebihi aliran keluarnya, menyebabkan kerusakan terhadap saraf optik. (2) Vaughan dan Asbury mendefinisikan glaukoma sebagai suatu neuropati optik kronik yang didapat yang ditandai dengan cupping pada optik disk dan kehilangan lapang pandang, biasanya berhubungan dengan peingkatan IOP. (3) B.
Epidemiologi
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2004, glaukoma adalah penyebab kebutaan secara global nomor dua setelah katarak. Tanpa menyebutkan jumlah penderita glukoma, publikasi tersebut menerangkan temuannya bahwa orang keturunan Asia lebih cenderung menderita glaukoma sudut tertutup, sementara orang keturunan Afrika atau Eropa lebih cenderung mengalami glaukoma primer sudut tertutup (primary open-angle glaucoma, POAG) (4) Cook dan Foster (2012) menyatakan bahwa diperkirakan saat ini enam puluh juta orang di seluruh dunia memiliki neuropati optik glaukomatus, dan 8,4 juta yang menjadi buta akibat glaukoma. Sumber yang sama juga memperkirakan bahwa angka ini akan meningkat menjadi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)3
delapan puluh juta dan 11,2 juta pada tahun 2020, dan tetap menjadi penyebab kedua yang terutama yang menyebabkan kebutaan secara global. (5) Quigley dan Broman pada tahun 2006 memprediksikan bahwa pada tahun 2010, sejumlah 60,5 juta orang di dunia menderita glaukoma, dan diperkirakan angka ini akan naik menjadi 79,6 juta pada tahun 2020, di mana 74% dari angka ini menderita OAG (open-angle glaucoma). Orang keturuanan Asia akan merepresentasikan 47% dari perkiraan jumlah glaukoma dan 87% orang dengan OAG. Kebutaan bilateral akan terjadi pada 4,5 juta orang dengan OAG dan 3,9 juta orang dengan ACG pada 2010, dan meningkat menjadi 5,9 dan 5,3 juta orang di seluruh dunia pada 2012. Penulis yang sama juga memperkirakan bahwa pada tahun 2010, akan ada 2.116.035 orang di Asia Tenggara yang akan didiagnosis dengan OAG (4,7% dari jumlah penduduk dunia dengan OAG), dan 2.141.584 orang lainnya di Asia Tenggara akan didiagnosis dengan ACG (13,6% dari jumlah penduduk dunia dengan ACG). Pada tahun 2020, diperkirakan akan ada 2.966.334 orang (14,1% penduduk dunia dengan ACG) di Asia Tenggara yang didiagnosis dengan ACG pada 2020. (6) Hasil riset kesehatan dasar pada 2007 menunjukkan angka kebutaan Indonesia sebesar 0,9 persen dengan angka tertinggi berada di Sulawesi Selatan (2,6 persen) dan terendah di Kalimantan Timur (0,3 persen). (7)
C. Klasifikasi Vaughan dan Asbury mengklasifikasikan glaukoma menurut dua hal, yaitu etiologi dan mekanisme peningkatan IOP (3). Klasifikasi Glaukoma menurut Etiologi A. Glaukoma primer 1. Glaukoma sudut terbuka a. Glaukoma sudut terbuka primer (POAG)
3. Karena lensa (fakogenik) a. Dislokasi b. Intumesen
(glaukoma sudut terbuka kronik, glaukoma sederhana kronik) b. Glaukoma tensi normal (glaukoma tensi rendah) 2. Glaukoma sudut tertutup a. Akut Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
c. fakolitik 4. Karena perubahan traktus uvea a. Uveitis
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)4
b. Subakut c. Kronik d. Plateau iris B. Glaukoma congenital 1. Glaukoma congenital primer 2. Glaukoma yang berhubungan dengan
b. Posterior sinekia (seclusio pupillae) c. Tumor d. Pembengkakan badan siliaris 5. Sindrom iridocorneoendothelial (ICE) 6. Trauma a. Hifema
abnormalitas perkembangan okular lainnnya a. Anterior chamber cleavage syndromes Sindrom Axenfeld Sindrom Reiger Sindrom Peter
b. Kontusi/resesi sudut c. Sinekia anterior perifer 7. Postoperasi a. Glaukoma blok siliaris (glaukoma
b. Aniridia 3. Glaukoma yang berhubungan dengan
malignan) b. Sinekia anterior perifer c. Epithelial downgrowth
abnormalitas perkembangan ekstraokular lainnnya a. Sindrom Sturge-Weber b. Sindrom Marfan c. Neurofibromatosis 1 d. Sindrom Lowe e. Rubella kongenital C. Glaukoma sekunder 1. Glaucoma pigmentasi 2. Sindrom eksfoliasi
d. Pasca pembedahan graft kornea e. Pasca pembedahan ablasi retina 8. Glaukoma neovaskular a. Diabetes mellitus b. Oklusi vena sentral retina c. Tumor intraokular 9. Peningkatan tekanan vena episklera a. Fistula karotid-kavernous b. sindrom Sturge-Weber 10. Yang dicetuskan steroid D. Glaukoma absolut: hasil akhir dari glaukoma manapun yang tidak terkontrol berupa mata yang keras, tidak dapat melihat, seringkali nyeri.
Klasifikasi Glaukoma menurut Mekanisme Peningkatan IOP A. Glaukoma sudut terbuka B. Glaukoma sudut tertutup 1. Membran pretrabekular: semua dari 1. Blokir pupil (iris bombe) berikut ini dapat berkembang menjadi glaukoma sudut tertutup karena kontraksi membrane pretrabekular. a. Glaukoma neovaskular b. Epithelial downgrowth c. sindrom ICE 2. Abnormalitas trabekular Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
a. Glaukoma sudut tertutup primer b. Seclusio pupillae (sinekia posterior) c. Lens intumesen d. Dislokasi lensa anterior
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)5
a. POAG b. Glaukoma kongenital c. Glaukoma pigmentasi d. Sindrom eksfoliasi e. Yang dicetuskan oleh steroid f. Hifema g. Kontusi/resesi sudut h. Iridosiklitis (uveitis) i. Glaukoma fakolitik 3. Abnormalitas postrabekular a. Peningkatan tekanan vena episkleral
e. Hifema 2. Terlepasnya lensa anterior a. Glaukoma blok siliaris b. Oklusi vena sentral retina c. Skleritis posterior d. Pasca pembedahan ablasi retina 3. Angle crowding a. Plateau iris b. Lens intumesen c. midriasis atau pemeriksaan fundus 4. Sinekia anterior peripheral a. Sudut tertutup kronik b. Akibat datarnya ruang anterior c. Akibat iris bombe d. Kontraksi membrane pretrabekular
D. Faktor Risiko Glaukoma dapat terjadi sendiri (primer) atau merupakan hasil dari gangguan lain (sekunder). Sebagian besar penelitian yang mencari hubungan glaukoma dengan faktor risiko ditujukan untuk meneliti hubungan faktor-faktor terntentu dengan kemunculan atau perkembangan glaukoma primer. I.
POAG
Demografik Ras Studi populasi menunjukkkan bahwa POAG lebih sering terjadi pada ras kulit hitam Afrika dan keturunan Afrika yang tinggal di Karibia dan Amerika Serikat. 7% Afro-Karibia yang berusia di atas 40 tahun yang tinggal di Barbados memiliki POAG. Hal ini juga didukung oleh studi yang menemukan bahwa keturnan Afrika-Amerika yang tinggal di Baltimore berpravelensi POAG sekitar empat kali lebih tinggi di bandingkan dengan orang keturunan Eropa yang hidup di daerah yang sama. POAG juga lebih sering ditemukan di antara kalangan Hispanik dibandingkan dengan orang kulit putih, terutama pada usia di atas 60 tahun. POAG lebih sering tejadi pada orang China dan India daripada yang didokumentasikan sebelumnya, dengan rata-rata yang sedikit di bawah orang kulit putih.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)6
Usia Prevalensi POAG meingkat secara signifikan seiring dengan usia terutama pada orang Hispanik, yang memiliki prevalensi tertinggi dari kalangan ras lainnya. Studi populasi di Baltimore menunjukkan sepuluh kali peningkatan prevalensi POAG antara orang kulit putiyh dan Afrika Amerika di antara usia kehidupan decade kelima dan kesembilan. Riwayat keluarga Orang-orang di Baltimore yang memiliki riwayat keluarga dengan glaukoma memiliki peningkatan risiko dua hingga empat kali lipat memiliki glaukoma. Pada suatu populasi Afro Karibia yang berisiko tinggi, hampir 30% kerabat derajat pertama dengan POAG memiliki entah POAG, suspek POAG, hipertensi ocular dengan median usia empat puluh tujuh. Dasar genetis transmisi familial ini masih belum diketahui secara pasti. Dua gen yang bertanggung jawab untuk POAG dominan autosom adalah myocilin dan optineurin, telah diidentifikasi, walaupun POAG dengan mutasi pada kedua gen ini hanya ditemukan pada sebagaian kecil persentase pasien dengan POAG. Okular Tekanan Intraokular IOP memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan glaukoma dan menjadi salah satu faktor risiko yang kuat. Banyak studi yang menujukkan bahwa akan terjadi peningkatan insiden dan prevaklensi glaukoma seiring peningkatan IOP. Akan tetapi, studi populasi menunjukkan bahwa risiko glaukoma tetp meningkat seiring peningkatan IOP, walaupun diawali dengan IOP 12 mmHg.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)7
Sebaliknya, studi menunjukikan bahwa penurunan IOP pada subjek-subjek yang berpredisposisi terhadap glaukoma atau dengan glaukoma manifestasi awal, akan menurunkan rata-rata kehilangan lapang pandang. Myopi Studi populasi di berbagai kelompok etnis menunjukkan bahwa angka rata-rata kejadian POAG dua sampai empat kali lebih tinggi pada orang dengan myopi. Risiko glaukoma terbesar dengan orang ynag nmemiliki derajat myopia yang lebih tinggi. Sistemik Hipertensi Tekanan darah sistolik dan diastolic yang lebih tinggi berhubungan dengan peningkatan IOP. Pada studi di Baltimortem IOP 1,5 mmHg lebih tinggi pada pasien dengan tekanan darah sistolik di atas 160 mmHg dibandingkan dengan kelompok dengan tekanan darah sistolik di bawah 110 mmHg. Studi yang sama tidak menemukan hubungan yang signifikan antara hipertensi dan glaukoma.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)8
Ide bahwa insufisiensi perfusi saraf optik berkontribusi pada glaukoma mendorong kelompok stuydi Baltimore untuk menginvestigasi hubungan antara POAG dan tekanan perfusi diastolic (yang didefinisikan sebagai perbedaan antara tekanan darah diastolic dan IOP). Mereka menemukan peningkatan yang signifikan pada rata-rata POAG untuk tekanan perfusi diastolic di bawah 50, dengan lebih besar lebih dari enam kalui lipat tidak memiliki POAG [ketika tekanan perfusi diastolic di bawah 30. II.
PACG
Demografik Ras Prevalensi PACG ynag tertinggi ditemukan pada kelompok Eskimo. Banyak studi yang menunjukkan bahwa prevalensi PACG lebih tinggi pada paupulasi Asia Timur dibandingkan dengan orang kulit hitam dan kulit putih. Prevalensi PACG juga meningkat seiring usia, terutama pada keturunan China. Riwayat keluarga Peningkatan risiko PACG terhjadi pada orang ndegan riwayat keluarga PACG. Studi di populasi Eskimo menunjukkan bahwa adanya determinasi keluarga yang kuat akan kedalaman ruang anterior. Gen-gen yang bertanggung jawab pada asosiasi keluarga ini belum diketahui secara jelas. Di samping gen yang berhubungan dengan nanoftalmus, belum ada gen yang teridentifikasi sebagai predisposisi PACG. Mutasi myocilin yang bertanggung jawab untuk 2-4% POAG, tidak signifikan sama sekali dalam PACG. Fakotr ocular Kedalaman ruang anterior Kedalaman ruang anterior paling sering diukur dengan menggunakan pakimetri optik atau ultrasound. Banyak studi yang menunjukkan bahwa kedalaman ruang anterior pada sudt mata yang teroklusi atau PACG adalah 0,3-1,0 mm lebih dangkal daripada mata normal. Kedalaman ruang anterior yang lebih dangkal terkait dengan distribusi jenis kelamin, usia, dan ras. Studi pada beberapa kelompok multietnik menujukkan bahwa perempuan memiliki k edalaman ruang anterior 0,1-2,0 mm lebih dangkal dari laki-laki. Studi populasi juga Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)9
menunjukkan bahwa k edalaman ruang anterior menurun seiring dengan usia, setidaknya hingga decade kesembilan kehidupan. Orang Eskimo menujukkan k edalaman ruang anterior yang paling dangkal di antara semua ras, walaupun k edalaman ruang anterior yang mirip dengan itu juga ditemukan pada ras kulit hitam dan ras China. k edalaman ruang anterior limbal Van Herick menunjukan bahwa k edalaman ruang anterior limbal ndapat diperkirakan dengan menggunakan slit lamp dengan mengarahkan cahaya slit lamp pada limbus temporal dengan sumber cahaya 60% dari aksis mikroskop dan membandingkan kedalaman ruang anterior dengan ketebalam kornea. Studi di Mongolia dan Singapur menenujukkan bahwa k edalaman ruang anterior limbal sama dengan 15% ketebalan kornea digunakan sebagai cut-off, sudut yang dapat teroklusi (diperiksa dengan gonioskopi) dapat diidenfikasikan dengan cut-off 25% pada hampir semua orang dengan PACG. Hiperopia Studi dari berbagai kelompok etnis menunjukkan bahw apanhang aksial mata dengan PACG 0,5-1,0 mm lebih pendek daripada populasi control. Panjang aksial yang lebih pendek ini kemudian diterjemahkan ke dalam refraksi hiperopik dengan mata PACG memiliki rata-rata kesalahan refraksi sebesar 1 D lebih hiperopia daripada orang normal. Hiperopia adalah salah satu faktor risiko PACG, dan populasi Indoa selatan dengan hiperopia yang lebih dari 2 D memiliki risiko PACG 3,7 kali lebih besar dibanduinghkan dengan merekja yang kesalahan refraksinya 2 D. ketebalan lensa Studi mengkonfirmasikan bahwa mata dengan PACG atau AAC (acute angle-closure), sebagaimana mata yang lainnya dengan AAC unilateral, mmiliki lensa yang 0,2-0,6 mm lebih tebal dari pada kontrol, walaupun studi di India selatan menujukkan ketebalan lensa yang sangat mirip antara mata normal, mata PACG, dan mata dengan sudut yang teroklusi. Kelompok yang lebih rentan terhadap PACG cendernung memiliki lensa yang lenih tebal. Populasi Eskomo 0,3-0,4 mm lebih tebal di bandingkan dengan orang kulit hitam dan kulit putih, dan ketebalan lensa orang keturunan China 0,1-0,2 mm lebih tebal dibandingkan dengan orang kulitb putih dan kulit hitam. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)10
kurvatura kornal yang beradius kecil Kurvatura kornea dengan radius yang lebih kecil menyebabkan ruang anterior yang lebih padat, yang berhubungan dengan peningkatan risiko sudut tertutup. Kebanyakan studi menemukan bahwa PACG. Perbedaan rasial tidak bermakna pada hal in, walaupun perempuan pada semua ras memiliki radius kurvatura kornea yang lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Sistemik Belum diketahui adanya hubungan penyakit sistemik dengan munculnya PACG. Studi populasi di India Selatan menemukan bahwa tidak ada hunungan antara PACG dengan diabetes mellitus ataupun hipertensi. (8)
E. Fisiologi AH adalah cairan transparan yang terdapat pada ruang anterior dan posterior. AH dibentuk oleh epitel siliaris (CE) pada prosesus siliaris yang terproyeksi dari badan siliaris (CB). AH dibentuk oleh transfer selektif dari zat terlarut (ion, glukosa, askorbat, asam amino, dan lainlain) dan air dari darah yang menyeberang menuju CE. Cairan ini secara berkesinambungan disekresi oleh CE dan mula-mula memasuki ruang posterior, kemudian bergerak ke depan melalui ruang sempit antara lensa dan iris dan memasuki ruang anterior melalui pupil. Komposisi AH memiliki komposisi unik yang berbeda dari komposisi plasma. AH terdiri dari ion-ion (Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cl-, HCO3-), kristaloid atau zat-zat berberat molekul rendah (glukosa, askorbat, laktat, piruvat, urea, H2O2, asam amino), koloid atau zat berberat molekul itnggi, seperti protein-protein, lemak, dan zat-zat yang aktif secara biologis (katekolamin, eikosanoid, hormone), juga zat-zat lainnya seperti asam hyaluronik, hlayuronidase. Komponen-komponen ini berasal dari plasma (dengan difusi pasif) dan CE (dengan sekresi aktif), juga berasal dengan difusi atau sekresi dari jairngan sekitarnya, seperti epitel kornea, lensa kristalin, TM, iris, dan vitreus. Jaringan-jaringan ini menggunakan banyak nutrien yang ada di AH, misalkan sumber utama glukosa untuk kornea dan lensa adalah AH. Jadi, komposisi AH tergantung dari hakikat cairan yang disekresikan dari CE ditambah dengan pertukaran aktif dan pasif yang terjadi di janringan-jaringan sekitar. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)11
Perubahan komposisi AH terjadi secara berkesinambungan. Misalkan lensa mengubah AH dengan menggunakan glukosa, asam amino, dan zat-zat terlarut lainnya dan melepaskan zatzat metabolic, seperti asam laktat. Komposisi AH yang normal mencerminkan kenormalan fungsi struktur yang berperan dalam produksi dan drainase AH. Komposisi AH dimodulasi oleh banyak faktor. Ketidakseimbangan dalam komposisi AH diperkirakan menjadi penyebab ataupun konsekuensi kondisi patologis di ruang anterior. Analisis biokimia AH menunjukkan bahwa protein lensa dengan berat molekuler tinggi sebagai penyebab peningkatan IOP pada glaukoma fakolitik, yaitu onset akut glaukoma sudut terbuka yang disebabkan oleh perembesan katarak matur atau hipermatur dan konsentrasi asam askorbat pada AH yang berbeda pada subjek normal dan pada pasien dengan glaukoma kronik sudut terbuka. Beberapa studi menunjukkan bahwa AH mendukung proliferasi sel-sel pada jaringan yang dikultur, karena kemungkinan AH sebagai modulator pertumbuhan yang disebabkan adanya faktor-faktor pertumbuhan yang ada di AH. AH diperkirakan sebagai medium pertumbuhan yang di dalamnya terdapat faktor-faktor stimulan dan siototoksik yang memperngaruhi peruubahan pada jumlah, morfologi, dan fungsi sel. Pemahaman akan fungsi modulator pertumbuhan ini memunculkan kemungkinan bahwa abnormalitas sistem modulasi dalam AH dapat menyebabkan perubahan kapasitas proliferasi, komponen biosintetik, dan kemampuan bertahan dari TM yang menyebabkan meningkatnya resistensi terhadap aliran keluar.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)12
Fungsi AH AH adalah cairan nutrisi yang berfungsi sebagai pengganti darah bagi kornea dan lensa yang avaskuler, vitreous anterior dan juga bagi TM yang berada pada jalur keluarnya. AH menyuplai zat gizi dan aksigen bagi jairngan-jaringan avaskuler ini melalui proses difusi. AH juga mengeliminasi zat sisi metabolic dari jaringan-jaringan avaskuler ini melalui pembentukannya yang berkesinambungan dan drainasenya dari mata menuju pembuluh darah vena. Tekanan hidrostatik AH menghasilkan TIO, yang menyebabkan mata untuk mempertahankan struktur optic. AH juga berfungsi untuk mentransportasikan askorbat,
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)13
sebuah agen antioksidan di ruang anterior. Adanya immunoglobulin pada AH menunjukan peran Ah dalam respon imun sebagai pertahanan terhadap serangan patogen. Anatomi dan struktur CB CB adalah sebuh struktur muskoloepitelial, yang terdiri dari otot siliaris dan prosesus siliaris. Otot siliaris bertanggung jawab untuk akomodasi dan prosesus siliaris bertanggung jawab terhadap produksi AH. Ada tiga bagian otot siliaris, yaitu otot longitudinal, radial, dan sirkular. CB melekat pada lensa dengan jaringan ikat yang disebut zonula Zinn atau zonula siliaris. Otot siliaris, dengan relaksasi atau kontraksi, meningkatkan atau menurunkan ketebalan lensa kristalin untuk memfokuskan cahaya pada retina untuk menghasilkan pangdan dekat atau jauh (akomodasi). Bagian permukaan dalam CB, seperti bagian yang berhada[an dengan ruang posterior, ditutupi dengan epitel berlapis ganda. AH dibentuk oleh epitel ini. Ada dua region yang berbeda: sepertiga anterior depan terdiri dari permukaan yang undulated dan disebut pars plicata, sementara dua pertiga posterior dinamakan pars plana. Sekitar 70 radial ridges (prosesus siliaris) muncul ke arah dalam dari region pars plicata. Setiap prosesus bertinggi 1 mm, 2 mm panjang anteroposterior, dan 0,5 mm lebarnya. Prosesus siliaris memiliki banyak pembuluh darah, dan kemungkinan adalah bagian dengan vaskularisasi terbanyak di mata. CE terdiri dari lapisan dalam epitel nonpigmen (NPE) dan lapisan luar epitel berpigmen (PE). Endotel kapiler siliaris sangat terfenestrasi, sehingga ultrafiltrasi darah mengisi stroma, yang mengandung semua komponen plasma, kecuali sel darah. AH terbentuk sebagian besar dari transport ion aktif dan zat terlaut yang menyeberangi CE. Transport selektif zat terlaut terjadi dari cairan melewati bilayer menuju ruang posterior dan hal ini menyebabkan aliran osmotic air, menghasilkan AH. Ion dan zat terlarut lainnya ditarik dari darah oleh sel PE melalui gap junction ke dalam sel NPE. Dari NPE, ion dan zat terlarut kemudian disekresikan menyeberangi membran basolateral ke dalam ruang posterior. Sel NPE juga menyerap beberapa zat terlarut dan air dari AH kembali menuju stroma. Proses sekresi dan reabsorpsi menentukan net rerata sekresi AH ke dalam ruang posterior.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)14
Bilayer CE terdiri dari sel-sel non-pigmen (NPE) kolumnar dan sel-sel epitel berpigmen (PE) kuboid. Permukaan basal sel-sel NPE berbatasan dengan ruang posterior, dan permukaan basal sel-sel PE berada di atas stroma CB. Apeks sel-sel PE dan NPE terhubung melalui gap junction. Proses sekretorik diarahkan dari apeks menuju dasar sel-sel NPE sepanjang kanal interselular lateral, yang ‘ditutup’ pada ujung apical oleh kompleks junctional yang padat, tight junction. PE adalah kesinambungan ke arah depan dari epitel pigmen retina, sedangkan lapisan NPE adalah kesinambungan neuroepitelium yang darinya berasal sel-sel retinal berasal. Epitel CB adalah barier yang sangat penting untuk membatasi perpindahan zat dari darah menuju mata. Tight junction antara sel-sel NPE bertindak sebagai barier permeabilitas dan mencegah difusi dari makromolekul yang ada di dalam darah (seperti protein) ke dalam AH. Tight junction menghambat makromolekul dari AH.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)15
Perbedaan jelas antara komposisi plasma dan AH menunjukkan bahwa zat-zat mengalami hambatan dari satu cairan ke cairan lainnya. Tiga tahapan pembentukan AH: 1. ultrafiltrasi melewati kapiler-kapiler terfenesterasi dari prosesus siliaris menuji stroma siliaris.Ultrafiltrat ini mengandung protein plasma dalam persentasi tinggi. Dinding kapiler merupakan barier bagi beberapa protein plasma. Studi dinamik protein plasma ekstravaskular dalam prosesus siliaris mengindikasikan bahwa net filtrat dari kapiler mengandung sekitar 4% albumin dan 3% gammaglobulin dalam plasma. Konsentrasi protein yang tinggi di stroma siliaris mengurangi perbedaan tekanan onkotik transkapiler, yang penting dalam proses filtrasi dari kapiler-kapiler. 2. sejumlah zat terlarut ditransportasikan dari ultrafiltrat ke ruang posterior menyeberangi bilayer CE. Proses ini adalah ektraksi material (elektrolit-elektrolit dan zat lainnya, seperti glukosa, asam amino, askorbat) oleh bilayer CE, terhadap gradien konsentrasi, dengan cara Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)16
difusi, atif atau yang diperantarai karier. Molekul-molekul besar yang terbawa dalam darah, seperti protein-protein, tidak dapat melewati barier darah-aqueous. 3. gradien osmotik ditentukan oleh transfer aktif dan akumulasi ion dan zat terlarut lainnya ke dalam ruang posterior memfasilitasi aliran pasif air ke dalam ruang posterior oleh osmosis. Regulasi Sekresi AH Aliran AH berfluktuasi menurut irama sirkadian dengan perbedaan rerata aliran selama siang dan malam hari. Studi pada manusia menunjukkan bahwa pada malam hari, aliram AH, aliran keluar flurofotometrik, dan IOP berkurang 49, 45, dan 16%. Aliran AH pada malam hari dapat ditingkatkan dengan administrasi epinefrin eksogen, namun tak dapat dikurangi dengan administrasi timolol. Hal ini menunjukkan bahwa aliran AH berada di bawah kendali adrenergic. Prinsip utama dari farmakoterapi glaukoma didasarkan pada proses neurohormonal yang mengontrol dinamika AH. Hormone sistemik atau local, dan mediator sistem saraf otonom terlibat dalam proses pembektukan AH dan drainasenya. Adanya reseptor B-adrenergik didominasi oleh subtype B2. Administrasi timolol, baik secara sistemik ataupun topical, mengurangi pembentukan AH dan menurunkan IOP. Drainase AH AH memasuki ruang posterior dari prosesus siliaris dan mengalir di sekitar lensa dan melalui pupil menuju ruang anterior. Dari ruang anterior, AH meninggalkan mata dan masuk ke sirkulasi vena dengan dua jalur keluar. 1. jalur konvensional, anterior, trabekular Pada jalur ini, AH melalui TM dengan menyeberangi dinding dalam kanal Schlem dan jemudian masuk ke kanal pengumpul, vena aqueous dan vena siliaris anterior. Kanal Schlem atau sinus vena sclera adalah jaringan sirkular. Kanal ini adalah ruangan sirkular yang dilapisi endotel, membentuk pembuluh limfatik dan berada di limbus. Bagian dalam kanal dibentuk oleh tiga lapisan TM. Lapisan pertama adalah uveal meshwork, yang merupakan ekstensi dari otot siliaris. Lapisan kedua terdiri dari beberapa lapisan jaringan ikat yang memanjang diantara skleral spur dan kornea perifer. Lapisan ketiga adalah jaringan juxtakanalikular, adalah meshwork endothelial dan dinding dalam kanal Schlemm.Jaringan ini terdiri dari kolagen dan serat elastic, jaringan dasar dan beberapa lapisan endotel yang terangkai dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)17
matriks glikosaminoglikan, proteoglikan, dan makromolekul lainnya. Tempat resistensi aliran keluar yang terutama adalah aringan juxtakanalikular (plexus kribriform) dan dinding dalam kanal Schlemm. 2. jalur unkonvensional, posterior, uveoskleral Aliran AH dari sudut ruang menyeberangi dasar iris dan permukaan anterior otot siliaris, melalui jaringan ikat di antara muscle bundle otot siliaris. Ruang-ruang ini terbuka into suprakoroid yang darinya cairan dapat melalui sclera atau ruang perivaskular ke dalam jaringan episklera dan kemudian ke sirkulasi vena. Tekanan di ruang suprakoroid lebih rendah daripada di ruang anterior setidaknya beberapa mmHg di bawah kondisi normal, sehingga menguntungkan aliran ini. Sebagian kecilAH mengalir ke dalam vitreus dan kemudian diabsorbsi ke dalam bagian posterior mata, beberapa AH diserap oleh otot siliaris.
Persamaan tersebut menjelaskan aliran aqueous (F) untuk memfasilitasi aliran keluar ( C), dan delta P, yaitu perbedaan antara IOP (P) dan tekanan vena episkleral (Pe), yaitu tekanan dalam pembuluh darah yang ke dalamnya AH mengalir. Rerata nilai normal untuk fasilitas al8iran keluar pada manusia diperkirakan 0.25 l.min-1.mmHg-1. TEKANAN INTRAOKULAR IOP adalah tekanan hidrostatik yang ditimbulkan oleh AH. Rerata IOP pada manusia adalah 15 mmHf dengan nilai tertinggi dan terendah yang diterima adalah 21 mmHg dan 10,5 mmHg. IOP dapat berbeda antar individu bahkan antara mata pada individu yang sama. Tekanan ini tiatur oleh beberapa faktor, seperti rerata sekresi AH, resistensi aliran keluar dan tekanan vena episkleral. (9) Pengukuran IOP memiliki peran sentral dalam pemeriksaan pasien glaukoma. Perbedaan rasial ditemukan di antara ras Afrika-Karibia dan Afrika Amerika yang memiliki IOP yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lain. Fluktuasi diurnal IOP hingga 5
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)18
mmHg terjadi pada orang normal dan berfluktuasi dari 10 hingga 30 mmHg pada pasien glaukoma yang tidak diterapi. Fluktuasi IOP ini membenarkan penggunaan kurva IOP diurnal pada pasien-pasien glaukoma yang terpilih. IOP pada pasien glaukoma meningkat karena adanya perubahan ultrastruktural dalam TM yang menyebabkan penurunan fasilitasi aliran keluar AH dan bukan dikarenakan produksi berlebih AH yang terjadi seiring usia. Pasien dengan riwayat glaukoma pada keluarga juga cenderung memiliki IOP yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat keluarga dengan glaukoma. Faktor yang berhubungan dengan peningkatan IOP termasuk perubahan postural, maneuver valsava, kedipan keras penggunaan anestesis umum (ketamin, suksinilkolin), tembakau, peningkatakn tekanan vena episklera, penyakit Grave, penggunaan antikolinergik, dan steroid. Faktor yang berhubungan dengan penurunan IOP termasuk aktivitas fisik yang berlebih, asupan alcohol, marijuana, kehamilan, asidosis metabolic, dan anestesi umum selain ketamin dan suksinilkolin. IOP diketahui sebagai satu-satunya faktor yang dapat dimodifikasi untuk memperlambat progresi pada pasien hipertensi ocular dan glaukoma. Oleh karena itu, sebagian besar intervensi terapi (obat-obatan, laser, bedah) untuk glaukoma ditujukan untuk menurunkan IOP. Pengukuran klinis IOP telah mengalami perkembangan dari pengukuran tekanan dengan digital tonometri indentasi, hingga tonometri aplanasi dan tonometri non-kontak. (8)
F. Patogenesis Glaukoma adalah penyebab terutama kebutaan yang ireversibel, yang ditandai dengan hilangnya sel ganglion retina (retinal ganglion cells, RCG) dan akson-aksonnya. Neuropati optic glaukomatus ditandai dengan perubahan di optic disc dan defek lapang pandang. Perubahan morfologik pada optic disc adalah penipisan rim neuroretinal, palor dan cupping progresif yang terjadi pada optic disc. Pendarahan yang berhubungan dengan defek lapisan serat saraf retina mendahului adanya perubahan-perubahan kongfigurasi di optic disc. Defek lapang pandang pada glaukoma sering terdeteksi hanya setelah 40% akson-akson telah rusak.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)19
Patofisiologi neuropati optic glaukomatus belum dipahami sepenuhnya; lokasi kerusakan yang primer adalah badan sel ganglion atau akson-aksonnya. Di manapun letak kerusakan awalnya, akan menghasilkan kerusakan RGC dan akson-aksonnya yang mengakibatkan kehilangan penglihatan yang ireversibel. Glaukoma adalah kelompok penyakit yang heterogen dan penyebabnya multifaktorial. Banyak faktor yang terjadi baik pada badan sel atau pada akson-aksonnya dipercaya menyebabkan kematian RGC. Menurut beberapa teori, faktor-faktor seperti peningkatan IOP dan disregulasi vaskular secara primer berkontribusi pada gangguan awal selama atrofi glaukomatus dalam bentuk obstruksi aliran aksoplasmik dalam akson RGC pada lamina cribrosa, perubahan mikrosirkulasi saraf optic pada tingkatan lamina dan perubana pada glial di lamina dan jaringan ikat. Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan sekunder termasuk kerusakan eksitotoksik yang disebabkan oleh glutamate atau glisin yang dilepaskan dari neuron-neoron yang mengalami kerusakan dan kerusakan oksidatif akibat produksi berlebih dari NO dan ROS lainnya. Kehilangan neuronal akibat apoptosis Perubahan karakteristik pada kepala saraf optic adalah cupping optic disc, di ,mana aksonakson sel ganglion sudah hilang. Kematian akson-akson berhubungan dengan kehilangan badan-badan sel ganglion di retina dan terminal-terimnal akson sel ganglion di badan genikulata bagian dorsal dan lateral. Kematian RGC pada mata manusia yang glaukomatus terjadi oleh apoptosis. Caspase, keluarga protease sistein yang spesifik aspartil adalah regulator sentral dari apoptosis. Enzim-enzim ini ada dalam bentik zimogen yang tidak aktif, dan ketika diaktifkan akan menginisiasi kaskade yang menyababkan proteolisis yang menyebabkan kehancruan sel. Aktivasi caspase melibatkan jalur ekstrinsik dan intrinsic. Jalur ekstrinsik melibatkan interaki antara ligan-ligan spesifik seperti TNF-a dengan reseptor-reseptor permukaan sel proapoptosis, sementara jalur intrinsic diatur oleh molekul-molekul yang dilepaskan dari mitokondria, Peningkatan IOP Hingga kini, diyakini bahwa peningkatan IOP memiliki peran utama dana apoptosis RGC dan memang benar bahwa penurunan IOP yang sebelumnya meninggi membantu perlambatan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)20
perubahan degenerative pada glaukoma. Akan tetapi, antara pasien-pasien glauka hanya sepertiga hingga setengahnya yang mengalami peningkatan IOP pada stadium-stadium awal. Rata-rata 30-40% pasien dengan defek lapang pandang glaukomatus didagnosis dengan glaukoma jenis tensi normal. Oleh karena itu, peningkatan IOP kini diyakini sebagai faktor yang penting, namun bukan faktor satu-satunya yang bertanggung jawab dan kerusakan saraf optic. Peningkatan IOP sering diakibatkan oleh perubahan dinamika AH karena perubahan TM yang menyebabkan gangguan drainase AH. TM menunjukkan perubahan-perubahan sitokeletal, perubahan selularitasm dan perubahan matriks ekstraselular. Ditemukan korelasi positif yang signifikan antara IOP dan kematian RGC pada tikus yang kataral. Korelasi positif juga ditemukan antara tingkat dan durasi peningkatan IOP dan kehilangan akson RGC. Kehilangan setengah sel ganglion terjadi selama dua-tiga bulan pertama setelah pengingkatan IOP. Kematian RGC dalam eksperimen, berlangsung karena proses apoptosis dan peningkatan IOP dapat secara langsung menginduksi kematian RGC dengan apoptosis. Kematian RGC setelah paparan IOP yang meingkat terjadi dalam dua fase. Fase pertama terjaid sekitar tiga minggu, dengan kehilangan sekitar 12% RGC per minggu. Fase ini kemudian diikuti oleh fase kehilangan neuronal kedua yang lebih lambat.mekanisme utama dalam kehilangan neuroal pada fase pertama adalah apoptosis, sedangkan difase kedua, diakibatkan oleh efek toksik dari neuron-neoron yang berdegenerasi. Mekanisme molecular apoptosis RGC akibat peningkatan IOP Kemungkinan mekanisme apoiptosis RGC diperkirakan berhubungan dengan perubahan komponen matriks ekstraselular di retina. Matriks ekstraselular memiliki kolagen I dan IV, transforming growth factor B2, dan matriks metalloproteinase (MMP)-1. Matriks ekstraselular bertanggung jawab dalam menyediakan signal-signal dengan mengontrol fungsi sel dan keberlangsungan sel,. Oleh karena itu, perubahan-erpubahan spesifik di matriks ekstraselular dapat menganggu interaksi antara sel-sel dan sel-matriks ekstraselular, yang menyebabkan terpicunya apoptosis. MMPs adalah enzim-enzim pendegradasi matrik yang utama. Peningkatan aktivitas MMP-9 dideteksi pada apoptosis RGC yang apoptosis bersamaan dengan penurunan deposisi laminin di lapisan RGC menunjukkan adanya peningkatan degradaso di matriks ekstraselular di retina Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)21
akibat peningkatan IOP. Laminin adalah komponen matriks ekstraselular yang penting, yang memfasilitasi perlekatan sel dan keberlangsungan sel dengan berinteraksi dengan ointegrin selular. Disintegrasi dan kehilangan laminin sebafai akibat peningkatan protease-protease, seperti MMp-9 menyebabkan defisiensi komunikasi sel-matriks ekstraselularm sehingga mendorong terjadinya apoptosis. Menurut penjelasan lain, peningkatan IOP menyebabkan kerusakan mekanis terhadap aksonakson RGC di region kepala saraf optic yang berkembang kepada kerusakan retrograde badan RGC. Kerusakan badan RGC menyebabkan peningkatan sekresi MMPs, yang kemudian menyabbakan perubahan matriks ekstraselular dan apoptosis. Teori alternative lainnya menjelaskan bahwa peningkatan ekspresi MMP sebagai akibat peningkatan IOP dapat dimediasi secara tidak langsung oleh neurotransmitter eksitasi, glutamate. Peningkatan regulasi reseptopr glutamate di sel-sel retina berhubungan dengabn peningkatan ekspresi MMP-9. Juga ditemukan bahwa paparan peningkatan IOP menyebabkan aktoivasi astrosit di retina, yang menyebabkan pelepasan MMPs. Faktor-faktor pertumbuhan dan reseptor-reseptornya diketahui untuk meregulasi fungsi selular, organisasi sitoskeletal dan komponen matriks ekstraselular di jaringan ocular. TM, anstrosit saraf optic, sel-sel lamina cribrosa mengekspresikan berbagai faktor-faktor pertumbuhan, seperti faktor neurotropin dan TGF-B2. Faktor-faktor pertumbuhan ini berperan penting dalam mempengaruhi perkembangan normnal dan fungsi seluler di TM sebagaimana di retina. Peningkatan IOP dapat memperburuk suplai brain-derived neutrophin factor (BDNF) pada RGC, yang penting untuk regulasi metabolisme sel dan kelangsungan sel. Defisiensi BDNF lebih jauh dapat mengakibatkan progresi apoptosis RGC. Efek-efek ini dimodulasi oleh peningkatan pelepasan TGF-B2 yang duiaktifkan oleh astrosit sebagai respon peningkatan IOP. Studi menunjukkan bahwa peningkatan regulasi TNF-A yang segera pada tikus dengan peningkatan IOP yang diinduksi secara eksperimental diikuti oleh aktivasi mikroglial, kehilangan saraf optic oligodendrosit, dan penundaan (delayed) kehilangan RGC. Peningkatan regulasi TNF-A pada astrosit uga dideteksi pada kepala saraf optic manusia yang glaukomatus dan ekspresi ini paralel dengan progresi neurodegenerasi. Stimulasi TNF-A berkontribusi pada kerusakan neuronal dengan memberikan efek langsung pada akson-akson RGC dan dengan menginduksi NO sintase-2 di astrosit. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)22
Insufisiensi vaskular Peningkatan IOP berperan penitng terhadap keusakan RGC pada mata yang glaukomatus, namun terapi control IOP pada banyak pasien tidak cukup untuk meningkatkan fungsi visual dan menghentikan perkembangan proses penyakit. Di samping itu, perubahan glaukomatus ditemukan pada individual dengan IOP yang normal, yang menunjukkan bahwa ada faktorfaktor lainnya yang berperan dalam inisiasi dan perkembangan perubahan glaukomatus. Asosiasi positif ditemukan pada glaukoma dan migraine dan abnormalitas vaskular perifer, yang melibatkan disregulasi serebral dan perdarahan perifer. Peningkatan sensitivitas terhadap vasokonstriksi yang dimediasi endotelin-1 diimplikasikan dalam anormalitasabnormalitas vaskular ini. kemungkinan peran vasokonstriktor hjuga diduga dalam pathogenesis glaukoma, sebagaimana kadar endothelin-1 dideteksi dalam AH dan plasma pasien glaukoma. Bukti selanjutnya menunjukkan hubungan yang positif antara glaukoma dan insufisiensi vaskular ditemukan dengan MRI pasien glaukoma yang menunjukkan iskemia pan serebral dan peningkatan insidensi infark serebral. Penuaan juga dianggap sebagai faktor ririko penting untuk glaukoma dan telah didokukemtasikan adanya penurunanperfusi serebral dan ocular yang progresif yang terjadi seriiring bertambahnya usia.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)23
Pada mata yang sehat, aliran darah yang konstan diperlukan retina dan kepala saraf optik untuk memenuhi kebutuhan metabolic mata yang tinggi. Untuk menjaga aliran darah yang konstan, ada sebuah mekanisme autoregulasi yang efisien yang terjadi di arteri, arteriol, dan kapiler yang dependen terhadap tekanan darah dan IOP. Mekanisme autoregulasi pada pasien lanjut usia tidak sebaik pada pasien muda. Hipotesisi ini didukung oleh salah satu studi ynag menunjukkan bahwa pada tikur muda yang diinduksi dengan hipertensi ocular, terjadi hiperfusi koroid, namun hiperfusi ini tidak ditemukan pada tikus yang lebih tua. Defisiensi mekanisme autoregulasi menyebabkan iskemia yang berkontribusi dalam perkembangan keruskana neuronal glaukomatus yang terjadi seiring usia. Pasien POAG dan NTG juga menunjukkan penurunan kronik dari aliran darah kepala saraf optik dan retina, terutama dengan orang-orang dengan tekanan darah sistemik yang rendah yang menyebabkan penurunan tekanan perfusi ocular. Penurunan tekannan perfusi diastolic kini dikenal sebagai salah satu faktor ririko pointing untuk POAG. Mekanisme molecular yang menyebabkan kematian RGC karena disregulasi vaskular belum dipahami sepenuhnya. Insufiensi vaskular dapat secara langsung merusak dan menyebabkan apoptosis RGC. Peningkatan ruglasi ekspresi MMP-9 dalam leukosit yang bersirkulasi ditemukan pada pasien dengan NTG vasospastik. Peningkatan regulasi MMP dapat merupakan respon langsung terhadap cedera iskemik atau dapat merukana respon sekunder dari peningkatan kadar endothelin dan TNF-A. MMP yang dihasilkan leukosit yang bersirkulasi mungkin terlibat dalam pemecahan barier sebagian atau kerusakan RGC.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)24
Peran glutamate dalam kematian RGC Kematian apoptotic RGC disebabkan oleh toksisitas yang dimediasi glutamate dank arena paparan kondisi hipoksia RGC yang akan menyebabkan pelepasan glutamate. Asam amino glutamate adalah neurotransmitter esensial di SSP dan retina. Konsentrasi glutamate lebih rendah daripada konsentrasi fisologis bersifat toksik terhadap neuron tergantung dari durasi dan seberapa besar peningkatan ko nsentrasinya. toksisitas glutamaty ini pertama kali diutarakan oleh Lucas dan Newhouse pada 1957 yang mengamati adanya kersakan yang parah dari RGC setelah injeksi subkutan glutamate pada tikus yang muda. Neurotransmisi yang diperantarai glutamate terjadi melalui reseptor ionitropik dan metabotropik.reseptor ionoitropik mencakup reseptor-reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), kianate (KA) and alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid receptor (AMPA). Reseptor metabotropik (mGluR0 adalah reseptor-reseptor G protein-linked dan dibagi dalam tiga kelompok. Eksitotoksik yang diinduksi glutamate terurama diperantarai oleh reseptor subtype NMDA. Aktivasi reseptor NMDA menyebabkan pembukaan kanal ion dan masuknya Ca dan Na ekstraselular ke dalam neuron. Toksisitas neuronal yang dimediasi glutamate dependen terhadap influx Ca ekstraselular, yang kemudian menjadi second messager untuk mengaktifkan jalur penyignallan yang pada akghirnya menyebabkan kematian sel. Administrasi antagonis NMDA pada eksperimen dapat mencegah Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)25
eksitotoksisitas yang diindduksi glutamate. Sebagai tambahan, tissue plasminogen activator (tPa) yang ada di neuron retina diperkirakan merupakan faktor endogen penting yang memfasilitasi eksitotoksisit yang diperantarai NMDA. Walaupun mekanisme ini belum jelas, diperkirakan tidak berhubungan dengan konversi plasminogen menjadi plasmin. Aktivasi reseptor metabotropik non-NMDA dapat bersifat protektif terhadap toksisitas glutamate yang dimediasi oleh NMDA.
Konsentrasi glutamate yang rendah dapat mengaktifkan reseptor AMPA-KA yang permeable Ca pada kultur RGC yang menyebabkan peningkatan Ca dan penurunan survival RGC. Pada konsentrasi kainat yang rendah, konsentasi Ca internal meningkan secara signifikan tanpa terjadi depolarisasi yang signifikan. Konsentrasi kainat yang rendah ini menyebabkan kemtian sel ganglion, yang dapat diinhibisi oleh antagonis reseptor kainat. Toksisitas yang berhubungan dengan kainat yang berasal dari influx Ca yang berlebihan juga dapat dihambat oleh poliamin dan kalsium fosfatase yang menekan influx kalsium. Jadi, aktivasi reseptor glutamate ionotropik dapat menghasikan neurotoksisitas terlepas dari neuroeksitasi. Untuk menjaga konsentrasi fisiologis dan melindugi sel ganglion darfi kematian sel eksitotoksik, diperlukan pembuangan glutamate sinaptik. Sel glial, terutama sel Muller dan astrosit, yang ada di sekitar sinaps adalah transporter glutamate yang menolong dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)26
memindahkan glutamate ekstraselular dengan memindahkannya ke interior sel glial. Dalam sel glial, glutamate diubah menjadi glutamine dengan bantuan glutamine sintetase. Glutamine bersifat non toksik dan dilepaskan oleh sel glial yang kemudian akan diangkut oleh sel nouron untuk diubah lagi menjadi glutamate dengan bantuan glutaminase. Penyimpangan dari siklus glutamate-glutamin pada retina ini ditemukan dalam model-model glaukoma pada eksperimen. Pada tikus yang glaukoa, dilaporkan adanya penurunan ambilan glutamate pada retina dan peningkatan glutaminase yang signifikan. Pada salah satu studi manusia, ditemukan penurunan kdasar transporter glutamate, ttransporter asam amino eksitatorik (EAAT)-1, dan subtype NMDAR1 yang menunjukkan bahwa kehilangan EAAT-1 pada glaukoma dapat menyebabkan peningkatan kadar glutamate pada vitreus glaukomatus dan menyebabkan pada penurunan regulasi kompensatorik dari NMDAR-1. Pada studi yang sama juga ditunjukkan bahwa injeksi intravitreal faktor neutropik yang berasal dari glial (GDNF) menyebabkan peningkatan EAAT- dan NMDAR-1. Akan tgetapi, tidak ada perbedaan kadar glumatat vitreal yang signifikan antara mata normal dan mata glaukomatus. Akan tetapi, masih belum jelas apakah eksitotoksisitas glumatat merupakan respon awal terhadap peningkatan IOP dan iskemia atau sebagai respon sekunder dari pelepasan sel-sel glial yang mati. Peran NO NO memiliki peran yang penting dan bermanfaat bagi tub uh jika disekresikan dalam kuantitas yang fisiologis, akan tetapi, kelebihan produksi NO berhubungan dengan beragam kondisi neurologis dan non-neurologis, termasuk glaukoma. NOS menghasilkan NO dengan oksidasi L-arginin dan dideteksi memiliki tiga isoform. Pada mata manusia normal, adanya NOS-1 dideteksi pada astrosit yang menyebar di kepala saraf optik yang mengindikasikan NOS-1 adalah enzim konstitutif pada glia tertentu dan NO berperan sebagai mediator fisiologis antar astrosit atau antara astrosit dan akson. Pada pasien dengan glaukoma, banyak sel menunjukkan positivitas NOS-1 p[ada permukaan vitreal, sel glial remnant dan pada sel di lamina cribrosa pada jaringan glaukomatus. Peningkatam ekspresi gen mRNA dan sintesis isoform NOS-1 di astrosit lamina cribrosa ditemukam. NOS3 adalah enzim konstitutif yang ada di sel endotel vaskular di region prelaminar kepala saraf optik dan berfungsi sebagai vasodilator. Pada mata galaukomatus, dengan menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah, induksi NOS-3 dapat memberikan efek Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)27
neuroprotektif. Peran NOS-3 pada astrosit di kepala saraf optik glaukomatus belum diketahui dengan jelas. NOS-2 adalah bentuk enzim yang dapat diinduksi, yang menghasilkan kuantitas NO yang berlebihan dalam kondisi yang beraga, seperti paparan terhadap sitokin. Kuantitas NOS-2 yang signifikan dideteksi dalam astrosit dan microglia pada kepala saraf optik pasien glaukoma. Peningkatan kadar NO ditemukan pada AH pasien glaukoma. Eksperimen hewan menunjukkan hubungan positif antara peningkatan NO ocular dengan kematian RGC.Dideteksi juga adanya abnormalitas sel-sel yang mengandung NO di TM, kanal Schlemm dan badan siliaris pada pasien dengan POAG, namun belum diketahui apakah abnormalitas ini adalah manifestasi glaukoma dan terapinya atau mendahului perkembangan penyakit. Paparan astrosit saraf optik terhadai interferon-g dan interleukin-1b pada kultur menstimulasi produksi NOS-2 dalam waktu 24 jam. TNF-A merupakan sitokin yang paling dapat menginduksi NOS-2 jika dipaparkan pada astrosit.. jadi, paparan sitokin mengubah astrosit saraf optik manusia ke dalam bentuk reaktif, yang mengandung NOS-2 dan memiliki kemampuan untuk memproduksi kuantitas NO yang neurotaksik. Di samping peran sitokin, juga ditemukan bahwa astrosit saraf optik manusia ketika dipaparkan terhadap peningkatan hidrostatik pada kukltur, mengekspresikan peningkatan NOS-2 yang mengindikasikan efek langsung dari peningkatakn tekanan untuk induksi NOS-2 di astrosit. Efek neurotoksik langsung dari NO pada RGC di saraf optik lebih lanjut dibuktikan oleh efek neuroprotektif aminoguanide, sebuah inhibitor yang spesifik NOS-2 pada tikus dengan peningkatan IOP yang kronis. Jadi, ada banyak penelitian yang membuktikan bahwa kelebihan kuantitas NO yang diproduksi astrosit dan microglia di kepala saraf optik memiliki peran krusial dalam perkembangan neuropati optik yang berhubgungan dengan glaukoma. Kelebihan NO kemudian dengan bebas masuk ke dalam sel setelah difusi. Kelebihan NO ini adalah radikal bebas bereaktivitas sedang dan setelah masuk ke dalam sel, menyebabkanproduksi radikal bebas yang bereaktif tinggi seperti peroxinitrit setelah berkombinasi dengan superoksida (sebuah produk metabolisme mitokondia). Radikal bebas yang bereaktif tinggi ini mampu menyebabkan komponen sel dan makromolekul yang massif. Stress oksidatif Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)28
Jaringan okulr dilengkapi dengan mekanisme antioksidan yang sangat efisien, yang termasuk glutathione (GSH) yang direduksi dan sistem superoksida dismutase-katalase. Asam askorbik juga berperan protektif penting dan konsentasinya yang tinggi dideteksi pada VH, kornea, sistem lakrimal, epitel kornea sentral, dan AH. Pembentukan berlebih dari radikal bebas dan stress oksidatif dikenal sebagai faktor etiopatogenetik dalam banyak penyakit ocular, seperti katarak, ARMD, dan glaukoma. Pasien-pasien glaukma menunjukkan potensi antioksidan di AH yang sangat menurun, peningkatan antibody serum terhadap glutathione-S-transferase, penurunan kadar glutathiuone plasma, dan peningkatan produk peroksidasi lipid di plasma. Disregulasi vaskular dengan menyebabkan iskemia dan reperfusi dapat merupakan proses patogenik yang fundamental dalam menginduksi stress oksidatif. Di bawah stress oksodatif, fungsi endotel berubah, terutama produksi endotelin-1 dan NO. endotelin-1 telah diidentifikasi sebagai efektor yang memungkinkan dalam POAG, karena dapat menyebabkan perubahan pada sel-sel di TM dengan menyebabkan vasokontriksi dan dengan demikian, mengubah IOP. Peningkatan kadar endotelin-1 yang signifikan telah dideteksi dalam AH pasien glaukoma dibandingkan dengan control normal. NO, di samping menyebabkan pelepasan glutamate dan toksisitas neuronal, juga bereaksi dengan anion superoksida untuk membentuk radikan peroxinitrit, yang menambah kerusakan yang diinduksi oleh stress oksidatif. Stress oksidatif adalah hasil dari akumulasi radikal bebas entah dari metabolisme aerobic atau disregulasi vaskular. Akibatnya, perubahan adhesi TM dengan protein ECM menyebabkan rearrangement sitoskeleton dan meningkatkan resistensi aliran keluar yang menyebabkan peningkatan IOP. Studi manusia menun jukkan perubahan drainase AH akibat paparan hidrogenperoksida. Perubahan yang lebih ekstensif pada sel-sel trabekular dideteksi pada lapisan TM yang dekat ruang anterior, mengindikasikan bahwa paparan terhadap substansi toksik seperti radikal bebas, pada ruang anterior memiliki peran krusial sebagai faktor patogenetik. Hasil dari beberapa penelitian hewan menyarankan kemungkinan keuntungan dari antioksidan dalam neuropati optik glaukomatus. Pada model glaukoma pada tikus, administrasi topical radical scavenger dengan golongan kelator yang teresterifikasi ion pada rangka metoxipolietilen glikol dapat menurutnkan IOP hingga 29,6%. Pada studi yang sama, kehilangan RGC pada tikus sebegai respon terhadap NMDA intravitreal, menurun ketika NMDA diadministrasikan bersama denganb scavenger radikal. BDNF dikombinasikan dengan scavenger radikal bebas dapat mebnolong RGC dari kematian pada marta tikus Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)29
dengan peningkatan IOP. Studi-studi ini mengindikasikan asosiasi stress oksidatif dan perkembangan glaukoma dan kemungkinan keuntungan antioksidan pada neuropati optik glaukomatus. (10)
G. Pemeriksaan Penunjang Tonometri Tonometri adalah pengukuran tekanan intraokular. Instrument yang paling banyak digunakan adalah tonometer aplanasi Goldmann, yang disambungkan ke slitlamp dan mengukur kekuatan yang dibutuhkan untuk mendatarkan area tertentu di kornea. (3) Saat ini, baku emas untuk mengukur IOP adalah dengan tonometer aplanasi Goldmann. Tonometer aplanasi Goldmann berkerja berdasarkan prinsip Imbert-Fick, yang menyatakan bahwa tekanan tekanan untuk mengaplanasi lapisan yang tipis dan kering dibagi oleh daerah yang diratakan (P=F/A) sama dengan tekanan yang ada dalam daerah itu. karena permukaan kornea tidak kering karena adanya lapisan tear film, diameter kepala tonometer yang mengaplanasi kornea diatur pada 3,06 mm. ketika kornea diindentasi dengan diameter kepala ini, efek tarikan kapiler dari mebniskus dari tear film ditiadakan. Kepala tonometer dibuat Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)30
dari plastic dan pada ujungnya terdapat biprisma transparan yang membagi gambar yang terlihat menjadi dua bagian semi lingkaran. Kornea dianestesi dan fluoresen diteteskan pada forniks inferior konjungtiva untuk meningkatkan visualisasi dua semi lingkaran itu. Kepala tonometer ditempelkan pada permukaan kornea. Pemeriksa harus berhati-hati agar tidak terjadi abrasi kornea dan dekompensasi kornea yang terjadi karena penggunaan anestesi topical. Ujung tonometer harus selalu diusap dengan larutan hydrogen peroksida atau dengan alcohol isopropyl 70% untuk mencegah infeksi dan dikeringkan sebelum digunkana unruk mencegah lepuhan kimiawi pada kornea. Instrument ini harus dikalibrasoi 2 kali per tahun. Pengukuran IOP dengan tonometer aplanasi Goldmann terbatas pada astigmatisme kornea yang lebih dari 3 D. Kemungkinan didapatkannya nilai yang melebihi IOP sebenarnya (overestimation):
terlalu banyak fluoresen kornea yang terlalu tebal.
Kemungkinan didapatkannya nilai yang kurang dari IOP sebenarnya (underestimation):
Terlalu sedikit fluoresen Edema kornea Kornea yang tipis Waktu kontak yang berlebihan (8)
Tonometer aplanasi lainnya adalah tonometer Perkins dan Tonopen, yang keduanya portabel, dan pneumototonometer, yang dapat digumalam demhamn lensa kontak yang digunakan pada kornea yang memiliki permukaan yang tidak teratur. Tonomneter Schiotz dapat bersifat portable dan mengukur indentasi kornea yang dihasilkan oleh beban tertentu.(3) Tonometri nonkontak meratakan korena dengan menggunakan hembusan udara. Waktu yang dibutuhkan untuk meatakan kornea (dihitung dalam milisekon) kemudian dikorelasikan dengan IOP. Pengukuran onometri nonkontak memiliki tingkat keslaahan perkiraan IOP berkisar dari 1-3 mmHg.(8) Tekanan IOP normal berkisar antara 10-21 mmHg. Pada orang tua, tekanan IOIP lebih tinggi, memberikan batas atas 24 mmHg. Pada POAG, 32-50% individu yang terkena akan memiliki IOP yang normal pada saat pertama kali diukur. Sebaliknya, peningkatan IOP tidak berarti bahwa pasien memiliki POAG, karena masih perlu dilakukan pemeriksaan optik disk atau Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)31
perubahan lapang pandang untuk diagnosisnya. Jika IOP secara konsisten meningkat dengan optik disk dan lapang pandang yang normal (hipertensi ocular), pasien dapat diobservasi secara periodic sebagai suspek glaukoma. (3) Gonioskopi Sudut ruang depan dibentuk oleh hubungan antara kornea perifer dan iris, yang di antaranya terdapat TM. Konfigurasi sudut ini penting dalam regulasi aliran keluar aqueous. Lebarnya sudut ruang depan dapat diperkirakan dengan iluminasi oblik dengan pen loight atau dengan observasi slitlamp akan kedalaman ryuang anterior perifer, tapi paling baik ditentukan dengan gonioskopi, yang dapat memberikan visualisasi lain dari struktur sudut. Jika dapat memvisualisasikan keseluruhan TM, spur skleral, dan prosesus iris, maka itu berarti sudutnya terbuka. Namun, jika hanya dapat melihat garis Schwalbe atau sebagian kecil dari TM, itu berarti sudutnya sempit. Jika tidak dapat melihat garis Schwalbe, berarti sudutnya tertutup. Mata dengan myopi yang besar memiliki sudut yang lebar, dan mata yang hiperopik kecil memiliki sudut yang sempit. Pembesaran lensa seiring usia menyempitkan sudut dan berperan bagi beberapa lasus glaukoma sudut tertutup. Evaluasi optik disk Optik disk yang normal memiliki depresi senttral (cup fisiologik) yang ukurannya tergantung dari kumpulan serat-serat yang membentuk saraf optik relative terhadap ukuran pembukaan sclera yang harus dilaluinya. Pada mata hiperopik, pembukaan sclera kecil, sehingga optik cup kecil; pada mata myopi terjadi sebaliknya. Atrofi optik glaukomatus menghasilkan perubahan disk spesifik yang ditandai dengan hilangnya substansi disk, yang ddapat dideteksi sebagai pembesaran optik disk cup, berhubungan dengan pucatnya disk di aera cupping. Bentuk lainnya dari atrofi optik menyebabkan penyebaran kepucatan tanpa peningkatan cupping disk. Rasio cup-disk berguna untuk mengukur ukuran optik disk, merupakan rasio ukuran cup terhadap diameter disk, misalkan cup yang kecil adalah 0,1 dan cup yang besar adalah 0,9. Pada keadaan adanya kehilangan lapang pandang atau peningkatan IOP, rasio cup-disk lebih besar dari 0,5 atau asimetris antar kedua mata yang signifikan menandakan adanya atrofi glaukomatus. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)32
Pemeriksaan klinis optik disk dapat dilakukan dengan oftalmoskopi langsung atau dengan pemeriksaan lensa 78 diopter atau dengan lensa kointak kornea khusus yang memberikan gambaran 3 dimensi. (3) Pemeriksaan saraf optik mungkin merepresentasikan elemen terpenting dalam evaluasi klinis glaukoma karena perubahan structural pada optik disk dapat mendahului kehilangan lapang pandang yang dapat dideteksi pada kasus glaukoma. Saraf optik pada glaukoma biasnaya dideskripsikan dengan menggunakan rasio cup-disk yang diperkenalkan oleh Armaly pada 1967, yang digunakan secara luas di klinis. Rasio cup-disk berdasarkan dari tiga studi populasi, yang menyimpulkan bahwa rasio cup-disk diturunkan secara genetic, simetris pada kedua mata, dan tidak dipengaruhi usia. Rasio cup-disk juga memiliki variasi antar pengamat yang besar yang dikarenakan kurangnya cara terstandart untuk mendefinisikan parameter ini. Keterbatasan rasio cup-disk: 1. Hanya berfokus pada ukuran cup 2. Ukuran disk tidak dipertimbangkan 3. Disk dengan rasio cup-disk yang normal mungkin saja terdapat penipisan atau notching fokal 4. Perubahan fokal yang terjadi di neuroretinal rim tidak dideskripsikan Ukuran disk harus selau dipertimbangkan ketika mengevaluasi pasien dengan glaukma. Disk yang besar memiliki cup yang lebih besar dan neuroretinal rim yang lebih sempit tanpa dianggap patologis, sebaliknya disk kecil dengan cup besar biasanya patologis. Lebih lanjutm disk dengan rasio cup-disk normal dapat memiliki cup eksentrik dengan notch neuroretinal rim yang terlokalisasi. Beberapa studi telah menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara morfologi neuroretinal rim dan hubungannya dengan defek lapang pandang. Evaluasi neuroretinal rim ditunjukkan sebagai evaluasi yang lebih superior daripada rasio cup-disk dalam hubungannya dengan fungsi visual dan mampu mejmbedakan anatar disk normal dan glaukomatus. Berdasarkan ketrbatasan yang dimiliki rasio cup-disk, Spaeth mengembangkan Disc Damage Likelihood Scale (DDLS) untuk mendapatkan evaluasi yang lebih lengkap tentang saraf optik pada pasien glaukoma. Derajat keruskaan saraf optik glaukomatus DDLS berdasarkan tiga variable: diameter disk vertical (diukur pada sliplamp dengan lansa indirek 60, 66, atau 90 D), lebar radial tersempit, dan luas sirkumferensial kehilangan neuroretinal rim (diukur Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)33
dengan menggunakan oftalmoskop direk dan indirek). Disk digradasikan menggunakan sistem scoring dari 1-10, di mana 1 dianggap sebagai disk normal dan 10 dianggap sebagai keusakan disk yang parah. (8) Berikut adalah interpretasi DDLS (11):
Pemeriksaan lapang pandang Tes ketajaman pandangan adalah bagian yang penting dari evaluasi pasien glaukoma karena memberikan informasi kepada klinisi tentgang status fungsional pasien. pada stadium awal glaukoma, ketajaman pandangan masih terpelihara dan lebih tepatnya bagian tengah pandangan tetap intak hingga stadium akhir dari penyakit. Oleh karena itu, ketajaman penglihatan sendiri tidak selalu dpaat memberikan informasi yang cukup untuk mengevaluasi keparahan glaukoma. Pada glaukoma yang sangat lanjung, ketajaman pandangan dapat menjadi faktor penting dalam pemilihan terapi. (8)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)34
Pemeriksaan lapang pandang secara rutin penting untuk diagnosis dan pemantauan glaukoma. Kehilangan lapang pandang glaukomatus sendiri tidak spesifik, karena terdiri dari defek kumpulan serat saraf yang dapat ditemukan pada penyakit saraf optik lainnya, namun pola kehilangan pandangan, hakikat progresinya, dan korelasinya dengan perubahan optik disk adalah karakteristik penyakit ini. Kehilangan lapang pandnag glaukomatus secara melibatkan 30 derajat sentral dari pandangan. Perubahan yang paling awal adalah titik buta. Ekstensi ke area lapang pandang Bjerrum (15 derajat dari fiksasi) menghasilkan skotoma Bjerrum dan kemudian skotoma arkuata. Area fokal yang menbgakibatkan kehilangan pandangan yang lebih jauh jauh terjadi di dalam area Bjerrum kenal dengan skotoma Seidel. Skotoba arkuata ganda (di atas dan bawah meridian horizontal), sering disertai dengan nasal step Roenne karebna perbedaan ukuran dari dua deferk arkuata tersebut menyebabkan terobosan perifer. Lapang pandang perifer temporal dan 15 derajat sentral terjadi pada akhir penyakit ini. ketajaman penglihatan visual bukanlah indeks yang dapat dipercaya untuk memantau perkembangan penyakit ini. pada stadium akhir, mungkin terdapat ketajaman penglihatan sentral yang normal namun hanya lapang pandang 5 derajat pda setiap mata. Beberapa cara untuk mengukur lapang pandang glaukoma termasuk perimeter otomatis (seperti Humphrey, Octopus, Henson), perimeter Goldmann, analsisi lapang Friedman, dan layar tangent. Defek lapang pandang tidak terdeteksi hingga terjadi kehilangan 40% sel ganglion retina. Respon Pupil Salah satu metode untuk mengevaluasi glaukoma adalah dengan mengidentifikasi adanya relative afferent pupilary defect (RAPD). Hal ini disadarkan dari hakikat neuropati optik glaukomatus asimetrik, RAPD diharapkan dapat menentukan tingkat keparahan kondisi ini. RAPD diperiksa dengan menggunakan tes swinging flashlight (SFM). Selain itu juga dapat digunakan infrared pupilografi untuk mengidentifikasi adanya RAPD. Metode yang lebih baru, yaitu magnifier-assisted SFM (MAM), menggunakan lensa 20 D yang ditempatkan di depan mata yang diuji, menunjukka n hasil yang lebih spesifik dan sensitive daripada SFM untuk deteksi RAPD. (8)
H. Terapi Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)35
Terapi penanganan glaukoma dilakukan dengan terapi pengobatan dan terapi pembedahan dan laser. I.
Terapi pengobatan
Beta blocker Ada dua kelas beta bloker topical. A. Non selektif, yang berikatan dengan rseptor B1 dan B2, misalkan timolol maleat dan hemihidrat, levobunolol, metipranolol, dan carteolol. B. Selektif reseptor B1, yaitu betaxolol, namun kurang efektif dibandingkan dengan beta bloker non selektif, karena kebanyakan reseptor B yang ada di mata bersubtoipe B2. Namun, karena reseptor B1 juga terdapat di jantung, dan reseptor B2 terdapat di paru, maka betaxolol lebih jarang menyebabkan kesulitan napas. Di mata, jaringan target adalah epitel badan siliaris dan pembuluh darah, di mana reseptor B2 mencapai 75-90% total reseptor B. masih belum jelas bagaimana blockade reseptor B dapay menyebabkan penurunan produksi AH dan penurunan IOP. Produksi AH nampaknya diaktivasi oleh jalur siklik AMP-PKA yang dimediasi reseptor B.blokade B melumpuhkan aktivasi adrenergic pada jalur ini dengan mencegah stimulasi katekolamin oleh reseptor B, dengan demikian menurunkan siklik AMP intraselular. Hipotesis lain menyatakan bahwa B belaoker menurunkan aliran dalah ocular, sejiongga menurunkan ultrafiltasi yang diperlukan untuk prduksi AH Larutan timolol maleat 0,25% dan 0,5%, betaxolol 0,25% dan 0,5%, levobunolol 0,25% dan 0,5%, metripranolol 0,3%, dan carteolol 1% digunakan dua kali sehari dan gel timolol maleat 0,1%, 0,25%, dan 0,5% digunakan sekali sehari pada pagi hari. Kontra indikasi utama dari penggunaan beta bloker non selektif adalah penyakit jalan napas obrstruktif kronik, seperti asma, dan gangguan konduksi jantung. Ketika ada kontra indikasi medis terhadap pnggunaan analog PG atau antagonis B bloker, maka sebagai terapi lini pertama, dapat digunakan agonis reseptor adrenergic B2 atau penghambat karbonik anhidrase (CAI) topical. Agonis adrenergic B2 meningkatkan profil farmakologi dari agen simpatomimetik non selektif epinefrin dan derivatnya, dipiverin. Epinefrin merangkng reseptor adrenergic A dan B. obat ini menurunkan IOP dengan meningkatkan aliran keluar konvensional (melalui mekanisme reseptor B2) dan uveoskleral (melalui produksi PG). walaupun efektif, nanum epinefrin ditoleransi dengan buruk, terutama Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)36
karena iritasi yang terlokalisasi dan hiperemis. Dipevrin adalah prodrug epinefrin yang diubah menjadi epinefrin noleh esterase di kornea. Dipiverin ditoleransi dengan lebih baik, namun masih rentan untuk menyebabkan efek samping seperti yang ditimbulkan oleh epinefrin. Agonis adrenergic B2 klonidin efektif dalam nmenurunkan IOP namun dapat melewati sawar darah otak dan menyebabkan hipotensi sistemik, sehingga tidak lagi digunakan untuk terapi glaukoma. Apraclonidin adalah agonis adrenergic B2 yang relatif selektif yang tidak melewati sawar darah otak. Agonis adrenergic A2 Brimonidin juga agonis adrenergic A2 selektif namun bersifat lipofilik, yang memampukannya melakukan penetrasi ke kornea dengan mudah. Apraklonidin dan brimonidin menurunkan produksi AH dan meningkatkan aliran keluar uveoskleral. Keduanya berikatan dengan reseptor A2 pada pre dan post sinaptik. Dengan berikatan ke reseptor presinaptik, obat ini menurunkan jumlah neurotransmitter yang dilepaskan oleh stimulasi saraf simpatis dan dengan demikian, menurunkan IOP. Dengan berikatan ke reseptor A2 postreseptor obat ini merangsang jalur Gi, mengurangi produksi siklik AMP, sehingga menurunkan produksi AH. (12) Namun sumber lain mengatakan bahwa brimonidin, bukan apraklonidin , yang mempengaruhi aliran keluar. Apraklonidin tersedia dalam 0,5% larutan yang digunakan tiga kali sehari, dan 1% larutan yang digunakan sebelum dan sesuadah terapi laser. Apraklonidin tidak cocok untuk p[penggunaan dalam jangka waktu lama karena dapat menyebabkan takifilaksis dan insiden terjadinya reaksi alergi yang tinggi. Brimonidin tersedia dalam larutan 0,2% dan digunakan dua kali sehari, dapat digunakan sebagai terapi lini terpata atau sebagai agen tambahan. (3) CAI Perkembangan CAI topical didorong oleh karena profil efek samping dari CAI oral. Dorzalamid dan bronzolamid bekerja dengan menghambat karbonik anhidrasi (isoenzim II), yang ditemukan pada epitel badan siliaris, sehingga menurunkan pembentukan ion bikarbonat, yang menrunkan transport cairan, dengan demikian, IOP. (12) Namun demikian, potensi dari sediaan topical memberikan kurang kuat jika dibandingkan dengan administrasi sistemik.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)37
Dorzalamid tersedia dalam sediaan larutan 2% dan brinzolamid tersedia dalam larutan 1% yang digunakan dua hingga tiga kali sehari. Efek samping terutama adalah rasa pahit sementara dan blefarokonjungtivoitis alergi. Acetalozamid adalah penghambat karbonik anhidrase sistemik yang paling banyak digunakan, selain diklorfenamid dan mertazolamid, yang digunakan pada glaukoma kronik ketika terapi topical tidak cukup efektif dan pada glaukoma akut ketika IOP sangat tinggi sehingga harus dikontrol secepatnya. Acetalozamid dapat menekan produksi AH hingga 4060%. Acetalozamid diberikan per oral dengan dosis 125-250 mg hingga empat kali sehari, atau secara intravena (500 mg). (3) Analog PG Karena administrasinya yang satu kali sehari, rendahnya insiden efek samping sistemik, dan efek menurunkan IOP yang poten, analog PG telah banyak digunakan untuk menggantikan antagonis reseptor adrenergic B sebagai terapi lini pertama glaukoma. Analog PG misalkan latannoprost, travoprost, dan bimatoprost. PGF2A menurunkan IOP namun memunculkan efek samping local yang tak dapat ditoleransi. Mpdifikasi struktur kimia PGF2A menunculkan anaog dengan profil efek samping yang lebih dapat diterima. Analog PGF2A menurunkan IOP dengan memfasilitasi aliran keluar AH melalui jalur aliran keluar uveoskleral.PGF2A dan analognya (prodrug yang dihidrolisis menjadi PGF2A) berikatan ke reseptor FP yang berhubngan dengan Gq11 dan kemudian ke jalur PLC-IP3-Ca2+, yang aktif pada sel otot siliaris. Sel-sel lain di mata juga mengekspresikan FP reseptor. Teori lain mengatyakan bahwa PGF2A menurunkan IOP dengan menrubah tensi otot siliaris sheingga sel-sel TM melepaskan metaloproteinasie matrix dan materi matriks eksltraselular kemudian dicerna, sehinga meningkatkan aliran keluar. (12) Bimatoprost 0,003%, latanoprost 0,005%, dan travoprost 0,004% digunakan sekali setiap malam, dan unoproston 0,15% digunakan dua kali sehari. Semua analog PG menyebabkan hiperemis konjungtiva, hiperpigmentasi kulit periorbital, pertumbuhan bulu mata, dan iris yang berwarna lebih gelap. Analog PG juga jarang berhubungan dengan reaktivasi uveitis dan keratitis herpes dan dapat menyebabkan edema macula pada orang-orang yang terpredisposisi. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)38
Agen parasimpatomimetik Golongan ini meningkatkan aliran keluar AH dengan kerjanya pada TM melalui kontraksi badan siliar. Pilocarpin tidak digunakan secara umum sejak penemuan analog PG, namun dpaat berguna pada beberapa p[asien. Pilocarpin digunakan dalam larutan 0,5-6% yang diberikan empat kali sehari atau gel 4% pada saat sebelum tidur. Karbakol 0,75-3% adalah agen kolienergik alternative. Agen parasimpatomimetik menyebabkan miosis dengan pandangan kaburm terutama pasien dengan karak, dan spasme akomodasi yang akan sanghat mengganggu bagi pasien yang lebih musa. Ablasi retina adalah efek samping yang serius, namun jarang terjadi. Agen hiperosmotik Agen hiperosmotik menyebabkan darah menjadi hipertonik, sehingga menarik air dari vitreous dan menyebabkannya menciut dan menurunkan produksi AH. Penurunan volume vitreous membantu terapi glaukoma sudut tertutup akut dan glaukoma malignan ketika terjadi dislokasi anterior dari lensa kristalin menyebabkan penutupan sudut (glaukoma sekunder sudut tertutup). Gliserin oral, 1 cc/kgBB dalam 50% larutan dingin dicampurkan dengan jus lemon, adalah agen yang paling sering digunakan, namun harus digunakan hati-hati pada pasien dengan diabetes mellitus. Sebagai alternative, dapat digunakan isosorbid oral dan urea atau manitol intravena (3) Toksisitas dalam terapi glaukoma Spasme badan siliaris adlah efek kolinergik muskarinik yang dapat menyebabkan myiopa dan perubahan refraksi karena kontraksi itris dan badan siliaris. Sakit kepala dapa tejadi karena kontraksi iris dan badan siliaris. Zat-zat ynag berkaitan dengan epinefrin, efektif dalam penurunan IOP, dapat menyebabkan fenomena vasokontriksi-vasodilatasi yang menyebabkan mata merah. Alergi ocular dfan kulit karena epinefrin topical, maupun prodrugnya, apraclonidine dan brimonidine sering terjadi. Nrimonidin lebih jarang menyebabkan alergi ocular, sehuingga lebih sering digunakan. Obat-obatan ini dapat menyebabkan depresi SSP dan apnea pada neonates dan dikontraindikasikan pada anak berusoia di bawah 2 tahun. (12) Absorpsi sistemik dari obat yang berkaitan dengan epinefrin dan antagonis reseptor B dapat menyebabkan semua efek samping seperti yang ditimbulkan pada adminsitrasi sistemik. Penggunaan CAI memberikan efek samping lemas, lelah, depresi, parastesia, dan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)39
nefrolitiasis; CAI topical menurunkan efek-efek samping ini. Strategi medis untuk menangani glaukoma bertujuan untuk memperlampat progresi penyakit ini, sambil memperhatikan efekefek samping yang dikarenakan oleh terapi. II.
Terapi pembedahan dan laser
Iridotomi perifer, iridektomi, dan iridoplasti Glaukoma sudut tertutup paling memuaskan diatasi dengan membentuk komunikasi langsungh antara ruang posterior dan anterior yang memindahjab tekanan antara keduanya. Iridotomi laser perifer paling baik dilakukan dengan neodymium:YAG laser. Pembedahan ridektomi perifer dilakukan bila iridotomi laser YAG tidak efektif. Iridotomy laser YAG adalah usaha pencegahan pada pasien dengan sudut yang sempit sebelum terjhadi serangan sudut tertutup. Pada beberapa kasus sudut tertutup akut ketika tidak memungkinkan mengontrol IOP dengan obat-obatan atau iridotomi laser YAG tak dapat dialkukan, iridoplasti laser argon perifer (ALPI) dapat dilakukan. Cincin bakaran laser pada iris perifer mengkontraksikan stroma iris, secara mekanis menariknya membuka sudut ruang anterior. Ada 30% risiko sinekia anterior dan peningkatan IOP secara kronik. Trabekuloplasti laser Aplikasi laser (biasanya argon) melalui goniolens ke TM memfasilitasi aliran keluar AH karena efeknya tyerhadap AH dank anal Schlemm atau proses selular tyang meningkatkan fungsi selular. Teknik ini dapat diaplikasikan pada banyak bentuk glaukoma sudut terbuka, dengan hasil yang beragam tergantung penyebab yang mendasari. Penurtunan tekanan biasanya menurunkan terapi obat-obatan dan penundaan pembedahan glaukoma. Trabekulopalasi dapat digunakan pada terapi awal POAG. Pada kebanyakan kasus, IOP secara perlahan kembali ke keadaan seperti sebelum teapi pada 2-5 tahun kemudian. Trabekulektomi Trabekuloktomi adalah prosedur yang paling banyak dilakukan untuk bypass kanal drainase normal, sehingga ada akses langsung dari ruang anterior ke jaringan subkonjungtiva dan orbital. Komplikasi mayornya adalah fibrosis di jaringan episkleral, menyebabkan penutupan jalur drainase yang baru. hal ini cenderfung terjadi pada pasien muda, berkulit hitam, pada Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)40
pasien dengan glaukoma yang sekunder terhadap uveitism dan pada mereka yang sebelumnya sudah menjalani pembedahan drainasi glaukma atau pembehdana lainnya yang melibatkan jaringan peisklera. Terapi perioperatif atau postoperative tambahan dengan antimetabolit, seperti 5-fluorouracil dan mitimicin C menurunkan risiko kegagalan bleb dan berhubungan dengan control IOP yang baik namun dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan bleb seperti ketidaknyamanan ocular persisten, infeksi bleb, atau makulopari dari hipotonus ocular persisten. Trabekulektomi secara signifikan mempercepat pembentukan katarak. Implantasi silicon tube untuk membentuk aliran keluar AH yang permanen adlah prosedur alternatif pada mata yang tidak berespon terhadap trabekulektomi, termasuk maya dengan glaukoma sekunder (biasanya glaukoma neovaskular) dan glaukoma yang terjadi setelah pembedahan graft kornea. Viscoanalostomi dan sklerektomi Viscoanalostomi dan sklerektomi dengan implant kolagen menghindarkan mata dari insisi yang tebal. Penurunana IOP tidak sebaik seperti yang didapat dengan prosedur trabekulektomi, namun potensi komplikasi yang didapat lebih sedikit. Goniotomi Goniotomi dan trabekulektomi adalah teknik yang berguna untuk menangani glaukoma congenital primer, di mana ada obstruksi drainase AH di bagian dalam TM. Siklodestruktif Pada kasus kegagalan terapi obat dan pembedahan pada glaukoma lanjut, dapat dipertimbangkan penggunaan laser atau pembehdana untuk menghancurkan badan siliaris untuk mengontrol IOP. Krioterapi, diatermi, mode termal neodymium:laser YAG, atau laser diode dapat digunakan untuk menghandurkan badan siliaris. (3)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)41
I.Komplikasi Jika diterapi, glaukoma akan menyebabkan kehilangan pandangan secara prgresif, dimulai dari titik buta di penglihatan perifer, tunnel vision, hingga kebutaan total. (13) Komplikasi ini adalah penyebab dari 15% kebutaan di seluruh dunia (14), dengan glaukoma sudut tertutup yang lebih cenderung mengalami kebutaan daripada glaukoma sudut terbuka. (15)
J. Prognosis Prognosis pasien dengan POAG secara umum baik. Dengan evaluasi yang seksama dan ketaan terhadap terapi, kebanyakan pasien dengan POAG dapat mempertahankan penglihatan hingga seumur hidup mereka. (16) Prognosis pasien dengan glaukoma sust tertutup yang knronin tergantung dari kemampuan untuk mengendalikan tekanan IOP. (17) Prognosis pasien dengan glaukoma akut sudut tertutup tergantung dari kecepatan untuk deteksi awal dan awal diberikannya terapi. (18)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)42
Bab III Kesimpulan Glaukoma adalah penyakit global yang saat ini diderita oleh enam puluh juta orang, dan 8,4 juta yang menjadi buta karenanya. Jumlah penderita penyakit ini akan terus meningkat, hingga diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi delapan puluh juta penderita, dan 11,2 juta orang yang buta karena glaukoma. (5) Glaukoma dapat diklasifikasikan menurut etiologinya, menjadi primer, sekunder, kongenital, dan absolut. Menurut mekanisme peningkatan IOP, glaukoma dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar: sudut terbuka dan sudut tertutup (3). Faktor risiko yang berperan pada glaukoma adalah ras, usia, riwayat keluarga dengan glaukoma, serta faktor risiko okular, seperti IOP, myopi atau hiperopia, juga faktor risiko sistemik, seperti hipertensi (8). AH adalah cairan yang terisi di ruang anterior dan posterior mata yang berguna untuk menutrisi jaringan-jaringan avaskuler pada media refraksi dan mengeliminasi zat hasil metabolik pada jaringan-jaringan tersebut. Gangguan sirkulasi AH menyebabkan peningkatan IOP, yang dikarenakan oleh peningkatan produksi AH atau gangguan pada aliran keluar AH. Hal ini menyebabkan terjadinya glaukoma (3). Hal ini kemudian akan menyebabkan neuropati glaukomatus pada retina yang terjadi dengan penurunan faktor pertumbuhan, peningkatan aktivitas MMP, peningkatan stres oksidatif, yang kemudian akan berujung pada mekanisme apoptosis. (10) Pemeriksaan penunjang pada glaukoma dapat dilakukan terutama dengan tonometri aplanasi Goldmann sebagai baku emas. Terapi dalam glakoma berupa terapi pengobatan dan terapi pembedahan dan laser. Agen yang digunakan dalam terapi pengobatan adalah beta bloker, agonis adrenergic A2, karbonik inhidrase inhibitor, analog prostaglandin, agen parasimpatomimetik, dan agen hiperosmotik. Terapi pembedahan dan laser dapat dilakukan misalkan dengan irtidotomi periferm iridektomi, iridoplasti, dan trabekulektomi. (3) Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)43
Jika tidak diterapi atau terapi tidak adekuat, glaukoma akan menyebabkan gangguan penglihatan secara progresif hingga kebutaan total (13). Prognosis pasien tergantung dari terapi yang diberikan dan responsivitasnya (16).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)44
Daftar Pustaka 1. Longe JL (2006) The Gale Encyclopedia of Medicine, 3rd edn., USA: Gale. 2. Mosby (2008) Mosby's Medical Dictionary, 8th edn., USA: Elsevier. 3. Eva PR, Whitcher J (2007) Vaughan & Asbury's General Ophthalmology, 17th edn., USA: McGraw-Hill Medical. 4. Kingman S (2004) Glaucoma is second leading cause of blindness globally, Available at: http://www.who.int/bulletin/volumes/82/11/feature1104/en/index1.html (Accessed: 22nd November 2012). 5. Cook C, Foster P (2012) 'Epidemiology of glaucoma: what's new?', Can J Ophthalmol, 47(3), pp. 223-6 [Online]. Available at: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22687296 (Accessed: 22nd November 2012). 6. Quigley HA, Broman AT (2006) 'The number of people with glaucoma worldwide in 2010 and 2020', Br J Ophthalmol , 90(), pp. 262–267 [Online]. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1856963/pdf/262.pdf (Accessed: 22nd November 2012). 7. Tempo (2010) Hanya 30 Persen Layanan Kesehatan Punya Detektor Dini Glaukoma , Available at: http://www.tempo.co/read/news/2010/03/11/079231794/Hanya-30-Persen-LayananKesehatan-Punya-Detektor-Dini-Glaukoma (Accessed: 22nd November 2012). 8. Yanoff M, Duker JS (2008) Ophthalmology, 3rd edn., USA: Mosby. 9. Rumelt S (2011) Glaucoma - Basic and Clinical Concepts, 1st edn., Kroasia: Intech. 10. Agarwal R, Gupta SK, Agarwal P, et al (2009) 'Current concepts in the pathophysiology of glaucoma', Indian J Ophthalmol, 57(4), pp. 257–266 [Online]. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2712693/ (Accessed: 22nd November 2012). 11. Thieme (2009) Klinische Monatsblätter für Augenheilkunde, Available at: https://www.thieme-connect.de/ejournals/html/10.1055/s-0028-1109288 (Accessed: 22nd November 2012). 12. Brunton L, Chabner B, Knollman B (2010) Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics, 12nd edn., USA: McGraw-Hill Professional. 13. Mayo Clinic (2012) Glaucoma Complications, Available at: http://www.mayoclinic.com/health/glaucoma/DS00283/DSECTION=complications (Accessed: 22nd November 2012). 14. Spry PGD, Sparrow JM (2001) An evaluation of open angle glaucoma against the NSC criteria for screening viability, effectiveness and appropriateness, Available at: www.screening.nhs.uk/policydb_download.php?doc=8 (Accessed: 22nd November 2012). 15. Burr JM, Mowatt G, Hernández R, et al (2007) 'The clinical effectiveness and costeffectiveness of screening for open angle glaucoma: a systematic review and economic evaluation.', Health Technol Assess, 11(41), pp. iii-iv, ix-x, 1-190 [Online]. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17927922 (Accessed: 22nd November 2012). Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)45
16. Bell J (2012) Primary Open-Angle Glaucoma Follow-up, Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1206147-followup#a2650 (Accessed: 22nd November 2012). 17. Sihota R, Sood A, Gupta V, et al (2004) 'A prospective longterm study of primary chronic angle closure glaucoma.', Acta Ophthalmol Scand, 82(2), pp. 209-13 [Online]. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15043543 (Accessed: 22nd November 2012). 18. Noecker RJ (2011) Glaucoma, Angle Closure, Acute Follow-up, Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1206956-followup#a2650 (Accessed: 22nd November 2012).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang