DICETAK DI ATAS KERTAS DAUR ULANG
1
INTRODUKSI
PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS LAP. UTAMA
GKS & GKD, STRA TEGI STRATEGI PENYELAMA TAN LAMAT TNBD
VOLUME I - NO : 3/ DESEMBER 2002
SELINGAN
MENYINGKAP MISTERI ORANG RIMBA TN.BUKIT 12
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
2
Susunan Redaksi
Dari Redaksi
Penanggung Jawab Rudi Syaf
Sidang pembaca,
Editor Roidah
T
Pelaksana Tim WARSI Distribusi Aswandi
erakhir kali Alam Sumatera hadir kehadapan anda satu tahun yang lalu. Penungguan yang cukup lama untuk sebuah buletin. Namun tentulah banyak sebab yang melatarbelakanginya, tapi yang terpenting Alam Sumatera tetap bisa terbit. Dan maaf jika permintaan akan munculnya kembali Alam Sumatera demi informasi seputar konservasi dan Orang Rimba ini, baru terpenuhi sekarang. Pada edisi ini redaksi mencoba mengekspose sepenuhnya hasil temuan staf Warsi yang terjun ke lapangan sebagai bahan tulisan. Meskipun hanya mengandalkan kekuatan sendiri, bukan berarti isi Alam Sumatera tidak variatif, justru sebaliknya, menarik untuk diikuti. Seperti yang dituliskan Zainuddin, staf fasilitasi desa Warsi, seputar berlikunya penciptaan kesepakatan antara orang desa dengan Orang Rimba soal pembukaan lahan kebun orang desa yang hampir menguasai Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Persoalan lainnya yang juga sangat menjadi pembicaraan dalam beberapa bulan belakangan ini adalah mengenai penetapan tata batas definitif TNBD di kabupatenkabupaten di Jambi, antara lain Tebo dan Batanghari. Persoalan ini sempat menjadi polemik dalam pemberitaan media lokal dan nasional. Alam Sumatera mencoba menyajikannya melalui tulisan Robert A, Koordinator Unit Pendampingan Orang Rimba Warsi.
Foto Cover: Aulia Erlangga Alam Sumatera adalah Buletin Intern yang dikelola oleh WARSI (Komunitas Konservasi Indonesia) Alamat : Jl. Kapten M. Daud no. 48 (Lorong Nangka Bhakti) RT 04 / RW 02, Kel. Payo Lebar Jambi 36135 PO BOX 117 Jbi Tel/Fax : (0741) 61859 E-mail :
[email protected] http:\\www.warsi.or.id desain dan cetak : Kejora, photo&graphics
Selanjutnya ada tulisan Septaria Elidani Bangun dan Marahalim, staf Warsi di pendampingan Orang Rimba, seputar HAM Orang Rimba yang tidak terperhatikan, fokusnya perbudakan terhadap Orang Rimba oleh masyarakat Melayu di Tanah Garo. Perbudakan ini ternyata telah berlangsung cukup lama dengan mengenal sistem memperjualbelikan Orang Rimba secara halus oleh sesama masyarakat Tanah Garo. Perlakuan yang bisa dibilang sangat tipis bedanya dengan perbudakan dalam sejarah bangsa kulit hitam. Tekanan lain yang dialami Orang Rimba dituliskan Diki Kurniawan, Koordinator Unit Fasilitasi Desa Warsi, tentang pembunuhan Orang Rimba di Kejasung. Alam Sumatera kian berwarna ditambahi catatan fasilitasi kesehatan Orang Rimba oleh Sutardi, paramedis Warsi, serta paparan kesan dua siswa berprestasi asal Norwegia saat mengunjungi Orang Rimba di TNBD, dirangkum oleh Saur Marlina Manurung, staf pendampingan Orang Rimba Warsi. Selain itu juga ada tulisan tentang usaha penyelamatan Taman Nasional oleh Budi Retno Minulya dan Ade Candra, masingmasing juga staf di unit fasilitasi desa Warsi. Akhirnya kami mengucapkan selamat mengikuti buletin Alam Sumatera. Semoga informasi yang anda butuhkan terpenuhi dari terbitan kali ini. Untuk segala kekurangan dan keterlambatan hadirnya buletin ini, redaksi mohon maaf. Salam lestari
KONSEP 3
Pengelolaan Taman Nasional
B
erdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya terdapat dua jenis kawasan konservasi, yaitu kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian Alam. Kawasan suaka alam meliputi cagar alam dan suaka margasatwa, yang berperan sebagai sistem penyangga kehidupan demi terjaganya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan. Fungsi pokok kawasan suaka alam adalah untuk mengawetkan keanekaragaman hayati. Menilik pada fungsi pokoknya ini, kegiatan yang diperbolehkan di dalamnya pun terbatas, antara lain untuk kepentingan penelitian dan pendidikan, terkecuali kawasan suaka margasatwa dapat juga dijadikan objek wisata secara terbatas. Kawasan pelestarian alam meliputi tiga macam taman, yaitu Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Disamping memiliki fungsi melindungi sistem penyangga kehidupan dan keanekaragaman hayati, kawasan ini lebih dimungkinkan untuk pemanfaatan sumber daya alam hayati secara lestari sejauh tidak mengurangi fungsi pokoknya. Khusus mengenai Taman Nasional, masing-masing fungsi didukung oleh pengelolaan dengan sistem zonasi. Di mana ada zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain, sesuai dengan keperluannya. Zona inti adalah bagian dari taman yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun yang dilakukan manusia. Sedangkan zona pemanfaatan adalah bagian dari taman yang dapat dijadikan pusat rekreasi atau menerima kunjungan wisatawan. Yang disebut ”zona lain” meliputi berbagai fungsi, misalnya ditetapkan sebagai zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi, dan sebagainya. Di samping zona-zona yang harus dibentuk di dalam kawasan Taman Nasional, ada pula zona penyangga atau daerah penyangga yang dapat ditetapkan di luar kawasan. Cara-cara pengelolaan zona ini harus mengikuti ketentuan-ketentuan khusus yang ditetapkan.
Kerangka pengelolaan yang berdasarkan undangundang ini adalah garis besar yang seharusnya dirincikan lewat peraturan pelaksanaan yang masih belum terselesaikan. Pada kawasan konservasi seperti Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) masalah pengelolaan belum jelas. Peraturannya sebaiknya mempertimbangkan komunitas Orang Rimba. Keberadaan mereka harus secara tegas diakui dan diikutsertakan dalam pengelolaan taman. Karena penjaminan habitat bagi Orang Rimba merupakan salah satu alasan penting adanya TNBD atau sebaliknya, tujuan ditetapkannya kawasan hutan tertentu menjadi Taman Nasional memang salah satunya demi bertujuan penjaminan habitat bagi Orang Rimba.(O.S)
INTRODUKSI 4 Karena itu pengelolaan TNBD, harus memperhatikan berbagai aspek yaitu aspek konservasi, Orang Rimba, orang desa, dan pemerintah daerah. a. Aspek Konservasi TNBD merupakan satusatunya hutan hujan tropis dataran rendah Sumatera yang berada di tengah-tengah provinsi Jambi. Data-data ekologi menunjukkan hutan tropis dataran rendah merupakan ekologi terkaya dalam keanekaragaman hayati, namun sangat terancam keberadaannya. Bahkan Bank Dunia memperkirakan tahun 2005 hutan tropis dataran rendah Sumatera bakal habis.
PETA TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS/GIS WARSI
Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas
P
enetapan Taman Nasional Bukit Duabelas (selanjutnya disebut TNBD) bulan Agustus 2000 merupakan salah satu peristiwa bersejarah di bidang konservasi di Indonesia. Untuk pertama kali sebuah Taman Nasional dibuat dengan maksud melindungi habitat masyarakat rimba. Ini memang sesuai dengan fungsi taman sebagai penyangga kehidupan atau dalam arti khusus sebagai penyangga bagi kehidupan Orang Rimba. Makna lebih umum dari konsep penyangga kehidupan adalah menyangkut proses fisik dan ekologis yang mendukung mutu lingkungan dan kehidupan masyarakat secara luas. Misalnya sumber air yang terjaga, plasma nutfah yang terjamin sebagai sumber pengembangan pertanian di masa depan, atau pun keseimbangan antara hama dan predatornya. Jadi sebenarnya banyak manfaatnya bagi masyarakat lokal, belum lagi jika dihitung dari segi ekonomi alternatif yang bisa diperoleh, salah satunya melalui ekowisata.
Fungsi utama dari TNBD adalah konservasi, baik untuk tujuan lokal maupun global. Kawasan ini akan berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem antara kawasan di luar taman yang ditandai lewat pesatnya perubahan fungsi hutan dengan berbagai implikasinya. Taman berperan luas sebagai penyedia air karena terdapat ratusan anak Sungai Batanghari juga bagi habitat margasatwa, dan berbagai jenis tumbuhan obat, serta penyerap pemanasan global. Kehilangan kawasan hutan serta degradasi TNBD sangat signifikan dengan kepunahan keanekaragaman hayati. Kepunahan ini dimulai dengan mamalia besar seperti badak menyusul gajah tahun 1985 dan saat ini satwa yang sangat terancam harimau dan tapir. Jika dilakukan kajian yang lebih intensif mungkin akan ditemukan berbagai kepunahan lainnya yang luput dari pengamatan, seperti hilangnya jenis pohon tertentu, salah satunya pohon bulian, atau jenis hewan air, seperti ikan arwana perak di Kejasung karena terusmenerus diracun. b. Aspek Orang Rimba Sesungguhnya Orang Rimba adalah yang paling beruntung dengan adanya taman ini. Keberadaan dan kekhususan cara hidupnya marupakan alasan paling
A
penting adanya TNBD. Jumlah populasi Orang Rimba di TNBD 1.200 jiwa atau 300 KK yang menyebar luas dan merata di seluruh kawasan. Betapa pun kecilnya populasi ini jika dibandingkan dengan luas kawasan, Orang Rimba tetap memiliki masalah dalam pengelolaan. Kearifan tradisional yang dijadikan justifikasi harus dikaitkan dengan perspektif waktu dan luas kawasan yang memadai untuk mendukung kehidupan Orang Rimba. Dengan demikian kearifan yang dimiliki, tidak kehilangan makna oleh perubahan yang terjadi. Karena perubahan-perubahan itu harus diantisipasi demi pengelolaan jangka panjang bagi TNBD. Sehingga TNBD akhirnya menjadi kawasan konservasi biasa dengan prioritas lebih jelas kepada perlindungan keanekaragaman hayati. Orang Rimba mempunyai kebiasaan melakukan perburuan binatang, walaupun hanya untuk sekedar dikonsumsi sendiri. Tapi tindakan itu bisa mengancam keberadaan binatang langka. Sebagian dari mereka juga terlibat dalam kegiatan perkayuan dengan orang desa atau menjual survey kayu, alasannya perkayuan tidak bisa benar-benar dilarang. Bagi Orang Rimba, rekannya yang menahan diri atau tidak ikut dalam perkayuan, akan rugi. Pendapat ini bisa dianggap
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
Klaim Tanah Eco Pakai Tumpang Tindih
A
5
S
alah satu kasus klaim hak ulayat yang sempat muncul mengikuti trend klaim tanah ulayat oleh masyarakat, yaitu klaim Tanah Eco Pakai di Kecamatan Tebo Ilir, Kabupaten Tebo. Banyak pertanyaan yang mencuat seputar kasus ini, terutama kenapa baru muncul setelah puluhan tahun berlalu. Ada apa dibalik kasus tanah ini? Tanah Eco Pakai secara sederhana diartikan sebagai tanah yang digarap, ditunggui, dan dipelihara masyarakat. Kasus Tanah Eco Pakai di Tebo Ilir muncul sebagai bagian dari peristiwa sejarah perlawanan masyarakat Jambi yang dipimpin oleh Sultan Thaha Syaifuddin dengan membuat front pertahanan di sekitar Sungai Tabir, bagian utara Bukit Duabelas. Setelah Sultan pergi, masyarakat yang tinggal membentuk sebuah perkampungan dan menggarap lahan di sekitarnya. Kampung tersebut diberi nama Dusun Olak Kemang dan Lancar Tiang. Semasa pemerintahan Belanda kedua perkampungan itu dimasukan kedalam bagian Tanah Eco Pakai Dusun Teluk Rendah dan Tuo Ilir yang berada di wilayah kekuasaan Marga Tabir Ilir. Alasannya demi mempermudah pengaturan administrasi daerah karena perkembangan masyarakat di kedua daerah itu semakin luas. Proses tersebut telah melalui musyawarah antara beberapa dusun tetangganya di wilayah Marga Tabir Ilir tahun 1939. Lewat musyawarah ini juga secara tegas sudah disepakati batas-batasnya (batas alam). Sebagian dari wilayah Tanah Eco Pakai itu kini masuk kawasan TNBD. Bila ditilik lebih jauh dalam kasus Tanah Eco Pakai dua desa tersebut, diketahui banyak hal yang timpang dan tumpang-tindih. Berdasarkan pengertian Tanah Eco Pakai di atas maka kelompok yang banyak meng-eco (memakai/memanfaatkan) sampai sekarang justru Orang Rimba dengan berladang dan menanam karet.
RIZA MARLON
Sementara jika ditinjau dari Undang Adat Jambi, bila daerah ulayat ini merupakan Hutan Ulayat maka dipertanyakan siapa yang harus mengatur pengelolaannya, dan mengapa terjadi proses jual beli atas tanah dan hutan yang seolah-olah menjadi hak milik pribadi. Selanjutnya kepada siapa pancung alas dan bungo kayu (pajak) harus dibayarkan. Bila itu merupakan Hutan Hak Milik, maka harus dapat dibuktikan kepemilikannya, yaitu betunggul pemasaran, bejambu bekeloko dan besesap bejerami (tanda-tanda pernah digarap). Lalu bagaimana pula bila dilihat dari segi administratif dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ? Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menjelaskan pelaksanaan hak ulayat
Klaim Tanah Eco Pakai Tumpang Tindih
INTRODUKSI
sepanjang kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, akan diatur melalui Perda yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Namun di sisi lain (masih berdasarkan peraturan itu) disebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat tersebut, tidak dapat dilaksanakan pada bidang-bidang tanah yang ketika ditetapkannya Perda sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum sesuai Undang-undang Pokok Agraria, dan merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.
pinggiran Taman Nasional. Penanaman ini mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai penghalang (disebut hompongon) bagi peladang dari luar agar tidak menembus ke dalam taman dan sebagai sumber daya di tempat yang strategis untuk masa depan Orang Rimba, saat sumber daya hutan sudah tidak dapat diandalkan lagi.
Melihat situasi ruang dan realitas lapangan di daerah tersebut, maka Tanah Eco Pakai ini menjadi tumpang-tindih dengan peruntukkan areal dan pemanfaatan tanah lainnya, juga termasuk tumpang-tindih dengan wilayah kekuasaan marga lainnya. Wilayah Tanah Eco Pakai itu kini telah dimanfaatkan untuk berbagai fungsi dan peruntukkan, yaitu disamping untuk TNBD, ada untuk wilayah desa, hak milik, areal budidaya pertanian, areal penggunaan lain, areal HGU (perkebunan sawit), dan areal hutan produksi (HPH/ HTI) yang kesemuanya diatur oleh pemerintah.Terlepas dari semua hal di atas, yang lebih penting ke depan adalah bagaimana semua pihak (stakeholders) membangun masa depan yang lebih baik melalui pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan lestari. (Diki Kurniawan) sebagai suatu sikap frustrasi karena sudah berpuluh tahun proses logging berjalan di TNBD dan tidak pernah berhasil dihentikan. Orang Rimba yang juga berladang di tengah hutan dapat menjadi masalah. Jika daya dukung sumber daya hutan semakin rendah, Orang Rimba akan semakin mengembangkan perladangannya. Antisipasi lebih dini harus dirancang agar sesuai dengan pengelolaan kawasan. Pengamanan habitat bagi Orang Rimba lewat pembentukan taman tidaklah dimaksudkan agar keadaan mereka sekarang dipertahankan selamanya, melainkan memberi peluang yang baik bagi mereka untuk beradaptasi ke dunia modern dengan kecepatan yang sesuai. Dengan kata lain, taman akan berperan memfasilitasi secara perlahan-lahan adaptasinya dengan dunia luar yang terdukung oleh kebudayaan mereka sendiri. Orang Rimba memang mulai berubah, misalnya telah mulai berorientasi ke tanaman, mengantikan hasil hutan yang semakin kurang ditemukan atau tidak laku di pasaran. Proyek Warsi (Warung Informasi Konservasi) mengantisipasikan kecenderungan ini dengan mendukung mereka dalam menanam karet di
Orang Rimba disiapkan menjadi penduduk tetap di luar hutan, terutama di sekitar kebun karet yang akan mereka upayakan sendiri atau dengan bantuan Warsi. Persiapan lain adalah sekolah yang di kembangkan di tempat-tempat mereka berada agar generasi mudanya tidak lagi buta huruf. Kemampuan baca-tulis-hitung merupakan syarat mutlak untuk dapat beradaptasi dengan kehidupan dunia luar. Selanjutnya dukungan fasilitator kesehatan Warsi dapat menambah kesiapan Orang Rimba ke dunia luar, secara perlahan terikat pada pemanfaatan fasilitas kesehatan umum di sekitar hutan. c. Aspek Orang Desa Masalah terbesar yang dihadapi dalam pengelolaan TNBD adalah masyarakat desa sekitar. Ada sebanyak 23 desa yang memiliki interaksi dengan TNBD yang aktifitas warganya berupa perladangan dan illegal logging. Bagi masyarakat desa taman merupakan lahan potensial untuk pertanian dan kayunya sebagai sumber ekonomi yang sangat berarti bila dimanfaatkan. Sehingga pembukaan ladang di dalam taman pun menjadi hal yang sangat menonjol di beberapa desa. Persoalan ini perlu diselesaikan sebelum berkembang lebih luas dan tidak tertangani lagi. Umumnya masalah ini juga terkait dengan akses yang diberikan oleh bekas jalan perusahaan HPH. Selain itu illegal logging masyarakat juga melibatkan banyak pihak yang terkait dengan beking bahkan legalisasi dari berbagai instansi. Untungnya dalam pembuatan tata batas semua lahanlahan perkebunan desa sudah dikeluarkan. Dalam rangka membantu mengurangi berbagai ancaman lewat menyelesaikan masalah yang ditimbulkannya, proyek Warsi telah mengambil berbagai macam tindakan. Misalnya di daerah Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, perladangan di dalam taman diupayakan untuk dikurangi, lewat pengorganisasian masyarakat dan dorongan terhadap pemerintah melalui ’menghidupkan’ kembali persawahan yang telah diabaikan, bertemakan Gerakan Kembali ke Sawah (GKS). GKS telah mendapat dukungan dari bupati bahkan dari gubernur yang pernah melakukan kunjungan secara khusus ke lokasi tersebut.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
OYVIND SANDBUKT
Di sisi taman yang sama tetapi lebih ke utara, masuk wilayah Kabupaten Tebo, berlangsung tekanan serupa ditambahi dengan illegal logging dari masyarakat desa yang kian merajalela. Sebagian Orang Rimba yang risau melihat kegiatan illegal logging ini sudah mulai berani menangkap chainsaw kelompok penebang, kecuali terhadap kelompok yang memiliki beking kuat dari oknum aparat. Keberanian Orang Rimba membela hutan ini menarik sekali, mengingat selama ini mereka dianggap masyarakat yang paling rendah dan lemah. Penduduk asli di salah satu desa malah sempat mengklaim kepemilikan atas semua Orang Rimba di wilayahnya sebagai hak tradisional mereka.
Lain desa lain pula solusinya, ini berkaitan dengan potensi yang tersedia di desa yang bersangkutan. Solusi lain yaitu dikembangkan perkebunan sawit dengan kemitraan perusahaan perkebunan atau peremajaan karet yang sudah tua. Untuk membantu hal ini Warsi sudah mulai melakukan pemetaan ruang dan pemanfaatan lahan secara partisipatif di desa-desa guna mengidentifikasikan potensi yang dapat dikembangkan. Komitmen dari Dinas Kehutanan Jambi sudah didapat untuk melakukan pilot proyek perkebunan di 4 desa tahun depan. Di sebelah barat taman di Kabupaten Merangin, masyarakat di salah satu desanya sangat dinamis melakukan perluasan perkebunan, beberapa orang memiliki puluhan bahkan ratusan hektar yang sudah ditanami karet. Namun dikhawatirkan akan meluas masuk ke wilayah TNBD. Kini hanya tinggal sedikit hutan di luar taman yang masih tersisa dan diperebutkan masyarakat. Orang Rimba didukung untuk memperjuangkan hak tradisional atas wilayahnya dan telah berhasil mendapat suatu penjanjian tertulis dengan masyarakat desa yang bersangkutan. Isi perjanjian itu adalah orang desa tidak akan melampaui batas wilayah yang diakui menjadi hak Orang Rimba.
Penyerobotan paling parah terdapat di Kabupaten Batanghari, karena wilayahnya terluas di pedalaman Bukit Duabelas. Yang sangat merisaukan di daerah ini adalah tingginya intensitas illegal logging dilakukan di hampir semua masyarakat desanya. Orang Rimba di daerah ini pernah mencoba menghalangi masuknya pebalok dengan memasang portal. Akibatnya dua Orang Rimba dikeroyok ramai-ramai hingga tewas secara mengerikan, terjadi 4 tahun yang lalu. Tahun 2001 salah seorang masyarakat Rimba, juga telah dibunuh. Dia ditembak malam hari, ketika sedang tidur bersama isteri dan anaknya di pondok tepi jalan. Tidak heran Orang Rimba di daerah ini kemudian takut dan tidak berani protes lagi. Berdasarkan studi Warsi ke desa-desa dalam Kabupaten Batanghari ditemukan satu generasi sudah jauh terlibat illegal logging sehingga pengembangan dasar ekonomi lain, yaitu perkebunan atau persawahan, terabaikan. Ini merupakan masalah berat bagi masa depan Batanghari, dimana kayu akan habis. Banyak lahan hutan yang sudah diserahkan kepada perusahaan untuk dikembangkan menjadi kebun sawit atau HTI, diterlantarkan setelah perusahaan tersebut mengambil kayunya. Perlu perhatian khusus secepatnya oleh pemerintah, juga perhatian terhadap Taman Nasional yang ikut menjadi korban. d. Aspek Pemerintah Kabupaten Kehadiran kedua UU Otonomi Daerah, No.22 dan 25 tahun 2000, sangat berimplikasi luas dalam wewenang pegelolaan hutan sebagai sumber pendapatan keuangan di daerah atau Pendapatan Asli Daerah (PAD). Celakanya kuantitas perolehan PAD suatu daerah dijadikan indikator utama dalam kesuksesan otonomi suatu daerah, sangat disayangkan sekali. Selengkapnya pembahasan aspek ini dapat diikuti di halaman khusus.(Robert. A)
LAPORAN UTAMA 8
Penebangan Haram, Destruksi Ekologi TNBD “Penebangan kayu dari hutan alam untuk tujuan komersial telah berkembang pada tahun 3000 sebelum Masehi, khususnya di daerah Mesopotamia yang diperintah oleh kerajaan Babilonia” (Simon, 2001).
Melalui perjalanan panjang dan melelahkan akhirnya kawasan hidup dan penghidupan Orang Rimba berhasil diakomodir pemerintah. Dulu kawasan mereka ‘hanya’ berbentuk kawasan pengembaraan Orang Rimba, kemudian berubah menjadi Cagar Biosfer dengan luas 26.800 ha. Terakhir dikukuhkan oleh Menhutbun yang saat itu dijabat Nur Mahmudi Ismail, melalui SK Menhutbun No. 258/Kpts-II/2000 menjadi TNBD, dengan menambah area bekas Hutan Produksi Terbatas (HPT) Inhutani V dan sebagian area Hutan Produksi (HP) PT Sumber Hutani Lestari, hingga luasnya menjadi 60.500 ha. Dengan adanya perluasan area taman tersebut, diharapkan sumber daya alam milik Orang Rimba dapat dipertahankan dan dikelola lebih baik lagi.
K
etika sumber daya hutan masih melimpah populasi umat manusia masih sedikit dan ilmupengetahuan-teknologi modern (dengan sisipan akar ideologis) belum berkembang, kerusakan hutan akibat eksploitasi manusia tidaklah menimbulkan dampak negatif yang berarti. Namun seiring waktu, dengan jumlah manusia yang meningkat, begitu pula kebutuhan dan keinginan mereka yang makin kompleks, kerusakan hutan pun luar biasa. Apalagi kecanggihan ilmu-pengetahuanteknologi dan ideologi kapitalisme yang kian merasuk ke tulang sumsum manusia, mendorong semua itu terjadi.
Selanjutnya data Walhi menyebutkan bahwa kerusakan hutan tropis Indonesia mencapai 96,48 juta ha (72 %) dari total 134 juta ha sehingga hanya 37,52 juta ha (28 %) yang tersisa. Lalu prediksi dari World Bank kalau dalam rentang tahun 2005-2010 seluruh hutan alam Sumatera akan punah. Setelah itu menyusul punahnya hutan alam yang berada di wilayah Kalimantan dalam kurun waktu 2010-2015. Hutan alam yang tersisa tersebut diperkirakan hanya ada di kawasan konservasi saja, salah satunya di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) yang terletak di jantung Provinsi Jambi yang merupakan satu dari empat Taman Nasional yang masih ada di Jambi. Proses Pengakuan TNBD
AULIA ERLANGGA
Kita dapat cermati data-data yang diperoleh beberapa lembaga nasional maupun internasional, antara lain dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan kerusakan hutan Indonesia yang tercepat di dunia. Periode 2000-an jumlahnya mencapai 2 juta ha pertahun atau dua kali lebih cepat dibanding periode 1980-an. Akibatnya luas hutan Indonesia selama 50 tahun terakhir telah berkurang dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha. Begitu juga data dari Laboratorium Pemuliaan Pohon Fakultas Kehutanan UGM menunjukan seluas 40,26 juta ha hutan Indonesia telah dirusak dan terfragmentasi dengan kecepatan kerusakan sekitar satu persen pertahun.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
Namun ada hal yang patut diperhatikan ketika kawasan seluas 60.000 ha lebih itu masih sebatas di atas kertas, perlu adanya batas definitif. Hanya luasan yang dulunya berupa Cagar Biosfer saja, yakni 26.800 ha, yang mempunyai patok permanen di lapangan, sangat tak memadai. Setelah melalui proses kesepakatan yang panjang dengan pemerintah dan instansi terkait, dimungkinkan tahun 2003 diadakan batas definitifnya, paling cepat akhir tahun 2002. Ada beberapa kelemahan jika batas taman tersebut belum permanen dengan pemasangan patok beton atau bentang alam. Pertama, bagi masyarakat yang haus lahan dan sumber daya hutan (kayu dan non kayu) seolah mendapat justifikasi terus-menerus. Bagi yang mengetahui batas taman justru berpura-pura tidak mengetahuinya, apalagi bagi mereka yang tidak mengetahuinya. Kedua, sulit bagi aparat kehutanan (KSDA) untuk melakukan tindakan hukum terhadap mereka yang terlibat dalam pengurasan sumber daya alam, karena di lapangan tidak ada tanda yang menegaskan hasil hutan itu berada dalam taman atau tidak. Ketiga, bentuk pengamanan atas taman juga sulit dilakukan aparat kehutanan saat terjadi konflik lahan dengan masyarakat desa sekitar hutan. Keempat, bentuk pengelolaan taman itu sendiri akan semakin merepotkan, karena semakin banyak lahan yang perlu direhabilitas akibat eksploitasi hutan.
Pembunuhan Orang Rimba dan Lemahnya Penegakan Hukum
S
ektor kehutanan dalam jangka panjang akan menjadi kontra produktif bagi daerah karena sejak otonomi dilaksanakan kebijakan pemerintah daerah cenderung tidak memikirkan produksi hasil hutan (kayu dan non kayu) yang berkelanjutan. Setelah hutan dieksploitasi habis-habisan, dikonversi menjadi areal perkebunan HTI. Kesempatan pun kemudian dibuka lebar melalui perizinan yang longgar dari pemerintah daerah setempat. Banyak pengusaha dan pemilik modal (cukong dan toke kayu) sibuk memperebutkan emas hijau ini lewat pengerahan masyarakat setempat. Tindakan pengamanan hutan sejauh ini masih kurang, sering terjadi kebocoran informasi operasi pengamanan kayu sebelum dilaksanakan. Begitu juga dengan penegakan hukum terhadap para pemain kayu, sangatlah lemah. Sementara masyarakat yang terlibat dalam pengambilan kayu (pebalok, anak buah ongkak, operator chainsaw, buruh muat angkut kayu, dan lainnya) berani meninggalkan anak-istri, orang tua, dan saudaranya yang hidup dari berhutang pada toke. Keluarga ditinggal sampai berbulan-bulan, yang berar ti mereka juga meninggalkan kebun karet dan lahan taninya yang lebih menjanjikan untuk jangka panjang. Mereka bahkan nekat mengontrakkan atau menjual kebunnya demi modal bebalok. Mereka siap menempuh resiko rugi/tekor jika kayu tidak berhasil mereka keluarkan, rusak atau hilang dicuri. Sebandingkah pekerjaan mereka dengan segala pengorbanan itu? Belum lagi jika terjadi musibah terhadap mereka. Kalaupun untung, hanya sedikit, cuma cukup menutupi utang kepada toke kayu. Kalaupun mendapatkan untung yang lebih besar, mereka malah membelikannya pada benda-benda konsumtif seperti televisi, antena parabola dan receiver digitalnya, vcd, motor, dan sebagainya. Memang ada yang menggunakannya untuk membangun atau merehab rumah, bagi yang bujangan memakainya untuk modal menikah. Namun bagaimana biaya untuk hidup selanjutnya?
Selama belum ada patok permanen, masyarakat yang melakukan penebangan ‘haram’ (illegal Logging) tetap benganggapan tindakan itu bukan sebuah larangan. Apalagi jika diibumbuhi alasan klaim tanah adat mereka. Kini keadaan TNBD tak ubahnya seperti gula yang dikerubuti semut.
Lalu bagaimana dengan Orang Rimba sendiri? Dengan pola pikir dari pada tidak menikmati sama sekali, Orang Rimba pun ikut terseret ambil bagian dalam pengambilan kayu. Dari pado awok-a hopi depot apo-apo, lebih beik ikut menghabiy-ko hutan samo sekali dan nginyam hasilnyo. Hutan habiy kito mati. Kini mati isuk-a mati jugo (dari pada saya tidak mendapat apa-apa, lebih baik ikut mengambil hasil hutan, sekarang kita mati-besok juga mati) ungkap salah seorang dari mereka. Orang Rimba kemudian memasang portal kayu dan mengutip restribusi dari kayu yang keluar, ada juga yang menjadi buruh ongkak atau sekedar meminta rokok dan bahan makanan ke pebalok.
Belum lagi adanya penafsiran reformasi dan otonomi daerah yang salah kaprah. Masyarakat lebih memaknainya sebagai peluang untuk mengeruk kekayaan alam yang masih tersisa. Sebuah open access tragedy dipertontonkan secara dramatis di area tersebut. Tulisan ini tentu saja bukan untuk menghakimi dan menggeneralisasikan ‘kenakalan’ masyarakat itu.
Mereka pesimis, menganggap tidak ada lagi aturan main dan penghargaan pada sesama manusia. Kemudian nekat mengambil atau mencuri alat di camp pebalok. Mereka melakukan itu karena merasa sumber hidup mereka pun telah dicuri dan dihabiskan tanpa basa-basi oleh pebalok. Misalnya pebalok telah menebang pohon-pohon yang bermakna dan bernilai bagi mereka, seperti pohon sialang, sentubung, tenggeris, dan pohon buah-buahan, dengan tidak menghargai atau memperdulikan sanksi adat Orang Rimba berupa denda. Hingga kemudian terjadi konflik antara Orang Rimba dengan pebalok.
Penebangan haram
9
LAPORAN UTAMA
OYVIND SANDBUKT
10 lanjutan : Pembunuhan Orang Rimba dan Lemahnya Penegakan Hukum
Puncak dari gesekan demi memperebutkan sumber daya hutan tersebut yaitu pembunuhan. Contohnya ada dua kasus pembunuhan Orang Rimba secara sadis di daerah Sungai Kejasung, bagian utara TNBD. Kasus pertama, dua Orang Rimba dari kelompok Temenggung Kecik dihabisi nyawanya oleh pebalok secara massal. Aparat keamanan dan jajaran Pemkab setempat cepat mendamaikannya secara adat dengan mengharuskan pebalok membayar denda kain dengan istilah satu bangun untuk satu nyawa (satu nyawa terbunuh bayar denda 500 lembar kain atau lebih). Kasus kedua, seorang lagi anggota kelompok Temenggung Kecik dibunuh dengan senjata rakitan (kecepek) dari jarak dekat di tengah malam buta. Namun penyelesaian atau tindakan hukum terhadap kasus ini masih belum jelas hingga sekarang. Kedua kasus yang tidak memperlihatkan tindakan hukum yang tegas atau berat sebelah dari aparat terkait ini, membuat pebalok memakainya sebagai alat teror untuk menekan Orang Rimba. Teror mental tersebut tidak hanya pada keluarga dan kerabat anggota kelompok yang bersangkutan, tetapi juga pada seluruh anggota kelompok Orang Rimba di wilayah Kejasung. Pengalaman yang traumatis dan menimbulkan ketakutan itu menyebabkan hidup kelompok Orang Rimba di daerah ini penuh kegelisahan hingga mereka menghindar ke daerah yang dianggap lebih aman. Apalah ar ti hidup demikian, selalu merasa tidak aman. Bagaimanakah moralitas pelaku pembunuhan itu? Dimanakah hukum berada dalam permasalahan ini? Hukum harusnya ditegakkan tanpa pandang bulu. Setiap warga negara, termasuk Orang Rimba atau suku mana pun di Indonesia, mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan hukum. Benarkah kita masih bisa dianggap bangsa yang berbudaya, bermoral, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, dan hukum jika sebagian dari kita hidup dalam tekanan?(Diki Kur niawan)
Disadari untuk persoalan ini harus ada sikap fair alias adil, jika yang merusak masyarakat (terlepas dari latar belakangnya) maka mereka patut disalahkan. Namun kalau lebih jernih menilai, tentulah bukan masyarakat penikmat terbesar kegiatan tersebut, melainkan hanya segelintir elit desa dan para cukong kaya di kota. Kemudian, dimana posisi Pemda, khususnya Dinas Kehutanan, ketika setiap log kayu yang masuk ke sawmil-sawmil besar di Jambi selalu dapat membuktikan keabsahan kayunya? Ditengarai sepertinya Pemda juga tak mau kehilangan sumber pendapatannya, dan laju pebalok pun sulit dihentikan. Akhirnya dicapailah jalan kompromi yakni ‘melegalkan’ hasil kegiatan haram para pebalok dengan cara setiap hasil menebang kayu dilelang ke para cukong kayu. Saat di tangan cukong inilah mulai ditarik retribusi atas kayu-kayu tersebut. Sementara itu di mana posisi Orang Rimba dalam kegiatan penebangan haram ini ? Mereka berada di posisi ambigu, terjepit di dua sisi. Satu sisi mereka ingin menghindari setiap hal yang kiranya dapat mengganggu adat dan sekaligus merubah alam mereka. Mereka berpandangan berbalok mengganggu adat, dengan kata lain sangat merugikan mereka. Pepohonan semakin jarang, sementara hasil hutan non kayu (HHNK) pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh kerapatan pohon sekitarnya. Misalnya HHNK berupa getah jernang, damar dan jelutung, serta berbagai jenis rotan. Di sisi lain Orang Rimba melihat para pebalok mendapatkan hasil yang sangat besar dengan cepat, yang jumlahnya sampai ratusan juta rupiah. Akhirnya mereka ikut berbalok walaupun ‘hanya’ sebagai penjual peta survei pohon-pohon yang dianggap bernilai ekonomis tinggi, seperti kempas, meranti, balam, medang, dan lainnya. Keseimbangan Ekologi Terancam Selain sumber daya yang diekstrak oleh Orang Rimba semakin berkurang, kehidupan vegetasi yang lainnya pun terancam. Ketika sebatang pohon besar ditumbang pebalok, maka pohon-pohon kecil di sekitarnya ikut tumbang minimal patah dahan atau tertimbun batang pohon besar tadi. Memang ruang sekitarnya lebih terbuka, cahaya matahari lebih leluasa masuk, sehingga memungkinkan biji/benih vegetasi terutama yang intoleran lebih mudah
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
11 tumbuh. Namun tentu saja perlu melalui beberapa hambatan/seleksi alam dan itu tak mudah. Kalau pun tumbuh, masih ada pemangsa kaum herbiovora yang rakus tanaman-tanaman muda, seperti kancil atau rusa.
OYVIND SANDBUKT
Semakin mendekati muara sebuah sungai semakin besar tingkat kerusakan hutan yang terjadi. Karena umumnya para pebalok menggunakan akses sungai sebagai media angkut hasil berbaloknya. Jenis vegetasi yang ditumbang dapat diperkirakan mengikuti besarkecilnya sungai. Jika sungai yang digunakan di dalam taman besar, maka jenis kayu yang ditumbang lebih beragam. Tidak hanya yang jenis mengapung jika dialirkan lewat sungai, seperti meranti (Shorea sp.), medang (Litsea sp.), jelutung (Dyera costulata) serta balam (Palaqium gutta), namun juga meliputi jenis yang tenggelam seperti kempas/singgeris (Koompassia malaccensis), kedondong (Spondias dulcisAnacardiaceae), kayu sapot (Lithocarpus sp.), temberas (Eugenia sp.), damar (Shorea acuminatissima), tembesu (Fagraea fragrans), dan durian (Durio zibethinus).
Melihat prilaku perbalokan seperti itu, memang benarlah hutan di daerah muara sungai lebih mudah dan cepat hancur. Walaupun kenyataan di lapangan, bila ketersediaan kayu yang bernilai ekonomis tinggi (berdasarkan ukuran dan jenis) langka, kayu yang bernilai ekonomis rendah pun ditumbangi. Begitu juga pohon berdiameter 20 cm tak luput dari penumbangan. Akibatnya kerusakan jauh lebih parah lagi dan menjadi ‘teror’ terbesar bagi hutan. Sekarang
sudah sulit ditemukan beberapa jenis pohon di TNBD, sebut saja pohon jernang (Daemanorops draco) yang bernilai ekonomis sangat tinggi. Jenis tanaman ini selain disebut Dragon’s Blood juga dapat julukan emas merah. Jenis berikutnya yang sulit dijumpai yaitu rotan jenis manau, sego putih, dan semambu. Demikian juga dengan pohon jelutung yang menghasilkan getah bernilai ekonomis. Dapat dibayangkan pula kawasan Bukit Duabelas yang merupakan area tangkapan air (ada sekitar 7 DAS/subDAS antara lain Serengam, Kejasung Kecil, Kejasung Besar, Sungkai, Makekal, Bernai, dan Air Hitam) bagi daerah sekitarnya akan mengalami perubahan perilaku yang merugikan masyarakat pada akhirnya nanti. Kasus sebuah desa di selatan TNBD sebelum adanya kerusakan hutan di taman, hanya sekali mengalami banjir dalam setahun. Namun sejak hutan itu rusak, dalam waktu 8 bulan sudah mengalami 10 kali banjir, satu kali di antaranya mencapai setengah dari rata-rata tinggi rumah penduduk desa. Kasus yang lain, penduduk beberapa desa sekitar sungai besar seperti Sungai Tabir dan Sungai Tembesi mengaku permukaan air sungai surut sekitar 3 - 4 meter menjelang musim kemarau belum lama ini. Sumursumur penduduk juga kering. Muara-muara sungai menjadi lebih dangkal. Endapan yang dibawa aliran sungai diakibatkan erosi permukaan tanah. Erosi ini terjadi karena tak ada lagi akar pepohonan yang mampu menahan agregatagregat tanah dari kikisan air. Begitulah ketika alam/ hutan yang ada mulai diganggu kehidupannya, berakibat tak hanya terjadi pergeseran keseimbangan yang ada. Tetapi juga merusak kemampuan daya elastisitas alam untuk memulihkan ‘luka’ yang dialaminya. Lalu reaksi alam pun bermunculan. Apakah kita harus selalu menunggu alam memberikan reaksi? (Nurdin Hasan, Asisten Pengelolaan Kawasan)
LAPORAN UTAMA
GKS dan GKD, Strategi Penyelamatan Taman Nasional Bukit Duabelas
AULIA ERLANGGA
12
U
paya pelestarian sebuah Taman Nasional tidak bisa dilepaskan dari peranan masyarakat desa yang mengelilinginya (baca : desa penyangga). Demikian juga dengan TNBD, desa-desa interaksi dijadikan fokus pendampingan yang tujuannya mengajak masyarakat dan elemen lain secara bersama menyelamatkan TNBD. Kegiatan yang dilakukan di desa interaksi ini bertumpu pada kondisi masingmasing desa, artinya mensyaratkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi dan potensi yang berbeda pula. Dengan kegiatan pendampingan yang dilakukan, tekanan masyarakat ke TNBD berupa perladangan dan perbalokan berangsur-angsur berkurang. Tulisan ini memfokuskan pada sisi selatan TNBD, desa interaksinya berjumlah 6 desa (marga Air Hitam) di Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun. Desa yang dimaksud, yaitu Desa Baru, Semurung, Jernih, Lubuk Jering, Pematang Kabau, dan Bukit Suban. Dua desa terakhir merupakan desa transmigrasi yang relatif tekanannya tidak seintensif 4 desa lainnya. Secara umum bentuk interaksi masyarakat bagian selatan ini
didominasi perladangan berpindah meskipun perbalokan juga terjadi namun tidak sebanyak di bagian lain TNBD. Hasil pengkajian awal tahun 2002 terdapat kecenderungan yang tinggi perladangan dalam Taman Nasional oleh masyarakat desa. Prediksi ini didasari beberapa kondisi yakni keterdesakan secara ekonomi yang ditandai dengan harga kebutuhan pokok yang mengalami kenaikan, sedangkan penghasilan utama (potong karet) menurun. Sementara itu alternatif berladang di tempat lain misalnya di sekitar Sungai Air Hitam juga tidak bisa karena terkena bencana banjir (terdapat + 197 KK yang tanamannya terendam air). Disamping beberapa alasan di atas, kesimpang-siuran informasi pembukaan sasap yang diperbolehkan di sekitar TNBD dan lemahnya tindakan hukum dari aparat yang berwenang, turut menjadi faktor pendukung masyarakat cenderung membuka ladang dalam Taman Nasional. Kondisi politik di desa interaksi ini rata-rata tidak stabil, di mana terjadinya krisis
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
Proses Panjang Pencapaian Sebuah Kesepakatan
A
K
onflik antara Orang Rimba yang dipicu pembukaan ladang oleh masyarakat desa merupakan hal yang sangat biasa terjadi di sekitar TNBD. Walaupun tak jarang pula dapat diselesaikan. Namun itu pastilah melalui proses pencapai kesepatan yang berliku, seperti yang terjadi antara Orang Rimba Makekal hulu dengan masyarakat Desa Rantau Limau Manis (RLM). Dimana masyarakat Desa RLM lebih memilih perladangan berpindah dari pada menanam padi menetap. Padahal potensi persawahannya cukup luas dengan tanah rawa/payo 800 ha. Dalam penggunaan lahan lebih banyak diperuntukan bagi kebun karet alam, sekitar 80% dari total luas desa dan diperkirakan produksinya lebih dari 100 ton perbulan, dan selebihnya untuk pemukiman, kebun campur, serta perladangan. Dan sampai sekarang masyarakat lebih giat membuka belukar di sekitar desa yang luasannya sedikit atau membuka hutan yang lokasinya jauh dari desa, hingga lahan yang dibuka untuk perladangan kemudian meluas ke arah TNBD dan kini telah sampai ke wilayah Sungai Bernai yang jaraknya mencapai sekitar 30 Km dari pusat desa, atau di sekitar Sungai Pengelaworon dan Sungai Tengkuyungan. Faktor pendorong peladangan yang dilakukan masyarakat desa yang termasuk Marga Batin V yang cukup ekspansif ini, antara lain disebabkan batas wilayah Marga Batin V yang diperkirakan sampai ke TNBD. Sebab lainnya, masyarakat RLM merasa lahan desanya semakin sempit akibat penyerahan tanah ulayat untuk proyek transmigrasi oleh Pesirah Kepala (pimpinan) Marga Batin V Tabir tahun 1975 seluas 20.000 ha. Bila dilihat dari luas wilayah, RLM merupakan desa terluas di Kecamatan Tabir yaitu 22.500 ha dan berpenduduk sebanyak 761 KK atau 3.251 jiwa. Dengan berpegang pada alasan-alasan alasan itu, mereka lakukan pembukaan ladang setiap tahun ke sisi kiri atau sisi kanan ladang awal. Hampir 1/3 dari masyarakat desa ini telah membuka ladang ke sisi barat TNBD, tetapi karena dulu akses jalan tidak mendukung akhirnya banyak di antara mereka yang menjualnya kepada Bedol Kayo, salah seoerang penduduk Desa RLM yang berduit. Bedul Kayo kemudian men-skrap jalan untuk akses menuju ke ladang yang akhirnya bisa ditempuh dengan kendaraan tahun 2002. Umur tanaman karet yang ada telah mencapai 9 - 10 tahun, dimana berarti pembukaan ladang telah dimulai masyarakat Desa RLM sejak tahun 1981/1982. Orang Rimba yang merasa pembukaan ladang itui sudah menyinggung batas adat mereka, mulai terusik. Mereka menilai pembukaan yang dilakukan Bedol Kayo yang kemudian mengikutsertakan sanak keluarganya yang lain, yaitu Baharun, Hambali, Bidin, dan Madsati, telah melewati ladang (hompongon) milik salah seorang pimpinan mereka bernama Depati Begaji. Pembukaan ladang terakhir yang dilakukan masyarakat RLM berlangsung Maret 2002 oleh 8 KK.
Per temuan-per temuan antara kelompok Orang Rimba dan masyarakat RLM pun digelar. Sudah berjalan beberapa kali, 2 kali berlangsung di bulan Maret 2002 tersebut tetapi tidak ada hasil. Justru pada salah satu pertemuan terjadi keributan hampir menjurus ke perkelahian massal antara keduanya. Tidak selesainya sengketa kedua belah pihak yang saling meng-klaim wilayah adat mereka ini akhirnya meminta Warsi untuk dapat memfasilitasi pertemuan keberikutnya, dijadualkan 14 April 2002. Masyarakat RML dalam pertemuan tersebut diwakili langsung oleh kepala desanya, A Navis, dan Orang Rimba oleh Temenggung Mirak. Titik kesepakatan hampir saja tidak tercipta. Sebab peladang tetap meminta Orang Rimba membolehkan mereka berladang meskipun hanya untuk tahun ini saja (2002), sedangkan Orang Rimba juga tetap tidak mau. Mengingat pada kesepakatan tahun 1994, masyarakat RLM tidak mengindahkan perjanjian yang dihasilkan. Isi perjanjian itu menegaskan bagi masyarakat RLM yang telah membeli tanah Orang Rimba seharga Rp.360.000 tidak dibenarkan menebang tumbuhan tertentu di atasnya, karena itu harus dianggap masih menjadi milik Orang Rimba sebagai jambo halko (harta Orang Rimba), contohnya sialang. Orang Rimba saat itu merasa telah dibodohi saja. Selanjutnya untuk rapat 14 April itu, diputus pemberian izin pembukaan ladang oleh Bedol Kayo dan Bahrun sekeluarga dari jalan rumah Depati Begaji namun tidak boleh melewati rintisan (hompongon) yang dibuat Orang Rimba. Hasil investigasi tim Warsi sendiri ke lapangan, menemukan kalau sebenarnya ladang yang dibuka oleh Bedol Kayo cs ternyata masih berada di luar rintisan, sejauh 1.400 ha lagi dari TNBD. Namun lahirnya kesepakatan ini turut menyelamatkan TNBD dari pengeksploitasian. Pertemuan 14 April ini juga merinci adanya batas lahang pantang (daerah yang dibolehkan dengan persyaratan) bagi masyarakat desa RLM, terdapat di sebelah kanan Sungai Bernai mudik sampai ke hulu. Disepakati juga jika masyarakat RML menemukan tanaman Orang Rimba di wilayah tersebut harus dipelihara, jikalau mati harus diganti rugi. Dan jika di dalam lokasi itu ditemukan Setubung/Tenggeris (pohon yang di bawahnya dijadikan tempat menanam ari-ari anak Orang Rimba), juga harus dipelihara dan bila pohon itu ditebang, masyarakat RML dianggap telah melakukan pembunuhan terhadap anak Orang Rimba, dan dituntut secara adat, misalnya harus membayar denda 600 kain. Kesepakatan itu ditandatangani oleh A. Navis dan tokoh-tokoh Orang Rimba antara lain, Temenggung Mirak, Mangku Ngidin (setingkat kepala dusun), Tengganai Langkap, dan Depati Begaji sendiri. Sampai di situ konflik masyarakat RLM dengan Orang Rimba bisa dibilang telah mereda. Namun konflik lainnya timbul dan masih berlangsung, yaitu adanya anggota keluarga masyarakat Desa RML yang tinggal di desa lain yang belakangan tahu dengan perjanjian itu, tidak peduli dan tetap membuka ladang. (Zainuddin, Staf Fasilitasi
Desa)
13
LAPORAN UTAMA 14 kepercayaan pada pimpinan desa, dan keberadaan kelembagaan formal desa lainnya seperti BPD (Badan Perwakilan Desa) dan LKMD, belum pula berfungsi optimal. Sebagai gambaran tekanan perladangan masyarakat desa interaksi ini tahun 2001 khususnya di 4 desa yaitu Jernih (dilakukan 138 KK), Semurung (38 KK), dan Baru (35 KK). Indikasi akan meningkatnya angkaangka tersebut tampak dengan adanya piari’an (gotong royong) oleh 4 kelompok (masing-masing berjumlah 30 anggota) membuka sesap di areal TNBD. Berangkat dari permasalahan tersebut perlu dialihkan perhatian masyarakat dari TNBD. Mengamati tingkat ancaman yang ada, maka sasarannya bukan lagi orang-perorang melainkan kelompok-perkelompok. Dan bertumpu pada potensi yang dimiliki desa-desa interaksi tersebut maka alternatif strateginya adalah Gerakan Kembali ke Sawah (GKS) terutama untuk 2 desa yaitu Jernih dan Semurung. Kedua desa ini menjadi prioritas didasarkan potensi persawahan yang tersedia, sarana, dan prasarana misalnya adanya irigasi, kelompok tani yang telah terbentuk beberapa tahun silam, serta adanya PPL meskipun fungsinya belum optimal.
Otonomi dan Peran Pemkab Bagi Kelangsungan TNBD
D
itetapkannya Bukit Duabelas sebagai Taman Nasional (TNBD) dalam era reformasi, tepatnya Agustus 2000 melalui SK Menhut No.258/KPTS-II/2000, apalagi dua bulan kemudian (Oktober 2000) Presiden RI yang waktu itu dijabat Abdurrahman Wahid alias Gusdur langsung mengukuhkannya, bukti pusat pun punya perhatian terhadap taman ini. Dimana kemunculannya merupakan perjuangan daerah yang dimotori oleh Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin beser ta jajarannya. Pemerintah provinsi (Pemprov) melihat pentingnya peranan hutan alami di tengah-tengah Jambi sebagai penyangga kehidupan dari hulu hingga hilir. Kemudian bagaimana pula peranan pemerintah kabupaten (Pemkab) di era otonomi ini untuk TNBD? TNBD secara administratif berada dalam 3 kabupaten, masing-masing Kabupaten Batanghari seluas 40 ha, Sarolangun 12 ha, dan Tebo 8 ha. Untuk pengelolaan TNBD dibutuhkan kepedulian satu kabupaten lagi yaitu Merangin, karena terkait dengan interaksi desa-desa di sebelah barat TNBD. Desa-desa ini berada dalam wilayah administrasi
Jadi bertani sesungguhnya bukanlah kegiatan baru bagi dua desa tersebut, karena 5 tahun silam telah dilaksanakan. Akan tetapi dikarenakan serangan hama yang tidak bisa dikendalikan (babi dan tikus) maka kegiatan tersebut berhenti dan mulai beralih ke TNBD yang dianggap beresiko rendah. Pendekatan kepada masyarakat dilakukan baik di rumah, ladang maupun sawah, dari diskusi yang dilakukan, diketahui faktorfaktor yang membuat keengganan mereka bersawah. Hambatan-hambatan yang dihadapi ketika dulu bersawah antara lain irigasi yang tidak lancar, tanahnya yang berpasir, air yang ada di sawah panas, serta adanya hama yang sulit diatasi. Persepsi-persepsi demikian yang kemudian dijadikan pembenaran (justifikasi) mereka membuka ladang di TNBD. Demi menjadikan GKS sebagai gerakan massal penting untuk memfungsikan kembali kelompok tani (Keltan) serta menjembatani komunikasi Keltan dengan PPL. Tipologi masyarakat yang cenderung meniru kegiatan yang telah berhasil, maka GKS diawali dengan memilih satu Keltan, yaitu Padang Bungur, Desa Jernih. Upaya mendapatkan dukungan dari intansi terkait pun (mulai dari BPP, Dinperta hingga ke Bupati Sarolangun) terus diusahakan agar GKS mendapat perhatian. Bahkan,
kabupaten tersebut. Keterkaitan 3 kabupaten ini dengan TNBD harusnya membentuk citra positif kabupaten ke pusat dan Pemprov dalam membangun daerah masing-masing. Karena di masa depan kecenderungannya adalah variable lingkungan atau konservasi merupakan syarat penting dalam melakukan pembangunan apa saja di daerah. Bagi daerah yang memperhatikan keberlanjutan hutan tentu akan mendapat kredit point tersendiri, baik dari rakyatnya ataupun dari pihak luar. Hutan Sumber Kehidupan TNBD dan Orang Rimba, sebenarnya kebesaran budaya hutan tropis di masa lalu yang harus menjadi kebanggaan sepanjang masa. Dan dalam prakteknya TNBD harus dipandang sebagai sumber penghidupan dalam artian luas, baik dalam pengaturan air dan ikan, pengatur cuaca dan iklim, sebagai habitat binatang dan tumbuh-tumbuhan, serta sumber ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Namun TNBD telah dilogging perusahaan sejak tahun 70-an. Intensitas illegal logging kian tinggi justru saat memasuki era reformasi. Masyarakat memang menjadi bagian dalam kegiatan ini, karena keberadaan mereka selama ini juga telah diabaikan dalam pengelolaan hutan. Namun illegal logging tetaplah tidak dapat dibenarkan. Pemkab setempat memliki tanggung jawab besar untuk kelangsungan TNBD agar bisa diwariskan ke
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
15 Gubernur Jambi tanggal 23 April 2002 datang secara khusus ke sawah Keltan Padang Bungur dan turut mengkampayekan GKS kepada masyarakat di desa-desa wilayah Air Hitam. Tentunya, kunjungan Gubernur ini disertai dengan sejumlah bantuan untuk mendukung GKS, meskipun bukan itu semata-mata tujuannya. Pasca kedatangan Gubernur, GKS menjadi pembicaraan yang lebih menarik di kalangan masyarakat dan aparat setempat, dibandingkan berladang ke kawasan TNBD. Artinya, munculnya harapan bahwa ke sawah cukup prospektif dalam menopang kebutuhan pangan masyarakat.
generasi berikutnya. Hal ini dapat dimungkinkan dengan cara penegakan hukum dan pemberdayaan ekonomi alternatif masyarakat di sekitar TNBD melalui dukungan kebijakan pemerintah.
AULIA ERLANGGA
Pada masa tanam pertama terjadi lonjakan cukup tajam, meskipun sebagian dari mereka lahannya harus menumpang pada yang lain. Di desa Jernih yang semula hanya 1 orang kini terbagi menjadi 5 Keltan yaitu Padang Bungur (beranggota 35 KK), Payo Lebar (24 KK), Beringin (8KK), Pematang Kecik ( 44 KK) dan Meranti (12 KK). Sedangkan di Desa Semurung, dari tak ada sama
Manfaat TNBD tidak saja dalam bentuk uang dengan menumbangi kayu-kayunya. Ketergantungan yang sangat berlebihan terhadap kayu, baik oleh masyarakat maupun demi PAD (Pendapatan Asli Daerah) akan melupakan sumber ekonomi lain yang bisa memberi manfaat berkelanjutan. Masyarakat Jambi basis ekonominya pertanian. Hutan tersisa seperti TNBD akan berperan penting untuk mendukung keberadaan sistem pertanian, terutama dalam pengaturan sumber air dan penanganan hama tanaman. Peranan Pemkab Menyelamatkan TNBD Dengan dikeluarkannya UU otonomi daerah No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Pembagian Kewenangan Daerah dengan Pusat dan Perimbangan Keuangan antara keduanya, berimplikasi luas terhadap pegelolaan hutan. Kuantitas perolehan PAD sering dijadikan indikator utama kesuksesan atau keberhasilan otonomi suatu daerah, khususnya bagi Pemkab. Padahal
sekali menjadi 42 KK-nya mau turun ke sawah. Namun usaha dalam mencapai keberhasilan panen tidaklah semulus yang dibayangkan. Banyak kendala yang dihadapi. Misalnya disebabkan pola tanam yang sederhana (tebas, bakar, dan tanam) tanpa pengolahan tanah terlebih dahulu. Disamping itu sebagian besar petani kurang mengetahui cara mengatasi hama. ‘Hama’ yang tak kalah sulit dihadapi adalah kerbau, berjumlah 30 ekor. Kepala Desa dan BPD membuat keputusan kalau kerbau perlu dibuatkan kandang tersendiri. Sedangkan untuk hama tikus, wereng, dan babi, didiskusikan dengan intansi terkait demi mendapatkan bantuan racun pemberantasan hama. Hasil panen masing-masing Keltan bervariasi yaitu Padang Bungur 4,7 ton/ha, Payo Lebar 4,2 ton/ha, Meranti 3,2 ton/ ha, Beringin 3,5 ton/ha, Pematang Kecik, serta di Semurung 6,3 ton/ha. Lokasi sawah terakhir ini panen rayanya dilakukan langsung pertengahan bulan Agustus lalu oleh Bupati Sarolangun. Keseriusan
kewenangan daerah menggali PAD dengan cara ini merugikan kelangsungan hutan. Kebijakan yang terlalu mengandalkan hutan sebagai sumber PAD menimbulkan dampat buruk yang tidak terprediksikan di masa datang. Pemkab seyogianya tidak mengulangi kesalahan pengelolaan hutan selama ini yang mengeksploitasi tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Pemkab seharusnya tidak lagi meniru kesalahan yang telah dilakukan pemerintah Orde Baru yang telah lebih dulu mengeksploitasi sumber daya hutan daerah. Saat kewenangan daerah lebih luas, kekuasaan mengontrol segala hal pun sangat besar, termasuk kehutanan. Namun akses langsung kekuasaan bukan berarti hanya mengeksploitasi hutan tetapi juga mengamankan dan memulihkannya. Apalagi pengelola dan pemegang kewenang di era otonomi ini putra-putra asli daerah sendiri, maka rasa memiliki daerah, terutama TNBD, harusnya lebih besar dan menjadikan hutan sebagai kebanggaan.(Robert A, Koordinator Unit Pendampingan Orang Rimba)
LAPORAN UTAMA 16
Mengenai laju perladangan masyarakat desa yang pada awal tahun disinyalir akan meningkat, setelah kegiatan ini berkurang. Misalnya di Desa Jernih, teridentifikasi 4 KK yang membuka ladang baru dan itu pun jauh dari pemukiman desa. Untuk Desa Semurung, masih terdapat 1 orang yang membuka ladang dalam TNBD yang letaknya di area desa lain. Sementara itu masa menanam untuk Oktober lalu agak tertunda karena kemarau di awal bulan yang lamanya mencapai 6 minggu, meskipun tidak semua lokasi sawah mengalami kekeringan. Beberapa Keltan saat ini mengupayakan membuat tali air sederhana dengan mengajak PPL mengajukan pembangunan irigasi ke intansi terkait. Strategi GKD Desa lain yang juga menjadi sasaran GKS yaitu Lubuk Jering. Potensi desa ini memadai dengan lahan persawahan seluas 6 ha (yang sudah jadi) dan 450 ha (potensi seluruhnya), yang pernah digarap melalui program Dinperta seluas 40 ha. Telah tersedia pula sarana irigasi. Pada awalnya GKS di desa ini melalui Keltan Bunga Mekar beranggota 15 orang dengan area seluas 3,75 ha. Kegiatan penyiapan lahan dan penyemaian dilakukan secara serentak. Akan tetapi mengalami kegagalan karena semaiannya dirusak kerbau yang keseluruhanya berjumlah 86 ekor di desa tersebut. Untuk mengatasi ‘hama’ kerbau ini sulit karena pemiliknya elit desa. Berbagai aturan sudah dibuat akan tetapi implementasinya kosong. Berangkat dari pengalaman tersebut, untuk merancang kegiatan persawahan perlu pengkajian berbagai aspek agar tidak terkesan hanya mengikuti trend. Diadakanlah pemetaan tata ruang desa oleh Warsi dan masyarakat (secara partisipatif ), guna melihat potensipotensi desa, permasalahan dan kebutuhan pemanfaatan, serta kepemilikan dan status lahan yang lebih jelas. Dari pemetaan tersebut dihasilkan peta data masingmasing lokasi dan diketahui potensi sawah seluas 450 ha, lahan belukar 585,5 ha, lahan gandus 1.202,5 ha. Diharapkan bisa didapatkan bapak angkat untuk memanfaatkannya, sedangkan ternak kerbau
AULIA ERLANGGA
bersawah kian tampak melalui perubahan pola pengolahan sawah, dari sebelumnya yang hanya ditebas rumputnya, dibakar lalu ditanam, kini beberapa Keltan mengolah dengan cangkul membuat pematang dan sebagian menggunakan alat/mesin pembajak.
disediakan lahan lain seluas 72 ha sebagai peta ternak. Berdasarkan peta tersebut juga diketahui ladang masyarakat di dalam Taman Nasional seluas 1.040,72 ha jenis tanaman karet, cabe, dan padi. Pemanfatan lokasi-lokasi dengan rincian berbagai budidaya yang bisa dikembangkan seperti padi di lahan persawahan, sawit di lahan belukar, karet unggul ataupun tanaman lain, juga sebagai upaya untuk mengalihkan masyarakat Lubuk Jering dari TNBD. Usaha ini diberi tema Gerakan Kembali ke Dusun (GKD). Potensi yang telah terpetakan disampaikan ke intansi terkait dan mendapatkan sambutan berupa program pembangunan untuk tahun 2003 di desa ini, di antaranya rencana percetakan sawah oleh PU dan Dinperta Kabupaten setempat, pengembangan plasma untuk sawit oleh perusahaan PT Jambi Agro Wiyata (PT JAW), dan pembangunan hutan rakyat lewat budidaya karet unggul, durian, duku, dan rotan oleh Dinas Kehutanan Jambi. Sekarang yang dibutuhkan upaya bagaimana mensinergikan berbagai program di atas atau yang baru nantinya dengan kepentingan konservasi di tengah ekspansifnya masyarakat ke Taman Nasional. Manakah kemudian yang akan bertahan, GKD atau Gerakan Membuka Perladangan (GMP) dalam Taman Nasional? Kuncinya terletak pada kemauan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap penyelamatan TNBD dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.(Budi Retno Minulya, Staf Fasilitasi Desa)
Per tanian Ladang Ancaman Bagi TNBD
S
alah satu dari banyak bentuk ancaman terhadap kelestarian TNBD adalah pertanian berladang, dalam istilah pertanian disebut shifting cultivation. Istilah ini untuk menggambarkan sistem pertanian tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di lahan kering dengan cara membuka hutan baru, lalu menanam tanaman campuran, seperti palawija (padi, jagung, dan cabe), sayuran (mentimun dan ubi-ubian), holtikultura, serta tanaman perkebunan (karet).
Kegiatan pertanian berladang oleh masyarakat di areal Taman Nasional di beberapa desa interaksi telah sampai ke puncak bukit, meski luas bukaannya relatif terbatas. Dalam tahun 2002 ini , tingkat ancaman pembukaan lahan baru dalam kawasan Taman Nasional kian tinggi. Dimana di beberapa lokasi masyarakat sudah mulai melakukan aktifitas penebasan, penebangan, pembakaran, pembersihan, dan penanaman. Sistem pertanian berladang membutuhkan tenaga dan modal yang lebih sedikit bagi setiap unit produksi pangannya dibandingkan sistem pertanian lainnya. Pertanian berladang memiliki teknologi yang lebih sederhana yakni memakai parang, kampak/beliung, api, dan tugal (tongkat penggali lobang), ketimbang pertanian sawah. Sifat pertanian berladang adalah berpindah-pindah, selalu mencari lokasi baru dan harus hutan, alasannya agar tanaman dapat tumbuh dengan baik, terutama untuk tanaman padi. Pembukaan lahan dalam kawasan hutan selain untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sehari-hari dari padi, cabe, sayu-sayuran, dan lainnya, juga didorong oleh penanaman karet yang dianggap lebih menjamin kehidupan mereka di masa depan, baik hasil maupun nilai lahannya. Namun itu pun ditentukan faktor cuaca untuk penyadapan. Sebelum penanaman terlebih dahulu ada proses pembakaran terhadap lahan yang baru dibuka. Tujuannya guna mengubah tumbuhtumbuhan yang telah ditebang dan juga lapisan humus di atas tanah hutan menjadi abu. Proses perabuan ini melepaskan zat-zat gizi yang terdapat di batang pohon, dahan-dahan, daun, dan humus sehingga zat-zat gizi ini dapat dihisap oleh akar tanaman pangan (padi, cabe, sayuran,dan jagung). Tujuan lainnya usaha memperlancar aktifitas selanjutnya seperti menanam, menyiang tanaman/merumput, dan memanen. Kemudian juga untuk mematikan tumbuh-tumbuhan yang sulit untuk ditebang dan mencegah tumbuhan baru yang dapat menjadi saingan tanaman padi. Selain itu demi mendapatkan sinar matahari serta zat hara yang dibutuhkan tanam padi. Faktor budaya ternyata turut menjadi penyebab tingginya pembukaan lahan baru oleh masyarakat dalam Taman Nasional. Ada kepercayaan bahwa kegiatan yang telah dilakukan turut-temurun itu perlu dilanjutkan oleh generasi berikutnya dan dianggap bukanlah suatu masalah. Faktor keberikut yaitu efisiensi, baik efisiensi waktu maupun tenaga.
AULIA ERLANGGA
Dari segi keefisienan waktu, peladang tidak harus bolak-balik untuk pergi ke ladang karena juga harus menyadap karet yang lokasinya tak jauh dari ladang. Pagi menyadap, siang sampai sore mereka melakukan beberapa pekerjaan lainnya, seperti menebas dan menyiang rumput. Untuk beberapa kasus di desa, jarak ladang dengan pemukiman penduduk rata-rata 45 km, waktu tempuhnya 1 - 2 jam jalan kaki. Sedangkan dari segi efisien tenaga kerja dan biaya, mereka mengandalkan sistem gotong-royong, secara bergiliran antara sesama peladang pada lokasi yang berdekatan karena sistem per tanian berladang dilakukan secara berkelompok dalam satu lokasi dan serentak.
17
SELINGAN
Sehingga kebutuhan tenaga kerja pada saat membuka lahan, membakarnya, menanam, dan panen, dapat diatasi dengan jumlah yang sedikit. Si pemilik lahan tidak perlu mengeluarkan uang untuk upah pekerja. Pemilik lahan cukup menyediakan makan sekedarnya, minum, serta rokok. Pekerjaan penebasan, penebangan, penyiangan, dan pemeliharaan tanaman, sepenuhnya merupakan tanggung jawab si pemilik lahan dan anggota keluarganya. Kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman pada sistem pertanian berladang sangat sederhana sekali, tanpa pengolahan tanah, pemupukan, saluran irigasi, pemagaran demi pengamanan dari gangguan hewan ternak. Faktor selanjutnya yang menjadi penyebab tingginya pembukaan lahan baru yaitu faktor resiko kegagalan yang sangat kecil dalam pertanian berladang jika dibandingkan dengan pertanian sawah. Kegagalan panen yang disebabkan oleh banjir kemungkinannya sangat kecil atau tidak ada sama sekali. Disamping lahan yang dianggap lebih subur dari pada lahan belukar, persawahan menetap, atau sekitar pemukiman. Berdasarkan hasil pendataan terhadap panen padi, rata-rata petani mendapatkan 1 : 50, yaitu dalam 1 gantang benih menghasilkan 50 gantang padi bersih, 1 gantang padi = 0,75 gantang beras atau 3 kg beras. Rata-rata dalam satu hektar kebutuhan bibit padi adalah 30 gantang. Hasil dari satu hektar rata-rata 900 gantang atau 2700 kg beras. Pada beberapa lokasi di kawasan TNBD tofografinya datar dan sangat cocok untuk dijadikan lahan budidaya pertanian, dan alasan inilah yang menjadikan masyarakat berlomba-lomba melakukan pembukaan lahan baru dalam kawasan TNBD. Terbukanya jaringan jalan logging dimanfaatkan masyarakat untuk memperlancar kegiatan pertanian berladangnya. Selain itu tak jelasnya petunjuk atau tanda di lapangan sebagai perbatasan antara kawasan konservasi dengan lahan yang boleh dibudidaya. Begitu juga dalam penegakan hukum oleh instansi terkait terhadap persoalan itu. Kecemburuan pada peladang yang terus melakukan kegiatan perambahan baru dalam kawasan, kian memicu pembukaan hutan menjadi ladang oleh peladang lainnya. Ditambah pula dengan belum adanya aturan-aturan desa yang mendukung kegiatan perekonomian masyarakat selain menggantungkan hidup dari hutan, termasuk aturan pemeliharaan ternak. Sehingga membuat masyarakat pun enggan melakukan kegiatan pertanian di sekitar desa, baik pertanian lahan kering maupun lahan sawah. Perambahan menjadi masalah yang kian rumit karena lemahnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap hal itu. Dibutuhkan komitmen semua jajaran teknis pemerintah, LSM, dan masyarakat untuk penuntasan persoalan ini.(Ade Candra, Staf Fasilitasi
Desa)
FOTO-FOTO : OYVIND SANDBUKT, RIZA MARLON
18
lanjutan : Per tanian Berladang Ancaman Bagi TNBD
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
19
Menyingkap Misteri Orang Rimba Taman Nasional Bukit Duabelas
G
ema suara resonansi dari paruh kuningnya dan kepakkan sayap yang menderu menyadarkan saya, bahwa selain Orang Rimba, rangkong gading atau hornbill dengan nama latin buceros virgil juga menjadi penghuni kelebatan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Tidak itu saja, di atas pepohonan meranti (Shorea peltata), kedundung (Spondias dulcis), Jelutung (Dyera costulata - Apocynaceae), bergelantungan primata yang bersahut-sahutan memekakan telinga. Primata-primata tersebut antara lain, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), simpay (Presbytis melolophos), Beruk (Macaca nemestrina), Siamang (Hylobates agilis), Owa (Symphalangus syndactylus), dan Lutung (Presbytis rubicunda). Pikiran saya saat itu pun menerawang dan coba menghibur diri bahwa saya tidak sendirian di tengah rimbunnya rimba TNBD. Meskipun bekal pengetahuan dan banyaknya kegiatan alam bebas yang sudah pernah saya lalui tak perlu diragukan lagi, tetap saja ‘misteri’ Orang Rimba dengan segala stereotif negatif yang beredar di kalangan awam membuat perasaan ‘takut’ menjadi hantu yang terus mengikuti langkah di bulan pertama memulai kerja pendampingan di komunitas itu.“Awas Kubu, hati-hati jangan meludah di depannya, bisa kena pelet nanti !” Atau kalimat-kalimat yang bernada menghakimi perilaku mereka, seperti “Kubu itu tak beragama, jorok, kotor, menjijikan, dan makan segalanya”. Sedikit sekali rekomendasi yang menyejukkan hati tentang Orang Rimba. Dan banyak bertanya justru semakin membuat perasaan tak menentu. Belum lagi ‘misteri’ Orang Rimba terpecahkan, medan terjal berupa kontur bukit yang melelahkan untuk dijelajahi, langsung mengintimidasi dan menguras stamina saya. Di balik jalan radikal ini tanpa ampun ratusan pacet penghisap darah menempel di kaki, tapi saya tetap bulatkan tekad untuk menerobosnya. Dua rombongan Orang Rimba di Sungai Terab harus berhasil saya dekati agar tugas-tugas pendampingan terwujud dan berlangsung lancar. Kecukupan Pangan di Tengah Belantara Dalam tulisan-tulisan antropologi serta catatan-catatan etnografis masyarakat yang menggantungkan hidup pada kemurahan alam disebut masyarakat suku. Mereka berburu dan mengumpulkan makanan (hunter and gathering). Namun Orang Rimba TNBD memadukan kemampuan berburu dan meramu itu dengan perladangan. Dan ini bisa menepis anggapan masyarakat awam kalau mereka hidup kekurangan. Kemampuan berburu serta mengumpulkan makanan kian menegaskan kalau mereka punya kelimpahan pangan dengan segala variasinya yang kaya akan sumber protein dan gizi. Ladang sebagai tempat tinggal mereka selalu berada dekat sungai yang jernih dan tak tercemar. Sungai juga menjadi lumbung makanan alami mereka. Jika musim buah-buahan tiba (dalam bahasa Orang Rimba: petahunan godong), pohon-pohon buah (benuaron) seakan tak ada habisnya menyediakan sumber vitamin bagi mereka, gratis, dan instan alias langsung tersedia ditempat mereka tinggal. Namun disebabkan hutan yang menjauhkan mereka dan jarangnya berhubungan dengan dunia luar, Orang Rimba selalu diartikan sebagai manusia yang berbeda dengan manusia kebanyakan yang bertempat tinggal di luar hutan. Hingga muncullah pendapat bernada negatif tentang Orang Rimba. Padahal jika masyarakat luar mau turun langsung ke habitat Orang Rimba seperti yang saya lakukan, akan terllihat kalau Orang Rimba tak jauh berbeda dengan manusia lainnya, punya nurani, punya kebiasaan, bahkan lebih arif dalam melihat alam sekitarnya.
SELINGAN 20 Tak Kenal Maka Tak Sayang
Terdengar jawaban dari seberang sungai, ”Siaaapo…?” Kami kembali bersuara, “Warsi…” Mendengar jawaban itu, beberapa lelaki seumur 15 tahunan muncul dengan langkah pelan ke arah kami, sorot matanya menyelidik. Cawat, tanpa alas kaki, serta kujur (tombak) di tangan mereka menyakinkan saya, kalau merekalah yang disebut Orang Rimba. Setelah diperkenalkan oleh guide tentang saya kepada mereka, mereka pun mengangguk sambil terus menatapi saya. Hubungan baru terasa akrab setelah selama satu minggu saya jalani hari mengikuti aktifitas mereka. Hari-hari sebelum itu selalu diisi kecurigaan mereka terhadap saya tentang maksud kedatangan saya sebenarnya ke lingkungan mereka. Kadang mereka datang bergerombol menghampiri tenda saya, menyikat rokok dan roti bahan kontak bekal saya hidup di rimba, tanpa bicara. Mereka hanya duduk tak jauh dari saya, sambil menatap tajam, dari mulut mereka asap rokok terus mengepul.
OYVIND SANDBUKT
Dengan ditemani dua porter (pemandu dari Orang Rimba yang telah mengenal dunia luar) saya percepat langkah meskipun jalan setapak yang dilalui ditumbuhi semak berduri, ketika sayup-sayup terdengar suara manusia yang bercampur lolongan anjing dalam jarak yang tak jauh, hanya sepenyanyalung (jarak dengar berdasarkan pantulan suara jika saling berteriak), di dalam Rimba TNBD. Ada rasa penasaran yang mengrunyak batin saya. Akhirnya tepat di pinggir sungai, saya dan salah seorang porter, bernama Zoel, meneriakkan salam khas rimba dengan besasalung (berteriak) ‘ooiii…..!”.
Sosok Anak Orang Rimba
Berjam-jam mereka seperti itu, kadang dari sore sampai tengah malam lalu tanpa basa-basi mereka serentak meninggalkan saya dengan keacuhan yang luar biasa. Saya sempat shock melihat ‘tatakrama’ rimba seperti itu, namun itu tak lama, setelah sedikit menguasai bahasa rimba, akhirnya saya cairkan sendiri hubungan kaku tersebut dengan pendekatan dan cara ‘antropologis’ yang sudah ada di otak saya. Saya pikir, akan timbul sekatsekat penghalang, bila memagari diri dengan ‘budaya urban’ saya untuk bisa diterima mereka. Langkah pertama, saya coba berbaur dan menceburkan diri dengan mengikuti irama dan kebiasaan mereka hidup. Apa yang dimakan mereka dengan adaptasi yang terukur, juga saya makan. Apa yang mereka lakukan sehubungan dengan ritme harian mereka, saya ikuti dan coba saya nikmati sebagai bagian dari tugas pendampingan. ‘Budaya urban’ yang melekat pada saya, kadang dinilai rapuh dan lemah dalam pandangan mereka, khususnya jika mereka menilainya dari kemampuan hidup di hutan. Pada satu kesempatan, saat berada di rombong Tengganai (sebutan untuk penasihat pimpinan Orang Rimba) di Kemang Bungo, Makekal hulu. Porter yang mengantar saya menemui rombongan Bepak Nulis (nama Orang Rimba lainnya di Makekal hulu) yang bermukim di Sungai Desa Buluh, terpaksa menganjurkan saya berbalik karena jembatan terendam luapan air oleh hujan tak henti-henti. Mereka beranggapan saya tak mampu menyeberanginya tanpa bantuan jembatan, kesempatan ini saya gunakan sebagai pembuktian anggapan mereka salah. Ransel kecil yang saya gantung di bahu, saya bungkus dengan
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
21 kantong plastik besar dan saya ikat kuat agar air tak menembus kedalamnya. Sekaligus saya terangkan pula kalau itu juga berfungsi sabagai ‘pelampung’ untuk mengapung di air. Lalu byuuurrr…, saya melompat dan berenang dengan arah serong menuju hilir dan tak lama saya pun sudah berada di seberang sungai. Mereka orang rimba yang menjadi guide- hanya bengong, keheranan. Dalam pikirannya orang kota tak akan punya kemampuan berenang seperti mereka, “Cacam, kawana melawon…. !” yang artinya “Kawan ini memang hebat…!” Rasa kagum tersebut pun menyebar ke semua Orang Rimba hingga menjadi bahan pembicaraan. Apa yang terjadi setelah itu ? Saat sore hari atau pada jam mandi, Orang Rimba berdatangan dan mengajak saya untuk berenang di sungai dan meminta saya mengajarkan mereka berenang ‘gaya kodok’ yang saya praktekkan di sungai yang meluap tersebut. Mereka belum dan tak pernah menguasai gaya berenang yang demikian. Hampir tiap sore mereka mengajak saya, bahkan menantang beradu cepat dalam berenang. Kemang Bungo dengan sungainya yang airnya meluap menjadi saksi, satu-persatu lelaki dewasa dan bujang-bujang rombongan Tengganai, saya pecundangi dalam adu cepat ini. Mereka tak paham kenapa saya bisa selalu menang dalam lomba adu cepat itu, karena menurut mereka Orang Rimba akan lebih berkemampuan. Saya jelaskan kalau saya dulu pernah bekerja sebagai pemandu arung jeram (tentunya dalam pengertian yang bisa mereka pahami) di sebuah outbound training, mereka menjadi maklum dan tak pernah lagi mengajak saya bertanding adu cepat dalam berenang. Misteri Terkuak Karena hidup hanyalah soal keberanian menghadapi tanda tanya, tanpa bisa kita mengerti, tanpa bisa kita tuk menawar, terimalah dan hadapilah !
Mereka berburu dan mengumpulkan makanan (hunter and gathering).
Sangat banyak suka duka selama kerja pendampingan di komunitas Orang Rimba TNBD ini. Namun hal yang bersifat duka saya anggap hanya sebagian kecil resiko yang harus ditanggung. Perbedaan kultur urban dan kultur rimba yang bertemu dalam satu ‘wacana adaptasi’ adalah inti permasalahannya. Bisa menyesuaikan diri dan tahan banting serta familiar dengan kehidupan hutan merupakan kunci betahnya hidup di rimba. Memahami dan intensif berada di tengah ‘kesahajaan’ adat rimba akhirnya menjawab sendiri misteri Orang Rimba yang disebut Kubu oleh orang awam. Orang Rimba ternyata seperti manusia normal lainnya, anggapan bodoh, jorok, dan punya ilmu pelet, serta tak beragama, ternyata cuma isapan jempol belaka, alias bohong besar. Itu saya lihat sendiri dalam kebersamaan dengan mereka. Orang Rimba bahkan dalam satu sisi lebih arif dalam menyikapi hidup, menghargai hutan, dan religius dengan kepercayaan yang mereka anut. Dan kerja pendampingan bagi saya dengan segala resiko serta kejutan-kejutan yang ditimbulkan Orang Rimba dan lingkungan hutannya, adalah pengalaman yang berharga bagi perjalanan hidup saya, bagian dari pengwujudan impian masa kecil, yaitu menjadi Indiana Jones! (Dodi Rokhdian, Antropolog)
AULIA ERLANGGA
Soe Hok Gie
KESEHATAN
DOK. WARSI
22
TNBD Surga Penghabisan Orang Rimba
H
ealth is not everything but without it every thing is nothing. Apa yang dapat dilakukan ketika sakit di tengah rimba belantara yang jauh dari layanan kesehatan? Hanya mengobati diri dengan tumbuhan alam yang belum tentu semuanya bisa menyembuhkan. Itulah secuil dari banyak kondisi yang dijalani oleh Orang Rimba, khususnya yang bernaung di dalam kawasan TNBD Jambi. Bagi kita layanan kesehatan dapat dengan mudah diperoleh bahkan bisa diupayakan yang terbaik seperti berobat ke luar negeri. Tapi pernahkah terpikirkan oleh kita (orang terang dalam sebutan Orang Rimba) nasib kesehatan Orang Rimba? Hutan telah memelihara kelangsungan hidup generasi sekarang dan yang akan datang dengan perannya menjaga air tanah, sebagai paru-paru dunia sekaligus paru-paru manusia. Dimana bagi Orang Rimba sendiri, merupakan surga penghabisan. Konversi terhadap hutan, khususnya TNBD menjadi HTI, pemukiman transmigrasi, serta illegal logging telah menyebabkan daya dukung hutan sebagai sumber
kehidupan semakin berkurang atau tidak memadai. Bukan saja dukungan terhadap keanekaragaman hayatinya dan kawasan hidup bagi Orang Rimba, tetapi juga untuk potensi tanaman yang selama ini menjadi andalan bagi kebutuhan pengobatan dan perut mahluk yang tinggal di dalamnya. Berdasarkan ekpedisi biota medika yang pernah dilakukan, diketahui sejumlah 137 jenis tamanan dan hewan, tepatnya terdiri dari 101 jenis tanaman, 27 jenis cendawan, serta 9 jenis hewan, yang berfaedah untuk pengobatan. Namun kini jenis-jenis itu sudah mulai sulit didapat. Air sungai pun yang dulu dijaga dengan sangat hati-hati oleh Orang Rimba bahkan dengan pantang memakai sabun untuk mandi, mencuci, bingguk (buang air besar), serta koncing (buang air kecil) di sungai, kini mulai merisaukan. Pemakaian sabun juga dilarang karena terkait mitos bahelo (dewa) bisa marah jika mereka tetap mengkonsumsinya. Namun sungai yang mereka jaga itu pun telah berubah menjadi sumber penyakit. Angka diare pun meningkat dan penyakit baru lainnya
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
23 bermunculan tanpa mereka tahu penangkalnya.Tempo dulu seorang Temenggung bisa mencari dan meramu bahan obat-obatan untuk jenis penyakit yang mereka ketahui. Namun kini jangankan meramu obat baru, bahan untuk resep obat yang lama pun sudah sulit didapatkan. Selain diare, jenis penyakit yang sering diderita Orang Rimba adalah ISPA, malaria, penyakit kulit, termasuk penyakit gigi. ISPA acapkali diperburuk oleh kebiasaan mereka merokok yang sudah dimulai sejak usia dini (± 6-7 tahun). Sedangkan untuk jenis penyakit kulit, termasuk diare, bisa dikurangi jika pola pikir mereka bisa berubah dengan mau menggunakan sabun untuk mandi, mencuci tangan sebelum/ sesudah makan, mencuci tangan sesudah bingguk, mencuci pakaian dan menjemurnya sampai kering. Selanjutnya, juga hampir sulit ditemukan Orang Rimba yang bergigi sehat/utuh, kebanyakan gigi mereka telah rusak dalam usia dini karena tidak dikenalnya kebiasaan menggosok gigi dalam kehidupan mereka. Odol mereka anggap sama seperti sabun.
Sementara itu pola hidup berkelana di dalam hutan kian mempersulit Orang Rimba mendapatkan pelayanan kesehatan, dari tenaga medis pemerintah bahkan swasta. Jarak yang harus ditempuh jika ada tenaga medis yang berkeinginan menjenguk kesehatan mereka, sangatlah jauh dan sulit. Ditambah pula kesulitan berkomunikasi dengan bahasa mereka, sistem regionalisasi kekuasaan pemerintahan, dan adanya pandangan negatif terhadap Orang Rimba sebagai
DOK. WARSI
Hal unik yang dilakukan Orang Rimba bila ada salah seorang terkena penyakit atau ada wabah yang menyerang kelompok tertentu, mereka akan melakukan besesandingon (mengisolasikan orang/kelompok yang sakit). Rombongan yang sehat akan mengurangi kontak dengan si sakit. Si sakit tentunya mencoba untuk berubat (berobat) dengan berbagai cara, baik melalui dukun, layanan kesehatan, ataupun pengobatan alternatif dengan memanfaatkan hasil rimba. Apabila segala daya dan upaya telah dilakukan dan tetap tidak memperlihatkan hasil maka semua permasalahan diserahkan kepada dewa. Mereka melakukan ritual bedekir (berdoa kepada dewa agar penyakit/wabah segera menghilang) pada malam hari.
faktor kesulitan berikutnya. Suatu hal yang patut diacungi jempol atau disyukuri jika ada tenaga medis yang terketuk hatinya rela membantu Orang Rimba dengan memberi layanan kesehatan, apalagi gratis (seperti yang pernah dilakukan seorang dokter di daerah Pematang Kabau). Namun masih akan adakah yang berkeinginan seperti itu? Warsi sebagai lembaga yang peduli konservasi dan pengembangan masyarakat telah memfasilitasi kesehatan Orang Rimba sejak 1999, bersamaan dengan pemfasilitasian pendidikan anak-anak rimba. Melalui pendidikan ini juga anak-anak rimba diarahkan menjalani pola hidup sehat. Sehingga secara perlahan pula pola pikir Orang Rimba soal pantangan mereka yang berseberangan dengan kesehatan tubuh, mulai berubah. Kini mereka telah terbiasa mandi dengan sabun, berkeramas dengan shampo, serta menggunakan odol untuk menggosok gigi. Hingga tampak juga adanya perbedaan antara anakanak yang ikut besokola (bersekolah) dengan yang tidak. Kulit mereka tampak lebih bersih dan beberapa penyakit kulit yang biasa diderita kebanyakan Orang Rimba tidak lagi menghampirinya. Keingintahuan Orang Rimba pun terhadap kesehatan mulai besar, termasuk tentang program KB. Sudah ada wanita rimba yang mengikuti program ini untuk alasan menjarangkan kelahiran namun bukan demi mengurangi jumlah anak. Karena dalam pandangan mereka, wanita yang bisa melahirkan banyak anak dianggap melawon (hebat).(Sutardi D, Paramedis)
PROFIL 24
Ir. H. Gatot Moeryanto, Kepala Dinas Kehutanan Jambi
Gagal Jadi Dokter Hengkang ke Kehutanan
L
elaki kelahiran 11 November 1952 ini, tak pernah menyangka akan ‘direpotkan’ oleh masalah hutan Indonesia, khususnya Jambi, bahkan diangkat menjadi Kepala Dinas Kehutanan Jambi. Karena sejak SMP dia justru merintis cita-cita menjadi seorang dokter sesuai harapan bapaknya, Prayitno (alm). Bapaknya yang pedagang pakaian di Wonosobo, Jawa Tengah, kota kelahiran Gatot, melihat keempat anak saingan dagangnya berprofesi sebagai dokter dan mampu mengendarai vespa yang saat itu termasuk kendaraan mewah, dari hasil keringat mereka. “Menjadi Kepala Dinas saya anggap sebagai nasib saja yang harus saya jalani. Bukan cita-cita yang lahir sejak kecil,” ujarnya kepada Alam Sumatera dalam suatu percakapan di ruang kerjanya yang nyaman. Ketika mendapat panggilan untuk menjadi Kepala Dinas Kehutanan Jambi tanggal 29 April 2002, dia mengaku justru stres. Dan itu berlangsung selama satu minggu. Alasannya, pengangkatnya berlangsung saat kondisi hutan Jambi kian memiriskan perasaan. Kegiatan illegal logging marak, pendirian sawmill liar pesat mencapai 290 buah. Belum lagi proses peralihan kewenangan melalui otonomi daerah yang kebijakannya lebih berorientasi pada PAD (Pendapatan Asli Daerah) semata, kian membuat ruang gerak untuk pelaksanaan visinya terhadap hutan Jambi tak selancar yang diharapkan. Masa pengangkatannya juga bersamaan dengan proses likuidasi kanwil-kanwil dan strukturisasi di tubuh Dinas Kehutanan. Diharapkannya peralihan kewenangan ke tingkat kabupaten dilaksanakan setelah institusi kehutanan dibenahi dulu, termasuk sumber
daya manusianya. Setelah itu tuntas baru kewenangan diserahkan ke tingkat kabupaten, sehingga sistem yang berjalan pun tidak stagnant (terhenti). Namun banyak kabupaten tidak sabar, membuat kerangka berpikir seputar kehutanan pun kurang terpenuhi. Setelah melakukan proses pengendapan diri akhirnya dia kuatkan tekat membenahi hutan Jambi dengan berpegang pada visi utama mengembalikan kompetensi administrasi publik untuk sektor kehutanan atas dasar keseimbangan peran antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat luas. Komitmen tegas dari gubernur Jambi untuk sektor ini, sempat membuatnya kembali ‘galau’ mengingat dinas kehutanan di tingkat kabupatenkabupaten di Jambi masih belum jelas komitmennya. Ketertarikan lelaki yang ketika memasuki pendidikan kelas tiga SMA pindah ke Yogya (1970) ini, berawal dari kegagalan untuk kedua kalinya diterima menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta. Dia justru lulus di Fakultas Kehutanan dan Sospol UGM. Dia sempat menganggur satu tahun karena tak lulus di tes pertama tersebut. Atas saran beberapa teman akhirnya dia menekui pendidikan di Fakultas Kehutanan UGM. Hutan sendiri sebenarnya tidak begitu asing bagi lelaki tamatan SMA IV Yogyakarta ini, satu-satunya SMA negeri di Yogya saat itu. Sebab di pelosok-pelosok Wonosobo terdapat hutan dan dia sering menghabiskan waktu berburu burung di sana. Perkuliah dimasukinya tahun 1973, gelar sarjana penuh diraihnya tahun 1979. Sambil kuliah Gatot sempat menjadi sopir travel demi memenuhi kebutuhan hidup dan kuliahnya. Di kota Gudeg ini juga dia bertemu gadis manis, Dewi Yuli Setiani, anak ibu kosnya, yang belakangan di tahun yang sama seusai menamatkan kuliah, dilamarnya. Mereka melewati masa pacaran yang cukup panjang. Keduanya juga langsung meninggalkan Jawa, begitu Gatot diterima bekerja di sebuah perusahaan HPH, PT Alas Kusuma (PT AK) grup. Semula dia berharap ditempatkan di cabang PT AK yang di Kalimantan Barat, karena wilayah Kalbar cukup luas. Namun pimpinannya justru memintanya bertugas ke Jambi. Dia sempat kecewa sekali, namun enggan membatalkan niatnya bekerja di perusahaan tersebut. Apalagi keluarga besarnya di Wonosobo telah mengantarkannya beramai-ramai, ibarat mengantar
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
25 orang yang pergi naik haji. Di Jambi dia ditempatkan di PT Intan Petra, di camp Lubuk Intan, tepatnya di Kejasung Besar. PT IP merupakan perusahaan yang dikontrak karya oleh PT AK. Dia menjabat asisten manajer di sini. Ada hal menarik seputar Orang Rimba yang ditemukannya di sini. Saat itu salah seorang Orang Rimba mendatanginya dengan hanya mengenakan cawat. Dia merasa kasihan dengan tampilan si Orang Rimba lalu memberikan baju-baju bagusnya pada Orang Rimba tersebut. Namun tindakannya itu justru ditertawai rekan-rekannya. Belakangan baru diketahuinya kalau baju yang diberikannya dilepaskan dan disimpan dalam buntalan kain yang dibawa si Orang Rimba begitu dia keluar dari campnya. “Saat itu baru saya sadar kalau cara berpakaian seperti itu sudah menjadi budaya Orang Rimba. Dan sebuah kebudayaan tidaklah mudah untuk diubah,” tegasnya. Sehingga suatu hal yang mengherankan bagi Gatot dengan adanya keinginan segolongan orang untuk membuatkan rumah bagi Orang Rimba, sebab Orang Rimba juga punya kebudayaan melangun, yaitu meninggalkan kediamannya jika ada anggota keluarganya yang meninggal. “Apa sudah hapus kebudayaan itu? Kalau belum, bagaimana bila mereka ingin melangun, rumah itu tentu akan ditinggalkan juga,” terangnya. Merubah kebudayaan Orang Rimba, menurutnya, tidaklah semudah yang dipikirkan manusia luar alias yang tidak hidup di dalam rimba. Selanjutnya, Gatot bertutur, kalau disebabkan sesuatu hal kontrak karya PT AK dengan PT. IP diputuskan. Tahun 1982, Gatot ‘melompat’ masuk ke Dinas Kehutanan dengan mengawali karir sebagai staf biasa. Berkat izin Tuhan kemudian karirnya di kehutanan berjalan bagus, berbagai posisi pernah dijabatnya, mulai dari Kasi sampai Kepala Cabang Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo Tebo, saat itu dua kabupaten ini masih menjadi satu. “Kalau dilihat dari segi fasilitas yang diterima, mungkin orang akan memandang enak menjabat kepala dinas. Namun menurut saya sebenarnya jauh lebih nikmat menjadi staf biasa saja. Sebab jabatan yang kian tinggi bagi saya berarti beban kerja yang juga kian besar bukan fasilitas,” tegasnya. Apalagi citra jajaran kehutanan yang kian buruk di mata masyarakat luas, yaitu pihak yang harusnya melindungi hutan justru menghancurkannya. Dia tak malu untuk mengakui kenyataan itu dan tindakan tegas pun telah dibuatnya. “Illegal logging bisa diatasi jika dari dalam tubuh Dinas Kehutanan sendiri dibenahi. Bagi mereka yang bertugas menyidik, mengukur atau
aparat Polhut, kalau ingin terlibat illegal logging, tak usahlah melakukan tugas rutinnya, tanggalkan saja baju tugas itu,” geramnya. Dia yakin dengan sikap tegasnya ini, dia bakal dimusuhi oleh jajarannya. “Tapi bagi saya itu tak masalah, bahkan jika ‘diusir’ pun dari instansi, saya siap,” tantangnya. Bisa saja sikap kerasnya ini akan menjadi bumerang dalam bentuk lain baginya, seperti munculnya fitnah yang sebaliknya kalau dia pun ikut ‘bermain kayu’, kemungkinan itu telah dibacanya. Apalagi jika orang melihat latar belakang dia pernah bekerja di perusahaan HPH. Sekaitan dengan itu juga, dia menjelaskan kalau selama bekerja di PT. AK, tidak ditemukannya praktek-praktek illegal logging dalam artian yang tidak membayar sesuai jumlah kayu yang dibawa. Sebab prosesnya sangatlah ketat, yaitu setiap kayu yang dibawa terlebih dahulu dibayarkan uangnya baru kemudian dokumen angkutan kayunya diberikan. Sehingga diyakinkannya kalau dengan memakai daftar angkutan kayu seperti itu, tak mungkin ‘dikerjai’. Namun kalau illegal logging dari segi penebangan dilakukan di luar blok yang ditetapkan, Gatot menyatakan, bisa jadi. Pihak perusahaan juga tak tahu persis, sebab masa itu yang menebang kayu adalah kelompok tebang dari Malaysia. Orang Indonesia, khususnya Jambi, waktu itu belum bisa mengoperasikan chainsaw. Selanjutnya, mengenai Taman Nasional, dia memiliki target taman harus bisa dimanfaatkan dalam bentuk yang lain oleh masyarakat, seperti Taman Nasional Berbak menjadi objek wisata. “Jika itu direalisasikan, berarti akan banyak dikunjungi masyarakat. Tentu pebalok malu menebang kayu di kawasan tersebut,” usulnya. Dia telah meminta didirikannya rumahrumah panggung atau hotel-hotel kecil dan fasilitas perahu ke pemerintah terkait untuk mewujudkan harapannya itu. Sedangkan untuk TNBD sasaran yang ingin dicapainya adalah terciptanya mekanisme daya tangkal tersendiri terhadap kawasan itu. Masyarakat dan perusahaan kayu harus punya rasa memiliki hutan yang kuat, sehingga rasa melindungi pun besar. Jika ada pihak luar yang tanpa konsep menebang hutan mereka, bisa langsung mereka cegah. Untuk hal ini Orang Rimba pun bisa diikutsertakan. Sementara itu, mengenai program reboisasi, dia mengungkapkan dana untuk itu ada, namun realisasinya masih mengecewakan. Hal tersebut terkait dengan alokasi dana dari pemerintah yang hanya untuk tanaman saja, belum untuk biaya pemeliharaan.(Roidah)
WAWANCARA 26
Drs. H. Majid Mu’az
“Daerah Jangan Sampai Dikibuli Lagi”
L
elaki tinggi tegap ini telah membantu terwujudnya pematokan batas definitif Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) untuk kawasan Kabupaten Tebo, demi konservasi atau mencegah berkelanjutannya upaya pebalokan. Dalam satu tahun masa kepemimpinan sebagai Bupati Tebo, tepatnya sejak dilantik 25 Mei tahun lalu, cukup banyak target yang ingin dicapainya. Dan langkahnya diawali dengan mengunjungi 87 desa yang terdapat di seluruh Tebo, karena menurutnya pembangunan Tebo sekarang maupun akan datang harus dimulai dengan membangun desa-perdesa. Namun khusus untuk persoalan illegal logging di hutan Tebo, lelaki kelahiran Agustus 58 tahun silam ini mengakui sangat sulit untuk diberantas sampai ke akar-akarnya, hampir semua masyarakat Tebo melakukan kegiatan ini. Dia memulai upayanya dengan mengalihkan perhatian masyarakat dari hutan ke sektor lain yang berpotensi untuk dikembangkan di Tebo hingga ngotot otonomi daerah harus memberikan titik terang dalam penanganan permasalahan ini. Berikut petikan wawancara Alam Sumatera dengannya:
Apa visi pembangunan anda ke depan untuk Tebo? Saya mematok empat pilar utama pembangunan sebagai visi membangun Tebo. Keempat pilar itu adalah ekonomi kerakyatan, pendidikan, kesehatan, dan agama. Program ekonomi kerakyatan memprioritaskan desa, sasaran dimulai dari pembangunan sarana transportasi. Sebab tanpa memusatkan perhatian pada sektor ini, pilar ekonomi kerakyataan tak memberi arti. Dan berapa pun besarnya hasil pertanian, perkebunan, atau perikanan masyarakat, kurang faedahnya jika sulit dipasarkan. Kondisi jalan-jalan penghubung antar desa di Tebo masih mengkhawatirkan, salah satunya yang terdapat di Desa Nilo, sejauh 11 kilometer rusak berat dan berlumpur. Skala prioritas berikut untuk ekonomi kerakyatan? Pertanian, perikanan, dan peternakan. Potensi ketiga sektor ini sangat besar dan kita tengah menggalakkan
pengembangannya. Khusus pertanian yang sangat diupayakan adalah memperlancar irigasi, untuk perikanan pengembangan potensi kerambah yang menjadi sasaran. Sedangkan untuk sektor peternakan kita mengupayakan pembibitan secara alami dan inseminasi buatan. Pengembangan alami yang dimaksudkan dengan meminjamkan induk ternak, misalnya jenis sapi, kepada masyarakat. Kita juga punya program penggemukan ternak. Sejauh mana semua target itu tercapai dalam satu tahun masa bakti anda? Tentulah belum bisa dikatakan 100 persen. Apalagi kita (pemerintahan Tebo,Red) masih dalam masa pembenahan fasilitas gedung pemerintah. Namun pasti apa yang telah menjadi target kita diharapkan bisa terwujud sepenuhnya. Bagaimana dengan sektor kehutanan? Apa temuan anda di sektor ini, terutama kondisi TNBD yang berada di wilayah Tebo? Sangat mencemaskan. Illegal logging dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat Tebo, tak peduli ada izin atau tidak, mereka terus menebang pohon-pohon. Saat ini tercatat lebih dari 100 sawmill berdiri di Tebo, dan diperkirakan hanya 40 persen yang legal. Modus pengambilan kayunya sama saja dengan yang berlangsung umum di keseluruhan hutan Jambi, seperti salah satunya memanipulasi dokumen, izin pengambilan kayu berasal dari Riau tapi menebangnya di sini. Apa upaya anda untuk menangani persoalan ini?
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
27 Selain mengalihkan masyarakat dari profesinya sebagai pebalok lewat pengembangan beberapa potensi Tebo yang telah saya jelaskan sebelumnya, juga dengan mengolah lahan tidur yang banyak terdapat di Tebo. Beberapa lahan tidur diusahakan ditanami jati putih unggul. Belum lama ini kita telah menyebarkan sebanyak 70 ribu bibit pohon jati putih unggul. Dan sekarang sudah ada seluas 60 hektar tanaman jati putih yang dikelola atas nama Koperasi Jati Tebo. Jika tumbuhan ini telah diproduksi menjadi perabotan rumah tangga, akan mendukung hidupnya ekonomi kerakyatan. Selain itu, penanganan illegal logging juga diupayakan dengan mendirikan pos-pos penjagaan khusus untuk hutan Tebo. Petugas yang ditempatkan di pos ini harus memeriksa setiap dokumen dan jumlah kayu yang diangkut. Jika ditemukan kejanggalan atau bahkan kecurangan, pihak bersangkutan harus dikenai denda alias ditindak tegas. Semua ini bertujuan agar daerah (Tebo,Red) jangan sampai dikibuli lagi. Saat ini pos penjagaan yang telah didirikan terdapat di perbatasan Tebo dan Kabupaten Batanghari. Bukan rahasia lagi kalau ada oknum dari beberapa instansi, salah satunya Dinas Kehutanan ikut bermain dalam pencurian kayu ini. Mereka memberikan dokumen palsu SKSHH atau menggelapkan jumlah kayu yang diambil, apa terobosan anda untuk pemberantasan kecurangan ini? Segala usaha untuk itu tetap membutuhkan kebersamaan alias kerjasama, khususnya dalam penegakkan hukum. Jangan sampai satu pihak menindak, pihak lainnya melepaskan. Poin ini yang harus terus-menerus diupayakan. Termasuk dengan menyetujui secepatnya pemasangan patok definitif TNBD yang berada di Kabupaten Tebo. Jika tata batas ini telah pasti, pihak yang melakukan illegal logging dalam kawasan lindung bisa diberi sanksi sesuai hukum yang berlaku. Sejauh mana kebersamaan antar instansi yang anda upayakan tersebut? Saya telah bentuk tim penanganan illegal logging di Tebo. Mereka terdiri dari aparat penegak hukum dan lembaga wakil rakyat. Hingga kini tim masih menelusuri pebalokan yang terjadi di Tebo. Namun diakui kebersamaan yang diharapkan ini masih terkendala kejelasan sikap atau keikutsertaan pihak pengadilan. Bagaimana dengan keberadaan PT.IFA sendiri di Tebo, apa pandangan anda? Yang pasti selama 30 tahun perusahaan itu tidak memberikan konstribusi apa-apa bagi pembangunan
Tebo. Ke depan kita harus perjelas MoU keberadaan mereka dan perannya untuk daerah. Pengurusnya dinon-aktifkan dan tengah dijajaki nama-nama baru yang diajukan. Secara yuridis formalnya pun harus ditata, termasuk apakah perlu nama perusahaan itu diganti. Apa manfaat signifikan yang diharapkan dari digulirkannya otonomi daerah untuk sektor kehutanan? Diberikannya kewenangan bagi daerah termasuk masyarakatnya untuk mengelola hutan. Bisa jadi penetapan sebuah hutan menjadi hutan Taman Nasional adalah kewenangan pusat, namun urusan pengolahannya pemerintah daerah dan masyarakat harus diikutsertakan dan itu harus secara tegas ditetapkan dalam UU otonomi daerah. Dalam areal Taman Nasional terdapat Orang Rimba, termasuk di wilayah Tebo. Apa perspektif anda terhadap mereka? Ke depan mereka diharapkan tidak hidup berkelana lagi di dalam rimba. Mereka sudah menetap sebagaimana masyarakat umum lainnya, mempunyai rumah di luar hutan dan pendidikan mereka pun terbina. Kalau perlu mereka juga telah memiliki agama. Apa program anda untuk mereka? Agar Orang Rimba bisa hidup normal sebagaimana masyarakat Jambi kebanyakan, maka pengembangan perekonomian mereka menjadi sasaran program pembangunan Tebo ke depan. Pembinaan ekonomi mereka bisa diarahkan pada sistem bercocok tanam yang menghasilkan. Misalnya menanam umbi-umbian, pisang, dan lainnya diluar Taman Nasional. Di antara empat pilar utama visi anda dalam membangun Tebo, ada pilar kesehatan dan pendidikan. Orang Rimba tentunya turut menjadi sasaran pilar ini, bagaimana tindaklanjutnya? Kita dekatkan kedua sarana di bidang itu ke wilayah mereka bernaung. Apalagi untuk pendidikan, mereka tentu tak akan termotivasi belajar jika harus berjalan jauh ke sarana pendidikan. Untuk kesehatan kita telah membangunkan sarana puskesmas pembantu di wilayah Suosuo bagi Orang Rimba di sekitarnya. Di sana ditempatkan satu tenaga medis yang telah dipastikan bisa memahami cara hidup dan tampilan lahiriah Orang Rimba. Untuk pendidikan, diadakan kelas khusus bagi mereka, mereka tidak perlu harus bersekolah di lokal formal, untuk sementara pola pendidikan sebaiknya diberikan secara santai tapi telaten oleh tenaga pendidik alias guru. Dan faktor utama keberhasilan sektor ini adalah pendekatan ke anak rimba.(Roidah)
AULIA ERLANGGA
28
AKTUAL
HAM Orang Rimba
D
i masa lampau masyarakat pernah mengenal dan merasakan adanya perbudakan yang kemudian sangat ditentang bangsa-bangsa di dunia. Berbagai gerakan revolusi pun bermunculan. Kondisi itu pernah mendapatkan tanggapan juga dari Presiden RI yang pertama, Ir. Soekarno. Dan sekarang praktek ‘penindasan’ hak manusia itu telah dihapuskan, namun sudahkah kikis sampai keakarnya? Agaknya masih layak untuk dipertanyakan. Setidaknya terhadap persoalan yang terlacak di daerah Tanah Garo, sebuah desa terisolir, dalam naungan pemerintahan Kabupaten Tebo. Pengacuhan HAM muncul dalam bentuk manipulasi tradisi masyarakat, tepatnya terhadap tradisi Orang Rimba. Dimana Orang Rimba yang berdomisili di sini, yaitu di sekitar Sungai Makekal yang berada dalam kawasan TNBD, telah terikat sebuah persumpahan dengan orang Tanah Garo dengan menetapkan orang Tanah Garo sebagai Waris (pemilik) Orang Rimba. Perjanjian bersama yang diikrarkan di daerah yang berdekatan dengan bibir Sungai Tabir, tempat bermuaranya Sungai Makekal, mereka hayati bersama. Sungai itu yang kemudian bisa dianggap saksi berpuluh bahkan beratus tahun Orang Rimba telah diperintah dan dikuasai, bahkan jika tidak produktif lagi bagi tuannya, dapat ‘diperjualbelikan’. Mereka yang memperjualbelikan tentulah orang Tanah Garo, sebagai pemiliknya. Kapan, dimana, apa sebab lahirnya persumpahan ini? Orang Rimba maupun orang Tanah Garo hanya bisa mengangkat bahu, mereka juga tidak tahu pasti, apa 100, 200, atau 300 tahun yang lalukah? Dari kisah yang bergulir dari mulut ke mulut, persumpahan itu dengan adanya sebuah batu yang diberi nama Batu Pusaka Aik (air) Behan. Batu ini berbentuk persegi panjang dengan ukiran-ukiran terpahat di setiap sisinya. Batu itu saat ini dipegang salah seorang tokoh masyarakat Tanah Garo. Aik Behan pemberian Orang Rimba pada orang Tanah Garo dengan maksud keterikatan orang Tanah Garo untuk siap membantu semua permasalahan Orang Rimba.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
29 Namun bentuk keterikatan yang semula diartikan persaudaraan tersebut kemudian dipolitisir orang Tanah Garo dengan rangkaian retorika penarik simpati Orang Rimba agar tidak melepaskan diri dari mereka. Orang Tanah Garo menciptakan mitos yang sangat dipercaya oleh Orang Rimba, bahwa orang Tanah Garo dan Orang Rimba dulunya satu keturunan dari Bujang Perantau asal Pagaruyung (Sumatera Barat). Anak Bujang Perantau ini ada 4 orang, dan dua di antaranya, bernama Bujang Malapangi dan Putri Selaro Pinang Masak. Karena suatu hal keduanya terpisah dan itu menjadi awal terbentuknya masyarakat Tanah Garo dan Orang Rimba.
AULIA ERLANGGA
Bujang Malapangi berketurunan orang Tanah Garo dan Putri Selaro Pinang Masak memiliki keturunan Orang Rimba. Keterpisahan keduanya ini pula pangkal penetapan lokasi tinggal, ada yang tinggal di Rimba dan ada di perkampungan. Lalu dilahirkan perjanjian antara keduanya, bagi yang berkampung harus mempunyai agama (Islam), memakan hewan peliharaan, dan bersekolah. Sedang yang tinggal di rimba, harus berkancut (memakai cawat), tidak beragama, tidak sekolah dan tidak boleh memakan hewan peliharaan. Mereka juga dilarang melakukan repat di luor rencong di delom, bersuruk budi bertanam akal (tidak boleh menipu), bedacing dua (mengurangi jumlah kilo), dan bercukat dua begantung dua (mengurangi jumlah takaran). Selain itu mereka yang tinggal di rimba juga harus mengikut perintah, tidak boleh menyuguhkan makanan dari jenis hewan tertentu seperti biawak, babi, tonok (tapir), serta harus menyerahkan semua hasil hutan terutama kayu kepada orang Tanah Garo. Keturunan Bujang Malapangi/orang Tanah Garo disepakati disebut Waris, Orang Rimba tidak boleh melakukan perlawanan atau mengingkari apa yang diperintahkan oleh Waris mereka. Bila melanggar, akan kena kutuk ayam bertuan, kena sumpah seluruh Jambi (masyarakat seluruh Jambi bisa terkena musibah). Adapun rincian dari jenis kutukan tersebut, antara lain jika berada di air ditangkap buaya kumbang, bila di darat ditangkap harimau kumbang, di dalam hutan ditimpa kayu besar, ditimpa penyakit, dan lain sebagainya. Waris ini bisa juga dianggap toke bagi
Orang Rimba dengan sebutan Jenang, hingga istilahnya dilengkapi menjadi Waris-jenang atau Jenang-waris. Pada mulanya Waris-jenang ini bagi Orang Rimba dimanfaatkan untuk menjembatani mereka dengan orang luar serta melindungi pengaruh orang luar yang akan masuk ke Rimba. Waris-jenang ini mempunyai peran dan status yang sangat menentukan kehidupan Orang Rimba, baik kepemimpinan Orang Rimba, struktur sosial, bahkan ekonomi mereka. Sahnya seorang pemimpin di dalam rimba harus melalui pelegitimasian dari Waris-jenang. Namun Waris-jenang justru menciptakan kondisi kepemilikan terhadap Orang Rimba beserta kekayaan dan hasil-hasil alam mereka seperti jernang, getah, karet, serta manau/rotan. Orang Rimba juga diminta mengerjakan lahan Waris-jenang. Waris-jenang hanya memenuhi kebutuhan pokok Orang Rimba antara lain beras, minyak tanah, minyak goreng, gula, dan rokok. Dan terkadang pemberian itu dianggap hutang Orang Rimba pada Waris-jenangnya. Misalnya kebutuhan yang diperoleh Orang Rimba senilai Rp. 100.000, maka yang akan ditarik dari Orang Rimba senilai Rp. 500.000. Pengerukan keuntungan ini juga diberlakukan terhadap hasil kayu. Keterikatan hutang bisa menyebabkan mereka diperjualbelikan bila tenaganya tak diperlukan Waris-jenang lagi. Tapi dengan keterbatasan pengertian Orang Rimba yang hanya berpegang pada mitos, Waris-jenang tetap dianggap tidak pernah berbuat salah dan selalu adil dalam tindakan. Manfaat Orang Rimba ber-waris-jenang ini bila ditelusuri memang ada, yaitu selain dicukupi kebutuhan ekonomi (meskipun justru menjadi hutang), perlengkapan rumah tangga Orang Rimba juga diberikan, seperti parang, periuk, dan lainnya. Bila Orang Rimba ada yang mengawini keturunanWaris-jenang, maka akan diberikan hadiah berupa kain. Selain itu Orang Rimba juga akan dibantu dalam memenuhi kebutuhan pada saat melangun (berpindah tempat jika ada anggota keluarga yang meninggal), yaitu diberi pembujuk berupa uang dan kain, Orang Rimba juga dibantu dalam penyelesaian permasalahan/sengketa di dalam Rimba.
AKTUAL 30 Namun yang pasti kerugian ber-waris-jenang tentu lebih besar, terutama dalam hal jual beli mereka. Orang Rimba bahkan dianggap ‘peliharaan’ oleh Waris-jenangnya. Selain alasan Orang Rimba telah berutang, bisa juga Waris-jenangnya sendiri yang mempunyai utang ke orang Tanah Garo lainnya, tidak ingin membayarnya lalu Orang Rimba-lah yang digadaikan demi pelunasan hutangnya. Kerugian lainnya peliharaan atau kepemilikan ini dapat didelegasikan atau diturunkan. Misalnya si A, Waris Orang Rimba di Tanah Garo, dia berhak mendelegasikan wewenangnya kepada anak-anaknya untuk memiliki peliharaan yang jika suatu saat terjepit dapat menjualnya kembali ke orang lain. Beberapa contoh kasus jual beli Orang Rimba ini, yakni keluarga Bepak Krendo (pimpinan Orang Rimba di Makekal hulu yang dikenal juga dengan sebutan Temenggung Mirak) dijual oleh orang Tanah Garo bernama Dahlan ke orang Tanah Garo lainnya bernama Syayuti Ali, entah dalam hitungan berapa rupiah. Kepemilikan atas Bepak Krendo yang kini berusia 50 tahunan beserta keluarganya ini telah melalui proses jual-beli yang panjang. Dalam artian jauh sebelum keluarga Bepak Kredo menjadi milik Dahlan, dia dan orang tuanya telah menjadi milik orang Tanah Garo yang lain. Orang Rimba Makekal hulu selanjutnya yang juga diperjualbelikan yaitu keluarga Bepak Becobo dan
Ibu Gelanggang. Keluarga Bepak Becobo diborokkan (digadaikan karena utang) ke Syayuti Ali, dan anggota keluarganya ‘dibagikannya’ ke anak laki-laki Syayuti bernama Safaruddin. Ibu Gelanggang juga dijual ke Syayuti oleh Gani dan Brahim. Kemudian juga ada Orang Rimba Makekal tengah yaitu Bepak Bebenteng yang dijual Buhori ke Bujang seharga Rp.1.900.000 dengan alasan untuk membiayai anaknya kawin. Ironisnya, anak-anak di Desa Tanah Garo ikutan memperolok bahkan mengejek Orang Rimba. Ejekan tersebut dilontarkan bila ada kekesalan pada sesamanya. Ejekan ini membuat sakit hati Orang Rimba yang mendengarnya, namun Waris tetap saja penting bagi mereka. Bila Orang Rimba melanggar aturan atau tidak sesuai dengan keinginan pemiliknya dia bisa kena tangan (dipukul). Bahkan kematian pun dapat menimpa mereka melalui kekuatan magic (kutukan) dan ini sangat dipercayai oleh Orang Rimba. Selain itu, semua hasil hutan baik kayu maupun non kayu harus diserahkan kepada Waris-jenang dengan harga berdasarkan keinginan Waris-jenang. Apabila kedapatan melakukan penjualan keluar Tanah Garo, mereka akan kena pukul atau dibunuh. Segala otoritas kehidupan Orang Rimba ada pada Warisjenang. Yang lebih menyedihkan, jika Orang Rimba datang ke Tanah Garo mereka tidak akan berani masuk ke rumah Waris-jenang apalagi duduk di dalamnya. Orang Rimba hanya lesehan di teras. Makanan yang diberikan kepada Orang Rimba pun tidak layak, bisa jadi hanya sebongkah kerak nasi yang telah gosong, dimasukkan ke dalam wadah khusus yang diperuntukan sebagai piring makan Orang Rimba (yang bentuknya seperti keranjang tempat bumbu dapur). Sambal yang dihidangkan hanya ikan teri. Sementara betino (perempuan) Orang Rimba lebih tidak dipedulikan lagi, termasuk tidak diberi makan.
AULIA ERLANGGA
Kepatuhan Orang Rimba kepada Waris-jenang ini sangat mutlak dan pengaruhnya terhadap psikologis Orang Rimba sangat menentukan. Orang Rimba tidak berani menolak perintah Waris-jenang karena ada perasaan berdosa atau telah berbuat salah besar, mereka takut kualat atau kena kutuk. Bahkan mereka sangat ketakutan kalau harus berpapasan dengan Waris-jenangnya sementara hati mereka sedang tak ingin mengikuti perintah si Waris-jenang. Sebenarnya Orang Rimba sadar kalau kian hari mereka kian diperas bahkan dijadikan tameng untuk melindungi illegal logging orang Tanah Garo di TNBD. Tapi mereka meredamnya karena Tanah Garo juga menjadi pasar penting perdagangan hasil hutan mereka (seperti rotan, getah balam, damar, getah jelutung, jernang, karet, dan lainnya),
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
31
Penetapan Batas Definitif Sebagai Sebuah Pencerahan
P
AULIA ERLANGGA
enetapan batas definitif TNBD di beberapa kabupaten di Jambi, menempuh proses yang cukup berliku sampai akhirnya mencapai kesepakatan dari berbagai stake holders. Diawali dengan diskusi sebelum dilakukan pembuatan batas di lapangan oleh panitia tata batas. Diskusi diadakan di kantor Pemkab (Pemerintah Kabupaten) setempat yang wilayahnya masuk kawasan TNBD, tepatnya Pemkab Sarolangun, Tebo, dan Batanghari. Diskusi juga melibatkan berbagai instansi terkait, termasuk LSM dan masyarakat.
demi mendapatkan barang penting, yaitu parang, garam, mata kujur, serta kain. Barang-barang tersebut sulit didapatkan karena wilayah mereka yang terisolasi pra-transmigrasi tiga dasawarsa yang lalu. Jika ditanyai ke Orang Rimba, “Kamu orangnya siapa?”, “Kamu milik siapa?” atau “Waris kamu siapa?”, dia akan menjawab namun dengan kepala tertunduk atau malah dengan wajah memerah, menunjukan pada intinya mereka tetap berontak dengan kepemilikan itu. Namun untuk mengetahui siapa Waris mereka tentulah tidak semudah atau selugas pertanyaan yang dikeluarkan, melainkan harus dengan bahasa yang tidak akan menyinggung hati mereka dan dalam situasi tertentu, serta bukan pada orang sembarangan. Namun jika anda, orang luar dan bukan Warsi, berkunjung kesana untuk mengetahui secara langsung kenyataan itu, yang bakal anda lihat hanyalah hubungan seperti layaknya anak buah dengan majikannya saja. Itu pulalah yang menyebabkan pembuktian terhadap indikasi perbudakan ini secara yurisdis formal agak sulit. (Septaria Elidani Bangun dan Marahalim Siagian, Staf Pendampingan Orang Rimba/ Antropolog)
Diskusi tata batas definitif TNBD yang pernah berlangsung selalu berjalan alot dan sempat menjadi polemik di media massa. Ini menunjukkan banyaknya kepentingan terhadap kawasan tersebut dan harus bersedia setiap saat melepaskan kepentingan itu demi masa depan TNBD. Dalam hal ini, diakui kearifan dan kebijakan dari berbagai pihak terutama Bupati Batanghari, Bupati Tebo dan Bupati Sarolangun, yang tulus melepaskan wilayahnya masingmasing seluas 40.000 ha, 8.000 ha, dan 12.000 ha menjadi TNBD. Ini menunjukkan adanya kemauan dari para pembuat kebijakan dalam mempertahankan hutan alam yang tersisa. Dukungan dari ketiga Pemkab ini dalam pembuatan batas sangatlah menentukan untuk pengamanan dan pengelolaan selanjutnya, termasuk demi kejelasan status kawasan, apakah berada dalam areal TNBD atau di luarnya. Dengan batas definitif ini pula ada kejelasan bagi masyarakat luas, mana kawasan yang dilindungi sebagai taman dan mana areal yang bisa dimanfaatkan. Bagi pengelola taman, batas menjadi dasar hukum dalam bertindak. Tanpa batas yang jelas di lapangan tentu sulit diputuskan apakah sesuatu perbuatan bisa disebut pelanggaran hingga harus mendapatkan sanksi hukum atau tidak. Batas TNBD ini merupakan kebutuhan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, Orang Rimba, bahkan LSM yang punya komitmen terhadap kelestarian hutan Jambi. Penetapan batas bisa dianggap sebagai titik pencerahan bagi penyelamatan atau pengelolaan Taman Nasional ke depan. Kini langkah berikutnya yang diperlukan dalam pengelolaan kawasan TNBD adalah dibentuknya Balai Taman Nasional atau Unit Pengelolaan Taman Nasional. Apapun namanya terserah saja, yang pasti keberadaannya akan membuat jelas siapa pihak yang bertangungjawab terhadap keselamatan dan pengembangan TNBD. Mudah-mudahan di tahun depan badan pengelolaan ini telah bisa dimunculkan. (Robert A)
AKTUAL 32
Siswa Norwegia Kunjungi Sekolah Orang Rimba
D
ua siswa berprestasi dari Norwegia mendapatkan kesempatan mengunjungi Jambi dan Riau, Agustus 2002, menyaksikan langsung budaya dan habitat Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Apa kesan yang tersimpan di hati mereka? Sangatlah banyak.
Anja, perempuan berusia 17 tahun, duduk di bangku pendidikan setingkat SMU di Norwegia. Dia memenangkan tulisan yang bercerita tentang rainforest dan masyarakat hutan (indigenous people) yang hidup tergantung pada hutan, tapi menjaga kelestariannya serta fungsi hutan bagi bumi. Sedangkan Jorgen, lelaki berusia 16 tahun, pemenang film dokumentasi menggunakan handycam tentang kegiatan-kegiatan dalam rangka OD di Norwegia. Jorgen mengambil pendidikan Kejuruan Khusus Seni dan Film di Norwegia. Sedangkan ketiga panitia NRF yang mendampingi mereka, bernama Rune Paulsen (Koordinator NRF untuk Asia), Kjell Errick (Divisi Dana NRF), dan Hege Karsti Ragnhilostvelt (Koordinator NRF khusus untuk Indonesia). OD dalam bahasa Inggrisnya Operation Dayswork merupakan kegiatan tahunan negara Norwegia yang terinspirasi dari kegiatan tahunan di Swedia. OD sebagai cermin solidaritas siswa-siswa sekolah negaranegara utara bumi terhadap negara-negara di belahan bumi selatan (negara-negara miskin) demi mendukung program-program pendidikan. Tanggal 25 Oktober dijadikan hari operasi atau klimaks OD. Pada tanggal ini, sekolah diliburkan. Siswa-siswa mulai dari tingkat TK hingga mahasiswa diberi kesempatan mendukung OD dengan bekerja 1 hari penuh di tanggal 25 Oktober tersebut.
FOTO-FOTO : DOK. WARSI
Masing-masing dipanggil Anja dan Jorgen. Perjalanan mereka ke Indonesia, disponsori NORAD (Norwegian Administration) melalui NRF (Norwegian Rainforest Foundation) dengan topik besar Kujungan OD (Operasjon Dagsverk) 2001 Tour Winner ke Indonesia. Mereka didampingi 3 orang dari NRF.
Negara yang mendapatkan dana OD terlebih dahulu diseleksi. Tahun 2001 proyek OD dimenangkan NRF untuk divisi Asia, meliputi tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini (PNG). Tema OD tahun itu adalah rainforest dengan jargon Drit I regnskogen, eller red resten (dalam bahasa Inggris Shit on Rainforest or Save The Rest/beraki saja hutan hujan tropis atau kalau tidak selamatkan sisanya).
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
33 Bulan Oktober merupakan bulan kampanye OD, yang dipersiapkan satu tahun sebelumnya. Panitia OD di Oslo mengundang para penggiat program-program bernuansakan pendidikan, seperti LSM-LSM yang didukung RNF dari Indonesia, Malaysia, dan PNG. Indonesia sendiri mengirimkan lima orang utusan, yakni Feri Irawan (Walhi Jambi), Farah Sosa (Walhi Jakarta), Mina (AMAN Kalimantan Barat), dan dua staf Warsi (Warung Informasi Konservasi) Jambi, saya sendiri yaitu Saur Marlina Manurung (Fasilitator Pendidikan) yang biasa dipanggil Butet dan Dr. Herty Herjati (Fasilitator Kesehatan). Kami berdua bekerja mendampingi Orang Rimba di TNBD Jambi.
Selama bulan kampanye seputar OD di Norwegia, para penggiat LSM ini berkeliling ke sekolah-sekolah di Norwegia, memberi ceramah dengan menunjukkan slide-slide yang menjelaskan arti penting rainforest bagi masyarakat hutan dan dana OD akan memberikan konstribusi bagi kelangsungan hidup masyarakat tersebut dan bumi. Kampanye ini sukses dengan banyaknya siswa sekolah turun ke jalan bekerja apa saja. Ada yang membuat kue dan menjajakannya di jalan, ada yang mengamen di tengah kota, ada yang bekerja menjadi pelayan toko, pramusaji restoran, membersihkan taman kota, dan kegiatan lainnya. Dana OD yang terkumpul dari hasil kerja satu hari itu diserahkan ke program-program LSM di Indonesia, Malaysia, dan PNG. Bagi Warsi sendiri dana itu digunakan untuk program selama 4 tahun.
Kunjungan ke TNBT dan TNBD Moment kampanye OD juga diisi dengan beberapa sayembara, yang antara lain seperti tema yang dimenangkan Jorgen dan Anja. NRF mengusulkan pemenang OD Tour berkunjung ke Indonesia, difasilitasi Warsi, tepatnya ke TNBT wilayah Riau dan TNBD Jambi. Perjalanan langsung saya dampingi sendiri dengan diawali berjalan kaki selama tiga jam menuju perkampungan Talang Mamak di TNBT Riau. Kedua siswa termasuk tiga orang dari NRF, mendapatkan pengetahuan dan pengalaman unik, dimana mereka mencatat kekhasan masyarakat Talang Mamak dari Orang Rimba di TNBD yaitu boleh memakan semua jenis binatang, mulai dari ayam, telurnya, hingga babi atau ular. Namun mereka juga sama dengan Orang Rimba TNBD Jambi, tidak beragama dan masih buta huruf. Saat itu kedua siswa Norwegia ikut prihatin dengan makin terdesaknya komunitas ini karena kegiatan illegal logging oleh masyarakat luar. Rombongan beristirahat di Rengat. Di sini kedua siswa Norwegia tersebut merasakan hal-hal lucu, seperti terkejut ketika menghenyakan pantat di sebuah restoran Padang langsung disodori hidangan sebelum memesan. “Mana mungkin kita bisa menghabiskan semua ini?” kata Jorgen. Bumbu-bumbu makanan khas Minang yang dihidangkan juga membuat raut mereka tampak aneh karena kepedasan. Selanjutnya mereka terlihat bingung saat memasuki kamar hotel, melongok ke kamar mandinya, dan menemukan gayung untuk mengambil air. Mereka tak paham cara mandi yang menggunakan gayung tersebut, akhirnya Jorgen dan Anja justru terjun ke dalam bak mandi yang ukurannya tidak terlalu lebar, menganggap layaknya bath-up. Dari Rengat rombongan menuju Bangko, perjalanan sempat berhenti beberapa kali, paling lama di Teluk Kuantan, saat melihat karnaval 17 Agustusan di sana. Mereka sangat kagum menyaksikan keantusiasan seluruh masyarakat setempat menyambut hari kemerdekaan RI tersebut. Di Bangko, tim OD Tour menerima presentasi singkat mengenai program Orang Rimba di Jambi, kondisi TNBD, serta Orang Rimba. Kemudian dilanjutkan turun ke rimba TNBD. Rasa ingin tahu Jorgen dan Anja tentang Orang Rimba TNBD sangat besar, terutama bagaimana sistem pemerintah serta hukum Indonesia memandang dan memperlakukan mereka.
AKTUAL
FOTO : DOK. WARSI
34
Kelompok Orang Rimba yang dikunjungi yaitu pimpinan Temenggung Mirak di DAS Sako Talun, Makekal hulu. Jorgen dan Anja bersorak kecil saat bertemu dengan 12 anak sekolah Orang Rimba. Mereka terkesima melihat antusiasnya murid Orang Rimba belajar dengan fasilitas sederhana atau malah bisa dibilang sangat minimal sekali, tapi saat ditanya soal baca-tulis-hitung, anak Orang Rimba mampu menjawabnya dengan baik. “Saya tak pernah melihat anak-anak belajar dengan segembira itu,” tukas Anja. Lalu Rune berkomentar,” Di Norway, anak-anak dibangunkan orang tuanya dengan susah payah untuk berangkat sekolah. Pulang sekolah tas dilempar jauhjauh, tidak disentuh sampai besok berangkat ke sekolah lagi. Sementara keinginan membeli sepatu model baru cukup besar dan rambut mereka diwarna-warnai. Di sini, lihat itu… (menunjuk salah seorang murid Orang Rimba) mereka belajar sampai tertidur.” Selama di sana mereka pun tergerak untuk ikut mengajar, memberikan materi hitungan dari penjumlahan hingga pembagian. Jorgen dan Anja bahkan sempat memberikan kiat bagaimana menyelesaikan pembagian hitungan secara singkat khas Norwegia. Usai mengunjungi TNBD, tim melanjutkan
perjalanan ke komunitas Orang Rimba di sepanjang lintas Sumatera. Orang Rimba di sini sudah kehabisan hutannya, menumpang di tanah orang dengan mengandalkan belas-kasihan orang-orang yang lewat dengan meminta-minta. Dari kunjungan ke dua lokasi itu, tim OD Tour melihat perbedaan yang jelas antara Orang Rimba di TNBD dan lintas Sumatera. Mereka menilai dari segi pancaran mata. Orang Rimba TNBD, pancaran matanya lebih bersinar namun juga terkesan sangat waspada. Sementara Orang Rimba lintas Sumatera, pancaran matanya terlihat apatis dan terlihat terbiasa dengan masyarakat luar. Catatan perjalanan OD Tour diakhiri dengan berbagai kesan di benak mereka, didominasi kesan manis dan harapan yang besar akan kelangsungan hidup Orang Rimba terutama di Jambi. Di akhir pertemuan, mereka sempat membisikan semangat ke saya, “Butet, putar otak dan struggle (berjuang) terus ya! Kami percaya bersama kamu dan seluruh teman-teman Warsi, Rainforest berada di tangan orang-orang yang tepat.” (Butet Saur Marlina, Staf Fasilitasi Pendidikan Orang Rimba)
Warsi Pindah Kantor
35
S
etelah cukup lama bermukim di Bangko, dari tahun 1992, Warsi pun merasa perlu pencerahan dan perubahan suasana. Setelah melalui penjajakan yang cukup panjang, dipilihlah Jambi sebagai kota persinggahan keberikutnya yang diharapkan bisa selamanya bagi Warsi. Kepindahan ini sempat tertunda beberapa kali. Namun kata sepakat pun dicapai untuk tak mengulur-ulur waktu lagi.
Ekspedisi Media Tampung Keluhan Orang Rimba
P
enghujung Oktober 2002, tepatnya tanggal 22-24, Warsi telah menyelenggarakan acara Ekpedisi Media, dengan mengajak delapan orang wartawan menelusuri rimba TNBD. Acara ini menjadi sarana ampuh untuk menampung keluhan Orang Rimba, khususnya yang berada di daerah Makekal hulu dan hilir. Salah seorang yang menyampaikan unek-uneknya, Temenggung Ngukir, pimpinan Orang Rimba di Makekal hilir yang menginginkan pemerintah (rajo dalam sebutan mereka) benar-benar menindak pelaku illegal logging. Kondisi perbalokan yang umumnya dilakukan oleh masyarakat Dusun Kembang Sri, Tanah Garo, SPA, dan SPB, menurutnya, telah mencemaskan kelompoknya. Bahkan telah memicu perbenturan antara mereka dengan para pebalok tersebut, termasuk dengan penduduk Olak Kemang, Tambun Arang, dan Teluk Rendah, yang telah mengambil lahan hutan menjadi kebun sawit. Sekaitan dengan itu juga, Temenggung Ngukir meminta pemerintah melahirkan sebuah Perda (Peraturan Daerah) yang bisa melindungi hutan mereka atau berupa pengakuan hak atas tanah adat mereka di rimba Makekal hilir. Wartawan dari media cetak lokal (antara lain Jambi Ekspres, Jambi Independent, dan Media Jambi) dan wartawan nasional (Antara Jambi), ser ta media elektronik (RCTI dan SCTV), berpandangan permasalahan yang disampaikan Temenggung Ngukir harusnya diketahui gubernur Jambi, Dinas Kehutanan, bahkan jajaran kepolisian daerah. Tujuan Ekspedisi Media yang digelar Warsi memang untuk menggali peran pers sampai pada sifat pemberitaan yang menekan pembuat kebijakan agar melakukan langkah kongkret perlindungan hutan TNBD dan Orang Rimba. Selain mendengarkan keluhan Temenggung Ngukir, wartawan juga melihat langsung tiga lokasi penumpukan kayu (logpond) pada DAS Sako Tulang, yang diperkirakan berjumlah 100 kubik kayu. Anak rimba tak ketinggalan ikut memanfaatkan kesempatan bertemu wartawan itu dengan menyampaikan kalau mereka tidak suka dengan sebutan Kubu yang sering dilontarkan masyarakat luas termasuk pers terhadap mereka. Karena sebutan itu memiliki image miring. Mereka lebih suka dipanggil Orang Rimba. Mereka ditemui wartawan saat mengikuti proses belajar-mengajar di Makekal hulu yang dipandu staf Warsi, Saur Malina Manurung dan Oceu Aprista. Meskipun bermukim jauh di dalam rimba, pendidikan bagi mereka menjadi bagian penting. Dan soal cita-cita pun mereka punya. Bahkan salah seorang dari anak rimba bernama Nggelinca berkeinginan kelak bisa menjadi wartawan agar dapat sebebasnya bercerita tentang komunitasnya.
Sebab tujuan kepindahan ini tentunya juga demi mendekatkan proyek Warsi soal konservasi dan pemberdayaan masyarakat ke tingkat pembuat kebijakan yang lebih tinggi, yaitu pemerintahan provinsi Jambi, disamping kedekatan dengan pemerintah kabupaten lainnya di Jambi. Kawasan Utara yang berada dalam lingkup Pemkab Batanghari masuk bagian perluasan TNBD, akan lebih dekat aksesnya jika Warsi berkantor di Jambi. Termasuk akan mempermudah akses Warsi ke desa-desa interaksi dan Orang Rimba di wilayah tersebut. Selanjutnya juga demi mendekatkan diri pada tehnologi agar temuan Warsi lebih mudah diakses ke masyarakat luas. Tepatnya kantor Warsi sekarang adalah rumah yang dulunya dijadikan mess bagi staf Warsi yang bertugas ke Jambi, yaitu di Jalan Kapten M. Daud (Lorong Naga Bakti) nomor 48 RT 04/RW02 Kelurahan Payo Lebar Kecamatan Jelutung-Jambi. Suasana pembenahan kantor pun telah dimulai dari November hingga sekarang. Kepindahan ini diharapkan bisa memberikan kemajuan yang lebih berarti ke depan, terutama untuk target kerja Warsi. Semoga saja.
Sang Kemare Persumpahan adat berdampak pada pengacuhan HAM Orang Rimba, perlu perhatian pemerintah. Bingung tuh
,pemerintah kan juga tengah disibukkan oleh beberapa kepentingan. Penebangan hutan secara liar merupakan teror terbesar bagi habitat Orang Rimba. Tak terperhatikan aparat, sebab aparat sedang sibuk mengurusi teroris bom Bali. Setelah alot diperdebatkan akhirnya penetapan batas definitif TNBD disepakati. Yang terpenting demi penyelamatan TNBD.
36
Alam Sumatera adalah Buletin Intern yang dikelola oleh WARSI (Komunitas Konservasi Indonesia)