GIGITAN BINATANG
Pendahuluan Luka gigitan dapat disebabkan oleh hewan liar, hewan piaraan atau manusia. Luka gigitan manusia lebih sering menyebabkan infeksi daripada gigitan binatang. Hewan liar yang biasanya menggigit adalah hewan yang memang ganas dan pemakan daging, misalnya harimau, singa, hiu, atau bila hewan itu terganggu atau terkejut, yaitu dalam usaha membela diri. Hewan piaraan jinak menggigit kalau disakiti atau diganggu, lebih-lebih dalam keadaan tertentu, misalnya sedang memelihara anaknya yang masih kecil, sedang makan, atau bila sakit. Bila hewan menggigit tanpa alasan jelas, harus dicurigai kemungkinan hewan tersebut menderita penyakit yang mungkin menular melalui gigitan misalnya rabies.(1,2) Luka gigitan dapat hanya berupa luka tusuk kecil atau luka compang camping yang berat. Luka gigitan manusia berbahaya karena dalam mulut manusia ditemukan lebih banyak jenis kuman pathogen. Sekitar lebih dari 5 juta penduduk Amerika tergigit hewan setiap tahunnya. Anjing dan kucing adalah yang paling sering terlibat di dalamnya. Baik gigitan anjing maupun kucing memerlukan penanganan yang hatihati, dan pasien dapat mengalami morbiditas dalam jangka waktu yang lama atau bahkan mengalami kematian. Gigitan kucing memiliki insidens infeksi tinggi (sekitar 50% kasus), sementara gigitan anjing menyebabkan cedera berat terhadap jaringan. Jenis ular yang tercatat sering menyerang manusia adalah jenis pit viper seperti ular derik, copperheads, cottonmouth, dan ular karang. Biasanya kasus gigitan karna ular sering terjadi setelah badai atau banjir.(1,3,4) Persoalan yang ditimbulkan oleh luka gigitan adalah lukanya sendiri, kontaminasi bakteri atau virus, dan reaksi alergi. Gigitan hewan, meskipun dalam
1
skala kecil, dapat menjadi sumber infeksi dan dapat menyebarkan bakteri ke bagian tubuh yang lain. Baik hewan peliharaan maupun hewan liar, gigitan hewan dapat membawa bermacam-macam penyakit.(1,5) Dalam penanggulangannya, perlu lebih dahulu diidentifikasi hewan yang menggigit untuk perencanaan langkah pertolongan. Perawatan luka yang cermat merupakan dasar pengobatan luka-luka gigitan dan faktor terpenting adalah pencegahan infeksi. Luka harus dibersihkan, dilakukan debridement atau irigasi. Semua luka gigitan pada anggota gerak harus ditangani segera dengan antibiotik serta elevasi dan imobilisasi dari bagian-bagian yang terlibat. Antibiotik yang dipilih adalah antibiotik spektrum luas, baik untuk gram positif maupun negatif.(1,2,6)
2
BINATANG DARAT 1.
Gigitan Anjing Serangan anjing sering terjadi karena kedekatan hubungan anjing dengan manusia, dan hal ini telah menjadi pusat perhatian media dan masyarakat sejak akhir abad 20 dan awal abad 21. Tujuh puluh tujuh (77%) dari kasus gigitan anjing dilakukan oleh anjing peliharaan. Banyak tindakan manusia (terutama yang tidak terbiasa dengan anjing) yang menyebabkan kasus gigitan anjing sering terjadi.(7) Anjing (Canis lupus) adalah hewan pemangsa dan hewan pemakan bangkai, memiliki gigi yang tajam dan rahang yang kuat untuk menyerang, menggigit, dan mencabik-cabik makanan. Anjing memiliki gigi taring yang lebih lebar dibandingkan dengan kucing. Rahang anjing dapat memberikan tekanan yang besar pada saat menggigit. Gigitan anjing yang menimbulkan luka terbuka, sering disertai dengan nekrosis dan robekan jaringan. Gigitan anjing yang besar cenderung menyebabkan luka di bagian kepala dan leher pada anak-anak, sementara rahangnya yang kuat dapat melakukan penetrasi pada tulang tengkorak dan menghancurkan jaringan dalam. Gigitan anjing dewasa dapat menhhasilkan tekanan sampai 200 pon per inch persegi (pound per square inch), bahkan beberapa jenis anjing besar dapat mencapai 450 pon per inch persegi. Tekanan yang besar seperti itu dapat menghancurkan struktur seperti tulang, pembuluh darah, tendon, otot, dan syaraf.(3,5,8) Gigitan anjing beresiko infeksi jika terjadi pada lengan, luka-luka tusuk dan luka-luka yang melebihi 6-12 jam. Gigitan pada tangan umumnya memiliki resiko tinggi infeksi karena secara relatif memiliki suplai darah yang miskin pada banyak struktur pada tangan dan secara anatomis menyebabkan pembersihan luka menjadi sulit.
3
Gambar gigitan anjing Dikutip dari kepustakaan 10
Telah dipahami sejak dahulu upaya penanganan gigitan anjing adalah tanpa memperhatikan lokasi gigitannya, antara lain : (1) membersihkan luka; (2) debridement; (3) irigasi berulang; (4) penggunaan antibiotik (5) penggantian kasa; dan (6) jahitan primer tertunda atau jahitan sekunder. Saat ini dipahami bahwa gigitan anjing, terutama pada wajah dan leher, dapat dirawat dengan tahapan preparasi luka pada umumnya dan pemberian antibiotik bersamaan dengan debridement pada seluruh tepi luka dan penutupan luka primer. 2.
(5,9,10,11)
Gigitan Kucing Kucing peliharaan atau kucing rumah (Felis catus /Felis domesticus) adalah salah satu predator terhebat di dunia. Karena ukurannya yang kecil kucing tidak berbahaya bagi manusia, satu-satunya bahaya yang dapat timbul adalah kemungkinan terjadinya infeksi rabies akibat gigitan kucing. Kucing
4
dianggap sebagai “karnivora yang sempurna” dengan gigi dan saluran pencernaan yang khusus. Gigi premolar dan molar pertama membentuk sepasang taring disetiap sisi mulut yang bekerja efektif seperti gunting untuk merobek daging. Meskipun ciri ini juga terdapat pada famili Canidae atau anjing tapi ciri ini berkembang lebih baik pada kucing.(12)
Gambar gigitan kucing Dikutip dari kepustakaan 13
Gigi kucing kecil dan tajam, sehingga luka yang dihasilkan dari gigitannya berupa luka tusuk yang dalam. Luka dapat mencapai sendi dan tulang dan menyebabkan bakteri masuk jauh kedalam jaringan. Luka tusuk sulit untuk dibersihkan, sehingga banyak bakteri yang bisa tertinggal di dalamnya.
Kebanyakan
kucing
menggigit
daerah
tangan
manusia,
mengakibatkan infeksi menjadi lebih sering terjadi.(3,5) Luka pada gigitan kucing biasanya mengandung banyak jenis bakteri. Pasteurella multicoda adalah bakteri aerob gram negatif yang ditemukan lebih dari 50 % kasus. Bakteri ini biasanya menyebabkan selulitis yang berkembang kurang dari 24 jam dan menyebabkan demam serta luka yang bernanah. Osteomielitis, arthritis sepsis (terutama pada pasien dengan protesa pada sendi), infeksi pernafasan, meningitis, peritonitis, dan sepsis (terutama pada
5
penderita liver kronis) juga sering ditemukan. Organisme lain yang dapat menyebabkan Enterobacter,
infeksi
antara
Acinetobacter,
Peptostreptococcus,
lain
Neisseria,
Clostridium,
Staphylococcus,
Streptococcus,
Actinomyces,
Fusobacterium,
Wolinella,
dan
Propionibacterium.
Tularemia juga dilaporkan terjadi pada luka gigitan kucing. Tularemia sebaiknya dicurigai pada pasien dengan infeksi paru atau pasien yang tidak berespon terhadap terapi inisial dengan penisillin atau salah satu derivatnya. (3,5,13)
Gigitan anjing menyebabkan kerusakan pada jaringan yang luar biasa, namun hanya 3-18 % yang mengarah ke infeksi. Sebaliknya, gigitan kucing terlihat tidak merusak, tetapi hampir 80 % luka gigitan kucing menjadi sumber infeksi jika tidak tertangani dengan baik.(14) Pengobatan termasuk pembersihan lokal, debridement dan antibiotik profilaksis untuk gigitan yang signifikan. Berikan penicillin VK, 500 mg per oral dalam dosis terbagi 4 selama 5-7 hari. Berikan tetrasiklin pada penderitapenderita yang alergi terhadap penisilin. Hospitalisasi jarang dilakukan kecuali terjadi suatu komplikasi infeksi. Penutupan primer tidak dilakukan kecuali pada resiko rendah, atau gigitan pada wajah yang secara kosmetik mengganggu.(15) Rabies Rabies adalah penyakit pada mamalia yang disebabkan oleh virus dalam genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae. Rhabdoviridae dapat mereplikasi diri dalam hewan-hewan vertebrata, tumbuhan, bahkan hewan invertebrate. Pada manusia secara teoritis gejala klinis terdiri atas 5 stadium yang dalam keadaan sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu : gejala prodromal non-pesifik; ensefalitis akut; disfungsi batang otak; koma dan kematian.(16,17,18) Gejala klinis rabies berhubungan dengan stadium penyakit. Pada stadium prodromal gejala-gejala awal berupa demam, malaise umum, mual
6
dan rasa nyeri di tenggorok selama beberapa hari. Selain itu pula disertai rasa nyeri, panas dan kesemutan pada tempat luka. Pada stadium delirium/eksitasi banyak timbul gejala khas. Mulanya cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik (stimulus-sensitive myoclomas). Tonus otot-otot dan aktivitas simpatis meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Yang sangat khas pada stadium ini adalah hidrofobi akibat kontraksi hebat otot-otot faring. Pada stadium ini dapat terjadi apnea, sianosis, konvulsi dan takikardi. Stadium eksitasi berlanjut ke stadum paralisis dimana terjadi paresis otot-otot yang bersifat progresif dan pasien akhirnya meninggal akibat kelumpuhan otot-otot pernapasan.(19)
Infeksi dengan virus rabies (dikutip dari kepustakaan 7)
Setelah kemungkinan adanya infeksi dengan virus rabies melalui gigitan anjing ataupun hewan lain yang sudah terkena infeksi ataupun melalui kontak dengan hewan yang tersangka gila, diperlukan penanggulangan segera.(5,20) Tindakan yang paling baik meliputi (19) 1. Pengobatan luka
7
Pengobatan luka gigitan dan goresan yang mungkin terkontaminasi oleh virus rabies merupakan hal yang sangat penting dan harus dikerjakan segera dan adekuat. 2. Pemberian serum anti-rabies (serum homolog atau heterolog) Pemberian SAR ini bisa mengurangi insiden rabies, bahkan jauh lebih efektif jika dikombinasi dengan vaksin. Dosis
yang
dianjurkan ialah 10 IU/kg berat badan. 3. Pemberian vaksin anti-rabies Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti-rabies (VAR), yaitu: a. Nerve tissue vaccine (NTV), dapat : 1) Berasal dari otak hewan dewasa, misalnya kelinci, kambing, domba, dan monyet 2) Berasal dari otak hewan bayi (suckling), misalnya tikus b. Non-nerve tissue vaccin, dapat : 1) Berupa avian vaccine atau duct embryo vaccine (DEV) 2) Tissue culture vaccine (TCV) 3. Gigitan Ular Ular (sub-ordo Squamata) biasanya tidak menyerang manusia dan biasanya menghindari kontak, kecuali diserang lebih dulu atau sedang terluka. Pada gigitan ular perlu diidentifikasi ularnya dan adanya gejala keracunannya. Gigitan ular dapat dibedakan menjadi 2, yaitu gigitan ular yang berbisa dan yang tidak berbisa.(21,22) Perbedaan ular berbisa dan ular tidak berbisa adalah (1)
1. Bentuk kepala 2. Gigi taring
Ular tidak berbisa Segi empat panjang Gigi kecil
Ular berbisa Segi tiga Dua taring besar di rahang
3. Bekas gigitan
Luka halus di sepanjang
bawah Dua luka gigitan utama
lengkungan bekas gigitan
akibat gigi taring yang berbisa
Gigitan ular tidak berbisa Selain jenis ular besar, ular tidak berbisa bukanlah ancaman bagi manusia. Gigitan ular yang tidak berbisa biasanya tidak berbahaya karena 8
giginya dirancang untuk mencengkram dan menahan, bukan untuk merobek atau mnyebabkan luka tusuk yang dalam. Meskipun kemungkinan infeksi dan kerusakan jaringan dapat terjadi pada gigitan ular tidak berbisa, ancaman terbesar justru berasal dari gigitan ular berbisa.(21) Gigitan ular tidak berbisa lebih sering terjadi dibandingkan oleh ular berbisa. Ular tidak berbisa tidak mempunyai gigi taring, tetapi giginya yang bergerigi tajam dapat menyebabkan luka dengan tepi tidak rata dengan sedikit reaksi jika tidak timbul infeksi sekunder. Gejala-gejala yang tampak pada mereka
yang
digigit
ular
antara
lain
disorientasi,
pusing/pingsan,
hiperventilasi, takikardi dan bahkan syok. Gigitan ular tidak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencegahan infeksi.(1.23,24)
Gigitan ular berbisa Angka kematian akibat gigitan ular termasuk jarang. Gigitan yang tidak fatal dari ular berbisa dapat sampai memerlukan tindakan amputasi anggota gerak atau bagian dari lengan/tungkai. Dari 725 spesies ular berbisa di seluruh dunia, hanya 250 spesies yang yang mampu membunuh manusia dalam satu kali gigitan.(21) Tiga kelompok ular berbisa yaitu :(25) 1. Elapid (memiliki bisa ular yang bersifat neurotoksik. Contohnya kobra, krait, ular koral dan kolubrid) 2. Krotalid (memiliki bisa ular yang bersifat sitotoksik lokal dan antikoagulasi. Contohnya rattle snake, viper) 3. Hidrofid (bermacam-macam, biasanya neurotoksik. Contohnya ular laut) Bisa ular, racun yang paling kompleks dibanding semua jenis racun lain, merupakan campuran bahan enzimatis dan non-enzimatis seperti protein non-toksik termasuk karbohidrat dan logam. Terdapat lebih dari 20 enzim termasuk fosfolipase A2, B, C, D, hidrolase, fosfatase (baik asam maupun basa), protease, esterase, asetilkolinesterase, transaminase, hialuronidase,
9
fosfodiesterase, nukleotidase, ATPase, dan nukleosidase (DNA dan RNA). Komponen non-enzimatik biasanya dikategorikan sebagai neurotoksin dan agen hemoragik. Setiap spesies memiliki proporsi yang berbeda dari campuran di atas – itulah sebabnya spesies ular berbisa dahulu diklasifikasikan secara eksklusif sebagai neurotoksik, hemotoksik dan miotoksik.(26) Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis, atau pelepasan histamine sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sehingga memudahkn penyebaran racun.(1) Peptida dapat merusak endotel vaskuler, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan mengakibatkan pembuluh edema dan syok hipovolemik. Fosfolipase A merusak eritrosit dan sel-sel otot. Di samping menyebabkan kerusakan jaringan lokal, komponen ini juga dapat merusak sistem kardiovaskuler, pulmonal, ginjal, dan sistem saraf. Komponen lainnya pada bisa ular sangat mempengaruhi koagulasi, fibrinolisis, fungsi platelet, dan integritas vaskuler, kadang-kadang berefek perdarahan dan trombosis.(27)
10
Gejala umum yang timbul akibat gigitan ular berbisa (dikutip dari kepustakaan 21)
Efek yang ditimbulkan akibat gigitan ular dapat dibagi 3 :(26) 1. Efek lokal Beberapa spesies seperti coral snake, krait akan memberikan efek yang agak sulit dideteksi dan hanya bersifat minor tetapi beberapa spesies, gigitannya dapat menghasilkan efek yang cukup besar seperti : bengkak, melepuh, perdarahan, memar sampai nekrosis. Yang mesti diwaspadai adalah terjadinya syok hipovolemik sekunder yang diakibatkan oleh berpindahnya cairan vaskuler ke jaringan akibat pengaruh bisa ular tersebut. 2. Efek general
11
Gigitan ular ini akan mengahsilkan efek sistemik yang non-spesifik seperti : nyeri kepala, mual dan muntah, nyeri perut, diare sampai pasien kolaps. Gejala yang ditemui seperti ini sebagai tanda bahaya bagi tenaga kesehatan untuk memberi pertolongan segera. 3. Efek sistemik spesifik Secara garis besar efek sistemik dapat dibagi berdasarkan jenis bisa ular : Koagulopati Beberapa spesies ular dapat menyebkan terjadinya koagulopati. Tandatanda klinis yang dapat ditemui adalah keluarnya darah terus-menerus dari tempat gigitan dan bila berkembang akan menimbulkan
hematuria, melena dan batuk darah. Neurotoksik Gigitan ular ini dapat menyebabkan terjadinya flaccid paralysis. Ini biasanya berbahaya bila terjadi paralisi pada pernapasan. Bila tidak mendapat antivenom akan terjadi kelemahan anggota tubuh dan paralisis pernapasan. Biasanya paralisis sempurna akan memakan waktu lebih kurang 12 jam. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan hemokonsentrasi yang akan diikuti penurunan eritrosit dan platelet. Pada urinalisis ditemukan hematuria, glukosuria, dan proteinuria. Protrombin dan waktu parsial tromboplastin kadang abnormal.(23)
Penatalaksanaan Penatalaksanaan Awal Pasien dibawa ke tempat yang aman dan diistirahatkan. Luka dibersihkan dan diimobilisasikan setinggi jantung. Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang torniket beberapa sentimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang dapat terlihat, dengan tekanan yan cukup untuk menghambat aliran vena tetapi lebih rendah daripada tekanan arteri. Torniket harus dilepaskan selama satu menit setelah dipasang selama 30 menit dan satu menit setelah setiap 15 menit. Pada
12
umumnya torniket dibuka setelah 1 jam karena resiko gangren lokal. Torniket harus dilepaskan setelah pemberian antiserum spesifik. Torniket tidak boleh dipasang selama lebih dari 1 jam setelah digigit ular, dan tidak boleh dilakukan pada gigitan ular famili adder.(1,24,27) Terdapat suatu teknik yang disebut The Australian PressureImmobilization Technique di mana ekstremitas yang digigit dibalut dengan ketat dengan suatu pembalut, dimulai dari tempat gigitan dan dibidai untuk membatasi penyebaran sistemik dari berbagai bisa ular.(27) Insisi lokal dari tanda gigitan harus dihindari. Insisi lokal dan penghisapan hanya dilakukan bila tidak ada terapi lain. Kaustik lokal seperti kalium permanganat tidak boleh digunakan. Kaustik ini dapat menimbulkan predisposisi gangren lokal.(24,27) Secara tepat, detail riwayat kejadian, tipe ular, terapi di lapangan dan pemberian antibisa sebelumnya sangat penting. Pemeriksaan fisis harus mencakup tanda vital, sistem kardiopulmonal, pemeriksaan neurologis serta bentuk dan ukuran luka. Ekstremitas yang digigit harus ditandai dalam 2 atau 3 lokasi sehingga perubahan dapat diukur setiap 15 menit untuk menilai progresivitas. Pengukuran dilakukan sampai pasien sembuh dan benar-benar stabil.(27) Analisa laboratorium yang penting termasuk darah lengkap, koagulasi, elektrolit, urea darah, kreatinin darah, dan urinalisis. Foto thoraks dan elektrokardiogram sebaiknya dilakukan pada pasien yang tua dan setiap pasien dengan keracunan berat. Jika pasien tidak menunjukkan gejala setelah 6 jam setelah gigitan viper atau 24 jam setelah gigitan gigitan ular koral, dan semua hasil pemeriksaan laboratorium normal, maka itu menandakan tidak terjadi keracunan.(27) Terapi Antibisa (Antivenom dan Antivenin) Antivenom dibuat dengan cara mengimunisasi kuda dengan bisa dari ular berbisa dan mengekstrak serumnya kemudian melakukan purifikasi. Antivenom atau antivenin dapat bersifat spesifik (monovalen) atau efektif
13
untuk bisa dari bermacam-macam spesies ular (polivalen). Antibisa monovalen sebenarnya ideal, akan tetapi harga dan keterbatasan sediaannya, di samping sulitnya menentukan dengan akurat jenis bisa pada suatu kasus gigitan – memuatnya jarang digunakan.(26) Ada indikasi spesifik pada pemberian antibisa. Peringatan ini mengacu kepada resiko reaksi hipersensivitas. Karena itu, antibisa hanya diindikasikan apabila manifestasi yang berat pada gigitan ular berbisa ditemukan di lapangan, misalnya koma, neurotoksik, hipotensi, syok, perdarahan, DIC, gagal ginjal akut, rhabdomyolisis, dan perubahan EKG. Bila tidak ditemukan gejala sistemik, pembengkakan pada lebih dari separuh ekstremitas yang tergigit, luka yang memar dan melepuh, serta perkembangan lesi lokal yang progresif dalam 30-60 menit merupakan indikasi lain.(26) Di Amerika terdapat 2 antibisa untuk gigitan viper yang paten. Pertama, Antivenin Crotalidae Polyvalen (APC) yang telah diproduksi selama lebih dari 40 tahun. Tahun 2000 CroFab antibisa kedua diproduksi di Inggris. Produk ini tampaknya lebih efektif dan aman daripada ACP. CroFab juga tidak memerlukan skin test atau premedikasi histamin.(27) CroFab diberikan intravena, 4-5 vial dalam 250 ml pelarut dalam 1 jam. Jika setelah dosis awal, gejala keracunan memberat, dosis awal harus diulang sampai korban stabil. Setelah stabil, untuk mencegah rekurensi efek racun, CroFab 2 vial intravena setiap 6 jam untuk 3 dosis tambahan. Dosis yang sama digunakan pada anak-anak dan tidak dikontraindikasikan pada wanita hamil. Beberapa antibisa dapat memberikan resiko reaksi alergi akut yaitu anafilaksis. Larutan adrenalin 1:1000 mg harus disediakan untuk menetralisir reaksi anafilaktik.(24,27) Kalsium glukonat dapat mengurangi reaksi jaringan lokal dan kematian pada gigitan ular viperine. Suntikan intravena diberikan setiap 8 jam secara lambat. Steroid digunakan pada terapi syok berat untuk menetralisir reaksi anafilaktik dan mengurangi reaksi jaringan lokal. Antibiotik digunakan untuk mengatasi atau mencegah infeksi sekunder. Penggunaan toksoid tetanus
14
ulangan diberikan pada orang yang telah diimunisasi atau pada orang yang belum mendapat imunisasi. Antihistamin dan sedative diperlukan pada kebanyakan kasus.(24)
BINATANG AIR 1.
Gigitan Ikan Hiu Cedera akibat gigitan ikan hiu sangat jarang terjadi. International Shark Attack File melaporkan terdapat kurang dari 100 serangan hiu per tahun, dengan angka kematian 10-15 per tahunnya. Sebagai pembanding, sekitar 1.000 orang mati akibat serangan buaya; 1.500 akibat serangan harimau, singa, dan macan tutul; serta 60.000 orang mati karena gigitan ular. (28,29)
Luka akibat gigitan hiu (dikutip dari kepustakaan 29)
Hanya ada sekitar 40 dari 400 spesies hiu yang tercatat sering menyerang manusia, meskipun ada pula sekitar 20-30 spesies lain yang
15
pernah menyerang manusia. Hiu putih besar tercata paling sering menyerang manusia dibanding spesies lainnya. Secara umum, setiap hiu dengan panjang lebih dari 2 meter berpotensi berbahaya bagi manusia.(28)
Luka akibat gigitan hiu (dikutip dari kepustakaan 28)
Rahang hiu terdiri atas beberapa lapis gigi tajam dan bergerigi yang berbentuk segitiga. Gigitan hiu berbentuk pola seperti bulan sabit. Bentuk pola yang lain adalah deretan luka memanjang yang sejajar yang terjadi akibat garukan gigi hiu pada korbannya. Gigitan hiu dapat menyebabkan kehilangan jaringan yang massif, yang secara ekstrem memiliki kekuatan sampai 18 ton per inch kuadrat (per square inch). Namun, kebanyakan luka gigitan hiu tidak dalam, ataupun luka tusuk dalam tapi tidak menyebabkan cedera vaskuler atau saraf. Pada perenang dan pada orang yang berselancar lebih dari 20% luka adalah pada tungkai bawah dan terdiri dari luka-luka iris dan luka robek dengan kehilangan jaringan yang bervariasi.(25) Pada gigitan agresif tungkai dicengkram erat-erat dan jaringan yang robek karena gigitan samping oleh barisan gigi yang bergerigi halus. Tandatanda pada kulit dan jenis luka yang tertinggal membantu dalam mengenali 16
spesies yang bertanggung jawab dan bukti selanjutnya dapat diperoleh dari penemuan kembali duri gigi kartilago yang terlihat di dalam luka pada radiografi sederhana atau ditemukan terbungkus di dalam tulang. Perdarahan yang banyak di dalam air merupakan suatu tanda dari luka ini.(25) Penanggulangannya adalah membebaskan penderita dari serangan dan mencegahnya tenggelam. Perhatian utama ditujukan untuk menghentikan perdarahan dengan apa saja yang ada tanpa perlu mempertimbangkan pensucihamaan. Sumber perdarahan dijepit atau dibalut tekan. Umumnya luka memerlukan penanganan di rumah sakit.(1) Jika terdapat luka yang besar dan terjadi perdarahan yang berarti, penanganan medis diarahkan untuk menstabilkan ABC (airway, breathing and circulation). Jika terdapat kehilangan jaringan, maka perlu dilakukan pembersihan dan debridemen di ruang operasi oleh ahli bedah. Kunci untuk mencegah infeksi adalah pembersihan yang agresif. Dapat dimulai dengan air mengalir untuk irigasi luka. Penjahitan bisa dilakukan, bisa juga tidak, tergantung kepada perhatian akan resiko infeksi. Luka yang dijahit atau ditutup justru memiliki resiko infeksi yang lebih tinggi. Pemberian antibiotik 2.
profilaksis untuk mencegah infeksi juga diperlukan.(28) Gigitan Buaya (Alligator & Crocodille) Gerakan buaya untuk jarak pendek termasuk sangat cepat, bahkan di daratan. Karena buaya makan dengan cara mencengkram dan menahan mangsanya, mereka memilki gigi-gigi yang tajam yang berfungsi untuk menahan dan merobek daging, ditambah otot-otot rahang yang kuat yang membuat rahangnya tetap tertutup. Rahang buaya memiliki kekuatan gigitan yang besar, paling kuat di antara binatang-binatang lainnya. Kekuatan gigitan buaya lebih dari 5.000 pon per inch kuadrat (per square inch).(30) Spesies buaya yang besar sangat berbahaya bagi manusia. Ancaman utama bukanlah kemampuannya mengejar buruan melainkan kemampuan untuk menyerang sebelum seseorang dapat bereaksi. Buaya Sungai Nil dan
17
buaya Saltwater adalah yang paling berbahaya, telah membunuh ratusan orang per tahunnya di Asia Tenggara dan afrika.(30)
Luka akibat gigitan buaya Diambil dari kepustakaan 30
Gigitan buaya dapat menyebabkan amputasi atau bahkan kematian. Cedera pada individu yang dapat bertahan hidup bervariasi dari laserasi kecil dan luka-luka tusuk sampai trauma abdomen, dada dan ekstremitas. Cedera luar mungkin terlihat kecil, akan tetapi cedera dalam yang massif dapat terjadi akibat gigitan yang berat dari rahang buaya. Jika seseorang selamat dari cedera traumatic tersebut, lukanya dapat menjadi sumber infeksi bermacammacam mikroorganisme, terutama bakteri gram negative, Pseudomonas, Enterococcus, Aeromonas, dan Clostridium sering ditemukan pada luka akibat serangan buaya di Australia.(30,31) Penanganan umum luka gigitan buaya termasuk debridemen, fiksasi fraktur, restorasi vaskuler, perbaikan cedera saraf dan tendon, profilaksis antitetanus, dan profilaksis antibiotik spektrum luas.(31)
18
3.
Gigitan Ikan Singa Umumnya sengatan ikan beracun ini berakibat sama dengan gigitan ular berbisa, yaitu nyeri hebat yang tak sebanding dengan lukanya. Nyeri menjalar, mencapai puncak dalam 9 menit. Jika tidak ditolong dapat berlangsung 10 jam, walaupun intensitasnya makin berkurang. Gigitan ikan singa berbentuk luka tusuk dengan tepi membengkak dengan warna kemerahan.(1) Luka dicuci dengan air garam dan robekan kulit yang telah teracuni dibersihkan lalu luka direndam dalam air panas dengan suhu tertinggi dengan tidak menimbulkan luka bakar, karena toksin rusak pada suhu tinggi. Pada air perendam dapat ditambahkan asam encer, amoniak atau magnesium sulfat. Kalau perlu dilakukan pembersihan dan penjahitan luka. Kombinasi atropine dan diazepam untuk mengatasi mual dan kejang.(1)
BINATANG UDARA 1.
Gigitan Kelelawar Kelelawar merupakan reservoir alami dari sejumlah penyakit pada hewan yang pathogen termasuk rabies, SARS, henipavirus dan kemungkinan ebola. Mobilitas yang tinggi, distribusi yang luas, dan tingkah laku sosialnya membuat kelelawar menjadi inang dan vektor penyebaran penyakit yang tepat. Banyak spesies kelelawar memiliki toleransi tinggi terhadap penyakit dan tidak menunjukkan gejala selagi terinfeksi.(16,32) Hanya terdapat 0,5 % kelelawar yang menyebarkan penyakit rabies. Namun, beberapa kasus rabies di Amerika Serikat tidak disebabkan oleh anjing. Meskipun kebanyakan kelelawar tidak menyebabkan rabies, kelelawar
19
yang
tampak
mengalami
disorientasi,
tidak
dapat
terbang,
lebih
memungkinkan untuk mengadakan kontak dengan manusia. Kelelawar memiliki gigi yang sangat kecil dan dapat menggigit seseorang yang sedang tertidur tanpa dirasakan sama sekali. Terdapat bukti di lapangan yang memungkinkan penyebaran virus rabies pada kelelawar melalui udara, tanpa kontak langsung dengan kelelawar itu sendiri.(16,32)
DAFTAR PUSTAKA 1. De Jong, Wim & Sjamsuhidajat R. Luka, Trauma, Syok dan Bencana. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC; 2005. Hal 85-88 2. Wulandari D, Chandranata L. Infeksi Jaringan Lunak. Dalam : Penuntun Kedaruratan Medis Edisi 5. Jakarta:EGC, 1998. Hal 186-413 3. Spanierman, Clifford S. Animal Bites. Available
on:
http://www.emedicine.com/pediatric/infectious_disease, cited on May 14, 2010. 4. Schlessinger,
Joel.
Animal
Bites.
Available
http://www.emedicine.com/dermatology/environmental. cited on 2010. 5. Garth,
Allisha
Perkins.
Bites
Animal.
on: May 14,
Available
http://www.emedicine.com/dermatology/environmental. cited on
on:
May 14,
2010. 6. Charles, Thorne H. Animal Bites. Dalam :Grabb And Smith’s Plastic Surgery 6th Edition. Philadelphia : Lippincott-William & Wilkins; 2007. Hal 822
20
7. ___________. Dog Attack. Available on : http://www.wikipedia.org. Cited on May 14, 2010. 8. Rouge, Melissa.
Dental
Anatomy
of
Dog.
Available
http://www.vivo.colostate.edu/ . cited on May 14, 2010. 9. ___________. Animal bites and rabies. Available
on
:
on
:
http://www.bariatricsurgery.com . cited on May 14, 2010. 10. Deune GE. Animal Bites To The Human Extremitas. Available on : http://www.knol.com . cited on May 14, 2010. 11. Grossman, AJ. Bites. Dalam : Minor Injuries and Disorders, Surgical and Medical Care. Philadelphia; 1989. Hal 191-3 12. __________. Kucing. Available on : http://www.wikipedia.org. cited on May 14, 2010. 13. __________.
Cat
Bites.
Available
on
http://www.google.com/search_catbites/cat_bite.doc. cited on May 15, 2010. 14. Garcia, Viktor F. Animal Bites and Pasturella Infections. Dalam : Pediatrics In Review.pdf. available on : http://www.pedsinreview.aappublications.org. cited on May 14, 2010. 15. Walton, LR et al. Perawatan Luka. Dalam : Seri Diagnosis dan Pengobatan Perawatan Luka Penderita Perlukaan Ganda Edisi 2. Jakarta : EGC. Hal 47-9. 16. Wunner, William H. Rabies Virus. Niezgoda, Michael Et Al. Animal Rabies. Jackson, Alan. Human Disease & Phatogenesis. Dalam : Rabies.Pdf. Hal 163-4, 199-202, 222-7, 245-7. 17. Departemen Kesehatan RI. Rabies. Dalam : Petujuk Perencanaan dan Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies Di Indonesia Edisi 5. Jakarta : Depkes RI; 2005. 18. Harijanto NP & Gunawan AC. Rabies. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 3. Jakarta : FKUI; 2007. Hal 1714-7. 19. Widodo, D. Rabies. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 3 Jilid 1. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;1996. Hal 427-32. 20. Perez, E. Animal Bites.
Available
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepage/17051.htm.
on cited
: on
May 15, 2010
21
21. __________. Snake. Available on : http://www.wikipedia.org. cited on May 14, 2010. 22. Marsoeki, DJ. Luka dan Perawatannya Asepsis/Antisepsis Desinfektan. Surabaya : Airlangga University Press;1991. Hal 17-18. 23. Way, LW & GM Doherty. Inflammation,infection And Antibiotics. Dalam : Current Surgical Diagnosis and Treatment Edisi 11. Boston : McGrawHill;2000. Hal 131. 24. Sachdeva, RK. Catatan Ilmu Bedah Edisi 5. Jakarta : EGC;1996. Hal 304-5. 25. Dudley, HAF. Masalah-Masalah Bedah Akut Di Luar Daerah Beriklim Sedang. Dalam : Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi 11. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press; 1992. Hal 897-8. 26. Mathew, Joseph L & Tarun Gera. Ophitoxemia (Venomous Snakebite). Available on : http://www.priory.com. cited on May 14, 2010. 27. Norris,RL et al. Bites and Stings. Dalam : Sabiston Textbook Of Surgery, 16th Edition. Philadelphia : WB Saunders; 2004. Hal 597-9. 28. __________. Shark Bites and Shark Attack.
Available
on
:
http://www.emedicinehealth.com. cited on May 14, 2010. 29. __________. Shark. Available on : http://www.wikipedia.com. . cited on May 14, 2010. 30. __________. Crocodile. Available on : http://www.wikipedia.com. cited on May 14, 2010. 31. Langley, Ricky L. Alligator Attack On Human In The United State.pdf. Dalam : Wilderness and Environmental Medicine. North Carolinal;2005. Hal 119-124. 32. __________. Bats. Available on : http://www.wikipedia.com. cited on May 14, 2010.
22