Universa Medicina
Januari-Maret 2005, Vol.24 No.1
Gerakan repetitif berulang sebagai faktor risiko terjadinya sindrom terowongan karpal pada pekerja wanita di pabrik pengolahan makanan Lie T Merijanti S Bagian Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRAK Industri pengolahan makanan yang melibatkan pekerja dengan kegiatan tangan berulang secara terus menerus dapat mengakibatkan sindrom terowongan karpal (STK). Berbagai penelitian di luar negeri menunjukkan besarnya prevalensi STK berkisar antara 22–73%. Wanita mempunyai risiko tiga kali lebih besar untuk terjadinya STK dibandingkan pria. Prevalensi STK di kalangan pekerja pengolahan makanan di Indonesia masih belum pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi serta faktor-faktor yang berhubungan dengan timbulnya STK. Data diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner, observasi, pemeriksaan fisik, dan tes provokatif. Prevalensi STK pada bagian slaughter house yang terdiri dari bagian cut up dan evisceration adalah sebesar 27%. Faktor jumlah gerakan repetitif tinggi (>1200 gerakan/jam) (OR=2,42; CI=1,57–3,74) dan indeks massa tubuh/IMT>25 (OR=3,72; CI=1,45–9,53) berhubungan bermakna dengan STK . Gerakan repetitif pergelangan tangan yang tinggi mempunyai risiko 2,42 kali lebih besar dibandingkan gerakan repetitif pergelangan tangan yang rendah. Hal ini berarti bahwa perlu dilakukan rotasi kerja antara pekerja cut up dan evisceration di bagian slaughter house untuk mencegah terjadinya STK. Kata kunci : Sindrom terowongan karpal (STK), gerakan repetitif, wanita
Repetitive hand wrist movement as a risk factor for carpal tunnel syndrome in food processing women workers ABSTRACT Workers in processing food industry who exposed by continuously repetitive hand wrist movement will be get carpal tunnel syndrome (CTS). Several studies showed that the prevalence of CTS around 22-73%. Risk of CTS among women is three times higher than men. Prevalence of CTS within food processing workers in Indonesia has not been reported. The aim of this study was to identify prevalence and factors which related to CTS. The data were collected by guided interviews, observation, physical examination, and provocative tests. The prevalence of CTS in slaughter house department that consist of cut up and evisceration department were 27%. High repetitive movement (OR=2.42; CI=1.573.74) and overweight (BMI>25) (OR=3.72; CI=1.45-9.53) showed significant relationship with CTS. High repetitive handwrist movement could increase the risk of CTS in processing women workers. It means that job rotation between cut up and evisceration workers in slaughter house department is needed to avoid CTS. Keywords: Carpal tunnel syndrome (CTS), repetitive movement, women
15
Merijanti
Sindrom terowongan karpal
PENDAHULUAN
METODE
Proses produksi pada industri pengolahan makanan melibatkan banyak tenaga kerja manusia dan menggunakan sistem ban berjalan yang menuntut produktivitas kerja yang tinggi. Pekerja dalam sistem tersebut, melakukan kegiatan tangan yang berulang/repetitif secara terus-menerus sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan muskuloskeletal akibat kerja work related musculoskeletal disorders (WMSD) atau cumulative trauma disorders (CTD). (1,2) Gangguan muskuloskeletal dapat mengenai sendi, otot, dan saraf di daerah ekstremitas atas, salah satunya adalah sindrom terowongan karpal (STK). Kelainan ini merupakan sekumpulan gejala yang disebabkan oleh reaksi inflamasi, mengakibatkan penebalan ligamentum dan pembengkakan tendon di terowongan karpal, sehingga menekan saraf medianus yang berada di dalam terowongan tersebut. (3) Sindrom ini dapat mengganggu mobilitas, kekuatan, kemampuan atau pengendalian motorik sehingga menurunkan kinerja. Wanita mempunyai risiko tiga kali lebih besar untuk terjadinya STK dibandingkan pria. Hal ini disebabkan oleh ukuran terowongan karpal pada wanita lebih sempit dan pengaruh estrogen yang dimiliki oleh wanita. (2) Prevalensi STK di kalangan pekerja pabrik sepatu di Perancis yang terpajan gerakan repetitif besarnya 22%. (4) Sedangkan di kalangan pekerja pabrik pengolahan daging dan ikan di Korea prevalensinya mencapai 7 3 , 9 % . (5) D i I n d o n e s i a b e l u m p e r n a h dilaporkan mengenai prevalensi STK di kalangan pekerja pabrik pengolahan makanan, sehingga perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko yang berhubungan dengan STK.
Lokasi dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di bagian slaughter house yang terdiri dari bagian Evisceration (E) dan Cut Up (CU) pabrik makanan olahan di Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan antara bulan April sampai dengan Mei 2004.
16
Desain dan sampel penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah studi prevalensi potong lintang/kros seksional. Besar sampel dihitung berdasarkan rumus beda proporsi dua populasi. Ditetapkan p1 (proporsi STK pada pekerja dengan gerakan repetitif tinggi) sebesar 34%, angka ini diambil dari survei pendahuluan yang dilakukan sebelumnya. Sedangkan p2 (proporsi STK pada pekerja dengan gerakan repetitif rendah) sebesar 5%, angka ini d i p e r o l e h d a r i k e p u s t a k a a n . ( 1 ) Ti n g k a t kemaknaan/ ± s e b e s a r 5 % , d a n p r e s i s i / d sebesar 10%. Dari perhitungan itu diperoleh jumlah sampel sebesar 107 orang. (6) Kriteria inklusi yaitu tenaga kerja wanita yang telah bekerja selama lebih atau sama dengan dua tahun di bagian slaughter house dan bersedia ikut dalam penelitian (mengisi dan menandatangani informed consent). Kriteria eksklusi adalah subyek dengan pasca trauma atau menderita penyakit rematoid arthritis pada pergelangan tangan, diabetes melitus, sedang hamil lebih dari tiga bulan atau tidak hadir pada waktu pemeriksaan. Pengumpulan data Data diperoleh melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik pada pekerja. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data mengenai karakteristik responden, status reproduksi, karakteristik pekerjaan, dan lingkungan kerja. Observasi dilakukan untuk mendapatkan data
Universa Medicina
tentang jenis gerakan tangan dan pergelangan tangan selama bekerja, jumlah gerakan/jam, seragam, dan peralatan kerja yang digunakan selama aktivitas pekerjaan. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan berat badan dengan merek Health Scale dengan ketelitian 0,1 kilogram, pemeriksaan tinggi badan dengan microtois dengan ketelitian 0,1 cm, dan pemeriksaan provokatif pada pergelangan tangan yang meliputi tes Tinel dan tes Phalen. Tes Tinel dilakukan dengan cara mengetuk atau menekan ligamentum fleksor retinakulum di mana terdapat N. medianus pada pergelangan tangan dengan tangan dalam posisi netral atau fleksi. Pemeriksaan Tinel dikatakan positif bila penderita merasakan kesemutan atau rasa seperti tersengat listrik (shock like sensation) di daerah persarafan N. medianus. Sedangkan pada tes Phalen penderita diminta untuk merapatkan bagian dorsal kedua tangan dengan fleksi maksimal pada pergelangan tangan dan jari tangan menunjuk ke bawah. Posisi ini dipertahankan selama satu menit. Hasil tes positif jika timbul kesemutan atau baal pada jari yang dipersarafi o l e h N . m e d i a n u s . (2,3,7) P e m e r i k s a a n i n i dilakukan pada seluruh sampel. Data mengenai suhu ruangan dan standar produksi di tempat kerja diperoleh dari bagian produksi. Kriteria diagnosis STK Diagnosis STK ditentukan berdasarkan kriteria Silverstein B dan Fine L. Responden dinyatakan positif menderita STK, bila hasil pemeriksaan tes provokatif (tes Tinel dan Phalen) positif pada tangan yang sama baik unilateral maupun bilateral. (8) Kriteria indeks massa tubuh (IMT) dan jumlah gerakan repetitif Kriteria nilai indeks massa tubuh/IMT w a n i t a m e n u r u t W H O ( Wo r l d H e a l t h
Januari-Maret 2005, Vol.24 No.1
Organization) yaitu IMT<18,5 = kurus, 18,525,0 = normal, dan >25 = gemuk. IMT didapatkan berdasarkan berat badan (BB) dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan (TB) dalam sentimeter kuadrat (BB/TB 2 ). (9) Kategori jumlah gerakan repetitif tangan/jam dibagi atas repetitif rendah bila jumlah gerakan <1000/jam, repetitif sedang bila jumlah gerakan 1000–1200/jam dan repetitif tinggi bila jumlah gerakan >1200/jam. (10,11) Analisis data Pengolahan data dilakukan menggunakan p r o g r a m S P S S 11 , 5 . A n a l i s i s b i v a r i a n dilakukan dengan menggunakan uji statistik t t e s t , F i s h e r e x a c t t e s t, d a n c h i s q u a re . Analisis multivarian dilakukan dengan regresi logistik ganda. HASIL Responden yang berhasil dikumpulkan banyaknya 107 orang di bagian CU dan 45 orang di bagian E. Berdasarkan pengamatan terhadap tugas kerja, pekerja di bagian CU dinyatakan sebagai kelompok dengan gerakan repetitif tinggi dan bagian E sebagai kelompok dengan gerakan repetitif rendah. Prevalensi STK Prevalensi STK secara keseluruhan di slaughter house adalah besarnya 41/152 (27%), di mana pada bagian CU sebesar 35/ 107 (32,7%) dan 6/45 (13,3%) pada bagian E (Tabel 1). Karakteristik subjek penelitian Hasil uji statistik tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna pada variabel umur, pendidikan, masa kerja, status reproduksi dan IMT, sehingga kedua bagian tempat kerja ini dapat dibandingkan (Tabel 2). 17
Merijanti
Sindrom terowongan karpal
Tabel 1. Sebaran STK berdasarkan tempat kerja
* CU = Cut Up
†
E = Evisceration
Karakteristik pekerjaan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebelum masuk ke ruang kerja, pekerja mencuci tangan terlebih dahulu, menggunakan seragam kerja yang terdiri dari topi, masker, jas laboratorium, sarung tangan, sepatu bot (kecuali di CU ditambah memakai baju dingin) kemudian langsung bekerja. Peralatan pisau yang digunakan untuk bekerja adalah pisau biasa. Responden bekerja selama tujuh jam dengan istirahat satu jam setiap hari. Seluruh
responden (100%) di bagian CU dan E memakai seragam yang sama untuk pekerja di masing-masing bagian. Hampir seluruh responden (90%) telah menjalani latihan dan penyuluhan kerja. Pemeriksaan berkala yang dilakukan yaitu foto Rontgen dada. Data sekunder mengenai suhu lingkungan kerja di masing-masing bagian diperoleh melalui keterangan bagian produksi yaitu suhu 10-12º C di bagian CU dan suhu 26-28º C di bagian E.
Tabel 2. Perbandingan karakteristik responden antara bagian CU dan E
18
Universa Medicina
Januari-Maret 2005, Vol.24 No.1
Tabel 3. Hubungan antara karakteristik responden dengan prevalensi STK
Analisis faktor risiko Hasil analisis menunjukkan responden yang bertubuh gemuk mempunyai risiko lima kali lebih besar untuk terjadinya STK bila dibandingkan dengan yang kurus dan normal. (OR = 5,51; 95% CI = 1,52 – 19,96) (Tabel 3). Pekerja di bagian CU berisiko tiga kali lebih besar untuk terjadinya STK dibandingkan dengan E (OR = 3,16; 95% CI= 1,22 – 8,16). Untuk mencari hubungan antara faktor risiko jenis dan jumlah gerakan repetitif dengan prevalensi STK, karena tangan kiri dan kanan dari satu responden melakukan gerakan yang berbeda, maka analisis dilakukan terhadap masing-masing tangan
sehingga jumlah tangan menjadi 304 (Tabel 4). Jenis gerakan repetitif fleksi lebih dari 45 derajat dan jumlah gerakan repetitif kategori tinggi berhubungan bermakna dengan prevalensi STK. Gerakan fleksi lebih dari 45 derajat berisiko dua kali lebih besar untuk terjadinya STK bila dibandingkan dengan gerakan fleksi dan atau ekstensi kurang dari 45 derajat. (OR = 2,38 ; 95% CI = 1,3 - 4,4). Gerakan repetitif yang tinggi (lebih dari 1200 gerakan/jam) berisiko lima kali lebih besar untuk menimbulkan STK bila dibandingkan dengan gerakan repetitif rendah (kurang dari 1000 gerakan/jam) (OR = 5,22; 95% CI = 2,24 – 12,16) (Tabel 5).
Tabel 4. Hubungan antara faktor risiko pekerjaan dengan prevalensi STK
*
CU = Cut up
†
E = Evisceration
19
Merijanti
Sindrom terowongan karpal
Tabel 5. Hubungan antara jenis dan jumlah gerakan repetitif dengan prevalensi STK pada masing-masing tangan
*
Tinggi
†
Sedang
‡
Rendah
Setelah diuji secara bivarian, selanjutnya variabel di atas yang mempunyai p < 0 , 2 5 y a i t u v a r i a b e l I M T, s t a t u s reproduksi, unit kerja, jenis gerakan dan jumlah gerakan repetitif diuji lagi dengan analisis multivarian menggunakan regresi logistik ganda untuk menunjukkan variabel yang paling berperan terhadap STK. (Tabel 6) Analisis regresi logistik dilakukan dengan metoda enter, pada langkah pertama variabel jenis gerakan repetitif dikeluarkan, diikuti oleh variabel unit kerja dan status reproduksi pada langkah berikutnya. Hasil
analisis multivarian regresi logistik menunjukkan ternyata hanya dua variabel yang berhubungan dengan STK pada penelitian ini yaitu faktor gerakan repetitif (OR suaian = 2,42 ; 95% CI = 1,57– 3,74) dan IMT (OR suaian= 3,72; 95% CI = 1,45 – 9,53). Pekerja yang melakukan gerakan repetitif tinggi mempunyai risiko dua kali lebih besar terkena STK dibandingkan dengan yang melakukan gerakan repetitif rendah. Jika ditinjau dari IMT, pekerja yang bertubuh gemuk mempunyai risiko tiga kali lebih besar terkena STK dibandingkan dengan yang kurus dan normal.
Tabel 6. Model faktor risiko STK hasil analisis regresi logistik ganda
20
Universa Medicina
PEMBAHASAN Penelitian ini mempunyai keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh. Pertama, desain penelititan kros seksional yang dipakai mengukur faktor risiko dan STK pada waktu yang bersamaan, kekurangan ini telah dicoba diatasi dengan membandingkan dua populasi pekerja. Kedua, jumlah sampel dari bagian E (45 orang) kurang dari hasil perhitungan jumlah sampel yang seharusnya (107 orang), karena hanya jumlah sampel itu yang tersedia. Prevalensi STK pada sampel total yaitu 27% (41/152), lebih banyak dijumpai pada bagian CU/kelompok pajanan tinggi (32,7%) dibandingkan dengan bagian E/kelompok pajanan rendah (13,3%). Perbedaan besarnya prevalensi kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jumlah gerakan repetitif yang dilakukan dan lingkungan kerja. Pada analisis bivarian, didapatkan faktor risiko yang berhubungan dengan STK adalah IMT (kegemukan), unit kerja, jenis dan jumlah gerakan repetitif. Faktor risiko lain seperti umur, pendidikan, status reproduksi dan masa kerja tidak ada hubungan bermakna dengan STK. Pada penelitian ini variabel umur tidak berhubungan bermakna dengan STK, kemungkinan karena seluruh responden berumur muda (di bawah 35 tahun). Faktor lain dari individu seperti jenis kelamin dan penyakit tertentu seperti diabetes dan gout tidak dapat dianalisis pada penelitian ini, karena telah dieliminasi melalui kriteria inklusi dan eksklusi. Faktor IMT terbukti mempunyai hubungan dengan STK, responden yang bertubuh gemuk mempunyai risiko lima kali lebih besar untuk terjadinya STK bila dibandingkan dengan yang kurus dan normal. (OR = 5,51 dengan 95% CI = 1,52 – 19,96). Hasil analisis regresi logistik menunjukkan kegemukan (IMT > 25) mempunyai hubungan dengan STK hanya tiga kali lebih besar (OR
Januari-Maret 2005, Vol.24 No.1
suaian = 3,72; 95% CI = 1,45 – 9,53), karena pada analisis multivarian regresi logistik variabel IMT telah dibersihkan dari faktor perancu. Hasil penelitian ini konsisten dengan studi yang dilakukan oleh Bylund et al di Swedia. (12) Pekerja wanita di bagian slaughter house pada pabrik pengolahan makanan ini mempunyai kemungkinan yang berbeda untuk mengalami STK berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan. Pada analisis bivarian pekerja di CU berisiko tiga kali lebih besar untuk menderita STK dibandingkan dengan pekerja di E (OR= 3,16; 95% CI = 1,22 – 8,16), karena pekerja di bagian CU dalam melakukan tugasnya menggunakan tangan dengan jenis dan frekuensi jumlah gerakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian E. Suhu lingkungan kerja di CU lebih dingin daripada di E, tetapi tidak dapat dilakukan analisis karena seluruh pekerja di CU dan E terpajan oleh perbedaan suhu lingkungan yang sama. Pada analisis regresi logistik ganda, ternyata faktor unit kerja bukan merupakan faktor yang berperan dalam menimbulkan STK. Hal ini mungkin disebabkan pakaian dingin yang dikenakan pekerja CU, sehingga suhu dingin di ruang kerja CU tidak begitu berpengaruh terhadap pekerja. Gerakan fleksi tangan dan pergelangan tangan >45 derajat termasuk dalam jenis gerakan yang tidak netral/alamiah (awkward posture). Gerakan ini dapat menyebabkan tekanan secara langsung pada saraf medianus sehingga bila dilakukan berulang dapat menimbulkan terjadinya STK. Pada penelitian ini diperoleh adanya hubungan bermakna antara gerakan fleksi tangan dan pergelangan tangan >45 derajat dan STK (OR= 2,38; 95% CI= 1,3-4,4). Hasil analisis regresi logistik ganda menunjukkan faktor jenis gerakan repetitif bukan merupakan faktor risiko STK. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pekerja di pabrik ini baru bekerja selama enam 21
Merijanti
tahun, sehingga pada masa ini yang lebih berhubungan adalah jumlah gerakan repetitif dan belum ada hubungan dengan jenis gerakan yang dilakukan. Walaupun gerakan fleksi >45 derajat hanya bermakna pada analisis bivarian, sebaiknya pihak perusahaan perlu menghindari adanya jenis gerakan tersebut dengan memberikan peralatan kerja yang ergonomis kepada pekerja misalnya pisau yang ergonomis. (7) Pada analisis bivarian gerakan repetitif tinggi (>1200 gerakan/jam) mempunyai hubungan bermakna dengan STK, pekerja dengan gerakan repetitif tinggi mempunyai risiko lima kali lebih besar terhadap STK bila dibandingkan dengan yang rendah (OR = 5,22; 95% CI = 2,24 – 12,16). Pada analisis multivarian, gerakan repetitif tinggi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menimbulkan STK (OR suaian= 2,42; 95% CI = 1,57 – 3,74). Studi pada pekerja di Denmark juga menunjukkan adanya hubungan antara gerakan repetitif tinggi dengan STK. (13) Hasil yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Punnett et al. (14) Berdasarkan produk yang dihasilkan oleh pabrik ini, sulit untuk mengurangi jumlah gerakan repetitif, karena akan mempengaruhi hasil produksi. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh pihak perusahaan belum dapat mendeteksi adanya STK pada pekerja, hal ini karena pemeriksaan yang dilakukan hanya berupa thorax foto. Pekerjaan yang banyak melakukan gerakan repetitif dapat m e n g a k i b a t k a n b e r b a g a i k e l u h a n Wo r k Related Musculoskeletal Disorders/WMSD di mana salah satunya adalah STK. KESIMPULAN
Sindrom terowongan karpal
bagian E (13,3%). Gerakan repetitif tinggi dan IMT merupakan faktor risiko yang berhubungan bermakna dengan STK. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada dr. Astrid B. Sulistomo, MPH, SpOk dan dr. Sumedi Sudarsono, MPH yang telah memberikan bimbingannya sehingga terselesaikannya penelitian ini. Daftar Pustaka 1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
Prevalensi sindrom terowongan karpal (STK) pada pekerja di slaughters house pabrik ini besarnya 27%, lebih tinggi dijumpai pada bagian CU (32,7%) dibandingkan dengan 22
Kuorinka I, Forcie L, editors. Work related musculoskeletal disorders: A reference book for prevention. UK: Taylor & Francis Ltd; 1995. p.57-71. Bernard BP. Musculoskeletal disorders and workplace factors: a critical review of epidemiologic evidence for work related musculoskeletal disorders of the neck, upper extremity, and low back. Cincinnati,OH: Department of Health and Human Services, NIOSH; 1997. Rampen WR. Sindroma terowongan karpal pada pekerja yang terpajan tekanan biomekanis berulang di pabrik ban PT BSIN ( Tesis). Program pascasarjana Hiperkes Medis. Jakarta: IKK FKUI; 1995. Roquelaure Y, Mariel J, Fanello S, Boissiere JC, Chiron C, Dano C. Active epidemiological surveillance of musculoskeletal disorders in a shoe factory. Occup Environ Med 2002; 59:452-58. Kim JY, Kim JI, Son JE, Yun SK. Prevalence of carpal tunnel syndrome in meat and fish processing plants. J Occup Health 2004; 46:230-4. Ariawan I. Besar dan metode sample pada penelitian kesehatan. UI; 1998. Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS). 2003. Carpal tunnel s y n d r o m e . Av a i l a b l e f r o m : h t t p : / / w w w. c c o h s . c a / o s h a n s w e r s / d i s e a s e / carpal.html. Accessed April 20, 2003.
Universa Medicina 8.
Fine LJ, Silvers tein BA. Work related disorders of the neck and upper extremities. I n : L e v y B S , We g m a n D H , e d i t o r s . Occupational health: Recognizing and preventing work related disease and injury. 4 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p.515-36. 9. B o d y m a s s i n d e x ( B M I ) . Wo r l d h e a l t h organization regional office for Europe. Available from: http://www.euro.who.int/ nutrition/20030507. Accessed Mei 6,2003. 10. S u l i s t o m o A B . J o b a n a l i s i s . K u l i a h S 2 Kedokteran Kerja, Oktober 2003. 11. Virginia Polytechnic Institute and State U n i v e r s i t y. Wo r k p l a c e e r g o n o m i c s .
Januari-Maret 2005, Vol.24 No.1 Av a i l a b l e f r o m : h t t p : / / w w w. v t . e d u / . Accessed April 11, 2003. 12. Bylund SH, Burstrom L, Knuttson A. A descriptive study of women injured by hand arm vibration. Ann Occup Hyg 2002; 46:299-307. 13. Thomsen JF, Hansson GA,Mikkelsen S, Lauritzen M. Carpal tunnel syndrome in repetitive work: a follow up study. Am J Ind Med 2002; 42:344-53. 14. Punnett L, Gold J, Katz JN, Gore R, Wegman D H . E rg o n o m i c s t r e s s o r s a n d u p p e r extremity musculoskeletal disorders in automobile manufacturing: a one year follow up study. Occ Environ Med 2004;61:668-74.
23