Geometri Fraktal pada Batik: tinjauan kompleksitas dalam seni tradisional Yun Hariadi Dept. Dynamical System Bandung Fe Institute
[email protected] abstrak Perhitungan dimensi fraktal melalui tranformasi Fourier terhadap batik menunjukkan hadirnya fraktal dengan dimensi fraktal bernilai antara 1 dan 2. Proses isen dalam batik merupakan salah satu faktor yang berperan besar menghasilkan self‐affine sebagai salah satu sifat dari fraktal. Uji anova terhadap dimensi fraktal dengan metode ini mengelompokkan beberapa motif batik dalam dimensi fraktal yang hampir sama pada selang kepercayaan 95%, demikian pula terhadap batik kedaerahan. Lebih jauh dimensi fraktal ini juga menyebar secara simetris hampir merata pada keseluruhan sudut. Hanya pada motif banji sifat simetris berkurang. Berdasarkan kedaerahan, batik yogya dan batik solo memiliki kemiripan dimensi fraktal dengan batik madura dan batik garut, namun batik garut dan batik madura memiliki dimensi fraktal yang berbeda. Hadirnya fraktal dalam batik menunjukkan hadirnya kompleksitas dalam seni tradisional ini. kompleksitas ini muncul karena upaya untuk mematuhi pakem (makna simbolis, mistik, harmoni, simetri) dan keterbatasan media (canting, lilin, kain mori). Kata kunci: batik, isen, fraktal, dimensi fraktal, self‐affine, tranformasi Fourier.
1. Pendahuluan Batik (tik, tritik, titik) merupakan gabungan dua kata dari bahasa Jawa “amba” (menulis) dan “titik”. Sedangkan ambatik sendiri merupakan kata kerja untuk batik atau membatik. Berdasarkan asal kata ini (batik: menulis titik) terlihat bahwa titik merupakan dasar geometri untuk melukiskan objek dalam batik. Karena batik menulis titik, maka batik membutuhkan objek untuk ditulis dalam titik. Objek batik menjadi dasar pengelompokan batik (kecuali motif geometri dan banji) yaitu: parang, tumbuhan air, tumbuhan merambat, bunga, dan satwa [Djoemena]. Dengan titik bisa dibentuk garis dan kurva, dengan garis dan kurva bisa dibentuk bidang, dengan bidang bisa dibentuk ruang. Berdasarkan topologi titik berdimensi nol, garis berdimensi satu, bidang berdimensi dua, dan ruang berdimensi tiga. Sifat khas dari batik adalah teknik dalam menulis titik pada kain. Teknik tersebut dikenal sebagai wax‐ resist‐dyeing. Dalam teknik ini, motif batik dilukis dengan malam/lilin (wax) sehingga menahan (resist) masuknya pewarna (dyeing) pada kain. Teknik resist‐dyeing ini telah dikenal sejak 1500 tahun yang lalu di Mesir[expat] dan beberapa daerah lainnya misalnya India (bandhana), Cina (miao) , Jepang (stencils, rokechi, katanori) Rusia (bokhara), Thailand (phanung), Melayu (plangi, palekat )[Haldani]. Batik tergolong dalam seni kriya, seni dekoratif pada kain yang mirip corak pada batik bisa dilihat pada pahatan candi Prambanan (800M) [Achjadi]. Meski pola dekoratif tersebut belum bisa dibuktikan 1
menggunakan teknik batik, namun hal ini memberi petunjuk bahwa di Indonesia dekorasi pada pakaian telah dikenal sejak lama. Corak batik bisa kita lihat pada wayang kulit dan gamelan. Pakaian yang digunakan oleh tokoh‐tokoh wayang menggunakan corak batik, kondisi demikian menempatkan dalang (pelakon dalam wayang kulit) sebagai salah satu sumber inspirasi corak batik demikian pula motif parang sering kita jumpai pada ornamen gamelan[Achjadi]. Corak, gaya, dan warna pada batik berkembang berdasarkan pengaruh dari luar, sesuai dengan dinamika budaya Indonesia. Pengaruh Hindu misalnya memunculkan gambar garuda, bunga lotus, dan naga. Sedangkan pengaruh Islam memunculkan motif geometri dan bunga. Pengaruh Hindu dan Islam ini banyak berpengaruh pada batik keraton (batik kasultanan Surakarta, batik kasultanan Yogyakarta, batik Pura Mangkunegaran, batik Pura Pakualaman). Pengaruh India memunculkan patola dan jlamprang. Sementara pengaruh Belanda memunculkan buketan dan semarangan (Batik Van Zuylen, Batik Van Oosterom, Batik Prankemon). Pengaruh Cina memunculkan gambar‐gambar naga, singa, ular, burung phoenix, dan warna‐warna cerah. Pengaruh Jepang memunculkan gaya batik Pagi‐Sore (warna dan pola berbeda pada setengah kain batik) dikenal sebagai batik Hokokai. Pengaruh kemerdekaan, yang oleh presiden Soekarno disebut batik Indonesia, memunculkan campuran batik yogyakarta dan solo dengan dasar warna coklat dan warna cerah, gambar cendrawasih, sruni, sandang pangan, udang. Pengaruh saudagar atau pelopor selanjutnya dikenal dengan batik saudagaran memunculkan modifikasi motif parang, modifikasi lereng dengan isen ukel dan semen. Pengaruh geografis memunculkan batik pesisir terdiri batik Cirebon dan Pekalongan. Pengaruh politik setelah kemerdekaan (orde baru) memunculkan batik Golkar, batik renville, lereng dokter, lereng camat[Achjadi, Haldani]. Terlihat bahwa perkembangan batik dari pengaruh Hindu hingga orde baru menunjukkan nilai guna batik tidak sekedar hiasan atau dekorasi pada pakaian/kain. Ada beragam nilai guna batik berdasarkan kepentinganya, baik untuk ritual, propaganda, maupun media kampanye. Perubahan nilai guna berpengaruh pada objek, warna, dan corak dari batik. Lebih jauh perubahan nilai guna berpengaruh terhadap motif batik. Pada sebagian orang batik mengandung nilai mistik, dipercaya sebagai tulak bala. Misalnya pada kepercayaan orang jawa kuno, batik dipercaya sanggup menenangkan tangisan bayi dan menyembuhkan anak yang demam[Haldani]. Karena motif batik memilik makna simbolis tertentu, maka objek yang menjadi ornamen batik merupakan benda yang memiliki muatan mitologi. Motif satwa banyak menggunakan objek burung karena dianggap memiliki kelebihan yaitu terbang yang diartikan sebagai penghubung antara surga dan dunia. Demikian pula pada motif tumbuhan air misalnya teratai sebagai perwujudan seluruh kehidupan sebab ia tumbuh dari suatu kedalaman air yang hampa. Juga pada objek pohon, akarnya yang menghujam kedalaman bumi yang misterius, batangnya yang kerap dijadikan pilar utama tempat tinggal sehingga kemudian diesebut sebagai pusat/penyangga dunia (pasak bumi, pakubuwana), cabang‐ cabangnya bergoyang laksana sayap burung yang dihubungkan dengan simbol wilayah udara, langit, dan surga[Haldani]. Dari sisi estetika, mutu dari batik tidak dinilai berdasarkan baik dan buruknya, namun lebih pada ketaatannya dengan pakem. Sebagai bentuk seni dekoratif, ornamen pada batik tidak dipandang sebagai upaya mengisi ruang kosong belaka, melainkan upaya penyempurnaan serta memberi makna obyek 2
secara keseluruhan. Jadi untuk memahami motif batik tidaklah cukup jika hanya menguraikan unsur titik, garis, warna, shape, tekstur, dan figur. Faktor dari dalam batik yaitu: media(kain mori, lilin, canting, kuas),metode(wax‐resist‐dyeing, dekoratif, klowongan, pelengkap, dan isen), objek (tumbuhan, satwa, geometri), dan simbolisme (misitik, propaganda, kampanye) tentu akan berpengaruh terhadap motif batik. Dalam proses membatik terdapat proses isen, dalam proses ini, sebuah ornamen akan diisi dengan ornamen tertentu yang sesuai dengan motif batik. Sejauh mana menulis/melukis titik dengan metode wax‐resist‐dyeing berpengaruh terhadap dimensi dari objek? apakah dimensi dari objek batik dengan hasil lukisan batik memiliki kesamaan dimensi? Topik masalah ini, bisa dilihat pada sifat topologi misalnya dimensi. Pada batik, proses membatik menggambar objek berdimensi tiga (parang, tumbuhan, satwa) ke dalam bidang (kain). Dari sisi topologi, memindahkan kurva dari ruang (berdimensi tiga) ke bidang (berdimensi dua) akan merubah sifat topologinya[Peitgen]. Pada teori kompleksitas, salah satu yang menandai hadirnya chaos adalah hadirnya fraktal. Hadirnya fraktal menandai keteraturan dalam kekacauan, sedangkan batas antara keteraturan dan kekacauan dikenal dengan kondisi kompleks (edge of chaos). Secara geometri, fraktal ditandai dengan self‐similarity dan self‐affine (dan tidak berlaku sebaliknya bahwa setiap self‐similarity atau self‐affine adalah fraktal). Dalam self‐similarity kedetailan pada skala yang lebih kecil memiliki bentuk geometris yang mirip (penskalaan secara linier), sedangkan pada self‐affine kedetailan pada skala yang lebih kecil memiliki penskalaan tertentu dengan bentuk geometris tidak mirip (penskalaan secara tak linier). Geometri fraktal berbeda dengan geometri Euclidean, geometri fraktal berasal dari teori chaos. Geometri fraktal menjadi bahasa baru untuk memahami fenomena kompleks dalam teori chaos, dengan penemuan teori chaos dan fraktal konsep tentang keseimbangan atau keteraturan menjad berubah. Geometri fraktal mampu memodelkan objek yang tidak mampu dimodelkan oleh geometri Euclidean. Misalnya geometri fraktal lebih tepat memodelkan objek awan, sedangkan geometri Euclidean lebih tepat memodelkan objek kubus. Perkembangan geometri fraktal ini tak lepas dari penemuan Mandelbrot terhadap himpunan Mandelbrot, dan juga pengembangan matematikawan sebelumnya misalnya Georg Cantor, Giuseppe Peanno, David Hilbert, Helge von Koch, Waclaw Sierspinski, Gaston Julia, Felix Hausdorff [Peitgen]. Paper ini akan menyelidiki sejauh mana proses membatik menghasilkan karya yang memiliki tingkat fraktal. Hipotesis awal dari penelitian ini adalah bahwa batik memiliki dimensi fraktal pecahan, yang berarti bersifat fraktal. Hipotesis awal ini dilatar belakangi oleh proses pembuatan batik yaitu isen, mengisi ornamen dengan ornamen lainnya sesuai dengan motif. Selain itu dalam membatik akan terjadi perubahan sifat topologi ketika terjadi perubahan objek dari ruang berdimensi tiga ke bidang (kain) berdimensi dua. Perhitungan dimensi fraktal berguna untuk pengklasifikasian kondisi ekstrim misalnya untuk mendeteksi kegagalan jantung [Teich et al], aliran sungai [Szustalewicz], transportasi [Dorfman] , tumor di otak[Marsh], neuron otak ikan [Isaeva] pengidentifikasian retina mata [Ewe et al], lapisan tulang [Currey], pengidentifikasian wajah [Siu et al], analisis gambar [Vasselle, Heurteaux].
3
Metode perhitungan dimensi fraktal pada penelitian ini menggunakan tranformasi Fourier. Dasar pertimbangan untuk memilih tranformasi Fourier karena tranformasi Fourier merupakan analisis berdasarkan frekwensi, hal ini berguna untuk menghitung kontribusi(frekwensi) koordinat (pixel) sebuah gambar. Sedangkan pendekatan dimensi fraktal pada penenelitian ini menggunakan metode box‐ counting yang merupakan salah satu konsep dimensi fraktal oleh Mandelbrot, dan ini merupakan metode yang paling mudah dilakukan [Peitgen, Szustalewicz]. Sistematika paper ini, bagian pertama berisi pendahuluan, bagian kedua berisi model, dan bagian ketiga menampilkan analisis, dan bagian keempat menampilkan kesimpulan dan kerja ke depan.
2.Metodologi Dimensi Fraktal lim
Misalkan Z sebuah gambar dengan ukuran
log log
1
, dengan nilai pada masing‐masing pixel adalah ,
,
Transformasi Fourier dari Z ,
1
,
⁄
,
,
1
,
⁄
,
Besaran pada tiap pixel didefinisikan sebagai besarnya G ,
Nilai pada setiap W, dikelompokkan dalam parameter sudut (m sudut berbeda) dan jarak tertentu (n jarak berbeda), dengan acuan pada ordinat , ,
| tan
,
4
Gambar 1 pembagian koordinat pada sudut dan jarak
,
|
,
|
, |
, ,
,
1,
,
5
Gambar 2 sistematika menghitung dimensi Fraktal dengan masukan gambar dalam format jpg berukuran MxN pixel. Selanjutnya gambar sebagai matrik berdimensi MxN mengalami transformasi Fourier. Selanjutnya proses perhitungan dimensi fraktal menggunakan metode box‐counting
3.Analisis Data yang digunakana dalam analisis ini adalah beberapa batik daerah dan kumpulan batik yang terdapat dalam buku[Djoemena] (apendik). Sebagai pembanding untuk menguji ketepatan perhitungan dimensi ini disertakan kumpulan lukisan Picasso (periode 1989 sd 1940). Setiap gambar (gray) dalam analisis ini berukuran 200 200 , 24, 30
Gambar 3, Dimensi Fraktal terhadap benda‐benda yang tidak memiliki sifat fraktal. Dari kiri ke kanan, ruang kosong (Df=0), kontur garis (Df=1.099), kontur bidang (Df=2.011), dan kurva berdimensi tiga (Df=3.040)
6
Berdasarkan perhitungan dimensi fraktal melalui transformasi Fourier terlihat bahwa dimensi tersebut tidak merupakan bilangan bulat. Hal ini terjadi karena, perhitungan dimensi tersebut memperhitungkan parameter sudut dan jarak dari titik tengah gambar. Namun secara umum, pembulatan terhadap bilangan bulat terdekat, menunjukkan bahwa transformasi Fourier mampu menghitung dimensi dari objek yang terdapat dalam gambar. Objek pada gambar 3 merupakan bentuk kurva dari persamaan matematika, lantas bagaimana terhadap bentuk dari objek yang merupakan karya manusia? Dari gambar 3 terlihat bahwa peran warna sangat berpengaruh terhadap pembentukan dimensi. Perubahan dari dimensi 0 (ruang kosong) ke dimensi 1 (garis) membutuhkan garis atau kurva untuk mengisi ruang kososng. Sedangkan pada perubahan dimensi 1 ke dimensi 2 (bidang), membutuhkan warna untuk mengisi kurva. Sedangkan untuk membentuk dimensi 3 dari dimensi 2 dibutuhkan perubahan warna (degradasi) sedemikian hingga menimbulkan kesan bahwa objek memiliki panjang‐ lebar‐tinggi.
Gambar 4 dimensi fraktal karya Picasso berdasarkan periode waktu. nilai pada keseluruhan periode dekat dengan dimensi fraktal 3, hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa aliran kubisme menggambar objek berdimensi 3.
Pada karya‐karya Picasso berdasarkan periode (apendik), terjadi perubahan terhadap dimensi fraktal. Meskipun secara keseluruhan masih konsisten dengan aliran kubisme yaitu berkisar pada dimensi 3, namun terlihat bahwa pada periode 1921‐1930 memiliki dimensi fraktal paling tinggi. Dimensi fraktal yang relatif lebih tinggi menggambarkan tingkat kedetailan berdasarkan penskalaan dari karya Picasso pada periode tersebut. Secara keseluruhan, dimensi fraktal dari karya‐karya Picasso yang sangat dekat dengan dimensi 3, hal ini tidak menunjukkan adanya fraktal. Bagaimana terhadap batik?
7
Gambar 5a, Dimensi fraktal batik berdasarkan motif. Secara keseluruhan dimensi fraktal ini berada diantara dimensi 1 dan 2. Pada motif banji terlihat bahwa pada sudut tertentu memiliki dimensi yang dekat dengan dimensi 2. Hal ini terjadi karena dalam motif banji seolah‐olah membentuk motif yang mirip anyaman atau tenun.
Batik berbeda dari karya Picasso, hal ini terlihat jelas dari perbedaan antara gambar 4 dengan gambar 5a. Terlihat bahwa motif batik berada antara dimensi 1 sampai 2, padahal objek dari motif batik berada dalam dimensi 3. Hal ini menyatakan bahwa pakem dalam pembuatan batik, adalah menggambarkan objek‐objek ke dalam dimensi 1 sampai 2. Lebih jauh, nilai dimensi fraktal dari keseluruhan motif batik berada pada sekitar 1.5, hal ini menggambarkan tingkat fraktal yang tinggi, ditengah‐tengah dimensi 1 dan 2. Dengan kata lain, batik tidak cukup untuk digambarkan oleh kurva, namun terlalu berlebihan jika digambarkan oleh bidang. Tingkat fraktal yang tinggi menunjukkan tingginya kedetailan dalam batik. Tingkat kedetailan yang tinggi ini disebabkan oleh proses “isen” dalam pembuatan batik. Pada proses isen, gambar dari objek batik mengalami pendetailan dengan menambahkan gambar yang sesuai dengan motif. Hal ini dilakukan dengan mengisi ruang kosong pada ornamen batik. Dalam membatik, yang merupakan seni dekoratif, proses pengisian ruang kosong dengan isen tidak hanya sekedar mengisi ruang kosong, namun sebagai upaya penyempurnaan dan memberi makna objek secara keseluruhan [Haldani]. Dari sisi kesimetrisan dengan melihat nilai variansi (sebaran terhadap nilai rata‐ratanya) , terlihat bahwa motif banji merupakan motif yang paling tidak simetris dibanding dengan motif lainnya, dengan nilai variansi untuk dimensi fraktal terbesar 0.0307. Hal ini terlihat dari fluktuasi dimensi fraktal di sekitar sudut 0, 90, 180, dan 270, pada sudut‐sudut tersebut dimensi fraktal dekat dengan dimensi 2 (bidang). Hal ini bisa dipahami bahwa motif banji (swastika) [indek batik no 62 s.d 65]merupakan motif geometri yang didasari oleh tradisi menganyam dan menenun. Pada makna simbolis motif ini, yang digubah secara berjalin atau membentuk labirin, ikatan yang melambangkan meditasi dan pencapaian‐ pencapaian kesempurnaan yang terkadang dikombinasikan dengan unsur lain. Simpul juga dikaitkan dengan figur Mandala dalam kepercayaan Hindu dan Buddha yang dirancang untuk keperluan meditasi 8
dan makna‐makna yang mendalam berkaitan dengan ruang‐ruang spiritual dan material di seputar siklus hidup dimana manusia diharuskan menjalani dan melampauinya dalam rangka menggapai titik pusat, yaitu nirwana [Haldani]. motif mean(Df) var(Df) parang 1.6623 0.0194 geometri 1.6912 0.0030 banji 1.8313 0.0307 t.merambat 1.5095 0.0021 t.air 1.3952 0.0094 bunga 1.6358 0.0031 satwa 1.4180 0.0017 Table 1, dimensi fraktal dan kesimetrisan pada setiap motif
Selain motif banji, hampir semua motif bersifat simetri. Bentuk‐bentuk simetri pada motif batik ini melambangkan keharmonisan dan keseimbangan. Meski objek dalam motif batik, misalnya hewan dan tumbuh‐tumbuhan merupakan benda berdimensi 3, namun penggambaran dalam motif batik menjadikan objek tersebut berada dalam dimensi kurang dari 2 dan simetris. Pada motif batik kupu gandrung (kupu yang gila asmara) [indek batik 167] terlihat upaya untuk mensimetriskan gambar kupu dengan membentangkan kedua sayap dan kedua mata pada bagian depan. Banyaknya objek hewan bersayap pada motif batik karena hewan bersayap mewakili ruang antara surga dan dunia [Haldani]. Dalam motif kawung [indek batik 34 s.d 36] kesimetrian ini menyimbolkan posisi raja diantara prajurit, atau mata angin ke lima sebagai pusat atau sumber dari keempat mata angin lainnya. Pada motif bunga ceplokan [indek batik 121 s.d 126] upaya untuk membuat simetri ini dilakukan dengan menggambar motif bunga yang dilihat dari atas atau depan (ceplok). Kondisi paling simetris ditunjukkan oleh motif satwa, pada motif ini, nilai variansi dari dimensi fraktalnya paling kecil. Hasil uji anova terhadap dimensi fraktal yang ditunjukkan pada gambar 5b&5c menunjukkan terdapat empat kelompok motif dengan dimensi fraktal yang berbeda. Kelompok pertama dengan dimensi fraktal sekitar 1.4 terdiri dari motif t.air dan satwa, kelompok ke dua dengan dimensi fraktal sekitar 1.5 merupakan motif t.merambat, kelompok ketiga dengan dimensi fraktal sekitar 1.65 terdiri dari motif parang, geometri, dan bunga. Sedangkan kelompok keempat dengan dimensi fraktal sekitar 1.8 merupakan motif banji.
9
Gambar 5b, Hasil uji anova pada setiap motif. Terlihat bahwa mayoritas rata‐rata dimensi fraktal dari batik berada pada selang 1.4 hingga 1.7. Pada beberapa motif memiliki dimensi fraktal yang hampir mirip.
Gambar 5c, hasil uji anova menunjukkan terdapat empat kelompok dengan dimensi fraktal yang berbeda dengan tingkat kepercayaan 95%. Motif tumbuhan merambat,tumbuhan air, dan bunga berada dalam kelompok yang berbeda‐beda. Motif tumbuhan air berada satu kelompok dengan motif satwa, motif bunga berada satu kelompok dengan motif parang dan geometri. Sedangkan motif tumbuhan merambat dalam kelompok tersendiri tanpa ada motif yang memiliki dimensi fraktal yang mirip. Hal ini juga terjadi pada motif banji.
10
Motif membuat dimensi fraktal menjadi berbeda. Namun perbedaan ini masih konsisten dengan keadaan batik secara umum bahwa batik adalah fraktal dengan dimensi antara 1 s.d 2 atau antara kurva dan bidang, dan uji anova dengan tingak kepercayaan 95% menunjukkan bahwa motif batik membuat empat kelompok berbeda terhadap dimensi fraktalnya. Selanjutnya, bagaimana pengaruh kedaerahan terhadap batik? Dalam keseharian, orang sering membedakan batik berdasarkan daerah asalnya. Sehingga sering kita mendengar sebutan batik cirebon (cirebonan), batik yogya, batik solo, batik tasik dll. Sejauh mana perbedaan daerah asal tersebut terhadap dimensi fraktal? Hasil perhitungan terhadap dimensi fraktal pada sample batik daerah dan selanjutnya dilakukan pengujian anova menunjukkan bahwa daerah asal batik menunjukkan perbedaan. Hasil uji anova membagi pengelompokan batik berdasarkan dimensi fraktalnya. Pada kelompok pertama, dengan dimensi fraktal sekitar 1.1 hanya beranggotakan batik cirebon. Hal ini menunjukkan, berdasarkan dimensi fraktalnya, batik cirebon berdeda dengan batik dari daerah lainnya. Pada kelompok ke dua dengan dimensi fraktal sekitar 1.3(1.4) beranggotakan batik solo, garut, yogya, dan madura, hal ini berarti bahwa dimensi fraktal batik solo(1.3) mirip dengan dimensi fraktal batik garut, yogya, dan madura atau dimensi fraktal batik yogya(1.4) mirip denga dimensi fraktal batik solo, garut, dan madura. Pada kelompok ke tiga dengan dimensi fraktal sekitar 1.25 beranggotakan batik garut, yogya, dan solo. Pada kelompok ke empat dengan dimensi fraktal sekitar 1.4 beranggotakan batik madura, yogya, dan solo. Sedangkan pada kelompok ke lima dengan dimensi fraktal sekitar 1.6 beranggotakan batik lasem dan tasik. Pada kelompok ke dua, tiga, dan empat, terlihat bahwa baik pada dimensi fraktal batik madura maupun garut, batik yogya dan batik solo memiliki kemiripan dalam dimensi fraktalnya. Batik garut dan batik madura berbeda dalam dimensi fraktal meskipun keduanya dekat dengan dimensi fraktal batik yogya maupun solo. Hal ini berarti, bahwa batik yogya dan batik solo berpengaruh terhadap batik garut dan batik madura, meskipun pengaruh tersebut berbeda dalam dimensi fraktalnya. Hal ini cukup menarik jika kita hubungkan pada letak geografis antara yogya&solo terhadap garut dan madura. Garut secara geografis berada disebelah barat yogya&solo sedangkan madura berada disebelah timur yogya&solo. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa batik cirebon memiliki dimensi fraktal yang tunggal, berbeda dengan dimensi fraktal daerah lain. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa dalam tradisi batik cirebonan ornamen batik memilik sudut pandang yang berbeda baik secara prinsip maupun ekspresi[Haldani]. Perhitungan dimensi fraktal terhadap batik berdasarkan motif dan kedaerahan menunjukkan hadirnya fraktal. Hadirnya fraktal dalam batik menimbulkan pertanyaan lebih jauh, kenapa batik bersifat fraktal? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami sifat fraktal itu sendiri. Bahwa hadirnya fraktal berarti terdapat self‐similarity atau self‐affine. Sifat self‐similarity dan self‐affine ini berarti terdapat pendetailan geometri pada skala yang lebih kecil. dalam batik, proses isen memberi sumbangan yang besar dalam membentuk pendetailan dalam skala yang lebih kecil, karena motif utama dan isen ini tidak harus sama secara geometris, maka proses ini lebih dekat dengan self‐affine dibanding dengan self‐ 11
similarity. Pertanyaan selanjutnya, kenapa proses isen ada dalam batik? Proses isen dalam batik, dan dalam seni dekoratif lainnya, bukanlah sekedar untuk mengisi ruang kosong belaka, lebih dari itu proses ini sebagai manifestasi penyempurnaan dan memberi makna secara menyeluruh. Tentu saja hal ini bisa kita pahami, bahwa batik memiliki nilai simbolis bahkan mistik. Unsur simbolis dan mistik ini terkait erat dengan fungsi batik yang berhubungan dengan fungsi ritual. Lebih jauh lagi jika kita amati sebaran dimensi fraktal ini pada batik, terlihat bahwa sifat fraktal ini tidak terkonsentrasi pada bagian tertentu, tetapi menyebar secara simetris. Hampir semua motif batik bersifat simetri dalam penyebaran dimensi fraktalnya. Hal ini terkait dengan konsep keharmonisan dan kesetimbangan dalam memaknai simbolisme batik. Jika kita amati hubungan antara objek dan motif batik terlihat bahwa terjadi pengecilan dimensi dari objek yang sebagian besar memiliki dimensi tiga (parang, satwa, tumbuhan). Proses membatik ini tidak sekedar mengecilkan dimensi objek bahkan membuat dimensi objek menjadi dimensi pecahan dalam motif batik. Proses pengecilan dimensi menjadi dimensi fraktal yang berada diantara dimensi 1 dan dimensi 2 terkait dengan media dalam batik, misalnya: kain, canting, dan lilin. Keterbatasan media dan makna simbolis yang membuat dimensi fraktal batik berada diantara dimensi 1 dan 2.
Gambar 6a, dimensi fraktal batik berdasarkan daerah. Terlihat bahwa dimensi batik konsisten dengan hasil sebelumnya (berdasarkan motif) bahwa dimensi fraktal batik berada diantara dimensi 1 dan 2. Namun jika kita bandingkan dengan batik berdasarkan motif, terlihat bahwa dimensi fraktal batik daerah lebih mengumpul di bawah Df=1.5 sedangkan pada batik berdasarkan motif dimensi fraktalnya mengumpul secara merata pada Df=1.5. Terlihat bahwa batik Cirebon memiliki dimensi fraktal paling kecil sedangkan dimensi fraktal paling besar pada batik Tasik.
12
Gambar 6b, Uji anova pengelompokkan dimensi fraktal terhadap batik daerah, terdapat lima pengelompokkan batik berdasarkan asal daerah. Batik cirebon memiliki dimensi fraktal yang berbeda dengan batik dari daerah lainnya. Sementara pada dimensi fraktal antara 1.2 s.d 1.5 terjadi pengelompokkan yang tumpang tindih antara batik madura, yogya, garut, dan solo. Sedangkan batik lasem dan tasik berada dalam kelompok dimensi fraktal 1.5 s.d 1.7
Gambar 7, dimensi fraktal pada lukisan kubisme karya Picasso dan batik. Terlihat bahwa kedua gaya seni rupa tersebut memiliki dimensi fraktal yang berbeda, dimensi fraktal batik setengah dari dimensi fraktal kubisme. Hal ini menjelaskan bahwa batik bersifat fraktal sedangkan aliran kubisme bukan fraktal. Hadirnya fraktal pada batik secara geometri menunjukkan terjadinya kedetailan yang tinggi, yang secara topologi merubah dimensi objek lukisan batik.
13
4.Kesimpulan dan penelitian selanjutnya Perhitungan dimensi fraktal memalui tranformasi Fourier mampu menghitung dimensi dari objek yang ditampilkan pada gambar berdimensi 2. Hal ini terlihat pada gambar 3 (Df=0,1,2,3) dan gambar 4 (kubisme karya Picasso Df=3). Pada tampilan Df berdasarkan sudut (rose plot) mampu menampilkan kesimetrisan Df tersebut. Perhitungan dimensi fraktal terhadap pengelompokkan batik berdasarkan motif dan daerah menunjukkan bahwa batik bersifat fraktal, hal ini terlihat dari dimensi fraktal yang berada disekitar 1.5. hal ini menunjukkan bahwa batik secara topologi berdimensi antara garis dan bidang. Batik tidak cukup digambarkan dengan garis/kurva namun terlalu berlebihan jika digambarkan dengan bidang. Lebih jauh sifat fraktal ini menunjukkan adanya tingkat detail yang tinggi. Kedetailan pada skala yang berbeda pada batik sejalan dengan proses dalam batik yaitu isen. Pengelompokkan motif batik berdasarkan pada objek yang dilukiskan dalam batik. Terlihat bahwa objek dalam motif tersebut pada awalnya adalah benda‐benda berdimensi 3 (tumbuhan, satwa, parang, bunga), namun dalam proses batik benda berdimensi 3 ini akan diolah menjadi benda berdimensi pecahan antara 1 dan 2. Dalam proses pengecilan dimensi menjadi dimensi pecahan antara 1 dan 2 terdapat proses isen, yang dalam seni dekoratif tradisional tidak sekedar mengisi ruang kosong namun sebagai upaya penyempurnaan dan memberi makna objek secara keseluruhan. Proses isen dalam batik sejalan dengan pendetailan pada skala yang lebih kecil dalam geometri fraktal. Dalam perhitungan dimensi fraktal, metode atau cara berpikir tersebut digunakan misalnya dengan melihat sejauh mana kedetailan sebuah objek pada skala yang berbeda‐beda. Selain memperkecil dimensi objek dan memecahnya dalam dimensi pecahaan antara 1 dan 2, pada batik menghasilkan kesimetrisan dalam penyebaran dimensi fraktal ini. hal ini seseuai dengan prinsip keharmonisan dan keseimbangan dalam mitologi, misalnya dalam motif kawung kesimetrian ini menyimbolkan posisi raja diantara prajurit, atau mata angin ke lima sebagai pusat atau sumber dari keempat mata angin lainnya. Namun pada beberapa objek kesimetrisan ini berkurang, hal ini misalnya pada motif banji yang merupakan motif geometri yang didasari oleh tradisi menganyam dan menenun. Hasil pengujian anova menunjukkan bahwa terdapat empat kelompok motif berdasarkan dimensi fraktalnya. Kelompok pertama dengan dimensi fraktal sekitar 1.4 terdiri dari motif t.air dan satwa, kelompok ke dua dengan dimensi fraktal sekitar 1.5 merupakan motif t.merambat, kelompok ketiga dengan dimensi fraktal sekitar 1.65 terdiri dari motif parang, geometri, dan bunga. Sedangkan kelompok keempat dengan dimensi fraktal sekitar 1.8 merupakan motif banji. Terlihat bahwa motif banji merupakan motif yang tidak memiliki kesamaan dimensi fraktal dengan motif lain. Pada sample batik daerah juga menunjukkan kekonsistenan sifat fraktal, hal ini ditunjukkan pada dimensi fraktal berada antara dimensi 1 dan 2. Pengelompokkan batik daerah berdasarkan dimensi fraktal membagi menjadi lima kelompok. dengan batik yogya dan batik solo merupakan irisan antara
14
batik madura dan batik garut. Sedangkan batik lasem berada satu kelompok dengan batik tasik, dan batik cirebon berada dalam kelompok tersendiri, tanpa kemiripan dengan batik dari daerah lain. Sifat fraktal dalam batik yang ditunjukkan oleh dimensi fraktal batik yang berada di sekitar 1.5 menunjukkan bahwa dalam batik terdapat tingkat kedetailan yang tinggi pada skala yang berbeda‐beda. Lebih jauh sifat fraktal ini menyebar secara simetris terhadap motif batik (kecuali motif banji) dan batik daerah. Secara umum batik bersifat fraktal, secara khusus dimensi fraktal antar motif berbeda demikian juga terhadap batik kedaerahan. Kekonsistenan dimensi fraktal dari batik yang berada diantara dimensi 1 dan 2 menunjukkan kepatuhan terhadap pakem batik, kepatuhan pada pakem ini setara dengan kepatuhan aliran kubisme untuk mengambar objek yang mirip dengan kubus (gambar 7). Selain kepatuhan pada pakem, keterbatasan media yang menggunakan canting, kain, garis sebagai efek dari lilin juga berperan dalam menjaga dimensi fraktal untuk tetap pada rentangnya. Penelitian selanjutnya akan menggunakan dimensi fraktal ini sebagai periodesasi batik, untuk menguji keotentikan suatu batik. Lebih jauh akan mengembangkan dimensi fraktal sebagai pengkategorian batik berdasarkan motif, kedaerahan, nilai guna. Selain itu beberapa kelemahan dalam perhitungan dimensi fraktal dengan menggunakan box‐counting ini akan disempurnakan, penggunaan warna penuh dan penambahan data batik.
Pengakuan Penulis mengucapkan terima kasih kepada bung Luki atas sumbangan data‐data batik, pak Haldani atas diskusi estetika batik, dan teman‐teman Bandung Fe atas suasana akademik kompleksitas. Perhitungan tranformasi Fourier dalam penelitian ini menggunakan signal processing toolbox pada Matlab R2006b.
Daftar Pustaka Achjadi, Judi (ed). Batik Spirits of Indonesia. Yayasan Batik Indonesia,PT Buku Antar Bangsa, 1999 Aouidi, J., and Slimane, M.B. Multi‐Fractal Formalism for Quasi‐Self‐Similar Functions. Journal of Statistical Physics, Vol. 108, Nos. 3/4, August 2002. Barron, U.G., and Butler, F. Fractal texture analysis of bread crumb digital images. Eur Food Res Technol DOI 10.1007/s00217‐007‐0582‐3 Culik, K. and Kari, J. Computational fractal geometry with WFA. Acta Informatica 34, 151–166 (1997) Springer‐Verlag 1997 Currey, J.D., Kaffy, C., and Zioupos, P. Tissue heterogeneity, composite architecture and fractal dimension effects in the fracture of ageing human bone. International Journal of Fracture (2006) 139:407‐424. Springer 2006 Djoemena, Nian S. Ungkapan, Batik dan Mitra, Djambatan, 1986
15
Dorfman, J.R. Fractal Structures in the Phase Space of Simple Chaotic Systems with Transport. P. Garbaczewski and R. Olkiewicz (Eds.): LNP 597, pp. 193–212, 2002.Springer‐Verlag Berlin Heidelberg 2002 Ewe, H.T. and Lee, P.S. Individual Recognition Based on Human Iris Using Fractal Dimension Approach. D. Zhang and A.K. Jain (Eds.): ICBA 2004, LNCS 3072, pp. 467‐474, 2004.©Springer‐Verlag Berlin Heidelberg 2004 Georgsson, F.,Jansson, S., and Ols´en, C.Fractal Analysis of Mammograms. B.K. Ersbøll and K.S. Pedersen (Eds.): SCIA 2007, LNCS 4522, pp. 92–101, 2007.Springer‐Verlag Berlin Heidelberg 2007 Heurteaux, Y. and Jaffard, S. MULTIFRACTAL ANALYSIS OF IMAGES: NEW CONNEXIONS BETWEEN ANALYSIS AND GEOMETRY. J. Byrnes (ed.), Imaging for Detection and Identification, 169–194. 2007 Springer. Isaeva, V.V., Pushchina, E.V., and Karetin, Y.A. The Quasi‐Fractal Structure of Fish Brain Neurons. Russian Journal of Marine Biology, Vol. 30, No. 2, 2004, pp. 127–134. Original Russian Text Copyright © 2004 by Biologiya Morya, Isaeva, Pushchina, Karetin. Jelinek, H.F., Cornforth, D.J., Roberts, A.J., Landini,G., Bourke, P.,Iorio, A. Image Processing of Finite Size Rat Retinal Ganglion Cells Using Multifractal and Local Connected Fractal Analysis. G.I. Webb and Xinghuo Yu (Eds.): AI 2004, LNAI 3339, pp. 961–966, 2004. © Springer‐Verlag Berlin Heidelberg 2004 Kouzani, A.Z.Classification of face images using local iterated function systems. Machine Vision and Applications. DOI 10.1007/s00138‐007‐0095‐x. Marsh, R., Jia, W., and Iftekharuddin, K.M. Fractal analysis of tumor in brain MR images. Machine Vision and Applications (2003) 13:352‐362. Machine Vision and Aplications, Springer‐Verlag 2003 Peitgen, H.O., Jurgen, H., Saupe, D. Fractal for the Clasroom. Springer‐Verlag 1992. Siu, W.C., Lam, K.M., Guo, B., and Lin, K.H. Automatic Human Face Recognition System Using Fractal Dimension and Modified Hausdorff Distance.H.‐Y. Shum, M. Liao, and S.‐F. Chang (Eds.): PCM 2001, LNCS 2195, pp.277–284, 2001.Springer‐Verlag Berlin Heidelberg 2001 Strichartz, R.S. Pieeewise Linear Wavelets on Sierpinski Gasket Type Fractals. The Journal of Fourier Analysis and Applications Volume 3, Number 4, 1997 Szustalewicz, A., and Vassilopoulos, A. Calculating the Fractal Dimension of River Basins, Comparison of Several Methods. Biometrics, Computer Security Systems and Artificial Intelligence Applications Teich, M.C. and Turcott, R.G. Fractal Character of the Electrocardiogram: Distinguishing Heart‐Failure and Normal Patients. Annal of Biomedical Engineering. Vol. 24, pp.269‐293. 1996 Vasselle, B., and Giraudon, G. A multiscale regularity measure as a geometric criterion for image segmentation. Machine Vision and Applications (1994) 7:229‐236.Springer‐Verlag 1994 16
Haldani, Achmad. Estetika Batik Tradisional dan Potensi Pengembangannya. Naskah diskusi 2007. http://www.expat.or.id http://www.heritageofjava.com http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Picasso_artworks_1889‐1900 s.d 1921‐1930
17
Apendik 1 Indek Batik (motif) motif parang no/judul mean (Df) var(Df) 1. gondosuli 1.8471 0.0992 2. parang baris 1.5364 0.1271 3. parang centong 1.4307 0.0954 4. parang curiga 2.3123 0.0476 5. parang jenggot 1.6636 0.0726 6. parang kembang 1.6701 0.0832 7. parang kirna 1.7804 0.1057 8. parang klitik 2.185 0.0707 9. parang kurung 1.6841 0.0851 10. parang kusuma 1.4401 0.1455 11. parang menang 1.4223 0.119 12. parang ngesti 2.3978 0.059 13. parang pancing 1.0803 0.1054 14. parang peni 1.435 0.1093 15. parang rusak 1.3776 0.3046 16. parang sarpa 1.1416 0.066 17. parang sawut 2.286 0.1199 18. parang sobrah 1.2919 0.0384 19. parang sonder 1.4583 0.1144 20. parang suli 1.8059 0.0883 motif geometri no/judul mean (Df) var(Df) 21. bibis pista 2.2936 0.0304 22. bintangan 1.7719 0.0104 23. cakar melik 1.2624 0.0465 24. cakar wok 0.8524 0.0235 25. cempakamulyo 1.7231 0.1009 26. gadong gandok 2.2326 0.0222 27. gambir saketi 1.9698 0.0878 28. Ima‐ima Tatit 1.9486 0.068 29. jamblang juwet 2.7285 0.0689 30. jayakusuma 1.6988 0.0546 31. jayasentana 1.7165 0.0901 32. jentik manis 1.8635 0.0282 33. kanigara 0.5368 0.1363
34. kawung beton 35. kawung picis 36. kawung pijetan 37. kembang blimbing 38. kembang ganggong 39. kembang manggar 40. kembang pepe 41. kembang sikatan 42. kijing miring 43. limaran 44. limar ketangi 45. merang kecer 46. nam tikar 47. nitik rengganis 48. onengan 49. pilih asih 50. ragahina 51. rengganis 52. riti‐riti 53. sekar kacang 54. semu riris 55. sirapan 56. sriwedari 57. tambal miring 58 tirta teja 59. tunjung tirta 60. ubar abir 61. uceng mudik
2.3716 1.7415 1.1669 1.0578 1.3878 1.9765 2.5169 2.7549 1.1887 1.1229 1.5476 1.6047 1.615 2.0021 1.2443 0.9565 1.5983 1.5314 0.9543 2.4054 0.8164 2.5242 1.9279 1.8563 1.4244 1.5784 1.4186 2.4347
0.0245 0.038 0.0172 0.0966 0.0652 0.0815 0.0724 0.0318 0.0739 0.1898 0.118 0.1219 0.0428 0.0282 0.0833 0.0765 0.1335 0.0521 0.0305 0.1462 0.0689 0.0408 0.0637 0.0222 0.2149 0.2105 0.1287 0.2288
motif banji no/judul mean (Df) var(Df) 62. udan liris 1.8865 0.0367 63. banji 1.9622 0.0764 64. banji bengkok 1.4855 0.1185 65. banji guling 1.9908 0.046 motif tumbuhan merambat no/judul mean (Df) var(Df) 66. anggur 1.2659 0.0321 67. cangklet 1.6834 0.0403 68. cokrak‐cakrik 1.3761 0.0403
69. delima wantah 70. duda brengos 71. kembang gempol 72. kembang pudak 73. kembang semak 74. kirno monda 75. Lung bentul 76. lung ece 77. lung gadung 78. lung gedawung 79. lung ketongkeng 80. lung klewer 81. lung pakis 82. lung peniti 83. lung petik galaran 84. paleman 85. pisang bali 86. regolan 87. sawat suri 88. sembagen 89. semen ceplokan 90. semen gebel 91. semen gurdo 92. semen kasut 93. semen kebon 94. semen kipas 95. semen kukilo 96. semen kurung 97. semen lombok 98. semen pot 99. semen romo 100. semen yogya 101. sobran gending 102. sumarsana 103. turki
1.6454 1.2365 1.9926 1.5571 1.1546 1.8386 1.5655 1.6669 1.4032 1.303 1.5996 1.8389 1.6623 2.0464 1.9566 1.2347 1.3908 1.6866 1.9415 1.2281 1.3899 1.4158 1.6343 1.4183 1.1605 1.5552 1.3909 1.4366 1.6176 1.107 1.8787 1.1104 1.3678 1.3776 1.2242
0.019 0.0157 0.0407 0.0241 0.0427 0.0957 0.0883 0.0353 0.1424 0.0626 0.0275 0.0704 0.0411 0.0425 0.1017 0.0155 0.0118 0.0283 0.0374 0.0343 0.0171 0.0316 0.0142 0.0235 0.0298 0.035 0.0276 0.0539 0.0211 0.0341 0.0374 0.0287 0.0253 0.053 0.0288
motif tumbuhan air no/judul mean (Df) var(Df) 104. ganggong 0.9626 0.0375 105. ganggong bronta 1.4616 0.0403 106. ganggong curiga 1.5308 0.0538
107. ganggong garut 108. ganggong jubin 109. ganggong kebar 110. ganggong lerep 111. ganggong madubranta 112. ganggong paningran 113. ganggong rante 114. ganggong ranti 115. ganggong sari 116. ganggong turki 117. ganggong wibawa 118. ganggong yojana
1.4094 1.6898 1.7019 1.2583 1.5437 1.0587 1.014 1.5819 1.6556 0.9824 1.7228 1.3542
0.0405 0.0103 0.0097 0.0243 0.0585 0.0354 0.0755 0.1049 0.0421 0.1543 0.0467 0.0658
motif bunga no/judul mean (Df) var(Df) 119. cakrakusuma 1.5198 0.0177 120. cempa mekar 1.5322 0.0997 121. ceplok kelan 1.61 0.0415 122. ceplok kuwari 2.534 0.0416 123. ceplok manggis 1.9793 0.0294 124. ceplok mendut 2.0429 0.0527 125. ceplok mundu 2.6166 0.0575 126. ceplok onde‐onde 1.7526 0.0288 127. gandosan 1.4479 0.0736 128. grompol 1.1472 0.0551 129. gurit wesi 1.6256 0.0872 130. jangkaran 1.7322 0.0276 131. jayakirana 1.1824 0.0565 132. kembang cengkeh 1.6008 0.1086 133. kembang jembul 1.3978 0.0724 134. kembang kapar baris 2.1779 0.0386 135. kembang kenikir 1.3703 0.0757 136. kembang waru 1.5905 0.0389 137. lung slop 1.7195 0.0181 138. melati selangsang 1.2395 0.0316 139. nagasari 0.8367 0.0491 140. purbanegara 1.3323 0.0333 motif satwa&lingk no/judul mean (Df) var(Df) 141. puspa tanjung 1.7457 0.0451
142. truntun 143. alas‐alasan 144. ayam puger 145. baita kandas 146. baris kundur 147. bekingking 148. beri 149. bondet 150. bramara 151. buntal 152. ceplok grameh 153. ceplok koci 154. ceplok kusnia 155. cluntang 156. cuwiri 157. dablang 158. dara gelar 159. endas maling 160. girang campur 161. gringsing 162. gringsing klungsu 163. gringsing sisik 164. keyongan 165. kongkang sembiyang 166. kupon 167. kupu gandrung 168. lintang trenggana 169. mirong 170. nogo bisikan 171. nogo pertolo 172. nogo puspa 173. pandelegan 174. peksi dares 175. peksi gagak 176. peksi garuda 177. peksi handon 178. peksi huk 179. peksi kablak 180. peksi kingkin 181. peksi kirana
1.4248 2.114 1.5526 1.2707 1.8957 1.1728 2.2803 1.8988 1.426 1.2084 1.0423 1.471 1.2191 1.1574 1.5007 1.1898 1.4308 1.5589 1.4318 1.8614 1.0099 1.0372 0.5999 1.3391 1.8278 1.5465 1.6955 1.5809 1.4672 2.1 1.2777 0.8971 1.2456 1.2296 1.4958 1.0105 1.4904 1.6057 0.8008 1.0262
0.0776 0.0268 0.1296 0.1205 0.0377 0.0667 0.0274 0.0616 0.0242 0.0377 0.0368 0.055 0.0323 0.1295 0.0682 0.0478 0.0777 0.0198 0.0201 0.0334 0.0237 0.0569 0.0407 0.0475 0.0642 0.0397 0.0363 0.0213 0.0436 0.023 0.0472 0.0538 0.024 0.0307 0.0409 0.0152 0.0208 0.0395 0.0344 0.0641
Apendik 2 Batik Daerah daerah mean(Df) var(Df) lasem 1.5766 0.017 cirebon 1.1097 0.0241 madura 1.4047 0.0261 tasik 1.6495 0.0244 yogya 1.3677 0.019 garut 1.2551 0.0421 solo 1.3099 0.0222
Apendik 3 Kubisme karya Picasso judul/periode 1889‐1890 1. Couple_espagnol_devant_une_auberge 2. Le_picador 1901‐1910 3. Chicks‐from‐avignon 4. Trois_Femmes 5. Pressoir_dolive__Horta_de_Sant_Joan 6. Portrait_de_Daniel‐Henry_Kahnweiler 7. Pains_et_compotier_aux_fruits_sur_une_table 8. Maisons_sur_la_colline 9. Le_guitariste 10. La_jeune_fille_a_la_chevre 11. Femme_nue_au_bord_de_la_mer 12. Evocation 13. Composition_avec_tte_de_mort 1911‐1920 14. Arlequin_et_femme_au_collier 15. Violon_verre_pipe_et_encrier 16. Tte_dhomme 17. Laficionado 18. Femme_en_chemise_assise_dans_un_fauteuil 19. Compotier_avec_fruits_violon_et_verre 20. Au_Bon_March 1921‐1930 21. Three_musicians_moma 22. Reading_The_Letter
DF 3.2139 2.9586 2.4087 3.0767 3.2299 2.6526 3.0486 3.2386 2.9451 3.0108 2.742 2.4442 2.4922 3.5232 2.8641 2.8594 2.656 2.9155 2.9758 3.5498 3.1392 3.3295
Apendik 4 Gambar Batik (Motif), nomor pada batik sesuai indeks di appendik 1
Gambar Batik Daerah Lasem(d11,d12,d13,d14,d15), Cirebon(d21,d22), Madura(d31,d32), Tasik(d41), Yogya(d51,d52), Garut(d61), Solo(d71)