GENOLINGUISTIK: ANCANGAN ALTERNATIF DALAM PENGELOMPOKAN BAHASA1 Oleh Mahsun Universitas Mataram 1. Pendahuluan Upaya membandingkan antara satu bahasa dengan bahasa yang lain untuk menemukan keterhubungan bahasa-bahasa itu merupakan spirit kerja akademik yang mewarnai perjalanan kajian linguistik sepanjang abad ke-19. Kegiatan ini mencapai bentuknya yang lebih ilmiah pada paroh kedua abad ke-19, yang ditandai dengan lahirnya kelompok yang menamakan diri sebagai penganut Aliran Tata Bahasa Baru (Neogrammarian/Jung Gramatiker) dengan tokoh-tokohnya antara lain: Karl Verner, August Leskien, Hermann Paul, dll. Teori yang dikembangkan berupa “Hukum Perubahan Bunyi tanpa Kecuali (Ausnahmslosigkeit der Lautgesetze)” telah menyita perhatian para peminat linguistik pada saat itu untuk membuktikan kebenarannya. Implikasi dari upaya-upaya pembuktian itu telah mendorong lahirnya sub kajian linguistik diakronis, dialektologi, yang peletakan dasarnya dilakukan oleh Gillièron di Prancis dan Wenker di Jerman. Dengan demikian, kajian linguistik diakronis menemukan landasan epistemologisnya dalam dua bentuk yaitu linguistik historis komparatif dan dialektologi (diakronis). Berbagai upaya akademik yang terkait dengan kajian linguistik diakronis terus digalakkan. Namun, dalam pengelompokan (termasuk dalam penentuan wujud etimon purba) sering terjadi perbedaan antara linguis yang satu dengan linguis yang lainnya. Sebagai contoh, perbedaan pengelompokan bahasa-bahasa Melayu Polinesia di Indonesia yang dilakukan Brandes (1884) dengan yang dilakukan Blust (1971); pengelompokan beberapa bahasa dalam subkelompok bahasa rumpun bahasa Austronesia yang dilakukan Dyen (1965) dan Blust (1971); atau pertentangan pengelompokan bahasa Melayu dan Jawa antara Nothofer (1975) dengan Blust (1971). Dalam kajian genetika, berbagai upaya yang mencoba mengaitkan hasil kajian bidang ini dengan hasil kajian bidang linguistik sudah banyak dilakukan, di antaranya dilakukan oleh Bellwood (2000), Olson (2003), Marzuki dkk. (2003). Kajian yang dilakukan oleh Bellwood (2000) memokuskan diri pada upaya penelusuran fase prasejarah kelompok manusia yang terdapat di kepulauan Indonesia dan Malaysia, yang disebutnya dengan nama kepulauan Indo-Malaysia. Dalam kajian ini, selain menggunakan pendekatan genetika atau disebutnya Antropologi Biologis dan arkeologi, juga menggunakan pendekatan linguistik. Kajian yang relatif serupa dengan yang dilakukan Bellwood adalah dilakukan Olson (2003). Olson mencoba menjejaki sejarah umat manusia di muka bumi ini dengan memberi penjelasan dari disiplin ilmu arkeologi, genetika, dan linguistik. Selanjutnya, Marzuki dkk. (2003) berdasarkan analisis struktur genetis (kesamaan nukleotida HVR1 dari mtDNA) berdasarkan 840 DNA sebagai sampel yang diambil dari 28 kelompok etnik (populasi), mengajukan pengelompokan populasi dalam bentuk pohon filogenetik, yang menggambarkan penutur bahasa Sumbawa berada pada kelompok yang sama dengan penutur kelompok bahasa Sumba dan Minahasa karena memiliki tingkat divergensi mtDNA (0.052) sedangkan Bali dan Sasak dikelompokkan dengan Minangkabau dan Banjar dengan tingkat divergensi mtDNA (0.063, 0.064, 0.060). 1
Sebagian dari isi tulisan ini diolah ulang dari buku yang penulis susun dengan judul “Genolinguistik” yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
1
Apa yang ingin dikatakan dari uaraian di atas, ialah kebanyakan ahli genetika yang mencoba mengaitkan kajiannya dengan masalah persebaran etnis (sengaja atau tidak sengaja) mendasarkan diri pada kajian bahasa. Fakta pengelompokan bahasa diupayakan bersesuaian dengan penafsiran genetika. Adanya kesamaan salah satu tujuan dari kajian linguistik dengan kajian genetika memungkinkan keduanya dapat berkolaborasi dalam membentuk satu subdisiplin interdisipliner baru, yang dalam tulisan ini diberi nama genolinguistik. 2. Ihwal Genolinguistik 2.1 Genolinguistik dan Cakupan Kajiannya Mahsun (2010) memberi batasan tentang genolinguistik sebagai subdisiplin antarbidang lingistik dengan genetika yang menkaji masalah pengelompokan populasi manusia, relasi kekerabatan di antaranya, serta perjalanan historis yang dialami oleh kelompok populasi tersebut melalui pengelompokan dan penelusuran relasi kekerabatan bahasa dan gen. Dimungkinkannya linguistik dan genetika bersinergi untuk tujuan di atas dapat dijelaskan berikut ini. a. Berdasarkan fakta linguistik dan genetika dapat direkonstruksi masa lampau yang dialami populasi manusia,karena garis keturunan gen memiliki potensi menjadi abadi, yang relatif sama dengan yang terjadi pada materi bahasa. b. Mutasi pada gen dan bahasa berlangsung secara individual, tidak secara serentak pada sebuah kelompok, tidak seperti kegandrungan orang secara tiba-tiba pada sebuah mode tertentu. Dalam kaitan dengan gen virus hepatitis B, yang menjadi contoh analisis genolinguistik yang dipaparkan dalam tulisan ini, beberapa alasan dimungkinkannya linguistik dan genetika dapat berkolaborasi membentuk satu sub interdisipliner baru Genolinguistik adalah: a. Bahasa yang menjadi objek kajian linguistik dan gen (DNA) virus hepatitis B (VHB) ternyata tidak hadir dalam wujud yang homogen, melainkan memiliki varian-varian (heterogen). b. Setiap varian mempu-nyai distribusi geografis spesifik dan distribusi geografis varian-varian tersebut mengikuti alur migrasi manusia c. Epidemi virus terjadi biasanya karena adanya kontak, sementara itu kontak biasanya terjadi karena ada sarana komunikasi yang sama, yaitu bahasa, sehingga pada penutur bahasa atau varian yang sama terindikasi terinfeksi kategori genotipe VHB yang sama d. VHB diwariskan dari generasi ke generasi melalui ibu ke bayi, sehingga HBsGg dapat dianalogi dengan DNA mito-kondria yang kadar mutasinya kecil dan lebih banyak menyimpan usur asal. Sementara itu, Bahasa pun mampu menyimpan informasi sama dalam waktu lama, karena bahasa berubah rata-rata untuk kosakata dasar 20% dalam kurun 1000 tahun, dan unsur gramatikal lebih sukar berubah. Sebagai sebuah sub interdisipliner baru genolinguistik dapat memokuskan kajiannya pada: (1) pengelompokan dan penelusuran relasi kekerabatan bahasa dan penuturnya melalui analisis ada tidaknya kesepadanan antara fakta bahasa dan genetik (2) penelusuran ada tidaknya kesejajaran fakta bahasa dan fakta genetik yang menyangkut bahasa /dialek yang inovatif dan konservatif, dan (3) merekonstruksi sejarah wilayah yang bahasa dan komunitasnya diteliti. 2.2 Kerangka Kerja kajian Genolinguistik
2
Agar hasil kedua bidang itu dapat digeneralisasi dalam satu rangkaian kerja Genolinguistik, perlu ditetapkan kerangka kerja/metodologis yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kerangka kerja/metodologis itu terkait dengan prinsipprinsip penentuan sampel penelitian, yang harus memenuhi prinsip keaslian dan keterwakilan. Prinsip keaslian, dapat dimaknai bahwa sampel yang diambil itu sedapat mungkin berupa individu yang masih memelihara unsur asli baik bahasa maupun gennya (bukan gen hasil rekombinasi genetis). Oleh karena itu, agar individu yang menjadi sampel hendaknya memenuhi syarat-syarat: (1) warga tutur bahasa yang sama yang berada di perdesaan, tidak dekat dengan kota besar, (2) mobilitasnya rendah (jarang bepergian), (3) lahir dan dibesarkan di tempat itu, (4) bukan merupakan hasil perkawinan silang (lintas bahasa), (5) berpendidikan rendah, maksimal tamat SMU, dan (6) mempunyai kebanggan terhadap bahasa dan kebudayaannya. Kemudian, masalah keterwakilan menyangkut jumlah sampel yang diambil haruslah dapat merepresentasikan populasi yang menjadi objek penelitian. Jumlah sampel untuk data bahasa tidak sama jumlahnya dengan sampel untuk analisis genetika. Untuk penelitian dari aspek kebahasaan, karena analisisnya menyangkut analisis diakronis yang berbasis pada struktur bahasa (struktur fonologis, leksikon, gramatika), maka jumlah informan paling tidak tiga orang, satu orang yang menjadi informan utama sedang dua orang lainnya sebagai informan pendamping. Selanjutnya, untuk data sera, mengingat bahwa sampel yang dimaksudkan di sini adalah sampel yang terindikasi mengindap VHB, sementara individu yang terindikasi pengindap VHB itu baru terdeteksi setelah pemeriksaan darah/seranya maka, idealnya, yang pertama ditetapkan adalah penentuan jumlah sampel yang dipandang representatif untuk membuat generalisasi tentang kondisi populasi. Namun demikian, mengingat bahwa jumlah individu yang mengindap VHB dalam suatu populasi sangat terbuka kemungkinannya, dapat banyak dan dapat sedikit, maka upaya yang dilakukan adalah mengambil darah/sera pada sampel dalam jumlah maksimal, sejauh dapat dicapai. 3
Bahasa Austronesia dan Non Austronesia: Contoh Kajian Awal Genolinguistik Dalam buku “Bahasa-Bahasa di Indonesia (Languages of Indonesia)” yang diterbitkan dalam seri berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris oleh Summer Institute of Linguistics (2006) ditemukan uraian ihwal bahasa-bahasa yang terdapat di wilayah Indonesia. Selain jumlah penutur, lokasi tempat dituturkan bahasa-bahasa itu, juga ditemukan penjelasan ihwal keanggotaan bahasa-bahasa itu dalam kelas/kelompok tertentu. Penyebutan kelompok/kelas Austronesia di dalam buku tersebut, langsung dirujuk pada subklasifikasi/subkelompok: Melayu Polinesia Barat, Melayu Polinesia Tengah-Timur, atau Melayu Polinesia Timur. Perujukan Austronesia atas subklasifikasi itu mengindikasikan bahwa yang disebut bahasa Austronesia hanyalah bahasa-bahasa yang masuk dalam subrumpun Melayu Polinesia. Bahasa-bahasa yang tidak termasuk dalam kategori subkelompok itu adalah bahasabahasa yang non-Austronesia, dapat berkelas Trans Nugini atau dapat berkelas Papua Barat. Dalam rangka kerja genolinguistik akan dikemukakan hasil kajian Mulyanto dkk. (2009) Penelitian tersebut dilakukan sebagai pembuktian awal terhadap keakuratan pengelompokan bahasa di Indonesia atas Austronesia dan non Austronesia dengan mengambil sampel bahasa Tarfia, Tobati yang mewakili kelompok Austronesia dan bahasa Gresi dan Nambolong yang mewakili kelompok Trans Nugini. Keempat bahasa itu berada di wilayah Provinsi Papua. Dengan menggunakan analisis dialektometri terhadap 200 kosa kata dasar dan 443 kosa kata selain kosa kata dasar untuk keempat isolek tersebut diperoleh hasil bahwa kempat3
empatnya merupakan bahasa yang berbeda, sebagaimana diidentifikasi kelompok linguis SIL, karena persentase perbedaan fonologi dan leksikon berada di atas 95% (kisaran antara 95,50% 100%). Sementara itu, berdasarkan analisis leksikostatistik terhadap 200 kosa kata dasar, menunjukkan hasil bahwa untuk bahasa Tarfia, Tobati yang diklasifikasikan sebagai rumpun Austronesia ternyata memiliki persentase di bawah 5%, jadi bahasa-bahasa itu merupakan bahasa-bahasa yang diturunkan dari sebuah filum (mikrofilum) yang sama, bukan dari rumpun yang sama. Dengan mempertimbangkan berbagai kelemahan asumsi dasar diterapkannya metode lesikostatistik maka dilakukan analisis kualitatif terhadap keempat bahasa tersebut terkait dengan penelusuran ada tidaknya pewarisan unsure Austronesia berupa pemarkah posesif dalam konstrukei genetifpada keempat bahasa. Analisis terhadap konstruksi genetif ini, khususnya untuk pemilahan bahasa-bahasa Indonesia telah menjadi focus utama dalam disertasi Brandes (1884). Berdasarkan analisis tersebut diperoleh gambaran bahwa keempatnya masih memelihara unsure penanda milik Austronesia *nia meskipun pada masing-masing bahasa merefleksikannya dengan inovasi fonologis. Dalam bahasa Tarfia dan Tobati, penanda milik itu menjadi: ni, sedangkan dalam bahasa Gresi dan namblong, masing-masing menjadi: de dan ge, seperti pada contoh berikut ini. Bahasa Tarfia: Duk ni siwi-k ‘Saya mempunyai hidung = hidung saya’ Saya pos hidung-ku (k < ku < aku) Bahasa Tobati: Ayi ni rum ’Ayah mempunyai rumah = rumah ayah’ ayah pos rumah Bahasa Namblong: ηayO de yamó ’Ayah mempunyai rumah=rumah ayah’ ayah pos rumah Bahasa Gresi: aya ge yap ‘Ayah mempunyai rumah = rumah ayah’ ayah pos rumah Tahap terbentuknya penanda milik dalam bahasa-bahasa tersebut dapat diskenariokan: Austronesia Purba: *nia > ne > de > ge atau *nia > ni > di > gi. Dengan demikian, berdasarkan ciri-ciri linguistik di atas dapat dikatakan bahwa keempat bahasa tersebut merupakan bahasa yang sama, yaitu kelompok rumpun Austronesia. Selain itu, fakta lain menunjukkan adanya kesamaan dalam mengembangkan kemampuan berpikir logis-matematis, dengan sisitem bilangan kuinal, yaitu mengenal bilangan pokok utama sampai jumlah lima, untuk bilangan selanjutnya dilakukan dengan menambahkan bilang pokok utama tersebut, misalnya untuk bilangan enam dilakukan dengan menjumlah bilangan lima dengan bilangan satu, untuk bilangan tujuh dilakukan dengan menjumlahkan bilangan lima dengan bilangan dua dan seterusnya (lebih jauh tentang hal ini dapat dilaht dalam Mahsun, 2010). Dari segi genetika, khusus DNA VHB, keempat penutur bahasa itu dominan memiliki DNA VHB subgenotipe C6, seperti terlihat dalam tabel 1 dan 2 berikut ini. Tabel 1 Hasil Sekuensing DNA VHB pada Kelompok Penutur Bahasa Tarfia dan Gresi No. 1. 2.
Wilayah Tarfia Gresi
B3 1 1
C6 6 10
DNA VHB: Genotipe/Subgenotipe VHB B3+C6 D6 D6+C6 1 1 1 1
Total 9 13
4
Tabel 2 Hasil Sekuensing DNA VHB pada Kelompok Penutur Bahasa Tobati dan Namblong No. 1. 2.
Wilayah Tobati Namblong
B2 1
B7 1
B8 1 -
DNA VHB: Genotipe/Subgenotipe VHB C5 C6 C11 C12 D1 1 6 16 2 1 1
D6 1 1
Total 9 23
Tabel 1 di atas menggambarkan bahwa DNA VHB yang dominan terdapat di wilayah pakai bahasa Tarfia dan Gresi adalah genotipe C, subgenotipe C6 (6 di Tarfia dan 10 di Gresi), yaitu masing-masing: 60% dan 70,69%, disusul oleh genotipe B, subgenotipe B3 (1 di Tarfia dan 1 di Gresi) dan genotipe D, subgenotipe D6 (1 di Tarfia dan 1 di Gresi), kemudian disusul oleh genotipe campuran, hasil rekombinasi antara subgenotipe B3+C6 (hanya ditemukan di Tarfia), dan rekombinasi subgenotipe D6+C6 yang ditemukan di Gresi. Selanjutnya, tabel 2 menggambarkan bahwa genotipe C subgenotipe C6 merupakan subgenotipe yang juga dominan ditemukan di wilayah pakai bahasa Tobati dan Namblong, masing-masing: 66,66% dan 69,56%, disusul oleh subgenotipe C11 (8,69% di Namblong), lalu disusul oleh subgenotipe B8, C5, dan D6 (masing-masing 11% di Tobati) B2, B7, C12, D1, dan D6 masing-masing 4,34% di Namblong. Apa yang menarik dari fakta genetis ini ialah dari sudut pandang DNA VHB, baik komunitas penutur bahasa Tarfia, Gresi, Tobati, maupun Namblong merupakan komunitas yang sama, setidak-tidaknya berasal dari asal yang sama dengan DNA VHB-nya bergenotipe C dengan subgenotipe C6 yang lebih dominan. Dengan demikian, baik dari segi linguistik maupun dari segi genetik (DNA VHB), keempat bahasa tersebut merupakan bahasa yang bekategori yang sama, yaitu Austronesia. 4 Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan beberapa hal sebagai simpulan berikut ini. Adanya kesamaan beberapa tujuan akhir dari kerja linguistik dengan genetika memunculkan harapan baru bagi upaya mengolaborasikan antarkeduanya, sehingga menghasilkan satu ilmu antardidsiplin baru, yang secara stipulatif diberi nama genolinguistik. Kolaborasi antarkedua bidang ilmu ini diharapkan dapat menghasilkan satu kajian pengelompokan, penelusuran relasi kekerabatan, dan migrasi penutur bahasa atau variannya yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Kolaborasi antara linguistik dengan genetika yang melahirkan subdisiplin ilmu Genolinguistik sangat dimungkinkan, karena kedua objek kajian masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki sifat yang sama, yaitu: (1) baik bahasa yang menjadi objek kajian linguistik maupun gen (DNA) yang menjadi objek kajian genetika, terutama untuk DNA VHB, memiliki varian yang sangat beragam, (2) setiap varian mempunyai distribusi geografis spesifik, (3) distribusi geografis varian-varian tersebut mengikuti alur migrasi manusia. Dengan demikian, melalui kajian genolinguistik dapat dilakukan: pengelompokan dan penelusuran penyebaran bahasa dan populasi penuturnya; penelusuran relasi kekerabatan bahasa dan penuturnya melalui analisis ada tidaknya kesepadanan fakta bahasa dan genetik; penelusuran ada tidaknya kesejajaran fakta bahasa dan fakta genetik yang menyangkut bahasa /dialek yang inovatif dan konservatif; dan perekonstruksian sejarah wilayah yang bahasa dan komunitasnya diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
5
Bellwood, Peter. 1997. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. University of Hawai’i Press. Blust, R. 1971. “Proto-Austronesian Addenda”. Working Papers in Linguistiks 3 (1) :1-106. Honolulu: University of Hawaii. Blust, R. 1984. “The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspective”. Dalam AP 26: 45-67. Brandes, J.L.A. 1884. Bidrage tot de Verglijkende Klankleer der Westersche Afdeeling van de Dyen, Isidore. 1965. “A Lexicostatistical Classification of the Austronesian Languagees”, dalam International Journal of Americen Linguistics. Memoir, 19 (Jil. 31, No.1). Guiter, Henri. 1973. “Atlas et Frontiere Linguistique”. Dalam Les Dialectes Romans de Frence, No. 930: 61-109. Paris: Centre National de la Recherche Scientifique. Mahsun. 2010. Genolinguistik: Kolaborasi Linguistik dan Genetika dalam Pengelompokan Bahasa dan Populasi Penuturnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Marzuki, Sangkot et.al. 2003. ”Human Genom Diversity and Desease on the Island Southeast Asia”. Dalam Tropical Deseases (edit by Marzuki et.al). New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers. Mulyanto dkk. 2009. “Bahasa Genom”. Laporan Penelitian Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Nothofer, B. 1975. The Reconstruction of Proto-Malayo-Javanic. S’Gravenhage-Martinus Nijhoff. Nurainy, Neni. 2005. “Keanekaragaman Molekul Virus Hepatitis B dan Kaitannya dengan Latar Belakang Populasi Manusia di Indonesia”. Disertasi Doktor, Universitas Indonesia. Olson, Steve. 2003. Mapping Human History: Discovering the Past Through Our Genes. New York: Mariner Book. SIL. 2006. Languages of Indonesia. Jakarta: SIL International, Indonesia Branch. Swadesh, Morris. 1955. “Lexicostatistic Dating of Prehistoy Etnic Contacts”. Proceedings of the American Philosophical Society, 96. Hal: 452-463
6