GENEALOGI KHILAFIYAH DALAM ISLAM DAN SOLUSINYA Oleh : Burhan Djamaluddin Abstrak Di kalangan umat Islam sering terjadi khilafiyah dalam persoalan keagamaan. Khilafiyah tersebut bukan hanya terjadi dalam persoalan shalat, atau puasa saja, tetapi juga hampir terjadi dalam segala persoalan. Dalam persoalan shalat, misalnya, umat Islam berbeda pendapat mengenai apakah membaca basmalah dalam surat al-Fatihah merupakan hal yang wajib atau tidak. Apakah makmum wajib membaca surat al-Fatihah atau tidak. Secara umum faktor yang menyebabkan terjadinya khilafiyah tersebut adalah: pertama adanya teks agama, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadis, yang memiliki makna lebih dari satu, atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah musytarak al-lafdiy. Kedua adanya beberapa teks agama yang saling kontradiksi makna. Ketiga, adanya perbedaan ulama dalam menilai kesahihan sebuah hadis. Keempat, adanya perbedaan dalam menentukan sumber agama. Solusinya adalah bahwa jika masalah khilafiyah tersebut dilatarbelakangi oleh masalah hadis, maka solusinya adalah mencari hadis yang lebih shahih dari sekedar yang shahih, mengkompromikan makna teks-teks hadis tersebut, dan menggunakan nasikh mansukh.
Kata Kunci Khilafiyah, al-tarjih al-jam’u, nasikh mansukh A.Pendahuluan Pada masa Rasulullah, para sahabat mendengarkan ajaran agama dari Rasulullah, baik berupa ayat-ayat al-Qur'an maupun hadis Rasulullah, secara lisan dari Rasulullah sendiri,yang dikenal dengan hadis qawliy, melihat praktek Rasulullah, yang dikenal dengan hadis fi’liy, dan terkadang juga sahabat mengerjakan sesuatu pekerjaaan yang boleh jadi diakui oleh Rasulullah, yang terkenal dengan sebutan hadis taqririy.(Ajjaj alKhatib, 1995: 25) Pada saat Rasulullah mengerjakan sesuatu, para sahabat meniru begitu saja, tanpa mengetahui apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah tersebut, hukumnya wajib atau
1
sunnah. Para sahabat menyaksikan Rasulullah shalat, mereka langsung mengikutinya, menyaksikan Rasulullah melaksanakan ibadah haji, mereka langsung menirunya, dan mereka melihat Rasulullah berwudlu', juga langsung menirunya. Demikian kebanyakan perilaku Rasulullah, tanpa disertai penjelasan, apakah sesuatu yang dikerjakan oleh Rasulullah tersebut, hukumnya wajib atau sunnah dan sebagainya. Keadaan tersebut berlangsung sampai Rasulullah wafat. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat terpencar ke daerah-daerah, dan mereka menjadi panutan bagi masyarakat tempat tinggal mereka. Peristiwa dan permasalahan makin berkembang, dan merekalah yang menjadi tumpuan pertanyaan masyarakat. Mereka memberi jawaban, sesuai dengan dalil al-Quran dan hadis Rasulullah yang mereka hafal, dan sesuai dengan kemampuan istinbath (kemampuan dalam mengambil keputusan hukum) mereka, dari dalil-dalil tersebut. Seandainya jawaban para sahabat belum memenuhi harapan masyarakat, maka para
sahabat
berijtihad
dengan
menggunakan
ra’yu
(pendapat)
dengan
mempertimbangkan illat (faktor) yang dijadikan pertimbangan oleh Rasulullah, ketika bersabda atau melakukan sesuatu perbuatan. Mereka berusaha tanpa mengenal lelah untuk memahami apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam kondisi demikian, terjadilah khilafiyah di kalangan para sahabat, yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. B. Faktor Penyebab Khilafiyah Menurut al-Dahlawi (1975, 25-27) faktor yang melatarbelakangi terjadinya khilafiyah dalam Islam adalah sebagai berikut:
2
1. Teks agama yang tidak Qath’i Dalam sumber ajaran Islam, sering ditemukan ayat al-Qur’an atau hadis Rasulullah yang bersifat dhanniy al-dalalah (memiliki berbagai kemungkinan makna). Diantara ayat al-Qur’an yang bersifat dhanniy al-dalalah adalah ayat 228 surat alBaqarah sebagai berikut:
واﻟﻤﻄﻠﻘﺎت ﯾﺘﺮﺑﺼﻦ ﺑﺎﻧﻔﺴﮭﻦ ﺛﻼﺛﺔ ﻗﺮوء وﻻ ﯾﺤﻞ ﻟﮭﻦ ان ﯾﻜﺘﻤﻦ ﻣﺎ ﺧﻠﻖ اﷲ ﻓﻲ ارﺣﺎﻣﮭﻦ ان ﻛﻦ ﯾﺆﻣﻦ ﺑﻠﻠﮫ واﻟﯿﻮم اﻻﺧﺮ وﺑﻌﻮﻟﺘﮭﻦ اﺣﻖ ﺑﺮدھﻦ ﻓﻲ ذﻟﻚ ان ارد وا اﺻﻼﺣﺎ وﻟﮭﻦ ﻣﺜﻞ اﻟﺬي ﻋﻠﯿﮭﻦ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف وﻟﻠﺮﺟﺎل ﻋﻠﯿﮭﻦ درﺟﺔ واﷲ ﻋﺰﯾﺰ ﺣﻜﯿﻢ Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’, Mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Suami-suami mereka berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah. Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana..
Dalam bahasa Arab, seperti dikatakan al-Raghib al-Isfahani (1972: 27), kata alqar'u, memiliki dua makna, yaitu al-thuhru (suci) dan al-haidah (haid atau menstruasi). Oleh karena kata ini memiliki dua makna, maka wajar terjadi khilafiyah di kalangan kaum muslimin, ketika memaknai kata tersebut. Ulama yang memaknai kata al-qar’u dengan al-haidhah mengemukakan beberapa argumentasi bahwa kata al-qar’u pada dasarnya berarti berkumpul. Haid dikatakan al-qar’u, karena haid adalah berkumpulnya darah dalam rahim. Kelompok ini juga berargumentasi dengan sebuah ucapan Rasulullah kepada Fatimah binti Abi Hubaisy (Ali al-Shabuny: 1975: 30) yang berbunyi:
3
دﻋﻲ اﻟﺼﻼة اﯾﺎم اﻗﺮاءك Tinggalkan shalat, ketika hari-hari quru’mu Yang dimaksud dengan hari-hari aqra’ dalam hadis di atas, adalah masa-masa haid, sebab pada hari-hari haid itulah, seorang wanita meninggalkan shalat. Argumentasi lain yang dikemukakan oleh kelompok ini bahwa iddah disyariatkan adalah mengetahui kehamilan seorang wanita, dan untuk mengetahui kehamilan adalah haid, bukan suci. Sebaliknya ulama yang mengartikan kata al-qur’u dengan makna al-thuhru mengajukan beberapa argumentasi, diantaranya adalah adanya huruf ta’ dalam bilangan salasat.(tiga) Adanya huruf ta’ tersebut menunjukkan bahwa bilangan salasat (tiga) adalah mu’annas. Menurut kaidah dalam bahasa Arab bahwa jika kata bilangan ditambah huruf yang menunjukkan muannas seperti ta’, maka yang dihitung adalah muzakkar. Yang muzakkar dalam hal ini adalah al-thuhr, bukan al-haidah, sebab alhaidah adalah muannas.Argumentasi lain yang diajukan oleh kelompok ini adalah adanya ayat al-Qur’an yang artinya: Talaklah wanita pada waktu iddahnya (QS alThalaq ayat 1). Waktu iddah di sini adalah waktu suci (al-thuhr), sebab talak pada waktu haid dilarang. Jadi, demikian kelompok ini berargumentasi bahwa kata al-qar’u dalam ayat di atas adalah al-thuhr, bukan al-haidhah. Demikian dua kelompok ini masing-masing memiliki argumentasi,dan tidak ada yang mau mengikuti argumentasi kelompok lain. 2. Teks agama yang kontradiksi. Banyak teks agama, khususnya teks hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis, baik kitab hadis shahih maupun kitab sunan, yang memiliki kontradiksi makna matan
4
antara satu hadis dengan hadis lainnya, dalam masalah-masalah tertentu. Diantara teks hadis yang saling kontradiksi makna matan tersebut, misalnya teks hadis tentang membaca surat al-Fatihah bagi makmum (Al-Tirmizi: 2003:80), yang berbunyi:
ﻻ ﺻﻼة ﻟﻤﻦ ﻟﻢ ﯾﻘﺮأ ﺑﻔﺎﺗﺤﺔ اﻟﻜﺘﺎب Tidak sah shalat, bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah. Menurut hadis ini, setiap orang yang melaksanakan shalat, harus membaca surat al-Fatihah, dan tanpa membaca surat al-Fatihah, maka shalatnya tidak sah.Makna hadis ini begitu umum, yaitu mencakup shalat sendiri dan shalat berjamaah. Dalam shalat berjamaah, baik imam maupun makmum harus membaca surat al-Fatihah. Disamping itu, terdapat lagi hadis lain (ibnu Majah 2004:272), yang bertentangan makna dengan hadis di atas, yaitu sebagai berikut:
ﻣﻦ ﺻﻠﻲ ﺧﻠﻒ اﻻﻣﺎم ﻓﻘﺮاءة اﻻﻣﺎم ﻟﮫ ﻗﺮاءة Artinya:; Orang shalat menjadi makmum, maka bacaan imamnya sudah cukup mewakili bacaan makmum. Menurut hadis ini, makmum tidak perlu membaca surat al-Fatihah. Dengan kenyataan seperti ini, maka terjadilah khilafiyah di kalangan umat Islam. Sebagian umat Islam, ada yang melaksanakan shalat dengan selalu membaca surat al-Fatihah, baik ketika ia shalat sendiri, maupun ketika shalat berjamaah, baik ketika ia menjadi imam maupun ketika ia menjadi makmum. Sebagian lagi ada yang membaca surat alFatihah hanya ketika shalat sendiri, dan ketika menjadi imam shalat berjamaah. Sedangkan ketika ia menjadi makmum, ia tidak membaca surat al-Fatihah.
5
Teks hadis lain lagi yang saling kontradiksi makna matan, adalah hadis tentang boleh atau tidaknya sahabat menulis hadis pada zaman Rasulullah. Terdapat satu hadis seperti dikutip Hasbi al-Shiddiqi (1974:55), yang berbunyi:
ﻻﺗﻜﺘﺒﻮا ﻋﻨﻲ ﻏﯿﺮ اﻟﻘﺮان و ﻣﻦ ﻛﺘﺐ ﻋﻨﻲ ﻏﯿﺮ اﻟﻘﺮآن ﻓﻠﯿﻤﺤﮫ Artinya : janganlah kalian menulis selain al-Qur’an.. Orang yang telah terlanjur menulis sesuatu selain al-Qur'an, hendaklah yang ditulis yang bukan al-Qur’an itu dihapus. Menurut hadis ini, Rasulullah melarang para sahabat untuk menulis segala hadis yang berasal dari Rasulullah.Oleh karena itu, hanya sebagian kecil sahabat yang pernah menulis hadis pada masa Rasulullah. . Diantara sahabat yang pernah menulis hadis pada masa Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin Ash, Anas bin Malik, dan lain-lain. Juga ada hadis yang kontradiksi makna matannya dengan hadis di atas (Hasbi alShiddiqi: 1974:55), yaitu sebagai berikut:
و ﺣﺪﺛﻮا ﻋﻨﻲ وﻻ ﺣﺮج و ﻣﻦ ﻛﺬب ﻋﻠﻲ ﻣﺘﻌﻤﺪا ﻓﻠﯿﺘﺒﻮا ﻣﻘﻌﺪه ﻣﻦ اﻟﻨﺎر
Artinya: "Rasulullah menyuruh sahabat untuk meriwayatkan hadis dari Rasulullah, tetapi orang yang berbohong dengan sengaja kepada Rasulullah, misalnya mengaku mendapat hadis dari Rasulullah padahal tidak benar, diancam dengan siksaan neraka. Hadis lain yang membolehkan menulis hadis pada zaman Rasulullah adalah seperti dikutip oleh Muhammad bin Futuh al-Humaidiy (2002: 196), yang berbunyi:
6
:
ِArtinya: Abu Hurairah menyatakan bahwa tiada seorangpun sahabat Nabi yang banyak memiliki koleksi hadis, selain Abdullah bin Amr bin 'Ash, sebab ia menulis dan saya (Abu Hurairah), tidak menulis. Sedangkan hadis ketiga yang membolehkan menulis hadis adalah yang berbunyi:
اﻛﺘﺒﻮا ﻋﻨﻲ ﻓﻮاﻟﺬي ﻧﻔﺴﻲ ﺑﯿﺪه ﻣﺎ ﺧﺮج ﻣﻦ ﻓﻤﻲ اﻻ ﺣﻖ
Artinya:"Tulislah segala sesuatu (hadis) yang berasal dari saya, sebab segala sesuatu (hadis) yang berasal dari saya adalah sebuah kebenaran". Demikian keadaan teks hadis dalam kitab-kitab hadis, dan ternyata
begitu
beragam dan kadang-kadang terjadi kontradiksi makna antara satu matan dengan makna matan hadis lainnya. Jadi wajar terjadi perbedaan atau perselisihan diantara kaum muslimin, yang dilatarbelakangi oleh banyaknya teks hadis yang saling kontradiksi makna matannya. Seorang muslim boleh jadi hanya mendapatkan satu hadis, sedangkan seorang muslim lainnya menemukan hadis yang lain lagi, yang kebetulan berbeda maknanya.Perbedaan seperti ini, nampaknya terjadi juga di kalangan ulama fikh terkenal, seperti Imam al-Syafi’i. Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah. Dalam kitab-kitab fikh atau kitab tafsir Ahkam, sering kita menemukan perbedaan
7
pendapat di lakangan ulama fikh tersebut, yang disebabkan oleh berbedanya hadis yang mereka gunakan sebagai hujjah. Imam al-Syafi’i, misalnya, ketika mengatakan bahwa basmalah termasuk ayat pertama surat al-Fatihah, berpedoman kepada hadis yang artinya: jika kalian membaca surat al-Fatihah, maka baca lebih dahulu basmalah, sebab surat al-Fatihah, adalah Umm al-Kitab, dan al-Sab’ al-masani, dan basmalah adalah salah satu ayat dari surat al-Fatihah”. Sebaliknya imam Malik, ketika mengatakan bahwa basmalah bukan termasuk surat al-Fatihah, berpedoman kepada hadis Nabi yang artinya: saya (sahabat Anas bin Malik) pernah shalat menjadi makmum di belakang Nabi, Abubakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan, dan mereka memulai membaca surat al-Fatihah, dengan al-hamdulillah rabbi al-alamin.Jadi jelas, dua hadis yang digunakan oleh masing-masing Imam al-Syaf.i dan Imam Malik, memiliki makna yang saling kontradiksi,. dan dengan demikian perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, sulit dihindari dengan adanya teks agama yang saling kontradiksi tersebut.(AlMaraghi 1965:26) 3. Perbedaan dalam memahami hakikat sumber agama. Perbedaan dalam masalah ini, adalah perbedaan ulama mujtahid dalam menetapkan apa saja yang menjadi sumber hukum Islam. Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa sumber hukum Islam hanya ada dua, yaitu al-Qur'an dan Hadis. Sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa sumber hukum Islam adalah al-Qur'an, hadis, ijma' dan qiyas. Bahkan ada lagi sebagian ulama yang mengatakan bahwa sumber hukum Islam disamping al-Qur'an, hadis, ijma', dan qiyas, adalah al-masalih al-mursalah, 'amal ahl al-madinah (praktek penduduk Madinah), dan sebagainya.
8
Bagi kelompok yang menganggap sumber hukum Islam hanya al-Qur'an dan hadis, maka segala yang dihasilkan oleh manusia, apakah ijma' para sahabat, qiyas, 'amal ahl al-madinah, dan masalih al-mursalah, tidak dapat dijadikan sumber hukum Islam. Sebaliknya, bagi kelompok yang menganggap sumber hukum Islam, tidak terbatas pada
al-Qur'an dan hadis, maka sumber-sumber selain al-Qur'an dapat
dijadikan sumber hukum. Argumentasi kelompok disebut kedua ini, adalah bahwa banyak ayat al-Qur'an maupun hadis Rasulullah yang masih bersifat dhanniy al-dalalah. Dalam kondisi seperti ini, ijma' para sahabat, qiyas, dan sebagainya seperti disebut di atas, dapat menjadi rujukan bagi umat Islam. Salah satu contoh ajaran agama yang tidak secara tegas (qath'i) disebutkan dalam al-Qur'an atau hadis, adalah zakat binatang ternak berupa ayam atau kuda. Bila yang dijadikan dalil adalah ayat atau hadis saja, maka ayam dan kuda tidak termasuk kelompok binatang yang wajib dizakatkan, karena tidak terdapat dalil dalam dua sumber hukum tersebut, yang mengharuskan kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat ayam dan kuda. Padahal hasil yang diperoleh dari pemeliharaan ayam dan kuda cukup besar, dan tidak kalah dari hasil pemeliharaan kambing atau kerbau atau sapi. Oleh karena itu, perlu digunakan qiyas. Kemudian muncullah sebuah hasil ijtihad berupa qiyas, yang mewajibkan zakat ayam atau kuda. Hasil qiyas (analog) inilah yang dijadikan sumber hukum, tentang wajibnya zakat ayam atau kuda, bukan bersumber langsung dan eksplisit dari al-Qur’an dan hadis. Untuk mengambil jalan tengah antara dua golongan tersebut, ada yang memilah sumber hukum tersebut menjadi dua, yaitu sumber primer (utama), dan sumber sekunder( sumber kedua). Yang termasuk sumber primer adalah al-Qur'an dan hadis.
9
Sedangkan yang termasuk sumber sekunder adalah ijma', qiyas, al-masalih almursalah, amal ahl al-madinah, dan sebagainya. 4. Perselisihan mengenai shahih atau tidaknya hadis. Perselisihan dalam hal ini sering terjadi, sebab beberapa sanad atau perawi hadis ada yang diperselisihkan nilainya oleh ahli hadis. Si A, misalnya, sebagai perawi hadis, dapat diterima riwayatnya oleh sebagian ahli hadis, dan ia ditolak riwayatnya oleh ahli hadis yang lain. Contoh konkrit dalam buku-buku hadis adalah seorang perawi hadis bernama Abu Laila. Sebagai perawi hadis, Abu Laila dianggap sebagai perawi hadis yang memenuhi syarat oleh sebagian ahli hadis. Oleh karena itu, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Laila, dikategorikan sebagai hadis shahih oleh al-Bukhari. Sebaliknya, Abu Laila dianggap sebagai perawi hadis yang tidak memenuhi syarat sebagai perawi hadis oleh sebagian ahli hadis, seperti al-Nasa’i.. Oleh karena itu, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Laila, dianggap sebagai hadis da’if oleh al-Nasa'i. Dampak dari perbedaan penilaian ulama terhadap Abu Laila tersebut, adalah bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Laila, tidak selamanya bernilai shahih, tetapi tergantung pada siapa yang menilai Abu Laila. Hadis riwayat Abu Laila dapat menjadi shahih, jika yang menilainya adalah al-Bukhari, dan dapat bernilai dhaif, bila yang menilainya al-Nasa’i. C.Solusi terhadap masalah-masalah khilafiyah. Khilafiyah-khilafiyah yang terjadi di kalangan umat Islam dalam masalah shalat, lebih banyak dilatarbelakangi oleh hadis yang bertentangan makna antara satu sama lain. Menurut ulama hadis, bila terdapat hadis yang saling bertentangan makna dalam sesuatu persoalan, maka dapat ditempuh beberapa cara untuk menyelesaikannya, yaitu; 1.al-Tarjih
10
Dari segi bahasa, al-tarjih adalah menguatkan. Al-Tarjih, sebagai solusi dalam masalah hadis, adalah melakukan penelitian pada semua hadis yang saling bertentangan, untuk mengetahui mana hadis yang bernilai shahih, dan mana hadis yang bernilai dhaif, dan mana hadis yang bernilai lebih shahih, dan mana hadis yang bernilai shahih saja, mana hadis yang bernilai mutawatir, dan mana hadis yang berrnilai ahad. Untuk lebih rinci mengenai tarjih ini, dapat dilihat dalam buku al-I’tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh karya ibn Hazim al-Hamadani (1982: 50-55). Hadis yang berkaitan dengan kedudukan basmalah dalam surat al-Fatihah, misalnya, yaitu terdapat hadis yang menyuruh kita membaca basmalah ketika membaca surat al-fatihah, dan satu hadis lagi menyatakan bahwa Rasulullah, tidak membaca basmalah, dari segi makna saling bertentangan. Dengan menggunakan solusi al-tarjih,
kita tinggal melakukan penelitian, mana
diantara dua hadis tersebut yang shahih, dan mana yang dhaif. Atau mana yang lebih shahih, dan mana yang sekedar shahih saja, dan begitu seterusnya, sesuai teori yang diajukan dalam kitab al-I’tibar, karya ibnu Hazm. Atau memilih hadis yang bernilai hasan, dibanding hadis yang bernilai dhaif. Ringkasnya, hadis yang memiliki kualitas lebih tinggi dari yang lainnya, yang dapat dijadikan hujjah atau dalil, dan hadis yang bernilai lebih rendah tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut Ali al-Shabuniy (1995: 70), dengan mengutip pendapat al-Qurthubiy, bahwa hadis-hadis yang digunakan
2.Al-Jam’u. Al-jam’u, dari segi bahasa, berarti mengumpulkan. Dalam kaitan dengan hadis-hadis yang bertentangan dari segi makna,
yang dimaksud dengan al-jam’u adalah
11
mengkompromikan makna hadis yang bertentangan., sehingga tidak terlihat lagi bertentangan. Hadis yang menerangkan bahwa tidak (sah) shalat tanpa membaca alfatihah, misalnya, dari segi lafal memiliki makna yang sangat umum, yaitu baik imam maupun makmum wajib membaca al-fatihah, dan kalau tidak membaca al-fatihah shalat tidak sah, dapat diselesaikan dengan cara kompromi(al-jam’u), tanpa membuang salah satu dari dua hadis tersebut.Komprominya, dapat saja dengan cara dipahami bahwa hadis yang mewajibkan membaca al-fatihah adalah shalat sendirian, sedangkan hadis yang tidak mewajibkan membaca al-fatihah adalah shalat berjamaah, khususnya bagi makmum.Begitu juga hadis lain yang bertentangan makna, misalnya hadis yang melarang sahabat untuk menulis hadis, dan hadis yang menyuruh sahabat untuk menulis hadis, dapat dicarikan solusi dengan cara al-jam’u. Komprominya adalah bahwa hadis yang melarang shahabat untuk menulis hadis adalah didasari oleh kekhawatiran jangan sampai sahabat Nabi tidak dapat membedakan antara al-Qur’an dan hadis.Sebaliknya, bila sahabat dapat membedakan antara al-Qur’an dan hadis, maka sahabat tersebut tidak dilarang menulis hadis. Atau solusi lain, yaitu bahwa nabi menghendaki agar sarana tulis menulis diutamakan untuk digunakan menulis ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, penulisan al-Qur’an didahulukan., sedangkan penulisan hadis boleh dilakukan setelah selesai penulisan al-Qur’an.
3. Nasikh Mansukh Jika solusi pertama dan kedua, yaitu al-tarjih dan al-jam’u, tidak dapat menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan makna, maka kita boleh menggunakan solusi ketiga,
12
yaitu al-nasikh wa al-mansukh. Nasikh, dari segi bahasa, adalah menghapus, atau membatalkan. Sedangkan mansukh adalah yang dihapus atau dibatalkan. Menurut ulama hadis, nasikh mansukh hadis adalah membatalkan atau menghapus berlakunya hukum yang ditetapkan terlebih dahulu, dengan adanya atau munculnya hukum baru yang ditetapkan setelahnya.Contoh dua hadis yang bertentangan dari segi matan, dan untuk menyelesaikannya dapat menggunakan nasikh mansukh, adalah hadis yang menyuruh sahabat untuk menulis hadis, dan hadis yang melarang sahabat untuk menulis hadis, sebagaimana dikemukakan di atas. Solusi dengan cara nasikh mansukh dari dua hadis tersebut, adalah kita mencari mana hadis yang lebih dahulu muncul, dan mana hadis yang belakangan muncul. Hadis yang diketahui lebih dahulu muncul, dianggap berakhir masa lakunya, dan hadis yang muncul belakangan mulai diberlakukan . Menurut catatan sejarah, hadis yang melarang sahabat untuk menulis hadis muncul lebih dahulu, karena ia diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, yang masuk Islam pada awal-awal tahun hijriyah. Sedangkan hadis yang menyuruh sahabat untuk menulis hadis, diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang masuk Islam pada tahun ke 7 hijriyah. Jadi, pada awalnya Rasulullah melarang sahabat-sahabatnya untuk menulis hadis, kemudian pada tahun-tahun berikutnya, Rasulullah membolehkan sahabatnya untuk menulis hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah.
D.Kesimpulan
13
Setelah dikemukakan akar masalah yang menyebabkan munculnya masalah khilafiyah dalam Islam, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya khilafiyah dalam Islam. Pertama adanya teks agama, baik dalam al-Qur’an maupun hadis yang memiliki beberapa makna, yang dikenal dengan istilah musytarak allafdi. Kedua adanya teks-teks agama yang memiliki makna yang saling kontradiksi satu sama lain. Ketiga adanya perbedaan ulama mengenai sumber agama. Keempat adanya perbedaan dalam menilai kesahihan sebuah hadis. Solusi dari khilafiyah tersebut, khusus khilafiyah mengenai adanya teks agama yang saling kontradiski makna adalah mencari riwayat yang lebih shahih dari sekedar yang shahih, mengkompromikan makna dari teksteks tersebut, dan menggunakan nasikh mansukh.
Daftar Pustaka Al-Asfahani, al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfad al-Qur’an (Beirut, Dar al-Fikr, tt)
14
Al-Hamadaniy, Ibnu Hazam, al-I’tibar Fi Bayan al-Nasikh wa Al Mansukh Min Asar alRasul (Hims, Mathba’ah al-Andalus, 1966) Al-Humaidiy, Muhammad bin Futuh, al-Jam’ Bayn al-Shahihain Al-Bukhariy wa Muslim (Beirut, Dar ibn Hazm, 2002) Al-Maraghi, Ahmad Mushtahaf, Tafsir al-Maraghi (Beirut, Dar al-Fikr, 1965) Al-Shabuniy, Ali, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, (Beirut, Dar al-Fikr, tt) Al-Shiddiqi, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta, Bulan Bintang, 1974). Al-Quzwainiy, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah (Beirut, Dar alFikr, 2004).
15